Upload
danghuong
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HADIS-HADIS MISOGINIS DALAM PERSPEKTIF
GENDER DAN HERMENEUTIKA
(STUDI HADIS TENTANG PEREMPUAN DALAM KELUARGA)
Oleh :
MOH. MUHTADOR
NIM : 1320511066
TESIS
Diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam
Program Studi Agama dan Filsafat
Konsentrasi Studi Quran dan Hadis
YOGYAKARTA
2015
vii
MOTTO
*فارفع بضم وانصنب فتحا وجر
*كرسا كذكر هللا عبده يرس (الفية ابن ماكل)
Seorang yang sopan (tādzub), disertai dengan sikap istiqamah (lurus), terbuka,
tabah (sabar) serta memperbanyak mengingat Tuhan akan memperoleh keagungan
ilmu.
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tesis ini Kupersembahkan untuk :
Kedua orang tuaku tercinta
Yagn selalu memberikan semangat keilmuan tanpa rasa lelah
Semua saudaraku terkasih yang selalu memberikan motivasi dengan cinta
Seluruh guru yang telah memberikan ilmu. Semoga apa yang saya dapatkan
menjadi manfaat
Orang yang selalu memberikan motivasi kasih. Semoga tulisan ini menjadi realita
hidup kita untuk masa yang akan datang.
For Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang telah memfasilitasiku dalam
pencarian ilmu.
ix
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang hadis-hadis misoginis yang berkaitan
dengan perempuan dalam keluarga. Kaitannya dengan keluarga terdapat hadis
yang secara redaksional menceritakan tentang kebencian terhadap perempuan,
perempuan dipandang lebih rendah dibandingkan laki-laki sehingga perempuan
dipahami sebagai makhluk nomor dua. Paradigm tersebut berkembang dan
menjadi keyakinan masyarakat sebagai ajaran agama. Dengan demikian adanya
sikap diskriminasi terhadap perempuan yang terdapat dalam hadis Nabi secara
garis besar dapat dipetakan menjadi tiga. Pertama, prapernikahan, yaitu
perempuan dipandang tidak memiliki hak untuk menentukan calon suaminya.
Kedua, posisi berumah tangga, ialah suami mempunyai otoritas penuh untuk
mengatur kehidupan istri dan istri harus taat dengan sepenuh hati tanpa bias
mempertanyakan dan mengkriti. Ketiga, proses cerai, seorang istri tidak dapat
meminta cerai kepada suaminya, tetapi seorang suami dapat menceraikan istrinya.
Proses diskriminasi tersebut tersebar dalam beberapa kitab hadis primer dan
sering menjadi bahan justifikasi. Dalam relasi keluarga terdapat kesenjangan
interpretasi terhadap perempuan. Sehingga perempuan diinterpretasikan dan
didefinisikan sebagai obyek.
Sebagai kajian library research, penelitian ini mengambil data dari kitab-
kitab hadis primer (kutub tis’ah) sebagai data utama dan data sekunder dari
berbagai literatur yang memiliki urgensi dalam pembahasan. Metode
pengumpulan data menggunakan dokumentasi, sedangkan metode dalam
menganalisis data menggunakan deskriptif, analitik, dan induktif. Adapun pisau
analisis dari data-data yang di dapatkan dalam penelitian menggunakan teori
Gender dan hermeneutika.
Penggunaan teori Gender dan hermeneutika dalam penelitian ini
memberikan gambaran, bahwa faktor yang menyebabkan adanya interpretasi yang
bias disebabkan oleh tiga hal. Pertama, adanya teks keagamaan yang memiliki
redaksi misoginis, kedua, peran pembaca dalam memahami hadis, dan ketiga,
adanya interpretasi yang disakralkan dalam lingkar pemahaman. Dengan
demikian, pada posisi tersebut peran hermeneutika dibutuhkan untuk meretas
kesenjangan pemahaman atas hadis misoginis, yaitu pembaca hadis menyadari
horizon dirinya dan horizon yang telah melingkupi hadis misoginis. Kesadaran
pembaca akan horizon yang melingkupi dirinya dan hadis akan merubah model
pembacaan dan pemahaman terhadap hadis misoginis. Pembacaan dengan model
demikian yang menghasilkan pemahaman yang egaliter dan berkeadilan gender.
Kata Kunci: Hadis misoginis, Gender, Hermeneutika, dan Perempuan.
x
KATA PENGANTAR
والصالة والسالم عىل من جاء ابلصالح س يد الكون العراب , امحلدهلل رب العاملني عىل هداية املس تقمي
.والعجم محمد صىل هللا عليه وسمل وعىل من اتبع الهدى و الاس تقام اهل واحصاب امجعني وبعد
Dengan penuh rasa hormat peneliti mengucap rasa syukur yang dalam atas
nikmat Allah SWT, dengan terselesaikannya tesis ini, dan penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Kedua orang tuaku. Abahku yang telah memberikan semangat keilmuan
seperti halnya secercah cahaya yang tak pernah padam dalam keabadian
cinta, serta ibunda yang telah merelakan jiwanya untuk anak yang nakal
ini dengan pesan yang masih terus aku kenang “jangan main perempuan
kalau mau sukses”. Semoga beliau ditempatkan di surga Firdausnya.
Amin.
2. Bapak Prof. Drs. H. Akh Minhaji, MA.,Ph.D selaku rektor UIN Sunan
Kalijaga.
3. Bapak Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D selaku Direktur
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
4. Bapak Dr. Moch Nur Ichwan, MA sebagai Ketua Program Studi Agama
dan Filsafat Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
5. Ibu Dr. Inayah Rohmaniya, M. Hum., M.A selaku pembimbing tesis.
Dengan motivasi beliau tesis ini dapat terselesaikan.
xi
6. Seluruh dosen yang ada di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Islam
Negerti Sunan Kalijaga, khususnya para pengampuh prodi Agama dan
Filsafat. Semoga mendapat pahala dari Tuhan.
7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
8. Seluruh karyawan Pascasarjana UIN Suna Kalijaga Yogyakarta
9. Seluruh Guru-guruku yang tidak dapat peneliti sebut satu persatu
10. saudara-saudaraku (Istianah, Maftuhah, Ummi Kulsum, Fathurrozi, Ibnu
Jarir, Maisyatul Hasanah, Ainul Yaqin, dan Fawaidul Hikam) tanpa putus
asa telah memberikan semangat bagi penulis untuk terus belajar dan
belajar kehidupan.
11. Istri tercinta Nailul Khasanah yang setia menunggu untuk terealisasinya
jalinan rumah tangga yang abadi.
12. Teman-teman Lisafa yang ikut serta memberikan kontribusi dalam ruang
diskusi yang tidak dapat peneliti sebut satu persatu sehingga terselesaikan
tulisan ini.
13. Teman-teman kelas dari semester satu sampai semester dua. Meskipun
ruang kita berbeda tetapi semangat tetap sama. Begitu juga teman semester
tiga dengan semangat sunnah yang tinggi akhirnya penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan sunnah akademik.
Terakhir, penulis sadari sangat jauh dari kesempurnaan dalam penelitian
ini. Adapun kekurangan yang pembaca temukan dengan besar hati peneliti
xii
harapkan masukan yang dapat membangun untuk penyempurnaannya. Demikian
semoga bermanfaat.
Yogyakarta, 25 Mei 2015
Penyusun Tesis
Moh. Muhtador, S. Ud.
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan tesis ini
berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan
0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Fonem konsonan bahasa Arab, yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam tulisan transliterasi ini sebagian dilambangkan
dengan huruf, sebagian dengan tanda, dan sebagian dengan huruf dan tanda
sekaligus, sebagai berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا
Ba‟ B Be ة
Ta‟ T Te ث
Tsa S Es (dengan titik atas) ث
Jim J Je ج
Ha H Ha (dengan titik di bawah) ح
Kha Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Dzal Z Zal (dengan titik diatas) ذ
Ra R Er ر
xiv
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
Sad Ṣ Es (dengan titik di bawah) ص
Dad Ḍ De (dengan titik di bawah) ض
Ta Ṭ Te (dengan titik di bawah) ط
Za Ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ
ain „ Koma terbalik (di atas)„ ع
Ghain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em و
Nun N En
Wau W We و
Ha H Ha
Hamzah ‟ Apostrof ء
Ya‟ Y Ya
1. Vokal
a. Vokal tunggal
xv
Tanda vokal Nama Huruf latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dammah U U
b. Vokal Rangkap
Tanda Nama Huruf latin Nama
Fathah dan ya Ai a-i
Fathah dan wau Aw a-w
Contoh:
kaifa______كيف Qawlun_____قول
B. Konsonan rangkap (syaddah atau tasydid) ditulis rangkap, baik ketika
berada di awal atau di akhir kata.
Ditulis Mutawassiṭah يتوسطت
Ditulis Al-birru انبر
C. Ta’ Marbutah hidup ditulis “t” dan ta’ marbutah mati ditulis “h”
Ditulis rawḍah al-‘ilmi روضت انعهى
’Ditulis Karāmah al-awliyā كرايت األونيبء
Ditulis Al-madīnah al-munawwarah انديت انورة
Ditulis ‘ubiadah عبيدة
xvi
D. Vocal Panjang (Maddah)
Tanda Nama Huruf latin Nama
Fathah dan alif Ẩ A dengan garis di bawah أ
Fathah dan ya‟ Ẩ A dengan garis di bawah ي
Kasrah dan ya‟ Ỉ I dengan garis di bawah ي
Dammah dan و
wawu
Û U dengan garis di atas
Contoh:
qîla-------قيم jâ’a----------جبء
yajūzu-------يجوز sara----------سرى
E. Vocal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof
Ditulis Ta’âla تعبني
Ditulis A’lamu أعهى
Ditulis La’in syakartum نئ شكرتى
F. Kata Sandang Alif+Lam
Kata sandang “ال” ditransliterasikan dengan “al” diikuti dengan tanda
penghubung “-”, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun
huruf syamsiyyah.
Ditulis Al-kitâb انكتبة
xvii
Ditulis Al-Nujūm انجوو
Ditulis Al-Ra’d انرعد
G. Huruf Kapital
Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam
transliterasi huruf kapital digunakann untuk awal kalimat, nama diri, dan
sebagainya seperti ketentuan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama
diri tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali jika terletak kepada
permulaan kalimat.
