Upload
den-bagus
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
������� � �����
1. KONSEP DASAR
1.1 Pendahuluan
Beton adalah suatu bahan yang mempunyai kekuatan tekan
yang tinggi, tetapi kekuatan tariknya relatif rendah. Sedangkan baja
adalah suatu material yang mempunyai kekuatan tarik yang sangat
tinggi. Dengan mengkombinasikan beton dan baja sebagai bahan
struktur, maka tegangan tekan dipikulkan kepada beton sementara
tegangan tarik dipikulkan kepada baja.
Pada struktur dengan bentang yang panjang, struktur beton
bertulang biasa tidak cukup untuk menahan tegangan lentur sehingga
terjadi retak-retak di daerah yang mempunyai tegangan lentur, geser,
atau puntir yang tinggi.
Gambar 1 Retak pada struktur beton bertulang
Untuk mengatasi keretakan serta berbagai keterbatasan yang
lain maka dilakukan penegangan (gaya konsentris) pada struktur beton
bertulang dalam arah longitudinal. Gaya konsentris bekerja dengan
cara mengurangi tegangan tarik di bagian tumpuan dan daerah kritis
pada kondisi beban kerja, yang meningkatkan kapasitas lentur, geser,
dan torsional penampang. Jika kapasitas lentur, geser, dan torsional
beton meningkat, maka penampang beton elastis sehingga kapasitas
������� � �����
tekan beton dapat dimanfaatkan secara efektif pada semua beban
bekerja.
Sistem penegangan ini mulai digunakan pada tahun 1886 saat
PH. Jackson (1886) dari Amerika Serikat membuat konstruksi pelat
atap.
Gambar 2 Struktur beton prategang pertama (Jackson, 1886)
Di Jerman, pada 1888, CEW Doehring mendapatkan hak paten
untuk penegangan pelat beton dengan kawat baja. Pada 1928, Eugene
Freyssinet, seorang insinyur Perancis, berhasil memberikan prategang
terhadap struktur beton sehingga dimungkinkan untuk membuat desain
dengan penampang yang lebih kecil untuk bentang yang relatif
panjang.
Gaya prategang P ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip
mekanika dan hubungan tegangan-regangan sebagai berikut:
1. Balok persegi panjang dengan tumpuan sederhana, diberi gaya
prategang P, sehingga balok tersebut mengalami tegangan tekan
sebesar:
� � � ��
������� � �����
Keterangan :
A = luas penampang balok (b x h)
2. Balok persegi panjang dengan tumpuan sederhana, diberi gaya
prategang P dan beban merata, sehingga timbul momen di
tengah bentang, tegangannya menjadi:
�� � � �� � ��
� � � �� � ��
Keterangan:
�t = Tegangan di serat atas
�b = Tegangan di serat bawah
Y = h/2 untuk penampang persegi panjang
I = Momen inersia bruto penampang ( 1/12 bh3)
Persamaan di atas membuktikan bahwa dengan diberi tegangan
tekan prategang, P/A, dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan tegangan tarik MY/I akibat beban merata.
3. Tegangan tekan akibat penjumlahan gaya prategang dan beban
merata mengakibatkan kapasitas tekan balok dalam memikul
beban luar berkurang. Oleh karena itu, maka tendon prategang
������� � �����
diletakkan di bawah sumbu netral di tengah bentang. Sedangkan
di daerah tumpuan tendon diletakkan dengan jarak yang kecil
terhadap sumbu netral yang berarti tendon prategang diletakkan
di atas sumbu netral.
Sehingga tegangannya menjadi:
�� � � �� � ��� � ��
� � � �� � ��� � ��
Keuntungan penggunaan beton prategang adalah:
a. Dapat memikul beban lentur yang lebih besar dari beton
bertulang.
b. Dapat dipakai pada bentang yang lebih panjang dengan
mengatur defleksinya.
c. Ketahanan geser dan puntirnya bertambah dengan adanya
penegangan.
d. Terhindarnya retak terbuka di daerah tarik, sehingga lebih tahan
terhadap keadaan korosif.
e. Karena terbentuknya lawan lendut sebelum beban rencana
bekerja, maka lendutan akhirnya akan lebih kecil dibandingkan
dengan pada beton bertulang.
������� � ����
f. Dimensi yang dihasilkan lebih kecil untuk kondisi betang dan
beban yang sama. Jadi akan mengurangi jumlah material yang
diperlukan.
g. Karena dimensi yang dihasilkan lebih kecil, maka berat sendiri
dari komponen struktur tersebut akan lebih kecil, sehingga akan
dihasilkan pula pondasi yang lebih kecil.
Kekurangan struktur beton prategang antara lain:
a. Bahan-bahan bermutu tinggi yang digunakan mempunyai harga
satuan yang lebih mahal.
b. Memerlukan peralatan khusus seperti tendon, angkur, mesin
penarik kabel, dan lain-lain.
c. Memerlukan keahlian khusus baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaannya.
1.2 Metode Prategang
Metode pelaksanaan beton prategang dilakukan sebelum atau
setelah beton dicetak/dicor. Kedua kondisi tersebut membedakan
sistem pratarik (pre-tension) dan pascatarik (post-tension).
1.2.1 Pratarik
Pada cara ini, tendon pertama-tama ditarik dan diangkur pada
abutmen tetap. Beton dicor pada cetakan yang sudah disediakan
dengan melingkupi tendon yang sudah ditarik tersebut. Jika kekuatan
beton sudah mencapai yang disyaratkan maka tendon dipotong atau
angkurnya dilepas. Pada saat baja yang ditarik berusaha untuk
berkontraksi, beton akan tertekan. Pada cara ini tidak digunakan
selongsong tendon.
������� � ����
(a) Tendon Ditarik dan Diangkur
(b) Beton dicor dan dibiarkan mengering
(c) Tendon dilepas, Gaya tekan ditransfer ke beton
Gambar 3 Proses pembuatan beton prategang pratarik
Keuntungan sistem pratarik terhadap sistem pemberian
prategang yang lain adalah sebagai berikut:
1. Daya lekat bagus dan kuat terjadi antara baja prategang dan
beton pada seluruh panjangnya.
2. Kualitas yang dihasilkan baik, karena biasanya sistem pratarik
dikerjakan di pabrik.
Namun demikian bukan berarti bahwa sistem pratarik tidak dapat
dilaksanakan di lapangan. Pada sistem pratarik diperlukan konstruksi
������� � �����
pembantu untuk menahan selama menunggu beton mengeras. Pada
saat tegangan dilepaskan perlahan-lahan pada jangkarnya, konstruksi
harus dapat bergeser pada kedudukannya untuk menghindari
terjadinya gaya dalam. Gaya prategang yang dilepaskan terlalu cepat
dapat menimbulkan beban kejut yang tidak diinginkan.
Bila kondisi permukaan baja adalah sedemikian sehingga beton
tidak melekat dengan baik, maka terjadilah slip atau geseran sehingga
gaya prategang yang cukup tidak dapat ditransfer ke beton.
Pada kondisi ini, konstruksi tidak dapat dianggap sebagai beton
prategang, dan ketahanan lenturnya jauh lebih berkurang daripada
beton bertulang biasa.
1.2.2 Pascatarik
Dengan cetakan yang sudah disediakan, beton dicor di sekeliling
selongsong (ducts). Posisi selongsong diatur sesuai dengan bidang
momen dari struktur. Biasanya baja tendon tetap berada di dalam
selongsong selama pengecoran. Jika beton sudah mencapai kekuatan
tertentu, tendon ditarik. Tendon bisa ditarik di satu sisi dan di sisi yang
lain diangkur. Atau tendon ditarik di dua sisi dan diangkur secara
bersamaan. Beton menjadi tertekan setelah pengangkuran.
Tendon berupa strand tidak boleh dilekatkan atau disuntik
(grouting) sebelum terjadinya prategang penuh.
(a) Beton dicor
������� � �����
(b) Tendon ditarik dan Gaya Tekan Ditransfer
(c) Tendon Diangkur dan Digrouting
Gambar 4 Proses pembuatan beton prategang pascatarik
Pada saat penegangan, kontak antara baja dan beton harus
dikurangi sebanyak-banyaknya. Tendon dalam setiap duct dapat
ditegangkan satu per satu secara bergantian, atau semua tendon
ditegangkan dalam waktu yang bersamaan. Pada sistem pascatarik,
sangat penting untuk memeriksa baik beban/gaya prategangnya
maupun perpanjangan dari tendonnya.
Pergerakan tendon dalam duct tidak dapat dilihat, hanya
perpanjangan tendonnya yang dapat dicatat. Gaya yang diterapkan
serta perpanjangan yang tidak sebanding dapat segera terlihat. Bila
gaya prategang yang diinginkan sudah tercapai maka tendon dijangkar.
