Upload
priadiwae
View
108
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Mood Disorder and Suicide
A. Definisi
1. Mood Disorder
Gangguan pada mood yang berlangsung sangat lama tidak seperti biasanya
atau parah dan cukup serius sehingga menghambat fungsi sehari-hari.
B. Tipe-Tipe Gangguan Mood
Gangguan mood dibagi menjadi dua garis besar:
Gangguan-gangguan Depresi (unipolar)
Gangguan depresi ini dianggap unipolar karena gangguan ini terjadi hanya pada
satu arah atau kutub emosionalke bawah. Gangguan-gangguan Depresi ini dibagi
menjadi dua gangguan lagi, yaitu:
1. Gangguan Depresi Mayor
Gangguan depresi mayor adalah suatu gangguan mood yang parah yang
ditandai dengan episode-episode depresi mayor. Diagnosis dari gangguan depresi
mayor didasarkan pada satu atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya
riwayat episode manik atau hipomanik. Dalam episode depresi mayor, orang
tersebut mengalami salah satu diantara mood depresi (merasa sedih, putus asa,
atau ”terpuruk”) kehilangan minat, rasa senang atau berbagai aktivitas untuk
episode waktu paling sedikit 2 minggu (APA, 2000). Orang dengan depresi mayor
biasanya dapat kehilangan minat pada hampir semua aktivitas rutin dan kegiatan
senggang mereka. Mereka juga mengalami kesulitan dalam membuat keputusan
dan berkonsentrasi pada sesuatu hal, memiliki pikiran yang menekankan pada
kematian dan mencoba bunuh diri.
Gangguan depresi mayor adalah tipe yang paling umum dari gangguan mood
yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidupnya wanita
lebih banyak mengalaminya dibandingkan pria (APA,2000). Depresi mayor,
khususnya pada episode yang lebih parah atau lebih berat, dapat disertai dengan
ciri psikosis, seperti dengan delusi bahwa tubuhnya digerogoti penyakit (Coryell
dkk., 1996). Orang dengan dengan depresi berat juga dapat mengalami
halusinasi, seperti ”mendengar” suara-suara orang lain, atau iblis yang seolah-olah
mengutuk mereka atas kesalahan yang dipresepsikan.
Di bawah ini adalah ciri-ciri dari suatu episode depresi mayor yang digunakan
untuk mendiagnostik gangguan depresi mayor. Suatu episode depresi mayor
ditandai dengan munculnya lima atau lebih ciri-ciri atau simtom-simtom di bawah
ini selama suatu periode 2 minggu. Paling tidak satu dari ciri-ciri tersebut harus
melibatkan (1) mood yang depresi, atau (2) kehilangan minat atau kesenangan
dalam beraktivitas.
a. Mood yang depresi hampir sepanjang hari, dan hampir setiap hari.
Dapat berupa mood yang mudah tersinggung pada anak-anak atau remaja.
b. Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam semua atau
hampir semua aktivitas, hampir setiap hari, hampir sepanjang hari.
c. Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan
(5% dari berat tubuh dalam sebulan), tanpa upaya apa pun untuk berdiet, atau
suatu peningkatan atau penururnan dalam selera makan.
d. Setiap hari (hampir setiap hari) mengalami insomnia atau
hipersomnia (tidur berlebihan).
e. Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respons gerakan hampir
setiap hari.
f. Perasaan lelah atau kehilangan energi hampir tiap hari.
g. Perasaan tidak berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah
yang berlebihan atau tidak tepat hampir tiap hari.
h. Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi, berpikir jernih
atau membuat keputusan hampir setiap hari.
i. Pikiran yang muncul berulang-ulang tentang kematian atau bunuh
diri tanpa suatu rencana yang spesifik, atau munculnya suatu percobaan bunuh
diri atau rencana yang spesifik untuk melakukan bunuh diri.
Episode-episode depresi mayor dapat berlangsung dalam jangka bulanan atau
satu tahun atau bahkan lebih (APA, 2000; USDHHS, 1999a). Umumnya orang
yang pernah mengalami gangguan episode depresi mayor dapat kambuh lagi
diantara periode normal. Dengan adanya pola kemunculan berulang dari episode
depresi mayor, depresi mayor disebut sebagai gangguan kronis, bahkan sepanjang
hidup.
