Upload
others
View
18
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
1
NEGARA KESEJAHTERAAN:
MODEL DAN PERKEMBANGANNYA DI
INDONESIA
Disusun oleh:
Budi Setiyono, Ph.D Muhammad Adnan, MA
Undip Press Semarang
2
NEGARA KESEJAHTERAAN: MODEL DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Oleh: Budi Setiyono, Muhammad Adnan @ 2018, Budi Setiyono, Muhammad Adnan
Diterbitkan pertama kali oleh :
Undip Press
Jl. Prof. Soedarto SH No. 1 Tembalang, Semarang
ISBN : 978-979-097-533-0
Cetakan I, 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa seizin tertulis
dari penerbit.
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................ 5
Bab I .......................................................................................................................... 6
Bab II ...................................................................................................................... 13
Bab III ..................................................................................................................... 27
Kondisi Ekonomi ............................................................................................. 31
Bab IV ..................................................................................................................... 36
Jenis Program Bantuan Sosial........................................................................ 46
Program Jaminan Sosial .................................................................................. 51
Bab V ...................................................................................................................... 58
Kebijakan dan Program Kesejahteraan Anak ............................................ 62
Bab VI ..................................................................................................................... 71
Program Pelayanan Pendidikan .................................................................... 75
Bab VII ................................................................................................................... 79
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 85
INDEX .................................................................................................................... 88
BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 89
5
Kata Pengantar
Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, segenap rasa syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala limpahan
rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku
ini dengan baik. Buku ini dimaksudkan untuk dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan dan referensi bagi mata kuliah Analisis
Kebijakan Pembangunan di Departemen Ilmu Pemerintahan dan
Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Diponegoro Semarang. Di samping itu, buku ini juga diharapkan
dapat memberikan tambahan wawasan bagi para pengambil
kebijakan dalam bidang kesejahteraan sosial.
Buku ini tentu saja masih memiliki banyak kekurangan karena
keterbatasan riset yang dilakukan baik dari segi waktu maupun biaya
yang tersedia. Oleh kerena itu, kami berharap agar para pembaca
dapat memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaannya.
Terima kasih yang tidak terhingga kami sampaikan kepada
para informan: anggota DPR Komisi IX, Pejabat di Kementrian
Tenaga Kerja, Kementrian Sosial, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, Kementrian Ristek Dikti, serta BPJS. Terima kasih juga
untuk rekan sejawat di Undip: Pak Rektor, Prof. Yos Johan Utama,
Para kolega Wakil Rektor: Prof. Zaenuri, Dr. Darsono, dan Prof.
Ambariyanto, Ketua LP2MP Prof. Edy Rianto, rekan-rekan dosen dan
mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta Yolanda
Febrilia dan Ratih Mega Swari yang telah banyak membantu
penelitian dan penulisan buku ini.
6
Bab I
Problematika Sosial di Indonesia
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang didirikan melalui perjuangan panjang
yang meminta banyak pengorbanan segenap anak bangsa dengan
tujuan untuk mencapai kesejahteraan. Konstitusi negara Indonesia
secara jelas menyatakan negara didirikan dengan salah satu tujuan
utama adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Sebagaimana
dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945:
“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial….”
Usaha untuk mendirikan negara Indonesia dengan mengusir
penjajahan bangsa-bangsa lain pada intinya merupakan perwujudan
tekad segenap bangsa Indonesia untuk meraih kesejahteraan lahir
bathin, bebas dari ketertindasan bangsa lain dan juga kemiskinan
yang diakibatkan oleh ketertindasan itu. Gerakan-gerakan sosial-
politik yang terjadi pasca kemerdekaan (tahun 1960an, 1970an,
ataupun gerakan reformasi akhir 1990an) pada hakekatnya juga lahir
sebagai ikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemerdekaan
hakiki sebagaimana dicita-citakan oleh proklamasi.
Sayangnya, capaian berbagai tahap perjuangan tersebut belum
banyak menyentuh substansi keinginan untuk mewujudkan
7
kesejahteraan. Kita seringkali terlena dengan capaian-capaian statistik
ekonomi formal, seperti angka pertumbuhan ekonomi, Gross
Domestic Product (GDP), dan Gross National Product (GNP), yang
tidak berkorelasi langsung dengan cita-cita substantif kesejahteraan
rakyat. GDP dan GNP tinggi yang dimiliki suatu negara bukan suatu
ukuran bahwa negara tersebut telah makmur. Mengapa? Karena bisa
saja jumlah penduduk yang harus dihidupi dari GDP atau GNP
tersebut juga sangat tinggi serta bisa jadi kelompok yang
menikmatinya hanya segelintir kelompok minoritas yang sedikit. Kita
perlu mencatat bahwa gap antara kelompok kaya dan miskin masih
terus menganga lebar (lihat tabel 1).
Tabel 1. Data Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan Relatif (% dari populasi)
16.6 15.4 14.2 13.3 12.5 11.7 11.5 11.0 11.1 10.9
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan)
37 35 33 31 30 29 29 28 29 28
Koefisien Gini/
Rasio Gini
0.35 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.40
Sumber: World Bank dan BPS
Kita lupa untuk mengisi era kemerdekaan, era pasca gerakan
66, maupun pasca gerakan reformasi 1998 dengan konsep, ide,
gagasan, dan sistem, dan program pembangunan yang handal untuk
setiap warga negara meraih kesejahteraan lahir-bathin. Fakta empiris
menunjukkan bahwa bangsa kita masih tertinggal dari bangsa lain
dalam berbagai indikator pembangunan. Walaupun kita telah 71
tahun merdeka, misalnya, angka pendapatan per kapita (GDP per
capita) kita baru mencapai $ 3,346.5 atau sekitar Rp. 43,504.500 per
tahun, masih jauh dibawah rata-rata dunia yang sudah mencapai $
9,995.5 (World Bank 2015).
Perolehan tersebut masih jauh tertinggal, bahkan
dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN sekalipun. Menurut
8
data Bank Dunia (2015) posisi Indonesia berada dibawah Malaysia
yang sudah mencapai $9,766.16, Brunei Darussalam sebesar
$36,607.92, dan Singapura sebesar $52,888.74. Pendapatan tersebut
bahkan berada di bawah Negara yang baru merdeka seperti Bosnia
Herzegovina $4,197.80 dan Czechnya $17,23128.
Tabel 2. GDP Per Kapita di Beberapa Negara 2015
Sumber: World Bank (2015)
Kondisi tersebut diperparah dengan kenyataan pahit bahwa
negara kita masih diselimuti oleh persoalan korupsi yang tidak
kunjung reda. Data Corruption Perseption Index (CPI) tahun 2015, data
dari Transparency International (TI) juga menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia masih sangat terpuruk: menduduki posisi sebagai
bangsa-bangsa terkorup pada ranking 88 dari 168 negara yang
disurvey. Bahkan Indonesia juga menduduki peringkat terkorup
diantara negara Asia, dan bahkan ASEAN, kecuali Vietnam dan
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
9
Myanmar. Dibandingkan dengan Korea Selatan, misalnya, Indonesia
sesungguhnya memiliki potensi lebih besar untuk menjadi negara
yang sejahtera, akan tetapi persoalan korupsi yang tidak segera
teratasi menyebabkan Indonesia tetap terpuruk dalam mewujudkan
kesejahteraan (lihat Setiyono 2017).
Tabel 3. Skor CPI Negara-Negara ASEAN 2015
Negara Skor CPI Peringkat
Singapura 85 8
Malaysia 50 54
Thailand 38 76
Indonesia 36 88
Filipina
Vietnam
35
31
95
112
Myanmar 22 147
Sumber: TI (2015)
Sementara itu, dalam hal Indeks daya saing, Indonesia juga
masih lemah bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Di tahun
2016, angka Global Competitiveness Index Indonesia adalah 37, jauh
di bawah negara Asia lain seperti Singapore (2), Hong Kong (7),
Jepang (9), Taiwan (12), Malaysia (24), Korea Selatan (25), dan China
(29). Segaris dengan hal tersebut, posisi Human Development Index
(HDI) Indonesia di tahun 2015 masih berada pada rangking 111 dari
188 negara yang disurvey oleh UNDP dengan skor 0.0684, jauh dari
rangking Jepang (10), Korea Selatan (12), Hongkong (13), Singapore
(18), bahkan juga kalah dari negara berkembang lain seperti Brunai
Darussalam (30), Malaysia (64), Libya (64), dan Kazakhstan (69).
10
Gambar 1. Global Competitiveness Index Indonesia
Sumber: http://www.tradingeconomics.com/indonesia/competitiveness-
rank
Pada tataran empirik, pencapaian cita-cita kesejahteraan bagi
seluruh warga negara juga masih dalam tanda tanya besar,
mengingat masih banyaknya jumlah penduduk miskin dan pekerja di
sektor informal. Sampai dengan bulan Maret tahun 2015, data dari
BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk sangat miskin dengan
penghasilan dibawah $2 per hari mencapai angka sekitar 27,73 juta
orang (11,22%) dari jumlah penduduk (BPS 2015). Bahkan jumlah
penduduk miskin menurut data Penerima Bantuan Iuran (BPI) dari
program BPJS 2014 jauh lebih banyak yakni sebanyak 92 juta jiwa
atau lebih dari 35% dari jumlah penduduk (Antaranews, 6 Mei 2016).
Terlebih lagi, data BPS setiap tahun menunjukkan bahwa
sebagian besar jumlah penduduk mencari nafkah di sektor informal
(lihat tabel 3), yang menandakan bahwa sebagian besar dari mereka
harus menjalani kehidupan tanpa perlindungan yang memadai.
Siapakah penduduk yang bekerja pada sektor informal itu? Menurut
National Commission for Enterprises in the Unorganised Sector
(2007), pekerja sektor informal adalah: “those 'who do not have
employment security, work security and social security”. Singkatnya,
mereka adalah orang yang hidupnya tidak memiliki perlindungan
penuh dari negara, tidak memiliki kepastian pekerjaan, tidak
0
10
20
30
40
50
60
2006 2008 2010 2012 2014 2016 2018
11
memiliki kepastian kerja, dan tidak memiliki perlindungan sosial
(seperti asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, atau pensiun).
Mereka adalah orang-orang yang hidupnya sangat rentan karena
tidak memiliki stabilitas penghasilan dan perlindungan terhadap
keadaan darurat: seperti apabila sakit, mengalami kecelakaan, atau
abnormalitas hidup lainnya. Kehidupan mereka akan mudah kolaps,
(dan selanjutnya) tidak produktif, dan tidak mampu memenuhi hajat
hidup pada level dasar sekalipun (sandang, pangan, perumahan,
kesehatan dan pendidikan). Tergolong dalam kelompok informal ini
misalnya adalah mereka yang berprofesi sebagai: pemulung,
gelandangan, tukang tambal ban, tukang becak, petani, nelayan,
pedagang kaki lima (PKL), dan (dalam keadaan tertentu) termasuk
juga kaum buruh lepas seperti tukang batu dan tukang kayu.
Tabel 4. Status Pekerjaan Rakyat Indonesia
Status
Pekerjaan
Prosentasi (%) Pekerja
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Informal 60,14 65,76 62,71 60,34 59,81 57,76 58,28
Formal 39,86 34,24 37,29 39,66 40,19 42,24 41,72
Sumber: Kompilasi data BPS (2010-2016)
Kelompok ini harus mengatasi berbagai persoalan hidup
(termasuk persoalan kebutuhan dasar) sendirian tanpa banyak
campur tangan negara. Terlebih bila dikaitkan dengan fakta bahwa
pelayanan publik (seperti kepolisian, keimigrasian, rumah sakit, air
bersih, sekolah, kebersihan, listrik) seringkali berkorelasi dengan
uang dan pungutan, maka mereka tidak mampu mengakses
pelayanan publik tersebut dengan utuh.
Padahal, dalam tataran teoritis, isu utama dalam
pembangunan sosial sering dikaitkan dengan bagaimana negara
melindungi dan menangani kelompok yang paling terpinggirkan dan
12
tidak diuntungkan dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks
yang lebih spesifik, fokus diberikan untuk memberikan bantuan
kepada orang yang lemah dan miskin. Oleh karena itu, program
pengurangan kemiskinan sering menjadi agenda utama di negara-
negara berkembang sehingga berbagai langkah telah diadopsi untuk
menargetkan masyarakat miskin agar mereka dapat hidup secara
wajar sebagaimana warga negara lainnya.
Rangkuman
Indonesia adalah negara yang didirikan dengan tujuan untuk
mencapai kesejahteraan. Sayangnya, kita belum banyak menyentuh
substansi keinginan untuk mewujudkan kesejahteraan. Fakta empiris
menunjukkan bahwa bangsa kita masih tertinggal dari bangsa lain
dalam berbagai indikator pembangunan. Angka pendapatan per
kapita (GDP per capita) kita baru mencapai $ 3,346.5 atau sekitar Rp.
43,504.500 per tahun, masih jauh dibawah rata-rata dunia yang sudah
mencapai $ 9,995.5. Sampai dengan bulan Maret tahun 2015, data dari
BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk sangat miskin dengan
penghasilan dibawah $2 per hari mencapai angka sekitar 27,73 juta
orang (11,22%) dari jumlah penduduk. Bahkan jumlah penduduk
miskin menurut data Penerima Bantuan Iuran (BPI) dari program
BPJS 2014 jauh lebih banyak yakni sebanyak 92 juta jiwa atau lebih
dari 35% dari jumlah penduduk.
13
Bab II
Teori Welfare State dan
Konsepsi Esping-Andersen
Pendahuluan
Dalam perspektif teori kontrak sosial, sebuah negara pada
hakekatnya didirikan untuk menjadi rumah bersama secara adil bagi
segenap anggota/warganya. Menurut beberapa filosuf seperti Plato,
Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau, suatu
negara pada hakekatnya adalah hasil dari perjuangan berbagai
elemen yang ada pada sebuah komunitas dan berujung pada sebuah
kontrak sosial untuk hidup bersama dalam suatu sistem yang
disepakati bersama. Mereka mengikatkan diri dalam “sebuah
kontrak” dengan tujuan untuk menggapai cita-cita kesejahteraan
bersama, dengan membagi peran diantara mereka secara adil (lihat
misalnya Gauthier 1990; Nozick 1974). Dengan demikian, negara
bertugas untuk melayani seganap warganya untuk mewujudkan cita-
cita yang diinginkan. Lebih dari itu, negara tidak boleh membiarkan
begitu saja warganya mengalami kesulitan dan menghadapi masalah
yang menyebabkan mereka hidup berkesusahan, melainkan harus
ikut campur tangan mengatasinya. Pelayanan negara bersifat
universal, yakni untuk seluruh warga negara yang sah, tidak
dibedakan atas dasar tertentu, misalnya jumlah pembayaran pajak
atau kedudukan/status sosial.
Konsep ini sejalan dengan paham integralistik, sebagaimana
diperkenalkan oleh Prof. Dr. Supomo dalam Sidang Badan Penyelidik
14
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 30
Mei 1945, yang menyatakan bahwa negara didirikan bukan hanya
untuk kepentingan perorangan atau golongan tertentu saja, tetapi
juga untuk kepentingan seluruh masyarakat negara yang
bersangkutan (Marwati dan Notosusanto 1984: 22). Pemikiran
Soepomo mengisyaratkan bahwa semua warga negara memiliki
status, hak, dan kewajiban yang sama baik kaya maupun miskin.
Pemikiran yang sangat kental dengan nuansa hak asasi manusia ini,
memiliki ide yang simetris dengan apa yang dituliskan dalam
Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948. Lebih
lanjut, pola yang sejalan dengan pemikiran ini juga termaktub dalam
International Covenant on Civil and Political Rights dan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, yang dibuat pada
tahun 1966.
Negara menurut paham integralistik adalah merupakan
susunan masyarakat yang integral, dan anggota-anggotanya saling
terkait satu sama lain sehingga membentuk satu kesatuan yang
organistik. Sebagaimana suatu organisme, walaupun di dalam negara
itu terdiri dari berbagai sub-organ yang berbeda-beda bentuk, fungsi
dan kedudukannya, akan tetapi mereka adalah kesatuan yang tidak
terpisahkan dalam rangkaian holistik yang tunggal. Ia adalah
merupakan keluarga besar (great family) atau masyarakat besar (great
society) dimana seluruh anggotanya memiliki hak dan kewajiban
yang saling terkoneksi sambung menyambung untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama. Dalam suatu keluarga besar, anak-anak
bangsa terikat dalam suatu sistem gotong royong: pada satu sisi,
mereka tidak boleh hidup seenaknya sendiri melainkan harus
melaksanakan dan menunaikan kewajiban-kewajiban asasi terhadap
negara; pada sisi lain, mereka juga harus mendapatkan hak dan
perlindungan asasi dari negara.
15
Paham Integralistik merupakan aliran pemikiran yang sesuai
dengan watak bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan
tolong-menolong. Konstitusi kita menjelaskan bahwa tujuan negara,
sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, adalah:
“....Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia...”. Pernyataan tersebut jelas
menegaskan bahwa negara berperan sentral dalam mengatur tata
kelola hidup. Negara tidak boleh membiarkan anak-anak bangsanya
hidup dan berjuang sendiri dalam memperjuangkan cita-cita hidup,
melainkan harus dilindungi, dimajukan, dan dicerdaskan secara
kolektif oleh (dengan bantuan) negara.
Pernyataan tersebut juga mengisyaratkan bahwa tujuan akhir
pembentukan negara Indonesia adalah memajukan/mewujudkan
kesejahteraan umum (public welfare), bukan kesejahteraan individual.
