Novel_-_yang Kedua - Oleh Ali n

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

  • 2

    Kata Penulis

    Sebuah naskah kejar-tayang gagal yang diikutsertakan dalam

    salah satu kompetisi menulis yang diadakan penerbit ternama di tahun

    2010 silam. Ya. Begitulah saya mengistilahkannya. Naskah yang

    beruntung karena bisa lolos menjadi finalis 20 besar, namun nyatanya

    cuma mentok di sana saja (baca: gagal terbit). Lantas saya berpikir,

    daripada naskah ini membusuk tiada guna.. lebih baik saya biarkan ia

    bergerilya di antara mereka yang mungkin suka. Maka, saya putuskan

    untuk mengkonversinya ke dalam bentuk pdf dan wallaaaa~~ jadilah ia

    didandani secara pas-pasan. Maklum lah, saya memang penulis

    gadungan dan betul-betul bukan perancang tata letak buku yang baik

    dan benar :))

    Well, berhubung saya tak tahu lagi mau nulis apa di salam-

    salam pembuka ala kadarnya ini dan tidak mau sok-sok an jadi

    penulis betulan yang berbagi kisah seputar pembuatan naskah, ataupun

    ucapan terima kasih untuk sanak saudara, maka.. saya ucapkan saja:

    Selamat Membaca! ^__________^

    Kritik dan saran dan caci-maki dan apa saja yang hendak

    disampaikan pada saya secara langsung, bisa menghubungi saya

    melalui dunia maya di:

    Twitter: @mungkin_alien

    e-mail: [email protected]

    Terima kasih!! ^__________^

    Jakarta, Juni 2012

    Penulis Gadungan,

    Ali N.

  • 3

    PROLOG

    SATU cerita dituliskan untuk kita.

    Dengan pena merah muda.

    Disemprotkan parfum aroma surga.

    Berjudul: Cinta.

    Langit Jakarta malam itu sangat cerah. Ribuan kerlip kecil menghiasi pekat

    gelapnya. Namun, hujan ringan sore tadi masih meninggalkan jejak-jejak genangan

    air di beberapa tempat. Malam seperti itu membuat suasana taman kota menjadi lebih

    sepi dari biasanya. Hanya ada beberapa remaja yang sibuk menyulut sumbu kembang

    api di tengah-tengah taman. Sementara, di dekat gerbang taman, sebuah tenda dengan

    lampu temaram menjadi satu-satunya tempat yang lebih terang dibanding sisi-sisi lain

    taman tersebut. Suara jangkrik, tawa para remaja, serta gesekan wajan dan spatula,

    menjadi semacam paduan suara yang syahdu di taman itu.

    Dari dua arah yang berlawanan, tampak sosok-sosok yang berlari kecil saling

    mendekat. Memakai jaket yang cukup tebal. Sesekali kedua sosok itu melompati

    genangan air yang warnanya kecokelatan. Tak peduli pada cipratan air di ujung-ujung

    celana jeans keduanya. Mereka terus berlari kecil dan terhenti di depan tenda temaram

    beraroma nasi goreng yang begitu sedap. Membangkitkan rasa-rasa yang nyaris

    dihapus mereka berdua. Keduanya bergeming tanpa suara. Tidak saling menyapa.

    Kedua sosok itu hanya saling tatap dengan sejuta makna. Semua rasa tercampur dalam

    dada keduanya. Ada rindu, ada sendu, dan mereka tak tahu mana rasa yang lebih

    dominan. Entah apa nama rasa-rasa itu jika semuanya menjadi satu. Suara jangkrik,

    tawa para remaja, serta gesekan wajan dan spatula mendadak tak terdengar di telinga

    keduanya. Detik terbentang lebar. Membuka kenangan-kenangan yang telah nyaris

    usang. Kedua sosok itu larut dalam memori masa silam.

  • 4

  • 5

    BENIH ITU DITANAM

    IRIS duduk di dekat jendela ruang kelasnya yang ada di lantai tiga. Senyum-

    senyum sendiri. Entah kenapa, warna biru langit dan kumpulan gas putih yang

    menghiasinya selalu tampak menarik bagi gadis sembilan belas itu. Sudah tiga puluh

    menit ia duduk di sana dan belum merasa bosan sedikitpun. Iris melihat banyak

    bentuk-bentuk awan yang menyerupai sesuatu. Mobil, beruang, kelinci. Bahkan, Iris

    kadang melihat awan yang menyerupai mendiang ayahnya. Ayah Iris tewas dalam

    sebuah kecelakaan lalu lintas. Motornya disambar truk yang oleng karena supirnya

    mengantuk. Iris tak pernah punya ayah lagi sejak itu. Usianya baru tujuh tahun. Sejak

    saat itu, Iris sangat merindukan figur seorang ayah.

    Ris, udahan kek bengongnya.. Eta menyikut bahunya pelan, Gue laper tau..

    nyari makan kek..

    Iris ngikik melihat wajah Eta yang manyun gara-gara kelaparan. Persis warga

    Ethiopia yang busung lapar itu. Ia akhirnya mengangguk dan meninggalkan spot

    favoritnya.

    Eta adalah sahabat Iris sejak mereka pertama kali berkenalan tepat di hari

    ujian masuk kampus. Kala itu, Iris lupa membawa alat tulis. Eta yang duduk di

    sebelahnya dengan baik hati menawarkan alat tulis cadangan miliknya untuk Iris

    pakai. Setelah mengobrol lama, rupanya Iris dan Eta berdomisili di daerah yang sama.

    Hanya beda wilayah kompleks saja. Ketika mereka sama-sama lulus ujian masuk,

    keduanya pun memutuskan untuk mencari kamar kos berbarengan. Akhirnya, kedua

    gadis itu malah menyewa satu kamar kos untuk berdua agar lebih murah.

    Makan apa kita? sebelum Eta menjawab, Iris buru-buru menambahkan,

    Gue nggak mau makan soto depan kampus lagi ah.. bosen gue, ta..

    Airis, sebenernya gue juga bosen, tapi, satu-satunya tempat makan yang

    pemandangannya bagus cuma di situ doang! Serasa ada di taman bunga gitu kan.

    Warna-warninya bikin seger mata... hahahaha!

    Iris paham betul arti pemandangan bagus bagi sahabatnya bukan bunga

    warna-warni yang kebetulan ada di toko bunga di seberang tukang soto itu, tapi

    pegawainya!

    Pegawai toko bunga itu bernama Egi, lelaki berusia akhir dua puluhan,

    berkacamata, agak gemuk, dan sedikit berwajah oriental. Eta memang selalu suka

  • 6

    cowok-cowok yang agak berdaging. Bikin gemas, katanya. Kalau menurut Iris, Eta

    suka cowok berdaging hanya untuk memperbaiki keturunan. Ya, tentu saja karena Eta

    berbadan kecil dan tinggi. Mengingat Egi, membuat Iris ingin tertawa. Cara Eta

    mengajaknya berkenalan benar-benar konyol sekali. Kala itu, kebetulan Egi sedang

    membeli soto. Eta pura-pura menanyakan soal bunga-bunga padanya, seolah ingin

    memesan karangan bunga. Di akhir obrolan, Eta akhirnya menanyakan namanya dan

    berkenalan. Konyolnya, Eta juga mengatakan: saya mesen karangan bunganya kapan-

    kapan ya, Koh. Kalau temen saya ini udah dapet jodoh.

    Soto dua ya, pak! Pake nasi! Suara Eta mengembalikan Iris dari

    lamunannya.

    Tukang soto manggut-manggut dan langsung meracik dua porsi untuk Eta dan

    Iris. Iris menyenggol kaki Eta pelan, Kalo nasi nya aja bisa nggak, ta? Enggak usah

    pake soto... bisiknya.

    Bisa, kalo lu yang dagang sotonya!

    Lima belas menit kemudian, dua piring nasi sudah tak bersisa, soto pun sudah

    tinggal kuahnya saja. Eta melirik Iris yang masih sibuk mengais sisa-sisa daging di

    mangkuk sotonya.

    Bosen-bosen abis juga!! katanya meledek. Iris cuma nyengir.

    Balik yuk, Ta. Sebelum gue berubah pikiran dan mesen satu porsi lagi...

    Bentar dulu, gue kok belum liat si ndut yaa.. Eta menjulur-julurkan

    lehernya, berusaha melihat penampakan Egi di seberang sana. Tapi, yang dicari tak

    kunjung terlihat.

    Iris ikut menjulur-julurkan lehernya, memicingkan mata. Ia lalu geleng-geleng

    kepala, Lagi cuti kali, ta..

    Tunggu-tunggu.. itu siapa tuh??

    Seorang pria keluar dari dalam toko bunga itu, membawa ember yang penuh

    bunga berwarna kuning. Pria itu bukan si ndut yang ditaksir Eta. Dia lebih tua. Iris

    merasa belum pernah melihatnya.

    Ndut lu kurusan kali, ta.. kata Iris asal saja. Eta menghadiahkan pukulan di

    paha Iris atas kata-kata asalnya barusan.

    Beda, odong! Itu mah bapak-bapak!

    Nyari si ngkoh ya, neng? Asisten tukang soto yang sedari tadi

    memperhatikan mereka sibuk menjulurkan leher, akhirnya bersuara. Eta dan Iris

    menoleh dengan muka merah. Saling injak kaki. Mereka cuma terkekeh saja, tidak

  • 7

    menyahut. Dia lagi pulang kampung, neng. Bapaknya sakit. Nggak tau baliknya

    kapan. Sekarang yang punya jadi ngurus tokonya sendiri dah tuh.

    Iris dan Eta melirik lagi toko bunga itu. Si Pria sedang melihat ke arah mereka.

    Panik, Iris dan Eta buru-buru beralih lagi ke asisten tukang soto.

    Ini jadi berapa, bang? Eta cepat-cepat mengeluarkan dompet.

    Delapan belas ribu, neng.

    Nih, makasih ya, bang!

    Setelah menyerahkan uangnya, Eta langsung menarik Iris meninggalkan

    tempat itu. Kalo tuh bapak-bapak tau kita nyariin si Egi, trus bilang ke si Egi nya,

    tengsin gue!! katanya.

    Iris cuma mengangguk-angguk. Sebelum pergi, Iris melirik toko bunga itu

    sekali lagi. Pria tadi sudah berbalik masuk ke tokonya. Pemilik toko bunga?

    Detik itu, tersimpan dalam benakku secara tak sengaja.

    Sekelebat bayangmu, kekal dalam memori di kepala.

    Aku terpesona

    Pulpen dalam genggaman Iris belum juga berkurang tintanya. Kertas di

    hadapannya pun masih kosong meski jam kuliah sebentar lagi berakhir. Tak

    sedikitpun ceramah dosen masuk dalam kepalanya. Ia melanglang buana di dunianya

    sendiri. Wajah pria yang dua jam lalu ia lihat di toko bunga masih terbayang dalam

    ingatannya. Ada perasaan aneh dalam hati Iris. Dia tak tahu apa nama rasa itu.

    ... yaaa, jadi saya minta makalahnya dikumpulkan minggu depan ya!! Kuliah

    hari ini cukup sampai di sini, sampai ketemu minggu depan.

    Suara ribut kursi yang bergeser mengembalikan Iris ke kelasnya. Dia melirik

    Eta, Makalah apaan, ta??

    Eta geleng-geleng kepala, Bengong aja sih lu dari tadi! sahutnya, Makalah

    Patofisiologi1!

    Oohh.. Iris mengangguk-anggukkan kepalanya. Sendiri-sendiri ta?

    Eta melotot kesal, Berdua, Ris!! Elu sama gue!! Isshhhh...

    1 Ilmu yang mempelajari tentang penyakit.

  • 8

    Sip sipp.. jangan melotot gitu lah, ta.. mata lu mau loncat keluar tuh! Iris

    cekikikan. Abis ini lu langsung balik, kan? Hari ini jatah lu beresin kosan!

    Oh iya! Soriiiii banget, Ris.. Eta yang sedari tadi sibuk merapikan buku-

    bukunya menoleh dengan wajah penuh penyesalan, Gue ada praktek susulan di lab,

    gantiin dulu ya, nanti jatah lu gue yang ngerjain deh.. bawa motor gue sana nggak pa-

    pa..soriii banget ya ngerepotin.. Eta menyerahkan kunci motor matic nya pada Iris.

    Iris bengong. Gue kan nggak gitu lancar bawa matic, ta..

    Bisa dehh, gampang kok.. gas-rem-gas-rem doangan.. okee?? okeee?? Gue ke

    lab dulu yaaaa!!!

    Eta meninggalkan Iris yang masih memandangi kunci motor dalam

    genggamannya dengan tampang cemas. Teringat saat terakhir ia mengendarai motor

    matic, kandang ayam dekat kosannya menjadi korban.

    Iris menarik napas perlahan. Berusaha untuk tenang. Sudah lima menit ia

    berdiri di parkiran kampus sambil memandangi motor matic Eta. Gampang, Ris.. gas-

    rem-gas-rem doang..

    Iris menyalakan motor, sukses. Sekarang, diarahkannya motor itu keluar dari

    area parkir, sukses. Sedikit menyenggol kaca spion motor orang, tapi tak masalah.