Ditulis Wawâ’adnâ Mūsâ وواعدب يوسي
Ditulis Ahl al-sunnah اهم انست
xviii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii
PERNYATAAN BEBASS PLAGIASI ...................................................... iii
PENGESAHAN DIREKTUR .................................................................... iv
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ............................................................... v
NOTA DINAS PEMBIMBING .................................................................. vi
MOTTO ...................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ...................................................................................... viii
ABSTRAK ................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................. x
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. xiii
DAFTAR ISI ............................................................................................ xviii
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 9
D. Kajian Pustaka .................................................................................. 10
E. Kerangka Teoritik ............................................................................ 17
F. Metodologi Penelitian ...................................................................... 26
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ................................................ 26
2. Pengumpulan Data .................................................................... 29
3. Metode Analisis Data ............................................................... 29
xix
BAB II : DISKURSUS HADIS MISOGINIS DAN
HERMENEUTIKA .................................................................................... 30
A. Wacana Hadis Misoginis.................................................................. 31
1. Definisi Misoginis ...................................................................... 31
2. Konstruksi Misoginis ................................................................. 33
B. Hadis Misoginis Dalam Literatur Islam ........................................... 36
1. Misoginis Dalam Al-Quran dan Tafsir ...................................... 38
2. Misoginis Dalam Hadis dan Syarah ........................................... 43
C. Sekilas Wacana Hermeneutika Sebagai Teori Interpretasi Teks ..... 58
BAB III : ANALISIS GENDER DALAM KRITIK
HADIS MISOGINIS .................................................................................. 66
A. Diskursus Hadis Misoginis .............................................................. 67
1. Kritik Ideologis Terhadap Diskriminasi Gender ........................ 70
2. Kritik Epistimologis Terhadap Pemahaman Bias Gender ......... 77
3. Kesenjangan Kritik Sanad dan Matan ........................................ 84
B. Pembacaan Hadis Misoginsi Perspektif Gender .............................. 87
1. Metode Komparatif .................................................................... 89
2. Metode Historis .......................................................................... 91
3. Metode Hermeneutika ................................................................ 94
BAB IV : ANALISIS HERMENEUTIKA ATAS
HADIS MISOGINIS .................................................................................. 99
A. Hermeneutika produktif G.H. Gadamer atas Hadis Misoginis ...... 100
1. Kesadaran Sejarah: Sebuah Upaya Berpikir Objektif .............. 101
2. Pra Pemahaman: Langkah Awal Dalam Negosiasi
Makna ....................................................................................... 106
3. Peleburan Wacana: Upaya Kontekstualisasi Hadis Misoginis. 111
4. Aplikasi Hermeneutika Sebagai Pembacaan Egaliter
Atas Hadis Misoginis: Perempuan Dalam Keluarga ............... 115
B. Implikasi Hermeneutika Dalam Hadis Misoginis .......................... 126
xx
BAB V : PENUTUP ................................................................................. 131
A. Kesimpulan .................................................................................... 131
B. Saran-saran ..................................................................................... 133
C. Penutup ........................................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 135
RIWAYAT PENULIS .............................................................................. 142
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian tentang perempuan dalam agama telah lama menjadi daya
tarik. Perempuan sebagai obyek kajian menjadi sangat menarik ketika
berhubungan dengan agama. Ajaran agama mengandung pembelaan atas
perempuan dan pembelaan terhadap eksistensi perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat. Perhatian tersebut diiringi dengan penegasan sekaligus
menghapus terhadap penindasan dan kekerasan perempuan. Tidak hanya
agama tertentu yang memperhatikan eksistensi perempuan, namun agama-
agama seperti Islam, Hindu, dan Kristen juga berbicara tentang perempuan.
Dalam penelitiannya Rita M. Gross menegaskan, bahwa dalam konteks
tertentu tradisi agama-agama memperkuat dukungan terhadap eksistensi
perempuan, namun dalam manifestasi yang lain dipengaruhi dengan semangat
patriarki.1
Dalam ajaran Islam, secara normatif eksistensi perempuan
diperhatikan. Hal ini ditegaskan dalam beberapa ayat seperti, (QS. Al-
Baqarah, 2: 228; QS: an-Nisa‟, 4: 124; QS. An-Nahl, 16: 97; QS. Al-Isra‟, 17:
7; dan QS. Al-Hujurat, 49: 13). Tetapi ajaran ini berbanding tidak sejalan
dengan realita. Dalam tataran realitas dengan mudah ditemukan kesenjangan
antar ajaran agama yang dipahami dengan realita keagamaan yang
dipraktekkan. Pada level ajaran, hubungan antar laki-laki dan perempuan
1 Rita M. Gross, Feminism and Religion (Bostom: Beacon Press, 1996), hlm. 83.
1
2
setara, tetapi pada tatanan realita sosial, peran laki-laki lebih dominan
dibandingkan perempuan.2 Selama ini, fenomena ketidakadilan terhadap
perempuan dapat terjadi dimanapun, di sektor publik maupun domestik, di
ruang sosial maupun privat. Di ruang-ruang itulah perempuan didefinisikan,
dihadirkan, dan perlakukan. Jika fenomena itu meliputi basis kesadaran dan
bangunan nilai yang komplek, maka dimensi agama merupakan bagian yang
amat penting. Reinterpretasi terhadap teks agama seperti al-Qur‟ān dan hadis,
menjadi sebuah keniscayaan.
Ajaran agama sudah membentuk ajaran baku dalam bentuk teks.
Pembakuan ajaran ini sarat akan problematik. Pada dasarnya agama memiliki
pesan suci dari Tuhan dan diturunkan melalui utusannya (Rasul), dan ajaran
agama diturunkan sebagai problem solving (pemecah masalah). Namun tidak
jarang dalam perkembangannya agama menjadi kambing hitam dalam setiap
permasalahan yang melingkupi masyarakat, apalagi terkait dengan
perempuan. Banyak perempuan yang didefinisikan dan dihadirkan dalam
beberapa interpretasi teks keagamaan sebagai makhluk kelas dua. Interpertasi
tersebut berkembang dan diyakini sebagai dokma agama. Berkembangnya
interpertasi atas diskriminasi perempuan dalam berumahtangga bermula dari
hadis Nabi, hadis yang menarasikan tentang perempuan sangat beragama.
Mulai dari bertunangan, cara memilih istri dan bahkan sampai pada
pemahaman terhadap hadis tentang istri harus taat kepada suami dengan
2 Muhammad Thalib, Ensiklopedi Keluarga Sakinah (Yogyakarta: Pro-U Media, 2008),
hlm. 331.
3
melakukan sujud dan memenuhi kebutuhan seksual suami.3 Pada wilayah
tersebut ajaran agama menjadi problematik yang sarat akan kepentingan.
Apalagi ketika hal ini berkaitan dengan hadis Nabi dan perkembangan
interpretasinya.
Pada dasarnya hadis tidak muncul begitu saja, banyak aspek yang
terkait dengan teks hadis, termasuk ketika dihadapkan dengan persoalan
konteks sosial-budaya pada saat hadis disabdakan. Selain itu, unsur penulisan,
pelapor, pengarang, dan pembaca memiliki budaya beragam. Begitu juga
adanya jarak antara pengarang dan pembaca yang hanya dimediasi oleh teks.4
Jarak yang begitu panjang antara pengarang dan pembaca menimbulkan
pertanyaan yang fundamental. Apakah teks bisa mewakili pesan pengarang,
atau pemahaman yang dilakukan oleh pembaca sesuai dengan maksud
pengarang? Hal ini membutuhkan pembacaan ulang secara kritis terhadap
wacana dan teks-teks keagamaan. Dengan meminjam bahasa Nasr Hamid
Abu Zaid, bahwa ajaran agama terbingkai dalam teks, sehingga teks-teks
tersebut telah membentuk pola pikir dan pola perilaku umat beragama.5 Oleh
sebab itu, jika teks suci sudah berinteraksi dan dipahami dalam ruang lingkup
dan terdapat dalam lingkungan patriakhi, akan sulit diingkari untuk tidak
terjadi penafsiran yang bias akan kepentingan kaum Adam, seperti gagasan
3 Muhammad Thalib, Ensiklopedi Keluarga Sakinah, hlm. 121.
4 Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, Relasi Iman dan sosial-
Humanistik paradigm Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 13. 5 Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender, Kritik Wacana Perempuan dalam Islam,
terj. Nur Ikhwan (Yogyakarta: PSW IAIN Suka dan SAMHA, 2003), hlm. viii.
4
yang ditulis oleh editor “perempuan tertindas” 6
yang mengutip pendapat
Zaitunah Subhan menunjukkan bahwa kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir
laki-laki berkecenderungan bias gender, pada gilirannya merugikan kaum
perempuan. Hal yang sama terjadi pada pemahaman hadis, yang kemudian
muncul istilah hadis-hadis misoginis.7
Kaitannya anatara kekerasan dan wanita ialah terdapat kesenjangan
pembacaan dalam memahami teks hadis, yaitu dalam memahamai hadis
seorang pembaca telah dipengaruhi oleh budaya yang berkembang. Kitab-
kitab keagamaan yang menjadi sumber referensi bagi pandangan dan sikap
hidup keberagamaan, termasuk kitab-kitab karya ulama klasik (turats al-
mutaqaddimin) dipandang sebagai interpretasi para ulama yang bersifat final
atas sumber utama al-Qur‟ān dan hadis.8 Interpretasi tersebut membentuk
suatu otoritas yang menundukkan logika sehat dan teraplikasikan dalam
bentuk budaya. Dalam bahasa Khaled Abou el Fadl, interpretasi yang
diyakini tersebut berpeluang membentuk otoritas persuasif, yaitu melibatkan
kekuasaan yang bersifat normatif, dan mampu mengarahkan keyakinan atau
perilaku seseorang atas dasar keyakinan.9
Hadis tentang perempuan sudah berkembang sejak lama. Hal tersebut
terkait erat dengan peradaban Islam yang ditandai dengan produksi literer
6 Hamim Ilyas, ”Mendampingi yang Dibenci Membela yang Teraniaya“, dalam Mochamad
Sodik dan Inayah Rohmaniyah (ed.), Perempuan tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis
(Yogyakarta: eLSAQ dan PSW UIN SUKA, 2005) hlm. 8. 7Makna misoginis berhubungan dengan persepsi kebencian atas perempuan, dan kajian
hadis misoginis dipelopori oleh Fatimah Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti
(Bandung: Pustaka, 1991), hlm. 62-104. 8 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren
(Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 179. 9 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2001), hlm. 37.
5
yang bersifat masif. Literasi adalah salah satu faktor yang memainkan peran
diskriminasi. Tetapi hadis sudah memainkan perannya yang sangat penting
dalam menyusun kerangka dan referensi keagamaan yang bersifat otoritatif.
Pada tataran fungsional, hadis dipresentasikan oleh pembaca. Pada posisi
tersebut pembaca mengklaim bahwa hadis telah memberi otoritas kepadanya.
Namun, ada ketegangan yang tidak dapat dihindari antara hadis dan
interpretasinya karena terkait dengan horizonnya masing-masing.10
Pemahaman yang kurang memperhatikan aspek-aspek histori akan
menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami hadis Nabi, sehingga
banyak hadis yang dipahami secara tekstual dan normatif. Pemahaman yang
hanya memperhatikan aspek bahasa tidak akan mendapatkan pesan yang
terkandung dalam teks, karena teks hanya reportase masa lalu, termasuk teks
hadis. Dengan demikian, memahami hadis Nabi tidak bisa dilepaskan dari
konteks temporal masa lalu.11
Dengan demikian, pendekatan hadis harus terbuka dalam usaha
menegosiasikan makna dan tidak hanya didominasi oleh sekelompok otoritas
tertentu. Terbukanya pemaknaan mengembalikan hadis pada spirit Islam
sebagai agama pembebasan. Pembaca harus memperhatikan beberapa aspke
10
Khaled Abou el-Fadl, Melawan “Tentara Tuhan” yang Berwenang dan yang Sewenang-
wenag dalam Wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003),
hlm. 54. 11 Abdul Mustaqim, Ilmu Ma‟anil Hadits Paradigma Interkoneksi (Yogyakarta: Idea Press,
2008), hlm.30-31.
