Upload
ryandy
View
436
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
MorfeaCorry Shinta Madame, S.Ked
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit KelaminFK UNSRI/RSMH Palembang
2010
1. Pendahuluan
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized
scleroderma), adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang
berlebihan yang menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau
keduanya1. Pada morfea terjadi sklerosis kulit yang bersifat terlokalisir dan
ditandai dengan penebalan dan indurasi pada kulit tanpa keterlibatan sistemik2.
Morfea adalah kondisi yang jarang terjadi dimana insiden yang telah
dilaporkan adalah 2,7 per 100.000 penduduk2. Penyakit ini menyerang kurang
lebih 300.000 penduduk Amerika atau sebesar 1 per 1.000 (0,001% dari 310 juta
populasi AS) dan diperkirakan sekitar 27 kasus baru/1 juta populasi/tahun. Tetapi
insiden yang sebenarnya lebih besar karena banyak kasus yang terlewatkan dari
perhatian medik dan juga mungkin tidak dilaporkan sebagaimana dokter tidak
tanggap terhadap penyakit ini. Studi yang adekuat mengenai insiden dan
prevalensi pun belum pernah dilakukan. Walaupun insidennya jarang, studi
epidemiologi memberi kesan bahwa 0,9-5,7% pasien dengan morfea berkembang
menjadi skleroderma sistemik1.
Rasio laki-laki-perempuan adalah 1:2-3 atau wanita terkena penyakit
ini kira-kira 3 kali lebih sering dari pria untuk segala bentuk morfea kecuali
subtipe linear, yang hanya sedikit predominan pada wanita2,3. Morfea dapat terjadi
pada segala ras, tetapi penyakit ini lebih umum ditemukan pada bangsa Kaukasian
dan Asia dibanding Afrika Amerikan. Semua varian muncul pada dewasa dan
anak-anak dan dapat muncul pada usia apapun. Jenis linear scleroderma lebih
umum ditemukan pada anak-anak dan remaja dan dapat terjadi pada usia dekade
pertama dan kedua, dengan dua per tiga dari kasus ditemukan sebelum usia 18
1
tahun. Sedangkan generalized morphea lebih umum pada dewasa dan biasanya
muncul pada pertengahan usia2.
Morfea sendiri adalah suatu penyakit yang jinak dan self-limited.
Namun dapat menyebabkan morbiditas khususnya pada anak-anak di masa
pertumbuhan. Mulai dari kontraktur sendi, manifestasi neurologi dan oftalmologi,
sampai depresi dan ansietas dapat terjadi akibat penyakit ini 1. Maka mengingat
segala komplikasi yang dapat terjadi dan kurangnya pengetahuan dokter akan
penyakit ini, penulis merasa perlu membuat refrat tentang morfea untuk
mengetahui gambaran umum, cara menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaannya.
2. Etiopatogenesis
2.1. Etiologi
Etiologi dan penyebab langsung dari morfea tidak diketahui. Terdapat
laporan tentang morfea setelah infeksi dengan measles, varicella, dan Borrelia
burgdorferi. Pemicu lain yang diperkirakan adalah trauma, vaksinasi basil
Calmette-Guerin (BCG) dan tetanus, injeksi vitamin B dan K, terapi radiasi,
penicillamine, dan bromocriptine2,3. Baru-baru ini, trauma pembedahan telah
dilaporkan sebagai stimulus dari perkembangan lesi setelah proses arteriovenous
fistula formation dan rhinoplasty. Faktor hormonal mungkin berpengaruh
terhadap penyakit: morfea mungkin berkembang selama, atau di eksaserbasi oleh,
kehamilan, namun pengaruh menopause masih kurang jelas3.
Infeksi dengan organisme Borrelial dikaitkan pada etiologi morfea, beberapa
pusat studi Eropa berpendapat adanya hubungan antara morfea dan akrodermatitis
konika atropikan, suatu penyakit karena terinfeksi Borrelia burgdorferi. Studi ini
menemukan peningkatan kadar antibodi terhadap oganisme ini pada pasien
dengan morfea dibanding dengan kontrol, dan menggambarkan adanya organisme
viable pada biopsi dari lesi morfea. DNA Borrelia juga ditemukan di biopsi kulit
dari pasien dengan morfea yang diperiksa menggunakan polymerase chain
reaction. Namun studi lain menunjukkan ketidakadaan antibodi Borrelia atau
2
DNA pada morfea dari pasien Skandinavia, Jerman, Spanyol atau Amerika.
