Upload
lylien
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Obituari: Tentang George Junus Aditjondro
Anto Sangadji
http://indoprogress.com/2017/01/obituari-tentang-george-junus-aditjondro/
20 January 2017
Harian Indoprogress
“Men make their own history, but they do not make it as they please; they do
not make it under self-selected circumstances, but under circumstances existing
already, given and transmitted from the past.” [1]
INTELEKTUAL-cum-aktivis, George Junus Aditjondro (GJA), wafat 10 Desember 2016
di kota Palu. Pengritik paling utama korupsi kepresidenan Orde Baru dan paska Orde
Baru ini meninggal dalam usia 70 tahun. Jenazah figur, yang oleh majalah Time
menyebutnya “the world’s leading authority on Suharto family wealth”[2] dimakamkan 12
Desember 2016 di Pekuburan Kristen Talise, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore,
Kota Palu. Catatan ini tentang kerja-kerja GJA sebagai intelektual publik di Sulawesi
Tengah, sebuah provinsi pinggiran dalam peta ekonomi dan politik nasional. Minatnya
paling utama di daerah ini adalah tentang kepentingan bisnis dan sengketa berbasis
sumber daya alam, kekerasan bersenjata, dan hubungan antara keduanya. Dia menulis
dengan sangat tajam soal kepentingan bisnis Siti Hartati Murdaya di Buol, Arifin
Panigoro di Tiaka Morowali Utara dan keluarga Jusuf Kalla di Poso. Saya membatasi
catatan tentang GJA di Sulawesi Tengah dalam dua kasus/tempat, yakni, tentang Lore
Lindu, daerah yang sudah menarik perhatiannya sejak akhir dekade 1970-an dan tentang
kekerasan Poso, salah satu episentrum kekerasan regional di nusantara hampir 20 tahun
terakhir.
2
***
Sebagai intelektual publik, GJA aktif memproduksi pengetahuan kritis yang menjelaskan
tentang kekuasaan yang opresif dan korup. Dia menulis tentang berbagai penyimpangan
kekuasaan di Indonesia, baik Orde Baru maupun paska Orde Baru. Dalam waktu yang
sama, dia juga berusaha dengan caranya, di luar zona nyaman dunia akademis,
memperjuangkan kondisi-kondisi yang memungkinkan demokrasi sejati terwujud.
Tentu saja, menjadi intelektual publik bukan sebuah ‘pilihan bebas’ GJA. Pilihannya bukan
terisolasi dari dinamika politik dan ekonomi di sekitarnya: terutama sejak pertengahan
dasawarsa 1970-an, perkembangan kapitalisme yang kian progresif telah
melipat-gandakan kekayaan bangsa. Sebaliknya, perkembangan ini juga membawa banyak
soal. Pengrusakan lingkungan hidup, perampasan tanah petani, dan eksploitasi buruh
untuk menyebut beberapa contoh. Kontradiksi ini semakin buruk karena rezim tirani
Orde Baru, produk Perang Dingin, mengorkestrasi aneka kekerasan militer:
pembantaaian PKI di pertengahan dekade 1960-an, invasi dan pendudukan Timor Leste
(1975-1999), perang dan kontra-pemberontakan di Aceh dan Papua. Terakhir, krisis
kapitalisme di akhir dasawarsa 1990-an melahirkan transisi demokrasi yang morat-marit.
Kendati sifat-sifat universal parasitisme negara kapitalis tetap sama, tetapi tidak
seperti di negeri-negeri kapitalis maju, institusi-institusi negara modern produk
reformasi tidak berfungsi untuk menopang sirkulasi kapital. Ini bukan karena proses
pelembagaan untuk mencari alternatif terhadap pasar, tetapi karena praktik-praktik
pemangsaan dan pengutilan oleh aparat negara dan politisi yang menggerogoti pasar.
Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang melalui pemerasan, penyogokan, penggelapan dan
tipu-muslihat alokasi dana-dana publik – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) – untuk keuntungan pribadi
atau kelompok berlangsung luas. Pelakunya macam-macam: birokrat perizinan, penegak
hukum, dan politisi di berbagai level. Mereka mempraktikkan nepotisme dan klientisme
dengan licik.
Menjadi intelektual publik merupakan produk dari proses historis interaksinya dengan
dinamika tersebut. Bekerja sebagai wartawan majalah berita mingguan Tempo, menjadi
aktivis organisasi non-pemerintah (ornop) di Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa
(YPMD) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan mengajar di Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga dan di University of Newcastle, Australia,
adalah momen-momen penting dari proses kesejarahan itu. Ia bekerja di dunia-dunia
yang membuatnya leluasa melintasi batas antara intelektualisme dan aktivisme. Dunia
yang membimbingnya untuk memotret realitas dan sekaligus mengubahnya menjadi lebih
3
baik. Komitmen GJA untuk ‘menjelaskan’ dan ‘mengubah’ sebagai suatu kesatuan terlihat
dari salah satu persuasinya:
“[Saya] telah menggambarkan, secara garis besar, berbagai faham lingkungan di dunia,
serta politik pembangunan di Indonesia. Juga telah diuraikan, berbagai sikap yang
berbeda-beda dari warga masyarakat yang menjadi saksi jatuhnya korban-korban sosial
akibat politik pembangunan yang tidak pro-rakyat dan juga anti-lingkungan. Sekarang,
terpulang pada kita, sikap apa yang akan kita ambil. Mau sekadar menjadi penonton, atau
terjun ke gelanggang dengan menyatakan secara gamblang keberpihakan kita pada para
korban, yang seringkali, adalah kita sendiri.”[3]
Tentu, dia memilih keberpihakan. Seperti sikapnya mengembalikan penghargaan
Kalpataru, kategori pengabdi lingkungan, dari Presiden Soeharto yang diterima pada
1987. Alasanya, rezim Orde Baru merampas kebebasan berpendapat dan merusak
lingkungan hidup.[4] GJA adalah intelektual dan aktivis dalam satu tarikan nafas.
Minat intelektual GJA meliputi aspek yang rumit. Tema kajiannya mencakup isu yang
sangat luas: lingkungan hidup, hak asasi manusia, korupsi, militerisme, gerakan
pembebasan nasional, industri-industri ekstraksi berskala besar, kekerasan-kekerasan
regional, perburuhan, gerakan sosial dan tentu saja pemberitaan media; lingkup geografi
studinya luas sekali: dari Papua hingga Aceh, dari Timor Leste hingga Maluku. Meskipun
kerap menulis tentang setiap daerah yang dikunjunginya, GJA lebih banyak memeras
energi intelektual untuk daerah-daerah yang dilanda kekerasan bersenjata.
Lantas, apa perspektif teori yang membimbing investigasinya terhadap kompleksitas itu?
