1
STUDI AGAMA DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI (Konsep, Kritik dan Fakta) Oleh : Ah.Zakki Fuad A.Pendahuluan Studi agama oleh sebagian besar kelompok masyarakat dikritik dengan keras yang di alamatkan kepada lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam karena menjadikan agama sebagai obyek studi ilmiah (scientifc study), apalagi pendekatan yang digunakan adalah filsafat. Menurut mereka, agama yang merupakan wahyu Tuhan adalah sesuatu yang memiliki kebenaran absolut, berada di luar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya sehingga cukup dipercayai dan diamalkan saja. Bagi mereka, agama merupakan petunjuk (huda>) yang harus diikuti oleh manusia, sehingga tidak selayaknya dijadikan sasaran studi ilmiah. Menurut Amin Abdulah, kritik dan anggapan semacam ini bukanlah hal yang aneh, karena studi dalam wilayah ilmu- ilmu kealaman saja, tidak semua orang awam dapat mendalami seluk beluk permasalahannya secara akademik, apalagi studi dalam wilayah ‘ultimate concern’ yang menyangkut agama, way of life, pedoman hidup, dan Weltanschauung. [1] Pada dasarnya antara studi Islami (agama) dan filsafat memang mempunyai form of life sendiri-sendiri, tetapi menghubungkan keduanya ternyata punya kesulitan tersendiri. Kesulitan lebih terletak pada format hubungan antara “ konsepsi” yang mempresentasikan agama dan ‘konsepsi yang mrmpresentasikan filsafat. “konsepsi agama sering dirasakan lebih akurat daripada filsafat, tidak jarang konsepsi yang diajukan filsafat menyatakan lebih baik dari “konsepsi” yang diajukan agama. Bahkan ada aliran filsafat yang ada aliran filsafat tertentu yang mengeliminasi peran metafisik dan etik, di mana keduanya sangat menonjol dalam pemikiran keagamaan. [2] Di sisi lain fenomenologi yang notabene pemikiran filsafat dipakai untuk studi Islam maupun studi-studi yang lain. Aplikasi fenomenologi dalam berbagai disiplin ilmu hampir tidak mengalami banyak kesulitan, tidak demikian halnya dalam pemahaman agama. Kesulitan itu bersumber dari: pertama, kenyataan bahwa agama-agama itu berkembang, sehingga agama merupakan objek kajian yang hidup dan berkembang secara khas. Kedua, agama itu bersifat individual, subjektif, batiniah, loyalitas adalah tuntutan terpokok dalam beragama. Akibatnya, dalam studi agama orang sering membandingkan agama-agama dengan metodenya sendiri, seraya merumuskan keunggulan agamanya. Studi agama, khususnya fenomenologi agama yang menggunakan seperangkat ilmu-ilmu sosial yang bersifat interdisipliner memberi masukan yang berharga pada khazanah keilmuwan Islam. Hal ini membuktikan studi agama memang unik dan khas, mungkin juga paling sulit. Kesulitan terletak pada kenyataan pertama, bahwa jika ilmu- ilmu lain mengandaikan dapat membedakan secara tegas dan lugas antara peran “objek” dan “subjek” dalam telaah dan akademik mereka, sedangkan dalam studi agama hal demikian tidak mungkin dilakukan. Keterlibatan peran “subjek” sangat kental dalam studi agama, namun adanya fenomena ‘objek” diluar subjektivitasnya pengamat atau peneliti jelas-jelas ada. [3] Pada reduksi fenomenologis, disaring tentang realitas “objek” dan “subjek”. Objek diselidiki hanya sejauh disadari. Objek dipandang menurut relasinya dengan kesadaran. Terhadap fakta tidak diadakan refleksi maupun tidak diberi statemen. Pada reduksi eiditis, dicari hakikat dari fenomena. Yang dimaksud hakikat adalah struktur dasariah yang meliputi isi fundamental, semua sifat hakiki, semua relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek lain yang disadari. Untuk mencari hakikat, disaring dan dibersihkan semua aspek yang hanya kebetulan, tidak penting, dan hanya berhubungan dengan objek individual. Reduksi transendental-fenomenologis merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai terjadinya penampakan diri, serta mengenai akarnya dalam kesadaran. Kesadaran yang ditemukan dalam reduksi ini adalah kesadaran subjektivitas murni, atau sama dengan aku transendental. Tetapi kemudian, aku transendental kehilangan status terisolir. Dunia berada menurut adanya komunitas individu yang bersifat intersubjektif. Oleh karena itu fenomenologi sangat diperlukan dalam rangka studi agama, walaupun pada tataran aplikatif, fakta di lingkungan akademisi masih banyak pandangan yang berbeda tentang hal tersebut. B. Konsep Fenomenologi Fenomenologi merupakan sebuah metode filosofis yang dikembangkan oleh Edmund Husserl awal abad ke-20 dilingkungan Universitas Gottingen dan Munich di Jerman. Kemudian pada perkembangan selanjutnya tema

Ninian Smart

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jELAS

Citation preview

Page 1: Ninian Smart

STUDI AGAMA DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI(Konsep, Kritik dan Fakta)