Tinjauan terbaru berpendapat bahwa alasan penemuan yang kontradiktori ini
adalah infeksi Borrelia bukanlah penyebab morfea atau suatu morfea disebabkan
oleh spesies khusus dari Borrelia yang ada di beberapa bagian Eropa dan Asia tapi
tidak di AS atau bagian lain Eropa3.
Pengaruh genetik pada morfea masih belum jelas. Sebuah insiden familial
diperiksa, dan skleroderma lokal dan sistemik tercatat terjadi pada kembar
monozigot. Beberapa kasus tipe frontal muncul dengan dasar genetik, tapi tidak
terdapat hubungan HLA yang signifikan. Terdapat peningkatan insiden dari
autoantibodi organ spesifik pada pasien dan kerabat3.
Morfea juga dihubungkan dengan fenilketonuria, dan kemajuan terapi
muncul dengan diet rendah fenilalanin, namun ekskresi fenilalanin dan o-
hydroxyphenylacetic acid pada 9 anak dengan morfea adalah normal3.
Morfea juga telah dilaporkan setelah terapi dengan sejumlah obat.
Morphoea-like plaques muncul pada pasien dengan terapi penicillamine dan
teremisi dalam setahun pemberhentian pengobatan. Lesi kutaneus juga dilaporkan
muncul setelah terapi dengan bromokriptin, hydroxytryptophan dan carbidopa,
pentazocine, docetaxel, leomycin dan setelah melphalan limb perfusion3.
2.2. Patogenesis
Banyak studi berpendapat adanya peran patogenik dalam transforming
growth faktor-β (TGF-β). TGF-β menstimulasi fibroblas untuk menghasilkan
peningkatan jumlah dari glikosaminoglikan, fibronektin, dan kolagen;
mengurangi kerusakan matriks ekstraseluler; dan hal ini mengurangi kerentanan
fibroblas untuk di apoptosis. TGF-β telah ditemukan meningkat di lesi morfea
seperti di kulit dan paru fibrotik dari pasien dengan sklerosis sistemik. Beberapa
berpendapat bahwa setidaknya di sklerosis sistemik, ekspresi reseptor TGF-β di
fibroblas dermal meningkat. Juga terdapat data yang mendukung kemungkinan
bahwa perubahan jalur protein Smad, yang penting dalam transduksi sinyal TGF-
β, dapat memegang peran pada overproduksi kolagen. Kultur fibroblas dari
3
sklerosis sistemik dan skleroderma lokalisata menghasilkan peningkatan jumlah
dari komponen jaringan penghubung, termasuk tipe I kolagen in vitro. Biopsi
kulit menunjukkan kapasitas yang lebih besar untuk overproduksi kolagen dan
subpopulasi dari fibroblas dengan aktivasi ekspresi kolagen tipe I; fibroblas-
fibroblas ini satu lokasi dengan sel-sel mononukleus peradangan yang
mengekspresikan TGF-β. Biopsi lesi sklerotik juga menunjukkan ekspresi dari
isoform TGF-β yang berbeda, seperti tissue metalloproteinase-3 (TIMP-3) di
subpopulasi dari fibroblas yang dikultur dari lesi skleroderma lokalisata. TGF-β
meningkatkan ekspresi TIMP-3, dan TIMP-3 menghambat kerusakan kolagen.
Harus diperhatikan bahwa tiga isoform yang berbeda dari TGF-β (1, 2, dan 3)
terdapat di manusia; TGF-β1 adalah yang terbaik yang telah dipelajari. Beberapa
bukti berpendapat bahwa respon fibrotik mungkin predominan berasal dari sel
CD4+. Sel plasma dan histiosit mungkin berkontribusi dalam stimulasi fibroblas
dermis. Sel peradangan ditemukan di dermis lesi skleroderma yang terutama
adalah limfosit T dan yang sebagian besar adalah sel T helper. Juga terdapat
peningkatan produksi interleukin 2 (IL-2) dan IL-4. Setidaknya pada bentuk
sistemik skleroderma, faktor pertumbuhan jaringan penghubung juga terlibat.