Bila tendon ditegangkan bergantian, maka tendon yang ditegangkan
pertama tidak boleh mengganggu pergerakan dari tendon yang
ditegangkan kemudian.
1.3 Tahap Pembebanan
Tidak seperti beton bertulang, beton prategang mengalami
beberapa tahap pembebanan. Pada setiap tahap pembebanan harus
������� � ����
dilakukan pengecekan atas kondisi serat tertekan dan serat tertarik dari
setiap penampang. Pada tahap tersebut berlaku tegangan izin yang
berbeda-beda sesuai kondisi beton dan tendon. Ada dua tahap
pembebanan pada beton prategang, yaitu transfer dan service.
1.3.1 Transfer
Tahap transfer adalah tahap pada saat beton sudah mulai
mengering dan dilakukan penarikan kabel prategang. Pada saat ini
biasanya yang bekerja hanya beban mati struktur, yaitu berat sendiri
struktur ditambah beban pekerja dan alat. Pada saat ini beban hidup
belum bekerja sehingga momen yang bekerja adalah minimum.
1.3.2 Service
Kondisi service adalah kondisi pada saat beton prategang
digunakan sebagai komponen struktur. Kondisi ini dicapai setelah
semua kehilangan gaya prategang dipertimbangkan. Pada saat ini
beban luar yang bekerja pada kondisi maksimum.
Pada setiap tahapan di atas ditentukan hasil analisis untuk
dievaluasi. Hasil analisis dapat berupa perhitungan tegangan atau
kontrol terhadap harga, misalnya lendutan terhadap lendutan izin, nilai
retak terhadap suatu nilai batas, dan lain sebagainya.
Perhitungan tegangan dilakukan untuk desain terhadap
kekuatan, sedangkan kontrol terhadap harga dilakukan untuk desain
kekuatan, daya layan, ketahanan terhadap api ataupun tahap batas
yang lain.
1.4 Prosedur Perencanaan
Sampai saat ini paling tidak ada dua metode perencanaan
struktur beton, yaitu metode beban kerja (working stress method) dan
metode beban batas (limit states method).
������� � ������
Metode beban kerja dilakukan dengan menghitung tegangan
yang terjadi dan membandingkan dengan tegangan izin yang
bersangkutan. Apabila tegangan yang terjadi lebih kecil dari tegangan
yang diizinkan maka dinyatakan aman. Dalam menghitung tegangan,
semua beban tidak dikalikan dengan faktor beban. Tegangan izin
dikalikan dengan suatu faktor kelebihan tegangan (overstress factor).
Untuk struktur beton, metode ini diterapkan pada Peraturan Beton
Indonesia 1971 (PBI 1971).
Metode beban batas didasarkan pada batas-batas tertentu yang
bisa dilampaui oleh suatu sistem struktur. Batas-batas tersebut,
terutama adalah kekuatan, kemampuan layan, keawetan, ketahanan
terhadap api, ketahanan beban kelelahan, dan persyaratan khusus
yang berhubungan dengan penggunaan sistem struktur tersebut. Setiap
batas dinyatakan aman apabila aksi rencana lebih kecil dari kapasitas
komponen struktur. Aksi rencana dihitung dengan menggunakan faktor
beban, sedangkan kapasitas bahan dikalikan dengan faktor reduksi
kekuatan. Peraturan beton saat ini menggunakan pendekatan ini,
termasuk di Indonesia, SNI 03-2847-2002.
Tahap batas (limit states) adalah konsekuensi yang tidak
diinginkan yang berhubungan dengan kemungkinan kegagalan. Jika
misalnya suatu struktur tidak bisa melayani beban di atasnya maka
struktur tersebut akan memasuki suatu tahap batas kemampuan
layannya. Setiap tahap batas dipertimbangkan secara terpisah.
Pemenuhan terhadap suatu tahap batas belum tentu memenuhi tahap
batas yang lain.
Beban pada struktur umumnya terdiri dari beban mati, beban
hidup, beban angin, prategang, beban gempa, tekanan tanah, tekanan
air, dan lain-lain. Beban yang digunakan dalam desain struktur dikalikan
dengan suatu faktor beban dalam suatu kombinasi pembebanan.
������� � ������
Berikut ini kombinasi pembebanan dari beberapa peraturan untuk
Tahap Batas Kekuatan (Strength Limit States).
SNI 03-2847-2002 Kode Indonesia
Beban Mati : U = 1,4 D
Beban Mati dan Hidup : U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 R
Beban Angin : U = 1,2 D + 1,0 L + 1,6 W + 0,5 R
Beban Gempa : U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E
U = 0,9 D ± 1,0 E
ACI 318-83 (1983) Peraturan Amerika Serikat
Beban Mati dan Hidup : U = 1,4 D + 1,7 L
Beban Angin : U = 0,75 (1,4 D + 1,7 L + 1,7 W)
U = 0,9 D + 1,3 W
Beban Gempa : U = 0,75 (1,4 D + 1,7 L ± 1,1 E)
U = 0,9 D ± 1,1 E
Tekanan Tanah : U = 1,4 D + 1,7 L + 1,7 E
U = 0,9 D + 1,7 E
Tahap batas yang lain seharusnya juga menggunakan faktor
beban. Untuk tahap batas stabilitas (stability limit states), faktor beban
menggunakan faktor beban seperti tahap batas kekuatan, tetapi efek
ketahanan rencana dikalikan dengan faktor yang kurang dari satu.
Tahap batas kemampuan layan (serviceability limit states) tidak
menggunakan faktor beban seperti tahap batas kekuatan, tetapi
memberi batasan perubahan bentuk maksimum yang bisa terjadi.
Desain struktur untuk tahap batas kekuatan (strength limit states)
menetapkan bahwa aksi desain (Ru) harus lebih kecil dari kapasitas
(nominal) bahan dikalikan dengan faktor reduksi kekuatan � (� Rn)
������� � ������
atau Ru � � Rn. Dengan demikian secara berurutan untuk momen,
geser, puntir, dan gaya aksial berlaku:
Mu � � Mn
Vu � � Vn
Tu � � Tn
Pu � � Pn
Nilai Mu, Vu, Tu, dan Pu diperoleh dari kombinasi pembebanan
U, sedangkan nilai � menurut SNI 03-2847-2002 adalah sebagai
berikut:
� = 0,8 untuk lentur tanpa gaya aksial
� = 0,8 untuk gaya aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur
� = 0,65 untuk aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur
� = 0,65 untuk gaya lintang dan puntir
� = 0,75 untuk geser dan puntir
Untuk kolom bertulangan simetris, nilai � bisa ditingkatkan dari
0,65 menjadi 0,8.
Desain untuk tahap batas yang lain tidak secara khusus
menentukan faktor pengurangan kapasitas bahan, tetapi menggunakan
batasan-batasan tertentu. Untuk tahap batas kemampuan layan,
batasan tersebut adalah batas lendutan, batas retak, atau batas yang
lain.
Untuk tahap batas kekuatan lentur, suatu komponen struktur
dianalisis dari tahap awal (beban layan) sampai tahap batas (ultimate
load). Sedangkan untuk geser dan puntir, analisis dlakukan pada satu
tahap batas saja. Hal ini disebabkan karena untuk geser dan puntir,
batas dari kedua tahap itu tidaklah sejelas pada analisis lentur. Sebab
yang lain adalah geser dan puntir lebih didasarkan pada percobaan
laboratorium daripada penerapan analisis langsung.
������� � ������
Untuk struktur beton prategang, karena kekuatannya sangat
tergantung pada tingkat penegangan (besarnya gaya prategang), maka
dikenal istilah prategang penuh (fully prestresed) dan prategang
sebagian (partially prestresed). Pada komponen struktur yang diberi
prategang penuh, komponen tersebut didesain untuk tidak mengalami
retak pada beban layan. Hal ini ditentukan dengan menetapkan
tegangan tarik yang terjadi sama dengan nol (�u = �ts = 0). Apabila
suatu komponen struktur beton prategang mengalami peningkatan
beban, kondisi penampang komponen tersebut akan berubah.
Perubahan kondisi pada penampang tersebut seiring dengan diagram
tegangan regangan (atau diagram beban terhadap perubahan bentuk).
Komponen struktur beton prategang yang didesain untuk mengalami
retak pada beban layan didesain sebagai pratekan sebagian dengan
nilai �ts = 0,50 �fc’.