Terus terang, agak sulit menganggapnya berkiblat pada satu orientasi teori. GJA
menggunakan Antonio Gramsci, Frantz Fanon, Michael Foucault, Ernesto Laclau &
Chantal Mouffe, Mahatma Gandhi, Paul A. Baran & Paul M. Sweezy, James Petras dll
sebagai landasan argumentasi-argumentasinya. Dia mengutip Marx dan Engels dari
tangan pertama dan dari sumber-sumber sekunder, tetapi tidak menggunakan metode
Marxisme untuk tulisan-tulisannya. Tulisannya tentang Marxisme yang sedikit serius
adalah ketika menulis paper hampir 4.000 kata saat peluncuran buku terjemahan Capital
II di Bandung sekitar 10 tahun lalu. GJA bilang buku ini sangat sulit bagi pembaca yang
tidak familiar dengan ilmu ekonomi moneter dan ekonomi internasional. Dia juga
mengatakan tentang relevansi karya Marx ini untuk kapitalisme neoliberal. Hanya saja, di
paper ini, GJA tidak melakukan tinjauan mendalam tentang Capital II.[5] Di luar itu, di
beberapa tulisan yang lain, GJA merujuk ke Marx. Di salah satu karyanya dia menukik ke
jantung Marxisme, dengan bilang:
4
“Demokrasi liberal saja, telah mengundang kritik Marx, yang mengatakan bahwa
“demokrasi berakhir di gerbang pabrik”. Sebab sebagai warga negara (citizen), seorang
buruh bebas untuk memilih partai politik yang ia anggap paling memenuhi aspirasinya.
Tapi sebagai buruh, begitu ia melewati gerbang pabrik, ia harus tunduk kepada peraturan
para kapitalis, yang melalui kakitangan mereka yang bernama ‘manager’ atau ‘direksi’,
dapat memeras tenaga mereka secara maksimal dengan imbalan yang bernama ‘upah’
secara minimal. Tawar menawar antara buruh dan pemilik modal berjalan secara alot di
dalam wilayah pabrik dalam frekuensi yang jauh lebih tinggi ketimbang tawar menawar
antara rakyat dan calon pemerintah lewat proses pemilu yang hanya empat atau lima
tahun sekali. Walaupun yang terpilih untuk memerintah adalah sebuah partai yang
mengklaim pembela kepentingan buruh, tidak ada jaminan bahwa peraturan-peraturan
perburuhan yang progresif akan dipatuhi oleh para kapitalis. Kecuali apabila kaum buruh
terorganisir dalam serikat-serikat buruh yang kuat, dan pemerintah, pada gilirannya,
tidak mereduksi aparat-aparat kekerasan resmi, militer dan polisi, sebagai pembela
kepentingan modal.”[6]
Tetapi, dalam tulisan yang sama dia juga menjadi fans dari intelektual post-marxist,
Laclau & Mouffe. GJA menghabiskan beberapa paragraf untuk mengeksplorasi ide
tentang “demokrasi radikal” dengan subjek revolusioner bukan kaum buruh. Dia menulis:
“Konsep ‘gerakan sosial baru’ sebagai subjek revolusioner masa kini, merupakan
pemberontakan mereka terhadap ajaran Marx dan para pemikir neo-Marxis, yang masih
melihat kaum buruh (proletariat) sebagai subjek revolusioner yang utama. Konsep
gerakan sosial baru, menurut Laclau dan Mouffe, merangkum berbagai gerakan atau
perjuangan (struggle ) yang tidak berbasis kelas dan bukan gerakan buruh, seperti
gerakan urban, gerakan lingkungan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan anti-institusi,
gerakan feminis, gerakan anti-rasisme, gerakan etnis, gerakan regional, dan gerakan
perdamaian.”[7]
GJA lantas tiba pada sebuah kesimpulan yang eklektik: “strategi perjuangan
demokratisasi hendaknya berusaha menyatukan barisan yang lintas kelas, dan lintas
antagonisme anti kapitalis, dalam satu bianglala gerakan kemasyarakatan yang
sosialistis.”[8]
Di atas semua itu, kalau ada teori yang paling konsisten digumuli GJA, tidak salah lagi
adalah tentang “oligarki”. Kritik terhadap kuartet Ha Ha Ha Ha (Harto, Habibie,
Harmoko, dan (Bob) Hasan) yang mengendalikan Indonesia menunjukan minatnya yang
besar tentang soal ini. Tetapi kritik jenaka yang disampaikan di Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta pada 1994 ini yang memicu pelariannya ke Asutralia karena
5
dikejar-kejar regim Orde Baru. Di sana, dengan mengajar mata kuliah Sosiologi Korupsi
di Universitas Newcastle, dia semakin mendalami teori ini. Salah satu tulisannya paling
awal yang menyorot oligarki secara empiris muncul dalam sebuah artikel panjang
“Suharto & Sons (And Daughters, In-Laws & Cronies)” di Wahington Post (January 25,
1998). Pada tahun yang sama, dia kemudian menerbitkan buku Guru Kencing Berdiri,
Murid Kencing Berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru
dari Soeharto ke Habibie, yang rekor penjualannya mencapai 21.000 eksemplar pada
pertengahan 1999.[9] Sejak itu, dia adalah salah satu intelektual paling terkemuka dalam
menyebarluaskan teori ini dalam kajian tentang hubungan antara politik dan ekonomi di
nusantara. Sejak publikasi tulisan-tulisannya itu tampak gairah intelektualnya soal ini
meledak-ledak.[10] Menganggap teori Plato tentang oligarki relevan untuk menjelaskan
kekuasaan segelintir orang kaya, baik di negeri-negeri yang tengah mengalami transisi
dari otoriter ke demokrasi maupun di negeri-negeri kapitalis maju, GJA menggunakan
konsep ini untuk investigasi empiris tentang simbiosis politik dan bisnis di Indonesia yang
dikendalikan segelintir orang.[11]
Letak kekuatan GJA adalah kajian empiris yang kaya tentang oligarki bukan saja di level
nasional, tetapi juga di tingkat lokal. Contoh, selain tentang Poso, dia juga menulis
tentang oligarki di Tanah Toraja. Di daerah itu, GJA mensinyalir terjadi tumpang tindih
hubungan antara elit bisnis, elit politik, dan elit agama. Hanya saja, dia agak terjebak
dengan penjelasan kultural. Menurutnya, tumpang tindih tersebut tertanam secara
kultural dalam kehidupan orang Toraja, yakni, kebanggan untuk menjadi orang kaya (to
sugi) dan orang besar (to kapua). Dia bilang bahwa apa yang terjadi di Toraja kurang
lebih sama dengan karakter oligarki di Amerika Latin. Di sana, para pebisnis sukes pada
umumnya berasal dari keluarga-keluarga yang juga menghasilkan para politisi dan pemuka
agama.[12]
Kekuatan lain, GJA berusaha agar masyarakat luas bisa memahami dengan mudah terma
oligarki. Menyadari kosakata ini terlampau serius untuk rakyat kebanyakan, dia
menggantinya dengan metafora “gurita” yang lebih membumi dalam percakapan
sehari-hari, terutama di beberapa wilayah timur Indonesia.[13] Tak heran, bukunya
Gurita Cikeas dan Cikeas Kian Menggurita dicetak ulang berkali-kali untuk memenuhi
rasa ingin tahu khalayak ramai. Pembaca Gurita jadi luas sekali: akademisi, politisi,
birokrat, pebisnis, mahasiswa, hingga paramedis di pelosok. GJA bahkan tidak pusing,
ketika mengetahui pembajakan kedua bukunya itu terjadi berulang kali. Baginya,
penyebaran informasi di dalam buku itu ke pembaca lebih luas jauh lebih penting dari
pada soal pembajakannya. Kalau boleh meminjang Marx,[14] saya ingin bilang bahwa GJA
menghabiskan kemampuan intelektualnya untuk masyarakat luas lebih sebagai “nilai-guna”
dari pada “nilai-tukar”.
6
Tentu saja, karya-karya GJA tidak luput dari kritik. Kendati tidak menyoal teorinya,
penjelasan-penjelasan empirisnya tentang oligarki memang mengundang banyak reaksi,
termasuk dari sejumlah akademisi. Reaksi paling keras datang dari kubu yang dikritik
atau para pendukungnya. Beberapa pihak menyoal metode perolehan dan penyajian data.
