Upload
angernani-trias-wulandari
View
45
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
2
Kata Penulis
Sebuah naskah kejar-tayang gagal yang diikutsertakan dalam
salah satu kompetisi menulis yang diadakan penerbit ternama di tahun
2010 silam. Ya. Begitulah saya mengistilahkannya. Naskah yang
beruntung karena bisa lolos menjadi finalis 20 besar, namun nyatanya
cuma mentok di sana saja (baca: gagal terbit). Lantas saya berpikir,
daripada naskah ini membusuk tiada guna.. lebih baik saya biarkan ia
bergerilya di antara mereka yang mungkin suka. Maka, saya putuskan
untuk mengkonversinya ke dalam bentuk pdf dan wallaaaa~~ jadilah ia
didandani secara pas-pasan. Maklum lah, saya memang penulis
gadungan dan betul-betul bukan perancang tata letak buku yang baik
dan benar :))
Well, berhubung saya tak tahu lagi mau nulis apa di salam-
salam pembuka ala kadarnya ini dan tidak mau sok-sok an jadi
penulis betulan yang berbagi kisah seputar pembuatan naskah, ataupun
ucapan terima kasih untuk sanak saudara, maka.. saya ucapkan saja:
Selamat Membaca! ^__________^
Kritik dan saran dan caci-maki dan apa saja yang hendak
disampaikan pada saya secara langsung, bisa menghubungi saya
melalui dunia maya di:
Twitter: @mungkin_alien
e-mail: [email protected]
Terima kasih!! ^__________^
Jakarta, Juni 2012
Penulis Gadungan,
Ali N.
3
PROLOG
SATU cerita dituliskan untuk kita.
Dengan pena merah muda.
Disemprotkan parfum aroma surga.
Berjudul: Cinta.
Langit Jakarta malam itu sangat cerah. Ribuan kerlip kecil menghiasi pekat
gelapnya. Namun, hujan ringan sore tadi masih meninggalkan jejak-jejak genangan
air di beberapa tempat. Malam seperti itu membuat suasana taman kota menjadi lebih
sepi dari biasanya. Hanya ada beberapa remaja yang sibuk menyulut sumbu kembang
api di tengah-tengah taman. Sementara, di dekat gerbang taman, sebuah tenda dengan
lampu temaram menjadi satu-satunya tempat yang lebih terang dibanding sisi-sisi lain
taman tersebut. Suara jangkrik, tawa para remaja, serta gesekan wajan dan spatula,
menjadi semacam paduan suara yang syahdu di taman itu.
Dari dua arah yang berlawanan, tampak sosok-sosok yang berlari kecil saling
mendekat. Memakai jaket yang cukup tebal. Sesekali kedua sosok itu melompati
genangan air yang warnanya kecokelatan. Tak peduli pada cipratan air di ujung-ujung
celana jeans keduanya. Mereka terus berlari kecil dan terhenti di depan tenda temaram
beraroma nasi goreng yang begitu sedap. Membangkitkan rasa-rasa yang nyaris
dihapus mereka berdua. Keduanya bergeming tanpa suara. Tidak saling menyapa.
Kedua sosok itu hanya saling tatap dengan sejuta makna. Semua rasa tercampur dalam
dada keduanya. Ada rindu, ada sendu, dan mereka tak tahu mana rasa yang lebih
dominan. Entah apa nama rasa-rasa itu jika semuanya menjadi satu. Suara jangkrik,
tawa para remaja, serta gesekan wajan dan spatula mendadak tak terdengar di telinga
keduanya. Detik terbentang lebar. Membuka kenangan-kenangan yang telah nyaris
usang. Kedua sosok itu larut dalam memori masa silam.
4
5
BENIH ITU DITANAM
IRIS duduk di dekat jendela ruang kelasnya yang ada di lantai tiga. Senyum-
senyum sendiri. Entah kenapa, warna biru langit dan kumpulan gas putih yang
menghiasinya selalu tampak menarik bagi gadis sembilan belas itu. Sudah tiga puluh
menit ia duduk di sana dan belum merasa bosan sedikitpun. Iris melihat banyak
bentuk-bentuk awan yang menyerupai sesuatu. Mobil, beruang, kelinci. Bahkan, Iris
kadang melihat awan yang menyerupai mendiang ayahnya. Ayah Iris tewas dalam
sebuah kecelakaan lalu lintas. Motornya disambar truk yang oleng karena supirnya
mengantuk. Iris tak pernah punya ayah lagi sejak itu. Usianya baru tujuh tahun. Sejak
saat itu, Iris sangat merindukan figur seorang ayah.
Ris, udahan kek bengongnya.. Eta menyikut bahunya pelan, Gue laper tau..
nyari makan kek..
Iris ngikik melihat wajah Eta yang manyun gara-gara kelaparan. Persis warga
Ethiopia yang busung lapar itu. Ia akhirnya mengangguk dan meninggalkan spot
favoritnya.
Eta adalah sahabat Iris sejak mereka pertama kali berkenalan tepat di hari
ujian masuk kampus. Kala itu, Iris lupa membawa alat tulis. Eta yang duduk di
sebelahnya dengan baik hati menawarkan alat tulis cadangan miliknya untuk Iris
pakai. Setelah mengobrol lama, rupanya Iris dan Eta berdomisili di daerah yang sama.
Hanya beda wilayah kompleks saja. Ketika mereka sama-sama lulus ujian masuk,
keduanya pun memutuskan untuk mencari kamar kos berbarengan. Akhirnya, kedua
gadis itu malah menyewa satu kamar kos untuk berdua agar lebih murah.
Makan apa kita? sebelum Eta menjawab, Iris buru-buru menambahkan,
Gue nggak mau makan soto depan kampus lagi ah.. bosen gue, ta..
Airis, sebenernya gue juga bosen, tapi, satu-satunya tempat makan yang
pemandangannya bagus cuma di situ doang! Serasa ada di taman bunga gitu kan.
Warna-warninya bikin seger mata... hahahaha!
Iris paham betul arti pemandangan bagus bagi sahabatnya bukan bunga
warna-warni yang kebetulan ada di toko bunga di seberang tukang soto itu, tapi
pegawainya!
Pegawai toko bunga itu bernama Egi, lelaki berusia akhir dua puluhan,
berkacamata, agak gemuk, dan sedikit berwajah oriental. Eta memang selalu suka
6
cowok-cowok yang agak berdaging. Bikin gemas, katanya. Kalau menurut Iris, Eta
suka cowok berdaging hanya untuk memperbaiki keturunan. Ya, tentu saja karena Eta
berbadan kecil dan tinggi. Mengingat Egi, membuat Iris ingin tertawa. Cara Eta
mengajaknya berkenalan benar-benar konyol sekali. Kala itu, kebetulan Egi sedang
membeli soto. Eta pura-pura menanyakan soal bunga-bunga padanya, seolah ingin
memesan karangan bunga. Di akhir obrolan, Eta akhirnya menanyakan namanya dan
berkenalan. Konyolnya, Eta juga mengatakan: saya mesen karangan bunganya kapan-
kapan ya, Koh. Kalau temen saya ini udah dapet jodoh.
Soto dua ya, pak! Pake nasi! Suara Eta mengembalikan Iris dari
lamunannya.
Tukang soto manggut-manggut dan langsung meracik dua porsi untuk Eta dan
Iris. Iris menyenggol kaki Eta pelan, Kalo nasi nya aja bisa nggak, ta? Enggak usah
pake soto... bisiknya.
Bisa, kalo lu yang dagang sotonya!
Lima belas menit kemudian, dua piring nasi sudah tak bersisa, soto pun sudah
tinggal kuahnya saja. Eta melirik Iris yang masih sibuk mengais sisa-sisa daging di
mangkuk sotonya.
Bosen-bosen abis juga!! katanya meledek. Iris cuma nyengir.
Balik yuk, Ta. Sebelum gue berubah pikiran dan mesen satu porsi lagi...
Bentar dulu, gue kok belum liat si ndut yaa.. Eta menjulur-julurkan
lehernya, berusaha melihat penampakan Egi di seberang sana. Tapi, yang dicari tak
kunjung terlihat.
Iris ikut menjulur-julurkan lehernya, memicingkan mata. Ia lalu geleng-geleng
kepala, Lagi cuti kali, ta..
Tunggu-tunggu.. itu siapa tuh??
Seorang pria keluar dari dalam toko bunga itu, membawa ember yang penuh
bunga berwarna kuning. Pria itu bukan si ndut yang ditaksir Eta. Dia lebih tua. Iris
merasa belum pernah melihatnya.
Ndut lu kurusan kali, ta.. kata Iris asal saja. Eta menghadiahkan pukulan di
paha Iris atas kata-kata asalnya barusan.
Beda, odong! Itu mah bapak-bapak!
Nyari si ngkoh ya, neng? Asisten tukang soto yang sedari tadi
memperhatikan mereka sibuk menjulurkan leher, akhirnya bersuara. Eta dan Iris
menoleh dengan muka merah. Saling injak kaki. Mereka cuma terkekeh saja, tidak
7
menyahut. Dia lagi pulang kampung, neng. Bapaknya sakit. Nggak tau baliknya
kapan. Sekarang yang punya jadi ngurus tokonya sendiri dah tuh.
Iris dan Eta melirik lagi toko bunga itu. Si Pria sedang melihat ke arah mereka.
Panik, Iris dan Eta buru-buru beralih lagi ke asisten tukang soto.
Ini jadi berapa, bang? Eta cepat-cepat mengeluarkan dompet.
Delapan belas ribu, neng.
Nih, makasih ya, bang!
Setelah menyerahkan uangnya, Eta langsung menarik Iris meninggalkan
tempat itu. Kalo tuh bapak-bapak tau kita nyariin si Egi, trus bilang ke si Egi nya,
tengsin gue!! katanya.
Iris cuma mengangguk-angguk. Sebelum pergi, Iris melirik toko bunga itu
sekali lagi. Pria tadi sudah berbalik masuk ke tokonya. Pemilik toko bunga?
Detik itu, tersimpan dalam benakku secara tak sengaja.
Sekelebat bayangmu, kekal dalam memori di kepala.
Aku terpesona
Pulpen dalam genggaman Iris belum juga berkurang tintanya. Kertas di
hadapannya pun masih kosong meski jam kuliah sebentar lagi berakhir. Tak
sedikitpun ceramah dosen masuk dalam kepalanya. Ia melanglang buana di dunianya
sendiri. Wajah pria yang dua jam lalu ia lihat di toko bunga masih terbayang dalam
ingatannya. Ada perasaan aneh dalam hati Iris. Dia tak tahu apa nama rasa itu.
... yaaa, jadi saya minta makalahnya dikumpulkan minggu depan ya!! Kuliah
hari ini cukup sampai di sini, sampai ketemu minggu depan.
Suara ribut kursi yang bergeser mengembalikan Iris ke kelasnya. Dia melirik
Eta, Makalah apaan, ta??
Eta geleng-geleng kepala, Bengong aja sih lu dari tadi! sahutnya, Makalah
Patofisiologi1!
Oohh.. Iris mengangguk-anggukkan kepalanya. Sendiri-sendiri ta?
Eta melotot kesal, Berdua, Ris!! Elu sama gue!! Isshhhh...
1 Ilmu yang mempelajari tentang penyakit.
8
Sip sipp.. jangan melotot gitu lah, ta.. mata lu mau loncat keluar tuh! Iris
cekikikan. Abis ini lu langsung balik, kan? Hari ini jatah lu beresin kosan!
Oh iya! Soriiiii banget, Ris.. Eta yang sedari tadi sibuk merapikan buku-
bukunya menoleh dengan wajah penuh penyesalan, Gue ada praktek susulan di lab,
gantiin dulu ya, nanti jatah lu gue yang ngerjain deh.. bawa motor gue sana nggak pa-
pa..soriii banget ya ngerepotin.. Eta menyerahkan kunci motor matic nya pada Iris.
Iris bengong. Gue kan nggak gitu lancar bawa matic, ta..
Bisa dehh, gampang kok.. gas-rem-gas-rem doangan.. okee?? okeee?? Gue ke
lab dulu yaaaa!!!
Eta meninggalkan Iris yang masih memandangi kunci motor dalam
genggamannya dengan tampang cemas. Teringat saat terakhir ia mengendarai motor
matic, kandang ayam dekat kosannya menjadi korban.
Iris menarik napas perlahan. Berusaha untuk tenang. Sudah lima menit ia
berdiri di parkiran kampus sambil memandangi motor matic Eta. Gampang, Ris.. gas-
rem-gas-rem doang..
Iris menyalakan motor, sukses. Sekarang, diarahkannya motor itu keluar dari
area parkir, sukses. Sedikit menyenggol kaca spion motor orang, tapi tak masalah.
