43
COREMAP Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 1 NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA Project Management Office Coral Reef Rehabilitation and Management Program Jakarta, April 2001

NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 1

NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA

Project Management Office Coral Reef Rehabilitation and Management Program

Jakarta, April 2001

Page 2: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 2

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN............................................................................................................ 5

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................................5 1.2. Ruang Lingkup........................................................................................................................5 1.3 Proses Penyusunan ..................................................................................................................6 1.4. Maksud, Tujuan dan Sasaran....................................................................................................7 1.5. Landasan Hukum.....................................................................................................................8 1.6. Permasalahan Pengelolaan Terumbu Karang..........................................................................11

2. LANDASAN PENYUSUNAN KEBIJAKAN NASIONAL .............................................. 11

2.1. Isu-Isu Nasional.....................................................................................................................11 2.2. Isu-isu Daerah........................................................................................................................12

3. KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK TERUMBU KARANG............................................. 15 TERJEMAHAN BAHASA INGGRIS/ ENGLISH TRANSLATION 1. INTRODUCTION.......................................................................................................... 20

1.1. BACKGROUND ...................................................................................................................20 1.2. Scope..................................................................................................................................... 20 1.3. Formulation Process. .............................................................................................................21 1.4. Aim, Objective and Target ..................................................................................................... 22 1.5. Basis of Law..........................................................................................................................23 1.6. The Management of Coral Reefs Problems.............................................................................25

2. BASIS FOR THE NATIONAL POLICY ........................................................................ 25

2.1. National Issues ......................................................................................................................25 2.2. Regional Issues .....................................................................................................................26

3. NATIONAL POLICY FOR THE MANAGEMENT OF CORAL REEFS ......................... 29 DAFTAR PUSTAKA/ REFERENCES................................................................................. 33 DAFTAR ISTILAH/ GLOSSARY ........................................................................................ 35 PARTISIPAN...................................................................................................................... 41

Page 3: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 3

KATA PENGANTAR Indonesia memiliki sumberdaya terumbu karang seluas kurang lebih 42.000 Km2, atau 17% dari luas terumbu karang dunia, dan menduduki peringkat terumbu karang terluas ke-2 di dunia setelah Australia. Jika ditinjau dari kandungan keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia mengandung 70 genera dan 450 spesies karang dan diakui sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia. Ekosistem terumbu karang memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia, baik sebagai sumberdaya perikanan maupun sebagai salah satu tumpuan pariwisata bahari. Disamping itu, secara tidak langsung ekosistem ini dapat pula berperan sebagai penahan abrasi pantai dan pemecah gelombang. Secara ekologis ekosistem terumbu karang merupakan sentra keanekaragaman hayati laut, daerah asuhan, pemijahan dan tempat mencari makan biota lain. Sayangnya, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat yang otomatis harus diiringi dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan telah menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya alam laut tanpa memperdulikan kelestariannya. Kondisi terumbu karang Indonesia seperti yang dilaporkan dari hasil penelitian P3O-LIPI (1996) menunjukkan bahwa 40% dalam keadaan rusak, 34% dalam keadaan sedang, 22% dalam keadaan baik dan dengan kondisi sangat baik hanya 5%. Oleh karena itu pemerintah Indonesia mencanangkan program penyelamatan terumbu karang atau yang lebih dikenal dengan “Coral Reef Rehabilitation and Management Program” (COREMAP). Dalam pelaksanaannya program ini di wujudkan dalam 5 komponen kegiatan: Pengembangan Kelembagaan (Capacity Building), Pusat Informasi dan pelatihan terumbu karang (CRITIC), Pemantauan Pengawasan dan Penegakan Hukum (MCS), Penyadaran Masyarakat (Public Awareness), dan Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM). Program penyusunan Naskah Kebijakan Nasional Terumbu Karang merupakan salah satu prioritas program pengembangan kelembagaan COREMAP. Naskah ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi dan rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam melakukan tugas dan kewenangannya untuk mengelola sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Pada dasarnya kebijakan ini diarahkan untuk dapat menjawab beragam isu dan permasalahan pada pengelolaan terumbu karang yang selama ini terjadi di Indonesia. Terdapat tiga isu utama yang harus diperhatikan, yaitu (1) degradasi terumbu karang yang semakin besar, (2) kebutuhan pembangunan ekonomi masyarakat pesisir secara khusus, dan (3) pembagian kewenangan hak maupun kewajiban antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Naskah ini mengetengahkan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang yang disusun dengan mengacu kepada kondisi ekosistem terumbu karang saat ini dan kebijakan-kebijakan yang sudah ada, baik itu kebijakan yang langsung berhubungan dengan pengelolaan terumbu karang (seperti Kebijakan KLH 1993-1996, dan kebijakan-kebijakan negara lain) maupun kebijakan umum (seperti kebijakan pengelolaan pesisir dan laut, kebijakan kelautan atau kebijakan pemerintah/GBHN). Penyusunan naskah ini dilakukan melalui berbagai tahapan, mulai dari persiapan, studi literatur, analisis pengembangan sampai penyusunan konsep kebijakan itu sendiri. Rancangan naskah ini sudah didiskusikan dan disosialisasikan ke berbagai pihak yang berkepentingan baik di tingkat nasional maupun di daerah, melalui serangkaian lokakarya di daerah (Irian Jaya, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Riau, Sumatera Barat, NusaTenggara Barat) yang ditutup dengan Lokakarya Nasional di Jakarta. Jadi naskah ini sudah mengakomodasikan aspirasi daerah dan nasional.

Page 4: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 4

Tersusunnya Naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah kami pada kesempatan ini menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada :

1. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) Institut Pertanian Bogor 2. Prof.DR. Aprillani Soegiarto 3. DR. Alec Dawson Shepperd 4. Ir. Adi Sumardiman SH

dan semua pihak yang telah ikut membantu penyelesaian naskah ini.

Diharapkan agar naskah kebijakan nasional terumbu karang di Indonesia ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun program-program pengelolaan terumbu karang secara lestari.

Jakarta, April 2001 PMO-COREMAP

DR. Anugerah Nontji

Page 5: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 5

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang sangat potensial. Salah satunya adalah sumberdaya terumbu karang yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Luas terumbu karang Indonesia saat ini adalah 42.000 Km2 1 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia, yaitu seluas 255.300 Km2. Dengan estimasi di atas Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di dunia setelah Australia, yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 Km2 (Bryant, et al 1998). Namun demikian apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies (Veron, 1995). Sumberdaya terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung, seperti pemanfaatan ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari dan lain-lain, maupun manfaat tidak langsung, seperti penahan abrasi pantai, pemecah gelombang, keanekaragaman hayati dan tempat mengasuh, tempat mencari makan dan tempat pemijahan bagi biota lainnya. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dunia yang sangat pesat yang diiringi dengan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, termasuk sumberdaya terumbu karang. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi umum terumbu karang dunia yang hampir 36 % dalam keadaan kritis akibat eksploitasi yang berlebih, 22 % terancam pencemaran dari limbah darat dan erosi serta 12 % terancam dari pencemaran (Bryant, 1998). Di Indonesia menurut penelitian P3O-LIPI yang dilakukan pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 39,5 % terumbu karang Indonesia dalam keadaan rusak, 33,5 % dalam keadaan sedang, 21,7 % dalam keadaan baik dan hanya 5,3 % dalam keadaan sangat baik. Apabila tidak ada upaya nasional untuk menghentikan laju degradasi terumbu karang tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan degradasi terumbu karang akan semakin luas dan besar. Menyadari akan hal tersebut maka penyusunan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk mengurangi atau menghentikan laju degradasi terumbu karang yang dari waktu ke waktu semakin luas dan besar. 1.2. Ruang Lingkup Dalam rangka pengelolaan sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan, maka diperlukan suatu landasan yang kuat dan terpadu sebagai pedoman atau panduan bagi para stakeholders dalam mengelola sumberdaya tersebut. Landasan tersebut haruslah merupakan satu kebijakan nasional yang diadopsi dan dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah yang terkait serta mendapat dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat. Landasan tersebut sangat diperlukan karena peraturan perundangan yang mengatur mengenai pengelolaan terumbu karang di Indonesia belum tersusun secara komprehensif dan dalam kerangka berpikir menyeluruh (holistik) untuk pengelolaan sumberdaya alam.

1 Estimasi dari nilai total terumbu karang Indonesia yang paling kecil

Page 6: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 6

Naskah kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang ini disusun sebagai panduan dan rambu-rambu yang harus diperhatikan bagi para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam melakukan tugas dan kewenangannya dalam mengelola sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Pada dasarnya Naskah kebijakan ini diarahkan untuk dapat menjawab beragam isu dan permasalahan pada pengelolaan terumbu karang yang selama ini terjadi di Indonesia. Terdapat tiga isu utama yang harus diperhatikan, yaitu (1) degradasi terumbu karang yang semakin besar, (2) kebutuhan pembangunan ekonomi masyarakat pesisir secara khusus, dan (3) pembagian kewenangan hak maupun kewajiban antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Sesuai dengan lingkupnya sebagai kebijakan nasional, maka dokumen ini tidak menyajikan jenis-jenis kegiatan pengelolaan yang spesifik. Dokumen ini sengaja tidak memberikan rincian kegiatan apa yang harus dilakukan (misalnya membuat mooring buoy, dll), karena hal-hal tersebut merupakan keputusan dan pilihan yang nantinya harus diambil oleh para pemegang kepentingan (stakeholders) di daerah yang tentunya akan disesuaikan dengan situasi, kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Dokumen ini memberikan rambu-rambu atau hal-hal yang harus diperhatikan apabila satu wilayah/daerah akan menyusun suatu rencana program pengelolaan terumbu karang. Dengan pendekatan demikian diharapkan dokumen ini dapat menjadi satu dokumen yang selalu berguna (living document) karena rambu-rambu yang ada di dalamnya dapat selalu disempurnakan (atau bahkan direvisi) sesuai perkembangan nasional. 1.3 Proses Penyusunan Naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang disusun dengan mengacu kepada kondisi ekosistem terumbu karang saat ini dan kebijakan-kebijakan yang sudah ada, baik itu kebijakan yang langsung berhubungan dengan pengelolaan terumbu karang (seperti Kebijakan KLH 1993-1996, dan kebijakan-kebijakan negara lain) maupun kebijakan umum (seperti kebijakan pengelolaan pesisir dan laut, kebijakan kelautan atau kebijakan pemerintah/GBHN). Posisi Naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1. Penyusunan dokumen ini dilakukan melalui berbagai tahapan, mulai dari persiapan, studi literatur, analisis pengembangan sampai penyusunan Naskah kebijakan itu sendiri. Tahapan-tahapan tersebut dilakukan melalui berbagai kegiatan antara lain pertemuan, diskusi, konsultasi publik (nasional dan daerah), rapat tim kerja, dan lokakarya (nasional dan daerah). Selain itu dalam rangka penyempurnaan Naskah tersebut telah diadakan berbagai pertemuan, diskusi, lokakarya baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Proses alur penyusunan Naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Page 7: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 7

1.4. Maksud, Tujuan dan Sasaran

Berdasarkan ruang lingkup di atas, maka maksud penyusunan Naskah kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang Indonesia ini adalah:

1. Sebagai bahan acuan atau masukan dalam rangka pembuatan peraturan bagi lembaga pemerintah dan pemerintah daerah yang berwenang

2. Sebagai arahan dan panduan bagi pengelolaan sumberdaya terumbu karang, dan

3. Sebagai naskah akademik yang dapat digunakan dalam penyusunan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan pengelolaan terumbu karang.

KEBUTUHAN KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU

KARANG INDONESIA

Dokumen MenLH 1993 /1996

Dokumen GBHN

MATCHING

SOSIALISASI DAERAH

SOSIALISASI NASIONAL

KONSEP KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG INDONESIA KONSEP KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG INDONESIA

Dokumen Kebijakan Lainnya

ANALISIS KONDISI SAAT INI

PERMASALAHAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN

KEBIJAKAN ?