Bentuk-bentuk dari depresi mayor antara lain adalah:
a Gangguan afektif musiman
Sering disebut juga dengan SAD (seasonal affective <mood> disorder) yaitu
suatu perubahan mood yang dipengaruhi oleh perubahan musim atau cuaca
yang dapat merubah ritme biologis pada tubuh yang mengatur temperatur
tubuh dan siklus tidur-bangun (Lee dkk., 1998). Ciri-ciri orang yang
mengalami SAD antara lain rasa letih, tidur yang berlebihan, lapar akan
karbohidrat dan berat badan naik. Lebih banyak terjadi pada wanita dibanding
pria dan terjadi pada masa dewasa muda.
b. Depresi pasca melahirkan
Terjadi beberapa hari setelah proses melahirkan yang menyebabkan perubahan
proses hormonal. Depresi pasca melahirkan disebut juga dengan postpartum
depression (PPD). PPD sering kali ditandai dengan gangguan dalam selera
makan dan tidur, self esteem yang rendah, serta kesulitan-kesulitan dalam
mempertahankan konsentrasi atau perhatian. Depresi pasca melahirkan
dianggap sebagai suatu bentuk depresi mayor yang onset dari episode
depresinya bermula dari jangka waktu 4 minggu setelah melahirkan
(APA,2000). Depresi pasca melahirkan biasanya lebih ringan dibandingkan
bentuk-bentuk depresi mayor lainnya dan relatif cepat sembuh (whiffen &
gotlib, 1993).
2. Gangguan Distimik
Berasal dari bahasa Yunani yaitu dysthimia di mana dys- yang berarti buruk
dan thymos yang berarti spirit. Gangguan distimik merupakan suatu bentuk
depresi kronik yang lebih ringan daripada gangguan depresi mayor. Meski
gangguan distimik lebih ringan daripada gangguan depresi mayor, mood
tertekan atau dan self esteem rendah yang terus menerus dapat mempengaruhi
fungsi pekerjaan dan sosial orang tersebut
Gangguan Perubahan Mood (bipolar)
Gangguan depresi ini dianggap bipolar karena gangguan ini melibatkan ekses
baik depresi maupun rasa girang, biasanya dalam pola bergantian. Gangguan-
gangguan Depresi ini dibagi menjadi dua gangguan lagi, yaitu:
1. Gangguan bipolar
Adalah suatu gangguan yang ditandai dengan perubahan mood antara rasa girang
yang ekstreem dan depresi yang parah. Episode dari gangguan bipolar dapat
berupa manik atau depresi. Dalam episode manik, biasanya bertahan beberapa
minggu hingga beberapa bulan. Episode manik sendiri adalah suatu periode
peningkatan euforia yang tidak realistis, sangat gelisah, dan aktivitas yang
berlebihan, yang ditandai dengan perilaku yang tidak terorganisasi dan hendaya
dalam penilaian.
Ciri-ciri dalam episode manik:
a. Mood yang melambung atau mudah tersinggung selama sekurang-kurangnya
seminggu.
b. Meningkatnya kadar aktivitas dalam pekerjaan, secara sosial, dan seksual.
c. Lebih banyak bicara dibanding biasanya; berbicara dengan cepat.
d. Pikiran yang melompat-lompat atau kesan yang subjektif bahwa berbagai
pikiran seolah berkejaran.
e. Memerlukan tidur lebih sedikit dari biasanya.
f. Harga diri yang melambung;yakin bahwa ia memiliki bakat istimewa,
kekuatan dan kemampuan
g. Mudah terganggu, perhatian beralih dengan mudah.
h. Keterlibatan yang berlebihan dalam berbagai aktivitas yang menyenangkan
yang kemungkinan memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti
berbelanja tanpa perhitungan.
Menurut DSM gangguan bipolar umum dibagi menjadi 2:
Gangguan bipolar I
Orang tersebut paling tidak mengalami satu episode manik secara penuh, individu
biasanya mengalami perubahan mood antara rasa girang dan depresi dengan
diselingi periode antara berupa mood normal.
Gangguan bipolar II
Diasosiasikan dengan suatu bentuk maniak yang lebih ringan. Pada gangguan ini
seseorang akan mengalami satu atau lebih episode-episode depresi mayor dan
paling tidak satu episode hipomanik. Namum orang tersebut tidak pernah
mengalami episode manik secara penuh.
