Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
N I T I P R A N A
ii
iii
KAJIAN SERAT
N I T I P R A N A
KARYA:
R. Ng. YASADIPURA
Dari Surakarta
Terjemah dan Kajian oleh:
Bambang Khusen Al Marie
iv
v
Pengantar
Serat Nitiprana karya R. Ng. Yasadipura merupakan karya penting yang berkaitan dengan pokok-pokok agama Islam (ushuluddin). Di dalam serat ini dibahas sifat Allah yang 20, disertai dalil dan penjelasannya. Juga ditekankan agar manusia selalu mengupayakan keunggulan budi. Agar sanggup berpikir dan mengenal Allah SWT.
Dalam serat yang ringkas ini Kyai Yasadipura menunjukkan kepiawiannya dalam penguasaan prinsip-prinsip agama. Hal ini tidak aneh karena selain terkenal sebagai pujangga beliau juga merupakan seorang ulama. Sejak kecil beliau telah menghabiskan pendidikan pesantren di pondok Kyai Hanggamaya Begelen.
Kajian serat Nitiprana ini layak Anda koleksi dan Anda baca sebagai bacaan penyejuk jiwa. Selamat membaca!
Wassalam.
Mirenglor, 31 Maret, 2020.
Bambang Khusen Al Marie
vi
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN viii
TRANSLITERASI JAWA-LATIN ix
PUPUH DHANDHANG GULA 1 Kajian Nitiprana (1-2): Kukum Lan Yudanagara 3 Kajian Nitiprana (3-4): Dimen Mancur Tyasira 6 Kajian Nitiprana (5-6): Cumadhonga Mring Gusti 9 Kajian Nitiprana (7-12): Pitung Prekara Ala Lan Beciking Budi 12 Kajian Nitiprana (13-14): Eklasna Ninggal Kang Ala 19 Kajian Nitiprana (17-18): Kamulyane Durung Karuwan 23 Kajian Nitiprana (19-21): Aywa Purun Tampi Riba 26 Kajian Nitiprana (22-25): Lumawan Nafsu Tetiga 30 Kajian Nitiprana (26-28): Wong Sabar Nemu Raharja 35 Kajian Nitiprana (29-31): Sipat Kang Kalihdasa 38 Kajian Nitiprana (32-34): Anglindhung Hyang Widhi 42 Kajian Nitiprana (35-37): Lakonana Kang Aneng Sarak 46 Kajian Nitiprana (38-40): Sipat Wajib Salbiyah 49 Kajian Nitiprana (41-43): Sipat Allah Ma’ani (I) 53 Kajian Nitiprana (44-46): Sipat Allah Ma’ani (II) 57 Kajian Nitiprana (47-48): Panutup 61
viii
Transliterasi Arab ke Latin
Untuk kata-kata Arab yang ditulis dalam huruf latin dan diindonesiakan, tulisan ini memakai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Disempurnakan. Untuk kata-kata yang belum diindonesiakan bila ditulis dalam huruf latin mempergunakan transliterasi sebagai berikut:
a, i, u = ا
b = ب
t = ت
ts = ث
j = ج
h = ح
kh = خ
d = د
dz = ذ
r = ر
z = ز
s= س
sy = ش
sh = ص
dl = ض
th = ط
dh = ظ
‘ = ع
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
w = ؤ
h = ه
y = ي
ix
Transliterasi Jawa ke Latin
Transliterasi kata-kata Jawa yang ditulis dalam hurf latin adalah sebagai berikut.
= Ha = Na = Ca = Ra = Ka
= Da = Ta = Sa = Wa = La
= Pa = Dha = Ja = Ya = Nya
= Ma= Ga = Ba = Tha = Nga
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 1
SATU PUPUH
DHANDHANG GULA
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 2
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 3
Kajian Nitiprana (1-2): Kukum Lan Yudanagara
Pada 1 sampai 2, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Pamedharing sarkaraning manis, manising tembung kaliyan tembang, tembunging sastra campure, Arab lan Jawinipun. Kalihira tan kena sisip, lumampah kalih ira, cinupet tan purun, yen pisah salah satunggal, yekti gagal ngilangken yudanagari, nagara iku rosa. Kuwating nagara gigirisi, kuwating sarak sabab rumeksa, wajib ngreksa kukum kabeh, kukum pan kuwat kukuh, angukuhi prakareng buri. Yen mengkono ta padha, wedia mring kukum, patrapna yudangara, yen ketemu karone dadia becik, becik slamet raharja.
Kajian per kata:
Pamedharing (penguraian dari) sarkaraning (tembang dhandhanggula)
manis (manis), manising (manis dalam) tembung (kata) kaliyan (dan)
tembang (tembang), tembunging (kata dari) sastra (sastra) campure
(bercampur), Arab (Arab) lan (dan) Jawinipun (Jawanya). Penguraian
tembang dandanggula yang manis, manis dalam kata dan tembang, kata-
kata dalam sastra bercampur, Arab dan Jawa.
Penguraian tembang-tembang dandanggula di dalam serat ini disampaikan
dengan bahasa campuran Arab dan Jawa. Karena makna yang akan
disampaikan berkaitan dengan tema-tema syariat agama.
Kalihira (keduanya) tan (tak) kena (boleh) sisip (selisih), lumampah
(berjalan) kalihira (keduanya), cinupet (diputus) tan (tak) purun (mau),
yen (kalu) pisah (pisah) salah (salah) satunggal (satunya), yekti (sungguh)
gagal (gagal) ngilangken (menghilangkan) yudanagari (yudanagara).
Keduanya tak boleh selisih, berjalan keduanya (seiring), diputus tak mau,
kalau sampai pisah salah satunya, sungguh gagal, menghilangkan
yudanagara.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 4 Keduanya tidak boleh berselisih, harus berjalan seiring. Tidak bisa pula
diputus, harus selalu bersama. Tak pula bisa dipisah, harus selalu menyatu.
Kalau berpisah salah satu dari keduanya, maka akan gagal, sehingga
menghilangkan yudanagara.
Apa itu yudanagara? Dalam kajian serat Nitisruti telah kita jelaskan bahwa
yudanagara adalah aturan tatakrama bernegara. Di dalamnya ada aturan-
aturan yang harus dipatuhi. Namun ia bukanlah hukum tertulis yang
mengikat secara positif. Ia tidak sama dengan hukum, tetapi juga menjadi
dasar tegaknya negara. Yudanagara hadir sebagai pendamping hukum,
dengan melaksanakannya masyarakat akan tertib dengan sendirinya.
Nagara (nagara) iku (iku) rosa (rosa), kuwating (kekuatan dari) nagara
(negara) gigirisi (menggetarkan), kuwating (kekuatan dari) sarak
(syari’at) sabab (karena) rumeksa (menjaga), wajib (wajib) ngreksa
(menjaga) kukum (hukum) kabeh (semua). Negara itu kuat, kekauatan
dari negara menggetarkan, kekuatan dari syari’at karena menjaga, wajib
menjaga hukum semua.
Negara itu kuat, dan kekuatannya menggetarkan. Tidak ada yang mampu
melawan negara. Maka diperlukan pengontrol agar kekuatan itu tidak
merajalela. Di sinilah fungsi syari’at. Syariat itu kuat dan menjadi dasar
karena sifatnya yang menjaga kehidupan. Maka syari’at harus pula
menjaga hukum. Agar hukum tetap berada dalam koridor kemanusiaan.
Kukum (hukum) pan (akan) kuwat (kuat) kukuh (kokoh), angukuhi
(menguatkan) prakareng (perkara yang di) buri (belakang). Hukum akan
kuat dan kokoh, dan menguatkan perkara yang terjadi di belakang.
Hukum yang kuat akan menguatkan perkara yang terjadi di waktu
belakang. Hukum yang sudah ditetapkan akan membuat perkara langsung
dapat diputus segera. Tidak perlu wacana atau perdebatan lagi.
Yen (kalau) mengkono (demikian) ta padha (semuanya), wedia (takutlah)
mring (pada) kukum (hukum), patrapna (laksanakan) yudangara
(yudanagara), yen (kalau) ketemu (bertemu) karone (keduanya) dadia
(menjadi) becik (baik), becik (baik) slamet (selamat) raharja (sejahtera).
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 5 Kalau demikian semuanya takutlah pada hukum, laksanakan yudanagara,
kalau bertemu keduanya menjadi baik, baik selamat sejahtera.
Oleh karena itu, takutlah kepada hukum, patuhilah. Agar tidak melanggar
hukum laksanakan yudanagara. Keduanya menjadi dasar dari tertibnya
tatanan bermasyarakat. Yudanagara yang dilaksanakan akan membuat
manusia tidak melanggar hukum. Dengan demikian hukum tegak, aturan
dipatuhi dan negara akan selamat sejahtera.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 6
Kajian Nitiprana (3-4): Dimen Mancur Tyasira
Pada 3 sampai 4, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Lah punika sarjuning kang nulis, mantheng ing tyas susetya ngulama, nglapasken panggraitane. Graitane wong punggung, anggung gawe agunggung dhiri. Dhirinira keweran, tan weruh ing kawruh, warah wuruk pan tinerak, nerak sarak nora wande nemu sarik, rusuh rusak kaprangkat. Sakarepe rikuh ngrusak ati, ati tiwas ing pati tan nawas, awit akeh was uwase. Wuwusen sujanayu, karahayon ngesthi ing budi, tumindak ing dadalan, dalan kang mrih luhung. Tuturing tyas sabar drana, tegesira ngeklasna kalbu kang sukci, dimen mancur tyasira.
Kajian per kata:
Lah (nah) punika (inilah) sarjuning (maksud dari) kang (yang) nulis
(menulis), mantheng (fokus, teguh hati) ing (dalam) tyas (hati) susetya
(setia) ngulama (ulama’), nglapasken (mengeluarkan) panggraitane
(pikirannya). Nah, inilah maksud dari yang menulis, teguh dalam hati
setia pada ulama, mengeluarkan pikirannya.
Maksud hati dari penulis serat ini, teguh hati berupaya secara keras hendak
menguraikan apa yang menjadi ajaran para ulama. Dengan cara
penyampaian sesuai dengan kapasitas pikiran penulis sendiri.
Graitane (pikiran dari) wong (orang) punggung (bodoh), anggung
(selalu) gawe (dipakai) agunggung (menyombongkan) dhiri (diri).
Pikiran dari orang bodoh, yang selalu menyombongkan diri.
Bait ini merupakan pernyataan rendah hati, bahwa si penulis menyadari
untuk menguraikan ajaran para ulama, penulis masih terlalu bodoh. Pikiran
penulis sesungguhnya tak sampai untuk menguraikan ajaran itu. Oleh
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 7 sebab penulis hanyalah orang yang menyombongkan diri merasa mampu
untuk melakukan itu.
Dhirinira (dirinya sendiri) keweran (terlantar), tan (tak) weruh
(mengetahui) ing (pada) kawruh (ilmu), warah (ajaran) wuruk (wulang)
pan (sungguh) tinerak (ditabrak), nerak (menabrak) sarak (syari’at) nora
(tak) wande (urung) nemu (menemui) sarik (bala’), rusuh (rusuh) rusak
(rusak) kaprangkat (satu paket, semuanya). Dirinya sendiri terlantarm tak
mengetahui ilmu, ajaran dan wulang pun ditabrak, menabrak syari’at tak
urung menemui bala’, rusuh rusak semuanya.
Si penulis menyadari, dirinya masih belum layak menguraikan ajaran
kebaikan. Dirinya sendiri masih terlantar, tak mengetahui ilmu
pengetahuan. Masih sering menabrak ajaran dan piwulang luhur.
Menabrak syari’at hingga menemui balak, rusuh hidupnya, rusak
semuanya.
Tentu saja pernyataan di atas adalah ungkapan sopan santun seorang
penulis. Karena bagaimanapun seorang penulis ulung seperti Kyai
Yasadipura sangat menyadari bahwa apa yang beliau sampaikan bisa
salah. Ini adalah pernyataan tatakrama yang sering disampaikan oleh para
penulis hebat. Rendah hati dan tidak mengagungkan diri.
Sakarepe (sekehendaknya) rikuh (segan) ngrusak (merusak) ati (hati), ati
(hati) tiwas (celaka) ing (pada) pati (kematian) tan (tak) awas (awas), awit
(karena) akeh (banyak) was uwase (was-khawatir). Sekehendaknya segan
merusak hati, hati celaka pada kematian tak awas, karena banyak was-
khawatir.
Sekehendaknya segan karena merusak hati. Bila kehendak kita tidak baik,
maka hati timbul perasaan segan atau rikuh. Celakanya, hati masih belum
bisa awas pada kematian. Karena masih sering mengidap was-khawatir.
Perasaan itu membuat penglihatan hati masih kabur pada kenyataan yang
sejati.
Wuwusen (perkataan) sujanayu (sarjana kebaikan), karahayon (kebaikan)
ngesthi (diangankan) ing (dalam) budi (budi), tumindak (perbuatan) ing
(di) dadalan (jalankan), dalan (jalan) kang (yang) mrih (menjadikan)
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 8 luhung (luhur, mulia). Perkataan para sarjana kebaikan, kebaikan
diangakan dalam budi, perbuatan di jalankan, di jalan yang menjadikan
kemuliaan.
Sedang penulis ini, dalam anganpun belum baik, bagaimana pula
perbuatannya. Padahal sudah menjadi ajaran para sarjana kebaikan, bahwa
kebaikan itu mesti ada dalam angan dahulu, kemudian dilaksanakan di
jalan yang bermuara kepada kemuliaan.
Ngesthi artinya selalu di angan-angankan, selalu dipikirkan, terpatri dalam
angan. Jadi kebaikan mesti selalu menjadi perhatian dahulu, sebelum bisa
diterapkan dalam perbuatan.
Tuturing (ajaran dalam) tyas (hati) sabar (sabar) drana (darana=sabar),
tegesira (sartinya) ngeklasna (mengikhlaskan) kalbu (hati) kang (yang)
sukci (suci), dimen (agar) mancur (memancar) tyasira (hatinya). Ajaran
dalam hati sabar, artinya mengikhlaskan hati yang suci, agar memancar
hatinya.
Ajaran dalam hati agar sabar selalu. Artinya mengikhlaskan hati yang suci,
agar memancar hatinya. Dari hati yang ikhlas akan memancar kebaikan ke
seluruh badan.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 9
Kajian Nitiprana (5-6): Cumadhonga Mring Gusti
Pada 5 sampai 6, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Mancur ing tyas iku anyumuki, marang badan awakira dhawak, sumrambah kabecikane, nyupet cilakanipun. Suka sukur ingkang pinanggih, uga manggih kagungan, sinebut wong agung. Anggenggeng santosanira, rinasanan wong iku ambek basuki, ngusweng tyas karaharjan. Harjaning tyas bisa milawani, marang sakehe napsu kang ala, kang bener pinarekake, sumingkir marang merdut. Merdut dudut ati tan becik, becika cumadhonga, mring Gusti kang Agung. Gungna langgeng mring Hyang Suksma. Suksma nrima ing panuwuning kang abdi. Yen temen tinemenan.
