Upload
ratih-rastiti
View
43
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema,
dan dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL).1
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara
2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak
laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan
sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab
tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000. Perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2:1.1
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu
kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit
sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik.
Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia
kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan
mempunyai prognosis buruk. Pada tulisan ini akan dibicarakan aplikasi klinis
dari sindrom nefrotik idiopatik pada pasien anak yang dirawat di RSUP Sanglah.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema,
dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik,
antara lain 1:
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2
LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) selama
3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun
pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6
bulan pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan di mana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal
ini terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4
minggu.
2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling
muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi
pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun; 4 Di Indonesia dilaporkan 6 kasus
3
per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya)
menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom
nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya
diantara 521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal.2
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat
berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.3
2.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: 2,4,
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam
sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis
sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1
tahun.2
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis:
Sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferatif (mesangial
proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini
dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa;
dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu
penyakit tunggal. 4
PATHOLOGI. 4
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus sindrom
nefrotik pada anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan
peningkatan minimal pada sel mesangial dan matrixnya. Penemuan pada
mikroskop immunofluorescence biasanya negative, dan mikroskop electron
hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada
4
glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi
kortikosteroid.
Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation) (5% dari total
kasus SN) ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan
matriks pada pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluoroscence
dapat memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop
electron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti
dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini
berespon dengan terapi kortikosteroid.
Glomerulosklerosis fokal segmental (focal segmental glomerulosclerosis /
FSGS) (10% dari kasus SN), glomerulus memperlihatkan proliferasi mesangial
dan jaringan parut segmental pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa.
Mikroskop immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area
yang mengalami sclerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop electron, dapat
dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan
pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC,
reflux vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien
dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednison. Penyakit ini biasanya
bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan
menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada
kebanyakan pasien.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek
samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin,
probenesid, racun serangga, bisa ular. Penyakit sistemik imunologik: lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis.Neoplasma: tumor
paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
5
2.4 PATOFISIOLOGI
PROTEINURIA
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas
membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan
dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
(MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan
yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria
dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul
protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri
dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein
yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas
proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
HIPOALBUMINEMIA
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun. 4
EDEMA
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
6
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut. 2
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem
Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron
yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi
kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini
mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler
peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium. 2,7
HIPERLIPIDEMIA
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 5
2.5 Manifestasi Klinis 2,4,6
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh
dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan
dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian
menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, diamana awalnya
terjadi disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya
diduga sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun
7
dari hari kehari. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan
asites, efusi pleura, dan edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan
diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial
diagnosis untuk anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit jantung
kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein. 4
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil
dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema
interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering
ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi
anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau
rendah, namun 21 % pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya
sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume
intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan,
sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap
hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang
menetap. Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney Diseases in
Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20%
disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum
darah yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai
gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat
peritonitis.1
Diagnosa banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-
Associated Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis,
Glomerulonephritis akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:1
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.
8
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein /
keriatinin pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah antara lain
3.1 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
3.2 Kadar albumin dan kolesterol plasma
3.3 Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik
atau dengan rumus Schwartz
3.4 Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti nuclear
antibody) dan anti ds-DNA
Indikasi biopsi ginjal: 1
- Sindrom Nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin
dan ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun.
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid
2.7 Penatalaksanaan 1
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya
penderita dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan
dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan
steroid, dan edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai,
dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama
steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis maka diberikan obat anti tuberkulosis
(OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal,
atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan
kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang
dianggap kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
9
terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein normal
sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 2 g/kg BB/hari.
Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan
hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan
jika anak menderita edem.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases
in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan
pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari (maksimal 80
mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dalam dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setalah
pemberian steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% ksus,
dan remisi mencapai 94 % setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi
remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara
alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4
minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak tarjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resisten steroid. (Gambar 1)
Gambar 1. Pengobatan inisial dengan kortikosteroid 1
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien,
tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50%
diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat
4 minggu 4 minggu
.................................... Remisi (+) Dosis alternating Proteinuri (-) (AD) prednisone FD : 60 mg/m2LPB/hari Edema (-) Remisi (-): Resisten steroid Prednison AD : 40 mg/m2 LPB/hari
Imunosupresan lain
10
pada Gambar. 2, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal
4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu.
Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa
edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari pemicunya,
biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi , diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang,
tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥
2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan
relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid
inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu:
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan,
dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4
pilihan, yaitu:
1. Pemberian steroid jangka panjang
remisi FD AD
Prednisone FD : 60 mg/m2LPB/hari
Prednison AD : 40 mg/m2 LPB/hari
Gambar 2. Pengobatan sindrom nefrotik relaps 1
11
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)
Selain itu perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps sering /
dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh,
diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan /
bertahap 0,2 mg/kg BB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps
yaitu anatara 0,1-0,5 mg/kkg BB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold
dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan (Gambar
3). Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5 mg/ kgBB dan
anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.
d. Penderita lama (Pengobatan Relaps)
Relaps tidak frekuen : prednison 2mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis, diberikan 3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis
intermiten dibagi dalam 3 dosis selama 4 minggu.
Relaps frekuen : berikan prednison dosis penuh sampai remisi,
kemudian dilanjutkan dengan sitostatika atau imunosupresen,
siklofosfamid atau klorampusil bersama-sama dengan prednison
dosis intermiten selama 8 minggu.
e. Penderita rawat jalan
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat badan,
mengukur tinggi badan, tekanan darah, dan pemeriksaan tanda-
tanda lainnya.
Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin,
darah tepi, kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali
tergantung pada situasi.
Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain
remisi total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1 + tanpa (obat) ,
proteinuria +/++ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan
12
antibiotka (ampisilin atau amoksisilin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuri
maka dianggap sebagai relaps.
f. Pengobatan tambahan:
a. Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik,
furosemid 1-2 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral.
b. Odem menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau
plasma 10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1
mg/kgBB/kali.
c. Mengatasi renjatan yang diduga kerana hipoalbuminemia (1,5
g/dl) berikan albumin atau plasma darah..
2.8 Komplikasi 1
1. Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah
selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan
komplemen faktor B dan D di urin.Bila terjadi penyulit infeksi bakterial
( pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK ) diberikan
antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G
intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti
campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan
pengobatan penisilin parenteral, dikombinasikan dengan sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefataksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan
kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa),
sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitif steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara, cukup dengan pengurangan
diit lemak.
13
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena:
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
osteoporosis dan osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik
resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan
vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik
relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstrimitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok
hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun).
Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya .Bila
terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi
ginjal.
2.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang
baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis
jangka panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun
menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada
glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada
sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.1,2
INFEKSI SALURAN KEMIH
1. Definisi
14
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan dimana terjadi pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih yang biasanya steril, meliputi
infeksi di parenkim ginjal sampai kandung kemih dengan jumlah bakteriuria
yang bermakna.10
2. Epidemiologi
ISK terjadi 3-5% pada anak perempuan dan 1% pada anak laki-laki. Pada
wanita, ISK pertama kali biasanya terjadi pada usia 5 tahun, diduga faktor uretra
yang lebih pendek pada perempuan yang berperan dalam hal ini. Data prevalensi
rumah sakit RSCM Jakarta dalam periode 3 tahun (1993-1995) didapatkan 212
kasus ISK, dengan rata-rata 70 kasus baru per tahun. Data studi kolaboratif pada
7 rumah sakit pusat pendidikan dokter di Indonesia dalam kurun 5 tahun (1984-
1989) dilaporkan angka kejadian kasus baru ISK pada anak berkisar antara 0,1-
1,9% dari seluruh kasus pediatric yang dirawat . Jumlah ISK kompleks di
Jakarta lebih sedikit dari ISK simpleks yaitu 22,2% dari 42 kasus ISK.
Meskipun lebih sedikit perlu mendapat perhatian khusus karena dapat bersifat
progresif. 11
3. Etiologi
Terbanyak disebabkan oleh bakteri-bakteri penghuni usus, yaitu terbanyak E.
Coli (70-80%). Prevalensi penyebab bakteri lainnya seperti, Klebsiella, Proteus
Sp., Pseudomonas, Enterokokus, Stafilokokus, dll. Bervariasi tergantung umur
penderita. Infeksi virus, khususnya adenovirus, dapat juga terjadi, khususnya
sebagai penyebab sistitis.12
4. Faktor Risiko 10,12
Faktor risiko untuk terjadinya ISK pada anak-anak antara lain:
Anak yang menerima antibiotika spektrum luas (mis, amoxicillin,
cephalexin), yang sangat mungkin dapat merubah keseimbangan flora
normal pada saluran cerna dan daerah periuretra, sehingga mengganggu
mekanisme pertahanan alami terhadap bakteri patogen.
