Upload
hoangngoc
View
223
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
KEUTAMAAN ILMU ULAMAPERSPEKTIF HADIS
Oleh :
Tori
NIM :104034001183
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA PERSFEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
Tori
NIM: 104034001183
Pembimbing
Drs. H. Harun Rasyid, MA
NIP: 196009021987031001
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432/2011
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar starata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatulla Jakarta.
Depok, 13 Juni 2011
Tori
i
KATA PENGANTAR
بسسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT , yang telah
melimpahkan nikmat, hidayah dan kasihsayang-Nya , sehingga penulisan skripsi
dengan judul “ Keutamaan Ilmu dan Ulama Perspektif Hadis ” (Sebuah kajian
tematik ) dapat diselesaikan dengan baik dengan ridha-Nya . Salawat beserta
salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta
keluarga, sahabatnya dan para pengikutnya.
Walaupun munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan ringan
berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang terkait tanpa
mengurangi penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin
disebutkan satu persatu dalam pengantar singkat ini.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis
sampaikan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M.A, selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaranya penulis
berharap kepada mereka agar selalu menjalankan amanat yang mereka
embanya agar selalu memperhatikan keadaan kampus tercinta ini supaya
lebih berkembang dan maju pesat.
2. Bapak, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin faqih, M.A Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para
pembantu Dekan
ii
3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. Selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Dr. Lilik Umi Kaltsum, M.A. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Drs. H. Harun Rasyid ,M.A. selaku Dosen pembimbing dalam menyusun
skripsi ini. Atas bimbingan serta waktu luangnya yang telah diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
7. Kedua orangtua penulis Ayahanda H. Muhammad Tohir dan Hj Sopiah,
atas cinta dan kasih sayang serta pengorbanannya yang selalu berusaha
memberikan dorongan baik berupa materil dan moril serta nasihat, dan
doanya.
8. Seluruh keluarga besar Al Hidayah Boarding School, K.H. Hilmi Zaeni
Thahir, M.A, K.H Arif Rahman Hakim, M.A, Ust. Amshori Jayadih
M.Ag, Ust. Sofyan Fadhali, S.Q, Ust. Ikhwan S.Fil.I, dan Ust.Darussalam,
S.s yang selalu memberikan motivasi dan saran yang membuat penulis
semangat dalam pembuatan skripsi ini.
9. Rekan-rekan dewan guru Al Hidayah Rawadenok Depok Ust Hendi Ilyas,
Ust Abdul Mu’ti, S. Ag.
iii
10. Rekan-rekan Mahasiswa Tafsir Hadis angkatan 2004. Ardiansyah, Baihaqi
Darussalam ,Tubagus Hamid, Syarif Hidayatullah, Anas Khairullah, dan
kawan-kawa yang selalu memberikan insfirasi positif.
11. Kepada seluruh karyawan Al Hidayah Boarding School dan Karyawan
Picasso Ciputat.
12. Teman-teman semua yang secara langsung, maupun tidak langsung ikut
andil dalam memacu, memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang
setimpal dari Allah SWT , sebagai amal baik dan senantiasa berada dalam
curahan rahmat Nya.
Akhirnya, penulis memohon kepada Allah SWT, semoga skripsi yang
sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam ikut serta membantu kearah
kemajuan pendidikan, khususnya . Mudah-mudahan tulisan ini banyak
manfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat.
Semoga Allah SWT memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan
mencurahkan kasih sayang serta taufiq Nya kepada kita semua Amin.
Depok, 13 Juni 2011 M.
13 Rajab 1432 H.
TORI
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................. 9
C. Tujuan penelitian ................................................................. 9
D. Metodelogi Penelitian ........................................................ 10
E. Sistematika Penulisan ......................................................... 11
BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN
ULAMA
A. Pengertian Ilmu dan Ulama ................................................. 13
B. Perbedaan Ulama Akhirat dengan Ulama Dunia ................ 20
C. Hukum menuntut Ilmu dan Tata Cara Mencari Ilmu .......... 25
D. Pengaruh Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan .................. 31
BAB III HADIS-HADIS TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN
ULAMA
A. Teks Hadis dan Terjemah.................................................. 37
B. Syarah Hadis tentang Keutmaan Ilmu dan Ulama ............ 43
C. Asbabul Wurud ................................................................. 45
v
BAB IV ANALISA HADIS TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN
ULAMA
A. Pendapat Mufasir tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama ... 48
B. Pendapat Muhadis tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama .. 55
C. Korelasi Ilmu dan Iman ..................................................... 57
D. Analisis Hadis ................................................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 64
B. Saran-saran ........................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 68
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Padanan Aksara
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
tidak dilambangkan
b be
t te
ts te dan es
j je
h ha dengan garis di bawah
kh ka dan ha
d de
dz de dan zet
r er
z zet
s es
sy es dan ye
s es dengan garis di bawah
d de dengan garis di bawah
t te dengan garis di bawah
z zet dengan garis di bawah
„ koma terbalik diatas hadap kanan
gh ge dan ha
f ef
q ki
k ka
l el
m em
n en
w we
h ha
` apostrof
y ye
vii
b. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasra
u dammah
Adapun Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i
au a dan u و
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas ــــــي
û u dengan topi di atas ـــــــو
d. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ,
dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh = al-syamsiyyah, = al-qamariyyah.
e. Tasydîd
Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
huruf-huruf samsiyyah.
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut
diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
g. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya . Contoh = al-Bukhâri.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dewasa ini kita sudah terbiasa atau mendengar kata utama dan keutamaan
terhadap yang dianggap mulia seerti kata ilmu dan ulama, sangat berharga dan
sangat diagungkan oleh banyak orang. Namun memahami kata keutamaan ini
tentu sudah jelas memiliki makna yang bernilai tinggi dibandingkan dengan
padanan-padanan kata yang bermakna lain. Selanjutnya juga pandanan kata yang
sederhana ini banyak sekali dijumpai pada sesuatu yang diyakini memiliki
keutamaan dan keistimewaan jika memang sudah dianggap memiliki nilai lebih
dibandingkan dengan yang lain.
Nilai lebih yang terkandung bisa dilihat dari sejarahnya atau pendapat pula
peristiwa-peristiwa yang menyertainya. Karena sudah dianggap memiliki nilai
yang sangat berharga, maka bermacam cara dilakukan demi menghormati sesuatu
yang diagungkan dan dihormati itu.
Adakalanya sesuatu yang diagungkan tersebut memiliki beragam
keistimewaan di dalamnya, sehingga tidak sedikitpun orang yang dengan sengaja
memanfaatkan sesuatu yang diagungkan itu untuk menjalani ritual-ritual yang
menurut keyakinan mereka akan dapat mendatangkan balasan atau sesuatu yang
menguntungkan bagi mereka.
2
Melihat adanya keutamaan ilmu dan ulama yang terkandung di dalamnya,
membuat banyak hal1 dapat dikatakan memiliki keistimewaan. Dalam dua pokok
ajaran Islam yaitu al-Qur‟an2 dan hadis
3 yang menyebutkan dan menjelaskan
makna kandungan dari ilmu dan ulama dan menguraikan keutamaanya.
Dari penjelasan di atas yang diuraikan dalam dua pokok pedoman ajaran
Islam tersebut, terutama dalam beberapa hadis nabi banyak menyebutkan prihal
tersebut. Dalam beberapa hadis dikatakan bahwa keutamaan ilmu dan ulama
memuat beragam nilai yang tinggi.
Kemajaun suatu zaman mengakibatkan terjadinya perubahan. Kehidupan
sosial, pemikiran, dan kebutuhan manusia ikut berubah sesuai dengan kemajuan
zaman tersebut. Akan tetapi, kemajuan dan perubahan itu tidak lantas
berkontradiksi dengan kesempurnaan Islam untuk tetap menjadi agama yang
relevan di tiap tempat maupun zaman.4
Sejarah telah mencatat betapa besar sumbangan para ulama dengan
ilmunya dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Bukan saja
ilmu pengetahuan agama dalam arti sempit seperti aqidah, syariáh akhlak dan
tasawuf, tetapi juga filsafat dan science seperti matimatika, fisika, biologi,
astronomi, kedokteran, sosiologi, ekonmi, politik. Kalau pada zaman yunani kuno
1 Meliputi segala aspek, seperti benda-benda yang dianggap keramat, tempat atau lokasi
yang memilki nilai sejarah yang tinggi, makhluk ciptaan tuhan yang mempunyai kedudukan dan
peranan yang penting dalam kehidupan, sejara yang menghantarkan manusia melongok masa lalu
dan semua hal yang dianggap memiliki keistimewaan tersendiri. 2 Dalam al-Qur‟an terdapat ayat yang menyebutkan bahwa” Allah akan mengangkat
orang-orang yang beriman dan berilmu ini keutamaan ilmu” pada surat al-Mujâdalah ayat 11. 3 Dalam hadis nabi ada beberapa ditemukan hadis-hadis yang menerangkan tentang
keutamaan tentang Ilmu dan Ulama menurut Syakh Abdul Aziz al-Badri. Lihat al-Aslamu bainal
Ulama wal hukaam ( Madinah ; Maktabah ilmiyah), h. 44. 4 DR. Muhammad „Imarah. Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah
Maufur, M.A, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 238.
3
kita mengenal para filosof dan ilmuan seperti Socrates, Plato, Aristoteles,
Eukledios dan Archimedes.
Seseorang akan mulia dan terhormat dalam pandangan orang lain ketika ia
memiliki harkat dan martabat dalam dirinya, untuk mengukur dan menilainya
tidak cukup hanya melihat kepada satu sisi saja, apalagi hal tersebut berupa materi
dan jabatan. Akan tetapi penilain tersebut akan lebih tepat apabila dilihat dari
sudut pandang lain yang lebih dapat diterima oleh segala lapisan.
Seandainya materi dan jabatan yang menjadi alat untuk mengukur dan
menilainya, maka orang-orang yang berkesempatan untuk memiliki keduanya
tidak akan pernah disebut sebagai orang yang berharkat dan bermartabat.
Lain halnya apabila ilmu yang dijadikan alat ukurnya, maka semakin
bertambah ilmu yang dimilki seseorang, maka bertambah pulalah rasa hormat dan
simpati orang lain terhadapnya. Dalam hal ini ilmu dan ulama sangat berperan
penting untuk menentukan setatus sosial sesorang dengan demekian kebesaran
dan kewibawaan seseorang ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya, dan juga
sebaliknya ia kan menjadi hina dan kecil tanpa memiliki ilmu.
Adalah satu kejutan bagi dunia yang tertutup awan kejahilan dengan
datangnya wahyu atau petunjuk ilahi yang diawali dengan perintah membaca dan
mempergunakan kalam untuk menulis, sebagai persiapan untuk menjelaskan
cakrawala baru yang sebelumnya manusia tidak mengenalnya.
Di isyaratkan dalam ayat-ayat yang diawali surat al-Alaq yang mana
pengertian iqra ialah “bacalah” sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur‟an
mengandung makna penelitian dan pendalaman yang akan membuahkan berbagai
4
macam kreasi dan inovasi dalam kehidupan manusia, sejarah menyaksikan betapa
wahyu ini mengubah sejarah dunia menjadi terang benderang karena banyaknya
manusia yang dapat menikmati ilmu pengetahuan.
Sehingga banyak pola pemikiran yang berbeda-beda satu sama yang
lainnya, karna banyaknya ilmu pengetahuan yang tak terbatas, Sebenarnya ilmu
membentuk kerangka yang menjadi batasan yang membedakan manusia dan
semua makhluk yang telah diciptakan oleh sang khâliq (Allah). Tanpa petunjuk
dari Allah manusia tidak akan mampu meningkatkan pemahamannya tentang alam
semesta kecuali dengan ilmu pengetahuan dengan akal yang telah diberikan oleh
Allah, manusia dapat mengembamgkan ilmu tersebut dan dapat memahami
tentang alam semesta ini, akan tetapi ilmu pengetahuan akan dapat berkembang
di dalam kerterbatasan manusia itu sendiri5
Ilmu merupakan inti kebahagian di dunia maupun diakhirat, dan buah dari
ilmu adalah meraih kedekatan kepada Allah, ilmu dapat menimbulkan kemuliaan
di dunia dan akhirat sebagaimana yang telah disabdakan nabi Saw:6
5 Fuad Amsary, Mukizat alQur’an dan as-Sunnah tentang Iptek. Jakarta: Gema Insani
Press, 1997. Jilid I, hal. 192. 6 Imam Ghazali, Minhazul Abidin. (Wasiat imam Ghazali). Jakarta: Darul ulum Press,
h. 5-6.
5
“Barang siapa yang melalui jalan untuk menuntut ilmu Allah,
maka Allah akan mudahkan jalan baginya untuk kesurga danmalaikat
selalu meletakan sayapnya menaungi para pelajar karena senang
perbuatan mereka dan seorang yang alim di mintakan ampunan oleh
penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di dalamnya. Keutamaan
seorang alim terhadap seorang ahli ibadah adalah laksana keutamaan
bulan terhadap bintang dimalam bulan purnama, ulama itu pewaris nabi
sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, akan
tetapi mereka mewariskan ilmu dan barang siapa yang mengambilnya,
maka ia telah mengabil bagian yang melimpah.”7
Ilmu Merupakan cahaya yang dianugrahkan oleh Allah kepada hamba-
Nya yang dikehendaki, karena memang, ilmu itu adalah anugrah yang dicurahkan
oleh Allah kedalam hati sebagai cahaya, tentu keberadaan ilmu ini dapat
menerangi jalan yang ditempuh oleh pemiliknya sehingga ia dapat melihatnya
secara jelas dan akan membawa pemiliknya kepada tujuan akhir yang terpuji.