Sebuah peran patogenik pada dendrosit dermis juga telah diusulkan. Kehadiran
CD34+ dan faktor XIIIa dendrosit dermis berhubungan dengan peradangan aktif
dan sklerosis pada morfea. Peran patogenik dari sel mast pada skleroderma
lokalisata belum dikemukakan secara jelas, namun sel mast mungkin merupakan
komponen dari kulit sklerodermatous, khususnya saat peradangan dan fase awal.
Granul sel mast mengandung mediator kimia dan enzim proteolitik yang dapat
menstimulasi fibroblas dan bahkan mengaktivasi sitokin fibrotik, (cth, TGF-β);
histamin juga dapat menstimulasi poduksi kolagen2.
4
3. Gambaran klinik dan Klasifikasi
Terdapat tiga varian utama dari sklerodema lokalisata:
a. Morfea
Morfea ditandai dengan satu atau beberapa patch atau plak berindurasi dan
berbatas umumnya dengan hipo atau hiperpigmentasi. Lesi dini ditandai
dengan edema dengan atau tanpa eritema sekitar. Nyeri muncul beberapa
minggu sebelum muncul gejala klinik. Lesi aktif biasa berindurasi dan
berbatas eritema dan violaceous. Lesi berkembang menjadi keputihan atau
kuning, khususnya di sentral. Ukuran bervariasi dari 0,5-30 cm2. Morfea tipe
plak ini lebih sering ditemukan pada batang tubuh, khususnya bagian bawah,
dibandingkan ekstremitas dan wajah1. Variasi submorfologi morfea termasuk
guttae, bullous, keloidal dan profunda. Beberapa penulis berpendapat bahwa
liken sklerosis adalah bentuk superficial atau bentuk dini dari morfea; lesi
atropi dan putih dai morfea dapat serupa dengan liken sklerosus. Penyakit
chonic sclerodermoid graft-versus-host dapat memiliki ciri-ciri yang serupa
secara klinik dan histologi dari liken sklerosus, morfea, dan eosinophilic
fasciitis (EF), sehingga penyakit ini dapat menjadi bagian dari penyakit
fibrotik2.
Gambar 1. Morfea bentuk plak. Pada stadium awal dapat terlihat batas
keunguan dan edema.
(Sumber: Figure 62-1 diambil dari: Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell
AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.543.)5
b. Morfea generalisata
Morfea generalisata merupakan bentuk yang lebih berat yang ditandai dengan
lesi multipel, sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar. Beberapa
pasien dapat memiliki bentuk subkutaneus dengan cakupan permukaan tubuh
yang lebih kecil3. Onsetnya biasanya perlahan-lahan. Lesi dengan warna ungu
disekeliling indurasi ivory-white shiny biasanya terlihat pada stadium awal.
Plak biasanya lebih besar dibanding morfea lain, dengan diameter dalam
sentimeter. Biasanya plak dimulai pada batang tubuh dan secara bertahap
meningkat dalam ukuran, dengan pelembangan plak baru selama satu atau dua
tahun. Area utama yang terkena adalah batang tubuh atas, dada, abdomen, dan
paha atas4,8.
Gambar 2. Morfea generalisata pada subkutaneus dengan perubahan
permukaan minimal.
(Sumber: figure 62-4 diambil dari Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell
AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.544.)
6
c. Morfea linier
Morfea linier ditandai dengan indurasi kulit band-like dan seringnya dengan
perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan kadang menyebabkan
kontraktur. Bentuk morfea ini muncul lebih umum pada anak-anak dan pada
ekstremitas. Proses fibrotik sering sering meluas ke jaringan subkutaneus,
termasuk fasia dan otot. Kontraktur dapat menjadi penyebab morbiditas dan
deformitas. Pada anak yang sangat muda, dapat mempengaruhi pertumbuhan
tulang dan mengganggu pertumbuhan jaringan. Proses pansklerotik yang
meliputi seluruh ekstremitas terlihat pada kasus yang sangat berat. Morfea
sklerotik pada anak dihubungkan dengan dengan resiko yang meningkat dari
karsinoma sel squamous kutaneus, khususnya pada area yang berulkus dari
kulit yang terkena2.