Dengan demikian, frame spirit penyelenggaraan negara Indonesia,
sesuai dengan cita-cita nasional tersebut, adalah “negara
kesejahteraan” (welfare state).
Dalam pandangan konsep negara kesejahteraan (welfare state)
dan integralistik, negara adalah merupakan “great family” atau “great
society” (keluarga/masyarakat besar) yang bagaikan satu organisme
tunggal, dimana tiap warganya harus hidup saling tolong-menolong,
melaksanakan kewajiban, serta menerima hak yang ditetapkan
negara secara adil. Konsep ini harus diimplementasikan dalam
rancang bangun sistem hukum dan kebijakan negara agar
termanifestasikan secara riil dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Pelaksanaan kewajiban harus selalu beriringan dengan
pemberian hak agar warga negara tidak merasa sekedar dieksploitir
oleh pemerintah. Undang-undang dan kebijakan negara harus
16
mengatur bahwa setiap warga negara harus melaksanakan kewajiban
asasi dan, atas pelaksanaan kewajiban itu, negara memberikan hak
yang bersifat timbal-balik (reciprocal) kepada warganya.
Kegagalan perwujudan welfare state dan paham integralistik
dalam pengelolaan negara juga tercermin oleh fakta bahwa negara
kita belum memiliki system keseimbangan kewajiban dan hak
(obligations and rights) bagi warga negara yang terkelola dalam satu
kesatuan yang konektif dan resiprokal. Negara belum menyediakan
perangkat untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang
melaksanakan kewajiban dengan baik, maka akan diberikan hak
secara penuh. Bahkan negara belum mendefinisikan secara pasti apa
saja kewajiban warga negara dan apa saja hak yang akan mereka
peroleh apabila melaksanakan kewajiban.
Akibat ketiadaan sistem keseimbangan ini, maka setiap orang
seolah dapat hidup tanpa ikatan dan batasan yang kuat sebagai
warga negara. Warga negara tidak diatur dalam tata kelola yang
memungkinkan adanya incentive dan disincentive, atau reward dan
punishment. Walaupun mereka diwajibkan membayar pajak dan taat
hukum, misalnya, tidak ada keterkaitan pelaksanaan kewajiban itu
dengan hak yang akan diberikan negara secara jelas. Sebagai akibat
dari permasalahan ini, muncul berbagai komplikasi sosial, termasuk
diantaranya:
Pertama, lemahnya rasa memiliki terhadap bangsa dan negara.
Warga negara merasakan kehadiran negara hanya sebagai beban dan
ancaman, sehingga acuh terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pemerintahan. Ketaatan dan kesadaran bela negara bersifat artifisial,
hanya sebatas formalitas (seperti menghadiri upacara) atau
menghindari sanksi (seperti hukuman berupa pidana, tilang, denda,
dan sebagainya) —bukan atas kesadaran substantif untuk hidup
dalam ketertiban.
17
Kedua, muara dari ketiadaan rasa memiliki ini adalah
kecenderungan untuk merendahkan dan meremehkan hukum. Hal
itu terlihat, misalnya, dalam bentuk kecenderungan massif warga
yang membuang sampah sembarangan, PKL yang menggelar tempat
usaha di tempat terlarang, pengemudi yang ugal-ugalan dan parkir
di sembarang tempat, demonstrasi yang merusak fasilitas publik,
pejabat yang korupsi, masyarakat yang menebang hutan secara
illegal, pengusaha yang membuang limbah ke sungai, atau nelayan
yang mencari ikan dengan racun atau bom.
Ketiga, lemahnya rasa percaya diri. Karena masyarakat hidup
tanpa proteksi negara yang cukup ditambah dengan lemahnya
keterikatan dalam system, maka mereka memiliki rasa percaya diri
yang rendah dalam menghadapi tantangan hidup. Hal ini tercermin
misalnya dari rendahnya prosentasi jumlah wirausahawan di
Indonesia. Di tahun 2013, prosentase jumlah wirausahawan hanya
1,6%, kalah jauh dari Malaysia yang mencapai 4% persen, Thailand
4,1%, apalagi dengan Singapura 7 % (Republika 03 Juni 2017). Terlepas
dari masih kurangnya modal dan keterampilan, keengganan warga
Indonesia untuk terjun sebagai wirausaha menunjukkan bahwa
mereka tidak yakin untuk mampu mengatasi tantangan dalam
berusaha, dan lebih memilih profesi yang “aman” seperti menjadi
pegawai negeri.
Oleh karenanya konsep negara kesejahteraan dan integralistik
harus dilaksanakan secara konsisten. Negara harus mengatur bahwa
setiap warga negara harus melaksanakan kewajiban asasi dan, atas
pelaksanaan kewajiban itu, negara memberikan hak yang bersifat
timbal-balik (reciprocal) kepada warganya. Penelitian ini akan
membuat dan menghasilkan desain model system kesejahteraan
sosial Indonesia yang komprehensif dan integratif. Secara sederhana,
sistem integratif yang perlu dibangun untuk mewujudkan konsep
negara intergralistik dan negara kesejahteraan harus memungkinkan
18
adanya pelaksanaan kewajiban asasi yang disertai oleh pemenuhan
hak asasi bagi warga negara.
Konsep Welfare State
Apakah yang dimaksud dengan welfare state? Walaupun tidak ada
definisi yang pasti mengingat banyaknya model yang ada di dunia,
secara umum istilah ini mengacu kepada kesejahteraan rakyat —
berkaitan dengan kenyamanan, kebahagiaan, kesehatan,
kemakmuran, keamanan, dan ketertiban. Dalam pengertian yang
sederhana, welfare state didefinisikan dalam area yang relative
terbatas, seperti:
“A society in which the state intervenes within the processes of
economic production and distribution to reallocate life chances
between individuals and/or classes” (Sebuah masyarakat di mana
negara melakukan campur tangan dalam proses produksi dan
distribusi ekonomi untuk mengalokasikan kembali peluang
hidup antara individu dan / atau kelas) (Pierson 1998: 7)
“A type of state predominately concerned with the production and
distribution of societal well-being” (Sebuah negara yang terutama
berkepentingan dengan produksi dan distribusi kesejahteraan
social) (Esping-Andersen 1990: 1)
“A social system whereby the state assumes primary responsibility
for the welfare of its citizens, as in matters of health care, education,
employment, and social security” (Dictionary.com), yakni sebuah
sistem sosial dimana negara memegang tanggung jawab
utama untuk mewujudkan kesejahteraan warganya, seperti
dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan
pengaman sosial lainnya.
Negara kesejahteraan (welfare state) adalah konsep
pemerintahan di mana negara memainkan peran penting dalam
perlindungan dan promosi kesejahteraan ekonomi dan sosial
19
warganya secara menyeluruh. Hal ini didasarkan pada prinsip-
prinsip persamaan kesempatan, pemerataan kekayaan, dan tanggung
jawab publik bagi mereka yang tidak mampu untuk memanfaatkan
ketentuan minimal untuk kehidupan yang baik. Terdapat beberapa
istilah umum yang berkaitan dengan konsepsi welfare state. Sosiolog
TH Marshall (1961) mengidentifikasi negara kesejahteraan sebagai
kombinasi khas dari berkembangnya demokrasi, kesejahteraan, dan
kapitalisme. Pada saat ini boleh dikatakan semua negara maju telah
mempraktekkan konsep welfare state ini dalam tata kelola negara.
Department for International Development (DFID) United
Kingdom (1999), mengkonsepkan setidaknya ada tiga area untuk
mewujudkan konsep perlindungan sosial yang seimbang, yakni:
1) Melalui peningkatan keamanan, dengan cara membantu
rumah tangga dan kelompok masyarakat dalam
meningkatkan kesinambungan penghidupannya ketika
menghadapi guncangan ekonomi, politik, lingkungan,
kesehatan, serta bentuk guncangan lainnya.
2) Melalui peningkatan kesetaraan, dengan cara memperbaiki
tingkat penghidupan yang mengurangi kesenjangan dan
menjamin keterpenuhan hak-hak dasar seluruh penduduk,
serta dengan meningkatkan kemampuan konsumsi
masyarakat miskin.
3) Melalui peningkatan pertumbuhan, dengan menjamin
akses setiap rumah tangga untuk menghasilkan tenaga
kerja yang kompeten dan produktif, membangun nilai-
nilai kegotong-royongan (solidaritas sosial), serta
menyediakan lingkungan yang menjamin kemudahan
individu dalam beradaptasi.
Dalam perspektif yang sempit, welfare state terdiri dari dua
jenis kebijakan pemerintah, yakni: (i) bantuan tunai kepada rumah
20
tangga, termasuk asuransi wajib, pendapatan (income insurance) dan
(ii) subsidi atau pelayanan pemerintah langsung kepada warga
negara (human services), seperti perawatan anak, pra-sekolah,
pendidikan, perawatan kesehatan, dan pelayanan hari tua (old-age
care). Sementara itu, Scott (2012) juga menambahkan bahwa tipe
program kesejahteraan sosial yang paling umum mencakup bantuan
sosial, jaminan sosial, intervensi pasar tenaga kerja, dan program
berbasiskan komunitas/informal. Van Ginneken (1999) serta Ferreria
dan Robalino (2010) mengklasifikasikan program kesejahteraan sosial
menjadi dua kelompok, yakni program bantuan sosial (social
assistance) dan program jaminan sosial (social insurance). Dalam
definisi yang lebih luas, negara kesejahteraan juga dapat mencakup
intervensi pemerintah terhadap berbagai macam hal yang
mempengaruhi kehidupan rakyat, termasuk dalam hal regulasi harga
(seperti kontrol sewa rumah dan dukungan harga pertanian),
kebijakan perumahan, regulasi lingkungan kerja, undang-undang
pekerjaan-keamanan, dan kebijakan lingkungan (Lindbeck 2006: 2).
Dalam kaitan tersebut, para ahli telah memberikan perhatian
khusus pada jalan bersejarah dimana Jerman, Inggris dan negara-
negara lain mengembangkan negara kesejahteraan mereka secara
bertahap. Negara-negara Nordik, seperti Islandia, Swedia, Norwegia,
Denmark, dan Finlandia pada saat ini dikenal telah mempraktekkan
sistem welfare paling modern yang dikenal sebagai model Nordic.
Warga negara di negara-negara tersebut telah menikmati tingkat
kesejaheraan hidup paling tinggi dibanding negara manapun di
dunia ini.
Adalah Jerman yang pertama kali memperkenalkan konsep
negara kesejahteraan modern. Jerman menggunakan istilah
“Sozialstaat” (social state/negara sosial) sejak tahun 1870 untuk
menggambarkan berbagai program sosial yang dipelopori oleh para
21
Sozialpolitiker (politisi sosialis) dan dilaksanakan sebagai bagian dari
reformasi konservatif Otto Von Bismarck.
Istilah serupa yang setara dengan konsep "negara sosial" tidak
populer di negara-negara Anglophone (Inggris, Amerika) sampai
Perang Dunia Kedua, ketika Uskup Agung Anglikan William Temple
Anglikan, penulis buku Christianity and the Social Order (1942),
mempopulerkan konsep yang menggunakan frase "welfare state”
(negara kesejahteraan). Frase “welfare state” yang digunakan oleh
Uskup Temple berkaitan dengan naskah novel dari Benjamin Disraeli
(1845), perdana menteri Inggris 1858-59 dan 1866-68, yang berjudul
Sybil: or the Two Nations (yakni, kaya dan miskin), yang berbicara
tentang "satu-satunya tugas kekuasaan adalah mewujudkan
kesejahteraan sosial rakyat”. Pada saat ia menulis Sybil, Disraeli
masih menjadi anggota Young England, sebuah kelompok
konservatif Yahudi muda yang terkejut oleh apa yang mereka lihat
sebagai ketidakpedulian negara terhadap kondisi menghebohkan
masyarakat miskin industri. Anggota Young England berusaha untuk
menyalakan rasa tanggung jawab kalangan kelas elite terhadap orang
yang kurang beruntung dan pengakuan atas martabat tenaga kerja
yang menurut mereka telah dilakukan Inggris selama masa feodal di
Abad Pertengahan.
Konsep negara kesejahteraan baru berkembang di Italia dan
Swedia pada sekitar tahun 1936. Kata dalam bahasa Italia “sociale
stato” (negara sosial) adalah merupakan istilah yang mereproduksi
bahasa Jerman “sozialstaat”. Sedangkan negara kesejahteraan dalam
bahasa Swedia disebut dengan Folkhemmet – yang secara harfiah
berarti “rumah rakyat”, yang muncul dari kompromi antara serikat
buruh Swedia dan perusahaan-perusahaan besar. Infrastruktur
sistem ekonomi Swedia pada dasarnya adalah merupakan perpaduan
antara serikat pekerja yang kuat, sistem jaminan sosial yang kokoh,
dan penyediaan layanan kesehatan universal. Di Jerman, istilah
22
Wohlfahrtsstaat, terjemahan langsung dari bahasa Inggris "welfare
state", digunakan untuk menggambarkan pengaturan asuransi sosial
model Swedia. Spanyol dan banyak bahasa lain menggunakan istilah
analog: estado del bienestar – secara harfiah, "negara kesejahteraan".
Dalam bahasa Portugis, dua frase yang sama ada: estado do bem -
estarsocial, yang berarti "negara kesejahteraan sosial", dan estado de
Providencia - "negara pelayanan", yang menunjukkan misi negara
untuk menjamin dasar kesejahteraan warga negara. Di Brazil, konsep
ini disebut sebagai previdência soscial, atau "pelayanan/perlindungan
sosial".
Pada intinya, konsep negara kesejahteraan melibatkan
perlindungan dana dari negara, dengan pelayanan yang diberikan
(misalnya, di bidang kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan, dan
kepolisian) maupun secara tunai langsung kepada individu penerima
manfaat (seperti bantuan melahirkan dan perawatan anak, bantuan
pengangguran, dan bantuan pembelian rumah). Kebijakan ini
didanai melalui perpajakan redistribusionis yang biasanya meliputi
pajak penghasilan yang lebih besar bagi orang-orang dengan
pendapatan yang lebih tinggi, yang biasa disebut sebagai pajak
progresif. Selain menjamin tingkat kesejahteraan rakyat dalam
standard tertentu, konsep ini juga membantu untuk mengurangi
kesenjangan pendapatan antara kaya dan miskin.
Perbedaan utama program jaminan sosial dengan program
bantuan sosial terletak pada aspek kontribusi dari penerima
manfaatnya, pendanaan, dan kepesertaan. Pemberian manfaat dari
program bantuan sosial tidak bergantung kepada kontribusi yang
diberikan oleh penerima manfaat, sementara program jaminan sosial
terikat dengan syarat kontribusi dari penerima manfaatnya. Sumber
pendanaan bantuan sosial umumnya berasal dari pajak, sedangkan
jaminan sosial secara mandiri dibiayai oleh iuran/kontribusi
pesertanya. Program bantuan sosial juga umumnya ditargetkan pada
23
kelompok penduduk tertentu yang cukup spesifik, seperti penduduk
miskin, lanjut usia, atau penyandang disabilitas berat. Sedangkan
jaminan sosial diperuntukkan bagi seluruh penduduk atau kelompok
penduduk yang lebih luas, misalnya kelompok pekerja. Secara
umum, program jaminan sosial memiliki tujuan untuk menekan
dampak risiko yang dapat terjadi kepada masyarakat saat
masyarakat mengidap sakit, mengalami disabilitas, mengalami
kecelakaan saat bekerja, melahirkan, dalam keadaan pengangguran,
memasuki usia senja, dan mengalami kematian melalui tunjangan
pendapatan.
Secara umum, konsep negara kesejahteraan terbagi dalam dua
sub-model, yakni: 1) model universal-dengan ketentuan yang
mencakup semua orang; dan 2) model selektif-dengan ketentuan
yang mencakup hanya mereka yang dianggap paling membutuhkan.
Akan tetapi, dalam bukunya tahun 1990, The Three Worlds of Welfare
Capitalism, sosiolog Denmark Gosta Esping-Andersen (1990) lebih
lanjut mengidentifikasi tiga sub tipe model negara kesejahteraan
berdasarkan pada variasi (demodifikasi) pelayanan jaminan sosial.
Meskipun banyak dikritik, klasifikasi ini masih digunakan sebagai
titik awal dalam analisis negara kesejahteraan modern yang dan tetap
menjadi alat acuan dasar bagi para ahli.
Klasifikasi negara kesejahteraan Esping-Andersen ini mengacu
pada peran historis dari tiga gerakan politik abad kedua puluh yang
dominan di Eropa Barat dan Amerika: Social Democracy, Christian
Democracy (conservatism), dan Liberalism. Dia menjelaskan perbedaan
dari ketiga model tersebut sebagai berikut:
1) The Social-Democratic Welfare State adalah model yang
didasarkan pada prinsip-prinsip Universalisme, memberikan
akses pelayanan dan bantuan berdasarkan kewarganegaraan
(citizenship). System welfare state ini menyediakan kebebasan
otonom yang relative tinggi kepada warga negara, membatasi
24
ketergantungan kepada keluarga dan pasar. Standar
pelayanan relatif sama untuk semua warga negara tanpa
kecuali, sehingga tidak mengenal strata layanan. Dalam
konteks ini, kebijakan dipersepsikan sebagai politik anti pasar
(politics against the market).
2) The Christian-Democratic Welfare State adalah model yang
berdasarkan pada prinsip subsidiarity (decentralisasi) dan
dominasi oleh skema asuransi-asuransi sosial, menawarkan
alternatif-alternatif pilihan yang moderat dan mengijinkan
adanya stratifikasi pelayanan yang luas (sebagaimana sistem
asuransi pada umumnya).