Sayang, reaksi bukan melalui tulisan tandingan berbasis kritik ilmiah, tetapi sebatas
komentar-komentar spontan di media massa yang sebagian di antaranya terkesan naif.
***
LORE Lindu adalah sebuah ekosistem yang kaya di jantung pulau Sulawesi di Sulawesi
Tengah. Sejak akhir dekade 1960-an, pemerintah telah menerbitkan izin kepada
perusahaan-perusahaan pemegang konsesi HPH untuk membongkar hutan hujan tropis
secara besar-besaran di provinsi itu. Sejak pertengahan dasawarsa 1970-an. pemerintah
juga menetapkan ratusan ribu hektar wilayah hutan Lore Lindu sebagai kawasan
konservasi. Ini meliputi Suaka Margasatwa Lore Kalamanta dan Hutan Wisata/Hutan
Lindung Danau Lindu. Pemerintah Indonesia lantas menggabungkan keduanya dan
meresmikan sebagai Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) pada 1993, 10 tahun sejak
pertama kali pemerintah mendeklarasikannya sebagai Taman Nasional pada Kongres
Dunia tentang taman nasional di Bali, Oktober 1982.
Lore Lindu menjadi etalase gerakan petani di Sulawesi Tengah sekitar 20 tahun terakhir.
Terletak di dua wilayah kabupaten (Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala dan
kemudian dimekarkan menjadi Kabupaten Sigi) dengan puluhan ribu jiwa mendiami
kawasan itu, kebijakan pembangunan dan pengelolaan kawasan itu telah memicu konflik
sumber daya alam yang serius. Beberapa konflik muncul secara terbuka dan menarik
perhatian luas, di antaranya, penolakan para petani dari empat desa di sekitar Danau
Lindu terhadap rencana proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
sejak awal dekade 1990-an; penolakan petani di desa Katu terhadap rencana pemindahan
mereka dari TNLL melalui “Central Sulawesi Integrated Area Development and
Conservation Project (CSIADP)” yang dibiayai dari pinjaman (loan) Asian Development
Bank (ADB) sejak 1997, dan pendudukan kawasan TNLL di dongi-dongi oleh ribuan petani
sejak awal dekade 2000-an.
Di Sulawesi Tengah, banyak aktivis yang terlibat dalam ketiga gerakan petani tersebut
tidak mengetahui bahwa GJA sudah lama memperhatikan Lore Lindu. GJA pertama kali
mengeksplorasi Lore Lindu di Sulawesi Tengah pada akhir dasawarsa 1970-an. Sebagai
wartawan Tempo, pada awal April 1978 dia mengunjungi kawasan konservasi itu. Dia
pertama kali menginjakkan kaki di Lembah Besoa, yang saat itu hanya bisa dijangkau
dengan berjalan kaki atau menunggang kuda. Cara lain adalah menumpang pesawat
7
mission aviation felloswship (MAF) yang melayani kepentingan gereja di daerah-daerah
pegunungan yang terisolasi itu. Sebuah sumber di desa Doda (Lembah Besoa), Kecamatan
Lore Tengah, Kabupaten Poso bilang bahwa lebih seminggu dia menemani GJA
menjelajahi hutan Lore Lindu yang kaya biodiversitas.
Dari perjalanan itu, selain menulis beberapa berita tentang salah satu cagar biosfer
dunia itu,[15] GJA menulis sebuah artikel di jurnal ilmiah Prisma. Dia menggambarkan
sisa-sisa kebudayaan megalit di lembah-lembah purba dan pengetahuan tradisional
warganya yang tinggal di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. GJA
juga menjelaskan tentang warisan arsitektur tradisional tahan gempa dari suku-suku
pribumi di situ yang sedang dalam proses pemusnahan di tengah serbuan modernitas.
Diketahui, Lore Lindu dilintasi sesar aktif Palu-Koro yang membentang dari Laut
Sulawesi dan memotong Lembah Palu dan Lembah Koro hingga Teluk Bone di Sulawesi
Selatan, sejauh 500 kilometer. GJA menjadi salah satu peneliti paling awal, kalau bukan
yang pertama, yang menggambarkan konflik antar para petani dengan otoritas kawasan
konservasi itu. Ia menyebut para petani dataran tinggi di sana kehilangan hak tradisional
untuk memanfaatkan hasil hutan kayu dan non-kayu, sejak pemerintah menetapkan
kawasan itu sebagai areal konservasi.[16] Sebelum generasi aktivis di Sulawesi Tengah
menyoal kebijakan pembatasan akses penduduk di kawasan konservasi itu sejak awal
dekade 1990-an, GJA sudah memelopori kritik belasan tahun sebelumnya. Dia juga
melihat potensi kebudayaan suku-suku pribumi di sana sebagai kategori yang perlu
diperhatikan, jauh sebelum gerakan masyarakat adat berkembang biak sejak
pertengahan dasawara1990-an. Dalam konteks konservasi, dari pada memusuhi warga,
GJA melihat revitalisasi kebudayaan penduduk di sana mungkin dapat memperkuat
motivasi untuk melindungi alam. Dia lantas menutup tulisannya dengan sedikit nada
kekhawatiran:
“[U]saha revitalisasi kebudayaan To Lore [i.e., To Napu, To Behoa, To Bada, To Tawaelia],
mungkin dapat diharapkan ada di lingkungan pamong praja dan gereja. Namun dengan
melihat monolitiknya struktur kekuasaan formal dan informal yang tumpang tindih, maka
potensi itu lebih mungkin terdapat di kalangan generasi muda di luar establishment. Itu
pun kalau orang-orang muda itu sendiri belum terlalu dirasuki oleh pola konsumsi kota
dan alam pemikiran kapitalistis akibat proses alienasi budaya yang sudah berjalan sejak
ekspedisi Voskuil, September 1905. [ekspedisi Voskuil adalah penaklukan Napu secara
militer yang menandai era baru pemerintahan langsung (direct rule) Belanda di Poso dan
di Sulawesi Tengah secara umum].”[17]
GJA sudah merasa cemas dengan dampak tertentu dari perkembangan historis
kapitalisme terhadap suku-suku minoritas di sana.
8
Pada awal dekade 1990-an, GJA kembali mengunjungi Sulawesi Tengah. Kali ini, dia ambil
bagian dalam gerakan anti-proyek PLTA Danau Lindu. Saat itu, pemerintah pusat sedang
gesit membangun proyek-proyek infrastruktur, termasuk rencana pembangunan PLTA di
Danau Lindu, sekitar 60 kilometer dari Selatan Kota Palu. Rencananya, permukaan air
danau tektonik itu akan dinaikkan sekitar 6-10 meter dengan membendung di outlet
danau. Akibatnya, empat desa di sekitar danau (Puroo, Langko, Tomado, dan Anca) dan
lahan-lahan pertanian akan tergenang. Pemerintah akan memindahkan warga desa-desa
itu ke Lalundu, sebuah lokasi transmigrasi saat itu (kini bagian dari Kecamatan Rio
Pekava, Kabupaten Donggala), terletak sekitar 150 kilometer dari Danau Lindu. Warga
menolak rencana pemindahan. Dalam desain konstruksi dan pembangunan jalan masuk,
proyek ini juga akan membongkar ribuan hektar hutan TNLL. Karenanya, para pegiat
lingkungan hidup menolak proyek ini.