    Kini ia berhenti di depan gerbang kampus. Ia harus melawan arus sebentar untuk

    pindah jalur ke seberang kampusnya. Segumpal ludah tertelan sudah. Gas-rem-gas-

    rem.. gumamnya dalam hati.

    Gas diputar dan wuuuuuuuuusssssssssshh, saking gugupnya Iris lupa menekan

    rem. Motor melaju cepat menyeberang jalur. Tidak berhenti, terus bergerak maju

    dengan sangat cepat!

    MINGGIIIIIIIIIIIIRRRRR!!! AWAAAAASSS AWAAAAAAASSSS!!!

    Bunyi roda-roda kendaraan berdecit di jalanan. Semua dihentikan paksa oleh

    pengendaranya untuk menghindari motor matic yang melaju dengan gila-gilaan.

    AWAAAAAAAAAAAAAAAASSSSSSS!!!!!!!! MINGGIR WOIIIIIIII!!!

    Dan..

    BRUAKKKKKK!!!!

    Ember-ember bunga terguling di sana-sini. Bunga-bunga yang berwarna-warni

    itu pun berserakan ke mana-mana. Iris mengelus-elus lutut dan sikunya yang lecet-

    lecet. Ia meringis kesakitan. Orang-orang mengerubunginya. Tiba-tiba seseorang

    menyeruak kerumunan itu,

  • 9

    IRISSSSS!!! ASTAGA IRISSSS!!! Eta memegangi pipinya sendiri dengan

    panik. LU NGGAK PA-PA KAN???? ASTAGAAA!!!

    Kan gue udah bilang taaa, gue nggak lancar bawa matic.. sahut Iris masih

    sambil mengelus-elus lutut dan sikunya yang kini terasa sangat perih. Iris bersyukur ia

    tak lupa memakai helm tadi.

    Seorang petugas polisi datang dan membubarkan kerumunan orang yang

    menontoni kekacauan akibat kecerobohan Iris itu. Pria pemilik toko bunga tampak

    syok melihat bunga yang akan ia jual sudah menjadi sampah jalanan.

    Anda butuh ke rumah sakit, mbak? si petugas polisi berjongkok di samping

    Iris. Eta menyingkirkan motor matic nya ke trotoar.

    Iris menggeleng, Enggak usah, pak.. nanti diobatin teman saya aja.. katanya.

    Pak, bunga-bunga saya nasibnya gimana ini? pria pemilik toko bunga tiba-

    tiba bersuara. Petugas polisi yang berjongkok di samping Iris menoleh ke arahnya.

    Diselesaikan secara kekeluargaan saja, pak.. kata petugas polisi itu, ia

    melirik Iris, gimana, mbak?

    Iris bengong. Eta menoleh ke arahnya. Mulutnya komat-kamit tanpa suara, gue

    enggak ada duit..

    Iris merasakan bulir keringat mengalir dari dahi ke dagunya.

    Duh, maaf Pak..untuk sekarang saya lagi enggak ada uang.. saya anak kosan,

    Pak.. Iris meratap, melirik ke arah si pemilik toko bunga, seorang pria berambut

    pendek dengan kumis dan janggut tipis seperti habis dicukur kasar. Cukup tampan

    jika dilihat dari jarak sedekat ini. Cu-kup.

    Pria itu menggeleng, Terus nasib bunga saya gimana, Mbak? Saya pasti rugi

    kalau enggak diganti..

    Iris menggigit bibir bawahnya sedikit. Bingung. Dia tak mungkin

    menghubungi orang tuanya di rumah dan minta uang untuk ganti rugi. Ibunya pasti

    akan sangat marah sekali. Tapi, dia sendiri juga tak ada uang lebih untuk mengganti

    bunga-bunga yang ia lindas barusan.

    Begini saja Pak, Mbak, si petugas polisi tampaknya memahami posisi Iris

    yang seorang anak mahasiswi kosan berkantong pas-pasan, Mbak bisa meninggalkan

    identitas Mbak ke Bapak ini biar gampang dihubungi, selebihnya mau bagaimana,

    bisa mbak dan bapak bicarakan lagi baik-baik nanti.. kondisi mbak juga kan sedang

    kurang baik seperti ini ya.. ini sih sekadar saran saja dari saya, bagaimana, Mbak?

    Pak?

  • 10

    Iris melirik Eta yang langsung angguk-angguk kepala tanda setuju. Ia beralih

    ke si pemilik toko bunga yang tampak berpikir. Lantas pria itu mengangkat bahunya,

    Ya sudah, mau bagaimana lagi.. saya rasa cuma itu satu-satunya jalan keluar

    untuk saat ini..

    Iris lalu mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya,

    menuliskan nama dan nomor ponselnya di sana. Ia menyerahkan kertas itu pada si

    pemilik toko bunga, Maaf banget ya, Pak.. pasti saya ganti kok, Pak.. sekali lagi,

    maaf ya, Pak..

    Petugas polisi memapah Iris untuk berdiri, Lain kali hati-hati, Mbak..

    Kali ini, Eta yang mengendarai motor sementara Iris duduk di belakangnya.

    Kata maaf masih keluar dari mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak hati.

    Eta menyalami petugas polisi dan pemilik toko bunga, Maaf Pak, atas

    kecerobohan teman saya ini..mari..

    Dari kejauhan, Iris sempat melirik lagi ke arah si pemilik toko bunga itu. Pria

    itu masih memperhatikannya. Tampan..

    Malam itu kosan Iris berisik bukan main. Eta sibuk menotol-notolkan kapas

    dengan antiseptic ke luka-luka di lutut dan tangan Iris. Iris menjerit-jerit, ia merasa

    sekujur tubuhnya sakit sekali. Nyeri dan perih di sana-sini.

    Ta!! Sumpah ya Ta, pelan-pelan dikit kek!! Perih nih!!! Iris menarik paksa

    tangannya yang sedang diobati Eta. Eta melotot dan menariknya lagi.

    Biar cepet sembuh!! Lu nggak mau luka-luka ini berbekas, kan??

    Iya, tapi pake perasaan kek!! Buset.. AWWW AWWW!! Perih Ta!!

    Salah lu sih, udah gue bilang gas-rem-gas-rem, lu malah ngegas doang tapi

    lupa ngerem!! omel Eta masih sambil menotol-notolkan kapas ke luka Iris, Gimana

    juga tuh cara ganti rugi bunga-bunga yang udah lu lindes tadi?? Tabungan gue lagi

    kosong banget..

    Iris diam. Betul juga, dia nyaris saja lupa kalau ia masih berhutang pada si

    pemilik toko bunga itu. Siapa pula namanya.. bahkan dia lupa menanyakan nama dan

    nomornya tadi. Lagipula.. uang dari mana??

  • 11

    Gue nggak mungkin minta uang ke nyokap, Ta. Buat kuliah aja udah syukur

    ada...

    Iris teringat ibunya yang hanya seorang pegawai negeri sipil. Ibu tunggal

    semenjak ayah Iris meninggal ketika Iris masih berusia tujuh tahun.

    Ponsel Iris tiba-tiba berdering. Iris melirik ponsel yang tergeletak di sebelah

    kasurnya. Satu nomor yang tidak ia kenal.

    Siapa?

    Angkat dulu sono, Ris.. Penting kali itu. Eta ikut melirik layar ponsel Iris

    yang berkelap-kelip. Iris mengangkatnya,

    Halo..

    Malam, maaf, apakah saya bicara dengan saudari Iris? suara berat nan

    menyejukkan di ujung sana bertanya. Satu bulatan air liur menggelinding dalam

    tenggorokan Iris.

    Pria bunga?

    I..iya..a..ada apa?

    Saya Ranu, yang punya toko bunga..

    Jantung Iris serasa terjun bebas ke dasar perutnya. Gugup, takut, sekaligus..

    kagum. Ranu.. Ranu. .Ranu.. namanya Ranu.

    Oh, iyaa..maaf..soal bunga-bunga itu ya pak..duh gimana ya pak..saya

    betulan lagi enggak ada uang sekarang..tapi pasti saya ganti kok pak..betulan..

    Eta memandangi Iris dengan wajah panik, seakan berkata: ngaku aja kalo kita

    enggak punya uang sama sekali!!! Enggak bisa bayar!!!!

    Nah, iya.. justru itu.. suara di ujung sana berhenti sebentar, saya mau

    menawarkan penyelesaian yang terbaik buat kamu dan saya.. suara itu berhenti lagi.

    Jadi?

    Besok bisa ketemu? Nanti dibicarakan lebih lanjut kalau kita ketemu..saya

    merasa lebih leluasa kalau kita bicara langsung..

    Jantung Iris semakin menekan perutnya. Dia bingung, mengapa separuh

    hatinya begitu senang sekali diajak bertemu oleh si Pria Bunga ini, sementara separuh

    lainnya merasa.. takut.

    Bi..bisa.. Iris membaca bibir Eta yang komat-kamit tanpa suara: bisa

    ngapain?? Ia membalas dengan komat-kamit juga: minta ketemu!!

    Saya di toko sampai jam delapan malam.

  • 12

    Oh..o..oke..saya ke situ habis pulang kampus, pak..sekali lagi maaf ya pak

    atas kecerobohan saya tadi siang.. Iris benar-benar gugup dan merasa sangat berdosa

    sekarang. Bunga-bunga yang dilindasnya pasti lah tidak murah harganya. Jika dia jadi

    si pemilik toko, tentu dia juga akan melakukan segala cara agar mendapatkan ganti

    rugi.

    Maaf jika saya mengganggu karena menelepon malam-malam begini. Saya

    tunggu sampai jam delapan malam ya..terima kasih..

    Ahh..nggak pa-pa Pak, justru saya yang jadi enggak enak..untuk ke sekian

    kalinya, maaf ya Pak..

    Tak ada jawaban. Pria bunga sudah memutuskan teleponnya. Pasti lah Pria

    bunga enggan bicara berlama-lama dengan pembuat masalah seperti dirinya. Iris

    mengembuskan napasnya. Tak sadar kalau sedari tadi napasnya tertahan.

    Eta panik, kenapa? Kenapa? Dia maksa lu buat lunasin bunganya??? ia

    mengguncang-guncangkan tubuh Iris dengan mata melotot.

    Enggak secara langsung..tapi iya.. Iris mendorong wajah Eta hingga

    menjauh, dan badan gue sakit kalo lu goyang-goyang begitu!!

    Sori-sori, panik gue tau!! Eta nyengir, trus, dia bilang apa lagi? Minta

    ketemu gimana??

    Besok, gue ditunggu sampe jam delapan malem di tokonya. Nggak tau deh

    mau disuruh bayar pake cara apa.. duuhhhhhhh!!!! Iris menenggelamkan kepalanya

    ke dalam bantal. Dia tak tahu kenapa wajahnya mendadak terasa panas dan

    jantungnya berdegup di luar kecepatan normal. Bagaimana jadinya besok??

    Lu kok jadi salting gitu deh, Ris..

    Iris mengangkat wajahnya, melempar bantal dalam tangannya kepada Eta,

    Siapa yang salting??!!! Udah ah, gue ngantuk!!! Ia lekas berbalik dan mencium

    kasur.

    Eta melempar bantal itu kembali ke Iris, Yeeeeee, sewot!!!

    Entah kenapa, suaramu masih terdengar dalam kepalaku.

    Mengisi mimpiku malam itu.

    Kenapa begitu?

    Aku tak tahu..

  • 13

    Iris merangkak turun dari kasurnya. Sekujur tubuhnya makin terasa sakit

    sekarang. Rasanya seperti baru saja digilas truk molen. Andai tiap bagian tubuhnya

    bisa dilepas, Iris sungguh ingin menggantungnya di tempat jemuran, agar ia tak perlu

    merasakan nyeri itu. Ia melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.

    Pukul delapan pagi. Hari ini kuliah pukul sembilan tepat, sementara Eta pun masih

    tertelungkup di kasurnya. Iris melempar temannya itu dengan guling, yang dilempar

    mengangkat kepala dengan malas,

    Eta!! Buset lu bukannya bangunin gueeeee!!!!! Iris buru-buru mengambil

    handuk dari pintu lemarinya, berjingkat menghindari buku-buku kuliah yang tercecer

    di lantai, dan berlari keluar kamar menuju kamar mandi dengan kaki separuh diseret.

    Iris mandi secepat yang ia bisa, lebih tepatnya bukan mandi, cuma membasuh

    mukanya dengan air dan menyikat gigi secara asal saja. Di saat-saat begini, Iris

    merasa beruntung memiliki rambut pendek. Semua terasa jadi lebih praktis. Eta ikutan

    panik dan memukuli pintu kamar mandi dengan kepalan tangannya.

    Setengah jam kemudian, keduanya sudah melaju di jalanan Jakarta yang padat.

    Tentu saja Eta yang memegang kemudi motor matic pagi itu. Sementara Iris yang

    dipenuhi plester di sana-sini duduk manis dibelakangnya. Demi apapun, Iris benar-

    benar kapok untuk mengendarai motor matic lagi.

    Mereka melewati jajaran toko di depan kampusnya, termasuk toko bunga yang

    kemarin bunganya ludes dilindas Iris. Toko itu belum buka, Iris membaca papan

    namanya sekilas sebelum motor mereka menyeberang ke gedung kampus: Ranu and

    Lilacs Florist. Jantung Iris berdebar.