Dengan demikian suatu struktur beton prategang harus didesain
sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan yang cukup dan
mempunyai kemampuan layan yang sesuai kebutuhan. Disamping itu,
struktur beton prategang harus awet, tahan terhadap api, tahan
terhadap kelelahan (untuk beban yang berulang-ulang dan berubah-
ubah, seperti struktur jembatan), serta memenuhi persyaratan lain yang
berhubungan dengan kegunaannya. Prinsip perhitungan tegangan dari
beton prategang harus memperhitungkan hal-hal berikut:
1. Kondisi transfer dengan gaya prategang awal dan beban terbatas
(beban mati dan beban konstruksi).
2. Kehilangan gaya prategang. Pada perhitungan awal biasanya
ditentukan sebesar 25 % untuk struktur pratarik dan 20 % untuk
struktur pascatarik.
������� � ������
3. Kondisi service dengan gaya prategang efektif dan beban
maksimum (beban mati, beban hidup, dan pengaruh-pengaruh
lain).
4. Hal-hal lain yang mempengaruhi struktur beton prategang seperti
adanya pengaruh sekunder pada struktur statis tak tentu,
pengaruh P-Delta dan lain-lain, serta perilaku struktur dari awal
sampai waktu yang ditentukan.
1.5 Material Beton Prategang
1.5.1 Beton
Beton adalah campuran dari semen, air, dan agregat serta suatu
bahan tambahan. Setelah beberapa jam dicampur, bahan-bahan
tersebut akan langsung mengeras sesuai bentuk pada waktu basahnya.
Campuran tipikal untuk beton dengan perbandingan berat agregat
kasar 44 %, agregat halus 31 %, semen 18 %, dan air 7 %.
Kekuatan beton ditentukan oleh kuat tekan karakteristik (fc’) pada
usia 28 hari. Kuat tekan karakeristik adalah tegangan yang melaMpaui
95 % dari pengukuran kua tekan uniaksial yang diambil dari tes
penekana standar, yaitu dengan kubus berukuran 150 mm x 150 mm,
atau silinder dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm.
Beton yang digunakan untuk beton prategang adalah yang
mempunyai kekuatan tekan yang cukup tinggi dengan nilai fc’ antara
30-45 Mpa. Kuat tekan yang tinggi diperlukan untuk menahan tegangan
tekan pada serat tertekan, pengangkuran tendon, mencegah terjadinya
keretakan, mempunyai modulus elastisitas yang tinggi dan mengalami
rangkak lebih kecil. Tipikal diagram tegangan-regangan beton dapat
dilihat pada gambar berikut:
������� � �����
Gambar 5 Tipikal diagram tegangan regangan beton
Kuat tarik beton mempunyai harga yang jauh lebih rendah dari
kuat tekannya. Untuk tujuan desain, SNI 2002 menetapkan kuat tarik
beton sebesar �ts = 0,5 �fc’ sedangkan ACI 318 sebesar �ts = 0,6 �fc’.
Perubahan bentuk (deformation) pada beton adalah langsung
dan tergantung waktu (time dependent). Pada beban tetap, perubahan
bentuk bertambah dengan waktu dan jauh lebih besar dibanding harga
langsungnya. Pengembangan regangan sepanjang waktu disebabkan
oleh susut (shrinkage) dan rangkak (creep). Susut tidak disebabkan
oleh tegangan, tetapi merupakan akibat dari hilangnya air dalam proses
pengeringan beton, sementara rangkak disebabkan oleh bekerjanya
tegangan. Susut dan rangkak menyebabkan perubahan bentuk aksial,
kelengkungan (curvature) pada penampang, kehilangan tegangan,
redistribusi tegangan lokal antaa beton dan baja, serta redistribusi aksi
internal pada struktur statis tak tentu. Susut dan rangkak juga bisa
������� � �����
mengakibatkan retak yang dapat mempengaruhi kemampuan layan dan
keawetan struktur. Jumlah regangan pada struktur pada waktu t adalah
penjumlahan dari regangan langsung, susut dan rangkak, atau:
��� � � ���� � ���� � ����� Regangan langsung (instant) dari beton dinyatakan dengan:
���� � ������
Nilai modulus elastisitas beton bertambah dengan waktu ketika beton
bertambah kekuatan dan kekakuannya. Tetapi untuk tujuan praktis, nilai
modulus elastisitas adalah tetap sepanjang waktu. Menurut SNI 2002,
besarnya harga modulus elastisitas beton Ec dapat ditentukan dengan
persamaan:
�� � �������� Banyak faktor yang mempengaruhi besar dan kecepatan
pengembangan rangkak. Faktor tersebut adalah kualitas campuran
beton dan masing-masing komponennya. Rangkak juga dipengaruhi
oleh lingkungan. Rangkak bertambah ketika kelembaban relatif
berkurang. Rangkak juga lebih besar pada komponen struktur yang
mempunyai permukaan yang luas dan tipis seperti pelat. Nilai rangkak
juga besar di permukaan dimana pengeringan berlangsung lebih cepat.
Susut terjadi ketika proses pengeringan dimulai dan berlangsung
terus-menerus sepanjang waktu dengan kecepatan menurun. Susut
mencapai harga akhir ketika waktu mencapai tak terhingga. Faktor-
faktor yang mempengaruhi susut adalah kelembaban relatif,
karakteristik campuran beton, rasio air dan semen, ukuran an bentuk
dari komponen struktur. Susut bertambah ketika kelembaban relatif dari
udara sekitar berkurang. Beton yang mempunyai rasio awal air semen
������� � ������
tinggi akan menyusut lebih daripada beton dengan rasio awal air semen
yang rendah. Komponen struktur dengan permukaan yang luas dan
ketebalan yang kecil seperti pelat atau dinding akan menyusut lebih
cepat.
1.5.2 Baja
Baja yang dipakai untuk beton prategang dalam praktek ada
empat macam, antara lain:
1. Kawat tunggal (wires), biasanya digunakan untuk baja prategang
pada beton prategang dengan siste pratarik.
2. Untaian kawat (strand), biasanya digunakan untuk baja
prategang pada beton prategang dengan sistem pascatarik.
3. Kawat batangan (bars), biasanya digunakan untuk baja
prategang pada beton prategang dengan sistem pratarik.
4. Tulangan biasa, sering digunakan untuk tulangan non-prategang
(tidak ditarik), seperti tulangan memanjang, sengkang, tulangan
untuk pengangkuran, dan lain-lain.
Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang
sesuai dengan spesifikasi seperti ASTM A 421 di Amerika Serikat.
Ukuran dari kawat tunggal bervariasi dengan diameter antara 3 – 8 mm,
dengan tegangan tarik (fp) antara 1500 – 1700 Mpa, dengan modulus
elastisitasnya Ep = 200 x 103 Mpa. Untuk tujuan desain, teganga leleh
dapat diambil sebesar 0,85 dari tegangan tariknya (0,85 fp). Tipikal
diagram tegangan regangan dari kawat tunggal dapat dilihat pada
gambar berikut,
������� � ������
Gambar 6 Diagram tegangan regangan kawat tunggal
Untaian kawat (strand) banyak digunakan untuk beton prategang
dengan sistem pascatarik. Untaian kawat yang dipakai harus memenuhi
syarat seperti yang terdapat pada ASTM A 416. Untaian kawat yang
banyak digunakan adalah untaian tujuh kawat (seven wire strand)
dengan dua kualitas: Grade 250 dan Grade 270 (seperti di Amerika
Serikat). Diameter untaian kawat bervariasi antara 7,9 – 15,2 mm.
Tegangan tarik (fp) untaian kawat adalah antara 1750 – 1860 Mpa. Nilai
modulus elastisitasnya, Ep = 195 x 103 Mpa. Untuk tujuan desain, nilai
tegangan leleh dapat diambil 0,85 kali tegangan tariknya (0,85 fp).
Tipikal diagram tegangan regangan untuk untaian kawat dapat dilihat
pada gambar di bawah.
Selain tipe kawat tunggal dan untaian kawat, untuk baja
prategang juga digunakan kawat batangan dari bahan alloy (High
Strength Alloy Steel Bars) yang sesuai dengan spesifikasi ASTM A722
di Amerika Serikat. Baja batangan tersedia dengan diameter antara 8 -
35 mm. Tegangan tarik (fp) baja = 170 x 103 Mpa. Untuk tujuan desain,
tegangan leleh dapat diambil sebesar 0,85 kali tegangan tariknya (0,85
������� � �����
fp). Tipikal diagram tegangan regangan baja batangan dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Gambar 7 Diagram tegangan regangan untaian kawat
Gambar 8 Diagram tegangan regangan baja batangan
������� � ������
Gambar 9 Diagram tegangan regangan tulangan biasa
Tabel 1 Tipikal baja prategang
Jenis
Material
Diameter
(mm)
Luas
(mm2)
Beban Putus
(kN)
Tegangan Tarik
(Mpa)
Kawat
Tunggal
(Wire)
3 7,1 13,5 1900
4 12,6 22,1 1750
5 19,6 31,4 1600
7 38,5 57,8 1500
8 50,3 70,4 1400
Untaian
Kawat
(Strand)
9,3 54,7 102 1860
12,7 100 184 1840
15,2 143 250 1750
Kawat
Batangan
(Bar)
23 415 450 1080
26 530 570 1080
29 660 710 1080
32 804 870 1080
38 1140 1230 1080
������� � ������
1.6 Tulangan Non-Prategang
Tulangan non-prategang secara praktis tetap diperlukan untuk
suatu penampang beton prategang. Jika tendon difungsikan untuk
menahan bagian utama beban, mengurangi defleksi, maka tulangan
non-prategang berfungsi untuk menahan terjadinya retak, menambah
kekuatan ultimate, serta menambah kekuatan terhadap beban yang
tidak diharapkan.
