Upload
andi-ariyantopan
View
53
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari
konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar
Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum
ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep
yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa
masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban
maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada
prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan
dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat
terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan
menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan
dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya
Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena
mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-
Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat
ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang
menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi
munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan
yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun
cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah
dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang
tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun
“masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan
fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan
sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat
Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil
kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur
lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak
mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak
meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk
dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar
kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat
Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam
hanya menunggu waktu saja.
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang
menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai
kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi
sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dari makalh
ini adalah sebagai berikut :
1. Apa konsep dari masyarakat madani ?
2. Apa pengertin Masyarakat Madani ?
3. Bagaimana sejarah perkembangan masyarakat madani?
4. Apa saja ciri-ciri dari Masyarakat Mdani ?
5. Bagaimana karakterstik masyarakat madani?
6. Bagaimana pilar penegak masyarakat madani?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui konsep dari masyarakat madani.
2. Untuk mengetahui pengertian masyarakat madani .
3. Untuk mengetahui sajarah masyarakat madani.
4. Untuk mengetahui ciri-ciri masyarakat madani.
5. Untuk mengetahui karakteristik masyarakat madani.
6. Untuk mengetahui pilar penegak masyarakat madani.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau
pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali
mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di
Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai
masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah
yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil
society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan
masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata
“societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali
dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar
dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga
orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu
mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja
(Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil
society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang
dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim
modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil
society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari
gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan.
Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena
meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian
dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan
toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari
wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah:
memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda.
Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau
masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut
Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk
menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
B. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Itu tadi pengertian umum dari masyarakat
madani, berikut ini ada beberapa pengertian masyarakat madani menurut para
ahli :
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang
ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.
Menurut Syamsudin Haris, masyarakat madani adalah suatu lingkup
interaksi sosial yang berada di luar pengaaruh negara dan model yang
tersusun dari lingkungan masyarakat paling akrab seperti keluarga,
asosiasi sukarela, gerakan kemasyarakatan dan berbagai bentuk
lingkungan komunikasi antar warga masyarakat.
Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang
merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad
SAW di Madinah, sebagai masyarakat kota atau masyarakat berperadaban
dengan ciri antara lain : egaliteran(kesederajatan), menghargai prestasi,
keterbukaan, toleransi dan musyawarah.
Menurut Ernest Gellner, Civil Society atau Masyarakat Madani merujuk
pada mayarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang
otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi Negara.
Menurut Cohen dan Arato, Civil Society atau Masyarakat
Madani adalah suatu wilayah interaksi sosial diantara wilayah ekonomi,
politik dan Negara yang didalamnya mencakup semua kelompok-
kelompok sosial yang bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial diluar
lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar
kebaikan bersama (public good).
Menurut Muhammad AS Hikam, Civil Society atau Masyarakat
Madani adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan
bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-
generating), keswadayaan (self-supporing),dan kemandirian yang tinggi
berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma dan
nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Menurut M. Ryaas Rasyid, Civil Society atau Masyarakat
Madani adalah suatu gagasan masyarakat yang mandiri yang
dikonsepsikan sebagai jaringan-jaringan yang produktif dari kelompok-
kelompok sosial yang mandiri, perkumpulan-perkumpulan, serta lembaga-
lembaga yang saling berhadapan dengan negaram.
C. Ciri-ciri Masyarakat Madani
Ciri-ciri masyarakat madani yaitu sebagai berikut.
1. Menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh iman dan
teknologi
2. Mempunyai peradaban yang tinggi ( beradab ).
3. Mengedepankan kesederajatan dan transparasi ( keterbukaan ).
4. Free public sphere (ruang publik yang bebas)
Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai
warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga
negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan
pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan pendapat,
berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
5. Demokratisasi
Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana
kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya
demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu
menjamin masyarakat madani. Demokratisasi dapat terwujud melalui
penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi : 1) Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) 2) Pers yang bebas 3) Supremasi hokum 4) Perguruan
Tinggi 5) Partai politik
6. Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-
pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan
sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan
sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang
dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.
7. Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap
tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif
dan merupakan rahmat tuhan.