    Sudah beristri kah Pria Bunga itu?

    Ris, udah nyampe ini, lu mau nemplok di punggung gue sampe kapaaan??

    Eta mengejutkan Iris yang masih memandangi toko bunga di seberang kampus itu.

    Iyaaa, bawel!! Iris turun dari motor secara perlahan. Lututnya masih terasa

    ngilu. Beberapa mahasiswa yang kemarin melihat insiden ketololannya tertawa geli.

    Iris pura-pura tidak melihat dan cepat-cepat menyeret Eta meninggalkan area parkiran

    motor.

    Kedua mahasiswi kesiangan itu berlari menuju ruang kelas mereka di lantai

    tiga. Tak ada lift. Anggap saja olahraga pagi yang tidak pernah sempat mereka

  • 14

    lakukan. Bulir-bulir keringat membanjiri wajah keduanya. Iris mengelus-elus lututnya

    yang semakin terasa nyeri setelah berlari-lari di tangga tadi. Eta mengetuk pintu kelas

    yang sudah tertutup. Lama, tak ada jawaban. Eta mengetuknya sekali lagi. Lagi-lagi

    tak ada jawaban. Iris yang tak sabaran akhirnya mendorong pintu itu hingga terbuka,

    di dalamnya tak ada siapa-siapa. Iris menoleh menatap Eta dengan bingung,

    Ini hari Kamis bukan??

    Eta menggeleng, Ini hari Rabu..

    Bego nyaaaa kitaaaa, hari ini mah nggak ada jam, etaaaaaaaaaaa!!!!!

    Iris dan Eta terdampar di pos satpam dekat gerbang kampus. Akibat ketololan

    Iris yang mengira ini hari Kamis, disertai kebodohan Eta yang tak sadar bahwa ini

    bukan hari Kamis, dua sahabat itu terpaksa menanti toko Ranu and Lilacs Florist di

    seberang sana buka dengan duduk-duduk bareng satpam kampus. Hal yang rutin

    mereka lakukan kalau datang kepagian ataupun kalau diusir dosen karena kesiangan.

    Lebih hemat ketimbang nongkrong di kantin, kata Iris.

    Tiba-tiba Eta menepuk dahinya dengan panik, Ampun!! Gue lupa!!

    Ha? Lupa apaan?

    Kemaren kan gue nggak jadi praktek tuh gara-gara insiden lu nabrak toko

    bunga, jadi hari ini gue disuruh ke sana!! Duh.. Eta cepat-cepat mengemasi barang-

    barangnya, Gue cabut duluan yaa, nanti kalo lu udah ketemu si tukang bunga itu, kita

    ketemu lagi di sini..duluan yaa, buru-buru nih gue!

    Eta langsung beranjak dari pos satpam, sementara Iris ikutan panik, Lah, taa!!

    Masa gue sendirian ta??!!! Etaaaaaaaa!!! Temenin gue dong taaaaaaaaaaa!!!!!!!!

    Eta cuma melambai saja tanpa berbalik. Iris melirik toko bunga yang belum

    juga buka itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menunggu di depan toko itu saja. Ia

    menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan melangkah meninggalkan pos

    satpam nya yang nyaman. Ia menoleh kanan-kiri sebelum menyeberang jalan. Ia

    berusaha mengembalikan detak jantungnya ke kecepatan normal. Tapi, tak bisa.

    Tarik napas..buang..tarik napas..buang.. GIMANA INI???

    Iris melongo memandangi toko bunga yang kini sudah ada di hadapannya

    persis. Sekali lagi ia membaca papan namanya, Ranu and Lilacs Florist. Lilac itu

  • 15

    kemungkinan nama istrinya, bukan? Biasanya pasangan suami istri akan menamai

    toko mereka dengan nama masing-masing. Norak.., Iris membatin.

    Sudah lama di sini? Seseorang menepuk bahunya, Iris nyaris terlonjak

    saking kagetnya. Ia menoleh. Pria Bunga..

    Eh..ba..baruu, Pak.. Iris nyaris kehilangan suara saking kagetnya. Usahanya

    untuk memperlambat detak jantung kini gagal total. Pria Bunga yang hari itu memakai

    kemeja panjang kotak-kotak yang digulung sampai di lengannya bikin Iris merasa

    semakin dag-dig-dug.

    Saya yang namanya Ranu, mbak.. Pria Bunga mengulurkan tangan

    kanannya.

    Perlahan, Iris menyambutnya, tangan yang besar dan hangat. Sa..saya Iris,

    Pak. Cukup panggil Iris saja..

    Kita bicara di dalam aja ya, sebentar saya buka dulu pintunya.. Pria Bunga

    menggeser tubuh Iris sedikit ke pinggir, Iris tak sadar kalau ia menghalangi pintu

    masuknya.

    Pria Bunga sibuk mencari kunci di sakunya. Sementara Iris sibuk memandangi

    siluet pria itu dari belakang. Pria Bunga cukup tinggi, setidaknya bagi Iris yang

    bertubuh mungil, dia tinggi. Badannya tidak terlalu besar. Tapi, kelihatan sangat

    nyaman untuk dipeluk.. Iris mengerjapkan matanya, kaget dengan pikiran yang lewat

    dalam kepalanya barusan. IRIS, DIA SUAMI ORANG!!!!! SU-A-MI O-RANG!!!

    Pria Bunga menoleh ke arahnya, kelihatannya sudah selesai dengan urusan

    kunci-kunci itu, Mari masuk, maaf toko saya agak berantakan.. seingat saya, mbak

    bilangnya mau datang setelah pulang kuliah..

    Ah, i..iya, saya lupa kalau hari ini nggak ada jam, Pak.. Iris melangkah

    masuk ke toko kecil itu. Matanya menyapu ruangan, banyak.. ember-ember bunga di

    sana-sini tentunya. Ada satu meja kecil yang di atasnya berserakan sampah daun dan

    tangkai bunga di hadapan Iris. Ukuran toko itu mungkin hanya 2x3 meter saja. Kecil

    sekali.

    Pria Bunga menyodorkan kursi plastik pada Iris, Duduk, mbak..

    Iris mengangguk, Eh, iya..ma..makasih..

    Iris menarik kursi yang disodorkan Pria Bunga dan duduk di depan meja kecil

    yang sepertinya meja kerja itu. Sementara Pria Bunga duduk di seberangnya. Pria

    Bunga lalu menyapu tangannya untuk membersihkan sampah daun dan tangkai di atas

    meja kecil itu, Maaf, mejanya berantakan.. katanya. Iris mendengar nada malu

  • 16

    dalam kalimat itu. Andai saja Pria Bunga tahu kalau kosannya lebih jorok dari tempat

    itu..

    Ah, enggak pa-pa.. Iris tersenyum. Kikuk.

    Jadi, begini mbak.. Pria Bunga menatapnya lurus-lurus, Iris makin kikuk,

    Saya paham betul keadaan seorang anak kosan, saya yakin sekali mbak nggak bisa

    membayar ganti rugi atas.. Pria Bunga mengembuskan napasnya, aroma mint

    meringsek masuk ke dalam hidung Iris, ..bunga-bunga saya yang mbak lindas

    kemarin itu.. Pria Bunga berhenti sesaat. Iris sibuk berkonsentrasi mengingkari

    bahwa pria di hadapannya kini memang benar-benar tampan.

    ..saya akan menawarkan penyelesaian yang paling ringan buat mbak

    sekaligus tidak merugikan buat saya,.. Pria Bunga menarik napasnya, Kebetulan,

    pegawai saya satu-satunya sedang cuti, jadi saya agak repot ngurus toko ini sendirian.

    Sebagai ganti uang yang seharusnya mbak bayarkan pada saya, mungkin lebih baik

    mbak kerja membantu saya di sini.. tanpa digaji tentunya. Cuma sampai pegawai saya

    itu kembali. Yah, itung-itung gaji yang seharusnya mbak terima itu dipakai untuk

    bayar ganti rugi saya. Bagaimana?

    Iris masih melongo, mendadak otaknya bekerja sangat lamban. Ia kesulitan

    mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Pria Tampan..eh, Pria Bunga

    barusan, Gimana? Gimana? Saya kurang paham..

    Hmm, gini, jadi, mbak kerja di sini sampai pegawai saya kembali tapi tanpa

    digaji..gimana? Pria Bunga melambatkan bicaranya seperti sedang bicara dengan

    anak berusia lima tahun.

    Ohhh... Iris mengangguk-angguk, baru paham, Bisa aja sih, Pak.. tapi, saya

    kan kuliah, jadi mungkin waktunya nggak bisa dipastiin.. Iris mengingat jadwal

    kuliahnya di kampus. Mahasiswi keperawatan itu biasanya sibuk sekali, tapi lepas

    pukul tiga sore, sepertinya tak masalah baginya. Iris buru-buru menambahkan, ..lepas

    jam tiga, bisa kayaknya.. ng.. kalo ada jam kosong, saya juga ke sini deh, Pak. Iris

    tersenyum penuh rasa berdosa.

    Jadi? Pria Bunga menyodorkan tangan kanannya.

    Iris mengangguk. Perlahan, ia mengulurkan tangan kanannya dan menjabat

    tangan itu. Jantungnya berdebar seketika. Bi..bisa deh, Pak. katanya, Ng, makasih

    banyak, Pak.. terima kasih karena sudah memahami kondisi kantong anak kosan..satu

    hari nanti, kalo..kalo saya ada uang lebih, saya pasti kasih ganti rugi yang betulan ke

  • 17

    bapak... Iris memamerkan gigi putihnya dengan tampang kikuk. Dalam hati ia

    bersyukur bertemu orang sebaik ini di jaman seperti sekarang.

    Kamu bisa mulai kerja besok, ya.. untuk hari ini sebaiknya istirahat dulu

    deh.. Pria Bunga menarik tangannya yang barusan menjabat tangan Iris, lantas

    menunjuk plester-plester yang menempel di tubuh Iris, itu masih butuh diistirahatin

    kayaknya.. katanya dengan nada prihatin yang terdengar sangat lembut di telinga

    Iris.

    Iris mengusap-usap plester di lengannya, Ah, enggak pa-pa kok, Pak..

    katanya. Gugup, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Jam metalik peninggalan

    mendiang ayahnya, Kalo gitu, saya permisi sekarang, Pak.. ditunggu temen di

    kampus.. mari, Pak..

    Iris cepat-cepat berdiri dan berbalik, menabrak kursi plastik yang barusan ia

    duduki hingga jatuh. Lututnya berdenyut. Nyeri sisa insiden kemarin belum hilang,

    kini malah terantuk lagi. Rasanya ia ingin menangis, tapi berhasil ditahannya. Pria

    Bunga berdiri, menatap penuh kecemasan, Nggak apa-apa itu, mbak?

    Iris menoleh, berusaha tersenyum dan menggeleng, Nggak pa-pa, Pak..

    ma..mari, Pak.. katanya sambil mengembalikan kursi itu ke posisinya semula.

    Ia melangkah keluar dari toko itu secepat yang ia bisa. Atmosfer di ruangan

    tadi mulai terasa mengganggu. Entah kenapa ia merasa gugup sekali tadi. Jika tidak

    cepat-cepat pergi, mungkin ia bisa melakukan tindakan konyol karena salah tingkah.

    Iris tak sadar, perasaan aneh dalam hatinya mulai berakar

  • 18

  • 19

    BENIH ITU DITANAM

    RANU___

    pria berambut pendek, dengan kumis dan janggut yang tampak

    seperti baru dicukur secara asal___

    merapikan meja kerjanya yang bertaburkan daun-

    daun dan tangkai bunga. Biasanya ada pegawai yang membantunya, dia hanya perlu

    duduk tenang mengerjakan penataan bunga di dalam toko, dan membeli stok bunga di

    pasar grosir. Sementara pegawainya lah yang bolak-balik merapikan dan mengangkut

    bunga-bunga keluar untuk dipajang, serta mengantarkan pesanan ke tempat tujuannya.

    Sesekali membantu membuat karangan bunga juga. Sayangnya, mulai hari ini semua

    itu harus dilakukannya seorang diri karena si pegawai sedang izin pulang kampung.

    Ayahnya sakit, begitu katanya saat minta cuti pada Ranu. Yah, tentunya mau tidak

    mau Ranu harus mengizinkannya. Dia juga punya anak. Dia tentunya berharap

    anaknya juga akan menjenguknya jika suatu hari di masa tuanya nanti ia jatuh sakit.

    Ranu mengangkut seember mawar putih keluar toko, meletakkannya di sana.

    Ia mendongak sebentar menatap langit yang cukup cerah. Baguslah, kalau hujan, ia

    pasti akan repot sekali mengangkut ember-ember bunga itu ke dalam toko seorang

    diri. Ia melirik sebentar ke gedung kampus di seberang toko bunga kecil miliknya itu.

    Pada jam-jam seperti ini, biasanya ada seorang mahasiswa yang bengong

    memandangi langit di pinggir jendela. Ranu sudah hapal betul, karena dari meja

    kerjanya di dalam toko, ia bisa melihat si mahasiswa itu.