Kini ia berhenti di depan gerbang kampus. Ia harus melawan arus sebentar untuk
pindah jalur ke seberang kampusnya. Segumpal ludah tertelan sudah. Gas-rem-gas-
rem.. gumamnya dalam hati.
Gas diputar dan wuuuuuuuuusssssssssshh, saking gugupnya Iris lupa menekan
rem. Motor melaju cepat menyeberang jalur. Tidak berhenti, terus bergerak maju
dengan sangat cepat!
MINGGIIIIIIIIIIIIRRRRR!!! AWAAAAASSS AWAAAAAAASSSS!!!
Bunyi roda-roda kendaraan berdecit di jalanan. Semua dihentikan paksa oleh
pengendaranya untuk menghindari motor matic yang melaju dengan gila-gilaan.
AWAAAAAAAAAAAAAAAASSSSSSS!!!!!!!! MINGGIR WOIIIIIIII!!!
Dan..
BRUAKKKKKK!!!!
Ember-ember bunga terguling di sana-sini. Bunga-bunga yang berwarna-warni
itu pun berserakan ke mana-mana. Iris mengelus-elus lutut dan sikunya yang lecet-
lecet. Ia meringis kesakitan. Orang-orang mengerubunginya. Tiba-tiba seseorang
menyeruak kerumunan itu,
9
IRISSSSS!!! ASTAGA IRISSSS!!! Eta memegangi pipinya sendiri dengan
panik. LU NGGAK PA-PA KAN???? ASTAGAAA!!!
Kan gue udah bilang taaa, gue nggak lancar bawa matic.. sahut Iris masih
sambil mengelus-elus lutut dan sikunya yang kini terasa sangat perih. Iris bersyukur ia
tak lupa memakai helm tadi.
Seorang petugas polisi datang dan membubarkan kerumunan orang yang
menontoni kekacauan akibat kecerobohan Iris itu. Pria pemilik toko bunga tampak
syok melihat bunga yang akan ia jual sudah menjadi sampah jalanan.
Anda butuh ke rumah sakit, mbak? si petugas polisi berjongkok di samping
Iris. Eta menyingkirkan motor matic nya ke trotoar.
Iris menggeleng, Enggak usah, pak.. nanti diobatin teman saya aja.. katanya.
Pak, bunga-bunga saya nasibnya gimana ini? pria pemilik toko bunga tiba-
tiba bersuara. Petugas polisi yang berjongkok di samping Iris menoleh ke arahnya.
Diselesaikan secara kekeluargaan saja, pak.. kata petugas polisi itu, ia
melirik Iris, gimana, mbak?
Iris bengong. Eta menoleh ke arahnya. Mulutnya komat-kamit tanpa suara, gue
enggak ada duit..
Iris merasakan bulir keringat mengalir dari dahi ke dagunya.
Duh, maaf Pak..untuk sekarang saya lagi enggak ada uang.. saya anak kosan,
Pak.. Iris meratap, melirik ke arah si pemilik toko bunga, seorang pria berambut
pendek dengan kumis dan janggut tipis seperti habis dicukur kasar. Cukup tampan
jika dilihat dari jarak sedekat ini. Cu-kup.
Pria itu menggeleng, Terus nasib bunga saya gimana, Mbak? Saya pasti rugi
kalau enggak diganti..
Iris menggigit bibir bawahnya sedikit. Bingung. Dia tak mungkin
menghubungi orang tuanya di rumah dan minta uang untuk ganti rugi. Ibunya pasti
akan sangat marah sekali. Tapi, dia sendiri juga tak ada uang lebih untuk mengganti
bunga-bunga yang ia lindas barusan.
Begini saja Pak, Mbak, si petugas polisi tampaknya memahami posisi Iris
yang seorang anak mahasiswi kosan berkantong pas-pasan, Mbak bisa meninggalkan
identitas Mbak ke Bapak ini biar gampang dihubungi, selebihnya mau bagaimana,
bisa mbak dan bapak bicarakan lagi baik-baik nanti.. kondisi mbak juga kan sedang
kurang baik seperti ini ya.. ini sih sekadar saran saja dari saya, bagaimana, Mbak?
Pak?
10
Iris melirik Eta yang langsung angguk-angguk kepala tanda setuju. Ia beralih
ke si pemilik toko bunga yang tampak berpikir. Lantas pria itu mengangkat bahunya,
Ya sudah, mau bagaimana lagi.. saya rasa cuma itu satu-satunya jalan keluar
untuk saat ini..
Iris lalu mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya,
menuliskan nama dan nomor ponselnya di sana. Ia menyerahkan kertas itu pada si
pemilik toko bunga, Maaf banget ya, Pak.. pasti saya ganti kok, Pak.. sekali lagi,
maaf ya, Pak..
Petugas polisi memapah Iris untuk berdiri, Lain kali hati-hati, Mbak..
Kali ini, Eta yang mengendarai motor sementara Iris duduk di belakangnya.
Kata maaf masih keluar dari mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak hati.
Eta menyalami petugas polisi dan pemilik toko bunga, Maaf Pak, atas
kecerobohan teman saya ini..mari..
Dari kejauhan, Iris sempat melirik lagi ke arah si pemilik toko bunga itu. Pria
itu masih memperhatikannya. Tampan..
Malam itu kosan Iris berisik bukan main. Eta sibuk menotol-notolkan kapas
dengan antiseptic ke luka-luka di lutut dan tangan Iris. Iris menjerit-jerit, ia merasa
sekujur tubuhnya sakit sekali. Nyeri dan perih di sana-sini.
Ta!! Sumpah ya Ta, pelan-pelan dikit kek!! Perih nih!!! Iris menarik paksa
tangannya yang sedang diobati Eta. Eta melotot dan menariknya lagi.
Biar cepet sembuh!! Lu nggak mau luka-luka ini berbekas, kan??
Iya, tapi pake perasaan kek!! Buset.. AWWW AWWW!! Perih Ta!!
Salah lu sih, udah gue bilang gas-rem-gas-rem, lu malah ngegas doang tapi
lupa ngerem!! omel Eta masih sambil menotol-notolkan kapas ke luka Iris, Gimana
juga tuh cara ganti rugi bunga-bunga yang udah lu lindes tadi?? Tabungan gue lagi
kosong banget..
Iris diam. Betul juga, dia nyaris saja lupa kalau ia masih berhutang pada si
pemilik toko bunga itu. Siapa pula namanya.. bahkan dia lupa menanyakan nama dan
nomornya tadi. Lagipula.. uang dari mana??
11
Gue nggak mungkin minta uang ke nyokap, Ta. Buat kuliah aja udah syukur
ada...
Iris teringat ibunya yang hanya seorang pegawai negeri sipil. Ibu tunggal
semenjak ayah Iris meninggal ketika Iris masih berusia tujuh tahun.
Ponsel Iris tiba-tiba berdering. Iris melirik ponsel yang tergeletak di sebelah
kasurnya. Satu nomor yang tidak ia kenal.
Siapa?
Angkat dulu sono, Ris.. Penting kali itu. Eta ikut melirik layar ponsel Iris
yang berkelap-kelip. Iris mengangkatnya,
Halo..
Malam, maaf, apakah saya bicara dengan saudari Iris? suara berat nan
menyejukkan di ujung sana bertanya. Satu bulatan air liur menggelinding dalam
tenggorokan Iris.
Pria bunga?
I..iya..a..ada apa?
Saya Ranu, yang punya toko bunga..
Jantung Iris serasa terjun bebas ke dasar perutnya. Gugup, takut, sekaligus..
kagum. Ranu.. Ranu. .Ranu.. namanya Ranu.
Oh, iyaa..maaf..soal bunga-bunga itu ya pak..duh gimana ya pak..saya
betulan lagi enggak ada uang sekarang..tapi pasti saya ganti kok pak..betulan..
Eta memandangi Iris dengan wajah panik, seakan berkata: ngaku aja kalo kita
enggak punya uang sama sekali!!! Enggak bisa bayar!!!!
Nah, iya.. justru itu.. suara di ujung sana berhenti sebentar, saya mau
menawarkan penyelesaian yang terbaik buat kamu dan saya.. suara itu berhenti lagi.
Jadi?
Besok bisa ketemu? Nanti dibicarakan lebih lanjut kalau kita ketemu..saya
merasa lebih leluasa kalau kita bicara langsung..
Jantung Iris semakin menekan perutnya. Dia bingung, mengapa separuh
hatinya begitu senang sekali diajak bertemu oleh si Pria Bunga ini, sementara separuh
lainnya merasa.. takut.
Bi..bisa.. Iris membaca bibir Eta yang komat-kamit tanpa suara: bisa
ngapain?? Ia membalas dengan komat-kamit juga: minta ketemu!!
Saya di toko sampai jam delapan malam.
12
Oh..o..oke..saya ke situ habis pulang kampus, pak..sekali lagi maaf ya pak
atas kecerobohan saya tadi siang.. Iris benar-benar gugup dan merasa sangat berdosa
sekarang. Bunga-bunga yang dilindasnya pasti lah tidak murah harganya. Jika dia jadi
si pemilik toko, tentu dia juga akan melakukan segala cara agar mendapatkan ganti
rugi.
Maaf jika saya mengganggu karena menelepon malam-malam begini. Saya
tunggu sampai jam delapan malam ya..terima kasih..
Ahh..nggak pa-pa Pak, justru saya yang jadi enggak enak..untuk ke sekian
kalinya, maaf ya Pak..
Tak ada jawaban. Pria bunga sudah memutuskan teleponnya. Pasti lah Pria
bunga enggan bicara berlama-lama dengan pembuat masalah seperti dirinya. Iris
mengembuskan napasnya. Tak sadar kalau sedari tadi napasnya tertahan.
Eta panik, kenapa? Kenapa? Dia maksa lu buat lunasin bunganya??? ia
mengguncang-guncangkan tubuh Iris dengan mata melotot.
Enggak secara langsung..tapi iya.. Iris mendorong wajah Eta hingga
menjauh, dan badan gue sakit kalo lu goyang-goyang begitu!!
Sori-sori, panik gue tau!! Eta nyengir, trus, dia bilang apa lagi? Minta
ketemu gimana??
Besok, gue ditunggu sampe jam delapan malem di tokonya. Nggak tau deh
mau disuruh bayar pake cara apa.. duuhhhhhhh!!!! Iris menenggelamkan kepalanya
ke dalam bantal. Dia tak tahu kenapa wajahnya mendadak terasa panas dan
jantungnya berdegup di luar kecepatan normal. Bagaimana jadinya besok??
Lu kok jadi salting gitu deh, Ris..
Iris mengangkat wajahnya, melempar bantal dalam tangannya kepada Eta,
Siapa yang salting??!!! Udah ah, gue ngantuk!!! Ia lekas berbalik dan mencium
kasur.
Eta melempar bantal itu kembali ke Iris, Yeeeeee, sewot!!!
Entah kenapa, suaramu masih terdengar dalam kepalaku.
Mengisi mimpiku malam itu.
Kenapa begitu?
Aku tak tahu..
13
Iris merangkak turun dari kasurnya. Sekujur tubuhnya makin terasa sakit
sekarang. Rasanya seperti baru saja digilas truk molen. Andai tiap bagian tubuhnya
bisa dilepas, Iris sungguh ingin menggantungnya di tempat jemuran, agar ia tak perlu
merasakan nyeri itu. Ia melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.
Pukul delapan pagi. Hari ini kuliah pukul sembilan tepat, sementara Eta pun masih
tertelungkup di kasurnya. Iris melempar temannya itu dengan guling, yang dilempar
mengangkat kepala dengan malas,
Eta!! Buset lu bukannya bangunin gueeeee!!!!! Iris buru-buru mengambil
handuk dari pintu lemarinya, berjingkat menghindari buku-buku kuliah yang tercecer
di lantai, dan berlari keluar kamar menuju kamar mandi dengan kaki separuh diseret.
Iris mandi secepat yang ia bisa, lebih tepatnya bukan mandi, cuma membasuh
mukanya dengan air dan menyikat gigi secara asal saja. Di saat-saat begini, Iris
merasa beruntung memiliki rambut pendek. Semua terasa jadi lebih praktis. Eta ikutan
panik dan memukuli pintu kamar mandi dengan kepalan tangannya.
Setengah jam kemudian, keduanya sudah melaju di jalanan Jakarta yang padat.
Tentu saja Eta yang memegang kemudi motor matic pagi itu. Sementara Iris yang
dipenuhi plester di sana-sini duduk manis dibelakangnya. Demi apapun, Iris benar-
benar kapok untuk mengendarai motor matic lagi.
Mereka melewati jajaran toko di depan kampusnya, termasuk toko bunga yang
kemarin bunganya ludes dilindas Iris. Toko itu belum buka, Iris membaca papan
namanya sekilas sebelum motor mereka menyeberang ke gedung kampus: Ranu and
Lilacs Florist. Jantung Iris berdebar.
