Modul Pelaksanaan AnggADASDSADASDSAaran

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SDADSADSADDSADA

Citation preview

3

1. PENDAHULUAN1.1. Deskripsi Singkat

Mata pelajaran ini membahas dan mengurai pelaksanaan anggaran yang merupakan salah satu tahap dari siklus anggaran, yaitu setelah tahap penyusunan dan penetapan anggaran sampai dengan tahap pertanggungjawaban anggaran. Kegiatan pelaksanaan anggaran yang berjaitan dengan kegiatan pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh para pejabat instansi kementrian Negara/lembaga selaku pengguna anggaran/kuasa anggaran maupun di intansi kementrian keuangan selaku bendahara umum negara/kuasa bendahara umum Negara, menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

1.2. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti mata pelajaran ini diharapkan peserta Diklat akan mampu dan atau dapat memahami implementasi ketentuan-ketentuan di bidang keuangan Negara yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran yang menjadi sebagian tugas pokok unit organisasi kementrian Negara/lembaga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.3. Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mempelajari modul ini, peserta diklat diharapkan akan dapat :

a. Menjelaskan pengertian pelaksanaan anggaran, ruang lingkup, dasar hukum dan tahapan pelaksanaan anggaran sebagai bagian dari Siklus APBN;

b. Menjelaskan struktur dan format APBN, klasifikasi dalam penganggaran terpadu;

c. Menjelaskan daftar isian pelaksanaan anggaran dan pengelompokkan jenis-jenis belanja;

d. Menjelaskan pelaksanaan anggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran pendapatan;

e. Menjelaskan pelaksanaan anggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan belanja Negara, meliputi ketentuan-ketentuan belanja negara, syarat administrasi, prosedur pencairan dana APBN dan prosedur pencairan dana PHLN

1.4. Petunjuk Cara Belajar

Agar peserta diklat dapat mengikuti dan memahami mata pelajaran ini dengan baik serta dapat mencapai hasil belajar yang maksimal, perlu diperhatikan petunjuk-petunjuk di bawah ini :

1. Pelajari peraturan prundang-undangan yang berlaku sebagai acuan pelaksanaan anggaran;

2. Pelajari rangkuman dan selesaikan latihan-latihan yang ada pada pokok bahasan dari modul ini;

3. Diskusikan dan bahas dalam kelompok-kelompok belajar bersama-sama untuk memperoleh pemahaman terhadap makna substansi yang tersirat dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran atau pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara. Pelajari dan pahami hubungan antara peraturan yang bersifat umum dengan peraturan yang bersifat pelaksanaan atau petunjuk teknis.

2. KEGIATAN BELAJAR (KB) 1 : PELAKSANAAN ANGGARAN2.1. Gambaran Umum Pelaksanaan APBNPelaksanaan anggaran merupakan bagian dari Siklus anggaran yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Siklus anggaran dimulai dari tahap penyusunan dan penetapan APBN. Pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya (misal tahun anggaran 2008) kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan (misal tahun 2007). Kemudian pemerintah pusat dan DPR membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh pemerintah pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggran berikutnya.

Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, pemerintah pusat bersama DPR membahas kebijaksanaan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.

Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran Kemeterian Negara/Lembaga (RKA-KL) tahun berikutnya. RKA-KL disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai, disertai dengan perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun. RKA-KL tersebut disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN. Hasil pembahasan RKA-KL disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.

Pemerintah pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai dengan nota keuangan dan dokumendokumen pendukungnya kepada DPR pada Bulan Agustus tahun sebelumnya. Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPR. Dalam Pembahasan ini DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan undang-undang tentang APBN.

Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan pemerintah pusat,maka pemerintah pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, rincian pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Kemudian Menteri Keuangan memberitahukan kepada menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian negara/lembaga. Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang rincian APBN. Dalam dokumen pelaksanaan anggaran diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, dan rincian kegiatan anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.Pada Dokumen pelaksanaan anggaran juga dilampirkan rencana kerja dan anggaran badan layanan umum dalam lingkungan kementerian negara/lembaga. Terhadap dokumen anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, BPK, Gubernur, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan terkait, Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) terkait, dan Kuasa Pengguna Anggaran. Pengajukan dana dengan menerbitkan surat perintah membayar oleh masing-masing penanggungjawab kegiatan kepada Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum Negara, yang kemudian melaksanakan fungsi pembebanan kepada masing-masing bagian anggaran serta fungsi pembayaran kepada yang berhak melalui jalur penyaluran dana yang ditetapkan dengan mekanisme giralisasi. Dokumen-dokumen penting dalam pelaksanaan APBN adalah Surat Keputusan Otorisasi/Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, Surat Permintaan Pembayaran, Surat Perintah Membayar, dan Surat Perintah Pencairan Dana.Dalam Pelaksanaan APBN tahun anggaran berjalan, pemerintah pusat menyusun laporan realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk enam bulan berikutnya, kemudian disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah pusat. Mengenai penyesuaian APBN dengan perkembangan dan atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan pemerintah pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang besangkutan, apablia terjadi :

a. Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;

b. Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;

c. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;

d. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

Berdasarkan perubahan-perubahan tersebut, pemerintah pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan, untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir. Demikian juga, dalam keadaan darurat pemerintah pusat dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.Tahap pengawasan pelaksanaan APBN ini memang tidak diungkap secara nyata dalam UU 17/2003, namun dalam Keputusan Presiden nomor 42/2002 jo Keppres 72/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN terdapat di Bab IX yang mengatur pengawasan pelaksanaan APBN. Pada tahap ini pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh atasan kepala kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga menyelenggarakan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN yang dilakukan kepala kantor/satuan kerja dalam lingkungannya. Atasan langsung bendahara melakukan pemeriksaaan kas bendahara sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBN yang dilakukan kantor/satuan kerja dalam lingkungan departemen/lembaga bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku. Mengenai hasil pemeriksaan Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan pada lembaga tersebut disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan. Inspektur Jenderal departemen/pimpinan unit pengawasan lembaga wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat mengenai pelaksanaan APBN.Selain pengawasan yang dilakukan oleh pihak eksekutif, terdapat pula pengawasan yang dilakukan oleh DPR atau legislatif baik secara langsung mupun tidak langsung. Pengawasan secara langsung dilakukan melalui mekanisme monitoring berupa penyampaian laporan semester I kepada DPR selambat-lambatnya satu bulan setelah berakhirnya semester I tahun anggaran yang bersangkutan atau sekitar Bulan Juli. Laporan tersebut harus pula mencantumkan prognosa untuk semester kedua dengan maksud agar DPR dapat mengantisipasi kemungkinan ada tidaknya APBN perubahan untuk tahun anggaran bersangkutan. Laporan semester I dan prognosa semester II tersebut dibahas dalam rapat kerja antara panitia anggaran dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penyampaian hasil pemeriksaan BPK atas pelaksanaan APBN kepada DPR. Pemeriksaan yanag dilakukan BPK menyangkut tanggung jawab pemerintah dalam melaksanakan APBN.Pada tahap pertanggungjawaban, Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun pertanggungjawaban pelaksanaan APBN di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berupa laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas leporan keuangan yang dilampiri laporan keuangan badan layanan umum pada kementerian negara/lembaga masing-masing.Laporan keuangan kementerian negara/lembaga oleh menteri/pimpinan lembaga disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya dua bulan setelah tahun anggaran berakhir. Kemudian Menteri Keuangan menyusun rekapitulasi laporan keuangan seluruh instansi kementerian negara. Selain itu, Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara menyusun laporan arus kas, dan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah pusat dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara.Semua laporan keuangan tersebut disusun oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal sebagai wujud laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan kepada Presiden dalam memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Presiden menyampaikan laporan keuangan pemerintah pusat kepada BPK paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit atas laporan keuangan pemerintah harus diselesaikan selambat-lambatnya dua bulan setelah laporan keuangan tersebut diterima oleh BPK dari pemerintah.Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung-jawaban pelaksanaan APBN kepad DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan Keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. Mengenai bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah.

2.2. Landasan Hukum Pelaksanaan Anggaran

Dengan berlakunya ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, maka pengelolaan keuangan di Indonesia mengacu pada ketiga undang-undang tersebut di atas.Selanjutnya dalam pelaksanaannya diikuti dengan berbagai peraturan, baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan maupun Peraturan/Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan, yang antara lain terdiri dari :

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.(2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

(3) Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum.

(4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.(5) Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 tahun 2004.

(6) Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004.

(7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN.

(8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar.

(9) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.05/2007 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun 2008.

(10) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban APBN. Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan diberlakukannya Undang-Undang Bidang Keuangan Negara di atas adalah adanya pemisahan kewenangan administratif (ordonatur) yang berada pada Menteri/pimpinan lembaga dan kewenangan perbendaharaa (comptable) yang berada pada Menteri Keuangan. Kewenangan administratif meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.

Di lain pihak, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai BUN bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku BUN adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan. Fungsi pengawasan disini terbatas pada aspek rechmategheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaaan dan pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional.

Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief Operasional Officer untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Sesuai dengan prinsip tersebut Kementerian Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional, sementara kementerian negara/lembaga berwenang dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing. Konsekuensi pembagian tugas antara Menteri Keuangan dan para menteri lainnya tercermin dalam pelaksanaan anggaran tersebut di atas.Kemudian pembagian kewenangan antara menteri/pimpinan lembaga dinyatakan dalam pasal 4 Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian/lembaga yang dipimpinnya berwenang :

(1) menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;

(2) menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;(3) menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara;

(4) menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang;

(5) melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja;(6) menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran;

(7) menggunakan barang milik negara;

(8) menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik negara;

(9) mengawasi pelaksanaan anggaran;

(10) dan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan.Sedangkan sesuai pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 2004, Menteri Keuangan selaku BUN berwenang :

(1) menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;

(2) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;

(3) melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran;

(4) menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;

(5) menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara;

(6) mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan anggaran negara;

(7) menyimpan uang negara;

(8) menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi;(9) melakukan pembayaran berdasarkan permintaaan Pejabat Pengguna Anggaran atas beban rekening kas umum negara;

(10) melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah;(11) memberikan pinjaman atas nama pemerintah;(12) melakukan pengelolaan utang dan piutang negara;(13) mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintah;(14) melakukan penagihan piutang negara;(15) menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara;(16) menyajikan informasi keuangan negara;(17) menetapkan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik negara;(18) menentukan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah dalam rangka pembayaran pajak;(19) menunjuk pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara. 2.3. Latihan 11. Sebutkan Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan anggaran atau APBN !

2. Uraiakan secara singkat proses pelaksanaan anggaran pada tahap perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat !

3. Sebutkan wewenang Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang dan wewenang Menteri Keuangan selaku Bendara Umum Negara !

4. Uraikan tahap pengawasan dan tahap pertanggungjawaban pada siklus pelaksanaan anggaran !5. Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan diberlakukannya peraturan perundang-undangan di Bidang Keuangan Negara adalah adanya pemisahan kewenangan administratif (ordonatur) dan kewenangan perbendaharaa (comptable). Jelaskan apa yang dimaksud dengan kewenangan administratif dan kewenangan perbendaharaa (comptable) !2.4. RangkumanMengingat begitu pentingnya APBN sebagai rencana kerja penyelenggara negara, maka proses penyusunan dan penetapan APBN, Pelaskanaan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setipa tahun anggaran melalui serangkaian tahapan kegiatan yang saling berkaitan. Rangkaian tahapan kegiatan tersebut biasa disebut siklus anggaran APBN, yang meliputi tahap penyusunan & penetapan APBN, Pelaskanaan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN. APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang dan disetujui oleh DPR.

Dengan berlakunya ketentuan peraturan Undang-Undang di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, maka pengelolaan keuangan di Indonesia mengacu pada ketiga undang-undang tersebut. Selanjutnya dalam pelaksanaannya diikuti dengan berbagai peraturan, baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan maupun Peraturan/Keputusan Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan anggaran dengan diberlakukannya Undang-Undang Bidang Keuangan Negara di atas adalah adanya pemisahan kewenangan administratif (ordonatur) yang berada pada Menteri/pimpinan lembaga dan kewenangan perbendaharaa (comptable) yang berada pada Menteri Keuangan.

3. KEGIATAN BELAJAR (KB) 2 : DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN

3.1. Pengertian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Pada Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di pasal 4 ayat 2 huruf a disebutkan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berwenang menyusun dokumen pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan anggaran atau APBN, maka Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran Kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Kewenangan Menteri/Pimpinan Lembaga tersebut dilimpahkan kepada kepala satuan kerja (satker) pusat/unit pelaksana teknis/satker khusus/satker non vertikal tertentu/satker sementara.Wujud dokumen pelaksanaan anggaran yang berlaku mulai tahun anggaran 2005 berupa daftar isian yang memuat uraian sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, rencana penarikan dana tiap-tiap bulan dalam satu tahun serta pendapatan yang diperkirakan oleh kementerian negara/lembaga, sehingga dokumen pelaksanaan anggaran tersebut disebut daftar isian pelaksanaan anggaran atau disingkat DIPA. DIPA tersebut disusun atas dasar peraturan presiden tentang rincian APBN.

Konsep DIPA yang telah selesai disusun oleh Kuasa Pengguna Anggaran satker disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA pusat dan kepada Kepala Kanwil DJPB untuk DIPA daerah. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menelaah kesesuaian konsep DIPA dengan rincian APBN yang ditetapkan dalam peraturan presiden dan kemudian mengesahkan DIPA pusat. Sedangkan Kepala Kanwil DJPB atas nama Menteri Keuangan selaku BUN menelaah kesesuaian konsep DIPA dengan rincian APBN yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden dan kemudian mengesahkan DIPA daerah.

Apabila dalam batas waktu yang ditentukan (akhir tahun anggaran) Kuasa Pengguna Anggaran satker belum menyampaikan konsep DIPA, maka Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB tetap menerbitkan Surat Pengesahan DIPA yang dilampiri konsep DIPA (sementara) yang dibuat oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB berdasarkan surat rincian alokasi anggaran (SRAA) dan rencana kerja anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) atau peraturan presiden tentang rincian APBN. Dalam hal DIPA (sementara) ini dapat dipakai sebagai dasar penerbitan surat perintah membayar dengan ketentuan bahwa dana yang dapat dicairkan dibatasi untuk pembayaran gaji pegawai, pengeluaran keperluan sehari-hari perkantoran, daya dan jasa, dan lauk pauk/bahan makanan. Sedangkan dana untuk jenis pengeluaran lainnya harus diblokir.Menurut lampiran II Peraturan Menteri Keuangan nomor 80/PMK.05/2007 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan, Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2006, maupun dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN dipasal 1 angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendahaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.

Dari Pengertian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa dalam DIPA terdapat dua dokumen yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun kementerian negara/lembaga bersangkutan dan dokumen surat pengesahan DIPA yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB atas nama menteri keuangan selaku bendahara umum negara. Dengan demikian, suatu dokumen pelaksanaan anggaran dapat disebut DIPA (lengkap), apabila terdiri dari :

(1) Surat pengesahan DIPA (SP DIPA), berisi informasi mengenai hal - hal yang disahkan dari DIPA dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB atas nama Menteri Keuangan.

(2) DIPA halaman I (Umum), terdiri dari halaman IA dan halaman IB. Halaman IA memuat informasi yang bersifat umum dari setiap satuan kerja. Halaman IB memuat informasi umum tentang rincian fungsi, program dan sasarannya serta indikator keluaran untuk masing-masing kegiatan.

(3) DIPA halaman II, berisi informasi setiap satuan kerja, uraian kegiatan / sub kegiatan beserta volume keluaran yang hendak dicapai serta alokasi dana pada masing-masing belanja yang dicerminkan dalam mata anggaran keluaran. Rincian halaman II untuk masing-masing DIPA adalah sebagai berikut :

a. DIPA kementerian negara/lembaga, meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain.

b. DIPA perimbangan keuangan negara, meliputi belanja daerah dana alokasi umum, belanja daerah dana alokasi khusus, belanja daerah dana bagi hasil, belanja daerah dana penyesuaian, dan belanja daerah dana otonomi khusus.

c. DIPA pembayaran bunga utang dan hibah, meliputi belanja bunga utang dalam negeri, belanja bunga utang luar negeri, Penerusan pinjaman dan belanja hibah.

d. DIPA subsidi dan transfer berisi belanja subsidi.

e. DIPA pembiayaan, meliputi pembiayaan dalam negeri, pembiayaan luar negeri, penerusan pinjaman dan penyertaan modal pemerintah.

(4) DIPA halaman III, berisi informasi tentang rencana penarikan dana dan penerimaan negara bukan pajak yang menjadi tanggungjawab setiap satuan kerja. Dalam hal pencantuman angka rencana penarikan pengeluaran pada halaman III DIPA berdasarkan rencana kerja, satuan kerja perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut :

a. Untuk belanja pegawai, rencana penarikan pengeluaran per bulan adalah seperdua belas dari pagu gaji satu tahun;

b. Untuk belanja barang dan modal, agar memperhatikan kebutuhan berdasarkan rencana penarikan/pembayaran dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang meliputi rencana penarikan uang persediaan dan rencana penarikan langsung untuk setiap bulan.

(5) DIPA halaman IV, berisi catatan-catatan yaitu hal-hal yang perlu menjadi perhatian oleh pelaksana kegiatan.

3.2. Jenis-Jenis Daftar Isian Pelaksanaan AnggaranKonsep DIPA disusun untuk masing-masing Satuan Kerja dan pada prinsipnya satu DIPA untuk satu satker. Khusus untuk Departemen Agama, Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia, Departemen Keuangan, Departemen Pertanhanan dan Keamanan, Kepolisian Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Pusat Statistik, satu DIPA dapat meliputi beberapa satker pada masing-masing provinsi/Kantor Wilayah.Berdasarkan pembagian anggaran dalam APBN, jenis DIPA dapat dikelompokkan atas DIPA Kemeterian Negara/Lembaga dan DIPA Pembiayaan dan Perhitungan (DIPA APP).

a. DIPA Kementerian Negara/Lembaga

DIPA Satker Pusat/kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran dari Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang dikategorikan menjadi :

1) DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat

DIPA Satker Pusat/kantor Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga, yang pelaksanaannya dilakukan oleh satuan kerja yang merupakan satuan kerja pusat atau satuan kerja Kantor Pusat suatu kementrian negara/lembaga, termasuk di dalamnya untuk DIPA Badan Layanan Umum (BLU), dan Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT).Satuan Kerja Pusat dapat terdiri dari satuan kerjasatuan kerja yang dibentuk oleh kementerian nagara/ lembaga secara fungsional dan bukan merupakan instansi vertikal . Sedangkan Satuan Kerja Kantor Pusat adalah satuan kerja dalam lingkup Kantor Pusat suatu kementerian negara /lembaga. Konsep DIPA Satker Pusat/kantor Pusat disusun dan ditetapkan oleh Satuan Kerja masing-masing kementerian negara/lembaga.

