10
NERACA PENATAGUNAAN TANAH DALAM PERSPEKTIF PENATAAN RUANG Oleh: Harris Simanjuntak Pemanfaatan ruang tanah, mengacu pada fungsi ruang tanah yang ditetapkan dalam rencana tata ruang tanah, dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah. Dalam rangka pengembangan penatagunaan tanah, diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah. (UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang) Kasubdit Pemeliharaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah pada Direktorat Penatagunaan Tanah BPN R.I. Pembangunan berkelanjutan, pada hakekatnya, adalah upaya mencari keseimbangan antara faktor daya dukung tanah dan faktor sosio-ekonomi masyarakat yang menggunakan tanah. Dengan demikian, dalam konteks pengelolaan tanah, pembangunan berkelanjutan merupakan upaya penyeimbangan faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, sehingga penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, namun tetap mencerminkan prinsip rasa keadilan secara sosial, dan berkelanjutan secara lingkungan hidup. Pemaduserasian faktor-faktor tersebut akan selalu menjadi tantangan dalam pengambil keputusan-keputusan terkait dengan tanah. Tanah adalah sumber utama kesejahteraan dan kehidupan masyarakat dan karenanya tanah haruslah digunakan dan dimanfaatkan dengan optimal. Perwujudan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal tersebut dilakukan melalui penyusunan rencana tata ruang yang semestinya mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rencana tata ruang merupakan rencana letak dari berbagai macam penggunaan dan pemanfaatan tanah yang direncanakan dalam rangka memenuhi berbagai ragam keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) masyarakat. Dalam kenyataannya, untuk memenuhi keinginan

NERACA PENATAGUNAAN TANAH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

materi planologi

Citation preview

NERACA PENATAGUNAAN TANAH

NERACA PENATAGUNAAN TANAHDALAM PERSPEKTIF PENATAAN RUANGOleh: Harris SimanjuntakPemanfaatan ruang tanah, mengacu pada fungsi ruang tanah yang ditetapkan dalam rencana tata ruang tanah, dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah.Dalam rangka pengembangan penatagunaan tanah, diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah.(UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)Kasubdit Pemeliharaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah pada Direktorat Penatagunaan Tanah BPN R.I.

Pembangunan berkelanjutan, pada hakekatnya, adalah upaya mencari keseimbangan antara faktor daya dukung tanah dan faktor sosio-ekonomi masyarakat yang menggunakan tanah. Dengan demikian, dalam konteks pengelolaan tanah, pembangunan berkelanjutan merupakan upaya penyeimbangan faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, sehingga penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, namun tetap mencerminkan prinsip rasa keadilan secara sosial, dan berkelanjutan secara lingkungan hidup. Pemaduserasian faktor-faktor tersebut akan selalu menjadi tantangan dalam pengambil keputusan-keputusan terkait dengan tanah. Tanah adalah sumber utama kesejahteraan dan kehidupan masyarakat dan karenanya tanah haruslah digunakan dan dimanfaatkan dengan optimal. Perwujudan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal tersebut dilakukan melalui penyusunan rencana tata ruang yang semestinya mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Rencana tata ruang merupakan rencana letak dari berbagai macam penggunaan dan pemanfaatan tanah yang direncanakan dalam rangka memenuhi berbagai ragam keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) masyarakat. Dalam kenyataannya, untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat, banyak sekali jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah yang harus diakomodir di atas tanah. Tidaklah mungkin semua jenis itu bisa diakomodir dalam rencana tata ruang. Karena itu, rencana penggunaan dan pemanfaatan tanah yang diletakkan dalam rencana tata ruang hanya mencerminkan rencana penggunaan dan pemanfaatan yang benar-benar menjadi prioritas. Karena tanah bersifat terbatas (finite), penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut haruslah efisien, tertib dan teratur. Untuk itu, para pengguna tanah, dalam menggunakan dan memanfaatkan tanahnya, harus mengacu pada persyaratan (land use codes) yang disyaratkan dalam rencana tata ruang, untuk memastikan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya Lestari, Optimal, Serasi, dan Seimbang (LOSS) di kawasan pedesaan; dan, Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat (ATLAS) di kawasan perkotaan. Dalam tataran operasional, tanah digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia yang menguasai tanah untuk mensejahterakan hidupnya. Penggunaan oleh manusia tersebut sifatnya mendasar dan berlangsung terus menerus hingga memunculkan suatu hubungan hukum antara manusia pengguna dengan tanah yang digunakan. Terganggunya hubungan manusia pengguna dengan tanahnya akan berimplikasi pada kesejahteraan pengguna tanah, karena itu perlu ada jaminan kepastian hukum. Gangguan hubungan ini dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, gangguan hubungan dapat berupa sulitnya akses masyarakat kepada sumber daya tanah; kedua, besarnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk menggunakan sumber daya tanah dimaksud. Kesulitan ini diakibatkan oleh persediaan tanah yang memang terbatas dan adanya berbagai macam hambatan institusional (kelembagaan) yang terkait dengan tanah, sehingga kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut bisa saja didominasi oleh sekelompok masyarakat dengan kepentingan tertentu, yang bermuara pada ketidakseimbangan/ketimpangan penguasaan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah. Agar masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah dengan optimal, tertib dan teratur, harus ada keserasian diantara kelembagaan yang terkait dengan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sehingga memungkinkan digunakan dan dimanfaatkan secara efisien, tanpa mengabaikan keadilan sosial, dan tidak merusak fungsinya. Keserasian inilah yang melandasi perlunya penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah merupakan pola pengelolaan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Pelaksanaan konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan di atas harus mengacu kepada kebijakan penatagunaan tanah yang telah digariskan dalam PP No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Secara ringkas, kebijakan ini meliputi: penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;

penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai rencana tata ruang wilayah tidak dapat diperluas, dikembangkan, atau ditingkatkan;

pelayanan administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak memenuhi syarat-syarat menggunakan tanah sesuai rencana tata ruang, tidak saling mengganggu, tidak saling bertentangan, memelihara tanah, tidak merobah bentang alam, memberikan nilai tambah penggunaan tanah dan lingkungan;

pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya dengan memperhatikan hak atas tanah serta kepentingan masyarakat sekitar;

terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan;

tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara;

penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap pulau-pulau kecil harus memperhatikan kepentingan umum, tidak menutup akses umum ke pantai/laut;

apabila pemilik tanah tidak mentaati syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah, dikenakan sanksi;

penetapan rencana tata ruang wilayah tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas tanah.

Kebijakan di atas, selanjutnya, harus menjadi koridor dalam penyelenggaraan kegiatan penatagunaan tanah. Penyelenggaraan penatagunaan tanah, sesuai PP No.16 Tahun 2004, terdiri atas tiga jenis kegiatan pokok, yaitu: pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan; penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang wilayah.Output penyelenggaraan kegiatan di atas adalah data dan informasi yang disajikan dalam bentuk peta (spasial) dengan skala lebih besar dari pada skala peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan, sedangkan outcome-nya adalah kesesuaian dan keserasian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang yang disepakati.Lebih jauh, substansi kegiatan pokok kedua, yaitu: penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan di atas, pada dasarnya, adalah data dan informasi yang dikemas dalam bentuk neraca perimbangan (Balance).Neraca perimbangan ini berisi data dan informasi, baik tekstual maupun spasial, dari perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang wilayah. Dengan demikian, pengelolaan data dan informasi penatagunaan tanah merupakan bagian dari perencanaan dan pemodelan suatu rencana tata ruang. Karena itu, infrastruktur data spasial dan teknologi informasi penatagunaan tanah memegang peranan penting dan strategis dalam penataan ruang.Pembuatan keputusan dalam penataan ruang memerlukan akses kepada data dan informasi yang akurat dan relevan, yang dikemas dalam suatu bentuk yang interaktif dan tersedia pada saat diperlukan. Dalam menyusun rencana tata ruang, keputusan yang baik tentunya harus didasarkan pada informasi penatagunaan tanah yang baik. Selanjutnya, informasi penatagunaan tanah yang baik harus pula didasarkan pada data yang baik.Kebutuhan (demand) atas informasi tekstual dan spasial penatagunaan tanah untuk pengambilan keputusan dalam penataan ruang mencakup dua hal. Pertama, informasi penatagunaan tanah merupakan input dalam proses pembuatan keputusan (informed decisions). Kedua, informasi tekstual dan spasial juga diperlukan dalam rangka analisis dampak keputusan. Karena setiap keputusan mempunyai dampak, baik jangka pendek maupun jangka panjang, maka konsekuensi dari keputusan tersebut harus bisa diprediksi dan dikendalikan. Prediksi dan pengendalian ini dapat dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi hasil dari keputusan yang dibuat tersebut (decisions outcome). Dengan demikian, akuntabilitas keterpaduan antara komunitas, dampak, dan efek dari keputusan dapat dipertanggungjawabkan.Dalam rangka mendukung pengambilan dan analisis dampak keputusan dalam perencanaan dan penyelenggaraan penataan ruang, Direktorat Penatagunaan Tanah pada Tahun Anggaran 2007 telah melakukan pengumpulan dan analisa data penatagunaan tanah yang dikemas dalam bentuk Atlas Neraca Penatagunaan Tanah Nasional.Atlas ini berisi data dan informasi tekstual dan spasial tentang perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang. Sebagai contoh, berikut ini disajikan tabel dan gambar yang berisi informasi tekstual tentang perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang dalam sekala nasional.Informasi trends perubahan penggunaan tanah nasional

Pola perubahan penggunaan tanah di Indonesia dapat dibagi dalam dua kelompok utama sebagai berikut: Penyusutan hutan menjadi perkebunan, tanah pertanian dan penggunaan tanah lainnya, terutama terjadi di luar Pulau Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). Berdasarkan data tahun 2002 - 2006, perubahan penggunaan tanah, luas hutan menyusut 16,28 juta ha atau rata-rata 4,07 juta hektar/tahun, sementara luas perkebunan menyusut 3,45 juta ha atau rata-rata 863 ribu hektar/tahun. Penyusutan tanah pertanian khususnya sawah menjadi budidaya non-pertanian seluas 3,81 juta hektar atau 954 ribu hektar/tahun, terutama pada wilayah padat penduduk di sekitar perkotaan di Pulau Jawa. Walaupun total luas sawah meningkat, pertambahan luas sawah terjadi di luar Pulau Jawa yang produktivitasnya tidak sebaik tanah sawah di Pulau Jawa.