Kajian per kata:
Mancuring (memancarnya) tyas (hati) iku (itu) anyumuki (mendesak,
memenuhi), marang (kepada) badan (badan) awakira (dirinya) dhawak
(sendiri), sumrambah (menyebar) kabecikane (kebaikannya), nyupet
(memotong, mengakhiri) cilakanipun (celakanya). Memancarnya hati itu
mendesak pada badan, dirinya sendiri, menyebar kebaikannya,
mengakhiri celakanya.
Dari hati yang ikhlas tadi akan memancar kebaikan, kebaikan itu memenyi
pada badan, badannya sendiri. Selanjutnya, badan tergerak untuk
menjalankan kebaikan itu. Menyebar ke seluruh anggota badan, menjadi
watak baginya. Sedangkan sifat dari kebaikan adalah menolak keburukan.
Kalau di badan telah penuh kebaikan, maka habislah celakanya
(keburukannya).
Suka sukur (rasa bersyukur) ingkang (yang) pinanggih (ditemukan), uga
(juga) manggih (mendapat) kagungan (keagungan), sinebut (disebut)
wong (wong) agung (agung). Rasa bersyukur yang ditemukan, juga
mendapat keagungan, maka disebut wong agung.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 10 Badan atau diri yang penuh kebaikan tak lagi menyisakan keburukan.
Yang ditemui sesudahnya hanyalah rasa bersyukur. Pribadi yang demikian
akan mendapat keagungan, maka disebut wong agung. Sebutan wong
agung biasa dipakai untuk menyebut orang yang pribadinya besar, yang
berjiwa besar. Yakni orang yang pemurah, pemaaf dan suka membimbing
sesama manusia.
Anggeng (selalu) geng (membesarkan) santosanira (kekuatannya),
rinasanan (disebut) wong (orang) iku (itu) ambek (watak) basuki
(bahagia, tenteram), ngusweng (menyentuh) tyas (hati) karaharjan
(kesejahteraan). Selalu memperbesar kekuatannya, disebut orang itu
berwatak bahagia, menyentuh hati kesejahteraan.
Sifat berjiwa besar tadi selalu memperbesar kekuatan. Orang itu disebut
juga berwatak bahagia, hatinya telah tersentuh sifat-sifat sejahtera. Jauh
dari segala penyakit hati. Apa yang ada dalam hati hanyalah kebaikan.
Harjaning (kebaikan dari) tyas (hati) bisa (bisa) milawani (melawan),
marang (pada) sakehe (segala) napsu (nafsu) kang (yang) ala (buruk),
kang (yang) bener (benar) pinarekake (didekatkan), sumingkir
(menyingkir ) marang (dari) merdud (yang membangkang). Kebaikan hati
bisa melawan segala nafsu yang buruk, yang benar didekatkan,
menyingkir dari segala yang membangkang.
Kebaikan hati dapat melawan segala nafsu buruk. Mendekatkan kepada
kebenaran. Dan menjauhkan dari segala hal yang membangkang.
Membangkang di sini maksudnya membangkang terhadap Tuhan.
Merdud (membangkang) dudut (menarik) ati (hati) tan (tak) becik (baik),
becika (sebaiknya) cumadhonga (bersiap-sedialah), mring (kepada) Gusti
(Tuhan) kang (Yang) Agung (Maha Agung). Segala yang membangkang
menarik hati tak baik, sebaiknya bersiap-sedialah kepada Tuhan Yang
Maha Agung.
Merdud artinya segala perbuatan yang membangkang kepada Tuhan.
Perbuatan tersebut menarik hati buruk, maksudnya memunculkan sifat-sfat
buruk pada hati pelakunya. Sebaiknya sebagai manusia sikap yang baik
adalah cumadhong, artinya bersiap-sedia kepada Tuhan Yang Maha
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 11 Agung. Bersiap menjalankan perintahNya, bersedia melakukan dengan
patuh.
Gungna (besarkan) langgeng (tetap bersama) mring Hyang (Tuhan)
Suksma (Yang Maha Suci), Suksma (Tuhan) nrima (menerima) ing
(pada) panuwuning (permohonan) kang abdi (hambanya). Besarkanlah
untuk teta[ bersama Tuhan Yang Maha Suci, Tuhan menerima
permohonan hambanya.
Tetaplah menjaga hubungan dengan Tuhan Yang Maha Suci, karena
Tuhan selalu mendengar, menerima dan mengabulkan permohonan
hambanya. Dialah yang menciptakan seluruh kehidupan dan memberinya
petunjuk.
Yen (yang) temen (sungguh-sungguh) tinemenan (akan menemukan).
Yang sungguh-sungguh akan menemukan.
Bagi siapapun yang sungguh-sungguh mencari jalan, pasti akan
menemukan. Man jadda wajad. ( من جد وجد ), siapa yang bersungguh-
sungguh ia akan berhasil.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 12
Kajian Nitiprana (7-12): Pitung Prekara Ala Lan Beciking Budi
Pada 7 sampai 12, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Jroning Kitab Sipatul Ngulaki, tandhaning wong kang kurang budinya, ana pratandha awake, solah pangucapipun. Kang kanggonan jatining budi, yen katekanan balak, ing sariranipun, winales ing kabecikan, mring kabuka marang ing sasami sami, wong luput ingapura, dene purwa tutungguling budi. Kaping kalih mantep idhepira, ingkang beciki awake, lan weruh sriranipun, yen wong luhur dipun andhapi, tur nora palacidra, marang saminipun. Dene tandha kaping tiga, iya karem wong iku panggawe becik, nyimpang panggawe ala. Tandha ping pat jatmika ing budi. Momot ujar tandha kaping lima, ngucap barang pangucape, sarta kalawan ngelmu. Tandha ping nem karem amikir, tansah maca istikpar, eling uripipun, lamun awekasana pejah. Kaping pitu kalamun nandhang prihatin, panrimaning nugraha. 10. Nuh ilang denira prihatin, dene linimput ing panarima, lan andhap asor ambeke, wus jangkep kaping pitu. Budi ala ginoncang eblis, iya pitung prakara, dene kang rumuhun, dhemene anganiaya, yen angucap wong iku adoh lan ngelmi, sembrana amrih cacad. Kapindhone digumunggung dhiri, nora dhemen apawongsanakan, manawa asor dheweke. Dene kang kaping telu, tatakrama den orak-arik. Ingkang kaping sakawan, kereng sarta lengus. Ping lima jail wadulan. Kaping neme angumpet panggawe becik. Dene kang kaping sapta, nora sabar katekan bilai. Pan wus jangkep kang sapta prakara, iku pancabaya gedhe, rasakna putraningsun, marang kojah kang wuri-wur. Kalamun sira bisa, matrapken pitutur, kang wus
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 13
kasebut ing ngarsa, iku badan umarek mring Mahasukci, sarta lawan nugraha.
Kajian per kata:
Jroning (dalam) Kitab (kitab) Sipatul Ngulaki (sifatul ‘ulaka),
tandhaning (tandha dari) wong (orang) kang (yang) kurang (kurang)
budinya (budinya), ana (ada) pratandha (pertanda) awake (dirinya), solah
(perilaku) pangucapipun (perkataannya). Di dalam kitab sifatul ‘ulaka
tanda dari orang yang kurang budinya, ada pertanda dirinya dalam
perilaku dan perkataannya.
Kitab sifatul ‘ulaka yang disebut dalam serat ini kami belum
mendapatkannya. Kami belum dapat menguraikan lebih jauh tentang kitab
ini, siapa pengarangnya dan kapan ditulisnya. Untuk sementara kita
cukupkan dahulu bahwa yang disampaikan ini ada di dalam kitab tersebut.
Didalam kitab tersebut disebutkan tentang tanda-tanda dari orang yang
kurang budi. Akal budi tidak berkembang sehingga tidak menimbulkan
kebaikan pada orang tersebut. Namun sebelumnya, serat ini hendak
menyampaikan tanda-tanda dari orang yang berbudi, yang akal budinya
telah sanggup menerbitkan sifat-sifat kebaikan.
Kang (yang) kanggonan (ketempatan) jatining (sejatinya) budi (budi),
yen (kalau) katekanan (tertimpa) balak (bala’, perlakuan buruk), ing
(pada) sariranipun (dirinya), winales (dbalas) ing (dengan) kabecikan
(kebaikan), mring (kepada) kabuka (dibuka) marang (kepada) ing (pada)
sasami sami (sesama manusia), wong (orang) luput (salah) ingapura
(dimaatkan), dene (itulah) purwa (awal) tutungguling (keunggulan dari)
budi (budi). Yang ketempatan sejatinya budi, kalau tertimpa perlakuan
buruk pada dirinya dibalas dengan kebaikan, selalu terbuka kepada
sesama manusia, orang bersalah dimaafkan, itulah awal keunggulan budi.
Bagi yang sudah memiliki budi yang sejati kalau menerima perlakuan
buruk, maka dia membalas dengan kebaikan. Hatinya selalu terbuka
kepada sesama manusia, tidak pernah menutup diri. Jika ada orang
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 14 bersalah padanya, dia selalu memaafkan. Itulah tanda pertama dari orang
yang unggul budinya.
Kaping kalih (yang kedua) mantep (mantap) idhepira (pikirannya),
ingkang (yang) beciki (memperbaiki) awake (dirinya), lan (dan) weruh
(mengetahui) sriranipun (dirinya), yen (kalau) wong (orang) luhur (luhur)
dipun andhapi (dia merendah), tur (dan juga) nora (tidak) palacidra
(berkianat), marang (pada) saminipun (sesamanya). Yang kedua mantap
pikirannya, yang membaikkan dirinya, dan mengetahui (kedudukan)
dirinya, terhadap orang luhur dia merendahkan diri, dan juga tidak
berkianat kepada sesama.
Watak budi unggul yang kedua adalah mantap dalam pikiran, tidak mudah
goyah. Itulah yang akan membuat baik dirinya. Dia mengetahui
kedudukan dirinya sehingga bisa menempatkan diri. Terhadap orang luhur
dia merendahkan diri. Dan juga tidak berwatak kianat terhadap sesama
manusia.
Dene (adapun) tandha (tanda) kaping tiga (yang ketiga), iya (yaitu)
karem gemar) wong (orang) iku (itu) panggawe (perbuatan) becik (baik),
nyimpang (menyingkir) panggawe (perbuatan) ala (buruk). Adapun tanda
yang ketiga yaitu gemar orang itu pada perbuatan baik, menyingkir dari
perbuatan buruk.
Tanda-tanda ketiga dari orang yang berbudi unggul adalah orang itu gemar
melakukan perbuatan baik, dan menjauh dari perbuatan buruk. Tanda
ketiga ini gampang dikenali oleh karena yang baik dan yang buruk sangat
kasat mata.
Tandha (tanda) ping pat (keempat) jatmika (tenang) ing (dalam) budi
(budi). Tanda keempat tenang dalam budi.
Jatmika artinya tenang dan halus budinya. Tidak tergesa-gesa, tidak
berangasan, tidak meledak-ledak. Tidak mengungkapkan perasaan dengan
meluap-luap. Tenang, lembut, halus dan pelan, dalam perkataan maupun
perbuatan.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 15 Momot (memuat) ujar (perkataan) tandha (tanda) kaping lima (yang
kelima), ngucap (berkata) barang (semua) pangucape (perkataannya),
sarta (disetai) kalawan (dengan) ngelmu (ilmu). Memuat perkataan tanda
yang kelima, berkata semua perkataannya disertai dengan ilmu.
Momot ujar artinya semua perkataannya berbobot. Bukan omong kosong,
bukan hayalan atau kebohongan. Semua yang dikatakannya menpunyai
dasar ilmu yang kuat sehingga yang disampaikan adalah kebenaran. Bukan
duga-duga atau angan-angannya sendiri.
Tandha (tanda) ping nem (keenam) karem (gemar) amikir berpikir),
tansah (selalu) maca (membaca) istikpar (istighfar), eling (ingat)
uripipun (hidupnya), lamun (kalau) awekasana (akhirnya) pejah (mati).
Tanda yang keenam gemar berpikir, selalu membaca istighfar, ingat
hidupnya kalau akhirnya mati.
Tanya yang keenam adalah gemar berpikir tentang kehidupan. Selalu
istighfar, ingat bahwa hidupnya akan berakhir dengan kematian. Orang
yang selalu ingat mati akan senantiasa memperbaiki kualitas hidupnya,
demi kehidupan lebih baik di alam mendatang (akhirat).
Kaping pitu (ketujuh) kalamun (kalu) nandhang (mengalami) prihatin
(derita), panrimaning (menerima sebagai) nugraha (anugrah). Ketujuh
kalau mengalami prihatin, menerimanya sebagai anugrah.
Tanda yang ketujuh dari orang yang unggul budi, bila mengalami derita
dia menerimanya sebagai anugrah dari Tuhan. Tidak berkurang rasa
syukurnya dan tidak pula menghujat kepada sang Pencipta.
Nuh ilang (lalu hilang) denira (dalam dia) prihatin (menderita), dene
(adapun) linimput (tertutup) ing (oleh) panarima (rasa menerima), lan
(dan) andhap asor (rendah hati) ambeke (wataknya), wus (sudah) jangkep
(lengkap) kaping (yang ke) pitu (tujuh). Lalu hilang rasa derita, karena
tertutup oleh rasa menerima dan watak rendah hatinya, sudah lengkap
yang ketujuh.
Rasa menerima dan menganggap setiap derita sebagai anugrah dari Tuhan
akan menghilangkan beban deritanya. Segala derita tertutup oleh rasa
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 16 menerima dan watak rendah hatinya tersebut. Sudah lengkap watak budi
unggul dari manusia. Sekarang kita lanjutkan tentan tujuh watak buruk
dari orang yang kurang budi.
Budi (budi) ala (buruk) ginoncang (dihentakkan) eblis (Iblis), iya (juga)
pitung (tujuh) prakara (perkara), dene (Adapun) kang (yang) rumuhun
(dulu, pertama), dhemene (sukanya) anganiaya (menganiaya), yen (kalu)
angucap (berucap) wong (orang) iku (itu) adoh (jauh) lan (dengan)
ngelmi (ilmu), sembrana (sembrono) amrih (mengharap) cacad (cela).
Budi buruk yang dihentakkan Iblis, juga tujuh perkata, adapun yang
pertama sukanya menganiaya, kalau berucap orang itu jauh dari ilmu,
sembrono mengharap cela (orang lain).
Sebagai kebalikan dari tujuh kebaikan tadi, ada pula watak dari budi buruk
yang juga tujuh perkara. Berhati-hatilah karena Iblis selalu menghentakkan
watak buruk itu ke sanubari anak manusia. Adapun yang pertama dari budi
buruk itu adalah suka menganiaya dengan perkataan. Kalau berkata jauh
dari ilmu, sembarangan berucap yang tujuannya mengharap cela. Orang
Jawa bisaya menyebut kata nyacad atau mencari-cari cela orang lain.
Kapindhone (yang keduanya) digumunggung (menganggap besar) dhiri
(diri sendiri), nora (tidak) dhemen (gemar) apawongsanakan (berteman),
manawa (kalau) asor (rendah) dheweke (derajatnya). Yang kedua
menganggap besar diri sendiri, tidak gemar berteman kalau rendah
derajatnya.
Watak kurang budi yang kedua adalah menganggap besar diri sendiri.
Orang yang demikian takkan berteman dengan orang lain, yang
dianggapnya lebih rendah derajatnya.
Dene (adapun) kang (yang) kaping telu (ketiga), tatakrama (tatakrama)
den orak-arik (obrak-abrik). Yang ketiga, tatakrama diobrak-abri.
Tatakrama merupakan kumpulan tatacara bergaul dan bermasyarakat.
Orang yang mengabaikan tatakrama berarti enggan untuk bergaul menyatu
dalam masyarakat. Suka memakai aturan sendiri. Tidak peduli dengan
aturan orang banyak. Pada akhirnya pasti kurang rasa empati dan
persaudaraannya. Maunya menang sendiri.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 17 Ingkang (yang) kaping sakawan (keempat), kereng (pemarah) sarta
(serta) lengus (sensitif). Yang keempat pemarah serta sensitif.
Kereng artinya mudah marah, sedikit perkata bisa menjadi persoalan besar.
Tidak punya hati yang luas untuk menampung kelemahan orang lain.
Hatinya jauh dari pemaaf. Sama halnya dengan lengus atau gampang
sekali tersinggung. Egonya terlalu besar sehingga menenpatkan diri
sebagai selalu dalam pusat perhatian. Jika kehendaknya tak mendapat
tanggapan dia marah.
Ping lima (yang kelima) jail (jahil) wadulan (tukang mengadu). Yang
kelima jahil dan tukang mengadu.
Jahil kalau melihat orang lain rukun, lalu mencari cara agar orang lain
bertengkar. Mengadu kalau si A ngomong begini, sehingga membuat si B
tersinggung. Padahal yang diomongkan tidak terlalu penting dibahas.
Tujuannya memang hanya agar orang saling benci dan kemudian
bertengkar.
Kaping neme (yang keenamnya) angumpet (menyembunyikan) panggawe
(perbuatan) becik (baik). Yang keenamnya menyembunyikan perbuatan
baik.
Kalau ada orang lain berbuat baik dia berusaha menyembunyikan, agar
orang tersebut tidak mendapat penghargaan. Perilaku seperti ini biasanya
dilengkapi perilaku lain, suka mengabarkan perbuatan buruk orang lain.
Dene (adapun) kang (yang) kaping sapta (ketujuh), nora (tidak) sabar
(sabar) katekan (tertimpa) bilai (bencana). Adapun yang ketujuh tidak
sabar ketika tertimpa bencana.
Watak kurang budi yang terakhir adalah tidak sabar ketika tertimpa
bencana. Watak orang seperti ini suka menyalahkan Tuhan atas nasib
buruknya. Padahal yang namanya orang hidup itu selalu bergantian
mengalami suka dan duka, susah dan senang, bahagia dan menderita.
Ketika keadaan baik dia lupa, ketika keadaan buruk dia mencari kambing
hitam. Dia lupa bahwa antara keduanya selalu dipergilirkan.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 18 Pan wus (sudah) jangkep (lengkap) kang (yang) sapta (tujuh) prakara
(perkara), iku (itu) pancabaya (marabahaya) gedhe (besar), rasakna
(rasakan) putraningsun (anakku), marang (pada) kojah (perkataan) kang
(yang) wuri-wuri (dulu-dulu). Sudah lengkap yang tujuh perkara, itu
marabahaya besar, rasakan anakku, pada perkataan yang dulu-dulu.
Sudah lengkap uraian tentang tujuh perkara dari orang yang kurang budi.
Itu semua marabahaya besar bagi hidupmu. Rasakan, anakku, perkataan
orang dulu-dulu.
Kalamun (kalau) sira (engkau) bisa (bisa), matrapken (melaksanakan,
menerapkan) pitutur (nasihat), kang (yang) wus (sudah) kasebut (disebut)
ing (di) ngarsa (depan), iku (itu) badan (diri) umarek (mendekat) mring
(kepada) Mahasukci (Yang Maha Suci), sarta (serta) lawan (dan)
nugraha (anugrah). Kalau engkau bisa menerapkan nasihat yang sudah
disebut di depan, itu diri mendekat kepada Tuhan Yang Maha Suci, dan
dengan anugrah.
Kalau engkau bisa melaksanakan nasihat di depan engkau akan mendekat
kepada Tuhan Yang Maha Suci, juga akan mendekatkan kepada
anugrahNya.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 19
Kajian Nitiprana (13-14): Eklasna Ninggal Kang Ala
Pada 13 sampai 14, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Utamane kalakuwan iki, lakonana samubarang karya, kukuhana ing becike, kang tega tinggal luput, kencengana benerireki. Den kukuh aywa kongkah, kang supaya bakuh, eklasna ninggal kang ala, lire ala ingkang tinggal saking becik. Becik iku raharja, arja jaya pan aja gumingsir. Singkirena ati kang belasar, dimen adoh sar besare, sasare ing panemu. Panemune wong ahli ngelmi, akeh kang matekena, marang badanipun, iku ngelmuning gupala. Nora wande yen kekel aneng yumani, tingal mati tan awas.
Kajian per kata:
Utamane (utamanya) kalakuwan (perbuatan) iki (ini, itu), lakonana
(lakukanlah) samubarang (sembarang) karya (pekerjaan), kukuhana
(kuatkanlah) ing (pada) becike (kebaikannya), kang (yang) tega (tega)
tinggal (meningglkan) luput (kesalahan), kencengana (berusah keraslah)
benerireki (pada yang benar). Utamanya perbuatan itu, lakukan pada
sembarang pekerjaan, kuatkanlah pada kebaikannya, yang tega
meninggalkan kesalahan.
Yang utama dari perbuatan itu, kalau dilakukan semua pekerjaan yang
baik. Kuatkanlah pada kebaikan-kebaikan, dan tegalah untuk
meninggalkan yang salah. Jangan merasa sayang kalau harus
meninggalkan perbuatan yang salah. Hati harus kuat menahan godaan.
Den kukuh (yang kuat) aywa (jangan) kongkah (tergeser), kang (yang)
supaya (supaya) bakuh (kuat), eklasna (ikhlaskan) ninggal
(meninggalkan) kang (yang) ala (buruk), lire (artinya) ala (buruk)
ingkang (yang) tinggal (meninggalkan) saking (dari) becik (baik). Yang
kuat jangan tergeser, yang supaya kuat, ikhlaskan meninggalkan yang
buruk, artinya yang meninggalkan dari yang baik.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 20 Yang kuat jangan sampai tergeser. Supaya kuat hati harus ikhlas
meninggalkan yang buruk. Yang disebut buruk artinya segala hal yang
menjauhkan dari kebaikan.
Becik (baik) iku (itu) raharja (sejahtera), arja (sejatera) jaya (menang)
pan (sungguh) aja (jangan) gumingsir (bergeser). Baik itu sejahtera,
sejahtera itu menang, sungguh jangan bergeser.
Baik itu wataknya membuat sejahtera, sejahteta dan menang. Maka
sungguh jangan sampai tergeser. Kuatlah!
Singkirena (singkirilah) ati (hati) kang (yang) belasar (sesat), dimen
(agar) adoh (jauh) sar besare (sesat-sesatnya), sasare (sesat) ing (dalam)
panemu (pendapat), panemune (pendapatnya) wong (orang) ahli (ahli)
ngelmi (ilmu). Singkirilah yang sesat, agar jauh sesat-sesatnya, sesat
dalam pendapat, pendapatnya orang ahli ilmu.
Singkirilah hati yang sesat, agar jauh dari kesesatan, yang sesesat-
sesatnya. Sesat dari pendapat para ahli ilmu, yang benar-benar mengetahui
antara yang benar dan yang sesat.
Akeh (banyak) kang (yang) matekena (mematikan), marang (pada)
badanipun (dirinya), iku (iku) ngelmuning (ilmu dari) gupala (arca).
Banyak orang mematikan dirinya, itu ilmu dari arca.
Banyak orang mematikan dirinya sendiri, itu ilmu dari arca. Karena
kesesatannya orang melakukan perbuatan yang dikiranya baik, padahal
malah mematikan dirinya sendiri. Itulah ilmu sesat, seperti bukan ajaran
para manusia, ilmunya patung dan arca.
Nora (tidak) wande (urung) yen (kalau) kekel (kekal) aneng (di) yumani
(yamani, neraka), tingal (penglihatan) mati (mati) tan (tak) awas (awas).
Tak urung kalau kekal di neraka, penglihatan mati tak awas.
Orang seperti itu tak urung akan kekal tinggal di neraka, karena
penglihatannya mati sehingga tak awas. Tak sanggup membedakan yang
benar dan yang sesat. Yumani atau yamani adalah tempat milik Bathara
Yama dalam pewayangan, tempat untuk menghukum para pendosa. Nama
lainnya adalah neraka.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 21
Kajian Nitiprana (15-16): Amung Rila Mring Hyang Maha Sukci
Pada 15 sampai 16, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Sira kaki dipun ngati-ati, ing nganane ngelmu den waspada, den terus lawan dalile, miwah Kadising Rasul. Den nastiti dipun methuki, marang para Utusan, samudayanipun, apa kang winartakena. Sayektine kabar iku nora kidip, yekti sangking Hyang Sukma. Wong kang sampun binuka ing ngelmi, datan ana ingkang kinareman, amung madhep ing nguripe. Ngreksa sakehing lacut, laku sabar madhep ing Gusti, tan arsa dhinginana, karsaning Hyang Agung. Tan duwe daya-upaya, amung rila mring Hyang ingkang Maha Sukci, iku tekad kang nyata.
Kajian per kata:
Sira (engkau) kaki (anakku) dipun ngati-ati (yang hati-hati), ing (di)
nganane (kanannya) ngelmu (ilmu) den waspada (yang waspada), den
terus (diteruskan) lawan (dengan) dalile (dalilnya), miwah (serta)
kadising (hadits dari) Rasul (Rasul). Engkau anakku yang hati-hati, di
kanan dari ilmu yang waspada, diteruskan dengan dalil (al Qur’an), serta
hadits dari Rasul.
Engkau anakku, yang waspada. Selain dari ilmu ajaran para sarjana
kebaikan tadi, dampingilah di kanannya dengan kewaspadaan. Lalu,
teruskan dengan mempelajai dalil dari Al Qur’an, serta hadits Rasul.
Den nastiti (yang teliti) dipun methuki (ditemukan), marang (pada) para
(para) utusan (utusan), samudayanipun (semua), apa (apa) kang (yang)
winartakena (diberitakan). Yang teliti dan temukan, pada para utusan,
semua apa yang diberitakan.
Yang teliti dalam mempelajari isi dari dalil Al Qur’an dan Hadits itu.
Temukan maknanya dari apa-apa yang diberitakan di dalamnya.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 22 Sayektine (sesungguhnya) kabar (kabar) iku (itu) nora (tidak) kidip
(kidzib, bohong), yekti (sungguh) sangking (dari) Hyang (Tuhan) Sukma
(Maha Suci). Sesungguhnya kabar itu tidak bohong, sungguh dari Tuhan
Yang Maha Suci.
Sungguh apa-apa yang ada di dalam a’ Qur’an dan Hadits itu tidak
bohong. Semuanya berasal dari perintah Tuhan Yang Maha Suci. Kidib
dari kata Arab kidzib, yang artinya bohong.
Wong (orang) kang (yang) sampun (sudah) binuka (dibuka) ing (dengan)
ngelmi (ilmu), datan (tidak) ana (ada) ingkang (yang) kinareman
(digemari), amung (hanya) madhep (mantap menghadap) ing (dalam)
nguripe (hidupnya). Orang yang sudah dibuka dengan ilmu, tidak ada
yang digemari, hanya mantap menghadap did alam hidupnya.
Madhep maksudnya mantap menghadap kepada Tuhan. Itulah watak orang
yang telah dibuka oleh ilmu. Kegemarannya hanya pada hal-hal yang
sejati, tidak tertipu oleh fatamorgana dunia ini.
Ngreksa (menjaga) sakehing (segala) lacut (melantur), laku (berlaku)
sabar (sabar) madhep (menghadap) ing (pada) Gusti (Tuhan), tan (tak)
arsa (hendak) dhinginana (mendahului), karsaning (kehendak) Hyang
(Tuhan) Agung (Yang Maha Agung). Menjaga segala yang melantur,
berlaku sabar menghadap pada Tuhan Yang Maha Agung.
Menjaga diri dari segala hal yang melantur, berlebihan, pemborosan dan
sebagainya. Hanya berlaku sabar menghadap Tuhan Yang Maha Agung.
Tak hendak mendahului kehendaknya, hanya pasrah dan sumarah.
Tan (tak) duwe (punya) daya-upaya (daya-upaya), amung (hanya) rila
(ridha) mring (kepada) Hyang (Tuhan) ingkang (yang) Maha (Maha)
Sukci (Suci), iku (itulah) tekad (tekad) kang (yang) nyata (nyata). Tak
punya daya upaya, hanya ridha kepada Tuhan Yang Maha Suci, itulah
tekad yang nyata.
Tak punya daya-upaya yang lain dari yang dikehendakiNya. Hati hanya
ridha terhadap Tuhan Yang Maha Suci. Itulah tekad yang nyata, tekad
yang sejati.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 23
Kajian Nitiprana (17-18): Kamulyane Durung Karuwan
Pada 17 sampai 18, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Pan sanadyan wus kadya punapi, kamulyane pan durung karuwan, mamasih pasrah mring kang gawe. Yen wis sawise durung, lah ta embuh rasan puniki, yen sira tinarbuka, yekti sira nggayuh. Kalamun tinarbukaa, yekti bingung pengung mengeng bibingungi, bingung kang sampun ngongang. Lire ngongang bingung meneng kaki, saking jroning tekad ingkang ekak, sira aja gumangluweh. Yen sira gelem laku, amartapa laku kang becik, bok manawa ta sira, tinarbukeng kawruh, iku ijeh bokmanawa. Nanging uga lakonana ingkang margi, sarta palaling Suksma.
Kajian per kata:
Dalam bait yang lalu kita dihimbau untuk pasrah atas segala kehendakNya.
Tidak boleh kita mendahului. Semua daya upaya ditiadakan. Mengapa
demikian?
Pan (sungguh) sanadyan (walau) wus (sudah) kadya (seperti) punapi
(apa), kamulyane (kemuliaannya) pan (sungguh) durung (belum)
karuwan (tentu), mamasih (masih) pasrah (pasrah) mring (kepada) kang
(yang) gawe (membuat). Walaupun sudah seperti apa, kemuliaan belum
tentu (kita dapat), masih pasrah kepada yang membuat (hidup).
Karena walau kita sudah berupaya untuk mencapai kebaikan,
bagaimanapun usaha kita, kebahagiaan belum tentu kita peroleh. Semua
masih bergantung kepada yang membuat kehidupan (Tuhan YME).
Yen (kalau) wis (sudah) sawise (setelah) durung (belum), lah ta (la)
embuh (tak tahu) rasan (rasa) puniki (ini), yen (kalau) sira (engkau)
tinarbuka (terbuka), yekti (sungguh) sira (engkau) nggayuh (mencapai).
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 24 Kalau sudah setelah belum, tak tahulah rasa ini, kalau engkau terbuka,
sungguh engkau mencapai.
Kalau sudah pasrah setelah sebelumnya belum, maka tak tahulah rasanya.
Kalau engkau terbuka hatimu kelak maka pasti akan mencapainya.