6
terkait dalam upaya menegosiasikan matan dengan realita kemasyarakatan
dewasa ini, termasuk dengan menggunakan kajian hermeneutika.12
Dalam tulisan ini, peneliti berusaha untuk mengintegrasikan
hermeneutika sebagai teori memahami hadis misoginis karena adanya
pemahaman yang bias gender.13
Pada wilayah inilah hermeneutika menjadi
metode interpretasi bagi problem pembacaan hadis. Meskipun secara ajaran
hadis mempunyai nilai normativitas, tetapi hadis telah menjadi sebuah teks
yang dapat dipahami oleh siapa saja yang ingin mengungkap makna yang
terkandung dalam teks. Namun terkadang yang menjadi persoalan ialah, apa
mungkin menghadapkan hadis yang kebenarannya bersifat normatif dengan
kajian hermeneutika yang kebenarannya bersifat relatif dan tentatif.
Dalam hal ini, peneliti mencoba keluar dari keterjebakan metode
logika kedua mainstream keilmuan tersebut. Mengacu kepada kedua disiplin
tersebut akan mengurangi subtansi dari salah satu karakter ilmu. Metode
perbandingan studi hadis selalu mengenal asumsi tentang term-term
kesakralan, seperti diterimanya semua informasi dari sahabat, tanpa reserve
sahihnya semua hadis yang ada dalam kitab hadis. Memahami akar keilmuan
12Dalam kajian ini, Sahiron membagi tiga bagian besar dalam kajian Hermeneutika,
hermeneutika Obyektivitas, Hermenutika Obyektivis-cum-Subyektivis, dan kajian Subyektivis.
Lihat Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an (Yogyakarta:
Pesantren Nawesia Press, 2009), hlm. 15. 13 Dalam banyak kasus tentang hadis yang seakan-akan redaksinya tidak sesuai dengan
realitas dan bertentangan dengan hadis lain, bahkan hal ini diungkap oleh Khatib Ajjaj, dan dikutip
oleh Muhammad Yusuf, perlu adanya pendekatan yang menyeluruh dalam memahami hadis. Alasan perlunya pendekatan tersebut sangat realistis, sebab tidak semua kitab hadis ada syarahnya,
dan hanya sebagain kitab hadis saja yang memiliki syarh. Di sisi lain, dalam memahami hadis para
penafsir terfokus data riwayat yang menekankan kupasan dari sudut gramatikal bahasa dengan
pola pikir sistem bayani. Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis., hlm. 17,
baca juga. Muhammad „Ajjâj al-Khatîb, Ushul al-Hadis „Ulumuhu wa Musthalahuhu (Beirut: Dār
al-Fikr, 2011), hlm. 94.
7
metodologi interpretasi menghantarkan peneliti kepada peta permasalah yang
lebih jelas. Dalam hal ini, harus dibedakan antara metode interpretasi dan
hadis itu sendiri. Simplifikasi pemahaman antara metode interpretasi hadis
dengan hadis merupakan cikal bakal stagnasi pemikiran dalam studi
memahami hadis. Interpretasi hadis merupakan ilmu yang baginya mengakui
adanya shifting paradigm (Pergeseran gugusan pemikiran keilmuan) sebagai
juga berlaku dalam natural sciences maupun social sciences.14
Dalam tulisan ini peneliti tertarik mengkaji hadis misoginis dalam
keluarga. Seperti yang telah ditegaskan pada awal, bahwa perkembangan
diskriminasi perempuan banyak berangkat dari hadis Nabi yang terbingkai
dalam relasi kekeluargaan. Pola kekerabatan yang sangat kuat memberikan
peluang dalam menyebarkan sikap diskriminasi perempuan. Pada tataran ini
penulisn tertarik mengkaji karena rangkaian diskriminasi atas perempuan
tidak hanya terjadi pada satu masa, tetapi sikap diskriminasi atas perempuan
berkembang secara masif, di mulai dari prapernikahan sampai pada seorang
hidup berumah tangga. Pada kondisi tersebut perempuan tidak mempunyai
hak utuh untuk mengembangkan dirinya. Adanya sikap demikian timbul dari
interpretasi yang berkembang atas hadis misoginis yang dipahami secara
tekstual, pemahaman dengan model demikian berimplikasi terhadap
perempuan yang menjadi istri. Dimana perempuan didefinisikan sebagai
obyek dari kekuasaan suami. berangkat dari hal tersebut kepedulian untuk
merekonstruksi pemahaman yang subtansial terkait dengan hadis, karena
14 Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminisme (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005), hlm.15.
8
subordinasi kaum Adam atas perempuan banyak dijustifikasi dari ajaran
agama, terutama hadis. Nasaruddin Umar berpendapat, bahwa peran
perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga banyak yang bias gender,
ketimpangan peran sosial berdasarkan gender sering dianggap sebagai devine
creation, yang bersumber dari Tuhan dan ajaran agama.15
B. Rumusan Masalah
Dengan adanya deskripis tersebut, peneliti mempunyai pokok
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Analisis Gender dalam Kritik Hadis Misoginis?
2. Bagaimana Implikasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer dalam
Memahami Hadis Misoginis tentang dengan Perempuan dalam Keluarga?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sebagaimana pilihan rumusan masalah di atas, dapat dipahami tujuan
penelitian ini ialah:
1. Untuk mengetahui model Analisis Gender dalam Kritik Hadis Misoginis.
2. Untuk mengetahui Implikasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer dalam
Memahami Hadis Misoginis khususnya Perempuan dalam Keluarga.
Di sisi lain, penelitian ini mempunyai signifikansi, yaitu manfaat yang
akan dicapai dalam penelitian ini di tinjau dari dua aspek, yaitu:
1. Secara Praktis
15 Nasaruddin Umar, “Kata Pengantar” dalam Memaknai Perkawinan dalam Perspektif
Kesetaraan (Studi Kritis Hadis-hadis Perkawinan) (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008), hlm. iv.
9
a. Hermeneutika sebagai metodologi pemahaman bisa menjadi bagian dari
ilmu ma‟anil hadis, mengingat selama ini dalam pembacaan atas hadis
sering mengalami distorsi pemaknaan
b. Hermeneutika menyadarkan adanya horizon terkait dengan pembaca,
terutama hadis-hadis yang berkaitan dengan perempuan.
2. Secara Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumbangsih bagi peneliti
selanjutnya untuk mengembangkan model pemahaman hermeneutika
dalam memahami teks keagamaan.
b. Secara khsusus menjadi bagian integral keilmuan yang bisa
memperkaya model pemahaman keilmuan hadis.
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian kepustakaan, peneliti tidak menafikan banyaknya tulisan
yang telah membahas tentang hadis-hadis misoginis. Adapun tulisan yang
berkaitan dengan hadis misoginis yaitu, Wanita dalam Islam, karya Fatima
Mernissi.16
Dalam karyanya, Mernisi mengkritisi hadis misogini. Dalam
pandangan Mernisi, hadis misoginis terbentuk dari kepentingan laki-laki.
Hadis tentang perempuan dalam Islam menjadi dasar justifikasi superioritas
laki-laki, sehingga harus dihilangkan dari literatur islam karena hadis tersebut
tidak mencerminkan sikap Nabi. Adapun kritik yang dilakukan oleh Mernisi
terkait dengan empat hal, yaitu memerikas sahabat yang meriwayatkan hadis,
16 Fatima Mernisi, Wanita dalam Islam, hlm. 67.
10
menganalisa sosia-kultural munculnya hadis, tujuan diriwayatkan hadis, dan
menganalisa matan hadis dan periwayat yang meriwayatkannya.
Dalam tulisannya Fudhaili menjadikan Jāmi‟ Shahīh li Bukhāri
sebagai obyek kajian sebagai upaya untuk mendeteksi hadis misoginis. Dalam
kesimpulannya, Fudhaili berpendapat, bahwa tidak ada hadis Nabi yang
misoginis. Karena Nabi seorang yang penuh kasih sayng, akan tetapi
pemahaman atas hadis tersebut yang bersifat misoginis. Oleh karena itu,
hadis-hadis misoginis dalam pandang Fudhaili statusnya palsu.17
Karya Barbara Freyer Stowasser yang berjudul, Reinterpretasi Gender
“wanita dalam al-Qur‟ān, Hadis, dan Tafsir”. Barbara mencoba
mengungkap sisi perempuan yang dikisahkan dalam al-Qur‟ān dan hadis,
kisah-kisah inspiratif bagi perempuan modern. Kisah tersebut memuat
keteguhan perempuan pada masa lalu sehingga mendapatkan kehormatan.
Namun pada sisi-sisi lain, ajaran agama juga memuat kisah perempuan yang
hanya menjadi obyke diskriminasi, dan pada wilayah tersebut pemahaman
atas teks agama harus dipahami ulang dengan pembacaan yang lebih
komprehensif.18
Moh. Agus Najib dalam karyanya yang berjudul Penciptaan
Perempuan dan Tulang Rusuk Laki-laki mencoba untuk meronstruksi
pemahaman yang berkembang dimasyarakat, bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk laki-laki. Penelusuran awal, Agus Najib mencari tahu status
17 Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis Shahih (Yogyakarta:
Nuansa Aksara, 2005), hlm. 5-320. 18 Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender, Wanita dalam Al-Qur‟ān, Hadis dan
Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 5-127.
11
hadis tersebut dengan mentakhrij sanadnya. Dari kesimpulan yang di dapat,
bahwa hadis tersebut sanadnya bernilai shaih. Tetapi masih terdapat
perbedaan pendapat tentang matannya. Karena matan hadis tersebut masih
diperdebatkan. Setidaknya ada dua kelompok terkait dengan matan hadis
tersebut. Kelompok pertama menerima hadis terebut karena sebagai tafsir dari
QS al-Nisa 1, dan ada yang mengartikan bahwa hadis tersebut harus diartikan
secara metofara, yaitu laki-laki harus berlaku baik dan bijaksana dalam
memperlakukan perempuan. Kelompok kedua menolak hadis tersebut secara
matan. Karena tidak sesuai dengan semangat al-Qur‟ān dan tidak adanya
akurasi keshahihan matan yang terdapat dalam hadis tersebut.19
Dalam tulisannya, Hamim Ilyas menjelaskan dua sisi yang terkait
dengan hadis tersebut. Pertama, menjelaskan status hadis tersebut. Dalam
penelitiannya status hadis shahih meskipun dengan banyak ragam matan.