Sudah beristri kah Pria Bunga itu?
Ris, udah nyampe ini, lu mau nemplok di punggung gue sampe kapaaan??
Eta mengejutkan Iris yang masih memandangi toko bunga di seberang kampus itu.
Iyaaa, bawel!! Iris turun dari motor secara perlahan. Lututnya masih terasa
ngilu. Beberapa mahasiswa yang kemarin melihat insiden ketololannya tertawa geli.
Iris pura-pura tidak melihat dan cepat-cepat menyeret Eta meninggalkan area parkiran
motor.
Kedua mahasiswi kesiangan itu berlari menuju ruang kelas mereka di lantai
tiga. Tak ada lift. Anggap saja olahraga pagi yang tidak pernah sempat mereka
14
lakukan. Bulir-bulir keringat membanjiri wajah keduanya. Iris mengelus-elus lututnya
yang semakin terasa nyeri setelah berlari-lari di tangga tadi. Eta mengetuk pintu kelas
yang sudah tertutup. Lama, tak ada jawaban. Eta mengetuknya sekali lagi. Lagi-lagi
tak ada jawaban. Iris yang tak sabaran akhirnya mendorong pintu itu hingga terbuka,
di dalamnya tak ada siapa-siapa. Iris menoleh menatap Eta dengan bingung,
Ini hari Kamis bukan??
Eta menggeleng, Ini hari Rabu..
Bego nyaaaa kitaaaa, hari ini mah nggak ada jam, etaaaaaaaaaaa!!!!!
Iris dan Eta terdampar di pos satpam dekat gerbang kampus. Akibat ketololan
Iris yang mengira ini hari Kamis, disertai kebodohan Eta yang tak sadar bahwa ini
bukan hari Kamis, dua sahabat itu terpaksa menanti toko Ranu and Lilacs Florist di
seberang sana buka dengan duduk-duduk bareng satpam kampus. Hal yang rutin
mereka lakukan kalau datang kepagian ataupun kalau diusir dosen karena kesiangan.
Lebih hemat ketimbang nongkrong di kantin, kata Iris.
Tiba-tiba Eta menepuk dahinya dengan panik, Ampun!! Gue lupa!!
Ha? Lupa apaan?
Kemaren kan gue nggak jadi praktek tuh gara-gara insiden lu nabrak toko
bunga, jadi hari ini gue disuruh ke sana!! Duh.. Eta cepat-cepat mengemasi barang-
barangnya, Gue cabut duluan yaa, nanti kalo lu udah ketemu si tukang bunga itu, kita
ketemu lagi di sini..duluan yaa, buru-buru nih gue!
Eta langsung beranjak dari pos satpam, sementara Iris ikutan panik, Lah, taa!!
Masa gue sendirian ta??!!! Etaaaaaaaa!!! Temenin gue dong taaaaaaaaaaa!!!!!!!!
Eta cuma melambai saja tanpa berbalik. Iris melirik toko bunga yang belum
juga buka itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menunggu di depan toko itu saja. Ia
menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan melangkah meninggalkan pos
satpam nya yang nyaman. Ia menoleh kanan-kiri sebelum menyeberang jalan. Ia
berusaha mengembalikan detak jantungnya ke kecepatan normal. Tapi, tak bisa.
Tarik napas..buang..tarik napas..buang.. GIMANA INI???
Iris melongo memandangi toko bunga yang kini sudah ada di hadapannya
persis. Sekali lagi ia membaca papan namanya, Ranu and Lilacs Florist. Lilac itu
15
kemungkinan nama istrinya, bukan? Biasanya pasangan suami istri akan menamai
toko mereka dengan nama masing-masing. Norak.., Iris membatin.
Sudah lama di sini? Seseorang menepuk bahunya, Iris nyaris terlonjak
saking kagetnya. Ia menoleh. Pria Bunga..
Eh..ba..baruu, Pak.. Iris nyaris kehilangan suara saking kagetnya. Usahanya
untuk memperlambat detak jantung kini gagal total. Pria Bunga yang hari itu memakai
kemeja panjang kotak-kotak yang digulung sampai di lengannya bikin Iris merasa
semakin dag-dig-dug.
Saya yang namanya Ranu, mbak.. Pria Bunga mengulurkan tangan
kanannya.
Perlahan, Iris menyambutnya, tangan yang besar dan hangat. Sa..saya Iris,
Pak. Cukup panggil Iris saja..
Kita bicara di dalam aja ya, sebentar saya buka dulu pintunya.. Pria Bunga
menggeser tubuh Iris sedikit ke pinggir, Iris tak sadar kalau ia menghalangi pintu
masuknya.
Pria Bunga sibuk mencari kunci di sakunya. Sementara Iris sibuk memandangi
siluet pria itu dari belakang. Pria Bunga cukup tinggi, setidaknya bagi Iris yang
bertubuh mungil, dia tinggi. Badannya tidak terlalu besar. Tapi, kelihatan sangat
nyaman untuk dipeluk.. Iris mengerjapkan matanya, kaget dengan pikiran yang lewat
dalam kepalanya barusan. IRIS, DIA SUAMI ORANG!!!!! SU-A-MI O-RANG!!!
Pria Bunga menoleh ke arahnya, kelihatannya sudah selesai dengan urusan
kunci-kunci itu, Mari masuk, maaf toko saya agak berantakan.. seingat saya, mbak
bilangnya mau datang setelah pulang kuliah..
Ah, i..iya, saya lupa kalau hari ini nggak ada jam, Pak.. Iris melangkah
masuk ke toko kecil itu. Matanya menyapu ruangan, banyak.. ember-ember bunga di
sana-sini tentunya. Ada satu meja kecil yang di atasnya berserakan sampah daun dan
tangkai bunga di hadapan Iris. Ukuran toko itu mungkin hanya 2x3 meter saja. Kecil
sekali.
Pria Bunga menyodorkan kursi plastik pada Iris, Duduk, mbak..
Iris mengangguk, Eh, iya..ma..makasih..
Iris menarik kursi yang disodorkan Pria Bunga dan duduk di depan meja kecil
yang sepertinya meja kerja itu. Sementara Pria Bunga duduk di seberangnya. Pria
Bunga lalu menyapu tangannya untuk membersihkan sampah daun dan tangkai di atas
meja kecil itu, Maaf, mejanya berantakan.. katanya. Iris mendengar nada malu
16
dalam kalimat itu. Andai saja Pria Bunga tahu kalau kosannya lebih jorok dari tempat
itu..
Ah, enggak pa-pa.. Iris tersenyum. Kikuk.
Jadi, begini mbak.. Pria Bunga menatapnya lurus-lurus, Iris makin kikuk,
Saya paham betul keadaan seorang anak kosan, saya yakin sekali mbak nggak bisa
membayar ganti rugi atas.. Pria Bunga mengembuskan napasnya, aroma mint
meringsek masuk ke dalam hidung Iris, ..bunga-bunga saya yang mbak lindas
kemarin itu.. Pria Bunga berhenti sesaat. Iris sibuk berkonsentrasi mengingkari
bahwa pria di hadapannya kini memang benar-benar tampan.
..saya akan menawarkan penyelesaian yang paling ringan buat mbak
sekaligus tidak merugikan buat saya,.. Pria Bunga menarik napasnya, Kebetulan,
pegawai saya satu-satunya sedang cuti, jadi saya agak repot ngurus toko ini sendirian.
Sebagai ganti uang yang seharusnya mbak bayarkan pada saya, mungkin lebih baik
mbak kerja membantu saya di sini.. tanpa digaji tentunya. Cuma sampai pegawai saya
itu kembali. Yah, itung-itung gaji yang seharusnya mbak terima itu dipakai untuk
bayar ganti rugi saya. Bagaimana?
Iris masih melongo, mendadak otaknya bekerja sangat lamban. Ia kesulitan
mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Pria Tampan..eh, Pria Bunga
barusan, Gimana? Gimana? Saya kurang paham..
Hmm, gini, jadi, mbak kerja di sini sampai pegawai saya kembali tapi tanpa
digaji..gimana? Pria Bunga melambatkan bicaranya seperti sedang bicara dengan
anak berusia lima tahun.
Ohhh... Iris mengangguk-angguk, baru paham, Bisa aja sih, Pak.. tapi, saya
kan kuliah, jadi mungkin waktunya nggak bisa dipastiin.. Iris mengingat jadwal
kuliahnya di kampus. Mahasiswi keperawatan itu biasanya sibuk sekali, tapi lepas
pukul tiga sore, sepertinya tak masalah baginya. Iris buru-buru menambahkan, ..lepas
jam tiga, bisa kayaknya.. ng.. kalo ada jam kosong, saya juga ke sini deh, Pak. Iris
tersenyum penuh rasa berdosa.
Jadi? Pria Bunga menyodorkan tangan kanannya.
Iris mengangguk. Perlahan, ia mengulurkan tangan kanannya dan menjabat
tangan itu. Jantungnya berdebar seketika. Bi..bisa deh, Pak. katanya, Ng, makasih
banyak, Pak.. terima kasih karena sudah memahami kondisi kantong anak kosan..satu
hari nanti, kalo..kalo saya ada uang lebih, saya pasti kasih ganti rugi yang betulan ke
17
bapak... Iris memamerkan gigi putihnya dengan tampang kikuk. Dalam hati ia
bersyukur bertemu orang sebaik ini di jaman seperti sekarang.
Kamu bisa mulai kerja besok, ya.. untuk hari ini sebaiknya istirahat dulu
deh.. Pria Bunga menarik tangannya yang barusan menjabat tangan Iris, lantas
menunjuk plester-plester yang menempel di tubuh Iris, itu masih butuh diistirahatin
kayaknya.. katanya dengan nada prihatin yang terdengar sangat lembut di telinga
Iris.
Iris mengusap-usap plester di lengannya, Ah, enggak pa-pa kok, Pak..
katanya. Gugup, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Jam metalik peninggalan
mendiang ayahnya, Kalo gitu, saya permisi sekarang, Pak.. ditunggu temen di
kampus.. mari, Pak..
Iris cepat-cepat berdiri dan berbalik, menabrak kursi plastik yang barusan ia
duduki hingga jatuh. Lututnya berdenyut. Nyeri sisa insiden kemarin belum hilang,
kini malah terantuk lagi. Rasanya ia ingin menangis, tapi berhasil ditahannya. Pria
Bunga berdiri, menatap penuh kecemasan, Nggak apa-apa itu, mbak?
Iris menoleh, berusaha tersenyum dan menggeleng, Nggak pa-pa, Pak..
ma..mari, Pak.. katanya sambil mengembalikan kursi itu ke posisinya semula.
Ia melangkah keluar dari toko itu secepat yang ia bisa. Atmosfer di ruangan
tadi mulai terasa mengganggu. Entah kenapa ia merasa gugup sekali tadi. Jika tidak
cepat-cepat pergi, mungkin ia bisa melakukan tindakan konyol karena salah tingkah.
Iris tak sadar, perasaan aneh dalam hatinya mulai berakar
18
19
BENIH ITU DITANAM
RANU___
pria berambut pendek, dengan kumis dan janggut yang tampak
seperti baru dicukur secara asal___
merapikan meja kerjanya yang bertaburkan daun-
daun dan tangkai bunga. Biasanya ada pegawai yang membantunya, dia hanya perlu
duduk tenang mengerjakan penataan bunga di dalam toko, dan membeli stok bunga di
pasar grosir. Sementara pegawainya lah yang bolak-balik merapikan dan mengangkut
bunga-bunga keluar untuk dipajang, serta mengantarkan pesanan ke tempat tujuannya.
Sesekali membantu membuat karangan bunga juga. Sayangnya, mulai hari ini semua
itu harus dilakukannya seorang diri karena si pegawai sedang izin pulang kampung.
Ayahnya sakit, begitu katanya saat minta cuti pada Ranu. Yah, tentunya mau tidak
mau Ranu harus mengizinkannya. Dia juga punya anak. Dia tentunya berharap
anaknya juga akan menjenguknya jika suatu hari di masa tuanya nanti ia jatuh sakit.
Ranu mengangkut seember mawar putih keluar toko, meletakkannya di sana.
Ia mendongak sebentar menatap langit yang cukup cerah. Baguslah, kalau hujan, ia
pasti akan repot sekali mengangkut ember-ember bunga itu ke dalam toko seorang
diri. Ia melirik sebentar ke gedung kampus di seberang toko bunga kecil miliknya itu.
Pada jam-jam seperti ini, biasanya ada seorang mahasiswa yang bengong
memandangi langit di pinggir jendela. Ranu sudah hapal betul, karena dari meja
kerjanya di dalam toko, ia bisa melihat si mahasiswa itu.