    Benar saja, saat Ranu melirik ke gedung kampus itu, si mahasiswa sudah

    bertopang dagu di jendela. Ranu geleng-geleng kepala. Apakah ada siluet awan

    berwujud gadis cantik di sana? Aneh betul, batinnya. Ia lalu masuk kembali ke dalam

    toko untuk membereskan pekerjaannya yang masih menumpuk. Ia sibuk merapikan

    bunga mawar kuning untuk diletakkan di luar toko. Dimasukkannya satu-satu ke

    dalam ember. Setengah jam kemudian, ia mengangkut ember itu keluar, diletakkan

    tepat di samping mawar putih yang tadi ia bawa.

    Ia memukul-mukul pinggangnya pelan. Pegal juga ternyata. Saat itulah ia

    sadar ada dua orang gadis yang sibuk memaksa leher mereka bertambah panjang

    beberapa inchi sedang memperhatikannya dari warung soto di seberang toko

    bunganya. Dua orang gadis itu buru-buru sembunyi setelah bertemu mata dengan

    dirinya. Pria tiga puluh empat tahun itu tersenyum geli. Mungkin itu adalah para

    mahasiswi yang sering diceritakan oleh Egi, karyawan tokonya yang sedang cuti.

  • 20

    Menurut cerita Egi, salah satu gadis itu pernah mengajaknya berkenalan. Dua

    mahasiswi yang lucu sekali. Tapi, Ranu sedikit heran, ia merasa pernah melihat salah

    satu di antara mahasiswi itu sebelumnya. Entah kapan dan di mana, ia lupa.

    Sambil berjalan masuk ke tokonya lagi, ia masih mengingat-ingat wajah

    mahasiswi yang barusan melongoknya dari warung soto. Siapa kamu?

    Siapa kamu?

    Wajahmu terus mengganggu pikiranku.

    Melekat dalam ingatanku.

    Siapa kamu?

    Ranu tengah sibuk merangkai bunga untuk pesanan perayaan pernikahan

    seorang klien besok ketika ia mendengar suara ribut dari arah jalan raya. Ia yang

    sedari tadi duduk di belakang meja kerjanya langsung berdiri dan melongok ke arah

    jalanan. Sebuah motor matic melaju tak terkendali dengan kecepatan tinggi. Bunyi

    ban-ban kendaraan yang dipaksa berhenti oleh pengendara lainnya berdecit tak

    karuan. Motor matic itu melaju tepat ke arah toko bunganya. Ia panik. Dan..

    BRUAAAAAAAKK!!!

    Ranu cepat-cepat keluar dari dalam tokonya. Ember-ember bunga terguling di

    sana-sini. Bunga-bunga yang tadi ia susun sudah berantakan, berubah menjadi sampah

    jalanan. Rugi. Sudah pasti ia akan rugi kalau begini.

    Siapa sih pengendara gila ini???!!!

    Ranu melongok dari kerumunan orang-orang yang ingin menontoni kekacauan

    itu. Helm si pengendara dilepas. Pengendara itu mengelus-elus lutut dan sikunya yang

    tampak lecet-lecet. Ah! Rupanya mahasiswi yang tadi siang ia lihat di warung soto!!

    Seorang gadis tiba-tiba menyeruak kerumunan orang-orang itu. Gadis itu berteriak-

    teriak dengan histeris. Gadis itu juga mahasiswi yang ia lihat tadi siang.

    IRISSSSS!!! ASTAGA IRISSSS!!! si gadis memegangi pipinya sendiri

    dengan panik. LU NGGAK PA-PA KAN???? ASTAGAAA!!!

    Oh..rupanya si biang onar ini bernama Iris..

  • 21

    Kan gue udah bilang taaa, gue nggak lancar bawa matic.. sahut si biang

    onar, Iris, sambil mengelus-elus lutut dan sikunya yang diyakini Ranu pasti terasa

    sangat perih.

    Tak lama muncul petugas polisi yang membubarkan kerumunan orang-orang

    yang asik menontoni kecelakaan lalu lintas itu. Ranu melirik ke arah bunga-bunganya

    yang tampak sangat mengenaskan. Rugi. Pasti rugi. Pasti.

    Si gadis kecil tinggi dengan rambut sebahu yang barusan menyeruak

    kerumunan, menyingkirkan motor matic Iris ke trotoar. Ranu mendengus kesal.

    Sabar, Nu..sabar..

    Pak, bunga-bunga saya nasibnya gimana ini? Ranu melirik si petugas polisi.

    Petugas polisi yang berjongkok di samping Iris menoleh ke arahnya.

    Diselesaikan secara kekeluargaan saja, pak.. kata petugas polisi itu, ia

    melirik Iris, gimana, mbak?

    Si biang onar itu bengong sesaat, menatap kawannya yang berdiri di dekat

    motor matic. Sepertinya memohon bantuan. Ranu tak peduli. Kalau tak diganti, ia

    akan sangat merugi. Bunga-bunga itu tidak murah harganya.

    Duh, maaf pak..untuk sekarang saya lagi enggak ada uang.. saya anak kosan,

    pak.. Iris meratap, melirik ke arahnya. Gadis itu..cantik. Ah!! Tidak-tidak! Ia harus

    tetap minta ganti rugi! Ranu menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan

    pikiran tololnya barusan. Dia terlalu muda, Nuu.. TERLALU MUDA!!!

    Terus nasib bunga saya gimana, mbak? Saya pasti rugi kalau enggak

    diganti.. katanya sedikit memohon. Berapa ember yang dilindas barusan? Banyak!!

    Ia harus dapat ganti rugi. Harus!!

    Iris tampak menggigit bibir bawahnya sedikit. Sepertinya biang onar itu

    sedang berpikir bagaimana cara mengganti bunga-bunga yang dilindasnya barusan.

    Gadis muda memang selalu menyusahkan. Selalu seenaknya dan senang mengacau.

    Ranu berharap kelak anaknya tidak akan menyusahkan seperti si biang onar itu.

    Begini saja pak, mbak, si petugas polisi tampaknya memahami posisi Ranu

    yang sangat membutuhkan uang ganti agar ia tak merugi. Bagaimanapun caranya,

    biang onar itu harus membayar uang ganti, Mbak bisa meninggalkan identitas mbak

    ke bapak ini biar gampang dihubungi, selebihnya mau bagaimana, bisa mbak dan

    bapak bicarakan lagi baik-baik nanti.. kondisi mbak juga kan sedang kurang baik

    seperti ini ya.. ini sih sekadar saran saja dari saya, bagaimana, mbak? Pak?

  • 22

    Ranu berpikir sejenak. Tak ada jalan lain. Jika si Iris ini tak punya uang,

    tentunya ia harus punya alamat atau nomor telepon yang bisa dihubungi sewaktu-

    waktu. Lagipula, ia sendiri merasa tak tega dengan ABG yang kini lecet-lecet itu.

    Bagaimana jika suatu hari anaknya juga mengalami hal yang sama?

    Ranu mengangkat bahunya, Ya sudah, mau bagaimana lagi.. saya rasa cuma

    itu satu-satunya jalan keluar untuk saat ini..

    Si biang onar lalu mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya,

    menulis sesuatu di kertas itu dan menyerahkannya pada Ranu, Maaf banget ya, pak..

    pasti saya ganti kok, pak.. sekali lagi, maaf ya, pak..

    Suaranya..

    Ranu menggenggam kertas itu, melirik sekilas tulisan tangan di atasnya:

    Iris 085693906xxx

    Secepatnya saya ganti pak, silakan hubungi nomor ini ya pak..

    Maaf atas kekacauan yang saya buat..

    Petugas polisi memapah si biang onar untuk berdiri, lain kali hati-hati,

    mbak..

    Kali ini, temannya yang mengendarai motor matic itu. Si biang onar hanya

    duduk di belakangnya. Masih meminta maaf pada Ranu. Sepertinya gadis itu sangat

    tak enak hati padanya karena sudah melindas bunga-bunga yang akan ia jual. Teman

    si biang onar lalu menyalami petugas polisi dan Ranu, Maaf pak, atas kecerobohan

    teman saya ini..mari..

    Keduanya pun meninggalkan tempat itu. Ranu masih belum melepaskan

    matanya dari si biang onar. Dari kejauhan, dilihatnya gadis itu melirik ke arahnya

    sebentar. Cantik..

    Ranu menimbang-nimbang kertas dalam genggamannya. Ia melirik jam

    dinding di atas tempat tidurnya. Pukul sepuluh malam. Sudah tidurkah gadis bernama

    Iris itu? Dirawat di rumah sakit kah? Apakah mengganggu jika ia menghubunginya

    sekarang? Ranu meletakkan lagi ponselnya di atas kasur. Ragu. Tak lama, ponsel itu

  • 23

    diambilnya lagi. Ia menekan tombol angka seperti yang tertera pada kertas dalam

    genggamannya. Terdengar nada sambung. Jantungnya berdebar. Napasnya tertahan.

    Ia tak tahu mengapa demikian.

    Halo.. terdengar suara lembut di ujung sana. Lembut tapi gugup.

    Malam, maaf, apakah saya bicara dengan saudari Iris?

    Lama.. Ranu menanti suara lembut itu terdengar lagi.

    I..iya..a..ada apa? ah..itu dia..

    Saya Ranu, yang punya toko bunga.. Ia mengenalkan dirinya. Dia tahu

    pemilik suara lembut di ujung sana tentu sibuk menduga-duga siapa yang

    meneleponnya malam-malam begini. Ia tak mau dituduh sebagai orang iseng. Om-om

    iseng lebih tepatnya..

    oh, iyaa..maaf..soal bunga-bunga itu ya pak..duh gimana ya pak..saya betulan

    lagi enggak ada uang sekarang..tapi pasti saya ganti kok pak..betulan.. suara itu

    terdengar makin gugup sekarang. Sejujurnya Ranu mulai merasa ingin tertawa. Ia

    membayangkan si biang onar itu banjir keringat karena ditagih hutang olehnya.

    nah, iya.. justru itu.. ia berhenti sebentar. Akankah ini menjadi penyelesaian

    yang tepat? Mudah-mudahan iya.. saya mau menawarkan penyelesaian yang terbaik

    buat kamu dan saya.. ia diam lagi. Tepatkah penyelesaian yang akan ditawarkannya

    pada si biang onar ini?

    jadi? suara lembut di ujung sana memotongnya. Ranu membulatkan tekad.

    Ini yang paling tepat..

    besok bisa ketemu? Nanti dibicarakan lebih lanjut kalau kita ketemu..saya

    merasa lebih leluasa kalau kita bicara langsung..

    bi..bisa..

    Jantung Ranu mendarat di dasar perutnya. Entah kenapa, ia merasa ada yang

    bersorak sorai di dalam kepalanya sekarang. Ia meneguk ludahnya sendiri,

    saya di toko sampai jam delapan malam. Yaa, dia rela menunggu sampai

    tokonya tutup agar gadis itu datang. Bukan untuk sekadar melihatnya, bukan bukan

    bukan. Ia harus menagih ganti rugi. Ganti rugi, Ranu! Ganti Rugi!!

    oh..o..oke..saya ke situ habis pulang kampus, pak..sekali lagi maaf ya pak

    atas kecerobohan saya tadi siang.. suara lembut di ujung sana terdengar makin

    gugup, bikin Ranu semakin ingin tertawa, tapi sekaligus juga berdosa. Si biang onar

    ini tentunya merasa sangat takut karena ditagih uang ganti olehnya. Ranu tertawa di

    dalam hati.

  • 24

    maaf jika saya mengganggu karena menelepon malam-malam begini. Saya

    tunggu sampai jam delapan malam ya..terima kasih.. Ia berusaha membuat suaranya

    tetap setenang yang ia bisa. Jangan tertawa, Ranu.. jangan tertawa..

    ahh..nggak pa-pa pak, justru saya yang jadi enggak enak..untuk ke sekian

    kalinya, maaf ya p....

    TUT!

    Duh! Ranu melempar ponselnya ke kasur. Ponsel Ranu kehabisan daya.

    Hubungan itu terputus begitu saja. Sekarang ia merasa tidak enak. Bahkan si biang

    onar belum menyelesaikan kalimatnya. Ia pasti dianggap sebagai orang yang tidak

    kenal kata maaf. Pria yang cuma peduli soal uang ganti saja. Ia berdiri, meninggalkan

    kasurnya dan melangkah menuju dapur. Ranu meracik secangkir kopi, meneguknya.

    Ia berharap semoga si Iris itu tidak batal datang besok karena berpikir seperti apa

    yang ia pikirkan barusan.

    Ranu terbangun setelah mendengar telepon rumahnya berdering. Ia ketiduran

    di dapur. Diliriknya jam dinding di dekat lemari es. Pukul delapan.00 pagi. Siapa yang

    menelepon pagi-pagi begini?

    Halo? Suaranya masih serak.

    Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh!!! Suara manis di

    ujung sana menjerit penuh kerinduan, Ayah, ayah, lagi apa?

    Ranu tersenyum mendengar suara gadis kecilnya itu. Lilac, nama gadis

    kecilnya itu, berumur lima tahun dan tinggal bersama neneknya di daerah Jakarta

    Barat. Kadang ia merasa kasihan pada anak satu-satunya itu, Lilac tak pernah

    merasakan kelembutan belaian seorang ibu yang dipanggil Tuhan tepat setelah

    mengantarkan gadis kecil itu dengan selamat ke dunia.

    Baru aja bangun tidur.. Lilac lagi apa, sayang?

    Lilac baru mau mandi..ayah, ayah, kapan jalan-jalan lagi?

    Ranu terkekeh pelan, Kapan ya? Ayah lagi kerja, sayang.. kalau jalan-jalan

    lagi, Lilac mau oleh-oleh apa?

    Terdengar pekik kegirangan dari ujung sana, Ranu senyum-senyum sendiri

    membayangkan gadis kecilnya tengah meloncat-loncat bahagia ketika mendengar kata

  • 25

    oleh-oleh, Lilac mau berbi! Lilac mau masak-masakan! Sama.. Lilac mau

    cokelat!!

    Ranu tertawa, gemas sekali mendengar suara gadis kecilnya di telepon,

    sejujurnya ia ingin Lilac tinggal dengannya saja, bukan dengan ibu mertuanya di

    Jakarta Barat sana. Tapi, kondisi keuangannya yang tidak stabil memaksanya untuk

    membiarkan ibu dari almarhum istrinya itu yang mengasuh Lilac. Sebagai laki-laki, ia

    punya harga diri untuk tidak menerima uang pemberian ibu mertuanya itu.

    Setidaknya, ia masih sanggup membiayai hidupnya sendiri.

    Ayah, Lilac mau mandi dulu ya..daadaaaahhh... belum sempat Ranu

    mengucapkan salam perpisahan, suara mertuanya sudah terdengar.

    Nu.. Suara perempuan baya yang lembut, Ranu menerawang akankah suara

    ibunya terdengar seperti ini? Ah, dia bahkan tak mengenal ibunya sejak kecil. Ranu

    dibesarkan oleh ayahnya seorang. Dia dan Lilac bernasib sama. Nu.. gimana di sana?

    Kamu sehat?

    Ah..iya, Bu.. saya sehat..

    Tokomu gimana? Kalau kurang lancar, pulang saja ke rumah Ibu.. kamu bisa

    bantu-bantu di toko material bapak.. Ranu teringat ayahnya, jika saja ia ikut ayahnya

    kerja di perusahaan pertambangan di Jayapura, akankah ia mampu menghidupi Lilac

    dan dirinya?

    Ranu ingat betul, ketika ia baru menikah dengan Aster__

    almarhumah

    istrinya___

    ayahnya mengajak pasangan muda itu pindah ke Jayapura. Ayah Ranu

    adalah seorang pengusaha pertambangan di sana. Namun, Ranu menolaknya. Kala itu,

    ia merasa lelaki yang sudah berkeluarga tak pantas bergantung hidup pada sang ayah.

    Lagipula, ia tak pernah tertarik bekerja di bidang pertambangan. Ia dan istrinya adalah

    pecinta bunga. Ia mengatakan, keluarga kecilnya akan tetap tinggal di Jakarta. Ia

    berjanji pada ayahnya, ia akan menjadi pemilik toko bunga yang sukses tanpa

    bergantung pada sang ayah. Tapi kini, nyatanya, untuk membiayai hidup dua manusia

    saja ia tak sanggup. Sementara, ia merasa malu untuk menyusul ayahnya ke Jayapura.

    Ah, nggak pa-pa, Bu.. toko saya lancar-lancar saja.. nanti.. Ranu menarik

    napas panjang, Kalau saya sudah ada uang, Lilac saya jemput, Bu..

    Ehh..ngomong apa sih kamu.. Ibu kan neneknya juga, nggak masalah kalau

    hanya mengurus Lilac..

    Maaf ya, bu.. saya.. ngerepotin..

  • 26

    Kamu juga kan anak Ibu, Nu, nggak usah sungkan gitu ah! Suara lembut itu

    bernada tegas, ibu mertuanya memang sangat baik terhadap Ranu. Ya sudah, ini ibu

    mau mandiin Lilac-mu dulu, kalau ada perlu apa-apa langsung telepon ke rumah ya,

    Nu! Awas kalo enggak! Ibu marah lho!

    Ranu tersenyum, Iya, bu.. terima kasih. Kalau ada waktu kapan-kapan saya

    main ke sana.. salam buat bapak..

    Ranu sedikit terlambat tiba di tokonya. Jalanan di kawasan Jakarta Selatan

    memang selalu dipadati kendaraan bermotor, baik itu pribadi maupun umum. Ranu

    berangkat dari rumahnya naik metromini. Dia punya sepeda motor, tapi hanya

    digunakan untuk membeli bunga di pusat grosir ataupun mengantar pesanan, motor

    itu ia simpan di tokonya.

    Saat Ranu tiba, si gadis mungil berambut pendek yang kemarin membuat

    kekacauan itu sudah ada di sana. Si biang onar itu berdiri terpaku memandangi papan

    nama toko bunga Ranu. Lama sekali, seperti mengeja hurufnya satu-satu. Ranu

    sendiri jadi ikut menontoni papan nama tokonya itu, khawatir barangkali ada sesuatu

    yang salah di sana. Tapi, tidak ada.

    Ranu akhirnya menepuk bahu si biang onar itu, Sudah lama di sini?

    Gadis itu terlonjak sedikit, menoleh dengan kaget. Ranu nyaris tertawa

    karenanya, tapi ia berhasil menyimpan tawa itu kembali.

    Eh..ba..baruu, Pak.. Sahut si biang onar dengan terbata-bata. Wajahnya

    sedikit pucat dengan pipi kemerahan. Ranu berharap semburat merah muda yang ia

    lihat di pipi si biang onar itu hanya perasaannya saja.

    Saya yang namanya Ranu, mbak.. Ranu mengulurkan tangan kanannya.

    Perlahan, si biang onar menyambutnya, tangan yang mungil dan lembut sekali.

    Sa..saya Iris, Pak. Cukup panggil Iris saja..

    Kita bicara di dalam aja ya, sebentar saya buka dulu pintunya.. Ranu

    menggeser tubuh si biang onar agak sedikit ke pinggir. Entah memang masih pusing

    atau apa, tapi Ranu merasa gadis itu agak sedikit linglung. Bahkan, si biang onar tak

    sadar sama sekali kalau posisi berdirinya menghalangi pintu masuk, dan malah pasrah

    saja badannya digeser oleh Ranu.

  • 27

    Ranu mengeluarkan sekumpulan kunci dari saku celana jeans nya. Sedikit

    membungkuk di depan pintu. Ini dia yang paling malas ia lakukan: mencari kunci

    masuk! Ranu tak pernah hapal mana kunci untuk tiap pintu. Bodohnya, ia selalu

    mencampur semua kunci miliknya dalam satu gantungan kunci. Lama ia berkutat

    dengan para kunci dalam genggaman tangannya itu.

    Ketemu!

    Ranu menoleh, Mari masuk, maaf toko saya agak berantakan.. seingat saya,

    mbak bilangnya mau datang setelah pulang kuliah..

    Ah, i..iya, saya lupa kalau hari ini nggak ada jam, Pak.. si biang onar

    melangkah masuk menyusul Ranu dari belakang. Matanya memandang berkeliling.

    Bagi Ranu, pandangan itu terlihat seperti tatapan prihatin karena melihat tokonya

    yang berantakan. Satu meja kerja penuh sampah, motor yang terparkir di sebelahnya,

    dan ember-ember bunga pasti terasa menyesakkan mata. Apalagi mata seorang gadis

    muda.

    Ranu mengambil satu kursi plastik yang ada di dekat meja kerjanya. Ia

    menyodorkan kursi itu pada si biang onar, Duduk, mbak..

    Si biang onar mengangguk, Eh, iya..ma..makasih..

    Mata Ranu tak lepas dari pergerakan si biang onar yang menarik kursi plastik

    pemberiannya lalu duduk di seberang meja kerjanya. Ia takut si biang onar membuat

    kekacauan di dalam tokonya yang sempit itu. Ranu menyapu tangannya ke atas meja,

    membersihkan sampah daun dan tangkai bunga dari sana. Ia menyesal sekali semalam

    lupa membersihkan toko itu, Maaf, mejanya berantakan.. katanya agak malu.

    Ah, enggak pa-pa.. Si biang onar tersenyum. Manis tapi terlihat canggung.

    Semburat merah muda di pipi gadis itu semakin jelas terlihat, membuatnya terlihat

    sangat manis. Ranu memutuskan mempercepat urusannya itu.

    Jadi, begini mbak.. Ranu menatap si biang onar lurus-lurus, mendadak ia

    merasa kesulitan menyusun kata-kata. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa

    si biang onar tidak manis sama sekali. Sekali lagi, TIDAK MANIS!!

    Saya paham betul keadaan seorang anak kosan, saya yakin sekali mbak

    nggak bisa membayar ganti rugi atas.. Ranu mengembuskan napasnya yang sedari

    tadi tertahan tanpa sadar, ..bunga-bunga saya yang mbak lindas kemarin itu.. Ranu

    berhenti sebentar. Kata-kata yang sudah ia susun dalam kepalanya sejak tadi malam

    mendadak hilang tak bersisa. Seakan dicuri oleh wajah manis yang duduk di

  • 28

    hadapannya sekarang. Ranuuu, lebih cepat lebih baik!!! BERPIKIR RANU!!

    BERPIKIR!!!

    Ranu menemukan kembali kata-katanya, ..saya akan menawarkan

    penyelesaian yang paling ringan buat mbak sekaligus tidak merugikan buat saya,.. Ia

    menarik napasnya yang terasa sesak. Sepertinya atmosfer ruangan itu berubah

    seketika, Kebetulan, pegawai saya satu-satunya sedang cuti, jadi saya agak repot

    ngurus toko ini sendirian. Sebagai ganti uang yang seharusnya mbak bayarkan pada

    saya, mungkin lebih baik mbak kerja membantu saya di sini.. tanpa digaji tentunya.

    Yah, itung-itung gaji yang seharusnya mbak terima itu dipakai untuk bayar ganti rugi

    saya. Bagaimana?

    Si biang onar tampak bingung, Ranu sempat curiga padanya. Jangan-jangan si

    biang onar itu tak mengerti bahasa Indonesia..

    Gimana? Gimana? Saya kurang paham.. Nah..jangan-jangan memang

    benar..

    Hmm, gini, jadi, mbak kerja di sini sampai pegawai saya kembali tapi tanpa

    digaji..gimana? Ranu melambatkan nada bicaranya. Ia menekan tiap kata pada

    kalimatnya, berharap si biang onar cepat paham dan cepat-cepat menghilang dari

    hadapannya. Dia terlalu manis..

    Ohhh... Si biang onar mengangguk-angguk, sepertinya ia baru paham, Bisa

    aja sih, Pak.. tapi, saya kan kuliah, jadi mungkin waktunya nggak bisa dipastiin.. Si

    biang onar diam sesaat, seperti mengingat sesuatu. Lalu, cepat-cepat menambahkan,

    ..lepas jam tiga, bisa kayaknya.. ng.. kalo ada jam kosong, saya juga ke sini deh,

    Pak. Biang onar itu tersenyum lagi. Kali ini senyum penuh penyesalan.

    Ranu makin tak tega melihat biang onar itu. Bisa-bisa ia keceplosan

    mengikhlaskan semuanya kalau terlalu lama disuguhi senyum manis gadis itu.

    Jadi? Ranu menyodorkan tangan kanannya. Salaman sebentar, lalu usir dia

    pulang!

    Biang onar itu mengangguk. Perlahan, ia mengulurkan tangan kanannya dan

    menjabat tangan Ranu. Jantung Ranu berdebar seketika. Bi..bisa deh, Pak. katanya,

    Ng, makasih banyak, Pak.. terima kasih karena sudah memahami kondisi kantong

    anak kosan..satu hari nanti, kalo..kalo saya ada uang lebih, saya pasti kasih ganti rugi

    yang betulan ke bapak... Si biang onar memamerkan gigi putihnya dengan pipi yang

    semakin merah muda. Terlalu manis..terlalu manis..

  • 29

    Kamu bisa mulai kerja besok, ya.. untuk hari ini sebaiknya istirahat dulu

    deh.. Ranu merasakan tangannya berkeringat, cepat-cepat ia menarik tangannya yang

    menjabat tangan mungil si biang onar. Lantas, ia menunjuk plester-plester yang

    menempel di tubuh si biang onar sebagai pengalihan, itu masih butuh diistirahatin

    kayaknya.. Kalimat bernada prihatin itu meluncur keluar begitu saja dari mulutnya.

    Ranu sedikit kaget. Gadis ini harus cepat-cepat diusir sebelum mulutnya menyerocos

    tak terkendali.

    Si biang onar mengusap-usap plester di lengannya, Ah, enggak pa-pa kok,

    Pak.. katanya. Terburu-buru. Kalo gitu, saya permisi sekarang, Pak.. ditunggu

    temen di kampus.. mari, Pak..

    Si biang onar berdiri dan berbalik, menabrak kursi plastik yang barusan

    didudukinya hingga jatuh. Ranu refleks berdiri, khawatir. Ia sudah menduga gadis itu

    akan melakukan kekacauan di dalam tokonya yang sempit. Nggak apa-apa itu,

    mbak?

