128
MY BEST(BOY)FRIEND Oleh Bellanissa B. Zoditama

My Best(Boy)Friend

Embed Size (px)

DESCRIPTION

My Best(Boy)Friend

Citation preview

Page 1: My Best(Boy)Friend

MY BEST(BOY)FRIEND

Oleh

Bellanissa B. Zoditama

Page 2: My Best(Boy)Friend

PROLOG

“Happy birthday to you… Happy birthday to you… Happy birthday… Happy birthday to

you…” Suara nyanyian selamat ulang tahun meramaikan suasana ulang tahun seorang anak

perempuan yang merayakan ulang tahunnya yang ke-7.

Meski perayaan ulang tahunnya tidak bertepatan dengan hari ulang tahunnya karena

menunggu kedua orang tuanya yang sibuk bekerja, namun anak itu cukup bahagia merayakan

ulang tahunnya yang dirayakan cukup meriah ini. Apalagi dalam acara ulang tahunnya kali ini, ia

dapat berkumpul dengan seluruh anggota keluarganya, dan membuat suasana semakin suka cita.

Hari ini ia juga tampil sangat cantik, memakai gaun berwarna putih dengan sayap peri

palsu di punggungnya dan bando putih. Benar-benar seperti putri yang ada di dalam dongeng

yang sering didengarnya saat ia mau tidur.

Di depannya sekarang, telah menunggu kue ulang tahunnya yang berbentuk tokoh kartun

kesukaannya, Winnie the Pooh yang sedang memegang setoples madu. Agi, begitu anak

perempuan itu biasa dipanggil, sangat senang dengan semuanya… Walaupun begitu, hatinya

cukup gelisah lantaran seseorang yang berjanji akan datang pada saat pesta ulang tahunnya tidak

juga menampakkan batang hidungnya. Seorang anak laki-laki yang berjanji akan memberikan

sebuah kejutan yang istimewa untuknya…

“Kok dia nggak dateng juga ya? Padahal kan dia udah janji mau dateng ke pestanya

Agi. Liat aja nanti, kalo Agi ketemu dia, Agi bakal nanya dia kenapa nggak dateng…” batin Agi.

“Agi, kenapa diem aja? Ayo, kamu tiup lilin sama potong kue dulu.” Mama mendorong

Agi sampai di depan kue ulang tahunnya. Akhirn ya dengan intruksi dari Sang Mama, Agi

pun meniup lilin dan memotong kue ulang tahunnya dengan dibantu oleh Mama dan Papa.

Potongan pertama ia berikan kepada keluarganya, potongan kedua ia berikan kepada Mbok Nar,

pembantu rumah tangga yang ia anggap sebagai keluarganya sendiri, dan berikutnya ia berikan

kepada semua teman-temannya.

Page 3: My Best(Boy)Friend

Agi masih melirik-lirik tamu yang datang, apakah seseorang yang dia tunggu akan

muncul atau tidak, tapi ternyata orang itu memang tidak datang menemuinya…

Keesokan harinya, seseorang yang kemarin tidak sempat menemuinya datang

menghampiri Agi ke rumahnya. Kemudian ia mengajak Agi ke taman yang tidak jauh dari rumah

mereka. Raut wajah Agi masih terlihat muram karena orang itu tidak memenuhi janjinya.

“Agi kemarin maaf ya, aku nggak bisa dateng ke pesta ulang tahun kamu…” Anak laki-

laki itu membuka percakapan, karena ia tahu ia sangat bersalah tidak menepati janjinya.

“Kenapa kamu kemaren nggak dateng? Padahal Agi nungguin kamu, karena kamu kan

udah janji mau ngasih Agi kejutan yang istimewa. Mama Agi sering bilang, kalo janji itu harus

ditepatin, kalo nggak ditepatin sama aja kamu dosa ke Agi.” Agi mulai mencurahkan isi hatinya.

Cowok itu membelai rambut Agi. “Maaf Gi, sebenarnya kemaren aku udah mau dateng

ke pesta ulang tahun kamu, tapi mendadak Nenekku meninggal dan aku harus pergi ke Bandung.

Suer deh Gi, aku nggak boong.” Cowok itu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya

membentuk hurf ‘V’. “Nah, makanya aku ngajak kamu ke sini sekalian ngasih kejutan istimewa

yang nggak sempet aku kasih ke kamu kemaren.”

“Oh, gitu. Maaf ya Agi nggak tau kalo Nenek kamu meninggal. Agi pikir kamu emang

nggak mau dateng ke pesta Agi.” Agi mengulurkan tangan kanannya. “Maafin Agi ya…”

Cowok itu membalas uluran tangan Agi, “Aku juga minta maaf ya karena nggak ngasih

tau kamu.” Cowok itu tersenyum. “Agi, tolong tutup mata kamu dong. Aku mau ngasih kejutan

istimewa itu.”

Agi menutup matanya, dan perlahan-lahan cowok itu menaruh sesuatu di pangkuan Agi.

Kemudian ia menyuruh Agi untuk membuka matanya. Agi perlahan-lahan membuka matanya

dan terkejut melihat ada sesuatu yang diberikan cowok itu. Barang itu terbungkus oleh sebuah

kertas kado berwarna pink dan pita warna ungu yang cantik. Agi pun sangat bersemangat

membuka sebuah kejutan itu, ternyata di dalamnya berisi sebuah buku diary kecil bersampul

plastik bergambar Winnie the Pooh bersama Piglet di sebuah rumah pohon. Agi bingung dengan

Page 4: My Best(Boy)Friend

apa kegunaan buku diary itu, karena biasanya dia mendapat hadiah berupa boneka, baju, mainan

ataupun aksesoris. Tidak pernah ada yang memberinya sebuah diary…

Agi bingung sekaligus senang, karena dia sendiri tidak mengerti apa kegunaan diary itu

sebenarnya. Lalu anak laki-laki itu menjelaskan bahwa di dalam diary itu Agi bebas

menceritakan apa saja yang ia alami, tanpa takut menyakiti perasaan orang lain. Ia juga bebas

menggambar di diary ini. Kemudian Agi pun bertanya, apakah anak laki-laki mempunyai buku

diary juga seperti yang dia berikan untuknya anak laki-laki itu mengangguk bersemangat, dan

mengeluarkan sebuah buku bergambar ksatria baja hitam dari dalam tas kecilnya.

“Ini buku diary-ku. Tapi aku lebih duluan nulis buku diary dibanding sama kamu, karena

dari aku bisa nulis Ibu udah membiasakan aku buat menceritakan semuanya dalam buku diary

ini.”

“Agi mau lihat dong isi diary kamu!” Agi berusaha merebut diary cowok itu, tapi cowok

itu langsung memasukkan buku diary-nya dalam tas. “Gi, bukannya aku nggak mau ngasih ke

kamu, tapi kata Ibu diary itu sifatnya rahasia, jadi nggak boleh ada orang lain yang ngebaca

selain diri kita sendiri.”

Agi sedikit cemberut karena tidak diberi kesempatan untuk membaca diary cowok itu.

Lalu, ia membuka bungkus plastik diary-nya yang pertama. Tiba-tiba saja karena kurang hati-

hati, tangannya terkena sebuah stapler yang terpasang di bungkusan plastik. Memang, stapler itu

tidak sampai masuk ke dalam tangannya, namun membuat jari telunjuknya terluka.

Agi meringis kesakitan melihat jari telunjuknya yang terluka. Cowok itu langsung

mengambil jari telunjuk Agi dan menghisap darahnya dengan mulut sampai di telunjuk Agi tidak

berdarah lagi. “Nah, sekarang udah nggak apa-apa kan? Masih perih nggak?! Oiya gimana kalo

gini. Kita ketemu dua belas taun lagi di tempat ini!”

Agi terkagum-kagum melihat sikap anak laki-laki itu yang tanpa rasa takut langsung

menolong Agi menghentikan darahnya. Agi mengucapkan terima kasih kepada anak laki-laki itu

yang sampai beberapa kali mereka bertemu Agi belum tahu siapa namanya. Namun apalah arti

sebuah nama, apabila Agi sudah cukup nyaman bersama anak laki-laki itu.

Page 5: My Best(Boy)Friend

Agi meloncat-loncat kegirangan. “Agi mau banget kalo kayak gitu. Tapi gimana kalo

misalkan Agi lupa sama janji itu? Trus kenapa harus menunggu dua belas tahun?”

Anak laki-laki itu berusaha berpikir, benda apa yang akan mengikat mereka untuk

bertemu lagi di tempat ini dua belas tahun ke depan. Akhirnya ia menemukan dua buah akar

kecil yang dapat ia jadikan sebuah pengikat janji mereka.

“Ini namanya akar pohon. Nah, kamu megang satu, aku juga megang satu. Nanti kalo

misalkan kita ketemu dua belas tahun lagi, akar ini kamu bawa ke sini dan jadi bukti kalo kamu

memang Agi.” Cowok itu menaruh akar itu ke telapak tangan Agi. “Kenapa harus dua belas

tahun? Karena pada saat itu aku dan kamu udah sama-sama gede, trus aku langsung menikah

sama kamu deh. Kamu mau kan kalo nanti menikah sama aku?”

“Oke, Agi janji akan ketemu kamu lagi dua belas tahun ke depan di sini. Pasti aku mau

nikah sama kamu nanti. Hehehe…” Agi dan cowok itu tertawa bahagia…

Ternyata kebahagian mereka tidak berlangsung lama. Agi dan keluarga harus pindah dari

rumah lamanya di Bogor karena Papa mendapat pekerjaan baru di Jakarta. Ketika mereka pindah

rumah, Agi juga tidak sempat berpamitan dengan cowok itu, apalagi dia juga tidak tahu nama

cowok itu sebenarnya. Tapi dia tidak gusar, karena ia yakin dua belas tahun lagi mereka akan

bertemu lagi di tempat itu untuk saling membaca isi diary mereka satu sama lain…

Sejak saat itu, Agi menjadi suka menulis sampai dia beranjak SMA… Dan ia juga

memegang janjinya kepada cowok itu untuk bertemu lagi di tempat itu.

Page 6: My Best(Boy)Friend

SATU

Siang ini begitu cerah, matahari tersenyum dengan begitu gembira hingga membuat Agi

menjadi mengantuk dan bosan luar biasa. Apalagi di saat seperti ini, dia sedang terkukung di

kelasnya sambil belajar Sejarah selama dua jam. Teman-temannya pun merasakan hal yang

sama, banyak yang di antara mereka yang sudah tertidur pulas menikmati dinginnya udara yang

dihembuskan oleh AC. Namun hal itu hanyalah sebuah pengecualian untuk Bu Yati, guru

Sejarah mereka. Walaupun dia mengetahui banyak anak muridnya yang tertidur, dia tetap

menerangkan pelajaran dengan penuh semangat. Suaranya sendiri seperti orang yang sedang

mendongeng, menjadikan Agi tambah mengantuk dan ingin mengikuti jejak teman-temannya

yang telah tertidur lebih dahulu.

Sebelum tidur, Agi menitipkan pesan kepada teman sebangkunya yang bernama Keysa

untuk segera membangunkannya apabila Bu Yati tiba-tiba ‘mengaum’. Keysa hanya

menganggukkan kepala sambil serius memperhatikan pelajaran. Agi mulai tertidur, ditemani

jaketnya sebagai alas tidur.

“Manusia purba pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun bla.... bla... bla...” Bu

Yati sedang menerangkan tentang sejarah manusia purba di Indonesia, tetapi terdengar oleh Agi

seperti “Agi bobo... oo... Agi bobo...”

Mendengar suara Bu Yati membuat Agi semakin terlelap dalam tidurnya. Sepertinya

kesabaran Bu Yati telah habis, karena dia melihat begitu banyak muridnya yang tertidur di

tengah pelajaran. Akhirnya dia memukul papan tulis dengan sebuah penghapus, sangat keras.

Membuat anak-anak yang sedang tertidur langsung terbangun karena kaget dan mendapat

pandangan sinis dari Bu Yati.

“Apakah kalian masih mau mengikuti pelajaran saya?!” bentak Bu Yati. “Kalau kalian

masih ingin belajar dengan serius, tolong perhatikan, jangan ada yang TIDUR!!! Kalau tidak,

silakan keluar dan saya ijinkan untuk tidak mengikuti pelajaran saya selama SEMESTER ini.”

bentak Bu Yati.

“Masih, Bu.” jawab anak-anak dengan serempak, termasuk Agi.

Page 7: My Best(Boy)Friend

“Baiklah, kalau gitu. Saya pegang omongan kalian. Kalau sampai saya masih melihat ada

yang tertidur, saya tidak segan-segan untuk mengeluarkan kalian. Saya selesaikan pelajaran

sampai di sini saja, terima kasih. Selamat siang, Anak-anak!” Bu Yati membawa semua

perlengkapan mengajarnya dan meninggalkan kelas.

“Selamat siang, Bu...” Anak-anak pun langsung berhamburan keluar kelas, pulang.

Walaupun sebenarnya bel pulang sekolah belum berbunyi.

(*^o^*)

Sehabis pulang sekolah, Agi nggak langsung pulang. Ia memilih untuk ke tempat

tongkrongannya. Sebuah tempat gratis, tempat yang sangat tidak lazim untuk dijadikan tempat

tongkrongan. Tempat itu adalah sebuah jembatan besar yang sudah tidak terpakai lagi. Bukan

karena konstruksinya sudah jelek ataupun mau roboh, tapi karena jalannya jelek. Selain itu

letaknya agak ke pinggiran yang lumayan jauh dari hingar-bingar kota Jakarta.

Jembatan itu menghadap ke arah Pancoran, jadi banyak gedung-gedung khas kota

metropolitan juga gedung-gedung pencakar langit yang menutupi terik matahari. Di bawah

jembatan ada sebuah kali yang lumayan dangkal. Kalo sedang beruntung, ia bisa melihat anak-

anak berenang di kali, setengah telanjang. Selain itu, Agi juga bisa melihat cahaya matahari yang

terhalang oleh gedung ketika mulai tenggelam dan kadang ia suka lupa pulang ke rumah kalo

sudah menikmati pemandangan kota yang akan beranjak sunyi.

Agi turun dari mobilnya. Kemudian melangkahkan kaki mendekati batas jembatan.

Dihirupnya napas panjang-panjang sambil melempar kerikil ke arah sungai, ia juga meratapi

nasibnya yang jarang merasakan kasih sayang kedua orang tuanya yang selalu bepergian.

“Rasanya kalo gue udah di sini perasaan gue tenang banget. Seenggaknya gue bisa

melupakan sedikit kesedihan gue. Andai aja ada seseorang yang bisa nemenin gue di sini,

berbagi cerita. Pasti gue bakal seneng banget.” gumam Agi sendirian.

Page 8: My Best(Boy)Friend

Seorang laki-laki sebayanya tiba-tiba berdiri di samping Agi, dan mengagetkannya,

Kulitnya agak hitam mungkin karena sering terbakar sinar matahari, tapi cukup manis.

Rambutnya seperti bintang iklan shampo yang halus terawat serta lurus dan jatuh ke bawah.

Agi terlonjak. “Eh, sejak kapan lo di sini?”

“Dari tadi.” jawab cowok itu singkat sambil tersenyum. “Kamu ngapain di sini?”

“Ngagetin orang aja sih lo.” Agi menggerutu. “Gue di sini lagi merenung aja.”

“Wow... kenapa kamu milih tempat merenung di jembatan ini? Padahal kan masih

banyak tempat laen yang asyik buat dijadiin tempat merenung. Aneh…” tanya laki-laki itu lagi.

Agi menjawab pertanyaan laki-laki itu dengan sewot. Ya, jelaslah sewot, lagi enak-

enaknya sendiri ada orang yang nggak dikenalnya, SKSD – Sok Kenal Sok Deket lagi. “Yang

jelas tempat ini adalah sebuah tempat yang mengingatkan gue pada seseorang.”

Anak laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan Agi sambil berlari dan mengejek Agi.

Agi mencoba mengejarnya, namun tidak berhasil. Setelah puas menenangkan hatinya dan capek

mengejar cowok misterius itu, ia balik ke rumah. Tapi entah kenapa, wajah cowok itu sangat

familiar dalam benaknya.

Sesampainya di rumah, ia meletakkan semua atribut sekolahnya di sembarang tempat.

Sepatu ada di taman, kaos kaki ada di garasi, tas di sofa. Pokoknya bener-bener nggak beraturan

deh! Karena baginya semua itu adalah sebuah pekerjaan untuk pembantunya, Mbok Nar. Agi

menghampiri Mbok Nar yang lagi ada di dapur dan menyuruhnya untuk membawa tasnya ke

kamar. Agi naik ke atas, di tempat kamarnya berada.

Ada beberapa alasan Agi memilih kamar di atas antara lain kamarnya cukup luas,

dibanding dengan kamar lainnya yang ada di rumahnya, ada kamar mandi pribadi yang menyatu

dengan kamarnya, barang-barangnya lengkap (ada komputer, TV, DVD-Player, Radio, AC,

telpon), karena Agi sendiri adalah anak yang cinta teknologi, ada balkon di depan kamar

sehingga ia bisa ngeliat sunset karena ia suka banget ngeliat sunset, dan ia juga bisa ngeliat

kebiasaan tetangga di samping ato di depan rumah. Hehehe...

Page 9: My Best(Boy)Friend

Dia mengganti seragam abu-abunya dengan tanktop merah dan celana pendek. Selesai

mengganti seragam, ia langsung tidur di tempat tidur, dan menyalakan AC.

Hm... mau ngapain ya siang-siang begini? Nonton, sinetronnya ulangan. Belajar, ntar

malem aja. Baca komik aja deh! Agi menuju lemari buku. Di situ berjajar semua koleksi buku-

bukunya. Dari komik, cergam, novel sampe buku tentang Hukum, Psikologi, dan Kedokteran.

Tapi tiga buku terakhir yang disebutkan tadi, nggak ada yang (baca: belom) ia baca. Jangankan

dibaca, baru liat judul sama tebel bukunya aja udah bikin mumet.

Sebenarnya itu bukan keinginannya sendiri untuk memiliki ketiga buku itu, namun itu

adalah kehendak dari orang tuanya yang sangat mengharapkan ia menjadi orang yang sukses,

entah menjadi dokter, pengacara, ataupun psikolog. Orang tuanya juga memaksanya agar masuk

ke perguruan tinggi yang mereka pilih, walau sebenarnya itu untuk kebaikan Agi juga, namun itu

semua menjadi tekanan batin tersendiri untuknya.

Dia melihat bagian komik dan tertarik dengan sebuah buku Doraemon yang judulnya

‘Cerita Spesial Doraemon: Nilai Nol dan Pergi dari Rumah’. Agi mengambil buku itu dari

lemari, kemudian dibacanya di sofa sambil tiduran. Dibacanya bagian cerita ‘Pergi dari Rumah’

terlebih dahulu, entah kenapa.

Tok… Tok… Tok…

Agi menyuruhnya masuk, ternyata Mbok Nar yang membawakan tasnya. Ia menanyakan

tentang keberadaan orang tuanya saat ini. Mbok Nar pun menjawab kalo Sang Papa sedang ke

Singapura, dan Sang Mama sedang ke Bandung. Mbok Nar langsung meninggalkan Agi sendiri

di kamar setelah Agi menanyakan hal itu.

Agi ngedumel sendiri karena seperti biasa orang tuanya suka pergi seenaknya tanpa

pamit. Setelah puas ngedumel sendiri, ia melanjutkan membaca komik. Selesai membaca komik,

muncul niat iseng dari otaknya. “Hm… gimana kalo gue coba kabur dari rumah! Kayaknya seru

banget kalo gue bisa kabur. Boleh juga gue ngikutin caranya Nobita buat ngambil simpati dari

Doraemon dan kedua orang tuanya. Abis gue kayak dinomorduakan sama pekerjaannya mereka.

Gue juga pengen tau seberapa khawatirnya mereka kalo gue kabur dari sini.” gumamnya.

Page 10: My Best(Boy)Friend

Agi bangkit dari tidurnya dan mulai bersiap-siap membawa barang apa yang saja yang

diperlukan saat pergi. Pertama-tama diambilnya sebuah tas punggung yang cukup besar, lalu

dimasukkannya beberapa stel pakaian beserta plus-plusnya, peralatan mandi, handuk, dan lain-

lain. Tidak lupa sebuah boneka beruang kecil yang menjadi teman tidurnya dan sebuah bingkai

foto. Tas yang tadinya kempes…pes…pes… sekarang telah penuh terisi.

Apa lagi ya yang kurang? Kayaknya nggak ada! Hatinya membatin.

Setelah merasa tidak ada lagi yang kurang dalam usahanya ‘kabur dari rumah’,

dilemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Saat ini waktu menunjukkan pukul empat sore. Waktu

berjalan sangat lambat... semenit... dua menit... akhirnya dia berhasil tidur pulas dalam

kelelahannya.

Lagi enak-enak tidur, telpon di kamarnya berbunyi. Agi mengangkat telepon yang

kebetulan ada di meja samping tempat tidur dengan malas-malasan. Ternyata telpon dari Mama.

Mama bertanya tentang kabarnya, serta meminta maaf karena pergi tanpa pamit. Mama juga

memberitahu kalau selama dua minggu ia akan berada di Bandung.

Abis ditelepon Mama HP-nya gantian berdering. Di layar tertulis: PapaQ... ^_^

Sama seperti Mama, Papanya juga meminta maaf tidak memberitahu Agi. Papa juga

menyampaikan tentang kepergiannya ke Singapura, persis kayak Mama.

Agi jadi nggak nafsu lagi buat tidur. Kemudian ia pergi mandi dan berendam di bathtube,

merenungi nasibnya yang malang ini. Udah nggak punya sodara, pake ditinggal Bonyok pergi

segala. Betapa malang nasib gue ini!!!

Keluar dari kamar mandi, Agi langsung pake baju, tau-tau udah jam enam sore aja.

Kruyuk... Kruyuk... Perutnya berbunyi yang menandakan perlu diisi. Agi bergegas turun ke

bawah buat makan sore sekaligus makan malam. Di meja makan telah tersedia ayam rica-rica,

buah-buahan, dan segelas orange juice. Yummy...

Agi mengambil beberapa sendok nasi dari rice cooker, kemudian diambilnya sepotong

paha ayam. Walau agak lapar tapi Agi makan dengan wajah yang penuh penyesalan. Tidak ada

yang menemaninya makan malam. Gara-gara kegundahannya itu, tanpa sadar ia sudah melahap

Page 11: My Best(Boy)Friend

semua makanan di meja makan tapi tidak merasa kenyang, karena frustasi semua mungkin-

mungkin saja. Di kesendiriannya ini, ia membayangkan seandainya ia mempunyai seorang

saudara yang bisa diajaknya untuk berbagi suka dan duka. Tapi sayangnya...

Selesai makan malam pukul setengah tujuh, ia menelpon Keysa untuk menanyakan ada

peer apa saja buat besok. Ternyata... ‘Besok nggak ada peer!!!’.

Di kamar, ia sibuk merencanakan misinya, ‘Pergi dari Rumah’. Setelah

mempertimbangkan segala macam tetek bengeknya, akhirnya ia memutuskan untuk... (terdengar

suara drum digebuk...) pergi dari rumahnya besok, setelah pulang sekolah. Kenapa? Karena

orang tuanya tidak ada sama sekali dan itu adalah kesempatan yang bagus baginya untuk kabur.

Agi langsung membuat surat ijin (palsu). Gini-gini dia pintar meniru tulisan dan tanda

tangan Mamanya, jadi bikin surat ijin mah gampang. Di dalam surat palsu itu Agi menulis alasan

tidak masuk sekolah karena ijin menjenguk Nenek yang sedang sakit. Untung nggak ada yang

tau kalo nenek gue dua-duanya udah meninggal. Hehehe...

Surat ijin akhirnya beres, dia kemudian langsung memasukkannya ke dalam tas sekolah

supaya tidak ketinggalan. Semua persiapan akhirnya selesai. Agi mengambil buku diary-nya

yang ditaruh di bawah tempat tidur. Ia menulis sebuah puisi. Ia luapkan semua kegundahan

hatinya saat ini.

When something loosed in my life

I find something that I’m not find it

When I found it

I forgot what I ever had

When I remembered

I loosed it all

Page 12: My Best(Boy)Friend

Everything are late

And time has gone

When I woke up

I’m really loosed it all in my life

Sehabis menulis, buku diary-nya ditaruh di posisi semula, dan ia pergi tidur.

(*^o^*)

Jam enam lewat tiga puluh lima menit pagi. Agi bangun kesiangan dan segera bergegas

masuk kamar mandi. Ia hanya sempat membersihkan ketiak, muka, sama gosok gigi. Buru-buru

ia mengenakan seragam sekolah yang hari ini menggunakan batik. Setelah itu turun ke bawah

dengan cara meluncur pada pegangan tangga. Wush...

Mbok Nar yang lagi menyiapkan makanan kaget melihat tingkah polah anak majikan

yang sudah dirawatnya dari kecil ini. Agi hanya nyengir nakal dan bilang kalo dia kesiangan.

Diambilnya segelas susu dan roti yang dikasih selai cokelat. Susunya dihabiskan di tempat, dan

rotinya dibawa ke mobil. Sebelum berangkat, diciumnya pipi Mbok Nar yang telah dianggap

sebagai orang tua keduanya. Agi mengeluarkan mobil dari garasi, dan langsung tancap gas.

Dua puluh lima menit lagi pintu gerbang ditutup. Agi berusaha secepat mungkin datang

ke sekolah. Tapi apa mau dikata, jalanan macet bukan main. Dia mengeluarkan HP dari saku

bajunya untuk SMS Keysa nitip absen kalo misalkan telat. Belum sempet ngetik SMS, tiba-tiba

jalanan kembali lancar karena Polantas datang tepat waktunya. Nggak menyia-nyiakan

kesempatan, Agi mempercepat laju mobilnya.

Semenit lagi gerbang ditutup. Ternyata masih ada kemacetan lagi di depan SMP Ganesha

karena banyak angkot-angkot berhenti di tengah jalan, nurunin penumpang yang kebanyakan

Page 13: My Best(Boy)Friend

anak Ganesha. Agi memencet klaksonnya cukup kencang supaya angkot-angkot jahat itu

minggir. Akhirnya angkot-angkot kembali jalan, setelah diklakson berkali-kali.

Lima puluh detik lagi gerbang ditutup. Pak Nendy, satpam SMA Minefarad sudah

bersiap-siap menutup pintu pagar. Ketika ia sedang menutup pintu dengan khimadnya layaknya

mengikuti upacara bendera di Istana Negara, Agi malah menyelonong masuk. Pak Nendy sampai

terlonjak kaget, sementara Agi hanya menyeringai nakal, “Maaf ya Pak, saya telat nih. Makasih

ya Pak…” Mobilnya diparkir di bawah pohon, dan ia bergegas menuju ke kelasnya.

Sampai di dalam kelas, dilemparkan tasnya ke atas meja. Marcel, yang merupakan

sahabat cowoknya dari kecil, langsung menghampirinya dan memberondongnya dengan berbagai

pertanyaan seputar keterlambatan Agi. Dengan semangat yang menggebu-gebu, Agi

menceritakan pengalamannya yang hampir dipulangkan itu. Tiba-tiba dari luar kelas, munculnya

sesosok bayangan perempuan yang ternyata Keysa. Keysa pun ikut gabung dengan mereka.

“Aduh... Agi. Akhirnya dateng juga. Gue kira lo nggak masuk hari ini!”

Agi mengambil sebuah amplop dari dalam tasnya. “Nih, Key. Besok sampe seminggu

gue nggak masuk ya, ijin mau ke rumah nenek gue.”

Keysa dengan tanpa curiga menerima surat ijin dari Agi. Marcel yang mendengar Agi

nggak masuk besok langsung membentuk sebuah tanda tanya. Marcel langsung membelot Agi

keluar dari kelas.

“Lo besok mau ke mana, Gi?” tanya Marcel.

“Kan tadi gue udah bilang, gue mau jenguk Nenek gue Marcel. Nenek gue sakit.” Agi

memeletkan lidah.

Marcel langsung memegang wajah Agi, dan menatap matanya. Agi berusaha

menghindari tatapan Marcel yang amat tajam kepadanya. “Lo boong, Gi. Nenek lo kan udah

meninggal dua-duanya, trus lo mau nengok siapa? Apa yang mau lo lakuin besok?”

“Bukan urusan lo, Cel.”Agi langsung melepas tangan Marcel dan pergi ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, Agi menangis sejadi-jadinya. Maaf ya gue nggak bisa ngomong sama lo.

Page 14: My Best(Boy)Friend

DUA

Agi telah bersiap untuk melaksanakan misinya pergi dari rumah. Dia memakai T-Shirt

pink bergambar Mickey Mouse, celana jeans panjang, juga kaos kaki semata kaki serta sepatu

Converse belel warna merah. Jaket yang akan dibawanya diikatkan di pinggul. Lalu dia turun ke

bawah bersama tas besarnya. Ia berbohong kepada Mbok Nar bahwa selama seminggu-dua

minggu ini akan menginap di rumah Rei. Untung Mbok Nar percaya-percaya aja. Dia sengaja

berbohong seperti itu supaya keadaannya tidak dapat dilacak. Mbok Nar berpesan supaya Agi

hati-hati selama di sana.

Agi melangkahkan kakinya ke luar rumah. Ia melihat sekilas rumahnya.

Selamat tinggal...

Sebersit rasa untuk tidak meninggalkan rumahnya, karena ia takut meninggalkan Mbok

Nar yang sendirian di rumah. Lantas pikiran itu dibuang jauh-jauh olehnya, ia sudah bertekad

dan tak akan merubah apa pun keputusannya ini. Agi menitikkan air mata, namun saat merasa air

matanya akan tumpah, dengan cepat ia menghapusnya.

Gue nggak boleh nangis… nggak boleh… batinnya.

Beberapa menit setelah Agi pergi, Marcel datang ke rumah Agi. Ia bertemu dengan Mbok

Nar dan bertanya tentang keberadaan Agi. Ternyata jawaban Mbok Nar semakin membuat

Marcel bingung karena kata Mbok Nar, Agi pergi menginap di rumah Rei. Marcel mencoba

menghubungi nomor HP Agi, ternyata nggak aktif. Setelah itu ia pergi menuju ke rumah Rei, di

rumah Rei ternyata Agi juga nggak ada.

Gi, lo ke mana sih? Kok nggak ngasih tau gue?! pikir Marcel, kebingungan. Marcel pun

berusaha untuk mencari di tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi, namun Agi urung

ditemukan, dan Marcel menjadi cemas sendiri karena Agi tidak pernah melakukan hal yang

seperti ini sebelumnya. Pantesan aja tadi gue lihat Agi nggak seperti biasanya. Air mukanya

kelihatan cemas banget. Tapi kenapa dia nggak mau cerita ke gue ya? Ya, Tuhan… moga-moga

Agi nggak kenapa-napa.

Page 15: My Best(Boy)Friend

Agi berjalan nggak tau ke mana. Ia tiba di sebuah jalan besar, jalan yang tak pernah

dilewatinya. Ia melihat jam tangannya, sudah jam tujuh malam. Agi duduk di emperan toko yang

sudah tutup, bingung mau ngapain. Perutnya terasa lapar sekali. Lalu ia mengambil dompet dari

saku celana. Nggak ada uang sama sekali bahkan kartu ATM-nya pun ketinggalan. Ia lupa bahwa

semua uang dan kartu ATM-nya berada di dompet yang satu lagi.

Percuma aja gue bawa dompet kalo nggak ada isinya. Kok gue bisa salah bawa dompet

gini sih? Dodol... dodol... Gini nih kalo mau kabur, nggak punya persiapan yang mateng. Agi

menggerutu sendiri, menyadari kelalaiannya.

“Dik, mau makan?” Seorang gelandangan perempuan menawarinya sebungkus makanan

sisa. Ia daritadi melihat gerak-gerik Agi, sadar bahwa Agi sangat kelaparan dan sadar bahwa Agi

tidak memiliki uang.

Namun, Agi masih mempertahankan egonya. Walaupun ia sangat… sangat… lapar tapi

ketika gelandangan itu menyodorkan sebuah makanan sisa, rasanya ia ingin muntah. Ya, harap

maklum saja lha, Agi tidak pernah merasakan apa yang namanya kekurangan. Kalau dia lapar,

tinggal minta dibikinkan Mbok Nar, tapi ketika ia sudah kenyang dan makanannya tidak habis,

dia buang begitu saja.

Dalam hati dia mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan selama ini yang tidak pernah

dia sadari.

“Makasih Mbak. Buat Mbak aja, saya nggak terlalu laper kok.” tolaknya halus.

“Oh ya sudah, kalo adik nggak mau makan ini. Oiya Dik, saya punya kardus bekas, bisa

buat alas kalo mau tidur.” Gelandangan itu memberikan beberapa buah kardus yang nggak

dipakai.

“Makasih ya.” Agi menerima pemberian gelandangan dengan senang hati. Kardus yang

diberikan gelandangan langsung dipakai Agi untuk tidur. Ternyata dia nggak bisa tidur nyenyak

karena selain perutnya yang keroncongan, Agi juga tidak biasa tidur dengan kasur yang hanya

beralaskan kardus.

Page 16: My Best(Boy)Friend

Keesokan paginya,

“Heh, gembel. Ngapain kamu tidur di depan toko saya?” Seorang perempuan tua

membangunkan Agi yang sedang terlelap sambil menendang-nendang badannya.

Agi terbangun, merasa terganggu. Ingin sekali rasanya untuk membentak orang yang

membangunkannya, tapi ia ingat bahwa ia sedang sendirian sekarang. Akhirnya Agi berhasil

meredam emosinya dan meninggalkan perempuan ini. Agi berjalan tak tentu arah dengan perut

kosong. Ia terus memegang perutnya yang terus-menerus berceloteh minta makan. Ketika sampai

di sebuah perempatan lampu merah, ia sudah tak mampu lagi melangkah. Agi pingsan dan jatuh

di tengah trotoar.

Seorang loper koran yang tengah memerhatikan Agi, segera datang menghampiri ketika

melihat Agi yang pingsan di trotoar. Dengan heroik, dipanggulnya tas Agi di bahu sebelah kiri

dan digendongnya Agi di bahu kanan. Aku kayak pernah liat cewek ini sebelumnya!

Dia menitipkan pesan kepada temannya supaya menggantikannya meloper koran, karena

ia akan membawa Agi ke Pos Polisi. Dibawanya Agi ke Pos Polisi yang terletak di dekat

tempatnya meloper koran. Seorang polisi yang sedang berjaga di sana terperangah melihat ada

orang yang membawa cewek pingsan ke kantornya. Ia lalu menjelaskan kronologis kejadian itu

serta menurunkan Agi ke sofa, sedangkan ia duduk di sofa yang satu lagi. Polisi itu mengelak

seakan tak ingin tahu. Ia malah pergi begitu saja meninggalkannya dan Agi di kantornya.

Pak Polisi itu ke mana ya? Apa ia nggak peduli sama keadaan cewek ini?! Laki-laki itu

ngedumel sendiri.

Hanya menunggu berdua saja (sama orang yang pingsan lagi, mana bisa diajak ngobrol

ya?!) membuatnya menjadi tak sabar menunggu. Ia menatap cewek yang tadi ditolongnya. Rasa

cemas membawa keingintahuannya. Dengan ragu ia merasakan keakraban dengan wajah cewek

itu.

Aku inget. Ini kan cewek yang aku temui di jembatan! Cantik juga ternyata! Tapi

sepertinya aku pernah liat dia sebelumnya, udah lama banget… Ia membatin.

Page 17: My Best(Boy)Friend

Ternyata polisi itu memanggil sebuah ambulance. ia menyesal sekali telah berburuk

sangka kepada polisi itu. Beberapa menit kemudian, ambulance dari Rumah Sakit datang. Pak

polisi memintanya supaya mengangkat Agi ke dalam ambulance. Ketika ia mengangkatnya, tiba-

tiba Agi sadar. Kaget melihat ada laki-laki yang tak dikenal sedang mengangkatnya bak

pengantin baru, Agi langsung berteriak histeris. Spontan ia melepas Agi, dan Agi langsung

sukses jatuh ke lantai dengan posisi tertelungkup.

“Ih... Dodol!!! Kenapa lo ngelepasin gue? Sakit tau langsung nyium ubin gitu!” bentak

Agi.

“Lho...!? Lagian kamu ngapain coba teriak-teriak!” jawabnya, santai.

“Abis ngapain juga lo gendong gue kayak gitu?! Di mana gue?” Agi bingung saat melihat

sekelilingnya. Dia memandang wajah cowok itu lekat-lekat seperti pernah melihatnya di suatu

tempat. Mata cokelatnya itu sangat meneduhkan dan bersahabat, raut mukanya penuh

kehangatan, dan genggaman tangannya itu begitu kuat seakan-akan dia memang sangat khawatir

dengan keadaannya, dan jangan lupa ada ciri khas dari dirinya yang sangat berbeda yaitu di

keningnya ada sebuah tahi lalat. Jangan-jangan dia adalah…

“Tadi kamu tuh pingsan, terus mau aku bawa ke ambulance, eh pas kamu sadar kamu

teriak, aku kaget lha. Kamu lagi ada di Pos Polisi.” Laki-laki itu bertanya penuh simpati.

“Kamu mau saya antar ke Rumah Sakit? Sepertinya kamu lemas, Nak.” tanya Pak polisi.

“Hah!?” O iya, Gue kan lagi kabur dari rumah. “Nggak deh, makasih Pak. Saya baik-

baik aja kok. Gue cabut dulu ya. Makasih ya Pak! Dagh...” Dengan slebor Agi pun pergi dari Pos

Polisi padahal jalannya aja sempoyongan kayak orang mabuk.

Beberapa saat kemudian laki-laki itu berpikir, kalau cewek kayak Agi nggak bakal

bertahan di jalanan. Dia pun menyusul Agi keluar Pos Polisi, sambil celingak-celinguk mencari

Agi. Ia pikir Agi sudah pergi jauh, ternyata Agi masih duduk di pelataran depan Pos Polisi.

Tatapan matanya kosong tanpa tujuan, sambil terus menatap ke arah jalan raya.

“Boleh aku duduk di sini?” pintanya.

“Ya udah... Sok aja.” ucap Agi yang sudah lesu. Ia duduk di samping Agi.

Page 18: My Best(Boy)Friend

“Nama kamu siapa? Aku Ridho.”

“Agi.” jawab Agi singkat.

“Salam kenal ya, Gi.”

Agi? Jangan-jangan nih cewek yang selama ini aku cari? Agi yang akan aku temui dua

tahun ke depan? Tapi apa mungkin?! Aku harus cari tau. batin Ridho.

Sifatnya dan gestur tubuhnya kok ngingetin gue sama cowok itu ya? Tapi kan cowok itu

ada di Bogor, bukan di Jakarta. Hm… batin Agi.

Perkenalan ini membawa mereka ke dalam dunia yang lebih berwarna. Agi dan Ridho

mulai bercakap-cakap. Agi yang tak punya tujuan merasa sepi dan butuh teman yang bisa diajak

bicara seperti Ridho. Percakapan mereka sangat menyenangkan, sampai-sampai waktupun

terlupakan. Seiring turunnya matahari di ujung barat, Ridho berniat pamit pulang. Ketika melihat

Agi yang pergi tanpa tujuan itu, Ridho berinisiatif mengajaknya untuk menginap di rumahnya.

“Gi... kamu mau pergi ke mana lagi?”

“Nggak tau. Gue kan lagi kabur dari rumah. Terus terang gue juga bingung mau ke mana.

Mana gue nggak bawa uang sama sekali lagi.”

“Ke rumahku aja gimana? Daripada kamu luntang-lantung di jalan kayak gini. Lagian

juga udah malem. Ntar kamu kenapa-napa lagi.” tawar Ridho.

“Nggak ah... emangnya gue cewek apaan.” Agi menolak dengan ketus.

“Oh ya udah, kalo nggak mau. Aku balik dulu ya...” Ridho berjalan meninggalkan Agi

sendiri. Hanya satu harapannya sekarang, supaya Agi memanggil dan datang menghampiri.

Agi yang bingung harus ke mana lagi akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran

Ridho. “Dho... wait me!!!”

Ridho berhenti melangkah, sambil menunggu Agi datang. Tak peduli waktu yang sudah

semakin larut, mereka melanjutkan percakapan yang akrab sambil berjalan menyusuri lampu-

lampu kota metropolitan. Berjalan di bawah lampu-lampu pedestrian, bagi mereka seperti

Page 19: My Best(Boy)Friend

berjalan di bawah kelap-kelip cahaya bintang. Agi pun menceritakan tentang alasannya untuk

pergi dari rumah.

Perjalanan ini membuat Agi merasa capek. Mukanya tiba-tiba memucat. Saat Ridho

hendak bertanya keadaannya, Agi pingsan lagi. Untung Ridho berhasil menopang badannya

supaya tidak sampai terjatuh. Tanpa pikir panjang Ridho pun membawanya sampai ke rumah

dengan cara menggendongnya.

Ketika sampai rumah Ibu kaget bukan main, karena anak laki-laki membawa seorang

perempuan yang sedang pingsan sambil membawa sebuah tas besar. Sang Ibu yang melihat

menyuruhnya untuk menidurkan Agi di tempat tidur. Ridho pun menurutinya, dibawanya Agi

dan digeletakkan di kasur yang berisi kapuk. Ibu datang membawa minyak kayu putih lalu

memberikan minyak kayu putih di bawah lubang hidung Agi. Diberinya sedikit demi sedikit

kemudian diusapkannya dengan lembut.

Beberapa detik kemudian, Agi tersadar dari pingsannya. Dilihat sekelilingnya, heran.

“Gue harus pergi dari sini.” Ia berusaha bangun dari tempat tidurnya, namun tak mampu.

“Kondisi kamu masih lemah. Kamu masih perlu istirahat, Nak.” Nasihat Ibu.

Agi menatap wajah dan mata perempuan di sampingnya ini dalam-dalam. Seorang

perempuan yang kira-kira berumur tiga puluh tahunan, yang masih keliatan fresh dan cantik

walaupun kehidupan mereka agak menyedihkan. Wajah perempuan tangguh yang telah

merasakan banyak asam garam kehidupan. Bener-bener beda banget sama nyokap gue!

Ibu merasa Agi terus memerhatikannya. Ia lalu bertanya apa yang Agi inginkan. Agi

meminta minum saja. Baru beberapa langkah Ibu keluar dari kamar Ridho, ia mendengar perut

Agi berkokok nyaring.

Ibu langsung menoleh ke belakang, karena mendengar bunyi yang lumayan aneh, dan

bertanya kepada Ridho apakah bunyi itu sebenarnya. Tanpa rasa berdosa, Ridho menunjuk Agi

dengan muka polos dan lugu tapi maksain. Agi hanya tersenyum garing, nggak ngerti harus

gimana. Ibu pun tersenyum dan melanjutkan perjalanannya ke arah dapur. Ia akan menyiapkan

sepiring makanan juga.

Page 20: My Best(Boy)Friend

“Makasih ya tadi lo udah nolongin gue, gue nggak tau bakal jadi apa kalo lo nggak

nolongin.” Agi mengucapkan terima kasih ke Ridho karena telah menolongnya.

“Sama-sama. Sesama manusia kan harus saling tolong-menolong. Hehehe…” kekeh

Ridho.

Ibu datang membawa sebuah nampan berisi makanan dan minuman. Setelah itu, Ibu

duduk di pinggir kasur. “Ibu suapin ya?”

“Gi, kakak suapin ya?” tanya anak laki-laki kepada adik perempuannya.

“Nggak mau kakak, Agi nggak laper.” rengek adik kecil itu.

“Ayo dong, Gi. Ntar kamu nggak sembuh-sembuh. Nih ya, A…” Akhirnya kakak berhasil

menyuapi adiknya.

“Nggak usah deh Bu, nggak usah. Aku bisa makan sendiri kok!” tolaknya.

Ibu memaksa untuk tetap menyuapi Agi. Disendokkannya nasi beserta lauk-pauk ke

dalam mulut Agi. Secara otomatis mulut Agi terbuka, menerima suapan dari Ibu. Ridho yang

sedari tadi memerhatikan dan masih ada di dalam kamar, tertawa terkekeh melihat teman

barunya itu.

“Terkadang omongan nggak sesuai sama kenyataan ya, Bu. Tadi bilangnya nggak mau

disuapin, tapi pas udah dideketin mangap juga! Hahaha...” ledeknya.

“Sialan lo. Ngiri lo ya ngeliat gue?” balas Agi dengan mulut yang masih penuh makanan.

“Udah, Nak. Omongannya si Ridho jangan didengerin.” lerai Ibu. “Kamu juga Dho,

ngapain ngeledekin mulu! Orang lagi makan kok diledekin.”

“Abis lucu sih, Bu. Agi kayak anak-anak. Hahahaha…” Ridho kembali ketawa.

Ibu pura-pura marah dan menyuruh Ridho untuk menjemput adiknya yang sedang

bermain di luar. Ridho pergi keluar rumah, sedangkan Ibu meneruskan menyuapi Agi.

Glek! Agi menelan makanan. “Makasih ya Bu, udah mau nolong aku.”

Page 21: My Best(Boy)Friend

Agi lalu meminta ijin supaya bisa menginap di rumah ini. Awalnya Ibu bimbang karena

ia sendiri tidak tahu asal-usul Agi yang sebenarnya. Dengan seribu jurus pamungkas, Agi

berusaha membujuk Ibu untuk dapat mengijinkannya tinggal yaitu dengan membuat matanya

berkaca-kaca dan menceritakan kisahnya.

Ibu berpikir sejenak. “Baiklah, Ibu mengijinkan kamu tinggal di sini. Daripada kamu

berkeliaran di jalan yang tidak jelas. Tapi untuk alasan kamu pergi dari rumah, Ibu harap kamu

dapat menjalankan resikonya dengan baik.”

“Tenang aja, Bu.” Agi tersenyum manis. “Makasih ya!”

Ridho datang bersama dua orang laki-laki di belakang dan di sampingnya. Di

sampingnya berdiri anak laki-laki berumur sekitar tujuh tahun. Di belakangnya berdiri laki-laki

berperawakan kurus dan tinggi. Mereka bertiga lalu masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa

yang sudah reot. Sepertinya itu adalah ruang keluarga, karena selain ada sofa di situ juga tersedia

TV 14’.