2) DIPA Satker Vertikal/ Kantor Daerah

DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor/Instansi Vertikal Kementerian Negara/Lembaga di daerah.

Konsep DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah disusun dan ditetapkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Vertikal yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri/ Ketua Lembaga.3) DIPA Dana Dekonsentrasi

DIPA Dana dekonsentrasi adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga dalam rangka pelaksanaan dana dekonsentrasi, serta pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi yang ditunjuk oleh Gubernur.

Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala SKPD yang ditunjuk oleh Gubernur berdasarkan pendelegasian wewenang dari Menteri/Ketua Lembaga.4) DIPA Tugas Pembantuan

DIPA Tugas Pembantuan adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan, serta pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi/Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Gubernur/ Bupati/Walikota.

Konsep DIPA Dana Dekonsentrasi disusun dan ditetapkan oleh Kepala Satker Pusat yang ditunjuk oleh Menteri/Ketua Lembaga.

b. DIPA Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (DIPA APP)

DIPA APP adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP). BAPP merupakan Bagian Anggaran yang dikelola oleh menteri Keuangan dan penggunaan anggaran tersebut bersifat khusus serta tidak termasuk dalam anggaran kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Dalam Pelaksanaannya Menteri Keuangan menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran untuk menyusun dan menetapkan konsep DIPA. BAPP meliputi :

1) Cicilan Bunga Utang (BA 061)

2) Subsidi dan Transfer (BA 062)

3) Belanja Lain-Lain (BA 069)

4) Dana Perimbangan (BA 070)

5) Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (BA 071)

6) Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negari (BA 096)

7) Pembayaran Cicilan Pokok Utang Dalam Negeri (BA 097)

8) Penerusan Pinjaman sebagai Pinjaman (BA 098)

9) Penyertaan Modal Negara (BA 099)

10) Penerusan Pinjaman sebagai Hibah (BA 101)

11) Penerusan Hibah sebagai Hibah (BA 102)

DIPA APP dapat terdiri dari :

1) DIPA Belanja Pemerintah Pusat.

DIPA Belanja Pemerintah Pusat adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran Bagian Anggaran Cicilan Bunga Utang (BA 061), Bagian Anggaran Subsidi dan Transfer (BA 062), Bagian Anggaran Belanja Lain-Lain (BA 069), dan Bagian Anggaran Penerusan Pinjaman sebagai Hibah (BA 101). Pelaksanaan anggaran dilakukan oleh satuan kerja kementerian negara/lembaga atau satuan kerja yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

2) DIPA Belanja Daerah

DIPA Belanja Daerah adalah DIPA yang memuat rencana kerja dan anggaran Bagian Anggaran Bagian Anggaran Dana Perimbangan (BA 070) dan Bagian Anggaran Bagian Anggaran Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (BA 071), pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

Konsep DIPA Dana Perimbangan disusun dan ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan

3) DIPA Pembiayaan

DIPA Pembiayaan adalah DIPA yang memuat rencana kerja dan anggaran BAPP sebagai berikut :

i. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negari (BA 096)ii. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Dalam Negeri (BA 097)iii. Penerusan Pinjaman sebagai Pinjaman (BA 098)iv. Penyertaan Modal Negara (BA 099)v. Penerusan Hibah sebagai Hibah (BA 102)

4) DIPA Khusus

DIPA Khusus adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan anggaran yang berasal dari BAPP dimana karena sifat dan keperluannya sehingga Konsep DIPA dan Surat Pengesahan DIPA disatukan dalam satu lembar DIPA yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan.Sifat dan keperluan penerbitan DIPA Khusus ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan kriteria penanganan kejadian luar biasa yang mempunyai tingkat urgensi sangat tinggi dan bersifat mendesak, seperti :

a) penanganan yang bersifat darurat,

b) kegiatan yang bersifat politis dalam rangka menjaga kredibilitas Pemerintah3.3. Penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Penyusunan DIPA adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh kantor/ satuan kerja kementerian negara/lembaga dalam mempersiapkan konsep DIPA yang akan dimintakan pengesahannya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA kantor pusat atau Kepala Kanwil DJPB untuk DIPA daerah.

DIPA yang disusun oleh kementerian negara/lembaga harus berpedoman pada peraturan presiden tentang rincian APBN yang merupakan alokasi dana pada masing-masing satuan kerja dalam mencapai sasaran kegiatan yang telah ditetapkan. Khusus untuk Departemen Agama, Keuangan, Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Badan Pertanahan Nasional, DIPAnya disusun untuk masing-masing propinsi/kantor wilayah atau yang setara. Kementerian negara/lembaga dalam menyusun konsep DIPA harus mengacu kepada APBN yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan sesuai dengan peraturan presiden tentang rincian APBN, maka struktur penganggaran dalam DIPA harus terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja dan lokasi.

Unit organisasi yang digunakan dalam anggaran belanja negara adalah klasifikasi anggaran yang dialokasikan untuk masing-masing kementerian negara/ lembaga atau bagian anggaran yang dibagi menurut organisasi tingkat eselon/ satuan kerja, sehingga kementerian negara/lembaga selaku pengguna anggaran dan satuan kerja selaku kuasa pengguna anggaran bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kegiatan pendukung program sesuai dengan bagian anggarannya masing-masing.

Satuan kerja adalah bagian dari suatu unit organisasi pada kementerian negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program. Kepala satuan kerja baik organisasi tingkat eselon I maupun tingkat eselon II, eselon III atau eselon IV yang berdiri sendiri sebagai kuasa pengguna anggaran yang dibantu dengan pejabat pengelola keuangan. Satuan kerja yang pimpinannya ditetapkan sebagai kuasa pengguna anggaran dapat dikelompokkan menjadi satuan kerja pusat, satuan kerja/unit pelaksana teknis, satuan kerja khusus, satuan kerja perangkat daerah, satuan kerja non vertikal tertentu, dan atau satuan kerja sementara (bukan UPT).

Fungsi yang digunakan dalam anggaran belanja negara adalah klasifikasi anggaran berdasarkan fungsi pemerintahan untuk masing-masing kementerian negara/lembaga. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan kementerian negara/lembaga yang dirinci ke dalam 11 fungsi utama, yaitu pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Kesebelas fungsi utama tersebut dirinci ke dalam 79 sub fungsi. Penggunaan fungsi dan sub fungsi dalam DIPA disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian negara/lembaga.

Program adalah penjabaran kebijaksanaan kementerian negara/lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga. Sedangkan kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian saasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau semua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) dalam bentuk barang/jasa. Sub kegiatan adalah bagian dari kegiatan yang menunjang usaha pencapaian sasaran dan tujuan kegiatan tersebut. Adanya sub kegiatan adalah sebagai konsekuensi adanya perbedaan jenis dan satuan keluaran antar sub kegiatan dalam kegiatan tersebut. Dengan demikian, sub kegiatan yang satu dipisahkan dengan sub kegiatan lainnya berdasarkan perbedaan keluaran. Sebagai contoh, kegiatan pendidikan dan pelatihan aparatur negara dengan sub kegiatan penyelenggaraan diklat penjenjangan dengan keluaran antara lain jumlah peserta didik, sub kegiatan penyelenggaraan diklat fungsional dengan keluaran antara lain junmlah lulusan, sub kegiatan pengembangan kurikulum diklat dengan keluaran antara lain jumlah modul.

Pengertian hasil (outcome) adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Pengertian keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilak oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijaksanaan. Mengenai indikator hasil adalah segala sesuatu yang akan dicapai dari suatu program pada jangka menengah sesuai dengan tujuan dan sasaran program. Sedangkan indikator keluaran adalah sesuatu yang akan dicapai secara langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan, yang terdiri dari : biaya harga yaitu jumlah biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu tingkat keluaran tertentu; kuantitas yaitu jumlah unit barang atau jasa yang akan dihasilkan; kualitas yaitu mutu barang dan atau jasa yang dihasilkan berdasarkan kepuasan penerima manfaat dan ketepatan waktu.

