22
233 Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal ONE BELT ONE ROAD (OBOR): AGENDA KEAMANAN LIBERAL TIONGKOK? One Belt One Road (OBOR): China’s Liberal Security Agenda? Yandry Kurniawan Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia Alamat e-mail: [email protected] Naskah Diterima: 26 Agustus 2016 Naskah Direvisi: 8 Oktober 2016 Naskah Disetujui: 4 November 2016 Abstract This article discusses the ‘One Belt, One Road’ (OBOR) initiative, proposed by the Chinese government as a cross-continental multilateral cooperation which spans from East Asia, Southeast Asia, South Asia, West Asia, Africa all the way to Eastern Europe. This makes OBOR the most ambitious multilateral cooperation, in terms of geography, ever initiated by a single country. It is bigger than the European Union and second only to the United Nations. Given this empirical significance, a theory-guided conceptual understanding of OBOR is necessary. Most of the existing studies on OBOR, however, put emphasize on more practical issues by employing political-economic, China’s domestic interest, and area studies perspectives. Few, if any, examines the theoretical background of OBOR in order to scrutinize strategic objective that the Chinese government attempts to pursue through this initiative. By using liberal approach on security, this article frames OBOR as the Chinese government’s agenda for maintaining and improving cross-continental stability. This article argues that the political-security stability is one of China’s imperative interests amidst its rising power and global influence. Hence, through OBOR, China seeks to engage countries along the Belt and Road to actively contribute in maintaining cross-continental stability through the multilateral economic cooperation. Keywords: OBOR, China, liberal security agenda, regional security. Abstrak Tulisan ini membahas Inisiatif ‘One Belt, One Road (OBOR)’ yang ditawarkan oleh pemerintah Tiongkok sebagai mekanisme kerja sama multilateral lintas kawasan, yang meliputi Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, Afrika hingga ke Eropa Timur. Inisiatif OBOR ini penting untuk ditelaah melalui berbagai perspektif ilmiah karena merupakan gagasan kerja sama multilateral yang paling ambisius yang pernah ditawarkan oleh satu negara. Dari segi geografis, kerja sama OBOR akan lebih besar dari Uni Eropa dan hanya akan lebih kecil dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun demikian, sebagian besar kajian terdahulu lebih banyak melihat inisiatif OBOR dengan menggunakan sudut pandang ekonomi-politik, dinamika politik domestik Tiongkok, dan kajian kawasan tanpa mengulas lebih dalam aspek paradigmatik yang mendasari pemikiran dan tujuan yang ingin dicapai pemerintah Tiongkok melalui gagasan ini. Dengan menggunakan sudut pandang pemikiran liberal sebagai kerangka analisis, tulisan ini membingkai inisiatif OBOR sebagai agenda pemerintah Tiongkok untuk menjaga dan meningkatkan stabilitas keamanan di kawasan. Argumen utama dalam tulisan ini adalah stabilitas keamanan kawasan merupakan syarat penting bagi Tiongkok untuk menjaga kebangkitannya dalam kancah politik internasional. Melalui mekanisme multilateral pemerintah Tiongkok pada dasarnya mengajak negara-negara di kawasan untuk terlibat aktif dalam berbagi peran (division of labor) dalam menjaga dan meningkatkan stabilitas kawasan dengan kerja sama ekonomi sebagai sektor penjuru. Kata kunci: OBOR, Tiongkok, agenda keamanan liberal, keamanan kawasan.

ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

233Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

ONE BELT ONE ROAD (OBOR):AGENDA KEAMANAN LIBERAL TIONGKOK?

One Belt One Road (OBOR): China’s Liberal Security Agenda?

Yandry Kurniawan

Departemen Ilmu Hubungan InternasionalUniversitas Indonesia

Alamat e-mail: [email protected]

Naskah Diterima: 26 Agustus 2016Naskah Direvisi: 8 Oktober 2016

Naskah Disetujui: 4 November 2016

Abstract

This article discusses the ‘One Belt, One Road’ (OBOR) initiative, proposed by the Chinese government as a cross-continental multilateral cooperation which spans from East Asia, Southeast Asia, South Asia, West Asia, Africa all the way to Eastern Europe. This makes OBOR the most ambitious multilateral cooperation, in terms of geography, ever initiated by a single country. It is bigger than the European Union and second only to the United Nations. Given this empirical significance, a theory-guided conceptual understanding of OBOR is necessary. Most of the existing studies on OBOR, however, put emphasize on more practical issues by employing political-economic, China’s domestic interest, and area studies perspectives. Few, if any, examines the theoretical background of OBOR in order to scrutinize strategic objective that the Chinese government attempts to pursue through this initiative. By using liberal approach on security, this article frames OBOR as the Chinese government’s agenda for maintaining and improving cross-continental stability. This article argues that the political-security stability is one of China’s imperative interests amidst its rising power and global influence. Hence, through OBOR, China seeks to engage countries along the Belt and Road to actively contribute in maintaining cross-continental stability through the multilateral economic cooperation.

Keywords: OBOR, China, liberal security agenda, regional security.

Abstrak

Tulisan ini membahas Inisiatif ‘One Belt, One Road (OBOR)’ yang ditawarkan oleh pemerintah Tiongkok sebagai mekanisme kerja sama multilateral lintas kawasan, yang meliputi Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, Afrika hingga ke Eropa Timur. Inisiatif OBOR ini penting untuk ditelaah melalui berbagai perspektif ilmiah karena merupakan gagasan kerja sama multilateral yang paling ambisius yang pernah ditawarkan oleh satu negara. Dari segi geografis, kerja sama OBOR akan lebih besar dari Uni Eropa dan hanya akan lebih kecil dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun demikian, sebagian besar kajian terdahulu lebih banyak melihat inisiatif OBOR dengan menggunakan sudut pandang ekonomi-politik, dinamika politik domestik Tiongkok, dan kajian kawasan tanpa mengulas lebih dalam aspek paradigmatik yang mendasari pemikiran dan tujuan yang ingin dicapai pemerintah Tiongkok melalui gagasan ini. Dengan menggunakan sudut pandang pemikiran liberal sebagai kerangka analisis, tulisan ini membingkai inisiatif OBOR sebagai agenda pemerintah Tiongkok untuk menjaga dan meningkatkan stabilitas keamanan di kawasan. Argumen utama dalam tulisan ini adalah stabilitas keamanan kawasan merupakan syarat penting bagi Tiongkok untuk menjaga kebangkitannya dalam kancah politik internasional. Melalui mekanisme multilateral pemerintah Tiongkok pada dasarnya mengajak negara-negara di kawasan untuk terlibat aktif dalam berbagi peran (division of labor) dalam menjaga dan meningkatkan stabilitas kawasan dengan kerja sama ekonomi sebagai sektor penjuru.

Kata kunci: OBOR, Tiongkok, agenda keamanan liberal, keamanan kawasan.

Page 2: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

234 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

I. PendahuluanMekanisme kerja sama antar-pemerintah

pada tataran global yang ada hingga saat ini tampaknya belum memberikan ruang yang cukup untuk memadukan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dengan pertimbangan politik dan keamanan.1 Guna mengisi ruang kosong antara kepentingan ekonomi dan perdagangan di satu sisi, dan kalkulasi politik dan keamanan tersebut di sisi yang lain, pemerintah Tiongkok menginisiasi satu bentuk kerja sama multilateral baru, dengan nama One Belt One Road (一带一路, yidai yilu), selanjutnya akan disingkat dengan OBOR. Titik awal inisiatif OBOR tersebut ditandai dengan pidato resmi Presiden Xi Jinping di Kazakhtan dan Indonesia pada tahun 2013. Di Kazakhtan, Presiden Xi Jinping menyampaikan inisiatif “Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt)” dengan tujuan utama untuk menghubungkan Tiongkok hingga Eropa melalui jalur darat. Di Indonesia, Presiden Xi Jinping menyampaikan inisiatif “Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (The 21st Maritime Silk Road)” dengan tujuan utama untuk menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa melalui jalur transportasi laut. Dalam visi pemerintah Tiongkok, Sabuk Ekonomi Jalur Sutra akan menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Rusia, dan Eropa (khususnya kawasan Baltik). Pada saat bersamaan, Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 akan terentang mulai dari pesisir Tiongkok hingga Eropa melalui Laut Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia di satu sisi, dan dari pesisir Tiongkok hingga kawasan Pasifik Selatan melalui Laut Tiongkok Selatan.2

Melihat visi tersebut, inisiatif OBOR merupakan visi pembangunan konektifitas lintas benua melalui jalur darat dan laut. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah Tiongkok menegaskan bahwa inisiatif OBOR

1 Alessandro Arduido, “China’s One Belt One Road: Has the European Union Missed the Train”, Policy Report RSIS (March), 2016, h. 4.

2 National Development and Reform Commission (NDRC), Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-Century Maritime Silk Road, Beijing, 2015, http://en.ndrc.gov.cn/newsrelease /201503/t20150330_669367.html, diakses pada 7 April 2016.

merupakan kesempatan bagi berbagai negara untuk mendapatkan keuntungan timbal-balik melalui pendanaan bersama pembangunan fasilitas infrastruktur yang melintasi kawasan-kawasan yang disebutkan di atas. Lebih spesifiknya, pemerintah Tiongkok menawarkan lima area prioritas kerja sama, yaitu (1) koordinasi kebijakan, (2) konektifitas fasilitas, (3) perdagangan bebas (unimpeded trade), (4) integrasi keuangan, dan (5) kerja sama di tingkat akar rumput.3

Dengan memperhatikan visi pembangunan konektifitas lintas benua dan prioritas kerja sama di atas, kita dapat memperkirakan bahwa gerak inisiatif OBOR ke depan—jika benar-benar terlaksana—akan terjadi dalam tiga fase kronologis, yaitu (1) fase penjajakan dan koordinasi; (2) fase konsolidasi, dan (3) fase pelaksanaan. Dalam fase penjajakan dan koordinasi, tampaknya seluruh negara yang terlibat akan menggunakan waktu dan tenaga mereka untuk meningkatkan interaksi untuk mengkoordinasikan berbagai standar teknis dalam rangka pembangunan infrastruktur, minimalisasi hambatan perdagangan, dan menginisiasi kerja sama dan integrasi keuangan. Karakter teknokratis dari fase awal ini mensyaratkan adanya persepsi positif dan saling percaya antara satu negara dengan negara lainnya. Lebih dari itu, persepsi positif dan sikap saling percaya tersebut hendaknya tidak hanya terjadi dalam hubungan antar-negara, namun juga terjadi di tingkat akar rumput yang melibatkan masyarakat di satu negara dengan masyarakat di berbagai negara lainnya. Oleh sebab itu, sebelum adanya penerapan berbagai aspek teknis dari inisiatif OBOR, idealnya kita akan menyaksikan peningkatan berbagai program pertukaran dan kebudayaan, seperti program pertukaran pejabat, peningkatan kerja sama antar-lembaga pemerintah, pertukaran pelajar, dan lain sebagainya. Tujuan seluruh program yang bersifat non-teknokratik ini adalah untuk mempromosikan hubungan timbal-balik antar-masyarakat di tingkat akar rumput (people-to-people bond).