IMPLEMENTASI

OKE

TIDAK

YA

TIDAK ADA

ADA

NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG INDONESIA

Dokumen MenLH 1993 /1996

Dokumen GBHN

MATCHING

SOSIALISASI DAERAH

SOSIALISASI NASIONAL

KONSEP KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG INDONESIA

KONSEP KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG INDONESIA

Dokumen Kebijakan Lainnya

ANALISIS KONDISI SAAT INI

PERMASALAHAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN

IMPLEMENTASI

OKE

TIDAK

YA

TIDAK ADA

ADA

Gambar 1. Pendekatan Penyusunan Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia

Page 8: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 8

Sedangkan tujuan penyusunan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang Indonesia ini adalah:

1. Pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan daya dukung lingkungan.

2. Mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang.

3. Mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif antara semua pihak.

4. Melaksanakan peraturan formal dan peraturan non formal.

5. Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan

Diharapkan tujuan tersebut dapat dilakukan melalui perencanaan dan implementasi yang melibatkan semua stakeholders secara aktif. Pengelolaan terumbu karang yang lestari dapat berhasil melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan, hukum dan pengaturan administrasi yang sangat tergantung pada situasi kondisi sosial, ekonomi dan politik dari tiap propinsi atau daerah tersebut.

Adapun sasaran kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang Indonesia ini adalah :

1. Meningkatnya kesadaran dan peran stakeholders dalam pengelolaan terumbu karang secara lestari

2. Terlaksananya pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan terumbu karang

2. Terciptanya kerjasama antar stakeholder dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang

3. Berkurangnya laju degradasi terumbu karang

4. Terciptanya suatu mekanisme dan landasan pengelolaan data ilmiah tentang potensi, bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan daya dukung lingkungan pada ekosistem terumbu karang.

5. Terlaksananya pola pengelolaan berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya terumbu karang.

1.5. Landasan Hukum a. Sumber Hukum adalah UUD 1945, khususnya Pasal 33 b. Ketentuan hukum di bidang konservasi terdapat dalam berbagai undang-undang yang

terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang adalah:

1. Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1985, tentang Perikanan.

Page 9: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 9

2. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (Undang-Undang No. 17 Tahun 1985). 5. Konvensi Kenekaragaman Hayati Tahun 1992 (Undang-Undang No. 5 Tahun

1994). 6. Undang-Undang Darurat 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

c. Ketentuan hukum di bidang sektoral terdapat dalam undang-undang yang terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang adalah:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tentang Ketentuan Agraria. 2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967, tentang Pertambangan. 3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984, tentang Industri. 4. Undang-Undang No. 9 Tahun 1985, tentang Perikanan. 5. Undang-Undang No. 9 Tahun 1990, tentang Pariwisata. 6. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, tentang Perumahan dan Pemukiman. 7. Undang-Undang No. 16 Tahun 1992, tentang Karantina. 8. Undang-Undang No. 21 Tahun 1992, tentang Pelayaran. 9. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, tentang Kesehatan – Chemicals. 10. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992, tentang Tata Ruang. 11. Undang-Undang No. 36 Tahun 1999, tentang Telekomunikasi – Cable. 12. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.

d. Ketentuan hukum di bidang kewilayahan terdapat dalam undang-undang yang terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang adalah:

1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996, tentang Perairan. 2. Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (Undang-Undang No. 17 Tahun 1985).

e. Ketentuan hukum di bidang hukum pidana terdapat dalam undang-undang yang terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang adalah:

1. Pidana Umum : Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 (KUHP) dan ketentuan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981.

2. Pidana Khusus : UU No.9/1985 (Perikanan), UU No.5/1990 (Konservasi Sumberdaya), UU No.23/1997 (Lingkungan Hidup), UU No.5/1960 (Ketentuan Agraria), UU No.11/1967 (Pertambangan), UU No.5/1984 (Industri), UU No.9/1990 (Pariwisata), UU No.4/1992 (Perumahan dan Pemukiman), UU No.16/1992 (Karantina), UU No.21/1992 (Pelayaran), UU No.23/1992 (Kesehatan-Chemicals), UU No.24/1992 (Tata Ruang), UU No.36/1999 (Telekomunikasi-Cable), UU No.41/1999 (Kehutanan), dan UU No.12/Drt Tahun 1951 (Senjata Api dan Bahan Peledak) serta berbagai ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam undang-undang khusus.

f. Ketentuan hukum di bidang administrasi dan pemerintahan terdapat dalam undang-undang yang terkait dengan keberadaan ekosistem terumbu karang adalah:

1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.

2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Page 10: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 10

g. Peraturan dan Keputusan Pemerintah

1. Peraturan Pemerintah RI No. 15 Tahun 1990, tentang Usaha Perikanan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan atau Perusakan Laut.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom.

4. Keputusan Presiden RI No. 43 Tahun 1978 tanggal 15 Desember 1978, tentang Ratifikasi CITES.

5. Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1992, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup bagi Penanaman Modal (Lampiran 1 No. 56, Bidang Usaha Pemanfaatan dan Pengusahaan Sponge (Bunga Karang) yang Tertutup dalam rangka Undang-Undang PMA, PMDN dan Non PMA/PMDN).

6. Keputusan Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1989 tanggal 15 Nopember 1989, tentang Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Laut.

7. Keputusan Menteri Kehutanan No. 688/Kpts-II/1989, Tahun 1989, tentang Tatacara Permohonan Ijin Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Laut.

8. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. KM.13/PW.102/MPPT/93, tentang Ketentuan Usaha Sarana Wisata Tirta.

9. Keputusan Menteri Kehutanan No. 400/Kpts-II/1990, tentang Pembentukan Panitia Tata Batas Hutan. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986, tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

h. Surat Edaran

1. Surat Edaran Menteri PPLH No. 48/MNPPLH/4/1979, tanggal 30 April 1979, tentang Larangan Pengambilan Batu Karang yang dapat Merusak Lingkungan (Ekosistem) Laut, (ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia).

2. Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan No. E.I/5/5/11/1979, tanggal 28 Mei 1979, tentang Larangan Pengambilan Batu Karang yang Dapat Merusak Lingkungan (Ekosistem) laut, (ditujukan kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia).

3. Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan No. IK.220/D4.T44/91, tentang Penangkapan Ikan dengan Bahan/Alat Terlarang (ditujukan kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia).

Page 11: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 11

i. Peraturan Perundangan (Perda, SK Gubernur, KK Kepala Dinas, dll) yang berkaitan dengan larangan pengambilan terumbu karang.

1.6. Permasalahan Pengelolaan Terumbu Karang Berbagai penelitian dan pengamatan terhadap pemanfaatan sumberdaya terumbu karang menunjukkan bahwa secara umum terjadinya degradasi terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab utama, yaitu akibat kegiatan manusia (anthrophogenic causes) dan akibat alam (natural causes). Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara lain: (1) Penambangan dan pengambilan karang, (2) Penangkapan ikan dengan menggunakan alat dan metoda yang merusak, (3) Penangkapan yang berlebih, (4) Pencemaran perairan, (5) Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) Kegiatan pembangunan di wilayah hulu. Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain: pemanasan global (global warming), bencana alam seperti angin taufan (storm), gempa teknonik (earth quake), banjir (floods) dan tsunami serta fenomena alam lainnya seperti El-Nino, La-Nina dan lain sebagainya. Segenap permasalahan (kecuali yang diakibatkan oleh alam) yang menjadi penyebab terjadinya degradasi terumbu karang pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor pendorong yang menjadi akar permasalahan terjadinya degradasi tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis terdapat 10 (sepuluh) faktor yang menjadi akar permasalahan, yaitu: (1) inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang diambil; (2) metode pengelolaan yang kurang memadai; (3) instrumen hukum dan penegakan peraturan perundangan yang belum memadai; (4) kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang arti penting dan nilai strategis terumbu karang dari berbagai kalangan (elit politik, pengusaha, publik); (5) kemiskinan; (6) keserakahan; (7) kapasitas dan kapabilitas pengelola yang kurang memadai; (8) permintaan pasar/tingkah laku konsumen; (9) faktor budaya/adat istiadat/kebiasaan; serta (10) status wilayah terumbu karang yang terbuka untuk umum. 2. LANDASAN PENYUSUNAN KEBIJAKAN NASIONAL Berdasarkan permasalahan pengelolaan terumbu karang, maka berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut landasan penyusunan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang. Landasan ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) berdasarkan isu-isu nasional, dan (2) berdasarkan isu-isu daerah. 2.1. Isu-Isu Nasional Degradasi terumbu karang baik ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun perubahan kondisi alam menyebabkan hilangnya sebagian aset nasional, yaitu terjadinya penurunan produktivitas sumberdaya terumbu karang (seperti penangkapan dan pariwisata) dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya (seperti volume dan jenis karang serta biota penghuninya). Berkurangnya produktivitas sumberdaya terumbu karang yang diakibatkan oleh terjadinya degradasi terumbu karang semakin memperburuk posisi masyarakat pesisir yang hidupnya sangat tergantung pada sumberdaya alam tersebut. Pemerintah telah lama menyadari dan telah menaruh perhatian terhadap kondisi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penelitian dan proyek-proyek pengelolaan terumbu karang dari tahun ke tahun. Namun demikian, kegiatan-kegiatan tersebut belum mampu

Page 12: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 12

mencegah bahkan mengurangi laju degradasi terumbu karang yang semakin lama semakin tidak terkendali. Salah satu faktornya adalah bahwa penegakan hukum terhadap berbagai peraturan yang ada tidak pernah dilakukan secara konsisten dan terus menerus. Hal tersebut diperburuk lagi oleh ketidakjelasan wewenang dan tanggungjawab dari berbagai instansi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya itu. Belum berhasilnya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah selama ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;

1. Minimnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang tidak tampak dan total nilai ekonomis yang sebenarnya dari ekosistem terumbu karang,

2. Rendahnya upaya koordinasi diantara berbagai instansi pemerintah baik secara horizontal maupun vertikal,

3. Terumbu karang belum menjadi isu utama dalam agenda politik para pemimpin bangsa,

4. Kurangnya pengalokasian dana bagi pengelolaan terumbu karang, 5. Lemahnya pendekatan metode dan strategi maupun lobi yang dilakukan oleh

berbagai kelompok pemerhati masalah lingkungan dalam pengelolaan terumbu karang,

6. Program pengelolaan yang hanya mengandalkan satu jenis pendekatan, yaitu pengelolaan daerah konservasi (taman nasional, dll).

7. Kurangnya konsistensi dan lemahnya penegakan hukum. 8. Belum menempatkan masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang

Oleh sebab itu kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang secara nasional harus meliputi berbagai aspek berikut ini:

1. Sikap Pemerintah terhadap pembagian kewenangan dan jurisdiksi dengan Pemerintah Daerah, baik propinsi, kabupaten/kota maupun kecamatan/desa sesuai dengan pemberlakuan Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Kemauan Pemerintah untuk memperjelas dan menyempurnakan berbagai hukum dan perundang-undangan, peraturan-peraturan dan berbagai ketentuan pelaksanaan lainnya yang terkait dengan upaya–upaya pengelolaan sumberdaya terumbu karang.

3. Kemauan Pemerintah untuk menyempurnakan pembagian tugas antar instansi dan menyiapkan perangkat-perangkat kordinasi dalam pengelolaan terumbu karang.

4. Pengupayaan dan pengoptimalan pendanaan yang diperlukan dalam pengelolaan terumbu karang.

5. Penyiapan dan peningkatan kemampuan dan jumlah sumberdaya manusia dalam rangka upaya penegakan hukum.

6. Penyiapan perangkat pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program-program pengelolaan sumberdaya terumbu karang.

7. Komitmen Pemerintah untuk menjalankan berbagai ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku dan telah diratifikasi secara nasional dalam pengelolaan sumberdaya alam.

8. Sikap Pemerintah terhadap pembagian peran dan fungsi kerja dari unsur-unsur lain diluar pemerintahan seperti LSM, Perguruan Tinggi, masyarakat, swasta, dll.

2.2. Isu-isu Daerah Dengan diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka kesempatan masyarakat lokal untuk memperoleh hak dalam mengelola sumberdaya alam yang terdapat di wilayahnya, dalam hal ini sumberdaya terumbu karang semakin besar.

Page 13: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 13

Namun harus disadari pula bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal selain memberikan peluang juga menuntut adanya tanggung jawab dari masyarakat tersebut. Apabila masyarakat diberikan atau menuntut hak atau legitimasi terhadap pengelolaan sumberdaya terumbu karang di wilayahnya, maka mereka juga harus menerima dan menjalankan kewajiban atau tanggungjawabnya untuk mengelola sumberdaya tersebut secara berkelanjutan. Kewajiban atau tanggung jawab tersebut mempunyai arti bahwa masyarakat harus dapat turut memikul beban biaya yang diperlukan untuk memulihkan kembali sumberdaya tersebut agar tetap lestari. Biaya pengelolaan yang harus dipikul tersebut dapat meliputi berbagai hal seperti; penyediaan infrastruktur pengelolaan, pelaksanaan penegakan hukum, pemantauan kualitas sumberdaya, pengurangan unit-unit penangkapan ikan, pengurangan daerah-daerah penangkapan ikan, berkurangnya pendapatan dalam waktu tertentu, bantuan-bantuan teknis, administrasi, penciptaan berbagai alternatif mata pencaharian, dan lain sebagainya. Beberapa isu utama menyangkut kepentingan daerah adalah:

1. Perlunya memberdayakan masyarakat dengan memberikan kewenangan secara khusus dalam merumuskan dan merencanakan upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini sebenarnya telah dijamin oleh UU No.22 tahun 1999.