Melihat seluruh keluarga telah berkumpul, Ibu menghampiri mereka. Tangannya dicium

oleh Ridho dan anak terkecilnya sedangkan ia mencium tangan suaminya. Agi memerhatikan

mereka dari celah-celah pintu kamar yang hanya ditutupi oleh gordin tipis. Betapa bahagianya

hidup mereka di tengah kesulitan yang mereka hadapi. Kapan keluarga gue bisa ngumpul kayak

mereka, lagi?

Mereka berempat asyik mengobrol di ruang keluarga. Ibu pergi ke dapur menyiapkan

kopi. Berikutnya, ia membawa segelas kopi hangat untuk suaminya. Ibu dan Ridho lupa tentang

kedatangan ‘Orang Baru’ di rumah mereka sedangkan Agi yang dinotabenekan sebagai ‘Orang

Baru’ itu, malah asyik memerhatikan senda gurau yang terjadi dalam keluarga yang didatanginya

dari balik tirai.

Kayaknya ada yang kurang deh, tapi apa? Ridho membatin. Diliatnya satu per satu

keluarganya. Semua lengkap. Tapi… kayaknya masih ada yang kurang! Pikiran Ridho mulai

bermain-main. Akhirnya ia ingat juga. Oh iya kan ada Agi! Ia berdiri dari tempat duduknya

sambil berlari kecil menuju kamarnya. Ayah dan Arya bingung sedangkan Ibu tahu maksud

Ridho yang sesungguhnya. Ia lalu mengajak Agi keluar untuk bergabung dengan keluarganya.

Page 22: My Best(Boy)Friend

Agi rada sungkan apalagi statusnya hanya sebagai ‘TTD – Tamu Tak Diundang’, namun setelah

Ridho meminta, memohon dan mengiba, akhirnya hatinya luluh juga. Agi ikut berbaur dengan

anggota keluarga yang lainnya. Respon mereka menyambut baik kedatangannya. Agi merasa

senang karena kedatangannya tidak dijadikan beban.

Adik Ridho bernama Arya. Arya sendiri masih duduk di kelas tiga SD. Saking asyiknya

mengobrol, mereka tidak sadar waktu telah menunjukkan jam delapan malam. Ayah menyerukan

kepada kedua anaknya untuk belajar karena besok mereka masih sekolah. Tanpa dikomandoi,

keduanya masuk ke kamar masing-masing. Sebelum Ridho masuk ke kamar, ia mengajak Agi

juga.

“Gi, kamu jangan anggep aku dan keluargaku orang laen ya. Anggep aja keluarga kamu

sendiri. Jadi kamu bisa ceritain semua yang kamu rasain ke aku atopun ke Ibu. Walaupun aku

baru ketemu sama kamu, tapi entah kenapa ya aku kok ngerasanya kita udah lama kenal deh.”

“Agi, kalo ada sesuatu hal yang kamu rasain ceritain aja ke Kakak! Jangan anggep

kakak orang asing!!! Kakak bakal sebisa mungkin buat nolong kamu mecahin masalah.”

“Iya, Dho. Sekali lagi makasih ya lo udah nolong gue.”

Ibu menyelonong masuk ke kamar. Ridho keliatan kecewa melihat kedatangan Ibunya

karena dia sedang asyik mengobrol dengan Agi. Ibu menyadari raut muka Ridho yang berubah.

Ia menyinggung mereka karena hari sudah semakin larut dan sudah waktunya mereka untuk

tidur. Ibu juga menyuruh Ridho supaya tidur di luar agar Agi dapat menempati kasurnya.

“Lo nggak apa-apa nih Dho tidur di luar?” tanya Agi, agak sungkan. “Gue nggak enak

sama lo. Biar gue aja deh yang tidur di luar.”

“Nyantai aja sih, aku udah biasa kok tidur di luar. Lagian kamu di sini kan tamu, jadi

harus diperlakukan istimewa. Ya kan, Bu?” Ibu mengangguk. Ridho mengambil bantal dan

gulingnya lalu keluar kamar. “Selamat malam, Bu, Gi...”

“Nah, Agi sekarang kamu bisa tidur! Si Ridho udah nggak ada.” bisik Ibu.

“Makasih ya, Bu.” Agi menjawab dengan nada lebih berbisik lagi. Ibu mencium kening

Agi dan mematikan lampu kamar.

Page 23: My Best(Boy)Friend

Agi merogoh dan mencari-mencari sesuatu dari tasnya dalam kegelapan. Kemudian ia

mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah pigura dan sebuah boneka. Di dalam pigura itu

terlihat samar-samar foto sebuah keluarga kecil bahagia dengan ayah, ibu dan satu orang anak

mereka saat sedang berlibur di Pantai Kuta. Ya… itu adalah foto keluarga Agi. Dipeluknya

pigura dan boneka itu dengan erat, sangat erat. Lalu diciuminya foto Mama dan Papa, serta

bonekanya. Agi kangen kalian…Apa kalian kangen aku!?

Ia mengambil sebuah kotak kecil yang sudah terbungkus kertas kado dari dalam tasnya.

Diberikan bungkusannya itu kepada adik kecilnya. Adik kecil yang sangat disayanginya. Hari ini

adiknya berulang tahun yang ke-7.“Buat kamu. Selamat Ulang Tahun ya, Sayang!”

“Makasih Kak, boleh aku buka nggak nih kadonya?”

“Iya, boleh kok. Buka aja.”

Penuh semangat adiknya merobek kertas kado itu sampai kecil-kecil. Dibukanya kotak

itu, dan ia menemukan sebuah boneka di dalamnya. Boneka beruang kecil yang lucu. bisik

hatinya. “Makasih ya, Kak.”

Agi mendapat sebuah boneka beruang berukuran kecil, berwarna putih kecokelat-

cokelatan dan di tengah boneka itu, ada sebuah hati yang bertuliskan ‘Forever with You’…

“Gimana kamu suka nggak kadonya?”

“Suka banget Kak kadonya, lucu banget deh. Makasih ya Kakak…” Agi memeluk

kakaknya.

“Gi, Boneka ini dijaga baik-baik ya. Jangan sampe rusak ato ilang. Trus tiap kamu mau

tidur, peluk boneka ini biar mimpi indah. Janji?” Ia mengangkat kelingking kanannya.

“Agi janji.” Kelingking keduanya sama-sama terkait satu sama lain.

“Kak, itu yang tulisan di hati beruangnya artinya apa?”

Page 24: My Best(Boy)Friend

“Oh ini.” Kakak menunjuk hati itu. “Artinya ‘selamanya denganmu’, jadi kakak nggak

akan pernah ninggalin Agi. Kakak selalu sama Agi, Kakak pasti bakal jaga Agi selalu… Agi

sayang nggak sama Kakak? Maaf ya Kakak cuma bisa ngasih boneka aja buat Agi.” ujarnya.

“Agi sayang banget sama Kakak. Nggak apa-apa kok, Kak. Walaupun Kakak cuma

ngasih Agi boneka, Agi cukup seneng Kakak masih inget Agi, nggak kayak Mama sama Papa.”

Agi mulai menitikkan air mata. “Kakak jangan pernah ninggalin Agi ya, Kak.”

Ia menghapus air mata Agi dengan lembut. “Agi nggak boleh nangis, Agi kan udah gede.

Kakak janji nggak akan pernah ninggalin Agi.” Ia memeluk tubuh adiknya dengan erat. “Mama

sama Papa kan pergi nyari uang buat kita. Lagian kan mereka janji minggu depan mau

ngerayain ulang tahun bareng Agi.”

“Tapi Agi maunya Mama sama Papa ada di sini sekarang...” Agi mulai mengeluh.

“Hm... Gimana kalo sekarang Kakak ajak Agi jalan-jalan? Kakak punya tempat bagus

yang belum pernah Agi datengin. Mau nggak?”

“Mau... mau... mau...” Ayo loncat-loncat kegirangan.

Ia dan Agi pun pergi berkeliling kota Jakarta, ke jembatan tua, ke kota tua, ke Monas, ke

Museum Gajah serta ke Curug Cilember. Agi terlihat sangat gembira dan sedikit dapat

melupakan kesedihannya.

Kakak Agi sadar bahwa dia tidak akan bisa memenuhi janjinya kepada Agi untuk

menjaga Agi selamanya...

Page 25: My Best(Boy)Friend

TIGA

Ridho bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia masuk ke kamarnya dan mendapati

Agi masih tertidur pulas. Didekatinya Agi yang tertidur, sambil memerhatikan gaya tidurnya.

Nih anak lucu juga kalo lagi tidur. Hihihi… bisa-bisa kasurku jadi banyak pulaunya

gara-gara diilerin terus.

Pandangan Ridho terhenti pada satu tempat. Agi sedang memeluk sesuatu! Perlahan-

perlahan benda itu terlepas dari pelukan Agi. Dengan segera diambilnya pigura itu dari pelukan

Agi. Dilihatnya cermat-cermat bak detektif yang sedang mengingat foto targetnya.

Oh, jadi ini foto keluarganya Agi. Tapi kok kayak keluarga bahagia, nggak keliatan Agi

dicampakin. Senyumnya dulu, apa kini memudar? Apa ia terpisah dari keluarganya? Aku harus

bisa kembaliin kebahagiaannya dan senyumannya kayak dulu lagi. Bantu aku ya, Tuhan!!! Aku

juga harus cari tahu apakah Agi benar cewek yang selama ini aku cari.

Puas melihat foto Sang target, ia segera mengembalikan di posisi semula. Iseng, Ridho

menggoyang-goyangkan badan Agi untuk membangunkannya. Setengah sadar, kelopak mata

Agi mulai terbuka. Namun setelah melihat Ridho yang ada di depannya, Agi malah tertidur lagi.

Ya, ampun. Nih anak susah banget dibanguninnya. Kayak kebo aja! Semoga aku nggak

susah juga buat ngembaliin senyumnya!

Jam sepuluh pagi, Agi baru bangun tidur. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Untung

nggak ada orang di sampingnya, jadi nggak ada yang kebauan deh!!! Masih terkantuk-kantuk,

diambilnya handuk dari dalam tas serta peralatan mandi dan beberapa pakaian. Ia berjalan ke

arah kamar mandi yang udah dihapalnya. Ibu menyambut Agi sambil mencuci piring bekas

sarapan Ridho, Arya, dan Ayah.

Agi masuk ke kamar mandi yang atap interknitnya bolong sehingga ia dapat melihat

langit di angkasa. Ia mengingat obrolannya kemarin malam bersama Ridho. Gaya bicara Ridho

Page 26: My Best(Boy)Friend

dan perhatian Ridho kepadanya, mengingatkan Agi pada seseorang yang disayanginya dan tidak

pernah bisa ia lupakan. Apa mungkin si Ridho itu reinkarnansi dari DIA? Tapi masa sih begitu?!

Agi membuat opini tersendiri tentang Ridho dan DIA.

Selesai mandi dan sarapan, Agi diajak Ibu untuk mengantar Arya ke sekolah, ke SD

Pondok Merah 3, karena Arya masuk siang. Setelah mengantarkan Arya, mereka pergi ke pasar

untuk belanja bahan makanan. Pergi ke pasar adalah pengalaman pertama dan mungkin yang

terakhir buatnya. Agi menutup hidungnya rapat-rapat menghindari aroma pasar yang khas. Ibu

tertawa dalam hati, melihat kelakuan tamunya yang lucu. Mereka membeli dua ikat kangkung,

beberapa siung bawang merah dan bawang putih, beberapa buah tomat, serta setengah kilo cabe

merah.

Di dalam dapur, Ibu menyuruh Agi mengupas bawang merah dan bawang putih. Namun

karena baru pertama kali mengupas bawang, yang ia kupas bukan hanya kulit bawang saja, tetapi

juga daging bawangnya. Akhirnya mengupas bawang dikerjakan oleh Ibu, dan Ibu jugalah yang

mengerjakan semuanya, sedangkan Agi hanya menonton saja.

Tiga puluh menit berlalu, oseng-oseng kangkung udah jadi. Agi cukup senang walaupun

sebenarnya tidak begitu banyak membantu. Mereka berdua makan siang dengan oseng-oseng

kangkung yang tadi mereka buat. Saat makan siang, Ridho pulang dari sekolah.

Ridho disambut dengan penuh suka cita oleh Agi. Agi menarik bangku di meja makan

buat Ridho, mengambilkan nasi serta oseng-oseng kangkung ke piring Ridho. Ridho sendiri

heran dibuatnya.

“Ada apa nih yang sebenarnya? Rasanya ada yang aneh.” tanya Ridho.

“Cobain deh masakan gue. Enak nggak?”

Ridho menyuapkan satu sendok nasi dan oseng-oseng ke mulutnya. “Enak. Kamu yang

bikin masakannya?”

“Nggak sih, yang bikin Ibu. Gue cuma bantuin ngupasin bawang aja.”

“Oh gitu. Emang kamu bisa ngupas bawang?”

Page 27: My Best(Boy)Friend

“Nggak, gue malah ikut ngupas daging bawangnya juga.” jawab Agi jujur.

Ridho tertawa terpingkal-pingkal mendengar celotehan Agi. Bagaimana tidak, ia pikir

masakan itu hasil bikinan Agi sendiri eh malah bukan. Agi langsung cemberut, kedua pipinya

menggembung. Seketika itu juga, Ibu mengeluarkan jurus mautnya. Hanya dengan mengucapkan

kata, “Dho...” Ridho langsung meminta maaf ke Agi.

Ridho yang telah selesai makan, kemudian menaruh piringnya di tempat cucian. Lalu ia

mengganti pakaian seragamnya dengan celana pendek dan kaos oblong. Ridho juga mengajak

Agi untuk meloper koran. Agi mengiyakan ajakan Ridho, daripada di rumah cuma ngerepotin

Ibu.

Agi diajak ke jalan raya di mana kedua kalinya ia bertemu Ridho. Ridho mengambil

beberapa koran dari agen langganannya, lalu menjajakan koran-korannya di perempatan lampu

merah. Sedangkan Agi menunggu Ridho di halte bus, sambil asyik membaca buku. Sampai sore

menjelang, akhirnya Ridho selesai juga melakukan pekerjaannya. Ridho langsung menghampiri

Agi yang sekarang lagi bengong.

Ridho mengejutkan Agi dari belakang. Agi langsung duduk tegap gara-gara kaget.

“Kamu mau jalan-jalan nggak? Kalo mau kita ngeliat sunset aja gimana?” ajak Ridho.

“Sunset? Gue mau dong ke sana! Gue suka banget ngeliat sunset!” ucap Agi

bersemangat.

“Wah, kebetulan banget aku tau tempat liat sunset yang bagus. Ayo kalo gitu!” Ridho

menggandeng tangan Agi (baca: takut Agi hilang dan pingsan lagi) dan mengajaknya ke sebuah

apartemen yang belum selesai dibangun yang tidak jauh dari jalan tempat Ridho ngeloper koran.

Agi heran plus bingung karena apartemen yang belum jadi adalah sebuah tempat nggak

lazim aja untuk melihat sunset, sama kayak tempatnya melihat sunset di jembatan. Ridho

meyakinkan Agi kalau tempat ini memang tempat yang mereka tuju. Mereka menaiki tangga-

tangga apartemen sampai di lantai yang paling atas yang kira-kira di lantai sepuluh. Lalu Ridho

menyuruh Agi untuk duduk di pinggir tembok apartemen.

“Gimana Gi, rasanya udah sampe di sini?” tanya Ridho.

Page 28: My Best(Boy)Friend

“Capek banget gila. Hm... tapi di sini enak ya anginnya sepoi-sepoi. Nggak kena polusi

lagi.” jawab Agi. “Kok lo bisa tau ada tempat kayak gini?”

“Yaiyalah bisa. Secara Ayah lagi ada proyek di sini, jadi aku tau deh. Tau nggak Gi,

kamu itu orang pertama yang aku ajak ke sini lho.”

Agi mengernyitkan dahi, nggak percaya. “Bokap lo kerja apa di sini?”

“Jadi kuli bangunan. Ayah yang bantu ngecor bagian atas. Aku juga suka bantu-bantu

kalo lagi nggak sekolah.”

Beberapa menit mereka menunggu sambil ngobrol-ngobrol. Ternyata mereka mempunyai

banyak kesamaan. Sama-sama orang Indonesia (pastinyalah!), sama-sama suka cokelat, sama-

sama suka Sejara, sama-sama berulang tahun tanggal 24 Juni, dan sama-sama pernah tinggal di

Bogor. Ternyata tanpa menunggu waktu dua belas tahun lamanya, mereka kembali dipertemukan

oleh yang namanya TAKDIR.

“Ah, ternyata benar kalo kamu itu Agi teman kecilku dulu.” ujar Ridho sambil tersenyum

simpul. “Waktu aku pertama kali mendengar namamu, aku sudah curiga, tapi aku menunggu

waktu yang tepat untuk bertanya. Eh, ternyata malah secepat ini akhirnya.”

Agi ikut tersenyum, “Gue juga nggak nyangka bakal begini akhirnya. Apalagi dari awal

gue liat lo di Pos Polisi itu gue udah mulai nebak kalo lo adalah teman masa kecil gue.”

Awan-awan berubah warna dari biru muda menjadi keoranye-oranyenan. Matahari sudah

menyentuh horison, tertelan waktu yang terus berputar. Ridho menunjuk ke arah langit. Matahari

kemudian tenggelam dengan perlahan. Agi melihat dengan takjub. Ia tidak menyangka saja bisa

melihat sunset yang begitu indah di langit Jakarta. Setelah puas melihat sunset, mereka pun

pulang.

Di rumah, Ayah belum pulang. Ibu mengintrogasi mereka karena pulang saat adzan

Maghrib. Ridho menjawab bahwa mereka tadi melihat sunset di tempat Ayah. Beberapa menit

kemudian, Ayah pulang sambil membawa seekor ayam panggang yang dibelinya di restoran.

Bagi keluarga Ridho, ayam adalah lauk yang luar biasa mewah tapi bagi Agi yang tiap hari

Page 29: My Best(Boy)Friend

makan ayam, lauk itu hanya biasa aja. Mereka menikmati suasana makan malam yang begitu

kental dengan nuansa kekeluargaan.

Agi merasa begitu dekat dengan keluarga barunya ini. Ia seperti menemukan nafas

hidupnya yang baru. Ia belajar tentang segala hal dari kehidupan keluarga Ridho yang sangat

sederhana namun kaya akan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai yang tidak pernah ia dapatkan di

rumahnya ataupun di sekolahnya. Agi berharap agar ia dapat berubah menjadi orang yang lebih

baik lagi.

(*^o^*)

Hari ini hari Sabtu. Ridho tidak pergi sekolah, karena sekolahnya cuma masuk sampai

hari Jumat. Ia membangunkan Agi yang lagi-lagi masih tertidur. Ridho menggoyang-goyangkan

badan Agi, sedang berusaha membangunkan Agi. “Gi, bangun dong. Trus kita jalan-jalan yuk.”

“Jalan-jalan ke mana sih?” tanya Agi setengah tertidur. “Masih pagi juga.”

“Ke Rumah Corat-Coret. Kita bakal ngajar di sana.”

Agi langsung terbangun mendengar sebuah tempat yang asing di telinganya. Kemudian

Ridho melemparkan sebuah handuk menyuruhnya untuk segera mandi. Ogah-ogahan, Agi

bangun dari tempat tidur, dan pergi mandi. Ridho menunggunya di ruang keluarga sambil

menonton Spongebob Square Pants. Lima belas menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi

sudah berpakaian lengkap. Dihampirinya Ridho yang sekarang sedang menonton Rugrats.

Agi telah selesai mandi, dia berdiri di depan muka Ridho sambil bertolak pinggang.

“Dho, gue udah siap nih! Kapan ke Rumah Corat-Coretnya?!”

Ridho malah enggan beranjak dari televisi, ia masih asyik menonton membuat Agi

menjadi kesal. Lalu Agi berusaha menarik kedua tangan Ridho supaya beranjak dari duduknya,

Ridho malah mempertahankan diri dengan menahan berat badannya. Akhirnya Agi menyerah

dan ikut duduk di samping Ridho tapi menatapnya dengan tatapan penuh amarah.

Page 30: My Best(Boy)Friend

Menurut khayalan Ridho, kepala Agi tiba-tiba muncul sepasang tanduk berwarna merah.

Ridho melihat raut muka Agi, langsung merinding. “Iya deh, ayo kita berangkat!!!”

(Masih menurut khayalan Ridho, tanduk di kepala Agi menghilang) “Ayo!!! Nah gitu

dong!”

Mereka menuju ke sebuah rumah semi permanen berukuran 8 x 6 meter. Di depan rumah,

terdapat sebuah plang dari kardus bekas yang bertuliskan ‘Rumah Corat-Coret’ dengan cat

warna-warni dan coretan telapak tangan anak kecil. Di depan pintu yang hanya terbuat dari

triplek bekas, terdapat beberapa pasang sandal ukuran anak-anak. Ketika Ridho membuka pintu,

anak-anak kecil berhamburan dari dalam dan langsung menghampirinya.

“Kak Ridho...” teriak mereka dan memeluk Ridho. Ada delapan orang anak kecil yang

memeluk Ridho, Agi agak sedikit tersingkir. Ridho menyuruh mereka semua masuk, mereka

mengikuti. Agi sendiri masih berdiri di depan. Ridho melanjutkan ucapannya, “Ayo Gi ngapain

kamu di luar. Masuk juga yuk!!! Kamu kan mau bantuin aku.”

Agi ikut masuk ke dalam. Ridho memperkenalkan Agi kepada anak-anak kecil itu. Anak-

anak itu terlihat sangat senang karena kedatangan Agi. Nama-nama mereka yaitu, Dodo, Kiky,

Riry, Titi, Tita, Dida, Adit, dan Rio. Lalu Ridho dan Agi mengajarkan mereka menggambar,

mewarnai, origami dan lain-lain.

Saat jam dua belas, mereka selesai mengajarkan anak-anak di Rumah Corat-Coret.

Kemudian mereka pulang ke rumah dan makan siang. Agi senang sekali bisa mengajari anak-

anak kecil dengan ilmu yang dimilikinya. Memang lebih baik mempraktikkan ilmunya langsung

daripada hanya sekedar teori dan omong kosong.

“Gi, ntar malem mau ke Monas nggak? Biasanya Monas bakal keliatan indah kalo

malem-malem.” ajak Ridho. Senyumnya tersungging tipis.

Agi bingung sendiri karena Ridho selalu mengajaknya jalan-jalan ke tempat yang baru.

Ridho sepertinya tahu cara membuat perasaan Agi tidak bosan dan jenuh. “Boleh, tapi ke

sananya naik apa?”

Page 31: My Best(Boy)Friend

“Tenang… Kan ada itu!” Ridho menunjuk sebuah sepeda onthel yang berada di belakang

pintu. Agi langsung memasang muka bengong dengan apa yang diliatnya. Dengan segera Ridho

menambahkan ucapannya agar lebih jelas. “Tenang aja, Gi… Walaupun sepeda ini lebih tua dari

umurku, tapi masih bisa dipake dan nyaman dibawa. Lagian dari sini ke Monas deket kok.”

“Bener ya?! Nyawa gue dipegang sama lo. Oke?”

Ridho mengangguk. “Tenang, nggak usah khawatir.”

Mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Monas. Agi mengenakan jaket dan celana

jeans yang dipakai waktu kabur, sedangkan Ridho hanya memakai celana pendek dan t-shirt

merah. Agi menyuruh Ridho untuk mengganti pakaiannya dan mengancam akan membatalkan

pergi kalo pakaiannya nggak diganti. Menurut Agi, kalo saat malam hari jangan memakai celana

pendek, karena akan datang banyak penyakit yang ditimbulkan dari udara malam. Ridho

akhirnya menuruti permintaan Agi, ia mengganti pakaiannya dengan jaket cokelat dan celana

bahan panjang.

Ridho mengeluarkan sepeda onthel-nya dari rumah menuju keluar, Agi menunggunya di

luar. Agi cepat-cepat duduk di jok belakang.

“Pegang yang erat ya Gi, kalo kamu takut jatoh!” pinta Ridho. “Sekalian bisa ngejaga

keseimbangan sepeda ini.”

“Gi, pegangan ke kakak aja, kalo kamu takut.”

Agi melingkarkan tangannya di pinggang Ridho. Badannya hangat banget!

Ini bukan pengalaman pertama buatnya pergi ke Monas, tapi ke Monas naik sepeda –

sepeda onthel pula - itu baru pengalaman pertama. Walaupun hari sudah malam, hiruk-pikuk

kota Jakarta masih nampak, jalan-jalan masih saja macet. Untunglah mereka memakai sepeda,

kendaraan murah meriah yang bebas kemacetan.

Tiga puluh menit Ridho mengayuh sepedanya, sampailah juga mereka di Monas. Mereka

melepaskan lelah dengan duduk di sekitar taman. Ternyata Monas masih saja ramai, mungkin

Page 32: My Best(Boy)Friend

karena sekarang Malem Minggu, keduanya diam terpaku. Di sana ada tukang es krim yang lagi

berhenti. Mereka pun membeli es krim yang sama rasa cokelat.

“Dho, capek?” tanya Agi mengawali pembicaraan mereka, setelah menghabiskan es

krim.

“Nggak.” jawabnya singkat. “Aku cuma seneng aja bisa ke Monas, apalagi bareng sama

kamu. Hehehe...” Ridho melihat ke wajah Agi. “Gi, bentar!”

“Gombal!” Agi memiringkan mulutnya ke kanan dan ke kiri. “Kenapa?”

Ridho mengelap sisa es krim yang ada di sekitar mulut Agi dengan tangannya. Kemudian

ia membersihkan tangannya yang kotor dengan ludah. “Nah, sekarang kan kamu keliatan cantik

lagi deh. Hehehe... Kamu tau nggak, Gi?”

“Makasih ya. Tapi lo jorok banget deh.” Agi menepuk bahu Ridho. “Hm... apa Dho?”

“Kamu liatkan emas yang ada di atas situ?” Ia menunjuk emas yang ada di paling atas

tugu Monas.

“Liat, itu emas asli 24 karat kan?” tebak Agi.

“Bukan, itu emas yang palsunya. Emas yang aslinya ada di Singapore. Di Bank apa gitu

aku lupa namanya!”

“Kok bisa di Singapore? Buat bayar utang ya?” tebak Agi, polos.

“Gini lho, Non. Waktu awal pembangunannya emas yang ada di atas Monas itu emang

emas murni 24 karat. Cuma untuk mencegah diambil orang ato negara lain, makanya emas itu

dititipin ke Singapore, biar lebih safety gitu.”

“Oh... iya gue inget, dulu katanya David Copperfield mau ngilangin Monas kan?

Makanya pemerintah kita sedikit paranoid. Takutnya emasnya dituker sama yang palsu.

Mencegah hal-hal seperti itu lagi, makanya emasnya disimpen. Bener nggak?”

“Yupz... bisa juga sih. Terus kamu tau nggak kenapa di Jakarta aja contohnya sering

banjir tiap kali musim hujan?”

Page 33: My Best(Boy)Friend

“Nggak. Hm… tapi bukannya dapet banjir kiriman dari Bogor ya?”

“Itu mah urutan paling bawah, yang teratasnya tuh karena di Jakarta dulu banyak rawa-

rawa dan hutan mangrove-nya, itu kan bisa jadi daerah resapan air, bahkan sebenarnya dari

zaman kolonial Belanda udah dibuat sistem-sistem drainase di Jakarta Utara, tapi sama

pemerintah malah dijadiin pemukiman penduduk ditambah lagi di sana itu jadi tempat

pembuangan sampah. Jadinya banjir terus deh!” jelasnya panjang-lebar. Agi hanya manggut-

manggut, paham.

Mereka kembali ngobrol-ngobrol tentang masalah yang sedang booming di kalangan

masyarakat. Tiba-tiba hujan turun, pertama hanya rintik-rintik lalu langsung turun dengan deras.

Ridho buru-buru melepas jaketnya, dan menaruh jaketnya itu di atas kepala Agi.

“Gi, ayo kita berteduh dulu...” kata Ridho. Tanpa banyak basa-basi lagi Agi menuruti.

Agi dan Ridho langsung mencari tempat berteduh, akhirnya mereka menemukan sebuah

warung kopi sekalian menumpang berteduh di sana.

“Agi, kamu mau mesen apa?” tanya Ridho ke Agi. Bibir Agi agak membiru karena

kedinginan.

“Terserah, Dho. Yang jelas gue kedinginan. Bbbrrr...” Agi mengigil.

“Teh manis anget dua, Pak. Saya pinjem anduk kering juga ya Pak.” pinta Ridho. Bapak

itu pergi ke belakang, menyiapkan pesanan Ridho. Ridho langsung memegang telapak tangan

Agi dan menggosok-gosok telapak tangan Agi dengan telapak tangannya, kemudian ia menaruh

telapak tangan Agi yang mulai sedikit hangat ke kedua pipinya, begitu seterusnya sampai Agi

merasa lebih baik. Pesanan mereka datang, Ridho langsung mengelap rambut Agi dengan

handuk, dan menyuapi Agi teh manis dengan sendok.

“Agi, maaf ya bikin kamu kedinginan kayak gini.” Ridho terlihat begitu menyesal.

“Nggak apa-apa kok, Dho. Gue juga seneng udah jalan sama lo.” Agi tersenyum pucat.

“Ini pengalaman baru buat gue… Semua karena lo! Hehehe…” Tiba-tiba saja Ridho memeluk

Agi sangat erat, begitu erat.

Page 34: My Best(Boy)Friend

EMPAT

Sudah seminggu lebih Agi menginap di rumah keluarga Ridho. Ia makin begitu dekat

dengan mereka dan telah menganggap mereka bagian dari keluarganya. Meskipun tidak begitu

betah dengan lingkungan rumahnya, ia sendiri merasa homesick. Kira-kira gimana ya keadaan

rumah sekarang?

Di rumahnya, Mbok Nar mulai merasa kesepian nggak ada Agi. Tapi Mbok Nar nggak

khawatir karena yang ia tahu, Agi sedang pergi menginap di rumah Rei.

Orang tua Agi ternyata pulang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, dari dua minggu

ternyata hanya seminggu saja. Jam sepuluh pagi, mereka berdua datang bersama-sama. Biasanya

ketika mereka datang pasti akan ada pesta penyambutan kecil dari Agi, tapi kali ini tidak ada

sama sekali. Mereka merasakan ada sesuatu yang janggal, lalu Mama bertanya sama Mbok Nar.

Dengan santainya Mbok Nar menjawab Agi sedang menginap di Rumah Rei seminggu ini.

Perasaan mereka hampir saja lega, kalo saja tidak ada telepon berbunyi.

Mbok Nar mengangkat teleponnya. Mama dan Papa berdiri di belakang. Ternyata telepon

dari Marcel dan menanyakan kabar terakhir Agi. Dengan santai, ia hanya menjawab Agi masih

menginap di rumah Rei. Karena emosi, Marcel sampai membentak Mbok Nar sehingga Mama

bisa mendengar bentakan Marcel dan mengambil alih telepon itu.

“Cel, Agi beneran nggak ada di rumahnya Rei? ... Kamu udah cek ke semua temen-temen

kamu? … Agi nggak ada di sana? … Ke tempat yang biasa dia kunjungi ada nggak? … Ya,

Tuhan. Ke mana perginya anak itu?! … Makasih ya Marcel. …”

Telpon ditutup, Mama hampir saja jatuh terkulai di lantai apabila Papa tidak segera

menahannya. Mama menangis terisak, perasaan seorang Ibu yang merasa kehilangan. Papa

meminta untuk membantu mencari petunjuk di kamar Agi.

Papa, Mama pergi ke kamar Agi. Mbok Nar sendiri masih merenungi kesalahannya.

Mereka mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk. Papa menemukan handphone Agi

Page 35: My Best(Boy)Friend

dalam keadaan mati, Mama menemukan diary Agi yang terletak di bawah tempat tidur. Papa dan

Mama duduk di atas tempat tidur sambil membaca diary Agi.

Halaman pertama, berisi biodata Agi. Halaman kedua, sebuah puisi. Mereka

membacanya.

Matahari bersinar di pagi hari

Menandai dimulainya semua hariku

Pergi untuk meninggalkan masa lalu

Pergi untuk melupakan masa lalu

Hembus nafas yang begitu sulit

Tangis tersimpan di mata

Yang sulit keluar demi DIA

Sulit untuk menampakkan diri di depan ribuan orang

Mengapa?

Padahal, apakah mereka mengenalku?

Tapi aku tak sanggup

Halaman ketiga, kali ini curhat Agi tentang kelasnya.

Dear Diary,

Hari ini tuh suram banget. Udah ulangan Jerman, Matematika, sama Fisika. Tapi tadi ada

kejadian yang lucu juga lho. Waktu pelajaran Bahasa Indonesia, Pak Karno ngasih tugas, sambil nunggu

tugasnya dikerjain, dia goyang-goyangin bangku (mungkin pikirannya dia lagi duduk di kursi goyang kali),

Page 36: My Best(Boy)Friend

trus karena keasyikan gitu, tiba-tiba kepalanya kejedot tembok. Hahaha... J Gue yang nggak ngerjain

tugasnya (dan terus ngeliatin dia. Kira-kira apalagi yang akan dia buat?!) langsung ketawa sampe ngakak.

Sampe-sampe gue disuruh maju dan disuruh ngeliatin tugas gue, gue bilamg aja gue belom selese.

Seandainya lo bisa ngeliat pasti ketawa juga. Udah dulu ya, gue mau tidur nih! Lagian gue masih belom

ngerjain peer Mat.

Dagh...

Mereka terus membaca diary Agi. Sampe akhirnya mereka membaca curhatan Agi

tentang kepergiannya.

Dear Diary,

Gue sedih banget orang tua gue pergi lagi, sekali lagi tanpa pamit lagi. Heran gue kenapa sih

mereka tuh pergi mulu. Kayaknya selama hidup gue, waktu gue ketemu mereka bisa diitung deh. Nggak

tau apa mereka punya gue. Jangan-jangan mereka udah nggak nganggep gue anak mereka lagi. Tadi gue

baca komik Doraemon. Gue jadi punya ide, gue pengen pergi dari rumah. Gue pengen hidup mandiri

tanpa campur tangan mereka. Rencananya gue akan pergi besok. Doain gue ya supaya selamat selama

pergi. Hehehe... xp Jangan sedih ya kalo besok gue nggak bawa lo. Tapi kalo gue udah balik, gue bakal

cerita deh tentang pengalaman gue. I’m promise...

Dagh... Gue bakal ngangenin lo banget!!!

Itu adalah halaman terakhir Agi menulis di diary-nya. Di halaman belakangnya, ada puisi

lagi waktu malam sebelum Agi pergi. Mama menaruh kembali diary Agi di bawah tempat tidur.

Mama menangis mengetahui anak perempuan satu-satunya pergi. Mama juga merenung mencari

kesalahannya, mengapa Agi bisa sampai kabur dari rumah. Papa langsung memeluk Mama,

berusaha menenangkannya. Papa dan Mama langsung turun ke bawah, ambil kunci mobil dan

tancap gas. Tujuan pertama mereka adalah melapor ke kantor polisi. Setelah mereka melapor ke

Page 37: My Best(Boy)Friend

kantor polisi, mereka menuju ke sebuah penerbit koran dan stasiun televisi yang merupakan

kenalan Papa. Mereka meminta supaya berita hilangnya Agi menjadi berita utama di koran itu.

Di tempat lain, Agi sedang asyik bermain dengan Ridho di sebuah taman kota. Ridho

menyanyikan lagu yang diciptakannya sendiri sambil diiringi gitar. Judul lagunya Jika Sesaat

Nanti...

Jika sesaat nanti,

Aku tiada di sini, melihat engkau pergi…

Dan memang harus pergi…

Terucaplah janji, aku melangkah kau mengawasi,

Seakan ini, terakhir kau temui…

Pergi… Pergi…

Jika kita berjumpa lagi suatu saat nanti,

Satukan jemari…

Ku ingin kau tak pergi, tapi kau harus pergi…

Seakan ini terakhir kau temui,

Pergi… Pergi…*

Mendengar senandung Ridho, tanpa sadar Agi menangis tersedu. Setiap lirik yang

terucap membuat Agi teringat kembali masa lalunya, saat ditinggal pergi selamanya oleh orang

yang dikasihinya.

Page 38: My Best(Boy)Friend

Ridho yang melihat Agi menangis langsung menghapus air mata itu perlahan. “Kamu

kenapa nangis?”

Agi sesegukan menahan tangisnya. “Nggak apa-apa. Gue cuma inget sama seseorang.”

Ridho mengambil sesuatu dari kantong celananya. Sebuah sapu tangan warna biru. Lalu

Ridho menghapus air mata Agi dengan menggunakan sapu tangan itu. “Kamu jangan nangis lagi

ya. Jelek tau ngeliat kamu nangis!”

Agi menghapus air mata yang tersisa dan sedikit tersenyum mendengar sindiran Ridho.

“Lagian mana ada orang yang nangis tapi mukanya jadi cantik. Aja-aja ada lo!!!”

“Ada-ada aja kali, Gi. Pegang janjiku, aku janji nggak akan buat kamu menangis.”

Agi melongo. “Kok? Kenapa?”

“Karena aku...” Ridho bingung harus ngomong apa nggak. “Aku sayang sama kamu. Jadi

aku bakal ngejagain kamu supaya kamu selalu tersenyum untukku dan untuk dunia...” Ridho

tersenyum tulus.

“Apaan sih, Dho?” Agi menganggap semua ucapan Ridho hanya main-main.

”Ngegombal mulu sih lo!”

“Aku serius, Gi. Tapi terserah kamu aja sih mau percaya ato nggak. Aku juga nggak

berhak bikin kamu percaya.” Seketika air muka Ridho menjadi sedih.

“Maaf, Dho. Sebenernya gue juga sayang sama lo!” Agi lega berhasil mengungkapkan

kata hati yang sebenarnya. Mereka berdua jadi salting sendiri.

(*^o^*)

Berita tentang hilangnya Agi telah menyebar sampai ke seluk-beluk sekolah. Marcel dan

Keysa berjalan berdua di koridor sekolah. Anak-anak berbisik-bisik melihat kedatangan mereka.

Ada yang berbisik-bisik simpatik membela Agi, ada pula yang menjelek-jelekan Agi kalau Agi

Page 39: My Best(Boy)Friend

hanya ingin mencari sensasi di SMA Minefarad. Marcel begitu gerah atas penuturan mereka

mengenai Agi, dengan sabar Keysa menenangkannya. Marcel dan Keysa tiba di depan mading

sekolah. Di sana orang-orang berkerumun ingin membaca apa yang ada di dalamnya. Padahal

biasanya mading itu hanya dijadikan sebagai angin lalu saja.

Penasaran, Keysa mendekati kerumunan itu. Dibacanya apa yang ada di dalamnya. Ia

menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Keysa begitu terkejut membaca secarik kertas

koran yang masih baru yang ternyata isinya memberitakan tentang kasus hilangnya Agi. Keysa

jadi takut Agi kenapa-napa.

Ridho sedang meloper koran. Kali ini Agi tidak ikut karena lagi belajar memasak dengan

Ibu. Saat sedang menumpuk-numpuk koran yang akan dijajakan, ia kaget bukan main. Di sebuah

koran ibukota yang terkenal, terpampang sebuah artikel tentang Agi!!! Di halaman pertama pula,

dengan judul HILANGNYA ANAK PENGUSAHA TELEKOMUNIKASI

Di bawah judul, terdapat sebuah foto di mana Agi sedang bersama orang tuanya saat

menghadiri sebuah pesta pernikahan seorang pejabat. Foto Agi dilingkari dengan tinta merah.

Ridho membaca artikel itu dengan serius, sampai-sampai lupa untuk menjajakan korannya.

Tumpukan koran yang tadi diambilnya, dikembalikan kembali ke agen. Satu koran yang ada

berita tentang Agi, ia bawa pulang ke rumah.

Sampai di rumah, Agi melihat sorotan mata Ridho menyorot tajam ke arahnya. Tatapan

mata itu, persis DIA kalo lagi marah. Ridho pasti udah tau berita tentang gue. Karena tadi siang,

selagi nonton TV, Agi sendiri melihat berita tentang dirinya yang hilang. Ridho menggandeng

tangan Agi dan mengajaknya masuk ke kamar. Ridho memberikan koran yang dibawanya

kepada Agi. Agi membacanya dan Ridho mondar-mandir di depannya, Agi sendiri bingung harus

bilang apa.

Ridho berusaha untuk membujuk Agi untuk kembali pulang, dan Agi tetep kokoh untuk

tempat tinggal bersamanya di sini. Tidak kehabisan akal, dia pun berjongkok di depan Agi

sambil mengenggam kedua tangan cewek itu.

“Kamu sayang sama orang tuamu?” tanyanya. Agi mengangguk.

Page 40: My Best(Boy)Friend

“Kamu tau berapa khawatirnya mereka waktu mereka pulang dan kamu nggak ada?” Agi

kembali mengangguk.

Ridho tersenyum lebar. “Berarti seharusnya kamu bisa merasakan dong bagaimana

perasaan mereka saat ini. Ayo kamu pulang, aku anterin sampe rumah deh. Aku bakal bilang

sama orang tuamu…”

“Tapi, Dho…” Agi menggelengkan kepala. “Aku takut kalo mereka marahin aku, aku

takut kalo mereka malah nggak peduli.”

Ridho membelai rambut Agi dan mencium kening, lalu kedua pipinya. Dia tersenyum

penuh arti, sinar matanya terpancar, dia sangat meyakinkan sehingga Agi berdiri dan

mengikutinya untuk keluar rumah. Dia menggandeng tangan Agi dengan sangat erat, sambil

membawakan tasnya. Dia benar-benar mengantarkan Agi untuk kembali pulang.

Kembali untuk berkumpul dengan keluarga besarnya lagi…

Page 41: My Best(Boy)Friend

LIMA

Ternyata jarak yang ditempuh antara rumah Agi dengan rumah Ridho lumayan jauh.

Mereka harus menggunakan beberapa angkutan umum untuk menuju ke sana. Dengan suasana

transportasi yang pas-pasan, dan keadaan Jakarta yang selalu macet perjalanan pun terasa

semakin jauh dan lama. Untunglah mereka tidak pernah kehabisan bahan untuk berbincang-

bincang.

Sesampai di rumah Agi disambut oleh isak haru oleh anggota keluarganya. Kebetulan di

saat itu juga Marcel dan Keysa yang datang berkunjung sambil mencari solusi yang akan diambil

untuk mencari Agi apabila dia belum juga pulang ke rumah. Mereka langsung melihat sosok Agi

lekat-lekat ketika dia sudah berdiri di depan pintu. Banyak terjadi perubahan pada diri Agi

selama dia pergi, badannya jadi terlihat lebih kurus, dan warna kulitnya agak sedikit lebih gelap,

namun aura tubuhnya sangat terpancar yang menyiratkan bahwa meski dia berubah, dia bahagia.

“Agi, Sayang….” Mama memeluk Agi sambil menangis, lalu disusul oleh Papa. Mereka

bertiga saling berpelukan melepas kerinduan.

Setelah Mama dan Papa melepas pelukannya, Agi disambut oleh Keysa dan Marcel. “Gi,

kemana aja lo!!! Kita tuh udah cemas nyariin elo tau nggak. Kita takut lo diculik terus dibawa

keluar pulau Jawa…” kata Keysa sambil menangis haru.

Agi ikutan menangis. “Gue nggak kemana-mana kok, gue masih di Jakarta. Gue nginep

di rumah temen kecil gue yang namanya Ridho. Ya kan, Dho?” Saat Agi menengok ke belakang,

Ridho sudah tidak ada. Bahkan dia sama sekali tidak berpamitan untuk pulang.

“Hei, kalian ada yang melihat Ridho? Tadi dia masih di sini kan?” Agi bertanya, dan

semua menjawab dengan gelengan kepala. Dia kemudian pergi keluar dari rumahnya untuk

menyusul Ridho yang kemungkinan belum jauh dari sini.

Ternyata benar Ridho sedang duduk di depan rumah Agi sambil bengong ngeliatin jalan,

persis ketika Agi sedang kebingungan sehabis dia pingsan di Pos Polisi. Agi kemudian duduk di

sebelahnya.

Page 42: My Best(Boy)Friend

“Kok di luar sih, Dho? Keluarga aku mau ketemu sama kamu.” Agi melihat ke arah

Ridho. “Kamu malu ketemu sama mereka?”

Ridho bergantian menatap Agi. “Nggak kok, aku cuma nggak mau nganggu suasana temu

kangen kalian. Terus kamu ngapain ke sini?” Ridho balik bertanya.

“Ih, apa-apaan sih Ridho ngomong kayak gitu. Aku mau kenalin kamu ke mereka. Yuk

masuk…” Agi menggandeng tangan Ridho untuk masuk ke dalam rumah. Kemudian dia

memperkenalkan dengan orang tuanya dan juga sahabat-sahabatnya. Ridho sebenarnya agak

canggung bertemu dengan orang tua Agi, apalagi keluarga Agi yang tergolong dari keluarga

mapan, jauh sekali dengan keadaan keluarganya. Tapi tampaknya keluarga Agi sama sekali tidak

mempersalahkannya. Mereka malah senang akhirnya anaknya bisa belajar sedikit lebih dewasa.

Sehabis Ridho, Marcel dan Keysa pamit, orang tua Agi menyuruhnya untuk pergi ke

halaman belakang rumah. Di halaman belakang, Agi diintrogasi oleh Mama dan Papa atas

ulahnya ‘kabur dari rumah’. Selama dua jam dua puluh, dua menit, dan dua puluh dua detik, Agi

ditanyai secara beruntun oleh Papa dan Mamanya. Agi sudah seperti tawanan di rumahnya

sendiri. Mulut Papa sudah mulai berbusa, akhirnya ia mengucapkan kalimatnya yang terakhir,

“Selama seminggu kamu nggak boleh keluar ke mana-mana kecuali ke sekolah, dan

selama sekolah kamu bakal dianter jemput sama Pak Nardi, dan nggak pake kelayapan ke mana-

mana.”

Nggak mau kalah dengan Papa, Mama juga memberikan hukuman, “Selama sebulan

kartu kredit kamu Mama sita. Nggak ada kata protes.”