8. Keadilan Sosial (Social justice)
Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang
proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang
mencakup seluruh aspek kehidupan.
9. Partisipasi social
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal
yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang
bersih dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi
individu terjaga.
10. Supermasi hokum
Penghargaan terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya
keadilan, keadilan harus diposisikan secara netral, artinya tidak ada
pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.
D. Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi
sebagai masyarakat madani, yaitu:
1. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2. Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara
Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang
beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling
menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-
Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan
kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya.
Wacana masyarakat madani merupakan konsep yang berasal dari
pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses
trasnformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri
kapasitas jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana
masyarakat madani dapat diruntut mulai dari Ciero sampai Antonio Gramsci
dan de’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M.
Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemukakan pada masa
Aristoteles. Pada masa Aristoteles, 384-322 SM, masyarakat madani dipahami
sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni
sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai
percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia
politike yang dikemukakan oleh Aristoteles ini degunakan untuk
menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di
dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos,
yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur
politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebajikan (virtue) dari berbagai
bentuk interaksi di antara warga negara.
Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Cicero (106-43 SM) dengan
istilah societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas
yang lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada
konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan
bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi
masyarakat madani yang aksentuasinya pada sistem kenegaraan ini
dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke
(1632-1704). Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan
mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-
pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara. Sementara menurut Jhon
Locke, kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi
kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah,
masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada
wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang
manusiawi bagi setiap warga negara untuk memperoleh haknya secra adil dan
proporsional.
Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh
Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik
skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis
dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk
mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan
munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan
individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki
spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam
masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen
moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara
secara alamiah.
Kemudian pada tahun 1792, munculnya wacana masyarakat madani
yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini
dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah
masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara
diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara.
Dengan demikian maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia
merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat
demi terciptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka masyarakat
madani menurut Paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan
kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas
dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang
menjadi domain masyarakat, dimana interpensi negara di dalamnya merupakan
aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka
masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol negara demi
kebutuhannya.
Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh .G.W.F.
Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-
1837 M). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini
menekankan pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas domain.
Pemahaman ini lebih merupakan reaksi dari model pemahaman yang dilakukan
Paine (yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisah dari
negara). Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif
dari negara. Pemahaman ini, menurut Ryas Rasyid erat kaitannya dengan
fenomena masyarakat borjuasi Eropa (burgerlische gessellschaft) yang
pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi
negara.
Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas 3 (tiga) entitas,
yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga merupakan ruang
sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan.
Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan
berbagai kepentingan pribadi dan dan golongan terutama kepentingan ekonomi.
Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas
melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi
terhadap masyarakat madani. Oleh karenanya, maka intervensi negara terhadap
wilayah masyarakat bukanlah tindakan illegitimate, karena negara sekali lagi
merupakan pemilik ide universal dan hanya pada tataran negara politik bisa
berlangsung murni serta utuh. Selain itu, masyarakat madani pada kenyataannya
tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu
mempertahankan keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan
ketertundukan pada intuisi yang lebih tinggi, yakni negara. Karenanya, negara
dan masyarakat madani merupakan 2 (dua) entitas yang saling memperkuat satu
sama lain.
Sedangkan Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai
“masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis,
keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan.
Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa
kelas. Sementara Antonio Gramsci tidak memahami masyarakat madani sebagai
relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menempatkan
masyarakat madani pada basis material, maka Gramsci meletakkan pada
superstruktur, berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political
society. Masyarakat madani merupakan aparat hegemoni mengembangkan
hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat.
Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendekiawan
yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik.
Gramsci dengan demikian melihat adanya sifat kemandirian dan politis pada
masyarakat madani, sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi
oleh basis material (ekonomi).
Periode berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangkan oleh
alexis de ‘Tocqueville (1805-1859 M) yang berdasarkan pada pengalaman
demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani sebagai
entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de ‘Tocqueville, kekuatan politik
dan masyarakat madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika
mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan
kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu
mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Tidak seperti yang dikembangkan oleh Hegelian, paradigma Tocqueville
ini lebih menekankan pada masyarakat madani sebagai sesuatu yang tidak
apriori subordinatif terhadap negara. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas
politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang
(balancing force) untuk menahan kecenderungan intervensionis negara. Tidak
hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi negara serta pada saat yang
sama mampu melahirkan kritis reflektif (reflektive-force) untuk mengurangi
frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat formasi sosial modern.