2. Kewenangan tersebut juga mengimplikasikan bahwa masyarakat (untuk satu

kewilayahan tertentu) memiliki hak-hak eksklusif terhadap sumberdaya terumbu karang yang terdapat di wilayah tersebut. Luasan wilayah ini kembali mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No.22 tahun 1999 dan berbagai peraturan pelaksanaannya.

3. Masyarakat juga memiliki hak untuk mengupayakan pengelolaan bersama dengan

pihak ketiga (swasta) untuk memperoleh pendapatan yang akan dipergunakan untuk “membayar” kembali biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melestarikan sumberdaya tersebut secara berkelanjutan. Biaya-biaya ini memang tetap sebagian akan ditanggung pemerintah.

4. Pemerintah maupun Pemerintah Daerah tetap tidak akan lepas tangan karena ada

beberapa hal yang tanpa adanya campur tangan Pemerintah akan sulit untuk ditanggulangi sendiri oleh masyarakat, seperti ledakan jumlah penduduk, bantuan-bantuan teknis lainnya, penciptaan berbagai peluang untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya, dsb. Pemerintah tetap berkewajiban untuk menanggulangi berbagai masalah yang sulit ditangani oleh masyarakat.

Untuk dapat menjawab berbagai isu dan kepentingan daerah tersebut, maka kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan terumbu karang harus memperhatikan berbagai hal berikut:

1. Penciptaan mekanisme dan prosedur penyusunan peraturan dan penjaminan hak-hak masyarakat terhadap wilayah pengelolaannya. Pemberian hak-hak ini merupakan titik terpenting untuk memberikan rasa kepemilikan2 dan bertanggungajawab terhadap sumberdaya tersebut.

2. Penyediaan mekanisme dan prosedur pemberian bantuan-bantuan teknis untuk

merencanakan program-program pengelolaan dan merangsang timbulnya berbagai inovasi dari masyarakat sendiri.

2 Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya dianjurkan namun bukan “kepemilikan secara mutlak”

Page 14: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 14

3. Penciptaan skema-skema pembiayaan upaya pengelolaan

4. Penyiapan dan pengkordinasian berbagai instansi pemerintah yang terkait untuk menunjang/membantu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat.

Perlu diperhatikan bahwa tidak seluruh masyarakat pesisir dapat memetik keuntungan secara sama (equal), bahkan tidak semua masyarakat secara bersungguh-sungguh berupaya untuk mengelola terumbu karang secara berkelanjutan. Sebagian besar masyarakat pesisir mungkin tidak memiliki perhatian maupun kemampuan untuk mengelola sumberdaya tersebut. Oleh sebab itu, tiap propinsi maupun kabupaten/kota harus secara selektif memberikan hak/mandat pada mereka yang menunjukkan kesungguhannya. Disisi lain Pemerintah Daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dapat pula memberlakukan peraturan yang akan menguntungkan masyarakat pesisir yang sebagian besar adalah nelayan miskin misalnya dengan melarang beroperasinya alat tangkap non-tradisional dalam batas jurisdiksinya (kurang dari 4 mil laut atau 12 mil laut). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang ada sekarang ini belum mampu menunjang penyelesaian berbagai isu dan permasalahan yang ada. Oleh karena itu kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang ini diharapkan dapat mempertimbangkan bahwa pengelolaan terumbu karang sebagai bagian dari ekosistem wilayah pesisir tidak dapat dipisahkan dari upaya pengelolaan berbagai sumberdaya lainnya seperti hutan mangrove, padang lamun, dan lahan basah lainnya. Sehingga kebijakan yang disusun sebagai pedoman program-program pengelolaan terumbu karang dapat juga dipakai sebagai acuan untuk pengelolaan sumberdaya alam lainnya yang terdapat di wilayah pesisir. Oleh karenanya kebijakan pengelolaan terumbu karang di Indonesia harus dirancang untuk menjawab dua kepentingan utama yaitu;

1. Kebutuhan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya terumbu karang; 2. Kebutuhan untuk mengelola sumberdaya terumbu karang secara rasional, mengatasi

konflik pemanfaatan dan mencapai keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian.

Sejalan dengan adanya otonomisasi daerah yang berkembang saat ini, maka penyusunan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang harus memperhatikan implikasi dari diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan dikeluarkannya Undang-undang tersebut, maka jurisdiksi pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di daerah sampai pada batas 12 mil laut. Sehingga desentralisasi, baik dalam perencanaan maupun pengelolaan menjadi sangat esensial dan mutlak harus dilaksanakan. Latar belakang permasalahan ataupun isu yang harus dihadapi, berbagai kepentingan dan persepsi dari stakeholders utama yang harus dikompromikan agar tercapai resolusi terhadap konflik yang timbul, semuanya berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari daerah satu ke daerah lainnya. Prinsip-prinsip dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diterapkan dalam mengelola sumberdaya terumbu karang telah tersedia dan dapat dengan mudah dipelajari. Tetapi pengalaman dan pemahaman terhadap kiat-kiat yang diperlukan untuk menjalankannya dalam upaya pengelolaan tidaklah dengan mudah dapat dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya. Upaya pengelolaan wilayah pesisir yang berhasil merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan, kebijakan, hukum dan administrasi dan sangat tergantung pada situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan politik di tiap wilayah tersebut. Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang haruslah menciptakan kondisi “voluntary partnership” antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota), dimana tiap propinsi dan kabupaten/kota memainkan peranan penting dalam merencanakan, mengelola dan menjaga kelestarian sumberdaya terumbu karang di

Page 15: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 15

wilayahnya. Sedangkan pemerintah menyediakan dana untuk membantu propinsi-propinsi atau kabupaten/kota tersebut dalam mengorganisir dan memperbaiki administrasi program-program pengelolaan yang akan dan telah dijalankan oleh propinsi3. Propinsi-propinsi4 dapat menerima dana dari pemerintah untuk mengembangkan dan menjalankan program-program pengelolaan yang memenuhi kaidah-kaidah nasional yang telah ditetapkan. Kaidah-kaidah5 ini juga pada gilirannya harus mengacu pada berbagai kaidah pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku secara internasional. Secara garis besar, peranan Pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang dapat dirinci sebagai berikut:

1. Membantu penyusunan program pengelolaan di daerah-daerah 2. Mengelola dana-dana bantuan pengelolaan secara transparan dan terbuka 3. Mengevaluasi pelaksanaan program pengelolaan terhadap standar kriteria yang

telah ditetapkan 4. Melakukan penelitian yang tidak dalam dilakukan oleh kapasitas daerah 5. Secara aktif memperkuat kemampuan daerah 6. Mengkampanyekan kepentingan nasional di tiap daerah 7. Melakukan penataan dan evaluasi di daerah.

3. KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK TERUMBU KARANG Sumberdaya terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, padang lamun, dan sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu kebijakan pengelolaan terumbu karang secara nasional harus memperhatikan serta menggunakan pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu. Selain itu, sejalan dengan perkembangan politik nasional, maka kebijakan tersebut juga harus sejalan dengan pelaksanaan Undang Undang No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, kebijakan yang diajukan merupakan upaya untuk membantu pelaksanaan otonomi daerah dalam mengelola sumberdaya terumbu karang di tiap-tiap daerah. Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang disusun dengan didasari oleh beberapa prinsip yaitu: • Keseimbangan antara intensitas dan variasi pemanfaatan terumbu karang • Pertimbangan pengelolaan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat lokal dan

ekonomi nasional • Mengandalkan pelaksanaan peraturan formal dan peraturan non formal untuk mencapai

tujuan pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang optimal • Menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan • Mencari pendekatan pengelolaan secara kooperatif antara semua pihak terkait • Menyusun program pengelolaan berdasarkan data ilmiah yang tersedia dan kemampuan

daya dukung lingkungan • Pengakuan hak-hak ulayat dan pranata sosial persekutuan masyarakat adat tentang

pengelolaan terumbu karang • Memantapkan wewenang daerah dalam pengelolaan terumbu karang sesuai dengan

semangat otonomi daerah.

3 Kalimat ini perlu disesuaikan dengan mengikutsertakan Kabupaten sesuai dengan UU No. 22/99 4 Kalimat ini perlu disesuaikan dengan mengikutsertakan Kabupaten sesuai dengan UU No. 22/99 5 Apakah yang dimaksud adalah peraturan “baru”?

Page 16: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 16

Kedelapan prinsip tersebut ditambah dengan asas desentralisasi, baik dalam perencanaan maupun implementasi menjadi suatu hal yang sangat penting dan harus dilaksanakan. Latar belakang dan isu yang harus dikaji, serta perbedaan persepsi dan minat dari sebagian besar pemegang kepentingan (stakeholders) yang harus dikompromikan sangatlah berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung mudah diperoleh dari berbagai sumber di dunia ini. Pengetahuan mengenai hal-hal tersebut dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Namun pengalaman dan kiat-kiat pengelolaan wilayah pesisir dan terumbu karang yang terdapat di dalamnya tidaklah mudah, untuk dapat dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya. Pengelolaan sumberdaya pesisir yang berhasil merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan, kebijakan, hukum dan pengaturan administrasi yang sangat tergantung pada situasi kondisi sosial, ekonomi dan politik dari tiap propinsi atau daerah tersebut. Sehingga secara nasional kebijakan umum pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah: “Mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, serta organisasi non pemerintah. Tujuan kebijakan umum pengelolaan terumbu karang nasional adalah terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestariannya yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah, swasta, perguruan tinggi serta lembaga non pemerintah. Kebijakan tersebut merupakan suatu upaya menjawab dan mengantisipasi berbagai isu dan permasalahan yang menjadi penyebab terbesar semakin terdegradasinya ekosistem terumbu karang di Indonesia. Naskah kebijakan umum mengenai pengelolaan terumbu karang sebagaimana dicetuskan di atas dijabarkan menjadi tujuh butir kebijakan khusus yang masing-masing memiliki tujuan spesifik sebagai dasar pertimbangan dalam perumusannya. KEBIJAKAN – 1 Mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang, terutama bagi kepentingan masyarakat yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan perundang-undangan yang berlaku serta mengacu kepada standar-standar nasional dan internasional dalam pengelolaan sumberdaya alam Naskah kebijakan ini bertujuan untuk mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi terumbu karang. Naskah kebijakan ini juga menunjukkan keberpihakan Pemerintah Indonesia terhadap masyarakat umum yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung dalam ekosistem terumbu karang. Walaupun demikian keberpihakan tersebut akan tetap mengacu pada upaya pelestarian, perlindungan dan peningkatan kualitas, baik kualitas lingkungan hidup maupun kualitas sumberdaya manusia, melalui kesadaran hukum dan kepatuhan perundangan serta mengacu pada standar-standar nasional dan internasional yang berlaku dan telah diratifikasi sebagai standar nasional setelah dikaji relevansi penerapannya di Indonesia.

Page 17: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 17

KEBIJAKAN – 2 Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan hubungan kerjasama antar institusi untuk dapat menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik biofisik dan kebutuhan pembangunan wilayah Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini ekosistem terumbu karang dan implementasi otonomi daerah, maka kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang yang komprehensif sangat perlu untuk dikembangkan dengan cara meningkatkan hubungan kerjasama antar institusi pemerintah. Pengertian program yang komprehensif disini adalah program pengelolaan yang disusun dengan memperhatikan keseimbangan dan keselarasan antara kebutuhan pembangunan ekonomi daerah dan masyarakat setempat, kelestarian ekosistem dan pertimbangan nilai-nilai kearifan masyarakat lokal serta tetap memperhatikan pula kepentingan nasional. Selain itu dengan meningkatnya peranan pemerintah daerah sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara otomatis akan meningkatkan pula peranan mereka dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. KEBIJAKAN – 3 Menyusun rencana tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk mempertahankan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan Rumusan Naskah kebijakan ini mempertimbangkan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana untuk mengelola ekosistem terumbu karang dan sumberdaya alam pesisir lainnya pemerintah daerah dalam hal ini harus terlebih dahulu menyusun rencana tata ruang dan rencana pengelolaan. Adapun tujuan akhir dari kebijakan ini adalah untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya alam pesisir yang penting secara nasional termasuk didalamnya ekosistem terumbu karang serta mampu menjamin kelestarian fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Sebagai sasaran dari kebijakan ini adalah bahwa pemerintah daerah tetap perlu mengelola kawasan-kawasan khusus di wilayah pesisir (seperti taman nasional, kawasan konservasi dan lain sebagainya) untuk mempertahankan kelestariannya dan tetap dapat menjamin adanya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. KEBIJAKAN – 4 Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara pemerintah dan pemerintah daerah serta masyarakat dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan dan penegakan hukum Selama ini salah satu akar permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah kurangnya kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Permasalahan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dapat secara efektif diatasi apabila seluruh pihak yang terkait dapat bekerjasama. Kebijakan ini diarahkan untuk melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam penciptaan suatu mekanisme

Page 18: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 18

kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Mekanisme yang diinginkan ini meliputi seluruh aspek utama dalam sistem pengelolaan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pemantuan pengawasan dan penegakan hukum. Untuk dapat mencapai hal tersebut maka diperlukan kesadaran mengenai pentingnya ekosistem terumbu karang dan perlunya keberadaan mekanisme pengelolaan yang kondusif. KEBIJAKAN – 5 Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kegiatan ekonomi kerakyatan, dengan mempertimbangkan sosial budaya masyarakat setempat dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem terumbu karang dan lingkungan sekitar Salah satu faktor masyarakat pesisir melakukan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang adalah karena pada umumnya kesejahteraan masyarakat pesisir masih rendah. Rendahnya kesejahteraan mendorong masyarakat pesisir melakukan kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tidak memperhatikan lagi kelestarian lingkungan khususnya ekosistem terumbu. Atas pertimbangan tersebut, maka kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat pesisir harus ditingkatkan melalui pengembangan berbagai upaya ekonomi kerakyatan yang tetap mengedepankan prinsip-prinsip pelestarian sumberdaya dan pemanfaatan berkelanjutan. KEBIJAKAN – 6 Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, sistem informasi, pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan meningkatkan peran sektor swasta dan kerjasama internasional Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), penelitian, sistem informasi, pendidikan, dan pelatihan merupakan kebutuhan pokok yang harus dilakukan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini. Pengembangan IPTEK, penelitian, sistem informasi, pelatihan, dan pendidikan harus melibatkan peran swasta dengan meningkatkan peran aktifnya. Berbagai kegiatan tersebut juga perlu melibatkan lembaga-lembaga internasional dengan meningkatkan kerjasamanya. Kebijakan ini diarahkan untuk dapat lebih memahami karakateristik ekosistem terumbu karang, pengalihan teknologi ramah lingkungan, dan peningkatan sumberdaya manusia dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan meningkatkan peran sektor swasta dan kerjasama internasional. KEBIJAKAN – 7 Menggali dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang Ketersediaan dana dalam pengelolaan eksosistem terumbu karang menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan berbagai program pengelolaan yang lestari. Sehingga perlu adanya kesepakatan komitmen yang tegas baik dari pemerintah maupun pemerintah daerah dalam menyediakan dana untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang. Penggalian berbagai sumber dana dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang ini bisa bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri tanpa adanya suatu ikatan. Penggalian dana

Page 19: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 19

juga dapat diperoleh dari masyarakat, sehingga ketersedian dana untuk melakukan kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang sudah menjadi tanggung jawab semua pihak. Rumusan Naskah kebijakan umum yang dijabarkan melalui tujuh rumusan Naskah kebijakan tersebut di atas merupakan satu kesatuan utuh upaya mencegah keberlanjutan degradasi ekosistem terumbu karang di Indonesia. Diharapkan kebijakan tersebut dapat menjadi panduan dalam melaksanakan pengelolaan terumbu karang sehingga kuantitas dan kualitas ekosistem terumbu karang Indonesia terjaga.

Page 20: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 20

1. INTRODUCTION

1.1. Background Indonesia is the biggest archipelagic nation in the world and has a corresponding potential from natural marine resources. These resources include coral reef resources, which are widespread in Indonesian waters. The area6 of Indonesian coral reef is 42,000 Km2) or 16.5 % of the global area of coral reef of 255,300 Km2. Australia has a coral reef area of 48,000 Km2 (Bryant, et al 199). Based on the above estimation Indonesia ranks second in the world for the area of coral after Australia. However, from the point of view of biodiversity, Indonesia is the coral biodiversity center of the world with 70 genera and 450 species (Veron, 1995). Coral reef resources and all living organisms existing within it provide a valuable natural resource. The potential use of coral reef ecosystems is enormous and various, either for direct use, such as fish and other biota, water tourism, etc, or other indirect use, such as resisting coastal abrasion, wave breaker, biodiversity and sanctuaries, food sources and habitats biota. Combined with increasing global population, which is becoming more critical together with the large-scale exploitation of natural resources without considering their sustainability, have reduced the quality of the environment, including coral reef resources. This could be seen from general condition world’s coral reefs where almost 36 % is in critical condition due to exploitation, 22 % threatened by pollution from land waste and erosion and 12 % threatened from pollution (Bryant, 1998). According to P3O-LIPI research undertaken in 1996 has shown that 39.5% of Indonesia’s coral reef is in a damaged condition, 33.5 % in a medium condition, 21.7 % in a good condition and only 5.3 % very good condition. If there isn’t a national effort to stop the degradation of Indonesia’s coral reefs, then perhaps the degradation of coral reefs will be greater and larger. The national policy on coral reef management must be developed by government to reduce or stop the degradation of coral reef before it becomes to great. 1.2. Scope In the context of sustainable coral reef management , a basic framework that is integrated and solid is required as a manual or guideline for stakeholders to manage this resource. The framework should form the basis of the national policy, to be adopted and implemented by relevant government institutions and supported by all levels of society This framework is required because existing laws and regulations for the management of coral reefs Indonesia are not yet comprehensive or complete enough in order to manage natural resources This National Policy concept for the Management of Coral Reef has been developed as a guideline for policy and decision makers to assist them in undertaking their duties and authority with respect to coral reef management. At the lowest level this policy concept is to assist in addressing the issues and problems associated with coral reef management in Indonesia. There are 3 important issues, which should be considered: (1). Increased coral reef degradation, (2). The need for economic development, specifically coastal communities, (3). The rights and responsibilities of the Central Government, Regional Governments and communities.

6 lowest estimate of the area of coral reef in Indonesia.

Page 21: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 21

In accordance with the scope of the national policy , this document does not specify specific management activities. This document does not detail activities that should be undertaken (e.g. types of mooring buoy, etc), because of those activities are decided and chosen by stakeholders in accordance with the specific situations, conditions and characteristics of each location. This document provides guidelines or factors that should be considered if a region or area is planning to manage their coral reefs. Therefore this document is a living document that should be updated (or revised) in accordance with national development. 1.3. Formulation Process. National Policy Concept for the Management of Coral Reefs has been is formulated to refer to the present condition of coral reef ecosystems and existing policies, as well as policies that are directly related to coral reef management (i.e. Environment policy 1993-1996, and policies from other countries) or general policies (e.g. marine and coastal management policy, marine policy and government policy/GBHN). The National Policy Concept for the Management of Coral Reef of Indonesia is outlined in Figure 1 In preparing this document , PKSPL-IPB and COREMAP-LIPI implemented several stages beginning with a preparation stage, literature study, development analysis through to conceptualizing the policy . Each stage comprised a number of activities, i.e. meetings, discussions, public consultation (national and regional), team meetings and workshops (national and regional). To consolidate the policy concept several meetings, discussions and workshops were held in Jakarta andother regions. The process for formulating the National Policy Concept for the Management of Coral Reef of Indonesia is shown in Appendix 1:

Env i ronmenta l Minister

Document 1993 /1996 G B H N

Document

MATCHING

SOSIALISASI DAERAH

SOSIALISASI NASIONAL

KONSEP KEBI JAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG INDONESIA KONSEP KEBI JAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG INDONESIA

Other Pol ic ies Documents

A N A L Y Z E T H E C U R R E N T C O N D I T I O N

P R O B L E M S P O T E N T I A L A N D D E V E L O P I N G O P P O R T U N I T Y

P O L I C Y ?

I I M P L E M E N T A T I O N

O K

N O

Y E S

N O

Y E S

MATCHING

REGIONAL SOCIALIZATION

NATIONAL SOCIALIZATION

KONSEP KEBI JAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU KARANG INDONESIA

CONCEPT OF NATIONAL POL ICY FOR THE MANAGEMENT OF CORAL REEFS OF INDONESIA

T H E N E E D O F N A T I O N A L P O L I C Y F O R T H E M A N A G E M E N T O F C O R A L R E E F S O F

INDONESIA

Figure 1. The approach for preparing the National Policy for the Management of Coral Reef of Indonesia

Page 22: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 22

1.4. Aim, Objective and Target Based on the above scope the aim for formulating the National Policy Concept for the Management of Coral Reef of Indonesia was as follows:

1. As a reference or input to assist government institutions and regional authorities prepare regulations

2. As guidelines and directions on the management of coral reefs, and

3. As an academic document which can be used in formulating laws and regulations

on coral reef management. While the objectives on formulating the national policy on the management of coral reef in Indonesia are :

1. to balance the management between intensity and different uses based on available scientific data and the carrying capacity of the environment.

2. to develop management systems , which consider national economic priorities, the

local community and the conservation of coral reef resources. 3. to develop cooperative coral reef management systems involving all parties. 4. to Implement formal and informal regulations 5. to Create an incentive for equitable and balanced management.

It is expected this objective can be applied through active involvement of all stakeholders in planning and implementation. Successful coral reef management is a combination of science, law and administration which depends on the social, economic and political situation in that province or area. The target for the national policy for the management of coral reef of Indonesia are:

1. Increasing stakeholders’ awareness and participation in management of coral reef. 2. Delegation of authority to Regional Government in the management of coral reefs. 3. Creating a cooperative approach among stakeholders in the management of coral

reef ecosystems 4. Reducing coral reef degradation 5. Creating a mechanism and framework for the management of scientific data

concerning potential, utilization and carrying capacity of coral reef ecosystem. 6. Implementing community based management in natural resources management,

especially coral reef resources.

Page 23: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 23

1.5. Basis of Law a. The source law is The Indonesian Constitution 1945, specifically verse 33 b. The following laws concerning conservation and are related to the coral reef ecosystem:

1. RI Law No. 9 of 1985 concerning Fisheries. 2. RI Law No. 5 of 1990 concerning Natural Resources Ecosystem and Conservation. 3. Law No. 23 of 1997 concerning Environmental Management 4. Marine Law Convention of 1982 (Law No. 17 of 1985) 5. Biodiversity Convention of 1992 (Law No. 5 of 1994) 6. Emergency Law No. 12 of 1951 concerning Weapon and Explosive Material.

c. The following laws concerning are sectoral Regulations which related to the existence of

coral reef ecosystem:

1. Law No. 5 of 1960 concerningLand use. 2. Law No. 11 of 1967 concerning Mining. 3. Law No. 5 of 1984 concerning Industry. 4. Law No. 9 of 1985 concerning Fisheries. 5. Law No. 9 of 1990 concerning Tourism. 6. Law No. 4 of 1992 concerning Housing and Settlement. 7. Law No. 16 of 1992 concerning Quarantine. 8. Law No. 21 of 1992 concerning Sail. 9. Law No. 23 of 1992 concerning Chemicals-Health. 10. Law No. 24 of 1992 concerning Spatial Planning 11. Law No. 36 of 1999 concerning Cable-Telecommunication. 12. Law No. 41 of 1999 concerning Forestry.

d. The following laws are concerned with Area Regulation and linked to the coral reef

ecosystem:

1. Law No. 6 of 1996 concerning Waters. 2. Convention Law of 1982 (Law No. 17 of 1985)

e. The following laws concerning criminal law which related to the existence of coral reef

ecosystem:

1. General Criminal Law: Law No. 1 of 1946 (KUHP) and regulation on procedural criminal law of Law No. 8 of 1981.

2. Particular Criminal Law: Law No. 9/1985 (Fisheries), Law No. 5/1990 (Resources

Conservation), Law No. 23/1997 (Environment), Law No. 5/1960 (Agricultural), Law No. 11/1967 (Mining), Law No. 5/1984 (Industry), Law No. 9/1990 (Tourism), Law No. 4/1992 (Housing and Placement), Law No. 16/1992 (Quarantine), Law No. 21/1992 (Sail), Law No. 23/1992 (Chemicals-Health), Law No. 24/1992 (Spatial), Law No. 36/1999 (Cable-Telecommunication), Law No. 41/1999 (Forestry) and Law No. 12/Drt of 1951 (Weapon and Explosive Materials) and other procedural criminal law within particular laws.

f. The following laws concerning Administration and Government Regulation which related

to the existence of coral reef ecosystem:

1. Law No. 22 of 1999 concerning Regional Government.

Page 24: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 24

2. Law No. 25 of 1999 concerning Financial Balance between Central Government and Regional Government.

g. Regulation & Government Decree

1. Government Regulation RI No. 15 of 1990 concerning Fisheries. 2. Government Regulation No. 29 of 1999 concerning Controlling and or Marine

Damage. 3. Government Regulation No. 25 of 2000 concerning Province and Sub district/ City

Authority as Autonomy Regional. 4. Presidential Decree No. 43 of 1978, dated 15th December 1978 concerning CITES

Ratification. 5. Presidential Decree No. 32 of 1992 concerning the List of Closed Business for

Investing (Encl. 1 No. 56, Closed Business of Utilization and Sponge exertion according to Law of Foreign Investment Plant, Domestic Investment Plant and Non Foreign-Domestic Investment.