2. Gangguan Siklotimik
Gangguan siklotimik berasal dari kata yunani kyklos yang berarti ”lingkaran” dan
thymos (”spirit”). Ganguan ini diartikan sebagai tipe gangguan bipolar yang
ditandai dengan suatu pola yang kronis dari perubahan mood ringan yang kadang-
kadang meningkat menjadi gangguan bipolar. Berawal pada masa dewasa dan
berlangsung selama bertahun-tahun.
C. Etiologi
Faktor-faktor biologis:
Predisposisi genetik
Fungsi neurotransmiter yang terganggu
Abnormalitas pada bagian otak yang mengatur kondisi mood
Keterlibatan sistem endokrin yang memungkinkan dalam kondisi mood
Faktor-faktor sosial lingkungan:
Peristiwa hidup yang penuh tekanan, seperti kehilangan seseorang yang
dicintai atau lama menganggur.
Faktor-faktor behaviorial:
Kurangnya reinforcement
Interaksi yang negatif dengan orang lain, menghasilkan penolakan
Faktor-faktor emosional dan kognitif:
Dalam teori psikoanalisis klasik, kemarahan diarahkan ke dalam
Kesulitan emosional dalam melakukan copyng atas kehilangan orang yang
dikasihi
Kurangnya makna atau tujuan dalam kehidupan
Cara berpikir yang bias atau terdistorsi secara negatif, atau suatu gaya
atribusional yang cenderung depresi
Perspektif Teori Tentang Gangguan Mood
Teori Psikodinamika
Teori ini meyakini bahwa depresi mewakili kemarahan yang diarahkan ke
dalam diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah
dapat diarahkan pada self setelah mengalami kehilangan yang sebenarnya atau
ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap penting. Para teoritikus
psikodinamika lebih berfokus pada hilangnya self esteem yang dapat muncul
saat orang kehilangan teman atau anggota keluarga ataupun mengalami
kemunduran atau kehilangan pekerjaan.
Teori Humanistik
Menurut kerangka humanistik, orang menjadi depresi saat mereka tidak dapat
mengisi keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-
pilihan uatentik yang menghasilkan self-fulfillment. Pencarian akan makna
memberikan warna dan arti bagi kehidupan manusia. Perasaan bersalah dapat
timbul saat orang percaya bahwa mereka tidak membangkitkan potensi-potensi
mereka. Para tokoh teori humanistik memiliki fokus yang sama dengan
teoritikus psikodinamik tetapi lebih menghubungkan identiras personal dan
rasa self-worth seseorang dengan peran-peran sosialnya sebagai orang tua,
pasangan, pelajar, atau pekerja.
Teori Belajar
Teoritikus belajar lebih memikirkan faktor-faktor situasional seperti kehilangan
reinforcement positif. Peter Lewinsohn (1974) menyatakan bahwa depresi
dihasilkan dari ketidakseimbangan antara output perilaku dan input
reinforcement yang berasal dari lingkungan. Kurangnya reinforcement untuk
usaha seseorang dapat menurunkan motivasi dan menyebabkan perasaan
depresi.
Teori Kognitif
Aaron Beck menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara
berpikir yang bias atau terdistorsi secara negatif di awal kehidupan. Teori
kognitif meyakini bahwa orang yang mengadopsi cara berpikir negatif
memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi depresi bila dihadapkan pada
pengalaman hidup yang menekan atau mngecewakan seperti mendapat nilai
buruk tau kehilangan pekerjaan.
Gambaran Skema dari Beck:
Triad Negatif(gambaran pesimis tentang diri, dunia, dan
masa depan)
Skema atau keyakinan negatif yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa hiduy yang negatif
(misalnya aumsi bahwa “saya harus sempurna”)
Bias-bias kognitif(missal: penyimpulan arbitrer)
DEPRESI
Teori Atribusi dan Learned Helplessness
Menurut teori ini, orang akan mengalami depresi apabila mereka
mengatriusikan peristiwa negatif dengan atribusi global dan stabil. Individu
yang rentan terhadap depresi adalah yang memperlihatkan gaya atribusi
depresif, yaitu kecenderungan untuk mengatribusi hasil yang buruk pada
kesalahan pribadi yangglobal dan menetap.