Oleh : Ah.Zakki Fuad

A.PendahuluanStudi agama oleh sebagian besar kelompok masyarakat dikritik dengan keras yang di alamatkan kepada lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam karena menjadikan agama sebagai obyek studi ilmiah (scientifc study), apalagi pendekatan yang digunakan adalah filsafat. Menurut mereka, agama yang merupakan wahyu Tuhan adalah sesuatu yang memiliki kebenaran absolut, berada di luar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya sehingga cukup dipercayai dan diamalkan saja. Bagi mereka, agama merupakan petunjuk (huda>) yang harus diikuti oleh manusia, sehingga tidak selayaknya dijadikan sasaran studi ilmiah.Menurut Amin Abdulah, kritik dan anggapan semacam ini bukanlah hal yang aneh, karena studi dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman saja, tidak semua orang awam dapat mendalami seluk beluk permasalahannya secara akademik, apalagi studi dalam wilayah ‘ultimate concern’ yang menyangkut agama, way of life, pedoman hidup, dan Weltanschauung.[1]Pada dasarnya antara studi Islami (agama) dan filsafat memang mempunyai form of life sendiri-sendiri, tetapi menghubungkan keduanya ternyata punya kesulitan tersendiri. Kesulitan lebih terletak pada format hubungan antara “ konsepsi” yang mempresentasikan agama dan ‘konsepsi yang mrmpresentasikan filsafat. “konsepsi agama sering dirasakan lebih akurat daripada filsafat, tidak jarang konsepsi yang diajukan filsafat menyatakan lebih baik dari “konsepsi” yang diajukan agama. Bahkan ada aliran filsafat yang ada aliran filsafat tertentu yang mengeliminasi peran metafisik dan etik, di mana keduanya sangat menonjol dalam pemikiran keagamaan.[2]Di sisi lain fenomenologi yang notabene pemikiran filsafat dipakai untuk studi Islam maupun studi-studi yang lain. Aplikasi fenomenologi dalam berbagai disiplin ilmu hampir tidak mengalami banyak kesulitan, tidak demikian halnya dalam pemahaman agama. Kesulitan itu bersumber dari: pertama, kenyataan bahwa agama-agama itu berkembang, sehingga agama merupakan objek kajian yang hidup dan berkembang secara khas. Kedua, agama itu bersifat individual, subjektif, batiniah, loyalitas adalah tuntutan terpokok dalam beragama. Akibatnya, dalam studi agama orang sering membandingkan agama-agama dengan metodenya sendiri, seraya merumuskan keunggulan agamanya.Studi agama, khususnya fenomenologi agama yang menggunakan seperangkat ilmu-ilmu sosial yang bersifat interdisipliner memberi masukan yang berharga pada khazanah keilmuwan Islam. Hal ini membuktikan studi agama memang unik dan khas, mungkin juga paling sulit. Kesulitan terletak pada kenyataan pertama, bahwa jika ilmu-ilmu lain mengandaikan dapat membedakan secara tegas dan lugas antara peran “objek” dan “subjek” dalam telaah dan akademik mereka, sedangkan dalam studi agama hal demikian tidak mungkin dilakukan. Keterlibatan peran “subjek” sangat kental dalam studi agama, namun adanya fenomena ‘objek” diluar subjektivitasnya pengamat atau peneliti jelas-jelas ada. [3]Pada reduksi fenomenologis, disaring tentang realitas “objek” dan “subjek”. Objek diselidiki hanya sejauh disadari. Objek dipandang menurut relasinya dengan kesadaran. Terhadap fakta tidak diadakan refleksi maupun tidak diberi statemen. Pada reduksi eiditis, dicari hakikat dari fenomena. Yang dimaksud hakikat adalah struktur dasariah yang meliputi isi fundamental, semua sifat hakiki, semua relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek lain yang disadari. Untuk mencari hakikat, disaring dan dibersihkan semua aspek yang hanya kebetulan, tidak penting, dan hanya berhubungan dengan objek individual. Reduksi transendental-fenomenologis merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai terjadinya penampakan diri, serta mengenai akarnya dalam kesadaran. Kesadaran yang ditemukan dalam reduksi ini adalah kesadaran subjektivitas murni, atau sama dengan aku transendental. Tetapi kemudian, aku transendental kehilangan status terisolir. Dunia berada menurut adanya komunitas individu yang bersifat intersubjektif.Oleh karena itu fenomenologi sangat diperlukan dalam rangka studi agama, walaupun pada tataran aplikatif, fakta di lingkungan akademisi masih banyak pandangan yang berbeda tentang hal tersebut.

B. Konsep FenomenologiFenomenologi merupakan sebuah metode filosofis yang dikembangkan oleh Edmund Husserl awal abad ke-20 dilingkungan Universitas Gottingen dan Munich di Jerman. Kemudian pada perkembangan selanjutnya tema fenomenologi di kembangkan oleh para filusuf di Perancis, Amerika Serikat dan tempat-tempat lain di dunia. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, “phainein” yang berarti “memperlihatkan”, yang dari kata ini muncul kata phainemenon yang berarti “sesuatu yang muncul”. Atau sederhananya gerakan fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back to the things themselves).[4]Sedangkan konsep fenomenolgi itu sendiri juga dikembangkan oleh para Filusuf lainnya seperti Hegel dan Husserl sendiri.1. Edmund Husserl mengatakan “ phenomenology is primarily concerned with making the structures of consciousness , and thephenomena which appear in acts of consciousness, objects of systematic reflection and analysis”. Dalam konsepsi Husserl, fenomenologi terutama berkaitan dengan pembuatan strukturkesadaran, dan fenomena yang muncul dalam tindakan kesadaran, objek refleksi sistematis dan analisis. Ini dipahami bahwa fenomenologi merupakan sebuah studi tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut merujuk kepada obyek-obyek di luar dirinya.Studi ini membutuhkan refleksi tentang isi pikiran dan mengesampikan segalanya. Husserl menyebut tipe refleksi ini reduksi fenomenologis. Karena pikiran bisa diarahkan kepada obyek-obyek yang tidak eksis dan riil, Husserl mencatat bahwa refleksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan “pengurungan sebuah keberadaan,” yaitu, mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari obyek yang difikirkanHusserl mengemukakan beberapa karakteristik fenomenologi filosofis yang memiliki korelasi dengan fenomenologi agama. Diantaranya: