1
Nusantara | 9 SABTU, 14 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Serbasulit di Desa Kerontang Tosiani Warga Dusun Kemiri lebih banyak yang boro atau bekerja ke luar daerah menjadi buruh. Yang tertinggal hanya orang- orang tua. K AMIS (12/8) pagi, Sugimah, 75, me- longok gentong air di sudut rumahnya. Isi sudah tinggal separuh. De- ngan bantuan tetangga, ia menuang air di jeriken 17 liter untuk menambah isi gentong. Menghuni Dusun Kebon- dalem, Desa Kemiri, Kecamat- an Kaloran, Temanggung, Jateng, yang kerontang sepan- jang tahun memang sulit buat Sugimah. Dia dan suaminya, Wito, 99, tidak punya pilihan lain. Sudah puluhan tahun mereka bergan- tian memikul air dari sumber terdekat. Adapun mata air Belik berjarak 2 kilometer dari rumah mereka. “Biasanya sehari kami butuh sampai 10 jeriken air,” kata Sugimah. Belakangan, saat usia ber- tambah dan tenaga berkurang, pasangan renta ini pasrah me- nunggu saudara ataupun te- tangga yang berbaik hati men- carikan air untuk keduanya. Karena sekarang tidak cari air sendiri, penggunaan air pun diirit-irit. Sepuluh jeriken air dipaksakan untuk dua hari. Terlebih, kata Sugimah, kelu- arganya tidak ada yang mem- punyai sumur. Beberapa warga sekitar me- mang sudah yang menjajal pembuatan sumur dengan ke- dalaman antara 16 meter dan 20 meter. Tapi untuk mandi dan mencuci, aktivitas tetap ber- langsung di sumber air Belik. Celakanya, debit Belik ber- tambah kecil. Kalau sudah memasuki kemarau, airnya surut sehingga warga terpaksa mencari sumber air di tempat lain. Sumber air di dusun juga kering, hanya penuh saat peng- hujan. Jika kemarau sudah datang, air yang keluar dari sumber itu mengecil sehingga tidak cukup memenuhi kebu- “Desa ini dihuni sekitar 25% warganya. Sebanyak 75% lain- nya generasi muda yang sudah merantau ke daerah lain,” ung- kap Mukiyati. Kendati kekeringan menyer- gap mereka selama berpu- luh-puluh tahun, kata Muki- yati, desanya tidak pernah menerima bantuan air bersih dari Pemerintah Kabupaten Temanggung. “Sebenarnya kami sangat butuh air. Namun, caranya meminta bantuan ba- gaimana, kami orang desa kan tidak tahu,” katanya. 10 dusun kekeringan Melalui anggaran milik desa, Lurah Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Sugeng Rahadi ber- inisiatif mengalirkan air dari sumber di Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan, ke desanya melalui pipa paralon. Namun, karena jaraknya jauh, air yang mengalir pun kecil. Aliran air terhenti di masjid desa sehingga hanya cukup untuk keperluan air wudu. Desa Kemiri terdiri dari 10 dusun, yakni Kebondalem, Sig- ran, Mbogoran, Kemiri, Jang- kungan, Mlereng, Pringtali, Garon, Ngadiboyo, dan Mang- galang. Seluruhnya merupakan daerah kering. Di 10 dusun itu tinggal sekitar 1.000 KK. Dusun Jangkungan serta Dusun Mlereng merupakan kawasan paling parah untuk urusan kekeringan. Kedua du- sun tersebut sama sekali tidak mempunyai sumber air. Untuk keperluan mandi, mencuci, dan air minum, warga dua dusun mesti menempuh jarak sejauh sekitar 2 kilometer ke Kali Pro- go. Padahal air di kali itu kerap terlihat keruh. Sugeng mengaku prihatin dengan derita yang dialami war- ganya. Ia berharap ada solusi permanen untuk mengatasi ke- keringan di desa mereka. (N-4) tosiani@ mediaindonesia.com tuhan sekitar 130 kepala kelu- arga (KK) di dusun tersebut. Berburu air Jika sumber air sudah ke- ring, menurut Mukiyati, warga biasa berburu air ke desa-desa lain. “Biasanya yang paling sering kami ambil air dari Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari sini,” kata tetangga Sugimah ini. Masa-masa berburu air biasa dijalani warga saat memasuki puncak kemarau, yakni sekitar September. Namun karena ke- marau basah tahun ini--masih ada hujan meski frekuensinya jarang--sumber air pun menge- luarkan air walau kecil. Untuk sampai ke sumber air di Desa Ngemplak itu, ka ta Mukiyati, warga yang tergolong mampu akan meng- gunakan sepeda motor. Warga miskin harus menempuh jarak 7 kilometer itu dengan berjalan kaki. Dusun ini memang sangat kering. Warga hanya bisa ber- cocok tanam saat musim peng- hujan. Yang mereka tanam juga bukan padi, melainkan komoditas jagung, singkong, kopi, dan kayu sengon yang tidak butuh banyak air. Karena kering, mau apa saja serbasulit. Warga di daerah ini lebih banyak yang boro atau bekerja ke luar daerah menjadi buruh. Yang tertinggal hanya orang-orang tua. MITOSIANI KEKERINGAN DI TEMANGGUNG: Tiga anak mencari air di sungai yang telah mengering di Kabupaten Temang- gung, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Walaupun keruh, air yang mereka dapat tetap saja dikonsum- si untuk kebutuhan sehari-hari. KOMODITAS ini adalah bahan baku utama pembuatan rokok. Tanaman yang banyak dibu- didayakan petani di sejumlah daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah tersebut sudah dikembangkan sejak zaman penjajahan Belanda. Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Jatim mencatat tem- bakau rajangan kering Virginia voor oosgt milik petani Probo- linggo biasa dijual untuk me- menuhi pabrik rokok Gudang Garam, Sampoerna, Bentoel, Djarum, Niki Super, serta pu- luhan pabrik kecil setempat. Komoditas itu masih menjadi primadona petani. Itu sebabnya pemerintah kesulitan dalam mencari solusi pengganti tem- bakau dengan tanaman lain yang memiliki nilai ekono- mis setara. Pemerintah sendiri sudah menggelar program pembatasan industri rokok berdasarkan roadmap industri rokok 2007-2020. Sejak kapan tembakau mulai dibudidayakan di Nusantara? Profesor Denys Lombard, pengajar Sejarah Asia Tenggara di Paris, penulis buku Nusa Jawa Silang Budaya, menya- takan sejak 1603 James Scott sudah menyebutkan peng- gunaan tembakau yang luas di Banten. Pada 1626 Kompeni sudah mengepakkan penjualan ko- moditas itu di Batavia. Sepanjang abad ke-18, tem- bakau sudah dibudidayakan di Jawa. Bahkan berkembang secara luas di sejumlah daerah tanpa adanya peran dari bang- sa Eropa. Sekitar 1815, Thomas Stam- ford Raffles dalam buku The History of Java, menulis secara gamblang tentang tembakau yang dibudidayakan petani di Kedu dan Banyumas. Pen- duduk setempat menyebut ko- ASAL USUL Tembakau moditas ini dengan nama tom- baku atau sata. Hasil panen dari Banyumas dikirim ke Banten melalui Pekalongan. Sementara hasil panen dari Kedu diekspor melalui Semarang. Untuk budi daya di Jawa Timur, khususnya di Madura, tembakau yang dikonsumsi berasal dari Puger. Selama 15 tahun kemudian, Comte de Hogendorp menya- takan tembakau merupakan komoditas yang sangat penting di Jawa, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk perdagangan dengan pulau- pulau lain di Kepulauan Nu- santara. Petani biasa menjual daun tembakau rajangan. Tembakau kering rajangan bila berwarna merah itu pertanda rusak, berwarna hijau kurang baik, sedangkan tembakau kuali- tas bagus berwarna kuning. (BN/N-3) MI/BAGUS SURYO Kami mengambil air dari Desa Ngemplak, Kandangan yang berjarak 7 km.” Mukiyati Warga