Benar saja, saat Ranu melirik ke gedung kampus itu, si mahasiswa sudah
bertopang dagu di jendela. Ranu geleng-geleng kepala. Apakah ada siluet awan
berwujud gadis cantik di sana? Aneh betul, batinnya. Ia lalu masuk kembali ke dalam
toko untuk membereskan pekerjaannya yang masih menumpuk. Ia sibuk merapikan
bunga mawar kuning untuk diletakkan di luar toko. Dimasukkannya satu-satu ke
dalam ember. Setengah jam kemudian, ia mengangkut ember itu keluar, diletakkan
tepat di samping mawar putih yang tadi ia bawa.
Ia memukul-mukul pinggangnya pelan. Pegal juga ternyata. Saat itulah ia
sadar ada dua orang gadis yang sibuk memaksa leher mereka bertambah panjang
beberapa inchi sedang memperhatikannya dari warung soto di seberang toko
bunganya. Dua orang gadis itu buru-buru sembunyi setelah bertemu mata dengan
dirinya. Pria tiga puluh empat tahun itu tersenyum geli. Mungkin itu adalah para
mahasiswi yang sering diceritakan oleh Egi, karyawan tokonya yang sedang cuti.
20
Menurut cerita Egi, salah satu gadis itu pernah mengajaknya berkenalan. Dua
mahasiswi yang lucu sekali. Tapi, Ranu sedikit heran, ia merasa pernah melihat salah
satu di antara mahasiswi itu sebelumnya. Entah kapan dan di mana, ia lupa.
Sambil berjalan masuk ke tokonya lagi, ia masih mengingat-ingat wajah
mahasiswi yang barusan melongoknya dari warung soto. Siapa kamu?
Siapa kamu?
Wajahmu terus mengganggu pikiranku.
Melekat dalam ingatanku.
Siapa kamu?
Ranu tengah sibuk merangkai bunga untuk pesanan perayaan pernikahan
seorang klien besok ketika ia mendengar suara ribut dari arah jalan raya. Ia yang
sedari tadi duduk di belakang meja kerjanya langsung berdiri dan melongok ke arah
jalanan. Sebuah motor matic melaju tak terkendali dengan kecepatan tinggi. Bunyi
ban-ban kendaraan yang dipaksa berhenti oleh pengendara lainnya berdecit tak
karuan. Motor matic itu melaju tepat ke arah toko bunganya. Ia panik. Dan..
BRUAAAAAAAKK!!!
Ranu cepat-cepat keluar dari dalam tokonya. Ember-ember bunga terguling di
sana-sini. Bunga-bunga yang tadi ia susun sudah berantakan, berubah menjadi sampah
jalanan. Rugi. Sudah pasti ia akan rugi kalau begini.
Siapa sih pengendara gila ini???!!!
Ranu melongok dari kerumunan orang-orang yang ingin menontoni kekacauan
itu. Helm si pengendara dilepas. Pengendara itu mengelus-elus lutut dan sikunya yang
tampak lecet-lecet. Ah! Rupanya mahasiswi yang tadi siang ia lihat di warung soto!!
Seorang gadis tiba-tiba menyeruak kerumunan orang-orang itu. Gadis itu berteriak-
teriak dengan histeris. Gadis itu juga mahasiswi yang ia lihat tadi siang.
IRISSSSS!!! ASTAGA IRISSSS!!! si gadis memegangi pipinya sendiri
dengan panik. LU NGGAK PA-PA KAN???? ASTAGAAA!!!
Oh..rupanya si biang onar ini bernama Iris..
21
Kan gue udah bilang taaa, gue nggak lancar bawa matic.. sahut si biang
onar, Iris, sambil mengelus-elus lutut dan sikunya yang diyakini Ranu pasti terasa
sangat perih.
Tak lama muncul petugas polisi yang membubarkan kerumunan orang-orang
yang asik menontoni kecelakaan lalu lintas itu. Ranu melirik ke arah bunga-bunganya
yang tampak sangat mengenaskan. Rugi. Pasti rugi. Pasti.
Si gadis kecil tinggi dengan rambut sebahu yang barusan menyeruak
kerumunan, menyingkirkan motor matic Iris ke trotoar. Ranu mendengus kesal.
Sabar, Nu..sabar..
Pak, bunga-bunga saya nasibnya gimana ini? Ranu melirik si petugas polisi.
Petugas polisi yang berjongkok di samping Iris menoleh ke arahnya.
Diselesaikan secara kekeluargaan saja, pak.. kata petugas polisi itu, ia
melirik Iris, gimana, mbak?
Si biang onar itu bengong sesaat, menatap kawannya yang berdiri di dekat
motor matic. Sepertinya memohon bantuan. Ranu tak peduli. Kalau tak diganti, ia
akan sangat merugi. Bunga-bunga itu tidak murah harganya.
Duh, maaf pak..untuk sekarang saya lagi enggak ada uang.. saya anak kosan,
pak.. Iris meratap, melirik ke arahnya. Gadis itu..cantik. Ah!! Tidak-tidak! Ia harus
tetap minta ganti rugi! Ranu menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan
pikiran tololnya barusan. Dia terlalu muda, Nuu.. TERLALU MUDA!!!
Terus nasib bunga saya gimana, mbak? Saya pasti rugi kalau enggak
diganti.. katanya sedikit memohon. Berapa ember yang dilindas barusan? Banyak!!
Ia harus dapat ganti rugi. Harus!!
Iris tampak menggigit bibir bawahnya sedikit. Sepertinya biang onar itu
sedang berpikir bagaimana cara mengganti bunga-bunga yang dilindasnya barusan.
Gadis muda memang selalu menyusahkan. Selalu seenaknya dan senang mengacau.
Ranu berharap kelak anaknya tidak akan menyusahkan seperti si biang onar itu.
Begini saja pak, mbak, si petugas polisi tampaknya memahami posisi Ranu
yang sangat membutuhkan uang ganti agar ia tak merugi. Bagaimanapun caranya,
biang onar itu harus membayar uang ganti, Mbak bisa meninggalkan identitas mbak
ke bapak ini biar gampang dihubungi, selebihnya mau bagaimana, bisa mbak dan
bapak bicarakan lagi baik-baik nanti.. kondisi mbak juga kan sedang kurang baik
seperti ini ya.. ini sih sekadar saran saja dari saya, bagaimana, mbak? Pak?
22
Ranu berpikir sejenak. Tak ada jalan lain. Jika si Iris ini tak punya uang,
tentunya ia harus punya alamat atau nomor telepon yang bisa dihubungi sewaktu-
waktu. Lagipula, ia sendiri merasa tak tega dengan ABG yang kini lecet-lecet itu.
Bagaimana jika suatu hari anaknya juga mengalami hal yang sama?
Ranu mengangkat bahunya, Ya sudah, mau bagaimana lagi.. saya rasa cuma
itu satu-satunya jalan keluar untuk saat ini..
Si biang onar lalu mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya,
menulis sesuatu di kertas itu dan menyerahkannya pada Ranu, Maaf banget ya, pak..
pasti saya ganti kok, pak.. sekali lagi, maaf ya, pak..
Suaranya..
Ranu menggenggam kertas itu, melirik sekilas tulisan tangan di atasnya:
Iris 085693906xxx
Secepatnya saya ganti pak, silakan hubungi nomor ini ya pak..
Maaf atas kekacauan yang saya buat..
Petugas polisi memapah si biang onar untuk berdiri, lain kali hati-hati,
mbak..
Kali ini, temannya yang mengendarai motor matic itu. Si biang onar hanya
duduk di belakangnya. Masih meminta maaf pada Ranu. Sepertinya gadis itu sangat
tak enak hati padanya karena sudah melindas bunga-bunga yang akan ia jual. Teman
si biang onar lalu menyalami petugas polisi dan Ranu, Maaf pak, atas kecerobohan
teman saya ini..mari..
Keduanya pun meninggalkan tempat itu. Ranu masih belum melepaskan
matanya dari si biang onar. Dari kejauhan, dilihatnya gadis itu melirik ke arahnya
sebentar. Cantik..
Ranu menimbang-nimbang kertas dalam genggamannya. Ia melirik jam
dinding di atas tempat tidurnya. Pukul sepuluh malam. Sudah tidurkah gadis bernama
Iris itu? Dirawat di rumah sakit kah? Apakah mengganggu jika ia menghubunginya
sekarang? Ranu meletakkan lagi ponselnya di atas kasur. Ragu. Tak lama, ponsel itu
23
diambilnya lagi. Ia menekan tombol angka seperti yang tertera pada kertas dalam
genggamannya. Terdengar nada sambung. Jantungnya berdebar. Napasnya tertahan.
Ia tak tahu mengapa demikian.
Halo.. terdengar suara lembut di ujung sana. Lembut tapi gugup.
Malam, maaf, apakah saya bicara dengan saudari Iris?
Lama.. Ranu menanti suara lembut itu terdengar lagi.
I..iya..a..ada apa? ah..itu dia..
Saya Ranu, yang punya toko bunga.. Ia mengenalkan dirinya. Dia tahu
pemilik suara lembut di ujung sana tentu sibuk menduga-duga siapa yang
meneleponnya malam-malam begini. Ia tak mau dituduh sebagai orang iseng. Om-om
iseng lebih tepatnya..
oh, iyaa..maaf..soal bunga-bunga itu ya pak..duh gimana ya pak..saya betulan
lagi enggak ada uang sekarang..tapi pasti saya ganti kok pak..betulan.. suara itu
terdengar makin gugup sekarang. Sejujurnya Ranu mulai merasa ingin tertawa. Ia
membayangkan si biang onar itu banjir keringat karena ditagih hutang olehnya.
nah, iya.. justru itu.. ia berhenti sebentar. Akankah ini menjadi penyelesaian
yang tepat? Mudah-mudahan iya.. saya mau menawarkan penyelesaian yang terbaik
buat kamu dan saya.. ia diam lagi. Tepatkah penyelesaian yang akan ditawarkannya
pada si biang onar ini?
jadi? suara lembut di ujung sana memotongnya. Ranu membulatkan tekad.
Ini yang paling tepat..
besok bisa ketemu? Nanti dibicarakan lebih lanjut kalau kita ketemu..saya
merasa lebih leluasa kalau kita bicara langsung..
bi..bisa..
Jantung Ranu mendarat di dasar perutnya. Entah kenapa, ia merasa ada yang
bersorak sorai di dalam kepalanya sekarang. Ia meneguk ludahnya sendiri,
saya di toko sampai jam delapan malam. Yaa, dia rela menunggu sampai
tokonya tutup agar gadis itu datang. Bukan untuk sekadar melihatnya, bukan bukan
bukan. Ia harus menagih ganti rugi. Ganti rugi, Ranu! Ganti Rugi!!
oh..o..oke..saya ke situ habis pulang kampus, pak..sekali lagi maaf ya pak
atas kecerobohan saya tadi siang.. suara lembut di ujung sana terdengar makin
gugup, bikin Ranu semakin ingin tertawa, tapi sekaligus juga berdosa. Si biang onar
ini tentunya merasa sangat takut karena ditagih uang ganti olehnya. Ranu tertawa di
dalam hati.
24
maaf jika saya mengganggu karena menelepon malam-malam begini. Saya
tunggu sampai jam delapan malam ya..terima kasih.. Ia berusaha membuat suaranya
tetap setenang yang ia bisa. Jangan tertawa, Ranu.. jangan tertawa..
ahh..nggak pa-pa pak, justru saya yang jadi enggak enak..untuk ke sekian
kalinya, maaf ya p....
TUT!
Duh! Ranu melempar ponselnya ke kasur. Ponsel Ranu kehabisan daya.
Hubungan itu terputus begitu saja. Sekarang ia merasa tidak enak. Bahkan si biang
onar belum menyelesaikan kalimatnya. Ia pasti dianggap sebagai orang yang tidak
kenal kata maaf. Pria yang cuma peduli soal uang ganti saja. Ia berdiri, meninggalkan
kasurnya dan melangkah menuju dapur. Ranu meracik secangkir kopi, meneguknya.
Ia berharap semoga si Iris itu tidak batal datang besok karena berpikir seperti apa
yang ia pikirkan barusan.
Ranu terbangun setelah mendengar telepon rumahnya berdering. Ia ketiduran
di dapur. Diliriknya jam dinding di dekat lemari es. Pukul delapan.00 pagi. Siapa yang
menelepon pagi-pagi begini?
Halo? Suaranya masih serak.
Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh!!! Suara manis di
ujung sana menjerit penuh kerinduan, Ayah, ayah, lagi apa?
Ranu tersenyum mendengar suara gadis kecilnya itu. Lilac, nama gadis
kecilnya itu, berumur lima tahun dan tinggal bersama neneknya di daerah Jakarta
Barat. Kadang ia merasa kasihan pada anak satu-satunya itu, Lilac tak pernah
merasakan kelembutan belaian seorang ibu yang dipanggil Tuhan tepat setelah
mengantarkan gadis kecil itu dengan selamat ke dunia.