3) The Liberal Walfare State adalah model yang didasarkan
pada dominasi pasar dan penyediaan jasa swasta (private
provision); secara prinsip dalam model ini, negara hanya
campur tangan dalam perlindungan sosial yang berkaitan
dengan pengurangan kemiskinan dan penyediaan kebutuhan
dasar saja pada kejadian-kejadian ad-hoc. Program
perlindungan sosial hanya bersifat sementara, ketika terjadi
keadaan-keadaan khusus seperti bencana alam, krisis moneter,
dan resesi ekonomi.
Berdasarkan pada klasifikasi tersebut, Esping-Andersen membagi 18
negara maju yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic
Co-operation and Development--Organisasi untuk Kerja Sama dan
Pembangunan Ekonomi) dalam kelompok sebagai berikut:
1) Social Democratic (Scandinavian) model: Denmark, Finland,
the Netherlands, Norweigia dan Swedia.
2) Christian Democratic: Austria, Belgia, Perancis, Jerman,
Spanyol dan Italy
3) Liberal: Australia, Kanada, Jepang, dan USA
4) Campuran (hybrid) tidak termasuk ketiga kelompok diatas:
Swiss, Irlandia, New Zealand dan Inggris.
25
Karena kriteria dekomodifikasi tidaklah terlalu jelas, tipologi
klasifikasi ini sering dikritik. Namun demikian, dari 18 negara-negara
ini kita dapat menempatkan sebuah negara pada sebuah kontinum
dari yang paling murni sosial-demokratis (Swedia), sampai yang
paling liberal (Amerika Serikat).
Seorang profesor ilmu politik dari Swedia Bo Rothstein (2001)
menyatakan bahwa pada negara-negara yang menerapkan konsep
kesejahteraan non-universal, pemerintah memiliki perhatian utama
untuk mengarahkan sumber daya bagi "orang-orang yang paling
membutuhkan". Hal ini memerlukan kontrol birokrasi yang ketat
untuk menentukan siapa yang memenuhi syarat untuk bantuan dan
siapa yang tidak. Sedangkan dalam model universal seperti Swedia,
pemerintah mendistribusikan kesejahteraan kepada semua orang
dengan cukup menetapkan kriteria (misalnya memiliki anak,
menerima perawatan medis, dll) tanpa banyak campur tangan
birokrasi. Hanya saja, model ini bagaimanapun membutuhkan
perpajakan yang lebih tinggi karena skala layanan yang diberikan.
Model ini dominan diterapkan di negara-negara Skandinavia yang
dimulai dari pemerintahan Karl Kristian Steincke dan Gustav Möller
pada 1930-an.
Sosiolog Lane Kenworthy (1999: 1122) berpendapat bahwa
pengalaman negara-negara Skandinavia (Nordic) menunjukkan
bahwa model sosial demokrasi (Social Democratic Model) modern
dapat "meningkatkan keamanan ekonomi, memperluas kesempatan,
dan memastikan peningkatan standar hidup untuk semua, sementara
pada saat yang sama memfasilitasi kebebasan, fleksibilitas dan
dinamisme pasar."
26
Rangkuman
Negara menurut paham integralistik adalah merupakan susunan
masyarakat yang integral, dan anggota-anggotanya saling terkait
sehingga membentuk satu kesatuan yang organis. Ia adalah
merupakan keluarga besar atau masyarakat besar (great society)
dimana seluruh anggotanya memiliki hak dan kewajiban yang saling
terkoneksi satu sama lain untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Paham Integralistik merupakan aliran pemikiran yang sesuai dengan
watak bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan tolong-
menolong. Konsep negara kesejahteraan dan integralistik ini harus
dilaksanakan secara konsisten. Negara harus mengatur bahwa setiap
warga negara harus melaksanakan kewajiban asasi dan, atas atas
pelaksanaan kewajiban itu, negara memberikan hak yang bersifat
timbal-balik (reciprocal) kepada warganya.
Dalam pengertian yang sederhana, welfare state didefinisikan sebagai:
sebuah sistem sosial dimana negara memegang tanggung jawab
utama untuk mewujudkan kesejahteraan warganya, seperti dalam
pelayanan kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pengaman
sosial lainnya. Secara umum, konsep negara kesejahteraan terbagi
dalam dua sub-model, yakni: 1) model universal-dengan ketentuan
yang mencakup semua orang; dan 2) model selektif-dengan
ketentuan yang mencakup hanya mereka yang dianggap paling
membutuhkan. Akan tetapi, dalam bukunya tahun 1990, The Three
Worlds of Welfare Capitalism, sosiolog Denmark Gosta Esping-
Andersen lebih lanjut mengidentifikasi tiga sub tip emodel negara
kesejahteraan berdasarkan pada variasi (demodifikasi) pelayanan
jaminan sosial. Klasifikasi negara kesejahteraan Esping-Andersen ini
mengacu pada peran historis dari tiga gerakan politik abad kedua
puluh yang dominandi Eropa Barat dan Amerika: Social Democracy,
Christian Democracy (conservatism), dan Liberalism.
27
Bab III
Kondisi Demografi dan Ekonomi di
Indonesia
Pendahuluan
Kondisi demografi Indonesia secara umum memiliki kecenderungan
terjadinya penurunan laju pertumbuhan penduduk, dan terjadinya
pergeseran struktur penduduk Indonesia yang mengarah kepada
struktur penduduk tua (aging population) yaitu makin banyaknya
penduduk lanjut usia (lansia). Ini artinya, beban kelompok welfare
dependency yang bergantung kepada bantuan pemerintah (dan juga
keluarga mereka) juga semakin besar. Jumlah penduduk lansia di
Indonesia meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun baik dari
segi jumlah maupun persentase. Pada tahun 1971 jumlah penduduk
lansia (60 tahun ke atas) di Indonesia baru sekitar 5,3 juta maka pada
tahun 1990 jumlah tersebut meningkat dua kali lipat lebih yaitu
menjadi 12,8 juta (BPS 1971 dan 1990). Berdasarkan Sensus Penduduk
2014 jumlah penduduk lansia sudah mencapai 20,24 juta jiwa, setara
dengan 8,03 persen dari seluruh penduduk Indonesia (BPS 2015).
Pada dasarnya penuaan penduduk terjadi karena adanya
pergeseran struktur umur penduduk. Di tingkat nasional, pergeseran
struktur umur penduduk lebih disebabkan oleh fertilitas dan
mortalitas. Menurunnya angka kelahiran penduduk di satu sisi dan
meningkatnya angka harapan hidup di sisi lain menyebabkan
terjadinya perubahan struktur penduduk Indonesia. Sementara di
daerah pedesaan – faktor migrasi juga berpengaruh terhadap
terjadinya proses aging population.
28
Indonesia dikategorikan PBB ke dalam late initiation countries,
mengacu kepada pengelompokan mereka tentang fertility rate, yang
meliputi:
a. Pre-initiation countries, yakni negara-negara yang penurunan
angka kelahirannya belum dimulai sampai tahun 1990,
b. Late initiation countries, yakni negara-negara yang
penurunan angka kelahirannya dimulai antara kurun waktu
1950-1990, dan
c. Early intiation countries, yakni negara-negara yang
penurunan angka kelahirannya telah berlangsung sebelum
tahun 19501
Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana kondisi penduduk tua
yang makin banyak tersebut? Kenyataannya, jumlah penduduk
lansia yang tercakup oleh sistem jaminan sosial baik dalam bentuk
asuransi maupun tabungan hari tua (pensiun) masih amat sedikit.
Menurut Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan,
diperkirakan hanya sekitar lima persen diantaranya yang
mendapatkan pensiun. Sisanya, 95 persen lansia belum tersentuh
oleh dana pensiun (Kompas, 19 Agustus 2016).
1 Hugo, Graeme, "Review of The Population Ageing Situation and Major Ageing Issues at Local Levels", dalam Productive Ageing in Asia and The Pacific, ESCAP,
29
Gambar 2. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Indonesia 2010-2035
Sumber: BKKBN (2015)
Selain persoalan tersebut, dukungan institusi (institusional
support) yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk lansia
juga masih sangat terbatas. Sebagian besar dari mereka hidup sendiri
atau bergantung kepada keluarga, sedangkan jumlah Panti Jompo--
atau di Indonesia dikenal sebagai Program Sosial Tresna Werdha
(PSTW)--, baik yang dimiliki pemerintah maupun organisasi sosial,
relatif sedikit dibanding dengan jumlah lansia yang
membutuhkannya. Jumlah panti jompo, baik yang dikelola
pemerintah maupun organisasi sosial, di seluruh Indonesia hanya 155
buah, yag menampung hanya kurang dari 1% dari jumlah lansia.
Permasalahan menjadi semakin kompleks karena banyaknya
penduduk muda yang melakukan migrasi ke kota (young out-
migration) untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya struktur piramida penduduk desa yang
kosong di tengah (hollow middle); sehingga banyak lansia di desa yang
ditinggal anak-anaknya pergi ke kota.
Persoalan tersebut diperparah dengan terbatasnya peserta
asuransi kesehatan. Menurut data BPJS Kesehatan, pada tahun 2016,
jumlah peserta adalah sebesar 163.327.183 orang (sekitar 60% dari
30
jumlah penduduk) (BPJS Kesehatan 2016). Dari jumlah tersebut,
sekitar 63% (103.735.804 orang) merupakan peserta penerima bantuan
Iuran (PBI) yang iurannya di bayar oleh pemerintah. Dari total
103.735.804 jiwa tersebut, 88% Pembayaran Iurannya ditanggung
pemerintah pusat melaluin APBN, dan 12% dibayar oleh pemerintah
daerah melalui APBD. Selain itu, hanya 24% yang merupakan Peserta
BPJS Kesehatan Pekerja Penerima Upah (PPU).
Dalam dunia ketenagakerjaan, Indonesia menghadapi
tantangan berupa tingginya angka pengangguran, banyaknya tenaga
kerja yang bekerja di sektor informal, rendahnya upah pekerja, dan
masih sedikitnya yang tercakup dalam sistem jaminan sosial tenaga
kerja. Menurut data BPS, ada sekitar 7,02 juta jiwa yang belum
bekerja paling sedikit 1 jam selama seminggu (Tempo, 04 May 2016).
Dengan kata lain ada angka pengangguran terbuka (open
unemployment) sebesar 5,5 % dari jumlah penduduk.
Gambar 3. Angka tingkat pengangguran Indonesia tahun 2011-2016
(Juta Jiwa)
Sumber: BPS (2010-2016)
Persoalan tenaga kerja juga diwarnai oleh banyaknya pekerja
di sektor informal. Data dari BPS menunjukkan bahwa sekitar 60-70%
8,10
7,20
7,40
7,20
7,60
7,00
6,80
7,00
7,20
7,40
7,60
7,80
8,00
8,20
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
% o
f u
nem
plo
ymen
t
Year
31
persen penduduk Indonesia bekerja di sektor informal (lihat tabel 4).
Sementara yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 30-40% persen.
Banyaknya pekerja yang bekerja di sektor informal berkonsekuensi
dengan makin sulitnya mengorganisir sesamanya untuk ikut
bergabung dalam suatu skema jaminan sosial.
Kondisi ketenagakerjaan tersebut semakin buruk bila
dikaitkan dengan masih rendahnya pekerja yang tercakup dalam
jaminan sosial tenaga kerja. Data terakhir dari BPJS Ketenagakerjaan
menyebutkan jumlah peserta aktif sekitar 19,2 juta dari 37 juta pekerja
formal dengan jumlah dana iuran Rp 35,9 triliun. Sedangkan untuk
pekerja informal jumlahnya sekitar 800 ribu dengan jumlah dana
iuran sekitar Rp. 756 miliar (BPJS Ketengakerjaan 2016). Sedikitnya
pekerja yang mempunyai jaminan sosial dalam kondisi
ketenagakerjaan menyebabkan persoalan yang dilematik. Di satu sisi,
perlu perluasan cakupan kepesertaan ke seluruh angkatan kerja,
namun di sisi lain, jumlah pengangguran yang tinggi mengurangi
kemampuan angkatan kerja untuk membayar iuran.
Kondisi Ekonomi
Tantangan selanjutnya dalam mewujudkan kesejahteraan sosial
adalah berkaitan dengan sedikitnya jumlah pendapatan penduduk,
dan jumlah penduduk miskin. Data yang ada menunjukkan bahwa
angka pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup mengesankan dalam
lima tahun terakhir (2012-2017), yakni rata-rata diatas 5%. Bahkan
Bank Dunia menilai Indonesia merupakan contoh pertumbuhan di
kawasan berdasarkan berbagai fakta, antara lain tingkat
pertumbuhan ekonomi yang stabil, sumber daya manusia yang besar,
dan keanggotaan di kelompok ekonomi G20 (Tempo, 16 Nopember
2016). Akan tetapi, terlepas dari prestasi tersebut, angka pendapatan
32
per kapita (PDB per kapita) Indonesia masih rendah, yakni sebesar
Rp 41,8 juta (US$ 3500an) per tahun. Pendapatan per kapita sebesar
itu lebih rendah dibanding beberapa negara lain yang sudah
memiliki sistem jaminan sosial yang cukup baik.
Disamping itu, terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997,
masih menyisakan terjadinya penurunan kesejahteraan hidup
masyarakat di Indonesia, yang ditandai antara lain dengan semakin
melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity).
Pendapatan keluarga mengalami penurunan secara drastis dan
mengurangi kemampuan belanja keluarga, termasuk biaya
kebutuhan dasar.
Gambar 4. Angka pertumbuhan ekonomi
Sumber: BPS (2011-2016)
Pendapatan per kapita yang rendah tersebut juga
menyebabkan adanya jumlah penduduk miskin yang tinggi. Pada
Maret 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di
Indonesia mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen). Dengan kondisi
kemiskinan tersebut, maka sulit untuk mengembangkan Sistem
6,44% 6,19% 5,56%
5,02% 4,79% 5,18%
0,00%
1,00%
2,00%
3,00%
4,00%
5,00%
6,00%
7,00%
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Pre
sen
tase
TAHUN
33
Perlindungan Sosial (SPS) dalam skema asuransi sosial yang
mengharuskan penduduk untuk membayar premi. Pengembangan
SPS akan lebih menekankan pada bantuan sosial yang dananya
berasal dari pemerintah baik APBN maupun APBD. Masalah
kemiskinan ini juga diperparah oleh tingginya tingkat ketimpangan
di Indonesia yang angkanya cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Menurut data BPS, rasio gini Indonesia pada 1999 hanya
sebesar 0,31 dan dalam perkembangannya mengalami peningkatan
hingga 0,41 pada 2014 dan 0,39 di tahun 2016.
Gambar 5. Jumlah penduduk miskin (dalam juta jiwa)
Sumber: BPS (2011-2016)
Dalam keterkaitan ini, sebagaimana diingatkan oleh World Bank
(2001), perlindungan sosial hendaknya dibuat untuk mengatasi akar
penyebab kemiskinan, sehingga tidak sekedar untuk menyelesaikan
gejala (symptom) persoalan kemiskinan. Perlindungan sosial harus
mampu mengatasi berbagai resiko sosial yang dihadapi orang miskin
beserta kerentanan yang timbul dari resiko sosial tersebut. Dengan
26,50
27,00
27,50
28,00
28,50
29,00
29,50
30,00
30,50
34
demikian, perlindungan sosial harus memiliki visi melihat kedepan
(forward looking), bukan sekedar mengatasi sesuatu yang telah terjadi.
Rangkuman
Kondisi demografi Indonesia secara umum memiliki kecenderungan
terjadinya penurunan laju pertumbuhan penduduk. Ini artinya,
beban kelompok welfare dependency yang bergantung kepada bantuan
pemerintah juga semakin besar. Kenyataannya, jumlah penduduk
lansia yang tercakup oleh sistem jaminan sosial baik dalam bentuk
asuransi maupun tabungan hari tua (pensiun) masih amat sedikit.
Selain persoalan tersebut, dukungan institusi (institusional support)
yang diberikan oleh pemerintah kepada penduduk lansia juga masih
sangat terbatas. Persoalan tersebut diperparah dengan terbatasnya
peserta asuransi kesehatan. Selain itu, Indonesia menghadapi
tantangan berupa tingginya angka pengangguran, banyaknya tenaga
kerja yang bekerja di sektor informal, rendahnya upah pekerja, dan
masih sedikitnya yang tercakup dalam sistem jaminan sosial tenaga
kerja. Sedikitnya pekerja yang mempunyai jaminan sosial dalam
kondisi ketenagakerjaan menyebabkan persoalan yang dilematik. Di
satu sisi, perlu perluasan cakupan kepesertaan ke seluruh angkatan
kerja, namun di sisi lain, jumlah pengangguran yang tinggi
mengurangi kemampuan angkatan kerja untuk membayar iuran.
Berdasarkan data kementerian keuangan tahun 2016, angka
pendapatan per kapita (PDB per kapita) Indonesia masih rendah,
yakni sebesar Rp 41,8 juta (US$ 3500an) per tahun. Pendapatan per
kapita yang rendah tersebut menyebabkan adanya jumlah penduduk
miskin yang tinggi, maka sulit untuk mengembangkan Sistem
Perlindungan Sosial (SPS) dalam skema asuransi sosial yang
mengharuskan penduduk untuk membayar premi. Pengembangan
35
SPS akan lebih menekankan pada bantuan sosial yang dananya
berasal dari pemerintah baik APBN maupun APBD. Dalam
keterkaitan ini, sebagaimana diingatkan oleh World Bank (2001),
perlindungan sosial hendaknya dibuat untuk mengatasi akar
penyebab kemiskinan, sehingga tidak sekedar untuk menyelesaikan
gejala (symptom) persoalan kemiskinan. Dengan demikian,
perlindungan sosial harus memiliki visi melihat kedepan (forward
looking), bukan sekedar mengatasi sesuatu yang telah terjadi.