Akan tetapi sering kali asap kedurhakaan menguap menyusup kedalam
hati dan hawa nafsu yang memenuhinya sehingga menghalangi pandangan yang
benar, dimana seharusnya seorang hamba itu melihat kebaikan sebagai kebaikan
dan melihat keburukan sebagai keburukan.
7 Lihat al-Hafidz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-qarwini, Sunan Ibnu Majjaah,
(ttp: Dar al Fikri, tth), jilid 1, h. 81 bab kitab Muqaddimah, No Hadis 223. Lihat. HR Al tirmidzi
5/47 kitab Al Ilmi, 2682, Abu Daud. 3/317, kitab al ilmi,No. 3641, Al Darimi, 1/110 dalam Al
Muqaddimah, No. 342, dan dishahihkan oleh al-Bani dalam Shahih al-Jami No 6397
6
Hal ini menunjukan keberadaan cahaya ilmu di dalam hati yang di
tunjukan dengan adanya amal yang shaleh dan perasaan takut kepada Allah.
Keutamaan para ulama yang menguasai ilmu, mengamalkan dengan cara
menyebar luaskan ilmu agama Islam dan menjadi petunjuk bagi manusia lainnya.
Dari keterangan diatas maka di jelaskan bahwa Allah telah mengangkat
derajat para ulama yang mengenal Allah dan mengamalkan syari‟at-Nya,
ketingkat yang tidak akan dicapai oleh selain mereka. Bahkan kesaksian
merekapun ditempatkan setelah kesaksian malaikat.
Ulama dikatakan sebagai pewaris para nabi, karena mereka telah
menyampaikan risalah (ajaran) yang dibawa oleh para nabi kepada para
pengikutnya setelah mereka berhasil menyebar luaskan agama Islam.8
Sedangkan mereka dikatakan sebagai wakil para nabi, karena mereka telah
menyampaikan risalah (ajaran) yang dibawa oleh para nabi kepada generasi
setelah mereka yang mana hal ini telah tercapai.9 Para ulama itu kunci surga dan
wakil para nabi, mereka dikatakan sebagai kunci surga karena mereka telah
menunjukan jalan menuju surga dengan petunjuk yang mereka telah ajarkan
kepada orang lain.
8 Itthiaq Husen Qureshi. “Posisi ulama dalam Masyarakat Muslim,” dalam Kalim Siddiqi
(et. Al). Gerbang kebangkitan. (terj. AE. Priono. Dkk). Yogyaarta. Shalahuddin Press. 1984. h. 79-
80. 9 Itthiaq husen Qureshi. “Posisi ulama dalam Masyarakat Muslim,” dalam Kalim Siddiqi
(et. Al). Gerbang kebangkitan. (terj. AE. Priono. Dkk). h. 79-80.
7
Hal ini membuktikan kemuliaan serta keutamaan ahli ilmu dan ulama
merupakan faktor yang meluruskan karekter yang membiasakan mereka berbuat
baik dan membuat mereka mudah menerima kearifan.10
Setiap ulama harus memiliki akhlaq yang mulia dan ilmu yang luas yang
berdasarkan hukum-hukum dan prinsip agama hal ini bertujuan untuk
membersihkan jiwa agar berada diatas landasan wahyu ilahi.11
Dewasa ini kaum muslimin di seluruh dunia merasa kesulitan menemukan
figur ulama yang menjadi pemimpin serta mampu memberikan solusi terhadap
akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Manusia adalah makhluk hidup yang
bersifat sosial yang begitu penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan
dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagai
makhluk Allah di muka bumi.12
Dalam rangka menyampaikan ilmu seorang ulama tidaklah pantas
berprilaku tidak senonoh yang membuat kepribadiannya tercemarkan karena
ulahnya yang tidak mencerminkan sebagai ulama.
Pendidik (ulama) yang baik merupakan penunjuk jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat13
Ilmu-ilmu pengetahuan alam yang dulu dikuasai oleh umat Islam, ketika
ulama-ulama terdahulu telah wafat kini umat Islam hanya menjadi pengekornya
saja, inilah yang terjadi dalam dunia keilmuan umat Islam sekarang.14
10
Lihat Ibnu Miskawaih , Tahdziibu al-akhlaq wa Tathhiru al-a’raaq (Tahqiiq Ibn al-
Khatiib) Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 40. 11
Al-Akhlaq Fil Islam (Akhlaq dalam Islam). Dr. Abdul LAthif Al-„Abd 12
Ismai Raji‟ al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, (Bandung : Mizan, 1984), h. 37. 13
Fathiyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibn Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan,
penyuting H.M.D. Dahlan, (Bandung : CV. Diponegoro, 1987), h. 15-22.
8
Sekarang ini kita semakin sulit menemukan ulama yang memiliki ilmu
sekaligus integritas moral, akibatnya, citra ulama semakin redup.
Berkenaan dengan kemuliaan dan keutamaan para ulama ini, Hasan Al-
Bashri telah berkata, “ Kematian seorang alim itu menimbulkan suatu keretakan
pada Islam yang tidak dapat ditambal dalam jangka waktu sehari semalam.”
Dalam hadis marfu yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi dan Imam Thabrani
dan kitab al-Kabir di katakana bahwa, “Kematian seorang alim itu merupakan
musibah yang tidak ada pelipurnya dan keretakan yang tidak ada tambalannya.15
”
Meskipun kajian yang penulis angkat merupakan kajian klasik yang sudah
sering kali dibahas, akan tetapi, penulis merasa perlu mengangkatnya
kepermukaan mengingat kajian ini cukup menarik untuk penulis sajikan ke dalam
pembahasan ini. Sebagian besar sudut pandang manusia khususnya para pengikut
nabi Muhammad yakni umat Islam mungkin melihatnya hanyalah sebagai titik
kecil yang hanya memiliki kandungan makna yang sangat sederhana atas
pembahasan ini, akan tetapi yang membuat penulis harus mengkaji kembali
adalah penulis ingin menguak berbagai rahasia mengenai keutamaan ilmu dan
ulama yang sering kali masyarakat abaikan.
Maka sesuatu yang dianggap kecil merupakan hal yang disepelekan dan
tidak memiliki kandungan yang penting. Maka hal tersebut dikarenakan makna
yang terkandung di dalamnya sederhana dan biasa-biasa saja. Namun tidak
dengan ilmu dan ulama yang memiliki kharisma yang tinggi serta memiliki makna
14
Muhammad Syahrurr, Nahw Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami (Damaskus: al-
Ahlali li ath-Thiba‟ah wa a-Nasyr wa at-Tawzi, 2000), h. 45-46. 15
Abu Bakar Al Jazairy, Ilmu dan Ulama, Pelita kehdupan dunia akhirat ( Daar Al
Kutub : Cairo , 2000), h. 55
9
yang sangat istimewa. Oleh karena itu, penulis sengaja mengambil dan
mengangkatnya ke dalam pembahasan ini sebagai pembuktian bahwasanya tiada
sesuatu yang lebih tinggi dibanding ilmu dan ulama.
Sungguh benar segala kelebihan dan keistimewaan serta kesempurnaan
hanyalah milik sang pencipta alam semesta Allah dan pemilik segala kekurangan
hanyalah para makhluk-makhluk ciptaan-Nya.
Berangkat dari permasalahan inilah penulis memilih tema skripsi tentang
“Keutamaan ilmu dan Ulama Persfektif Hadis”
A. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan mengenai judul diatas, maka penulis
membatasi permasalahan diatas seputar studi analisis hadis nabi Saw tentang
keutamaan ilmu dan ulama. Penulis hanya membatasi pada kitab hadis Shahih
Bukhari dan Ahmad Ibn Hanbal. Adapun kitab-kitab hadis yang lainnya hanya
penulis jadikan sebagai pendukung semata, dengan mengkaji hadis-hadisnya
secara tematik.
Dalam mengartikan atau menterjemahkan hadis penulis bersumber pada
kitab terjemah kitab-kitab yang sembilan (Kutub al-Tis‟ah) dan kamus-kamus
lainnya yang berkaitan dengan pembahasan diatas.
Agar skripsi ini tersaji dengan komprehensif dan terarah, penulis
membuat rumusan.
1. “Apa keutamaan Ilmu dan Ulama menurut hadis”?
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah:
10
1. Memahami makna dan hal-hal yang berkaitan mengenai
Keutamaan Ilmu dan Ulama berdasarkan hadis-hadis yang ada.
2. Untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan program Strata
Satu (S1).
C. Metodologi Penelitian
Dalam skripsi ini penulis melakukan pengumpulan data dengan metode
penelitian kepustakaan (library research), yakni mencari dan mengumpulkan
berbagai literature yang relevan dalam pokok pembahasan. Pengumpulan data
yang penulis lakukan terbagi pada dua bagian, yaitu melaui data perimer dan
sekunder. Rujukan yang penulis jadikan sebagai data perimer adalah Al- Kutub al-
Tis’ah.
Adapun acuan sekunder yang dipakai dalam penelitian ini adalah
sejumlah kitab dan buku yang masih berkaitan dengan obyek penelitian, seperti
kitab-kitab terjemah hadis, buku-buku hadis dan bahan-bahan rujukan lain yang
relevan dalam pokok masalah yang dibahas. Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi secara lengkap agar dapat menentukan kesimpulan yang
akan diambil sebagai langkah penting.
Berdasarkan referensi yang ada penulis dalam pembahasan skripsi
berpijak pada metode deskriptif analitis, yakni melalui pengumpulan data dan
kemudian di teliti dan dianalisis sehingga menjadi sebuah kesimpulan.
Secara teknis penulisan skripsi ini bersandarkan pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi Universitas Islam Negeri Syarif
11
Hidayatullah Jakarta (2002)”. Dan Pedoman Buku Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat 2007.
D. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan suatu sistematika
yang di dalamnya terdiri dari bab-bab yang satu sama lain saling berhubungan,
yaitu:
Bab I: Pendahuluan
Bab ini yang menjadi pengantar umum kepada skripsi. Berisi Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II: Pandangan umum tentang keutamaan ilmu dan ulama
Pada bab ini terbagi empat sub bab, yaitu: Pengertian ilmu dan ulama,
Perbedaan Ulama akhirat dan Ulama dunia, Hukum Menuntut Ilmu dan Tata Cara
Mencari Ilmu, dan Pengaruh Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan
Bab III: Hadis-Hadis tentang keutamaan ilmu dan ulama
Bab tiga terdiri dari tiga sub bab, yaitu: Teks Hadis dan Terjemahnya,
Syarah Hadis tentang keutamaan Ilmu dan Ulama, Asbabul Wurud
Bab IV: Analisa Hadis tentang keutamaan ilmu dan ulama
12
Bab ini memuat mengenai Pendapat Mufasir tentang keutamaan Ilmu dan
Ulama, Pendapat Muhadis tentang keutamaan Ilmu dan Ulama, Korelasi Ilmu dan
Iman dan Analisis Hadis.
Bab V: Penutup
Bab terakhir ini berisikan tentang Kesimpulan, dan Saran
13
BAB II
PANDANGAN UMUM TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA
A. Pengertian Ilmu dan Ulama
1. Pengertian ilmu
Ilmu dalam terminologi bahasa Arab adalah pengetahuan yang mendalam
atau pengetahuan hakikat sesuatu, sedangkan akar katanya
-
Yang artinya pengetahuan. Dalam kamus al-Munjid fi al-lughoh wa al-’ulûm
didefinisikan
Ilmu juga dapat diartikan sebagai suatu cabang studi yang berkenaan
dengan pengamatan, pengklasifikasian fakta-fakta, dan khususnya dengan
penetapan kaidah-kaidah umum yang bisa diuji.2
Sedangkan dalam ensiklopedi Islam dinyatakan bahwa ilmu bersal dari
bahasa Arab „ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata dari jahl yang
berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Kata “ilmu” bisa disepadankan dengan kata
Arab lainnya, yaitu ma’rifat (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah
(kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah kata yang sering digunakan.3
1 Louis Mahlouf al-Yasui, al-Munjid fi al-Lughoti wa al-Adabi wa al-‘Ulum, (Beirut, al-
Matba‟ah al-Katquliyah, 973, h. 527).2 Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, (Bandung, Mizan, 1991), h. 108.
3 Van Hoeve. Ensiklopedi, (Jakarta. PT. Ikhtiar Baru, 1994), cet. Ke-2, h. 201.
14
Pengertian lain menyebutkan bahwa ilmu itu dalam bahasa Inggris adalah sience,
dan bahasa latin sciemia (pengetahuan), scire (mengetahui). Sinonim yang paling
akurat dalam bahasa Yunani adalah episteme.1
Adapun pengertian ilmu yang termuat dalam ta‟lim al-muta‟alim adalah
sebagai berikut;
Artinya: ilmu itu ditafsiri dengan sifat yang kalau dimiliki seseorang,
maka menjadi jelas apa yang terlintas di dalam pengertiannya.2
Kamus besar bahasa Indonesia juga mengartikan ilmu secara definitif
sebagai “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat ditentukan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu”.3
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ilmu sebagai pengetahuan
atau kepandaian (tentang soal akhirat, dunia, lahir, batin, dan sebagainya).