6. Decree of Forestry Minister No. 687/Kpts-II/1989, dated 15th November 1989,

concerning Tourism Forest Business, National Park, Forest Park and Marine Tourism Park.

7. Decree of Forestry Minister No. 688/Kpts-II/1989, concerning Permit Approval on

Tourism Forest Business, National Park, Forest Park and Marine Tourism Park. 8. Decree of Tourism, Post and Telecommunication Minister No.

KM.13/PW.102/MPPT/93 concerning Tourism Infrastructure for Business 9. Decree of Forestry Minister No. 400/Kpts-II/1990 concerning Establishment of

Steering Committee on Forest Boundary. Government Regulation No. 29 of 1986 concerning Environmental Impact Assessment

h. Circular Letter

1. Circular letter of PPLH Minister No. 48/MNPPLH/4/1979, dated 30th April 1979

concerning Prohibition to take coral reef which could damaged marine ecosystem, (it is directed towards to all Governors in Indonesia)

2. Circular letter of DG Fisheries No. E.I/5/5/11/1979, dated 28th May 1979

concerning prohibition to take coral reef which could damaged marine ecosystem, (it is directed towards all of Head of Fisheries Office in Indonesia)

3. Circular letter of DG Fisheries No. IK.220/D4.T44/91 concerning Fish Catching by

Prohibition Tools (it is directed towards all of Head of Fisheries Offices in Indonesia)

j. Regulations (i.e. Regional Government Regulation, Governor Decree, Decree of

Head Officer, etc), which related in prohibition taking coral reef.

Page 25: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 25

1.6. The Management of Coral Reefs Problems Several researches and studies into the utilization of coral reef resources have shown that the degradation of coral reefs is generally caused by two principal causes, that is human activity (anthrophogenic causes) and natural causes. Human activities causing the degradation of coral reefs are: (1) coral mining and taking, (2). Catching fish using tools and destructive methods, (3). Over fishing , (4). Water Pollution, (5). Coastal development , (6) development of surrounding areas. While the degradation of coral reefs through natural causes includes: global warming, storms, earthquakes, floods, tsunamis and others, i.e. El-Nino, La-Nina, etc. All of the problems (except those caused by natural factors) which lead to the degradation of coral reef can be traced back to the root of the problem Based on identification and analysis there are 10 (ten) factors, which became root of problems: (1). Inconsistence in the application of policy ; (2). Insufficient management ; (3). Law enforcement agencies and regulations are inadequate ; (4). The lack of awareness and knowledge concerning the importance and strategic value of coral reefs from various groups parties (i.e. politician, entrepreneurs public); (5). poverty; (6). greed; (7). the capacity and capability to manage ; (8). Market demand/ consumer behavior; (9). culture/customs/manners; and (10). The status of coral reef areas open to the public. 2. BASIS FOR THE NATIONAL POLICY The following is derived from the problems facing the management of coral reefs and explains the foundations upon which the National Policy for managing Coral Reefs has been developed. These foundations include: (1) national issues and (2) region issues. 2.1. National Issues The degradation of coral reefs is a result of changes in human activity and natural conditions. These changes have resulted in the loss of part of our national assets, resulting in reduced productivity of coral reef resources (i.e. fishing and tourism) and reduction in our biological diversity (i.e. volume and kind of coral and biota). The reduced coral reef productivity, caused by the degradation of coral reefs, aggravates the condition of the coastal communities that are dependent on these natural resources. The Government has been aware of the condition of the coral reefs for a long time and has raised its concern over the current condition of coral reefs. This problem has been raised by researchers and projects involved in coral reef management over several years. However, this awareness has not yet prevented the degradation of coral reefs, which continues. One factor is that existing laws and regulations have not been consistently and continuously enforced. This has been made worse by the poorly defined authority and responsibility given to Government Institutions to manage coral reef resources. The poor management of coral reefs by Government is due to:

1. The lack of awareness of the value and the real of economic benefits arising from coral reef ecosystems,

Page 26: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 26

2. The weak horizontal and vertical co-ordinating capacity within and between government institutions,

3. Coral reefs have not yet become a priority issue in the political agenda of the

Nation’s leaders. 4. The poor allocation of funds for managing coral reefs. 5. The poor lobbying skills of environmental groups interested in the conservation and

management of coral reefs. 6. Programs are dependent on one approach, namely the management of

conservation areas (national park, etc). 7. Inconsistent and weak law enforcement. 8. Coastal communities have not yet been involved in the management of coral reefs.

Therefore the Government’s National Policy to manage coral reefs should include the

following:

1. Government should divide authority and jurisdiction with Regional Governments, Provinces, Districts or sub districts/villages in accordance with Act No. 22/1999 on Regional Government.

2. Government should clarify and improve the various of laws and regulations which

relate to the management of coral reef resources. 3. The Government should be willing to improve interagency linkages and co-

ordination 4. To increase the level of funding required to manage coral reefs 5. Develop the capacity and number of personnel to enforce the law. 6. Developing monitoring and evaluation capacity of those involved in implementing

coral reef resource management programs. 7. Government commitment to implement several existing international laws that have

been nationally ratified with respect to natural resources management. 8. The Government’s attitude towards the role and function of Non Government

Organizations e.g. NGO, higher education institutions, community and private sectors, etc.

2.2. Regional Issues Introduction of Act 22/1999 on Regional Government has created the opportunity for local communities to secure greater rights to manage natural resource within their region, especially to manage coral reef resources.. However, it should be realized that this has increased the responsibility of local communities. If communities claim and obtain rights or legitimate control, to manage coral reef resources in their area, they should also accept the obligation or responsibility to continuously manage these coral reefs. The obligation or responsibility given to communities means that communities must take on the burden of the

Page 27: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 27

sustainable use of the resource. Costs incurred include those for, management, law enforcement, monitoring resources quality, decreasing the number of fishing units, decreasing the size of fishing areas, decreased income at different times, technical assistance, administration, creation of alternative generating income (AIG), etc. Several issues are of significance at the regional level:

1. Community empowerment is provided through a special authority to formulate and plan the management of natural resources under Law No. 22/1999.

2. This authority also has an implication in that the community (for a specific area/

region) has exclusive rights to the coral reef resources in their area. The definition of area is based on the guidelines under Law No. 22/1999 and several of the regulations.

3. Communities have the right to manage, with others parties (private sector), to gain

income in order to “repay” costs incurred to sustainably conserve their resources. Some of the costs will be borne by government.

4. National and Regional Governments cannot avoid responsibility because some

situations will not be easily handled by the community itself without Government involvement. For example: uncontrolled of population growth, technical assistance, opportunities to decrease resources pressure, etc. The Government has an obligation to handle those problems that are too difficult to be handled by the Community.

To answer these issues and regional interests, a National Policy on coral reef management should pay attention to the following:

1. Creation of mechanisms and procedures to issue laws and ensure Community rights to managing an area. Community rights are essential to provide a sense of ownership7 of and responsible for these resources.

2. The preparation of mechanisms and procedures to obtain technical assistance to

plan management programs and to stimulate innovations from the community. 3. The creation of schemes for the management of funds. 4. Preparation and coordination of Government Institutions involved in

supporting/helping community management. It is noted that not all the coastal communities should receive equal benefits from or be involved in continuous management. Most coastal communities may have no interest or capability to manage the resource. Therefore each Province and sub-district (Kabupaten / City) must give the right to those people who have shown interest in managing the coral reefs. In addition, Regional Governments (Province and Sub-district/ City) should also put in place the laws and regulations which are beneficial to those coastal Communities which comprise a majority who are poor fishermen, i.e. laws to prohibit the use of non-traditional fishing gear in jurisdiction border (less from 4 miles or 12 miles). It could be concluded that the existing policy could not support or solve the main issues. Therefore the National Policy for coral reef management should consider the management

7 Delegation of authority and responsibility for management and use of resources is recommended and not “absolute ownership”.

Page 28: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 28

of coral reefs as part of the coastal ecosystem and not separated from other resources management activities, i.e. mangrove, sea grass, and other wetland. This Policy is a manual for the implementation of strategies and programs to manage coral reefs and could also be used as a guideline for other coastal resources management activities . Therefore the National Policy on the management of coral reefs in Indonesia should be designed to answer two basic needs:

1. the need to protect and conserve coral reef resources; 2. the need to manage coral reef resources nationally, to address conflict over its use,

and to obtain a balance between utilization and conservation.

The National Policy for the management of coral reefs must take note of the implications of law No. 22 of 1999 concerning Regional Government. This law states that the jurisdiction of Regional Governments in the management in coastal and marine areas is 12 miles. With decentralization, both planning and management are essential and must be implemented by Regional Governments. Problems or issues must be addressed and resolved through conflict resolution mechanisms by discussing the various primary stakeholders interests and perceptions at local and regional level because the problems and issues differ from location to location and region to region. The science and technological principles, which could be used for the management coral reefs are readily available and easily learned. However, experience and knowledge from one site is not easily applied to another site. The successful management of coastal resources has to be through the integration of science, policy, law and administration taking consideration of the social, economic and political situation in each area. The National Policy on the management of coral reefs must create conditions for “voluntary partnership” between Government and Regional Government (Province and Kabupaten/City), where each Province and Kabupaten/City have important role to plan, manage and maintain the coral reef conservation in their area. In the meantime the Government provides funds to assist the Provinces or Kabupaten/City to organize and improve the administration of management programs that will and was formerly done by Province8. Provinces9 may receive the funds from Government to develop and implement management programs in accordance with the existing national regulations. The regulations10 should also refer to the international environment regulations. As a broad outline, Government role in the management of coral reefs should be as follow:

1. Assist in the arrangement of management program at region.

2. Transparent and open management of assistance funds.

3. Evaluate the implementation of management program according to appropriate standards.

4. Undertake research for which there is insufficient regional capacity.

5. Actively build the regional capability.

6. Campaign for the National interest on each Region.

7. Arrange and evaluate on each region.

8 The text needs to be modified to include Kabupaten under Law 22/99. 9 The text needs to be modified to include Kabupaten under Law 22/99. 10 Presumably means “new” regulations?