36
Bab IV
Perkembangan Kebijakan Kesejahteraan
Sosial di Indonesia
Pendahuluan
Kebijakan pemerintah dalam program kesejahteraan sosial
mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan sosial yang terjadi.
Secara garis besar, perkembangan tersebut dalam dikelompokkan
menjadi: masa sebelum krisis moneter 1997-1998, masa krisis
moneter/reformasi, dan masa pasca krisis moneter/reformasi.
Periode sebelum Krisis 1997-1998
Sebelum mengalami krisis ekonomi tahun 1997-1998, Indonesia
belum memiliki sebuah sistem kesejahteraan sosial yang terstruktur
dan terpadu. Selama lima periode rezim Orde Baru dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 1969-1994, pemerintah tidak
secara eksplisit mencantumkan isu kesejahteraan sosial sebagai
agenda pembangunan. Pada era tersebut kesejahteraan sosial
dilaksanakan dalam konteks penanggulangan kemiskinan,
pemberdayaan masyarakat, dan pemberian layanan publik.
Baru pada periode sebelum krisis ekonomi 1997-1998, muncul
program penanggulangan kemiskinan yang bersifat parsial,
segmentatif (hanya untuk kelompok dengan kriteria tertentu, tidak
untuk seluruh warga negara), dan masih terfokus pada program-
program berbasis pemberdayaan masyarakat. Beberapa diantara
program tersebut adalah Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang
berlangsung pada periode 1993-1997 dan Program Pembangunan
Keluarga Sejahtera yang dilaksanakan melalui Program Tabungan
37
Keluarga Sejahtera (Takesra) juga Kredit Usaha Keluarga Sejahtera
(Kukesra) pada tahun 1996-2003. Sebelum adanya kedua program
tersebut, juga terdapat program sejenis dengan skala yang lebih kecil
yaitu Program Pembidanaan dan Peningkatan Pendapatan
Petani/Nelayan Kecil (P4K) yang diinisiasi pada tahun 1979 (Smeru,
2007). Ketiga program tersebut mempunyai sifat karitatif (dimana
penerima manfaat tidak dipersyaratkan memenuhi kewajiban dasar
sebagai warga negara, seperti membayar pajak) dan terdiri dari
komponen yang sama, yaitu pemberian dana bantuan dan
pendampingan program. Program IDT yang dilaksanakan disetiap
daerah diperkuat dengan bantuan pembangunan infrastruktur fisik
pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang dilakukan melalui
Proyek Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT)
(Smeru, 2010).
Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, pemerintah belum
pernah membuat skema program kesejahteraan sosial dalam bentuk
bantuan tunai yang berbasis individu atau keluarga. Selama periode
tersebut, pelaksanaan bantuan sosial pada umumnya dilaksanakan
dalam bentuk subsidi dan penguatan lembaga layanan publik (supply
side) secara umum dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan layanan
sosial lainnya. Dalam bidang pendidikan dan kesehatan misalnya,
pemerintah menyalurkan program Inpres berupa subsidi dalam
bentuk penyediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan agar supaya
masyarakat dapat mengakses layanan dengan biaya yang rendah.
Puskesmas dan sekolah dibangun di seluruh pelosok negeri.
Sementara layanan sosial juga dilakukan oleh pemerintah melalui
berbagai macam panti dan pembinaan pekerja sosial di tingkat
komunitas (Smeru, 2010).
Sementara itu, program jaminan sosial sebelum periode krisis
juga masih dijalankan secara terpisah-pisah dan belum terintegrasi.
Sudah ada berbagai jaminan sosial formal yang cukup layak, melalui
38
asuransi kesehatan, pensiun/tabungan hari tua, jaminan kecelakaan
kerja, dan asuransi kematian, walaupun umumnya hanya tersedia
untuk kalangan terbatas (yakni mereka yang bekerja sebagai PNS,
TNI/POLRI, dan pekerja swasta formal). Sedangkan masyarakat
umum atau pekerja di sektor informal, seperti tukang becak,
pedagang kaki lima, petani dan nelayan, pada umumnya tidak
tersentuh cakupan jaminan sosial ini.
Konsep jaminan pemeliharaan kesehatan sendiri mulai
diperkenalkan sejak tahun 1968 dengan dikeluarkannya Keputusan
Presiden Nomor 230/1968, yang khusus diperuntukkan bagi anggota
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) beserta keluarganya. Lembaga yang ditunjuk untuk
melaksanakan jaminan pemeliharaan kesehatan tersebut adalah
Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), yang
kemudian berubah menjadi PT Askes. Dalam perkembangan
selanjutnya, konsep program asuransi kesehatan ini diperluas
cakupan kepersertaannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1991 yang mengikutkan veteran dan perintis kemerdekaan
beserta anggota keluarganya sebagai penerima manfaat, serta
membuka peluang bagi pegawai badan usaha dan lembaga lainnya
untuk ikut serta sebagai peserta sukarela.
Sedangkan konsep jaminan sosial ketenagakerjaan secara
formal mulai diperkenalkan pada tahun 1992 melalui Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Untuk mengimplementasikan UU ini, PT Jamsostek ditetapkan
sebagai badan penyelenggara, melalui Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 1995.
Selanjutnya konsep jaminan pensiun dan hari tua telah lebih
dahulu dilaksanakan, yaitu melalui Undang-undang No 11 tahun
1956 tentang pembelanjaan Pensiun, Peraturan Pemerintah Nomor 15
Tahun 1963 tentang Pendirian PT. Taspen, Undang-undang No 11
39
tahun 1969 tentang pensiun pegawai dan pensiun janda/duda, serta
undang-undang No 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian
yang diperuntukkan untuk PNS dan anggota ABRI. Setelah adanya
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial
PNS maka dilakukan proses penggabungan program kesejahteraan
pegawai negeri yang terdiri dari Program Tabungan Hari Tua dan
Pensiun yang dikelola PN Taspen. Program-program jaminan sosial
tersebut terus mengalami perkembangan pada periode selanjutnya,
walaupun belum dirancang secara terstruktur dalam sebuah sistem
kesejahteraan sosial yang terpadu.
Selain program pemerintah, masyarakat juga memiliki
berbagai model skema jaminan sosial informal yang mandiri tanpa
bantuan negara. Mereka misalnya mengorganisir asuransi sosial
informal dalam bentuk arisan jamban sehat, jimpitan beras, iuran
dana santunan kematian, iuran rumah sehat, iuran biaya perobatan
dan sebagainya. Iuran yang diberikan tidak hanya dalam bentuk
uang, tapi juga dalam bentuk natura (seperti hewan ternak, kerajinan,
hasil bumi, dan lain sebagainya). Pemerintah mengoptimalkan
potensi ini, dengan dengan membuat program penggalangan Dana
Sehat yang juga dikenal dengan nama Dana Upaya Kesehatan
Masyarakat (DUKM) pada tahun 1980-an sebagai inisiatif untuk
membuat asuransi kesehatan masyarakat (Smeru, 2007). Kegiatan ini
didasarkan pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1974 tentang
Kesehatan yang mengamanahkan adanya “Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat” (JPKM). Program ini berprinsip dari dan oleh
masyarakat dengan mengumpulkan dana (iuran/kontribusi) dari
masyarakat, yang kemudian juga dikelola oleh masyarakat itu
sendiri, untuk membiayai penyelenggaraan layanan kesehatan
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pelaksanaannya diorganisir pada
level lingkungan, seperti halnya RT/RW, desa, hingga kecamatan.
Meskipun dukungan pemerintah bersifat seragam, pelaksanaan dan
40
tingkat keberhasilan program ini bervariasi dan tidak merata
kesejahteraannya antar daerah.
Evaluasi dari berbagai pihak menunjukkan adanya berbagai
kendala, seperti profesionalitas pengelola yang buruk, kesadaran
membayar iuran yang rendah, kapasitas keuangan beberapa
kelompok masyarakat yang minim, serta cakupan kepesertaan yang
kecil (hanya pada level desa/satuan lingkungan setempat) telah
menyebabkan program ini tidak berkembang. Oleh karena itu, pada
perkembangan selanjutnya, kebijakan pemerintah cenderung tidak
lagi mengembangkan skema asuransi informal seperti Dana Sehat,
dan lebih menekankan pada perluasan cakupan jaminan sosial yang
diselenggarakan melalui institusi formal.
Dalam konteks perencanaan dan regulasi, salah satu embrio
pengembangan kesejahteraan sosial yang lebih terstruktur adalah
akhir masa pemerintahan Orde Baru, saat pemerintah mulai
mencantumkan program penanggulangan kemiskinan sebagai tujuan
pembangunan nasional pada era Pelita VI tahun 1994 (Smeru, 2010).
Aakan tetapi, program tersebut masih bersifat adhoc, dan baru pada
masa pasca reformasi, pemerintah mengembangkan program
kesejahteraan dan jaminan sosial secara lebih komprehensif dalam
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan Undang-Undang No. 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sejak saat itu,
frame kebijakan kesejahteraan sosial menjadi lebih luas dan sistemik
yang meliputi area pengurangan kemiskinan, ketimpangan
pendapatan dan jaminan sosial menjadi agenda utama pembangunan
nasional.
41
Periode Krisis Reformasi
Krisis ekonomi dan politik tahun 1997/1998 menjadi berkah tersendiri
bagi berkembangnya gagasan kesejahteraan sosial dengan perubahan
kebijakan yang cukup luas di Indonesia. Krisis ekonomi
menyebabkan terjadinya pergolakan sosial politik dan pergantian
pemerintahan yang berdampak pada menurunnya kondisi
kesejahteraan rakyat. Krisis multidimensi tersebut, mengakibatkan
kerusuhan sosial yang disertai hancurnya sendi-sendi perekonomian,
penurunan pendapatan riil, penjarahan hutan, kelaparan yang
merajalela, pengangguran, putus sekolah, serta dampak lainnya
menjadi ancaman yang meluas ke seluruh penjuru Indonesia (Hall
1999). Atas saran IMF dan Bank Dunia, pemerintah Indonesia
mengeluarkan kebijakan intervensi dan subsidi untuk
menanggulangi atau setidaknya mengurangi dampak sosial dari
krisis.
Kebijakan tersebut kita kenal dengan nama program Social
Security Net atau Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program ini pada
prinsipnya dimaksudkan untuk menolong masyarakat miskin serta
masyarakat yang jatuh miskin karena krisis melalui berbagai bentuk
tindakan bantuan, terutama distribusi bahan pangan, penciptaan
lapangan kerja, pendidikan, dan kesehatan. Dalam program bidang
pangan, pemerintah berusaha menjamin ketersediaan bahan pangan
dengan harga yang terjangkau. Pemerintah mencegah terjadinya
krisis pangan, dengan membagi bahan pokok (beras), mencegah
pengangguran dan mempertahankan daya beli masyarakat dengan
membuka kesempatan kerja, mempertahankan akses pelayanan
pendidikan dan kesehatan dengan skema subsidi. Sejalan dengan itu,
pemerintah juga berusaha menjaga stabilitas bidang ekonomi dengan
berbagai program bantuan dana dan kredit mikro untuk usaha.
42
Program JPS dalam bidang pangan dikenal dengan nama
Operasi Pasar Khusus (OPK). Operasi ini dibuat karena krisis
ekonomi 1997-1998 berdampak pada melambungnya tingkat harga
barang konsumsi, termasuk diantaranya harga bahan pangan
sehingga tidak terjangkau rakyat miskin. Program OPK dimaksudkan
untuk membantu masyarakat miskin agar tetap dapat
mempertahankan derajat konsumsi pangannya di tengah
meningkatnya harga bahan pangan. Dalam program ini, pemerintah
memberikan subsidi bahan pangan berupa beras yang diberikan
kepada masyarakat miskin, mengingat bahwa beras adalah makanan
pokok mayoritas penduduk Indonesia. Rakyat miskin yang memiliki
21 kriteria2 diperbolehkan membeli beras dengan harga dibawah
harga pasar.
Program OPK ini menjadi embrio program subsidi bahan
pangan pada periode selanjutnya, yakni program Beras Untuk
Keluarga Miskin (RASKIN) di tahun 2002. Tidak seperti OPK yang
memiliki sifat kedaruratan (social safety net), program RASKIN
diperluas fungsinya, sebagai bagian dari program perlindungan
sosial (social protection) masyarakat. Selain itu, transformasi nama
program dari OPK menjadi Raskin diantaranya bertujuan untuk
mempertajam ketepatan sasaran penerima manfaat (self targeting).
Penentuan keluarga penerima RASKIN dilakukan dengan pendataan
melalui melalui musyawarah penerima Desa/Kelurahan
(Mudes/Muskel), dengan pertimbangan bahwa masyarakat
setempatlah yang paling tahu siapa diantara mereka yang miskin.
Akan tetapi, praktek dilapangan ditemukan bahwa ada rumah
2 Kriteria tersebut diantaranya, frekwensi makan anggota rumah tangga kurang dari 3 kali
sehari, tidak memiliki barang-barang yang bernilai diatas Rp. 500.000, sering berhutang untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, status penguasaan bangunan tempat tinggal disewa atau kontrak. Tidak punya tabungan diatas Rp. 1,5 juta, tidak mendapatkan uang kiriman dari keluarga, kondisi lantai rumah belum bersemen, air yang diperoleh dari sumber non-PDAM, penggunaan listrik dibawah 900 VA, dan sebagainya.
43
tangga sasaran (RTS) yang berbagi dengan keluarga miskin lain (dan
juga bukan keluarga miskin) yang belum terdaftar sebagai penerima.
Sehingga banyak kritik menyampaikan bahwa program RASKIN
tidak tepat sasaran.
Sementara itu, dalam bidang ketenagakerjaan, pada saat krisis
ekonomi terjadi, pemerintah mengadakan program kedaruratan
(social safety net berupa Program Padat Karya (PPK). Program ini
dibuat karena saat itu banyak perusahaan dan badan usaha yang
bangkrut tidak bisa melanjutkan kegiatan usaha. Pemberhentian
tenaga kerja (PHK) banyak terjadi, sehingga menyebabkan
meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. PPK adalah
serangkaian program yang dimaksudkan untuk membangun usaha
yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja manusia dibandingkan
sumber daya modal/mesin sehingga banyak menyerap tenaga kerja
sehingga dapat mengurangi angka pengangguran akibat krisis
ekonomi. Pada periode selanjutnya, PPK dilanjutkan untuk daerah-
daerah tertentu yang terbelakang dan atau terisolir. Pada masa
pemerintahan Jokowi, misalnya, PPK berbentuk Program Percepatan
Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3TGAI), dan program Bantuan
Perbaikan Perumahan Tidak Layak Huni.
Selanjutnya, dalam bidang pendidikan, pada saat krismon,
pemerintah membuat beberapa program beasiswa untuk siswa dan
bantuan dana untuk sekolah. Program ini dibuat karena banyaknya
orang tua murid yang tidak sanggup melanjutkan pembiayaan
sekolah anak. Mulai tahun 2000/2001, pemerintah mengadakan
program Bantuan Khusus Murid (BKM) dan Bantuan Khusus Sekolah
(BKS) yang diperuntukkan bagi siswa dan sekolah tingkat dasar,
menengah pertama, dan menengah atas. Pada tahun 2005, program
BKM dan BKS dilebur menjadi program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Program ini dimaksudkan sebagai penyediaan
pendanaan biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar dan
44
menengah pertama sebagai wujud pelaksanaan program wajib
belajar 9 tahun.
Pada sektor kesehatan, pemerintah meluncurkan program JPS-
BK (JPS Bidang Kesehatan). Program ini ditujukan untuk
menanggulangi ketidakmampuan rakyat miskin membayar biaya
medis sehingga tidak dapat mengakses layanan kesehatan yang
dibutuhkan. Area yang dicakup oleh program ini, meliputi subsidi
obat-obatan, program keluarga berencana gratis, bantuan operasional
untuk fasilitas-fasilitas kesehatan, bantuan peralatan medis,
pelayanan kesehatan gratis, dan juga bantuan makanan dan
suplemen bagi ibu hamil dan balita.
Selain itu, untuk mempertahankan aktifitas perekonomian
masyarakat daerah dalam menghadapi dampak krisis ekonomi,
pemerintah juga meluncurkan program Pemberdayaan Daerah dalam
Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE). Program ini
berbentuk bantuan pembangunan infrastruktur fisik dan dana kredit
bergulir ekonomi produktif yang diperuntukkan bagi masyarakat
miskin dan pengangguran. Program ini dikucurkan kepada seluruh
desa/kelurahan, dengan sasaran utama masyarakat golongan
Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera 1 (KS1), dan para
pengangguran dengan jumlah disesuaikan dengan besar-kecilnya
penduduk desa/kelurahan yang bersangkutan.
Setelah PDMDKE, pemerintah membuat Program
Pengembangan Kecamatan (PPK) atau Kecamatan Development
Program (KDP). Program ini, sama dengan PDMDKE, bertujuan
untuk menanggulangi kemiskinan serta menguatkan dan
memperbaiki tata pemerintahan lokal. Dana diberikan kepada
pemerintahan tingkat kecamatan/desa, dan penduduk dari
kecamatan/desa yang bersangkutan dilibatkan dalam proses
perencanaan atas alokasi dana sesuai kebutuhan pembangunan
kecamatan/desa mereka. Dana PPK/KDP berasal antara lain dari
45
anggaran pemerintah, dana hibah, serta dana pinjaman lembaga
seperti World Bank dan IMF. Selain PPK/KDP, pemerintah juga
menyelenggarakan Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan
akibat krisis untuk masyarakat perkotaan. Kemudian, pada tahun
2005, PPK/KDP dan P2KP/UPP dilebur menjadi Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perdesaan dan Perkotaan.