Kedua, memberikan penjelasan tentang hadis “perempuan kurang akal dan
agama.” Dalam pandangan Hamim yang dikutip dari al-Syuyuti, hadis
tersebut mempunyai tiga asbab wurud yang dapat membantu untuk
menganalisi kandungan hadis. lebih lanjut Hamim menyatakan, bahwa hadis
tersebut disabdakan karena berkaitan dengan perempuan Madina yang tidak
mau menjaga pandangannya dan mengganggu jalan. Hal ini disebabkan
adanya tradisi kongkow (ngerumpi) di sepanjang jalan Madina menuju
masjid.20
19 Moh. Agus Najib, “Penciptaan Perempuan dan Tulang Rusuk Laki-laki”, dalam Inayah
Rohmaniyah dan Sodik (ed.), Perempuan Tertindas…, hlm. 31-50. 20 Hamim Ilyas, “Kodrat Perempuan Kurang Akal dan Agama” dalam Perempuan
tertindas…, hlm. 51-65.
12
Waryono dalam karyanya Perbedaan Air Seni Anak Laki-laki dan
Perempuan menjelaskan beberapa bagian terkait laki-laki dan perempuan
dalam pandangan fiqh. Banyak perbedaan yang signifikan terkait laki-laki
dan perempuan di bidang fiqh, khususnya bidang ibadah mahdah. Salah
satunya perbedaan tersebut terkait dengan cara mensucikan air seni laki-laki
dan perempuan yang dilandasi hadis Nabi. Hadis tersebut dalam pandangan
Waryono berstatus shahih meskipun terdapat catata, yaitu perlunya penelitian
lebih lanjut terkait dengan syad tidaknya sanad hadit tersebut. Berkaitan
dengan matan, hadis tersebut mempunyai beragam matan dengan banyak
perawi. Diantara ragam matan tersebut ada yang menggunakan bahasa secara
histori tidak populer. Hal tersebut perlu untuk dikritisi.21
Tulisan Inayah Rohmaniah yang berjudul Penghambaan Istri pada
Suami mendiskripisikan hadis bersujud pada suami dengan analisa normatif
dan kontekstual. Secara normatif hadis tersebut bertentangan dengan ajaran
moral subtansial al-Qur‟ān dan secara kontekstual hadis tersebut menyiratkan
pesan ketaatan istri selama tidak bertentangan dengan norma agama. Karena
hadis tersebut pada dasarnya bersifat temporal lokal, namun subtansinya
universal. Di sisi lain, Inayah menegasakan, bahwa riwayat Imam Tirmidzi,
Abu Daud, dan Ahmad ibn Hambl berstatus dhaif.22
Tulisan Wawan G. A. Wahib yang berjudul Otonomi Perempuan
dalam Beribadah (Kasus Puasa Sunah). Tulisan tersebut bermaksud untuk
21 Waryono, “Perbedaan Air Seni Laki-laki dan Perempuan” dalam Perempuan
tertindas…, hlm. 67-92. 22 Inayah Rohmaniyah, “Penghambaan Istri pada Suami” dalam Perempuan tertindas…,
hlm. 95-118.
13
menyajikan pemaknaan alternatif terhadap hadis yang dipahami sebagai
ketentuan larang puasa sunah atas perempuan tanpa izin suami. Dengan
tawaran reinterpretasi diharapkan diperoleh pengertian yang lebih adil gender.
Dalam kesimpulannya Wawan menyatakan, bahwa perempuan mempunyai
otonomi sendiri dalam melakukan peribadatannnya tanpa harus izin kepada
suaminya, sebagaimana laki-laki melakukan ibadah tanpa izin istrinya.
Pendapat ini dalam pandangan Wawan sesuai dengan spirit al-Qur‟ān.
Sedangkan perintah minta izin dalam ibadah tidak pernah ada. Kesimpulan
hadis tersebut menurut Wawan juga bisa dianalogikan terhadap hadis-hadis
yang mempunyai pesan yang sama.23
Dalam tulisannya Khoiruddin menegaskan, bahwa teks-teks
keagamaan dalam Islam ikut berkontribusi dalam membentuk budaya
patriarkhi. Oleh sebab itu pembaca ulang harus dilakukan dengan
pendekaktan fenomenologi supaya mendapat pemahaman yang kontekstual.
Hadis yang menjelaskan tentang dilarangnya seorang istri bermuka masam di
depan suami sebenarnya hanya satu kasus yang bersifat temporal dan tidak
bisa digeneralkan. Adapun pemaknaan hadis tersebut menyiratkan atas istri
yang harus menyenangkan suami, begitu juga dengan suami yang harus
menyenangkan istrinya.24
Adapun tulisan yang berbentuk skripsi ialah karya, Rosyiana, Hadis-
hadis misoginis dalam kitab Uqud al-Jain. Dalam tulisan itu dijelaskan usaha
23 Wawan G. A. Wahib, “Otonomi Perempuan dalam Beribadah (Kasus Puasa Sunnah”
dalam Perempuan tertindas…, hlm. 145-168. 24 Khoiruddin Nasution, “Istri dilarang Bermuka Masam di depan Suami” dalam
Perempuan tertindas…, hlm. 169-208.
14
Nawawi al-Bantani dalam memberikan pemahaman tentang hadis yang
bersifat misoginis. Pemahaman Nawawi al-Bantani yang cendrung tekstual
dikritik dan dipahami kembali oleh peneliti untuk memperoleh kedudukan
wanita dalam rumah tangga yang berasaskan keadilan dan persamaan, adapun
hadis yang dikutip tentang fitrah, perempuan dan setan, perempuan dilaknat.25
Karya Alimatul Qibtiyah yang berjudul Intervens Malaikat dalam
Hubungan Seksual mencoba untuk mengungkap hadis yang menghubungkan
antara seksualita dan malaikat. Perempuan yang menolak ajakan suaminya
berhubungan akan mendapat laknat malaikat. Dalam hal ini, Qibtiyah ingin
mengungkap kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam berhubungan. Karena
hadis tersebut disabdakan dengan konteks tertentu (asbab wurud). Sehingga
pemaknaan hadis tersebut harus bersifat kontekstual dan tidak
mendiskriminasi perempuan, dalam hal ini analisa bahasa dan filologi bisa
memainkan perannya. Dengan kesimpulan akhir, bahwa secara psikologi
hubungan intim suami istri harus memperhatikan kepuasan keduanya.26
M. Alfatih Suryadilaga menulis tentang Keabsahan Perempuan
sebagai Imam Shalat. Telah maklūm dikalangan masyarakat, bahwa yang
harus menjadi imam adalah laki-laki, bahkan hal tersebut menjadi bagian dari
syarat shahnya shalat. Namun ada hal yang terlupakan dalam hal ini, yaitu
adanya hadis yang menjelaskan seorang perempuan yang pernah mengimami
shalat. Secara kualitas, hadis tersebut berstatus shahih secara sanad. Dalam
25 Rosyiana Indah, “Hadis-hadis Misoginis dalam Kitab Uqud al-Lujain”, Skripsi, Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 1999. 26 Alimatul Qibtiyah, “Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual” dalam Perempuan
tertindas…, hlm. 209-227.
15
kesimpulannya, dengan hadis yang bernilai shahih tersebut tidak ada
pembatas antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi imam shalat.27
Tulisan Nizar Ali yang berjudul Kepemimpinan Perempuan dalam
Dunia Politik tidak berkaitan dengan perdebatan tentang kandungan hadis,
tetapi lebih mengkritisi sanad dan matan dengan pendekatan sosio-histori.
Tujuannya adalah untuk menemukan kandungan hadis secara komprehensif.
Secara sanad hadis tersebut berstatus shahih atau paling tidak ittishal al-
sanad. Namun yang perlu diperhatikan ialah kontes disabdakannya hadis dan
kapasitas Nabi ketika menyabdakan hadis terebut. Dengan
mempertimbangkan faktor yang lain hadis tersebut tidak bisa dimaknai
dengan tekstual. Dan perempuan dapat menjadi pemimpin.28
Alfisyah dalam skripsinya menyangkut Analisa hadis-hadis
Misoginis dalam Buku Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur‟ān;
Perspekti Nasaruddin Umar. Skripsi tersebut menerangkan bentuk
diskriminasi perempuan, yaitu penciptaan perempuan, perempuan kurang akal
dan agama, dan kepemimpinan dalam perempuan. Namun hal yang perlu
diperhatikan dalam memahami ajaran agama ialah aspek sosio-kultural
disabdakannya hadis tersebut. Pada kesimpulan akhir ditegaskan, bahwa tidak
ada hadis misoginis, yang ada hanya pemahaman yang bias gender. Adapun
solusi yang ditawarkan untuk memahami hadis diskriminasi perempuan ialah
27 M. Alfatih Suryadilaga, “Keabsahan Perempuan sebagai Imam Shalat” dalam
Perempuan tertindas…hlm. 231-269. 28 Nizar Ali, “Kemimpinan Perempuan dalam Dunia Politik” dalam Perempuan tertindas…,
hlm. 271-298.
16
tinjauan asbab al-wurud dan ruang lingkup hadis itu sendiri sehingga hadis
tersebut disabdakan oleh Nabi.29
Urgensi tulisan yang sedang peneliti kaji ialah terletak pada integrasi
keilmuan. Peneliti mencoba menerapkan hermeneutika sebagai metode
pemahaman atas hadis misoginis. Hadis-hadis yang dinilai diskriminasi
perempuan secara redaksi akan dianalisa ulang dengan menggunakan
hermeneutikan Gadamer, analisa tersebut secara garis besar akan
menggunakan teori dalam memahami hadis.
Perbedaan yang terdapat dalam kajian yang peneliti lakukan dengan
peneliti terdahulu ialah penggunaan metode hermeneutika dalam memahami
hadis Nabi. sebagai teori interpretasi, hermeneutika digunakan untuk
mengungkap dan memahami hadis misoginis, pemahaman dengan
hermeneutika tidak hanya memperhatikan aspek teks dan bahasa. Tetapi lebih
jauh, yaitu dari aspek sosial kultural sehingga mendapatkan pesan moral, dan
pemahaman yang berkembang hadis hanya dipahami secara tekstual
doctrinal.
E. Kerangka Teoritik
Sebagai bagian dari bahan operasional dalam menggali dan
menganalisa pembahasan pada bagian selanjutnya, peneliti mempunyai tiga
kerangka teori yang akan dipakai. Ketiga teori tersebut mempunyai hubungan
yang saling melengkapi satu sama lainnya.
1. Hadis Misoginis
29 Lihat Alfisyah, “Analisa Hadis-hadis Misoginis dalam Buku Argumen Kesetaraan
Gender Perspektif al-Qur‟ān; Studi Pemikiran Nasaruddin Umar,” Skripsi, Fakultas Ushuluddin
UIN SUKA Yogyakarta, 2001.
17
Mis-ogyn-ist berarti hater of women,30
yang mengandung makna
pembenci.31
Nabi sebagai panutan umatnya sangat tidak logis dan tidak
pantas mengajarkan sifat kebencian atas satu ras manusia. Oleh sebab itu,
penulis memberikan batasan dalam memahami misoginis terkait dengan
hadis yang akan ditulis oleh peneliti.