Sehingga kata ilmu selalu dirangkaikan dengan sesuatu seperti ilmu akhirat, ilmu
akhlak dan lain-lain.
Makna definitif di atas pun selalu dirangkaikan dengan kata lain yang
menghasilkan suatu yang bersangkutan dengan kata yang dirangkaikan dengan
4 Loren Bagus, Kamus filsafat, (Jakarta. PT, Gramedia Pustaka, 1996), Edisi I, h. 307.
5 Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh ta‟limul muta‟alim, (Indonesia: Darul Ihya‟alKutub al-
Arabiyah), h. 9. 6 Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta 1989), Cet. Ke-2, h. 325.
15
kata ilmu tersebut. Seperti kata ilmu agama berarti “pengetahuan tentang ajaran
(sejarah, dan lain sebagainya) agama”.
Dengan pengertian tersebut berarti ilmu dibedakan dari pengetahuan,
dimana ilmu lebih spesifik dari pengetahuan, karena banyak pengetahuan yang
belum disusun secara sistematis sebagai salah satu syarat untuk disebut ilmu.
Sementara menurut Fazlur Rahman, al-Qur‟an sering mengemukakan
perkataan „ilm ( ), kata-kata jadiannya yang umum, dan pengertiannya sebagai
“pengetahuan” melalui belajar, berfikir, pengalaman dan lain sebagainya. Dengan
pengertian seperti inilah perkataan ilmu dipergunakan pada zaman nabi
Muhammad SAW. Tetapi pada generasi para sahaabat, Islam mulai berkembang
sebagai sebuah “tradisi”. Ada bukti-bukti bahwa perkataan „ilm ( ) mulai
dipergunakan dengan pengertian pengetahuan yang diperoleh melalui belajar
terutama sekali dari generasi generasi yang lampau (Nabi, para sahabat dan lain-
lain).4
Quraish Shihab ketika menerangkan „ilm ( ) mengartikannya sebagai
“menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya” atau “sesuatu
pengenalan yang sangat jelas terhadap suatu objek”, karena itu seseorang yang
menjangkau sesuatu dengan benaknya tetapi jangkauannya itu masih dibarengi
dengan sedikit keraguan, maka ia tidak dapat dinamai “mengetahui apa yang
7 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka, 1984), Cet. Ke-2, h. 198-
199.
16
dijangkaunya itu”.5 Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa bahasa
mengunakan semua kata yang tersusun dari hurf-huruf dalam berbagai
bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang demikian jelas sehingga tidak
menimbulkan keraguan. Perhatikan misalnya kata „alâmat ( ) yang berarti
tanda yang jelas bagi sesuatu atau nama jalan yang mengantar seseorang menuju
tujuan yang pasti. „alam yang berarti “bendera” menjadi tanda yang jelas bagi
suatu bangsa atau kelompok. Kata yang sama juga berarti “gunung” yang karena
ketinggiannya menjadi sedemikian jelas dibandingkan dengan dataran di
sekelilingnya.
Atas dasar itu Allah Swt, dinamai „Âlim ( ) atau „Alîm ( ) adalah
karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap bagi-Nya hal-hal
yang paling kecil sekalipun.
Dalam pandangan al-Ghazali, hakikat ilmu yang terdapat pada al-Qur‟an
tidaklah terpilah-pilah, artinya al-Ghazali meletakan satu pemahamannya tentang
hakekat ilmu dalam bentuk kesatuan teoritik yakni menjurus kepada pemahaman
ilmu sebagai ilmu Allah yang harus dituntut dan dikaji oleh setiap pribadi dalam
membawa dunia dan seisinya ke gerbang kemaslahatan.
8 Quraish Shihab, Tasir alQur‟an al-Karim (Tasir atas surat-surat pendek Baedasarkan
urutan turunnya wahyu), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), Cet. Ke-I, h. 594-595.
17
1. Pengertian Ulama
Kata ulama berasal dari kata Arab „ulama yang merupakan bentuk jamak
taksir dari kata ( ) „âlim artinya orang yang memiliki ilmu yang luas dan
mendalam. Kata „âlim (ilmu) berasal dari huruf „ain, lam, mim ( ) yang
menunjukan bekas sesuatu dan membedakan yang lainnya atau sesuatu yang
menjelaskan seperti bendeera, gunung dan alam.6 Menurut al Ashifani ilmu adalah
mendapat hakikat sesuatu baik zat maupun penamaannya.7 Ulama adalah bentuk
jamak dari kata „âlim ( ) yang terambil dari kata yang berarti mengetahui secara
jelas, karena itu semua kata yang terbentuk oleh huruf-huruf ‟ain, lam, dan mim,
selalu menunjuk kepada kejelasan seperti ( ) „alam/ bendera, ( ) âlam/ alam
raya atau makhluk yang mempunyai rasa dan atau kecerdasan, ( ) „alamah/
alamat.8 Bentuk kata yang hampir sama dengan kata ulama dalam al-Qur‟an, di
antaranya ista„lama (minta keterangan)9 „alima bersinonim dengan kata „arafa
yang sama-sama memiliki arti mengetahui atau mengenal.10
Kata ilmu dalam berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Qur‟an.
Kata ini digunakan dalam arti proses pencapain pengetahuan dan obyek
9 Ibn Faris., Al-Maqayis fi al Lughat, (Beirut: Dar Al Fikr, 1979), h. 689.
10 Abi Qosim al Husaini Ibn Muhammad Raghib al ashfihami. Al Mufradat fi Gharib al-
Qur‟an, (Mesir: Musthaa al-Bab al Halabi, tth), h. 343. 11
M. Quraish Shihab., Tafsir al Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati 2003), Cet. Ke-I, h. 466. 12
Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdhor., Kamus al Ashri Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum PP. Krapyak, 1996), 105. 13
Ibid,. 1283
18
pengetahua. „alam yang berkata kerja “ya‟lamu” ( ) berarti (Dia yang
mengetahui) dan biasanya al-Qur‟an menggunakan kata ini untuk Allah dalam
hal-hal yang diketahui-Nya, baik yang gaib (tersembunyi), seperti Ya„lamu mâ
Yusirru (Allah mengetahui yang mereka sembunyikan), demikian juga ilmu-ilmu
yang disandarkan kepada manusia semuanya mengandung makna kejelasan.
Ulama merupakan bentuk jamak dari kata mufrad „âlim ( ) yang
merupakan bentuk isim fail dari kata „alima ( ) yang berarti yang terpelajar,
sarjana, yang berpengetahuan atau ahli ilmu. Lawan kata „âlim ( ) adalah jahil
( ) yang berarti orang yang bodoh.11
Kata ulama juga merupakan bentuk jamak dari kata mufrad ( ) sehingga
mempunyai arti orang yang banyak ilmunya, yang sangat mengetahui dan yang
paling mengetahui adalah Allah, tetapi dalam al-Qur‟an, manusia dapat pula
mendapat peredikat sangat tahu, atau banyak ilmu. Mereka disebut dengan “ahli”
(dalam Bahasa Indonesia), „ilm, „alam atau ma‟lum, yang memang sudah dikenal
dengan Bahasa Indonesia, yaitu ilmu, alam dan maklum. Ilmu adalah pengetahuan
yang teratur, alam adalah segala benda yang dapat ditangkap dengan panca indra
sebagai ciptaan Tuhan, dan maklum artinya mengetahui. Tetapi meski manusia
memiliki kemampuan untuk mengetahui secara teratur atau sistematis, hanya
Allah yang Maha Tahu dan Maha Mengetahui.
14
Ibid., h. 966.
19
Menurut al-Thaba‟thaba‟i, ulama adalah mereka yang mengenal Allah Swt
dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, pengenalannya yang bersifat
sempurna sehingga mereka menjadi tenang, keraguan serta kegelisahan menjadi
sirna dan nampak pula dampaknya dalam kegiatan mereka membenarkan ucapan
mereka.12
Ibn Katsir mendefinisikan ulama adalah yang benar-benar makrifat
kepada Allah Swt. sehingga mereka takut kepada-Nya, jika makrifatnya sudah
dalam maka sempurnalah takutnya kepada Allah. Syekh Nawawi al-Bantani
berpendapat untuk mengetahui sahnya agama, baik menetapkan sah i‟tikad
maupun amal syari‟at lainnya. Dr. wahbah Zuhaili berkata “secara naluri” ulama
adalah orang yang mampu menganalisa fenomena alam untuk kepentingan hidup
di dunia dan akhirat serta takut ancaman Allah Swt jika terjerumus dalam
kenistaan. Orang yang maksiat pada hakikatnya adalah bukan ulama”.
Pada mulanya kedua kata alim dan „ulama berlaku bagi semua komunitas
dan orang yang berkecimpung dalam lapangan ilmu pengetahuan, mulai pada
abad ke-2 H/ 8 M, muncul aneka ragam ilmu serta benih-benih dikotomi di antara
ilmu-ilmu baru sesuai dengan disiplin ilmu yang digeluti, seperti fuqaha,
mutakllimin, filsuf dan lain-lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang disebut orang „alim adalah orang
yang dengan ilmu pengetahuannya menimbulkan sifat khasyyah, karena
keberagaman itu inheren dengan ilmu, sehingga dapat dikatakan bahwa hanya
orang-orang berilmulah yang dapat mencapai puncak khasyyah (takut) kepada
15
Quraish Shihab., Tafsir al Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati 2003), Cet. Ke-I, h. 466.
20
Allah. Dengan demikian jika ada orang yang berilmu dan tidak memiliki sifat
keberagamaan yang kokoh berarti ilmunya tidak bermanfaat.13
Bahkan orang yang
berilmu dan lepas dari tanggung jawabnya karena memperturuti hawa nafsunya
maka diibaratkan seperti seekor anjing yang menjulurkan lidahnya baik dihalangi
maupun dibiarkan. (QS. Al A‟raf 7: 175-176).
B. Perbedaan Ulama Dunia dengan Ulama Akhirat
Umat yang tidak dibimbing oleh ulama akan menjadi umat yang sesat.
Mereka dapat terjerumus oleh godaan syetan ke lembah kehidupan yang hina,
oleh karena itulah betapa pentingnya kehadiran ulama di tengah-tengah
masyarakat. Para ulama adalah seumpama lampu yang terang menerangi jalan
yang benar, menjadi wakil Allah di atas bumi. Ulama adalah lambang iman dan
harapan umat, memberikan petunjuk dan menyelamatkan manusia dari segala
bencana.
Sejarah bangsa telah mengukir berbagai peran yang diperankan oleh para
ulama. Kerukunan umat beragama pada dekade 1970-1980 an telah berhasil
terbina dengan baik berkat dukungan para ulama, sehingga kerukunan itu dapat
mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi modal pembangunan
negara dan bangsa selama ini. Ulama berperan melalui komunikasi interpersonal
yang dilakukan melalui ceramah-ceramah dan khutbah di masjid-masjid, dan di
negara-negara pembangunan (yang baru berkembang) paling tidak ada tiga
16
Lihat M. Quraish Shihab., Wawasan al-Qur‟an, (bandung: Mizan, 1996), h. 435.
21
kelompok pemimpin resmi (pemerintah), pemimpin tidak resmi (tokoh Agama),
dan pemimpin adat.
Menurut al-Munawar bahwa ulama adalah orang-orang yang memiliki
pengetahuan luas tentang ayat-ayat Allah, baik bersifat kawniyyah (fenomena
alam) maupun bersirat Qur‟aniyyah yang mengantarkan manusia kepada
pengetahuan tentang kebenaran Allah, dan memberikan pencerahan kepada
masyarakat bukan memanfaatkannya.
Menurut Imam Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali dalam
kitab Ihya Ulumuddin menuturkan bahwa ulama terbagi menjadi dua, yakni ulama
dunia (ulama su‟) dan ulama akhirat.
1. Ulama dunia (ulama su‟)
Yang dimaksud dengan ulama dunia (ulama su‟) adalah mereka yang
mempergunakan ilmu pengetahuannya untuk mendapatkan kesenangan dan
kepuasan duniawi semata, menjadikan sebagai jembatan untuk mencapai pangkat
dan kedudukan semata.14
Ketahuilah bahwa pangkal kesesatan ulama su‟ yaitu
pada niat dan amalan mereka, hati mereka dapat diketahui dari indikator-indikator
yang nampak dari amal perbuatannya. Kita telah mengenal ulama ad-din, yakni
orang baik-baik dengan sebutan ulama akhirat, sedangkan ulama su‟ adalah
mereka yang menyeleweng yang juga disebut ulama dunia
Menurut Imam Ghazali, ulama dunia digambarkan oleh Allah Swt dalam
firman-Nya surat (Ali Imran (3): 182)
17
Imam Al-Ghazali., Ihya Ulum Al Din, (Beirut: Dar Al ikr, tth), h. 61.