Periode Pasca-Krisis dan Reformasi
Pasca terjadinya krisis ekonomi, terjadi proses transformasi dan
konsolidasi sistem kesejahteraan sosial di Indonesia. Sistem itu,
utamanya merupakan kelanjutan dari Program JPS yang awalnya
bersifat sementara dan dibuat untuk mengatasi dampak atas krisis
ekonomi, sekarang menjadi lebih permanen dan tersturktur. Sistem
kesejahteraan sosial terdiri dari program bantuan sosial serta
program jaminan sosial. Sistem tersebut dimantapkan dengan
lahirnya beberapa regulasi, termasuk diantaranya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang menjadi fondasi awal sistem
jaminan sosial di Indonesia pada masa mendatang.
Dari sisi kelembagaan, perkembangan yang signifikan juga
terjadi dengan dibentuknya Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2010 yang menjadi
wadah koordinasi lintas aktor dan sektor pemerintah pusat dalam
mewujudkan percepatan penanggulangan kemiskinan. Lembaga
tersebut mengkoordinasikan program-program percepatan
penanggulangan kemiskinan secara lebih terstruktur.
46
Program-program tersebut disusun dalam empat klaster
utama, yakni:
1) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis
bantuan dan kesejahteraan sosial bertujuan untuk
melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban
hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin.
2) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat.
3) Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis
pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, dan
4) Kelompok program pro-rakyat.
Jenis Program Bantuan Sosial
Bantuan sosial meliputi dua jenis: bantuan sosial reguler dan bantuan
sosial temporer. Bantuan sosial reguler ditujukan untuk
menanggulangi risiko dan kerentanan berdasarkan siklus hidup dan
memiliki sifat yang permanen, dan diberikan kepada individu/rumah
tangga penerima berdasarkan jenis kerentanan yang dihadapi secara
berkelanjutan. Sedang bantuan sosial temporer ditujukan untuk
menanggulangi risiko dan kerentanan yang disebabkan oleh bencana
alam, bencana sosial, atau krisis ekonomi, dan diberikan kepada
individu/rumah tangga penerima pada saat situasi darurat.
1) Program Bantuan Sosial Reguler
Terdapat beberapa program bantuan sosial reguler yang disediakan
oleh pemerintah pada saat ini. Diantaranya adalah:
Rehabilitasi dan Kesejahteraan Sosial Anak
Target program ini adalah anak-anak yang memiliki kehidupan yang
tidak layak dan menghadapi permasalahan sosial seperti kemiskinan,
47
ketelantaran, disabilitas, keterpencilan, ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, korban bencana, dan korban tindak
kekerasan, eksploitasi serta diskriminasi, walaupun belum
menjangkau kelompok anak umum yang berasal dari keluarga
mampu.
Jenisnya meliputi bantuan:
- pemenuhan kebutuhan dasar,
- peningkatan aksesibilitas terhadap akses pelayanan
sosial dasar seperti akte kelahiran, pendidikan,
kesehatan, tempat tinggal dan air bersih, rekreasi,
keterampilan, dan lain-lain,
- penguatan tanggung jawab orang tua/keluarga dalam
pengasuhan dan kesejahteraan anak, serta
- penguatan kelembagaan kesejahteraan sosial anak.
Pemberdayaan Sosial melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBe)
Ini adalah merupakan program pemberdayaan sosial melalui
pemberian modal usaha kepada masyarakat miskin untuk
melaksanakan usaha ekonomi produktif. Tujuan program ini adalah
untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan daya
masyarakat miskin melalui peningkatan kemampuan berusaha para
anggota KUBE secara gotong royong. Kegiatan KUBe meliputi
pelatihan keterampilan berusaha, pemberian bantuan modal kerja
atau berusaha, dan program pendampingan.
Pelayanan Sosial dan Bantuan Bagi Penduduk Lanjut Usia
Program ini melipti pelayanan dalam panti, luar panti, kelembagaan
lanjut usia dan kesejahteraan sosial, serta aksesibilitas untuk lanjut
usia. Termasuk dalam program ini adalah kegiatan kelembagaan
seperti perintisan dan penguatan jejaring antar lembaga nasional dan
internasional, koordinasi antar-dan intersektor, serta Asistensi Sosial
48
Lanjut Usia Telantar (ASLUT), dalam bentuk bantuan terhadap lanjut
usia telantar meliputi uang tunai untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, serta program pelayanan kedaruratan.
Pelayanan, Rehabilitasi, dan Bantuan Sosial Bagi Penyandang
Disabilitas
Program ini dilakukan melalui institutional-based program (IBP), non-
institutional-based program (NIBP), serta jenis pelayanan sosial lainnya.
IBP mencakup program reguler, multilayanan, dan multi target group
melalui pelayanan harian (berkelanjutan), dan program khusus yang
meliputi outreach (penjangkauan) secara sesaat, Unit Pelayanan Sosial
Keliling, dan bantuan ahli kepada organisasi sosial dan rehabilitasi
sosial berbasis masyarakat. NIBP mencakup pelayanan
pendampingan dengan pendekatan family-based dan community-based
yang menyelenggarakan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM).
Sedangkan pelayanan sosial lainnya mencakup Loka Bina Karya
(LBK), Praktek Belajar Kerja (PBK), Usaha Ekonomi
Produktif/Kelompok Usaha Bersama (UEP/KUBe). Bantuan terhadap
masyarakat penyandang disabilitas juga diberikan dalam bentuk
uang tunai melalui program Asistensi Sosial Orang Dengan
Kecacatan (ASODK), yang semula bernama Jaminan Sosial
Penyandang Cacat (JSPACA).
Program Keluarga Harapan
Program ini adalah bantuan tunai untuk rumah tangga sangat miskin
(RTSM) disertai syarat ketentuan pendidikan dan kesehatan. Dalam
jangka pendek program bertujuan untuk mengurangi beban
pengeluaran rumah tangga RTSM, sedangkan jangka panjang untuk
memutus rantai kemiskinan. Intervensi PKH meliputi bidang
pendidikan, perbaikan gizi, serta kesehatan ibu hamil, sehingga
49
diharapkan akan lahir anak-anak yang cerdas dan sehat menuju
keluarga sejahtera.
Penerima manfaat harus memenuhi salah satu dari tiga
kondisi yang dipersyaratkan: memiliki ibu hamil/nifas; memiliki anak
balita atau anak prasekolah; dan/atau memiliki anak usia SD, SMP,
atau anak berusia 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan
dasar.
Beras Bersubsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Program ini melanjutkan program Operasi Pasar Khusus (OPK) saat
krisis ekonomi 1997-1998, guna mengurangi beban rumah tangga
miskin untuk memenuhi sebagian kebutuhan pokok. Bantuan yang
diberikan adalah subsidi bahan pangan pokok, berupa beras yang
merupakan makanan pokok penduduk. Masyarakat dengan kriteria
tertentu dapat membeli beras Raskin dengan harga dibawah harga
pasar.
Bantuan Operasional Sekolah, Bantuan Siswa Miskin, dan Bidikmisi
(BOS)
BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap
pembiayaan untuk mendukung penyelenggaraan wajib belajar
sembilan tahun. Bantuan yang diberikan berwujud dana operasional
nonpersonalia kepada seluruh sekolah tingkat SD dan SMP di
Indonesia. Sedangkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
didesain untuk membantu biaya pendukung pendidikan seperti baju
seragam, buku, dan transportasi. Penentuan penerima BSM
didasarkan kepada kondisi ekonomi siswa. Selanjutnya program
Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi)
diperuntukkan bagi kelompok miskin lulusan sekolah tingkat
menengah atas yang melanjutkan pendidikannya ke tingkat
pendudukan tinggi. Bantuan mencakup pembebasan biaya kuliah
50
serta bantuan biaya hidup selama menempuh masa normal
perkuliahan.
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)
Program ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan tingkat
kesejahteraan KAT secara bertahap sehingga mereka memperoleh
kesejahteraan seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Bantuan
pemberdayaan meliputi pembinaan sumber daya manusia,
pemberdayaan lingkungan sosial dan kelembagaan, kesejahteraan
dan advokasi.
2) Program Bantuan Sosial Temporer
Bantuan sosial temporer diberikan pemerintah kepada individu dan
kelompok yang menjadi korban keadaan luar biasa yang
menyebabkan mereka tidak bisa menjalankan kehidupan secara
wajar, seperti tidak dapat bekerja untuk memperoleh penghasilan,
kehilangan tempat tinggal, atau kekurangan makanan. Diantara
bantuan tersebut adalah:
Bantuan Sosial Korban Bencana Alam dan Sosial
Bantuan ini diberikan kepada korban bencana dalam tiga jenis:
bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Bencana alam
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh peristiwa ketidakwajaran situasi alam sebagaimana
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam seperti gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan
bencana sosial merupakan peristiwa yang diakibatkan oleh manusia,
seperti konflik sosial antar kelompok, konflik antarkomunitas, dan
teror. Bantuan yang diberikan meliputi bantuan langsung,
51
penyediaan aksesibilitas, serta bantuan penguatan kelembagaan.
Bantuan sosial ini ditangani oleh dua lembaga, yakni Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Sosial.
Bantuan Sosial untuk Bencana/Guncangan Ekonomi
Dalam beberapa kasus, pemerintah membuat skema bantuan sosial
sebagai kompensasi atas kejadian tertentu yang berkaitan dengan
goncangan ekonomi seperti kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi tahun 2005 dan 2009. Bantuan yang diberikan
berupa bantuan langsung tunai (BLT) atau unconditional cash transfer,
untuk menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan atas
guncangan ekonomi yang terjadi. Pada tahun 2013, bantuan serupa
diberikan dengan nama Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM). Bantuan tunai tersebut bersifat sementara, diberikan kepada
keluarga miskin dan rentan selama periode waktu yang ditentukan
atau sampai dengan dampak guncangan ekonomi berkurang.
Program Jaminan Sosial
Program jaminan sosial yang dibuat oleh pemerintah saat ini dibagi
menjadi beberapa pelayanan seperti: program jaminan sosial bidang
kesehatan, program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan, pensiun,
jaminan hari tua, dan asuransi kesejahteraan sosial.
Jaminan Kesehatan Masyarakat
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mulai
diperkenalkan tahun 2007, ditujukan bagi masyarakat miskin dan
tidak mampu. Program ini, akan tetapi, tidak sepenuhnya
diselenggarakan dengan prinsip asuransi sosial. Secara terpisah, pada
saat itu terdapat pula program jaminan kesehatan dari PT Askes
(Persero) ditujukan untuk PNS, pensiunan, veteran, serta perintis
52
kemerdekaan beserta keluarganya. Serta Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) Jamsostek untuk pekerja sektor swasta (formal
maupun informal) dan keluarganya, serta golongan bukan pekerja.
Mulai tahun 2014, seluruh program jaminan kesehatan berubah dan
digabungkan menjadi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),
dan dikelola dengan skema asuransi sosial oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Jaminan Ketenagakerjaan
Sebelum implementasi UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dan UU 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), program jaminan sosial
ketenagakerjaan dilaksanakan oleh tiga badan pengelola, yakni: PT
Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero), dan PT ASABRI (Persero).
PT Jamsostek mengelola program ketenagakerjaan untuk tenaga kerja
swasta, termasuk pekerja sektor informal. PT TASPEN mengelola
program jaminan ketenagakerjaan bagi PNS Non-Kemenhan/POLRI,
Pejabat Negara, serta pegawai beberapa BUMN/BUMD. Sedangkan
PT ASABRI mengelola program jaminan ketenagakerjaan bagi
anggota TNI/POLRI serta PNS Kemenhan/POLRI.
Setelah terbitnya UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), maka program jaminan
ketenagakerjaan dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS). Sesuai dengan amanat UU tersebut, PT. Jamsostek
(Persero) menyelenggarakan empat program perlindungan, yang
mencakup: Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan
Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.
53
Jaminan Hari Tua
Skema ini merupakan program penghimpunan dana yang
diperuntukkan sebagai simpanan penghasilan berkelanjutan bagi
pesertanya, jika penghasilan dari peserta program terhenti
dikarenakan berbagai sebab seperti kematian, disabilitas tetap, serta
usia pensiun. Sejak Juli 2015 jaminan ini dilaksanakan BPJS
Ketenagakerjaan untuk seluruh pekerja. Jaminan dibiayai
berdasarkan iuran yang dibayarkan oleh tenaga kerja dan pemberi
kerja, yang disesuaikan dengan tingkat upah yang diberikan oleh
pemberi kerja. Jaminan diberikan kepada peserta, manakala peserta
program berhenti kerja, yang jumlahnya didasarkan pada akumulasi
dari hasil iuran dan pengembangannya. Jenis kepesertaan terdiri dari:
1) Penerima upah selain penyelenggara negara, yakni semua pekerja
baik yang bekerja pada perusahaan dan perseorangan, dan orang
asing yang bekerja di Indonesia lebih dari 6 bulan. 2) Bukan penerima
upah, yakni pemberi kerja, pekerja di luar hubungan kerja/mandiri,
pekerja bukan penerima upah selain poin 2. Jika peserta bekerja di
lebih dari satu perusahaan, masing-masing wajib didaftarkan sesuai
penahapan kepesertaan.
Jaminan Kecelakaan Kerja
Program ini diperuntukkan bagi pekerja swasta, yang dikategorikan
menjadi pekerja penerima upah dan pekerja bukan penerima upah.
Manfaat dari program ini meliputi penanggulangan kehilangan
sebagian atau seluruh penghasilan dikarenakan penyakit, disabilitas,
atau kematian yang disebabkan oleh kecelakaan kerja baik secara
fisik maupun mental. Selain itu terdapat juga jaminan kompensasi
dan rehabilitasi atas kecelakaan yang dialami pekerja mulai dari
perjalanan berangkat kerja, selama bekerja, hingga pulang kembali ke
tempat tinggalnya. Kompensasi yang diberikan mencakup
penggantian biaya transportasi, pengobatan, perawatan, serta biaya
54
rehabilitasi. Bantuan juga berupa santunan sementara tidak mampu
bekerja, santunan disabilitas total tetap, serta santunan kematian.
Jaminan Kematian
Program jaminan ini diperuntukkan kepada ahli waris dari pekerja
peserta yang meninggal dunia bukan dikarenakan kecelakaan kerja.
Jaminan meliputi bantuan biaya pemakaman dan uang santunan.
Iuran program ini sepenuhnya ditanggung oleh pemberi kerja.
Jaminan Perlindungan Kecelakaan dan Santunan Kematian
Program jaminan sosial ini dilaksanakan oleh ”Perusahaan Negara
Kerugian Jasa Raharja” (berdiri sejak tanggal 1 Januari 1965) dengan
tugas mengelola santunan kepada masyarakat yang mengalami
musibah, kecelakaan dalam perjalanan. Santunan juga diberikan
kepada masyarakat dari kerugian akibat kecelakaan atau musibah
saat menggunakan transportasi umum.
SK Menteri Keuangan mengatur tentang penetapan santunan
dan sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan. Premi
meliputi; (1) Iuran Wajib, dimana setiap penumpang yang akan
menggunakan alat transportasi umum membayarkan iuran yang
disatukan dengan ongkos angkut pada saat membeli karcis atau
membayar tarif angkutan dan pengutipan ini dilakukan oleh masing-
masing operator (pengelola) alat transportasi tersebut; (2) Sumbangan
Wajib dimana pembayarannya dilakukan secara periodik (setiap
tahun) di kantor Samsat pada saat seorang pemilik kendaraan
melakukan pendaftaran atau perpanjangan SIM.
Jaminan Pensiun
Program ini diperuntukkan bagi pekerja di sektor pemerintah dan
swasta yang telah membayar iuran, termasuk warga negara asing
yang telah bekerja di Indonesia selama enam bulan. Peserta program
55
yang telah membayarkan iuran akan berhak menerima manfaat
program ketika peserta memasuki usia pensiun.
Jaminan sosial ini bertujuan mempertahankan derajat
kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan
memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun,
mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Manfaat pensiun
adalah sejumlah uang yang dibayarkan setiap bulan kepada peserta.
Khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS), sejak tahun 2017,
terjadi perubahan sistem pensiun dari model pay as you go (manfaat
pasti) menjadi fully funded (iuran pasti). Pay as you go adalah sebuah
sistem pensiun yang ditanggung secara penuh oleh anggaran
pendapatan dan belanja Negara (APBN). Sedangkan dalam system
fully funded ditanggung bersama oleh pemerintah selaku pemberi
kerja dan PNS sebagai pelaku kerja. Perubahan sistem ini
dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan PNS.
Asuransi Kesejahteraan Sosial
Program ini diselenggarakan oleh Kementerian Sosial untuk pekerja
miskin yang bekerja pada sektor informal, agar mereka dapat
mengakses program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan
Kematian yang diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Tujuan program
ini adalah untuk memberikan jaminan kepada pencari nafkah utama
yang bekerja pada sektor informal dan terkategori miskin atas risiko
hilangnya pendapatan akibat kecelakaan kerja atau kematian.
Implementasi program ini dilaksanakan oleh organisasi sosial yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh Kementerian Sosial atau Dinas Sosial
Provinsi berdasarkan usulan dari Dinas Sosial tingkat
Kabupaten/Kota. Lembaga tersebut bertugas untuk menghubungkan
peserta Askesos dengan PT Jamsostek.
56
Rangkuman
Konsep kesejahteraan sosial saat ini di Indonesia dapat dilihat pada
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan
Sosial, yang merupakan operasionalisasi amanat Pancasila dan UUD
1945. Dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan sosial didefinisikan
sebagai “Kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan
sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya”. Pelaksanaan sistem kesejahteraan sosial di Indonesia telah
menempuh jalan yang cukup panjang. Program-program
kesejahteraan sosial telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan
orde baru. Meski begitu, program-program tersebut belum dirancang
secara eksplisit di bawah sebuah sistem kesejahteraan sosial. Sistem
kesejahteraan sosial Indonesia diarahkan untuk membantu
mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan.
Hingga kini, sistem kesejahteraan sosial di Indonesia telah dituliskan
dalam berbagai rencana dan dokumen strategis seperti Master Plan
Percepatan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia (MP3KI) serta
Social Protection Floor (Landasan Perlindungan Sosial).
Bantuan sosial dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni
bantuan sosial reguler dan bantuan sosial temporer. Bantuan sosial
reguler ditujukan untuk menanggulangi risiko dan kerentanan
berdasarkan siklus hidup dan memiliki sifat yang permanen, dan
diberikan kepada individu/rumah tangga penerima berdasarkan jenis
kerentanan yang dihadapi secara berkelanjutan. Bantuan sosial
temporer ditujukan untuk menanggulangi risiko dan kerentanan
yang disebabkan oleh bencana alam, bencana sosial, atau krisis
57
ekonomi, dan diberikan kepada individu/rumah tangga penerima
pada saat situasi darurat.
Program jaminan sosial yang dibuat oleh pemerintah pada dasarnya
dibagi menjadi beberapa pelayanan seperti: program jaminan sosial
bidang kesehatan, program jaminan sosial bidang ketenagakerjaan,
pensiun, jaminan hari tua, dan asuransi kesejahteraan sosial.
58
Bab V
Kebijakan Kesejahteraan Keluarga dan Anak
Pendahuluan
Keluarga adalah kelompok yang paling penting di masyarakat.
Keluarga adalah unit dasar di mana individu menerima sebagian
besar faksi dari pribadi mereka dan di mana kepribadian seorang
manusia terbentuk. Keluarga menyediakan makanan, pakaian,
tempat tinggal dan pendidikan kepada anggotanya. Dalam keadaan
sakit atau hamil, saat melahirkan anak, anggota keluarga mendapat
perawatan dan perlindungan, yang merupakan bentuk kasih sayang
hangat di antara anggotanya selama keadaan normal. Akan tetapi,
karena perubahan ekonomi, sosial dan politik tertentu, atau konflik,
maka keadaan keluarga yang sehat bisa tidak terbentuk. Hal itu,
misalnya berkaitan dengan:
a) Kurangnya harmoni antara suami dan istri atau mungkin
juga ketidakstabilan emosional.
b) Adanya masalah ekonomi yang disebabkan oleh kegagalan
pengelolaan rumah atau pendapatan kecil yang baik.
Masalah ekonomi juga mungkin timbul karena
pengangguran, sakit, kecelakaan, kesehatan buruk,
kurangnya dukungan atau desakan pemenang roti.
c) Masalah mungkin terkait dengan anak-anak, terkadang
menyebabkan kelalaian atau kekejaman, kenakalan atau
ketidakmampuan mereka yang lain.
d) Masalah konflik peran orang tua (ibu/bapak)
e) Mungkin ada masalah perumahan dll.
59
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah perlu memastikan terjaganya
kondisi ideal dari setiap keluarga. Hal ini penting karena, keluarga
adalah merupkan institusi sosial terkecil, sehingga masalah sosial
yang di lingkup masyarakat pada umumnya berkaitan dengan
kehidupan keluarga. Banyak pakar sosial yang memandang bahwa
keluarga adalah dasar kesehatan masyarakat. Setiap individu pada
hakikatnya tumbuh dan berkembang dalam pangaruh keluarga, di
mana interaksi mereka dengan keluarga akan menentukan kualitas
individu yang kelak akan berperan dalam kehidupan bangsa dan
negara.
Dalam kaitan ini, secara sosial, keluarga memiliki fungsi
ekspresif dan instrumental (Rice & Tucker, 1986). Fungsi ekspresif
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan emosi dan perkembangan,
termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Sedangkan fungsi
instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya untuk
mencapai berbagai macam tujuan keluarga. Sedangkan menurut
BKKBN (2012), keluarga memiliki delapan fungsi, yakni:
Fungsi Agama: keluarga berfungsi menjadi tempat
mesosialisasikan kitab suci dalam membentuk kepercayaan anak-
anak mereka.
Fungsi Sosial Budaya: keluarga memiliki peran penting untuk
menanamkan pola tingkah laku berhubungan dengan orang lain
(sosialisasi) dan memberikan warisan budaya, keluarga mengenalkan
nilai-nilai budaya masyarakat terhadap anak.
Fungsi Cinta dan Kasih Sayang: Anak tumbuh dengan
membutuhkan kasih sayang keluarganya untuk menghadapi
kehidupannya.
Fungsi Perlindungan: Anak memerlukan keluarga sebagai
tempat mengadu, mengakui kesalahan-kesalahan, berkeluh kesah,
dan mendapatkan empati.
60
Fungsi Reproduksi: keluarga adalah sarana legal tempat
manusia menyalurkan hasrat seksual kepada manusia lain (yang
berbeda jenis kelamin), sehingga mereka dapat melangsungkan
hidupnya karena dengan fungsi biologi ia akan mempunyai
keturunan berupa anak.
Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan: keluarga mendidik anak
mulai dari awal sampai pertumbuhan anak menjadi dewasa,
sehingga keluarga berperan penting terhadap upaya membentuk
kepribadian yang baik.
Fungsi Ekonomi: keluarga bertugas memenuhi kebutuhan
hidup anggota keluarga.
Fungsi Lingkungan: keluarga membentuk semua tingkah laku
yang dilakukan seorang anggota keluarga sehingga anggota keluarga
adalah cerminan bagimana ia bisa menerapkan kesesuainnya
terhadap lingkungan
Salah satu tantangan yang kita hadapi berkaitan dengan
kondisi demografis yang mengancam kesejahteraan keluarga
Indonesia adalah persoalan triple burden, yaitu jumlah kelahiran bayi
yang masih tinggi, masih dominannya penduduk muda, dan jumlah
Lansia yang terus meningkat.
Dalam kaitan dengan kesejahteraan keluarga, kebijakan
pemerintah perlu ditujukan untuk membantu keluarga dalam
menghadapi krisis, penyesuaian terhadap perubahan-perubahan
dalam struktur atau relasi-relasi, dan pengembalian keseimbangan
serta keselarasan hidupnya. Keluarga memerlukan arahan dan
perlindungan untuk meringankan kecemasan-kecemasan, mencegah
dan mengurangi keadaan serta kondisinya yang dirasakan akan
memburuk.
Dengan demikian, konsep sejahtera keluarga meliputi
pengertian yang luas daripada sekedar definisi kemakmuran ataupun
kebahagiaan. Tidak hanya mengacu pada pemenuhan kebutuhan
61
fisik, tetapi juga kebutuhan psikologis. Besarnya jumlah penduduk
yang tidak disertai kapasitas memadai menjadi tantangan
perwujudan kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu, keluarga harus
didesain agar mereka memiliki akses yang mencukupi terhadap
kebutuhan informasi, penghasilan, pendidikan, kesehatan,
pengasuhan dan perkembangan anak.
Pemerintah selama ini mendesain beberapa kebijakan terkait
usaha untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga, diantaranya:
Program Bina Keluarga Balita (BKB)
Melalui Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,
pemerintah dan pemerintah daerah menyusun program BKB.
Program ini dirintis sejak tahun 1984 untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dalam pengasuhan dan
pembinaan tumbuh kembang anak. Program ini mendorong
kepesertaan masyarakat ber-KB bagi keluarga balita dalam
mendukung terwujudnya keluarga kecil bahagia sejahtera.
Program Keluarga Harapan (PKH)
PKH adalah merupakan upaya percepatan penanggulangan
kemiskinan, yang dilaksanakan Kementrian Sosial sejak tahun 2007.
PKH membuka akses kepada keluarga miskin terutama ibu hamil
dan anak terhadap fasilitas layanan kesehatan (faskes) dan fasilitas
layanan pendidikan (fasdik) yang tersedia di sekitar mereka. Manfaat
PKH juga mencakup penyandang disabilitas dan lanjut usia untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Keluarga miskin
didorong untuk memanfaatkan pelayanan sosial dasar kesehatan,
pendidikan, pangan dan gizi, perawatan, dan pendampingan, serta
berbagai program perlindungan sosial lainnya.
62
Program Bina Keluarga Lansia (BKL)
Jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan pada tahun 2025 akan
mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan hasil
proyeksi penduduk Indonesia tahun 2010-2035, pada tahun 2035
proporsi penduduk lansia akan meningkat menjadi dua kali lipat
kondisi tahun 2010, yaitu 15 persen dari 305 juta penduduk. Dengan
demikian, Indonesia telah memasuki ageing population, dimana
penduduk lansia (>60 tahun) berada diatas 10 persen. Meningkatnya
Angka Harapan Hidup (AHH) laki-laki dan perempuan di Indonesia
menjadi 70,1 tahun (periode tahun 2010-2015), berdampak jumlah
penduduk lansia terus meningkat.
BKL adalah program yang dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan keluarga yang memiliki lanjut usia
dalam pengasuhan, perawatan dan pemberdayaan lansia agar dapat
meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan program ini adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan lansia melalui kepedulian dan peran
keluarga dalam mewujudkan lansia yang bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, mandiri, produktif dan bermanfaat bagi keluarga
dan masyarakat.
Kebijakan dan Program Kesejahteraan Anak
Anak merupakan aset bangsa yang mempunyai posisi strategis
dalam menentukan kelangsungan masa depan bangsa. Mereka
adalah penerus kelangsungan eksistensi bangsa. Anak yang sehat
dan tumbuh kembang secara wajar dapat berkontribusi secara positif
bagi masyarakat dan negara. Sebaliknya jika mereka mengalami
persoalan traumatis dalam tumbuh kembangnya akan menjadi
perusak bagi masyarakat dan Negara. Persoalan traumatis tersebut
dapat disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan dan hak-hak
anak baik oleh orangtua, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah.
63
Selain itu, anak-anak juga dapat mengalami kekerasan, eksploitasi,
pengucilan, marjinalisasi, perlakuan salah dan penelantaran.
Kemiskinan biasanya yang menjadi penyebab kerentanan anak
di Indonesia karena mereka tidak memiliki akses kesehatan, nutrisi,
dan pendidikan yang baik. Padahal, data BPS (2017) menunjukkan
bahwa terdapat 26,58 juta penduduk Indonesia yang masih miskin.
Mayoritas dari mereka tentu memiliki anak, yang berarti bahwa
mereka berresiko dikeluarkan dari sekolah pada usia dini sehingga
tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan
kehidupan yang lebih baik.
Kerentanan berikutnya adalah terkait masalah kesehatan,
berupa gizi buruk, dimana Kemenkes (2017) menyebut bahwa dalam
kategori kekurangan gizi menurut indeks berat badan per usia,
angkanya mencapai 17%.3 Tidak mengherankan pula, sampai saat ini
masih banyak terjadi kasus busung lapar di berbagai daerah, seperti
di Aceh4, Nias5, NTT6, Baubau Sulawesi Tenggara7, dan Papua8. Hal
tersebut tentu terjadi karena ketidakmampuan keluarga mereka
untuk membiayai kebutuhan pangan dan layanan kesehatan.
Banyak pula anak yang tidak memiliki pengasuh atau
diterlantarkan keluarganya. Sampai tahun 2016, Kemensos mencatat
adanya 4,1 juta anak yang terlantar (Jawa Pos, 29 Maret 2016). Mereka
dibiarkan tanpa pengasuhan dan perlindungan yang memadai dan
sebagian terpaksa menjadi anak jalanan yang berhadapan dengan
3 Lihat https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170309074408-255-
198873/angka-kekurangan-gizi-indonesia-diatas-ambang-batas-who 4 Lihat https://www.cendananews.com/2016/02/satu-bulan-terakhir-tiga-balita-alami-
gizi-buruk-di-aceh-utara.html 5 Lihat https://daerah.sindonews.com/read/1079443/191/menyedihkan-empat-balita-
asal-nias-menderita-gizi-buruk-1453467710 6 Lihat http://kupang.tribunnews.com/2017/03/03/pemeritah-dan-balita-gizi-buruk
7 Lihat http://suaraindonesia-news.com/karena-busung-lapar-seorang-anak-di-
baubau-meninggal-dunia-korwil-trc-pai-sultra-kemana-pemerintah/ 8 Lihat http://health.liputan6.com/read/3225026/korban-berjatuhan-dilema-darurat-
gizi-buruk-dan-campak-di-asmat
64
resiko kesehatan, eksploitasi dan kekerasan, putus sekolah,
perdagangan anak, atau terlibat dalam aksi kejahatan.
Pemerintah menunjukkan komitmen terhadap perlindungan
anak dengan membuat kebijakan-kebijakan dan memperkuat
kerangka hukum internasional yang menjamin perlindungan hak-hak
anak. Misalnya, di tahun 1990 dilakukan ratifikasi Konvensi Hak
Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui konvensi ini,
pemerintah diwajibkan mengembangkan kebijakan dan menjalankan
aksi-aksi untuk kepentingan terbaik anak, menghargai hak-hak anak
di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan sipil dan domain politik dan
untuk melindungi anak dari perlakuan salah, eksploitasi,
diskriminasi, dan kekerasan. Selanjutnya, pemerintah membuat
berbagai peraturan untuk menjalankan konvensi tersebut, antara lain:
UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU
No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; dan UU No.
21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, dan berbagai program untuk melindungi anak dari
eksploitasi.
Tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
tersebar di berbagai program dan dilaksanakan oleh berbagai
kementerian dan pemerintah daerah serta di berbagai direktorat
dalam lembaga pemerintahan yang berlainan. Sayangnya, program-
program masih cenderung terfragmentasi dan tidak terkoordinasi
satu sama lain. Terjadi tumpang tindih layanan serta kesenjangan di
berbagai isu.
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia telah berusaha mulai
mengembangkan sebuah sistem perlindungan anak yang
komprehensif dan terintegrasi yang difokuskan pada pengasuhan
berbasis keluarga dan pengasuhan berbasis masyarakat. Model
65
tersebut mengintegrasikan layanan sosial, kesehatan, pendidikan,
dan keadilan, mengurangi duplikasi, inefisiensi, dan fragmentasi
layanan dan bertujuan untuk meningkatkan akses pada layanan.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kementerian Sosial,
TN2PK, Bappenas, berbagai lembaga mitra internasional, dan
beberapa pemerintah daerah untuk melakukan sejumlah intervensi
dan membuat cara-cara baru untuk meningkatkan perlindungan
sosial bagai anak. Tujuannya adalah untuk mengurangi fragmentasi
ekstrem program sosial, mengintegrasikan bantuan tunai dan
layanan sosial dan menguji tempat rujukan satu pintu (one-stop
referral) dan model-model layanan. Sejak 2014, semenjak
pengurangan subsidi BBM, program program perlindungan anak
mendapatkan alokasi pengalihan anggaran dari subsidi BBM
tersebut. Beberapa inisiatif tersebut adalah:
Sejak 2014, Kementerian Sosial bekerja sama dengan UNICEF
menyusun program-program pilot berbasis daerah untuk
menciptakan sebuah pendekatan yang terintegrasi dengan
kesejahteraan dan perlindungan anak berbasis keluarga di tiga
propinsi: Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Sejak 2012, TNP2K dan Bappenas didukung oleh Department of
Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia telah membuat sistem
Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial yang
dikelola oleh TNP2K. Sistem ini dapat digunakan untuk
perencanaan program dan mengidentifikasi nama & alamat calon
penerima bantuan sosial, baik rumah tangga, keluarga maupun
individu berdasarkan pada kriteria-kriteria sosial-ekonomi yang
ditetapkan oleh pelaksana. Ada 11 proyek percontohan untuk
memadukan data nasional (national unified data-base atau UDB)
dengan menggunakan sistem rujukan terpadu atau Integrated
Referral System (IRS), yang memberikan solusi teknologi untuk
menghapuskan fragmentasi program perlindungan sosial dan
66
untuk meningkatkan koordinasi dan integrasi layanan
perlindungan sosial di tingkat nasional dan daerah.
Beberapa Pemerintah Kabupaten, seperti Sragen, Bantul, dan
Kebumen membuat inisiatif membentuk UPTK (Unit Pelaksana
Teknis Penanggulangan Kemiskinan) yang pada umumnya
dibawah Sekretaris Daerah (Sekda). Unit ini bertugas untuk
melakukan koordinasi tingkat daerah untuk perlindungan sosial
melalui sebuah sistem pencatatan online yang terintegrasi. Model
ini mengalihkan implementasi perlindungan sosial dari
Kementerian Sosial kepada pemerintah daerah. Model ini
merupakan respons terhadap fakta bahwa sistem penetapan target
nasional (UDB) memiliki kesalahan inklusi dan eksklusi yang
tinggi.
Pemerintah daerah, seperti Kabupaten Bantul, Kabupaten
Kebumen dan Kota Surakarta juga membangun database tentang
keluarga miskin dan pencatatan sipil online yang mengkoneksi
catatan rumah sakit dengan data pencatatan sipil sehingga
pengguna bisa dengan mudah menentukan pencatatan sipil dan
status kesehatan dari rumah tangga tertentu.