Inkubasi bakteri yang memanjang di dalam urine kandung kemih oleh
karena pengosongan kandung kemih tidak sempurna, atau frekuensi
15
berkemih yang jarang, sehingga menurunkan mekanisme penting
pertahan kandung kemih terhadap infeksi.
Konstipasi, dimana terjadi dilatasi kronis pada rektum karena
penumpukan feses, adalah salah satu penyebab penting dari disfungsi
berkemih. Kelainan neurogenik atau anatomi dari kandung kemih dapat
juga menjadi penyebab disfungsi berkemih.
Sirkumsisi, dimana disebutkan bahwa sirkumsisi pada neonatus
menurunkan risiko ISK sebesar kurang lebih 90% pada bayi laki-laki
selama tahun-tahun pertama kehidupan. Pada bayi laki-laki yang di
sirkumsisi, risiko untuk terjadinya ISK adalah 1/1000, sedangkan yang
tidak disirkumsisi risikonya adalah 1/100.
Reflux vesiko-ureter, adalah suatu keadaan dimana urin mengalir secara
retrograde, dari kandung kemih ke ureter dan pelvis renalis. Ureter
secara normal menenpel pada kandung kemih dalam arah oblik,
melubangi otot kandung kemih dari arah lateral dan berjalan diantara
mukosa kandung kemih dan otot-otot detrusor, membentuk suatu
mekanisme katup yang mencegah terjadinya refluks. Refluk terjadi jika
saluran submukosa antara mukosa dan otot detrusor terlalu pendek atau
tidak ada. Refluk biasanya terjadi secara congenital, terjadi pada
keluarga, dan mengenai sekitar 1% dari seluruh anak-anak7
Uropati obstruktif, yang biasanya disebabkan oleh adanya katup uretra
posterior sehingga menyebabkan terjadinya obstruksi aliran urin dan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Kateterisasi atau instrumentasi uretra yang tidak mengindahkan prinsip-
prinsip aseptik dan tindakan antiseptik.
Menyeka sisa-sisa kemih dari belakang ke depan.
Mandi busa.
Pakaian dalam yang terlalu ketat.
5. Manifestasi Klinis
Infeksi saluran kemih dapat simtomatik maupun asimtomatik. Pada bayi baru
lahir gejala dapat berupa demam, malas minum, ikterus, hambatan pertumbuhan,
16
atau tanda-tanda sepsis. Pada masa bayi gejala sering berupa panas yang tidak
diketahu penyebabnya, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan
berkurang, kadang – kadang diare atau kencing sangat berbau. Pada usia
prasekolah berupa sakit perut, muntah, demam, sering kencing, dan mengompol.
Pada usia sekolah gejala spesifik makin nyata berupa mengompol, sering
kencing sakit waktu kencing, atau sakit pinggang 4.
Demam dan sakit pinggang merupakan gejala ISK bagian atas (ureter, pielum,
dan ginjal) sedangkan gejala ISK bagian bawah ( kandung kemih dan uretra)
biasanya lebih ringan, umumnya berupa disuria, polakisuria, atau kencing
mengedan, tanpa demam.
Secara umum gejala klinis dari infeksi saluran kemih berbeda – beda yaitu
tergantung dari umurnya, berikut uraiannya :
Umur 0 – 1 bulan : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan
diare, kejang, koma, panas / hipotermia tanpa diketahui sebabnya
Umur 1 – 24 bulan: Panas / hipotermia tanpa diketahui sebabnya,
gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik
(anak menjerit keras), air kemih berbau / berubah warna, kadang –
kadang disertai nyeri perut /pinggang.
Umur 2 – 6 tahun : Panas / hipotermia tanpa diketahui sebabnya,
tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih
berbau dan berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta
anoreksia.
Umur 6 – 18 tahun : Nyeri perut / pinggang, panas tanpa diketahui
sebabnya, tidak dapat menahan kencing, polikisuria, disuria, enuresis, air
kemih berbau dan berubah warna.
6. Diagnosis 13
17
Pemeriksaan laboratorium yang terpenting untuk menegakkan diagnosis Infeksi
saluran kemih adalah biakan urine dan pemeriksaan urine lengkap. Kriteria
diagnosis ISK pada anak berdasarkan pemeriksaan kultur urine dapat disimak
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria diagnosis ISK pada anak.