Sebagai seorang yang menulis disertasi doktor di Cornell University soal bendungan di
Indonesia,[18] kedatangan GJA di Palu untuk membagi pengetahuan tentang
dampak-dampak proyek sejenis di tempat lain kepada para aktivis. Selain menjelaskan
panjang lebar tentang risetnya soal bendungan Kedungombo, dia juga membagi sejumlah
tulisan pendeknya sendiri tentang Dam dan PLTA di berbagai tempat di Indonesia.[19]
GJA juga menceritakan pengalaman tentang gerakan anti-bendungan di tempat lain.
Tulisan-tulisannya sangat berguna buat aktivis LSM, pecinta alam dan mahasiswa di Palu
yang saat itu memiliki pengetahuan perbandingan yang sangat terbatas soal efek
pembangunan bendungan raksasa. Bersama Hedar Laudjeng (alm), dia menekankan
pembelaan terhadap pengetahuan dan hak-hak suku pribumi dalam proyek-proyek
raksasa beralaskan tanah seperti ini. Ketika empat petani dari Lindu melakukan studi
perbandingan ke Kedungmbo, selain menimba pelajaran dari para petani dan aktivis di
sana, mereka juga banyak menimba pengetahuan dari GJA soal dampak pembangunan
bendungan di berbagai tempat. Ringkas cerita, GJA menyumbang pengetahuan tidak
sedikit terhadap gerakan anti-pembangunan PLTA Danau Lindu saat itu.
9
Krisis kapitalisme melanda Asia Tenggara dan Asia Timur akhir dasawarsa 1990-an.
Di Indonesia, krisis mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaan formal dan
melipat-gandakan jumlah orang miskin.
Krisis juga mendestabilisasi politik nasional dengan efek domino kekerasan rasial di
beberapa kota di Jawa. Terjadi protes mahasiswa di seantero tanah air yang menuntut
Soeharto turun tahta. Si Jenderal (Jagal) Besar lantas mengundurkan diri dari
kekuasaaan yang dipegang selama 32 tahun pada Mei 1998. Sejak itu, politik nasional kian
tidak stabil. Di beberapa wilayah di luar Jawa, seperti Kalimantan Barat, Maluku, Maluku
Utara, dan Poso muncul kekerasan berbau agama dan suku.
GJA memperhatikan dengan serius kekerasan-kekerasan regional itu. Dia menguras
energi intelektualnya dengan meneliti, menulis, dan mempresentasikan tulisan-tulisannya
di berbagai forum soal kekerasan-kekerasan itu.[20] Berbeda dari banyak tulisan, baik
popular maupun ilmiah, yang melihat kekerasan-kekerasan itu sebagai soal antar
komunitas-komunitas berbeda agama dan suku, dia melihatnya dari sudut pandang lain.
Kendati GJA sendiri tidak mendiskusikan teori yang mendasari pandangannya secara
dalam, tetapi dari berbagai tulisannya kita bisa menarik kesimpulan bahwa dia menilai
kekerasan sebagai kombinasi antara kelas, etnis dan agama. Seperti terlihat dari sebuah
klaimnya.
“Pada umumnya, karena para jurnalis tidak dilengkapi pisau analisa sosial, maka ‘agama’
para aktor yang bertikai dianggap sebagai kategori sosial satu-satunya yang paling
relevan. Padahal, konflik dan kerusuhan sosial di antara berbagai komunitas di
daerah-daerah kerusuhan seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku, bahkan
juga di kota-kota besar di Jawa, mengalami eskalasi, karena ketumpang tindihan di
antara faktor-faktor kelas, etnisitas, dan agama dari kominitas-komunitas yang
bertikai.”[21]
Dari hampir semua tulisannya soal kekerasan komunal, GJA berusaha menjelaskan siapa
yang diuntungkan akibat kekerasan yang berlarut-larut. Pertanyaan ‘siapa’ lebih
menunjuk ke aktor dalam pengertian elit (politisi, aparat keamanan, birokrat, dan
pebisnis/kontraktor) dalam konteks teori oligarki. Merekalah yang mencoba mengeruk
keuntungan baik ekonomi maupun politik. GJA menyebut ekonomi-politik sebagai
pendekatannya. Dengan pendekatan ini dan mengatakan bahwa “pihak-pihak tertentu, di
Poso, Palu, Jakarta, dan bahkan di luar [negeri] mungkin mendapat keuntungan dari
pencetusan dan pelanggengan kerusuhan-kerusuhan berdimensi ‘konflik antar
komunitas’…”.[22] Dari sudut pandang ini, GJA sejak awal berusaha mencegah dirinya
untuk menghakimi kekerasan antara komunitas berlatar belakang agama sebagai soal
10
yang tertanam di dalam komunitas-komunitas atau bahkan tertanam di dalam ajaran
agama-agama.
Tidak heran, dari tulisan-tulisannya, kata-kata kunci yang menonjol tidak jauh di sekitar
TNI, korupsi, dan bisnis. GJA berusaha mengaitkan hubungan antara
kekerasan-kekerasan berdimensi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dengan
kepentingan aparat keamanan (baik institusional maupun personal), korupsi oleh aparatur
negara, dan kegiatan atau ekspansi bisnis skala besar. Tulisan-tulisannya lebih melihat
soal-soal berdimensi ekonomi dan politik dari kekerasan semacam ini. GJA menulis:
“… yang terjadi di daerah konflik seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara dan
Maluku, maupun di daerah yang menentang kedaulatan NKRI, seperti Aceh dan Papua
Barat, adalah kolusi antara modal, militer yang anti-reformasi, paramiliter, serta
birokrat dan pedagang yang berkolusi dalam ‘industri pengungsi’. Dalam kasus Sulawesi
Tengah, konglomerat yang diuntungkan oleh kerusuhan di Kabupaten Poso dan Morowali,
adalah kelompok Arta Graha di Morowali, kelompok Medco di lepas pantai Teluk Tolo dan
daratan Kabupaten Banggai, serta kelompok Bukaka yang kini sedang membangun PLTA
Sulewana di Sungai Poso” [garis bawah dari naskah asli].[23]
Khusus tentang TNI, seperti biasa GJA berusaha kritikal terhadap kepentingan
institusional dan personal di balik kekerasan-kekerasan regional. Ia kerap mendiskusikan
hubungan antara kekerasan-kekerasan itu dengan kepentingan pemekaran komando
teritoril. Pembentukan kembali Komando Daerah Militer (Kodam) XIII/Merdeka di
Manado, 20-12-2016, sebenarnya telah diperkirkan GJA belasan tahun lalu. Dia sudah
mengalkulasi tentang kekerasan Poso dan implikasinya terhadap kemungkinan pemekaran
Kodam XIII/Merdeka – dengan wilayah meliputi provinsi-provinsi Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, dan Gorontalo – dari Kodam Wirabuana. Dari kekerasan Poso, GJA juga
menilai pembentukan Batalyon Infanteri 714/Sintuvu Maroso, 24-8-2005, di Poso
sebagai salah satu keuntungan institusi TNI. Di luar itu, dia menganggap aparat
bersenjata mengeruk keuntungan-keuntungan personal yang bersifat ilegal di tengah
kekerasan yang merajalela.[24]
Tulisan-tulisan GJA tentang kekerasan Poso cukup mendalam karena berbasis
metodologi penelitian yang ketat dan kreatif. Tulisan-tulisannya menukik ke dasar
masalah berkat investigasi empiris melalui pengamatan dari dekat dan
wawancara-wawancara lapangan selama beberapa tahun. Ini ditunjang dengan kajian
literatur dan sumber-sumber sekunder yang kaya. Jaringannya yang luas dengan
tokoh-tokoh gereja di Tentena dan Palu, bekas-bekas mahasiswanya, dan aktivis-aktivis
ornop dan mahasiswa di daerah ini membuat GJA boleh dibilang tidak mengalami
11
kesulitan mengumpulkan aneka informasi. Dia membaca hampir semua surat kabar atau
mingguan, baik yang terbit teratur maupun tidak, di Sulawesi Tengah tentang kekerasan
Poso. Tak heran, di berbagai tulisannya dia merujuk ke media lokal, termasuk media yang
‘sekali terbit dan setelahnya wassalam’. Dia juga mendengar dan mencatat informasi
tentang kekerasan dari siapapun yang ditemuinya. Dia rajin mengirim sms (short message
system) kepada banyak orang untuk bertanya dan mengecek ulang setiap informasi.