Masyarakat madani tidak hanya beriorentasi pada kepentingan individual, tetapi
juga sensitif terhadap kepentingan publik.
Dari berbagai model pengembangan masyarakat madani di atas, model
Gramsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di
Eropa Timur dan Tengah pada sekitar akhir dasawarsa 80-an. Pengalaman
Eropa Timur dan Tengah tersebut membuktikan bahwa justru dominasi negara
atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Hal ini berarti
bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk
membangun harga diri sebagai warga negara. Gagasan tentang masyarakat
madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan
diri dari cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi
dan kemandirian masyarakat.
E. Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif
kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang
mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan
alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh
negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-
masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-
rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-
individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial
dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang
beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan
sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu
maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang
dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah
diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa
terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat
madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari
akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan
perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju
yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya
democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa
secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup
menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat
madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail
capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-
tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata
lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-
lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu
kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap
saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga
ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi
antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti
pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme”
yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi
dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-
rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat
DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring
masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat
negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti
prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang
terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang
mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip
nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan
antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum
mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka
mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan.
Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya
berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari
penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah
kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap
potensi manusia.” Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang
membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya.
Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas
secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi
ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada
tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada
tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan
perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara
struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial
memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga
lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan
terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam
masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas
usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural.
Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang
sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik
dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan
seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat
ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh
beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara
historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil,
agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat
bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang
mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam
Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil
(civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani.
Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat
Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri
individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan
bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan
sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang
berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara
moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam
masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh
lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan
kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan
peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan
tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan
kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian
yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik
dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan
mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal,
dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata
politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak
ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling
memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada
masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila
masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi
lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli
teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme
mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat
bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer
masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak
pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan
masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis
kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun.
Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-
spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya
masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani
merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama,
sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid
Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda
dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani
tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din
(diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn.
Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di
sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan
masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani
bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah
masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar
ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan
hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang
sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat
berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi
utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang
ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip
dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara
faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan
rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di
Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi
Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut
terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan
sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang
madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah
mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural,
beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya
adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan
sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan
etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam
saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam
masyarakat madani.
Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi
sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas
telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga
pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana
tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam
kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang
bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia
(pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas
kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak
terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban
yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan
mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar.
Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama
tetap terjaga.
Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara
sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi
dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan
pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan
Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama.
Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup,
berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu
pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif
dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam surat
Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih
dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan
konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi
hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran
juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang
menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam
konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan
masyarakat yang dicita-citakan.
F. Pilar Penegak Masyarakat Madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-
insitusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi
kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-
pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat
madani. Pilar-pilar tersebut antara lain:
1. Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga Swadaya Masyarakat adalah intstuisi sosial yang dibentuk oleh
swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan
memperjuankan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain
itu LSM dalam konteks masyarakat madani juga bertugas mengadakan
empowering (pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal yang
signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan
sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2. Pers
Pers merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani,
karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social
control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan
pemerintah yang berkenaan dengan warganegaranya. Hal tersebut pada
akhirnya mengarah pada adanya independensi pers pers serta mampu
menyajikan berita secara objektif dan transparan.
3. Supermasi Hukum
Setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintah maupun
sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum. Hal tersebut berarti
bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara
dan antar warga negara dengan pemerintah haruslah dilakukan dengan cara-
cara yang damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Selain itu, supermasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan
terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar
norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia,
sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized
4. Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi yakni di mana civitas akademiknya (dosen dan mahasiswa)
merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak
pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan
mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang
dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan
memposisikan diri pada rel dan realitas yang betul-betul objektif,
menyuarakan kepentingan masyarakat (public).