Mendengar ucapan Papa dan Mama, Agi seperti mati lemas karena dengan begitu

kebebasannya untuk hang out bareng teman-temannya akan terganggu. Tak tahu apa yang mesti

diungkapkan, Agi pun menangis.

“Kamu kenapa nangis? Itu adalah sebuah konsekuensi dari apa yang udah kamu buat.

Kamu tau, kamu itu udah bikin malu nama baik Papa sama Mama. Apa kata rekan bisnis Papa,

kalo mereka tau hal ini?” Papa berkacak pinggang, “Kredibilitas perusahaan Papa akan

terganggu, mungkin banyak perusahaan lain yang tidak ingin bekerja sama. Kamu mau apabila

perusahaan Papa bangkrut hanya karena hal ini?”

Page 43: My Best(Boy)Friend

Agi mulai menghapus air matanya dan berusaha membela dirinya. “Agi nggak peduli

kalo akhirnya kita jatuh miskin hanya karena hal ini. Agi emang bukan anak yang baik, yang

sesuai maunya Papa sama Mama, nggak kayak Kak Zu. Tapi tolong Pa, Ma, hargai Agi sedikit

aja sebagai anak kandung kalian. Sejak Kak Zu pergi, Mama sama Papa semakin sibuk dengan

urusan kalian masing-masing, tanpa mempedulikan Agi. Kalian nggak tau kan betapa

kesepiannya Agi tanpa kalian.” Agi kembali menangis.

“Agi tuh cuma mencari apa artinya sebuah ‘keluarga’. Agi pun menemukan itu semua

pada keluarga Ridho. Mereka yang udah memberi Agi arti sebuah ‘keluarga’ yang sebenarnya,

nggak seperti di rumah ini. Kalo Mama dan Papa nggak suka kehadiran Agi, Agi rela pergi dari

sini lagi.”

Agi berlari pergi ke kamar dengan lesu, pintu kamarnya lalu dikunci, kemudian

diambilnya buku diary di bawah tempat tidur. Ia menulis sambil menangis.

Dear Diary,

Akhirnya gue balik juga. Gue nggak tau mesti seneng ato sedih nih balik ke rumah. Senengnya

mungkin gue bisa balik ke rumah lagi, sedihnya ternyata Mama sama Papa emang gak berubah sikapnya.

Mereka pikir dengan gue kabur kayak gini dapat menghambat kredibilitas perusahaan mereka. Ah nggak

ngerti juga gue, apakah alasan itu masuk akal ato nggak. Sampe rumah, gue langsung diintrogasi sama

Mama, Papa. Gila bayangin aja selama dua jam, dua puluh dua menit, dan dua puluh dua detik gue

ditanyain macem-macem, yang sumpah konyol abis. Mana seminggu ini gue dianter sama Pak Nardi,

terus sebulan ini juga kartu kredit gue disita. Ampun deh!

Oiya selama gue pergi gue nginep di rumah temen kecil gue yang ngebuat gue rajin menulis di

buku harian kayak gini, namanya Ridho. Sosoknya sederhana banget, bahkan keluarganya biasa aja. Dia

malah kerja jadi loper koran sehabis dia sekolah, tapi setiap hari Sabtu ngajar di Rumah Corat-Coret. Ah,

betapa baik hatinya cowok itu. Dia itu seperti malaikat, yang menyamar jadi sesosok manusia yang

nggak bersayap.

Diary, kayaknya gue ketemu sosok DIA di diri Ridho. Tapi... mungkin nggak sih!?

Page 44: My Best(Boy)Friend

Tok... tok... tok... Pintu kamar Agi diketuk dari luar. Agi langsung menghapus air

matanya dan menaruh kembali diary-nya di tempat semula.

“Siapa?” tanya Agi, tanpa berpindah dari tempat tidurnya untuk membukakan pintu.

“Ini Mama sama Papa. Kami ingin ngomong sama kamu, Nak.” ujar Papa.

Ngapain sih mereka masih mau ngomong sama gue? Dengan ogah-ogahan Agi

membukakan pintu. Mama, Papa, dan Agi kemudian duduk di sofa. Mama kemudian menangis

dan memeluknya, memeluknya dengan erat. Ia lalu mewakili Papa meminta maaf kepada Agi,

atas sikap mereka selama ini. Setelah itu, mereka berjanji bahwa mereka akan mengurangi

kesibukan mereka untuk bisa tetap bersama Agi. Agi kemudian tersenyum bahagia. Hilang sudah

semua kegundahan hatinya selama ini. Mungkin sedikit demi sedikit, dia akan menyusun

kembali kepingan-kepingan keluarganya yang dulu pernah hilang. Tapi hukuman Agi tetap

berjalan sesuai perintah Papa dan Mama.

(*^o^*)

Untuk pertama kalinya dalam Sejarah, Agi berangkat di sekolah dianter oleh Pak Nardi.

Sebenernya bukan pertama kalinya juga sih dia dianter Pak Nardi kayak gini, tapi itu juga waktu

zaman SMP, begitu masuk SMA udah nggak pernah lagi. Sebelum turun dari mobil, Agi

mengucapkan terima kasih kepada Pak Nardi yang sudah mengantarnya.

Agi berjalan ke sekolah dengan langkah ragu-ragu. Kira-kira mereka masih mau nggak

ya nerima gue di sisi mereka?! Gue kan udah ngeboongin mereka.

Di kelas, kedatangan Agi disambut dengan meriah.

“Agi...” Berbondong-bondong anak-anak X-6 menyerbunya sambil memeluk Agi yang

masih berdiri di depan kelas. Beberapa detik mereka berpelukan, akhirnya mereka melepas

pelukannya juga.

“Agi, gue kangen sama lo.” kata Vivi.

Page 45: My Best(Boy)Friend

“Agi lo ke mana aja? Kok tiba-tiba lo masuk koran kayak gitu? Parah banget.” tanya

Bayu.

“Agi... Agi... Kok lo bisa banget sih kabur dari rumah? Ajarin gue dong!” Helen nggak

mau kalah.

Banyak sekali pertanyaan yang dilontarkan oleh teman-teman sekelas sampai-sampai ia

bingung sendiri menjawabnya. Kemudian datanglah sesosok Dewa Penolong,

“Marcel...” teriak Agi yang melihat kedatangan Marcel di depan pintu kelas sambil

menggoyang-goyangkan tangannya di atas kepala teman-temannya.

Seperti tahu musibah yang sedang dialami sahabatnya, Marcel langsung menggandeng

tangan Agi dan dibawanya keluar dari kerumunan. Marcel mengajak Agi ke kantin yang masih

sepi, dan mereka pun sarapan sambil ngobrol.

Teng… Teng… Teng... Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Agi mengajak Marcel masuk

kelas karena jam pertama pelajaran Bahasa Indonesia. Pak Karno amat bawel kalo ada muridnya

yang terlambat masuk pelajarannya.

Untung Marcel dan Agi datang tepat waktu, karena Pak Karno belum datang juga. Ketika

mereka sudah duduk di meja masing-masing, Pak Karno akhirnya datang. Setelah selesai berdoa,

Pak Karno menjelaskan tentang Perkembangan Sastra Indonesia. Agi memerhatikannya dengan

seksama, walaupun pikirannya lagi nggak fokus. Melihat Agi kembali, Pak Karno seperti

menemukan sebuah mangsa.

“Ini dia Nona Sellaginella. Ke mana saja kamu selama seminggu ini, Nona?”

“Eh... Eh... Saya jenguk Nenek, Pak.”

“Jenguk Nenek apa kabur dari rumah? Sampai masuk koran dan berita segala.”

“Anu Pak...” Agi kehabisan kata-kata. “Saya... Saya...”

“Pak, tadi Chairil Anwar itu penyair angkatan keberapa?” tanya Theo yang duduk paling

belakang. Pak Karno pun mengalihkan pembicaraan dengan menjawab pertanyaan Theo. Agi

Page 46: My Best(Boy)Friend

bernapas lega. Ia menengok ke arah Theo, “Makasih ya, Yo.” bisiknya tanpa mengeluarkan

suara. Theo tersenyum.

Sepertinya Agi jadi terkenal dalam semalam di sekolahnya. Tiap kali ia berjalan dengan

Marcel dan Keysa ataupun teman sekelasnya, orang-orang di sekitarnya tersenyum atau berbisik-

bisik nggak jelas. Bahkan ulangan Geografi dibatalkan karena Bu Nata ingin mengobrol dengan

Agi seputar kepergiannya dari rumah.

Pulang sekolah, Agi nggak langsung pulang, ia harus memenuhi panggilan BP. Marcel

nggak bisa nemenin karena harus bimbel, lagipula cuma Agi saja yang dipanggil ke sana. Agi

melepaskan sepatunya dan membuka pintu BP. Sudah berpuluh-puluh kali ia keluar masuk BP

karena ulahnya sendiri. Mungkin yang kemarin itu masih bisa ditolerirlah, misalnya makan

permen karet di kelas, masukin tikus-tikusan di laci guru, ngempesin ban mobil Pak Bumbi gara-

gara ulangan Matematika dikasih nilai jelek dan lain-lain yang kalau disebutin butuh waktu

selama tiga puluh dua tahun. Bolak-balik juga dikasih SP – Surat Peringatan. Tapi kalau yang

ini? Apa masih bisa ditolerir?

Mudah-mudahan kasus gue nggak ditanganin sama Bu Emma. Kalo iya, mati aja deh

gue! Ya, Allah tolong kabulkan doaku ini! Amin... Amin...

Bu Emma adalah guru BP yang paling ditakuti oleh seluruh siswa SMA Minefarad.

Kalau kasus sudah ditangani oleh Bu Emma, dengan senang hati ia akan mengeluarkan Surat

Skorsing. Ia juga tidak memandang murid-murid itu adalah anak dari ketua Yayasan atau bukan,

karena di matanya semua murid itu sama.

“Selamat siang.” sapa Agi waktu memasuki ruang BP.

“Siang, Nona Sellaginella.”

Deg!!! Suara itu, senyuman itu, tatapan itu... Bu Emma.... Tidak...

“Silakan duduk, Nona.” Bu Emma mempersilakan Agi duduk di depannya. “Ckckck...

Lagi-lagi kamu, Nona. Kasus yang apa lagi kamu lakukan sekarang?”

“Saya nggak tahu Bu, kenapa saya dipanggil ke sini. Emang ada apa ya?”

Page 47: My Best(Boy)Friend

“Ternyata kamu itu Nona Besar Kepala... Bla... Bla... Bla...” Bu Emma benar-benar

membuat Agi mati berdiri. Untungnya ia tidak memberikan Surat Skorsing seperti biasanya, ia

hanya berkata, “Ingat Nona Agi, jangan mentang-mentang orang tua kamu adalah orang yang

paling berwenang di sekolah ini, kamu bisa seenaknya berbuat ulah. Kalau sampai kamu

melakukan satu kasus lagi, Ibu tidak akan segan-segan menskorsing kamu atau bahkan

mengeluarkan kamu dari sekolah ini. Kamu ini berbeda sekali dengan kakakmu.”

Agi kesal karena Bu Emma telah membanding-bandingkannya dengan keluarganya.

“Asal Ibu tau saja, saya juga tidak akan berlindung pada nama besar orang tua saya. Kalau saya

bisa memilih, saya juga tidak akan menggunakan nama belakang ayah saya, apabila itu menjadi

beban tersendiri buat saya. Satu lagi tolong jangan banding-bandingkan saya dengan kakak saya,

karena kami memang berbeda. Terima kasih.”

Bu Emma sudah siap mengeluarkan kata-kata untuk membalas ucapan Agi, tapi ternyata

Agi sudah pergi keluar dari BP. Bu Emma hanya bisa mengelus dada..

Malam hari Marcel menelepon Agi. Agi pun curhat ke Marcel tentang apa yang

dialaminya di ruang BP tadi. Marcel dengan sabar mendengar semua rorongan Agi mengenai Bu

Emma. Memang sudah sepantasnya sahabat untuk selalu mengerti apa yang dialami oleh

sahabatnya yang lain.

(*^o^*)

Hari keenam hukuman Agi... Agi sedang asyik menoton TV di kamar. Mama dan

Papanya lagi pergi ke Hotel Hilton buat menghadiri pernikahan anak teman Papa.

Terdengar suara gitar dipetik dari balik pagar. Ah paling cuma pengamen...

Orang yang memainkan gitar mulai bernyanyi. “Jika sesaat nanti, Aku tiada di sini,

melihat engkau pergi…”

Page 48: My Best(Boy)Friend

Agi langsung turun mendengar suara yang sedang menyanyi di depan rumahnya.

Kemudian dia langsung membukakan pintu pagar. Ridho sudah berdiri manis di depannya

sambil memegang sebuah gitar kesayangannya. Hari ini dia begitu rapi dengan menggunakan

celana panjang dan juga jaket cokelatnya, rambutnya pun agak sedikit klimis, mungkin

dipakaikan gel supaya rapi.

“Hei, apa kabar Gi?” sapa Ridho. Agi memerhatikan Ridho dari ujung kepala hingga

ujung kaki, dia sendiri tidak bisa menahan ketawa karena melihat dandanan Ridho yang begitu

rapi seperti ini. Ridho pun sadar dengan tatapan aneh yang dipancarkan oleh sorot mata Agi.

“Kenapa, Gi? Ada yang aneh ya?”

Agi berusaha menahan tawanya agar tidak meledak. “Nggak apa-apa kok. Yuk masuk

dulu. Kamu mau minum apa nih?”

Ridho meminta sebuah es teh manis untuk menemaninya, dan Agi segera masuk dapur

untuk menyiapkan jamuannya. Ridho duduk di teras depan sambil menikmati hawa sejuk dari

pohon-pohon yang ada di depan rumah Agi.

Agi datang dengan membawa baki yang berisi 2 gelas es teh manis dan juga satu toples

kue. Ridho langsung meminum es teh manisnya, dan kemudian dia mengeluarkan sebuah surat

dari dalam tasnya.

“Sebenernya aku ke sini mau ngasih kamu ini, Gi.” Dia mengulurkan tangannya. “Surat

dari anak-anak Rumah Corat-Coret.”

Agi langsung mengambil surat itu dan membacanya.

Hai Kak Agi, apa kabar? Kami kangen nih sama kakak. Abisnya kakak pergi gitu aja nggak pamitan dulu. Tapi kata Kak Ridho, kakak pergi gara-gara udah dicariin sama Mama dan Papanya ya, jadinya Kakak langsung pergi mendadak gini.

Kak Agi tau nggak, sejak kakak pergi, Kak Ridho sering banget ngelamun dan manggil-manggil nama kakak. Kami pikir dia kesepian karna nggak ada Kakak di sampingnya. Kak Agi nggak berantem sama Kak Ridho kan?! Oh ya kak di dalam ini juga ada hasil karya kami khusus buat Kak Agi. Disimpen baik-baik ya!!! Segitu aja deh surat dari kami. Maaf ya kalo tulisannya susah dibaca. Kami sayang Kak Agi dan Kak Ridho. Kalian berdua akan selalu ada di hati kami.

Page 49: My Best(Boy)Friend

Agi melipat kembali surat itu dan meneteskan air mata, bagaimana mungkin

pertemuannya yang hanya sekali dengan anak-anak itu memberikan sebuah kesan yang begitu

berharga. Betapa rindunya dia dengan anak-anak itu yang dia anggap seperti adiknya sendiri.

“Ah, aku jahat sekali lupa berpamitan dengan mereka.” kata Agi sambil menghapus air

matanya.

“Nggak kok. Kan kita memang perginya juga mendadak. Mereka sudah aku kasih

penjelasan, dan mereka paham kok alasannya kenapa.” jawab Ridho sambil mengusap-usap

telapak tangannya. “Nanti kalo kamu nggak sibuk, Rumah Corat-Coret masih terbuka lebar-lebar

untuk kamu kok.”

“Hehehe… makasih ya, Dho. Eh Dho tau nggak tiba-tiba aku inget omongan kamu yang

waktu masih kecil dulu!”

“Yang mana, Gi? Aku lupa… Apa yang kita akan tukeran buku harian itu?”

Agi tersenyum kecil sambil menggeleng. “Bukan, bukan itu. Waktu itu kamu bilang mau

nikahin aku lho. Itu… beneran? Oiya trus ngomong-ngomong soal buku harian, apa kita benar-

benar harus menunggu 2 tahun lagi buat membacanya bersama?”

Ridho tersedak ludahnya sendiri, dan terbatuk-batuk kecil. “Kalo kamu memang jodoh

aku kenapa nggak? Toh saat ini aku memang udah nyaman sama kamu. Buat buku harian, iya

dong kita harus menunggu 2 tahun lagi. Siapa tau kan kamu bukan Agi yang selama ini kucari.

Hehe…”

Agi mencubit ujung perut Ridho dengan gemas.

Page 50: My Best(Boy)Friend

ENAM

Hukuman Agi telah berakhir. Dengan ditemani Marcel, sehabis pulang sekolah ia datang

untuk menemui Ridho. Suasana rumah Ridho terlihat begitu sepi, beberapa kali ia mengetuk

pintu namun tidak ada jawaban. Ketika mereka berdua hendak beranjak pergi, seorang tetangga

Ridho datang menghampiri. Ia memberitahukan sebuah kabar buruk bahwa Ridho sedang

dirawat di R.S. Bustami Permadi, karena pingsan ketika sedang meloper koran.

Mereka lekas-lekas pergi ke R.S. Bustami Permadi. Marcel yang mengendarai mobil, Agi

benar-benar takut tidak dapat bertemu kembali dengan Ridho. Dengan Ridho-nya.

Ridho, moga-moga lo nggak kenapa-napa!

Ternyata Ridho masuk ke ruang ICU. Mereka berlari kecil ke ruang ICU. Agi begitu

ketakutan menuju ke ruang ICU, untuk bertemu kembali dengan Ridho. Dengan sabar, Marcel

menentramkan hatinya agar jangan takut. Tibalah mereka di selasar ruang ICU. Duduklah

keluarga Ridho lengkap. Ibu, Ayah, serta Arya. Agi menghampiri mereka dan mencium tangan

kedua orang tua Ridho.

“Ridho kenapa, Bu?” tanyanya.

“Nggak tau Gi, tiba-tiba ketika dia sedang meloper koran dia pingsan. Untunglah saat itu

sedang lampu merah, dan ada seorang pengendara mobil yang langsung membawanya ke Rumah

Sakit kemudian mengabarkannya pada kami.”

“Mungkin Ridho kecapean kali ya, Bu. Dia kan suka terlalu memforsis diri trus kurang

istirahat.” Agi menebak-nebak apa yang terjadi. “Sabar ya, Bu. Kita berdoa aja semoga Ridho

nggak kenapa-napa.” Ditepuk-tepuknya bahu Ibu, dipeluknya. Agi melihat keadaan Ridho di

jendela dekat ruang tunggu. Tubuh Ridho dipasang selang-selang infus yang tidak terhitung

banyaknya.

Kenapa gue harus ngeliat orang di sekeliling gue nangis? Kenapa gue harus ngeliat

orang-orang nggak bersalah menderita gara-gara gue? KENAPA… KENAPA…?

Page 51: My Best(Boy)Friend

Dokter yang memantau keadaan Ridho keluar dari ruang ICU dan masih mengenakan alat

kedokteran yang lengkap. Dia pun menghampiri keluarga yang sedang menunggu.

“Siapakah orang tua atau pihak keluarga pasien di sini?” tanya Dokter sambil memegang

stetoskopnya. “Ada hal serius yang harus saya bicarakan.”

Ibu dan Ayah mengacungkan tangan, lalu Ibu yang mewakili berbicara. “Iya, kenapa

Dok? Ada apa dengan Ridho?”

“Sebelumnya saya ingin bertanya apakah di keluarga Ibu ada yang merokok atau ada

yang mempunyai riwayat infeksi paru-paru?”

Ayah dan Ibu saling bertatapan mata, mereka bingung sekaligus heran karena di keluarga

mereka sama sekali tidak ada yang merokok apalagi punya riwayat paru-paru. Mereka kemudian

menggeleng-gelengkan kepala.

“Maaf saya harus mengatakan bahwa kemungkinan Ridho terserang infeksi, dia terkena

penyakit Pneumonia…” Dokter memperlambat intonasi suaranya, “atau yang biasa kita kenal

dengan radang paru-paru.”

“Kok dia bisa terinfeksi, Dok?” tanya Agi. Dia sendiri sering mendengar tentang istilah

radang paru-paru tapi tidak pernah berhadapan langsung dengan penderita paru-paru seperti ini.

“Saya menduga dia tertular dari asap rokok dan asap kendaraan yang dia hirup setiap

harinya. Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).

Terjadinya pnemonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus.

Untuk sementara ini yang bisa kami lakukan adalah memberikannya udara oksigen yang bersih.

Setelah sembuh pun dia harus benar-benar beristirahat yang cukup dan perlu mengatur pola

makan.” Begitu penjelasan dari Dokter. Setidaknya hal itu membuat perasaan mereka lega.

Kalau saja Marcel tidak ada janji dengan pacarnya, mungkin Agi akan terus di sana,

menemani keluarga Ridho. Marcel sendiri juga tidak akan tega meninggalkan Agi sendirian naik

taksi, karena hari sudah malam. Mereka pun berpamitan dari Rumah Sakit.

Marcel mengantarkan Agi sampai di depan rumahnya. Ia meminta maaf karena nggak

bisa mampir dulu. Sampai di rumah, Agi langsung ke kamarnya, tidur.

Page 52: My Best(Boy)Friend

(*^o^*)

Sehabis pulang sekolah, Agi membongkar seisi gudang di sebelah kamarnya.

Dikeluarkannya satu per satu isi dalam gudang tersebut. Ada beberapa buah kardus, majalah

bekas, dan segala sesuatu yang bekas-bekas. Akhirnya setelah mengeluarkan semua kardus-

kardus, ia menemukan satu kardus yang memang dicarinya. Dimasukkan kembali kardus-kardus

ke dalam gudang, satu kardus diangkatnya ke kamar.

Jantung Agi berdebar kencang saat ingin membuka kardus itu. Dikeluarkan semua isinya

dari dalam kardus. Ada dua buah album foto, sebuah cologne cowok yang sudah habis, beberapa

stel baju, dan tiga buah foto yang berpigura. Agi mengambil satu buah foto yang berpigura.

Di dalam pigura itu terdapat sebuah foto keluarga. Dua orang tua dan dua anaknya, laki-

laki (seumuran Agi) dan perempuan kecil sedang berfoto di sebuah studio foto. Agi menyentuh

foto anak laki-laki. Dibelai-belainya foto anak laki-laki itu.

“Kak Zu...” kata Agi, lirih.

Foto itu mengingatkan Agi pada peristiwa masa lampau yang kelam, sepuluh tahun yang

lalu.

IN MEMORIAM AZUL FERNANDO SOEANDRIYA

Hiduplah sebuah keluarga kecil dengan dua orang anak mereka. Laki-laki dan

perempuan. Laki-laki yang paling besar bernama Azul Fernando Soeandriya, sedangkan yang

perempuan dan paling kecil bernama Sellaginella June Soeandriya. Nama panggilan mereka Zu

dan Agi.

Page 53: My Best(Boy)Friend

Zu memiliki karakteristik keras, ulet, rajin beribadah, pengalah dan sayang keluarga.