Kalamun (kalau) tinarbukaa (terbukapun), yekti (sungguh) bingung
(bingung) pengung (bodoh) mengeng (menoleh) bibingungi (bingung
sendiri), bingung (bingung) kang (yang) sampun (sudah) ngongang
(melongok). Kalau terbukapun sungguh bingung bodoh menoleh bingung
sendiri, bingung yang sudah melongok.
Kalaupun hatimu telah terbukapun (sekarang), sungguh bingung seperti
orang bodoh menolah-noleh. Bingung karena sudah melongok, melihat
apa yang sebenarnya belum berhak engkau melihatnya. Pengetahuanmu
belum sampai untuk memahaminya.
Lire (arti) ngongang (melongok) bingung (bingung) meneng (diam) kaki
(anakku), saking (dari) jroning (dalam) tekad (tekad) ingkang (yang)
ekak (haq, benar), sira (engkau) aja (jangan) gumang (ragu) luweh
(menyepelekan). Artinya melongok bingung diam anakku, dari dalam
tekad yang benar, engkau jangan ragu dan menyepelekan.
Artinya ketika melongok engkau akan bingung, karena sebenarnya itu
hanya bisa dilihat dengan tekad yang benar. Tidak bisa dilakukan dengan
nggege mangsa, atau mendahului proses. Engkau jangan ragu dan
menyepelekan laku.
Yen (kalau) sira (engkau) gelem (mau) laku (melaksanakan), amartapa
(bertapa) laku (laku) kang (yang) becik (baik), bok manawa (barangkali)
ta sira (engkau), tinarbukeng (terbuka dalam) kawruh (pengetahuan), iku
(itu pun) ijeh (masih) bokmanawa (barangkali). Kalau engkau mau
melaksanakan, bertapa dengan laku yang baik, barangkali engkau terbuka
dalam pengetahuan, itupun masih barangkali.
Karena itu kalau memang mau melaksanakan, lakukan bertapa dengan
laku yang baik. Barangkali nanti akan terbuka bagimu pengetahuan. Itupun
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 25 masih berupa kemungkinan, yang hasilnya akan ditentukan oleh
kesungguhanmu dalam menjalani laku tersebut.
Nanging (tetapi) uga (juga) lakonana (lakukanlah) ingkang margi
(jalannya, sarta (disertai) palaling (kemurahan dari) Suksma (Tuhan
Maha Suci). Namun juga tetap lakukanlah jalannya, dengan kemurahan
dari Tuhan Yang Maha Suci.
Namun walau semua masih berupa kemungkinan janganlah kendor dalam
melaksanakan. Tetap lakukanlah menempuh jalan itu disertai dengan
kemurahan dari Tuhan Yang Maha Suci.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 26
Kajian Nitiprana (19-21): Aywa Purun Tampi Riba
Pada 19 sampai 21, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Antepana denira ngabekti, miwah pasa ing sakira-kira, lungguh pitekur lan melek. Kibir sumungah ujub, iya iku utangen kaki, adohna kang ngatebah, drubiksa tetelu, iku panggodhaning manah. Yeku angel pambuwange iku kaki, kudu kraket kewala. Iku ingkang ngalingi ing gaib, jare Kitab Sipatul Ngulaka, iku kijab ingkang gedhe. Lan malih aywa purun, tampi riba marang sasami, yen dhemen tampa riba, marakake kuwur, ngangelake ing sakarat, jroning pati dunya riba memetengi, lah padha rasakena. Jroning pati riba kang malangi, nyirnakake ati ingkang padhang, bingung-bingung pagrasane, riwut-riwet tyas kuwur. Yuwanane lumayu gendring, tan gepokan senggolan, tan ana kang tulung. Pramila dipun prayitna, supayane ing pati nemu patitis, tetepna atinira.
Kajian per kata:
Antepana (mantapkan) denira (dalam engkau) ngabekti (mengabdi,
beribadah), miwah (serta) pasa (puasa) ing (di) sakira-kira (di waktu yang
sesuai), lungguh (duduk) pitekur (tafakur) lan (dan) melek (berjaga).
Mantapkan dalam engkau beribadah, serta lakukan puasa di waktu yang
sesuai, duduk tafakur dan berjaga.
Ini merupakan anjuran laku pemuliaan diri yang populer di kalangan orang
Jawa. Yang pertama puasa, yang maknanya mencegah makan dan
mengekang diri dari pemuasan hawa nafsu. Yang kedua berjaga atau
mencegah tidur, yang dapat diisi dengan tafakur, bermuhasabah atau
mengingat mati. Kedua laku yang sering disebut dengan cegah dhahar lan
guling itu sangat dianjurkan oleh para leluhur tanah Jawa. Sering pula
dipakai sebagai pendamping dari setiap permohonan kepada Tuhan. Bagi
orang Jawa meminta tak cukup hanya dengan berdoa, tetapi harus disertai
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 27 pula dengan laku. Cegah dhahar lan guling adalah laku pendamping yang
sangat dianjurkan jika kita mempunyai cita-cita.
Kibir (kibir) sumungah (sum’ah) ujub (ujub), iya iku (yang itu) utangen
kaki (anakku), adohna (jauhkan) kang (yang) ngatebah (jauh), drubiksa
(dedemit) tetelu (yang tiga), iku (itu) panggodhaning (penggoda dari)
manah (hati). Kibir, sum’ah dan ujub, yang itu jauhilah anakku, jauhkan
yang jauh dedemit yang tiga itu penggoda dari hati.
Kibir atau merasa diri besar, istilah Jawanya anggunggung dhiri adalah
perasaan lebih baik daripada orang lain. Sum’ah adalah perasaan suka bila
perbuatan baiknya dibicarakan orang, menjadi viral dan heboh. Riya’
adalah suka bila perbuatan baiknya dilihat orang. Ketiga sifat itu bukan
berasal dari perbuatan buruk, tetap menimbulkan keburukan bagi diri.
Ketiga hal itu laksana dedemit yang pantas dijauhkan sejauh-jauhnya dari
diri kita. Karena menjadi penggoda hati, membuat hati tidak mantap dalam
berbakti kepada Allah SWT.
Yeku (yang seperti itu) angel (sulit) pambuwange (membuangnya) iku
(itu) kaki (anakku), kudu (harus, inginnya) kraket (menempel) kewala
(saja). Yang seperti itu sulit membuangnya, anakku, inginnya menempel
saja.
Tiga hal itu adalah sesuatu yang sulit dibuang, selalu menggoda hati
manusia. Tiga watak yang ingin selalu menempel di hati dan sulit
dihindari.
Iku (itu) ingkang (yang) ngalingi (menghalangi) ing (pada) gaib (gaib),
jare (menurut) Kitab (kitab) Sipatul (sifatul) Ngulaka (‘ulaka), iku (itu)
kijab (penghalang) ingkang (yang) gedhe (besar). Itu yang menghalangi
pada yang gaib, menurut kitab Sifatul ‘Ulaka itu merupakan penghalang
yang besar.
Bagi seorang muslim iman kepada yang ghaib merupakan rukun agama.
Yakni iman kepada Allah, kepada para malaikat dan kepada hari akhir.
Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bagi seorang muslim untuk
berhubungan dengan yang ghaib. Namun ketiga hal tadi menjadi
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 28 penghalang antara kita dan yang ghaib. Bahkan di dalam kitab Sifatul
‘Ulaka disebutkan bahwa ketiganya merupakan penghalang yang besar.
Lan (dan) malih (lagi) aywa (jangan) purun (mau), tampi (menerima)
riba (riba) marang (pada) sasami (sesama), yen (kalau) dhemen (gemar)
tampa (menerima) riba (riba), marakake (membuat) kuwur (kacau),
ngangelake (menyulitkan) ing (pada) sakarat (sakaratul maut). Dan lagi
jangan mau menerima tiba pada sesama, kalau gemar menerima riba
membuat kacau, menyulitkan sakaratul maut.
Dan lagi jangan menerima riba. Riba adalah transaksi yang dilarang dalam
agama Islam. Macam-macam riba dapat dilihat di dalam kitab-kitab fikih.
Di sini kami takkan menguraikan lebih jauh tentang ini. Bahwasanya riba
membuat pikiran jadi kacau, juga kelak menyulitkan di saat sakaratul
maut.
Jroning (dalam) pati (kematian) dunya (dunia) riba (riba) memetengi
(membuat gelap), lah (nah) padha (semua) rasakena (rasakanlah). Di
dalam dunia kematian riba membuat gelap, nah semua rasakanlah.
Di dalam dunia kematian atau alam kubur riba ini membuat gelap. Kelak
kita menjalani masa penantian di alam kubur dalam keadaan gelap gulita
karena riba. Sungguh tidak sepadan antara hasil riba dan akibat yang
ditimbulkannya. Maka rasakanlah di hati, dan jauhilah.
Jroning (di dalam) pati (kematian) riba (riba) kang (yang) malangi
(menghalangi), nyirnakake (menghilangkan) ati (hati) ingkang (yang)
padhang (terang), bingung-bingung (kebingunan) pagrasane
(perasaannya), riwut-riwet (serba ruwet) tyas (hati) kuwur (kacau). Di
dalam kematian riba menghalangi, menghilangkan hati yang terang,
kebingunan perasaannya, serba ruwet hati kacau.
Selain kuburnya gelap hatinya pun gelap. Gelapnya berlapis-lapis. Serba
bingung perasaannya. Hati menjadi kacau balau.
Yuwanane (keselamatan) lumayu (lari) gendring (ngacir), tan (tak)
gepokan (menyentuh) senggolan (bersenggolan), tan (tak) ana (ada) kang
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 29 (yang) tulung (menolong). Keselamatan lari ngacir, tak mau menyentuh
bersenggolan, tak ada yang menolong.
Keselamatan lari menjauh, yang tertinggal adalah kesengsaraan. Menjalani
kehidupan di alam kubur dengan kesepian. Tak ada amal baik yang
menemani. Tak ada yang menolong karena penolongnya tak ada. Harta
yang diribakan telah habis di dunia. Sedang untuk akhirat tak ada sisa. Tak
ada lagi yang membela di alam kubur. Itulah akibat riba.
Pramila (maka) dipun prayitna (yang waspada), supayane (supaya) ing
(dalam) pati (kematian) nemu (menemui) patitis (yang tepat), tetepna
(tetapkan) atinira (hatimu). Maka yang waspada supaya dalam kematian
menemui kematian yang tepat, tetapkan hatimu.
Berhati-hatilah dalam kehidupan dunia sekarang. Yang waspada agar
kelak menemui kematian yang tepat, tidak salah pilih jalan. Tetapkan
hatimu untuk menjauhi riba.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 30
Kajian Nitiprana (22-25): Lumawan Nafsu Tetiga
Pada 22 sampai 25, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Pranatanen lumunturing ati, lunturena pranatan kang nyata, dimen titi trang driyane. Yen uwis terang terus, aneratas paraning pati, tatanen ingkang tata, den awas pandulu, dulunen kang Maha Mulya. Nirna prana ilangna kang ngaling-aling, lolosen kari nyawa. Pituturnya pratelaning pati, iya ora kena digagampang, pan luwih abot sarate, sarate amung kawruh. Kudu ngesthi raina wengi, nundhung marang drubiksa. Luamah linarung, kamurkan dene oprak-oprak. Mutmainah den tetep dipun antepi, napsu tiga linawan. Apa margane bisa linuwih, maksih ngumbar nepsu tri prakara, drengki kiyanat panasten. Tan bisa nyegah napsu, luamahe den urip-urip, amarah den kukudang, supiyah den ugung. Pramila alane dadra, dedel dadi tuduh marga kang tan becik, becike wus kalingan. Akalingan napsu kang mrih lali. Coba napsu kang ala linawan, den mungsuhi sabenere, sayekti lamun lebur, bubar kuwur amorat marit. Ingkang kinarya pedhang, pangarepe ngelmu, panahe budi raharja, pinayungan tawekal maju ngajurit, yekti sirna kang ala.
Kajian per kata:
Pranatanen (aturlah) lumunturing (turunnya dalam) ati (hati), lunturena
(turunkanlah) pranatan (aturan) kang (yang) nyata (nyata), dimen (agar)
titi (teliti) trang (terang) driyane (hatinya). Aturlah turunnya dalam hati,
turunkanlah aturan yang nyata, agar teliti terang hatinya.
Aturlah turunnya dalam hati, turunkanlah aturan yang nyata. Yang
dimaksud adalah turunnya aturan yang mampu melatih hati agar selalu
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 31 mantap menghadap Tuhan. Agar teliti dalam menjalani dan terang dalam
hati, jalan yang hendak ditempuh.
Yen (kalau) uwis (sudah) terang (terang) terus (terus), aneratas
(menerobos) paraning (tujuan) pati (mati), tatanen (tatalah) ingkang
(yang) tata (tertata), den awas (yang awas) pandulu (penglihatan),
dulunen (lihatlah) kang (yang) Maha (Maha) Mulya (Mulia). Kalau
sudah teran terus menerobos tujuan mati, tatalah yang tertata, yang awas
penglihatan, lihatlah yang Maha Mulia.
Kalau hati sudah terang, artinya sudah tidak ada keraguan lagi, pasti
penglihatannya awas. Pasti mampu melihat (menerobos) pada tujuan
kematian. Pasti mampu melihat Tuhan Yang Maha mulia.
Nirna (hilangkan) prana (hati) ilangna (hilangkan) kang (yang) ngaling-
aling (menghalangi), lolosen (hilangkan semua) kari (tinggal) nyawa
(nyawa). Hilangkan hati, hilangkan dari yang menghalangi, hilangkan
semua tinggal nyawa.
Hilangkan dalam hati, segala yang menghalangi. Hilangkan semua
penghalang itu, hingga hanya tinggal nyawamu yang tersisa.
Pituturnya (nasihatnya) pratelaning (pernyataan dari) pati (kematian), iya
(juga) ora (tidak) kena (bisa) digagampang (dianggap gampang), pan
(sungguh) luwih (lebih) abot (berat) sarate (syaratnya), sarate (syaratnya)
amung (hanya) kawruh (pengetahuan). Nasihat pernyataan dari kematian
juga tidak bisa dianggap gampang, sungguh lebih berat syaratnya,
syaratnya hanya pengetahuan.
Nasihat tentang kematian tidak bisa dianggap gampang. Sungguh lebih
berat syaratnya. Sesungguhnya syarat itu hanya pengetahuan. Namun jalan
mencapainya tidaklah mudah.
Kudu (harus) ngesthi (memikirkan) raina (siang) wengi (malam),
nundhung (mengusir) marang (pada) drubiksa (dedemit). Harus
memikirkan siang malam mengusir dedemit.
Harus siang malam selalu memikirkan dalam angan-angan, fokus pada
prioritas mengusir dedemit (drubiksa). Yakni gangguan dari yang ghaib,
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 32 alam yang tak tampak pada diri kita. Dedemit itu merupakan penggoda
hati.
Luamah (nafsu aluamah) linarung (dibuang ke laut), kamurkan
(keserakahan) dene (di) oprak-oprak (kejar-kejar). Nafsu aluamah
dibuang ke laut, keserakahan dikejar-kejar.