Gambar 1. Trend Perubahan Penggunaan Tanah

Informasi kesesuaian penggunaan tanah terhadap rencana tata ruang wilayah

Kesesuaian kondisi penggunaan tanah saat ini terhadap arahan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu Sesuai dan Tidak Sesuai.

Hasil analisa menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW Provinsi didominasi oleh kategori Sesuai seluas 130,66 juta hektar atau 68,31% dari luas wilayah Indonesia, terluas di Pulau Kalimantan (36,64 juta hektar). Sementara itu kategori Tidak Sesuai seluas 59,03 juta hektar (31,30%), terluas di pulau Sumatera (17,87 juta hektar). Ditinjau dari proporsi terhadap luas wilayah, persentase kategori Sesuai yang tertinggi adalah di Pulau Papua (mencapai 86,77%) dan untuk yang Tidak Sesuai berada di Pulau Jawa yakni 48,35%. Tingkat kesesuaian selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

TINGKAT KESESUAIAN (HEKTAR) *

SESUAI %TIDAK SESUAI %

Sumatera29.201.031 61,81 17.876.270 38,19

Jawa dan Bali 6.837.426 51,65 6.400.871 48,35

Kalimantan36.644.902 68,68 16.710.461 31,32

Sulawesi13.566.957 70,07 5.793.818 29,93

Nusa Tenggara & Maluku8.317.046 52,74 6.753.194 47,26

Papua36.093.311 86,77 5.386.689 13,23

Total130.660.673 68,31 58.921.301 30,80

Sumber: Direktorat Penatagunaan Tanah BPN-R.I. (2007)Tabel 1. Kesesuaian Penggunaan Tanah Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

Informasi ketersediaan tanah nasional Ketersediaan Tanah adalah gambaran umum mengenai tanah-tanah yang masih tersedia untuk kegiatan pembangunan dengan memperhatikan kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah serta arahan fungsi kawasan (RTRW). Berdasarkan uraian tersebut, ketersediaan tanah dapat dikelompokkan menjadi: a) dapat digunakan untuk kegiatan budidaya sesuai fungsi kawasan; b) telah ada penguasaan tanah, namun penggunaan tanahnya saat ini tidak sesuai dengan fungsi kawasan; c) telah ada penguasaan tanah dan penggunaan tanahnya telah sesuai dengan fungsi kawasan, dan d) terbatas untuk kegiatan-kegiatan yang berfungsi lindung.

Hasil analisa ketersediaan tanah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Ketersediaan Tanah Nasional

Data dan informasi ini diharapkan dapat berkontribusi nyata pada pemahaman yang lebih baik terhadap dampak sosial dan lingkungan dari setiap kebijakan dan aksi pembangunan yang memerlukan tanah.

Ke depan, dengan makin majunya teknologi survey, komunikasi, dan informasi, para pengambil keputusan terkait dengan tanah diharapkan dapat memiliki lebih banyak ragam informasi tekstual dan spasial penatagunaan tanah yang diperlukan dalam rangka mengelola tanah secara efisien, adil, dan berkelanjutan.

Jakarta, 5 Maret 2008.

RESUME :Kita tahu bahwa di Indonesia ini pertumbuhan penduduknya sangat tidak terkontrol, padahal kita tahu daya tampung tanah itu sangat terbatas jumlahnya. Penduduk Indonesia tentu membutuhkan lahan untuk tempat tinggal, akibatnya banyak sawah-sawah di ubah menjadi pembangunan, bahkan daerah-daerah kawasan lindung pun akhirnya di ubah juga menjadi pemukiman. Sekarang dampak dari tidak terkontrolnya pertumbuhan penduduk ini dapat kita lihat, di kota-kota besar banyak ditemukan areal pemukimam kumuh, banyak kerusuhan akibat perebutan tanah. Padahal kita tahu jelas ada peratutan undang-undang yang sudah di buat mengenai tanah.

Kita sebagai manusia pun tidak memikirkan dampak-dampak negatif dari perubahan penggunaan tanah dan hanya mengutamakan kepentingan pribadinya. Di artikel ini dapat kita ketahui adanya penyusutan dari hutan menjadi perkebunan, padahal kita tahu hutan penting untuk mengurangi bencana yang banyak terjadi kini.