Secara fisik tubuhnya tinggi dan kekar seperti atlet, sehingga ia menjadi bintang sekolah.

Sebaliknya Agi adalah seorang anak kecil yang manja, egois, dan nggak mau mengalah.

Selisih umur mereka sendiri cukup jauh, Zu berumur 15 tahun sedangkan Agi baru

berumur 7 tahun. Walaupun begitu, kakak beradik itu saling menyayangi. Bahkan Sang Adik,

sempat berpikir untuk menikah saja dengan Zu. Pemikiran anak kecil yang masih polos,

memang.

Ada sebuah kejadian yang membuat Agi dan Zu bertengkar hebat tepat beberapa hari

setelah pesta ulang tahun Agi, dan kepindahan mereka ke Jakarta. Secara tidak sengaja, Zu

memecahkan mug kesayangan Agi, sebuah Mug Cinderella yang dibelinya saat jalan-jalan ke

DisneyLand Tokyo. Mug itu pecah dan tidak bisa digunakan lagi. Agi sangat marah sekali.

Walaupun Zu telah meminta maaf dan berjanji akan menggantinya dengan yang baru, Agi tidak

menerimanya. Ia begitu marah dan kesal!!! Dibantingnya pintu kamarnya sampai berbunyi cukup

keras.

Agi benci Kak Zu!!! Abis udah ngerusakin mug kesayanganku sih!!! umpatnya dalam

hati.

Pagi hari, Zu sudah bersiap berangkat ke sekolah sedangkan Agi masih mengurung diri di

kamarnya. Zu mengetuk pintu kamar Agi.

“Gi, bangun Gi, ntar kamu kesiangan lho!!!” sambut Zu.

Ketukan pintu dan sambutan Zu tidak digubrisnya. Sebenarnya ia sudah bangun dari tadi.

Diambilnya bantal untuk menutup telinganya supaya tidak mendengar apapun.

Agi nggak mau ketemu sama Kak Zu lagi!!! Kak Zu pergi aja selamanya dari sini...

“Gi, kakak tau kamu masih marah sama kakak. Kakak mohon banget kamu mau maafin

kakak. Keluar dong, Sayang.”

Hah??? Apa??? Tadi Kak Zu bilang apa? Agi nggak denger! Ah, biarin aja deh!!!

Telinganya masih ditutupi bantal. Agi malah ketawa cekikan.

Page 54: My Best(Boy)Friend

Omongannya sama sekali diacuhkan oleh Sang Adik, akhirnya Zu berkata, “Kalo Agi

nggak mau ngomong sama kakak lagi ya nggak apa-apa!!! Tapi Agi keluar dong, kamu kan

masih harus sekolah.”

Agi masih tidak menggubris. Dengan putus asa, Zu berkata. “Kakak berangkat dulu,

Sayang. Kamu jangan bolos sekolah ya!”

Zu segera meninggalkan rumah, berangkat ke sekolah. Melihat kakaknya telah pergi, Agi

keluar kamar lalu mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.

Siang hari, Agi asyik bermain-main di halaman depan sendirian. Ngomong-ngomong Kak

Zu pergi ke mana ya? Kok jam segini belom pulang? Apa tadi aku kelewatan ya sama Kak Zu?

Gimana nih?

Kring… Kring… Kring…

Mbok Nar yang saat itu ada di dalam, buru-buru mengangkat telponnya. Tanpa diduga

sebelumnya, telepon itu datang dari Kepolisian yang mengabarkan bahwa Zu tertimpa musibah

dan sedang dirawat di R.S. Bustami Permadi. Mbok Nar langsung menelpon kedua orang tua Agi

dan mengabarkan keadaan Zu.

Mbok Nar pun menemani Agi yang asyik bermain di taman.

“Mbok Nar kok Kak Zu belum pulang ya? Agi pengen minta maaf sama dia.”

DEG!!! Jantung Mbok Nar seakan mau copot. Ia bimbang apa perlu memberitahukan

kabar Zu yang sesungguhnya kepada Agi. Akhirnya Mbok Nar berkata bohong, “Mungkin Kak

Zu lagi kerja kelompok kali Non di rumah temennya.”

Terdengar suara pintu pagar dibuka, dan mobil Mama masuk ke dalam garasi. Mama

mengajak Mbok Nar dan Agi untuk ikut serta dengannya dengan menaiki mobil Papa. Sambil

digendong Mbok Nar, Agi berteriak kegirangan karena Mama akan mengajaknya pergi.

Agi terheran-heran karena mobil berhenti di tempat parkir Rumah Sakit Bustami

Permadi. Mereka berempat menuju ke ruang informasi menanyakan tempat Zu dirawat. Ternyata

Zu dirawat di ruang ICU. Di depan ruang ICU, ada dua orang laki-laki yang berseragam polisi.

Page 55: My Best(Boy)Friend

Papa berbicara dengan dua orang polisi itu tentang kronologis kejadian yang menimpa anaknya.

Polisi ini bercerita bahwa sepulang sekolah tadi terjadi tawuran antara SMA Maharaysa dan

SMA Merpati Putih. Zu yang berniat untuk menjauh dari tawuran itu, malah terkena sabetan

corbek dari SMA Merpati Putih di sekitar punggungnya. Kemudian polisi yang datang, langsung

membawanya ke Rumah Sakit Bustami Permadi.

Selama seminggu, ia dirawat di sana. Agi tidak pernah absen untuk merawatnya. Hari

ketujuh itulah, nyawa Zu tidak bisa diselamatkan, ia akhirnya meninggal dunia. Agi menangis

melihat kakaknya begitu cepat meninggalkannya. Agi menyesal dengan apa yang pernah ia

ucapkan dulu pada Zu. Sebelum meninggal Zu sempat berpesan,

“Agi, adikku. Maafin kakak ya. Kakak nggak bisa terus ngejagain kamu selamanya

seperti janji kita yang dulu. Maafin kakak ya... Tolong bikin Mama sama Papa bangga sama

kamu.”

Sejak kepergian Zu, ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menangis. Besoknya

Zu dimakamkan. Semua teman-teman Zu datang melayat, mereka tidak ada yang pernah

menyangka akan secepat ini kehilangan Zu. Seminggu setelah kematiannya, semua barang-

barang Zu dipindahkan ke dalam gudang. Bukannya keluarga Soeandriya berusaha untuk

melupakan Zu, tetapi lebih karena tidak kuat mengingat semua kenangan tentang Zu yang begitu

indah dan membiarkan kenangan itu tersimpan selamanya tanpa ada orang yang berusaha untuk

mengusiknya kembali.

Kak Zu… Aku bener-bener udah ngelepasin kakak sekarang.

Agi mengambil salah satu pigura yang berisi fotonya bersama Zu waktu di tengah sawah.

Ia meletakkan pigura itu di meja belajarnya. Sudah lama sekali ia melupakan Zu, dan mungkin

kali ini sudah saatnya untuk mengenang Zu kembali.

Page 56: My Best(Boy)Friend

TUJUH

Agi dan Marcel kembali menjenguk Ridho. Namun saat mereka datang, belum saatnya

jam besuk. Sehingga mereka pergi makan siang dulu di Cafetaria Rumah Sakit. Agi memesan

nasi goreng dan Teh Botol, sedangkan Marcel hanya memesan milkshake coklat.

“Cel, lo yakin nggak mau makan?” tanya Agi sambil menyuapkan satu sendok nasi

goreng ke mulut Marcel. “Ntar sakit lho!”

“Yakin kok, Gi. Tadi pas istirahat kedua gue udah makan, jadi sekarang masih kenyang.”

“Oh... ya udah kalo gitu.” Agi melahap nasi gorengnya yang sedianya ingin dia suapkan

ke Marcel. “Cel, kemaren gue bongkar-bongkar barang-barangnya Kak Zu yang ada di kardus,

masa waktu dia kesabet corbek itu, ternyata dirawat di sini juga. Gue jadi takut kejadian yang

sama terjadi juga sama Ridho, Cel.”

“Ayolah, Gi. Sejak kapan sih lo jadi parno gitu? Lo jangan ngeliat masa lalu gitu dong.

Nanti arwah Kak Zu jadi nggak tenang.”

“Sekarang jam berapa, Cel?”

Marcel melirik jam tangannya. “Jam tiga, masih ada dua jam lagi sampe jam besuk.”

Marcel dan Agi berpikir bersama. Akan pergi ke manakah mereka untuk menunggu

sampai jam besuk tiba? “Ke makam Kak Zu!” jawab mereka kompak.

Mereka akhirnya pergi ke makam Zu. Sebelum ke makam Agi membeli sebuket bunga

lili, bunga kesukaan Agi dan Zu. Mereka mencari-cari makam Zu yang sudah lama tidak Agi

datangi.

“Hai, Kak Zu. Maaf baru sekarang Agi ke sini lagi.” Agi membersihkan makam Zu dari

sampah-sampah dedaunan dan menaruh buket bunga itu di depan nisan Zu. Marcel berjongkok di

samping Agi.

Page 57: My Best(Boy)Friend

“Kak Zu, Agi mau cerita sama kakak, Agi dapet temen baru lho namanya Ridho. Tapi

sekarang lagi dirawat di Rumah Sakit yang sama kayak Kakak dulu. Doain ya Kak, biar Ridho

cepet sembuh. Soalnya Agi nggak mau kehilangan orang yang Agi sayang lagi.” Agi tak kuat

menahan air matanya, menangis.

“Hai, Kak Zu.” Marcel angkat bicara. “Aku masih megang janji aku untuk jagain Agi.”

Agi heran. “Emangnya kakak pernah minta tolong ke Marcel suruh jagain aku?”

“Iya dong Gi. Kak Zu kan nggak bakal ngebiarin adiknya ini nggak ada yang jaga. Ya

kan, Kak?”

“Huh, Kak Zu jahat!!! Masa nitipin aku sama orang kayak Marcel sih!”

Nggak terasa udah jam setengah lima sore. “Gi, udah jam setengah lima nih! Cabut yuk!”

“Kak Zu, Agi sama Marcel pulang dulu ya!” Agi mencium nisan Zu. “Dagh... Kak Zu!”

Marcel dan Agi meninggalkan makam Zu. Di ruang rawat inap, keluarga Ridho telah

menunggunya. Agi menghampiri tempat tidur Ridho, dan duduk di kursi samping tempat tidur.

Kasian banget lo, Dho. Maafin gue ya yang udah buat lo kayak gini. Agi memegang

telapak tangan Ridho. Dingin... Dikuatkan pegangan tangannya untuk menghangatkan tangan

Ridho.

“Ridho... lo bangun dong, Dho. Bangun Dho, demi gue, Ibu, Ayah, Arya, dan semua

orang-orang yang sayang sama lo, Dho. Please...” Agi menundukkan kepalanya. Menangis untuk

kesekian kalinya. “Lo kan janji nggak mau buat gue nangis, mana janji lo?”

Perlahan-lahan tapi pasti, mata Ridho terbuka sedikit demi sedikit. Kata-kata Agi seakan-

akan menjadi semangat baru baginya untuk tetap hidup.

“Agi...” ucapnya lirih. “Jangan nangis...” Dengan tangan yang masih lemah, Ridho

menghapus air mata Agi yang tergenang di kedua bola mata cokelatnya.

Agi mengangkat kepalanya, kaget. “Iya, bawel.” Agi membantu menghapus air matanya

dan tertawa. “SEMUANYA, Ridho udah siuman.”

Page 58: My Best(Boy)Friend

Mereka yang dipanggil berduyun-duyun mendatangi tempat tidur Ridho, Ridho

tersenyum. Ibu dan Ayah menangis melihat anaknya sadar kembali, Arya dan Marcel bahagia.

Beberapa detik kemudian, dokter beserta para suster datang dan menyuruh mereka untuk pergi

karena akan memeriksa kondisi Ridho kembali. Mereka semua mengucapkan syukur.

Agi menulis sebuah puisi:

Terima kasih Tuhan,

Aku mengucapkan syukur padaMu...

Atas semua rahmat dan anugerah yang telah Engkau limpahkan kepadaku...

Sekali lagi aku dapat melihatnya kembali tersenyum,

Melihatnya kembali bernapas untuk hidup dan menatap dunia.

Terima kasih Tuhan,

Jangan renggut kembali kebahagiaan ini...

(*^o^*)

Malam hari Agi bermimpi bertemu dengan sosok Zu. Tak banyak yang berubah dari

dirinya, masih sama seperti yang dulu. Agi melepas kangen dan memeluk Zu dengan erat. Ia juga

bercerita tentang kejadiannya sehari-hari. Agi meminta ikut, tapi buru-buru ditampis oleh Zu.

“Jalan kamu masih panjang, Gi. Kakak masih pengen liat kamu jadi orang yang sukses.”

“Tapi Kak, Agi cuma mau sama Kakak...” Agi memegang erat tangan Zu.

“Maaf, Gi. Tapi nggak bisa” Bayang Zu langsung menghilang.

Page 59: My Best(Boy)Friend

DELAPAN

Seminggu sudah Ridho dirawat di Rumah Sakit. Akhirnya Ridho kembali pulang ke

rumah dianter sama Agi. Marcel nggak ikut katanya sih nggak enak badan padahal sebenarnya ia

nggak mau ngeganggu kemesraan Agi dan Ridho. Ridho masih harus memakai kursi roda,

karena ia sendiri belum mampu melangkah.

“Selamat datang, Ridho...” Agi berseru sekuat-kuatnya. Ia meniupkan terompet. PRET...

PRET...

“Kak Ridho...” Anak-anak Rumah Corat-Coret datang menyambut, ikut meniupkan

terompet juga. Salah satu dari mereka, si Dodo memberikan sebuket bunga.

Ridho tersenyum bahagia. “Aduh makasih, kalian baik banget sama aku. Jadi terharu!

Hiks... Hiks... Hiks...” Ridho pura-pura menangis.

Dasar Ridho! Mentang-mentang udah sembuh jadi bisa bercanda lagi! pikir Agi.

“Semuanya makan dulu yuk! Ibu udah nyiapin makanan lho!” Ibu mengajak mereka ke

meja makan. Ridho membuka tudung saji di atas meja.

“Asyik makan Mpek-Mpek...” teriak Ridho. “Gi, kamu suka sama Mpek-Mpek kan?”

Agi mengangguk, tersenyum. “Suka banget, apalagi kalo itu buatan Ibu.”

Mereka makan bersama dengan Mpek-Mpek asli buatan Ibu.

(*^o^*)

SMA Minefarad sedang mengadakan UTS (Ujian Tengah Semester). Minggu-minggu

terberat buat Agi dan anak-anak Minefarad yang lain. Mati-matian ia belajar, karena begitu

Page 60: My Best(Boy)Friend

banyak pelajaran yang tertinggal akibat kabur dari rumah. Udah gitu ia nggak bisa bertemu dulu

sama Ridho, karena Ridho lagi UTS juga. Duh, Agi jadi kangen Ridho!!! J

Senin, pelajaran Agama dan KWN. Agi berhasil mengerjakannya dengan baik sambil

nanya sana-sini. Kadang juga ngasih tau jawaban ke temen-temennya yang nggak bisa.

Nggak terasa udah empat hari Agi menjalani UTS di sekolahnya. Semua berlangsung

dengan lancar-lancar saja, tidak ada kendala sama sekali. Tetapi besok adalah hari yang

menegangkan buatnya karena besok UTS Matematika dan Kimia, dua pelajaran yang

memberatkan baginya dan besok adalah UTS terakhir.

Selesai UTS Bahasa Inggris, Agi langsung berlari ke luar menemui Marcel yang ada di

kelas sebelah, karena nama Marcel terletak di absen awal, Ariela Marcelo.

“Marcel...” teriak Agi menghampiri Marcel yang baru keluar dari ruang kelasnya. “Ntar

ke rumah gue dong, ajarin gue Matematika sama Kimia buat besok.”

“Boleh. Tapi gue pulang dulu ya.”

“Ya udah deh terserah lo. Pokoknya lo harus ngajarin gue dua pelajaran itu!!! Tau sendiri

dua pelajaran itu, gue nggak pernah yang namanya nggak remed.”

“Iya... iya... Non Sella...”

“Ih, jangan manggil gue Sella napa. Ya udah deh. Gue pulang dulu ya. Dagh...” Agi

bergegas ke parkiran mobilnya.

Agi selesai ganti baju dan menunggu Marcel di gazebo di bawah pohon mangga sambil

membawa buku Matematika dan Kimia serta buku coretan. Agi bergerak gusar, Marcel tak

kunjung datang.

HP-nya berbunyi. Telpon dari Marcel, yang mengabarkan bahwa dia nggak bisa datang

ke rumahnya karena dia nggak boleh pergi ke mana-mana. Agi sudah kecewa berat, karena

Marcel nggak jadi datang. Tapi tunggu dulu, Marcel ternyata berbohong, sebenarnya dia sudah

sampai di depan rumah Agi.

Page 61: My Best(Boy)Friend

“Hai... Agi, bakekok... Sori ya udah ngeboongin lo dan bikin lo lama nunggu.” Marcel

duduk di samping Agi.

“Iya dimaafin karena gue orang yang baik hati. Hahaha... Lo mau minum apa?”

“Terserah, asal jangan susu basi aja.”

“Tenang aja susu di rumah gue masih fresh semua kali. Bentar ya, gue siapin dulu

minuman spesial buat lo.”

Agi menuju ke dapur, menyiapkan dua gelas capucinno dan vanilalatte serta setoples

cookies coklat. Agi membawa makanan dan minumannya di atas meja. “Tara... Minuman sama

cemilannya udah siap!!!”

“Makasih. Ayo sekarang kita belajar!” Marcel sudah siap-siap membuka buku soal. Agi

sendiri belum menyiapkan otaknya untuk belajar Matematika dan Kimia, ia lalu menahan Marcel

supaya mencicipi dulu hidangan yang telah ia suguhkan.

Marcel meminum seteguk cappucinno-nya. Kemudian ia menanyakan apa yang mau

dipelajari Agi terlebih dahulu, Matematika atau Kimia. Agi lebih memilih untuk belajar

Matematika dulu. Marcel membolak-balikkan halaman untuk mencari soal-soal yang lumayan

susah. Kemudian disalin soal-soal itu ke buku coretan.

“Nih, kerjain soalnya. Kalo nggak bisa nanya dan jangan ngitung pake kalkulator.”

ancam Marcel.

“Iya, Pak.” Agi serius mengerjakan soal-soal yang dikasih Marcel. Sedangkan Marcel

asyik mengunyah cookies sambil mendengarkan MP3 dari HP-nya.

Aduh Marcel liat ke sini dong! Gue lagi kesusahan nih ngerjain soalnya.

“Gimana Gi, udah ngerjain berapa nomor?” Marcel mengintip pekerjaan Agi. Melihatnya

ia langsung shock. “Ya ampun baru ngerjain satu nomor? Inagurasi...”

“Hehehe... Abisnya gue banyak yang nggak ngerti! Makanya ajarin!”

Page 62: My Best(Boy)Friend

“Ngomong dong dari tadi.” Marcel membantu Agi menyelesaikan soal-soal yang dia

kasih. Agi ber- Oo -ya, hanya sedikit penjelasan Marcel yang dimengerti.

Kayaknya emang udah dasarnya Agi lemah dalam dua pelajaran itu, jadi hampir

membuat Marcel gila sendiri mengajarinya karena Agi susah banget ngerti. Tetapi dengan

kesabaran ekstra Marcel mengajari Agi sampai benar-benar mengerti. Hampir dua setengah jam

sendiri mereka belajar Matematika.

Mungkin karena Agi udah merasa (baca: sedikit) paham dan mengerti sekarang mereka

belajar Kimia. Ia tambah nggak ngerti belajar Kimia dan dengan telaten Marcel menjelaskan

semuanya. Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul enam sore.

“Gi, gue pulang dulu ya! Udah sore, ntar gue dimarahin sama si Ridho lagi, gara-gara

deket mulu sama lo.”

“Ih, apa-apain sih lo, Cel. Dia kan cuma temen aja.” Muka Agi memerah. “Ya udah deh,

makasih ya udah susah payah ngajarin gue!”

“Sama-sama. Inget Gi, belajar yang rajin lagi buat dua pelajaran itu. Tadi gue liat lo

banyak yang nggak bisa. Trus jangan lupa berdoa juga ya.”

Marcel pulang dari rumah Agi. Sebelumnya ia sempat mencubit pipi Agi. Sehabis

mengantarkan Marcel ke luar rumahnya, Agi belajar Matematika dan Kimia sampai jam dua

belas malam dengan serius. Sebenarnya ia pengen belajar lebih lama lagi, tapi udah ngantuk dan

begitu mulas untuk melihat angka-angka serta berbagai rumus kimia. Akhirnya Agi tertidur,

amat pulas.

Berkat kesabaran Marcel dan semangat Agi yang luar biasa untuk belajar, Agi pun

berhasil menyelesaikan UTS terakhirnya dengan baik dan lancar. Ia senang akhirnya bisa

bertemu lagi dengan Ridho. Rencananya ia akan menemui Ridho besok.

Page 63: My Best(Boy)Friend

SEMBILAN

Sabtu jam sebelas siang, Agi bersiap-siap ke rumah Ridho. Agi mengenakan celana

pendek tiga per empat dan sweater hijau yang dibelikan Mama. Dikeluarkan mobilnya dan

melaju ke rumah Ridho.

Agi menunggu di depan rumah Ridho, sampai ada yang membukakan pintu. Pintu

akhirnya dibukakan Ibu. Ibu senang karena melihat Agi kembali.

“Dho, liat siapa yang dateng ke sini.” sahut Ibu.

Ridho yang sedang asyik menonton TV, membalikkan badannya. Ia sudah tidak memakai

kursi roda. “Agi?” katanya setengah tak percaya. Ridho terbatuk-batuk, salah sati efek dari

penyakitnya.

“Hai... Dho apa kabar?” Agi menghampiri Ridho di ruang keluarga.

“Baik banget. Kamu sendiri gimana? UTS-nya bisa nggak?”

“Gue mah baik-baik aja, alhamdulillah. Ya Lumayanlah sedikit bikin gila.”

“Ibu bikin kue lho! Mau nyobain nggak, Nak Agi?” Ibu membawa sepiring kue bolu

kukus yang masih hangat.

“Mau banget. Agi coba ya!” Agi mengambil sepotong kue bolu kukus dan mencobanya.

“Enak... Al dente…”

Ridho mengajak Agi mengobrol sampai ia mengutarakan isi hatinya ingin pergi jalan-

jalan. Dengan senang hati, Agi menuruti. Mobil Agi berhenti di parkiran sebuah Mall. Agi

mengajak Ridho ke tempat food court. Agi memesan mie ayam bakso pangsit dan jus melon,

sedangkan Ridho memesan nasi goreng spesial dan Aqua.

Sehabis makan, dan jalan-jalan ke Mall tidak lengkap rasanya tanpa photo box. Agi

membujuk-bujuk Ridho untuk berfoto ria bersama dirinya terlebih dahulu, namun Ridho sedikit

banyak menolak karena dia bukan termasuk tipe cowok yang narsis. Tiba-tiba hati Ridho pun

Page 64: My Best(Boy)Friend

luluh dengan bujukan Agi. Akhirnya ia menuruti Agi menuju ke studio foto. Mereka bergaya

macam-macam dengan empat gaya berbeda. Dari mulai pose jaim, sok imut, cubit-cubitan muka,

sampai moyong-moyongan mulut. Nggak keliatan sama sekali kalo Ridho orang yang mati gaya!