Contoh keterkaitan rumusan program, kegiatan, indikator hasil dan keluaran pada kementerian tenaga kerja dan transmigrasi untuk program transmigrasi, dengan hasil tercapainya mobilitas penduduk sebesar 5 % sampai tahun 2009, melalui kegiatan pemindahan penduduk dan pengembangan masyarakat transmigrasi, maka indikator keluarannya sebagai berikut :

Sub KegiatanIndikator KeluaranSatuanSasaran

Penyusunan rencana teknisJumlah rencan teknisPaket350

Pengembangan sistemTambahan jumlah sistemPaket7

InformasiInformasi--

Survey kependudukanJumlah hasil surveyPaket520

Pengembangan usaha taniTambahan jumlah UKMUKM389

Pembangunan rumah trans.Jumlah rumahbuah10.000

Kegiatan pada prinsipnya disusun dengan mengacu kepada rencana pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, rencana strategis kementerian negara/lembaga dan program prioritas pendukung kementerian negara/ lembaga. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan rumusan kegiatan, antara lain :

(1) Penentuan suatu kegiatan didasarkan atas program dalam satu lingkungan unit eselon I. Instansi pusat pada dasarnya melakukan kegiatan yang bersifat pembinaan, koordinasi, integrasi, sinkronisasi pada setiap tahapan manajemen atau melakukan kegiatan rintisan dalam rangka pengembangan sistem tertentu dengan lingkup nasional. Untuk kegiatan-kegiatan non fisik yang karena sifat dan permasalahannya memerlukan keterpaduan sistem pada tingkat nasional dapat dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai kegiatan pusat.

(2) Untuk kegiatan-kegiatan fisik seperti pembangunan, perluasan, perawatan atau pemeliharaan sarana fisik/gedung dan atau pengadaan barang/jasa yang kegiatannya secara nyata berada di daerah propinsi/kabupaten/kota agar dialokasikan ke daerah yang bersangkutan dengan cara mengintegrasikan kegiatan dimaksud kedalam kegiatan di daerah yang sejenis pada program yang sama menjadi kegiatan atau unsur kegiatan. Apabila tidak ada kegiatan yang sejenis yang menampungnya dapat diciptakan kegiatan baru yang berdiri sendiri. Sebagai konsekuensi pengalokasian dana ke daerah propinsi/kabupaten/kota, maka pengadaan barang/jasa tersebut tidak diperkenankan dilaksanakan oleh unit eselon I di pusat.

(3) Kegiatan operasional yang merupakan kegiatan lanjutan, pada waktu menyusun anggaran yang direncanakan perlu dicantumkan prakiraan maju untuk tahun berikutnya. Kegiatan lanjutan adalah kegiatan terusan dari kegiatan tahun sebelumnya yang jangka waktu penyelesaiannya lebih dari satu tahun anggaran, termasuk kegiatan - kegiatan yang merupakan bagian dari suatu rencana induk (master plan) dan kegiatan - kegiatan yang penyelesaiannya memerlukan waktu lebih dari satu tahun (multi years).

Pencantuman pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) dalam DIPA harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam loan agreement berkenaan, karena kesalahan dalam pencantuman dana PHLN dapat berakibat terjadinya kesalahan pembayaran. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pencantuman PHLN dalam DIPA, yaitu :

(1) Status loan. Dana PHLN harus memilki status loan yang jelas, dalam arti naskah perjanjian pinjaman/hibah luar negeri (NPHLN) berkenaan sudah ditandatangani dan dinyatakan efektif serta telah diberi kode registrasi PHLN..

(2) Jenis cara pembayaran. Pencantuman cara penarikan pinjaman luar negeri (PLN) seperti Rekening Khusus (RK), Pembayaran Langsung (PL), Pembukaan Letter of Credit (L/C) dan Penarikan Langsung Hibah berpedoman pada SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor :185/ KMK.03/1995 - Kep.031/KET/5/1995 yang telah diubah dengan SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 459/KMK.03/1999 - Kep.264/KET/09/1999 serta ketentuan lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.(3) Alokasi dana. Hal - hal yang perlu diperhatikan untuk mengalokasikan dana PHLN dalam DIPA, yaitu :

a. Jenis kegiatan/pekerjaan yang akan dibiayai harus terdapat dalam uraian kategori dalam PHLN;

b. Dana PHLN untuk setiap kategori pengeluaran masih cukup tersedia. Hal ini penting untuk menghindarkan terjadinya overdrawn atau kelebihan penarikan suatu kategori;c. Porsi dana PHLN sesuai kategori yang telah ditetapkan dalam NPPHLN;

d. Khusus PHLN yang penarikannya melalui tatacara L/C, perlu diperhatikan nilai kontrak pekerjaan secara keseluruhan. Hal ini berkaitan dengan pembukaan rekening L/C di Bank Indonesia oleh KPPN Jakarta VI dan KPPN Khusus Banda Aceh.

e. Dalam hal NPPHLN mensyaratkan adanya dana pendamping (porsi dan non porsi), maka kementerian/lembaga wajib menyediakan dana pendamping dalam RKA-KL

(4) Standar biaya. Pembiayaan kegiatan/subkegiatan yang bersumber dari PHLN mengacu kepada Standar Biaya Umum (SBU), Standar Biaya Khusus (SBK) dan Billing rate. Dalam hal belum tersedia standar biaya, maka dapat digunakan Rincian anggaran Biaya.

(5) Kartu Pengawasan Alokasi Pagu PHLN

Kartu pengawasan tersebut memuat antara lain :

a. nama, tanggal, nomor NPPHLN;b. nama pemberi pinjaman;

c. executing agency/implementing agency;

d. nomor register PHLN;

e. tanggal efektif PHLN;

f. closing date;

g. besaran pinjaman yang tercantum dalam NPPHLN;

h. kategori dan porsi PHLN;

i. tata cara dan rencana penarikan yang dituangkan dalam RKA-KL;

j. sisa yang belum dialokasikan.

(6) Memahami NPPHLN. Untuk menghindarkan terjadinya kegiatan-kegiatan yang ineligible, maka isi dari loan agreement (NPPHLN) dan staff appraisal report (SAP) harus dipahami, terutama mengenai : porsi beban loan untuk masing-masing kegiatan/kategori, kegiatan-kegiatan yang dapat dibiayai loan, closing date, lokasi sasaran/cakupan kegiatan, ketentuan loan lainnya jika ada (cara pembayarannya, dan sebagainya).

Dalam menyusun DIPA, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran bertanggungjawab sepenuhnya terhadap kegiatan dan perhitungan biayanya yang dalam penyusunannya berpedoman pada peraturan Harga satuan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.02/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 80/PMK.05/2007 tentang : Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 2008, sebagai berikut:

(1) Belanja pegawai.

Belanja Pegawai adalah kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai pemerintah (pejabat negara, PNS dan Pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS) yang bertugas di dalam maupun luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.

Belanja Pegawai terdiri dari :

a. Belanja Pegawai Mengikat adalah belanja pegawai yang dibutuhkan secar terus menerus dalam satu tahun dan harus dialokasikan oleh kementerian negara/lembaga dengan jumlah yang cukup pada tahun yang bersangkutan

1) Gaji

Perhitungan gaji dan tunjangan didasarkan atas realisasi pembayaran gaji bulan April 2007 pada masing-masing kantor/satuan kerja. Dihitung selama 13 bulan dengan perhitungan : realisasi bulan April 2007 X 13 bulan, kemudian ditambah accres 2,5 % untuk menampung kenaikan pangkat, gaji berkala dan tambahan tunjangan keluarga.

Untuk Pengisian selisih formasi dan bezzeting (F-B) setiap pegawai dianggap mempunyai satu isteri, satu anak, masa kerja nol tahun dihitung selama enam bulan dengan indeks gaji sebagai berikut :

Golongan I sebesar Rp. 741.000,- per bulan;

Golongan II sebesar Rp. 813.000,- per bulan;

Golongan III / IV sebesar Rp. 1.166.000,- per bulan.

Perhitungan tersebut di atas kemudian ditambah dengan perhitungan tunjangan umum dan tambahannya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Tunjangan beras

Jumlah pegawai X 3 jiwa X 10 kg X harga beras yang berlaku X 6 bulan.

Jumlah dana (F-B) tersebut ditempatkan pada masing-masing unit organisasi kementerian negara/lembaga jika telah ada formasi per unit organisasi atau pada Sekretariat Jenderal dalam hal belum ada formasi per unit organisasi.

Perhitungan untuk Gaji dan Tunjangan dibuat berdasarkan masing-masing mata anggaran yang dibulatkan dalam ribuan rupiah.

2) Gaji Dokter PTT dan Bidan PTT

Untuk Kementerian Kesehatan agar diperhitungkan gaji dokter dan bidan PTT dengan berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal Anggaran tanggal 5 Januari 2001 No. SE-07/A/2001 perihal Pelaksanaan Pembayaran Penghasilan Dokter dan Bidan PTT Selama Masa Bakti dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan N0. 1537/Menkes-Kessos/SKB/X/2000 dan No. 410/KMK.03/ 2000 tanggal 11 Oktober 2000 tentang Pelaksanaan Penggajian Dokter dan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti.

3) Honorarium

Honorarium mengajar guru tidak tetap;

Honorarium kelebihan jam mengajar guru tetap dan guru tidak tetap;

Honorarium ujian dinas;

Honorarium mengajar disediakan antara lain untuk tenaga pengajar luar biasa di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional atau di luar Depdiknas yang tarifnya telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan;

4) Uang lembur.

Penyediaan dana untuk uang lembur tahun anggaran 2008 berdasarkan tarif yang ditetapkan Menteri Keuangan, dengan perhitungan maksimal 100 % dari dana uang lembur tahun anggaran 2007.

5) Vakasi

Vakasi adalah penyediaan dana untuk imbalan bagi penguji atau pemeriksa kertas/jawaban ujian.6) Lain - lain.