Sebagai bagian dari pilar penegak masyarakat madani, maka Perguruan
Tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide alternatif dan
konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi oleh
masyarakat. Di sisi lain Perguruan Tinggi memiliki “Tri Dharma Perguruan
Tinggi” yang harus dapat diimplementasikan berdasarkan kebutuhan
masyarakat.
Menurut Riswanda Immawan, Perguruan Tinggi memiliki 3 (tiga)
peran yang strategis dalam mewujudkan masyarakat madani, yakni :
Pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarisme yang menjadi dasar
kehidupan politik demokratis.
Membangun political safety net, yakni dengan mengembangkan dan
memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi.
Melakukan tekanan terhadap ketidak adilan dengan cara yang santung, saling
menghormati, demokratis serta meninggalkan cara-cara yang agitatif dan
anarkis.
5. Partai Politik
Partai politik merupakan wahana nagi warga negara untuk menyalurkan
aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan akan
hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai sebuah tempat ekspresi politik
warganegara, maka partai politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya
masyarakat madani.
BAB III
PENUTUP
A . Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman
konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah
ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh
Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani
merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun
Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi
historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat
muslim modern.
2. Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan,
dan teknologi
3. Menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh iman dan
teknologi,mempunyai peradaban yang tinggi ( beradab ),Mengedepankan
kesederajatan dan transparasi ( keterbukaan ),Free public sphere (ruang
publik yang bebas) dan ruang publik yang diartikan sebagai wilayah
dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap
setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan kegiatan secara
merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta
mempublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan
informasi kepada public demokratisasi,dan menurut Neera Candoke,
masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat
yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam
kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat
madani. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar
demokrasi yang meliputi : 1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 2)
Pers yang bebas 3) Supremasi hokum 4) Perguruan Tinggi 5) Partai
politik.
4. Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman dan asyarakat
Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah
SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama
Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian
Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling
menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai
pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap.
5. Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-
insitusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi
mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan
masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi
terwujudnya kekuatan masyarakat madani.
DAFTAR PUSTAKA
http://dani3ldant3.blogspot.com/2012/03/pengertian-masyarakat-madani.html
http://www.disukai.com/2013/01/pengertian-dan-ciri-ciri-masyarakat-madani.html
TUGAS
MODAL SOSIAL DAN CIVIL SOCIETY
(Masyarakat Madani)
OLEH
KELOMPOK 1
1. WA ODE MULIANA ( DIAI II 260 )
2. AGNES DAUBA ( DIAI II 255 )
3. MUH. ALUDIN ( DIAI II 261 )
4. MASTURA ( DIAI II 256 )
5. ARIF SUTRISNO ( DIAI II 254 )
6. ANDI ARYANTOPAN ( DIAI II 273 )
7. RESCHAYANTI . Y ( DIAI II 272)
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERTAMBANGAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
KATA PENGANTAR
Pertama-tama tiada kata yang patut penulis ucapakan selain ucapan puja
dan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan
kesempatan kepada penulis sehingga makalah ini dapat selesai sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah MODAL SOSIAL DAN CIVIL SOCIETY. Makalah ini berjudul
Masyarakat Madani.
Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen
modal sosial dan civil society yang telah memberi tugas makalah serta sampai
pada pembuatan makalah ini, sehingga penulis dapat lebih memahami dan
mengetahui lebih dalam tentang Masyarakat Madani . Terimah kasih pula kepada
teman-teman sosek khususnya kelompok 3 yang telah membantu dalam mencari
materi sampai pada penyusunan makalah.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa pemnyusunan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karana itu penulis sangat mengharapkan adanya
kritik dan saran yang sifatnya membangun, agar penyusunan selanjutnya akan
jauh lebih sempurna dari sekarang.
Kendari, Maret 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Masyarakat Madani...........................................
B. Pengertian Masyarakat Madani......................................
C. Ciri-Ciri Masyarakat Madani.........................................
D. Masyarakat Madani Dalam Sejarah...............................
E. Karakteristik Masyarakat Madani..................................
F. Pilar Penegak Masyarakat Madani.................................
BAB II PENUTUP........................................................................
A.Kesimpulan.....................................................................
DFTAR PUSTAKA