3 Ibid.

Page 3: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

235Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

Di fase kedua, yaitu fase konsolidasi, negara-negara yang nantinya akan berpartisipasi dalam inisiatif OBOR akan mulai menerapkan berbagi mekanisme pendanaan. Seiring dengan penerapan mekanisme pendanaan tersebut, pembagian kerja (division of labor) pada tataran multilateral juga akan menandai program pembangunan infrastruktur sepanjang jalur darat dan laut yang dibayangkan akan menghubungkan tiga benua yang telah disebutkan. Dengan adanya pembagian kerja pada tataran multilateral tersebut, maka perlu diingat dengan seksama bahwa Tiongkok bukan satu-satunya penyedia dana dan pelaksana inisiatif OBOR tersebut. Walaupun inisiatif OBOR muncul dari pemerintah Tiongkok dan mereka menyatakan telah memiliki alokasi dana untuk memulai inisiatif ini,4 pemerintah Tiongkok pada dasarnya mengharapkan keterlibatan aktif dari seluruh negara. Dari sudut pandang ini, inisiatif OBOR pada dasarnya adalah himbauan pemerintah Tiongkok agar setiap negara membangun wilayahnya masing-masing namun dengan perencanaan yang lebih terintegrasi melalui mekanisme multi-regional.

Pada akhirnya, di fase pelaksanaan, mungkin kita—atau generasi berikutnya—akan menyaksikan atau bahkan menikmati pergerakan arus orang, barang, uang, jasa, dan ide yang bebas melitasi benua Asia, Eropa, dan Afrika. Jika nantinya berhasil, inisiatif OBOR merupakan inisiatif paling ambisius yang pernah digagas oleh satu pemerintahan di era kontemporer ini, karena akan mengikutsertakan 65 negara di tiga benua dengan total populasi sekitar 4.4 miliar orang.5

4 Guna mewujudkan Inisiatif OBOR pemerintah Tiongkok membentuk New Silk Road Fund dengan dana sebesar 40 miliar dollar Amerika. Selain itu, China Development Bank dikabarkan akan menanamkan modal hampir sebesar 900 miliar dollar Amerika di 900 proyek pembangunan. Pada saat yang sama, Asia Infrastructure Investment Bank juga diharapkan akan menyediakan dana pinjaman sebesar 100 miliar dollar Amerika guna mendukung inisiatif ini. Bert Hofman, China’s One Belt One Road Initiative: What We Know Thus Far, 2015, http://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/china-one-belt-one-road-initiative-what-we-know-thus-far, diakses pada 3 April 2016.

5 Xi Jinping’s Mideast Trip to Push “One Belt One Road, Forbes, 30 Januari 2016, http://www.forbes.com/sites/helenwang/2016/01/30/xi-jinpings-mideast-trip-to-push-one-belt-one-road/#68117e-064f27, diakses pada 7 Maret 2016.

Dengan kata lain, jika inisiatif Presiden Xi Jinping ini pada akhirnya akan menjadi kenyataan, maka kita secara sedarhana dapat berasumsi bahwa inisiatif OBOR akan membangun satu kerja sama multilateral yang secara geografis dan demografis lebih besar dari Uni Eropa dan hanya lebih kecil dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Namun terlepas dari signifikansi inisiatif OBOR di atas, kajian akademis yang memiliki kerangka teoritis yang mapan (theoretical-informed research) tidak terlalu banyak dilakukan baik oleh peneliti Indonesia maupun oleh peneliti asing. Setelah tiga tahun sejak dicanangkan oleh presiden Xi Jinping pada tahun 2013, kajian akademik mengenai Inisitatif OBOR pada dasarnya tersebar ke dalam tiga perspektif besar, yaitu: (1) ekonomi-politik; (2) domestik politik; dan (3) studi kawasan.

Kajian ekonomi-politik melihat inisiatif OBOR sebagai, antara lain, upaya pemerintah Tiongkok mengamankan pasokan energi dari Samudera Hindia dan Laut Tiongkok Selatan,6 perimbangan kekuatan ekonomi7 dan kerja sama multilateral pembangunan infrastruktur.8 Kajian yang menggunakan sudut pandang politik domestik, antara lain, mengulas inisiatif OBOR sebagai upaya pemerintah Tiongkok mengangkat ide dan praktek yang telah ada di tingkat sub-nasional ke tingkat nasional9 dan aspek politik domestik—terutama ide dan norma—dalam pembuatan kebijakan luar negeri Tiongkok.10

6 Christopher Len, “China’s 21st Century Maritime Silk Road Initiative, Energy Security and SLOC Access”, Maritime Affairs: Journal of the National Maritime Foundation of India, Vol. 11(1), 2015, h. 1-18.

7 Min Ye, “China and Competing Cooperation in Asia-Pacific: TPP, RCEP, and the New Silk Road”, Asian Security, Vol. 11(3), 2015: 206-224. Dan, Yang Wang, “Offensive for Defensive: The Belt and Road Initiative and China’s New Grand Strategy”, The Pacific Review, Vol. 29(3), 2016, h. 455-463.

8 Mike Callaghan dan Paul Hubbard, “The Asian Infrastructure Investment Bank: Multilateralism on the Silk Road”, China Economic Journal, Vol. 9(2), 2016, h. 116-139.

9 Tim Summers, “China’s ‘New Silk Roads’: Sub-national Regions and Network of Global Political Economy”, Third World Quaterly, 2016, h. 1-17.

10 William A. Callahan, “China’s “Asia Dream”: The Belt Road Initiative and the New Regional Order”, Asian Journal of Comparative Politics, Mei 2016, h. 1-18.

Page 4: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

236 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

Terakhir, kajian yang menggunakan perspektif studi kawasan mencoba untuk menganalisis dampak pelaksanaan inisiatif OBOR terhadap suatu kawasan seperti Eurasia,11 Central Asia,12 maupun negara tertentu seperti Indonesia,13 Rusia ,14 India,15 Afghanistan,16 dan Australia.17

Argumen yang dibangun oleh kajian-kajian akademik terdahulu mengenai inisiatif OBOR Tiongkok dapat kita sarikan sebagai berikut. Inisiatif ini tidak telepas dari dinamika relasi kekuatan dan perebutan pengaruh Tiongkok dan Amerika Serikat di kawasan Asia. Dalam konteks tersebut, Tiongkok melalui inisiatif OBOR pada dasarnya berusaha melakukan depolitisasi persaingan politiknya dengan Amerika Serikat dengan mengkampanyekan program pembangunan ekonomi kawasan yang akan melibatkan partisipasi aktif negara-negara di kawasan melalui mekanisme multilateral. Dengan mengampanyekan mekanisme kerja sama multilateral tersebut, Tiongkok dapat mengklaim bahwa inisiatif OBOR adalah strategi defensif yang tidak akan mengecilkan kontribusi dan pengaruh negara manapun. Namun pada saat yang bersamaan, kita juga menyadari bahwa dengan strategi difensif tersebut sekalipun Tiongkok mengharapkan dapat membangun citra positifnya di antara

11 Theresa Fallon, “The New Silk Road: Xi Jinping’s Grand Strategy for Eurasia” American Foreign Policy Interests, Vol. 37(3), 2016, h. 140-147.

12 Sebastien Peyrouse dan Gaël Raballand, “Central Asia: The New Silk Road Initiative’s Questionable Economic Rationality”, Eurasian Geography and Economics, Vol. 56(4), 2016, h. 405-420.

13 René L. Pattiradjawane, “The Indonesian Perspective toward Rising China: Balancing the National Interest”, Asian Journal of Comparative Politics, Juni 2016, h. 1-23.

14 Jeanne L. Wilson, “The Eurasian Economic Union and China’s Silk Road: Implications for the Russian–Chinese Relationship”, European Politics and Society, Vol. 17(1), 2016, h. 113-132.

15 Gurpreet S. Khurana, “China, India and “Maritime Silk Road”: Seeking a Confluence”, Maritime Affairs: Journal of the National Maritime Foundation of India, Vol. 11(1), 2016, h. 19-29.

16 Michael Clarke, “‘One Belt, One Road’ and China’s Emerging Afghanistan Dilemma”, Australian Journal of International Affairs, Vol. 70(5), 2016, h. 563-579.

17 Purnendra Jain dan Gregory McCarty, “Between Centrality: China in Australia”, Asian Journal of Comparative Politics, Mei 2016, h. 1-23.

negara-negara sekawasan dan pada akhirnya akan meningkatkan pengaruhnya dalam dinamika politik internasional, khususnya secara diametral dengan pengaruh Amerika Serikat.

Di sisi lain, dari kajian-kajian yang melihat inisiatif OBOR dari perspektif dinamika politik domestik Tiongkok kita dapat mempelajari bahwa inisiatif ini pada dasarnya adalah pilihan rasional yang diambil oleh pemerintahan Beijing untuk memfasilitasi aktifitas ekonomi provinsi-provinsi di Tiongkok yang secara terpisah-pisah telah membangun koneksi dengan berbagai negara. Dengan demikian, Beijing berusaha menyelaraskan aktifitas ekonomi di provinsi-provinsi tersebut untuk memaksimalkan keuntungan agregat terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Sementara itu, kajian-kajian terdahulu yang menggunakan pendekatan studi kawasan pada umumnya bermuara pada proyeksi dampak inisiatif OBOR terhadap hubungan Tiongkok dengan kawasan maupun negara-negara yang akan dilalui oleh jalur sutra darat dan laut abad ke-21 yang digagas oleh Tiongkok tersebut.

Walaupun kita dapat menarik pelajaran penting berdasarkan perspektif yang digunakan, tampaknya kajian-kajian terdahulu belum secara tegas menempatkan inisiatif OBOR sebagai agenda keamanan yang digagas oleh Tiongkok untuk menciptakan stabilitas di kawasan, khususnya kawasan-kawasan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Memperlakukan inisiatif OBOR sebagai agenda keamanan dan/atau proyek perdamaian Tiongkok merupakan perspektif yang penting dengan satu asumsi dasar, yaitu kebangkitan Tiongkok, baik secara ekonomi maupun politik internasional, merupakan resultan positif dari dinamika politik dan keamanan internasional di kawasan saat ini. Oleh karena itu, Tiongkok memiliki kepentingan untuk menjaga status quo tersebut. Untuk menjaga stabilitas dinamika dan politik internasional di kawasan, pilihan yang paling rasional bagi Tiongkok adalah membuat gagasan terobosan di bidang ekonomi. Secara paradigmatik, kerja sama ekonomi merupakan

Page 5: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

237Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

dasar pemikiran liberal dalam tradisi kajian hubungan internasional. Dengan membangun kerja sama ekonomi, negara-negara cenderung akan menciptakan saling ketergantungan, menyepakati peraturan bersama yang sampai pada derajat tertentu dapat mengatur perilakunya dalam lingkungan internasional, membangun lembaga internasional agar peraturan tersebut dapat dijalankan. Pada akhirnya, premis yang dibangun oleh pemikiran liberalisme adalah situasi saling ketergantungan antara negara-negara, peraturan bersama, dan lembaga internasional akan menciptakan dinamika politik-keamanan internasional lebih dapat diprediksi sehingga mengurangi kecurigaan dan kesalahpahaman antara satu negara dengan negara-negara lainnya. Jika kondisi ini terpenuhi maka konflik dapat dihindari dan dunia akan lebih damai.

Berdasarkan serangkaian uraian dan argumen di atas, pertanyaan dasar tulisan ini adalah bagaimana kita menunjukkan bahwa inisiatif OBOR merupakan agenda keamanan yang ditawarkan oleh Tiongkok memiliki akar pemikiran liberal? Jika benar memiliki akar pemikiran liberal, maka apa yang akan menghambat terwujudnya inisiatif OBOR tersebut? Dan, apa konsekuensi inisiatif OBOR sebagai agenda keamanan liberal bagi kawasan, khususnya bagi Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tulisan ini pertama-tama akan menjabarkan agenda keamanan berdasarkan paradigma liberalisme sebagai kerangka pemikiran yang menjadi acuan penulisan dan analisis. Pada bagian kedua, tulisan ini akan menunjukkan bahwa inisiatif OBOR sebagai agenda keamanan pada dasarnya memiliki akar pemikiran liberal. Pada bagian ketiga, tulisan ini akan menunjukkan berbagai hambatan bagi inisiatif OBOR untuk dapat secara efektif menjadi agenda keamanan sesuai paham liberal dan konsekuensi politik inisiatif ini bagi kawasan, khususnya bagi Indonesia.

Agenda Keamanan LiberalPerspektif liberalism merupakan salah

satu pendekatan tradisional yang memusatkan

konseptualisasi keamanan internasional kepada negara. Dengan memiliki kesamaan sudut pandang dengan kelompok realis, kelompok liberal pada dasarnya membahas apa ancaman yang dihadapi oleh negara dan bagaimana menjaga keamanan negara dalam menghadapi ancaman tersebut. Atau dengan kata lain, kelompok liberal meyakini bahwa negara adalah obyek referensi dalam melakukan analisis keamanan. Dasar pemikiran yang meletakkan negara sebagai obyek referensi keamanan adalah keyakinan bahwa negara sebagai organisasi komunal yang paling mapan yang memungkinkan komunitas tersebut mendefinisikan identitas bersama mereka. Karena negara dibentuk oleh kepentingan bersama komunitas tersebut, maka negara menjadi satu-satunya aktor yang memiliki legitimasi sebagai pemilik dan pengguna instrumen kekerasan yang sah—dan oleh karena itu, yang memiliki kekuatan (power) dalam hubungan antar-bangsa. Namun berbeda dengan kelompok realis yang meyakini bahwa konflik antar-negara tidak terhindari, kelompok liberal cenderung lebih optimistik dan percaya bahwa kemungkinan konflik antar-negara tersebut dapat ditekan serendah mungkin. Pemikiran liberal ini memandang bahwa sebagian besar konflik antar-negara dapat dimitigasi dengan menciptakan komunitas keamanan yang bersifat pluralistic, di mana setiap negara menyadari bahwa kepentingan keamanan akan sama-sama tercapai dengan kerja sama.18

Kelompok liberal menekankan pentingnya dimensi ekonomi dari kerja sama antar-negara dalam rangka mencapai kepentingan keamanan bersama dan, oleh karena itu, menciptakan sistem internasional yang lebih stabil. Kelompok ini melihat adanya penurunan kekuatan militer sebagai alat politik luar negeri seiring dengan keinginan negara-negara untuk meningkatkan interaksi perekonomian guna menciptakan dunia yang lebih sejahtera. Dalam pandangan

18 Edward Smith, “The Traditional Routes to Security: Realism and Liberalism”, dalam Hough, et. al. International Security Studies: Theory and Practice, Oxon and New York, NY: Routledge, 2015, h. 12-30.

Page 6: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

238 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

ini, negara-negara secara berkelanjutkan membangun kerja sama ekonomi di segala tingkatan dalam sistem internasional, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya konflik antar-negara karena keuntungan yang diperoleh dengan bekerja sama akan hilang jika terjadi konflik.19 Singkat kata, ketergantungan ekonomi (interdependensi ekonomi) akan mengurangi konflik antar-negara.

Pandangan bahwa interdepensi ekonomi akan mengurangi konflik antar-negara memiliki berakar dari tradisi pemikiran filsuf klasik. Thomas Paine20 menegaskan bahwa perdagangan bebas menciptakan sistem yang bersifat pasifis. Oleh karena itu jika perdagangan bebas dapat terjadi secara universal, maka perdagangan tersebut akan meruntuhkan keuntungan yang akan diperoleh melalui perang. Dalam pandangannya, Paine meyakini bahwa interaksi ekonomi menyebabkan satu negara menjadi familiar dengan negara lainnya sehingga akan mengurangi berbagai kemungkinan kesalahpahaman yang dapat memicu konflik. Dengan demikian, perdagangan tidak hanya akan menghasilkan kesejahteraan, tetapi juga mengurangi konflik dengan mempromosikan rasa saling pengertian dan mengharmoniskan berbagai kepentingan seluruh bangsa di dunia. Singkatnya bagi Paine, perdagangan akan menghilangkan konflik antara negara-negara yang menjadi mitra dagang.21 Padangan Thomas Paine tersebut terus bergulir dan para intelektual di Eropa mengembangkannya menjadi teori ‘perdagangan yang menguntungkan (douce commerce)’ yang didasari oleh keinginan menghentikan praktek merkantilisme, membangunan tatanan perdagangan yang terbuka dan, pada saat yang sama, menciptakan perdamaian.22 Keinginan tersebut kemudian

19 Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye, Power and Interdependence, New York, NY: Longman, 2001.

20 David L. Rousseau dan Thomas C. Walker, “Liberalism”, dalam Cavelty, Myriam D. dan Mauer, Victor, The Routledge Handbook of Security Studies, Oxon and New York, NY: Routledge, 2010, h. 21-33.

21 Ibid, h. 25.22 Cornelia Navari, “Liberalisme”, dalam William, Paul D.

(editor), Security Studies: An Introduction, London and New York: Routledge, 2008, h. 32.

mengerucut pada pandangan ‘liberalisme komersial’ yang menekankan pada berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya transaksi ekonomi yang melintasi batas negara-negara.23

Aspirasi mengenai liberalism komersial ini pertama kali muncul dalam karya Adam Smith yang terbit pada tahun 1976 dengan judul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations—biasa disingkat dengan the Wealth of Nations. Dalam karyanya ini Smith berpendapat bahwa terdapat ‘tangan tersebunyi (the hidden hand’) yang mengatur perekonomian, yang tidak hanya membawa kesejahteraan tetapi juga mengurangi permusuhan. Pemikir lainnya yang hidup satu zaman dengan Smith juga menyampaikan pemikiran yang tidak jauh berbeda. Dalam karyanya, David Hume menunjukkan bahwa pembagian kerja (division of labor) dan perdagangan internasional akan menguntungkan semua pihak. Selain itu, David Ricardo merumuskan teori keuntungan komparatif di mana kesejahteraan akan terakumulasi seiring dengan upaya negara berkonsentrasi untuk memproduksi produk-produk unggulan mereka dan memperdagangkannya dengan produk dari negara-negara lain.24

Para pemikir liberal di Eropa kemudian membangu ide-ide di atas menjadi doktrin perdagangan liberal. Doktrin perdagangan liberal meyakini bahwa perdagangan antar-bangsa sama menguntungkannya sebagaimana perdagangan antar-individu. Dalam doktrin ini, setiap pihak akan mendapatkan keuntungan dengan ikut serta dalam pembagian kerja global. Oleh karena itu, doktrin liberal komersial tidak melihat persaingan pasar sebagai konflik, namun sebaliknya justru sebagai kerja sama yang damai. Dalam persaingan pasar, setiap produser akan meningkatkan kualitas kehidupan seluruh pihak dengan memproduksi dan memasarkan produk yang lebih baik dan lebih murah daripada produk yang ditawarkan oleh pesaingnya.25

23 Andrew Moravcsik, Liberal International Relations Theory: A Social Scientific Assessment, Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001, h. 14.

24 Cornelia Navari, op. cit., h. 32-33.25 Ibid, h. 33.

Page 7: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

239Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

Saling ketergantungan ekonomi (interdependensi ekonomi) antar-negara pada dasarnya melihat derajat keterhubungan dua atau lebih negara berdasarkan arus barang, jasa, modal, tenaga kerja, dan teknologi.26 Interdependensi ekonomi dapat menekan kemungkinan terjadinya konflik karena dua sebab. Pertama, pembuat keputusan harus menghitung biaya yang harus dibayar ketika membuat keputusan yang akan memicu perselisihan atau meningkatkan eskalasi di tengah krisis. Jika dua negara atau lebih memiliki interdependensi yang tinggi antara satu dengan lainnya dan pemimpin negara tersebut percaya bahwa memulai perselisihan atau meningkatkan eskalasi akan merusak hubungan antara negara, maka mereka cenderung tidak akan menggunakan kekuatan bersenjata. Dalam logika ini, perselisihan antara negara-negara yang memiliki interdependensi ekonomi cenderung tidak akan bereskalasi menjadi konflik. Namun hal yang sebaliknya, perselisihan cenderung lebih mudah bereskalasi menjadi konflik antara negara-negara yang tidak memiliki ketergantungan ekonomi. Kedua, perusahaan dan tenaga kerja yang memiliki operasi kerja di tingkat internasional cenderung akan menekan pemerintah untuk melakukan de-eskalasi perselisihan yang terjadi di antara negara-negara mitra dagang.

Walaupun pemikir liberal meyakini bahwa kerja sama ekonomi dapat meningkatkan stabilitas keamanan internasional, mereka juga mengingatkan beberapa kondisi yang seharusnya terpenuhi agar kerja sama ekonomi tersebut dapat mencapai tujuan dengan optimal. Keohane dan Nye27 membedakan dengan jelas antara interdependensi ekonomi simetris dan asimetris. Interdependensi simetris merujuk pada kondisi di mana setiap negara memiliki derajat ketergantungan ekonomi yang setara antara satu dengan lainnya. Sementara interdepensi asimetris merujuk pada kondisi di mana satu atau beberapa negara sangat

26 Rousseau dan Walker (2010) op. cit., h. 27.27 Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye, Power and

Interdependence: World Politics in Transition, Boston: Little, Brown and Company, 1977, h. 20.

bergantung satu negara namun tidak sebaliknya. Dengan kedua skenario ini, interdependsi simetrik akan menciptakan keinginan bersama untuk mempertahankan kerja sama ekonomi. Sementara itu, interdepensi asimetrik akan memicu sikap curang (manipulate behavior) dan mengeksplotasi berbagai kelemahan dalam kerja sama tersebut.

Pemikir lain, Copeland mengingatkan bahwa variabel penting dalam kerja sama ekonomi adalah keinginan untuk melanjutkan aktivitas perdagangan.28 Artinya adalah, hanya ketika pemimpin-pemimpin negara menginginkan interaksi perdagangan terus berlanjut maka kemungkinan untuk menggunakan kekuatan bersenjata cenderung semakin kecil. Pemikir lainnya, Ripsman dan Blanchard mempercayai bahwa interdependensi ekonomi akan mencegah terjadinya konflik hanya jika melibatkan produk-produk strategis (seperti minyak bumi) dan jika negara yang bersangkutan tidak memiliki sumber alternatif.29 Jika negara memiliki alternatif produk atau pasar untuk produk tersebut maka biaya yang harus dibayar jika merusak hubungan antar negara tidak lagi menjadi signifikan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah adanya lembaga internasional yang dapat memfasilitas pembuatan peraturan guna menjaga kelangsungan kerja sama ekonomi tersebut.

Lembaga internasional merupakan variabel penting lain dalam tradisi pemikiran liberal tentang keamanan. Hal ini disebabkan bahwa kelompok liberal menyadari bahwa setiap bentuk kerja sama antar-bangsa selalu terancam oleh ketiadaan entitas di luar negara yang dapat memitigasi persepsi tidak menentu satu negara mengenai intensi negara-negara lain. Untuk menghindari keadaan yang tidak menentu dalam kerja sama antar-negara tersebut, kelompok liberal menekan pentingnya kehadiran lembaga internasional sebagai mekanisme yang efektif

28 D.C. Copeland, “Economic Interdependence and War: A Theory of Trade Expectations”, International Security, Vol. 20(4), 1996, h. 5-41.

29 N. M. Ripsman and J. M. Blanchard, “Commercial Liberalism Under Fire: Evidence from 1914 and 1936”, Security Studies, Vol. 6(2), 1996/97, h. 4-50.

Page 8: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

240 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

untuk menangani keadaan yang tidak menentu yang muncul dari kesalahpahaman satu negara mengenai perilaku negara lainnya. Kehadiran lembaga ini akan membantu negara dalam meningkatkan komunikasi dan transparansi melalui berbagai cara seperti memfasilitasi pembuatan kesepakatan multilateral, merumuskan rezim/peraturan internasional, dan lain sebagainya.30 Singkatnya, pemikir liberal mengatakan bahwa lembaga internasional dapat menurunkan kemungkinan terjadinya konflik dan meningkatkan peluang kerja sama antar-negara.

Kajian-kajian awal mengenai lembaga internasional cenderung menekankan pembahasannya mengenai organisasi internasional formal seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun dalam perkembangannya, kajian mengenai pokok bahasan ini mengalami perluasan dan tidak terbatas hanya menganalisis masalah aturan, prosedur dan hasil dari lembaga formal. Dengan adanya perluasan tersebut, lembaga internasional dewasa ini lebih dimaknai secara sederhana sebagai serangkaian peraturan yang menentukan bagaimana aktor (baca: negara) hendaknya bekerja sama dan bersaing antara satu dengan lainnya untuk suatu isu tertentu.31 Dengan adanya serangkaian peraturan tersebut, pemikir liberal percaya bahwa lembaga internasional dapat merubah karakter sistem internasional dengan cara mempengaruhi preferensi dan perilaku negara.

Variabel kunci yang melekat dalam lembaga internasional adalah konsep tentang biaya transaksi (transaction cost). Biaya transaksi mencakup biaya untuk memperoleh informasi, menakar berbagai atribut yang berharga untuk ditawarkan ke dalam sistem internasional, melindungi hak negara, serta untuk merumuskan dan menerapkan kesepakatan antar negara.32 Dengan mempertimbangkan mahalnya biaya

30 Edward Smtih, 2015, op. cit., h. 21.31 John J. Mearsheimer, “The False Promise of International

Institutions,” International Security, Vol. 19(3), 1994/1995, h. 9.

32 Douglass C. North, Institutions, Institutional Change and Economic Performance, St. Louis: Washington University Press, 1990, h. 27.

transaksi yang harus dibayarkan dalam sistem internasional, negara-negara cenderung menerima kehadiran lembaga internasional walaupun keberadaan negara tersebut bukan tidak mungkin mengurangi keleluasaan negara dalam berinteraksi antara satu dengan lainnya. Namun demikian, di balik berbagai pembatasan tersebut keberadaan lembaga internasional akan mengurangi biaya transaksi yang terkait dengan pembuatan peraturan, negosiasi, pelaksanaan dan penegakan peraturan, pengumpulan informasi, dan resolusi jika terjadi konflik. Konsekuensi teoritiknya adalah, negara-negara akan mendorong pembentukan lembaga internasional karena akan berfungsi sebagai alat mempromosikan kepentingan kolektif yang pada akhirnya bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem internasional.33

Keuntungan lain yang dapat diperoleh negara-negara dengan keberadaan lembaga internasional selain mengurangi biaya transaksi (logic of instrumentality) tersebut di atas adalah pandangan yang meyakini bahwa lembaga internasional pada dasarnya merupakan sekumpulan norma, aturan dan kebiasaan (logic of appropriateness). Dalam konteks logic of appropriateness ini, lembaga internasional tidak hanya akan merubah preferensi dan perilaku negara, tetapi juga dapat membentuk ulang identitas negara-negara anggotanya.34 Keuntungan keberadaan lembaga internasional baik sebagai pengertian logic of instrumentality maupun logic of appropriateness, dapat dielaborasi lebih lanjut menjadi beberapa poin berikut: 1) lembaga internasional akan mempromosikan perdamaian dengan mencegah terjadinya tindakan agresif atau melakukan intervensi untuk mencegah konflik; 2) lembaga internasional dapat melakukan mediasi konflik atau menyediakan mekanisme arbitrase; 3) lembaga internasional memonitor

33 Cornelia Navari, 2008, op. cit., h. 39.34 Ibid; Matt McDonald, “Constructivism”, William, Paul D.

(ed.), Security Studies: An Introduction, London and New York: Routledge, 2008; Michael N Barnett, dan Martha Finnemore, “The Politics, Power, and Pathologies of International Organization”, International Organization, Vol. 53(4), 1999, h. 699-732.

Page 9: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

241Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

pelaksanaan kesepakatan antar-berbagai negara dan mengurangi biaya transaksi dalam menindaklanjuti kesepakat tersebut; 4) lembaga internasional dapat mempromosikan berbagai norma yang akan mengurangi konflik serta membentuk ulang identitas negara-negara guna mewujudkan lingkungan internasional yang lebih stabil; 5) lembaga internasional dapat merubah persepsi negara-negara mengenai biaya dan keuntungan yang akan diperoleh dari sengketa militer dengan memperluas area kerja sama dan menciptakan kesempatan untuk meningkatkan intensitas interaksi sehingga membangun rasa saling percaya (confidence building).35

Uraian mengenai agenda keamanan dalam tradisi pemikiran liberal di bagian ini menunjukkan peran sentral negara dalam mewujudkan kerja sama internasional, merumuskan dan melaksanakan peraturan yang mengarahkan perilaku negara-negara, serta dalam menggagas dan menjalankan lembaga internasional. Dengan kata lain, negara-negara adalah aktor atau agen dalam hubungan internasional yang membentuk kerja sama, peraturan, dan lembaga internasional dengan tujuan untuk mencapai kepentingan masing-masing, yang interdependen dengan kepentingan negara lain. Pada awalnya, negara-negara menentukan kepentingan nasional masing-masing di luar dari adanya kerja sama, peraturan dan lembaga internasional. Di tahap berikutnya, negara-negara membentuk kerja sama, peraturan dan lembaga internasional tersebut sebagai sarana mencapai kepentingan bersama. Dalam alur pemikiran seperti ini, kerja sama, peraturan dan lembaga internasional pada dasarnya muncul dan dapat menjaga keberadaannya karena mampu memaksimalkan kepentingan dan preferensi negara-negara anggotanya. Temuan empirik dari kajian-kajian akademik sebelumnya mendukung pernyataan tersebut. Kajian yang dilakukan oleh Cirincione, et. al. menunjukkan bahwa keberadaan International Atomic Energy Agency (IAEA) sukses mengurangi rivalitas

35 Rousseau dan Walker (2010), op. cit., h. 27.

antara Brazil dan Argentina.36 Kajian yang dilakukan Dorussen dan Ward dan Held, et. al. menunjukkan bahwa keberadaan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO) menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perdagangan pasca-Perang Dunia II berkaitan dengan menurunnya konflik bersenjata di antara negara-negara yang sebelumnya saling bermusuhan.37 Dengan mempelajari berbagai temuan empirik tersebut pada akhirnya dapat ditarik pemahaman umum bahwa: 1) jika dua negara atau lebih meningkatkan partisipasi mereka dalam lembaga internasional, maka peluang terjadinya konflik bersenjata di antara mereka akan menurun;38 dan 2) negara-negara yang menjadi anggota suatu perjanjian ekonomi dan perdagangan cenderung tidak akan terlibat dalam konflik bersenjata.39

II. PembahasanInisiatif OBOR sebagai Agenda Keamanan Liberal Tiongkok

Pada tahun 2013 pemimpin Tiongkok, Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang melakukan kunjungan ke 22 negara yang menandai karakter baru kebijakan luar negeri Tiongkok. Dari 22 negara yang dikunjungi oleh kedua pemimpin tersebut, 12 kunjungan dilakukan ke negara-negara yang menjadi tetangga dekat Tiongkok, yaitu Rusia, Turkemenistan, Kazakhtan, Uzbekistan, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Thailand, India dan Pakistan.

36 J. Cirincione, et. al., Deadly Arsenals: Nuclear Biological, and Chemical Threats. Second Edition, Washington, DC: Carnegie Endowment for International Peace, 2005.

37 Han Dorussen and H. Ward, “Intergovennental Organizations and the Kantian peace: A Network Perspective”, Journal of Conflict Resolution, Vol. 52(2), 2008, h. 189-212; dan G. Held, G., et. al., Global Traniformations: Politics, Economics, and Culture, Stanford, CA: Stanford University Press, 1999.

38 B. Russett and J. Oneal, Triangulating Peace: Democracy, Interdependence, and International Organizations, New York: Norton, 2001.