Tentu saja, sebagai peneliti yang melakukan investigasi lapangan dengan kerangka teori
yang sudah ada di kepala, GJA selalu bersikap kritis terhadap informasi dan sumbernya.
Dia tidak serta-merta melahap setiap informasi yang dipungut. Menyadari bahwa
penelitian di daerah-daerah dengan konflik bernuansa SARA berpotensi bias karena
kesamaan latar belakang agama antara peneliti dan fihak yang diteliti, GJA berusaha
menjaga jarak. Sebuah penjelasan berikut menggambarkan posisinya:
“Dalam penelitian di Ambon dan Poso, berbagai jurubicara komunitas yang bertikai
cenderung menghalalkan “perjuangan” mereka dengan memberikan persepsi mereka
masing-masing, tentang siapa yang lebih dulu menyerang dan siapa yang hanya membela
diri. Lebih jauh lagi, persepsi tentang asimetri kekuasaan dan pengaruh itu diperluas ke
dunia internasional, dengan menekankan bahwa kelompok “lawan” lebih banyak mendapat
bantuan atau dukungan dunia internasional. Komunitas Nasrani dipersepsikan dekat
dengan lobby Yahudi internasional, PBB dan dunia Barat, sedangkan komunitas Muslim
dipersepsikan dekat dengan al Qaeda dan dunia Arab. Padahal, kedua persepsi itu
sama-sama keliru.”[25]
Dalam investigasi, GJA tidak hanya menggali informasi penting atau formal. Dia juga
sibuk mendengar, mencatat, dan menulis tentang cerita-cerita rakyat, legenda, gosip dan
pemeo. Dia ingin memastikan bahwa di balik informasi-informasi ‘tak berguna’ mungkin
tersedia pengetahuan penting. Atau, informasi-informasi ‘tak berguna’ bahkan
merupakan cermin ketidak-puasan atau protes. Dalam kasus kekerasan Poso, GJA rajin
mencatat pemeo-pemeo yang dia peroleh dari lapangan. Banyak di antara pemeo itu,
berhubungan dengan topik penelitiannya: kekerasan dan korupsi. Saat itu, bagi sebagian
warga Poso yang hidup di tengah kesusahan karena kekerasan, pemeo mungkin dapat
menghibur. Tetapi, pemeo juga menjadi semacam ungkapan protes warga terhadap
aparat korup. Salah satu yang paling popular saat itu adalah “sementara pengungsi makan
supermi, pejabat makan Super Kijang.”[26] Warga protes, karena milyaran dana dari
pemerintah pusat tidak sampai ke tangan pengungsi. Sementara para pengungsi harus
berjuang setengah mati untuk memperoleh jatah sembako, para pejabat berlomba-lomba
membeli Super Kijang, jenis/generasi mobil MPV (multiple purpose vehicle) yang banyak
pemakainya di Poso saat itu.
12
Suatu waktu, saat kembali dari wawancara lapangan dengan warga Poso di lokasi
pengungsian, GJA membagi cerita tentang pemeo dari seorang interlocutornya. Intinya,
si narasumber kesal dengan praktik kongkalikong antara pejabat pemerintah daerah dan
kontraktor proyek “rumah tinggal sederhana” (RTS) untuk para pengungsi. Banyak di
antara RTS itu tidak patut dihuni, karena dibangun seadanya: kalau bukan atap tidak
lengkap, RTS-RTS itu tidak berdinding atau setengah berdinding. Kepada GJA, sang
narasumber bilang bahwa sejatinya itu bukan RTS, tetapi RTSSSSS, yakni, rumah
tinggal sementara sehingga [maaf] senggama suami-isteripun susah). RTS memang salah
satu sasaran korupsi paling kasat mata saat itu. Dari penelitian-penelitiannya di
beberapa daerah, GJA menyimpulkan bahwa kekerasan berdimensi SARA memang sarat
dengan korupsi. Dia bilang:
“Pencetusan dan pemeliharaan konflik di Indonesia juga merupakan semacam “industri”
bagi aparat birokrasi sipil, sebab kerusuhan melahirkan pengungsi, dan pengungsi
mengundang bantuan kemanusiaan yang sangat rentan untuk dikorupsi. Walhasil,
kerusuhan demi kerusuhan telah melahirkan sejumlah milyarder di kalangan birokrat, di
mana segelintir kepala daerah dan kepala Dinas Kesejahteraan Sosial berhasil beternak
mobil dan rumah mewah di mana-mana, sementara para pengungsi semakin melarat.”[27]
***
Ketika GJA kembali di Sulawesi Tengah sejak awal dasawarsa 2000-an, gerakan sosial di
daerah itu sedang mengembang. Aksi-aksi protes massa yang melibatkan para aktivis dan
kaum tani sedang meluas sejak akhir dekade 1990-an. Di Buol, ratusan petani menduduki
kembali lahan mereka yang dirampas untuk perkebunan sawit PT Hardaya Inti Plantation
(HIP), milik konglomerat Siti Hartati Murdaya. Marwan Dahlan (alm), eks-aktivis
13
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di Kota Palu, yang kembali ke
Tolitoli untuk membangun Yayasan Dopalak Indonesia, sangat aktif mengorganisir para
petani yang tergabung dalam Forum Tani Buol (FTB) dalam aksi pendudukan kembali itu.
Dari Marwan, GJA memperoleh banyak informasi lapangan tentang PT HIP. GJA
mengaitkan kepentingan Hendropriyono di perusahaan ini dan kekerasan di Poso.[28] Di
Dongi-dongi, ribuan petani, didukung para aktivis yang tergabung dalam jaringan WALHI,
menduduki ribuan hektar kawasan TNLL di sisi jalan raya yang menghubungkan Dataran
Palolo (saat ini Kabupaten Sigi) dengan Lembah Napu (Kabupaten Poso). Di tengah-tengah
peningkatan aksi-aksi massa tersebut, para aktivis (mahasiswa dan ornop) bersama-sama
dengan petani, nelayan, buruh membentuk wadah bersama Persatuan Rakyat Miskin
Sulawesi Tengah (PRM-ST). GJA sendiri dengan antusias mengikuti perkembangan ini
dan menulis:
“Dialektika antara gerakan kampus dan gerakan kampung itu mendorong proses
radikalisasi berbagai komponen gerakan pro-demokrasi di Sulawesi Tengah, yang di bulan
September 2000 menghimpun diri dalam Forum Rakyat Miskin Sulawesi Tengah
(FRM-ST) dan sejak Januari 2005 menjelma menjadi Perkumpulan Rakyat Miskin
Sulawesi Tengah (PRM-ST).”[29]
Dia beberapa kali ikut terlibat dalam diskusi-diskusi formal dan aksi-aksi massa PRM-ST.