Yang termasuk dalam belanja pegawai lain - lain adalah :

a. Belanja pegawai untuk dharma siswa/mahasiswa asing;

b. Belanja pegawai untuk tunjangan ikatan dinas (TID);c. Tunjangan selisih penghasilan (BPPT);d. Honorarium yang bersumber dari PNBP;e. Tunjangan lainnya yang besarannya telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan.

7) Uang Lauk Pauk TNI/Polri

Uang Lauk Pauk bagi anggota TNI/Polri dihitung perhari per anggota.8) Uang Makan PNS

Pengeluaran untuk uang makan PNS per hari kerja per PNS dan dihitung maksimal 22 hari setiap bulan; Bagi PNS yang sebelumnya sudah menerima uang makan yang tidak berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, dengan adanya uang makan ini maka pemberian uang makan tersebut dihentikan.

9) Khusus belanja pegawai TNI/Polri. Besarnya uang lauk pauk bagi anggota TNI/Polri dihitung sesuai dengan ketentuan yang berlaku.10) Perhitungan untuk gaji dan tunjangan dibuat berdasarkan masing - masing mata anggaran dan dibulatkan dalam ribuan rupiah.b. Belanja Pegawai Tidak Mengikat.

Belanja Pegawai Tidak Mengikat adalah belanja pegawai yang diberikan dalam rangka mendukung pembentukan modal dan atau kegiatan yang bersifat temporer.

Anggaran untuk belanja pegawai tidak mengikat dapat disediakan untuk kegiatan sepanjang :

Pelaksanaannya memerlukan pembentukan panitia/tim/kelompok kerja;

Mempunyai keluaran (output) jelas dan terukur;

Sifatnya koordinatif dengan mengikutsertakan satker/organisasi lain;

Sifatnya temporer sehingga pelaksanaannya perlu diprioritaskan atau di luar jam kerja;

Merupakan perangkapan fungsi atau tugas tertentu kepada PNS disamping tugas pokoknya sehari-hari;

Bukan operasional yang dapat diselesaikan secara internal satker.

Contoh Belanja Pegawai Tidak Mengikat :

Honorarium yang disediakan untuk PNS yang ditunjuk sebagai pengelola keuangan dalam rangka pelaksanaan fungsi kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang. Honorarium ini diberikan karena perangkapan jabatan/penugasan dan tanggungjawab. Honorarium yang disediakan untuk anggota Tim Penyusunan Draft Peraturan Perundang-undanganyang mengikutsertakan satker/instansi lain yang terkait. Honorarium ini diberikan dalam rangka mencapai keluaran berupa peraturan; Honorarium yang disediakan untuk anggota Tim Penyusunan Standar Biaya Khusus Kementerian/Lembaga yang anggotanya terdiri dari unsur kementerian/lembaga, Departemen Keuangan, dan Badan Pusat Statistik. Honorarium ini disediakan dalam rangka mencapai keluaran berupa standar biaya kegiatan tertentu.

(2) Belanja Barang.

Belanja barang yaitu pengeluaran atas pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan.

Pengalokasian anggaran untuk belanja barang mengacu pada standar biaya yang telah ditetapkan. Sedangkan pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang belum ditetapkan standar biayanya dilakukan atas dasar Rincian Anggaran Belanja (RAB) yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan harga pasar yang berlaku dan ddapat dipertanggunjawabkan sesuai jenis serta spesifikasi yang diperlukan.

Belanja Barang dapat dibedakan menjadi Belanja Barang dan Jasa, Belanja Pemeliharaan, dan Belanja Perjalanan Dinas.

Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain dilakukan untuk membiayai keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang yang habis pakai seperti alat tulis kantor, pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan daya dan jasa, lain-lain pengeluaran untuk membiayai pekerjaan yang bersifat non fisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, pengadaan inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi syarat nilai kapitalisasi (nilai satuan barang kurang dari Rp 300.000,-)

Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk mempertahankan aset tetap atau aset tetap lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi normal . Belanja Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan gedung dan bangunan kantor, taman, jalan lingkungan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas dan lain-lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan.

Belanja Pejalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan jabatan.

Belanja Barang terdiri dari :

a. Belanja Barang Mengikat.

Belanja Barang Mengikat adalah belanja barang yang dibutuhkan secara terus menerus selama 1 (satu) tahun dan dialokasikan oleh kementerian/lembaga dengan jumlah yang cukup pada tahun yang bersangkutan.

Belanja Barang Mengikat, terdiri atas :

1). Belanja barang.

Pengeluaran-pengeluaran yang temasuk dalam hal ini adalah belanja operasional, antara lain :

keperluan sehari-hari perkantoran,

pengadaan/penggantian inventaris kantor yang nilainya dibawah kapitalisasi,

pengadaan bahan makanan,

uang makan khusus Departemen Pertahanan (TNI) dan Polri, yang indeks satuan harga didasarkan atas indeks yang ditetapkan oleh Departemen Pertahanan dan Polri meliputi : uang makan non organik, uang makan operasi dan uang makan pendidikan.

belanja barang lainnya yang secara langsung menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementerian/lembaga.

2). Belanja jasa.

Pengeluaran-pengeluaran yang temasuk dalam hal ini adalah belanja untuk langganan daya dan jasa (listrik, telepon, gas dan air).

3). Belanja Pemeliharaan.

Pengeluaran-pengeluaran untuk pemeliharaan gedung kantor, rumah dinas/jabatan, kendaraan bermotor dan lain-lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan termasuk perbaikan peralatan dan sarana gedung (sesuai standar biaya umum).

4). Belanja Perjalanan.

Pengeluaran - pengeluaran untuk perjalanan dinas tetap.

Perjalanan dinas tetap adalah perjalanan yang dilakukan oleh PNS secara terus menerus dalam rangka melaksanakan tugas tertentu. Kepada PNS tersebut diberikan biaya perjalanan dinas tetap dengan tarif tertentu yang dibayarkan secara bulanan.

b. Belanja Barang Tidak Mengikat.

Belanja Barang Tidak Mengikat adalah belanja barang yang dibutuhkan secara insidentil (tidak terus menerus) yang meliputi barang non operasional, belanja jasa (jasa konsultan, sewa, jasa profesi dan jasa lainnya), belanja pemeliharaan serta belanja perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan suatu kegiatan/tugas pokok fungsi satuan kerja.

(3) Belanja Modal.

Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset kementerian negara/lembaga dengan kewajiban untuk menyediakan biaya pemeliharaan. Dengan demikian, Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu perode akuntansi.Aset tetap mempunyai ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut : berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, nilainya relatif material (di atas Rp 300.000,- per unit). Sedangkan batasan minimal kapitalisasi untuk Gedung dan Bangunan dan Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah sebesar Rp 10.000.000,-. Ciri-ciri/karakteristik Aset Lainnya adalah tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari dari 1 (satu) tahun, nilainya tidak material.Berdasarkan hal di atas, dikategorikan Belanja Modal apabila memenuhi kreteria :

Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya;

Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap;

Aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah;

Perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.

Belanja modal terdiri dari :

1) belanja modal tanah,

Pengeluaran untuk pengadaan/pembelian/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat adminstratif sehubungan dengan pembentukan modal, perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah.

2) belanja modal peralatan dan mesin.

Pengeluaran untuk pengadaan alat-alat dan mesin-mesin yang dipergunakan dalam kegiatan pembentukan modal/aset tetap, termasuk biaya untuk penambahan, penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin berat yang dimaksudkan untuk memperpanjang masa manfaat maupun meningkatkan efisiensinya.

3) belanja modal gedung dan bangunan, Pengeluaran untuk perencanaan, pembangunan, pengawasan dan pengelolaan pembentukan modal untuk pembangunan gedung dan banguan negara yang perhitungannya mengikuti Standar Pembangunan Gedung Negara, termasuk di dalamnya pengadaan berbagai kebutuhan pembangunan gedung dan bangunan.

Termasuk kelompok belanja modal ini adalah :

i. pengadaan/pembangunan berbagai gedung dan bangunan yang berfungsi untuk perkantoran, hunian dan pelayanan;ii. belanja untuk kelengkapan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar (sepanjang beranda di dalam komplek) gedung dan bangunan tersebut. Misalnya instalasi listrik, air, telepon, jalan komplek, pagar, gorong-gorong lingkungan, pertamanan, lapangan parkir dll;iii. biaya-biaya untuk kegiatan rehabilitasi, renovasi dan restorasi gedung dan bangunan yang diharapkan dapat memperpanjang masa manfaat dari aktiva maupun meningkatkan efisiensinya.

4) belanja modal jalan, irigasi dan jaringan,

pengeluaran yang diperlukan untuk pembangunan, peningkatan/ penambahan, penggantian, pembuatan serta perawatan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai jaringan atau merupakan bagian dari jaringan, misalnya jalan, jembatan dam, embung, jaringan pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan instalasi/distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi/instalasi, akan tetapi tidak termasuk instalasi yang terdapat di dalam gedung dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Belanja Modal Gedung dan Bangunan. Dalam kreteria ini termasuk biaya yang berhubungan dengan perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan pembangunan prasarana dan sarana tersebut di atas.

5) belanja modal fisik lainnya.

Pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal untuk pengadaan pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan (jalan, irigasi dll). Termasuk dalam belanja ini : kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, ternak peliharaan, buku-buku dan jurnal ilmiah.Perhitungan dan penilaian belanja modal dilakukan berdasarkan standar biaya sepanjang telah ditetapkan. Sedangkan penilaian atas pekerjaan yang belum ditetapkan dalam standar biaya dilakukan atas dasar Rincian Anggaran Biaya (RAB) yang disusun oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan harga pasar yang berlaku dan jenis serta spesifikasi yang diperlukan.

(4) Bunga

Bunga yaitu pembayaran yang dilakukan atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal outstnading), baik utang dalam negeri maupun luar negeri yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman. Jenis belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP).

(5) Subsidi

Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada perusahaan negara dan perusahaan swasta. Jenis belanja ini khusus digunakan dalam kegiatan dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP).

(6) Bantuan Sosial.

Bantuan sosial yaitu transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan.

Yang termasuk kedalam bantuan sosial adalah :

bantuan konpensasi sosial,

Transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa yang diberikan kepada masyarakat, sebagai dampak dari adanya kenaikan harga BBM.

Bantuan kepada lembaga pendidikan dan peribadatan.

Transfer dalam bentuk uang, barang atau jasa yang diberikan kepada lembaga pendidikan dan peribadatan.

Khusus untuk satker perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri di atur sebagai berikut :

a. belanja pegawai i. Gaji home staff maupun local staff pada perwakilan RI termasuk atase teknis supaya didasarkan pada payroll (daftar tunjangan penghidupan luar negeri) bulan Maret 2007.

ii. Untuk menghitung selisih F-B (formasi - Bezzeting) home staff, supaya didasarkan pada angka rata - rata Tunjangan Pokok Luar Negeri (TPLN). Khusus apabila terjadi kekosongan Kepala Perwakilan maka perhitungan F-B nya menggunakan Angka Dasar Tunjangan Luar Negeri (ADTLN) X Angka Pokok Tunjangan Luar Negeri (APTLN) dengan asumsi 1 istri 2 anak.iii. Untuk menghitung selisih F-B local staff, supaya didasarkan pada payroll terendah tahun anggaran 2007;

iv. Untuk menghitung kurs digunakan kurs yang ditetapkan APBN;

v. Alokasi Tunjangan lain-lain home staff dihitung maksimum 40 % dari alokasi gaji luar negeri/TPLN home staff dengan perhitungan Tunjangan Sewa Rumah 25% dan Tunjangan Restitusi Pengobatan 15%.vi. Alokasi Tunjangan lain-lain local staff dihitung maksimum 30 % dari alokasi gaji luar negeri local staff, dengan perhitungan lembur 28% dan Tunjangan asuransi kecelakaan 2%;

vii. Alokasi anggaran social security local staff dihitung rata-rata maksimum 7% dari alokasi gaji luar negeri local staff. Apabila ada peraturan lain ketenagakerjaan negara setempat dimana perwakilan RI di luar negeri (termasuk atase teknis dan atase pertahanan) berada, maka pengalokasian mengikuti ketentuan ketenagakerjaan pada negara setempat.b. Belanja barangi. Alokasi anggaran untuk sewa gedung didasarkan atas kontrak sewa gedung yang berlaku;ii. Alokasi anggaran biaya representasi untuk duta besar dihitung maksimum 20% dari tunjangan pokok x 12 bulan. Sedangkan untuk home staff lainnya dihitung maksimum 10% dari gaji pokok x 12 bulan;

iii. Perjalanan dinas pada Perwakilan RI di LN termasuk Atase Teknis dan Atase Pertahanan maksimum terdiri dari :

Perjalanan dinas wilayah

Perjalanan dinas multilateral

Perjalanan dinas akreditasi

Perjalanan dinas kurir

Anggaran perjalanan dinas pada Perwakilan RI di LN disediakan hanya untuk jenis perjalanan dinas yang ada pada Perwakilan RI bersangkutan, dan dihitung menurut jumlah pejabat yang melakukan perjalanan dinas, serta frekuensi perjalanan yang dilakukan. Besarnya tarif uang harian perjalanan dinas luar negeri diatur oleh Menteri Keuangan.3.4. Penelaahan Konsep Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

Pada pasal 7 ayat (2) huruf b Undang - undang nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan disebutkan bahwa Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara berwenang mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran. Kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dengan menerbitkan surat pengesahan DIPA (SP DIPA). Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan mempercepat proses penerbitan SP DIPA di daerah, maka kewenangan Direktur Jenderal Perbendaharaan tersebut didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah DJPb. Pada awal bulan Nopember, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan menetapkan surat rincian alokasi anggaran (SRAA) atas dasar peraturan presiden tentang rincian APBN yang secara nyata kegiatannya berlokasi di daerah. SRAA tersebut memuat kutipan peraturan presiden tentang rincian APBN sesuai dengan satuan kerja di daerah. Sebelum mengesahkan konsep DIPA yang diterima dari kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga, DJPb maupun Kanwil DJPb melakukan kegiatan penelaahan terhadap konsep DIPA tersebut.

Pengertian penelaahan adalah proses pencocokan SRAA, peraturan presiden tentang rincian APBN (menurut organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, serta lokasi kegiatan/sub kegiatan) dari Direktur Jenderal Anggaran dengan konsep DIPA dari instansi kementerian negara/ lembaga/satuan kerja terkait. Proses penelaahan DIPA sampai dengan penetapan SP DIPA harus telah diselesaikan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan.

Tujuan penelaahan adalah untuk memperoleh kesesuaian DIPA yang akan ditetapkan dengan dokumen resmi yang menjadi dasar penyusunannya. Apabila penelaahan konsep DIPA tersebut telah sesuai dengan SRAA dan rincian peraturan presiden selanjutnya ditetapkan SP DIPA yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA pusat dan Kepala Kanwil DJPb untuk DIPA yang telah ditelaah di daerah. Pengesahan ini berlaku sebagai dasar pencairan dana oleh KPPN, sedangkan tanggungjawab terhadap perhitungan biaya dan penggunaan dana yang tertuang dalam DIPA sepenuhnya menjadi tanggungjawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.

Penelaahan konsep DIPA di kantor pusat pusat DJPb diatur sebagai berikut :

(1) Khusus untuk DIPA satuan kerja kantor pusat kementerian negara/lembaga membuat konsep DIPA dan disampaikan ke DJPb c.q. Direktorat Pelaksanaan Anggaran. Pagu yang ditetapkan dalam peraturan presiden tentang rincian APBN bagi masing-masing unit organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja merupakan batas tertinggi yang tidak boleh dilampaui.(2) Apabila dalam DIPA telah sesuai dengan rincian peraturan presiden, maka DJPb dapat melakukan pengesahan DIPA berkenaan.

Penetapan SRAA diatur sebagai berikut :

(1) DJPb c.q. Direktorat Pelaksanaan Anggaran menerima peraturan presiden tentang rincian APBN dari Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran pada akhir bulan Nopember dan setelah itu menerbitkan SRAA.(2) SRAA ditetapkan berdasarkan lokasi kegiatan yang secara nyata ada di daerah.(3) Segera setelah SRAA ditetapkan, kantor pusat DJPb mengirimkan SRAA dan atau peraturan presiden tentang rincian APBN tersebut ke Kantor Wilayah DJPb.

Penelaahan konsep DIPA oleh Kanwil DJPb di daerah dilaksanakan sebagai berikut :

1) Setelah SRAA dan atau peraturan presiden tentang rincian APBN diterima dari Kantor Pusat DJPb, Kanwil DJPb melakukan koordinasi dan menyampaikan kopi SRAA kepada satuan kerja dalam wilayah masing - masing.2) Pagu yang telah ditetapkan dalam SRAA untuk masing - masing satuan kerja per kegiatan dan per jenis belanja merupakan batas tertinggi yang tidak boleh dilampaui.3) Apabila dalam penelaahan DIPA di daerah terdapat ketidaksesuaian atau permasalahan lainnya, maka Kanwil DJPb dapat melakukan pemblokiran dana kegiatan pada DIPA dalam hal :a) Terdapat ketidaksesuaian kegiatan dan alokasi pagu jenis belanja yang tercantum pada konsep DIPA yang diajukan oleh satuan kerja terkait dengan yang tercantum pada SRAA dan atau peraturan presiden tentang rincian APBN satuan kerja yang bersangkutan.b) Keperluan biaya operasional satuan kerja baru yang belum mendapat persetujuan Menteri Negara PAN, kecuali satuan kerja sementara.c) Naskah perjanjian pinjaman/hibah luar negeri (NPHLN) belum efektif dan atau kegiatan PHLN yang belum tersedia dana pendampingnya.