Tulangan non-prategang dapat diletakkan di berbagai posisi
untuk berbagai tujuan dan untuk membantu menahan beban salam
berbagai kondisi pembebanan. Penggunaan tulangan non-prategang
diantaranya adalah:
1. Untuk menahan tegangan tarik di serat atas pada tengah
bentang.
Gambar 10 Tulangan non-prategang di tengah bentang
2. Untuk menahan tegangan tarik di serat atas pada tepi bentang.
Gambar 11 Tulangan non-prategang di tepi bentang
������� � ������
3. Untuk menahan tegangan tarik di dekat tendon jika dimensi
beton tidak cukup kuat.
Gambar 12 Tulangan non-prategang penahan tekan
4. Untuk menahan beban lentur selama balok dipindahkan sebelum
dilakukan stressing.
Gambar 13 Tulangan non-prategang penahan lentur
5. Untuk menahan retak dan menambah kekuatan penampang
setelah retak.
������� � ������
Gambar 14 Tulangan non-prategang penahan retak
Desain tulangan non-prategang hampir tidak mungkin dilakukan
dengan menggunakan pendekatan teoritis, seperti teori elastisitas.
Pada saat terjadi tegangan elastis pada penampang, tegangan tarik
sangat kecil sehingga tulangan non-prategang tiddak efektif menahan
beban. Hampir seluruh beban diterima langsung oleh tendon.
Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung
(SNI 2002) memberikan petunjuk tentang rasio tulangan non-prategang
terhadap tulangan prategang pada Pasal 20.8 dan tulangan lekatan
minimum untuk struktur tanpa lekatan (non bonded structures) pada
Pasal 20.9. Untuk tulangan non-prategang, perencanaannya lebih
banyak ditentukan oleh kondisi lokasi serta fungsinya.
������� � ������
2. LENTUR
2.1 Pendahuluan
Hal yang utama dalam desain suatu komponen struktur beton
prategang adalah perhitungan tentang kekuatan lentur. Disamping itu,
daktilitas dari setiap penampang juga harus dicek. Kriteria tentang
daktilitas juga penting dalam desain penampang suatu komponen
struktur karena struktur daktail akan mengalami deformasi yang
panjang sebelum akhirnya mengalami keruntuhan.
2.2 Asumsi Dasar
Dalam analisis lentur untuk suatu komponen struktur beton
prategang berlaku asumsi berikut:
1. Variasi regangan pada penampang adalah linier, yaitu regangan
di beton dan baja yang melekat padanya dihitung berdasarkan
asumsi bahwa penampang bidang datar selalu tetap.
2. Beton tidak menerima tegangan tarik. Hal ini berlaku untuk
struktur dengan prategang penuh (fully prestressed). Pada
struktur dengan prategang sebagian (partially prestressed),
tegangan tarik terbatas bisa saja terjadi pada penampang.
3. Tegangan tekan pada beton dan baja (baik baja tulangan
maupun tendon) didapat dari hubungan tegangan dan regangan
yang aktual atau diidealisasikan.
Untuk analisis awal, terutama dalam menentukan dimensi
penampang dan level dari prategang, digunakan metode penjumlahan
tegangan pada daerah-daerah kritis. Harga penjumlahan tegangan
harus lebih kecil dari tegangan izin material. Analisis lanjutan untuk
menentukan kondisi struktur dilakukan dengan analisis penampang,
������� � �����
baik untuk penampang tidak retak (utuh) maupun penampang retak.
Apabila beban batas (ultimate) bekerja, analisis mengenai perilaku
penampang retak dilakukan dengan mempertimbangkan ketidak-
elastisan material.
2.3 Pengaruh Prategang
Pemberian gaya prategang pada beton prategang akan
memberikan tegangan tekan pada penampang. Tegangan ini
memberikan perlawanan terhadap beban luar yang bekerja. Gaya
prategang diatur sesuai tegangan izin dari fiber-fiber yang kritis.
Pengaturan posisi penegangan pada penampang akan memberikan
keuntungan lebih.
Apabila gaya prategang bekerja tidak pada pusat penampang,
tetapi dengan eksentrisitas, maka ada tambahan tegangan akibat
eksentrisitas tersebut.
Gambar 15 Prategang dengan eksentrisitas
Gambar 16 Diagram tegangan
������� � �����
Tegangan akibat prategang adalah : �� � ���
Tegangan akibat beban luar termasuk berat sendiri : �
Resultan tegangan di serat tarik dibuat sama dengan nol untuk
struktur fully prestressed (prategang penuh) sementara untuk yang
partially prestressed (prategang sebagian) disesuaikan dengan
tegangan izinnya. Di serat tekan, tegangan tidak boleh melebihi
tegangan tekan yang diizinkan. Dengan demikian tegangan di serat
tertekan adalah:
� � � �� � ��� � �
Dimana :
fb = tegangan di serat tertekan/bawah (Mpa = N/mm2)
P = gaya prategang (N)
e = eksentrisitas penampang (mm)
M = momen akibat beban luar (N.mm)
W = momen tahanan (mm3)
������� � ������
Contoh 2.1:
Tentukan besarnya beban merata q dari balok beton prategang sebagai
berikut dengan eksentrisitas e = 0
Tegangan di serat bawah adalah tegangan tarik. Karena beton
tidak kuat menahan tegangan tarik maka tegangan tarik ft = 0
�� � � �� � � � � (fully prestressed)
! � "# $%& �� � � � '(
)#
$ � # ��*)
������� � ������
Catatan: Asumsi tanda
Tegangan tekan diberi tanda negatif (-)
Tegangan tarik diberi tanda positif (+)
������� � �����
Latihan 2.1:
Tentukan besarnya gaya prategang P jika eksentrisitas e = 0
Latihan 2.2:
Tentukan tinggi penampang h jika eksentrisitas e = 0
Latihan 2.3:
Tentukan gaya prategang minimum P sehingga ft = 0 (tidak ada
tegangan tarik). Hitung tegangan di tengah bentang jika selimut beton
125 mm.
������� � ������
Latihan 2.4:
Tentukan gaya prategang minimum dan hitung tegangan di tengah
bentang (selimut 125 mm).
Latihan 2.5
Tentukan dimensi penampang dan gaya prategang minimum pada
balok beton prategang berikut ini. Asumsikan tinggi balok h dan lebar
balok b. Eksentrisitas e = y – 125 mm.
������� � ������
2.4 Gaya-Gaya Pada Tendon
Sebagai tambahan dari gaya prategang longitudinal yang bekerja
pada balok prategang pada angkur, gaya transversal (ke atas) juga
dihasilkan akibat prategang, dimana terdapat curvature (kelengkungan)
pada tendon.
Gambar 17 Elevasi suatu balok prategang
Gambar 18 Gaya yang dihasilkan dari prategang
Besarnya momen akibat gaya prategang di tengah bentang
adalah:
!+ � , � -./ 0 � *&
Gambar 19 Diagram momen akibat prategang
������� � ������
Contoh 2.5:
Tentukan tegangan akibat gaya prategang di tengah bentang. Selimut
beton 125 mm.
1 � �23 � ����� � 453 � 553�66
789��: &&;;<<< � 523=> , � -./ 0 � =�� � -./ 523= � ?@�AB
, � CD-0 � =�� � CD-523= � �EE�AB
5, � -./ 0 � 5 � =�� � -./523= � �5�AB
!+ � , � -./ 0 � �23���F� � ?@�AB � 3 �6 � 4=��AB6
G � ��� � ��� � 5=�H����66& I � "J � ��� � ���& � ?5H@@�H����66K � �� � � LMMH<<<&#<H<<< � �52=3�BN66&
������� � ������
O� � LMMH<<<�&&;K&HJJLH<<< � O323�BN66& Diagram tegangan di tengah bentang adalah seperti gambar berikut ini.
Latihan 2.6:
Hitung tegangan di tengah bentang. Selimut beton 125 mm.