    Si biang onar menoleh, tampak seperti ingin menangis, tapi gadis itu

    tersenyum dan menggeleng, Nggak pa-pa, Pak.. ma..mari, Pak.. katanya sambil

    mengembalikan kursi itu ke posisinya semula.

    Yaa, cepat pergi sebelum aku berubah pikiran!!

    Gadis itu meninggalkan toko dengan langkah besar-besar. Ranu masih

    memperhatikannya berjalan menyeberang kembali ke gedung kampusnya. Siapa tahu

    manusia ceroboh itu akan mengacau di jalanan lagi jika tidak diawasi.

    Ranu mendadak teringat sesuatu, ia menarik laci meja kerjanya. Foto Aster

    ada di situ. Ia merasa berdosa, dalam hati Ranu berbisik,

    Sayang, kamu tetap yang termanis dalam hidupku..

  • 30

  • 31

    TUMBUH DAN BERSEMI

    DEBARAN jantungku tak terkendali.

    Bikin semburat merah muda tiba-tiba muncul di pipi.

    Ada apa ini?

    Iris bengong di depan pos satpam di kampusnya. Tangannya yang tadi berjabat

    dengan Pria Bunga kini berkeringat. Gugupnya masih belum hilang. Hampir tiga

    puluh menit ia hanya berdiri diam di sana. Pikirannya tertinggal di toko kecil yang

    tadi ia kunjungi. Bahkan, ia tak membalas lambaian tangan Eta yang sudah kembali

    dari laboratorium.

    IRIS!!! Eta meneriaki wajah Iris kuat-kuat, Iris melonjak saking kagetnya.

    Ia nyengir lebar sesudahnya. Doyan banget bengong ini anak satu! Ckckck..

    Gue lagi ngitungin motor di parkiran!

    Lu udah ketemu si tukang bunga itu?

    Iris mengangguk, dalam hati menyahut: Justru gara-gara itu, tadi gue

    bengong!!!!

    Terus gimana? Dosa-dosa lu kemaren akhirnya diampuni gitu aja?? Eta

    tampak bersemangat dengan dugaannya barusan. Iris menggeleng, wajah Eta langsung

    berubah drastis, Yaaahh, tapi bayarnya gimana? Gue betulan lagi nggak ada uang

    ini..

    Bayarnya nggak dalam bentuk uang, ta..

    Eta melotot, LU BAYAR PAKE APAAN??!! ia meremas bahu Iris, tuh

    om-om ngegodain lu tadi??? Astagaaaaaa!!!!

    Iris menempeleng kepala Eta, beberapa orang tampak mencuri dengar meski

    tanpa melirik mereka berdua, Enggak gitu juga, taa.. nuduh aje lu!!

    Enggak gitu gimana? Kalo lu digodain kita laporin polisi aja! Ini namanya

    pemerasan!!

    Ihhh, dengerin gue dulu apa, ta!! Gini.. Iris menarik napasnya sebelum

    menjelaskan pada Eta, ..si Pak Ranu itu, nyuruh gue kerja di tokonya. Si ndut lu lagi

    cuti, jadi dia nggak ada yang bantuin. Jadi lah gue disuruh kerja di sana, tanpa

    digaji..

    What?? Hell-oooo!! Lu mau aja nggak digaji gitu?? Eta sewot.

  • 32

    Lah, kan kemaren gue ngelindes bunga-bunga di tokonya ampe nggak

    berbentuk gitu, ta.. masih bagus gue nggak dipaksa bayar pake duit kan.. jadi gue sih

    oke aja..

    Eta manggut-manggut, Tapi, betulan lu nggak digodain, Ris?

    Enggaaaaaakkkk, Eta sayaaaaaangg!! Pak Ranu baik banget gitu!!

    Tapi mukanya rada kayak om-om mesum gitu, Ris! Hahaha..

    Ada juga gue yang jadi mesum gara-gara liat manusia satu itu.. Iris ngikik

    dalam hati.

    Jadi, mulai ngebabu di situ kapan? Eta menunjuk ke arah toko bunga Ranu

    dengan dagunya, Gue nggak kena jatah juga kan, gara-gara bertanggung jawab atas

    izin lu ngebawa motor matic gue kemaren? Eta terlihat enggan ikutan kerja tanpa

    digaji. Siapa pula yang mau melakukan hal seperti itu kecuali karena merasa punya

    salah?

    Iris menggeleng, tertawa, Ya enggak lah ta, itu mah gue aja sendirian..haha,

    gue mulai kerjanya besok sore.. dan gue harap lu nggak ngebocorin soal ketololan gue

    ini ke nyokap gue!

    Eta manggut-manggut lagi, Enggak bakal, Ris! Gue juga kan yang bakal kena

    nantinya!! Eta diam sebentar, kemudian memasang tampang serius, Eh, tapi, kalo

    nanti lu digodain, kita harus lapor polisi, Ris!!

    Enggak akan, Eta!!!

    Eta mengelus perutnya, melirik Iris, Ngomong-ngomong, lu nggak ngerasa

    laper, Ris? Kita kan belom sarapan tadi..

    Iris baru sadar, perutnya meronta minta diisi. Sebelum Eta mengusulkan

    tempat makan, Iris buru-buru menggeleng, Please, ta.. No soto today..

    Dua bungkus nasi uduk lenyap tanpa sisa, dua gelas es teh manis hanya tinggal

    es nya saja. Iris dan Eta telah selesai menunaikan ibadah makan mereka. Sarapan pagi

    sekaligus makan siang, nasib anak kos berkantong tipis yang kesiangan. Iris duduk di

    jendela kamar kosnya, di lantai dua sebuah rumah lumayan besar yang sebetulnya tak

    begitu jauh dari kampus. Rumah itu terletak di gang kecil yang hanya cukup untuk

    lewat satu mobil saja. Seperti biasa, Iris melakukan ritual bengong-memandangi-

  • 33

    langit-nya. Eta merapikan sisa-sisa ke-barbar-an mereka di lantai. Ia melempar

    sampah-sampah itu ke dalam keranjang plastik di belakang pintu kamar mereka

    berdua.

    Kosan Iris merupakan sebuah rumah khusus kosan bertingkat dua yang terdiri

    dari delapan kamar tidur ukuran 3x3 meter berjajar mirip kamar asrama dan dua

    kamar mandi serta satu ruang tamu, dengan empat kamar tidur dan satu kamar mandi

    di masing-masing lantainya. Tak ada dapur di sana. Kamar Iris ada di lantai dua. Dari

    kamar Iris, gedung kampusnya dapat terlihat jelas menjulang seperti tiang penyangga

    langit.

    Ris, ngomong-ngomong, tadi gimana ketemu ama si tukang bunga itu? Eta

    tiba-tiba bersuara. Ia duduk di pinggir kasurnya sendiri, tepat di seberang jendela

    tempat Iris duduk. Iris mengalihkan pandangannya dari warna biru langit yang

    membius kepada Eta,

    Eh? Kenapa?

    Ituu, tadi lu ketemu ama si tukang bunga itu gimana? Lu belum cerita ke

    gue..

    Ah! i..itu..iyaa.. namanya Ranu..ehem.. Pak Ranu.. Iris mencoba mengingat

    pembicaraannya dengan Pria Bunga tadi, meski yang menempel dalam ingatannya

    hanya manusia tampan, berkemeja kotak-kotak panjang digulung hingga ke lengan,

    bicara dalam bahasa yang asing. Yaaa..gitu dah, ta.. pokoknya gue disuruh kerja

    tanpa digaji gitu deh.. gue.. nggak begitu inget kata-kata persisnya.. Iris berdeham

    pelan kemudian.

    Lu beneran nggak digodain, kan??

    Iris merasa tenggorokannya tercekat mendadak. Buset, ta! Dari tadi lu nanya

    begituan mulu!! Ia batuk-batuk sedikit.

    Eta tertawa, Enggak gitu, Ris, soalnya gue bingung aja.. lu tuh kayak korban

    pelecehan seksual gitu dari tadi!! Hahahaha!! Bengong-bengong aneh gimanaaaaa

    gitu!!! HAHAHAHAHAHA..

    SIALAN!!! Iris melempar apa saja yang terjangkau tangannya ke arah Eta:

    kaus kaki di pinggir jendela. Eta merunduk, kaus kaki yang dilempar Iris meleset dari

    sasaran.

    Eh, tapi, lu kerja di sana sampe kapan?

    Iris mengangkat bahu, Enggak tau juga sih. Tergantung si Egi baliknya

    kapan.

  • 34

    Si Egi, si Egi, berasa akrab aja, Koko Ndut gue tuh!

    Dih! Mending si Egi daripada Koko Ndut! Ntar kalo gue akrab sama

    orangnya, gue aduin loh!! Iris menjulurkan lidahnya. Eta buru-buru melempar kaus

    kaki yang tadi tergeletak di lantai tepat ke wajah Iris.

    Awas lu yee kalo sampe ikutan naksir dia juga!!!

    Iris merunduk, Gue nggak suka yang bentuknya kayak manusia salju gitu sih!

    Weeeekkk..

    Kaus kaki yang dilempar Eta meluncur ke luar jendela. Iris tertawa jahil, Ta,

    itu kan kaos kaki lu tauuu!!! HAHAHAHHAHA!!

    Eta melotot garang, IRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIISSSSSSS!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    Plester terakhir sudah ditempel Iris di daerah lengannya. Ia memandangi

    refleksi dirinya dalam cermin di lemari baju. Rasanya ia ingin tertawa melihat plester-

    plester yang menghiasi lengan dan kakinya selama dua hari belakangan itu. Plester-

    plester itu mengingatkannya pada sekumpulan tentara yang terluka di film-film

    perang orang bule.

    Lu udah kelar belom? Eta melongokan kepalanya dari pintu, Ayo

    berangkat!

    Iyeeee bawel!! Iris cepat-cepat menyusul Eta.

    Mereka tiba di kampus tepat lima menit sebelum dosen masuk. Iris langsung

    diberondong pertanyaan-pertanyaan seputar insiden ketololannya dua hari lalu oleh

    teman-teman sekelasnya. Persis kayak wartawan infotainment yang sering ia lihat di

    televisi.

    Ris, lo kecelakaan ya??

    Gue denger rem motornya blong ya?

    Beneran nabrak toko bunga?

    Ih..parah banget, itu yang diplester luka-lukanya ya??

    Katanya ngelindes tukang bunganya juga ya??

    Iris pasang muka jutek. Heran, gosip selalu menyebar cepat kayak virus

    influenza. Iris menggeleng untuk celetukan terakhir yang ngawur,

  • 35

    Bukan tukang bunganya yang gue lindes! Tapi bunganya!! Iris beringsut ke

    kursi favoritnya, kursi di dekat jendela. Ia berharap kelas hari itu cepat selesai.

    Pukul dua belas siang adalah waktu di mana Iris akan duduk di dekat jendela

    kelasnya sambil senyum-senyum memandangi langit. Kali ini, ia menyumpal kedua

    telinganya dengan earphone. Ia enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol

    seputar insiden tololnya seperti tadi pagi. Eta barusan mengajaknya turun mencari

    makan, tapi ia tolak. Ia bosan makan soto. Heran, padahal si ndut yang menjadi

    incaran Eta sedang cuti, tapi manusia satu itu tetap saja hobi makan soto depan

    kampus. Lama-lama Iris curiga, jangan-jangan bukan si ndut yang diincar Eta, tapi

    tukang soto!

    Perlahan, mata Iris berpindah ke arah jalan raya. Jam-jam segini, kendaraan

    yang lalu lalang tak sepadat pada pagi dan sore hari. Jam-jam orang berangkat kerja

    dan pulang kerja. Mata Iris bergerak lagi, berpindah ke pertokoan di seberang

    kampusnya. Toko-toko buah, toko-toko bunga.. matanya parkir di toko bunga yang

    tak asing lagi dalam ingatannya. Toko bunga Ranu and Lilacs Florist. Seorang pria

    sedang sibuk melayani pelanggannya.

    Pria Bunga..

    Iris menikmati pemandangan Pria Bunga bolak-balik menemani pelanggannya

    memilah bunga. Pria Bunga terlihat menunjuk beberapa jenis bunga, mungkin

    memberi saran pada si pelanggan yang kini tampak mengangguk-angguk pelan. Iris

    sendiri tak pernah tahu jenis-jenis bunga. Dia cuma tahu mawar dan bunga matahari.

    Itu saja, titik. Pria Bunga bersalaman sebentar dengan pelanggannya sebelum si

    pelanggan kembali lagi ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Pria Bunga

    kemudian mengambil beberapa tangkai bunga dari ember-embernya. Semua yang tadi

    ia tunjuk. Agak lama Pria Bunga berjongkok di depan masing-masing ember sebelum

    akhirnya masuk kembali ke tokonya setelah tangannya penuh dengan bunga yang

    berwarna-warni. Iris menepuk-nepuk kedua pipinya. Sadar, Ris.. Ranu itu suaminya

    Lilac, Ris.. Suami orang..

    Iris kembali menatap langit, menikmati alunan lagu dari sebuah band ternama

    di Jepang yang terdengar di telinganya.