Baru aja bangun tidur.. Lilac lagi apa, sayang?
Lilac baru mau mandi..ayah, ayah, kapan jalan-jalan lagi?
Ranu terkekeh pelan, Kapan ya? Ayah lagi kerja, sayang.. kalau jalan-jalan
lagi, Lilac mau oleh-oleh apa?
Terdengar pekik kegirangan dari ujung sana, Ranu senyum-senyum sendiri
membayangkan gadis kecilnya tengah meloncat-loncat bahagia ketika mendengar kata
25
oleh-oleh, Lilac mau berbi! Lilac mau masak-masakan! Sama.. Lilac mau
cokelat!!
Ranu tertawa, gemas sekali mendengar suara gadis kecilnya di telepon,
sejujurnya ia ingin Lilac tinggal dengannya saja, bukan dengan ibu mertuanya di
Jakarta Barat sana. Tapi, kondisi keuangannya yang tidak stabil memaksanya untuk
membiarkan ibu dari almarhum istrinya itu yang mengasuh Lilac. Sebagai laki-laki, ia
punya harga diri untuk tidak menerima uang pemberian ibu mertuanya itu.
Setidaknya, ia masih sanggup membiayai hidupnya sendiri.
Ayah, Lilac mau mandi dulu ya..daadaaaahhh... belum sempat Ranu
mengucapkan salam perpisahan, suara mertuanya sudah terdengar.
Nu.. Suara perempuan baya yang lembut, Ranu menerawang akankah suara
ibunya terdengar seperti ini? Ah, dia bahkan tak mengenal ibunya sejak kecil. Ranu
dibesarkan oleh ayahnya seorang. Dia dan Lilac bernasib sama. Nu.. gimana di sana?
Kamu sehat?
Ah..iya, Bu.. saya sehat..
Tokomu gimana? Kalau kurang lancar, pulang saja ke rumah Ibu.. kamu bisa
bantu-bantu di toko material bapak.. Ranu teringat ayahnya, jika saja ia ikut ayahnya
kerja di perusahaan pertambangan di Jayapura, akankah ia mampu menghidupi Lilac
dan dirinya?
Ranu ingat betul, ketika ia baru menikah dengan Aster__
almarhumah
istrinya___
ayahnya mengajak pasangan muda itu pindah ke Jayapura. Ayah Ranu
adalah seorang pengusaha pertambangan di sana. Namun, Ranu menolaknya. Kala itu,
ia merasa lelaki yang sudah berkeluarga tak pantas bergantung hidup pada sang ayah.
Lagipula, ia tak pernah tertarik bekerja di bidang pertambangan. Ia dan istrinya adalah
pecinta bunga. Ia mengatakan, keluarga kecilnya akan tetap tinggal di Jakarta. Ia
berjanji pada ayahnya, ia akan menjadi pemilik toko bunga yang sukses tanpa
bergantung pada sang ayah. Tapi kini, nyatanya, untuk membiayai hidup dua manusia
saja ia tak sanggup. Sementara, ia merasa malu untuk menyusul ayahnya ke Jayapura.
Ah, nggak pa-pa, Bu.. toko saya lancar-lancar saja.. nanti.. Ranu menarik
napas panjang, Kalau saya sudah ada uang, Lilac saya jemput, Bu..
Ehh..ngomong apa sih kamu.. Ibu kan neneknya juga, nggak masalah kalau
hanya mengurus Lilac..
Maaf ya, bu.. saya.. ngerepotin..
26
Kamu juga kan anak Ibu, Nu, nggak usah sungkan gitu ah! Suara lembut itu
bernada tegas, ibu mertuanya memang sangat baik terhadap Ranu. Ya sudah, ini ibu
mau mandiin Lilac-mu dulu, kalau ada perlu apa-apa langsung telepon ke rumah ya,
Nu! Awas kalo enggak! Ibu marah lho!
Ranu tersenyum, Iya, bu.. terima kasih. Kalau ada waktu kapan-kapan saya
main ke sana.. salam buat bapak..
Ranu sedikit terlambat tiba di tokonya. Jalanan di kawasan Jakarta Selatan
memang selalu dipadati kendaraan bermotor, baik itu pribadi maupun umum. Ranu
berangkat dari rumahnya naik metromini. Dia punya sepeda motor, tapi hanya
digunakan untuk membeli bunga di pusat grosir ataupun mengantar pesanan, motor
itu ia simpan di tokonya.
Saat Ranu tiba, si gadis mungil berambut pendek yang kemarin membuat
kekacauan itu sudah ada di sana. Si biang onar itu berdiri terpaku memandangi papan
nama toko bunga Ranu. Lama sekali, seperti mengeja hurufnya satu-satu. Ranu
sendiri jadi ikut menontoni papan nama tokonya itu, khawatir barangkali ada sesuatu
yang salah di sana. Tapi, tidak ada.
Ranu akhirnya menepuk bahu si biang onar itu, Sudah lama di sini?
Gadis itu terlonjak sedikit, menoleh dengan kaget. Ranu nyaris tertawa
karenanya, tapi ia berhasil menyimpan tawa itu kembali.
Eh..ba..baruu, Pak.. Sahut si biang onar dengan terbata-bata. Wajahnya
sedikit pucat dengan pipi kemerahan. Ranu berharap semburat merah muda yang ia
lihat di pipi si biang onar itu hanya perasaannya saja.
Saya yang namanya Ranu, mbak.. Ranu mengulurkan tangan kanannya.
Perlahan, si biang onar menyambutnya, tangan yang mungil dan lembut sekali.
Sa..saya Iris, Pak. Cukup panggil Iris saja..
Kita bicara di dalam aja ya, sebentar saya buka dulu pintunya.. Ranu
menggeser tubuh si biang onar agak sedikit ke pinggir. Entah memang masih pusing
atau apa, tapi Ranu merasa gadis itu agak sedikit linglung. Bahkan, si biang onar tak
sadar sama sekali kalau posisi berdirinya menghalangi pintu masuk, dan malah pasrah
saja badannya digeser oleh Ranu.
27
Ranu mengeluarkan sekumpulan kunci dari saku celana jeans nya. Sedikit
membungkuk di depan pintu. Ini dia yang paling malas ia lakukan: mencari kunci
masuk! Ranu tak pernah hapal mana kunci untuk tiap pintu. Bodohnya, ia selalu
mencampur semua kunci miliknya dalam satu gantungan kunci. Lama ia berkutat
dengan para kunci dalam genggaman tangannya itu.
Ketemu!
Ranu menoleh, Mari masuk, maaf toko saya agak berantakan.. seingat saya,
mbak bilangnya mau datang setelah pulang kuliah..
Ah, i..iya, saya lupa kalau hari ini nggak ada jam, Pak.. si biang onar
melangkah masuk menyusul Ranu dari belakang. Matanya memandang berkeliling.
Bagi Ranu, pandangan itu terlihat seperti tatapan prihatin karena melihat tokonya
yang berantakan. Satu meja kerja penuh sampah, motor yang terparkir di sebelahnya,
dan ember-ember bunga pasti terasa menyesakkan mata. Apalagi mata seorang gadis
muda.
Ranu mengambil satu kursi plastik yang ada di dekat meja kerjanya. Ia
menyodorkan kursi itu pada si biang onar, Duduk, mbak..
Si biang onar mengangguk, Eh, iya..ma..makasih..
Mata Ranu tak lepas dari pergerakan si biang onar yang menarik kursi plastik
pemberiannya lalu duduk di seberang meja kerjanya. Ia takut si biang onar membuat
kekacauan di dalam tokonya yang sempit itu. Ranu menyapu tangannya ke atas meja,
membersihkan sampah daun dan tangkai bunga dari sana. Ia menyesal sekali semalam
lupa membersihkan toko itu, Maaf, mejanya berantakan.. katanya agak malu.
Ah, enggak pa-pa.. Si biang onar tersenyum. Manis tapi terlihat canggung.
Semburat merah muda di pipi gadis itu semakin jelas terlihat, membuatnya terlihat
sangat manis. Ranu memutuskan mempercepat urusannya itu.
Jadi, begini mbak.. Ranu menatap si biang onar lurus-lurus, mendadak ia
merasa kesulitan menyusun kata-kata. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa
si biang onar tidak manis sama sekali. Sekali lagi, TIDAK MANIS!!
Saya paham betul keadaan seorang anak kosan, saya yakin sekali mbak
nggak bisa membayar ganti rugi atas.. Ranu mengembuskan napasnya yang sedari
tadi tertahan tanpa sadar, ..bunga-bunga saya yang mbak lindas kemarin itu.. Ranu
berhenti sebentar. Kata-kata yang sudah ia susun dalam kepalanya sejak tadi malam
mendadak hilang tak bersisa. Seakan dicuri oleh wajah manis yang duduk di
28
hadapannya sekarang. Ranuuu, lebih cepat lebih baik!!! BERPIKIR RANU!!
BERPIKIR!!!
Ranu menemukan kembali kata-katanya, ..saya akan menawarkan
penyelesaian yang paling ringan buat mbak sekaligus tidak merugikan buat saya,.. Ia
menarik napasnya yang terasa sesak. Sepertinya atmosfer ruangan itu berubah
seketika, Kebetulan, pegawai saya satu-satunya sedang cuti, jadi saya agak repot
ngurus toko ini sendirian. Sebagai ganti uang yang seharusnya mbak bayarkan pada
saya, mungkin lebih baik mbak kerja membantu saya di sini.. tanpa digaji tentunya.
Yah, itung-itung gaji yang seharusnya mbak terima itu dipakai untuk bayar ganti rugi
saya. Bagaimana?
Si biang onar tampak bingung, Ranu sempat curiga padanya. Jangan-jangan si
biang onar itu tak mengerti bahasa Indonesia..
Gimana? Gimana? Saya kurang paham.. Nah..jangan-jangan memang
benar..
Hmm, gini, jadi, mbak kerja di sini sampai pegawai saya kembali tapi tanpa
digaji..gimana? Ranu melambatkan nada bicaranya. Ia menekan tiap kata pada
kalimatnya, berharap si biang onar cepat paham dan cepat-cepat menghilang dari
hadapannya. Dia terlalu manis..
Ohhh... Si biang onar mengangguk-angguk, sepertinya ia baru paham, Bisa
aja sih, Pak.. tapi, saya kan kuliah, jadi mungkin waktunya nggak bisa dipastiin.. Si
biang onar diam sesaat, seperti mengingat sesuatu. Lalu, cepat-cepat menambahkan,
..lepas jam tiga, bisa kayaknya.. ng.. kalo ada jam kosong, saya juga ke sini deh,
Pak. Biang onar itu tersenyum lagi. Kali ini senyum penuh penyesalan.
Ranu makin tak tega melihat biang onar itu. Bisa-bisa ia keceplosan
mengikhlaskan semuanya kalau terlalu lama disuguhi senyum manis gadis itu.
Jadi? Ranu menyodorkan tangan kanannya. Salaman sebentar, lalu usir dia
pulang!
Biang onar itu mengangguk. Perlahan, ia mengulurkan tangan kanannya dan
menjabat tangan Ranu. Jantung Ranu berdebar seketika. Bi..bisa deh, Pak. katanya,
Ng, makasih banyak, Pak.. terima kasih karena sudah memahami kondisi kantong
anak kosan..satu hari nanti, kalo..kalo saya ada uang lebih, saya pasti kasih ganti rugi
yang betulan ke bapak... Si biang onar memamerkan gigi putihnya dengan pipi yang
semakin merah muda. Terlalu manis..terlalu manis..
29
Kamu bisa mulai kerja besok, ya.. untuk hari ini sebaiknya istirahat dulu
deh.. Ranu merasakan tangannya berkeringat, cepat-cepat ia menarik tangannya yang
menjabat tangan mungil si biang onar. Lantas, ia menunjuk plester-plester yang
menempel di tubuh si biang onar sebagai pengalihan, itu masih butuh diistirahatin
kayaknya.. Kalimat bernada prihatin itu meluncur keluar begitu saja dari mulutnya.
Ranu sedikit kaget. Gadis ini harus cepat-cepat diusir sebelum mulutnya menyerocos
tak terkendali.
Si biang onar mengusap-usap plester di lengannya, Ah, enggak pa-pa kok,
Pak.. katanya. Terburu-buru. Kalo gitu, saya permisi sekarang, Pak.. ditunggu
temen di kampus.. mari, Pak..
Si biang onar berdiri dan berbalik, menabrak kursi plastik yang barusan
didudukinya hingga jatuh. Ranu refleks berdiri, khawatir. Ia sudah menduga gadis itu
akan melakukan kekacauan di dalam tokonya yang sempit. Nggak apa-apa itu,
mbak?