22
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang
telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu
kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka
melemparkan janji itu[258] ke belakang punggung mereka dan mereka
menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran
yang mereka terima” (QS, Ali Imran (3): 187)
Setiap ulama yang diidealkan oleh al-Qur‟an bukanlah sekedar citra
manusia berilmu saja, melainkan sekaligus manusia yang bermoral. Oleh karena
itu, ulama bukan orang yang yang memiliki ilmu melainkan harus disertai sikap
istislam (menyerah), takut, dan tunduk kepada Allah.
Rasulullah juga bersabda dalam masalah ini dalam hadisnya:
15
“Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu hukum karena Allah, dan
tidak mencarinya melainkan bukan karena Allah, maka Allah akan
menempatkan ke dalam neraka. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis yang lain beliau bersabda,
16
18
Abi Isa Muhâmmad bin Surah, Sunan Tirmidzi; (Beirut: dar al-Fikr, 1994), J. IV, h.
195, Kitab Ilmi, No. Hadis 2664.
23
“Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di
hadapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau
mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya, maka Allah akan
memasukan dia ke nereka. (HR. Tirmidzi)
Di dalam kitab Akhlaq Ulama, karya Syekh Abu Bakar Muhammad al-
Ghazali dijelaskan mengenai ciri-ciri ulama dunia (ulama su‟) di antaranya.17
1. Ulama yang orientasinya hanyalah demi kebahagian duniawi sebagaimana
yang dilarang agama.
2. Ia (ulama su‟) tertimpa kefakiran dan tidak puas dengan anugerah Allah.
3. Pikiran materialistis senantiasa mengendalikan jiwanya, sedangkan
kehidupan ukhrawi hampir lenyap dari ingatannya.18
2. Ulama Akhirat
Adapun pengertian ulama akhirat adalah ulama yang tidak termasuk
klasifikasi di atas. Dalam hal ini, al-Ghazali mengaitkan ulama akhirat
dengan surat Ali Imran (3): 199, yang berbunyi19
19
Abi Isa Muhâmmad bin Surah, Sunan Tirmidzi; (Beirut: dar al-Fikr, 1994), J. IV, h.
259-296, Kitab Ilmi, No. Hadis 2659 20
Imam Mawardi, ZI, Abdullah Aqih, Wahai Ulama, Kembalilah Kepada Umat,
(Surabaya: Pustaka Pelajar: 2002), Cet. Ke-I, h. 44-45.21
Imam Mawardi, ZI, Abdullah Faqih, Wahai Ulama Kembalilah kepada Umat, h. 2659.22
M. Mahfudz MD, Spiritualitas Al-Qur‟an Dalam Membangun Kerajinan Umat,
(Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet, Ke-2, h. 426.
24
“Dan Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang
diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah
dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang
sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya
Allah Amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran (3): 199)
Adapun karekteristik ulama akhirat menurut Imam Ghazali adalah sebagai
berikut20
:
1. Tidak mencari kemegahan dunia dengan menjual ilmunya dan tidak
memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. (QS. Ali Imran
(3): 199).
2. Konsekuen terhadap perkataannya, artinya perilakunya sesuai dengan
ucapannya dan tidak menyuruh orang untuk berbuat kebaikan sebelum
ia mengamalkannya. (QS. Al Baqarah (2): 44)
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang
kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca
Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah (2):
44)
3. Mengamalkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa
mendalami ilmu pengetahuan yang dapat mendekatkan dirinya kepada
Allah, dan menjauhi perdebatan yang sia-sia.
23
al-Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya „Ulumuddin, (Mesir:
Dar al Bayan Li al Turats, 1987), Cet. Ke-I, h. 92.
25
4. Mengejar kehidupan dengan mengamalkan ilmunya dan menunaikan
berbagai ibadah
5. Menjauhi godaan penguasa yang jahat
6. Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari
al-Qur‟an dan al Sunnah.
7. Senang terhadap ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt,
cinta kepada musyahadah (ilmu yang menyingkap kebesaran Allah),
muraqabah (ilmu yang mencintai perintah Alah dan menjauhi
larangan-Nya), dan optimis terhadap rahmat-Nya.
8. Berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai derajat haqqul yaqin.
9. Senantiasa khasyyah kepada Allah, ta‟dzim atas segala kebesaran-
Nya, tawadhu‟ hidup sederhana dan berakhlaq mulia terhadap Allah
maupun sesamanya.
10. Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian hati.
11. Memiliki ilmu yang berpangkal dalam hati, bukan di atas kitab, ia
hanya taklid kepada hal-hal yang telah diajarkan Rasulullah Saw.21
C. Hukum Menuntut Ilmu dan Tata cara Mencari Ilmu
a. Hukum Menuntut Ilmu
Manusia adalah yang terbaik diciptakan oleh Allah Swt dimuka bumi ini
mempunyai mulia dan berat yang dibebankan di atas pundaknya yaitu menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran untuk menjalankan tugas tersebut,
seseorang harus mempunyai bekal. Dalam hal ini ilmu merupakan bekal terbaik
25
Imam Ghazali, Ihya „Ulumuddin, Sulaiman Mara‟I (ttp: Singapura, tth), Juz I, h. 60-
68.
26
yang dapat membantu tugas tersebut. Oleh karena Allah Swt. menganjurkan
kepada hamba-hamba-Nya untuk pergi menuntut ilmu.
Bahkan amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada
manusia (Adam) pun adalah karena faktor berfikir yang dimiliki oleh manusia itu.
Sebab dengan kemampuan berfikir, manusia akan dapat menyerap ilmu
pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara Malaikat, Adam, dan
Allah Swt. Memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa kemuliaan itu
berpangkal pada kemampuan berfikir dan menyimpan ilmu.22
Seperti firman
Allah di bawah ini:
3132(
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat”. (al-
Baqarah: 31-32).
Adapun hadis yang berkenaan dengan anjuran menuntut ilmu yaitu:
“Menuntut ilmu itu merupakan suatu kewajiban atas setiap muslim”.
(HR. Ibnu Majjah).
26
Rasyid, Daud. Islam Dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h.
88.27
Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, (Kairo: Darul Ihya „al-Turats, 1995), Juz, I, h. 97.
27
Dari hadits di atas inilah al-Ghazali mengangkat suatu hukum bagi setiap
muslim untuk menuntut ilmu.
Kata farîdhatun diberinya makna yang lebih luas dan sangat sesuai dengan
fitrah manusia yang beranenaka ragam tingkat kemampuannya itu sebagaimana
al-Ghazali sendiri mengakui akan terbatasnya daya tangkap, panca indra dan
daya serap akal manusia, bukan para filosof yang seolah-olah memaksakan
manusia dengan banyak memberikan porsi dan peran terhadap akal manusia.
Oleh karena itu para filosof muslim sanggup menerapkan kata farîdhatun dengan
makna kewajiban yang mutlak dilakukan dari sikap itu akan muncul permasalahan
yang pelik dan rumit sekali: “Akan berdosalah orang-orang yang tidak
mempunyai kemampuan yang bermacam-macam jumlahnya itu”.
Ali Syari‟ati, seseorang Sosiolog Syi‟ah kenamaan, menulis tentang
kewajiban menuntut ilmu antara lain sebagai berikut:
Konsep-konsep seperti observasi, penyusunan teori penalaran, ilmu
pengetahuan, penulisan pengajaran pemahaman kebenaran-kebenaran, kesadaran,
dan pengetahuan yang cukup tentang agama, merupakan bagian dari konsep-
konsep suci yang ditekankan oleh al-Qur‟an, lebih dari semua pemimpin moral
dan sosial lainnya dalam sejarah manusia, telah mendorong para pengikutnya
untuk mendapatkan pendidikan sepanjang kehidupan mereka. Ia menjadikan
upaya untuk mendapatkan pendidikan itu sebagai kewajiban untuk pria dan wanita
28
serta memerintahkan para pengikutnya untuk mencari ilmu di sudut-sudut dunia
yang paling jauh dan menggalinya dari setiap sumber, bahkan dari orang kafir.24
Demikian pentingnya arti ilmu bagi kehidupan, sehingga setiap muslim
wajib menuntut ilmu dan menguasainya, seebagaimana yang tercermin dari sabda
Rasululllah Saw:
25
“Siapa yang menghendaki oleh Allah untuk mendapat banyak
kebaikan, maka Allah akan memberinya pemahaman (kemampuan
untuk memahami segala sesuatu) dan sesungguhnya ilmu hanya
didapat dengan belajar”.
b. Tata Cara Mencari Ilmu
Salah satu etika mencari ilmu pengetahuan adalah mencari dan melacak
dari sumber aslinya. Ia harus dicari sekalipun di tempat terpencil dan tersembunyi,
segala jerih payah dalam pencari ilmu akan menjadi mudah dan jarak yang jauh
akan menjadi dekat. Mengapa demikian? Karena apabila dalam mencari ilmu
dilandasi dengan semangat ibadah dan semata-mata untuk mencari ridha Allah
maka akan terbuka jalan dan semuanya akan menjadi mudah untuk digapainya.
28
Ali Syari‟ati, Membangun Masa Depan Islam , (Bandung: Mizan, 1989), Cet. Ke-2, h.
145-146. 29
Imam Bukhari Shahih Bukhari bi Hasyiyah as-Sindiy, (Beirut: Daar al-ikr), Jilid I,
Kitab Ilmi, h. 30
29
26
Siapa yang melalui jalan untuk menuntut ilmu Allah. Maka Allah
akan memudahkan jalan baginya untuk ke surga”. (H.R. Tirmidzi)
Dari hadis di atas dapat menjelaskan bahwa ketika seseorang mempunyai
niat yang sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan semata-mata karena
mengharap ridha Allah, maka segala jalan untuk menggapai ilmu akan
dimudahkan. Sekaligus memberikan motivasi kepada setiap orang yang giat
mencari ilmu, maka ketika ia dengan tulus dan ikhlas bepergian untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan, maka bersama dengan itu pula Allah
melapangkan baginya jalan menuju kebahagian dan kemudahan. Suatu hal yang
sangat penting untuk diyakini dengan sungguh-sungguh oleh setiap orang yang
mencari ilmu maka Allah akan benar-benar membantu dan memudahkan
persoalan setiap muslim yang dengan sungguh-sungguh mencari ilmu
pengetahuan.
Sejarah tidak pernah mencatat umat manapun selain umat Islam yang
demikian aktif bepergian untuk mencari ilmu, terutama yang pernah dilakukan
oleh para ulama hadis. Alamah Khatib al-Bagdadi telah mengarang kitab khusus
tentang kisah perjalanan para pencari hadis yang diberi nama Rihlah fi Thalabil
26
Lihat al-Hafidz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qarwini, Sunan Ibn Majjah,
(ttp:Dar al fikr, tth), jilid 1, h81. Bab Kitab Muqaddimah, No. Hadis. 223. Lihat HR. al-Tirmidzi,
Kitab al-Ilmi, NO. 2682, Abu Daud, 3/317, Kitab al-Ilmi, No. 3641, al-Darimi, 1/110 Dalam al-
Muqaddimah, No. 342, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shaih al-Jami NO.6397
30
Hadis. Di dalamnya disebutkan keutamaan-keutamaan mencari ilmu dan
perjalanan para sahabat.
Salah satu contoh kisah tentang perjalanan mencari ilmu ialah kisah Said
bin Musayyab. Ia mengatakan, Saya menempuh perjalanan berhari-hari hanya
untuk mencari sebuah hadis. Satu hal yang sangat luar biasa, perjalanan yang
sangat menguras tenaga dilakukan hanya untuk mencari sebuah hadis. Andai saja
setiap muslim mempunyai kesadaran untuk mencari ilmu sebagaimana yang
dilakukan Said bin Musayyab, niscaya tidak ada lagi kebodohan dimana-mana.
Konon dalam sebuah riwayat disebutkan, Ahmad bin Hambal ditanya oleh
seorang, manakah yang lebih baik antara seorang alim yang mengajarkan ilmunya
atau pergi mencari ilmu? Imam Ahmad menjawab, “pergi mencari ilmu ke
penjuru negara itu lebih baik sehingga ia dapat bertemu langsung dengan
ahlinya.
Diantara tata cara mencari ilmu yang harus diperhatikan dan diterapkan
oleh seorang pencari ilmu27
antara lain adalah:
1 . Jangan berjalan di hadapan (muka) gurunya.
2 . Jangan menempati tempat duduk gurunya.
3 . Jangan mendahului bicara di hadapan gurunya kecuali dengan seizinnya.
4 . Jangan banyak bertanya di hadapan guru.
5 . Menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemarahannya.
31
Ibrahim bin Ismail , Syarah Ta‟limul Muta‟lim (Semarang, CV. Toha Putra, 1993), h.
31-32.
31
6 Melaksanakan semua perintah guru kecuali diperintahkan untuk berbuat
maksiat.
D. Pengaruh Ilmu Pengetahuan bagi Kehidupan
Manusia adalah makhluk homo sapiens yang dikaruniai potensi untuk
berpikir. Karena dengan berpikir ia akan mendapatkan inspirasi untuk melakukan
kreasi dapat membedakan antara yang baik dan buruk, antara yang bermanfaat
dan yang membahayakan sehingga dalam kehidupan ia dapat saling tolong-
menolong di antara sesamanya dan bahkan dapat membina lingkungannya
sehingga keberadaannya dapat memberikan manfaat bagi sekitarnya.