GJA tercatat sekali memberikan orasi di hadapan massa aksi di depan markas Komando
Resort Militer (Korem) 132/Tadulako di Palu. Seperti juga di dalam tulisan-tulisannya,
dalam orasi ia mengeritik TNI yang ditudingnya mengeruk keuntungan dari kekerasan
Poso.
Perjumpaan GJA dengan para aktivis di Palu bisa saja dijelaskan sebagai pertemuan
antara ‘seorang yang menulis untuk menjelaskan realitas’ dan sekumpulan orang yang
‘berusaha untuk mengubah realitas agar menjadi lebih baik.’ Karya-karyanya membantu
para aktivis untuk memahami kekerasan Poso dari kacamata berbeda. Tesisnya tentang
hubungan antara kekerasan dan korupsi menjadi ‘basis teori’ banyak aktivis di daerah itu.
Tetapi yang penting adalah GJA ikut bergabung secara aktif dengan Poso Center (PC),
koalisi ornop yang fokus pada investigasi, kampanye dan mobilisasi massa dalam anti
korupsi dan kekerasan. Menggunakan tesis GJA, PC mengembangkan riset dan investigasi
korupsi di Poso. Berbagi tugas terutama dengan Mahfud Masuara dan Danel Lasimpo,
GJA memanfaatkan informasi dan dokumen awal dari whistleblowers untuk investigasi.
Dia aktif mengumpulkan data otentik tentang kepemilikan rumah dan mobil
pejabat-pejabat di Poso di berbagai kota (Palu, Makassar, Jogjakarta, dan Jakarta). Dia
juga bahkan menginap beberapa malam di sebuah hotel di Jakarta hanya untuk
memastikan bahwa para pejabat itu sering menginap dan membooking kamar hotel itu
14
untuk fihak lain. Sementara Mahfud dan Danel dibantu banyak aktivis di Poso dan
Tentena berjibaku mengejar kesaksian warga dan mengumpulkan bukti-bukti lapangan
penyelewengan proyek. Setumpuk dokumen resmi, aneka bukti transaksi (rekening koran,
struk pembayaran kamar hotel, nota pembelian/pengambilan barang, kuitansi
pembayaran fiktif), foto-foto (fisik proyek, rumah, mobil, dll) dan testimoni-testimoni
saksi berhasil dikumpulkan.
Hasil-hasil riset dan investigasi lantas dikampanyekan secara terbuka. Di Kota Poso,
Iskandar Lamuka, Direktur Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS), dan Darwis
Waru, Kordinator Pusat Rekonsiliasi Konflik Poso (PRKP), tanpa lelah menjadi ujung
tombak kampanye publik. Mereka terutama secara aktif menjelaskan kepada khalayak
ramai, termasuk melalui media masa arus utama dan melalui aksi-aksi protes massa. Di
Palu, hal yang sama dilakukan melalui PC. Kordinatornya, Yusuf Lakaseng, dengan
artikulasi sangat baik mengirim pesan yang mudah diserap publik. GJA sendiri aktif
menulis berbagai tulisan bersandar riset dan investigasi dan menyebar-luaskan melalui
berbagai forum.
Kampanye saja tidak cukup. Kampanye memang membantu pihak lain untuk mengerti
duduk masalah. Tetapi, kampanye semata menempatkan rakyat kebanyakan dalam posisi
pasif. Diperlukan kombinasi antara kampanye dan pengorganisiran agar warga menjadi
aktif. Hanya, problem di Poso sangat rumit. Kekerasan berulang melestarikan “common
sense” warga bahwa akar masalah adalah soal agama dan suku. Mereka melihat langsung
gereja dan mesjid dibakar. Mereka merasakan. Kehadiran berbagai laskar bersenjata
memperdalam proses ideologisasi ‘perang suci’. Sebaliknya, mereka sulit memahami atau
mengerti konteks dan kompleksitas kekerasan yang tidak kasat mata. Kaum intelektual,
yang memahami konteks itu, mungkin tidak merasakan “common sense” tadi. Intinya, ada
jurang antara yang ‘merasakan’ dan yang ‘memahami’. Intelektual sejati, atau “intelektual
organic” meminjam Gramsci (yang kerap dirujuk GJA), harus aktif membangun jembatan
penghubung, mempertemukan ‘merasakan’ dan ‘memahami’.
Proses mempertemukan tersebut harus bertolak dari soal-soal objektif di masyarakat.
Kekerasan berlarut telah memorak-morandakan ekonomi modern dan formal yang juga
marginal di perkotaan. Pelayanan jasa keuangan, transportasi, dan perdagangan skala
menengah dan kecil nyaris lumpuh. Kegiatan produktif yang didominasi sektor pertanian
tradisional di perdesaan terpuruk. Di tengah keadaan ekonomi yang memburuk, para
pemuda – pekerja sektor informal, petani-petani kecil, dan penganggur – tidak memiliki
banyak pilihan. Banyak mengambil bagian dalam kekerasan dengan motif-motif berbeda:
‘perang suci’, ekonomi, atau kombinasi keduanya. Lazim di daerah konflik dengan
kekerasan, dengan ekonomi formal relatif runtuh, denyut ekonomi bergantung pada
15
proyek-proyek APBN/APBD, termasuk turunannya ‘industri keamanan’ dan ‘industri
pengungsi’. Tetapi, peluang penyelewengan bukan saja menonjol tetapi juga sulit
diberantas karena ketidak-stabilan pemerintahan. Penyelewengan dana proyek dan teror
kekerasan merupakan dua soal berbeda, tetapi mudah menyatu di daerah konflik dengan
kekerasan. Keadaan ini diperburuk dengan kenyataan bahwa di daerah-daerah tanpa
stabilitas seperti ini, aparat penegak hukum dan pelaku kejahatan kalau bukan saling
memanfaatkan, memang bekerja sama. Itu yang terjadi di Poso: tumpang tindih antara
korupsi proyek dana kemanusiaan Poso (juga proyek-proyek APBD/APBN lain) dan
kekerasan. Para pelaku korupsi adalah jejaring yang menyertakan segelintir politisi,
birokrat, aparat keamanan, dan kontraktor. Mereka membiarkan kekerasan.
Poso Center mencoba untuk meruntuhkan dinding pemisah tersebut. Cara yang ditempuh
saat itu adalah pengorganisiran untuk penyadaran para pemuda. Ini dilakukan untuk
mengubah kesadaran mereka tentang kekerasan sebagai soal antar agama dan
implikasinya terhadap kehidupan hari-hari. Mereka perlu disadarkan bahwa dari
kekerasan yang berlarut di Poso ada pihak di luar mereka yang mengeruk keuntungan,
terutama bersumber dari ‘industri’ pengungsi dan ‘industri’ pengerahan pasukan.
Penyadaran memang sebatas untuk memajukan kesadaran tentang penyebab
keterpurukan ekonomi. Tetapi, penyadaran semacam ini setidaknya mencegah mereka
untuk terus-menerus dikuasai kesadaran dangkal tentang perang agama. Pekerjaan yang
tidak mudah bagi Iskandar, Darwis, Adriany Badrah, Danel, Soraya Sultan, Mahfud, dll
di lapangan untuk menyadarkan para kombatan dan eks-kombatan. Bahwa kekerasan yang
tak berkesudahan hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan atau bahkan
semakin memiskinkan mayoritas yang terlibat dalam kekerasan jalanan.