Skleroderma linier yang terdapat pada wajah dapat berupa lapisan coklat
keunguan atau putih, pita atropi berjalan vertikal di dahi, umumnya dikenal
dengan en coup de sabre. Perubahan meliputi seluruh kulit kepala biasa
ditemukan. Jika hanya jaringan subkutaneus, otot, dan tulang terkena, bentuk
ipsilateral ini dikenal sebagai progressive facial hemiatrophy atau Parry-
Romberg syndrome. Perluasan yang meliputi kulit dan perkembangan
hemiatropi wajah tidak selalu berhubungan secara langsung. Pasien terkena
lesi wajah dan Parry-Romberg syndrome datang dengan keadaan yang sangat
berat. Pasien yang bergejala ringan dapat ditandai hanya dengan single linea
atrophic band. Pasien yang bergejala berat dapat memiliki hemiatropi wajah
dengan hilangnya jaringan subkutaneus, otot, dan tulang serta atropi lidah dan
kelenjar ludah pada sisi yang sama. Pasien bergejala berat ini juga dapat
memiliki gangguan sistem saraf meningen sehingga berpotensial kejang, sakit
kepala, dan perubahan penglihatan2.
7
Gambar 3. Morfea linier. Kiri: plak indurasi linier yang meluas dari dorsal
tangan kanan ke jari ketiga dan meliputi sendi interfalang proksimal dan distal
dengan kontraktur. Kanan: en coup de sabre, tampak oblik.
(Sumber: Figure 62-2 dan 62-5 diambil dari Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W,
Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.544.)
4. Komplikasi
Atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering
ditemukan pada skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda),
dan dapat menyebabkan gangguan mobilitas. Kontraktur sering terlihat pada
skleroderma linier meliputi ekstremitas dan garis sendi berlawanan. Anak-
anak sering terkena skleroderma linier dibanding dewasa. Pada kasus yang
berat dan jarang, morfea pansklerotik membutuhkan amputasi pada
ekstremitas yang terlibat karena pertumbuhan yang terganggu. Pasien dengan
keterlibatan kraniofasial linier, seperti en coup de sabre dan hemiatropi fasial,
dapat memiliki abnormalitas neurologik, oftalmologik, dan oral. Kasus berat
morfea dikarakterisasi dengan hiper atau hipopigmentasi, kontraktur, dan
atropi jaringan yang mendasari dapat menjadi hancur. Komplikasi ini
menyebabkan gangguan fungsional, kosmetik, dan psikologikal2,5.
8
5. Pemeriksaan penunjang
5.1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratoium dapat ditemukan:
- Adanya serum autoantibodi. Serum autoantibodi ditemukan dengan
frekuensi bervariasi pada pasien morfea. Autoantibodi yang paling
umum ditemukan adalah antinuclear antibody (ANA) yaitu sebesar
46%-80% dari seluruh pasien, biasanya dengan susunan homogenous
immunofluorescence. Bila meluas, 36%-53% kasus memiliki anti-
single stranded DNA dan/atau antibody antihiston. Umumnya, pasien
dengan morfea generalisata memiliki antibodi positif dengan frekuensi
yang lebih tinggi dibanding jenis morfea lainnya, dan autoantibodi
berhubungan dengan presentasi klinis yang lebih berat, jumlah lesi
yang lebih banyak, lesi yang lebih sklerotik, dan durasi klinis yang
lebih lama2.
- Abnormalitas serum lainnya. Eosinofilia darah ditemukan pada 6%-
50% pasien morfea. Kadar eosinofilia berhubungan dengan aktivitas
penyakit. Penurunan kadar eosinofilia dapat bersamaaan dengan
penurunan aktivitas dari lesi kutaneus. Imunoglobulin yang
meningkat, khususnya kadar serum imunoglobulin G, dihubungkan
dengan penyakit yang aktif dan lebih luas dan kontraktur sendi. Faktor
rheumatoid positif ditemukan pada 26% pasien, dan rasio sedimentasi
eritrosit meningkat 25% 2.
5.2. Pemeriksaan histopatologi
Pada lesi dini dapat tidak memiliki perubahan histologi yang spesifik.
Terdapat vakuolisasi dan penghancuran sel endothelial dengan reduplikasi
lamina basalis, khususnya pada lesi dengan indurasi yang terlihat sebagai
tepi persegi (squared-off edge) pada spesimen biopsi. Infiltrat peradangan
superfisial dan dalam kadang-kadang dapat terlihat. Pada lesi yang sangat
dini terdapat infiltrat peradangan di dermis dalam dan jaringan
subkutaneus. Juga dapat terlihat limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil,
9
dan sel mast. Deposit glikosaminoglikan dapat terdeteksi di stadium awal
morfea, khususnya bila proses pembuatan preparat histologis dilakukan
dengan hati-hati untuk menjaga komponen matriks ini2.