Pengertian hadis misoginis yang dimaksud oleh peneliti berkaitan
dengan beberapa aspek. Pertama, ialah hadis-hadis yang secara
redaksional mengandung kebencian terhadap perempuan, yang dimaksud
disini ialah adanya materi hadis yang secara tekstual memberikan kesan
kebencian pada perempuan. Dapat dipahami ialah, bukan Nabi yang
membeci kaum perempuan, namun materi dari rangkaian periwayatan
yang terus berkembang berimplikasi atas kebencian pada perempuan.32
Seperti yang diungkapkan oleh Nasaruddin Umar, literature klasik Islam
pada umumnya disusun di dalam perspektif budaya masyarakat
androsentris, dimana laki-laki menjadi ukuran segala sesuatu (an is the
measure of all things). Literatur itu hingga kini masih diterima sebagai
pedoman kehidupan (kitab suci).33
Kedua, hadis yang mengandung pemahaman kebencian
(misoginis). Seperti yang digagas oleh Ahmad Fudhaili, bahwa yang
30 A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Corrent English (London:
Oxford University Press, 1983), hlm. 541 31 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1987),
hlm. 383 32 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan., hlm. 150. 33 Nasaruddin Umar, “Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam”
Metode Penelitian Berperspektif Gender tentang Literatur Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
PSW UIN SUKA, 2002), hlm. 85.
18
dimaksud hadis misgonisi ialah, perkataan, perbuatan, ketetapan, atau
sifat-sifat yang disandarkan kepada Nabi.34
Pemahaman ini erat kaitannya
dengan aktivitas pola pikir manusia, sebab pemahaman sebuah aktivitas
mehamai untuk menemukan makna yang akan digunakan sebagai dasar
perilaku.
Ketiga, hadis yang berdampak diskriminasi perempuan. Yaitu
hadis-hadis yang digunakan sebagai sumber otoritas untuk
mendiskriminasi perempuan, yang berdampak pada lemahnya perempuan
dan tidak dapat berperan dalam lingkungan keluarga bahkan dalam skala
sosial. Ini memberikan adanya indikasi distoris pemahaman yang
dilakukan oleh oknum otoriter.35
2. Gender
Dalam kamus umum bahasa Inggris, seperti Oxford Advanced
Learner‟s Dictionary, istilah gender mempunyai arti “classification of a
noun or pronoun as masculine or feminine; sexual classification; sex: the
mal and female genders”(klasifikasi benda atau kata ganti benda sebagai
maskulin atau feminin; klasifikasi seksual; seks: gender laki-laki dan
gender perempuan).36
Hampir seluruh argumen dalam kajian gender
berawal dari asumsi, bahwa perbedaan gender, bahkan ketidakadilan
gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses panjang yang
dibentuk, diasosiasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan
34
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis Shahih., hlm. 119. 35 Khaled Abou el-Fadl, Melawan Tentara Tuhan yang Berwenang dan yang Seweng-
wenang dalam Wacana Islam ., hlm. 77. 36 A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner‟s Dictonary (Oxford: University Oxford Press,
1989), hlm. 512.
19
kultural, termasuk melalui tradisi keagamaan. Sebagaimana sifat-sifat
tradisi dan kebiasaan lainnya. Proses panjang pembentukan gender, pada
umumnya juga sebagai suatu proses yang tidak disadari sehingga dianggap
sebagai suatu yang natural dan kodrat Tuhan.
Dalam hal ini, gender digunakan sebagai sebuah teori, alat analisis
yang menjadi kerangka untuk mendeteksi, mendiskripsikan dan
mengeksplorasi sejumlah mekanisme sosio-kultural dan berbagai
instrument yang melahirkan apa yang disebut dengan perempuan dan
feminism. Sebagai alat analisis gender umumnya digunakan oleh penganut
konflik yang memusatkan perhatiannya pada ketidakadilan struktural dan
sistem yang disbabkan oleh gender.37
Atas asumsi tersebut, wacana gender
dalam hal ini terlibat dalam dua hal. Pertama, sebagai penelusuran atas
geneologi pembentukan tradisi yang disebut patriarki. Upaya ini dalam
rangka menyadarkan, bahwa perbedaan dan ketidaksetaraan gender
bersifat sosial dan kultural. Aplikasi dari hal tersebut ialah dengan
merekonstruksi terhadap pemahaman sumber, norma, dan semua yang
menjadi dasar justifikasi terhadap pemahaman yang bias gender. Kedua,
untuk menganalisis dan memahami perbedaan konstruksi dan ekspektasi
masyarakat tentang status, peran, sifat, dan tanggung jawab perempuan
dan laki-laki serta menggali akar atau sumber yang menjadi dasar pola
pikir, dan persepsi.
37 Inayah Rohmaniyah, Konstruksi Patriarki dalam Tafsir Agama Sebuah Jalan Panjang
(Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam kerjasama Pustaka Indonesia, 2014), hlm.
15.
20
Karena selama ini gender dipahami sama dengan seks. Pada
dasarnya gender menunjukkan atas perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan perilaku.38
Secara keseluruhan,
gender memberikan indikasi makna atas identifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan yang dikonstruk dari sosial-budaya. Hal ini yang
membedakan antara gender dan seks. Seks secara umum digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan perempuan dan laki-laki dari segi anatomi
biologis. Atas dasar tersebut, seks bersifat kodrati dan gender bersifat non
kodrati.
Dalam pandangan Nasaruddin Umar, seks lebih menekankan
kepada aspek anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki
(maleness) dan perempuan (femaleness). Istilah seks pada umumnya
menunjukkan atas sifat reproduksi dan aktivitas seksual.39
Hal ini sangat
berbeda dengan gender, kajian gender lebih memperhatikan pada aspek
maskulinitas atas feminitas seseorang. Proses pertumbuhan anak menjadi
laki-laki atau perempuan, lebih banyak menggunakan istilah gender dari
pada seks. Seperti halnya yang diungkapan Foulcault, dapat dikatakan,
bahwa gender merupakan bentukan sosial. Proses seseorang menjadi
perempuan atau laki-laki itu bukan karena kodrat atau kualitas biologis
38 Victoria Neufeld (ed.), Webster‟s New World Dictionary (New York: Webster‟s New
World Clevenland, 1984), hlm. 561. 39 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur‟ān., hlm. 36.
21
yang melekat pada dirinya, melainkan bentukan praktek disiplin dan
praktek diskursif.40
3. Hermeneutika
Sebagai teori interpretasi hermeneutika menjadi urgen ketika
dikaitkan dengan pemahaman hadis misoginis.41
Pemahaman yang
berkembang atas hadis Nabi menyisakan problem atas realitas sosial.
Dengan demikian hermeneutika Gadamer menjadi urgen karena
merupakan teori pemahaman, meski secara eksplisit Gadamer tidak
membicarakan tentang hadis. Namun analisa Gadamer atas sebuah teks
berbeda, Teori Gadamer dianggap relevan dalam kajian pemahaman hadis
dengan model keseimbangan pembacaan secara komprehensif atas suatu
hadis, sehingga membuka wacana yang lebih luas tidak terkesan parsial
dalam memberikan makna atas hadis.
Dalam pandangan Gadamer, setidaknya ada empat komponen
dalam membaca teks. Pertama, kesadaran sejarah, yaitu dalam memahami
teks seorang harus memperhatiakan sejarah atau horizon-horizon tentang
dirinya yang berkaitan dengan tradisi dan menjadi bagian dalam
40 Michel Foulcault, The History of Sexuality an Introduction, Volume 1 (New York: A
Division of Random House, 1978), hlm. 77-131. 41
Dalam kajian hermeneutika, secara garis bersar heremeneutika di bagi menjadi tiga aliran
besar. Pertama, madzhab yang pertama berpandangan bahwa untuk menemukan suatu kebenaran
dalam teks tidak harus mengaitkan dengan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri
sendiri ketika tampil dalam teks. Kedua, madzhab yang menyatakan bahwa kebenaran yang sejati
adalah kebenaran pengarang karena teks tidak bisa mewakili kehidupan pengarang. Paham ini
serign disebut dengan histori-psikologis, yaitu teks diartikan sebagai eksposisi eksternal dan temporal saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampikan tidak
mungkin terwadahi secara representatif dalam teks. Ketiga, aliran menyatakan bahwa kebenaran
itu bisa dicapai hanya dengan menegosiasikan aspek teks dan pembaca. baca, Richad E. Palmer,
Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dhiltey, Heidegger, and Gadamer
(Evanston: Northwestern University Press, 1969), hlm. 12-13, Lihat juga Sumaryono,
Hermeneutika sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 29.
22
kehidupannya. Karena hal tersebut adalah beban dalam proses pemahaman
dan sejarah bukan sebuah kebenaran konklusif. Seperti ungkapan
Gadamer.
Wirkungsgeschichtliches bewustsein is primarilly consciousness
of the hermeneutical situation. To acquire an awareness of a
situation is, however always a task of peculiar difficulty.. . . this
is also true of the hermeneutic situation, the situation in which
we find ourselves with regard to the tradition that we are trying
to understand.42
(Kesadaran sejarah adalah kesadaran tentang
situasi hermeneutika. Namun, untuk mendapatkan sebuah
kesadaran merupakan tugas khusus yang sulit. . . ini juga terjadi
pada situasi hermeneutik, yakni situasi di mana kita menemukan
diri kita berhubungan dengan tradisi yang kita coba pahami).
Kedua, prapemahaman, yaitu konsep yang menitik beratkan pada
prasangka-prasangka yang telah dibentuk oleh seseorang untuk memahami
sesuatu, karena penggunaan akal budi yang baik secara metodologi bisa
menyelamatkan seseorang dari kesalahan, hal tersebut diungkapkan oleh
Discartes.43
Sebagai media untuk memahami sesuatu prapemahaman
selalu memainkan peran, dimana prapemahaman tersebut diwaranai oleh
tradisi yang berpengaruh dalam aktivias pemahaman begitu juga prejudis-
prejudis yang telah termuat dalam horizon pembaca.”44
Oleh sebab itu,
Gadamer menilai dalam memahami teks, seorang penafsir sepantasnya
untuk tidak langsung menggali makna yang terdapat dalam teks, namun
meneliti aspek-aspek yang terkait dengan prapemahaman dan makna teks.
Sebagaimana diungkapkan;
42 Hans-Georg Gadamer, Truth and Method (London: Continuum, 1989), hlm. 301. 43 Gadamer, Kebenaran dan Metode, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarata: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 335. 44 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulum al-Qur‟ān., hlm. 47.
23
But understaning realizes its full potential only when the fore-
meaning that it begins with are not arbitrary, relying solely on
the fore-meaning already available to him, but rather
explicitlyto examine the legitimacy-the origin and validiy- of the
fore meanings dwelling within him.45
(Tetapi pemahaman
mencapai potensialitas hanya seutuhnya ketika asumsi awal
yang digunakan tidak arbitrer “sewenang-wenang” benar sekali
bagi penafsir untuk tidak mendekati teks secara langsung
dengan semata-mata menyandarkan pada asumsi awal sekaligus
prapemahamannya, namun agaknya dengan menelaah secara
eksplisit kesahana, yakni asal-usul dan keshahihan, asumsi awal
yang ada padanya).