Page 29: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 29

3. NATIONAL POLICY FOR THE MANAGEMENT OF CORAL REEFS Coral reef resources form an integral part of coastal and marine natural resources in the region; their management cannot be separated from the management of other natural resources such as: mangrove forestry, sea grass beds, and coastal wetlands. Because of this, the National Policy for the management of coral reefs must consider using an holistic and integrated approach. In addition, this National Policy must be in line with national political development and therefore a National Policy on coral reef management must be in accordance with the implementation Act No. 22/1999 on Regional Government. The policy presented will provide a framework to assist the implementation of regional autonomy in the management of coral reef resources in each and every region. The National Policy for the management of coral reefs is based on the following principles: • A balance between intensity and utilization of coral reef. • Management considerations have to be in conformity with the needs of local

communities and national economic priorities . • Relying on the execution of formal and non-formal regulations to reach the

objective of optimal coral reef management and use. • To create an incentive for continuous and fair management. • Seeking a co-operative management approach between all parties. • Formulate management programs based on available scientific data and the

carrying capacity of the environment. • Acknowledge traditional laws and traditional community institutions regarding

coral reef management. • To strengthen regional authorization in coral ref management in accordance

with the spirit of regional autonomy. These eight principles and the basis of decentralization whether the planning or implementation are, of great importance and must be undertaken. The background and issues must be studied, along with the differences in perception and interests of the majority of stakeholders for which compromises must be pursued, differ greatly from one locality to another. Scientific knowledge and technological principles are relatively easy to obtain from various sources in this world. This Knowledge is relatively easy to transfer from one locality to another. However, the experience and activities in the management of coastal zones and coral reefs are not that easy to transfer from one locality to another. Successful management of coastal and coral reef resources is a consolidation of science, policy, law and administrative arrangements, which intimately depends on the social, economic and political conditions in each province or region. Therefore the national policy for the coral reef management in Indonesia is to: “ Manage coral reef ecosystems based on a balance between conservation and utilization, designed and implemented in an integrated and synergistic manner by the central government and regional governments, civil society private sector, higher education institutions, and non government organizations”

Page 30: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 30

The objective of the National Policy for the management of coral reefs is a coral reef ecosystem management with a balance between conservation and utilization, and brought about in an integrated and synergistic manner by the central and regional governments, civil society, private sector, higher education institutions and non-government organizations. This Policy forms one in respon to and anticipation the various issues and problems, which are the main causes of the increasing degradation of coral reef ecosystems in Indonesia. The National policy concept on coral reef management is clarified in seven sub-policies, each of which has specific objectives, which was the basic judgment during formulation. POLICY - 1 To strive for the conservation, protection, and improvement the condition of coral reef ecosystems, especially for those communities whose survival depends on the utilization of these ecosystems, based on existing laws and regulations and referring to various recognized national and international standards for the management of natural resources. The objective of the policy concept is to conserve, protect and improve the condition of coral reefs. This policy concept demonstrates the Indonesian government’s commitment towards communities whose survival depends on the utilization of the natural resources contained in coral reef ecosystems. However, this commitment includes efforts to conserve, protect and improve the quality, whether it be environmental quality or the quality of human resources, through awareness of and conformity to national laws and regulations and to various international and national standards to which Indonesia is a party to. POLICY - 2 Develop the capacity and capability of the Central Government and Regional Governments, strengthening cooperation amongst institutions in order to be able to prepare and implement programs on the management of coral reefs ecosystems based on a principle of balance between utilization and conservation of natural resources conforms with the traditional wisdom, the biophysical characteristics and regional development needs. In the framework of managing natural resources, in this case coral reef ecosystems and the implementation of regional autonomy, the capabilities of regional government and central government in the preparation and implementation of comprehensive programs on the management of coral reef ecosystems must be developed through increased collaboration between government institutions. The interpretation of comprehensive Programs are those management programs which take into consideration the balance and harmony between regional economic development, local community and ecosystem conservation needs, and considers the local community wisdom, while still paying attention to national priorities. In addition, enhancing the role of Regional Governments, in accordance with Act No. 22/1999 on Regional Government, will automatically increase their involvement in the management of natural resources in their region POLICY - 3 Prepare spatial and management plans for coastal and marine areas, in order to sustain of coral reef ecosystems and nationally important coastal marine resources along with the ability to guarantee the sustainable ecological function of coral reefs and regional economic growth.

Page 31: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 31

This policy highlights the responsibility that Act No. 22/1999 confers on Regional Government to manage coral reef ecosystems and other coastal natural resources under their jurisdiction. They must prepare -spatial and management plans. The final objective of this policy is to maintain the sustainability conservation of coastal natural resources that are of national importance, including coral reef ecosystems, and sustaining the ecological function of coral reefs and economic growth in an area. This Policy targets the need for regional government to manage special areas in coastal regions (such as national parks, conservation areas and other parks) to maintain sustainability and still guarantee economic growth in the area. POLICY - 4 Increase cooperation, coordination and partnership between the Central Government, Regional Governments and the community to make decisions regarding coral reef ecosystems, which include aspects of planning, implementation, monitoring, evaluation, supervision, and law enforcement. One root problem in managing coral reef ecosystems is the lack of cooperation, coordination and partnership between national government, regional governments and communities. The problems faced in the management of coral reef ecosystems can be effectively overcome when all stakeholders cooperate. This Policy aims to encourage involvement of all levels of society in creating a mechanism for cooperation, coordination and partnership between Central Government and Community, Central Government and Regional Government in the management of coral reef ecosystem. The mechanisms should cover all major aspects of a management system, which includes planning, implementation, evaluation, supervision and law enforcement. To be able to achieve this there is need to develop awareness about the importance of coral reef ecosystems and the need for the existence of conducive management mechanisms. POLICY - 5 Increase the welfare of coastal communities through the development of community based economic activities, taking into consideration the socio-cultural context of the local community and the sustainability of coral reef ecosystems and their surrounding environments. One of main factors why coastal communities undertake activities, that destroy coral reef resources, is their low prosperity. The low-income levels of coastal communities forces community members to be involved in activities which meet their basic needs without considering environment of sustainability especially coral reef ecosystems. Based on this judgment the welfare and quality of life of coastal communities has to be improved through the development of the local economy, while still taking into consideration natural resources conservation principles and sustainable uses. POLICY - 6 Develop science and technology, research, information systems, education and training, in the management of coral reef ecosystems by strengthening the role of the private sector and international cooperation. The development of science and technology, research, information systems, education and training forms a fundamental requirement that must be undertaken to support the

Page 32: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 32

management of coral reef ecosystem immediately. There must be an increasingly active role of the private sector in science and technology, research, information system, training and education. The development of these activities also need to involve international institutions. The aim of this Policy is to increase private sector and international collaborative support to enhance the understanding of coral reef ecosystem characteristics, to transfer environmentally friendly technology and to increase the human resources available to support improved coral reef ecosystems management. POLICY - 7 Identify and increase funding for managing coral reef ecosystems. Availability of funding for coral reef ecosystem management is an important fact for the successful implementation of the conservation management program. There is, therefore, a need for a strong commitment from the Central Government and Regional Government to provide funds for coral reef ecosystem management. Various sources of non-binding (grant) funding for coral reef management can be sourced from both national and international arenas. Funding could also be obtained from the community so that the availability of funds for coral reef ecosystem management becomes the responsibility of all parties. The formulation of the general policy framework, which has been clarified in seven policy concepts described above forms a unified effort to prevent the progressive degradation of Indonesia’s coral reef ecosystems. It is expected that these policies will provide guidelines for the implementation of coral reef management, so that the quantity and quality of coral reef ecosystems is safeguarded.

Page 33: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 33

DAFTAR PUSTAKA/REFERENCES ADB. July 1997. Project Preparation Document. Coral Reef Rehabilitation and

Management Program. Final Report, T.A.No.2535-INO. ADB. June 1997. Project Preparation Document. Coral Reef Rehabilitation and

Management Program. Final Report: ANNEX, T.A.No.2535-INO. Bappeda Propinsi SULSEL. 1995. Kondisi dan Permasalahan Terumbu Karang di Propinsi

SULSEL. Bappeda Propinsi SULSEL. 1997. Studi Social Ekonomi : Masyarakat Kawasan Konservasi

Terumbu Karang di Pulau Kapoposang Kecamatan Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep. Ringkasan Hasil Penelitian.

Bryant, D. L. Burke, J. McManus, M. Spalding. 1998. Reefs at Risk. World Resource

Institute, ICLARM, UNEP. Carter, J.A. March 1997. Guideline on assessment, protection, and rehabilitation of coastal

habitat in eastern Indonesia. Technical Report. CIDES. 1996. Profil Indonesia. Jurnal Tahunan CIDES. COREMAP. 1998. Proceeding Coremap Launch Workshop and Update Program

Implementation. Dahuri, R., J.Rais, S.P.Ginting, M.J.Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir

dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. 305 hal. Ditjenkan. 1993. Evaluasi Pembangunan Sub-Sektor Perikanan dalam PJPT I. ESD. 1995. Sustainable Financing Mechanisms for Coral Reef Conservation. Preceedings

of a Workshop Series No.9. K.L.H. Technical Team for Coral Reef Ecosystem Conservation and Management. July

1992. National Seminar Strategy on Coral Reef Ecosystem Conservation and Management. Kantor MNLH, Jakarta.

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1996. Indonesia’s Marine Environment Policy.

Kantor MNLH, Jakarta. Kenchington, R.A. and Crydget E.T. Hudson. 1988. Coral Reef Management Handbook. 2nd

Edition. 321p. KmenLH. 1993. Pengelolaan dan Konservasi Ekosistem Terumbu Karang. Lokakarya, Kapal

Kerinci:11-13 September 1993. 35 hal. Komnas Pengkajian SDP Laut. 1998. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan

Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. LIPI. 1996. Propinsi SULSEL, Buku I: Data Dasar. Laporan Penelitian. NJSR. April 1989. Netherlands Journal of Sea Research. Vol.23 – No. (2).

Page 34: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 34

P3O-LIPI. 1998. Sejarah Pembangunan Kelautan di Indonesia. P3O-LIPI. 1998. Strategi Dasar Pembangunan Kelautan di Indonesia. P3O-LIPI. 1999. Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang : Pedoman

untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Desa S.Pinang Kec.Kota XI. Proceedings of the Sixth International Coral Reef Sysposium Townsville, Australia. Volume

1: Plenary Addresses and Status Reviews, p:63-95. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 1998. Daftar Makalah-makalah Konferensi

Nasional tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Terpadu. PKSPL-IPB, Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan dan Ketenagakerjaan, LIPI (PPT-LIPI).

1997. RINGKASAN. Hasil Analisis social COREMAP dan Rekomendasi untutk Implementasi Program dan Propinsi-propnsi COREMAP (Irian Jaya, Sulsel, NTT, NTB, Sumbar, Riau, Sumut. P3O-LIPI. Jakarta

Salm, Rodney V. 1984. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and

Managers. 301p. Status of Coral Reefs of the World 1998. Hodgson, Gregor. Reef Check and Sustainable

Management of Coral Reefs, p:165-173. Suharsono. 1998. Condition of Coral Reef Resources in Indonesia. Jurnal Pesisir dan

Lautan. Volume 1, No.2, 1998 ISSN 1410–7821. Hal:44-52. Sullivan, Kate., Laith de Silva, Alan T.White, Mervyn Wijeratne. 1995. Environmental

Guidelines for Coastal Tourism Development in Sri Lanka. Thailand Coastal Resources Management Project. Vol. 1: A National Coral Reef Strategy

for Thailand : STATEMENT OF NEED. Thailand Coastal Resources Management Project. Vol. 2: A National Coral Reef Strategy

for Thailand : POLICIES AND ACTION PLAN. The World Bank. March 1998. Project Appraisal Document on a Proposed Loan in the

amount of US$6.9 Million and a Grant from the Global Environment Facility Trust Fund in the amount of SDR 3.1 Million (US$4.1 Million equivalent to the RI for a Coral Reef Rehabilitation and Management Project. Report Mo:17333-IND. (unpublished).

UNDP. October 1996. Malacca Strait Environmental Profile. Draft. UNDP. October 1996.

Malacca Strait Environmental Profile. Draft. Veron, J.E.N. 1995. Corals in space and time: biogeography and evolution of Scleractinia.

Australia Institute of Marine Science. Cape Ferguson, Townsville Queensland.

Page 35: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 35

DAFTAR ISTILAH/ GLOSSARY Abiotik : Unsur non-hayati lingkungan; tidak menyangkut kehidupan

atau organisme hidup. AMDAL : (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) Berdasarkan PP

No. 27 tahun 1999 didefinisikan sebagai hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang rencanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan

Bakau : Jenis marga pohon yang mampu hidup dan tumbuh di air

payau atau tanah payau; sering termasuk komunitas biologis yang subur yang didukung oleh hutan bakau atau beberapa jalur bakau.

Benthik : Berada atau kehidupan di atas atau di dasar laut; berada

pada atau menempel di dasar laut (kebalikan dari pelagis). Biodiversity : Berbagai jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup

dalam suatu habitat tertentu; juga dukungan sosial untuk melindungi jenis-jenis biota dan mencegah dari kepunahan.

CITES : Convention on International Trade in Endangered Species

(Suatu Konvensi internasional mengenai perdagangan flora dan fauna langka)

DAS : Daerah Aliran Sungai; suatu kawasan yang meliputi wilayah

dimana jatuhnya air hujan pada batas terluar wilayah tersebut akan masuk ke suatu sungai, misalnya DAS Wain berarti meliputi wilayah terluar dimana air hujan jatuh dan akhirnya masuk pada Sungai Wain

Dampak Lingkungan : Perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan

manusia dan atau kegiatan alam Daya Dukung : Batas banyaknya kehidupan, atau kegiatan ekonomis yang

dapat didukung oleh suatu lingkungan; sering berarti jumlah tertentu individu dari sejumlah spesies yang dapat didukung oleh suatu habitat atau dalam pengelolaan sumberdaya, berarti batas-batas yang wajar dari pemukiman manusia dan atau penggunaan sumberdaya.