Si biang onar menoleh, tampak seperti ingin menangis, tapi gadis itu
tersenyum dan menggeleng, Nggak pa-pa, Pak.. ma..mari, Pak.. katanya sambil
mengembalikan kursi itu ke posisinya semula.
Yaa, cepat pergi sebelum aku berubah pikiran!!
Gadis itu meninggalkan toko dengan langkah besar-besar. Ranu masih
memperhatikannya berjalan menyeberang kembali ke gedung kampusnya. Siapa tahu
manusia ceroboh itu akan mengacau di jalanan lagi jika tidak diawasi.
Ranu mendadak teringat sesuatu, ia menarik laci meja kerjanya. Foto Aster
ada di situ. Ia merasa berdosa, dalam hati Ranu berbisik,
Sayang, kamu tetap yang termanis dalam hidupku..
30
31
TUMBUH DAN BERSEMI
DEBARAN jantungku tak terkendali.
Bikin semburat merah muda tiba-tiba muncul di pipi.
Ada apa ini?
Iris bengong di depan pos satpam di kampusnya. Tangannya yang tadi berjabat
dengan Pria Bunga kini berkeringat. Gugupnya masih belum hilang. Hampir tiga
puluh menit ia hanya berdiri diam di sana. Pikirannya tertinggal di toko kecil yang
tadi ia kunjungi. Bahkan, ia tak membalas lambaian tangan Eta yang sudah kembali
dari laboratorium.
IRIS!!! Eta meneriaki wajah Iris kuat-kuat, Iris melonjak saking kagetnya.
Ia nyengir lebar sesudahnya. Doyan banget bengong ini anak satu! Ckckck..
Gue lagi ngitungin motor di parkiran!
Lu udah ketemu si tukang bunga itu?
Iris mengangguk, dalam hati menyahut: Justru gara-gara itu, tadi gue
bengong!!!!
Terus gimana? Dosa-dosa lu kemaren akhirnya diampuni gitu aja?? Eta
tampak bersemangat dengan dugaannya barusan. Iris menggeleng, wajah Eta langsung
berubah drastis, Yaaahh, tapi bayarnya gimana? Gue betulan lagi nggak ada uang
ini..
Bayarnya nggak dalam bentuk uang, ta..
Eta melotot, LU BAYAR PAKE APAAN??!! ia meremas bahu Iris, tuh
om-om ngegodain lu tadi??? Astagaaaaaa!!!!
Iris menempeleng kepala Eta, beberapa orang tampak mencuri dengar meski
tanpa melirik mereka berdua, Enggak gitu juga, taa.. nuduh aje lu!!
Enggak gitu gimana? Kalo lu digodain kita laporin polisi aja! Ini namanya
pemerasan!!
Ihhh, dengerin gue dulu apa, ta!! Gini.. Iris menarik napasnya sebelum
menjelaskan pada Eta, ..si Pak Ranu itu, nyuruh gue kerja di tokonya. Si ndut lu lagi
cuti, jadi dia nggak ada yang bantuin. Jadi lah gue disuruh kerja di sana, tanpa
digaji..
What?? Hell-oooo!! Lu mau aja nggak digaji gitu?? Eta sewot.
32
Lah, kan kemaren gue ngelindes bunga-bunga di tokonya ampe nggak
berbentuk gitu, ta.. masih bagus gue nggak dipaksa bayar pake duit kan.. jadi gue sih
oke aja..
Eta manggut-manggut, Tapi, betulan lu nggak digodain, Ris?
Enggaaaaaakkkk, Eta sayaaaaaangg!! Pak Ranu baik banget gitu!!
Tapi mukanya rada kayak om-om mesum gitu, Ris! Hahaha..
Ada juga gue yang jadi mesum gara-gara liat manusia satu itu.. Iris ngikik
dalam hati.
Jadi, mulai ngebabu di situ kapan? Eta menunjuk ke arah toko bunga Ranu
dengan dagunya, Gue nggak kena jatah juga kan, gara-gara bertanggung jawab atas
izin lu ngebawa motor matic gue kemaren? Eta terlihat enggan ikutan kerja tanpa
digaji. Siapa pula yang mau melakukan hal seperti itu kecuali karena merasa punya
salah?
Iris menggeleng, tertawa, Ya enggak lah ta, itu mah gue aja sendirian..haha,
gue mulai kerjanya besok sore.. dan gue harap lu nggak ngebocorin soal ketololan gue
ini ke nyokap gue!
Eta manggut-manggut lagi, Enggak bakal, Ris! Gue juga kan yang bakal kena
nantinya!! Eta diam sebentar, kemudian memasang tampang serius, Eh, tapi, kalo
nanti lu digodain, kita harus lapor polisi, Ris!!
Enggak akan, Eta!!!
Eta mengelus perutnya, melirik Iris, Ngomong-ngomong, lu nggak ngerasa
laper, Ris? Kita kan belom sarapan tadi..
Iris baru sadar, perutnya meronta minta diisi. Sebelum Eta mengusulkan
tempat makan, Iris buru-buru menggeleng, Please, ta.. No soto today..
Dua bungkus nasi uduk lenyap tanpa sisa, dua gelas es teh manis hanya tinggal
es nya saja. Iris dan Eta telah selesai menunaikan ibadah makan mereka. Sarapan pagi
sekaligus makan siang, nasib anak kos berkantong tipis yang kesiangan. Iris duduk di
jendela kamar kosnya, di lantai dua sebuah rumah lumayan besar yang sebetulnya tak
begitu jauh dari kampus. Rumah itu terletak di gang kecil yang hanya cukup untuk
lewat satu mobil saja. Seperti biasa, Iris melakukan ritual bengong-memandangi-
33
langit-nya. Eta merapikan sisa-sisa ke-barbar-an mereka di lantai. Ia melempar
sampah-sampah itu ke dalam keranjang plastik di belakang pintu kamar mereka
berdua.
Kosan Iris merupakan sebuah rumah khusus kosan bertingkat dua yang terdiri
dari delapan kamar tidur ukuran 3x3 meter berjajar mirip kamar asrama dan dua
kamar mandi serta satu ruang tamu, dengan empat kamar tidur dan satu kamar mandi
di masing-masing lantainya. Tak ada dapur di sana. Kamar Iris ada di lantai dua. Dari
kamar Iris, gedung kampusnya dapat terlihat jelas menjulang seperti tiang penyangga
langit.
Ris, ngomong-ngomong, tadi gimana ketemu ama si tukang bunga itu? Eta
tiba-tiba bersuara. Ia duduk di pinggir kasurnya sendiri, tepat di seberang jendela
tempat Iris duduk. Iris mengalihkan pandangannya dari warna biru langit yang
membius kepada Eta,
Eh? Kenapa?
Ituu, tadi lu ketemu ama si tukang bunga itu gimana? Lu belum cerita ke
gue..
Ah! i..itu..iyaa.. namanya Ranu..ehem.. Pak Ranu.. Iris mencoba mengingat
pembicaraannya dengan Pria Bunga tadi, meski yang menempel dalam ingatannya
hanya manusia tampan, berkemeja kotak-kotak panjang digulung hingga ke lengan,
bicara dalam bahasa yang asing. Yaaa..gitu dah, ta.. pokoknya gue disuruh kerja
tanpa digaji gitu deh.. gue.. nggak begitu inget kata-kata persisnya.. Iris berdeham
pelan kemudian.
Lu beneran nggak digodain, kan??
Iris merasa tenggorokannya tercekat mendadak. Buset, ta! Dari tadi lu nanya
begituan mulu!! Ia batuk-batuk sedikit.
Eta tertawa, Enggak gitu, Ris, soalnya gue bingung aja.. lu tuh kayak korban
pelecehan seksual gitu dari tadi!! Hahahaha!! Bengong-bengong aneh gimanaaaaa
gitu!!! HAHAHAHAHAHA..
SIALAN!!! Iris melempar apa saja yang terjangkau tangannya ke arah Eta:
kaus kaki di pinggir jendela. Eta merunduk, kaus kaki yang dilempar Iris meleset dari
sasaran.
Eh, tapi, lu kerja di sana sampe kapan?
Iris mengangkat bahu, Enggak tau juga sih. Tergantung si Egi baliknya
kapan.
34
Si Egi, si Egi, berasa akrab aja, Koko Ndut gue tuh!
Dih! Mending si Egi daripada Koko Ndut! Ntar kalo gue akrab sama
orangnya, gue aduin loh!! Iris menjulurkan lidahnya. Eta buru-buru melempar kaus
kaki yang tadi tergeletak di lantai tepat ke wajah Iris.
Awas lu yee kalo sampe ikutan naksir dia juga!!!
Iris merunduk, Gue nggak suka yang bentuknya kayak manusia salju gitu sih!
Weeeekkk..
Kaus kaki yang dilempar Eta meluncur ke luar jendela. Iris tertawa jahil, Ta,
itu kan kaos kaki lu tauuu!!! HAHAHAHHAHA!!
Eta melotot garang, IRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIISSSSSSS!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Plester terakhir sudah ditempel Iris di daerah lengannya. Ia memandangi
refleksi dirinya dalam cermin di lemari baju. Rasanya ia ingin tertawa melihat plester-
plester yang menghiasi lengan dan kakinya selama dua hari belakangan itu. Plester-
plester itu mengingatkannya pada sekumpulan tentara yang terluka di film-film
perang orang bule.
Lu udah kelar belom? Eta melongokan kepalanya dari pintu, Ayo
berangkat!
Iyeeee bawel!! Iris cepat-cepat menyusul Eta.
Mereka tiba di kampus tepat lima menit sebelum dosen masuk. Iris langsung
diberondong pertanyaan-pertanyaan seputar insiden ketololannya dua hari lalu oleh
teman-teman sekelasnya. Persis kayak wartawan infotainment yang sering ia lihat di
televisi.
Ris, lo kecelakaan ya??
Gue denger rem motornya blong ya?
Beneran nabrak toko bunga?
Ih..parah banget, itu yang diplester luka-lukanya ya??
Katanya ngelindes tukang bunganya juga ya??
Iris pasang muka jutek. Heran, gosip selalu menyebar cepat kayak virus
influenza. Iris menggeleng untuk celetukan terakhir yang ngawur,
35
Bukan tukang bunganya yang gue lindes! Tapi bunganya!! Iris beringsut ke
kursi favoritnya, kursi di dekat jendela. Ia berharap kelas hari itu cepat selesai.
Pukul dua belas siang adalah waktu di mana Iris akan duduk di dekat jendela
kelasnya sambil senyum-senyum memandangi langit. Kali ini, ia menyumpal kedua
telinganya dengan earphone. Ia enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol
seputar insiden tololnya seperti tadi pagi. Eta barusan mengajaknya turun mencari
makan, tapi ia tolak. Ia bosan makan soto. Heran, padahal si ndut yang menjadi
incaran Eta sedang cuti, tapi manusia satu itu tetap saja hobi makan soto depan
kampus. Lama-lama Iris curiga, jangan-jangan bukan si ndut yang diincar Eta, tapi
tukang soto!
Perlahan, mata Iris berpindah ke arah jalan raya. Jam-jam segini, kendaraan
yang lalu lalang tak sepadat pada pagi dan sore hari. Jam-jam orang berangkat kerja
dan pulang kerja. Mata Iris bergerak lagi, berpindah ke pertokoan di seberang
kampusnya. Toko-toko buah, toko-toko bunga.. matanya parkir di toko bunga yang
tak asing lagi dalam ingatannya. Toko bunga Ranu and Lilacs Florist. Seorang pria
sedang sibuk melayani pelanggannya.
Pria Bunga..
Iris menikmati pemandangan Pria Bunga bolak-balik menemani pelanggannya
memilah bunga. Pria Bunga terlihat menunjuk beberapa jenis bunga, mungkin
memberi saran pada si pelanggan yang kini tampak mengangguk-angguk pelan. Iris
sendiri tak pernah tahu jenis-jenis bunga. Dia cuma tahu mawar dan bunga matahari.
Itu saja, titik. Pria Bunga bersalaman sebentar dengan pelanggannya sebelum si
pelanggan kembali lagi ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Pria Bunga
kemudian mengambil beberapa tangkai bunga dari ember-embernya. Semua yang tadi
ia tunjuk. Agak lama Pria Bunga berjongkok di depan masing-masing ember sebelum
akhirnya masuk kembali ke tokonya setelah tangannya penuh dengan bunga yang
berwarna-warni. Iris menepuk-nepuk kedua pipinya. Sadar, Ris.. Ranu itu suaminya
Lilac, Ris.. Suami orang..
Iris kembali menatap langit, menikmati alunan lagu dari sebuah band ternama
di Jepang yang terdengar di telinganya.