Hasil terukur yang bisa dilihat adalah pembentukan forum solidaritas masyarakat Poso
(FSMP) yang mewadahi para pemuda. Di tengah-tengah berbagai teror dan intimidasi,
FSMP melakukan aksi-aksi massa di Kota Poso dengan menyoroti korupsi dana
kemanusiaan. Aksi juga berulang sampai di Kota Palu. Melalui aksi-aksi, para pemuda
secara langsung mengenali siapa mereka dan siapa sesungguhnya lawan-lawan mereka.
Mereka menjadi sadar, lawan-lawan dalam ‘perang suci’ adalah kawan, sesama korban.
Sebaliknya, kawan dalam ‘perang suci’ menjadi musuh. Ketika jejaring koruptor
terganggu dengan aksi-aksi massa dan memobilisasi perlawanan melalui teror, mereka
menjadi semakin percaya bahwa korupsi adalah soal utama di Poso. Apalagi, pejabat
Bupati Poso yang sangat berkuasa saat itu ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 dan
digelandang ke Markas Brimob di Kelapa Dua, Jakarta.
Investigasi, kampanye, dan pengorganisiran pemuda untuk gerakan anti-korupsi dan
kekerasan di daerah konflik bukan pekerjaan mudah. Teror dan intimidasi datang
16
bertubi-tubi. Dua kantor ornop di Poso, yakni PRKP dan LPMS, mengalami serangan bom
akhir April 2005. Kendati tak ada korban jiwa, serangan itu cukup mencemaskan para
aktivis di tengah-tengah eskalasi teror (pemboman, penembakan misterius, dan
pembunuhan), baik di Kabupaten Poso, maupun di kota Palu. Beberapa tahun kemudian,
para pelaku mengakui bahwa pemboman itu karena kedua ornop menjadi markas gerakan
anti-korupsi dana kemanusiaan Poso. GJA sendiri berulang kali menerima sms ancaman.
Beberapa kali dia mengeluh dan tampak panik karena merasa ada yang selalu
mengintainya. Belum lagi, hampir saban hari, di Palu, Poso Center menerima tamu dua
anggota intel Kopassus yang ‘memantau’ kekerasan Poso. Mereka menanyakan tentang
aktivitas-aktivitas Poso Center dan GJA. Tidak jelas, apakah mereka menggali informasi
tentang Poso Center atau Poso Center hanya jembatan untuk GJA.
Kita melihat teori dipraktikkan. Teori tentang korupsi dan kekerasan dipraktikkan dalam
gerakan bersama di Poso. GJA yang mengambil bagian dalam gerakan ini, menulis
kesaksiannya:
” … dari sudut kebudayaan, partisipasi para pengungsi dan mantan kombatan dalam
aksi-aksi massa secara bahu membahu, walaupun berbeda agama dan suku, dan
bekerjasama dengan aktivis-aktivis berbasis kota dan kampus, dapat dilihat sebagai
suatu inovasi budaya. Sebelumnya, masyarakat Poso sangat bersifat semi-feodal, di
mana hanya para kabose (bangsawan) dapat menjadi jurubicara mereka. Baik kabose lama,
maupun para ‘kabose baru’, yakni para pemuka agama – pendeta dan ulama – serta para
pemimpin formal yang diangkat oleh pemerintah.”[30]
***
GJA adalah figur yang unik dalam petabumi intelektualisme dan aktivisme dalam
menghadapi rezim otoriter Orde Baru dan rezim reformasi pasca-Orde Baru. Ketika
banyak intelektual lebih memilih berumah di atas angin dan banyak aktivis berlagak
anti-teori, GJA sepanjang kariernya mengombinasikan dua dunia yang semestinya tidak
bertolak belakang itu. Dia aktif mengerahkan kemampuan fisik dan mentalnya untuk
memproduksi pengetahuan. Dalam waktu yang sama, karya-karyanya menjadi senjata
untuk gerakan-gerakan sosial di mana dia ikut mengambil bagian secara aktif.
Puluhan tahun, bersikap kritis terhadap penyalah-gunaan kekuasaan di berbagai jenjang,
termasuk di Poso, menunjukkan nafas panjang konsistensinya. Problem Indonesia tentu
saja jauh lebih kompleks dari kacamata teori oligarki, tetapi penggunaannya, terutama
sejak reformasi 1998, memperlihatkan keteguhan teoritik GJA untuk mempersoalkan
praktik penyimpangan kekuasaan. Konsistensi ini bukan karena pilihan subjektifnya
17
semata, tetapi beririsan dengan kenyataan objektif di luar sana. Otoritarianisme Orde
Baru memang sudah ambruk, tetapi demokrasi sejati masih jauh. Praktik-praktik
pemangsaan dalam pengelolaan kekuasaan bukan melemah, tetapi semakin menggila,
dengan pelaku kejahatan saja yang berbeda. GJA benar, ketika sekitar 15 tahun lalu,
memilih judul sebuah tulisannya: “Suharto has gone, but the regime has not changed”.
Rest in Power.***
Penulis adalah kandidat doktor di York University, Kanada, dan editor IndoPROGRESS
Catatan: Saripati tulisan ini telah dipresentasikan di panel tentang “In Memoriam
George Junus Aditjondro: Works and Lives”, 21 Desember 2016, dalam International
Conference tentang Navigating Global Flows of Capital, Policy and Values:
Conceptualizing Trajectories Toward Alternative Modernities in Indonesia, kerja sama
antara Universitas Tadulako, Celebes Institute dan Yayasan Tanah Merdeka, 19-22
Desember di Palu. Sejak Agustus 2016, saya sudah memperoleh izin dari beberapa orang
yang namanya saya sebut dalam tulisan ini.
———
[1] Karl Marx. 1962[1852]. “The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.” In Karl Marx
and Frederick Engels. Selected Works (Volume 1). Moscow: Foreign Languages
Publishing House, p, 247.
[2] David Lirbhold. 1999. “Man with a Mission: Find Suharto’s Loot”. Time, May 24.
[3] George Junus Aditjondro. 2005. “Lingkungan Hidup dan Politik Pembangunan di
Indonesia.” Makalah untuk Seminar Lingkungan Hidup, Senat Mahasiswa Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, 15 Juni, h, 12.
[4] Surat George Junus Adijtondro untuk Presiden Soeharto. Newcsatle, 24 Juli 1997.
[5] Lihat George Junus Aditjondro. 2006. “Mengenang Perempuan dan Anak-anak yang
telah dipersembahkan di Altar Kapitalisme: Relevansi Das Kapital bagi gerakan-gerakan
kemasyarakatan (social movements ) di Indonesia.” Catatan untuk Peluncuran Buku II
Kapital karya Karl Marx, Senin, 18 Sept. di GSG Unika Parahyangan, Bandung.
[6] George Junus Aditjondro. 2006. “Demokrasi Radikal, Fundamentalisme Agama dan
Fundamentalisme Pasar.” Makalah untuk Seminar dan Lokakarya Agama dan Negara
bertema “Lampu Merah Nasionalisme: Kebangkitan Fundamentalisme dan
18
Neo-Liberalisme” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Darma, Selasa, 29 Agustus, h,
4.