Kehidupan dunia dalam perspektif Islam merupakan ladang bagi
kehidupan akhirat. Amal kebaikan dan keburukan di dunia akan selalu terkait
dengan kehidupan dengan akhirat, maka dari itu Islam tidak pernah mengenal
dikotomi kehidupan antara dunia dan akhirat, yang ada adalah bagaimana
keduanya mempunyai titik singgung sehingga apa yang dikerjakan manusia di
dunia akan dipertanggung jawabkan di akhirat.
Untuk mendapatkan kehidupan dunia dan akhirat yang seimbang
diperlukan ilmu pengetahuan. Karena tanpa ilmu pengetahuan kehidupan manusia
akan sia-sia. Ia mati sebelum hidupnya berakhir karena keberadaanya tidak
mempunyai arti bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Betapa banyak orang
yang hidup sia-sia karena ia tidak mempunyai ilmu pengetahuan sehingga ia
menghempaskan fitrah kemanusiannya yang snuci. Fitrah tersebut ia nodai dengan
menjerumuskan dirinya pada perilaku yang tak terpuji, seperti mabuk, judi,
mencuri, zina, dan lain sebagainya.
32
Oleh karena itu Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk
senantiasa mencari ilmu, bahkan bagi mereka yang giat mencari ilmu
mendapatkan berbagai insentif dari Allah Swt, seperti diangkat derajatnya,28
dimudahkan baginya jalan menuju surga serta mendapatkan perlindungan selama
mencari ilmu.29
Secara alamiah setiap manusia mempunyai kecendrungan untuk
mengetahui sesuatu, rasa ingin mengetahui tersebut muncul sebagai akibat adanya
keinginan untuk mengoptimalkan potensi berpikiran guna mendapatkan ilmu
pengetahuan. Menurut Ibnu Khaldun30
manusia berpikir karena mempunyai
dorongan alamiah, bahkan binatang pun mempunyai dorongan alamiah untuk
mendapatkan apa yang dituntut oleh alam yakni mempertahankan kehidupan dari
kepunahan.
Semakin majunya peradaban manusia, maka seiring dengan itu semakin
maju pula pola pikir yang ada pada mereka. Penemuan-penemuan yang
merupakan barang asing tidak lagi demikian. Kemajuan ilmu pengetahuan
membuat zaman semakin maju dan canggih, tanpa disadari ilmu telah
memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia.
Untuk melihat lebih jauh pengaruh yang diberikan ilmu kepada manusia
terlebih dahulu kita lihat fungsi ilmu itu sendiri. Secara filosofi fungsi ilmu dapat
dirumuskan sebagai berikut:
32
Niscaya Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan (al-Mujadalah: 11) 33Rasulullah bersabda: barang siapa yang keluar untuk menuntut ilmu, ia berada di
jalan Allah (HR Tirmidzi) 30
Nurcholish Madjid, 1994. Khajanah Intelektual Islam, Jakarta, bulan
Bintang, hal 308
33
1. Fungsi deskriptif: menerangkan dan menggambarkan satu objek atau masalah,
baik sebab ataupun esensinya sehingga dapat dipelajari oleh peneliti.
2. Fungsi Mengembangkan: melanjutkan hasil penemuan yang telah ada untuk
menemukan penemuan-penemuan atau ilmu yang baru, baik bersifat
menyalahi yang lama atau mengembangkannya.
3. Fungsi prediksi: meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi sehingga
manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk
menanggulanginya
4. Fungsi Kontrol: dengan tercapinuya gambaran dan ramalan suatu objek atau
masalah, manusia akan dapat mengembalikan masalah tersebut untuk
keselamatan, kenikmatan, dan lainnya dalam kehidupan.31
Dengan merujuk kepada fungsi-fungsi ilmu di atas dapatlah dikatakan
bahwa telah terbuka peluang untuk mengetahui beberapa hal dari ilmu yang
berpengaruh pada manusia.
Pada fungsi pertama, ilmu memberi kemudahan bagi ilmuan-ilmuan yang
bergerak di bidang penelitian untuk mempelajari objek atau masalah yang sudah
dijelaskan itu.
Pada fungsi kedua terlihat jelas pengaruhnya pada manusia agar selalu
maju dan berkembang, ini sesuai dengan ungkapan “even the best can be
improved”. Adalah suatu yang sudah baik itu pada dasarnya masih dapat
ditingkatkan.
35 Utyartanta, Epistenmologi, Intisari Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius,
1970, h. 11-12.
34
Sedangkan pada fungsi ketiga ilmu memberi informasi penting untuk
menghindarkan diri dari mara bahaya yang akan menimpanya. Contoh: Ketika
akan terjadi letusan gunung berapi, orang akan bersiap-siap untuk
mengantisipasinya dengan meninggalkan daerah yang berdekatan dengan gunung
itu. Demikian pula ketika orang hendak bepergian, dengan adanya badan
meteorologi yang membidangi cuaca, maka orang dapat menentukan kapan saat
yang tepat untuk bepergian. Ini adalah berkat fungsi ilmu tersebut.
Agama Islam banyak menjelaskan dan menerangkan bahkan mengakui
bahwa apa yang dihasilkan dari ilmu pengetahuan akan bermanfaat dan
memberikan pengaruh kehidupn manusia, oleh karena itulah setiap individu
diharuskan untuk menuntut ilmu sebagaimana dijelaskan di atas. Tim DEPAG RI
di dalam bukunya menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Drs. Muhaiman,
MA :
“Ilmu Pengetahuan merupakan instrument untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki oleh Allah Swrt., yaitu mensejahtrakan diri dan manusia
lain guna mencapai ridho-Nya. Kesejahtraan itu dapat diperoleh jika
manusia mengelola sumber-sumber alam (natural resources) dengan
mengetahui hukum-hukum dan aturan-aturan yang memungkinkan
manusia dapat mengelola dan memanfaatkan bumi dengan baik. (QS.
31: 10). Hal ini akan terjadi bila manusia berbekal ilmu
pengetahuan.32
Ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi kurun ini, secara bertahap
tapi pasti membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur‟an benar dan mengagumkan. Baik
berupa bentuk tulisan yang paling perimutif dengan bahan-bahan yang amat
sederhana (daun lontar, pelepah korma, tulang belulang, kulit-kulit hewan dean
36
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Triganda Karya,
1993), h. 82.
35
lain sebagainya) pada abad-abad yang bergemerlapan oleh cahaya ilmu
pengetahuan kini dengan bertolak pada puncak pengetahuan, manusia telah
menulis berjuta-juta buku, menciptakan pena yang bagus dan mudah dibawa, lalu
diciptakan juga mesin tik, mesin cetak, yang dapat menyelesaikan beribu-ribu
kata dalam waktu yang sangat singkat.
Akan tetapi pada sisi lain kemajuan ilmu dan teknologi kadang kala akan
membawa dampak negatif pada kehidupan itu sendiri. Dari fenomena-fenomena
alam kita lihat betapa kemajuan ilmu pengetahuan menjadi motivator bagi
manusia khususnya bagi mereka yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan
kelompoknya itu, untuk membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi dengan
ilmu yang dimilikinya.
Prof. Dr. Hamka dalam bukunya menegaskan bahwa pengaruh ilmu
pengetahuan telah meliputi dunia barat, dan di sana pengaruh agama telah
berkurang, orang mau yang konkrit, tidak mau yang abstrak lagi. Adapun di
negeri timur, gelombang itu sama juga. Tetapi bukan karena ilmu pengetahuan
sudah maju pula, hanyalah karena suka jadi “pak tiru” belaka, sehingga yang
dikatakan oleh sosiolog terkenal Ibnu Khaldun “Bangsa yang kalah, ketagihan
meniru kepada bangsa yang menang”.33
Kini telah jelas bahwa pada satu sisinya ilmu pengetahuan akan sangat
bermanfaaat bagi kehidupan manusia akan tetapi pada sisi lain ia akan menjadi
bencana apabila disalah gunakan, oleh karena itu benarlah ungkapan yang
mengatakan: “Ilmu tanpa bimbingan agama adalah buta”. Maka dari itu majunya
37
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. Ke-4, h. 187.
36
suatu ilmu dan teknologi yang memasuki zaman modern, maka diharapkan
dengan modal keimanan yang kuat dapat membentengi diri dari pengaruh-
pengaruh negatif yang timbul akibat kemajuan ilmu itu khususnya yang kita lihat
pada dunia barat, sehingga kita tidak terbawa arus kepada penyalahgunaan ilmu
pengetahuan, akan tetapi dengan anugrah yang diberikan Allah itu kita lebih
mendekatkan diri kepada-Nya.
37
BAB III
HADIS HADIS TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA
A. Teks Hadis dan Terjemah
Adapun dalam bab ini, penulis hanya menghadirkan hadis-hadis yang
berkaitan dengan keutamaan ilmu dan ulama, penulis hanya mengkaji hadis-hadis
dalam kitab-kitab al-Kutub al-Sittah, sebagai berikut:
Imam Bukhari no hadis 100
1
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba. Ia
mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara
mengambil para ulama (mematikan mreka), sehingga tidak tersisa
orang berilmu akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang
bodoh, maka mereka ditanya, mereka member fatwa dengan tidak
berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain.”
1 Bukhori , Shohih al-Bukhari, Andalusia: Baitul Abkar, tth. Kitab Ilmu, hal. 187
38
Imam Bukhari no hadis 7307
1
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil (menghilangkan) ilmu
sekaligus sesudah diberikan-Nya, melainkan mengambil dengan
mewafatkan ahli ilmu (ulama) berrsama ilmunya. Maka tinggallah
orang-orang bodoh, mereka diminta fatwanya, lalu mereka berfatwa
menurut kemauan sendiri. Sebab itu, mereka tersesat dan menyesatkan
mereka.”
Imam Muslim no hadis 4829
2
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba Ia
mencabutnya dari manusia-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara
mengambil para ulama (mematikan mreka), sehingga tidak tersisa
orang berilmu, akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang
1 Bukhori , Shohih al-Bukhari, Kitab I’itishom, hal. 59
2 Muslim, Shahîh Muslim, Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001. Kitab Ilmu. Hadis, hal. 194
39
bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak
berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”
Imam Muslim no hadis 246
3
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil (menghilangkan) ilmu
dari manusia secara tiba-tiba akan tetapi dengan mengangkat
(mewafatkan) ulama maka diangkatnya ilmu beserta mereka (ulama)
dan menyisakan pada manusia seorang pemimpin yang bodoh dan
tidak memiliki ilmu dan dia (pemimpin yang bodoh) nyesat
menyesatkan
Imam Ahmad Ibnu Hanbal no hadis 6511
3 Muslim, Shahîh Muslim, Kitab Ilmu. Hadis, hal. 199
40
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba Ia
mencabutnya dari manusia-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara
mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa
orang berilmu, akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang
bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak
berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”4
Imam Ahmad Ibnu Hanbal no hadis 6787
5
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil (menghilangkan) ilmu
dari manusia setelah memuliakan mereka hanya kepdanya, akan tetapi
dengan perginya (wafatnya) para ulama, sebagaimana keduanya (ilmu
dan ulama) perginya ulama dengan beserta ilmunya, sehingga
tinggallah orang yang tidak memiliki ilmu maka mereka ditanya,
mereka memberi fatwa dengan tidak berdasarkan ilmu maka mereka
tersesat dan menyesatkan orang lain”
Imam Ahmad Ibnu Hanbal no hadis 6788
4 Ahmad (Baqi Musnad Al-Mukatsirin), hal. 290
5 Imam Ahmad bin Hanbal (Baqi Musnad Al-Mukatsirin), hal. 493
41
6
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba. Ia
mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara
mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa
orang berilmu akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang
bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak
berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”.
Imam Ahmad Ibnu Hanbal no hadis 6896
7
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil (menghilangkan) ilmu
dari manusia setelah mereka menginginkannya hilang akan tetapi
dengan perginya (wafatnya) para ulama, sebagaimana keduanya (ilmu
dan ulama) perginya ulama dengan beserta ilmunya, sehingga
tinggallah orang yang tidak memiliki ilmu maka mereka ditanya,
mereka memberi fatwa dengan tidak berdasarkan ilmu maka mereka
tersesat dan menyesatkan orang lain”
Imam Ibnu Majah no hadis 52
6 Imam Ahmad bin Hanbal (Baqi Musnad Al-Mukatsirin), hal. 514
7 Imam Ahmad bin Hanbal (Baqi Musnad Al-Mukatsirin), hal. 515
42
8
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba. Ia
mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara
mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa
orang berilmu akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang
bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak
berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”
Imam Tirmidzi no hadis 2661
9
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba Ia
mencabutnya dari manusia-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara
mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa
orang berilmu, akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang
bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak
berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”
8 Sunan Ibn Majah, Miqaddimah, hal. 296.
9 Imam Tirmidzi, Ilmu, juz 4, hal. 296
43
Imam Ad-Daromi no hadis 241
10
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba. Ia
mencabutnya dari hamba-Nya, tetapi mengambil ilmu dengan cara
mengambil para ulama (mematikan mereka), sehingga tidak tersisa
orang berilmu akhirnya orang-orang mengambil pemimpin yang
bodoh, maka mereka ditanya, mereka memberi fatwa dengan tidak
berdasarkan ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan orang lain”
B. Syarah Hadis Tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama
“Lihatlah dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul
SAW, lalu tulislah karena aku takut lenyap ilmu kerena meninggalnya
ulama. Dan jangan anda terima, kecuali hadis Rasul SAW dan
sebarkanlah ilmu (hadis) dan adakan majlis-majlis ilmu supaya orang
yang tidak mengetahui dapat mengetahunya, lantaran tidak lenyap ilmu
sehingga dijadikannya barag rahasia” (H. R Darimi)
10 I.mam Ad-Darimi, Muqaddimah, hal 244 11 Lihat Muhammad bin Ismâ‟Îl al-Bukhârî (Mesir: Dâr al-Ihyâ al-Arabiyah, tth) Jilid 1, h. 30.