39 E. D. Mansfield and J. C. Pevehouse, “Trade Blocs, Trade Flows, and International Conflict”, International Organization, Vol. 54(4), 2000, h. 775-808.

Page 10: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

242 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

Para pengamat telah menjelaskan perihal kunjungan pemimpin Tiongkok ke negara-negara tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas, yang mengerucut kepada analisis bahwa latar belakang perubahan karakter kebijakan luar negeri Tiongkok merupakan perpaduan dari alasan ekternal dan internal.

Perpaduan alasan ekternal dan internal tersebut berupa adanya pergeseran kekuatan global dari Barat ke Timur, kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan global baru, pengalihan poros kebijakan luar negeri Amerika Serikat ke Asia di era pemerintahan Presiden Barack Obama, berbagai ketegangan yang melibatkan Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara mengenai perselisihan batas laut teritorial, dan keinginan Rusia untuk mengembalikan pengaruh globalnya pasca keruntuhan Uni Soviet.40 Dengan perpaduan dinamika ekternal dan internal tersebut, Tiongkok tidak hanya harus meningkatkan posisinya dalam politik internasional ketika harus berhadap-hadapan dengan Amerika Serikat dan Rusia, namun pada saat yang bersamaan juga harus mengamankan kepentingan politiknya untuk tujuan domestik seperti diversifikasi pasokan energi, mengamankan pasar internasional bagi produk-produknya, serta kebutuhan untuk menjaga stabilitas regional dan internal.41

Untuk tujuan tersebut di atas, pemimpin Tiongkok menggagas satu mekanisme kerja sama multilateral yang dikenal dengan inistiatif One Belt One Road atau juga dikenal dengan Jalur Sutra Baru (New Silk Road Economic Belt) yang terdiri dari Jalur Sutra Ekonomi dan Jalur Sutra Maritim abad ke-21 (21st Maritime Silk Road). Jalur Sutra Ekonomi merujuk kepada Jalur Sutra kuno yang berfungsi sebagai jalur aktivitas perdagangan dan pertukaran budaya sepanjang 10.000km mulai dari Tiongkok hingga ke Roma. Catatan sejarah Jalur Sutra kuno ini dapat dilacak kembali hingga ke masa Dinasti Han (206 sebelum Masehi hingga tahun 220 Masehi) ketika Duta Besar Zhang

40 Justyna Szczudlik-Tatar, “China’s New Silk Road Diplomacy”, Policy Paper, Vol. 34(82), 2013, h. 2.

41 Ibid.

Qian dikirim untuk membina hubungan persahabatan ke negara-negara di wilayah Barat Jauh Tiongkok. Sedangkan jejak sejarah Jalur Sutra Maritim dapat dilacak hingga ke masa Dinasti Song (960-1279), di mana kekaisaran Tiongkok memulai pelayaran ke kawasan Asia Tenggara yang pada saat itu dikenal dengan Nanyang. Pada masa ini, Dinasti Song mulai membangun hubungan luar negeri dengan kerajaan-kerajaan di kawasan Nanyang.42

Jalur Sutra Ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi Tiongkok dengan negara-negara di kawasan Asia Tengah. Upaya meningkatkan kerja sama ekonomi ini menjadi penting seiring dengan meningkatnya pengaruh politik global Tiongkok yang dipersepsikan sebagai potensi ancaman bagi negara-negara di Asia Tengah. Indikasi dari persepsi ini dapat kita lihat dari manuver-manuver politik yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan ini dalam menjaga hubungannya dengan Rusia dan Tiongkok.43

Sementara itu Jalur Sutra Maritim bertujuan untuk memperbaiki hubungan Tiongkok dengan negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara dengan menekankan pada kerja sama di bidang keamanan jalur perdagangan maritim. Inisiatif Jalur Sutra Maritim abad ke-21 bertujuan untuk menetralisir persepsi negatif negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan terhadap Tiongkok dengan menekankan pada kerja sama ekonomi yang meliputi kerja sama keuangan, proyek pembangunan infrastruktur (seperti pembangunan jalan dan rel kerata api), dan upaya meningkatkan kerja sama di bidang keamanan. Ide tentang Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 juga memberi penekanan pada pentingnya aspek maritim dari peningkatan kerja sama Tiongkok dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan melalui penguatan ekonomi maritim dan kerja sama teknis dan ilmiah di bidang lingkungan hidup.

Selain itu, Pemimpin Tiongkok juga mempromosikan kerangka kerja sama ‘2+7’

42 John Wong, “Reviving the Ancient Silk Road: China’s New Economic Diplomacy”, East Asian Policy, Singapore: East-Asian Institute, 2014, h. 3.

43 Ibid, h. 5,

Page 11: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

243Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

melalui gagasan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21. Secara singkat, kerangka kerja sama 2+7 adalah konsensus yang ditawarkan pemerintah Tiongkok mengenai dua isu dan tujuh proposal. Kedua isu tersebut adalah kepercayaan sebagai bagian dari prinsip bertetangga dengan baik antar negara-negara dan kerja sama ekonomi berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan. Sedangkan tujuh proposal meliputi: 1) penandatanganan perjanjian mengenai hidup bertetanggga dengan baik (good neighbor) antara Tiongkok dan ASEAN; 2) meningkatkan efektifitas kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement, FTA) antara Tiongkok dan ASEAN serta mengintensifkan negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP);44 3) melakukan akselerasi proyek pembangunan infrastruktur bersama; 4) memperkuat kerja sama dan pencegahan resiko keuangan regional; 5) kerja sama di bidang maritim yang lebih erat; 6) meningkatkan kolaborasi di bidang keamanan; dan 7) meningkatkan hubungan antar-masyarakat (people-to-people) melalui kerja sama di bidang kebudayaan, ilmiah, dan perlindungan lingkungan hidup.45

Jika lebih spesifik dikaitkan dengan perselisihan maritim di Laut Tiongkok Selatan (meliputi berbagai insiden yang terjadi, pembekuan dialog antara Tiongkok dan negara-negara yang mengklaim lainnya, dan berbagai peringatan-peringatan yang dilontarkan oleh berbagi negara) inisiatif Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 tampaknya juga merupakan upaya dari pemerintah Tiongkok untuk mendinginkan suasana di wilayah ini. Walaupun pemerintah Tiongkok tampaknya tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar baru dalam inisiatif Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 ini, namun tawaran tersebut disampaikan dengan menggunakan bahasa yang lunak, dengan menjanjikan berbagai keuntungan ekonomi, dan mekanisme pengaturan keamanan yang tampaknya akan

44 Kesepakatan perdagangan bebas (FTA) yang melibatkan ASEAN dengan Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru.

45 P. Parameswaran, “Beijing Unveils new Strategy for ASEAN-China Relations,” China Brief, Vol. 13(21) 2013.

menguntungkan negara-negara ASEAN. Stabilitas keamanan maritim di Laut Tiongkok Selatan merupakan kepentingan keamanan ekonomi Tiongkok yang utama mengingat ketergantungannya terhadap kawasan ini. Sebagai contoh, kawasan Laut Tiongkok Selatan hingga ke Selat Malaka merupakan jalur utama perekonomian Tiongkok. Hampir 85 persen total impor Tiongkok dikirim melalui rute transportasi laut ini, termasuk 80 persen dari impor energinya.46

Jika dilihat inisiatif OBOR secara keseluruhan, maka hal ini tidak terlepas dari upaya komprensif Tiongkok untuk mewujudkan keamanannya. Dalam kontek mewujudkan kepentingan keamanannya ini, Tiongkok tidak hanya semata-mata ingin mengamankan jalur laut di wilayah Laut Tiongkok Selatan tetapi juga mengupayakan jalur transportasi alternatif terhadap komoditas ekspor dan impor mereka melalui jalur darat dengan mencari akses menuju Teluk Benggala tanpa harus melalui Selat Malaka. Kebutuhan inilah yang menjadi latar belakang interaksi yang cukup tinggi antara Tiongkok dengan Myanmar, yang dapat menjadi pintu gerbang menuju Teluk Benggala dan Samudera Hindia. Analisis yang kurang lebih serupa juga dapat kita lihat dari peningkatan hubungan Tiongkok dengan Pakistan. Dengan meningkatkan kerja sama dengan Pakistan melalui proyek kerja sama pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan raya, rel kereta api, dan pipa gas, Tiongkok akan memiliki akses yang lebih terbuka menuju Teluk Persia dan kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Singkatnya, upaya Tiongkok untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara seperti Myanmar dan Pakistan bertujuan untuk memangkas waktu tempuh transportasi berbagai komoditas penting bagi mereka dan menjadikan hubungan perdagangan tidak lagi terlalu bergantung terhadap jalur tranportasi maritim yang selalu memiliki masalah keamanan.47

46 F. Umaña, Transnational Security Threats in the Straits of Malacca, Washington: The Fund for Peace, 2012.

47 Justyna Szczudlik-Tatar, “China’s New Silk Road Diplomacy”, Policy Paper, Vol. 34(82), 2013, h. 5.

Page 12: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

244 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

Uraian analisis di atas menunjukkan bahwa insiatif OBOR Tiongkok yang terdiri dari Jalur Sutra Ekonomi dan Jalur Sutra Maritim tidak terlepas dari upaya pemerintahan Tiongkok untuk mewujudkan kepentingan keamanannya. Dalam konteks inisiatif OBOR, pemerintahan Tiongkok menunjukkan bahwa upaya untuk mencapai kepentingan Tiongkok adalah dengan meningkatkan stabilitas regional melalui kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara tetangganya. Langkah pertama untuk menciptakan stabilitas di kawasan yang memiliki makna penting bagi Tiongkok adalah melalui berbagai dialog dan pertemuan tingkat tinggi. Hal inilah yang menjadi alasan pemerintahan Tiongkok untuk meningkatkan hubungan bilateral negaranya dengan negara-negara lain menjadi ‘kemitraan strategis (strategic partnership)’.