Nafsu aluamah adalah nafsu memuaskan diri. Istilah ini bagi orang Jawa
berarti nafsu makan atau sejenisnya yang tak bisa berhenti. nafsu ini
menimbulkan sifat murka atau serakah. Maka untuk menghilangkan jauh-
jauh nafsu aluamah, keserakahan harus ditumpas. Di oprak-oprak artinya
dikerjar sampai ketemu, kemudian dimusnahkan.
Mutmainah (Nafsu mutmainah) den tetep (tetap) dipun antepi
(dimantapkan), napsu (nafsu) tiga (tiga) linawan (dilawan). Nafsu
mutmainah tetap dimantapkan, nafsu tiga dilawan.
Sebaliknya nafsu mutmainah, atau jiwa yang tenang harus diupayakan
agar terus menetap dalam hati, untuk melawan nafsu yang tiga.
Apa (apa) margane (jalannya, sebabnya) bisa (bisa) linuwih (unggul),
maksih (masih) ngumbar (mengummbar) nepsu (nafsu) tri (tiga) prakara
(perkara), drengki (dengki) kiyanat (kianat) panasten (panas hati). Apa
sebabnya bisa unggul, (kalau) masih mengumbar nafsu tiga perkata,
dengki, kianat dan panasten.
Bagaimana bisa unggul kalau masih memelihara nafsu yang tiga perkara;
drengki, kianat dan panas hati. drengki atau dengki adalah perasaan tidak
senang kalau orang lain mendapat anugrah, dan perasaan senang kalau
orang lain mendapat celaka. Kianat adalah perbuatan menusuk dari
belakang. Dan panasten adalah sifat mudah marah dan tersinggung. Ketiga
perkara ini harus dihilangkan dari diri agar nafsu mutmainah mendapat
kemenangan.
Tan (tak) bisa (bisa) nyegah (mencegah) napsu (nafsu), luamahe
(aluamahnya) den urip-urip (dihidupkan), amarah (amarah) den
kukudang (timang-timang), supiyah (sufiyah) den ugung (dimanjakan).
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 33 Tak bisa mencegah nafsu, aluamah dihidup-hidupkan, amarah ditimang-
timang, sufiyah di manjakan.
Kalau tidak bisa mencegah yang tiga perkara tadi maka seolah-olah nafsu
aluamah dihidup-hidupkan olehnya sendiri, nafsu amarah ditimang-timang
dan nafsu sufiyah dimanjakan.
Kita perlu mengetahui secar singkat yang dimaksud dengan tiga nafsu di
atas; nafsu sufiyah, nafsu luamah dan nafsu amarah.
Dalam Suluk Residriya disebutkan bahwa nafsu supiyah tempatnya ada di
dalam hati fuad, yakni akal budi. Fuad adalah istilah dalam bahasa Arab
yang kalau dalam bahasa Jawa disebut budi. Budi ini tugasnya mengamati,
memikirkan, mengatur perilaku manusia.
Nafsu luamah atau aluamah berasal dari kata Arab binafsilawamah,
artinya nafsu yang menyesali diri. Disebut demikian karena nafsu
luwamah ini selalu hadir manakala manusia berbuat yang bertentangan
dengan hati nurani atau nafsu mutmainah. Dalam budaya Jawa nafsu
luamah atau aluamah ini dipakai untuk menyebut nafsu yang tidak pernah
puas. Kalau seseorang ingin makan saja, setelah makan masih ingin makan
lagi dan lagi, disebut sedang dikuasai nafsu luamah. Dari segi bahasa
memang tidak tepat, tetapi karena sudah menjadi istilah bahasa Jawa
artinya memang seperti itu.
Nafsu amarah dari istilah Arab amarah bil su’, artinya nafsu yang
menyuruh berbuat kerusakan. Orang yang dikuasai nafsu amarah
cenderung ingin mengamuk dan merusak.
Pramila (maka) alane (keburukannya) dadra (menjadi-jadi), dedel (naik)
dadi (menjadi) tuduh (penunjuk) marga (jalan) kang (yang) tan (tak)
becik (baik), becike (kebaikannya) wus (sudah) kalingan (terhalang).
Maka keburukannya menjadi-jadi, naik menjadi penunjuk jalan yang tak
baik, kebaikannya sudah terhalang.
Maka dari itu keburukannya lalu semakin menjadi-jadi. Naik terus menjadi
penunjuk jalan ke arah tak baik. Kebaikannya tak tercapai, semakin
menjauh karena arah jalannya berlawanan.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 34 Akalingan (terhalang) napsu (nafsu) kang (yang) mrih (berupaya) lali
(agar lupa, melupakan). Terhalangan nafsu yang berupaya melupakan.
Tiga nafsu yang telah disebutkan tadi berusaha membawa manusia
terhalang kebaikan. Nafsu-nafsu itu terus berupaya agar manusia lupa.
Coba (cobalah) napsu (nafsu) kang (yang) ala (buiruk) linawan
(dilawan), den mungsuhi (dimusuhi) sabenere (sebenarnya), sayekti
(sungguh) lamun (kalau) lebur (lebur), bubar (bubar) kuwur (kacau)
amorat marit (morat-marit). Cobalah nafsu yang buruk itu dimusuhi
dengan sebenarnya, sungguh kalau akan lebur, bubar, kacau dan morat-
marit.
Cobalah dengan segala daya upaya, kita musuhi nafsu yang buruk itu
dengan sebenar-benarnya. Dengan mengerahkan segala kemampuan, hati
yang mantap dan tekad kuat. Niscaya akan bubar, kacau dan morat-marit.
Ingkang (yang) kinarya (dipakai) pedhang (pedang), pangarepe
(pemukanya) ngelmu (ilmu), panahe (panahnya) budi (budi) raharja
(selamat), pinayungan (dipayungi) tawekal (tawakal) maju (maju)
ngajurit (berperang), yekti (sungguh) sirna (musnah) kang (yang) ala
(buruk). Yang dipakai senjata, pemukanya ilmu, panahnya budi sejahtera,
dipayungi tawakal maju berperang, sungguh musnah yang buruk.
Dalam melawan nafsu tadi senjatanya ada di dalam diri. Pemimpin
perangnya ilmu, panahnya budi yang sejahtera, payungnya tawakal.
Sungguh bila ketiganya maju bersama-sama akan musnah keburukan.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 35
Kajian Nitiprana (26-28): Wong Sabar Nemu Raharja
Pada 26 sampai 28, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Ana maneh gegaman premati, sira aja dhemen kamelikan, kang ora sah ing kukume. Warise wong calimut, den kurangi ingkang rijeki, turune wong pitenah, cilakane muput, mendeng kasangsaranira. Beda lawan wong sabar tuwekal budi, nemu wirya raharja. Slamet iku mencaraken becik, becik iku anggawa mupangat, supangat nugraha gedhe, nugraha iku wahyu. Wahyu iku kang Maha Sukci, paring ing karilanan. Rilan ing Hyang Agung, patut iku den gungena. Paparinge Gusti ingkang den rilani, yeku sipate rahman. Rahman iku mencaraken eling, eling iku mencarken makripat, makripat sihing Gustine, Gusti kang Maha Agung. Lire Agung datanpa sami, mokal yen ana madha. Gusti Maha Luhur, kang darbeni sipat jamal, sipat kahar ingkang kapama sekali, pakartine buwana.
Kajian per kata:
Ana (ada) maneh (lagi) gegaman (senjata) premati (tepat), sira (engkau)
aja (jangan) dhemen (gemar) kamelikan (ingin memiliki), kang (yang)
ora (tidak) sah (sah) ing (dalam) kukume (hukum). Ada lagi senjata yang
tepat, engkau jangan gemar ingin memiliki yang tidak sah dalam hukum.
Tidak sah di sini maksudnya memiliki sesuatu dengan cara yang batil.
Kalau ingin memiliki harta misalnya, dia pakai cara yang tidak sah
menurut hukum, seperti mencuri, menipu, merampas dan sebagainya.
Warise (keturunan) wong (seorang) calimut (suka mencuri), den kurangi
(dikurangi) ingkang rijeki (rezekinya), turune (keturunan) wong (orang)
pitenah (menfitnah), cilakane (celakanya) muput (mentok), mendeng
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 36 (penuh) kasangsaranira (kesengsaraannya). Keturunan orang suka
mencuri akan berkurang rezekinya, keturunan orang memfitnah celakanya
mentok, penuh kesengsaraannya.
Akibat tak baik akan dituai oleh anak cucu. Keturunan orang yang climut
atau suka mencuri akan berkurang rezekinya, sulit dalam mencari rezeki.
Keturunan orang yang suka memfitnah akan celaka mentok seumur-umur
(muput), penuh kesengsaraan sepanjang hidupnya.
Beda (beda) lawan (dengan) wong (orang) sabar (sabar) tuwekal
(tawakal) budi (budinya), nemu (mendapat) wirya (mulia) raharja
(sejahtera). Beda dengan yang sabar tawakal dalam budi, mendapat mulia
sejahtera.
Beda dengan keturunan orang yang sabar dan tawakal dalam budi, kelak
akan mendapatkan kemuliaan dan kesejahteraan.
Slamet (selamat) iku (itu) mencaraken (memancarkan) becik (kebaikan),
becik (kebaikan) iku (itu) anggawa (membawa) mupangat (manfaat),
supangat (syafa’at) nugraha (anugrah) gedhe (besar), nugraha (anugrah)
iku (itu) wahyu (wahyu). Selamat itu membawa memancarkan kebaikan,
kebaikan membawa manfaat, memberi syara’at anugrah besar, anugrah
itu wahyu.
Budi yang selamat memancarkan kebaikan. Kebaikan itu membawa
manfaat. Pada gilirannya kebaikan dari para leluhur membawa syafa’at
atau berkah, yang menurunkan anugrah besar pada keturunannya.
Anugrah itu merupakah wahyu.
Wahyu (wahyu) iku (itu) kang (Yang) Maha (Maha) Sukci (Suci), paring
(memberikan) ing (pada) karilanan (keridhaan). Wahyu itu Yang Maha
Suci memberikan keridhaan.
Anugrah itu wahyu, yang hanya diberikan oleh Tuhan. Allah SWT telah
memberikan dengan keridhaan.
Rilan (keridhaan) ing (pada) Hyang (Tuhan) Agung (Yang Maha Agung),
patut (patut) iku (itu) den gungena (diagungkan). Keridhaan pada Tuhan
Yang Maha Agung, patut itu diagungkan.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 37 Keridhaan Tuhan patut diagungkan, dianggap penting sehingga selalu
diutamakan. Menjadi pertimbangan dalam kita berperilaku dan berbuat.
Paparinge (pemberian) Gusti (Tuhan) ingkang (yang) den rilani
(diridhai), yeku (yaitulah) sipate (sifat) rahman (Rahman). Pemberian
Tuhan yang diridhai, yaitulah sifat Rahman.
Kita manusia berperilaku dan berbuat dengan menharapkan Tuhan
meridhai apa yang kita lakukan. Dan Tuhan akan meridhai jika kita
melakukan apa yang disuruhNya. Itulah sifat Rahman yang berlaku atas
siapapun.
Rahman (rahman) iku (itu) mencaraken (menyebarkan, memancarkan)
eling (ingat), eling (ingat) iku (itu) mencarken (memancarkan) makripat
(makrifat, pengenalan), makripat (mengenal) sihing (kasih dari) Gustine
(Tuhannya), Gusti (Tuhan) kang (yang) Maha (Maha) Agung (Agung).
Rahman itu memancarkan ingat, ingat itu memancarkan ma’rifat, ma’rifat
kasih dari Tuhannya, Tuhan Yang Maha Agung.
Sifat Rahman memancarkan ingat, ingat kepada Tuhan atau zikr. Zikr
memancarkan ma’rifat atau pengenalan kepada Tuhan. Mengenal akan
kasih dari Tuhan, Tuhan Yang Maha Agung.
Lire (artinya) Agung (agung) datanpa (tak ada) sami (sama), mokal
(mustahil) yen (kalau) ana (ada) madha (menyamai). Artinya Agung itu
tak ada yang sama, mustahil kalau ada yang menyamai.
Arti dari Agung adalah tidak ada yang sama. Tak ada sesuatu pun yang
serupa denganNya. Mustahil kalau ada yang menyamaiNya.
Gusti (Tuhan) Maha (Maha) Luhur (Tinggi), kang (yang) darbeni
(mempunyai) sipat (sifat) jamal (indah), sipat (sifat) kahar (perkasa)
ingkang (yang) kapama (berkuasa) sekali (sangat), pakartine (pencipta)
buwana (dunia). Tuhan Maha Tinggi yang mempunyai sifat indah,sifat
perkasa yang sangat berkuasa, pencita dunia.
Tuhan Yang Maha Tinggi mempunyai dua sifat, indah dan perkasa. Dia
sangat berkuasa. Dialah pencipta dunia.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 38
Kajian Nitiprana (29-31): Sipat Kang Kalihdasa
Pada 29 sampai 31, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Lawan padha kawruhana kaki, ing masalah sipat kalihdasa, den mangerti ing tegese. Wajib ngawruhi iku, sakabehe wong Islam iki, yen tan weruh tegesnya, mesthi lebur tumpur. Sipat Wujud Kidam Baka, Mukalapah lil kawadisi limaning, Kiyamu bi napsita. Wahdaniyat Kodrat Iradati, Ngelmu Kayat Samak Basar Kalam, Kodiran lan Mundane, Ngaliman kaya Nabiku, lan Samingan Basiran ugi, lawan Mutakaliman, wus jangkep ing ngetung, ingkang sipat kalih dasa. Sayektine wujud iku ingkang pesthi, yektine datan ana, Wujud iku amung Maha Sukci. Datan ana ingkang gumelara, awal tumeka akire, tegese ujar iku, kabeh iku rusak sekalir, amung Dat ingkang mulya. Ananing Hyang Agung, lire agung iku jembar, lire jembar tan ana ingkang madhani, tan kakung tan wanodya.
Kajian per kata:
Lawan (dan) padha (semua) kawruhana (ketahuilah) kaki (anakku), ing
(pada) masalah (masalah) sipat (sifat) kalihdasa (dua puluh), den
mangerti (mengertilah) ing (pada) tegese (artinya). Dan semuaketahuilah,
anakku, pada masalah sifat dua puluh, mengertilah artinya.
Sifat dua puluh ini adalah sifat wajib bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Agar dapat mengenalNya dengan baik dan melakukan penghambaan
dengan benar, kita para manusia harus mengerti sifat wajib yang dua puluh
ini.
Wajib (wajib) ngawruhi (mengetahui) iku (itu), sakabehe (segenap) wong
(orang) Islam (Islam) iki (ini), yen (kalau) tan (tak) weruh (mengetahui)
tegesnya (artinya), mesthi (pasti) lebur (hancur) tumpur (tumpas). Wajib
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 39 mengetahui itu segenap orang Islam ini, kalau tidak mengetahui artinya
pasti hancur tumpas.
Pengetahuan akan sifat wajib yang dua puluh ini perlu bagi seluruh orang
Islam. Kalau sampai tidak mengetahui hancur akidahnya, sesat
perbuatannya. Tumpas segal amalnya. Maka wajib bagi kita umat Islam
mempelajarinya.
Sipat (sifat) Wujud (Wujud) Kidam (Qidam) Baka (Baqa), Mukalapah lil
kawadisi (Mukhalafatu lil hawadits) limaning (kelimanya), Kiyamu bi
napsita (Qiyamuhu binafsih). Sifat Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatu lil
hawadits, dan kelimanya Qiyamuhu binafsih.