44
(Tulislah). Dari kalimat ini dapat diartikan, bahwa ini adalah awal
mula penulisan Nabi, karena sebelumnya umat masih bergantung pada hafalan.
Pada saat Umar bin abdul Aziz merasa khawatir akan hilangnya ilmu dengan
meninggalnya para ulama, maka ia berpendapat bahwa penulisan ilmu berarti
usaha untuk melestarikan ilmu itu sendiri12
.
(13
(Allah tidak menarik kembali ilmu pengetahuan dengan
jalan mencabutnya) atau menghapus ilmu dari lubuk hati sanubari. Rasulullah
mengucapkan hadis ini pada saat haji wada‟, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dari hadis Abu Umamah, bahwa saat haji
wada‟ Nabi bersabda, “Pelajarilah ilmu sebelum datang masa punahnya ilmu
tersebut.” Arabi berkata, “Bagaimanakah cara ilmu diangkat atau dipunahkan?
12
Ibnu Hajar al- Asqalani.,Fath al-Bari Syarah Shahih al- Bukhari, (Riyad: Maktabah
Darussalam 1997). Cet ke-1, h.235
13 Imam Bukhari no hadis 7307
45
Beliau bersabda, “Punahnya ilmu itu dengan punahnya para ulama (orang yang
menguasai ilmu tersebut.”
. Dalam riwayat Muslim disebutkan .
. Dalam riwayat Abu al-Aswad pada kitab Al I’tisham karangan Imam
Bukhari disebutkan (mereka memberikan fatwa dengan pendapatnya),
begitu pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim.
Hadis ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi pemimpin yang
bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan
ilmu pengetahuan. Hadis ini juga dijadikan alasan oleh jumhur ulama untuk
mengatakan, bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada seorang mujtahid lagi.
C. Asbabul Wurud
Asbabul Wurud hadis merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang sebab-sebab Rasulullah mengungkapkan sabdanya.
Adapun urgensi sebab Wurud terhadap hadis adalah sebagai salah satu jalan untuk
memahami kandungan hadis. Jika diperhatikan semua ini terdapat manfaatnya,
diantaranya, dapat mentaksis arti yang lain, membatasi arti yang mutlak,
menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemuskilan, dan
menjauhkan „illat suatu hukum, maka dengan memahami sebab wurud hadis dapat
46
mudah memahami apa yang dimaksud atau yang terkandung suatu hadis
tersebut.14
Imam Ahmad dan At-Thabrani meriwayatkan dari hadis Abu Umamah,
berkata: “Selesai melakukan haji wada‟ nabi bersabda: “Ambilah ilmu sebelum ia
ditarik atau diangkat!” Seorang Arab badawi (udik) bertanya: “Bagaimana ilmu
itu diangkat?” Beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya hilangnya ilmu
adalah hilangnya ulama15
”.
Dalam riwayat lain dari Abu Umamah, orang itu bertanya: “bagaimana
mungkin ilmu itu terangkat, padahal ditengah-tengah kami selalu ada mushaf (al-
Qur‟an), sedangkan kami mempelajarinya dan kami mengetahuinya, serta kami
ajarkan pula kepada anak-anak dan istri-istri kami, demikian pula kepada para
pelayan kami.” Rasulullah mengangkat kepalanya. Dan beliau bersabda: “Inilah
Yahudi dan Nasrani dikalangan mereka ada mushaf, tetapi mereka tidak
mempelajarinya, tatkala para nabi datang kepada mereka.
Ibnu Hajar berkata: “hadis masyhur dari riwayat Hisyam. Dan dalam
riwayat lain bunyinya:… ”Sehingga tak ada lagi hidup seorang alim pun.”
Ini menunjukan betapa mulianya kedudukan ulama dalam pandangan
agama. Kematian ulama berarti suatu kerugian bagi umat. Maka kemuliaan ilmu
dan kepentingannya harus dirasakan oleh seseorang yang menuntutnya, dan orang
yang mengamalkannya maka hidupkan ilmu-ilmu Islam dengan memelihara
kitabullah dan sunah Rasul-Nya serta berusaha mengamalkannya, agar ia tetap
14 Mudzir Suparta dan Utang Ranu Wijaya. Ilmu Hadis. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996) 15
Ibnu Hamzah al Husaini, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis- Hadis Rasul ( Jakarta:
kalam mulia, 1996), h. 55.
47
menjadi teladan dan panutan. Jangan tanyakan perihal kepada orang bodoh,
karena bila mereka berfatwa tanpa mengerti ilmu yang sebenarnya, mereka justru
akan menyesatkan (umat) dari jalan lurus.
48
BAB IV
ANALISA HADIS TENTANG KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA
A. Pendapat Mufasir tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama
1. Quraisy Syihab
Dalam konteks yang menerangkan keutamaan ilmu dan ulama Quraisy
Syihab dalam tafsir al-Misbah dalam surah fâthir ayat 28
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulamaSesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun”.
Ayat ini menggaris bawahi bahwa kesatuan sumber materi namun
menghasilkan aneka perbedaan. Sperma yang menjadi bahan penciptaan dan cikal
bakal kejadian manusia dan bintang pada hakikatnya nampak tidak berbeda
dalam kenyataannya satu dengan yang lain. Bahkan kita menggunakan kaca
pembesar sekalipun, sperma-sperma tersebut tampak tidak berbeda. Disinilah
letak salah satu rahasia dan misteri gen dan plasma. Ayat ini pun mengisyaratkan
bahwa faktor genetislah yang menjadikan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia
tetap memiliki ciri khasnya dan tidak berubah hanya disebabkan oleh habitat dan
makanannya.
49
Maka sungguh benar jika ayat ini menyatakan bahwa para ilmuan (ulama)
yang mengetahui rahasia-rahasia penciptaan sebagai sekelompok manusia yang
paling takut kepada Allah.
Banyak pakar agama seperti pakar Ibn „Asyûr dan Thabatabai memahami
kata ini dalam arti yang mendalami agama. Thabataba‟i bahwa mereka itu adalah
yang mengenal Allah, dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya,
pengenalan yang bersifat sempurna sehingga hati mereka menjadi tenang dan
keraguan serta kegelisahan menjadi sirna, dan nampak pula dampaknya dalam
kegiatan mereka sehingga amal mereka membenarkan ucapan.
Adapun ilmuan dalam bidang yang tidak berkaitan dengan pengetahuan
tentang Allah, serta pengetahuan tentang ganjaran dan balasan-Nya yakni
pengetahuan yang sebenarnya, maka pengetahuan mereka itu tidaklah mendekatkan
mereka kepada rasa takut dan kagum kepada Allah. Seorang yang alim yakni dalam
perngetahuannya tentang syariat tidak akan samar baginya hakikat-hakikat
keagamaan. Dia mengetahuinya dengan mantap dan memperhatikannya serta
mengetahui dampak baik dan buruknya, dan dengan demikian dia akan mengerjakan
atau meninggalkan satu pekerjaan berdasar apa yang dikehendaki Allah serta tujuan
syariat. Kendati dia pada satu saat melanggar akibat dorongan syahwat, atau nafsu
atau kepentingan duniawi, namun ketika itu dia tetap yakin bahwa ia melakukan
sesuatu yang berakibat buruk, dan ini pada gilirannya menjadikannya meninggalkan
pekerjaan itu atau menghalanginya berlanjut dalam kesalahan tersebut sedikit atau
50
secara keseluruhan. Adapun seorang yang bukan alim, tetapi mengikuti jejak ulama
maka upayanya serupa dengan upaya ulama dan rasa takutnya lahir dari rasa takut
ulama. Demikian lebih kurang Ibn „Asyur.
Pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan „„ulama‟‟ pada ayat
ini adalah „„yang berpengetahuan agama‟‟ bila ditinjau dari segi penggunaan bahasa
Arab tidaklah mutlak demikian. Siapa pun yang memiliki pengetahuan, dan dalam
disiplin apapun pengetahuan itu, maka ia dapat dinamai „alim. Dari konteks ayat ini
pun, dapat memperoleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh ulama itu adalah ilmu
yang berkaitan dengan fenomena alam. Sayyid Quthub menamai fenomena alam
antara lain yang diuraikan ayat-ayat di atas dengan nama kitab alam yang sangat
indah lembaran-lembarannya dan sangat menakjubkan bentuk dan warnanya. Ulama
ini kemudian menulis bahwa: Ulama adalah mereka yang memperhatikan kitab,yang
menakjubkan itu, karena itu mereka mengenal-Nya melalui hasil ciptaan-Nya, mereka
menjangkau-Nya melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan hakikat kebesaran-Nya
dengan melihat hakikat ciptaan-Nya, dari sini maka mereka takut kepada-Nya serta
bertakwa sebenar-benarnya. Demikian Sayyid Quthub.
Dalam buku Secercah Cahaya Ilahi penulis mengemukakan bahwa ada dua
catatan kecil namun amat penting yang perlu digaris bawahi dari ayat ini.
Pertama adalah penekanannya pada keanekaragaman serta perbedaan-
perbedaan yang terhampar di bumi.Penekanan ini, diingatkan Allah SWT.
Sehubungan dengan keanekaragaman tanggapan manusia terhadap para nabi dan
51
kitab-kitab suci yang diturunkan Allah. Sebagaimana dikemukakan pada ayat
sebelumnya1.
Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehdupan merupakan
keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan
keanekaragaman dan pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman
tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran
kandungannya, serta bentuk-bentuk pengalamannya.
Kedua mereka memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan sosial,
dinamai oleh Al-Qur‟an ‘ulama. Hanya saja seperti pernyataan di atas, pengetahuan
tersebut menghasilkan khasyat. Khasyat menurut pakar bahasa al-Qur‟an, ar-Raghib
al-Ashfahani adalah “rasa takut yang disertai penghormatan, yang lahir akibat
pengetahuan tentang objek”. Pernyataan al-Qur‟an bahwa yang memiliki sifat
tersebut hanya ulama, mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya bukanlah
ulama.
Dalam keterangan di atas terbaca bahwa ayat ini berbicara tentang fenomena
alam dan sosial. Ini berarti para ilmuwan sosial dan alam dituntut agar mewarnai ilmu
mereka dengan nilai spiritual dan agar dalam penerapannya selalu mengindahkan
nilai-nilai tersebut. Bahkan tidak meleset jika dikatakan bahwa ayat ini berbicara
tentang kesatuan apa yang dinamai „„ilmu agama‟‟ dan „„ilmu umum‟‟. Karena
puncak ilmu agama adalah pengetahuan tentang Allah, sedang seperti terbaca di atas,
1 M. Quraish Shihab, Pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an (Jakarta: lentera Hati, 2002), h.
467.
52
ilmuwan sosial dan alam memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah yang lahir dari
pengetahuan mereka tentang Allah. Kesatuan itu dapat lebih diperjelas lagi dengan
lanjutan ayat yang dinilai oleh sementara pakar tafsir seperti al-Biqa‟i dan ar-Razi
sebagai penjelasan tentang siapa ulama itu.
Ayat diatas ditutup dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Pengampun, dapat dipahami dsebagai kelanjutan dari bukti ketidak
butuhan Allah terhadap iman kaum musyrikin, kendati Allah selalu menghendaki
kebaikan buat mereka. Demikian pendapat ibn „Asyur. Sedang Thabathaba‟i
menjadikannya sebagai penjelasan tentang sebab sikap ulama itu. Yakni karena ‘izzat
(keperkasaan) Allah Yang Kuasa menundukan siapapun dan Dia tidak tunduk kepada
siapapun, maka Dia ditakuti oleh yang mengenal-Nya, selanjutnya karena Dia Maha
Pengampun, senantiasa memberi pengampunan dosa dan penghapusan kesalahan,
maka para ulama itu percaya dan mendekatkan diri kepada-Nya serta merindukan
pertemuan dengan-Nya.2
1. Hasbi As-Shidiqi
Dalam menanggapi Surah Fâthir ayat 28, Hasbi As-Shidiqi dalam tafsir
Qur’anul Majid, menyatakan bahwa orang yang takut kepada Allah lalu memelihara
diri dari azab-Nya dengan jalan mengerjakan ketaatan, hanyalah orang yang
mengetahui kebesaran kodrat Allah dengan ilmunya. Sebab orang yang mengetahui
2 M. Qurasy Shyhab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera
Hati, Lentera Hati, 2002) h. 465-468.