Selama kunjungannya ke negara-negara Asia Tengah, Presiden Xi Jinping menandatangani perjanjian kemitraan strategis dengan Kyrgystan dan Turkmenistan. Sebelumnya, Tiongkok juga menandatangani perjanjian kemitraan strategis dengan Tajikistan pada saat kunjungan Presiden Tajikistan Emomalii Rahmon ke Beijing pada bulan Mei 2013. Pada tahun 2012, Tiongkok menandatangani perjanjian serupa dengan Uzbekistan. Sampai dengan saat ini, Tiongkok telah menandatangani perjanjian kemitraan strategis dengan seluruh negara Asia Tengah dan negara-negara anggota SCO.48 Mekanisme pertemuan tingkat tinggi dan meningkatkan hubungan bilateral menjadi kemitraan strategis juga dilakukan oleh Tiongkok dengan negara-negara anggota ASEAN. Sebagai contoh, Tiongkok telah menandatangani perjanjian kemitraan strategis dengan Malaysia. Sedangkan khusus dengan Indonesia, kerja sama kedua negara ditingkatkan dari kemitraan strategis

48 Negara-negara Asia tengah meliputi Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Turkmenistan dan Tajikistan. Shanghai Cooperation Organization (SCO) atau dikenal juga dengan Shanghai Pact merupakan organisasi politik, ekonomi dan militer di kawasan Eurasia yang dibentuk pada tahun 2001 oleh Tiongkok, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Tajikistan di Beijing.

yang biasa saja (‘normal’ strategic partnership) menjadi ‘kemitraan strategis yang komprehensif’ (‘comprehensive’ strategic partnership) pada tahun 2013 dan kemudian diperkuat lagi pada tahun 2015.49

Salah satu elemen penting yang ditawarkan oleh pemerintahan Tiongkok melalui inisiatif OBOR sebagai mekanisme kerja sama multilateral adalah kerja sama di bidang keuangan sebagai sarana untuk menekan biaya transaksi (transaction cost). Untuk mencapai tujuan ini, salah satu usulan yang disampaikan oleh Beijing adalah melembagakan kerja sama ini dengan membentuk Yayasan Jalur Sutra (The Silk Road Fund) dan Bank Penanaman Modal Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank). Presiden Xi Jinping mengumumkan pembentukan The Silk Road Fund di bulan November 2014. Pada Februari 2015, The Silk Road Fund mulai beroperasi dengan sumber daya sebesar 40 milliar dollar Amerika Serikat. Pemegang saham The Silk Road Fund ini mencakup China’s State Administation of Foreign Exchang, China investment Corp, Bank Expor-Impor Tiongkok, dan Bank Pembangunan Tiongkok. Selanjutnya, The Silk Road Fund ini membiayai investasi di bidang pembangunan infrastruktur, sumber daya, industri dan kerja sama keuangan di Asia.

Sementara itu, Asian Infrastructure Investment Bank menawarkan visi alternatif mengenai tata kelola pemerintahan dan pembangunan global. Bank ini akan fokus terhadap pembangunan infrastruktur dan berbagai sektor alternatif lainnya di Asia, termasuk sektor energi dan pembangkit listrik, transportasi dan telekomunikasi, infrastruktur pedesaan dan

49 “Indonesia, China Forge Comprehensive Strategic Partnership in Various Field”, Antara News,7 Oktober 2013, http://www.antaranews.com/en/news/91035/indonesia-china-forge-comprehensive-strategic-partnership-in-various-field, diakses tanggal 13 April 2016. Lihat juga, “Joint Statement on Strengthening Comprehensive Strategic Partnership between the People’s Republic of China and The Republic of Indonesia”, Ministry of Affairs of the People’s Republic of China, 27 Maret 2015, http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_-665393/t1249201.shtml, diakses pada tanggal 21 Juli 2016.

Page 13: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

245Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

pembangunan budidaya pertanian, pasokan air bersih dan sanitasi, perlindungan lingkungan hidup, serta pembangunan perkotaan dan logistik. Asian Infrastructure Investment Bank telah mulai beroperasi ketika negara-negara pendirinya meratifikasi perjanjian kesepakatan pendirian Bank ini pada tahun 2015 di Beijing. Saat ini Asian Infrastructure Investment Bank beranggotakan 57 negara, baik yang berasal dari kawasan Asian maupun di luar Asia.50 Keberadaan Bank ini dalam kaca mata Tiongkok akan dapat mempercepat integrasi ekonomi negara-negara Asia, meningkatkan dan memodernisasi fasilitas infrastruktur, khususnya di negara-negara anggota ASEAN yang lebih miskin.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, inisiatif OBOR merupakan bagian integral dari upaya Tiongkok untuk menjaga stabilitas dalam negeri dan menciptakan perdamaian di kawasan, namun pada saat yang sama juga menunjukkan peningkatan pengaruh globalnya dan posisinya sebagai negara kuat di kawasan. Jika dielaborasi lebih detil, lingkungan strategis internasional Tiongkok dipengaruhi oleh beberapa perkembangan kontemporer yaitu 1) pergeseran poros politik luar negeri Amerika Serikat ke Asia (beberapa contohnya adalah negosiasiasi TPP yang tengah digagas oleh Amerika Serikat; penguatan kerja sama Amerika Serikat dengan negara-negara ASEAN, seperti dukungan Amerika Serikat dalam proses demokratisasi di Myanmar serta kerja sama keamanan yang lebih dekat dengan Singapura, Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam); 2) upaya Rusia untuk mengembalikan pengaruhnya di kawasan Asia Tengah; dan 3) manuver negara-negara di kawasan Asia Tengah yang menunjukkan keengganan untuk bergantung kepada Tiongkok. Keseluruhan dari berbagai pekembangan kontemporer tersebut tidak memberi pilihan lain bagi Tiongkok selain berupaya untuk terlibat lebih aktif dalam politik

50 “What is the Asian Infrastructure Investment Bank?”, Asian Infrastructure Investment Bank, http:/ /www.aiib.org/html/aboutus/AIIB/?show=0 , diakses tanggal 14 Juli 2016.

internasional di kawasan sebagai kekuatan baru yang sedang bangkit. Namun pada saat yang bersamaan, Tiongkok berupaya menujukkan keterlibatan aktif tersebut dengan menggunakan bahasa yang lunak dan menggunakan narasi sejarah yang positif sebagai dasar bagi negara-negara agar terlibat dalam mekanisme kerja sama multilateral yang ditawarkan Tiongkok.

Inisiatif OBOR melibatkan 65 negara mulai dari Asia hingga ke Eropa. Dengan demikian, inisiatif ini akan menghubungkan negara-negara yang mewakili 55 persen produk nasional bruto (Gross National Product, GNP), 70 persen populasi global, dan 75 persen cadangan energi dunia.51 Sementara itu, Menteri Perdagangan Tiongkok mengumumkan bahwa dalam semester pertama tahun 2015 perusahaan-perusahaan Tiongkok telah menandatangani 1.401 kontrak proyek di negara-negara yang masuk ke dalam kerangka Inistiatif OBOR. Nilar kontrak proyek tersebut setara dengan 37,6 miliar dollar Amerika Serikat dan mewakili 43,3 persen dari seluruh kontrak luar negeri yang ditandatangani oleh berbagai perusahaan Tiongkok dalam periode waktu yang sama.52 Dengan luasnya cakupan negara yang akan terlibat dalam inisiatif OBOR ini, berbagai tantangan tidak dapat dihindari dalam pelaksanaanya. Berbagai tantangan pelaksanaan inisiatif OBOR ini dapat kita kelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu tensi keamanan di kawasan, persaingan negara-negara besar, dan kelemahan internal Tiongkok sendiri.

Terkait dengan tensi keamanan kawasan, Tiongkok telah berupaya untuk meyakinkan negara-negara di kawasan bahwa kebangkitan kekuatan globalnya adalah kebangkitan yang damai (peaceful rise). Inisitatif OBOR sendiri tidak terlepas dari kampanye kebangkitan damai Tiongkok ini. Hal ini dapat kita lihat

51 Irina I. Pop, Strengths and Challenges of China’s “One Belt, One Road” Initiative, London: Center for Geopolitics & Security in Realism Studies, 2016, h. 8. Lihat juga, Li Jinlei, Report: Silk Road Economic Belt May Be Divided into Three Phases; Initial Completion Predicted in 2049.

52 Thomas Zimmerman, “The New Silk Roads: China, the US, and the Future of Central Asia”, New York: Center on International Cooperation, 2015, h. 7.

Page 14: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

246 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

dari komentar berbagai pejabat Tiongkok yang menyatakan bahwa inisiatif OBOR merupakan visi ekonomi yang ambisius untuk menciptakan keterbukaan dan kerja sama dalam mekanisme multilateral, sebagai proyek yang sistematik yang berlandaskan semangat Jalur Sutra dalam rangka membangun satu komunitas yang memiliki kesamaan kepentingan, nasib dan tanggung jawab.53 Dengan semangat yang sama, Presiden Xi Jinping dalam pidatonya pada saat Conferensi on Interaction and Confidence Building Meassures in Asia (CICA) menyebutkan “New Asian Security Concept” dan slogan “Asian Community of Common Destiny” di bulan Mei 2014.54 Akan tetapi, upaya pemerintah Tiongkok tersebut belum berhasil meyakinkan negara-negara di kawasan. Hal ini disebabkan oleh negara-negara di kawasan yang tidak sepenuhnya percaya terhadap niat damai Tiongkok dan ketegangan bilateral dengan negara-negara tertentu. Walaupun di satu sisi Tiongkok mengkampanyekan slogan komunitas Asia memiliki kesamaan nasib, namun di aspek lain Tiongkok menunjukkan tindakan agresif yang mendapat banyak tantangan dari negara-negara kawasan.

Sebagi contoh, di akhir tahun 2013 Tiongkok membangun Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defense Identification Zone, ADIZ) yang pertama di kawasan Laut Tiongkok Timur. Hal ini menjadi masalah karena Tiongkok memiliki sengketa batas teritorial dengan Jepang di kawasan ini menyangkut Pulau Diayou/ Senkaku. Selanjutnya di akhir tahun 2014 Tiongkok memulai pembangunan pangkalan militer di Pulau Nanji, Provinsi Zhejiang, yang dekat dengan Pulai Diayou/Senkaku. Tindakan Tiongkok ini adalah ancaman bagi Jepang dan menjadi salah satu latar belakang perubahan kebijakan keamanan Jepang yang dilakukan oleh Perdana Menteri Shinzo Abe.

53 National Development and Reform Commission (NDRC) (2015), “Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-Century Maritime Silk Road”, Beijing, http://en.ndrc.gov.cn/newsrelease/201503/ t20150330_669367.html, diakses pada tanggal 21 April 2016.