Sifat yang dua puluh itu:
1. Wujud, artinya ada. Allah itu ada dan tidak diadakan oleh sesuatu
yang lain.
Sifat wujud ini juga disebut sifat Nafsiah, yakni berhubungan dengan
dzatNya.
2. Qidam artinya terdahulu, tidak ada yang mendahuli sebelumnya.
Dialah yang awal.
3. Baqa artinya kekal, tidak akan musnah atau hancur.
4. Mukhalafatu lil hawaditsi, artinya berbeda dengan yang lain, tidak
ada yang menyerupaiNya.
5. Qiyamuhu binafsih artinya berdiri sendiri, tidak bergantung kepada
sesuatu yang lain.
Wahdaniyat (Wahdaniyah) Kodrat (Kodrat) Iradati (Iradat), Ngelmu
(Ilmu) Kayat (Hayat) Samak (Sama’) Basar (Bashar) Kalam (Kalam),
Kodiran (Kadiran) lan Mundane (Muridan), Ngaliman (‘Aliman)
Kayanabiku (Hayan), lan (dan) Samingan (Sami’an) Basiran (Bashiran)
ugi (juga), lawan (dan) Mutakaliman (Mutakaliman), wus (sudah)
jangkep (lengkap) ing (dalam) ngetung (perhitungan, jumlah), ingkang
(yang) sipat (sifat) kalih dasa (dua puluh). Wahdaniyah, Kodrat, Iradat,
Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar’, Kalam, Kadiran, Muridan, ‘Aliman, Hayan,
dan Sami’an, Bashiran juga dan, Mutakaliman.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 40 6. Wahdaniyah, artinya Esa,
Kelima sifat Qidam, Baqa’, Mukhalafatu lil hawadits dan Qiyamuhu
binafsih, Wahdaniyah, disebut sebagai sifat Salbiyah yaitu sifat yang
meniadakan adanya sifat sebaliknya, yakni sifat-sifat yang tidak
sesuai, tidak layak dengan kesempurnaan Dzat-Nya.
7. Qudrat, artinya berkuasa.
8. Iradat, artinya berkehendak.
9. Ilmu, artinya mengetahui.
10. Hayat, artinya hidup.
11. Sama’, artinya mendengar.
12. Bashar, artinya melihat.
13. Kalam, artinya berbicara.
Ketujuh sifat di atas disebut sifat Ma’ani yaitu sifat-sifat abstrak yang
wajib ada pada Allah.
14. Kadiran, artinya Maha berkuasa.
15. Muridan, artinya Maha berkehendak.
16. Aliman, artinya Maha Mengetahui
17. Hayan, artinya Maha Hidup
18. Samingan, artinya Maha Mendengar
19. Bashiran, artinya Maha Melihat.
20. Mutakaliman, artinya Maha Berbicara.
Ketujuh sifat di atas disebut sifat Ma’nawiyah adalah kelaziman dari
sifat Ma’ani. Sifat Ma’nawiyah tidak dapat berdiri sendiri, sebab
setiap ada sifat ma’ani tentu ada sifat Ma’nawiyah.
Sayektine (sesungguhnya) wujud (wujud) iku (itu) ingkang (yang) pesthi
(niscaya), yektine (sesungguhnya) datan (tidak) ana (ada), wujud (wujud)
iku (itu) amung (hanya) Maha (Maha) Sukci (Suci). Sesungguhnya wujud
itu yang niscaya, sesungguhnya tidak ada, wujud itu hanya Yang Maha
Suci.
Sesungguhnya wujud yang niscaya, yakni wujud yang adanya karena yang
lain, sesungguhnya tidak ada. Hanya ada satu wujud, yakni Wujud Hyang
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 41 Maha Suci (Wujud Allah). Wujud yang lain hanyalah niscaya dari adanya
Wujud Allah. Wujud Allah ada dengan dzatNya (bidzatihi). Sedang wujud
yang lain ada karena selainnya (bighairihi), sehingga sesungguhnya tidak
ada. Yang ada hanyalah Wujud Allah.
Datan (tidak) ana (ada) ingkang (yang) gumelara (terhampar), awal
(awal) tumeka (sampai) akire (akhirnya), tegese (arti dari) ujar
(perkataan) iku (itu, ini), kabeh (semua) iku (itu) rusak (rusak) sekalir
(semuanya), amung (hanya) Dat (Dzat) ingkang (yang) mulya (Mulia).
Tidak ada yang terhampar, dari awal sampai akhir, arti dari perkataan
ini, semua itu akan rusak semuanya, hanya Dzat Yang Maha Mulia.
Karena Wujud yang sejati hanya milik Allah, dari semua yang terhampar
ini, dari awal sampai akhir, semuanya akan rusak binasa. Hanya Wujud
Dzat Yang Maha Mulia yang akan kekal.
Ananing (adanya) Hyang (Tuhan) Agung(Maha Agung), lire (arti) agung
(Agung) iku (itu) jembar (luas), lire (arti) jembar (luas) tan (tak) ana
(ada) ingkang (yang) madhani (menyamai), tan (tak) kakung (laki-laki)
tan (tak) wanodya (wanita). Adanya Tuhan Yang Maha Agung, arti agung
itu luas, arti luas tak ada yang menyamani, bukan laki-laki dan bukan
wanita.
Itulah Dzat Allah Yang Maha Agung. Arti Agung itu luas, artinya tak ada
yang menyamai. Bukan laki-laki dan bukan wanita.
Demikian uraian secara ringkas sifat dua puluh yang wajib diketahui oleh
semua orang muslim. Fahamilah dengan sebaik-baiknya.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 42
Kajian Nitiprana (32-34): Anglindhung Hyang Widhi
Pada 32 sampai 34, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Makluk kabeh anglindhung Hyang Widhi, kang jagad arah nenem prakara, iku den ayomi kabeh. Kang saweneh amuwus, den arani johar lan jisim, saweneh ana ngucap, angen-angen iku, iku salah tan wawarah. Ingkang karya bumi langit sakaliring, datan kena dinuga. Nora kena cinipta ing ati, yen anaa rupa kaya ngapa, dadi jumbuh makluk kabeh, kalih sukci sadarum. Kang gumretes sajroning ati, kabeh iku danajan, dudu Maha Luhur, tan kena ginayuh ing tyas. Pramilane den sami ngesthi ing Gusti, supaya tuk nugraha. Lamun antuk palaling Hyang Widi, iya mesthi tan kalawan-lawan, kang sarta lawan takdire. Nanging sira yen ayun, maring kawruh ingkang sajati, aja sawiyah-wiyah. Den ngambah delanggung, marganana saking Kitab, iya iku kabar ingkang dadi margi, usul ingkang waspada.
Kajian per kata:
Makluk (makhluk) kabeh (semua) anglindhung (berlindung) Hyang
(Tuhan) Widhi (Maha Benar), kang (yang) jagad (jagad) arah (arah)
nenem (enam) prakara (perkara), iku (itu) den ayomi (dilindungi) kabeh
(semua). Makhluk semua berlindung kepada Tuhan Yang Maha Benar,
yang jagad arah enam perkara itu dilindungi semua.
Makhluk atau ciptaan, semua berlindung kepada Tuhan. Kuasa Tuhan
melindungi seluruh jagad yang enam arah; utara, selatan, barat, timur, atas
dan bawah. Semua dalam perlindungan Tuhan.
Kang saweneh (ada seorang yang) amuwus (berkata), den arani (disebut)
johar (jauhar) lan (dan) jisim (jisim), saweneh (seorang) ana (ada)
ngucap (mengatakan), angen-angen (angan-angan) iku (itu), iku (itu)
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 43 salah (salah) tan (tak) wawarah (mendapat pengajaran). Ada seorang
yang berkata, disebut jauhar dan jisim, seorang ada yang berkata disebut
angan-angan itu, itu semua salah tak mendapat pengajaran.
Ada sebagian filosof mengatakan tentang jauhar dan jisim. Ada yang
mengatakan tengan angan-angan (kemungkinan yang dimaksud a’yan
tsabitah). Itu semua sebenarnya hanya formula yang diciptakan untuk
memudahkan kita memahami ilmu ketuhanan. Penulis serat ini
menganggap bahwa itu semua salah dalam pengertian bahwa rumusan itu
tidak mampu memahami hakekat dzat Tuhan.
Ingkang (yang) karya (membuat) bumi (bumi) langit (langit) sakaliring
(semuanya), datan (tidak) kena (bisa) dinuga (diduga). Yang membuat
bumi langit semuanya, tidak bisa diduga.
Karena dzat Tuhan yang menciptakan bumi dan langit semuanya tidak bisa
diduga, dikira-kira atau dirumuskan dengan tepat sesuai kenyataan. Pikiran
manusia terlalu kerdil untuk menjangkau itu semua.
Nora (tidak) kena (bisa) cinipta (dipikirkan, digambarkan) ing (dalam) ati
(hati), yen (kalau) anaa (andai ada) rupa (rupa) kaya (seperti) ngapa
(apa), dadi (menjadi) jumbuh (serupa) makluk (makhluk) kabeh (semua),
kalih (dan) sukci (Suci) sadarum (semua). Tidak bisa digambarkan dalam
hati, kalau andai ada rupa seperti apa, menjadi serupa denan makhluk,
dan Suci semua.
Tuhan tak dapat digambarkan dalam angan, dipikirkan dalam hati. andai
pun ada gambaran seperti itu, maka akan menjadi serupa dengan makhluk.
Maka tidak mungkin bagi manusia menggambarkan wujud Tuhan. Wujud
Tuhan Suci dari jangkauan pikiran manusia.
Kang (yang) gumretes (gemericik, menetes) sajroning (di dalam) ati
(hati), kabeh (semua) iku (itu) danajan (dzan, duga-duga), dudu (bukan)
Maha (Maha) Luhur (Tinggi), tan (tak) kena (boleh) ginayuh (diraih) ing
(dalam) tyas (hati). Yang menetes di dalam hati semua itu duga-duga,
bukan Yang Maha Tinggi, tak boleh diraih dalam hati.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 44 Yang tampak nyata di dalam hati itu duga-duga. Tak dapat dipegang dan
diraih di dalam hati. Bisa tersesat karena mengira duga-duga sebagai
nyata.
Pramilane (maka) den sami (semua) ngesthi (selalu arahkan) ing (pada)
Gusti (Tuhan), supaya (supaya) tuk (mendapat) nugraha (anugrah). Maka
semua selalu arahkan (hidup) kepada Tuhan, agar mendapat anugrah.
Ngesthi ing Gusti artinya selalu mengangankan dalam pikiran dan
mengarahkan segala tindakan kepada Tuhan. Semua harap selalu ngesthi
ing Gusti, memusatkan pikiran dan tindakan kepada Tuhan, agar mendapat
anugrah.
Lamun (kalau) antuk (mendapat) palaling (kemurahan dari) Hyang
(Tuhan) Widhi (Yang Maha Benar), iya (ya) mesthi (pasti) tan (tak)
kalawan-lawan (mendapat lawan), kang (yang) sarta (serta) lawan
(dengan) takdire (takdirnya). Kalau mendapat kemurahan dari Tuhan
Yang Maha Benar ya pasti tak mendapat lawan, yang disertai takdirnya.
Kalau mendapat kemurahan dari Tuhan sudah pasti seseorang mendapat
petunjuk untuk mengenalNya. Tak ada yang menghalangi, tak ada yang
melawan. Namun semua itu juga sudah menjadi takdirnya.
Nanging (namun) sira (engkau) yen (kalau) ayun (hendak), maring (pada)
kawruh (pengetahuan) ingkang (yang) sajati (sejati), aja (jangan)
sawiyah-wiyah (sewenang-wenang). Namun kalau engkau mengendaki
pada pengetahuan yang sejati, jangan sewenang-wenang.
Jika engkau hendak menghendaki pengetahuan yang sejati tentang Tuhan,
janganlah memakai cara yang sesat. Jangan sewenang-wenang memakai
laku yang tidak ada pedoman dari para Nabi dan Rasul.
Den ngambah (laluilah) delanggung (jalan besar, shirat al mustaqim),
marganana (lewatlah jalan) saking (dari) Kitab (kitab), iya iku (yaitulah)
kabar (kabar) ingkang (yang) dadi (menjadi) margi (jalan), usul (pokok)
ingkang (yang) waspada (waspada). Laluilah jalan besar, lewatlah jalan
dari Kitab, yaitulah kabar yang menjadi jalan pokok (agama) yang
waspada.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 45 Kalau ingin mengetahui ilmu yang sejati, pakailah jalan yang telah
ditunjukkan dalam Kitab. Jalan yang besar (delanggung, dalanggung)
adalah terjemahan dari shirat al mustaqim, jalan raya, yang akan dilewati
oleh seluruh umat muslim pengikut Kangjeng Nabi Muhammad. Itulah
jalan yang penuh kewaspadaan dan menyelamatkan.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 46
Kajian Nitiprana (35-37): Lakonana Kang Aneng Sarak
Pada 35 sampai 37, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Waspadakna ingkang dadi sirik, lakonana kang aneng ing sarak, poma aja ngelirake, ingkang cinegah usul, edohana ingkang atebih, iku agama tama, gamane wong agung. Mokal jaising Pangeran, dunungena kang terang padha saiki, iku wong ahlul suksma. Amung weruhe manungsa iki, marang wujude Hyang kang Maha Mulya, anitik saka dalile, dalilipun: Walahu, fan khalaka awsamiti. Andadekaken Allah, saking langit iku, lawan bumi sadayanya, sayektine wajibul wujudan iki, tan jaman tan panggonan. Lan sing sapa wonge angarani, jaman makamake marang Allah, kajimak maring Allahe, dadi kapir wong iku, dadi batal Islamireki. Aran kopar kapiran, dadya murtatipun, sakuthu ing kukum ira, lan sing sapa sakuthu marang Hyang Widhi, sayekti temah sasar.
Kajian per kata:
Waspadakna (perhatikan) ingkang (yang) dadi (menjadi) sirik (sirk),
lakonana (lakukan) kang (yang) aneng (ada di) ing (salam) sarak
(syari’at). Perhatikan yang menjadi sirk, lakukan yang ada di dalam
syari’at.
Cara agar kita tetap berada di jalan besar, ash shirat al mustaqim, adalah
dengan memperhatikan mana yang sirk dan mana yang syari’at. Yang sirk
jauhilah, yang syari’at lakukanlah.
Poma (ingat) aja (jangan) ngelirake (mengabaikan), ingkang (yang)
cinegah (dicegah) usul (pokok agama), edohana (jauhilah) ingkang
(yang) atebih (jauh), iku (itulah) agama (agama) tama (utama), gamane
(agamanya) wong (orang) agung (besar). Ingat jangan mengabaikan yang
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 47 dicegah pokok agama, jauhilah yang jauh, itulah agama yang utama,
agama dari orang besar.
Dan ingatlah, jangan mengabaikan apa-apa yang sudah dicegah oleh
pokok-pokok agama (ushuluddin). Bila dilanggar akan jatuh ke dalam laku
sirk. Yang demikian itu jauhilah yang sejauh-jauhnya. Itulah agama yang
utama, agama para orang besar.