Latihan 2.7:
Tentukan gaya prategang pada struktur balok prategang dan
gambarkan diagram tegangan di tengah bentang. Selimut beton 125
mm.
������� � ������
2.5 Desain Awal Untuk Lentur
Komponen tegangan dari beton prategang yang disebabkan oleh
gaya prategang, berat sendiri balok dan beban luar, biasanya dihitung
dengan menggunakan asumsi bahwa perilaku material adalah linear-
elastis. Properti dari penampang tidak mengalami retak. Walaupun
beton tidak berperilaku linear-elastis, namun perhitungan linear-elastis
dapat memberikan sebuah taksiran yang tepat dari tegangan pada
penampang segera setelah beban bekerja. Tegangan yang bekerja ini,
menurut konsep desain, beban kerja harus lebih kecil dari tegangan izin
material. Menurut ketentuan di Indonesia (SNI 2002), tegangan izin
pada beton adalah sebagai berikut:
������� � �����
Transfer : Tekan �ct = 0,60 fci’ dan Tarik �tt = 0,25 �fci’
Service : Tekan �cs = 0,45 fc’ dan Tarik �ts = 0,50 �fc’
Dimana fci’ adalah kuat tekan beton pada saat transfer, sedangkan fc’
adalah kuat tekan pada saat service (pelayanan beban).
Contoh 2.6:
Tentukan tegangan pada saat transfer dan servis serta hitung jumlah
tendon dari struktur beton prategang sebagai berikut:
Beton fc’ = f’ci = 35 Mpa, Tendon ASTM A 416 Grade 270. Kehilangan
tegangan total 0 %. Selimut beton 125 mm.
Tegangan izin tekan menurut SNI 2002 adalah:
Transfer : Tekan �ct = 0,60 fci’ = 0,6 x 35 Mpa = 21 Mpa
Service : Tekan �cs = 0,45 fc’ = 0,45 x 35 = 15,75 Mpa
Tegangan izin tarik untuk struktur fully prestressed �tt dan �ts = 0
G � �2� � �2@ � �25��6& � 5��H����66& PH QH� �25� � 5� � @ RST
I � "J � ��� � @��& � 5�H���H����66K U � �23 � @�� � ?���66
������� � �����
1 � ?�� � 453 � 4�3�66
!V* � "# � @ � 4�& � �3�AB6
!** � "# � 4� � 4�& � 453�AB6
!�W�X( � �3 � 453 � 5���AB6
Taksiran gaya prategang:
�� � � �� � �� � �
� � � �&Y<H<<<� ��"L;
&YH<<<H<<<� &<<H<<<H<<<&YH<<<H<<<
, � �?��AB
0 � 789��:� "L;;<<< � 52��> !+ � �?� � -./ 52�� � 3 � 45�2�3�AB6
Transfer:
� �� � � LK<H<<<&Y<H<<< � �?2���!Z7 O�[ � O "&LHL;<H<<<&YH<<<H<<< � O�32?5�!Z7 O�\] � O L;H<<<H<<<&YH<<<H<<< � O�?24?�!Z7
������� � ������
Tegangan di serat atas dan bawah, yaitu -0,85 Mpa dan -5,23 Mpa,
lebih kecil dari tegangan izin pada waktu transfer �ct = 21 Mpa.
Struktur OK
Service:
� �� � � LK<H<<<&Y<H<<< � �?2���!Z7 O�[ � O "&LHL;<H<<<&YH<<<H<<< � O�32?5�!Z7 O�^_^`a � O &<<H<<<H<<<&YH<<<H<<< � O�=2??�!Z7
Tegangan di serat atas dan bawah, yaitu -6,05 Mpa dan -0,03 Mpa,
lebih kecil dari tegangan izin pada waktu service �cs = 15,75 Mpa.
Struktur OK.
Perhitungan Tendon:
Digunakan tendon diameter 12,7 mm, A = 98,71 mm2. Ultimate tensile
strength (UTS) = 184 kN. Dipakai 80 % UTS = 0,8 (184) = 147,2 kN.
bc6%7d�A7e7��Q�87fg � hXiX��jX��kXlk#<�m�nop � LK<"YL2& q 3�Pc7d�
(digunakan 5 buah dalam satu selongsong tendon).
������� � ������
2.6 Momen Retak
Moemn retak adalah besarnya momen yang ada pada saat
terjadinya keretakan pertama kali pada penampang. Pada saat
pemberian tekanan, fiber terluar dari penampang biasanya mengalami
tekanan. Dengan bertambahnya beban, fiber ini sedikit demi sedikit
mengalami tegangan tarik. Karena beton tidak mempunyai kekuatan
tarik maka keretakan akan terjadi pada daerah tersebut. Keretakan
tersebut terjadi jika tegangan tarik mendekati harga modulus
keruntuhan beton. Menurut kode Indonesia SNI 2002 dan kode Amerika
Serikat ACI 318-1983, modulus keruntuhan beton ditentukan sebesar
fr = 0,7 �fc’. Sedangkan lebar retak sangat tergantung pada derajat
lekatan antara beton dan baja.
������� � �����
3. KEMAMPUAN LAYAN
DAN LENDUTAN
3.1 Kemampuan Layan
Tahap paling awal dari perencanaan struktur beton prategang
adalah menetapkan parameter-parameter perencanaan. Parameter-
parameter tersebut diantaranya geometri penampang, kualitas bahan,
sistem struktur, metoda perencanaan, dan lain-lain.
Geometri penampang menyangkut penentuan dimensi yang
tepat sehingga dalam perhitungan perencanaan nantinya semua
persyaratan kode praktek, khususnya SNI 2002, dapat terpenuhi.
Kualitas bahan berhubungan dengan nilai-nilai yang akan
digunakan dalam perhitungan perencanaan. Untuk komponen struktur
beton prategang, kualitas bahan ditentukan oleh kualitas material beton
dan baja. Nilai-nilai yang berhubungan dengan kualitas beton yang
utama adalah nilai kuat tekan karakteristik beton fc’, modulus elastisitas
Ec, regangan batas �u, dan lain-lain. Sedangkan kualitas baja terutama
ditentukan oleh tegangan tarik fp, tegangan leleh fy, modulus elastisitas
Es, hubungan diagram tegangan-regangan, serta karakteristik mekanis
lainnya, seperti relaksasi, rangkak, kelelahan, dan lain-lain.
Hal-hal yang menyangkut sistem struktur adalah penyelesaian
statika dari struktur yang akan didesain. Hal ini berhubungan langsung
dengan sistem tumpuan dari komponen struktur tersebut. Contohnya,
pada struktur balok harus ditentukan terlebih dahulu apakah sistem
struktur sederhana, menerus, atau kantilever.
Hal berikutnya yang harus ditentukan adalah metode
perencanaan struktur. Dalam prakteknya suatu sistem struktur tidak
������� � ������
terdiri dari beton prategang secara keseluruhan. Tetapi yang banyak
terjadi, komponen beton prategang hanya merupakan suatu bagian dari
struktur. Untuk itu perlu ditetapkan terlebih dahulu hubungan antara
komponen beton prategang dengan keseluruhan sistem struktur.
Ada dua tahap utama dalam penentuan kemampuan layan
struktur beton prategang. Tahap pertama adalah tahap transfer dimana
kekuatan beton masih rendah, beban pada struktur masih minim (hanya
beban mati dan beban konstruksi yang bekerja), tetapi gaya prategang
mencapai nilai puncaknya. Tahap kedua adalah ketika semua
kehilangan sudah tercapai dan semua beban sudah bekerja, dengan
nilai gaya prategang mencapai nilai terendah. Pada kedua tahap
tersebut semua persyaratan harus dipenuhi.
Persyaratan utama yang harus dipenuhi adalah persyaratan
kekuatan dan kemampuan layan. Persyaratan kekuatan diantaranya
adalah persyaratan kekuatan lentur, geser, puntir, dan lain-lain.
Sedangkan persyaratan kemampuan layan meliputi kombinasi beban,
lendutan jangka pendek dan panjang, perubahan bentuk struktur, dan
retak.
Untuk struktur beton prategang, persyaratan kekuatan dan daya
layan lebih banyak ditentukan oleh besarnya gaya prategang. Untuk
menetapkan besarnya gaya prategang, harus ditentukan terlebih
dahulu section properties, yaitu momen inersia I, momen tahanan W,
eksentrisitas penampang e, dan batas-batas tegangan tekan dan tarik.
Parameter-parameter tersebut juga membatasi retak dan lendutan.
Pada struktur beton prategang, sebelum terjadi retak, lendutan dapat
diprediksi secara akurat. Hal ini disebabkan, pada beban kerja,
umumnya penampang didesain untuk tidak mengalami retak sehingga
perhitungan lendutan dapat dilakukan dengan mudah dan lengkap.