Nusantara - ftp.unpad.ac.id fileberjarak 2 kilometer dari rumah mereka. ... sumber di Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan, ke ... kopi, dan kayu sengon yang

  • Upload
    lekhue

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Nusantara - ftp.unpad.ac.id fileberjarak 2 kilometer dari rumah mereka. ... sumber di Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan, ke ... kopi, dan kayu sengon yang

Nusantara | 9SABTU, 14 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

Serbasulit di Desa Kerontang

TosianiWarga Dusun Kemiri lebih banyak yang boro atau bekerja ke luar daerah menjadi buruh. Yang tertinggal hanya orang-orang tua.

KAMIS (12/8) pagi, Sugimah, 75, me-longok gentong air di sudut rumahnya.

Isi sudah tinggal separuh. De-ngan bantuan tetangga, ia me nuang air di jeriken 17 liter untuk menambah isi gentong.

Menghuni Dusun Kebon-dalem, Desa Kemiri, Kecamat-an Kaloran, Temanggung, Jateng, yang kerontang sepan-jang tahun memang sulit buat Sugimah.

Dia dan suaminya, Wito, 99, tidak punya pilihan lain. Sudah puluhan tahun mereka bergan-tian memikul air dari sumber terdekat. Adapun mata air Belik berjarak 2 kilometer dari rumah mereka.

“Biasanya sehari kami butuh sampai 10 jeriken air,” kata Sugimah.

Belakangan, saat usia ber-tambah dan tenaga berkurang, pasangan renta ini pasrah me-nunggu saudara ataupun te-tangga yang berbaik hati men-carikan air untuk keduanya.

Karena sekarang tidak cari air sendiri, penggunaan air pun diirit-irit. Sepuluh jeriken air dipaksakan untuk dua hari.

Terlebih, kata Sugimah, kelu-arganya tidak ada yang mem-punyai sumur.

Beberapa warga sekitar me-mang sudah yang menjajal pembuatan sumur dengan ke-dalaman antara 16 meter dan 20 meter. Tapi untuk mandi dan mencuci, aktivitas tetap ber-langsung di sumber air Belik.

Celakanya, debit Belik ber-tambah kecil. Kalau sudah me masuki kemarau, airnya surut sehingga warga terpaksa mencari sumber air di tempat lain. Sumber air di dusun juga kering, hanya penuh saat peng-hujan. Jika kemarau sudah datang, air yang keluar dari sumber itu mengecil sehingga tidak cukup memenuhi kebu-

“Desa ini dihuni sekitar 25% warganya. Sebanyak 75% lain-nya generasi muda yang sudah merantau ke daerah lain,” ung-kap Mukiyati.

Kendati kekeringan menyer-gap mereka selama berpu-luh-puluh tahun, kata Muki-yati, desanya tidak pernah menerima bantuan air bersih dari Pemerintah Kabupaten Temanggung. “Sebenarnya kami sangat butuh air. Namun, caranya meminta bantuan ba-gaimana, kami orang desa kan tidak tahu,” katanya.

10 dusun kekeringanMelalui anggaran milik desa,

Lurah Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Sugeng Rahadi ber-inisiatif mengalirkan air dari sumber di Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan, ke desanya melalui pipa paralon. Namun, karena jaraknya jauh, air yang mengalir pun kecil. Aliran air terhenti di masjid desa sehingga hanya cukup untuk keperluan air wudu.

Desa Kemiri terdiri dari 10 dusun, yakni Kebondalem, Sig-ran, Mbogoran, Kemiri, Jang-kungan, Mlereng, Pringtali, Garon, Ngadiboyo, dan Mang-galang. Seluruhnya merupakan daerah kering. Di 10 dusun itu tinggal sekitar 1.000 KK.

Dusun Jangkungan serta Dusun Mlereng merupakan kawasan paling parah untuk urusan kekeringan. Kedua du-sun tersebut sama sekali tidak mempunyai sumber air. Untuk keperluan mandi, mencuci, dan air minum, warga dua dusun mesti menempuh jarak sejauh sekitar 2 kilometer ke Kali Pro-go. Padahal air di kali itu kerap terlihat keruh.

Sugeng mengaku prihatin dengan derita yang dialami war-ganya. Ia berharap ada solusi permanen untuk mengatasi ke-keringan di desa mereka. (N-4)

[email protected]

tuhan sekitar 130 kepala kelu-arga (KK) di dusun tersebut.