Inisiatif-inisatif tersebut dapat mengurangi kelemahan-
kelemahan dari sistem perlindungan anak dan sistem kesejahteraan
yang segmentatif dan parsial. Upaya ini bisa mensinergikan program
dan akan mengurangi fragmentasi atau ovelapping antar instansi.
Selain itu, sejak tahun 2000, pemerintah mulai mengatur pengasuhan
kelembagaan atau panti ke pengasuhan berbasis keluarga dalam
pengasuhan dan perlindungan anak. Kebijakan ini didasarkan pada
temuan dari beberapa penelitian tentang pengasuhan kelembagaan
yang dilakukan beberapa panti. Penelitian-penelitian tersebut
menunjukkan bahwa hanya 6% dari anak yang ada di panti-panti itu
67
adalah anak yatim. Kebanyakan dari anak-anak ini dikirim ke panti
oleh keluarga mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih
baik dan kebanyakan anak yang tinggal di lembaga-lembaga ini tidak
mendapatkan pengasuhan dan perlindungan yang memadai
(Florence & Sudrajat, 2007). Di tahun 2011, Standar Nasional
Pengasuhan Anak dalam institusi disahkan. Kebijakan ini
mengutamakan agar anak dapat hidup bersama keluarga atau dalam
lingkungan keluarga sementara pengasuhan panti dianggap sebagai
upaya terakhir.
Perubahan paradigma ini diterjemahkan ke dalam beberapa
program termasuk inisiatif pengentasan kemiskinan dan
perlindungan anak, mengikuti Instruksi Presiden Nomor 1 tahun
2010 tentang Akselerasi Implementasi Prioritas Pembangunan
Nasional untuk tahun 2010 dan Instruksi Presiden Nomor 3 tahun
2010 tentang Pembangunan Berkeadilan. Bantuan tunai Program
Keluarga Harapan (PKH) dimulai pada tahun 2007. Program ini
memberikan bantuan tunai kepada keluarga miskin yang memiliki
ibu hamil atau menyusui, bayi, dan anak usia sekolah. Di tahun 2014,
sebanyak 3,2 juta keluarga miskin telah menerima bantuan tunai dari
PKH.
Pada tahun 2009 Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)
diperkenalkan sebagai intervensi perlindungan anak tingkat
sekunder dan tersier. Program ini menggabungkan bantuan tunai
dan layanan sosial untuk membantu anak yang berisiko atau anak
dalam krisis. PKSA dirancang untuk membantu memenuhi hak-hak
termasuk Perlindungan anak dan kebutuhan anak-anak termiskin
dan paling rentan melalui penyediaan bantuan tunai bersyarat dan
pelayanan kesejahteraan sosial yang menyertainya. Sejak tahun 2010
hingga 2015, PKSA sudah menjangkau 173.611 anak-anak yang
paling rentan di seluruh Indonesia9. Program ini mendorong
9 Penilaian Cepat Program Kesejahteraan Sosial Anak (UNICEF, 2015)
68
aksesibilitas yang lebih baik pada pendidikan, gizi, akta kelahiran
dan inklusi keuangan untuk penerima manfaat. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Sosial No. 15A/HUK/2010, tujuan dari PKSA
adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar anak dan
perlindungan anak dari penelantaran, eksploitasi, dan diskriminasi
sehingga pembangunan anak, kelangsungan hidup dan partisipasi
mereka bisa dicapai. PKSA diluncurkan untuk membantu anak-anak
yang dalam krisis dan anak-anak yang berisiko yang kebanyakan
tinggal di rumah tangga miskin dan tidak terjangkau oleh PKH atau
program lain atau membutuhkan layanan yang tidak diberikan oleh
program lain.
PKSA memberikan bantuan tunai sebesar Rp.1,5 juta per anak
per tahun (di tahun 2014 dikurangi menjadi Rp.1 juta) yang
digabungkan dengan bimbingan dan pengasuhan yang diberikan
kepada anak-anak dan keluarga mereka oleh pekerja sosial dan/atau
lembaga-lembaga pengasuhan anak yang menghubungkan anak-
anak dan keluarga mereka dengan layanan sosial dasar.
Tabel 5. Perkembangan PKSA TA 2010-2015
Sumber: Renstra Kemensos (2015)
Sampai tahun 2015 Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak telah
memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap anak yang
69
bermasalah sebanyak 981.747 jiwa. Dibandingkan dengan anggaran
tahun 2008 mengalami penurunan 5% dan dalam 3 tahun terakhir
rata-rata menurun 3,4 %. Akibatnya jumlah sasaran anak yang dapat
dibantu juga mengalami penurunan. Kondisi ini merupakan kondisi
pada umumnya di berbagai kementrian dan lembaga negera,
mengingat keterbatasan anggaran negara yang terkena dampak dari
krisis ekonomi dan harga minyak dunia yang fluktuatif meningkat.
Kementerian Sosial mentransformasikan lima sub-program ke
dalam sebuah model yang terintegrasi, satu PKSA untuk semua.
Untuk periode 2010 sampai 2011, PKSA mengelola sub-sub program
secara lebih terkordinasikan. Sementara itu, pemerintah pusat juga
menyalurkan dana dekonsentrasi agar daerah membuat sendiri
program-program kesejahteraan anak sebagaimana PKSA. Pada
tahun 2011, dilakukan pengintegrasian antara PKSA pusat dan
program kesejahteraan anak daerah.
Rangkuman
Keluarga adalah suatu unit dasar tempat individu menerima
sebagian besar pembentukan kepribadian. Karena keadaan ekonomi,
social dan politik, atau konflik, maka keadaan keluarga yang sehat
bisa tidak terbentuk. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah perlu
memastikan terjaganya kondisi ideal dari setiap keluarga. Kebijakan
pemerintah perlu ditujukan untuk membantu keluarga dalam
menghadapi krisis dan pengembalian keseimbangan serta
keselarasan hidup mereka. Keluarga memerlukan arahan dan
perlindungan untuk meringankan kecemasan – kecemasan,
mencegah dan mengurangi keadaan serta kondisinya yang
memburuk.
Anak adalah penerus kelangsungan eksistensi bangsa sehingga
mereka harus dapat tumbuh berkembang secara wajar sehingga
dapat berkontribusi secara positif bagi masyarakat dan negara. Akan
70
tetapi, kemiskinan biasanya yang menjadi penyebab kerentanan anak
di Indonesia karena mereka tidak memiliki akses kesehatan, nutrisi,
dan pendidikan yang baik. Oleh karena itu, pemerintah perlu
membuat berbagai macam program perlindungan dan subsidi agar
anak Indonesia dapat tumbuh secara wajar dan baik.
71
Bab VI
Kesejahteraan Bidang Pendidikan
Pendahuluan
Pendidikan adalah prasyarat penting untuk mencapai peningkatan
kesejahteraan hidup masyarakat. Hal ini karena kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) sebuah negara tergantung pada mutu
pendidikan yang ada di negara tersebut. Untuk itu, pendidikan yang
bermutu perlu dilakukan melalui sebuah kerangka sistem yang
terintegrasi. Kerangka sitem inilah yang menjadi dasar kebijakan
pendidikan agar menghasilkan peserta didik yang berkontribusi
dalam menjadikan negaranya sebagai negara yang maju dan
sejahtera.
Sebagaimana dikemukakan Tomlinson (2005: 18) pendidikan
adalah proses penting dari perwujudan pencapaian kesejahteraan
negara. Oleh karena itu, negara memiliki tugas untuk
menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan. Pendidikan
tidak hanya menciptakan kemampuan suatu orang atau masyarakat
dalam menghadapi persoalan deprivasi sosial, yang menjebak
seseorang atau masyarakat dalam kemiskinan dan kemunduran,
tetapi juga menciptakan kemampuan perorangan dan masyarakat
dalam berkreasi dan mengakses sumber daya dan tata kebijakan, dan
mengorganisasikannya untuk menciptakan kemakmuran. Manusia
yang terdidik akan lebih mudah mendapatkan dan menciptakan
pekerjaan daripada mereka yang tidak. Pendidikan tersebut tentu
72
saja bukan saja pada sektor formal tetapi juga informal, termasuk
pendidikan pada lembaga non-pendidikan.
Skema Kesejahteraan Bidang Pendidikan
Landasan konstitusional bagi pembangunan dan jaminan sosial di
bidang pendidikan adalah Undang-Undang Dasar 1945 Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pembukaan UUD 1945
dinyatakan bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sedangkan Pasal 31 dalam ayat-ayatnya menyatakan bahwa: (1)
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dalam undang-undang; dan (3) Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
Undang-Undang Dasar 1945 kita jelas mengatakan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah
wajib membiayainya. Artinya, menyelenggarakan pendidikan untuk
seluruh rakyat Indonesia merupakan tugas pemerintah. Dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional juga sudah dinyatakan bahwa alokasi anggaran untuk
pendidikan minimal 20 persen dari APBN.
Sesungguhnya sejak jaman Orde Baru, pemerintah
menjanjikan pemberlakuan subsidi pendidikan yang komprehensif
(bebas pungutan apapun) dan universal (mencakup seluruh kelompok
sosial di semua daerah). Pada saat upacara perayaan Hari Pendidikan
Nasional 2 Mei 1984, misalnya, presiden Suharto, kala itu
73
mencanangkan pemberlakuan program Wajib Belajar 9 Tahun yang
meliputi jenjang pendidikan SD hingga SMP. Pada tahun 2015 sejalan
dengan program nawacita presiden Jokowi, pemerintah
mencanangkan program wajib belajar menjadi 12 tahun, Artinya
penduduk dapat menempuh pendidikan SD-SMA secara gratis.
Dalam realitanya, akan tetapi, pelaksanaan program wajib
belajar itu masih memperlihatkan hasil yang belum optimal.
Setidaknya sampai 2007, program wajib belajar belum betul-betul
membebaskan biaya pendidikan secara menyeluruh. Orang tua
murid tetap harus membeli buku pelajaran, iuran kegiatan ekstra-
kurikuler dan (sebagian) membayar uang gedung. Selain itu,
pelaksanaan program Wajib Belajar juga bervariasi di berbagai
provinsi.
Walaupun sudah berlangsung sekian lama, akan tetapi
program wajib belajar 9 tahun belum sepenuhnya berhasil. Data BPS
(2016) menunjukkan bahwa angka partisipasi murni pada jenjang
SMP 77,95%. Hal ini menunjukkan bahwa program Wajib Belajar
tidak berhasil merealisasi keseluruhan warga negara yang lulus SD
menempuh pendidikan SMP (pendidikan 9 tahun). Terlebih lagi, bila
melihat angka partisipasi pada tingkat SMA yang hanya berkisar
59,95%. Ini artinya hanya 59% penduduk Indonesia yang berumur
rentang waktu tersebut yang mengenyam bangku SMA. Hal ini
menunjukkan masih kurang komprehensifnya skema kebjakan dan
subsidi pendidikan yang ada di Indonesia. Bila kebijakan berjalan
dengan benar, mustinya angka partisipasi murni bisa mencapai 100%.
Perlindungan Sosial
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, mengamanatkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Ini artinya, pembiayaan pendidikan tidak sepenuhnya
74
harus ditanggung oleh rakyat, melainkan ada subsidi dari
pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah. Pendanaan
pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk
menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Selain untuk
membiayai fasilitas dan sarana sekolah, biaya dan dana pendidikan
merupakan penunjang utama untuk terselenggaranya sistem
pendidikan yang sesuai dengan standar pendidikan nasional.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan, biaya untuk pendidikan terdiri atas (1) biaya
investasi, (2) biaya operasional, (3) biaya pribadi peserta didik, serta
(4) beasiswa dan bantuan pendidikan. Sumber pendanaan
pendidikan tersebut dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah
daerah, penyelenggara pendidikan, pungutan dari peserta didik,
pemangku kepentingan, pihak asing yang tidak mengikat, serta
sumber lainnya yang sah.
Untuk membantu pembiayaan pendidikan, pemerintah
membuat subsidi pendidikan murah seperti dengan menyalurkan
penyaluran BOS, dan juga memberikan beasiswa bagi siswa miskin
seperti Bidik Misi10 dan Program Indonesia Pintar (PIP).11 Beasiswa
dan bantuan pendidikan bagi peserta didik yang berprestasi dan
orangtua/walinya tidak mampu. Subsidi beasiswa dapat meliputi
sebagian atau seluruh dari biaya pendidikan yang harus ditanggung.
10
Bidik Misi dalah bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa tidak mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik baik untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi pada program studi unggulan sampai lulus tepat waktu. 11
Program Indonesia Pintar (PIP) adalah kelanjutan program Bantuan Siswa Miskin (BSM) berupa pemberian bantuan tunai pendidikan kepada anak usia sekolah (usia 6 - 21 tahun) dari keluarga miskin dan rentan miskin yang dilaksanakan sejak 2015.
75
Program Pelayanan Pendidikan
Upaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan pendidikan
dilakukan melalui perbaikan sarana fisik sekolah, peningkatan mutu
pembelajaran dan beasiswa. Pemberian beasiswa sebagai salah satu
program pemerintah diprioritas kepada siswa yang memiliki
ekonomi lemah, dan berfungsi seagai pemerataan dan perluasan
kesempatan belajar karena masih adanya masyarakattidak mampu
menyekolahkan anaknya pada lembaga-lembaga pendidikan dasar
sehingga anak mereka tidak mendapat layanan pendidikan dasar
secara optimal.
Wajib Belajar
Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak mendapat pengajaran dan pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur
dengan undang-undang. Hal ini dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar. UU tersbut juga menyebutkan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya (pasal 34 ayat 2), serta menyebutkan
bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara (pasal 34
ayat 3). Dengan demikian, amanat undang-undang tersebut
mengisyaratkan bahwa pemerintah wajib memberikan layanan
pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar
(SD/Madrasah Ibtidaiyah dan SMP/Madrasah Tsanawiyah) dan atau
satuan pendidikan lain yang sederajat.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008
mengatur fungsi dan tujuan wajib belajar:
76
“wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara Indonesia.”
“wajib belajar bertujuan memberikan pendidikan minimal
bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan
potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam
masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi.”
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Pasal 3
menyebutkan bahwa wajib belajar diselenggarakan pada:
1) jalur pendidikan formal, yang diilaksanakan minimal pada
jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs,
dan bentuk lain yang sederajat.
2) jalur pendidikan nonformal, yang dilaksanakan melalui
program paket A, program paket B, dan bentuk lain yang
sederajat.
3) jalur pendidikan informal, yang dilaksanakan melalui
pendidikan keluarga dan/atau pendidikan lingkungan.
Untuk mewujudkan program wajib belajar 9 tahun, maka
pemerintah menciptakan program BOS (Bantuan Operasional
Sekolah), yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat
terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun
yang bermutu.
Selanjutnya, mulai Juni 2015, pemerintah meningkatkan
program gerakan wajib belajar menjadi 12 tahun yang tercantum
dalam Nawacita Presiden Jokowi sehingga setiap anak harus
mengikuti jenjang pendidikan sampai dengan sekolah menengah atas
(SMA/MA/SMK). Beberapa daerah, seperti Bali, Kepulauan Riau, dan
Kalimantan Timur, sesungguhnya telah memulai inisiatif ini sejak
tahun 2011. Program daerah-daerah inilah yang dijadikan sebagai
pemacu untuk melahirkan program wajib belajar 12 tahun di tingkat
77
nasional. Pencanangan program wajib belajar 12 tahun tersebut,
memiliki konsekwensi bagi pemerintah untuk membebaskan semua
biaya dan menyediakan semua fasilitas penunjang yang diperlukan
dalam rangka mewujdukan wajib belajar 12 tahun gratis.
Program Indonesia Pintar
Untuk membantu meningkatkan pendidikan bagi masyarakat tidak
mampu, Pemerintah membuat Program Indonesia Pintar (PIP)
melalui Inpres Nomor 7 tahun 2014. Pelaksanaan program ini
dilakukan oleh tiga kementerian yaitu Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Sosial (Kemensos), dan
Kementerian Agama (Kemenag).
PIP bertujuan untuk membantu anak-anak usia sekolah dari
keluarga miskin atau rentan miskin dan keluarga di daerah prioritas
(karena terpencil, kumuh, atau di wilayah perbatasan) agar dapat
mengakses layanan pendidikan sampai tamat pendidikan menengah,
baik melalui jalur pendidikan formal (hingga menyelesaikan
SMA/SMK/MA) maupun pendidikan non formal (hingga
menyelesaikan Paket C serta kursus lain yang terstandar). Dengan
PIP pemerintah berupaya mencegah peserta didik dari kemungkinan
putus sekolah, serta menarik siswa putus sekolah agar kembali
melanjutkan pendidikannya.
PIP didesain untuk meringankan biaya personal pendidikan
peserta didik, baik biaya langsung maupun tidak langsung. Program
ini memberi bantuan tunai kepada anak usia sekolah yang berasal
dari keluarga kurang mampu yang disalurkan melalui Kartu
Indonesia Pintar (KIP). Kartu ini diberikan kepada anak usia sekolah
yang berasal dari keluarga miskin pemegang Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS) agar mereka dapat menempuh pendidikan sampai
jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA).
78
KIP juga diberikan kepada anak usia sekolah yang tidak
berada di sekolah umum, seperti Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) seperti anak-anak di Panti Asuhan/Sosial, anak
jalanan, dan pekerja anak dan penyandang cacat. KIP juga diberikan
kepada santri Pondok Pesantren, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
dan Lembaga Kursus dan Pelatihan yang ditentukan oleh
Pemerintah. Program KIP ini merupakan pelengkap program
Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang terlebih dahulu dilaksanakan
tahun 2008 dan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
dimulai pada tahun 2005.