53
bahwa Allah itu maha berkuasa tentu meyakini bahwa Tuhan akan menimpakan
siksa-Nya kepada orang yang durhaka, karena itulah timbul rasa ketakutannya kepada
siksa, karena Allah itu maha keras siksa-Nya terhadap orang yang mengkufuri-Nya
dan maha pengampun terhadap dosa-dosa orang yang mengimaninya dan mentaati-
Nya.
Menurut Hasbi As-Shidiqi bahwa ulama itu adalah mereka yang takut dengan
Allah dan membaca kitab Allah dengan ilmunya dengan menghafalnya,
mempelajarinya dan mengajarkannya. Selain itu juga mengamalkan isi
kandungannya, terutama menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar,
mengerjakan shalat dengan khusuk dan mengeluarkan zakat baik dalam keadaan sirr
(dalam keadaan sembunyi-sembunyi) atau dengan terang-terangan bila dalam
keadaan menghendakinya dan mereka berlaku tulus ikhlas dalam hidupnya. Mereka
tidak mengharap sesuatu, kecuali dari Allah mereka hanya mengharap perniagaan
yang tidak rugi dan pahala yang tiada habis-habisnya.
Mereka berbuat seperti itu supaya Allah menyempurnakan pahala amalnya
serta menambahkan keutamaanya. Sesungguhnya Allah maha mengampuni dosa dan
patutnya semua hamba mensyukuri apa yang telah diberikan Allah kepada hamba-
Nya.3
3 M. Habsy as-shidqi, Tafsir Qur’anul Majid (An-Nur), (Semarang: Pustaka Kizley Putra, 2000), Juz
22, h. 3384.
54
2. HAMKA
Dalam mengomentari surah Fâthir ayat 28, pendapat Hamka tentang
keutamaan ilmu dan ulama bahwa orang yang bisa merasakan takut kepada Allah,
ialah orang-orang yang berilmu.
Di pangkal ayat digunakan kata “Innamâ” yang menurut ahli-ahli ilmu
nahwu mengatakan bahwa huruf Innamâ itu adalah adâtu hasri yang artinya “alat
untuk pembatas” sebab itu artinya yang tepat adalah “tidak lain hanyalah orang-orang
yang berilmu jua yang kan merasa takut kepada Allah. Kalau ilmu tidak ada, tidaklah
orang akan merasa takut kepada Allah, dan jelas bahwa ilmu itu adalah luas sekali.
Alam disekeliling kita, sejak dari air hujan yang turun dari langit menghidupkan bumi
setelah mati, sampai kepada gunung-gunung yang menjulang tinggi, binatang melata,
ini semua mengandung ilmu dengan berbagai cabangnya pula sebagai geografi,
etnologi, ilmu-ilmu sosial (sosiologi), polotik, kebudayaan, serta serta antropologi
dan banyak lain lagi halnya.
Ibnu Abbas mengatakan “Alim sejati diantara hamba arahman ialah yang
tidak mempersekutukan Allag dengan apapun, dan yang halal tetap halal dan yang
haram tetap haram, serta memelihara perintah-Nya dan yakin bahwa dia akan
bertemu dengan sang pencipta (Allah).
Dengan demikian jelas pula bahwa ulama bukanlah sempit hanya sekedar
orang yang tahu akan hukum-hukum agama saja secara terbatas, dan bukan juga
55
orang yang mengaji kitab fiqih, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan sorban
besar.4
A. Pendapat Muhaditsin tentang Keutamaan Ilmu dan Ulama
Adapun menurut pendapat ulama hadis tentang keutamaan ilmu dan ulama
sebagai berikut:
1. Imam Malik mengemukakan tentang keutamaan ilmu dan ulama dalam
kitabnya Al Muwatha bahwa sanya ilmu bukanlah karena banyak
menghafal riwayat hadis, bahkan ilmu adalah Nur yang dinyalakan Allah
dalam hati seseorang yang dikehendaki-Nya.
2. Sufyan Tsauri berpendapat mengenai tentang ciri-ciri Ulama menurutnya
terdapat tiga macam:
a. Alim yang mengenal Allah dan mengerjakan perintah Allah.
b. Alim mengenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah.
c. Alim yang mengenal perintah tetapi tidak mengenal Allah.
Adapun alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, ialah yang
takut kepada Allah dan mengenal batas-batas dan perintah serta larangan, alim yang
menmgenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah ialah yang takut kepada Allah
tetapi tidak melaksanakan perintah Allah. Alim yang mengenal perintah Allah tetapi
4 Hamka, Tafsir Al-azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas 1988), Juz 22, h. 242-243.
56
tidak mengenal Allah ialah yang sangat tahu batas dan perintah Allah tetapi tidak
ada rasa takut kepada Allah.5
Dapat dikatakan bahwa orang alim yang mengenal perintah tetapi tidak
mengenal Allah inilah yang banyak sekarang. Sehingga nur (cahaya) itu di cabut oleh
Allah dari dirinya, sehingga pengetahuannya dari hal halal dan haram, hanyalah
laksana pengetahuan sekedar saja yang dapat memutar-mutar ayat sebagaimana yang
disenangi hati orang yang menanyakan.
3. At-Thayyibi berpendapat: Seorang ulama yang selalu berusaha keras
menjauhi segala yang haram dengan ilmunya, lebih berat bagi syaitan
untuk menggodanya dari pada seribu kali ahli ibadah yang giat beribadah,
akan tetapi tidak tahu apa yang berkaitan dengan ibadahnya. Hal itu
disebabkan syaitan setiap kali membuka pintu hawa nafsu kepada orang
banyak dan menjadikan syahwat indah dalam hati mereka. Oleh karena
itu orang yang memiliki ilmu atau faqih ia tidak akan tertipu. 6
4. Ali bin Abi Thalib berkata: barang siapa memandang kepada wajah orang
alim dengan sekali pandang, sehingga ia gembira dengannya. Maka Allah
menciptakan dari pandangan itu seorang malaikat yang memohon ampun
baginya. Pandangan wajah ke arah orang yang alim adalah ibadah dan
menimbulkan cahaya dalam pandangan dan cahaya di dalam hati.
5 Imam Ghazali, Mukasyafatul Qulub (Surabaya: Darul Fikri, Tth), h. 288.
6 Muhammad bin Umar An Nawawi, Tanqihul Qaul al-Hatsîts Fi Syarhi Lubabil Hadis, ( Surabaya:
Mutiara Islam, 1995), h. 27.
57
B. Korelasi Ilmu dan Iman
Terdapat suatu pernyataan yang secara khusus berkaitan dengan ilmu yang
dimiliki manusia, mayoritas pemikir Islam berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
yang dimiliki manusia diperoleh dari adanya upaya belajar. Hanya orang yang mau
belajarlah yang dapat memperoleh ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan dapat
diperoleh seseorang hanya lewat peroses belajar mengajar. Dengan peroses belajar
seorang akan mengalami pergumulan antara gagal dan berhasil. Sehingga proses
tersebut dapat membangun kesadaran dan kearifan sesorang yang secara terintegrasi
terwujud dalam kepribadian yang utuh.
Beberapa instrumen untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang
telah disebutkan pada bab ke 2 (dua), pada dasarnya Allah telah memberikan manusia
berupa pendengaran, penglihatan hendaknya dapat dimanfaatkan secara maksimal
sebagai sarana proses belajar. Suatu hal yang perlu disyukuri oleh setiap manusia
adalah berfungsinya beberapa instrumen belajar tersebut, karena harus sadar bahwa
sebagian manusia ada yang dianugrahi nikmat Allah dengan berbagai instrumen
tersebut secara sempurna. Namun ada sebagian diantara manusia ada yang
mendapatkannya hanya sebagian saja. Walaupun demikian manusia harus pandai
bersyukur karena apa yang telah dianugrahkan Allah semuanya membawa hikmah
dan manfaat yang manusia sendiri tidak tahu apa sebenarnya makna di balik anugrah
tersebut.
58
Menurut Murtadha Muthahari,7 tidak mungkin seseorang dilahirkan dalam
keadaan sempurna dan dapat memanfaatkan potensi intelektualnya tanpa bimbingan
seorang guru yang berbentuk bimbingan dan pengalaman agar ia dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk.
Menyoal ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, Imam Raghib al-Asfahani
menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua hal:
pertama, ilmu yang mempunyai hubungan dengan hakikat sesuatu. Ilmu tersebut
tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Allah, hal ini sebagaimana firman Allah
dalam surat al Anfal ayat 60; “.....Kamu tidak mengetahuinya sedang Allah
mengetahuinya.” Kedua: Ilmu ini lebih dekat pada epistimologi bagaimana ilmu
pengetahuan tersebut dapat diperoleh oleh manusia.8 Sebagaimana firman Allah
dalam al-Qur‟an surat al-Mumtahanah ayat 10;”.....Maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka benar-benar telah beriman.” Indikasi bahwa sesorang telah
mempunyai keimanan hanya dapat dilihat dari apa yang ia kerjakan tersebut sudah
sesuai dengan ajaran agama atau belum, selebihnya apa yang terkandung dalam
pikiran dan hatinya bersifat abstrak. Untuk itu agar prilaku seseorang dapat diketahui
dan diukur terdapat sebuah metode yang disebut dengan skala sikap seseorang
terhadap dirinya, terhadap orang lain, lingkungannya, profesinya dan lain
sebagainya.
7 Murtadha Muthahari,f itrah (terjemahan), lentera, Jakarta, 2001, h. 33 8 Imam Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat al-Fadzz al-Qur‟n Dar al-Fikr, Beirut, hal. 355
59
Menurut Imam Ghazali untuk mengukur keimanan seseorang dapat dilihat
dari seberapa besar perhatian orang tersebut terhadap amal kebaikan dan seberapa
besar perhatiannya untuk tetap melakukan kejahatan. Dalam pandangannya keimanan
seseorang akan meningkat kualitasnya apabila orang tersebut rajin mengerjakan
kebaikan. Sebaliknya iman seseorang akan menurun jika ia sering melanggar apa
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Untuk itu dalam ibadah, al-Ghazali
mensyaratkan pada tahap awal sesorang harus belajar syariat (aturan main dan tata
cara beribadah), tanpa ilmu tersebut ibadah seseorang akan sia-sia.
Ilmu dan iman dalam pandangan kaum sufi adalah dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan, pergumulan antara ilmu, iman dan ma’rifatullah terus bergulir
dalam kehidupan seorang sufi. Untuk itu tahapan pertama yang harus dilalui adalah
mencari ilmu pengetahuan sebagai perangkat ibadah agar ibadah tidak sia-sia.
Menurut Harun Nasution9 dalam kehidupan seorang sufi, ilmu dapat
menghantarkannya pada ma’rifatullah, sehinngga hatinya penuh dengan cahaya,
semakin banyak orang sufi menerima ma‟rifah maka makin banyak pula yang
diketahuinya tentang rahasia-rahasia Allah dan ia pun semakin dekat kepada Allah
SWT.
Menurut Yusuf Qardhawi antar ilmu dengan iman selalu beriringan, keduanya
saling melengkapi, satu ilmu adalah petunjuk iman karena ia menuntun kepada
9 Harun Nasution, 1987. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, bulan Bintang, Jakarta, hal.
75
60
kebenaran10
. Tidak hanya itu saja, iman akan menjadi kering dan mudah digoyah
apabila tidak disertai dengan bangunan ilmu yang kuat. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan dari Abu Darda‟ dinyatakan
“Iman itu dalam keadan telanjang, sedang pakaiannya adalah rasa
malu, dan buahnya ilmu” (HR. Tirmidzi)
Dari hadis tersebut di atas, dapat diambil penjelasan bahwa antara iman dan
ilmu saling mempunyai keterkaitan yang signifikan, untuk itu sinergitas di antara
keduanya sedapat mungkin harus terjaga. Iman yang tidak disertai ilmu pengetahuan
tidak kandapat menghantarkan kepada derajat ketaqwaan yang sesungguhnya, oleh
karena itu barang siapa yang berpergian kesuatu tempat untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, maka baginya dimudahkan jalan menuju surga.
Tidak hanya itu yang dijanjikan Allah, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di
jalan Allah sampai ia kembali (pulang)” (HR. Tirmidzi)
10
11 Tirmidzi, bab fadhlul „ilmi hadis 2571, juz 9, h. 244,
61
Pada hadis ini mengandung pengertian bahwa barang siapa yang bepergian
untuk mencari ilmu maka ia akan mendapatkan pahala yang menyamai dengan pahala
jihad. Mafhum muwafaqah hadis ini ialah ketika orang tersebut dengan ikhlas dan
serius mencari ilmu tersebut kemudian ia meninggal dunia maka tiada pahala yang
lain baginya kecuali mendapatkan surga karena ia berjalan di jalan Allah. Untuk itu
hendaknya setiap kaum muslimin menyadari bahwa belajar dengan sungguh-sungguh
dalam berbagai disiplin keilmuan dan disertai dengan sungguh-sungguh dalam
berbagai disiplin keilmuan dan disertai dengan iman yang kokoh niscaya upaya
tersebut akan membuahkan hasil yang positif bagi perkembangan kaum muslimin dan
di dunia Islam.