Mokal (mustahil) jaising (jaiz) Pangeran (Tuhan), dunungena
(tempatkanlah, maksudnya ketahuilah) kang (yang) terang (terang) padha
(sama) saiki (seperti sekarang), iku (itulah) wong (orang) ahlul (ahli
dalam pengetahuan) suksma (ketuhanan). Sifat mustahil dan jaiz dari
Tuhan ketahuilah yang terang seperti sekarang, itulah orang yang ahli
ilmu ketuhanan.
Selain sifat wajib yang dua puluh seperti yang telah diuraikan di depan,
pelajarilah juga sifat mustahil dan sifat jaiz. Sifat mustahil adalah sifat
yang tidak mungkin ada pada Allah. Sedangkan sifat jaiz adalah sifat yang
ada atau tidak ada bergantung kepada kehendak Allah semata.
Amung (hanya) weruhe (pengetahuan) manungsa (manusia) iki (ini),
marang (pada) wujude (Wujud) Hyang (Tuhan) kang (Yang) Maha
(Maha) Mulya (Mulia), anitik (melihat) saka (dari) dalile (dalilnya).
Hanya menurut pengetahuan manusia ini, hanya wujud Tuhan Yang Maha
Mulia, melihat dari dalilnya.
Menurut pengetahuan manusia yang berwujud hanya Tuhan Yang Maha
mulia. Adapun dalilnya adalah sebagai berikut:
Dalilipun (dalilnya): Walahu, fan khalaka awsamiti. (Wallahu khalaqa
samaawaati). Dalilnya: Wallahu khalaqa samaawaati.
Dalil yang dimaksud ada dalam surat As Sajdah ayat 4:
نـهما في ستة أيام الله الذي خلق السماوات والأرض وما بـيـAllah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam masa. (QS: As Sajdah: 4).
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 48 Andadekaken (menjadikan) Allah (Allah), saking (dari) langit (langit) iku
(itu), lawan (dan) bumi (bumi) sadayanya (semuanya), sayektine
(sesungguhnya) wajibul wujudan (wajibul wujud) iki (ini), tan (tak)
jaman (zaman) tan (tak) panggonan (bertempat). Menjadikan Allah dari
langit itu dan bumi semuanya, sesungguhnya Wajibul Wujud ini tak
mengenal zaman dan tempat.
Allahlah yang menjadikan langit dan bumi, serta apa-apa yang ada di antaa
keduanya. Ini artinya Allah sangat berkuasa atasnya. Adanya Allah dengan
demikian ada sebelum adanya langit dan bumi. Dan mustahil baginNya
mengambil bumi sebagai tempatnya., Wujud Allah tidak mengenal masa
(zaman) dan tempat.
Lan (dan) sing sapa (barang siapa) wonge (orang yang) angarani
(menyebut), jaman (zaman) makamake (memakaikan tempat) marang
(pada) Allah (Allah), kajimak (menjamah, mengotori) maring (pada)
Allahe (Allah), dadi (menjadi) kapir (kafir) wong (orang) iku (itu), dadi
(menjadi) batal (batal) Islamireki (Islamnya). Dan barang siapa yang
menyebut zaman dan memakaikan tempat kepada Allah, menjamah kepada
Allah, menjadi kafir orang itu, menjadi batal Islamnya.
Barang siapa menyebut bahwa Allah mengalami zaman, dan memakaikan
tempat dan zaman kepada Allah, maka dia telah mengotori kesucian Allah.
Menjadi kafir orang tersebut. Islamnya batal karenanya.
Aran (aran) kopar (kafir) kapiran (terlantar), dadya (menjadi) murtatipun
(murtatnya), sakuthu (bersekutu) ing (dalam) kukum ira (hukumnya), lan
(dan) sing sapa (barangsiapa) sakuthu (menyekutukan) marang (kepada)
Hyang (Tuhan) Widhi (Maha Benar), sayekti (sungguhg) temah
(akhirnya) sasar (sesat). Disebut kafir terlantar menjadi murtat, bersekutu
dalam hukumnya, dan barang siapa menyekutukan kepada Tuhan Yang
Maha Benar, sungguh akhirnya sesat.
Disebut orang kafir. Orang kafir itu takan terlantar karena sudah keluar
dari perlindungan Tuhan. Dia duhukum sebagai orang yang menyekutukan
Allah. Dan barang siapa menyekutukan Allah akhirnya akan sesat. Barang
siapa menolak petunjuk Allah maka tiada petunjuk lain baginya.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 49
Kajian Nitiprana (38-40): Sipat Wajib Salbiyah
Pada 38 sampai 40, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Sipat Kidam dhihin Maha Sukci, mokal lamun kadhinginan Adam, Huwal awalu lapale, tanapi wal akiru, keri ora ana ngereni. Lapale sipat Baka, alanggeng Hyang Agung, Manapkulum ngalaeha, sakabehe barang ing sawiji-wiji, wanin punika hilang. Wa yap kalam tetep Maha Sukci, Wajahu rabika dat Pangeran, Duljalali wal ikram-e, kainulyan kang ngagung. Mukallapah lil kawadisi, prabeda lan kang anyar, iki dalilipun, Wallahu utawa Allah, kayata: antaesa: lam khamislihi, tan ana upamanya. Walkiyamu lawan binapsihi, pan jumeneng kalawan pribadya, datan ana karanane, Innalaha puniku. la ganiyu ngalil ngalamim, yekti sugih Pangeran, mokal miskinipun. Lawan sipat Wahdaniyat, mung sawiji Pangeran boya kakalih, mokal anaa liyan.
Kajian per kata:
Sipat (sifat) Kidam (Qidam) dhihin (awal) Maha Sukci (Maha Suci),
mokal (mustahil) lamun (kalau) kadhinginan (kedahuluan) Adam
(Adam), Huwal awalu (Huwal awwalu) lapale (lafalnya), tanapi (dan)
wal akiru (wal akhiru), keri (akhir) ora (tidak) ana (ada) ngereni (yang
lebih akhir). Sifat Qidam awal, Maha Suci mustahil kalau kedahuluan
Adam. Huwal awwalu lafalnya, dan wal akhiru. Akhir tidak ada yang
lebih akhir.
Qidam artinya terdahulu. Tidak ada yang mendahului. Dia juga menjadi
akhir dan tidak ada yang lebih akhir dariNya. Dalilnya adalah Al Qur’an
surat Al Hadid ayat 3:
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 50
هو الأول والآخر والظاهر والباطن وهو بكل شيء عليم Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.. (QS Al Hadiid: 3).
Lapale (lafalnya) sipat (sifat) Baka (Baqa’), alanggeng (langgengnya)
Hyang (Tuhan) Agung (Yang Maha Agung), Manapkulum ngalaeha
(kuluman ‘alaiha), sakabehe (semuanya) barang (sembarang) ing (pada)
sawiji-wiji (satu persatu), wanin (fanin) punika (yaitu) hilang (hilang,
binasa). Lafale sifat Baqa’, artinya langgeng Tuhan Yang Maha Agung,
kuluman ‘alaih, semuanya sembarang satu-persatu, fan yaitu binasa.
Sifat Baqa artinya kekal. Berbeda dengan makhluk yang pasti akan binasa,
musnah dan hilang wujudnya.
Ayat yang dikutip di atas adalah surat Ar Rahman ayat 26:
كل من عليـها فان Semua yang ada di bumi itu akan binasa. (QS Ar Rahman: 26).
Wa yap kalam (wayabqa) tetep (tetap) Maha Sukci (Maha Suci), Wajahu
rabika (wajhu rabbika) dat (Dzat) Pangeran (Tuhan), Duljalali wal
ikram-e (dzul jalali wal ikram), kainulyan (yang mempunay kemuliaan)
kang (yang) ngagung (Agung). Wayabqa, tetap Maha Suci, wajhahu
rabbika Dzat Tuhan, dzul jalali wal ikram, yang mempunyai kemuliaan
yang Agung.
Karena Allah bersifat Baqa’, maka dia tidak seperti yang lain yang akan
musnah suatu ketika. Allah tetap ada karena Dialah yang mempunyak
kebesaran dan kemuliaan.
Ayat yang dikutip di atas adalah surat Arrahman ayat 27, yang merupakan
lanjutan dari ayat 26 di atas:
ويـبـقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 51 Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan. (QS Ar Rahman: 27).
Mukallapah lil kawadisi (mukhalafatu lil hawaditsi), prabeda (berbeda)
lan (dengan) kang (yang) anyar (baru), iki (ini) dalilipun (dalilnya),
Wallahu (Wallahu) utawa (atau) Allah (Allah), kayata: antaesa lam
khamislihi, tan (tak) ana (ada) upamanya (seumpamanya). Mukhalafatu
lil hawaditsi, berbeda dengan yang baru, ini dalilnya, wallahu atau Allah,
seperti: antaesa lam khamislihi, tak ada seumpamanya.
Kutipan dalil dari Al Qur’an pada baris ini kami tak dapat mencarinya.
Namun yang serupa adalah yang terdapat dalam surat Syura ayat 11:
فاطر السماوات والأرض جعل لكم من أنفسكم أزواجا ومن
الأنـعام أزواجا يذرؤكم فيه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan
jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS Asy Syura: 11).
Walkiyamu (wal qiyamuhu) lawan (lawan) binapsihi (binafsihi), pan
(sungguh) jumeneng (berdiri) kalawan (dengan) pribadya (diri sendiri),
datan (tidak) ana (ada) karanane (sebabnya), Innalaha (innallaha)
puniku (itu), la ganiyu (la ghaniyu) ngalil (ngalal) ngalamim (‘alamin),
yekti (sungguh) sugih (kaya) Pangeran (Tuhan), mokal (mustahil)
miskinipun (miskin). Wal qiyamuhu dan binafsihi, sungguh berdiri
dengan diri sendiri, tak ada sebabnya, innallaha itu la ghaniyun ‘alal
‘alamin, sungguh kaya Tuhan, mustahil miskin.
Qiyamuhu binafsihi artinya beridiri dengan diri sendiri, artinya tidak
membutuhkan sebab dari yang lain. Dia Maha Kaya sehingga tidak
membutuhkan bantuan atau dukungan dari yang lain. Kaya artinya tak
butuh sesuatu dari yang lain. Sedangkan fakir artinya butuh kepada yang
lain. Allah itu kaya dan mustahil fakir.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 52 Dalil dalam Al Qur’an yang dikutip dalam bait ini adalah surat al Ankabut
ayat 6:
إن الله لغني عن العالمين Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam. (QS Al Ankabuut: 6).
Lawan (dan) sipat (sifat) Wahdaniyat (wahdaniyah), mung (hanya) sawiji
(satu) Pangeran (Tuhan) boya (tidak) kakalih (dua), mokal (mustahil)
anaa (ada) liyan (yang lain). Dan sifat Wahdaniyah hanya satu Tuhan
tidak dua, mustahil ada yang lain.
Wahdaniyah artinya Esa. Esa dalam wujud sifat dan perbuatan. Dalilnya
dalam surat Al Anbiya ayat 22:
لو كان فيهما آلهة إلا الله لفسدتا فسبحان الله رب العرش عما
يصفون Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai
`Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS Al Anbiya: 22)
Demikianlah uraian singkat tentang lima sifat Allah, yang disebut dengan
sifat Salbiyah. Yaitu sifat yang meniadakan adanya sifat sebaliknya, yakni
sifat-sifat yang tidak sesuai, tidak layak dengan kesempurnaan Dzat-Nya.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 53
Kajian Nitiprana (41-43): Sipat Allah Ma’ani (I)
Pada 41 sampai 43, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Sipat Kodrat kuwasa Hyang Widi, mokal lamun Pangeran apesa. Iki ingkang nuduhake, Innalaha puniku, satuhune Hyang Maha Sukci, ngala kuli saean, kadiran jengipun. Ing ngatase iku barang, saben-saben sawiji pan dipun pesthi, langkep tan kena cidra. Sipat Iradat dalile singgih, Gusti Allah sayekti akarsa, panalulimayurite, wus gawe ing Hyang Agung, ing sabarang karsanireki. Sipat Ngelmu pangeran, iki lapalipun, Allahulu innalaha, ngala kuli saein kulim tegesneki, satuhuning Pangeran, sakabehe iku kang dumadi, kabeh iku padha kinawruhan. sipat Kayat pan mangkene. mapan: ya tawakallu, ngalal kayi la ya mutuhi, urip tan kena pejah, ananing Hyang Agung. Dalilipun sipat Samak, pan ta: Innalaha wa saminulngalim, miyarsa tur tumingal.
Kajian per kata:
Sipat (sifat) Kodrat (Qudrat) kuwasa (berkuasa) Hyang (Tuhan) Widi
(Maha Benar), mokal (mustahil) lamun (kalau) Pangeran (Tuhan) apesa
(celaka, lemah). Sifat Qudrat artinya berkuasa Tuhan Yang Maha Benar.
Mustahil kalau Tuhan itu lemah.
Sifat Qudrat artinya Allah berkuasa. Kekuasaannya tak terbatas, pada
semua yang ada. Sifat ini juga memunculkan kemustahilan bagiNya, yakni
mustahil lemah atau celaka.
Iki (ini) ingkang (yang) nuduhake (menunjukkan dalilnya), Innalaha
(Innallaha) puniku (itu), satuhune (sesungguhnya) Hyang (Tuhan) Maha
Sukci (Maha Suci), ngala kuli saean (‘ala kulli syai’an), kadiran (qadir)
jengipun (kajengipun, maksudnya), ing ngatase (atas) iku (itu) barang
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 54 (sembarang), saben-saben (setiap) sawiji (satu) pan (sungguh) dipun
pesthi (dipatikan), langkep (jangkep, lengkap) tan (tak) kena (boleh) cidra
(cecer). Ini yang menunjukkan dalil: innallaha itu sesungguhnya Tuhan
Yang Maha Suci, ‘ala kulli syai’an qadir maksudnya, pada semua itu
sembarang setiap satu-persatu sungguh dipastikan lengkap tak ada yang
cecer.
Dengan sifat Qudrat ini Allah menguasai alam raya seisinya. Setiap
apapun yang ada di dunia seisinya dan di langit ada dalam
penguasaanNya. Dia memastikan keberadaan setiap sesuatu. Dalil dari
pernyataan ini tertulis dalam surat Al Baqarah ayat 20:
إن الله على كل شيء قدير Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS Al Baqarah: 20).
Sipat (sifat) Iradat (Iradat) dalile (dalilnya) singgih (sungguh), Gusti
(Tuhan) Allah (Allah) sayekti (sungguh) akarsa (berkehendak),
panalulimayurite (fa’alulimayurid), wus (sudah) gawe (mencipta) ing
(oleh) Hyang (Tuhan) Agung (Maha Agung), ing (pada) sabarang
(semua) karsanireki (kehendaknya). Sifat Iradat dalilnya sungguh, Tuhan
Allah sungguh berkehendak, fa’alulimayurid, suda mencipta Tuhan Yang
Maha Agung, pada sembarang kehendaknya.
Sifat Iradat artinya Allah berkehendak. Dalilnya dari Al Qur’an surat Hud
ayat 107:
إن ربك فـعال لما يريد Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia
kehendaki. (QS Hud: 107).