Teori Hopelessness
Penanganan Gangguan Mood
*Pendekatan Psikodinamika
Psikoanalisis tradisional bertujuan membantu orang yang depresi untuk
memahami perasaan mereka yang ambivalensi terhadap orang-orang (objek)
penting dalam hidup mereka yang telah hilang atau yang terancam akan hilang.
Psikoanalisis tradisional membutuhkan waktu yang lama untuk mengungkap
dan menghadapi konflik-konflik yang tidak disadari. Model psikoanalisis yang
baru yaitu IPT (Interpesonal Psychoterapy). IPT adalah suatu bentuk singkat
dari terapi yang berfokus pada hubungan interpersonal klien di saat ini. IPT
telah tampil sebagai suatu penanganan yang efektif bagi depresi mayor dan
menunjukkan harapan dalam menangani gangguan pikologis lainnya termasuk
gangguan distimik dan bulimia. IPT membutuhkan waktu yang lebih singkat
dibandingkan psikoanalisis tradisional. Terapis berperan untuk membantu klien
mengekpresikan kesedihannya dan menghadapi rasa kehilangannya sambil
Peristiwa menyakitkan
Atribusi pada faktor global dan stabil
Perasaan tidak berdaya, tidak ada respon yang
berarti untuk mengatasi situasi
DEPRESI
Peristiwa menyakitkan
Atribusi pada faktor global dan stabil atau faktor kognitif lain
Perasaan tidak berdaya, tidak ada respon yang
berarti untuk mengatasi situasi dan hasil yang diharapkan tidak akan
terjadi
DEPRESI
membimbing klien dalam mengembangkan aktivitas-aktivitas dan hubungan-
hubungan baru untuk membantu memperbaharui kehidupan klien.
*Pendekatan Behavioral
Pendekatan behavioral menggunakan program terapi kelompok yng disebut
CWD (Coping With Depression) Course. Program ini membantu klien
memperoleh keterampilan relaksasi, meningkatkan aktivitas yang
menyenangkan, dan membangun keterampilan sosial yang memungkinkan
mereka untuk mendapatkan reinforcement sosial. Peseta program ini diajarkan
untuk menyusun suatu rencana self-change unutk berpikir lebih konstruktif,
serta unutk membuat suatu rencana sepanjang hidup unutk mempertahankan
hasil penanganan dan mencegah kambuhnya depresi. Terapis berperan sebagai
guru dan klien sebagai murid.
*Pendekatan Kognitif
Aaron Beck mengembangkan suatu pendekatan penanganan yang
multikomponen yang disebut terapi kognitif (Cognitive Therapy). Kognitif
terapi ini berfokus pada membantu klien dengan depresi belajar untuk
menyadari dan mengubah pola berpikir klien yang disfungsional. Terapi
kognitif ini merupakan suatu bentuk terapi yang singkat, biasanya 14 samapi
16 sesi mingguan. Terapis menggunakan kombinasi dari teknik-teknik
behavioral dan kognitif untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengubah
pikiran-pikiran yang disfungsional serta mengembangkan perilaku yang lebih
adaptif.
Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis yang paling umum untuk menangani gangguan mood
melibatkan penggunaan obat-obatan antidepresan dan terapi elektrokonvulsif
untuk depresi serta litium karbonat untuk gangguan bipolar.
- Obat Antedepresan
Obat-obatan yang digunakan untuk menangani depresi mencakup beberapa
kelas dari antidepresan, yaitu tricyclic antidepressants (TCAs), monoamine
oxidase (MAO) inhibitors, dan selective serotonin-reuptake inhibitors
(SSRIs). Obat yang digunakan gangguan bipolar adalah obat litium
karbonat. Litium karbonat merupakan bentuk bubuk dari litium berelemen
metalik. Litium efektif menstabilkan mood orang yang menderita
gangguan bipolar dan dalam mengurangi eisode-episode kambuh dari
maniak dan depresi (Baldessarini & Tondo,2000; Grof & Alda,2000).
Namun litium umumnya lebih efektif dalam menangani simtom-simtom
manik daripada depresi.
- Terapi Elektrokonvulsif
Terapi elektrokonvulsif (Electroconvulsive therapy/ECT) lebih sering
disebut terapi kejutan (shock therapy). ECT melibatkan pengaliran arus
listrik ke kepala. Arus listrik antara 70 hingga 130 volt digunakan untuk
menginduksi suatu konvulsi yang serupa dengan serangan epilepsy grand
mal.