������� � ������
3.2 Ketentuan Tentang Kemampuan Layan
SNI 2002 menetapkan bahwa semua komponen struktur beton
(baik prategang maupun bertulang) harus direncanakan dengan
kekuatan yang cukup dan membatasi lendutan yang dapat
memperlemah struktur serta mengurangi kemampuan layan. SNI 2002
juga menentapkan bahwa:
1. Lendutan seketika dari komponen struktur harus dihitung dengan
metode atau formula standar untuk lendutan elastis. Momen
inersia penampang bruto bisa digunakan untuk penampang yang
tidak retak.
2. Lendutan jangka panjang tambahan harus dihitung dengan
memperhatikan pengaruh tegangan dalam beton dan baja akibat
beban tetap. Perhitungan lendutan harus mencakup pengaruh
susut, rangkak, dan relaksasi baja.
3. Lendutan tidak boleh melebihi batas yan ditetapkan sebagai
berikut:
a. L/180 untuk atap datar yang tidak menahan atau tidak
disatukan dengan komponen non-struktural yang mungkin
akan rusak oleh lendutan yang besar.
b. L/360 untuk lantai yang tidak menahan atau tidak disatukan
dengan komponen non-struktural yang mungkin akan rusak
oleh lendutan yang besar.
c. L/480 untuk konstruksi atap atau lantai yang menahan atau
disatukan dengan komponen non-struktural yang mungkin
akan rusak oleh lendutan yang besar.
d. L/240 untuk konstruksi atap atau lantai yang menahan atau
disatukan dengan komponen non-struktural yang mungkin
tidak akan rusak oleh lendutan yang besar.
������� � ������
3.3 Pendimensian Penampang
Hal utama yang berkaitan dengan pemenuhan persyaratan
desain (kekuatan, kemampuan layan, dan seterusnya) adalah
pendimensian penampang. Pendimensian yang tepat, disamping akan
memenuhi syarat desain, juga akan menghasilkan desain yang
ekonomis dan estetis. Ketidaktepatan terhadap pendimensian
penampang akan berakibat sebaliknya.
Untuk menentukan dimensi penampang struktur beton
prategang, banyak hal harus dipertimbangkan, diantaranya sistem
struktur (panjang bentang, sistem statika, dan lain-lain), beban yang
bekerja (beban mati, beban hidup, dan lain-lain), kualitas bahan (mutu
beton dan baja), dan lain-lain. Pendimensian penampang bisa
dilakukan dengan mengikuti ketentuan pada kode-kode praktek.
3.3.1 Balok
Pendimensian komponen horizontal (terutama balok dan pelat)
beton prategang lebih banyak ditentukan oleh rasio panjang bentang
dan tinggi penampang. Pendimensian ini disamping untuk memenuhi
persyaratan struktur (kekuatan, kemampuan layan, dan seterusnya),
juga untuk memenuhi ketentuan ekonomi dan keindahan. Cara
pendimensian yang tepat akan berujung pada pemenuhan persyaratan
tersebut. Untuk struktur beton prategang, hal seperti retak, lendutan,
dan lain-lain, lebih banyak ditentukan oleh besar kecilnya gaya
prategang. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam menetapkan rasio
yang tepat untuk suatu balok beton prategang. Disamping itu, faktor-
faktor berikut juga membatasi pendimensian penampang:
������� � ������
• Sifat dan besarnya beban hidup,
• Karakteristik dari redaman (damping) pada balok yang bergetar,
• Kondisi batas (boundary conditions) yang menyangkut hubungan
komponen beton prategang dengan komponen lain dalam suatu
sistem struktur,
• Nilai modulus elastisitas beton, kuat tekan beton, dan lain-lain;
karena nilainya bergantung pada usia beton.
Pendimensian awal penampang balok dilakukan disamping dari
pengalaman, referensi dari komponen beton bertulang dapat
digunakan. SNI 2002 menetapkan tebal minimum balok non-prategang
bila lendutan tidak dihitung dan tidak menahan atau tidak disatukan
dengan partisi atau konstruksi lain yang mungkin akan rusak oleh
lendutan yang besar.
• L/16 untuk balok dengan dua tumpuan sederhana.
• L/18,5 untuk balok dengan satu ujung menerus.
• L/21 untuk balok dengan kedua ujung menerus.
• L/8 untuk balok kantilever.
Dalam banyak situasi desain, panjang bentang adalah hal
pertama yang ditetapkan, karena menyangkut banyak faktor. Dengan
mengetahui rasio panjang bentang terhadap tinggi penampang maka
bisa dilakukan pendimensian penampang. Jika tinggi penampang
diperoleh maka dimensi lainnya bisa ditetapkan. Untuk balok dengan
penampang persegi, lebar balok dapat diambil ½ - 2/3 kali tingginya.
Untuk balok dengan bentuk lain seperti I, L, dan T atau box girder,
dimensi-dimensi yang lain bisa ditetapkan bila tinggi penampang
diketahui. Dari pengalaman Lin (1982), untu balok I dengan tumpuan
sederhana dan panjang bentang sampai 60 meter, rasio panjang
bentang terhadap tinggi penampang adalah antara 20 – 28. Balok T
������� � ������
mempunyai rasio panjang bentang terhadap tinggi penampang yang
lebih kecil, yaitu antara 18 – 25. Balok box girder dapat didesain
dengan rasio antara 22 – 30. Untuk struktur dengan tumpuan menerus,
rasio tersebut dapat dikurangi. Tetapi pada dasarnya rasio-rasio yang
disebutkan tadi hanyalah untuk perkiraan awal. Pemenuhan terhadap
persyaratan-persyaratan desain seperti kekuatan, kemampuan layan,
keawetan, ketahanan terhadap api, dan lain-lain yang lebih
menentukan.
Untuk balok yang tidak retak, Gilbert (1990) mempunyai
pendekatan rasio panjang bentang terhadap tinggi penampang balok
dengan memasukkan unsur beban hidup, yaitu:
*� � r
st]u��"&v� wxy wz�{
|}
Dimana:
b = lebar balok, Wu = beban merata
Ec = modulus elsatisitas Wus = beban merata atap
L = panjang bentang ~ = lendutan yang diizinkan
h = tinggi penampang � = faktor pengali lendutan
� = koefisien lendutan
3.3.2 Pelat
Untuk pendimensian awal pelat beton prategang, pendekatan
rasio panjang bentang terhadap tinggi penampang juga biasa
digunakan. Keterbatasan dari metode ini adalah ketidaktahuan
perencana terhadap faktor-faktor lain yang mempengaruhinya seperti
karakteristik beban hidup, getaran, dan lain-lain. Perkiraan tebal pelat
dengan menggunakan rasio panjang bentang terhadap tinggi (tebal)
������� � �����
penampang untuk struktur dengan tumpuan sederhana dan menerus
dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Lin, 1982).
SNI 2002 tidak secara khusus memberikan perkiraan rasio
panjang bentang terhadap tinggi (tebal) pelat. Post Tensioning Institute
(1977) menerapkan rasio panjang bentang terhadap tebal pelat.
Tabel 2 Perkiraan rasio panjang bentang terhadap tinggi pelat (Lin, 1982)
Sistem Pelat Str. Menerus Str. Sederhana
Atap Lantai Atap Lantai
Pelat satu arah 52 48 48 44
Pelat dua arah ditumpu kolom saja 48 44 44 40
Pelat berlubang 2 arah (lubang � 0,9 m) 40 36 36 32
Pelat berlubang 2 arah (lubang � 3,6 m) 36 32 32 28
Pelat satu arah dengan lubang kecil 50 46 46 42
Pelat satu arah dengan lubang besar 48 44 44 40
Pelat T ganda atau T tunggal 40 36 36 32
Pelat T tunggal dengan spasi 6 m 36 32 32 28
Tabel 3 Rasio panjang bentang terhadap tebal pelat (PTI, 1977)
Sistem Pelat Lantai Rasio Panjang Bentang Thd. Pelat
Pelat datar 45
Pelat datar dengan drop panel 50
Pelat satu arah 48
Pelat ditumpu ujung 55
Pelat berlubang 35
Pelat dengan balok ban ( b � 3D) 30
Untuk pelat beton bertulang, Gilbert (1990) mengusulkan untuk
menggunakan persamaan rasio panjang bentang terhadap tebal pelat
sebagai berikut:
������� � �����
*� � � r
st]u"<<<�� wx wz {
|}
Dengan ketentuan:
L/h � 50 untuk pelat satu arah.
L/h � 55 untuk pelat dua arah ditumpu di ujung.
Dimana K adalah faktor sistem pelat dengan harga antara 1,9
sampai 3,0.