Berburu airJika sumber air sudah ke-

ring, menurut Mukiyati, warga biasa berburu air ke desa-desa lain. “Biasanya yang paling sering kami ambil air dari Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari sini,” kata tetangga Sugimah ini.

Masa-masa berburu air biasa dijalani warga saat memasuki puncak kemarau, yakni sekitar September. Namun karena ke-marau basah tahun ini--masih ada hujan meski frekuensinya jarang--sumber air pun menge-luarkan air walau kecil.

Untuk sampai ke sumber air di Desa Ngemplak itu, ka ta Mukiyati, warga yang tergolong mampu akan meng-gunakan sepeda motor. Warga miskin harus menempuh jarak 7 kilometer itu dengan berjalan kaki.

Dusun ini memang sa ngat kering. Warga hanya bisa ber-cocok tanam saat musim peng-hujan. Yang mereka tanam juga bukan padi, melainkan komoditas jagung, singkong, kopi, dan kayu sengon yang tidak butuh banyak air.

Karena kering, mau apa saja serbasulit. Warga di daerah ini lebih banyak yang boro atau bekerja ke luar daerah menjadi buruh. Yang tertinggal hanya orang-orang tua.

MITOSIANI

KEKERINGAN DI TEMANGGUNG: Tiga anak mencari air di sungai yang telah mengering di Kabupaten Temang-gung, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Walaupun keruh, air yang mereka dapat tetap saja dikonsum-si untuk kebutuhan sehari-hari.

KOMODITAS ini adalah bahan baku utama pembuatan rokok. Tanaman yang banyak dibu-didayakan petani di sejumlah daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah tersebut sudah dikembangkan sejak zaman penjajahan Belanda.

Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Jatim mencatat tem-

bakau rajangan kering Virginia voor oosgt milik petani Probo-linggo biasa dijual untuk me-menuhi pabrik rokok Gudang Garam, Sampoerna, Bentoel, Djarum, Niki Super, serta pu-luhan pabrik kecil setempat.

Komoditas itu masih menjadi primadona petani. Itu sebabnya pemerintah kesulitan dalam mencari solusi pengganti tem-bakau dengan tanaman lain yang memiliki nilai ekono-mis setara. Pemerintah sendi ri sudah menggelar program pembatasan industri rokok berdasarkan roadmap industri

rokok 2007-2020.Sejak kapan tembakau mulai

dibudidayakan di Nusantara?Profesor Denys Lombard,

pengajar Sejarah Asia Tenggara di Paris, penulis buku Nusa Jawa Silang Budaya, menya-takan sejak 1603 James Scott sudah menyebutkan peng-gunaan tembakau yang luas

di Banten.Pada 1626 Kompeni sudah

mengepakkan penjualan ko-moditas itu di Batavia.

Sepanjang abad ke-18, tem-bakau sudah dibudidayakan di Jawa. Bahkan berkembang secara luas di sejumlah daerah tanpa adanya peran dari bang-sa Eropa.

Sekitar 1815, Thomas Stam-ford Raffles dalam buku The History of Java, menulis secara gamblang tentang tembakau yang dibudidayakan petani di Kedu dan Banyumas. Pen-duduk setempat menyebut ko-

ASAL USUL

Tembakaumoditas ini dengan nama tom-baku atau sata. Hasil panen dari Banyumas dikirim ke Banten melalui Pekalongan. Sementara hasil panen dari Kedu diekspor melalui Semarang.

Untuk budi daya di Jawa Timur, khususnya di Madura, tembakau yang dikonsumsi berasal dari Puger.

Selama 15 tahun kemudian, Comte de Hogendorp menya-takan tembakau merupakan komoditas yang sangat penting di Jawa, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk perdagangan dengan pulau-pulau lain di Kepulauan Nu-santara.

Petani biasa menjual daun tembakau rajangan. Tembakau kering rajangan bila berwarna merah itu pertanda rusak, berwarna hijau kurang baik, sedangkan tembakau kuali-tas bagus berwarna kuning.(BN/N-3)

MI/BAGUS SURYO

Kami mengambil air dari Desa Ngemplak, Kandangan yang berjarak 7 km.”

MukiyatiWarga