BUNUH DIRI
Menurut Maramis (1994), (percobaan) bunuh diri ialah segala perbuatan
seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat.
Pikiran atau upaya bunuh diri merupakan salah satu karakterisitik depresi
mayor yang terdapat dalam DSM. Oleh karena itu, definisi depresi biasanya
mencakup pikiran atau tindakan bunuh diri. Dengan gejala yang sama, bila para
penderita skizofrenia atau masalah penyalahgunaan zat melakukan tindakan
bunuh diri, seringkali mereka juga didiagnosis menderita depresi (Roy, 1982; Roy
& Linnoila, 1986). Dengan demikian tidak mengherankan bila pemikiran untuk
bunuh diri banyak dimiliki orang-orang yang sakit mental, mengingat perilaku
yang menghancurkan diri sendiri tersebut diindikasikan sebagai salah satu ciri
beberapa gangguan mental.
Bunuh diri merupakan tindakan kompleks dan multisegi (Berman & Jobes,
1996; Brown dkk., 2000; Hoyert dkk., 2001; Moscicki, 1995). Tidak ada satupun
teori yang dapat menjelaskannya.
PERBANDINGAN ANTARA ORANG-ORANG YANG BERUPAYA DAN
BERHASIL BUNUH DIRI
Karakterisitik Orang-orang yang
Berupaya Bunuh Diri
Orang-orang yang
Berhasil Bunuh Diri
Gender Mayoritas perempuan Mayoritas Laki-laki
Usia Terutama berusia muda Risiko meningkat berkaitan
dengan usia
Metode Tingkat kefatalan rendah
(pil, memotong urat nadi)
Lebih keras (dengan senjata
api, melompat)
Diagnosis umum Gangguan distimik
Gangguan kepribadian
ambang skizofrenia
Gangguan mood mayor
Alkoholisme
Emosi dominan Depresi disertai
kemarahan
Depresi disertai
keputusasaan
Motivasi Perubahan kondisi
Mengharapkan
pertolongan (cry for help)
Depresi disertai
keputusasaan
Kematian
Riwayat rumah sakit Kesembuhan singkat dari
disforia
Sikap terhadap
upaya bunuh diri
Lega karena dapat selamat
Berjanji untuk tidak
mengulangi
Sumber: Diadaptasi dari Fremouw dkk, 1990
Beberapa mitos tentang Bunuh Diri, terdapat banyak miskonsepsi tentang
bunuh diri yang diyakini secara umum (Fremouw dkk., 1990; Pokorny, 1968;
Shneidman, 1973);
1. Orang-orang yang berkata ingin bunuh diri tidak akan melakukan tindakan
tersebut
2. Bunuh diri dilakukan tanpa memberi peringatan
3. Hanya orang-orang dari kelas tertentu yang melakukan bunuh diri
4. Menjadi anggota kelompok keagamaan tertentu adalah prediktor yang baik
bahwa seseorang tidak akan berpikir untuk bunuh diri
5. Motif bunuh diri dapat dengan mudah diketahui
6. Semua orang yang melakukan tindakan bunuh diri berada dalam keadaan
depresi
7. Seseorang yang menderita penyakit fisik yang mematikan tidak mungkin
melakukan bunuh diri
8. Tindakan bunuh diri merupakan tindakan psikotik
9. Bunuh diri dipengaruhi faktor-faktor kosmik
10.Membaiknya kondisi emosional berarti mengurangu risiko bunuh diri
11.Bunuh diri merupakan kesepian
12.Orang-orang yang berniat bunuh diri memang ingin mati
13.Berpikir untuk bunuh diri merupakan hal yang jarang terjadi
14.Menanyakan kepada seseorang, terutama orang yang depresi, tentang bunuh
diri akan memojokkannya dan menyebabkan tindakan bunuh diri yang
sebenarnya tidak akan terjadi jika tidak ditanyakan
15.Orang-orang yang mencoba bunuh diri dengan cara yang kefatalannya rendah
tidak sungguh-sungguh ingin membunuh dirinya sendiri
Perspektif Bunuh Diri
Ketika membayangkan bunuh diri biasanya berpikir tentang seseorang
yang penuh dengan perhitungan melakukan tindakan dramatis yang dipilih secara
eksplisit untuk mengakhiri hidupnya dengan segera, misalnya; perempuan yang
duduk di dalam garasi dengan mesin mobil menyala, laki-laki dengan ujung pistol
menempel di pelipisnya, atau seorang anak dengan sebotol obat tidur orang
tuanya. Namun, para ahli bunuh diri juga menganggap seseorang memiliki niat
bunuh diri jika mereka bertindak dengan cara yang tidak tampak jelas ingin
menghancurkan diri sendiri, namun dapat menyebabkan cedera serius atau
kematian setelah kurun waktu lama, seperti pasien diabetes yang menolak untuk
diberi insulin atau tidak patuh terhadap aturan diet atau seseorang yang menderita
alkoholisme yang tetap minum alkohol dan tidak mencari pertolongan terlepas
dari kesadaran terhadap kerusakan yang diakibatkan pada tubuhnya. Kadangkala
disebut kematian subintensional, tindakan yang jelas bunuh diri tersebut makin
merumitkan tugas untuk memahami dan mengumpulkan data statistik mengenai
bunuh diri (Shneidman, 1973).