Degradasi : Kerusakan, penurunan daya dukung lingkungan akibat

aktivitas atau kegiatan manusia atau alam Diseminasi : Suatu proses yang digunakan untuk memperkenalkan atau

mensosialisasikan Naskah atau program kepada masyarakat umum atau suatu kelompok sasaran tertentu, misalnya penyebaran, pengenalan atau sosialisasi suatu Naskah melalui media massa, seminar, lokakarya, pendidikan dan pelatihan,

Ekonomi Kerakyatan : Politik ekonomi yang mencangkup kebijaksanaan strategi

dan pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional sebagai

Page 36: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 36

perwujudan dari prinsip-prinsip dasar demokrasi ekonomi yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana dimaksud oleh pasal 33 UUD 1945.

Ekosistem : Suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan dan organisme

lainnya serta proses yang menghubungkan mereka; suatu sistem fungsi dan interaksi yang terdiri dari organisme hidup dan lingkungannya.

Habitat : Tempat hidup suatu jenis hewan atau tumbuhan tertentu. Hak Ulayat : Hak masyarakat setempat (lokal) dalam pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan suatu wilayah yang telah menjadi suatu hak adat secara turun temurun

Hutan Lindung : Hutan yang terjaga keaslian fungsinya Karang : Kelompok hewan sesil bahari termasuk dalam ordo

Hexacoralia, Filum Cnidaria, yang hidup membentuk koloni yang terdiri dari jutaan polip yang menghasilkan kapur serta bersimbiosis mutualistik dengan zooxanthellae. Di dalam laut karang batu bersama dengan algae dan biota lain yang mampu menghasilkan kapur, sangat penting bagi terbentuknya terumbu karang.

Kebijakan : Pernyataan prinsip sebagai landasan pengaturan dalam

pencapaian suatu sasaran. Keanekaragaman Hayati : Istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman

ekosistem dan berbagai bentuk serta variasi hewan, tumbuhan, serta jasad renik di dunia. Keanekaragaman hayati mencakup keragaman ekosistem, spesies dan genetik (varietas/ras).

Kebijakan (policy) : Suatu pernyataan yang spesifik tentang bagaimana

mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Komprehensif : Menyeluruh Konservasi : Pengelolaan manusia atas pemanfaatan organisme atau

ekosistem sedemikian rupa sehingga pemanfaatan atau pemakian yang bersangkutan berkelanjutan. Disamping pemakian berkelanjutan, pelestarian, rehabilitasi, restorasi, dan peningkatan populasi serta ekosistem.

Konservasi SDA : Pengelolaan sumberdaya yang menjamin pemanfaatannya

secara bijaksana dan bagi sumberdaya terbarui menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Kriteria : Ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu.

Lamun : Sejenis ilalang laut yang hidup di dasar laut berpasir, tidak

begitu dalam dimana sinar matahari masih dapat menembus

Page 37: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 37

ke dasar hingga memungkinkan ilalang tersebut berfotosintesa.

Lingkungan Hidup : Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan

makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Masyarakat : Suatu komunitas, bangsa atau kelompok manusia dengan

tradisi-tradisi yang sama dan lembaga-lembaga yang dimiliki bersama, serta mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama.

Mata Pencaharian Alternatif : Mata pencaharian yang dipilih sebagai mata pencaharian

pengganti bagi mata pencaharian yang sekarang sedang dilakukan; dalam konteks ini mata pecaharian alternatif tersebut adalah mata pencaharian yang dalam kegiatannya mempertimbangkan pemanfaatan dan kelestarian ekosistem terumbu karang.

MCS : Monitoring, Control and Surveilance; Suatu metoda yang

digunakan untuk melakukan pengawasan, pemantauan dan penegakan hukum bagi suatu kegiatan

Norma : Aturan atau ketentuan yang mengikat sebagai panduan dan

pengendali dalam melakukan kegiatan. Organisasi Non Pemerintah : atau Non-Governmental Organization (NGO). NGO

merupakan semua organisasi yang bukan bagian dari pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, kecuali bila dinyatakan lain, meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), koperasi, lembaga pendidikan dan serikat pekerja.

Pedoman : Acuan yang bersifat umum yang harus dijabarkan lebih

lanjut dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan daerah setempat.

Pemanfaatan berkelanjutan : Pemanfaatan atau pemakaian organisme, ekosistem, atau

sumberdaya terbaharukan pada laju yang tidak melampaui kemampuan memperbaharui dirinya.

Pemerintah : Adalah Pemerintah Pusat (tingkat nasional) yang

mempunyai kewenangan tertinggi dalam mengatur rumah tangga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah Daerah : Pemerintah yang mempunyai kewenangan tertinggi dalam

mengatur daerah propinsi atau kabupatan/kota. Penetapan : Peneguhan suatu keputusan atau pengambilan keputusan. Pengaturan : Pembuatan atau penyusunan sesuatu untuk diikuti atau

dipatuhi agar penyelenggaraannya menjadi teratur atau tertib.

Page 38: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 38

Pengelolaan : Upaya yang dilakukan untuk mengatur sesuatu melalui

proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan atau pengawasan, evaluasi dan penegakan hukum, misalnya pengelolaan wilayah pesisir yang merupakan suatu upaya pengaturan wilayah setelah melalui proses-proses tersebut di atas.

Peran Serta Masyarakat : Atau keterlibatan warga partisipasi dalam perencanaan oleh

orang yang bukan perencana profesional atau pegawai negeri. Ini merupakan suatu proses dimana masyarakat sehari-hari ikut ambil bagian dalam mengembangkan, mengurus dan mengubah rencana komprehensif lokal dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya. Warga ikut berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi masyarakatnya.

Peraturan Formal : Peraturan perundangan yang tertulis dan dikeluarkan oleh

lembaga yang berwenang, seperti Pemerintah, Pemerintah daerah, dan instansi pemerintahan lainnya.

Peraturan Non Formal : Peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis,

yang berlaku dan diakui oleh masyarakat, seperti Sasi, Panglima Laut dan sebagainya.

Persyaratan : Ketentuan yang harus dipenuhi untuk melakukan sesuatu. Penyelenggaraan : Pelaksanaan sesuatu sebagai perwujudan

kewenangan/tugas. Prasarana : Sistem pendukung yang biasanya dibangun untuk umum

bagi suatu komunitas termasuk jalan, listrik, air, pembuangan limbah, dsb.

Prosedur : adalah tahap dan mekanisme yang harus dilalui dan diikuti

untuk menyelesaikan sesuatu. Rehabilitasi : Tindakan yang disengaja untuk menciptakan kembali atau

mengubah struktur lingkungan habitat sehingga mengganti kerusakan di masa lampau.

Rencana Pengelolaan : Suatu pengumpulan informasi secara sistematik dan

pengembangan strategi atau aksi spesifik yang akan menghasilkan keluaran yang akan diharapkan.

Sertifikasi : Proses pemberian sertifikat. Sertifikat : Dokumen yang menyatakan suatu produk atau jasa sesuai

dengan persyaratan standar. Sistem Informasi : Suatu prosedur, mekanisme atau jaringan yang dibuat

untuk menggunakan, mengenalkan, atau menyebarkan suatu hal melalui sebuah media yang disusun secara rapih dan terorganisasi dengan baik, seperti WebSite, televisi dan sebagainya.

Page 39: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 39

Stakeholder : Suatu individu atau kelompok atau unsur masyarakat yang

mempunyai kepentingan dalam suatu wilayah atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu wilayah yang akan mengalami dampak yang bersumber pada perubahan keputusan dalam penggunaan dan konservasi wilayah atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu wilayah tersebut di atas.

Standar : Spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai

patokan dalam melakukan sesuatu. Strategi : Metode yang cerdik untuk mencapai tujuan. Strategi

mencangkup tindakan-tindakan yang langsung diarahkan untuk mencapai tujuan yang menyeluruh, dan biasanya mengacu pada rencana yang menyeluruh dan berjangka panjang.

Sumberdaya Alam : Sumberdaya lahan dan laut yang relevan dengan potensi

penggunaannya, misalnya iklim, air, tanah, lepas pantai, dekat pantai, hutan, dsb.

Terumbu Karang : Struktur dalam laut dangkal daerah tropis yang tahan

terhadap gempuran ombak sebagai hasil proses-proses penyemenan dan konstruksi kerangka koral hermatipik, ganggang berkapur, dan organisasi lain yang mensekresikan kapur. Terumbu karang merupakan ekosistem dengan produktivitas dan keanekaragaman hayati sangat tinggi, sebanding dengan hutan tropika basah. Dikenal tiga macam terumbu karang, (1) terumbu karang pinggiran, (2) terumbu karang penghalang, dan (3) atol.

Tsunami : Gelombang laut yang cepat di perairan dangkal, yang

berpotensi menimbulkan bencana, disebabkan oleh gempa bumi atau gunung berapi bawah air. Gelombang ini dapat muncul sangat tinggi dan menimbulkan bencana banjir di daerah pantai.

Tujuan (Goal) : Pernyataan umum yang mencerminkan situasi atau hasil

yang diinginkan. Wilayah Pesisir : Daerah pertemuan antara daratan dan laut, dengan batas

ke arah darat meliputi bagian daratan, baik yang kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh tetumbuhan yang khas. Batas pesisir ke arah laut mencangkup batas luar dari paparan benua dan perairan di atasnya yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan, seperti sedimentasi, dan aliran air tawar, maupun proses-proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti sedimentasi akibat penggudulan hutan dan pencemaran akibat kegiatan industri dan pertanian.

Page 40: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 40

WWF : World Wide Fund for Nature, salah satu organisasi swasta internasional terbesar yang melakukan aktivitas dalam pelestarian lingkungan.

Zonasi : Sistem pembagian suatu wilayah atau kawasan menjadi

beberapa sub-wilayah atau sub kawasan yang masing-masing dialokasikan untuk penggunaan yang berbeda. Misalnya, suatu kawasan pesisir dan lautan dibagi menjadi kawasan lindung atau konservasi, kawasan budidaya, kawasan penangkapan, dan lain sebagainya.

Page 41: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 41

PARTISIPAN 1. Aprilani Soegiarto/ COREMAP 2. Anugerah Nontji/ COREMAP 3. Malikusworo Hutomo/ COREMAP 4. John Clark/Konsultan Asing 5. Peter Burbidge/Konsultan Asing 6. Sukarno/ COREMAP 7. M. Kasim Moosa/ COREMAP 8. Suharsono/ COREMAP 9. Susetiono/ COREMAP 10. Djoko Hadi Kunarso/ COREMAP 11. Aswatini/ COREMAP 12. Geriyanto/ COREMAP 13. Widayatun/ COREMAP 14. Yana Mulyana/ COREMAP 15. Wahyoe Soepri Hantoro/ COREMAP 16. Deni Hidayati/ COREMAP 17. Nilanto Perbowo/ DKP 18. Sunoto/ DKP 19. Suparka/ LIPI 20. Ardjono Brodjonegoro/ LIPI 21. Anung Kuswono/ LIPI 22. Kurnaen Sumadhiharga/ P30-LIPI 23. RdnlL:it0/ Biotek-LIPI 24. Darmono/ Kejaksaan Agung 25. M. Sugiarto Prawiraredjo/ DLN Depkeu 26. Sugiarta Wirasantosa/ DKP 27. Aji Sularso/ DKP 28. Ria Siombo/ DKP 29. Pamuji Lestari/DKP 30. Ning Purnomohadi/ LH 31. H. Irwandi Idris/ DKP 32. Anna Sylviana/ PKA-Deptanhut 33. Bachril Bakri/ Ditjen Bangda 34. Asminarsih Zahud/ Ditjen Bangda 35. Nurhalia/ Ditjen Bangda 36. Innes Rahmatia/ DMI 37. John Schottler/ AUSAID - COREMAP 38. Max Zieren/ AMSAT 39. Alec Dawson Shepherd/ ACIL 40. Adi Sumardiman/ ACIL 41. Douglas Storey/ JHU - COREMAP 42. Anna M./P30-LIPI 43. Rahmat/P30-UPI 44. Hadiat/Bappenas 45. Rahmat/Bappenas 46. Abilatno/Bappenas 47. Bijah Subianto 48. R. Soekarno/P30-LIPI 49. Yaya Mulyana/Bappenas 50. Nilanto Perbowo/ DKP 51. Purwanto/DKP 52. Wanda Suryana Atmadja/ COREMAP 53. Sapta Putra Ginting 54. Isaac Newton Tarigan/ Bangda 55. Surna T. Djajadiningrat/ Deptamben 56. Tusy Aribowo/ BPPT 57. Acmad Muhammad/ DKN 58. Ketut Ardika/ Depparpostel