Gambar 4. Histopatologi morfea. Perhatikan squared-off edge dari
spesimen biopsi dengan infiltrat peradangan ringan dan serat kolagen
padat, yang terletak paralel epidermis
(Sumber: Figure 62-2 dan 62-5 diambil dari Vincent F, Christina EK. Morphea. In:
Klause W, Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008.
p.545.)
6. Diagnosis dan diagnosis banding
Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan
dikonfimasi dengan biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskripsikan sebagai
plak yang terlokalisir, berindurasi dan hairless atau plak ungu. Pada
pemeriksaan fisik, kulit pasien terasa “tight”, “hard”, atau “grooved”. Morfea
dapat muncul sebagai plak yang soliter, linier atau generalisata. Lesi biasanya
berdistribusi pada batang tubuh, namun juga bisa pada ekstremitas, wajah,
atau kepala. Walau beberapa pasien mengeluh gatal, namun plak itu sendiri
asimptomatik
Diagnosis dapat dilihat dari perkembangan plak berinduasi dan band
di kulit, dengan atau tanpa hemiatropi karena tidak mungkin ada di kondisi
10
lain. Jika terdapat batas dengan lilac-coloured, diagnosis makin mudah. Lesi
reticulat ungu dengan minimal indurasi dapat mirip dengan poliartritis nodosa
kutaneus. Lesi dapat dimulai dengan vascular blush, dan dapat dianggap
macular vascular naevus. Pada fase akut, harus dibedakan dari scleoderma of
Buschke, tapi pada keadaan ini onsetnya lebih akut, dan lesi dapat diikuti
dengan episode infeksius. Lesi atrophic pigmented mirip dengan lesi dari
atrophy of Pierini and Pasini, muncul pada 47% pasien dalam satu seri. Plak
atophic morphoeic dapat disebabkan oleh injeksi vitamin K intramuscular atau
injeksi kortikosteroid subkutaneus4.
Pada anak-anak, klinis yang biasanya terlihat adalah kontraktur
ekstremitas yang asimetris, yang berhubungan dengan penebalan fasia dan
kulit di dasarnya, dan masalah vaskuler distal yang dieksaserbasi oleh
pembedahan ortopedi, termasuk angioma dan malformasi atriovena. Hal ini
menunjukkan bahwa distibusi lesi mewakili sklerotom, atau area tubuh yang
disuplai oleh nervus sensorik spinal, dan bahwa keterlibatan kulit dan otot
muncul pada dermatom dan miotom yang relevan4.
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan biopsi kulit. Pada biopsi
kulit, di stadium awal peradangan, terlihat degenerasi fibril kolagen dan
edema yang ditemukan di dermis. Infiltrat perivaskuler atau difus predominan
terdiri dari limfosit walau dapat juga terdapat sel plasma dan makrofag. Pada
stadium sklerotik, dermis menebal dengan kolagen yang padat dan beberapa
fibroblas dengan infiltrat peradangan pada dermis dan subcutis junction. Saat
penyakit berkembang, fibril kolagen dermis ini bercampur dengan pola
homogen dan eosinofilik8.
Diagnosis banding morfea dapat dilihat pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Diagnosis banding morfea
Paling mendekati Dipertimbangkan Selalu disingkirkan
- Sklerosis sistemik
- Eosinophilic fasciitis
- Liken sklerosus- Lupus profundus- Connective tissue nevi- Morpheaform basal cell
carcinoma- Toxic oil syndrome- Chronic graft-versus-host- Lipodermatosclerosis
- Lyme disease, acrodermatitis chronic atrophicans
- Fenilketonuria- Porphyria cutanea tarda- POEMS syndrome (POEMS: polyneuropathy, organomegaly, endocrinopathy, M protein, and skin changes.)
(Sumber: Box 62-1 diambil dari Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell AG,
Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.545.)
7. Penatalaksanaan
7.1. Penatalaksanaan umum (KIE)
- Memberitahu pasien bahwa morfea adalah penyakit yang tidak
berbahaya pada kebanyakan kasus. Perjalanan penyakitnya dapat
progresif lambat; namun biasanya terjadi remisi spontan8.
- Menjelaskan pada pasien bahwa lesi morfea pada persendian yang
membatasi range of motion (ROM) pasien dapat dipulihkan dengan
rehabilitasi8.