Berbagai pemikiran tentang ciri-ciri dan penyebab bunuh diri dapat
ditemukan di banyak tempat (Shneidman, 1987). Surat-surat dan catatan harian
dapat memberikan insight tentang fenomenologi orang-orang yang bunuh diri.
Banyak motif bunuh diri yang dikemukakan (Mintz, 1968): agresi yang
dibalikkan ke diri sendiri; pembalasan yang dilakukan dengan cara menimbulkan
perasaan bersalah pada orang lain; upaya untuk memaksakan cinta dari orang lain;
upaya untuk melakukan perubahan atas kesalahan yang dilihat pada masa lalu;
keinginan untuk bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal; dan
keinginan atau kebutuhan untuk melarikan diri dari stress, kehancuran, rasa sakit,
atau kekosongan emosional.
Suatu teori tentang bunuh diri yang didasari penelitian dalam bidang
psikologi sosial dan kepribadian menyatakan bahwa beberapa tindakan bunuh diri
dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran diri yang menyakitkan
atas kegagalan dan kurangnya keberhasilan (Baumeister, 1990). Berbagai laporan
media massa tentang bunuh diri dapat menyebabkan meningkatnya angka bunuh
diri. Kemungkinan yang tidak menyenangkan ini dibahas oleh Bandura (1986),
dan yang mengkaji penelitian oleh Philips (1974, 1977, 1983) menunjukkan
beberapa hubungan berikut:
1. Bunuh diri meningkat hingga 12 persen pada bulan berikutnya menyusul
kematian Marilyn Monroe.
2. Publikasi berbagai kematian karena tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh
orang-orang yang tidak terkenal juga diikuti peningkatan angka bunuh diri
secara signifikan, menunjukkan bahwa hal yang menjadi penting adalah
publikasi itu sendiri dan bukan keterkenalan orang yang melakukannya.
3. Publikasi peristiwa pembunuhan-bunuh diri diikuti oleh meningkatnya
kecelakaan mobil dan pesawat di mana pengemudi dan penumpang tewas.
4. Berbagai laporan media massa tentang kematian wajar orang-orang yang
terkenal tidak diikuti peningkatan angka bunuh diri, menunjukkan bahwa
bukan rasa dukacita semata yang merupakan faktor berpengaruh.
Pandangan Teori-Teori terhadap Bunuh Diri
1. Psikoanalisis Freud
Freud menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan. Ketika seseorang
kehilangan orang yang dicintai sekaligus dibencinya, dan meleburkan orang
tersebut dengan dirinya, agresi dirahkan ke dalam. Jika perasaan ini cukup
kuat, orang yang bersangkutan akan bunuh diri.
2. Sosiologis Durkheim
Emile Durkheim (1897, 1951), menganalisis berbagai laporan bunuh diri
dari berbagai negara dan periode sejarah dan menyimpulkan bahwa penihilan
diri sendiri dapat dipahami secara sosiologis. Ia membedakan 3 jenis bunuh
diri.
a. Bunuh diri egostik dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sedikit
keterikatan dengan keluarga, masyarakat, atau komunitas. Orang-orang ini
merasa terasingkan dari orang lain, tidak memiliki dukungan sosial yang
penting agar mereka tetap berfungsi secara adaptif sebagai makhluk sosial.
b. Bunuh diri altruistik dianggap sebagai respon terhadap berbagai tuntutan
sosial. Beberapa orang yang bunuh diri merasa sangat menjadi bagian suatu
kelompok dan mengorbankan diri untuk melakukan hal yang dianggapnya
menjadi kebaikan bagi masyrakat.
c. Bunuh diri anomik dipicu oleh perubahan mendadak dalam hubungan
seseorang dengan masyarakat.