3.3.3 Kolom
Tidak seperti komponen struktur horizontal, komponen struktur
vertikal seperti kolom dan dinding sangat sulit untuk diperkirakan
dimensi awalnya. Disamping faktor karakteristik strukturnya, banyak
faktor lain yang mempengaruhi pendimensian kolom, terutama faktor
arsitektural (keindahan). Pendimensian dari segi struktur lebih banyak
ditentukan dari pengalaman. Dari pengalaman tersebut dilakukan
perhitungan-perhitungan untuk menentukan apakan dimensi kolom
yang dipilih sudah memenuhi semua persyaratan desain struktur.
3.4 Lendutan
Menurut Gilbert (1990), untuk suatu balok sederhana seperti
pada gambar di bawah ini, besarnya sudut dan lendutan dapat
ditentukan dengan persamaan:
������� � ������
Gambar 20 Deformasi pada balok
0� � *J ��� � 5��� 0� � � *J ��� � 4��� � ��� ~� � *)MJ ��� � 4��� ���� Sedangkan untuk balok kantilever, besarnya sudut dan
lendutan dapat ditentukan dengan persamaan:
0� � � *K ��� � 5��� ~� � � *)Y ��� ���� Untuk penampang yang tidak retak, perhitungan lendutan
didasarkan pada inersia penuh Ig. Kelengkungan pada suatu
penampang dapat diestimasi sebesar:
�� � ��������
Dimana:
Pi = gaya prategang awal
Ec = modulus elastisitas beton
������� � ������
E = eksentrisitas
M = momen yang bekerja pada penampang
Setelah terjadi keretakan, inersia penampang berkurang. Harga
inersia penampang bukan Ig lagi, tetapi menjadi Ie, seperti yang
ditentukan SNI 2002:
�� � s����` uK �k � �4 � s����` u
K� ��j � �k Dengan : !�j � ���i^ dan �j � �2����� Dimana:
Mcr = Momen yang pertama kali menyebabkan keretakan pada
penampang
Fcr = Modulus keruntuhan
Ma = Momen maksimum yang bekerja pada penampang
Ig = Inersia penampang utuh (tidak retak)
Icr = Inersia penampang retak
yt = jarak dari pusat berat ke serat tekan terluar
Struktur beton prategang, disamping harus mempunyai kekuatan
yang cukup, juga harus mempunyai syarat kemampuan layan pada
beban kerja. Lendutan dari komponen struktur harus dikontrol dengan
alasan sebagai berikut:
1. Adanya gaya prategang membuat struktur melengkung ke atas.
Lengkungan ke atas (camber) yang besar bisa menyebabkan
kegagalan suatu komponen struktur.
2. Pada struktur jembatan, lendutan ke bawah yang besar akan
mengurangi kenyamanan berkendara.
������� � �����
3. Lendutan yang besar bisa merusak finishing, partisi atau bagian
bangunan lain pada struktur gedung.
Beberapa hal yang mempengaruhi defleksi pada struktur beton
prategang adalah beban mati, beban hidup, gaya prategang, profil
kabel, modulus elastisitas beton, susut, rangkak, relaksasi dari baja,
panjang bentang dan sifat dari tumpuan. Lendutan jangka pendek lebih
banyak ditentukan oleh rasio antara momen lentur dan kekakuan dari
penampang. Berikut ini adalah beberapa rumus untuk menentukan
camber dari struktur beton prategang dengan profil kabel tertentu (Raju,
1986).
Gambar 21 Profil tendon dan rumus Camber (Raju, 1986)
������� � �����
Gambar 23 Profil tendon dan rumus Camber (Raju, 1986)
Dimana :
a = Lendutan ke atas (camber)
P = Gaya prategang
L = Panjang bentang
L1, L2 = Panjang segmen pada komponen struktur
E = Modulus elastisitas beton
I = Inersia penampang
e1, e2 = Eksentrisitas pada penampang
������� � �����
Sedangkan lendutan ke bawah akibat beban merata bisa
ditentukan dengan persamaan berikut:
~ � ;'*�K#Y�
Dimana :
= Lendutan ke bawah
q = Beban merata pada struktur
L = Panjang bentang
E = Modulus elastisitas beton
I = Momen inersia
Untuk balok sederhana dengan beban terpusat P di tengah
bentang, lendutannya ditentukan oleh persamaan berikut:
~ � �*}Y#�
SNI 2002 tidak secara khusus memberi batasan lendutan pada
struktur beton prategang, tetapi lendutan untuk struktur secara umum
ditentukan, BS 8110 membatasi cumber pada saat transfer tidak
melebihi 1/300 atau
1/250 (tanpa finishing) dan terkecil dari
1/350 atau 20
mm (dengan finishing).
������� � �����
Contoh 3.1:
Tentukan lendutan pada struktur tersebut.
Ap = 1200 mm2
Fpi = 1600 N/mm2
Ec = 38000 N/mm2
a. Jika kehilangan tegangan diabaikan:
q = 0,3 x 0,5 x 24 = 3,6 N/mm
e = 100 mm
I = 1/12 x 300 x 500
3 = 3.125.000.000 mm
4
P = 1200 x 1600 [10-3
] = 1920 kN
~V* � ;'*�K#Y� � ;�K2J�"<<<<�
K#Y�K#<<<�KH"&;H<<<H<<< � ?2E3�66� 7 � � ��*)#� � "M&<H<<<�"<<�"<<<<)
#�K#<<<�KH"&;H<<<H<<< � �5�254�66
Lendutan = 3,95 – 20,21 = -16,26 mm (ke atas).
b. Jika kehilangan tegangan 20%, beban hidup qLL = 18 N/mm.
~V* � ;'*�K#Y� � ;�K2J�"<<<<�
K#Y�K#<<<�KH"&;H<<<H<<< � ?2E3�66� ~** � ;'*�
K#Y� � ;�"#�"<<<<�K#Y�K#<<<�KH"&;H<<<H<<< � 4E2���66�
,1 � �2= � 4E5� � 43?@�AB
7 � � ��*)#� � ";KJH<<<�"<<�"<<<<)#�K#<<<�KH"&;H<<<H<<< � �4@24��66
Lendutan = 3,95 + 19,74 – 16,17 = 7,52 mm (ke bawah).
������� � �����
4. KEHILANGAN TEGANGAN
4.1 Pendahuluan
Kehilangan tegangan adalah berkurangnya gaya yang bekerja
pada tendon dalam tahap-tahap pembebanan. DI dalam suatu sistem
struktur beton prategang selalu terdapat kehilangan gaya prategang,
baik akibat sistem penegangan maupun akibat pengaruh waktu. Secara
umum kehilangan tegangan pada struktur beton prategang dapat
diilustrasikan pada gambar berikut:
Kehilangan langsung atau kehilangan sesaat adalah Pj - Pi dan
kehilangan tegangan akibat pengaruh waktu adalah Pi – Pe. Kehilangan
tegangan langsung disebabkan oleh perpendekan elastis dari beton,
gesekan sepanjang kelengkungan tendon pada struktur pascatarik, slip
pada angkur, dan lain-lain. Kehilangan tegangan akibat penggaruh
waktu disebabkan oleh perpendekan dari beton pada level baja akibat
rangkak dan penyusutan beton serta relaksasi dari baja.
4.2 Kehilangan Seketika
Kehilangan seketika secara umum disebabkan oleh kondisi beton
dari keadaan basah menjadi kering, gesekan antara selongsong
dengan tendon pada struktur pascatarik, dan slip pada sistem
pengangkuran tendon.
������� � ����
4.2.1 Perpendekan Elastis
Mekanisme pengeringan beton yang mempengaruhi kehilangan
tegangan badalah berbeda antara struktur dengan sistem pratarik dan
pascatarik. Pada struktur pratarik, perubahan regangan pada tulangan
prategang yang diakibatkan oleh perpendekan elastis dari beton adalah
sama dengan regangan beton di level baja.
4.2.1.1 Pratarik
Secara umum, kehilangan tegangan akibat perpendekan elastis
(elastic shortening) tergantung rasio modular dan tegangan beton pada
level baja atau dinyatakan dengan persamaan berikut:
�� � f � �� Dimana fc adalah tegangan beton pada level baja dan n adalah
rasio modular dengan nilai f � ����. Jika gaya prategang ditransfer ke
beton maka beton akan memendek dan baja prategang akan mengikuti
perpendekan beton tersebut. Dengan terjadinya perpendekan baja
prategang maka akan terjadi kehilangan tegangan yang ada pada baja
prategang tersebut. Besarnya kehilangan tegangan akibat perpendekan
elastis (ES) dapat diestimasi sebesar:
�� � l����zxl��z
Dimana:
n = Angka rasio modular pada saat transfer, dengan harga f � ���� Pi = Gaya prategang awal
Ac = Luas penampang beton
As = Luas penampang baja
������� � ����
4.2.1.2 Pascatarik
Pada struktur yang menggunakan kabel tunggal, tidak ada
kehilangan tegangan akibat perpendekan beton, karena gaya kabel
diukur setelah perpendekan terjadi. Pada penampang yang
menggunakan lebih dari satu kabel, kehilangan gaya prategang
ditentukan oleh kabel yang pertama ditarik dan memakai harga
setengahnya untuk mendapatkan harga rata-rata semua kabel.