54 Pop, Irina I. (2016) op. cit.

Sebagaimana di Laut Tiongkok Timur, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir Tiongkok juga meningkatkan aktifitas militernya di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Di bulan Mei 2014, Tiongkok membangun fasilitas pengeboran minyak di dekat Kepulauan Paracel. Seiring dengan pembangunan fasilitas pengeboran minyak tersebut, Tiongkok juga menetapkan zona eksklusif sejauh tiga mil dalam radius fasilitas tersebut dan mulai pengeboran. Sejak periode yang sama, Tiongkok juga telah mulai melakukan reklamasi di pulau-pulau yang masih dipersengketakan sehingga memicu spekulasi bahwa Tiongkok juga akan membangun ADIZ di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Sebagai contoh, Tiongkok mulai memperpanjang jalur pacu dan melakukan peremajaan pelabuhan di Pulau Yongxing. Sementara itu, di Kepulauan Spratly Tiongkok mulai melaksanakan pembangunan pulau-pulau buatan di gugusan karang Fiery Cross, Johnson South, dan Gave. Di wilayah-wilayah ini Tiongkok nampak membangun landasan pacu dan landasan beton untuk pesawat militer dan pelabuhan-pelabuhan yang mampu menampung kapal-kapal militer.55

Permasalahan berikutnya dalam pelaksanaan inisiatif OBOR adalah persaingan antara negara-negara besar. Dalam uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa inisiatif OBOR tidak telepas dari konteks lingkungan strategis global yang dihadapi Tiongkok seperti Amerika Serikat yang ingin mengembalikan fokus kebijakan luar negerinya ke Asia, keinginan Rusia untuk kembali menjadi aktor dominan di kawasan Asia Selatan, dan India yang merupakan pesaing terdekat Tiongkok di kawasan. Oleh karena itu, negara-negara besar yang juga memiliki kepentingan geopolitik dan geoekonomi masing-masing akan memandang inisiatif OBOR sebagai ancaman bagi kepentingan mereka dan akan menggunakan

55 Ibid. Untuk mengetahui titik-titik sengketa di Laut Tiongkok Selatan lihat juga, James Manicom, “Source of Tension in the Asia-Pacific: Strategic Competition, Divided Regionalism and Non-Traditional Security Challenges”, Australia-Canada Security Cooperation in the Asia-Pacific, Paper No. 1, 2013.

Page 15: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

247Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

kekuatannya untuk membendung inisiatif Tiongkok tersebut.

Inisiatif OBOR tidak lepas dari konteks persaingan Tiongkok dengan Amerika Serikat dan posisi ini didukung oleh beberapa tokoh di Tiongkok. Sebagai contoh, Profesor Wang Yiwei dari Univesitas Renmin menyebutkan bahwa inisiatif OBOR merupakan strategi Tiongkok yang tepat guna menggeser posisi sentral Amerika Serikat dalam persaingan politik regional, bahkan global.56 Lebih lagi, pidato Presiden Xi Jinping mengenai “New Asian Security Concept” dan slogan “Asian Community of Common Destiny” pada dasarnya menekankan bahwa negara-negara Asia cukup kuat dan bijak untuk mengurus keamanan Asia. Secara implisit, pernyataan ini menyatakan bahwa negara-negara Asia tidak membutuhkan kehadiran kekuatan ekstra-regional, yakni, Amerika Serikat, untuk ikut mengurus keamanan di Asia. Semangat seperti ini sebenarnya tidak asing bagi tokoh-tokoh elit Tiongkok. Sebelum adanya inisiatif OBOR, tokoh-tokoh Tiongkok telah mendorong agar kekuatan ekonomi Tiongkok juga harus seimbang dengan kekuatan politik, militer dan moral ketika bersaing dalam politik internasional.57

Dalam konteks persaingannya dengan Tiongkok tersebut, Amerika Serikat berusaha membendung inisiatif OBOR dengan mengintensifkan negosiasi multilateral melalui gagasan ‘Kemitraan Lintas Pasifik (Trans-Pacific Partnership, TPP). Kehadiran kerja sama TPP ini telah menimbulkan berbagai kecurigaan di Tiongkok bahwa Amerika Serikat akan kembali menggunakan kebijakan yang akan membendung (containment policy) dan mencoba untuk menggagalkan kebangkitan kekuatan Tiongkok. Persaingan gagasan kerja sama multilateral antara OBOR dan TPP tidak dapat dinafikan karena TPP merupakan blok

56 Yiwei Wang, ‘‘China’s ‘New Silk Road’: A Case Study in EU-China Relations,’’ dalam A. Amighini and A. Berkofsky (editor), Xi’s Policy Gambles: The Bumpy Road Ahead, Milan: ISPI, 2015, h. 103-115.

57 Mark Leonard, What Does China Think? London: Fourth Estate, 2008, h. 86.

perdagangan terbesar yang ada di kawasan Asia Pasifik, dan lebih daripada itu, Amerika Tidak mengikutsertakan Tiongkok dalam TPP.58 Gagasan TPP Amerika Serikat ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari pernyataan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton yang menyebutkan bahwa Amerika Serikat akan mempertahankan kepentingannya di Asia Tengah melalui gagasan ‘Jalur Sutra Baru (New Silk Road Initiative)’. Melalui gagasan ini, Amerika Serikat akan mempromosikan kerja sama regional di sektor ekonomi, energi dan transportasi kawasan Asia tengan dan Asia Selatan.59

Jika Amerika Serikat akan mencoba membendung Tiongkok di kawasan Asia Pasifik, maka Rusia tampaknya akan mencoba melakukan hal yang sama untuk kawasan Asia Tengah. Bagi Rusia, kawasan Asia Tengah merupakan halaman belakang dari politik internasionalnya. Rusia selalu menjadi patron untuk kawasan ini dan akan selalu memastikan sentralitas posisinya. Kebangkitan Tiongkok, dan terlebih lagi dengan adanya inisiatif OBOR yang akan meningkatkan pengaruh Tiongkok di Asia Tengah akan menjadi ancaman bagi hegemoni Rusia di kawasan ini. Tidak hanya di Asia Tengah, Rusia juga mulai merasa terancam di kawasan Siberia dan kawasan Timur Jauh-nya seiring dengan makin banyaknya migrasi warga Tiongkok ke kedua kawasan tersebut.60

Pada saat ini, Rusia merupakan mitra Tiongkok di berbagai mekanisme kerja sama multilateral seperti di Shanghai Cooperation Organization, kelompok BRICS, dan Dewan Keamanan PBB. Di sektor ekonomi, Tiongkok dan Rusia memiliki proyek eksplorasi gas bersama, telah menandatangani berbagai kesepakatan guna memfasilitasi perdagangan dan investasi Tiongkok di Rusia, dan bahkan kerja sama militer seperti latihan gabungan angkatan laut di Laut Mediterania dan kawasan

58 “China and the Trans-Pacifik Partnership”, The Diplomat, 14 Oktober 2015.

59 “The New Silk Road?” The Diplomat, 11 November 2011. Lihat Juga, Vladimir Fedorenko, The New Silk Road Initiatives in Central Asia, Washington D.C.: Rethink Institute, 2013, h. 3.

60 Pop, Irina I. (2016) op. cit., h. 9.

Page 16: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

248 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

Asia Pasifik. Namun di balik berbagai kerja sama tersebut, tidak ada jaminan yang pasti bagi kelangsungan hubungan baik Tiongkok dan Rusia. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan mengingat fakta bahwa Rusia bukan merupakan mitra yang mudah untuk diajak bekerja sama. Beberapa kebijakan luar negeri dan perilaku internsional Rusia tampaknya tidak dapat diprediksi, seperti penutupan pipa gas sepihak ke Ukraina,61 penyerangan ke Georgia,62 dan krisis di Krimea.63

Di kawasan Asia sendiri, inisiatif OBOR Tiongkok juga dapat menimbulkan dilema tersendiri bagi India. Dalam konteks persaingan memperebutkan posisi hegemon di Asia, India mempersepsikan inisiatif OBOR sebagai strategi ‘untaian mutiara (string of pearls),’ yaitu upaya Tiongkok untuk membendung India di kawasan.64 Untuk menandingi inisiatif OBOR Tiongkok tersebut, India juga melansir gagasan mekanisme kerja sama multilateral yang dikenal dengan ‘Project Musam’. Melalui Project Musam ini India pada dasarnya berusaha memposisikan dirinya di dua level. Di level makro, India berupaya untuk menghubungkan dan membangun kembali komunikasi antara negara-negara yang berada di pesisir Samudera Hindia guna meningkatkan saling pemahaman melalui nilai-nilai budaya. Sedangkan di level mikro, proyek ini bertujuan untuk membangun budaya nasional India guna memposisikan dirinya dalam politik maritim regional.65 Walaupun kerja sama ekonomi antara Tiongkok dan India mengalami peningkatan di tahun-tahun terakhir, namun pengamat di Tiongkok manyadari bahwa India memiliki intensi untuk menjadi kekuatan global yang memiliki peran penting dalam politik internasional. Hanya saja, India tidak akan bergantung

61 “Russia Halts Gas Supplies to Ukraine after Talks Breakdown”, BBC, 1 Juli 2015.

62 “2008 Georgia Russia Conflict Fast Facts”, CNN, 13 Maret 2014.

63 “Why Putin Took Crimea”, Foreign Affairs, 18 April 2016.64 “Energi Futures in Asia: Final Report”, Booz-Allen &

Hamilton, 2004. Lihat juga, “Where is the ‘String of Pearls’ in 2015?”, The Diplomat, 5 Oktober 2015.

65 “Project Musam: India’s Answer to China’s ‘Maritime Silk Road’”, The Diplomat, 28 September 2014.

kepada kekuatan ekonomi Tiongkok untuk mewujudkan intensinya tersebut, namun dengan mengandalkan kekuatan militer Amerika Serikat.

Di tengah tingginya tensi keamanan di kawasan dan persaingan antara negara-negara besar yang menjadi penghambat pelaksanaan inisiatif OBOR tersebut, Tiongkok juga memiliki permasalahan internal tersendiri. Melalui inisiatif OBOR Tiongkok pada dasarnya berupaya meyakinkan negara-negara kawasan bahwa keamanan dan stabilitas regional adalah kepentingan nasional semua pihak dan oleh sebab itu Tiongkok mengajak negara-negara untuk menjaga serta meningkatkan stabilitas keamanan secara bersama-sama (mutual) di kawasan melalui mekanisme multilateral. Permasalahannya adalah bagaimana Tiongkok dapat merumuskan prinsip ‘bersama-sama (mutuality)’ tersebut. Sampai dengan saat ini, hampir keseluruhan perdebatan mengenai bentuk dan arsitektur inisiatif OBOR terjadi di Tiongkok. Sementara itu, negara-negara sepanjang kawasan yang akan dilalui oleh inisiatif OBOR pada dasarnya hanya menerima pengumuman-pengumuman mengenai intensi Tiongkok dalam pelaksanaan inisiatif tersebut. Berbagai usulan mengenai program ‘pertukaran (exchange)’ sampai dengan saat ini juga bersifat Sinosentris. Artinya, semangat dari konstituen dan pemangku kepentingan di Tiongkok didasari anggapan semu bahwa ketertarikan negara-negara lain terlibat dalam inisiatif OBOR adalah bentuk keinginan negara-negara tersebut untuk belajar dari pengalaman dan kesuksesan Tiongkok. Atau dengan kata lain, banyak pihak di Tiongkok menterjemahkan ‘pertukaran (exchange)’ tersebut tidak lebih dari ekspor dan promosi cerita sukses Tiongkok ke negara-negara lain.66

Kondisi di atas menunjukkan bahwa otoritas yang berwenang di Tiongkok masih banyak memiliki pekerjaan rumah untuk meningkatkan pengetahuan masyarakatnya mengenai kawasan dan masyarakat yang di

66 “Silk Road Block: The Problem with China One Belt, One Road Policy”, Policy Forum, November 2015.