147. Muh. Ramli/ UNHALU 148. R. Muljono/ Diskan Prop. Sulteng 149. Zakariah/ Bapedalda Prop. Sulteng 150. Ninzar Akip/ LSM Sintesa-Sulteng 151. Bachtiar/ BAPPEDA Kolaka-Sulteng 152. Elisnawaty/ LCD-Sulteng 153. Sahid/ KSDA Sulteng 154. M. Basri R./ Bappeda Muna-Sulteng 155. Andi Sakra P./ Bappeda Kota 156. M. Syamsudin/ Disperin Prop. Sulteng 157. Isman/ LSM-Sulteng 158. Ensia/ LSM-Sulteng 159. Nursalam/ LSM-Sulteng 160. Ninzar Akib/ LSM-Sulteng 161. I. Mathoson/ VSO-Sulteng 162. Asriady Arman/ LSM-Sulteng 163. Eminuddin/ LSM-Sulteng 164. Arya Wahyuniadi/ LSM-Sulteng 165. Gunung Sinaga/ Kanwil Hutbun 166. Usman Rianse/ UNHALU 167. Farid Yasidi/ UNHALU 168. Hotman Hutauruk/ Diskan Prop. Sulteng 169. Fachri Bau/ Diskan Prop. Sulteng 170. Supiati/ Bapedalda Prop. Sulteng 171. Efendi Ali/ Bapedalda Prop. Sulteng 172. H. Ismaila MB/ Litbang Prop. Sulteng 173. Asnawati/ Distam Prop. Sulteng 174. H. Abdullah P./ BAPPEDA Prop. Sulteng 175. Risfandi/ LCD-Sulteng 176. La Daema/ Dispar Prop. Sulteng 177. Mosleh R./ Kejati Prop. Sulteng 178. A. Slamet Aku/ LSM-Sulteng 179. ]amain/ LSM-Sulteng 180. Abdul Kadir/ LSM-Sulteng 181. Mansyur Kasim/ LSM-Sulteng 182. Mulyadi/ LSM-Sulteng 183. Abdul Gani/ LSM-Sulteng 184. L.M. Yasir/ LSM-Sulteng 185. Ahmad S./ LSM-Sulteng 186. Sri Muliati/ LSM-Sulteng 187. Bahtiar/ Bappeda Muna-Sulteng 188. Bachtiar/ LSM-Sulteng 189. Ibnu Khaldun/ Riau 190. Edy Akhyar/ Riau 191. Ansyar Ahmad/ Riau 192. Karya Harmawan/ Riau 193. Fachraini MA Jabbar/ Riau 194. Surya Maulana/ Riau 195. Dahrius/ Riau 196. Abdi Haro/ Riau 197. Richard/ Riau 198. Edward Khalid/ Riau 199. Ben B. Abdul Malik/ Riau 200. Martin MR/ Riau 201. Heni Setiorini/ Riau 202. Tien Mastina/ Riau 203. Rusliadi/ UNRI 204. Yul Chairida/ Riau

Page 42: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 42

59. Abdullah/ Taman Nasional Kep. Seribu 60. Ketut Sayana Putra/WWF Bali 61. Wanda K./ WWF 62. Nina Dwi Sasanti/ WWF 63. I. Nyoman Suryadi Putra/ Wetlands 64. Budiyantoro/ Bappeda Sultra 65. Ferdinand G. Pua/ Bappeda Sulut 66. Ramses Firdaus/ LSM Riau 67. Safri/ LPM-UNIBRAW 68. Julia Karmilah/ Kehati 69. Farah Sofa/ WALHI 70. M. Nasir Siregar/ Bappeda Sumut 71. Edi Djuharsa/ Ditjen PKA 72. M. Soegiarto/ DLN 73. Reflus/ Bappeda NTT 74. B.C. Conterius/ Bappeda NTT 75. Michael Korwa/ LSM-Irian 76. Taufiq Isbulhak/ Yayasan Jari 77. Mustar Effendi/ Bappeda Riau 78. Baharuddin Nur/ Bappeda Sulsel 79. Novita Fitrianty/ Bappeda Sulsel 80. Edwin R./ Subdit. Polair 81. Pahir Halim/ FIK - ORNOP Sulsel 82. Aminah/ Bappeda Sumbar 83. Anwar Rahman/ Bappeda Riau 84. Turbey O. Dangeubun/ Bappeda Biak 85. Moh. Abrar/ LSM Sumbar 86. B.C. Conterus/ Undana - Kupang 87. Usman Riase/ PSL-Unhalu 88. Erwan Renggong/ Bappeda Ida 89. Mulyadi Simatupang/ Bappeda Sumut 90. Ferdinand Adam/ Yayasan Alfa Omega NTT 91. Wilem Moka/ UNHAS 92. Eri Damayanti/ Jaring Pela 93. Novrianto/ Jaring Pela (Palung) 94. Syamsul Bachri/ Bappeda Nias 95. Boyke Toloh/ FPIK UNSRAT 96. Christopher Rotinsuluh/ CRMP Manado 97. Sugeng Sutrisno/ Yayasan Kelola-Sulut 98. Julian Ch. Watung/ Pasca Sarjana UGM 99. K.W.A. Masengi/ FPIK UNSRAT 100. Ixchel F. Mandagi/ FPIK UNSRAT 101. Adnan Wantasen/ Mahasiswa S2 IPB 102. Edwin Ngangi/ Mahasiswa S2 IPB 103. Lukas Mandangi/ Mahasiswa S2 IPB 104. Pangkie Pangemanan/ FPIK UNSRAT 105. Zeth Kaunan/ KTF 106. Mercy Rampengan/ FPIK UNSRAT 107. Jemmi Souka/LIPI Bitung 108. Erny Tumundo/Dinas Perikanan-Sulut 109. Bobby Roring/ biparda-Sulut 110. Decky F. Poluan/ Bappeda Prop. Sulut 111. Zulhan Harahap/ NRM 112. Dennie Mamanto/ LSM Aspisia-Sulut 113. Darna Susantie/ FPIK UNSRAT 114. Frangky E. Kaparang/ FPIK UNSRAT 115. Defny S Wewengkang/ FPIK UNSRAT 116. Sherly I. Suawa/ FPIK UNSRAT 117. Vonny Ngangi/ FPIK UNSRAT 118. Vonny Liwe/ Dinas Perikanan-Sulut

205. Elizal/ Riau 206. Fadil Nandila/ Riau 207. Abdul Rahman/ Riau 208. Amri Faisal/ Riau 209. Febra Yendrik/ Riau 210. Dedy AK/ Riau 211. Ikhsan/ Riau 212. Ikhfa Rafii/ Riau 213. Silva/ Riau 214. Imam Samudra/ Riau 215. Sumantri/ Riau 216. Moh. Taofiq/ Diskan Lobar-NTB 217. Suhardiyono/ YSLPP-NTB 218. Abdul Syukur/ FK31-NTB 219. Karim Marasabessy/ Bappeda Prop. NTB 220. Mashadi/ Bappeda Prop. NTB 221. Harry Winarno/ Bappeda Prop. NTB 222. Taufiq Hizbul Haq/ Yayasan Jari-NTB 223. Subagda/ Unit KSDA NTB 224. Nurdana/Diparda Prop. NTB 225. Lalu Nasib/ Biro Tatapen NTB 226. Wisah Sujatmiko/ BPPT 227. Basri/ Biro Hukum-NTB 228. Manggaukang Raba/ Bappeda Prop. NTB 229. Wendy Novizal/ Lanal Mataram 230. Arif NH/ Bappeda Lobar 231. Ki Agus Hamim/ PWI NTB 232. Burhanuddin/PPLH Unram 233. Abel Syamsul Hatuina/ Bappeda Prop. NTB 234. A. Makchul/ Bappeda Prop. NTB 235. Hasanul Wazdi/ Distan Prop. NTB 236. Taufiq Hidayat/ Yayasan Laut Biru 237. Nani Junaeni/ Unit KSDA NTB 238. Mukmin/ PMD Prop. NTB 239. Iskandar/ Dispar Lobar-NTB 240. I Nengah Suaka/ POLDA NTB 241. Saridin/ Biro Hukum-NTB 242. Luthfi Saufi A./ YLP3SDAL-NTB 243. A. Gani M. Tahir/ Bapedalda NTB 244. Gitakusumah/ Diparda Lobar-NTB 245. Dwi Sudarsono/ SAMUDRA 246. Lalu Ruspanudin/ Diparda Prop. NTB 247. Indra Gunawan/ Perencanaan NTB 248. Lukman Hakim/ P3R Unram 249. Didik Santoso/'FK31-NTB 250. Muhlis/ FPIK Unram 251. Gito Hadiprayitno/ FPIK Unram 252. Imam Bachtiar/ FPIK Unram 253. Mahrus/ FPIK Unram 254. A. Wahab Jufri/ FPIK Unram 255. Karnan/ Yayasan Laut Biru 256. Dahrun/ Bappeda NTB 257. Suparno, MS/ Univ.Bung Hatta 258. Dahril Aswad/ Univ.Bung Hatta 259. Mukhlis M./ Bappeda Pasaman-Sumbar 260. Budi/ Unit KSDA-Sumbar 261. Dulsumarno/ Bappeda Mentawai-Sumbar 262. Armansyah/ Bappeda Agam-Sumbar 263. Yosmeri/ Diskan Agam-Sumbar 264. Helios/ Pemda Kab. Agam-Sumbar

Page 43: NASKAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU …

COREMAP

Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia 43

119. Mark Erdmann/ NRM 120. Youdy Gumolili/ LSM Aspisia 121. Ferdinand Mayulu/ Mahasiswa 122. Janny D. Kusen/ FPIK UNSRAT 123. Burhan Mananring/ Sulsel 124. A. Mappinawang/ Sulsel 125. Bachrianto Bachtiar/ Sulsel 126. A. Palesangi Tanma/ Sulsel 127. Salahuddin Alam/ Sulsel 128. Kun Praseno/ Sulsel 129. A. Djamaluddin Ibrahim/ Sulsel 130. Irawan Assad/ Sulsel 131. A.M. Ibrahim/ Sulsel 132. Sri Agustiati Bachtiar/ Sulsel 133. Achmad Syamsuddin Suryana/ Sulsel 134. Agussalim Munadah/ Sulsel 135. M. Zulficar Mochtar/ Sulsel 136. H.M. Rahmat AB/ Sulsel 137. A. Nurjaya/ Sulsel 138. Willem Moka/ UNHAS 139. La Ode Bali/ Sulsel 140. H. La Hatta/ Sulsel 141. Spt. Sudarto/ Sulsel 142. Baharuddin Abidin/ Sulsel 143. Kamaruddin/ Sulsel 144. Rijal Idrus/ Sulsel 145. Uli/ Sulsel 146. La Ode Khalifa/ BAPPEDA Prop. Sulteng

265. Benny Azis/ Media massa-Sumbar 266. Dwi Anna C./ Dispar Mentawai-Sumbar 267. Zachrizal Z./ Bappeda Pariaman-Sumbar 268. Khairil Anwar/ Diskan Pessel-Sumbar 269. Nazarudin Zai/ Diperda Pessel-Sumbar 270. Yempita Efendi/ Univ. Bung Hatta 271. Nina Febrianti/ Antropologi UNAND 272. Enfri Sofia/ Diskan Kab. Padang 273. Yusfardjaya Sirath/Sumbar 274. Isman Imran/ Diskan Pasaman-Sumbar 275. Jasman Malik/ Diparda Pasaman-Sumbar 276. Dasmuar/Sumbar 277. Asril/ Distan Mentawai-Sumbar 278. Yunaldi/ LSM Minang Bahari-Sumbar 279. M. Rizal/ Diskan Mentawai-Sumbar 280. Indra 3unaidi Zakaria/ Univ. Bung Hatta 281. Nazran/ Diskan Pariaman-Sumbar 282. Meydia, Amd./PKSPL-IPB 283. Sri Kholiasih, Amd/PKSPL-IPB 284. Kamsari/PKSPL-IPB 285. Ir. Achmad Rizal/PKSPL-IPB 286. Pepen Abdullah/PKSPL-IPB 287. Nana Anggraeni/PKSPL-IPB 288. Leonas/COREMAP 289. Denny/COREMAP 290. Dirhamsyah/COREMAP 291. Bambang Yudho/PKSPL-IPB 292. Vepriyanti 0./PKSPL-IPB