3. Shneidman dan Farberow, membagi orang yang melakukan bunuh diri
menjadi 4 golongan, yaitu:
a. Mereka yang percaya bahwa tindakan bunuh diri itu benar, sebab
mereka memandang bunuh diri sebagai peralihan menuju kehidupan yang
lebih baik atau mempunyai arti untuk menyelamatkan nama baiknya
(misalnya: hara-kiri)
b. Mereka yang sudah tua, hal ini ditemukan pada orang yang
kehilangan anak atau cacat jasmaninya, yang menganggap bunuh diri
sebagai suatu jalan keluar dari keadaan yang tidak menguntungkan bagi
mereka.
c. Mereka yang psikotik dan bunuh diri di sini merupakan jawaban
terhadap halusinasi atau wahamnya.
d. Mereka yang bunuh diri sebagai balas dendam, yang percaya
bahwa karena bunuh diri orang lain akan berduka cita dan mereka sendiri
akan dapat menyaksikan kesusahan orang lain itu.
4. Herbert Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh diri
sebagai berikut:
a. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (death as retaliatory
abandonment)
Bunuh diri dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang
rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia
dapat mengontrol dan mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
b. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (death
as retroflexed murder)
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, bunuh diri dapat
mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresi. Orang ini
cenderung untuk bertindak kasar dan bunuh diri dapat merupakan
penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk
membunuh.
c. Kematian sebagai penyatuan kembali (death as reunion)
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu
akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal. Lebih sering
ditekankan pada rasa puas untuk mengikuti yang telah meninggal itu.
d. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (death as self
punishment)
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi
pada wanita, akan tetapi jika seorang ibu tidak mampu mencintai, maka
keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit
jiwa, perasaan tidak berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal
yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena
agresi, individu itu mencoba berbuat baik lagi, tetapi akhirnya ia
menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.
Panduan Untuk Menangani Klien yang Berpikir Untuk Bunuh Diri
Prosedur Umum
1. Berbicara tentang bunuh diri secara terbuka dan berdasarkan fakta
2. Hindari kat-kata negatif tentang perilaku atau motif bunuh diri
3. Sampaikan teori penyelesaian masalah tentang perilaku bunuh diri dan pertahankan
sudut pandang bahwa bunuh diri merupakan solusi yang tidak adaptif dan tidak efektif
4. Libatkan orang-orang yang signifikan bagi klien, termasuk terapis lain
5. Jadwalkan sesi secara cukup sering dan pertahankan disiplin misalnya sekurang-
kurangnya beberapa waktu dalam terapi difokuskan untuk tujuan jangka panjang terapi
6. Tetap menyadari betapa banyaknya variabel dalam diri pasien, dan hindari
mengambil atau menerima tanggung jawab secara berlebihan atas perilaku ingin bunuh
diri pasien
7. Lakukan terus konsultasi profesional dengan seorang kolega
8. Lakukan terus kontak berkala dengan orang-orang yang menolak menjalankan terapi
Sumber: Linehan, 1981, dalam H. Glazer dan J. Clarkin (Ed.), Depression, Behavioral,
Directive Interpretation Strategies (hlm 229-294), New York : Garland. Hak cipta 1981
Gangguan Mood15% pasien
gangguan mood kemudian bunuh
diri
Percobaan bunuh diri10% percobaan bunuh diri kemudian berhasil 10 tahun terakhir
Gambar hubungan gangguan perasaan dengan percobaan bunuh diri:
Bunuh Diri
45-70% orang yang bunuh diri memiliki gangguan moodsegala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat
19-24% orang berhasil bunuh diri pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA
Maramis, W.E. (1995). Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Erlangga University Press.Maslin, R. (2001). Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. Fausiah. (2003). Psikologi Abnormal Klinis.Nevid,J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2003). Psikologi Abnormal (jilid 1). Jakarta: Erlangga