Rangkuman
Hal ini karena kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebuah negara
tergantung pada mutu pendidikan yang ada di negara tersebut.
Karena itu, sejak jaman Orde Baru, pemerintah berusaha membuat
program wajib belajar 9 tahun (di tahun 2015 menjadi 12 tahun)
dengan memberikan subsidi pendidikan yang komprehensif (bebas
pungutan apapun) dan universal (mencakup seluruh kelompok sosial
di semua daerah). Akan tetapi, pelaksanaan program itu masih
sangat terbatas. Setidaknya sampai 2007, program wajib belajar
belum betul-betul membebaskan biaya pendidikan secara
menyeluruh. Orang tua murid tetap harus membeli buku pelajaran,
iuran kegiatan ekstra-kurikuler dan (sebagian) membayar uang
gedung.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan pendidikan
dilakukan melalui perbaikan sarana fisik sekolah, peningkatan mutu
pembelajaran dan beasiswa. Untuk itu, pemerintah membuat
program wajib belajar dan program Indonesia Pintar. Kedua program
tersebut dimaksudkan agar penduduk pada usia yang semestinya
dapat menempuh pendidikan wajib minimal sampai SMA.
79
Bab VII
Kesimpulan: Pembangunan Kesejahteraan
Pendahuluan
Sistem perlindungan sosial seharusnya merupakan sistem yang
berkelanjutan yang memberikan perlindungan kepada seluruh warga
negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap kesulitan
ekonomi dan sosial yang berakibat pada tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar warga negara baik disebabkan karena terhentinya,
turunnya, atau tidak mencukupinya penghasilan, sakit, hamil,
kecelakaan, cacat, hari tua, kematian, bencana alam maupun
kerusuhan sosial.
Untuk itu, sistem harus terpadu lintas sektor, dalam arti
bahwa perlindungan sosial ini perlu dilakukan melalui kerjasama
dan koordinasi yang baik antar sektor baik sektor ketenagakerjaan,
kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan, kependudukan,
perindustrian, perdagangan, dan sektor terkait lainnya.
Tujuan sistem ini pada akhirnya adalah untuk mendorong
sebanyak mungkin warga negara agar dapat dan mampu menjadi
peserta jaminan sosial sehingga warga negara yang memperoleh
bantuan sosial menjadi semakin kecil. Semakin banyak warga negara
yang tercakup dalam skema jaminan sosial akan memperkecil
kemungkinan warga negara tersebut dalam kategori yang
memperoleh bantuan sosial. Selain itu, sistem juga dibangun untuk
mempertajam berbagai bantuan sosial yang dilakukan oleh berbagai
sektor agar bantuan sosial yang diberikan dapat lebih tepat sasaran,
terkoordinasi, efisien dan efektif.
80
Idealnya setiap warga negara terlindungi oleh skema
perlindungan sosial sebagaimana disebutkan di atas. Setiap warga
negara yang berpenghasilan diharapkan menjadi peserta jaminan
sosial (apakah dalam bentuk asuransi sosial ataupun tabungan hari
tua atau kedua-duanya). Penduduk yang memiliki berpenghasilan
tinggi di samping menjadi peserta jaminan sosial dapat pula menjadi
peserta dalam asuransi komersial yang memberikan benefit sesuai
yang diinginkannya. Sementara penduduk yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup minimumnya setelah memenuhi
persyaratan tertentu (antara lain melalui mean test) dapat
memperoleh bantuan sosial yang bersifat subsidi dari pemerintah.
Dengan kerangka seperti itu diharapkan setiap warga negara dapat
memperoleh kehidupan yang layak sesuai harkat dan martabatnya
sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi negara. Tantangan
yang utama berkaitan dengan hal tersebut adalah memperluas
kepesertaan di semua sektor. Selama ini pelaksanaan jaminan sosial
lebih fokus pada tenaga kerja di sektor formal baik pekerja
pemerintah maupun pekerja swasta. Sementara itu, tenaga kerja di
sektor informal cenderung tidak memiliki jenis kepesertaan apapun.
Langkah pertama yang perlu diambil untuk mengembangkan
kebijakan dan strategi sistem perlindungan sosial ini adalah
mereview kondisi dan permasalahan yang dihadapi berkaitan
dengan pelaksanaan perlindungan sosial selama ini. Hal-hal yang
sudah dilaksanakan dengan baik terus dikembangkan, dan yang
kurang perlu diperbaiki di masa mendatang. Perumusan strategi dan
kebijakan yang didasarkan pada kondisi dan permasalahan
sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya ini penting
dilakukan agar kebijakan dan strategi yang akan dikembangkan
kedepan sama sekali tidak terputus dari apa yang telah dilakukan
dan karenanya merupakan upaya perbaikan yang berkesinambungan
dan terus menerus (continues improvement). Hal itu dilakukan karena
81
pada dasarnya selama ini pemerintah telah melakukan berbagai
kegiatan yang terkait dengan perlindungan sosial hanya saja berbagai
kegiatan tersebut dilakukan secara terpisah untuk masing-masing
sektor, sehingga yang perlu dilakukan adalah memetakan seluruh
kegiatan yang selama ini telah dilakukan dan mengembangkannya
secara lebih baik, efektif dan terkoordinasi di masa depan.
Kementerian Sosial, TN2PK, BKKBN, Bappenas, Kementerian
Tenaga Kerja, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan,
Kementerian Keuangan, dan pemerintah daerah harus memulai
dan/atau merencanakan sejumlah intervensi untuk mencari cara-cara
baru untuk mengintegrasikan dan meningkatkan perlindungan
sosial. Tujuannya adalah untuk mengurangi fragmentasi ekstrem
program sosial, mengintegrasikan bantuan tunai dan layanan sosial
dan menguji tempat rujukan satu pintu (one-stop referral) dan
menyelaraskan model-model layanan. Perlu ada seruan yang
meminta agar seluruh aktivitas bantuan sosial dipusatkan di dalam
program bantuan yang harmonis.
Dalam pada itu, negara harus berfungsi sebagai “great
family/society” bagaikan satu organisme tunggal, dimana tiap
warganya harus hidup saling tolong-menolong, melaksanakan
kewajiban, serta menerima hak yang ditetapkan negara secara adil.
Konsep ini harus diimplementasikan dalam rancang bangun sistem
hukum dan kebijakan negara agar supaya termanifestasikan secara
riil dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Yang harus
diingat, pelaksanaan kewajiban harus selalu beriringan dengan
pemberian hak agar supaya warga negara tidak merasa sekedar
dieksploitir oleh pemerintah. Undang-undang dan kebijakan negara
harus mengatur bahwa setiap warga negara harus melaksanakan
kewajiban asasi dan, atas atas pelaksanaan kewajiban itu, negara
memberikan hak yang bersifat timbal-balik (reciprocal) kepada
warganya.
82
Kewajiban warga negara minimal terdiri dari tiga komponen,
yakni: Pertama, membayar pajak. Prinsip ini pada intinya mengatur
agar setiap warga negara yang telah berumur dewasa, tidak peduli
apakah mereka itu kaya atau miskin, harus membayar pajak
penghasilan dan jenis pajak lainnya yang ditetapkan undang-undang.
Kedua, taat hukum. Setiap warga negara harus secara sukarela
mentaati segala macam peraturan hukum. Ketiga, melakukan bela
negara. Negara dapat mengatur apa saja bentuk-bentuk bela negara
yang wajib dilakukan oleh rakyat.
Sebagai imbal balik dari pelaksanaan kewajiban tersebut
diatas, maka negara wajib memberikan hak-hak tertentu secara
eksplisit kepada warga negara. Diantara hak dasar yang wajib
diberikan itu adalah mendapat perlindungan sosial (social security).
Sebagai wujud gotong-royong, maka negara harus memfasilitasi
terselenggaranya sistem “tolong-menolong” antar warga masyarakat
yang sedang mengalami keadaan sulit, seperti sakit, terkena bencana,
kehilangan pekerjaan, ataupun meninggal dunia. Pemerintah bahkan
sudah saatnya mengadopsi sistem Comprehensive Social Security
Assistance (CSSA) yang dipraktekkan di beberapa negara seperti
Hong Kong (lihat Maidment et all, 1998: 203; Scott, 2010). Program
tersebut memberikan tambahan penghasilan (supplementary payments)
kepada penduduk yang penghasilannya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan demikian ada
jaminan pemerintah bahwa setiap warga negara dapat hidup diatas
standar minimal yang layak.
83
Gambar 6. Skema perwujudan welfare system
Sumber: diolah oleh penulis
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Indonesia telah memiliki
suatu sistem jaminan sosial yang lebih komprehensif. Sistem jaminan
sosial ini bertujuan untuk memberikan jaminan keterpenuhan
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap penduduk peserta
program jaminan sosial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjelaskan secara
lebih lanjut sistem jaminan sosial yang terdiri dari program jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun, dan jaminan kematian, yang dilaksanakan melalui BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua Undang-Undang
tersebut mendasari pembentukan sistem jaminan sosial baru untuk
mewujudkan cita-cita jaminan sosial yang diamanatkan oleh
konstitusi, yakni terjaminnya hak segenap bangsa Indonesia atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Walaupun demikian, skema jaminan dan perlindungan sosial
yang telah ada masih perlu disempurnakan lagi. Sehingga sistem
84
tersebut dapat berlaku secara otomatis dan universal bagi seluruh
penduduk. Perbaikan tersebut setidaknya mencakup dua hal:
Pertama, jaminan sosial sebaiknya menjadi bagian (sudah
terangkum) dalam skema pajak penghasilan, dan bukan didasarkan
pada iuran yang terpisah dari pajak penghasilan. Dengan demikian
terdapat prinsip universalitas, dimana siapapun warga negara yang
telah membayar pajak akan mendapatkan perlindungan sosial dari
negara. Kedua, perlu adanya kejelasan mekanisme dan standar
perlindungan tersebut, khususnya dalam hal pelayanan kebutuhan
dasar, yakni: sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan
pendidikan.
Rangkuman
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 telah membuat Indonesia memiliki sistem jaminan
sosial yang cukup komprehensif. Sistem ini bertujuan untuk
memberikan jaminan keterpenuhan kebutuhan dasar hidup yang
layak bagi setiap penduduk. Akan tetapi, bentuk perlindungan harus
dikembangkan lebih lanjut, sehingga cita-cita jaminan sosial yang
diamanatkan oleh konstitusi, yakni terjaminnya hak segenap warga
negara Indonesia atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat dapat segera diwujudkan.
85
Daftar Pustaka
Bo Rothstein (2001) The Universal Welfare States as A Social Dilemma,
Rationality and Society May Vol. 13 (2), h. 213-233.
BPS (Badan Pusat Statistik) (2006-11) Statistic Indonesia, Jakarta: BPS [online,
diakses 3 November 2016, alamat: http://www.bps.go.id/].
Bradley, D., Huber, E., Moller, S., Nielson, F. & Stephens, J. D. (2003)
“Determinants of relative poverty in advanced capitalist
democracies”.American Sociological Review, Vol. 68 (3), h. 22-51.
Drum, Kevin (2013) “We Can Reduce Poverty If We Want To. We Just Have
To Want To”. Mother Jones.Retrieved 28 September 2013.
Engelhardt, Gary V. & Jonathan Gruber (2004) Social Security and the
Evolution of Elderly Poverty, NBER Working Paper No. 10466 May 2004
[online, diakses 12 Oktober 2016, alamat
http://www.nber.org/papers/w10466.pdf]
Esping-Andersen (1990) The Three Worlds of Welfare Capitalism NY: Princeton
University Press
Esping-Andersen, Gøsta (1999) Social Foundations of Postindustrial Economies.
Oxford: Oxford University Press.
Ferragina, Emanuele and Martin Seeleib-Kaiser (2011). “Welfare regime
debate: past, present, futures”. Policy & Politics: Vol. 39 (4). h. 582-21.
Gauthier, D. (1990) Moral Dealing: Contract, Ethics, and Reason. Cornell:
Cornell University Press.
Kemenkes (2015) Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementrian Kesehatan Tahun
2015, Jakarta: Kemenkes
Kenworthy, Lane (1999). "Do Social-Welfare Policies Reduce Poverty? A
Cross-National Assessment", Social Forces Vol 77 (3), h. 1119–1139.
Kenworthy, Lane (2011) Progress for the Poor, Oxford: Oxford University
Press, USA.
Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 Tentang Standar Minimum Jaminan
Sosial.
86
Lindbeck, A. (2006) “The Welfare State – Background, Achievements,
Problems”, FN Working Paper No. 662, Research Institute of Industrial
Economics [online diakses 20 Nopember 2013, alamat:
http://www.ifn.se/Wfiles/wp/wp662.pdf].
Mares, I. (2003), The Politics of Social Risks, Cambridge: Cambridge
University Press.
Marwati Dj. P., dan Notosusanto, N. (1984), Bangsa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka.
Mashall, TH (1961) “The Welfare State: A Sociological Interpretation”,
European Journal of Sociology, Vol. 2 (2/Dec), h. 284-300.
Nozick, R. (1974) Anarchy, State and Utopia. New York: Basic Books.
OECD (2014): PISA 2012 results: Creative problem solving: Students’ skills in
tackling real-life problems (Volume V)
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia.
Pierson, C. (1998) Beyond the Welfare State: The New Political Economy of
Welfare, Cambridge: Polity Press.
Rawls, J. (1971) A Theory of Justice. Harvard: Harvard University Press.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025
Setiyono, B. (2017) Merancang Desain Negara Kesejahteraan, Laporan
Penelitian: Tidak Dipublikasikan.
TI—Transparency International (2013), Corruption Perception Index,
[online, diakses 10 Oktober 2014, alamat
http://cpi.transparency.org/cpi2013/]
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia.
87
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman.
World Bank (2015), GDP per capita [Online, accessed 10 October 2016, at
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD]
World Bank, (2014), World Development Indicators, [online accessed 20 April
2015, alamat:
http://databank.worldbank.org/data/views/reports/tableview.aspx?isshared
=true]
88
INDEX
APBD ................................ 30, 33, 35
APBN .................... 30, 33, 35, 55, 72
ASEAN ........................................... 7
bantuan langsung tunai (BLT) .. 51
Bantuan Operasional Sekolah
(BOS). ........................................ 43
BKKBN ............................. 29, 59, 81
BPJS ........ 5, 10, 12, 29, 31, 52, 53, 83
BPS Badan Pusat Statistik . 7, 10, 11, 12,
27, 30, 32, 33, 63, 73
Dana Sehat ............................. 39, 40
Dana Upaya Kesehatan
Masyarakat (DUKM) .............. 39
Esping-Andersen . 13, 18, 23, 24, 26
Global Competitiveness Index ... 9, 10
great family ........................ 14, 15, 81
Gross Domestic Product (GDP) .. 7
Gross National Product (GNP) ... 7
Human Development Index
(HDI) ........................................... 9
income insurance ........................... 20
Jaminan Hari Tua (JHT) ............. 52
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) ................................................... 52
Jaminan Kematian (JKM) ........... 52
Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) ......................................... 52
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
(JPK) .......................................... 52
Jamsostek .......................... 38, 52, 55
Jaring Pengaman Sosial (JPS)..... 41
Jerman ............................... 20, 21, 24
Kemenkes ............................... 62, 63
kontrak sosial ............................... 13
Korupsi ........................................... 5
OECD (Organisation for Economic
Co-operation and Development) 24
Otto Von Bismarck ...................... 21
paham integralistik ... 13, 14, 16, 26
pedagang kaki lima (PKL) ......... 11
Program Indonesia Pintar (PIP). 74
Program Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA) ...................... 64, 67
RASKIN ........................................ 42
Sistem Jaminan Sosial Nasional 40, 45, 52, 83
social assistance .............................. 20
social insurance .............................. 20
Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) .................................... 45
Universal Declaration of Human
Rights ........................................ 14
UUD 1945 ....................................... 6
Wajib Belajar .......................... 73, 75
welfare state15, 16, 18, 19, 21, 22, 23, 26
World Bank ........ 7, 8, 33, 35, 45, 89
89
BIOGRAFI PENULIS
Budi Setiyono adalah seorang dosen di Departemen Ilmu
Pemerintahan dan Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Selama beberapa tahun,
dia bekerja menjadi tenaga ahli untuk sejumlah lembaga
internasional, seperti World Bank, UNDP, UNFPA, dan UNODC,
terutama mengenai reformasi tata pemerintahan dan proyek-proyek
demokratisasi. Dia membantu National League for Democracy (NLD)
Myanmar pada tahun 2013 untuk melakukan pengembangan
kapasitas bagi partai dan anggota parlemen. Budi memperoleh gelar
Master di bidang Policy and Administration (M.Pol.Admin) dari
Flinders University of South Australia pada tahun 2003, dan
menyelesaikan Ph.D dalam Social Science and International Relations
di Curtin University Perth, Australia Barat pada tahun 2011.
Muhammad Adnan adalah seorang dosen di Departemen Ilmu
Pemerintahan dan Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Pernah menjabat
sebagai Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa
Tengah, dan saat ini menjadi Wakil Rais Syuriah PWNU Jateng. Dia
juga aktif dalam kegiatan International Conference of Islamic Scholars
(ICIS). Adnan mendapat gelar Master of Arts (M.A) di bidang Politik
dari Hiroshima University Jepang tahun 1998. Saat ini sedang
menyelesaikan program Doktor Ilmu Sosial di Universitas
Diponegoro.