36
kimi he to yume wa ima me no mae de kiramei teru
hanabira no mai furu you na yuki ga shukufuku shi ta2
Ta, gue duluan ya! Iris menepuk bahu Eta pelan. Eta masih sibuk
menjejalkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia mendongak,
Lu balik jam berapa?
Iris mengangkat bahu, Tergantung, gue juga belum tau..
Ati-ati ya, Ris.. kalo ada apa-apa telepon gue!
Iris mengangguk. Eta buru-buru menambahkan, Kalo digodain, lapor
polisi!!!
Lapor Komnas HAM sekalian, Ta!!
Iris berlari-lari kecil melewati area parkir motor, menyeberang jalan dan diam
sebentar di depan toko Ranu and Lilacs Florist. Di dalam toko, Pria Bunga sibuk
merangkai bunga. Iris menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah
masuk.
Permisi..
Pria Bunga mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk dan kini menatap
Iris. Dia tersenyum, senyuman yang menyihir jantung Iris untuk bermain orchestra
perkusi seketika, Ah, sudah selesai kuliahnya?
Iris mengangguk, berusaha memberi kekuatan pada lidahnya agar tidak kaku
mendadak, Sudah, Pak..
Uhm..tolong bunga-bunga yang di depan itu kamu semprotin air ya..
Penyemprotnya ada di deket ember yang warna kuning.. Pria Bunga menunjuk ke
arah ember kuning di sebelah kiri Iris. Iris mengangguk pelan. Ia meletakkan tasnya di
kursi plastik dekat pintu masuk.
Tasnya taro di sebelah sini aja, Ris.. Pria Bunga menunjuk sisi meja tempat
ia sedang merangkai bunga. Iris terpaku di tempatnya. Baru kali itu ia mendengar Pria
Bunga memanggil namanya, bukan mbak. Rasanya begitu..
2 Mimpi itu kini untukmu, berkilauan di depan mata. Salju yang menari seperti daun bunga pun
memberkatimu. (Larc en Ciel - Bless)
37
Eh, kalau.. kamu keberatan saya panggil Ris, saya bisa..
Ah, eng..enggak, Pak.. Iris cepat-cepat menggeleng, Sa..ya... cuma kaget
aja..soalnya biasanya kan..
Umm, yaaa... karena... kamu resmi jadi pegawai di sini, jadi saya rasa lebih..
nyaman.. kalau saya panggil nama kamu.. tapi kalau kamu keberatan..
Iris menggeleng, tersenyum, Sa..saya enggak keberatan kok, Pak..
Iris lalu meletakkan tasnya di tempat yang tadi Pria Bunga tunjukkan.
Langkahnya kaku. Seluruh sendinya mendadak kaku.
Bunga.. di luar.. semprot.. Iris menggerakkan tangannya yang seperti kurang
oli, menunjuk ke arah bunga di luar. Lidahnya juga ikut-ikutan kram, dan ia merasa
pipinya menghangat.
Pria Bunga menatapnya dengan heran, mengangguk pelan-pelan, Iya.. tolong
disemprot.. Katanya lambat-lambat.
Iris memaksa otot kakinya bergerak, mengarahkannya untuk keluar toko dan
mengikuti perintah Pria Bunga. Ia merasa orchestra perkusi dalam jantungnya makin
kencang suaranya. Iris menyemprotkan air ke bunga-bunga yang ada di luar toko.
Tepat seperti apa yang diperintahkan Pria Bunga. Hanya saja, ia tak bisa
menghentikan matanya untuk mencuri pandang ke dalam toko. Ke satu titik di mana
Pak Ranu yang selama ini ia juluki Pria Bunga sedang merangkai bunga dengan
serius.
Dia suami orang, Iris.. Dia suami orang..
Iris melirik papan nama toko bunga yang kini menjadi tempatnya bekerja
untuk mengganti rugi: Ranu and Lilacs Florist. Sudah berkali-kali ia mengeja papan
nama itu. Sudah berkali-kali juga ia meyakini dirinya bahwa Pak Ranu adalah suami
orang, suami si Lilac itu. Berkali-kali juga ia berusaha mengingkari perasaan aneh
dalam hatinya tiap kali ia melihat Pak Ranu karena keyakinannya itu. Tapi, Iris
bersumpah, ia tak tahu kenapa ia sangat menyukai cara Pak Ranu memanggil
namanya tadi. Ris yang diucapkan Pak Ranu tadi terasa berbeda di telinganya,
menembus hingga ke hatinya. Menggema dalam kepalanya.
Permisi.. Seseorang menyentuh bahu Iris pelan, mengembalikannya dari
dunia mungil dalam kepalanya. Iris menoleh, ..saya mau pesan buket bunga, mbak..
Iris buru-buru pasang senyum ramah, silakan langsung ke dalam saja, Pak..
Lelaki yang baru datang itu bergegas masuk ke dalam toko. Pak Ranu berdiri,
menjabat tangan lelaki itu dan bercakap-cakap dengannya. Iris kembali sibuk dengan
38
bunga-bunganya. Sedikit berharap suara Pak Ranu yang tadi memanggil namanya
segera menguap dari dalam kepalanya.
Iris melirik jam metalik di pergelangan tangannya. Tepat pukul delapan
malam. Ia memandang ruang dalam toko bunga kecil itu. Ternyata pekerjaannya tak
semudah yang terlihat. Ia harus menyapu toko sebelum tutup agar tidak kotor besok
pagi. Ia juga harus membuang sampah bunga-bunga yang layu, tangkai, dan daun ke
tong sampah yang letaknya agak lumayan jauh. Belum lagi mengangkut ember-ember
bunga yang aduhai beratnya masuk ke toko sebelum mereka tutup. Dan penyemprot
air itu..duh! Dia heran, bisa-bisanya Egi tetap bertubuh gempal padahal mengerjakan
tugas-tugas seberat itu. Malah Pak Ranu bilang, Egi juga mengantar bunga-bunga
pesanan kepada para pelanggan! Iris sedikit bersyukur karena tak mahir mengendarai
motor. Jadi ia hanya kebagian jatah jaga toko sementara Pak Ranu yang mengirimkan
bunga-bunga karyanya sendiri ke para pelanggan.
Iris menoleh ke belakang, Pak Ranu tengah mengunci pintu masuk tokonya.
Lama kemudian, ia selesai. Iris tak tahu kenapa bos barunya itu selalu lama berkutat
dalam urusan kunci mengunci pintu.
Rumah kamu di mana, Ris? Pak Ranu berdiri di sebelah Iris. Mendadak Iris
merasa tubuhnya menyusut beberapa senti. Pak Ranu terlalu tinggi baginya.
Deket sini, Pak.. saya bisa naik ojek kok, Pak.. Iris nyengir. Ia menunjuk
kumpulan ojek yang mangkal di dekat gedung kampusnya.
Kalo gitu naik ojek yang kenalan saya aja, sudah malam begini, rawan.. Pak
Ranu langsung melambai ke arah kumpulan ojek itu sebelum Iris sempat mengiyakan.
Satu ojek segera menghampiri mereka.
Ma..makasih ya, Pak.. Iris tersenyum kikuk, sebetulnya saya ada ojek
langganan juga..
Pak Ranu tertawa pelan, Oh gitu? Ah, ya sudah nggak pa-pa naik yang
kenalan saya ini aja..ahaha... Pak Ranu menepuk bahu si abang ojek itu, Titip, Bang
Jay. Ini pegawai baru saya.
Si abang ojek yang disapa Bang Jay itu mengangguk dan terkekeh pelan, Sip,
bos! Dijamin amaaann.. katanya.
39
Iris segera duduk di belakang Bang Jay itu. Ia menganggukkan kepalanya ke
arah Pak Ranu, Mari, Pak..
Pak Ranu tersenyum, balas mengangguk, Makasih ya, Ris.
Iris tak berani mengangkat wajahnya. Ia terus tertunduk hingga kaki-kaki Pak
Ranu yang berdiri di pinggir trotoar tak terlihat lagi.
Neng, ini rumahnya di sebelah mana? Bang Jay tiba-tiba bersuara.
Ah, itu di... rumah nomor 31B, Pak.
Okee. Bang Jay diam sebentar, lalu melanjutkan, ngomong-ngomong,
Neng pegawai baru apa cuma gantiin si Egi, Neng?
Oh, itu.. saya yang tempo hari nabrak tokonya Pak Ranu itu loh, Bang.
Ooh..lah kok bisa jadi kerja di situ?
Yaah, itung-itung ganti rugi, Bang. Saya anak kosan, kalo ganti uang, saya
nggak bisa. Iris terkekeh pelan. Bang Jay mengangguk-angguk kecil.
Pak Ranu itu orangnya baik, Neng. Enak deh sama dia mah.
Iris baru berniat menanyakan status Pak Ranu pada Bang Jay ketika motor
berhenti di depan kosan Iris, betul yang ini, Neng rumahnya?
Ah, iya iya betul. Iris buru-buru turun dari motor, menyerahkan selembar
sepuluh ribuan kepada Bang Jay, makasih ya, Bang.
Sama-sama, Neng. Ojek itu berputar dan menghilang di ujung jalan.
Iris melangkah masuk, pelan-pelan ia bergerak ke lantai dua rumah kosan itu,
lalu mengetuk pintu kamarnya.
Taa, gue pulang, Taa.. Ia berbisik pelan.
Terdengar gusrak pelan, suara gerendel pintu digeser, lalu muncul lah kepala
Eta dari balik pintu. Maaf, Mbak, saya nggak pesen bunga tuh. Eta nyengir jahil.
Sialan lu!!! Iris mencubit lengan sahabatnya itu.
Haha, gimana Neng kerja jadi tukang bunga nya? Enak nggak? Eta buru-
buru duduk manis di kasurnya, seakan siap mendengarkan cerita Iris.
Iris meletakkan tasnya di meja belajar dekat jendela. Ia merebahkan diri di
kasurnya. Enggan bercerita banyak. Terutama bagian di mana ia merasa aneh tiap kali
melihat Pak Bosnya, Pak Ranu itu. Aneh. Iris butuh nama untuk perasaannya itu.
Cuapeeekk, Bos! katanya.
Enak nggak?
Capek, Ta! Gue kayak kuli di sana!
40
Oohh, emang cocok, Ris, ama tampang lu yang kayak kuli panggul pasar
tanah abang!! Eta ngakak. Iris bangkit dari kasur dan melempar gulingnya ke arah
Eta.
Dasar tukang soto! Iris meleletkan lidahnya.
Dasar tukang bunga! Eta melempar guling Iris kembali, Omong-omong,
ada kabar terbaru seputar Egi nggak?
Iris menggeleng, Belum. Gue nggak tau kapan dia balik.
Nyesel juga, harusnya waktu gue ngajak dia kenalan, minta nomernya
sekalian ya hahahahhaa!
Nggak bakal dikasih, Ta! Hahaha!
Sialan! Eta terdiam sebentar, tiba-tiba dia menyeletuk, Eh, lu masih nggak
digodain kan, Ris?
Sumpah ya, Ta, sekali lagi lu nanya kayak gitu, langsung gue kasih payung
cantik!!
Begitu mata kuliah terakhir selesai, Iris cepat-cepat menjejalkan buku-buku
kesehatannya ke dalam tas, meninggalkan kelas seperti bayangan, dan pergi ke toko
Pak Ranu. Selalu ada rasa menggelora di dalam dadanya tiap kali dia akan kembali ke
toko bunga itu lagi. Iris masih belum bisa menamai rasa itu.
Ris, nasib makalah kita buat minggu depan gimana, nih? Eta menarik lengan
Iris sebelum dia berlari keluar kelas. Tinggal dikit lagi sih...
Iris nyengir, Lu kerjain ya, Ta, gantinya...kerjaan lu di kosan, gue kerjain
semua deh selama satu minggu! Ya? Ya? Ya?
Semuanya ya?
Iyaa! Udah ya, gue buru-buru! Iris melepaskan tangan Eta dari lengannya,
melambai dan meninggalkan Eta tanpa menoleh lagi.
Dari kejauhan, Iris melihat Pak Ranu sedang berusaha mengikat karangan
bunga yang cukup besar di keranjang motornya. Iris mempercepat langkahnya,
menyeberangi jalan, dan akhirnya berdiri di samping motor Pak Ranu.
41
Iris mencondongkan tubuhnya, melongok Pak Ranu yang berjongkok di sisi
lain motor. Wajah serius itu terlihat lucu sekali bagi Iris. Dia tersenyum, Butuh
bantuan, Pak?
Pak Ranu mendongak dengan kaget. Sepertinya sedari tadi Pak Ranu tidak
sadar ada Iris berdiri di depannya. Pak Ranu tertawa.
Ah, Iya nih, untung kamu udah dateng. Ahaha... Pak Ranu menunjukkan tali
yang sedang berusaha ia tautkan. Tolong pegang di sini, Ris.