  • 36

    kimi he to yume wa ima me no mae de kiramei teru

    hanabira no mai furu you na yuki ga shukufuku shi ta2

    Ta, gue duluan ya! Iris menepuk bahu Eta pelan. Eta masih sibuk

    menjejalkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mendongak,

    Lu balik jam berapa?

    Iris mengangkat bahu, Tergantung, gue juga belum tau..

    Ati-ati ya, Ris.. kalo ada apa-apa telepon gue!

    Iris mengangguk. Eta buru-buru menambahkan, Kalo digodain, lapor

    polisi!!!

    Lapor Komnas HAM sekalian, Ta!!

    Iris berlari-lari kecil melewati area parkir motor, menyeberang jalan dan diam

    sebentar di depan toko Ranu and Lilacs Florist. Di dalam toko, Pria Bunga sibuk

    merangkai bunga. Iris menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah

    masuk.

    Permisi..

    Pria Bunga mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk dan kini menatap

    Iris. Dia tersenyum, senyuman yang menyihir jantung Iris untuk bermain orchestra

    perkusi seketika, Ah, sudah selesai kuliahnya?

    Iris mengangguk, berusaha memberi kekuatan pada lidahnya agar tidak kaku

    mendadak, Sudah, Pak..

    Uhm..tolong bunga-bunga yang di depan itu kamu semprotin air ya..

    Penyemprotnya ada di deket ember yang warna kuning.. Pria Bunga menunjuk ke

    arah ember kuning di sebelah kiri Iris. Iris mengangguk pelan. Ia meletakkan tasnya di

    kursi plastik dekat pintu masuk.

    Tasnya taro di sebelah sini aja, Ris.. Pria Bunga menunjuk sisi meja tempat

    ia sedang merangkai bunga. Iris terpaku di tempatnya. Baru kali itu ia mendengar Pria

    Bunga memanggil namanya, bukan mbak. Rasanya begitu..

    2 Mimpi itu kini untukmu, berkilauan di depan mata. Salju yang menari seperti daun bunga pun

    memberkatimu. (Larc en Ciel - Bless)

  • 37

    Eh, kalau.. kamu keberatan saya panggil Ris, saya bisa..

    Ah, eng..enggak, Pak.. Iris cepat-cepat menggeleng, Sa..ya... cuma kaget

    aja..soalnya biasanya kan..

    Umm, yaaa... karena... kamu resmi jadi pegawai di sini, jadi saya rasa lebih..

    nyaman.. kalau saya panggil nama kamu.. tapi kalau kamu keberatan..

    Iris menggeleng, tersenyum, Sa..saya enggak keberatan kok, Pak..

    Iris lalu meletakkan tasnya di tempat yang tadi Pria Bunga tunjukkan.

    Langkahnya kaku. Seluruh sendinya mendadak kaku.

    Bunga.. di luar.. semprot.. Iris menggerakkan tangannya yang seperti kurang

    oli, menunjuk ke arah bunga di luar. Lidahnya juga ikut-ikutan kram, dan ia merasa

    pipinya menghangat.

    Pria Bunga menatapnya dengan heran, mengangguk pelan-pelan, Iya.. tolong

    disemprot.. Katanya lambat-lambat.

    Iris memaksa otot kakinya bergerak, mengarahkannya untuk keluar toko dan

    mengikuti perintah Pria Bunga. Ia merasa orchestra perkusi dalam jantungnya makin

    kencang suaranya. Iris menyemprotkan air ke bunga-bunga yang ada di luar toko.

    Tepat seperti apa yang diperintahkan Pria Bunga. Hanya saja, ia tak bisa

    menghentikan matanya untuk mencuri pandang ke dalam toko. Ke satu titik di mana

    Pak Ranu yang selama ini ia juluki Pria Bunga sedang merangkai bunga dengan

    serius.

    Dia suami orang, Iris.. Dia suami orang..

    Iris melirik papan nama toko bunga yang kini menjadi tempatnya bekerja

    untuk mengganti rugi: Ranu and Lilacs Florist. Sudah berkali-kali ia mengeja papan

    nama itu. Sudah berkali-kali juga ia meyakini dirinya bahwa Pak Ranu adalah suami

    orang, suami si Lilac itu. Berkali-kali juga ia berusaha mengingkari perasaan aneh

    dalam hatinya tiap kali ia melihat Pak Ranu karena keyakinannya itu. Tapi, Iris

    bersumpah, ia tak tahu kenapa ia sangat menyukai cara Pak Ranu memanggil

    namanya tadi. Ris yang diucapkan Pak Ranu tadi terasa berbeda di telinganya,

    menembus hingga ke hatinya. Menggema dalam kepalanya.

    Permisi.. Seseorang menyentuh bahu Iris pelan, mengembalikannya dari

    dunia mungil dalam kepalanya. Iris menoleh, ..saya mau pesan buket bunga, mbak..

    Iris buru-buru pasang senyum ramah, silakan langsung ke dalam saja, Pak..

    Lelaki yang baru datang itu bergegas masuk ke dalam toko. Pak Ranu berdiri,

    menjabat tangan lelaki itu dan bercakap-cakap dengannya. Iris kembali sibuk dengan

  • 38

    bunga-bunganya. Sedikit berharap suara Pak Ranu yang tadi memanggil namanya

    segera menguap dari dalam kepalanya.

    Iris melirik jam metalik di pergelangan tangannya. Tepat pukul delapan

    malam. Ia memandang ruang dalam toko bunga kecil itu. Ternyata pekerjaannya tak

    semudah yang terlihat. Ia harus menyapu toko sebelum tutup agar tidak kotor besok

    pagi. Ia juga harus membuang sampah bunga-bunga yang layu, tangkai, dan daun ke

    tong sampah yang letaknya agak lumayan jauh. Belum lagi mengangkut ember-ember

    bunga yang aduhai beratnya masuk ke toko sebelum mereka tutup. Dan penyemprot

    air itu..duh! Dia heran, bisa-bisanya Egi tetap bertubuh gempal padahal mengerjakan

    tugas-tugas seberat itu. Malah Pak Ranu bilang, Egi juga mengantar bunga-bunga

    pesanan kepada para pelanggan! Iris sedikit bersyukur karena tak mahir mengendarai

    motor. Jadi ia hanya kebagian jatah jaga toko sementara Pak Ranu yang mengirimkan

    bunga-bunga karyanya sendiri ke para pelanggan.

    Iris menoleh ke belakang, Pak Ranu tengah mengunci pintu masuk tokonya.

    Lama kemudian, ia selesai. Iris tak tahu kenapa bos barunya itu selalu lama berkutat

    dalam urusan kunci mengunci pintu.

    Rumah kamu di mana, Ris? Pak Ranu berdiri di sebelah Iris. Mendadak Iris

    merasa tubuhnya menyusut beberapa senti. Pak Ranu terlalu tinggi baginya.

    Deket sini, Pak.. saya bisa naik ojek kok, Pak.. Iris nyengir. Ia menunjuk

    kumpulan ojek yang mangkal di dekat gedung kampusnya.

    Kalo gitu naik ojek yang kenalan saya aja, sudah malam begini, rawan.. Pak

    Ranu langsung melambai ke arah kumpulan ojek itu sebelum Iris sempat mengiyakan.

    Satu ojek segera menghampiri mereka.

    Ma..makasih ya, Pak.. Iris tersenyum kikuk, sebetulnya saya ada ojek

    langganan juga..

    Pak Ranu tertawa pelan, Oh gitu? Ah, ya sudah nggak pa-pa naik yang

    kenalan saya ini aja..ahaha... Pak Ranu menepuk bahu si abang ojek itu, Titip, Bang

    Jay. Ini pegawai baru saya.

    Si abang ojek yang disapa Bang Jay itu mengangguk dan terkekeh pelan, Sip,

    bos! Dijamin amaaann.. katanya.

  • 39

    Iris segera duduk di belakang Bang Jay itu. Ia menganggukkan kepalanya ke

    arah Pak Ranu, Mari, Pak..

    Pak Ranu tersenyum, balas mengangguk, Makasih ya, Ris.

    Iris tak berani mengangkat wajahnya. Ia terus tertunduk hingga kaki-kaki Pak

    Ranu yang berdiri di pinggir trotoar tak terlihat lagi.

    Neng, ini rumahnya di sebelah mana? Bang Jay tiba-tiba bersuara.

    Ah, itu di... rumah nomor 31B, Pak.

    Okee. Bang Jay diam sebentar, lalu melanjutkan, ngomong-ngomong,

    Neng pegawai baru apa cuma gantiin si Egi, Neng?

    Oh, itu.. saya yang tempo hari nabrak tokonya Pak Ranu itu loh, Bang.

    Ooh..lah kok bisa jadi kerja di situ?

    Yaah, itung-itung ganti rugi, Bang. Saya anak kosan, kalo ganti uang, saya

    nggak bisa. Iris terkekeh pelan. Bang Jay mengangguk-angguk kecil.

    Pak Ranu itu orangnya baik, Neng. Enak deh sama dia mah.

    Iris baru berniat menanyakan status Pak Ranu pada Bang Jay ketika motor

    berhenti di depan kosan Iris, betul yang ini, Neng rumahnya?

    Ah, iya iya betul. Iris buru-buru turun dari motor, menyerahkan selembar

    sepuluh ribuan kepada Bang Jay, makasih ya, Bang.

    Sama-sama, Neng. Ojek itu berputar dan menghilang di ujung jalan.

    Iris melangkah masuk, pelan-pelan ia bergerak ke lantai dua rumah kosan itu,

    lalu mengetuk pintu kamarnya.

    Taa, gue pulang, Taa.. Ia berbisik pelan.

    Terdengar gusrak pelan, suara gerendel pintu digeser, lalu muncul lah kepala

    Eta dari balik pintu. Maaf, Mbak, saya nggak pesen bunga tuh. Eta nyengir jahil.

    Sialan lu!!! Iris mencubit lengan sahabatnya itu.

    Haha, gimana Neng kerja jadi tukang bunga nya? Enak nggak? Eta buru-

    buru duduk manis di kasurnya, seakan siap mendengarkan cerita Iris.

    Iris meletakkan tasnya di meja belajar dekat jendela. Ia merebahkan diri di

    kasurnya. Enggan bercerita banyak. Terutama bagian di mana ia merasa aneh tiap kali

    melihat Pak Bosnya, Pak Ranu itu. Aneh. Iris butuh nama untuk perasaannya itu.

    Cuapeeekk, Bos! katanya.

    Enak nggak?

    Capek, Ta! Gue kayak kuli di sana!

  • 40

    Oohh, emang cocok, Ris, ama tampang lu yang kayak kuli panggul pasar

    tanah abang!! Eta ngakak. Iris bangkit dari kasur dan melempar gulingnya ke arah

    Eta.

    Dasar tukang soto! Iris meleletkan lidahnya.

    Dasar tukang bunga! Eta melempar guling Iris kembali, Omong-omong,

    ada kabar terbaru seputar Egi nggak?

    Iris menggeleng, Belum. Gue nggak tau kapan dia balik.

    Nyesel juga, harusnya waktu gue ngajak dia kenalan, minta nomernya

    sekalian ya hahahahhaa!

    Nggak bakal dikasih, Ta! Hahaha!

    Sialan! Eta terdiam sebentar, tiba-tiba dia menyeletuk, Eh, lu masih nggak

    digodain kan, Ris?

    Sumpah ya, Ta, sekali lagi lu nanya kayak gitu, langsung gue kasih payung

    cantik!!

    Begitu mata kuliah terakhir selesai, Iris cepat-cepat menjejalkan buku-buku

    kesehatannya ke dalam tas, meninggalkan kelas seperti bayangan, dan pergi ke toko

    Pak Ranu. Selalu ada rasa menggelora di dalam dadanya tiap kali dia akan kembali ke

    toko bunga itu lagi. Iris masih belum bisa menamai rasa itu.

    Ris, nasib makalah kita buat minggu depan gimana, nih? Eta menarik lengan

    Iris sebelum dia berlari keluar kelas. Tinggal dikit lagi sih...

    Iris nyengir, Lu kerjain ya, Ta, gantinya...kerjaan lu di kosan, gue kerjain

    semua deh selama satu minggu! Ya? Ya? Ya?

    Semuanya ya?

    Iyaa! Udah ya, gue buru-buru! Iris melepaskan tangan Eta dari lengannya,

    melambai dan meninggalkan Eta tanpa menoleh lagi.

    Dari kejauhan, Iris melihat Pak Ranu sedang berusaha mengikat karangan

    bunga yang cukup besar di keranjang motornya. Iris mempercepat langkahnya,

    menyeberangi jalan, dan akhirnya berdiri di samping motor Pak Ranu.

  • 41

    Iris mencondongkan tubuhnya, melongok Pak Ranu yang berjongkok di sisi

    lain motor. Wajah serius itu terlihat lucu sekali bagi Iris. Dia tersenyum, Butuh

    bantuan, Pak?

    Pak Ranu mendongak dengan kaget. Sepertinya sedari tadi Pak Ranu tidak

    sadar ada Iris berdiri di depannya. Pak Ranu tertawa.

    Ah, Iya nih, untung kamu udah dateng. Ahaha... Pak Ranu menunjukkan tali

    yang sedang berusaha ia tautkan. Tolong pegang di sini, Ris.