Selesai photo box, mereka tidak langsung keluar Mall tetapi pergi ke Distro dulu. Agi

membelikan Ridho sebuah topi berwarna biru, warna kesukaan Ridho. Ridho langsung

memakainya sebagai tanda ucapan terima kasih.

“Mau ke mana lagi kita, Dho?”

“Ke makam Ayah aku dong. Boleh nggak?”

“Lah, bukannya Ayah lo masih ada?”

“Itu Ayah tiriku. Ayah kandungku udah meninggal waktu umurku tujuh taun.”

“Lo sama kayak gue, Dho. Gue juga kehilangan kakak gue waktu umur gue tujuh tahun.

Heran ya gue, kita kok bisa sama terus kayak gini. Kebetulan kali ya?”

“Di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan, Gi. Pasti ini udah jadi takdir Allah.

Jadi, kamu mau nganterin aku ke makam Ayahku nggak?”

Agi mengangguk. “Terus, makam Ayah lo di mana?”

Agi mengantarkan Ridho ke makam Ayahnya di daerah Bogor. Selama perjalanan ke

Bogor, Agi juga seperti bernostalgia dengan masa kecilnya yang dia habiskan juga di Bogor.

Tapi dia tidak berani untuk menceritakannya ke Ridho, karena ia ingin Ridho menikmati

perjalanan ini dan juga menikmati kenangan bersama kedua orang tuanya dulu.

Selama perjalanan ke sana Ridho menceritakan perjalanan hidup keluarganya yang belum

pernah Agi dengar. Sebenarnya sebelum ayahnya meninggal, keluarganya adalah keluarga yang

cukup mapan yang hidup di daerah Bogor kemudian untuk membentangkan sayap yang lebih

luas lagi, mereka pindah ke Jakarta, namun ketika sampai di Jakarta usaha ayahnya bangkrut

karena ia ditipu oleh sebuah perusahaan fiktif dan dirugikan sampai ratusan juta rupiah sehingga

harta mereka tidak ada yang tersisa sama sekali. Akhirnya mereka hidup susah dan tidak lama

kemudian ayahnya meninggal karena depresi. Lima tahun setelah ayahnya meninggal, ibunya

Page 65: My Best(Boy)Friend

menikah lagi. Hal ini membuat Ridho menjadi sosok yang mandiri, penyayang, dan teliti dalam

segala hal. Dalam hati Agi bersyukur, karena hidupnya masih lebih baik dari kehidupan Ridho.

Agi mengantarkan Ridho ke makam Ayahnya. Di depan makam, Ridho menaburkan

bunga ke makam. Ia berdoa seraya menangis, Agi ikut terbawa suasana, ia juga ikut menangis. Ia

tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Sang Ayah tercinta.

“Jangan nangis dong, Dho. Nanti arwah Ayah lo nggak tenang di sana!” Agi menepuk

bahu Ridho.

“Iya aku nggak nangis. Kamu juga jangan nangis.” Ridho menghapus air matanya.

“Kamu mau nganterin aku lagi nggak, Gi? Aku pengen bernostalgia di Bogor!”

“Dengan senang hati.” Agi tersenyum. “Lo mau gue anterin ke mana lagi?”

“Ke rumahku yang di sini yuk, terus ke rumah nenekku.” Mata Ridho menerawang jauh.

“Aku kangen sama Nenek.”

Tibalah Agi mengantarkan Ridho ke rumahnya yang lama, yang saat ini sangat-sangat

tidak terawat dan tidak ada yang menghuni. Mereka berdua turun dari mobil. Ridho

memerhatikan dengan seksama rumahnya yang dulu, yang penuh dengan kenangan masa lalu

dengan Ayahnya. Agi menggenggam tangan Ridho dengan kuat, sebagai tanda bahwa dia juga

dapat merasakan kesedihan yang Ridho rasakan kini. Ridho menceritakan bahwa di depan teras

rumahnya dulu, banyak tanaman hias yang ditanam oleh Ibu. Lalu ada pula bunga matahari yang

ditanam di halaman belakang, dan berbagai cerita yang terjadi di rumah tersebut.

Setelah selesai, mereka pergi ke rumah neneknya. Betapa terkejutnya Agi melihat rumah

neneknya Ridho, karena rumah itu begitu asri, banyak pepohonan dan banyak ukiran-ukiran

kuno dari kayu. Rumah yang begitu kental dengan suasana etnik.

Tok... Tok... Tok...

Beberapa detik kemudian, seorang ibu-ibu datang membukakan pintu untuk mereka.

“Selamat siang... Ada yang bisa yang saya bantu? Ridho? Apa kabar? Masuk dulu yuk!”

Ibu itu mempersilakan mereka masuk.

Page 66: My Best(Boy)Friend

“Iya Tante. Tante kenalin ini Agi, Agi kenalin ini Tante Muti.” Agi dan Tante Muti

berjabatan tangan. “Ridho udah gede ya sekarang, udah punya pacar.”

“Yee, nggak Tante. Ini temen Ridho kok! Tante, Nenek mana?”

“Ada kok di kamar! Tunggu di sini dulu ya, biar Tante panggilin Ibu!” Tante menyuruh

mereka duduk di kursi tamu, Agi dan Ridho langsung duduk.

Di ruang tamu, Agi melihat sebuah pigura yang cukup besar. Di dalamnya ada sepasang

suami istri beserta keenam anaknya. Tiga cewek dan tiga cowok. Ridho menyuruh Agi untuk

mencari yang mana ayah kandung Ridho. Agi melihat muka Ridho sekilas, melihat kembali ke

pigura. “Kok mukanya nggak ada yang mirip sama lo, Dho?”

“Enak aja... Ada kok yang mirip sama aku. Makanya perhatiin baik-baik.”

Agi melihat kembali ke pigura dan ia menemukan jawabannya. “Itu ya, Dho.” Agi

menunjuk seorang laki-laki yang paling tinggi di antara yang lain. “Ini kan bokap lo?”

Ridho menggangguk, tersenyum. “Mukanya mirip sama aku kan?” Belum sempat Agi

menjawab pertanyaan Ridho, Nenek Ridho sudah datang. Mereka pun tidak membahas

pertanyaan itu lagi.

“Halo, cucuku. Lama ya nunggunya? Maaf tadi nenek abis ganti baju dulu!” Nenek

Ridho datang dari ruang tengah, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri Ridho.

Tidak seperti bayangan Agi, Nenek Ridho itu tampak sangat cantik dan sehat. Keriput-

keriput di mukanya hanya sedikit, bisa dihitung dengan jarilah. Padahal umurnya sudah

menginjak 57 tahun. Ridho mengenalkan Agi ke Nenek, dan mengenalkan Nenek ke Agi.

Agi mulai masuk ke dalam keluarga Ridho dari almarhum Ayahnya. Nenek dan Tante

Muti menganggap Agi bagian dari keluarga mereka. Terutama bagi Tante Muti yang telah

kehilangan suami dan kedua anak perempuannya karena kecelakaan pesawat beberapa tahun

silam.

Keluarganya Ridho emang pada ramah-ramah. Seneng banget gue bisa kenal sama

mereka semua. Agi senyam-senyum sendiri. Untung nggak ada yang liat.

Page 67: My Best(Boy)Friend

Mereka berdua menghabiskan malam minggu di rumah Nenek Ridho. Nenek

mengadakan pesta bakar jagung dadakan sekalian makan malam. Selesai main bakar-bakaran

(bakar jagung maksudnya), Nenek memberikan sebuah kalung perak bermatakan tulisan dengan

kata Hara. Kalung itu pemberian dari almarhum suaminya saat mereka tengah berbulan madu.

Agi bingung, gimana bisa dia yang baru bertemu (baca: sekali-kalinya) dengan Nenek

Ridho bisa diberikan kalung yang cukup bernilai dari sisi sejarahnya. Awalnya Agi menolak,

namun Nenek memaksa. Nenek merasa kalung itu amat pantas dipakai oleh Agi, karena akan

menjadi pembuka jalan bagi kenangan yang telah tertutup lama, Agi sebenarnya agak bingung

dengan ucapan Nenek Ridho, tapi ia nggak bisa berkutik lagi. Akhirnya Agi menerima saja

kalung itu. Nenek berpesan supaya kalung itu jangan hilang dan harus selalu dipakai. Sebelum

tidur, Agi menulis diary-nya. Menceritakan pengalamannya ke rumah Neneknya Ridho.

Dear Diary,

Hari ini gue seneng banget bisa ketemu keluarganya Ridho. Ketemu sama Nenek dan Tantenya.

Padahal gue belum begitu kenal sama mereka, tapi mereka nyambut gue dengan ramah banget. Oiya

terus gue dapet kalung perak gitu dari Neneknya. Padahal kata Nenek, kalung itu banyak sejarahnya

yang bikin dia inget sama almarhum suaminya. Gue juga bingung kenapa harus gue yang dikasih kalung

itu, tapi Neneknya maksa akhirnya gue terima aja deh. Kelungnya bagus banget lho.

Gue jadi seneng ikut jadi bagian keluarganya Ridho. Gue juga baru tau ternyata Ridho itu anak

yatim, bokapnya udah meninggal sejak umurnya tujuh taun, sama persis kayak gue yang kehilangan Kak

Zu.

Doain gue ya, siapa tau dengan gue ketemu sama keluarganya makin memudahkan jalan gue

buat jadi Nyonya Ridho Satria Firman. Hahaha... Ngarep!!! Kan kalo Ridho jodoh gue nggak akan ke

manalah. Amien....

I Love Ridho! <3

Page 68: My Best(Boy)Friend

SEPULUH

Sabtu pagi, awal Desember yang cerah, Agi sedang asik menyiram tanaman yang berada

di beranda kamarnya. Tiba-tiba Mbok Nar membuka pintu kamarnya dan mengatakan ada

seseorang yang menunggunya di bawah. Seseorang yang asing yang belum pernah diliat Mbok

Nar. Agi mengganti pakaiannya terlebih dahulu supaya terlihat lebih sopan. Selesai dia berganti

pakaian, dia langsung turun ke bawah dan terkejut dengan penampakan seorang laki-laki yang

juga belum pernah diliatnya.

“Kamu siapa ya?” tanya Agi dengan sedikit bingung. “Kayaknya saya nggak pernah

ngeliat kamu sebelumnya. Kok kamu bisa ada di sini? Ada perlu apa?”

Laki-laki itu berdiri seraya tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Nama saya Zavier

Ginandjar Handoyo, atau kamu cukup panggil saya Zavi. Maksud kedatangan saya ke sini adalah

saya ingin memperkenalkan diri sebagai calon tunangan kamu, Gi…”

“APA????” Agi setengah menjerit, sangat tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Tolong ya kamu jangan gila. Ini rumah saya dan kamu bisa saya laporkan ke kantor polisi.” Jari

telunjuk Agi menunjuk ke dada Zavi. Dia benar-benar ketakutan dengan orang asing di

rumahnya, apalagi Mama dan Papanya sedang tidak ada di rumah.

Zavi langsung menurunkan tangannya dan menggenggamnya. “Tolong jangan bertindak

gegabah, Nona. Biar saya telepon Mamamu ya.” Zavi langsung mengambil HP dari saku

celananya dan menekan sebuah nomor, kemudian dia menempelkan HP-nya di telinganya dan

mengobrol dengan orang yang ada di seberang telepon. Setelah berbincang sebentar, dia

langsung menyerahkannya kepada Agi. “Itu suara Mamamu, cepat tanyakan padanya.” bisik

Zavi.

Agi melihat layar HP itu sebentar, memang itu nomor HP Mamanya, lalu dia

menempelkan HP Zavi di telinganya dengan takut-takut. Dari ujung telepon Mama menerangkan

dengan seksama siapa Zavi sebenarnya. Jadi Zavi adalah anak dari seorang teman kuliah Mama,

dan dia merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan Kedokteran. Alasan Mama menjodohkan

Page 69: My Best(Boy)Friend

Agi adalah janjinya dengan teman kuliah Mama itu untuk menjodohkan anak mereka ketika

sudah dewasa, dan janji itu akhirnya harus dipenuhi oleh mereka berdua.

“Tapi Ma, kok Mama nggak pernah bilang sebelumnya sih? Semua jadi mendadak gini.

Kenapa?” tanya Agi yang masih tidak habis pikir dengan sikap Mamanya yang semaunya sendiri

itu.

“Maaf, Sayang. Mama nggak sempat ngasih tau sama kamu. Nah mumpung Zavinya

udah ada di depan kamu sekarang, silakan kalian berkenalan, siapa tau kalian memang cocok.”

Mama langsung menutup teleponnya setelah memberikan klarifikasi yang singkat itu. Agi hanya

menghela napas panjang berusaha memaklumi sikap Mamanya. Kemudian dia melihat sosok

Zavi yang saat ini sedang nyengir kuda kepadanya, memperlihatkan giginya yang besar-besar

namun putih dan terawat.

“Gimana kamu udah percaya kan kalo saya nggak bohong sama kamu?” tanya Zavi.

Agi hanya melengos sambil duduk di sofa, dia melihat sosok laki-laki yang saat ini

sedang duduk di sampingnya. Sosok laki-laki dewasa dan matang dan sudah sepertinya sudah

siap mengarungi bahtera rumah tangga. Matanya tertutup oleh bingkai kacamata, rahangnya

tegas, badannya tinggi tegap, alis matanya tebal, dan harus Agi akui kalau senyumnya itu

sungguh menawan. Tapi tetap saja Zavi masih menjadi orang asing dalam dirinya.

“Nah, apa sekarang saya mengganggu malam minggumu, Nona? Gimana kalo kita makan

malam sekarang?”

Agi menggeleng-geleng, dia masih shock dengan apa yang dia dengar tentang Zavi yang

menjadi tunangannya. “Mending lo pergi dari sini daripada gue lempat lo INI. BURUAN

CEPET!!!” bentak Agi sambil memegang benda yang berhasil dia raih. Sebuah bantal.

“Iya ampun, jadi cewek galak amat sih. Tapi semakin kamu galak, aura kamu semakin

terpancar kok. Saya jadi makin suka sama kamu… Dagh Agi…” Zavi langsung pergi dari

rumahnya. Pertemuannya dengan calon tunangannya ternyata tidak sesuai dengan perkiraan,

namun dia cukup senang karena sudah melihat Agi secara langsung, setidaknya dia sudah

menemukan sebuah chemistry dari cewek itu.

Page 70: My Best(Boy)Friend

Agi kemudian mencari telepon rumahnya, dan menelpon Marcel. “Marcel lo harus tau ya,

gue DIJODOHIN SAMA NYOKAP GUE dengan SEORANG MAHASISWA KEDOKTERAN.

Shock nggak sih lo?”

Dari seberang telepon Marcel hanya bisa tertawa cekikan membayangkan ekspresi wajah

sahabatnya yang kaget dengan perjodohan mendadak yang dilakukan oleh Mamanya itu. Apalagi

sekarang udah nggak jaman juga ya jodoh-menjodohkan seperti zaman Siti Nurbaya. “Udah

udah sabar aja, toh gue rasa si calon suami lo itu orang baik-baik kok. Apalagi profesinya nanti

dokter, ah hidup lo pasti terjamin, Gi. Hahaha…”

“MARCEL TEGA IH…. Gue kan maunya sama Ridho bukan sama orang itu…” Agi

pura-pura ngambek. Dia keceplosan ngomong seperti itu. “Eh, kayaknya gue harus temuin dia

sama Ridho ya? Biar dia tau kalo hati gue udah milik orang lain. Cie…”

“Haha, terserah elo. Tapi kalo kata gue sih coba aja jalanin sama dia dulu, Gi. Anggep aja

dia itu bukan calon tunangan lo, tapi cuma sebatas temen. Nggak masalah kan?”

Agi berpikir benar juga apa yang dikatakan Marcel. Dia belum mencoba tapi sudah

langsung menolaknya. Padahal mungkin saja Zavi orang yang jauh lebih mengerti dirinya

dibandingkan Ridho atau sebaliknya. “Iya, Cel. Bener juga kata lo…”

(*^o^*)

Keesokan harinya, Zavi kembali datang ke rumah dengan membawa sebuket mawar

merah. Kali ini Agi menyambutnya dengan ramah dan menyenangkan, tidak sejutek kemaren.

Bahkan ketika Zavi mengajaknya makan malam dia langsung mengiyakannya tanpa berpikir

panjang.

Ketika sedang asik menyantap makan malam mereka, HP Agi bergetar hebat, tanda

telepon masuk. Agi pun meminta ijin kepada Zavi untuk mengangkat teleponnya sebentar.

Sembari menunggu Zavi melihat ekspresi wajah Agi, dan dia semakin menyukai sosok cewek

yang akan menjadi calon istrinya nanti.

Page 71: My Best(Boy)Friend

Agi langsung menghampiri Zavi dengan tergesa-gesa. “Vi, bisa nemenin gue ke RSBP

sekarang nggak? Ada hal yang penting nih!” Raut wajah Agi sangat panik.

Zavi kemudian berdiri sebagai jawaban dari pertanyaan Agi. Mereka pun pergi

meninggalkan restoran tanpa sempat menghabiskan makanan yang tersaji di meja. Tadi Agi

dapat telepon dari Ibu bahwa kondisi Ridho kembali menurun dan sekarang dirawat di RSBP.

Sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit, Agi menceritakan kepada Zavi tentang sosok Ridho

sebenarnya. Bagaimana sayangnya wanita itu kepada lelakinya, membuat Zavi sedikit cemburu

jadinya.

Sesampainya di Rumah Sakit, Agi langsung memeluk Ibu yang sedari tadi menangis

menunggu kepastian dari dokter. Saat ini Ridho sudah mendapat penanganan dari dokter ahli,

namun kondisinya masih juga tidak stabil. Agi hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Ridho

nantinya.

(*^o^*)

Sehari lagi tahun baru, Ridho masih dirawat di RSBP. Namun sekarang ia telah

dipindahkan ke ruang perawatan. Sebenarnya banyak sekali teman-teman Agi yang mengajak

hang-out bareng, menghabiskan pergantian tahun bersama. Agi menolak semua ajakan mereka,

ia memilih untuk merawat Ridho karena ia merasa tidak bisa bersenang-senang di atas penyakit

yang tengah menimpa Ridho.

Ridho sadar dari tidurnya... Agi sedang tertidur di sisi tempat tidur Ridho. Ridho

menggerak-gerakkan jari tangannya, membuat Agi terbangun dari tidurnya.

“Ridho, udah bangun?” tanya Agi. Ridho hanya mengangguk lemah. “Ridho mau apa?

Mau minum?”

Ridho menggeleng-geleng. “Aku cuman mau kamu di sini aja.” Ridho menggenggam

tangan Agi.

Page 72: My Best(Boy)Friend

“Oke... Oke... Agi bakal nunggu Ridho di sini.”

“Gi... Kamu liat cahaya hijau itu nggak?” tunjuk Ridho tepat di depan matanya. “Itu jalan

aku Gi, aku udah disuruh pulang. Nyusul Ayahku ke Sana...”

Agi menurunkan tangan Ridho. “Agi nggak liat apa-apa. Ridho nggak akan pulang ke

mana-mana. Ridho masih harus di sini nemenin Agi.”

“Tapi Gi, cahaya itu udah nunggu aku. Di sana juga udah nunggu Ayah, Kakek, Om

Windra, Metha, Cinta... Aku harus ke sana!” Nama-nama yang disebutkan Ridho adalah nama-

nama keluarganya yang sudah meninggal. Ridho menyibakkan selimutnya ingin bersiap-siap

pergi.

Agi segera menahan Ridho dan memeluknya sejenak. “Ridho nggak boleh pergi... nggak

boleh...” Akhirnya Ridho berhasil ditenangkan dan tidur kembali ke tempat tidur.

Agi menjadi sedih karena takut Ridho akan pergi untuk selama-lamanya...

Page 73: My Best(Boy)Friend

SEBELAS

Ridho dan Agi berada di halaman belakang Nenek Ridho di Bogor. Ridho mengenakan

kemeja putih dan jas hitam sedangkan Agi mengenakan gaun berwarna putih bertali spageti yang

panjangnya sedikit di atas lutut. Mereka keliatan tampan dan anggun malam ini.

Satu sama lain saling bertatapan muka. Ridho memeluk Agi dengan erat, sebagai luapan

rasa kangen mereka.

DEG!!! Ridho manis banget!!! Kayak bukan Ridho aja. Agi terkagum-kagum.

“Mau dansa?” Ridho membungkukkan badannya empat puluh lima derajat.

“Tapi Agi nggak bisa dansa! Musiknya juga nggak ada!”

“Tenang!!!” Ridho menjetikkan jari. Tiba-tiba terdengar musik akustik lagu Without You-

nya Mariah Carey. “Jadi kamu mau nggak dansa sama aku?”

Agi mengangguk. Ia menggenggam tangan Ridho, mereka saling bertatapan mata.

Perasaan yang paling dalam pun terpancar dari setiap cahaya yang terpantul dari indahnya mata

cokelat Agi. Ridho melingkarkan kedua tangannya di pinggang Agi dan Agi pun meletakkan

tangannya di pundak Ridho. Mereka mulai berdansa.

“You’re so beautiful to night.” puji Ridho.

“Thank’s.” Agi tersipu. Ia belum pernah mendengar Ridho memujinya seperti ini. “Dho,

tangannya kok dingin banget?”

Ridho angkat bahu dan tersenyum. “Nggak kenapa-napa.”

“I can’t live, if living is without you

I can’t live, i can’t give anymore...”

Page 74: My Best(Boy)Friend

Mereka terus berdansa, walaupun lagunya sudah berhenti. Mengalunlah suara denting

jam kuno yang berbunyi dua belas kali, entah dari mana. Agi jadi ketakutan sendiri, karena

hanya ia yang mendengar suara dentuman jam itu. Bukannya menghibur Agi yang ketakutan,

Ridho malah memeluk Agi dengan begitu erat dan hangat. Seakan-akan Ridho tidak mau

kehilangan Agi, Agi membalas pelukan itu dengan bingung.

“Dho, kenapa?”

Ridho melepas pelukannya. “Nggak apa-apa, aku cuma pengin meluk kamu. Aku sayang

banget sama Sellaginella June Soeandriya… Oh iya, kamu mau ikut aku lagi nggak, Gi? Kita liat

sunrise…”

“Tapi kira-kira sekarang aja baru lewat tengah malem, liat sunrise dari mana?”

“Makanya ikut aku aja!!!” Ridho menggandeng Agi.

Suasana berubah menjadi amat sangat terang, Agi dapat merasakan matanya kesilauan.

“Dho, sebenernya kita mau ke mana?!” tanya Agi sambil berseru.

Keajaiban malam telah membawa mereka menembus ruang dan waktu. Kenangan yang

indah itu menuntun mereka ke tempat yang pertama kalinya mereka datangi. Mereka sekarang

berada di lantai sepuluh apartemen yang belum jadi. Tempat mereka melihat sunset beberapa

bulan silam. Melihat keindahan alam yang terjaga dari semua yang ingin memilikinya. Matahari

yang mengawali hidup setiap makhluk yang bergantung padanya.

“Kok kita bisa ada di sini, Dho?” tanyanya heran. Suasana di apartemen sudah keliatan

terang tapi belum ada sinar matahari.