Ketiga, peleburan cakrawala, yaitu pertemuan dua horizon dari
unsur yang berbeda, yaitu horizon penafsir yang temporal dan horizon teks
yang historis. Sebagaimana yang dikatakan Gadamer. Insofar as we must
imagine the other situation. But into this other situation we must bring,
precisely, ourselves.46
(Sejauh harus kita bayangkan situasi berbeda.
Tetapi dalam situasi lain pembaca harus membawa statemennya,)
Dalam setiap pemahaman dan penafsiran, kedua horizon tersebut
selalu ada dan termasuk bagian yang harus diperhatikan. Karena untuk
mengungkap makna yang akan dicapai keduanya harus dikomunikasikan
supaya tidak terjadi ketegangan. Seperti yang dikutip Sahiron dalam
tulisan Gadamer yang lain, the tension between the horizons of the text and
the reader is dissolved.47
(ketegangan antara cakrawala teks dan pembaca
dileburkan). Dalam hal ini, seorang penafsir harus memiliki keterbukaan
45 Gadamer, Truth and Method, hlm. 270. 46 Gadamer, Truth and Method, hlm. 303. 47 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulum al-Qur‟ān, hlm. 48.
24
untuk mengakui adanya horizon lain, yakni horizon teks yang mungkin
berbeda atau bahkan bertentangan dengan horizon pembaca.48
Keempat, penerapan yaitu dalam hal ini Gadamer tidak menyatakan
bahwa aplikasi adalah suatu proses mekanik yang harus digunakan sebagai
metode yang berkelanjutan, melainkan bakat kodrati. Bukanlah suatu
aturan main, melainkan gerak hari (jiwa). Hal ini sesuai dengan ungkapan
Gadamer,
The fact that hermeneutics originally belonged closely together
depended on recognizing application as an integral element of
all understanding. . . understanding here is always
application.49
(Hubungan orisinal yang erat antara bentuk
hermeneutika ini tergantung pada pengakuan terhadpa aplikasi
sebagai sebuah unsur integral dari semua pemahaman. . .
pemahaman di sini merupakan aplikasi).
Konsep ini memberikan makna bahwa proses pemahaman saja
tidak cukup untuk memberikan pengertian pada lingkar hermeneutika.
Dalam hal ini gagasan Gadamer telah melampaui satu tahap atas
hermeneutika romantik. Karena Gadamer mengungkapkan dalam
perjalnan refleksi harus dilihat bahwa pemahaman selalu melibatkan
sesuatu, seperti penerapan terhadap teks untuk dipahami oleh situasi
penafsir pada masanya.50
Dengan demikian, dalam memahami teks seorang penafsir tidak
boleh hanya menggunakan makna teks, namun ruang yang melingkupi
kemunculan teks harus diperhatikan. Selain itu, sisi penafsir yang telah
48 Martinho G. da Silva Gusmâo, Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat Hermeneutika
Modern yang Mengagungkan Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 114. 49 Gadamer, Truth and Method, hlm. 309. 50 Gadamer, Kebenaran dan Metode, hlm. 370.
25
dipengaruhi kondisi sosial, politik, ekonomi dll, juga memberikan
pengaruh. Oleh sebab itu, interaksi antara teks dan penafsir harus
bernegosiasi, karena kedua muncul dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Pertemuan kedua unsur tersebut harus menemukan makna baru. Karena
dalam pandang Gadamer pemahaman dan penafsiran tidak cukup tanpa
adanya penerapan.51
Namun pertanyaanya ialah, apakah makna obyektif teks terus
dipertahankan dan diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir dan
hidup. Jawaban atas pertanyaan ini ialah gagasan Gadamer yang dikutip
oleh Sahiron, sebagai berikut.
“Tugas penafsiran itu selalu mengemuka ketika kandungan
makna karya tulis itu diperdebatkan dan hal itu terkait dengan
(uapaya) pencapaian pemahaman yang benar terhadap makna
yang dimaksud. Namun informasi tersebut bukan apa yang
secara orisinal diucapkan oleh pembicara atau penulis, tetapi
lebih dari itu, yakni apa yang ingin dikatakan kepadaku
seandainya saya ini interlocutor orisinalnya, makna dimaksud
adalah sauatu perintah penafsiran, sehingga teks harus diikuti
menurut makna terdalam, tidak tekstual. Dengan demikian,
harus dikatakan bahwa teks itu bukan obyek yang sebenarnya,
tetapi merupakan fase negosiasi komunikatif”.52
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan penelitian
Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah jenis penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mengambil literatur yang sesuai dengan maksud peneliti untuk
51 Ibid. 52 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulum al-Qur‟ān., hlm. 52.
26
memperoleh dan mengambil data yang diperlukan.53
Dimana penelitian
pustakan yang bersifat kualitatif, yaitu penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai
instrument kunci,54
serta penelitian yang tidak menggunakan
perhitungan.55
Tetapi sebuah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan
pandangan, teori, pemikiran, verifikasi, eksplananasi tentang data dan
fenomena secara teoritis dan filosofis. Adapun pendekatan yang ada ialah
pendekatan yang digagas oleh Georg Hans Gadamer yaitu Hermeneutika
dengan empat unsur terpadu untuk menemukan pemaknaan yang bersifat
humanis dan egaliter.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan data otentik atau data langsung atau
dari tulisan tokoh. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini,
meliputi sumber-sumber atau referensi-referensi yang ditulis oleh
tokoh yang sedang dikaji.56
Adapun data primer yang digunakan dalam penelitan adalah,
beberapa kitab hadis yang menjadi rujukan pertama (kitab primer)
dalam bidang hadis, adapun yang digunakan sebagai sumber asli ialah
al-kutub al-tis„ah yang meliputi, al-Jāmi„ al-Shahīh li al-Bukhāri, al-
Jāmi„al-Shahīh li al-Muslim, Sunan Abū Dāwud, Sunan al-Tirmiżi,
53
Sutrisno Hadi, Metodologi Resech I (Yogyakarta: UGM Press, 1983), hlm. 9. 54Sugiono, Metode Penelitan Pendidikan, cet. ke-5 (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 15. 55 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitan Kualitatif ( Bandung: Remaja Rosda Karya,
1989), hlm. 2. 56 Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995), hlm. 80.
27
Sunan al-Nasā‟ī, Sunan Ibn Majāh, Musnad Ahmad ibn Hanbal, al-
Muwatthā‟ Imam Mālik, dan Sunan al-Dārimī. Kitab hadis tersebut
adalah kitab otoritatif dan menjadi rujukan awal pertama dalam kitab
hadis oleh umat Islam. Kitab-kitab tersebut disinyalir terdapat hadis
misoginis yang berkaitan dengan perempuan dalam keluarga. Adapun
tema-tema yang berkaitan dengan hadis-hadis misoginis dalam
keluarga ialah tentang pemilihan istri, pertunangan, akad nikah,
kebebasan istri dalam memberikan infas, puasa sunah, keluar rumah
serta tidak bolehnya istri meminta cerai dan melawan suami, dan
ketaatan pada suami secara penuh.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari
sumber atau pendapat lain.57
Sumber sekunder merupakan sumber
penunjang yang dibutuhkan untuk memperkaya data atau
menganalisis data yaitu pustaka yang berkaitan dengan pembahasan
dan dasar teoritis.58
Adapun sumber data sekunder yang mendukung penelitian
misalnya yang berhubungan dengan hermeneutika, seperti Truth and
Method, Sejarah Hermeneutika dari Plato sampai Gadamer, Hans-
Georg Gadamer: Penggagas Filsafat Hermeneutik Modern yang
mengagungkan Tradisi, dan upaya Integrasi Hermeneutika dalam
Kajian Al-Qur‟ān dan Hadis. Adapun yang terkait dengan hadis
57 Husain Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), hlm. 42. 58 Sutrisno Hadi, Metodologi Resech I., hlm. 10.
28
misoginis seperti; Perempuan di Lembaran Suci, Perempuan
Tertindas, Kajian Hadis Misoginis, dan Reinterpretasi Gender. serta
beberapa literatur yang dianggap relevan untuk mendukung data yang
dibutuhkan oleh peneliti dan memiliki keterkaitan atas pembahasan
yang sedang peneliti tulis.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang mendukung penyusunan ini, maka
peneliti menggunakan metode dokumentasi. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambar atau karya-karya monumental seseorang.59
Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode dokumentasi yang
berupa penelusuran literatur-literatur yang terkait dengan tema yang
peneliti angkat dalam penelitian ini.
4. Metode pengolahan data
Metode pengolaan data yang peneliti gunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif analitik. Deskriptif, karena dari penelitian ini
dimaksudkan untuk dapat memberi gambaran yang jelas mengenai
bagaimana analisa hermeneutika Gadamer dalam mediskripsikan matan
hadis misoginis. Sedangkan analitik adalah mencoba menganalisi pokok
hermeneutika filosofis yang diwakili Gadamer dalam tulisan ini bisa
menganalisa hadis misoginis, dari aspek pemahaman dan sumbangan
dalam wacana ulum hadis.
5. Metode Analisis Data
59 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 52.
29
Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka dalam menganalisis
data, peneliti menggunakan metode induktif. Metode induktif merupakan
suatu proses berfikir yang berangkat dari sejumlah fakta yang kemudian
untuk dapat ditarik pada suatu gambaran yang bersifat umum.60
Metode
ini menganalisi kritik hadis secara umum, dalam hal ini peneliti mencoba
untuk menggabarkan kritik hadis secara umum, pada masa awal sampai
kritik materi. Pada kritik ini akan diketahui, bagaimana sebenarnya
kandungan hadis tersebut dan mempunyai kecendrungan bias gender apa
tidak. Ketika hadis tersebut memiliki kecendrungan bias gender,
hermeneutika Gadamer menjadi analisa pemahaman. Hermeneutika
dianggap bisa menyelesaikan negosiasi makna yang selama ini terputus
oleh pemahaman yang berisfat patriarki. Namun untuk mengindetifikasi
hal-hal tersebut, peneliti menggunakan teori gender untuk
mengindetifikasi subordinasi dan kesenjangan gender. Selain itu, juga
menggunakan teori misoginis sebagai langkah menilai materi-materi
hadis yang dianggap bias gender.
Dalam metode ini peneliti berusaha memperoleh deskripsi atau
gambaran yang utuh tentang bagaiman langkah-langkah yang ditempuh
Oleh dan analisa hermeneutika Gadamer dalam memahami hadis
misoginis dan juga sumbangan atas perkembangan wacanan keilmuan
hadis.
60 Syaifuddin Anwar, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm, 40.
131
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan beberapa hal terkait dengan hadis misoginis.
Peneliti akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah
yang terdapat pada bab pertama.