C. Analisis Hadis
Pada hadis-hadis yang terdapat pada bab 3 (tiga) yang menerangkan perihal
keutamaan ilmu dan ulama pada dasarnya makna dan tujuan dari periwayat yang
mengemukakan hadis tersebut adalah bersifat sama, artinya redaksi matan hadis-hadis
tersebut hampir persis terdapat persamaan yang memang mengandung maksud dan
tujuan yang sama. Dalam ilmu hadis istilah tersebut dikenal dengan periwayatan
maknawi (periwayatan yang hanya maknanya saja) maknanya adalah periwayatan
hadis yang redaksi matannya persis sama dengan yang di dengarnya dari rasul
langsung, namun isi atau maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah
62
tanpa adanya perubahan yang memang dapat merusak suatu hadis tersebut walaupun
sedikit12
Dalam beberapa hadis yang terdapat dalam kutub al-Tis‟ah, dikemukakan
cukup banyak yang menerangkan perihal ini. Adab dan tugas seorang pelajar banyak
sekali tapi dapat kita simpulkan pada beberapa pokok (1) Mengawali langkah dengan
mensucikan hati dari perilaku yang tercela. (2) Mengurangi segala keterkaitan dengan
kesibukan duniawi. (3) Tidak bersikap angkuh terhadap ilmu. (4) Mengetahui
hubungan antara suatu ilmu dengan tujuannya. Dari urain tersebut dapat menemukan
adanya tiga kategori ilmuwan (ulama): (1) Ulama yang mendatangkan kebinasaan
bagi dirinya sendiri dan orang lain, yaitu mereka yang secara terang-terangan mencari
dunia dan berusaha sungguh-sungguh untuk meraihnya; (2) Ulama yang
mendatangkan kebahagian bagi dirinya sendiri dan orang lain, yaitu mereka yang
menyeru kepada Allah SWT secara lahir batin; dan (3) Ulama yang membinasakan
dirinya sendiri, namun mendatangkan kebahagian bagi orang lain, yaitu yang
menyeru kepada akhirat sementara ia sendiri (tampaknya) seperti menolak dunia,
namun tujuan yang sebenarnya (dalam hati) adalah agar orang banyak tertarik
kepadanya sehingga ia dapat meraih dukungan tinggi diantara mereka.
Ulama adalah pewaris para nabi merekalah yang menggantikan para Nabi
setelah wafatnya mereka, ulama sangat berperan penting dalam menyampaikan ilmu-
12
Utang ranuwijaya, ilmu Hadis, h. 106.
63
ilmu agama karena merekalah yang mampu menyampaikan secara lisan (ucapan),
Af’al (perbuatan).
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah diuraikan penulis pada bab-bab sebelumnya
maka dengan demikian penulis mengemukakan kesimpulan, antara lain yang
dapat penulis simpulkan:
Keutaman ilmu dan ulama adalah kehidupan dan cahaya, sedang
kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Semua kejahatan dan keburukan
penyebabnya ialah tidak adanya kehidupan dan cahaya, dan semua kebaikan
penyebabnya ialah cahaya dan kehidupan.
Jalan yang dilalui orang yang berilmu menuju surga sebagai balasan dari
perjalanannya di dunia ialah jalan ilmu yang menghantarkannya kepada keridhaan
Allah, Sesungguhnya orang yang memiliki ilmu mendapatkan kedudukan yang
sangat sepesial disisi Allah, karna Allah, para malaikat, dan seluruh penghuni di
lautan mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikankepada manusia.
Karena pengajarannya kebaikan kepada manusia, adalah penyebab keselamatan
mereka, kebahagiaan mereka, dan kebersihan jiwa mereka, maka Allah
membalasnya sesuai dengan amal perbutannya dengan memberikan padanya doa-
Nya, doa para Malaikat,dan doa penghuni bumi yang menmjadi penyebab
keselamatan dan kebahagiaanya sesuai dengan sabda Rasulullah.
65
)
“ Kelebihan orang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti kelebihanku
atas kalian kemudian membaca akan ini ayat (“Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”)
sesungguhnya penghuni bumi dan penghuni di lautnya pasti
mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada
manuusia.” (Diriwayatkan Ad-Daromi)
Eksistensi ulama dalam kehidupan masyarakat memegang peranan yang
penting dalam menjaga dan melestarikan kehidupan warisan yang mereka
tinggalkan bukanlah bentuk materi yang banyak, melainkan ilmu pengetahuan
yang darinya dapat melahirkan berbagai kekayaan. Betapa banyak negara yang
secara alamiah yang mempunyai sumber daya alam yang sangat terbatas, namun
hasil peradabannya mampu mengalahkan negara yang kaya sumber daya alam.
Hal ini tidak lain disebabkan oleh kualitas sumber daya manusianya yang penuh
dengan ilmu pengetahuan.
66
“ Barang siapa melewati salah satu jalan dengan tujuan mencari ilmu,
maka Allah membuka dengannya jalan menuju surge, dan
sesungguhnya para malaikat meletakkan saya-sayapnya karena ridha
kepada pencari ilmu. Sesungguhnya para pencari ilmu itu dimintakan
ampunan oleh siapa saja yang ada di langit, siapa saja yang ada di
bumi, hingga ikan-ikan di laut. Kelebihan orang-orang yang berilmu
atas orang yang beribadah adalah seperti kelebihan bulan atas seluruh
bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi-nabi,
sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar, dan tidak pula
dirham namun mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa
mendapatkannya sesungguhnya ia mendapatkan keberuntungan yang
besar.” (Diriwiyatkan Abu Daud, dan At Tirmidzi)
Dengan demikian ilmu dan ulama mampu memberikan bimbingan kepada
setiap manusia dan menjawab berbagai persoalan umat dengan menggunakan
berbagai pendekatan, baik pendekatan sosial, kultural, politik, maupun yang lain
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh manusia.
Ilmu dan Ulama mempunyai peranan dan fungsi yang menentukan bagi
masa depan dan kehidupan bangsa, maka dari itu seorang ulama diharapkan
bersifat ikhlas, tawadhu (rendah hati) dihadapan orang banyak. Cara hidupnya
harus zuhud, selalu bersyiar wara yaitu menjauhkan diri dari kemungkinan dosa
besar dan kecil. Dengan kata lain seorang ulama yang baik adalah dia seorang
yang selalu berhati-hati jangan sampai nafsu menguasai akal sehat dan imannya
Kepemimpinan ulama dituntut untuk memberi perlindungan pengayoman
dan kewajiban moral untuk menjadi fasilitator menyelesaikan masalah-masalah
dengan ilmu-ilmu agama dan sosial yang dihadapi manusia.
67
A. Saran-saran
Setelah penulis melakukan pembahasan tentang “Keutamaan ilmu dan
ulama perspektif hadis” penulis berharap skripsi ini dapat dijadikan acuan dalam
kehidupan kita, karna ilmu dan ulama merupakan pewaris para nabi, oleh karena
itu harapan besar bagi penullis agar ini dijadikan sebagai panduan untuk
menghormati serta memuliakan para ulama.
Sebagaimana halnya studi analisis deskriptif lainnya tentu skripsi masih
jauh dari menggambarkan secara utuh terhadap persoalan yang sesungguhnya,
penulis hanya berharap dikemudian hari ada karya tulis lainnya yang
menyempurnakan kajian ini. Sebab sangat disadari bahwa kesimpulan akhir
sekripsi ini tidak menutup kemungkinan berlainan dengan kajian lainnya.
Oleh karena itu penulis menginginkan ada penelitian lanjutan yang
komprehenshif dan koreksi yang deduktif serta konstruktif, sehingga
menghasilkan kesimpulan yang lebih jauh serta lebih lengkap dengan tujuan
semata-mata beribadah menuntut ilmu dan menambah khazanah Tafsir hadis di
dalam dunia Islam, khususnya di kampus UIN Syarif Hidayatullah jakarta.
68
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pemikiran
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, Jakarta: Renaisan, 2005.
Abi Qosim al Husaini Ibn Muhammad. Raghib al ashfihami. Al Mufradat fi
Gharib al-Qur’an, Mesir: Musthaa al-Bab al Halabi, tth.
Abi Isa Muhammad bin Surah, Sunan Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikri, 1994.
Albânî, Muhammad Nâsir al-Dîn. Sahih Ibn Majah.Riyadh: Maktabah al-Ma’arif
lil matsna al-Tanzi’,1997.
Abdullah Habib Al-Hadad, Nasehat Agama dan Wasiat Iman, Semarang: CV.
Thaha Putra, 1993.
Agil Said Husin al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Paramadina. Jakarta 1992.
Attaqi Hanan, Meditasi al-qur’an Sebuah Pemimikiran Jiwa untuk Mersakan
Pesona al-Qur’an Melalui Teknologi Sunnah , Bandung: Attaqie, 2008.
Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdhor., Kamus al Ashri Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum PP. Krapyak, 1996
Aziz Abdul Aziz Al Badri, Al Islamu Bainul Ulama Wal Hukâm, Maktabah
Ilmiyah. Madinah 1987.
Abdurrahman., M,. Pergeseran pemikiran hadis, Jakarta: Paramadina, 2000.
Baihaqî, Abi Bakr Ahmad Ibn Husain Ibn ‘Ali Sunan al-Kubrâ.Bairut: Dar al-
Sadr,tth.
Bukhârî Shahîh Bukhârî, Andalusia: Baitul Abkar, tth.
______________, Fathul Bărî Syarah Sahĩh al-Bukhãrî. Bairut: Dar al-Kutub al-
Ilmiah,tth.
Fannni Muhyar, Pudarnya Pesona Ilmu Agama, Smarang: Pelajar, 2007.
69
Hanbal, Ahmad ibn, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Beirut: Dâr al-Fikr,
tanpa tahun, juz II.
______________, Musnad al-Imam ibn Hanbal, Beirut: Dar al-Fikri, Tth, juz V.
Hamdan Rasyid, K.H. Achmad Mursyidi Ulama, Pejuang, Dan politisi Dari
Betawi. Darul Hikmah. Cet 1. 2003.
Hamzah Al Husaini Hanafi, Asbabul Wurud, Kalam mulia, Jakarta. Cet 3, 1996.
Hamka, Tafsir Al Azhar, Panjimas Juz XXII. Jakarta 1988.
Ibrahim bin Ismail, Syarah Ta’limul Muta’alim’alim, C.V toha Putra Semarang
1993.
Imam Mawardi, Faqih Abdullah, Wahai Ulama, Kembalilah Kepada Umat,
Surabaya: Pustaka Pelajar, 2002.
Ibnu Hamjah al Husaini al Hanafi, Asbabul Wurud, Jakarta: Kalam Mulia. Ce Ke-
3, 1996.
Jazairi, Abu Bakar, Ilmu dan Ulama; Pelita Kehidupan Dunia dan Aklhirat As-
Salafiyah,Cairo, 2001.
Louis Mahlouf al-Yasui, al-Munjid fi al-Lughoti wal Adabi wal ‘Ulum, (Beirut,
al-Matba’ah al-Katquliyah, 1973.
Loren Bagus, Kamus filsafat, Jakarta. PT, Gramedia Pustaka, 1996
Muslim, Shahîh Muslim, Kairo: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001.
______________, Syrah An Nawawi Beirut: Dar al-Fikri, 1981
Maskawih, Abu Ali Ahmad Tahdzibu al-akhlaq wa Tathhiru al-a’raaq (Tahqiiq
Ibn al-Khatib), Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1393 H.
Muhammd al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin; Menuju Filsafat ilmu dan kesucian hati
di bidang insan ihsan, Surabaya: Maktabah Mahkota, Tth, juz I
______________, Pencinta Ilmu Hirarki Ilmu dalam Kehidupan, Progressif.
Surabaya, Cet. 2003.
_______________, Mukasyafatul Qulub (Surabaya: Darul Fikri, Tth
_______________, Ilmu Dalam Perspektif Tasawuf, (Bandung: Karisma, 1996.
70
M. Qurasy Shyhab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, Lentera Hati, 2002.
M. Habsy as-shidqi, Tafsir Qur’anul Majid (An-Nur), (Semarang: Pustaka Kizley
Putra, 2000.
Nata Abudin, Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, Jakarta: Uin Jakarta
Press, Cet. Ke-1, 2005.
Al Sidiqî,M Hasbi.Sejarah dan Pengantar ilmu hadis. jakarta: Bulan Bintang,
1954.
Sidiqî,M Hasbi.Sejarah dan Pengantar ilmu hadis. jakarta: Bulan Bintang, 1954.
Umar Muhammad an Nawawi, Tanqihul Qaul Syarah Lubâbul Hadis, Mutiara
ilmu, Surabaya, 1995.
Qardhawi Yusuf, Membedah Islam Ekstrem, Bandung: Mizan, 1995
______________, Konsep Ilmu Dalam Persepsi Rasullah saw. Belajar dan
Etikanya. Jakarta: Firdaus, 1994.
______________, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal Dan Ilmu
Pengetahuan,Terj. Abdul Hayyie al Kattani, Jakarta: Gema Insani Press,
1993.
______________, al-Qur’an Berbicara Tentang akal dan Ilmu Pengetahuan
(Terj)., Gema Insani Pers, Jakarta 1984.