Dengan sifat Iradat ini Allah menciptakan semua makhluknya. Jadi semua
terjadi atas kehendakNya, dan bukan karena kebetulan saja. Allah pasti
tahu apa yang diciptakanNya. Dia tidak abai dan senatiasa memberi
petunjuk.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 55 Sipat (sifat) Ngelmu (Ilmu) pangeran (Tuhan), iki (ini) lapalipun
(lafalnya), Allahulu (Allahu) innalaha (innallaha), ngala kuli saein
ngalim (‘ala kulli syai’in ‘alim) tegesneki (artinya), satuhuning
(sesungguhnya) Pangeran (Tuhan), sakabehe (segala) iku (itu) kang
(yang) dumadi (tercipta), kabeh (semua) iku (itu) padha kinawruhan
(diketahui). Sifat Ilmu Tuhan ini lafalnya, Allahu innalaha ‘ala kulli
syai’in ‘alim, artinya sesungguhnya Tuhan segala itu yang tercipta, semua
itu diketahui.
Bahwasannya Tuhan mengetahui segala sesuatu yang tercipta. Selalu
mengetahui setiap waktu, bukan hanya saat pencitaan, tetapi juga diketahui
terus menerus. Dalil yang dikutip dalam bait ini kami tidak menemukan
redaksi yang sesuai di dalam Al Qur’an. Yang kami temukan adalah:
وهو بكل شيء عليم Dan dia mengetahui segala sesuatu (Al Hadiid: 3).
Sipat (sifat) Kayat (Hayat) pan (sungguh) mangkene (demikian), mapan
(sungguh): wa tawakallu (wa tawakallu), ngalal kayya la yamutuhi (‘alal
kayya la ya mutuhi), urip (hidup) tan (tak) kena (kena) pejah (mati),
ananing (keberadaan) Hyang (Tuhan) Agung (Maha Agung). Sifat Hayat
sungguh demikian, sungguh: wa tawakallu, ngalal kayya layamutuhi,
hidup tak kena mati keberadaan Tuhan Yang Maha Agung.
Sifat Hayat artinya hidup. Allah itu hidup dan takkan mati. Dalil dalam Al
Qur’an ada di surat Al Furqaan ayat 58.
وتـوكل على الحي الذي لا يموت Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati..
(QS Al Furqaan: 58).
Dalilipun (dalil) sipat (sifat) Samak (Sama’), pan ta (sungguh): Innalaha
wa saminulngalim (innallaha wa sami’un ‘alim), miyarsa (mendengar) tur
(dan juga) tumingal (melihat). Dalil sifat Sama’ sungguh: innallaha
sami’un ‘alim, mendengar dan juga melihat.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 56
Sifat Sama artinya mendengar. Allah mendengar segala seuatu dan
mengetahuinya. Dalil yang dikutip dalam penjelasan sifat Sama’ di atas
adalah surat Al Baqarah ayat 181:
يع عليم إن الله سم
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al
Bawarah: 181).
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 57
Kajian Nitiprana (44-46): Sipat Allah Ma’ani (II)
Pada 44 sampai 46, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Sipat Basar dalilipun singgih, ya wallahu tu Gusti Allah, bimatakmalu basire, sabarang kang dinulu, nora nganggo netra kakalih. Dalile sipat kalam, iki pungkasipun, ngakhalamallahu Musa, taklimana: wus ngandika Maha Gusti, ing Gusti Nabi Musa, Pangandikane Hyang Maha Sukci, mring Jeng Nabi lan sapangandikan, ewuh elok ujar kiye, arang ingkang anggayuh. Samarira anyanyamari, nyamari sabuwana, buwana lit agung, gung wenang kang murbeng jagad. Jaganana jejeging ati ywa gigrik, gogragna raganira. Yen wus gograg kusika kang dhiri, rendhonira ing suksma temena. Suksma nglela katon dhewe, wuwuh kawruh kang dhuwur. Yen wus datan akiwi kapir, nora angayawara, kawruhe mangawruh, utama-utamanira. Badanira wasuhen raina wengi, nyuwuna pangapura.
Kajian per kata:
Sipat (sifat) Basar (Bashar) dalilipun (dalilipun) singgih (yaitu), ya (ya)
wallahu tu (wallahu) Gusti (gusti) Allah (Allah), bimatakmalu basire
(bima ta’maluna bashir), sabarang (sembarang) kang (yang) dinulu
(dilihat), nora (tidak) nganggo (memakai) netra (mata) kakalih (yang
dua). Sifat Bashar dalilnya yaitu; wallahu Gusti Allah bi maa ta’maluuna
bashir, sembarang yang dilihat tidak memakai dua mata.
Sifat Bashar artinya Melihat. Allah melihat segala makhluknya,
penglihatanNya mutlak tak terhalang apapun, baik jauh maupun dekat. Tak
ada satupun detail yang tidak dilihat olehNya. Dalil dari penjelasan sifat
Bashar ada pada surat Al Baqarah ayat 265:
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 58
والله بما تـعملون بصير Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (QS Al Baqarah: 265).
Dalile (dalilnya) sipat (sifat) kalam (Kalam), iki (ini) pungkasipun (yang
terakhir), wakalamallahu Musa, taklimana (wa kallamallahu muusa
taklima): wus (sudah) ngandika (berbicara) Maha Gusti (Maha Tuan,
Allah), ing (kepada) Gusti (Tuan) Nabi (Nabi) Musa (Musa). Dalilnya
sifat Kalam ini yang terakhir, wakallamallahu Musa taklima, sudah
berbicara Maha Tuan (Allah) kepada Tuan Nabi Musa.
Di sini ada dua penyebutan untuk dua maksud. Kata Gusti dalam bahasa
Jawa bermakna kurang lebih sama dengan kata Tuan. Kata itu sering
dipakai untuk menyebut orang besar, raja atau Nabi. Selain itu kata Gusti
juga dipakai untuk menyebut Tuhan. Maka ketika ada kata Gusti yang
berdekatan dan dipakai untuk menyebut dua nama, kata Gusti yang
pertama ditambahi kata Maha, Maha Gusti yang maksudnya adalah Tuhan.
Kata kedua Gusti dimaksudkan untuk menyebut Nabi Musa.
Sifat Kalam artinya berbicara. Allah dapat berbicara dengan makhluk
sesuai bahasa mereka. Allah berkomunikasi secara interaktif, tidak hanya
bertitah, atau bercakap-cakap. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dalil
yang menyebutkan bahwa Allah bercakap-cakap langsung dengan Nabi
Musa. Disebut di dalam surat An Nisa ayat 164:
وكلم الله موسى تكليما
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS An Nisa:
164).
Pangandikane (perkataan) Hyang (Tuhan) Maha (Maha) Sukci (Suci),
mring (kepada) Jeng (Kangjeng) Nabi (Nabi Musa) lan (dan)
sapangandikan (dalam percakapan), ewuh elok (menakjubkan) ujar
(perkataan) kiye (ini), arang (jarang) ingkang (yang) anggayuh
(mengalaminya). Perkataan Tuhan Yang Maha Suci kepada Kangjeng
Nabi Musa dalam satu percakapan menakjubkan, perkataan ini jarang
yang mengalaminya.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 59 Adalah suatu hal ajaib yang langka bahwa Allah berkenan bercakap-cakap
dengan Nabi Musa secara langsung. Peristiwa ini sangat jarang orang yang
mengalaminya.
Samarira (keraguanmu) anyanyamari (mengkhawatirkan), nyamari
(mengkhawatirkan) sabuwana (seluruh jagad), buwana (jagad) lit agung
(kecil-besar), gung (besar) wenang (wewenang) kang (yang) murbeng
(menguasai) jagad (jagad). Keraguanmu mengkhawatirkan,
mengkhawatirkan seluruh jagad, jagad yang kecil-besar, wewenang besar
yang menguasai jagad.
Itulah sifat yang dua puluh. Tiga belas telah diuraikan dengan dalilnya.
Keraguanmu akan sifat yang dua puluh ini, menghkhawatirkan.
Mengkhawatirkan seluruh jagad. Jagad kecil dan jagad besar. Sungguh
besar wewenang Tuhan yang menguasai jagad.
Jaganana (jagalah) jejeging (tegaknya) ati (hati) ywa (jangan) gigrik
(tergoncang), gogragna (goncanglah) raganira (tubuhmu), yen (kalau)
wus (sudah) gograg (goncang) kusika (kendor) kang dhiri (dirimu),
rendhonira (kendormu) ing (pada) Suksma (Tuhan Maha Suci) temena
(sungguh-sungguhlah). Jagalah tegaknya hati jangan tergoncang,
goncanglah tubuhmu, kalau sudah goncang kendor dirimu, kendornya
pada Tuhan Maha Suci bersungguh-sungguhlah.
Jagalah agar hatimu tetap tegak dalam keyakinan. Goncanglah tubuhmu,
maksudnya sibukkan tubuhmu dengan amalan-amalan, laku prihatin dan
beribadah. Kalau sudah, dekatilah Tuhan Yang Maha Suci dengan
sungguh-sungguh.
Suksma (Tuhan Yang Maha Suci) nglela (terlihat jelas) katon (tampak)
dhewe (sendiri), wuwuh (bertambah) kawruh (pengetahuan) kang (yang)
dhuwur (tinggi). Tuhan Yang Maha Suci terlihat jelas tampak dengan
sendirinya, bertambah pengetahuan yang tinggi.
Kalau cara mendekat kepada Tuhan denan amalan-amalan dan laku
prihatin yang benar, Tuhan Yang Maha Suci akan terlihat jelas, tampak
dengan sendirinya. Akan semakin bertambah pengetahuan tentang Allah.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 60
Yen (kalau) wus (sudah) datan (tidak) akiwi (bersemayam) kapir (kafir),
nora (tidak) angayawara (mustahil), kawruhe (pengetahuannya)
mangawruh (mengetahui), utama-utamanira (yang utama dari
keutamaanya). Kalau sudah tidak bersemayam kekafiran, tidak mustahil
pengetahuannya mengetahui yang utama dari keutamaannya.
Kalau dalam hati sudah tidak bersemayam kekafiran, tidak mustahil
pengetahuannya akan mengetahui yang utama dari keutamaannya.
Badanira (dirimu) wasuhen (basuhlah) raina (siang) wengi (malam),
nyuwuna (mintalah) pangapura (pengampunan). Dirimua basuhlah siang
dan malam, mintalah pengampunan.
Maka selalu basuhlah dirimu dari kekafiran, dari kotornya hati dan dari
kebodohan. Selalu mintalah pengampunan.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 61
Kajian Nitiprana (47-48): Panutup
Pada 47 sampai 48, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u,
8a, 12i, 7a), Serat Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari
Surakarta.
Den rumangsa ing Gusti keh sisip, luwih kurang ing ngibadahira, mring Gusti kang dadekake. Dene kehing panutuh, marang badanira pribadi, dadine kumawula, mring Gusti Hyang Agung. Aja kaya ingkang nyerat, layang iki cumanthaka bek kumaki, mindha kadi pujangga. Sajatine cubluke ngluwihi, pangarange datanpa kinira, saya kurang geyongane, langkung cupeting kalbu. Basa Kawi durung udani, saking keset sembrana, dadya purun-purun, nglampahaken kang ruweya. Boten ngetang kalamun dipun esemi, mring janma kang sujana.
Kajian per kata:
Den rumangsa (merasalah) ing (pada) Gusti (Tuhan) keh (banyak) sisip
(salah), luwih (lebih) kurang (kurang) ing (dalam) ngibadahira
(ibadahmu), mring (kepada) Gusti (Tuhan) kang (yang) dadekake
(menciptakan). Merasalah pada Tuhan banyak salah, lebih-kurang dalam
beribadahmu kepada Tuhan yang menciptakan.
Merasalah kepada Tuhan, kalau sebagai hamba banyak bersalah. Ada lebih
dan kurang dalam beribadah kepadaNya yang telah menciptakan semua
makhluk.
Dene (adapun) kehing (banyak) panutuh (menuduh), marang (kepada)
badanira (dirimu) pribadi (sendiri), dadine (jadinya) kumawula
(menghamba), mring (kepada) Gusti (Tuhan) Hyang (Yang) Agung
(Maha Agung). Adapun banyak menuduh kepada dirimu sendiri, jadinya
menghamba kepada Tuhan yang Maha Agung.
Adapun ada keluhan atau tuduhan, sebaiknya tujukan kepada diri sendiri.
Bahwa semua ketidaksempurnaan yang kita terima adalah karena
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 62 kesalahan kita sendiri. Tidak perlu menyalahkan Tuhan atas derita yang
kita terima, sebab Tuhan telah bertindak dengan Maha Adil. Apapun yang
dilakukanNya sungguh mengandung hikmat yang tidak kita pahami.
Kesadaran ini hendaknya menjadi awal bagi penghambaan kita kepada
Tuhan Yang Maha Agung.
Aja (jangan) kaya (seperti) ingkang (yang) nyerat (menulis), layang
(serat) iki (ini) cumanthaka (lancang) bek (berwatak) kumaki (sombong),
mindha (meniru) kadi (seperti) pujangga (pujangga). Jangan seperti yang
menulis serat ini, lancang berwatak sombong, meniru pujangga.
Jangan seperti yang menulis serat ini. Sikapnya lancang wataknya
sombong. Hendak meniru-niru pra pujangga.
Sajatine (sebenarnya) cubluke (bodohnya) ngluwihi (lebih-lebih),
pangarange (mengarangnya) datanpa (tanpa) kinira (dikira-kira), saya
(makin) kurang (kurang) geyongane (cita-cita), langkung (sangat)
cupeting (kurang dalam) kalbu (hati). Sebenarnya bodohnya lebih-lebih,
mengarangnya tanpa dikira-kira, makin kurang cita-cita sangat pendek
hati.
Sebenarnya bodoh lebih-lebih. Mengarang serat ini tanpa kira-kira. Sangat
kurang dalam cita-cita, dan sangat cupet hatinya.
Basa (bahasa) Kawi (Kawi) durung (belum) udani (memahami), saking
(karena) keset (malas) sembrana (sembrono), dadya (menjadi) purun-
purun (berkehendak nekad), nglampahaken (menjalankan) kang ruweya
(cerita ini). Bahasa Kawi belum memahami karena malas sembrono,
menjadi berkehendak nekad menjalankan cerita ini.
Bahasa Kawi tidak memahami, karena malas dan sembrono dalam belajar.
Walau demikian berani nekad menjalankan cerita yang tertulis dalam serat
ini.
Boten (tidak) ngetang (berhitung) kalamun (kalau) dipun esemi
(ditertawakan secara halus), mring (oleh) janma (orang) kang (yang)
sujana (pintar). Tidak berhitung kalau ditertawakan secara halus oleh
orang yang pintar.
Kajian Sastra Klasik Serat Nitiprana | 63 Tidak berhitung bahwa banyak ditertawakan, oleh para orang pintar.
Dipun esemi artinya diberi senyuman. Respon halus dari mentertawakan.
Karena orang Jawa tidak mau mentertawakan orang, maka kalau ada yang
kurang baik dari seseorang mereka hanya tersenyum.
TAMMAT
Dengan selesainya bait terakhir tuntas sudah kajian Serat Nitiprana.
Semoga upaya kecil ini dapat memberi sumbangsih kazanah intelektual
bangsa kita.
Mirenglor, 5 April 2020.
Bambang Khusen Al Marie.