1. Dalam literatur Islam terdapat banyak interpretasi yang bias gender
terhadap hadis misoginis. Interpretasi tersebut muncul karena beberapa
faktor. Pertama, adanya teks agama yang secara tekstual memiliki redaksi
misoginis apakah hal ini terkait al-Quran ataupun hadis. kedua teks agama
tersebut memiliki otoritas dalam Islam dan telah menjalani masa panjang
dalam memainkan perannya terhadap keberagamaan umat Islam. Kedua,
peran pembaca dalam memahami teks keagamaan, terutama hadis-hadis
Nabi. hadis Nabi dipandang banyak memainkan perannya dalam
kontribusi terhadap paham misoginis, pemahaman terhadap hadis
misoginis tidak terlepas dari aspek pembaca, dimana pembaca sangat
strategis memainkan perannya terhadap teks keagamaan. Apabila pembaca
berada dalam ruang dan budaya patriarki, maka hasil interpretasinya akan
berorientasi atas pemahaman bias gender. Ketiga, interpretasi bias gender
yang disakralkan. Dalam hal ini, hasil interpretasi atas teks agama
memainkan perannya secara signifikan dengan asumsi bahwa interpretasi
atas teks keagamaan adalah agama itu sendiri. Interpretasi yang bias
genderpun diyakini sebagai ajaran agama yang harus dipatuhi dan diyakini
kebenarannya. Pada posisi tersebut superioritas laki-laki memainkan
132
perannya dalam mendefinisikan, memaknai, dan memahami perempuan
sebagai lemah yang berada di bawah laki-laki.
2. Adanya interpretasi bias gender dalam teks-teks keagamaan-terutama
hadis-berimplikasi terhadap perempuan, dimana perempuan diartikan lebih
rendah dibandingkan laki-laki baik di sektor publik maupun domestik.
Implikasi tersebut terus berlanjut dalam hubungan rumah tangga, dimana
seorang istri diartikan sebagai pelayanan suami. Pemahaman demikian atas
hadis Nabi telah menafikan eksistensi Nabi sebagai uswah hasanah. Oleh
sebab itu, dalam memahami hadis pembaca harus memperhatikan
beberapa aspek terkait dengan konteks hadis tersebut disabdakan dan
aspek horizon pembaca sendiri. pada wilayah inilah hermeneutika
memainkan perannya dalam meretas kesenjangan pemahaman yang
disebabkan terputusnya akses pembaca atas konteks hadis. Keterbukaan
pembaca dalam memahami hadis Nabi akan memberikan implikasi
berbeda, karena dalam hal ini terdapat usaha negosiasi pembaca atas teks
hadis sebagai media dalam memahami sikap dan perilaku Nabi. Pada
posisi berbeda pembaca harus memperhatikan horizonnya yang telah
dilingkupi oleh budaya-budaya yang akan mempengaruhi dalam
pembacaannya. Dengan demikian, pembacaan atas hadis misoginis tidak
akan menghasilkan sikap diskriminatif atas perempuan dan berkeadilan
gender, karena pembaca telah meleburkan horizonnya terhadap teks itu
sendiri dan menjadi kesatuan.
133
B. Saran-saran
Uraian di atas telah mengakhiri pembahasan ini, peneliti ingin
memberikan saran-saran yang merupakan sumber positif bagi orang yang
ingin memahami hadis dengan benar agar terlepas dari sikap otoritarianisme,
untuk itu harus diperhatikan beberapa hal berikut.
1. Dalam memahami hadis Nabi seorang pembaca harus bersikap bijaksana,
yaitu harus mengetahui keshahihan hadis dari aspek sanad dan matan
karena keduanya adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari hadis
Nabi. selain itu, pembacaan atas hadis Nabi harus mengetahui konteks
dimana hadis tersebut disabdakan dan dalam rangka apa Nabi
menyabdakan hadis tersebut. Pembacaan dengan model demikian akan
memberikan wawasan bagi pembaca dalam usahanya memahami hadis
Nabi. memperhatikan aspek historis hadis sama dengan memperhatikan
relasi Nabi dengan kebudayaan masyarakat pada masanya.
2. Pembacaan atas hadis Nabi harus memperhatikan sejaran panjang
perjalanan hadis itu sendiri. dengan bahasa yang mudah, dalam usaha
memahami hadis Nabi pembaca tidak boleh melupakan sejarah perjalanan
hadis dari satu masa ke masa yang lain, karena pada masa tersebut hadis
berpotensi ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan untuk
menguatkan argumentasi seseorang.
3. Dalam memahami hadis Nabi seorang pembaca harus selalu terbuka.
Dalam hal ini, pembaca tidak boleh menutup diri dalam usaha memahami
134
hadis Nabi. sikap eksklusif dalam mehami hadis Nabi akan menutup akses
pembaca pada dirinya sendiri dan konteks hadis.
4. Kritis dalam menerima interpretasi hadis. Berkembangnya paham
misoginis terutama atas interpretasi atas perempuan dalam keluarga harus
dikaji ulang, karena interpretasi tersebut adalah bagian dari refleksi
kehidupan seorang sehigga sebuah hasil interpretasi dapat dikatakan
sebagai produk sejarah.
C. Penutup
Segala puji bagi Allah swt yang telah berkenan meberi kehidupan
dengan dibekali akal pikiran dan akal budi dengan keduanya peneliti adalah
manusia. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
manusia sempurna nan suci yang selalu mengasihi semua makhluk Nabi
Muhammad saw, beserta keluarga dan para sahabat yang termuliakan.
Setelah berusaha dengan segenap tenaga dan pikiran akhirnya peneliti
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Atas taufiq, hidayah dan i'anah Allah swt penulis memohon
pertolongan agar apa yang telah penulis usahakan dalam tulisan tesis ini
merupakan sebuah keikhlasan dan amal kebaikan dan semoga dapat memberi
manfaat bagi siapa saja yang mau membacanya.
Akhirnya kritik dan saran sari semua pihak yang membaca tulisan ini,
tentunya sangat penulis butuhkan untuk memperbaiki dan
menyempurnakannya.
135
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasyim. Kritik Matan Hadis Versi Muhadditisn dan Fuqaha,
Yogyakarta: Teras, 2004.
Abu Zayd, Nasr Hamid. Dekonstruksi Gender, Kritik Wacana Perempuan
dalam Islam, terj. Nur Ikhwan, Yogyakarta: PSW IAIN Suka dan SAMHA, 2003.
Abou al-Fadl, Khaled. Atas Nama Tuhan, terj. Cecep Lukman Yasin,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001.
_________________. Melawan “Tentara Tuhan” yang Berwenang dan
yang Sewenang-wenag dalam Wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2003.
„Ajjâj al-Khatîb, Muhammad. Ushul al-Hadis „Ulumuhu wa Musthalahuhu,
Bairut: Dar al-Fikr, 2011.
_________________. al-Sunnah Qabla al-Tadwīn, Beirut: Dār al-Fikr,
1981.
Abdullah, Amin. Studi Agama, Normativitas dan Historisitas?, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Ā‟dhāmī, Muhammad Musthafa. Manhaj al-Naqd inda al-Muhadditsin
Nasyātih wa Tārīkhih, cet. ke-3, Saudi: al-Mamlakah al-Arabiah al-Su‟udiyah,
1990.
Ādlabī al-,Shalahuddin ibn Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn inda Ulamā‟ al-
Hadīts al-Nabawiah, Beirut: Dar Ifaq al-Jadidah, 1983.
Abu Rayyah, Mahmud. Adhwā‟ al al-Sunnah al-Muhammadiyah, Kairo:
Darul Ma‟arif, t.t.
Abu Zayd, Nashr Hamid. Menalar Firman Tuhan Wacana Majas dalam al-
Qur‟ān Menurut Mu‟tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka, Bandung:
Mizan, 2003.
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi; Metode dan pendekatan, Yogyakarta:
Al-Rahmah, 2001.
Alfisyah, “Analisa Hadis-hadis Misoginis” dalam Argumen Kesetaraan
Gender Perspektif al-Qur‟ān; Studi Pemikiran Nasaruddin Umar,” Skripsi,
Fakultas Ushuluddin UIN SUKA Yogyakarta, 2001.
136
Amin,Qasim. Sejarah Penindasan Perempuan, terj. Syaiful Alam,
Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
Ameli, Saied Reza. “Membela Perempuan” Harapan Feminis dan Respon
Perempuan Muslim, terj. A. H. Jemala Gembala, Jakarta: al-Huda, 2005.
Ahmad ibn Ja‟far, Abu al-Fajr Abdurrahman ibn Ali ibn Ubaidillah ibn
Hammad ibn. Ahkam al-Nisa‟, t.t: t.tp,tt.th.
Anwar, Syaifuddin. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998.
A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Corrent English,
London: Oxford University Press, 1983.
Asy-Syafi‟I, Abu Abdillah Muhammad ibn Idris, al-Umm Fiqh al-Syafi‟i,
Beirut: Dār al-Ma‟rifah, 1990.
Barlas, Asma. Believing Women in islam: Unreading Patriarchal
Interpretations of Qur‟an, Austin: University of Texas Press, 2004.
Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Darul al-Ma‟rifah, 1407 H.
Bujairami, Sulaiman ibn Muhammad ibn Umar al-. Hāsyiah al-Bujairami
ala Syarh al-Minhaj al-Tullab, tt: t.tp, 1950.
Foulcault, Michel. The History of Sexuality an Introduction, New York: A
Division of Random House, 1978.
Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis Shahih,
Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005.
Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method, London: Continuum, 1989.
________.Kebenaran dan Metode. terj. Ahmad Sahidah, Yogyakarata:
Pustaka Pelajar, 2004.
Gracia, Jorge J. E. A Theory of Textuality, New York, New York University
Press, 1995.
Ghufron, Ali. Memambahagiakan Suami Sejak Malam Pertama, Jakarta:
Amzah, 2001.
Gross, Rita M. Feminism and Religion, Bostom: Beacon Press, 1996.
Harb, Ali. Naral Kritis Islam Kontemporer, terj. Umar Bukhrai dan Ghazali
Mubarak, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012.
137
Hasan, Riffat. “Jihad fi Sabilillah”, dalam Setara di Hadapan Tuhan terj.
Team LSPPA (ed), Yogyakarta: Yayasan Prakarsa. 1995.
____________. “Isu Kesetaraan Laki-laki Perempuan dalam Tradisi Islam,”
dalam Setara dihadapan Tuhan, terj. Team LSPPA (ed), Yogyakarta: Yayasan
Prakarsa, 1995.
____________. “Perempuan dan Islam Pasca Patriarkhi,” dalam Setara
dihadapan Tuhan, terj. Team LSPPA (ed), Yogyakarta: 1995.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama, Jakarta: Paramadina,
1996.
Halim, Nipan Abdul. Membahagiakan Suami Sejak Malam Pertama,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Resech I, Yogyakarta: UGM Press, 1983.
Hamzah, Ibrahīm ibn Muhammad ibn Kamāluddīn al-Syahīr ibn. Albayān
wa al-Ta‟rīf fi Asbab Wurūd al-Hadīts al-Syarifan, Beirūt: Maktabah al-Ilmiah,
t.th.