Cara pengumpulan urin Jumlah koloni (biakan
murni
Kemungkinan adanya
ISK
Aspirasi suprapubik Bakteri gram negatif
seberapapun jumlahnya
> 99%
Bakteri gram positif >
beberapa ribu
Kateterisasi kandung
kemih
> 105 95%
> 104-105 Diperkirakan ISK
> 103-104 Diragukan; Ulangi
> 103 Tidak ada ISK
Cara pengumpulan urin Jumlah koloni (biakan
murni
Kemungkinan adanya
ISK
Urine porsi tengah
Anak laki-laki
Anak perempuan
> 104 Diperkirakan ISK
3 x biakan > 105 95%
2 x biakan > 105 90%
1 x biakan > 105 80%
5 x 104 -105 Diragukan, Ulangi
104 – 5 x 104 Klinis simtomatik:
diragukan, Ulangi
Klinis simptomatis Diperkirakan
ISK,Ulangi
Klinis asimptomatis Tidak ada ISK
< 104 Tidak ada ISK
7. Diagnosis Banding4
18
Berdasarkan kriteria diatas, diagnosis ISK sangat mudah ditegakkan. Adanya
disuria saja dapat juga merupakan gejala vaginitis (perempuan), dan manifestasi
adanya cacing kremi. Apabila ISK disertai hematuri, maka perlu dievaluasi
penyebab hematuri yang lain.
8. Penatalaksanaan13
Eradikasi kuman/pemberian antibiotik segera dan adekuat
Jenis antibiotik yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan hasil biakan,
namun pemberian antibiotik tidak boleh menunggu waktu. Jadi antibiotik harus
segera diberikan secara empiris sambil menunggu hasil biakan. Suatu penelitian
menunjukkan bahwa anak dengan ISK yang disertai demam yang diberikan
pengobatan dalam 24 jam saat mulai demam dapat mencegah terjadinya
perubahan di ginjal. Sedangkan bila > 24 jam baru mendapat terapi mempunyai
risiko terjadinya perubahan-perubahan di ginjal dan diperlukan tindakan yang
segera dan efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal. Anak dengan
ISK kompleks dan bayi < 3 bulan diberikan antibiotik secara parenteral
kombinasi antara ampisilin dan gentamisin, sedangkan pada bayi 3-6 bulan
diberikan gentamisin saja atau sefalosporin generasi ke-3. Apabila keadaan
umum sudah membaik, antibiotik intravena dapat diganti dengan oral.
9. Prognosis6
ISK tanpa kelainan anatomis menpunyai prognosis lebih baik bila dilakukan
pengobatan pada fase akut yang andekuat dan disertai pengawasan terhadap
kemungkinan infeksi berulang.
HERPES ZOSTER
19
1. Definisi
Herpes zoster adalah penyakit yamg disebabkan infeksi virus varisela zoster
yang menyernag kulit dan mukosa, yang bersifat khas seperti gerombolan
vesikel unilateral, sesuai dengan dermatomanya (persyarafannya). 5
2. Epidemiologi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh
musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka
kesakitan antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan meningkat dengan
peningkatan usia. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan
sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih
kurang 1% setahun.5
3. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster (VVZ) dan tergolong
virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili
alfa herpes viridae.
4. Patogenesis
Infeksi primer dari VVZ ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini
virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia
permulaan yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti
masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial System (RES) yang kemudian
mengadakan replikasi kedua yang sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik
dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar
melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam diri
atau laten didalam neuron. Selama antibodi yang beredar didalam darah masih
tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat
20
tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah
reaktivasi dari virus sehingga terjadi herpes zoster.
5. Gambaran Klinis5
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi
pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang
timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam,
terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari
sebelum terjadi erupsi.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang
lokalisata dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh.
Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu
ganglion saraf sensorik. Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua belas
hingga dua puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah
menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari kemudian, lesi
mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3
minggu.Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-
anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh. Rasa sakit
segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun krustanya sudah
menghilang. Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada
dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).
Pemeriksaan penunjang yang khas yaitu Tzank tes, didapatkan sel datia
berinti banyak.