- Memberitahu pasien bahwa perhatian khusus diberikan pada lesi
morfea pada ekstremitas bawah karena pada pasien pediatrik dapat
menyebabkan diskrepansi panjang kaki. Keterlibatan fasial dan
konstriksi ekstremitas yang meluas juga membutuhkan follow-up yang
lebih8.
7.2. Penatalaksanaan khusus
12
Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi inaktif
secara spontan dan pada kasus yang lebih berat dapat menyebabkan
fibrosis/sklerosis ireversibel dari kulit dan jaringan subkutan. Pengobatan
ditujukan pada komponen peradangan, pelepasan sitokin, dan aktivasi dan
deposit kolagen. Banyak terapi yang telah digunakan pada pengobatan morfea
dengan keberhasilan yang bervariasi2.
Steroid topikal dan sistemik, analog vitamin D oral dan topical,
methotrexate, cyclophosphamide, azathioprine, hydroxychloroquine,
intralesional interferon-, penicillin dan D-penicillamine telah dicoba. Terapi
fisik adalah yang terpenting pada pasien dengan kontraktur untuk
mempertahankan atau meningkatkan fungsi ekstremitas. Pengobatan yang
telah dilaporkan berhasil meliputi D-penicillamine, topical tacrolimus under
occlusion, calsitriol oral, calcipotriene topical, methotrexate sendiri atau
dikombinasi dengan kortikosteroid, imiquimod topical, tretinoin dengan
ammonium lactate topical, dan N-(3’, 4-dimethoxycinnamoyl) anthralinic
acid- obat anti alergi yang menghambat anafilaksis kutaneus pasif2.
Pada kasus pediatrik dengan pertumbuhan yang terganggu dari
ekstremitas yang terkena, intervensi bedah, dan stapling dari lempeng epifisis
dari sisi yang normal dapat efektif. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan
yang lebih lambat, namun berkelanjutan, dari ekstremitas yang terkena dan
dapat menyebabkan tingkat perbedaan ekstremitas yang lebih sedikit2.
Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Beberapa studi
telah menunjukkan perkembangan pada mayoritas pasien morfea
menggunakan psoralen dan sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A
(UVA), atau fototerapi UVAI2.
Pendekatan praktis: untuk cakupan yang terbatas dengan satu atau
sedikit lesi morfea, dapat menggunakan pengobatan topikal seperti
calcipotriene, tacrolimus, retinoids, atau tidak menggunakan pengobatan sama
sekali. Di sisi lain, lesi en coup de sabre dapat menyebabkan kecacatan yang
nyata. Pendekatan pada lesi wajah menggunakan hydroxychloroquine dan
13
mungkin methotrexate dalam kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg)
dari kortikosteroid sistemik. Pada cakupan yang lebih luas, dapat digunakn
fototerapi. Jika pendekatan tersebut tidak berhasil, atau jika terdapat
keterlibatan subkutaneus yang banyak, pengobatan yang bermanfaat adalah
methotrexate. D-penicillamine, cyclosporine, dan agen immunosuppressive
lainnya juga telah digunakan2.
8. Prognosis
Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak
melibatkan sistemik, walaupun kadang tumpang tindih dengan penyakit
jaringan penghubung lainnya yang pernah dilaporkan. Kebanyakan kasus
adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata untuk umur rata-rata 3-5
tahun. Beberapa pasien dapat memiliki reaktivasi dari lesi inaktif secara nyata.
Dalam 13% pasien dengan skleroderma linier, satu terlihat berreaktivasi
setelah beberapa tahun remisi. En coup de sabre dapat tidak terdeteksi selama
beberapa dekade. Hal ini mungkin karena morfea menjadi proses kronik
dengan kadar rendah dari aktivitas selama beberapa tahun. Sedikit atropi
dengan atau tanpa hiperpigmentasi dapat menjadi satu-satunya gejala penyakit
yang persisten2.
9. Ringkasan
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized
scleroderma), adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen
yang berlebihan yang menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan,
atau keduanya tanpa keterlibatan sistemik2. Wanita terkena penyakit ini kira-
kira 3 kali lebih sering dari pria dan lebih umum terlihat pada bangsa
kaukasian dan asia.