Hasyim, Syafiq. Bebas dari Patriarkhisme Islam, Depok: Katakita, 2010.
Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual;
Telaah Ma‟anil Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan
Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
_____________. Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Izzat, Hibah Rauf. “Nawal al-Sa‟di dan Penciptaan Mitos,” dalam
Perempuan agama dan Moralitas, terj. Ibnu Rusydi, Jakarta: Erlangga, 2000.
Ilyas, Hamim. ”Mendampingi yang Dibenci Membela yang Teraniaya“,
dalam Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah, (ed.), Perempuan tertindas?
Kajian Hadis-hadis Misoginis, Yogyakarta: eLSAQ dan PSW UIN SUKA, 2002.
______________. “Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama” Wacana
Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Ibāt, Abdul Muhsin al-. Syurūh Sunan Abū DāudI, t.t: al-Syabkah al-
Islamiyah, t.th.
Indah, Rosyiana. “Hadis-hadis Misoginis dalam Kitab Uqud al-Lujain”,
Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 1999.
Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan, Yoyakarta: LKiS, 2003.
138
Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminisme, Yogyakart: Kreasi
Wacana, 2005.
Karm, Ghada. “Feminisme dan Islam,” Perempuan, Islam, dan
Patrarkalisme, terj, Purwanto, Bandung: Nuansa Cendekia, 2000.
Khatin, Muhammad Syarbini al-. Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr,
2000.
Khoyin, Muhammad. Filsafat Bahasa, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Muhammad Jamal, Ahmad. Problematika Muslimah di Era Globalisasi,
Jakarta: Pustaka Mantiq, 1995.
Muslim, Shahih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlān, t.t.
Misri, Abi al-Fadl Jamaluddin Muhammad bin Makram bin Manzur al-
Afriqial al-. Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Mernissi, Fatimah. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Bandung:
Pustaka, 1991.
Muhammad, Husein. Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai
Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma‟anil Hadits Paradigma Interkoneksi,
Yogyakarta: Idea Press, 2008.
Moleong, Lexy j. Metodologi Penelitan Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1989.
M. Echols, John dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1987.
Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Hitoris-Kontekstualis Asbabul Wurud, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Muhtador, Moh. “Ta‟dil Kolektif Terhadap Sahabat (Kajian Berbagai Sekte
dalam Islam)” Hermeneutik, Jurnal Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir, Vol. 1 No. 1, Juni
2014.
Mannan, Moh. Romzi al-Amiri. Fiqih Perempuan, Yogyakarta: Pustaka
Ilmu, 2011.
Neufeld, Victoria (ed.). Webster‟s New World Dictionary, New York:
Webster‟s New World Clevenland, 1984.
139
Nawawi, Hadari. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Gajah Mada Press,
1995.
Nashr, Ali Muhammad. al-Nahju al-Hadīts fī Mukhtashari Ulūm al-Hadīts,
Mekkah: Idārah al-Shahāfah wa al-Nasyr, t.t.
Nawawi bin Umar, Muahammad. Uqūd al-Lujain fi Bayān Huqūq al-
Zawjain, Surabaya: al-Hidayah, t.t.
Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, t.t: t.p: 1972.
Nasaiburi, Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qasyairi. al-Jami‟ al-
Shahih li Muslim al-, Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arabi, t.t.
Palmer, Richad E. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher,
Dhiltey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press,
1969.
_______________. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj.
Manur Heri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.th.
Qaradhāwī, Yūsuf. Kaifa Nata‟āmal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah, Kairo:
Darul al-Surq, 2004.
Qurtubi, Abu Abdullah Muhamma ibn Ahmad ibn Abu Bakr ibn Farh al-
Anshar Syamsuddin al-. Tafsir al-Qurtubi, Kairo: Dar al-Misr, 1964.
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000.
Ricoeur, Paul. Hermeneutics and the Human Sciences: Essay on Language,
action, and Interpretation, Cambrige: Cambrige University, 1998.
Rohmaniyah, Inayah. Konstruksi Patriarki dalam Tafsir Agama,
Yogyakarta: Dandra Pustaka Indonesia, 2014.
Razi, Abū Abdullah Muhammad ibn Umar ibn al-Hasan ibn al-Husain al-
Taimi al-. Tafsir Mafātih al-Ghaib, Beirut: Dār Ihyā al-Arb, t.t.
Rusyd, Ibn. Bidāyatul al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid, Semarang:
Maktabah Keluarga Semarang, t.th.
Shahrūr, Muhammad. al-Sunnah al-Rasuliyah wa al-Sunah al-Nabawiyah,
Beirūt: Dār al-Sāqi, 2012.
Syahir al-, Sayyid al-Syarif Ibrahīm bin Muhammad bin Kamal al-Dīn. al-
Bayān fi Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarifah, Mesir: Dār al-Misri li at-Taba‟ah,
1999.
140
Syabrāzi al-, Abi Ishaq Ibrāhim ibn Alī ibn Yūsuf al-Umma‟ fi Ushūl fiqh,
Semarang: Thaha Putra, t.th.
Shihab, Quraish. Perempuan, Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Suryadilaga, Alfatih. Metodologis Syarah Hadis, Yogyakarta: SUKA
PRESS, 2012.
Silva Gusmâo, Martinho G. Da. Hans-Georg Gadamer: Penggagas Filsafat
Hermeneutika Modern yang Mengagungkan Tradisi, Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Sumaryono, Hermeneutika sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
1999.
Sugiono, Metode Penelitan Pendidikan, cet. ke-5, Bandung: Alfabeta, 2008.
_______, MemahamiPenelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an,
Yogyakarta: Pesantren Nawesia Press, 2009.
Sijistāni al-, Abī Dāud Sulaimān ibn al-Asy‟ats, Sunan Abī Dāud, Indonesia:
Maktabah Dahlān, t.th.
Stowasser, Barbara Freyer. Reinterpretasi Gender, Wanita dalam Al-
Qur‟ān, Hadis dan Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001.
Syuyūti, Jalāluddin Abdurrahman al-. al-Lumā‟ fi Asbab Wurūd al-Hadīts,
Beirūt: Dar al-Fikr, t.th.
Syahir, Sayyid al-Syarif Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin al-. al-
Bayan wa al-Ta‟rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif, Mesir: Dar al-Misri, 1999.
Thalib, Muhammad. Ensiklopedi Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro-U
Media, 2008.
Tamimi, Abū Muhammad Abdurrahman ibn Muhammad ibn Idrīs ibn al-
Mannar al-, Tafsir al-Qur‟ān al-Adhīm li ibn Abī Hātim, ditahqiq oleh As‟ad ibn
Muhammad Thaib, Mekkah: Musthafa ibn Baz, t.th.
Thiselton, Anthony C. New Historizons in Hemeneutics, Michigan:
Zondervan Publishing House, 1992.
Tirmidzi,Al, Sunan Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikr, 2000.
141
Umar, Husain. Metode Penelitian Untuk Skripsi Dan Tesis, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000.
Umar, Nasaruddin. Memaknai Perkawinan dalam Perspektif Kesetaraan
(Studi Kritis Hadis-hadis Perkawinan), Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008.
_______________. “Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam” Metode Penelitian Berperspektif Gender tentang Literatur Islam ,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan PSW UIN SUKA, 2002.
Wensikh, Mu‟jam al-Mufahras li al-Fādl al-Hadīts al-Nabawiyah, Leiden:
Beril, 1967.
Wāhidi, Abū al-Hasan Alī ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Alī al-. Asbābu
Nuzūl al-Qur‟ān, Dimām: Dār al-Ishlāh, 1992.
Wadud, Amina. Wanita di dalam al-Qur‟an, terj. Yaziar Radianti, Bandung:
Mizan, 1994.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Yusuf, Muhammad. Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis “Relasi Iman
dan sosial-Humanistik Paradigma Integrasi-Interkoneksi”, Yogyakarta: Teras,
2009.
Zarqani al-, Muhammad „Abd al-„Azim. Manāhil al-Irfā fi Ulūm al-Qur‟ān,
Beirtu: Dar al-Fikr, 1988.
Zamakhsyari, Abū al-Qāsim Mahmūd ibn Umar ibn Ahmad al-. al-Kasysyaf
an Haqāiq Ghawāmi al-Tanzīl, Juz. I, Beirut: Dār al-Kitāb al-Arabi, t.t.
Zayrazi, Nashruddin Abū Sa‟īd Abdullah ibn Umr ibn Muhammad al-.
Anwār al-Tanzīl wa Asra al-Ta‟wil, Beirut: Dār Ihyā al-Arb, t.th.
Zainal Abidīn, Zainuddīn Muhammad Abdu al-Raūf ibn Tāj al-Ārif ibn Ali
ibn. al-Taysir bisyarhi al-Jāmi‟ al-Shaqīr, Riyād: Maktabah al-Imam Syafi‟I,
1988.
____________. Faid al-Qadr Syarh al-Jāmi‟ al-Shaqīr, Mesir: al-Maktabah
al-Tijariyah al-Kubra, t.th.
142
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama : Moh. Muhtador
Tempat, Tanggal Lahir : Sampang, 16 Februari 1988
Alamat di Yogyakarta : PP. al-Kandiyas, Krpayak Kulon rt. 07/52
Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta 55188
Alamat Asal : Disanah Barat, Sreseh, Sampang, Madura
Nama Ayah : H. Alawi Nawafi
Nama Ibu : Siti Suriyah
Nama Istri : Nailul Khasanah
Contact Person : HP 081914565461/082331050629
Email : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. MI, Miftahul Ulum Sampang 2000
b. MTs, Al-Mas‟udiyah Sampang 2003
c. MA, Al-Khoziny Sidoarjo 2006
d. S1, STAIN Kudus 2012
e. S2, UIN Sunan Kalijaga 2015
2. Pendidikan Non-formal
a. Pon-Pes RUA Pramian Sreseh
b. Pon-Pes Al-Khoziny Buduran Sidoarjo
c. Pon-Pes al-Munawwir Yogyakarta
d. Kursus Bahasa Arab Pon-Pes RUA
e. Kursus Bahasa Inggris EECC Kudus
C. Riwayat Pekerjaan
1. Guru MA al-Hamidiyah
2. Guru SMP al-Ilyasi
143
3. Dosen STAI Al Hamidiyah
D. Prestasi/Penghargaan
1. Juara 1 Kaligrafi tingkat kecamatan
2. Juara 1 lomba Cerdas Cermat tingkat kecamatan
3. Juara Harapan lomba pidato Bahasa Arab
4. Beasiswa s2 dari Kemenag 2014.
E. Pengalaman Organisasi
1. Ketua HMJ Ushuluddin STAIN Kudus
2. Pengurus Devisi Penelitian LISAFA
3. Panitia Penelitian Ahmadiyah
F. Minat Keilmuan: Hadis
G. Karya Ilmiah
1. Artikel
a. Ta‟dil Kolektif Sahabat (Kajian Sekte dalam Islam)
b. Ahmadiyah dalam Lingkar Teologi Islam
c. Sejarah, Perkembangan, dan Model Ahmadiyah di Krucil
Yogyakarta, 25 Mei 2015
(Moh. Muhtador)