6. Penatalaksanaan5
Terapi sistemik bersifat simtomatik. Antiviral asiklovir sejak lesi pertama
muncul. Penggunaan kortikosteroid hanya untuk sindrom amsay Hunt untuk
mencegah fibrosis.
21
3. HUBUNGAN ANTARA SINDROM NEFROTIK DAN ISK
Prevalensi ISK pada sindrom nefrotik cukup tinggi, meningkatnya prevalensi
ini karena hilangnya imuglobulin, defektif fungsi T sel, adanya ascites, dan
malnutrisi relatif. Bakteri penyebab utamanya oleh Staphylococcus aureus
(67.9%), Klebsiella species (17.9%) and Pseudomonas (14.2%). Pada
pengujian invitro didapatkan resistansi pada nalidixic acid dan ampicillin tetapi
sensitif pada cefotaxime, ceftriazone dan ciprofloxacin. 15
Penelitian lain menyebutkan kejadian tertinggi infeksi pada sindrom
nefrotik adalah ISK. Penelitian dilakukan terhadap 154 orang dengan sindrom
nefrotik, dan didapatkan 59 anak (38%) mengalami ISK, diikuti TBC primer
(10,4%), peritonitis (9,1%), dan infeksi kulit (5,2%).16 Penelitian lain
menunjukkan 40,26% komplikasi berupa ISK. 17
4. HUBUNGAN ANTARA SINDROM NEFROTIK DAN HERPES
ZOSTER
Penelitian yang mencari hubungan sindrom nefrotik dan infeksi varisela
menunjukkan hasil dari studi serologis bahwa selama fase awal penyakit
menampakkan berkurangnya C3, C4, dan properdin factor B. Antigen antibodi
virus varisela tersimpan dalam glomerulus sehingga mengaktifkan jalur klasik
dan alternatif komplemen, menyebabkan aktivasi komplek imun. Selama fase
nefrotik, terjadi peningkatan sel OKT8, yang merupakan penanda virus, dan
berkurangnya sel OKT4. Dua bulan kemudian, perubahan berangsur-angsur
kembali kenormal ketika terjadi remisi. 18
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk. 2005. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H,
Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak.
Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line]
[(20) : screens]. Available from:
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. Akses: on September
8, 2009.
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson
Textbook of Pediatric 18th ed. Saunders. Philadelphia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan
Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h. 50-54.
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media
Aesculapius : Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia
Kedokteran No. 134. Jakarta, h.32-37
8. Markum, et al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. [on line] [(1) : screens].
Available from: URL:http//www.pediatrik.com. Akses: on September 8,
2009.
10. Richard EB, Robert MK, Hal BJ . 2000 Urinary Tract Infection. Dalam :
Nelson Textbook of Pediatrics, edisi ke-16. Philadelphia : WB Saunders Co.
2000 .h.658-670
11. Alatas Husein. 2002. Diagnosa Dan Tatalaksana Infeksi Saluran Kemih Pada
Anak dalam Hot Topics In pediatrics II, pp 162-179, PKB IKA XLV, Balai
Penerbit FKUI Jakarta.
23
12. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2.
Denpasar:Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ RSUP Sanglah;
2000. h. 159-162.
13. Suarta Ketut. Diagnosis dan Tatalaksana ISK. Dalam Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak VII. Denpasar :
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ RSUP Sanglah; 2006. h 22-
31
14. Cohen Eric P. Nephrotic Syndrome: Differential Diagnoses & Workup.
Updated: Aug 25, 2009.
15. S. I.Adeleke, M. O.Asani. Urinary Tract Infection in Children with
Nephrotic Syndrome in Kano, Nigeria. Annals of African Medicine, Vol. 8,
No. 1, March, 2009, pp. 32-37
16. S. Gulati, V. Kher , A. Gupta, P. Arora, P. K. Rai and R. K. Sharma.
Springer Link Date, 2004. Spectrum of infections in Indian children with
nephrotic syndrome. Journal Pediatric Nephrology. Springer Berlin /
Heidelberg.
17. S Gulati, Kher, Arora, gupta, Kale. Urinary tract infection in nephrotic
syndrome. The Pediatric infectious disease journal.
1996, vol. 15, no3, pp. 237-240 (17 ref.)
18. Lin CY, Hsu HC, Hung HY. Nephrotic syndrome associated with varicella
infection. Pediatrics. PMID: 3873641 [PubMed - indexed for
URL:http//www MEDLINE]. Akses: on September 8, 2009.