Kehilangan tegangan pada struktur pascatarik dapat ditentukan dengan
persamaan berikut:
�� � ��� � l�����
Dimana:
fc = tegangan pada penampang
Pi = gaya prategang awal
4.2.2 Gesekan pada Tendon
Pada struktur beton prategang dengan tendon yang melengkung
diketahui adanya gesekan pada sistem penarik (jacking) dan angkur
sehingga tegangan yang ada pada tendon lebih kecil daripada yang
terdapat pada alat baca tekanan (pressure gauge). Kehilangan
tegangan akibat gesekan pada tendon sangat dipengaruhi oleh
pergerakan dari selongsong (wobble). Untuk itu digunakan koefisien
wobble, K, dan koefisien kelengkungan �. Harga K untuk tendon 7 wire
strand pada selongsong yang fleksibel adalah antara 0,0016 dan
0,0066. Harga �-nya antara 015 dan 0,25. Sedangkan kehilangan
tegangan akibat gesekan pada tendon dapat ditentukan dengan
persamaan berikut:
������� � �����
�)��|�| � ��F � ����
Dimana:
P1 = besarnya gaya prategang di titik 1
P2 = besarnya gaya prategang di titik 2
L = panjang segmen yang diperhitungkan
� = sudut pada tendon
Menurut SNI 2002, kehilangan tegangan akibat friksi pada
tendon pascatarik harus dihitung dengan rumus:
,� � ,� � 1���*�x��� Bila (K Lx + � �) tidak lebih dari 0,3 maka kehilangan tegangan
akibat friksi harus diperhitungkan dengan persamaan berikut:
,� � ,� ��4 � ��F� � ����
Dimana:
Ps = gaya prategang pada ujung angkur
Px = gaya prategang pada titik yang ditinjau
Nilai K dan � selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
������� � �����
Jenis Baja
Prategang
Koefisien
Wobble K
Koefisien
Friksi (�)
Tendon kawat 0,0033 – 0,0049 0,15 – 0,25
Batang kekuatan
tinggi
0,0003 – 0,0020 0,08 – 0,30
Strand 7 kawat 0,0016 – 0,0066 0,15 – 0,25
Tendon
Tanpa
Lekatan
Mastic
Coasted
Tendon kawat 0,0033 – 0,0066 0,05 – 0,15
Strand 7 kawat 0,0033 – 0,0066 0,05 – 0,15
Pre-
greassed
Tendon kawat 0,0010 – 0,0066 0,05 – 0,15
Strand 7 kawat 0,0010 – 0,0066 0,05 – 0,15
4.2.3 Slip pada Angkur
Slip pada angkur terjadi sewaktu kawat dilepaskan dari mesin
penarik dan ditahan baji pada angkur. Panjang atau besarnya slip
tergantung tipe baji dan tegangan pada kawat tendon. Harga rata-rata
panjang slip adalah 2,5 mm. Untuk menentukan kehilangan tegangan
akibat slip dapat menggunakan persamaan berikut:
GB� � �F � ���z F Dimana:
� = deformasi pada angkur atau dapat dihitung dari rasio fs dn Es.
fc = tegangan pada penampang
Es = modulus elastisitas baja tendon
L = panjang kabel
������� � ����
4.3 Kehilangan Tegangan Tergantung Waktu
Kehilangan tegangan tergantung waktu (time dependent loss of
stress) diakibatkan oleh proses penuaan beton selama dalam
pemakaian. Proses ini terutama dipengaruhi oleh adanya susut dan
rangkak pada beton sepanjang umur pemakaian. Disamping kedua hal
tersebut, kehilangan tegangan juga dipengaruhi oleh adanya relaksasi
pada baja prategang.
4.3.1 Rangkak pada Beton
Kehilangan tegangan pada baja prategang akibat rangkak dapat
ditentukan dengan dua cara, yaitu cara regangan batas dan cara
koefisien rangkak.
Dengan cara regangan batas, besarnya kehilangan tegangan
pada baja prategang akibat rangkak dapat ditentukan dengan
persamaan berikut:
�� � �� � �� � �� Sedangkan dengan koefisien rangkak, besarnya kehilangan
tegangan pada baja prategang akibat rangkak dapat ditentukan dengan
cara sebagai berikut:
� � ������ �j � � � �� � � ���� �� � �j � �� � � ���� �� � � � �� � �z�� � � � �� � f
Dimana:
� = koefisien rangkak
�cr = regangan akibat rangkak
������� � �����
�ce = regangan elastis
Es = modulus elastisitas baja
n = angka rasio modular
fc = tegangan tekan beton pada level baja
Ec = modulus elastisitas beton
Rangkak pada beton terjadi karena deformasi akibat adanya
tegangan pada beton sebagai suatu fungsi waktu. Pada struktur beton
prategang, rangkak mengakibatkan berkurangnya tegangan pada
penampang. Untuk struktur dengan lekatan yang baik antara tendon
dan beton, kehilangan tegangan akibat rangkak dapat diperhitungkan
dengan persamaan berikut:
�� � ��j �z�� ���� � ���� Dimana:
Kcr = koefisien rangkak, harganya 2,0 untuk pratarik dan 1,6 untuk
pascatarik
Ec = modulus elastisitas beton
Es = modulus elastisitas baja
Fci = tegangan pada beton pada level baja sesaat setelah transfer
Fcd = tegangan pada beton pada pusat berat tendon akibat beban
mati
Sedangkan untuk struktur dimana tidak terjadi lekatan yang baik
antara tendon dan beton, besarnya kehilangan tegangan dapat
ditentukan dengan persamaan berikut:
�� � ��j �z�� ��+
������� � �����
dimana fcp adalah tegangan tekan beton rata-rata pada pusat
berat beton.
4.3.2 Susut pada Beton
Hal-hal yang mempengaruhi susut pada beton adalah rasio
volume terhadap luas permukaan, kelembaban relatif dan waktu antara
akhir pengecoran dan pemberian gaya prategang. Kehilangan
tegangan akibat susut dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
�� � �� � �� Dimana:
�cs = regangan susut sisa total, dengan harga:
�cs = 300 x 10-6
untuk struktur pratarik
�� � &<<�"<�� ¡¢|£��x&� untuk struktur pascatarik dengan t adalah usia
beton pada waktu transfer gaya prategang, dalam hari
Susut pada beton dapat juga ditentukan dengan persamaan:
�� � �� � ��� � �� Harga �sh ditentukan dengan persamaan berikut:
�� � =25�4��J s4 � �2�@¤pu �4�� � ��� Dimana:
�sh = susut efektif
Ksh = koefisien susut, harganya ditentukan terhadap waktu antara
akhir pengecoran dan pemberian gaya prategang.
������� � �����
Waktu antara
(hari) 1 3 5 7 10 20 30 60
Ksh 0,92 0,85 0,80 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45
Es = modulus elastisitas baja
V = volume beton dari suatu komponen struktur
S = luas permukaan dari suatu komponen struktur
RH = kelembaban udara relatif
4.3.3 Relaksasi Baja
Relaksasi baja terjadi pada baja prategang dengan perpanjangan
tetap selama suatu periode yang mengalami pengurangan gaya
prategang. Pengurangan gaya prategang tergantung pada lamanya
waktu berjalan dan rasio gaya prategang awal fpi terhadap gaya
prategang akhir fpy. Besarnya kehilangan tegangan akibat relaksasi baja
adalah:
�� � �¥�j� � b��� � �� � ���¦ Dimana:
C = faktor relaksasi, harganya tergantung pada jenis kawat baja
prategang
Kre = koefisien relaksasi, harganya bervariasi antara 41 – 138 N/mm2
J = faktor waktu, harganya berkisar antara 0,05 – 0,15
SH = kehilangan tegangan akibat susut
CR = kehilangan tegangan akibat rangkak
ES = kehilangan tegangan akibat perpendekan elastis
������� � �����
Kehilangan tegangan akibat relaksasi terhadap presentase nilai
gaya prategang awal dapat juga ditentukan dengan persamaan berikut:
�� � �§4 � &���p�[� ¨ Dimana:
R = relaksasi yang direncanakan, dalam %
ECS = kehilangan tegangan pada tendon akibat rangkak CR ditambah
susut SH
fpi = tegangan pada tendon sesaat setelah pemindahan gaya
prategang