[7] Ibid, h, 8; lihat juga George Junus Aditjondro. 2008. “Ernesto “Che” Guevara,
Ernesto Laclau dan Kebangkitan Gerakan Kiri di Amerika Latin.” Sociae Polites
VIII(26):1-23, h, 17.
[8] Ibid, h, 9-10.
[9] Lirbhold, “Man with a Mission: Find Suharto’s Loot”.
[10] Lihat George Junus Aditjondro. 2002. “Suharto has gone, but the regime has not
changed: presidential corruption in the Orde Baru.” Dalam Richard Holloway (ed.).
Stealing from the People: 16 studies on corruption in Indonesia Book 1: corruption from
top to bottom. Jakarta; Aksara Foundation, pp, 1-66; George Junus Adijtondro. 2002.
Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan; George Junus Adijtondro. 2002. Kembari Siam Penguasa Politik
dan Ekonomi di Indonesia: Investigasi korupsi sistemik bagi aktivis dan wartawan.
Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan; George Junus Aditjondro. 2006.
Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, tangksi, dan partai
penguasa. Jogyakarta: LKIS; George Junus Adijtondro. 2010. Membongkar Gurita
Cikeas di Balik Skandal Bank Century. Jogyakarta: Galangpress; George Junus
Aditjondro. 2011. Cikeas Kian Menggurita. Jogjakarta: Galangpress.
[11] Adijtondro, Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia, h,
xii-xiii.
[12] George Junus Aditjondro. 2009. “Are people Judged by Their Blood, or by Their
Wealth? Contradiction in Toraja’s New Oligarchy.” Paper for International Conference
on ‘Toraja: Toraja Culture as Symbol of Indonesian Multiculturalism and Genius Loci’ in
Rantepao, Tana Toraja, 27-29 July 2009.
[13] Aditjondro, Cikeas Kian Menggurita, h, 7-9.
[14] Lihat Karl Marx. Capital Volume I. New York, London: Penguin Books.
[15] Lihat “Zaman Batu di Besoa,” Tempo, 29 April 1978; Lihat juga “ALam Masih Murni,
Tapi Anoa Hampir Pergi,” Tempo, 3 April 1978.
[16] Lihat G.Y. Aditjondro. 1979. “Angin Pantai di Lembah Pegunungan: Adakah yang
bakal terbang?” Prisma, Februari, h, 3-17.
19
[17] Ibid, h, 17. Ekspedisi Voskuil adalah sebuah ekspedisi militer yang dilakukan
September 1905. Pasukan tentara Belanda pimpinan H.J.Voskuil dikirim ke wilayah itu
menyusul penolakan dua kepala suku yang diundang menghadiri pertemuan yang dilakukan
oleh W.G. Engelenberg, Asisten Residen Sulawesi Tengah. Akibatnya, 60 To Napu
meninggal dalam pertempuran. Lihat Alber Schrauwers. 2000. Colonial ‘Reformation’ in
the Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892-1995. Toronto: University of
Torontor Press, p, 47.
[18] Lihat George Aditjondro. 1993. The Media as Development “Textbook”: A case
study on information distortion in the debate about the social impact of an Indonesian
dam. A Ph.D Dissertation at Cornell University.
[19] Di antaranya George Junus Aditjondro. 1980. “Setelah Larona Dibendung”. Bina
Desa, April, 77-79; George Junus Aditjondro. 1983. “Mengkaji Dampak PLTA Sentani,”
Tanah Air, November, pp, 11-13; George Junus Aditjondro. 1990. “Para Pendekar
Kedungombo, Di Mana Kau Berada,” Gita Kampus, Februari; George Junus Aditjondro.
1990. “Hikayat Pembangunan Bendungan,” Suara Merdeka, 10-11 Oktober; George Junus
Aditjondro. 1990. Citra Bendungan Lewat Puisi: Dari Taufiq Ismail Sampai Sejumlah
Penyair Kalsel,” Banjar Masin Pos, 8 November.
[20] Beberapa di antara tulisan-tulisannya adalah George Junus Aditjondro. 2001. “Guns,
Pamphlets and Handie-Talkies: How the military exploited local ethno-religious tension
in Maluku to preserve their political and economic privileges.” In Ingrid Wessel &
Georgia Wimhöfer (eds). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera Verlag Markus Voss, h,
100-28; George Junus Aditjondro. 2002. “Pemekaran KODAM di Sulawesi.” Makalah
penelitian yang tidak diterbitkan untuk National Democratic Institute, Jakarta.
[21] George Junus Aditjondro. 2004. “Dampak Pemberitaan Media atas Konflik Regional
di Indonesia: Telaah atas liputan media terhadap konflik di Aceh, Ambon dan Poso,”
Makalah tidak dipublikasi, h,2.
[22] George Junus Aditjondro. 2003. “Renungan Buat Papa Nanda, Anak Domba Paskah
dari Tentena.” Prolog dalam Rinaldy Damanik. Tragedi Kemanusiaan Poso: Menanggapi
surya pagi melelaui kegelapan malam. Jakarta: PBHI, Yakoma PGI, CD Betesda, h, xxi.
[23] George Junus Aditjondro. 2005. “Meniliti di antara Desingan Peluru, Asap, Air Mata
dan Reruntuhan: Penelitian Sosial di Daerah Konflik dan Pasca-Bencana.” Makalah untuk
Workshop Renstra Komunikasi bertema “Voice of the Voiceless”: Strategi Komunikasi di
Wilayah Konflik/Bencana, yang diselenggarakan oleh YAKKUM Emergency Unit (YEU) di
Yogyakarta, 9 s/d 14 Agustus, h, 7.
20
[24] Aditjondro, “Pemekaran KODAM di Sulawesi”; George Junus Aditjondro. 2004.
“Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya.” Dalam Stanley
(Peny.) Keamanan, Demokrasi, dan Pemilu 2004. Jakarta: Propatria, h, 134-46.
[25] George Junus Aditjondro. 2005. “Meneliti di antara Desingan Peluru, Asap, Air
Mata dan Reruntuhan.” Makalah untuk Workshop Renstra Komunikasi bertema “Voice of
the Voiceless”: Strategi Komunikasi di Wilayah Konflik/Bencana, yang diselenggarakan
oleh YAKKUM Emergency Unit (YEU) di Yogyakarta, 9 s/d 14 Agustus 2005, h, 5.
[26] Aditjondro, “Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya,”
h, 147.
[27] George Junus Aditjondro. 2004. “Tiga Belas Tesis tentang Kerusuhan dan Konflik
Sosial Pasca-Soeharto di Indonesia.” Dalam Dicky Mailoa, dkk (peny.) Gereja-gereja
Menggumuli Konflik dan Kekerasan dalam Era Transisi Menuju Demokrasi di Indonesia.
Jakarta: Crisis Center PGI, h, 46-58.
[28] Lihat Aditjondro, “Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan
Keluarnya,” h, 144-5.
[29] George Junus Aditjondro. 2005. “Dari Konflik Vertikal ke Konflik Horizontal, Dari
Aksi Restoratif ke Aksi Transformatif: Keragaman konflik agrarian dan aksi petani di
Indonesia.” Makalah untuk Konferensi Petani yang diselenggarakan oleh Yayasan Tanah
Merdeka di Palu, 21 September, h, 10.
[30] George Junus Aditjondro. 2005. “Kontribusi Psikologi Radikal Frantz Fanon dalam
Pendampingan Korban Konflik Sosial di Poso.” Makalah untuk Kuliah Tamu di Universitas
Surabaya (UBAYA), 21-22 Juni, h, 9.