Ridho hanya tersenyum. Tidak lama berselang, matahari muncul dari balik gedung.

Menyisakan kekaguman yang tiada tara bagi Agi.

Ridho mengajak Agi untuk berdiri, dan menyuruhnya untuk menutup mata, ada sesuatu

yang ingin ia berikan. Agi menutup matanya. Ridho membuka kedua telapak tangan Agi,

mengulurkannya ke depan, dan menaruh sesuatu.

Page 75: My Best(Boy)Friend

Aneh, kok rasanya ada bulu-bulunya gini? Anget-anget gimana gitu. gumam Agi dalam

hati, meraba-raba isi genggaman tangannya.

“Sekarang buka matamu, Gi!”

Agi membuka matanya. Dilihatnya genggaman tangannya itu. Seekor merpati putih.

Ternyata Ridho juga menggenggamnya seekor.

“Cantik banget!!!” ujarnya takjub, penuh kekaguman. “Makasih ya, Dho.”

Lagi-lagi Ridho tersenyum. “Kamu tau nggak cerita tentang merpati?”

Agi menggeleng. “Agi sih pernah denger, cuma lupa!!! Emang apa?”

“Merpati itu bakal setia sama pasangannya, sekalipun pasangannya udah mati dia nggak

bakal nyari pengganti. Makanya merpati itu jadi simbol kesetiaan. Tapi aku nggak mau kamu

kayak gitu, kalo misalkan aku mati,” dan harus ninggalin kamu, walaupun aku nggak mau,

“kamu boleh kok cari pengganti lain.”

“Ridho jangan ngomong gitu dong! Jangan bikin Agi sedih!”

Ridho mengalihkan pembicaraan. “Ayo itung bareng-bareng sampe tiga, trus kita lepasin

merpatinya. Gimana? Biar mereka bisa terbang bebas ke angkasa!”

“SETUJU…”

“Satu… Dua… Tiga…” Mereka serempak melepas kedua merpati dalam genggaman.

Bukannya pergi, merpati itu malah beterbangan mengelilingi mereka seakan merpati itu

tahu bahwa mereka akan berpisah. Namun Agi tidak menyadarinya, ia malah berputar-putar

mengikuti arah terbang merpati itu.

Agi tertawa lepas. “Dho, asyik banget …”

Ridho tersenyum sendu. Maaf aku cuma bisa ngasih kayak gini ke kamu, nggak lebih.

Page 76: My Best(Boy)Friend

Setelah berkeliling sebanyak tiga kali, kedua merpati itu akhirnya terbang bebas ke

angkasa, terbang bebas ke atas, menunjukan jalan ‘pulang’ untuk Ridho. Agi kelelahan, mereka

pun duduk di pinggir tembok.

“Ah… capek juga ya keliling-keliling sama merpati!” ujar Agi.

“Kamunya sih kurang kerjaan banget, ikut muter-muter.” Ridho mengajaknya untuk

berdiri lagi. “Tutup matamu lagi, Gi.”

“Seru kali Dho, serasa bisa terbang!” Agi mengangkat tangannya ke atas. “Buat apa lagi

sekarang?”

“Tutup aja, aku masih punya kejutan lagi buat kamu!”

Agi menutup mata untuk kedua kalinya. Perlahan-lahan ia dapat merasakan helaan napas

Ridho yang makin lama makin mendekatinya.

Deg… Deg… Deg… Jantung Agi berdegup kencang. Aduh, si Ridho mau ngapain sih?!

PLEK!!!

Ridho memasangkan sebuah liontin merpati perak di kedua sisi kalung Agi. Mereka

sedang mengepakkan sayap, seakan ingin terbang.

“Sekarang buka!!!”

“Ridho masang apa?” tanya Agi. Karena ia mendengar suara sesuatu terpasang di sekitar

badannya.

“Liat kedua sisi kalung kamu!!!”

“Wow… Indah banget! Makasih ya, Dho!” Agi memegang kalungnya itu.

“Kamu tau nggak artinya dua merpati itu di kedua sisi nama Hara?”

Agi menggeleng-geleng. Ia jadi bingung sendiri, hari ini banyak sekali mengeleng-

gelengkan kepala kayak lagi dugem. “Apa?”

Page 77: My Best(Boy)Friend

“Artinya merpati itu bakal terus jagain kita. Merpati itu sebagai lambang kalo

persahabatan kita nggak bakal putus walau aku…” Ridho menghentikan kata-katanya. Ia merasa

sudah terlalu berlebihan memberikan keterangan.

“Walau apa?”

“No… Bukan apa-apa, ntar kamu juga tau.” Untunglah Agi tidak mempersalahkannya.

Sekarang aku bisa tenang ninggalin kamu, Gi…

“Dagh Agi… Kayaknya cukup sampe di sini perjumpaan kita!!!” Ridho perlahan-lahan

menghilang menuju ke arah yang dibimbing kedua merpati tadi..

“Ridho…” Agi menjerit. Tertunduk sedih… Hujan pun turun rintik-rintik.

Tiba-tiba saja Agi sudah berada di rumah Ridho. Di rumah itu ramai sekali orang-orang

yang berpakaian hitam. Ia hanya melihat Ibu, Ayah, dan Arya, tanpa Ridho.

Siapa yang meninggal ya?! Jangan-jangan itu...

(*^o^*)

“RIDHO....” Agi berteriak sekencang-kencangnya dan terbangun dari tidurnya. Ternyata

itu semua hanya sebuah mimpi.

Untung cuma mimpi! Agi menggerutu sendiri.

Agi mencoba bangun dari tidurnya. Kok rada berat? Ia langsung melihat kalungnya.

Ternyata sama persis dengan yang ada di mimpinya. Di kedua sisi nama Hara tertambat sepasang

liontin merpati. Agi kaget dibuatnya. Apa artinya ini? Padahal kan cuma mimpi…

Feelingnya berubah tidak enak. Buru-buru ia pergi ke kamar mandi, mengganti

pakaiannya, dan segera pergi ke RSBP. Agi berlari cepat di lorong-lorong RSBP. Mudah-

mudahan Ridho nggak kenapa-napa.

Page 78: My Best(Boy)Friend

Dibukanya pintu kamar Ridho. Ridho masih berbaring di situ.

“Ridho…” Agi cepat-cepat menghampirinya. Wajah Ridho masih pucat.

“Kenapa kamu, Gi?”

“Agi mimpi aneh semalem.” Agi menceritakan mimpinya itu. “Keadaan Ridho gimana?

Udah baikkan? Nggak kenapa-napa kan?!”

“Aku baik-baik aja. Nggak usah dipikirin sih, itu juga cuma bunga tidurmu aja. Tapi

kalungnya jadi bagus ya.” Ridho menggenggam telapak tangan Agi, tangannya basah. “Tangan

kamu kok basah?”

“Kebiasaan, kalo lagi panik pasti tangannya basah. Agi bener-bener takut Ridho pergi…”

Ridho tersenyum. “Aku nggak akan ke mana-mana.” Aku cuma akan tidur selamanya...

“Agi…” Ridho berusaha untuk duduk di tempat tidurnya.

“Kenapa, Dho?”

Ridho memeluk Agi, kemudian mencium keningnya. “Kamu sekolah yang rajin ya, kejar

terus cita-citamu setinggi mungkin. Jangan sampe ngecewain Mama, Papa, Kak Zu, serta orang-

orang yang sayang sama kamu.”

“Oke, Agi janji dan akan terus berusaha. Emang kenapa gitu Dho?”

Krek... Terdengar suara pintu terbuka.

“Gi, kayaknya ada yang mau masuk. Tolong kamu liat dulu ya.”

Agi mengangguk dan berjalan ke arah pintu.

“Eh, Agi. Permisi, saya mau beresin semua barang-barangnya Ridho dulu.” Ternyata

seorang suster yang bernama Nilam.

“Pagi, Sus. Suster mau beresin barangnya Ridho? Tapi kan Ridho masih dirawat, Sus.”

Agi kaget seakan tak percaya apa yang didengarnya.

Page 79: My Best(Boy)Friend

Suster Nilam mengangkat sebelah alis matanya. “Ridho? Ridho udah nggak ada di sini,

Gi.”

“Maksud Suster apa?” Agi setengah tidak percaya. “Dia udah pulang ke rumah? Tapi aku

masih ngobrol kok sama Ridho.”

“Nggak, Gi. Ridho udah ninggalin kita semua. Ridho udah meninggal kemaren malem.”

“Nggak… Nggak mungkin. Dia nggak mungkin meninggal. Meninggal kenapa?” Agi

menggeleng. “Ya kan, Dho…” Agi balik badan. Di depannya semua sudah rapi. Yang ada hanya

beberapa sampah plastik kecil bekas keranjang buah. Ridho juga sudah tidak berbaring lagi di

sana. Agi diam tertegun di depan pintu. Ia tidak bisa menangis, bahkan ketika ia ingin sekali

untuk menangis.

“Maafkan kami, Gi, nggak bisa menyelamatkan nyawa Ridho. Dia meninggal karena

memang penyakitnya sudah sangat parah. “Sebelum Ridho pergi, dia sempat menitipkan sebuah

surat untukmu.” Suster Nilam memberikan sebuah surat beramplop putih kepada Agi.

Kemudian dia merangkul Agi sebentar, dan beranjak pergi.

“Nggak mungkin…” Agi masih tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya.

Bagaimana mungkin Ridho begitu cepat pergi meninggalkannya?! Apalagi ia tidak melihat

dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Ridho pergi dari dunia ini.

Dengan langkah lunglai ia berjalan ke tempat yang tadi. Membayangkan lagi sebuah

memori yang baru saja mereka lakukan, memang aneh tapi itu semua seakan-akan nyata.

Hempasan angin menerpa wajahnya. Agi duduk di tempat tidur, dan membaca surat itu.

Dear Agi,

Saat aku lagi nulis surat ini, aku masih terbaring nggak berdaya di tempat tidur. Ada beberapa hal yang pengen aku ceritain ke kamu, tapi kamu jangan nangis ya!!! Karena aku paling nggak suka ngeliat kamu nangis.

Page 80: My Best(Boy)Friend

Beberapa hari ini aku selalu ngebayangin kematianku sendiri. Aku selalu berada dalam bayang-bayang umurku. Aku tau, aku belum sanggup buat ninggalin keluargaku, kamu, anak-anak, dan semua teman-temanku. Namun ini hidup yang harus kita jalanin! Setiap orang yang hidup, pasti suatu saat mereka bakal mati. Tapi nggak ada yang tau kapan kita mati, tentu aja.

Aku harap kamu nggak ngelupain semua hal yang udah kita jalanin selama ini. Aku minta jaga anak-anak ya demi aku dan masa depan mereka. Gantiin aku jadi guru di Rumah Corat-Coret. Kalo bisa cari orang yang bisa bantu kamu didik mereka. Aku juga minta setiap tanggal kematianku, kamu tolong pake jaket cokelatku yang waktu itu aku pake ke Monas bareng kamu. Mungkin cuma itu satu-satunya barang berhargaku yang bisa kukasih. Hehehe…

Agi, maafin aku atas semua kesedihan yang kamu alami ketika kamu sama aku, maaafin atas sifatku yang cenderung maksa kamu. Maafin atas semua salahku ya, biar aku tenang di Sana.

Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, dan maaf. Mungkin seribu maaf pun nggak akan cukup, buat ngobatin sakit hatinya kamu ke aku.

Tolong simpen dan jaga surat ini baik-baik. Makasih atas semua kenangan yang kamu beri. Aku seneng karena ketika hidupku ini aku masih dikasih kesempatan buat ketemu sama kamu. Yang jelas aku bersyukur, “Aku bisa menyayangimu.” Nggak ada yang bisa gantiin kamu. Semuanya akan tersimpan selamanya di hatiku, dan aku harap di hatimu juga.

Satu lagi, tanggal tiga nanti, Ibu ulang tahun. Kamu jangan lupa ngasih selamat ya!!! Sekalian wakilin ucapan selamatku buat dia.

I love you til my Death...

Ridho

Page 81: My Best(Boy)Friend

Simpan sedihmu... Pendam yang dalam. Jalani hidup seperti kemarin... Sebelum hatimu menemukan aku, Sebelum mentari dikalahkan malam...

Agi melipat kembali kertas itu dan langsung pergi ke rumah Ridho. Di rumah Ridho,

banyak orang berkumpul mengucapkan berbela sungkawa. Agi menyempil-nyempil dari

kerumunan itu, ingin bertemu anggota keluarga Ridho. Akhirnya ia bertemu dengan Ibu. Muka

Ibu terlihat pucat, matanya bengkak mungkin karena kebanyakan menangis. Dipeluknya Ibu,

erat. Ibu kembali menangis, menceritakan kesedihan yang teramat sangat.

“Gi, Ibu belum siap kehilangan Ridho. Ibu masih belum bisa bikin Ridho bahagia.”

Tangis Ibu pecah. Agi merangkul Ibu terus-menerus. Ia juga belum siap untuk kehilangan Ridho

secepat ini. Di depan Ibu, Agi dapat melihat jenazah Ridho yang telah terbungkus kain kafan.

Wajah Ridho tampak tenang dan tersenyum. Melihat Ridho yang telah terbujur kaku, Agi

menangis. Kenapa orang-orang yang gue sayangi, selalu cepet pergi?! Kak Zu, Ridho… terus

siapa lagi?

Agi memberanikan diri untuk mendekatkan diri ke arah jenazah Ridho. Ia kemudian

mencium dahi serta pipi Ridho sebagai ucapan perpisahan untuk selamanya...

Gue janji nggak akan ngecewain lo, Dho. Gue juga minta maaf ya kalo gue punya salah

sama lo!

Siang harinya, jenazah Ridho dimakamkan di samping makam ayah kandungnya di

Bogor. Cuaca saat itu mendung berawan. Setelah semua pelayat pergi dari pemakaman hujan

turun dengan deras.

Ridho… lo pasti bahagia di Sana. Titip salam buat Kak Zu ya! Agi tersenyum menikmati

hujan yang turun.

Sepulang dari pemakaman, Agi menulis sebuah puisi di secarik kertas. Hujan telah

berhenti.

Page 82: My Best(Boy)Friend

Aku beranjak dari hidupku, dari masalah, dari belenggu.

Telah kau sakiti, telah kau khianati semua mimpi-mimpi indahku.

Aku menyerah untuk mencinta.

Ajari aku melupakanmu

Ku sadari di dalam mimpi,

Walau perih...

Cinta tak ada lagi.

Page 83: My Best(Boy)Friend

DUA BELAS

Satu-satunya pemisah antara orang yang kita sayangi adalah KEMATIAN…

Ya, kematian telah memisahkan rasa sayang Agi kepada Ridho, kematian pulalah yang

membawa Ridho dapat kembali bertemu dengan Ayahnya yang sudah lama pergi. Sejak Ridho

pergi, Agi menjadi sosok yang pemurung. Dia seperti benar-benar kehilangan semangat untuk

hidup. Zavi datang ke kamarnya, dan sedih melihat keadaan Agi saat ini. Rambutnya acak-

acakan, wajahnya pucat pasi, lingkar matanya menghitam.

“Agi, boleh gue nemenin elo di sini?” tanya Zavi. Agi hanya mengangguk saja. Zavi pun

memposisikan dirinya duduk di sebelah kanan Agi. Dengan hati-hati dia menggenggam jemari

Agi dengan lembut.

“Gue turut berduka cita ya Gi, atas meninggalnya Ridho. Walaupun gue nggak pernah tau

siapa dia, gue ngerasa dia sangat-sangat berarti buat elo.”

“Yap, he’s my best ever I had…” jawab Agi singkat.

“Tapi lo nggak perlu terus-terusan terpuruk kayak gini kan, Gi. Masih banyak cita-cita

dan harapan yang harus elo penuhin. Bukankah Ridho nggak pengen liat lo sedih? Trus gimana

nasib anak-anak Rumah Corat-Coret kalo ngeliat elo kayak gini?!”

Setelah mendengar kata-kata Rumah Corat-Coret Agi langsung bangkit kembali. Ya, dia

masih memiliki tanggung jawab untuk mengajar di sana. Setelah itu dia meminta Zavi untuk

mengantarkannya ke sana. Dia ingin bertemu dengan anak-anak itu, dia rindu dengan mereka.

Di Rumah Corat-Coret, dia dapat kembali tertawa, setidaknya dia dapat melupakan

sedikit kesedihannya akibat kehilangan Ridho. Dengan Zavi yang berada di sampingnya dan

orang-orang yang menyayanginya di sekelilingnya, dia dapat kembali menata hidupnya tanpa

Ridho dan membuka hatinya untuk menerima Zavi sebagai calon tunangannya.

Page 84: My Best(Boy)Friend

(*^o^*)

Tepat tanggal tiga Januari, sehabis pulang sekolah Agi pergi ke rumah Ridho, karena hari

ini ulang tahun Ibu. Sekaligus hari ini adalah hari terakhir semester pertama, dan mulai besok

sekolah Agi akan libur selama dua minggu. Seperti yang tertulis dalam suratnya, Ridho

menginginkan Agi untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk Ibu. Sebelum ke rumah

Ridho, ia menyempatkan diri untuk mengambil pesanan blueberry cheesecake di Dhanissa

Bakery sekalian ganti baju bebas.

Tok... Tok... Tok...

Agi mengetuk pintu rumah Ridho dengan susah payah karena sambil membawa kue di

tangan kirinya.

“Assalammualaikum...”

“Walaikumsalam...” Ibu membukakan pintu sambil tergopoh-gopoh. Dia agak kaget

melihat kehadiran Agi, apalagi melihat kue di sebelah tangan kirinya. “Eh, Nak Agi. Masuk

dulu, Gi. Kebetulan Ibu lagi masak pepes ikan sama soto Betawi.”

“Makasih, Bu. Aku juga bawa kejutan buat Ibu. Selamat ulang tahun ya, Bu...” Agi

menghadiahkan kue ulang tahun itu ke Ibu dan mencium pipi Ibu.

Ibu langsung menangis haru. “Makasih, Nak Agi... Ayo kita makan bersama dulu.”

Kedatangan Agi disambut suka cita oleh keluarga Ridho, terutama Ibu. Ayah juga

sengaja di rumah saja hari ini untuk merayakan hari ulang tahun Ibu. Kue ulang tahun tidak

lengkap tanpa lilin ulang tahun. Tenang, Agi sudah menyiapkan semuanya.

Agi meletakkan lilin ulang tahun yang berbentuk tiga dan empat di atas kue ulang tahun,

kemudian menyalakan lilin itu dengan korek api. “Ayo, nyanyi selamat ulang tahun terus

langsung tiup lilinnya ya!”

Page 85: My Best(Boy)Friend

Semua bernyanyi selamat ulang tahun dengan semangat. “Selamat ulang tahun, selamat

ulang tahun... Bahagia sejahtera, selamat ulang tahun...” Setelah menyanyi lagu selamat ulang

tahun dilanjutkan dengan acara tiup lilin dan potong kue.

“Sebelum ditiup lilinnya, make a wish dulu ya, Bu...” pinta Agi. “Supaya keinginan Ibu

bisa dikabulin. Hehehe...”

Sebelum meniup lilin, Ibu memejamkan mata seraya berdoa. Semoga di tahun ini bisa

lebih baik lagi dan semoga Ridho bisa tenang di Surga-Mu. Amien... Selesai mengucapkan

permohonannya, Ibu langsung meniup lilinnya.

Kue ulang tahun Ibu kemudian dipotong. Suapan kue pertama diberikan kepada Ayah,

lalu Arya, dan terakhir kepada Agi.

“Makasih ya, Nak Agi.” kata Ibu. Ibu memeluk Agi dengan erat sambil menangis. “Ibu

nggak tau kalo nggak ada kamu, nggak tau apa yang harus Ibu lakuin waktu nggak ada Ridho di

sini. Sekali lagi makasih ya, Agi. Kamu seperti malaikat buat keluarga ini.”

Agi mengelus-ngelus punggung Ibu dengan lembut, dia ikut menangis. “Ibu, nggak usah

berterima kasih sama Agi. Terima kasihlah sama Allah, karena Dia kita dapat dipertemukan,

menjadi sebuah keluarga.”

Ayah dan Arya ikut memeluk Agi dan Ibu. Kehangatan keluarga ini kembali lagi,

walaupun ada yang hilang di antara mereka.

Agi melihat ke atas, seakan mencari-cari sesuatu. Dho… Gue udah nepatin janji gue!

Moga-moga lo tersenyum ya di Sana!

Ternyata Ridho memang hadir di sana. Ia memang tersenyum, ikut merasakan

kebahagian mereka. Walaupun Agi dan yang lainnya tidak dapat lagi melihat kehadiran Ridho.

Di samping Ridho pun ada sosok Zu. Mereka berdua sama bahagia melihat seseorang yang

mereka sayangi dapat membagi kebahagiaannya dengan orang lain.

Di tengah-tengah acara, Ibu memberikan sebuah buku diary Ridho yang seharusnya

dibaca oleh mereka bersama dua tahun kemudian beserta sebuah akar pohon. Agi kembali

menitikkan air mata kesedihan.

Page 86: My Best(Boy)Friend

EPILOG

“Hei, Agi elo keliatan cantik banget!” puji Marcel ketika melihat Agi yang mengenakan

kebaya berwarna putih serta rambutnya yang disanggul rapi.

“Iya, Gi… Cantik banget. Ya ampun nggak nyangka akan secepat ini cerita elo, Gi.”

Ledek Keysa.

Agi mendekati Marcel dan Keysa yang terlihat cantik dan tampan dengan kebaya dan jas

yang mereka kenakan. “Ah, pokoknya taun depan kalian berdua harus nyusul gue. Gue nggak

mau terlihat tua sendirian…”

Hari ini hari yang istimewa untuknya karena hari ini tepat dia akan melepas masa

lajangnya setelah dia menyelesaikan kuliahnya di bidang Psikologi. Ya, hari ini Agi akan

menikah dengan seseorang yang dulu tidak pernah dia sangka akan datang. Seseorang yang saat

kedatangan awalnya yang membuat dia geram sampai mau dilempar panci, seseorang yang

menyebalkan namun ternyata seiring dengan berjalannya waktu dia belajar bahwa cinta memang

akan datang pada saat yang tepat dan cinta perlu belajar untuk saling mengenal. Orang itu tidak

lain dan tidak bukan adalah Zavi, seseorang yang dia kenal dari perjodohan yang konyol dari

orang tuanya, dan ternyata malah menjadi jodoh dunia dan akhiratnya, semoga saja.

Agi keluar dari kamar dan berjalan anggun menuju tempat pelaminan. Hari ini adalah

akad nikahnya dengan Zavi. Dan seperti kata orang-orang, suasana pernikahan sungguh sangat

sakral, jantungnya terpacu dengan cepat seperti berlari-lari. Orang-orang melihatnya dengan

tatapan takjub luar biasa. Kemudian Agi duduk di sebelah Zavi, orang yang akan menjadi

suaminya. Selendang putih pun dipasangkan oleh Mama sebagai salah satu pengikat pernikahan

mereka. Setelah mengucapkan ijab kabul, dan memasangkan cincin di kedua jemari masing-

masing, Agi dan Zavi pun resmi menjadi sepasang suami-istri.

Semoga kehidupan mereka bahagia…