4) Catatan atas hasil penelaahan DIPA diatur sebagai berikut :

a) Dalam hal sebagian atau seluruh kegiatan DIPA dibiayai dana yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dalam halaman IV Catatan DIPA agar dicantumkan catatan khusus : Pencairan dana untuk membiayai kegiatan PNBP dapat dibayarkan setelah terlebih dahulu dilakukan penyetoran PNBP ke rekening kas negara yang dibuktikan dengan surat bukti setor, KPPN mencairkan dana PNBP didasarkan atas ketentuan perundang - undangan yang berlaku.b) Dalam penelaahan belanja pegawai dalam DIPA agar tetap memperhatikan dasar perhitungan gaji atas dasar gaji bulan April 2007 (untuk DIPA tahun 2008). Penilaian belanja pegawai ini agar dicantumkan secara khusus pada lembar catatan penelaahan DIPA dan selanjutnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagai bahan analisa mengenai ketersediaan belanja pegawai tahun anggaran 2008.c) Apabila dalam penelaahan DIPA dijumpai alokasi pagu kegiatan pada jenis belanja tertentu yang tidak sesuai dengan klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, DIPA tetap diproses dengan dengan catatan diadakan pemblokiran atau tanda bintang(*) sampai adanya penetapan lebih lanjut dari Direktur Jenderal Perbendaharaan. Kepala Kanwil DJPb agar melaporkan temuan penelaahan tersebut kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk diproses lebih lanjut. Sebagai contoh : adanya pembangunan gedung kantor, pengadaan alat berat yang seharusnya dicantumkan pada belanja modal, tetapi pada SRAA maupun pada peraturan presiden tentang rincian APBN dicantumkan pada belanja barang.

5) Keterlambatan penyampaian konsep DIPA. Dalam hal kementerian negara/lembaga/satuan kerja terlambat menyampaikan konsep DIPA, maka diterbitkan DIPA Sementara dengan tata cara sebagai berikut :a) Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan menyusun Konsep DIPA Sementara dan mengesahkan DIPA Sementara berdasarkan Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat;b) Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan menyusun Konsep DIPA Sementara dan mengesahkan DIPA Sementara berdasarkan SRAA;

c) DIPA Sementara tidak perlu ditandatangani Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;

d) Dana yang dapat dicairkan dibatasi untuk pembayaran gaji pegawai, pengeluaran keperluan sehari-hari perkantoran, daya dan jasa, dan lauk pauk/bahan makanan. Sedangkan dana untuk jenis pengeluaran lainnya harus diblokir;

e) Apabila konsep DIPA sudah diterima dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran setelah DIPA Sementara diterbitkan, maka dilakukan penelaahan dan pengesahan revisi pertama DIPA bersangkutan.

6) Petunjuk operasional kegiatan (POK). Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam DIPA, setelah DIPA disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kanwil DJPb, setiap satuan kerja dapat menerbitkan petunjuk operasional kegiatan (POK) sebagai pedoman pelaksanaan lebih lanjut dari DIPA. Revisi terhadap POK sepanjang tidak mengubah DIPA dilakukan oleh kepala satuan kerja.

3.5. Revisi Daftar Isian Pelaksanaan AnggaranDalam hal pelaksanaan DIPA satuan kerja/unit organisasi eselon I memerlukan revisi, maka pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dapat mengusulkan pengesahan revisi DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk DIPA pusat dan kepada Kepala Kanwil DJPb untuk DIPA daerah. Kewenangan revisi DIPA diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 46/PMK.02/2008 tanggal 31 Maret 2008 tentang Tata Cara Perubahan Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan Perubahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun 2008 sebagai berikut :(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat melakukan Revisi DIPA dan mengajukan pengesahan Revisi DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan/ Kepaia Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.(2) Revisi DIPA disahkan oteh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.(3) Revisi DIPA dilaksanakan :a. Berdasarkan dengan perubahan Satuan Anggaran Per Satuan Kerja (SAPSK); Merupakan Revisi DIPA yang dilaksanakan berdasarkan Revisi Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) yang ditetapkan dengan perubahan SAPSK yang meliputi:

1) Pergeseran anggaran belanja:

antarunit organisasi dalam satu bagian anggaran; antarkegiatan dalam satu program sepanjang pergeseran tersebut merupakan hasil optimalisasi; dan/atau antarjenis belanja dalam satu kegiatan2) Perubahan anggaran belanja yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP);3) Perubahan pagu pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) sebagai akibat dari luncuran dan percepatan penarikan PHLN;4) Perubahan anggaran sepanjang masih dalam satu provinsi/kabupaten/kota untuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka turgas pernbantuan, atau dalam satu provinsi untuk kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka dekonsentrasi;5) Perubahan anggaran antarprovinsi/kabupaten/kota untuk kegiatan operasional yang dilaksanakan oleh unit organisasi di tingkat pusat maupun oleh instansi vertikalnya di daerah;6) Pencairan blokir/tanda bintang (") yang dicantumkan oleh Direktur Jenderal Anggaran; dan7) Perubahan pagu pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) sebagai akibat perubahan kurs sepanjang perubahan tersebut terjadi setelah kontrak ditandatangani.b. Berdasarkan Revisi Rincian ABPP yang ditetapkan tanpa perubahan SAPSK. Merupakan Revisi DIPA yang dilaksanakan berdasarkan Revisi Rincian ABPP yang ditetapkan tanpa perubahan SAPSK yang meliputi: 1) Perubahan/ralat karena kesalahan administrasi,2) Perubahan kantor bayar (KPPN);3) Perubahan anggaran antarprovinsi/kabupaten/kota untuk kegiatan operasional yang dilaksanakan oleh unit organibasi di tingkat, pusat maupun oleh instansi vertikalnya di daerah sepanjang digunakan untuk kode akun (MAK) yang sama;.4) Perubahan alokasi dana antarsubkegiatah, termasuk menambah subkegiatan baru dalam satu kegiatan, satu program, satu jenis belanja dan satu satker sepanjang sasaran program dan/atau volume keluaran kegiatan/subkegiatan telah dicapai dan tidak mengurangi alokasi dana belanja mengikat;5) Perubahan volume keluaran pada subkegiatan sepanjang sasaran program dan volume keluaran kegiatan telah dicapai tanpa mengubah alokasi dana pada kegiatan, program, jenis belanja dan satker;6) Pencairan dana yang diblokir/bertanda bintang (-) sepanjang dicantumkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, apabila persyaratan telah dipenuhi;7) Penggunaan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP di atas pagu APBN untuk perguruan tinggi non Badan Hukum Milik Negara (PT non BHMN).

Revisi Rincian ABPP yang ditetapkan tanpa perubahan SAPSK dilaksanakan dengan tetap tidak mengakibatkan:

1) Pengurangan terhadap :

alokasi belanja rnengikat (kegiatan 0001 dan 0002) kecuali dalam rangka memenuhi kegiatan operasional;

Yang dimaksud dengan kegiatan operasional merupakan kegiatan yang didanai dari belanja pegawai mengikat dan belanja barang mengikat dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.

alokasi dana untuk pembayaran berbagai tunggakan;

Rupiah Murni Pendamping PHLN;

alokasi dana kegiatan. yang bersifat multiyears; dan

alokasi dana pada rincian Kelornpok Pengeluaran/Subkegiatan/ Kegiatan yang telah dikontrakkan,dan/atau direalisasikan dananya sehingga menjadi minus.

2) Penggunaan dana hasil optimalisasi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.05/2007 antara lain pengadaan kendaraan operasional, pembangunan gedung kantor, dan pembayaran honor-honor.

c. Revisi dapat dilaksanakan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja dengan ketentuan :

1) tidak mengakibatkan perubahan DIPA; 2) tidak mengurangi belanja gaji dan tunjangan ilainnya yang melekat pada gaji,

3) tidak rnengurangi/merelokasi belanja mengikat; dan

4) masih dalam kelompok pengeluaran yang sama.Revisi yang dilaksanakan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja dilakukan dengan mengubah Petunjuk Operasional Kegiatan dan dokumen RKAKL berkenaan, dan selanjutnya menyampaikan arsip data komputer (ADK) perubahan RKAKL dimaksud kepada Direktur Pelaksanaan Anggaran/Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat untuk dilakukan pemutakhiran data DIPA sedangkan tembusan disampaikan kepada KPPN bersangkutan.

(4) Pengesahan Revisi DIPA diatur sebagai berikut :

a. Revisi DIPA untuk DIPA satker Pusat yang berlokasi di DKI Jakarta, disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan;b. Revisi DIPA untuk 1) DIPA satker pusat yang berlokasi di daerah (diluar DKI Jakarta);

2) DIPA satker vertikal; 3) DIPA Dekonsentrasi; dan 4) DIPA Tugas Pembantuan

Baik untuk DIPA yang awalnya disahkan di pusat ataupun di daerah, disahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan.

c. Dalam pengesahan revisi tidak diperbolehkan mengurangi pagu dana Kelompok Pengeluaran/Subkegiatan/Kegiatan pada DIPA yang telah dikontrakkan dan/atau direalisasikan pencairan dananya.d. Batas waktu pengesahan Revisi DIPA paling lama S (lima) hari kerja setelah usulan pengesahan revisi serta data pendukung diterima secara lengkap.5) Penyampaian Revisi DIPA yang telah disahkan diatur sebagai berikut:

a. Revisi DIPA untuk DIPA satker Pusat yang berlokasi di DKI Jakarta, disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan disampaikan kepada satker yang bersangkutan dan KPPN terkait beserta ADK dan tembusan kepada:

1) Menteri/Ketua Lembaga;

2) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;

3) Gubernur Propinsi;

4) Direktur Jenderal Anggaran;

5) Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Ditjen Perbendaharaan; dan

6) Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan terkait beserta ADK.b. Revisi DIPA untuk satker pusat yang berlokasi di daerah (diluar DKI Jakarta), satker vertikal, tugas pembantuan dan dekonsentrasi disampaikan kepada satker yang bersangkutan dan KPPN terkait beserta ADK dan tembusan kepada :

1) Menteri/Ketua Lembaga;

2) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;3) Gubernur Propinsi; r4) Direktur Jenderal Anggaran;

5) Direktur Jenderal Perbendahaaraan:

a. Direktur Pelaksanaan Anggaran Ditjen Perbendaharan beserta ADK; danb. Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen Perbendaharaan

Revisi DIPA yang disahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran setiap bulan beserta seluruh ADK baik yang dilaporkan revisinya maupun yang tidak direvisi. Dalam rangka memperoleh data yang akurat, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan Satuan Kerja melakukan pemutakhiran data anggaran berdasarkan revisi DIPA yang telah disahkan.6) Revisi Rincian ABPP yang memerlukan persetujuan DPR-Rl diajukan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran untuk selanjutnya dimintakan persetujuan DPR-Rl.7) Batas akhir pengajuan Revisi Rincian ABPP untuk APBN maupun APBN-P adalah tanggal 31 Cktober 2008, sedangkan untuk satker PT Non BHMN pengajuan dan penetapan Revisi Rincian ABPP adalah tanggal 31 Desember 2008.8) Ketentuan mengenai tata cara Revisi DIPA untuk satker BLU diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.3.6. Aplikasi DIPASetelah menyusun RKA-KL dan pagu sudah ditetapkan, maka tiap satker menyusun DIPA satker. Penyusunan DIPA ini sama menggunakan Aplikasi RKA-KL dengan masuk ke penyusunan DIPA. Petunjuk aplikasi RKA-KL/DIPA ini bisa dipelajari pada lampiran modul ini.

3.7. Latihan

1. Jelaskan pengertian daftar isian pelaksanaan anggaran sehubungan dengan pembagian kewenangan antara pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dengan bendahara umum negara, dan mengapa dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna itu masih harus disahkan oleh bendahara umum negara.2. Sebutkan informasi apa saja yang termuat dalam daftar isian pelaksanaan anggaran dan siapakah yang berhak menandatangani daftar dimaksud, jelaskan.3. Jelaskan dan berikan contoh bahwa dalam penyusunan daftar isian pelaksanaan anggaran pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga terdapat keterkaitan perumusan program, kegiatan, indikator hasil dan keluarnya.4. Jelaskan, hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam mencantumkan pinjaman/hibah luar negeri pada penyusunan DIPA, agar tidak terjadi kesalahan pembayaran.5. Jelaskan, mengapa dalam penyusunan DIPA untuk belanja pegawai dan belanja barang harus memperhatikan unsur-unsur yang terikat dan tidak terikat dengan tugas pokok dan fungsi kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga.6. Jelaskan pengertian dan tujuan penelaahan konsep DIPA oleh Ditjen Perbendaharaan maupun oleh Kantor Wilayah Ditjen PBN.

7. Jelaskan persyaratan pengesahan terhadap revisi DIPA yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara/lembaga itu dapat langsung diputuskan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan maupun oleh Kepala Kanwil Ditjen PBN.8. Jelaskan persyaratan pengesahan terhadap revisi DIPA yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara/lembaga itu sebelum dapat langsung diputuskan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan maupun oleh Kepala Kanwil Ditjen PBN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan prinsip dari Direktur Jenderal Anggaran. 3.8. Rangkuman

Dalam pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran mempunyai kewenangan dan bertanggunjawab atas penyusunan kegiatan dan perhitungan biaya yang tertuang dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Kewenangan dan tanggungjawab tersebut dilimpahkan kepada kepala satker pusat/unit pelaksana teknis/satker khusus/satker non vertikal tertentu/satker sementara, dan dikuasakan kepada gubernur untuk menunjuk satker perangkat daerah selaku kuasa pengguna anggaran.

Satker kementerian negara/lembaga tersebut menyusun dokumen pelaksanaan anggaran mengacu kepada rencana kerja dan anggaran (RKA-KL) dan peraturan presiden tentang rincian APBN. Hasil penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran tersebut disebut konsep DIPA yang memuat uraian sasaran yang akan dicapai, fungsi, program, dan rincian kegiatan, rencana penarikan dana setiap bulan dalam satu tahun serta pendapatan yang diperkirakan.

Konsep DIPA diajukan kepada Direktur Jendaral Perbendaharaan atau kepada Kepala Kanwil Ditjen PBN untuk memperoleh pengesahan. Sebelum melakukan pengesahan Konsep DIPA tersebut, Dirjen PBN dan Kanwil Ditjen PBn mengadakan penelaahan terhadap konsep DIPA, apakah telah sesuai dengan peraturan presiden tentang rincian APBN dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Apabila telah selesai kemudian Direktur Jendaral Perbendaharaan atau kepada Kepala Kanwil Ditjen PBN menerbitkan SP DIPA. SP DIPA dan konsep DIPA tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan disebut DIPA.

Apabila dalam pelaksanaan DIPA terdapat hal-hal yang mengharuskan adanya perubahan isi yang tercantum dalam DIPA, maka satker kementerian negara/lembaga dapat mengajukan revisi DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kanwil Ditjen PBN untuk memperoleh pengesahannya. Mengenai pengesahan revisi DIPA ini ada yang langsung diputuskan oleh Direktur Jendaral Perbendaharaan atau kepada Kepala Kanwil Ditjen PBN, namun ada yang harus terlebih dahulu mendapat persetujuan prinsip dari Direktur Jenderal Anggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4. KEGIATAN BELAJAR (KB) 3 : MEKANISME PENDAPATAN NEGARA4.1. Definisi Pendapatan Negara

Menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 di disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut berarti bahwa pemerintah pusat mempunyai berbagai hak, yang salah satu hak pemerintah pusat adalah menggali sumber-sumber penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai belanja/pengeluaran negara yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.Wujud pendapatan negara (government revenue) berupa uang (cash) sebagai penerimaan negara, yang menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Dikatakan masuk ke kas negara mengandung makna tercatat dalam akuntansi/pembukuan kas negara atau kas umum negara. Dengan demikian pendapatan negara adalah semua penerimaan kas negara/kas umum negara (uang pemerintah pusat) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah ekuitas dana dalam periode satu tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat.Menurut Suparmoko (1997) bahwa penerimaan pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang dan sebagainya. Dari berbagai sumber tersebut, pajak-pajak merupakan sumber utama sedangkan pinjaman merupakan pembiayaan alternatif yang baru diambil bilamana anggaran negara tidak sanggup ditutupi dari pajak dan sumber lainnya, sedangkan sumber dari percetakan uang biasanya baru dilakukan manakala negara sangat terdesak.Dalam sistem APBN, pendapatan/penerimaan negara mempunyai dua fungsi yaitu fungsi anggaran (budgetair) dalam arti bahwa pendapatan/ penerimaan negara sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya dan fungsi mengatur (reguler) dalam arti bahwa pendapatan/penerimaan negara sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, setiap pemungutan pendapatan/penerimaan negara oleh pemerintah pusat maupun daerah selayaknya tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dari masyarakat, maka setiap pungutan pendapatan/penerimaan negara harus memenuhi syarat sebagai berikut :

(1) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara berdasarkan keadilan yaitu sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pemungutan secara umum dan merata serta pelaksanaan pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak membeda-bedakan.

(2) Pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus berdasarkan undang-undang.

(3) pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak menggangu perekonomian.

(4) pemungutan pendapatan/penerimaan negara tidak boleh menggangu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

(5) pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus efisien yaitu sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus dapat ditekan lebih rendah dari hasil pemungutannya.

(6) Sistem pemungutan pendapatan/penerimaan negara harus sederhana yaitu akan memudahkan dan mendorong masyarakat (perorangan atau badan) dalam memenuhi kewajiban tersebut.

Menurut Undang - Undang nomor 18 tahun 2006 tentang APBN tahun 2007 di pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud pendapatan negara dan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.Menurut Keputusan Presiden nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden nomor 72 tahun 2004 di pasal 2 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendapatan negara yaitu semua penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri selama tahun anggaran yang bersangkutan. Pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening kas negara pada bank sentral dan atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.4.2. Jenis-Jenis Penerimaan Negara

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tanggal 19 Oktober 2006 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara terdiri dari Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Hibah, Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan, dan Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga.(1) Penerimaan Perpajakan.Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Yang dimaksud pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai dan pajak lainnya. Sedangkan pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.Pada prinsipnya, penerimaan uang negara yang berasal dari pungutan pajak-pajak negara wajib disetorkan oleh wajib pajak dan atau wajib pungut pajak ke rekening kas negara pada bank pemerintah atau lembaga lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Orang atau badan yang melakukan pemungutan pajak atau penerimaan uang negara wajib menyetorkan seluruh penerimaan dalam batas waktu satu hari kerja setelah penerimaannya ke rekening kas negara. Sehubungan dengan intensifikasi penerimaan pajak negara, maka setiap instansi pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah dan badan-badan lain yang melakukan pembayaran atas beban APBN/APBD/anggaran BUMN/BUMD, ditetapkan sebagai wajib pungut pajak sesuai ketentuan pe