Iris menekan bagian tali itu kuat-kuat. Ia dapat merasakan embusan hangat
napas Pak Ranu di wajahnya dari jarak sedekat ini. Rasanya detik berlalu dengan
sangat lambat saat itu. Mendadak, Iris merasa kakinya tidak lagi menjejak trotoar. Iris
pikir itu hanya perasaannya saja sampai Pak Ranu berteriak panik.
IRIISSS, AWAASS!!!!!
Pak Ranu melompat mundur tepat sebelum Iris dan motor itu menimpa
tubuhnya. Rupanya Iris tanpa sadar membebankan tubuhnya di motor tersebut. Nyaris
saja Iris mencium trotoar kalau Pak Ranu tidak cepat-cepat menangkap tubuhnya.
BRAK!!!!!
Motor berisi karangan bunga itu kini tergeletak di trotoar, dengan ujung sepatu
Iris tersangkut di joknya. Pak Ranu menarik tubuh Iris yang separuh gemetar dan
mendudukkannya di trotoar. Beberapa orang yang lewat di sana membantu Pak Ranu
untuk mengembalikan motor berisi karangan bunga itu ke posisi wajarnya.
Kamu nggak pa-pa, Ris? Pak Ranu cepat-cepat menghampiri Iris setelah
memastikan motor dan karangan bunga itu masih dalam keadaan layak. Pak Ranu
berjongkok di hadapan Iris dengan wajah panik. Memperhatikan tangan dan lengan
Iris dengan khawatir.
Iris menggeleng. Tidak, dia tidak terluka. Dia syok. Eng..enggak pa-pa,
Pak... Iris melirik motor di belakang Pak Ranu. Merasa bersalah. Itu...
Ah, itu mah nggak pa-pa, Ris. Masih layak kok, bisa saya betulin sedikit.
Pak Ranu tersenyum, Duduk dulu deh kamu di dalam. Biar saya cari air dulu, tangan
kamu dingin banget. Pak Ranu menyentuh tangan Iris sedikit. Iris merasa tangan Pak
Ranu lah yang justru terlalu hangat. Pak Ranu membantu Iris berdiri, dan
membawanya masuk ke toko. Iris duduk di kursi plastik dekat pintu. Masih syok. Tak
habis pikir kenapa belakangan ini selalu melakukan kecerobohan di sekitar Pak Ranu.
Kecerobohan yang merugikan. Bunga-bunga yang ia lindas, dan kini motor berikut
karangan bunga di atasnya tak sengaja ia gulingkan.
42
Sebentar, saya cari air dulu. Kamu duduk aja di sini, ya.
Ng..nggak usah, Pak... Iris refleks menarik lengan Pak Ranu. Pak Ranu
menoleh. Menatap tangan Iris yang menggenggam lengannya. Bumi seakan berhenti
berputar sejenak. Membiarkan jemari Iris merasakan denyutan nadi di lengan Pak
Ranu yang mendadak terpacu. Iris cepat-cepat menarik tangannya lagi. Anu.. saya..
nggak apa-apa kok, Pak.
Pak Ranu tampak mengerjapkan matanya, sebelum akhirnya berkata, Nggak
nggak, kamu harus minum buat ngilangin kaget. Oke? Tunggu di sini ya.
Iris memandangi punggung Pak Ranu yang berlalu. Tangannya yang barusan
menggenggam lengan Pak Ranu ia remas-remas. Seakan berusaha menetralisir tangan
itu. Ia merasa masih menggenggam lengan Pak Ranu di sana. Masih merasakan
denyut nadi Pak Ranu yang begitu cepat. Kenapa... cepat?
Ini airnya, Ris. Pak ranu tiba-tiba sudah muncul lagi di hadapan Iris sambil
menyerahkan sebotol air mineral.
Iris mengambilnya dengan hati-hati. Ma..makasih, Pak. Maaf, tadi..tadi saya
nggak sengaja...
Pak Ranu menggeleng, Itu kecelakaan, Iris. Nggak mungkin kan kamu
sengaja? Udah, diminum dulu airnya.
Iris meneguk air itu sekali. Maaf, Pak... ia benar-benar merasa bersalah.
Akan terasa lebih baik justru kalau Pak Ranu memarahinya.
Udah, nggak apa-apa. Pak Ranu menepuk bahu Iris pelan. Kamu duduk aja
dulu di sini, ya. Saya urus bunganya dulu.
Pak Ranu melangkah keluar toko. Iris memperhatikan sosok itu dengan
seksama. Pak Ranu terlihat memperbaiki karangan bunga di atas motor yang tadi tidak
sengaja Iris gulingkan. Kenapa Pria Bunga-nya tidak marah? Sungguh, detik itu, Iris
merasa Pak Ranu terlalu baik untuk menjadi suami orang.
Iris duduk di depan toko. Memperhatikan jalanan Jakarta yang lengang di
hadapannya. Hanya pagi hari di akhir minggu seperti itu jalanan Jakarta menjadi sepi
kendaraan. Iris datang kepagian. Pak Ranu ternyata malah belum datang. Padahal jam
metaliknya sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Dia mengeluh
43
dalam hati, benar kata Eta tadi pagi. Seharusnya dia datang pukul sepuluh saja.
Sebuah bajaj tiba-tiba menepi di depan Iris. Ada bunga-bunga yang menyembul
keluar dari pintu penumpangnya. Iris berdiri ketika pintu bajaj itu terbuka. Pak Ranu
keluar dari sana. Terkejut melihat Iris yang sudah berdiri manis di depan toko pagi-
pagi begini.
Loh, Ris, kamu nggak kuliah?
Iris menggeleng, Nggak, Pak. Tersenyum, Sabtu-Minggu saya libur.
Pak Ranu ber-oh panjang sebelum akhirnya menurunkan ember bunga dari
bajaj ke trotoar. Iris menghampiri, berusaha ingin membantu.
Pak Ranu menggeleng, Jangan, Ris. Berat. Ia mencari-cari sesuatu dalam
saku celana jins nya. Menarik keluar sekumpulan kunci dan menyerahkannya pada
Iris, Kamu bukain pintunya aja, nih.
Kuncinya yang mana, Pak?
Kamu cobain aja satu-satu, saya nggak pernah hapal kunci mana untuk pintu
mana soalnya.. Pak Ranu tertawa pelan.
Iris memandangi kunci-kunci dalam tangannya. Jelas saja Pak Ranu selalu
lama berkutat dengan urusan kunci-mengunci pintu. Kunci yang dimilikinya ada
beraneka jenis dan semuanya dikumpulkan dalam satu gantungan kunci!
Bisa nggak, Ris? Pak Ranu berdiri di samping Iris yang sudah satu menit
mencoba tapi belum berhasil juga.
Nah! Bisa nih, Pak. Iris menjerit girang seakan baru saja menyelesaikan
teka-teki silang. Ia mendorong pintu toko hingga terbuka. Pak, kalau belanja selalu
naik bajaj, ya?
Pak Ranu menggeleng. Biasanya naik motor, Ris.
Motornya...kenapa, Pak?
Motornya lagi di bengkel, Ris. Knalpotnya lepas.
Iris panik, Lepas?!! Gara-gara kemarin jatuh, Pak?
Bukan, Ris...udah lama emang agak bermasalah knalpotnya. Pak Ranu
menepuk kepala Iris pelan, tersenyum. Senyum yang bikin Iris melupakan paniknya
dan sibuk berkonsentrasi memberi kekuatan pada kedua kakinya yang mendadak
lemas. Bukan gara-gara kemarin.
Be..betulan, Pak? Iris merasa curiga. Jangan-jangan Pak Ranu mengatakan
hal itu hanya untuk menenangkannya saja.
44
Saya serius, Iris... Pak Ranu tersenyum lagi. Curiga Iris buyar seketika. Iris
mempertajam konsentrasinya. Daripada kamu mikirin knalpot motor, Pak Ranu
mengambil beberapa tangkai bunga dari ember di sebelahnya. Mending kamu belajar
bikin karangan bunga...
Eh? Saya nggak bisa, Pak... Iris menggeleng-gelengkan kepalanya.
Bisa..saya ajarin.
Pak Ranu menyeret Iris ke meja kerjanya. Mengambil gunting, dan perkakas
lainnya. Hari itu, sepanjang hari Iris belajar membuat buket bunga dan karangan
bunga. Sepanjang hari juga ia berdoa, semoga Pak Ranu tidak mendengar debaran
jantungnya dari jarak sedekat itu.
Ada perasaan aneh di dalam dada.
Perlahan mengakar.
Tumbuh.
Dan berbunga...
Iris mendadak punya hobi baru. Bahkan, ia tak sadar kalau ia punya hobi baru
selain menontoni awan berarak. Ya, mencuri pandang ke arah toko bunga tepat di
seberang kampusnya. Sudah seminggu dia bekerja di tempat itu. Sudah seminggu juga
hobi barunya itu ia jalani tanpa sadar. Iris selalu menikmati pemandangan Pak Ranu
yang sedang melayani pelanggan, sibuk memilah bunga dan menyarankannya pada
tiap pelanggan. Tak hanya itu, Iris juga mulai merasa betah kerja di toko bunga Pak
Ranu itu. Semua lelahnya tak terasa tiap kali ia mendengar Pak Ranu memanggil
namanya, tiap kali Pak Ranu tersenyum ramah padanya, tiap kali ia menontoni Pak
Ranu merangkai bunga secara diam-diam, tiap kali Pak Ranu mengajarinya membuat
karangan bunga, tiap kali Pak Ranu mengucapkan terima kasih padanya sebelum
Bang Jay mengantarnya pulang.
Iris tahu, Pak Ranu adalah suami orang. Suami si Lilac itu___
setidaknya itulah
yang ia yakini saat ini___
yang berarti adalah Pak Ranu itu pria terlarang. Pria terlarang
untuk dikagumi, untuk dipandangi, apalagi untuk dinikmati senyumannya. Tapi Iris
tak bisa menipu dirinya sendiri. Semakin ia berkata tidak, semakin melekat bayang
45
Pak Ranu dalam kepalanya. Mencuri jiwanya. Membuatnya sulit tidur di malam hari.
Membuatnya justru bermimpi di siang hari, mimpi untuk paling tidak ada di dekat
Pria Bunga-nya itu. Iris tak tahu, apakah dia sedang jatuh cinta pada bos-nya itu?
Dosakah jika ia jatuh cinta pada suami orang?
Ris, langitnya pindah ke jalan raya? Eta menyenggol bahu Iris pelan. Iris
nyaris melompat dari kursi karenanya. Eta cekikikan.
Gue lagi ngitung metromini! Iris melengos. Menyembunyikan wajah
paniknya. Berharap Eta tidak melihatnya.
Yaelah, ngeles aja kayak ojek! Eta menyodorkan roti-kasur dan duduk di
samping Iris. Hari ini kita anti-soto!
Kok? Iris melirik Eta yang agak manyun.
Soalnya, cacing di perut gue mulai demo minta ganti menu.
Telat! Gue udah mau muntah sejak seminggu yang lalu!
Eta mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya. Mengunyah roti-kasurnya.
Matanya tertumbuk ke satu titik. Iris memperhatikan perubahan air muka sahabatnya
itu. Dahi Eta mendadak berkerut. Iris tahu sahabatnya menangkap sesuatu di seberang
sana. Satu titik yang sudah seminggu ini Iris hapal tiap bagiannya. Eta cepat-cepat
menoleh ke Iris.
Ris, kok lu nggak bilang-bilang sih?
Bilang apa? Iris pura-pura tidak tahu.
Toko bunganya keliatan dari sini!
Ya, terus? Iris berdebar. Napasnya tertahan.
Kan gue enggak perlu ke tukang soto buat memantau Koh Egi!!
Hah?
Iris cepat-cepat merapikan berkas bahan makalahnya yang barusan ia
presentasikan bersama Eta. Apapun nilainya, Iris pasrah saja karena bukan dia yang
menyusun makalah tersebut.
Gue duluan, Ta! Iris menepuk bahu Eta pelan dan buru-buru meninggalkan
kelas. Rutinitasnya yang biasa selama seminggu ini. Semenjak Iris punya kewajiban
membayar hutangnya pada Pak Ranu. Kewajiban yang perlahan mulai dinikmatinya.
46
Sekumpulan stand-stand di parkiran kampus menghentikan langkah Iris. Ia
berbelok ke sana. Baru menyadari kalau sedang ada bazar di kampusnya. Iris berhenti
di salah satu stand, mendadak teringat gantungan kunci Pak Ranu yang cuma satu-
satunya itu. Iris senyum-senyum sendiri. Mengambil sebuah gantungan kunci
berbentuk bunga matahari. Membayarnya. Iris mengantongi benda itu. Cepat-cepat
Iris meninggalkan tempat itu. Ia akan menghadiahkan benda itu pada Pria Bunga-nya.
Iris mel