    Iris menekan bagian tali itu kuat-kuat. Ia dapat merasakan embusan hangat

    napas Pak Ranu di wajahnya dari jarak sedekat ini. Rasanya detik berlalu dengan

    sangat lambat saat itu. Mendadak, Iris merasa kakinya tidak lagi menjejak trotoar. Iris

    pikir itu hanya perasaannya saja sampai Pak Ranu berteriak panik.

    IRIISSS, AWAASS!!!!!

    Pak Ranu melompat mundur tepat sebelum Iris dan motor itu menimpa

    tubuhnya. Rupanya Iris tanpa sadar membebankan tubuhnya di motor tersebut. Nyaris

    saja Iris mencium trotoar kalau Pak Ranu tidak cepat-cepat menangkap tubuhnya.

    BRAK!!!!!

    Motor berisi karangan bunga itu kini tergeletak di trotoar, dengan ujung sepatu

    Iris tersangkut di joknya. Pak Ranu menarik tubuh Iris yang separuh gemetar dan

    mendudukkannya di trotoar. Beberapa orang yang lewat di sana membantu Pak Ranu

    untuk mengembalikan motor berisi karangan bunga itu ke posisi wajarnya.

    Kamu nggak pa-pa, Ris? Pak Ranu cepat-cepat menghampiri Iris setelah

    memastikan motor dan karangan bunga itu masih dalam keadaan layak. Pak Ranu

    berjongkok di hadapan Iris dengan wajah panik. Memperhatikan tangan dan lengan

    Iris dengan khawatir.

    Iris menggeleng. Tidak, dia tidak terluka. Dia syok. Eng..enggak pa-pa,

    Pak... Iris melirik motor di belakang Pak Ranu. Merasa bersalah. Itu...

    Ah, itu mah nggak pa-pa, Ris. Masih layak kok, bisa saya betulin sedikit.

    Pak Ranu tersenyum, Duduk dulu deh kamu di dalam. Biar saya cari air dulu, tangan

    kamu dingin banget. Pak Ranu menyentuh tangan Iris sedikit. Iris merasa tangan Pak

    Ranu lah yang justru terlalu hangat. Pak Ranu membantu Iris berdiri, dan

    membawanya masuk ke toko. Iris duduk di kursi plastik dekat pintu. Masih syok. Tak

    habis pikir kenapa belakangan ini selalu melakukan kecerobohan di sekitar Pak Ranu.

    Kecerobohan yang merugikan. Bunga-bunga yang ia lindas, dan kini motor berikut

    karangan bunga di atasnya tak sengaja ia gulingkan.

  • 42

    Sebentar, saya cari air dulu. Kamu duduk aja di sini, ya.

    Ng..nggak usah, Pak... Iris refleks menarik lengan Pak Ranu. Pak Ranu

    menoleh. Menatap tangan Iris yang menggenggam lengannya. Bumi seakan berhenti

    berputar sejenak. Membiarkan jemari Iris merasakan denyutan nadi di lengan Pak

    Ranu yang mendadak terpacu. Iris cepat-cepat menarik tangannya lagi. Anu.. saya..

    nggak apa-apa kok, Pak.

    Pak Ranu tampak mengerjapkan matanya, sebelum akhirnya berkata, Nggak

    nggak, kamu harus minum buat ngilangin kaget. Oke? Tunggu di sini ya.

    Iris memandangi punggung Pak Ranu yang berlalu. Tangannya yang barusan

    menggenggam lengan Pak Ranu ia remas-remas. Seakan berusaha menetralisir tangan

    itu. Ia merasa masih menggenggam lengan Pak Ranu di sana. Masih merasakan

    denyut nadi Pak Ranu yang begitu cepat. Kenapa... cepat?

    Ini airnya, Ris. Pak ranu tiba-tiba sudah muncul lagi di hadapan Iris sambil

    menyerahkan sebotol air mineral.

    Iris mengambilnya dengan hati-hati. Ma..makasih, Pak. Maaf, tadi..tadi saya

    nggak sengaja...

    Pak Ranu menggeleng, Itu kecelakaan, Iris. Nggak mungkin kan kamu

    sengaja? Udah, diminum dulu airnya.

    Iris meneguk air itu sekali. Maaf, Pak... ia benar-benar merasa bersalah.

    Akan terasa lebih baik justru kalau Pak Ranu memarahinya.

    Udah, nggak apa-apa. Pak Ranu menepuk bahu Iris pelan. Kamu duduk aja

    dulu di sini, ya. Saya urus bunganya dulu.

    Pak Ranu melangkah keluar toko. Iris memperhatikan sosok itu dengan

    seksama. Pak Ranu terlihat memperbaiki karangan bunga di atas motor yang tadi tidak

    sengaja Iris gulingkan. Kenapa Pria Bunga-nya tidak marah? Sungguh, detik itu, Iris

    merasa Pak Ranu terlalu baik untuk menjadi suami orang.

    Iris duduk di depan toko. Memperhatikan jalanan Jakarta yang lengang di

    hadapannya. Hanya pagi hari di akhir minggu seperti itu jalanan Jakarta menjadi sepi

    kendaraan. Iris datang kepagian. Pak Ranu ternyata malah belum datang. Padahal jam

    metaliknya sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Dia mengeluh

  • 43

    dalam hati, benar kata Eta tadi pagi. Seharusnya dia datang pukul sepuluh saja.

    Sebuah bajaj tiba-tiba menepi di depan Iris. Ada bunga-bunga yang menyembul

    keluar dari pintu penumpangnya. Iris berdiri ketika pintu bajaj itu terbuka. Pak Ranu

    keluar dari sana. Terkejut melihat Iris yang sudah berdiri manis di depan toko pagi-

    pagi begini.

    Loh, Ris, kamu nggak kuliah?

    Iris menggeleng, Nggak, Pak. Tersenyum, Sabtu-Minggu saya libur.

    Pak Ranu ber-oh panjang sebelum akhirnya menurunkan ember bunga dari

    bajaj ke trotoar. Iris menghampiri, berusaha ingin membantu.

    Pak Ranu menggeleng, Jangan, Ris. Berat. Ia mencari-cari sesuatu dalam

    saku celana jins nya. Menarik keluar sekumpulan kunci dan menyerahkannya pada

    Iris, Kamu bukain pintunya aja, nih.

    Kuncinya yang mana, Pak?

    Kamu cobain aja satu-satu, saya nggak pernah hapal kunci mana untuk pintu

    mana soalnya.. Pak Ranu tertawa pelan.

    Iris memandangi kunci-kunci dalam tangannya. Jelas saja Pak Ranu selalu

    lama berkutat dengan urusan kunci-mengunci pintu. Kunci yang dimilikinya ada

    beraneka jenis dan semuanya dikumpulkan dalam satu gantungan kunci!

    Bisa nggak, Ris? Pak Ranu berdiri di samping Iris yang sudah satu menit

    mencoba tapi belum berhasil juga.

    Nah! Bisa nih, Pak. Iris menjerit girang seakan baru saja menyelesaikan

    teka-teki silang. Ia mendorong pintu toko hingga terbuka. Pak, kalau belanja selalu

    naik bajaj, ya?

    Pak Ranu menggeleng. Biasanya naik motor, Ris.

    Motornya...kenapa, Pak?

    Motornya lagi di bengkel, Ris. Knalpotnya lepas.

    Iris panik, Lepas?!! Gara-gara kemarin jatuh, Pak?

    Bukan, Ris...udah lama emang agak bermasalah knalpotnya. Pak Ranu

    menepuk kepala Iris pelan, tersenyum. Senyum yang bikin Iris melupakan paniknya

    dan sibuk berkonsentrasi memberi kekuatan pada kedua kakinya yang mendadak

    lemas. Bukan gara-gara kemarin.

    Be..betulan, Pak? Iris merasa curiga. Jangan-jangan Pak Ranu mengatakan

    hal itu hanya untuk menenangkannya saja.

  • 44

    Saya serius, Iris... Pak Ranu tersenyum lagi. Curiga Iris buyar seketika. Iris

    mempertajam konsentrasinya. Daripada kamu mikirin knalpot motor, Pak Ranu

    mengambil beberapa tangkai bunga dari ember di sebelahnya. Mending kamu belajar

    bikin karangan bunga...

    Eh? Saya nggak bisa, Pak... Iris menggeleng-gelengkan kepalanya.

    Bisa..saya ajarin.

    Pak Ranu menyeret Iris ke meja kerjanya. Mengambil gunting, dan perkakas

    lainnya. Hari itu, sepanjang hari Iris belajar membuat buket bunga dan karangan

    bunga. Sepanjang hari juga ia berdoa, semoga Pak Ranu tidak mendengar debaran

    jantungnya dari jarak sedekat itu.

    Ada perasaan aneh di dalam dada.

    Perlahan mengakar.

    Tumbuh.

    Dan berbunga...

    Iris mendadak punya hobi baru. Bahkan, ia tak sadar kalau ia punya hobi baru

    selain menontoni awan berarak. Ya, mencuri pandang ke arah toko bunga tepat di

    seberang kampusnya. Sudah seminggu dia bekerja di tempat itu. Sudah seminggu juga

    hobi barunya itu ia jalani tanpa sadar. Iris selalu menikmati pemandangan Pak Ranu

    yang sedang melayani pelanggan, sibuk memilah bunga dan menyarankannya pada

    tiap pelanggan. Tak hanya itu, Iris juga mulai merasa betah kerja di toko bunga Pak

    Ranu itu. Semua lelahnya tak terasa tiap kali ia mendengar Pak Ranu memanggil

    namanya, tiap kali Pak Ranu tersenyum ramah padanya, tiap kali ia menontoni Pak

    Ranu merangkai bunga secara diam-diam, tiap kali Pak Ranu mengajarinya membuat

    karangan bunga, tiap kali Pak Ranu mengucapkan terima kasih padanya sebelum

    Bang Jay mengantarnya pulang.

    Iris tahu, Pak Ranu adalah suami orang. Suami si Lilac itu___

    setidaknya itulah

    yang ia yakini saat ini___

    yang berarti adalah Pak Ranu itu pria terlarang. Pria terlarang

    untuk dikagumi, untuk dipandangi, apalagi untuk dinikmati senyumannya. Tapi Iris

    tak bisa menipu dirinya sendiri. Semakin ia berkata tidak, semakin melekat bayang

  • 45

    Pak Ranu dalam kepalanya. Mencuri jiwanya. Membuatnya sulit tidur di malam hari.

    Membuatnya justru bermimpi di siang hari, mimpi untuk paling tidak ada di dekat

    Pria Bunga-nya itu. Iris tak tahu, apakah dia sedang jatuh cinta pada bos-nya itu?

    Dosakah jika ia jatuh cinta pada suami orang?

    Ris, langitnya pindah ke jalan raya? Eta menyenggol bahu Iris pelan. Iris

    nyaris melompat dari kursi karenanya. Eta cekikikan.

    Gue lagi ngitung metromini! Iris melengos. Menyembunyikan wajah

    paniknya. Berharap Eta tidak melihatnya.

    Yaelah, ngeles aja kayak ojek! Eta menyodorkan roti-kasur dan duduk di

    samping Iris. Hari ini kita anti-soto!

    Kok? Iris melirik Eta yang agak manyun.

    Soalnya, cacing di perut gue mulai demo minta ganti menu.

    Telat! Gue udah mau muntah sejak seminggu yang lalu!

    Eta mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya. Mengunyah roti-kasurnya.

    Matanya tertumbuk ke satu titik. Iris memperhatikan perubahan air muka sahabatnya

    itu. Dahi Eta mendadak berkerut. Iris tahu sahabatnya menangkap sesuatu di seberang

    sana. Satu titik yang sudah seminggu ini Iris hapal tiap bagiannya. Eta cepat-cepat

    menoleh ke Iris.

    Ris, kok lu nggak bilang-bilang sih?

    Bilang apa? Iris pura-pura tidak tahu.

    Toko bunganya keliatan dari sini!

    Ya, terus? Iris berdebar. Napasnya tertahan.

    Kan gue enggak perlu ke tukang soto buat memantau Koh Egi!!

    Hah?

    Iris cepat-cepat merapikan berkas bahan makalahnya yang barusan ia

    presentasikan bersama Eta. Apapun nilainya, Iris pasrah saja karena bukan dia yang

    menyusun makalah tersebut.

    Gue duluan, Ta! Iris menepuk bahu Eta pelan dan buru-buru meninggalkan

    kelas. Rutinitasnya yang biasa selama seminggu ini. Semenjak Iris punya kewajiban

    membayar hutangnya pada Pak Ranu. Kewajiban yang perlahan mulai dinikmatinya.

  • 46

    Sekumpulan stand-stand di parkiran kampus menghentikan langkah Iris. Ia

    berbelok ke sana. Baru menyadari kalau sedang ada bazar di kampusnya. Iris berhenti

    di salah satu stand, mendadak teringat gantungan kunci Pak Ranu yang cuma satu-

    satunya itu. Iris senyum-senyum sendiri. Mengambil sebuah gantungan kunci

    berbentuk bunga matahari. Membayarnya. Iris mengantongi benda itu. Cepat-cepat

    Iris meninggalkan tempat itu. Ia akan menghadiahkan benda itu pada Pria Bunga-nya.

    Iris mel