Etiologi dan penyebab langsung dari morfea tidak diketahui tetapi
terdapat laporan tentang morfea setelah infeksi dengan measles, varicella, dan
Borrelia burgdorferi. Pemicu lain yang diperkirakan adalah trauma, vaksinasi
14
basil Calmette-Guerin (BCG) dan tetanus, injeksi vitamin B dan K, terapi
radiasi, penicillamine, dan bromocriptine serta faktor hormonal. Patogenesis
penyakit ini belum diketahui secara pasti namun banyak studi berpendapat
adanya peran patogenik dalam transforming growth faktor-β (TGF-β). TGF-β
telah ditemukan meningkat di lesi morfea.
Terdapat tiga varian utama dari sklerodema lokalisata yaitu morfea,
morfea genealisata, dan morfea linier. Morfea ditandai dengan satu atau
beberapa patch atau plak berindurasi dan berbatas umumnya dengan hipo atau
hiperpigmentasi dan berwarna keunguan (violaceous) dan kemudian
berkembang menjadi keputihan atau kuning, khususnya di sentral. Morfea
generalisata merupakan bentuk yang lebih berat yang ditandai dengan lesi
multiple, sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar dan lesi berupa
warna ungu disekeliling indurasi ivory-white shiny. Morfea linear ditandai
dengan indurasi kulit band-like dan seringnya dengan perubahan pigmen,
yang dapat melewati garis sendi dan kadang menyebabkan kontraktur.
Komplikasi atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi
paling sering ditemukan pada skleroderma linier, generalisata, dan
subkutaneus (profunda), dan dapat menyebabkan gangguan mobilitas.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium yaitu pemeriksaan serum antibodi dimana autoantibodi yang
paling umum ditemukan adalah ANA serta ditemukan penurunan kadar
eosinofilia bersamaaan dengan penurunan aktivitas dari lesi kutaneus.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah histopatologi yaitu ditemukan pada
lesi indurasi yang lebih lanjut, terlihat squared-off edge pada spesimen biopsy,
infiltrate peadangan, limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil, dan sel mast
serta deposit glikosaminoglikan dapat terdeteksi di stadium awal morfea,
Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan
dikonfimasi dengan biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskipsikan sebagai
plak yang terlokalisir, berindurasi dan hairless atau plak ungu. Pada
pemeriksaan fisik, kulit pasien terasa “tight”, “hard”, atau “grooved”. Pada
15
biopsi kulit, pada lesi dini dapat tidak memiliki perubahan histologi yang
spesifik namun di stadium awal peradangan, terlihat degenerasi fibril kolagen
dan edema yang ditemukan di dermis.
Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan yaitu meng-komunikasi,
infomasi dan edukasi pasien tentang penyakit morfea ini. Dan pada
penatalaksanaan khusus dapat diberikan steroid topikal dan sistemik, analog
vitamin D oral dan topikal, methotrexate, cyclophosphamide, azathioprine,
hydroxychloroquine, intralesional interferon-, penicillin dan D-
penicillamine. Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan yaitu
dengan psoralen dan sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A (UVA), atau
fototerapi UVAI.
Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak
melibatkan sistemik, dan kebanyakan kasus adalah self-limited maka
prognosis pasien ini adalah baik.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Jennife VN, Victoria PW. Morphea. [internet] [cited 2010 Mei 13]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1065782-overview
2. Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell AG, Stephen IK,
Barbara AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine.7 th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.543-6.
3. MJD Goodfield, SK Jones. Connective Tissue Disease. In: Tony B, Stephen
B, Neil C, Christopher, editor. Rook’s textbook of dermatology. 7 th Ed.
Massachusetts: Blackwell Publishing; 2004. p.2768-81.
4. James WD, Timothy GB, and Dirk ME. Connective Tissue Disease. In:
Andrew’s Disease of The Skin clinical Dermatology. Massachusetts:
Blackwell Publishing ; 2008. p.171.
5. Richard W, John H, John S. Connective Tissue Disorder. In: Clinical
Dermatology. Canada : Sauders Elsevier ; 2006. p.181.
6. Morphea. [internet] [cited 2010 Mei 13]. Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/Morphea
7. International Scleroderma Network. Localized Scleroderma: Morphea.
[internet] [cited 2010 Mei 13]. Available from:
http://sclero.org/medical/about-sd/a-to-z.html
8. Julie EG, Lawrence AS. Localized Scleroderma or Morphea?. [internet] [cited
2010 Mei 22]. Available from: http://www.bnet.com/
17