Page 17: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

249Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

kawasan OBOR. Satu pengalaman menarik disampaikan oleh Ben Hillman, akademisi dari Australian National University, ketika melakukan kunjungan akademik dengan 16 perwakilan lembaga penelitian Indonesia. Dalam kunjungan tersebut Hillman cukup terkejut mengetahui begitu terbatasnya pengetahuan komunitas epistemik pembuat kebijakan di Tiongkok mengenai Indonesia, negara paling besar di Asia Tenggara.67 Kesan yang sama juga dapat penulis sampaikan ketika menghadiri konferensi internasional di Wuhan.68 Di konferensi tersebut para akademisi dan praktisi Tiongkok tampak tidak menganggap berbagai tensi keamanan di kawasan, khususnya di Laut Tiongkok Selatan, sebagai suatu hal yang sangat mendesak untuk diatasi. Sebaliknya, mereka cenderung berusaha meyakinkan delegasi dari negara lain untuk lebih memikirkan keuntungan yang akan diperoleh negara-negara di kawasan dengan memfokuskan kerja sama ekonomi daripada mengkhawatirkan masalah keamanan. Dalam logika mereka, keuntungan besar yang akan diperoleh dari kerja sama ekonomi pada akhirnya akan memuaskan semua pihak, termasuk Tiongkok, dan pada akhirnya akan menetralisir berbagai ketegangan keamanan di kawasan. Bangunan argumen seperti ini justru malah menimbulkan serangkaian pertanyaan lain daripada memberikan jawaban yang memuaskan. Apakah para akademisi dan praktisi Tiongkok tidak mengetahui derajat ketegangan dari berbagai insiden yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan? Apakah mereka tidak memahami arti penting Laut Tiongkok Selatan bagi negara-negara lainnya yang melakukan klaim? Apakah mereka tidak mengetahui tindakan militer Tiongkok yang semakin agresif di Laut Tiongkok Selatan dalam tahun-tahun terkahir? Bahkan, apakah mereka tidak mendengar insiden kekerasan

67 Ibid.68 Penulis mengikuti International Conference on the 21st

Century maritime Silk Road and Sino-Indonesia Strategic Cooperation, pada tanggal 25-26 April 2016 di Wuhan, Provinsi Hubei, yang diselenggarakan oleh Central China Normal University (CCNU) dan China Society for Southeast Asian Studies (CSSAS).

yang melibatkan kapal-kapal keamanan laut mereka dengan kapal-kapal penjaga pantai Indonesia di Kepulauan Natuna? Pertanyaan-pernyataan tersebut menjadi catatan pengingat bagi perumusan kebijakan negara-negara di kawasan, khususnya Indonesia, untuk turut serta lebih jauh dalam inisiatif OBOR Tiongkok.

III. PenutupTulisan ini telah membangun satu

argumen bahwa secara normatif inisiatif OBOR merupakan agenda keamanan yang ditawarkan oleh pemerintah Tiongkok untuk menjaga dan meningkatkan stabilitas keamanan di kawasan melalui mekanisme kerja sama multilateral. Bagian analisis, yang dibangun berdasarkan kerangka pemikiran berdasarkan cara pandang pemikiran liberal, telah menunjukkan bahwa kerja sama multilateral yang digagas Tiongkok tersebut menitikberatkan pada peningkatan kerja sama ekonomi kawasan. Premis yang dibangun adalah kerja sama ekonomi akan menjadi gerbang untuk mewujudkan interaksi yang lebih intensif antar negara-negara di kawasan. Dengan melakukan intensifitas interaksi tersebut, negara-negara akan meningkatkan kepercayaan satu dengan lainnya melalui perbagai pertukaran di bidang ekonomi dan kebijakan antar-pemerintah hingga program-program pertukaran budaya, sosial dan pendidikan yang melibatkan masyarakat di tingkat akar rumput. Walaupun merupakan satu gagasan normatif untuk meningkatkan stabilitas keamanan, tulisan ini juga telah menunjukkan bahwa pelaksanaan inisiatif OBOR juga akan mengalami berbagai hambatan akibat dari tingginya tensi keamanan di kawasan, persaingan antara negara-negara besar dalam memposisikan dirinya masing-masing dalam politik internasional, maupun berbagai permasalahan internal Tiongkok yang belum menemukan formula pelaksanaan yang tepat agar negara-negara lain juga memiliki rasa kepemilikan terhadap inisiatif ini.

Mengamati berbagai peluang dan hambatan dalam pelaksanaan inisiatif OBOR, bagian terakhir dari tulisan ini menguraikan beberapa

Page 18: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

250 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

catatan bagi negara-negara di kawasan, khususnya Indonesia, yang berimplikasi kepada keputusan dan derajat partisipasi mereka dalam gagasan kerja sama multilateral pemerintah Tiongkok ini. Sebagai catatan awal, negara-negara di kawasan harus memahami bahwa inisiatif OBOR lahir di tengah berbagai inisiatif kerja sama multilateral di kawasan Asia Timur. Artinya, Tiongkok bukan satu-satunya negara yang mengajukan gagasan untuk membangun kerja sama Jalan Sutra Baru. Sebagai beberapa contoh, Jepang telah mengadvokasi ‘Diplomasi Jalan Sutra’ sejak tahun 1998 yang melibatkan kawasan Asia Tengah, Amerika Serikat telah menyatakan gagasan ‘Jalan Sutra Baru’ sejak tahun 2011, India mencanangkan ‘Proyek Musam’ pada tahun 2014 guna membangun ulang hubungan historis antara India dengan negara-negara yang berada di sepanjang garis pantai Samudera Hindia, untuk mewujudkan gagasan mengenai Jalan Sutra Baru Amerika Serikat telah mengkonsolidasikan negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk menyepakati inisiatif ‘Kemitraan Trans-Pasifik’ dengan tidak melibatkan Tiongkok. Sementara itu, Korea Selatan dan Australia serta negara-negara lain juga telah menyampaikan gagasan mereka masing-masing untuk menggalang kerja sama multilateral di kawasan.69

Dari satu sudut pandang, dapat diasumsikan bahwa inisiatif-inisiatif tersebut merupakan wujud kompetisi di antara negara-negara besar dalam rangka menegaskan pengaruh mereka di kawasan Asia Pasifik. Dari sudut pandang lain, kita juga bisa mengasumsikan bahwa negara-negara besar tersebut menggunakan berbagai inisiatif kerja sama multilateral sebagai instrumen dalam menegosiasikan dan mengkompromikan kepentingan mereka yang saling berbenturan di kawasan. Singkat kata, kita secara kritis dapat menterjemahkan bahwa

69 Yiwei Wang, ‘‘China’s ‘New Silk Road’: A Case Study in EU-China Relations,’’ dalam A. Amighini and A. Berkofsky (editor), Xi’s Policy Gambles: The Bumpy Road Ahead, Milan: ISPI, 2015. Lihat juga, Min Ye, China and Competing Cooperation in Asia-Pacific: TPP, RCEP, and the New Silk Road, Asian Security, Vol. 11(3), 2015, h. 206-224.

fenomena ini sebagai inisiatif negara-negara besar, untuk kepentingan negara-negara besar, guna mengkompromikan perbedaan mereka atau guna membendung satu sama lain sebagai akibat dari saling ketidakpercayaan di antara mereka. Apapun masalah yang mereka hadapi, negara-negara di kawasan harus dengan tegas menunjukkan bahwa kawasan Asia Pasifik tidak hanya terdiri dari negara-negara besar dengan segala bentuk perbedaan dan persaingan mereka.

Kekhawatiran negara-negara dengan kekuatan yang lebih kecil di kawasan adalah mereka akan terpinggirkan oleh kebangkitan negara yang menjadi tetangga dekatnya dan gelombang persaingan negara-negara besar di kawasan. Dalam konteks kebangkitan kekuatan globalnya, beberapa negara di kawasan Asia Pasifik berniat untuk bergabung dengan Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya di dalam kelompok kekuatan besar dan menemukan posisi mereka di puncak perpolitikan global. Pertanyaan klasik di antara akademisi kajian keamanan internasional adalah apakah Tiongkok merupakan negara ‘revisionis’ yang ingin melakukan perubahan terhadap tatanan politik-keamanan internasional, atau cenderung hendak mempertahankan status quo. Dalam konteks persaingan di antara kekuatan-kekuatan regional ini, beberapa pengamat melihat bahwa India berupaya menyaingi Tiongkok untuk menjadi hegemon regional. Jepang pada saat ini tengah melakukan orientasi ulang dirinya untuk menjadi ‘negara normal’ dan mulai aktif baik secara politik maupun militer di Asia. Walaupun yang akan terjadi nantinya adalah skenario yang relatif lebih baik, situasi ini tetap tidak akan terlalu baik bagi negara-negara yang relatif lebih kecil. Sebagai contoh, seandainya nanti yang akan terjadi adalah skenario di mana Tiongkok, Jepang, India, Amerika Serikat, dan Rusia pada akhirnya dapat mengelola berbagai permasalahan keamanan mereka, maka kita akan menyaksikan ‘konser kekuatan (concert of power)’ akan berkembang di kawasan OBOR. Jika benar terjadi, maka skenario ini akan

Page 19: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

251Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

memarjinalkan peran negara-negara yang relatif lebih kecil di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Barat, sebagaian Afrika, hingga ke negara-negara di kawasan Eropa Timur. Sebelum skenario yang tidak terlalu menyenangkan bagai negara-negara dengan kekuatan yang relatif lebih kecil tersebut, kita perlu mengingat lagi peribahasa melayu lama yang ada di kawasan Asia Tenggara, bahwa “rumput tidak hanya menderita ketika gajah-gajah saling berkelahi, tetapi juga ketika gajah-gajah tersebut saling bercinta.”

Dengan catatan tersebut di atas, kita dapat menterjemahkan bahwa dari perspektif global kita tidak mengharapkan Tiongkok akan mempertukarkan kepentingan negara-negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, Eropa Timur dan sebagian negara-negara di Afrika dengan kepentingannya dalam persaingan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia. Dari perspektif negara-negara se-kawasan, Indonesia dan negara tetangga langsung Tiongkok akan patah hati jika Tiongkok bermuka dua: menjanjikan ‘komunitas Asia yang memiliki kesamaan kepentingan, nasib dan tanggung jawab’ ketika membujuk negara-negara ini untuk terlibat dan meningkatkan kerja sama ekonomi; namun pada saat yang sama menunjukkan sikap yang semakin agresif ketika menghadapi permasalahan keamanan, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan sengketa perbatasan di Laut Tiongkok Selatan. Secara umum, ketika mengajak dan mencoba meyakinkan negara-negara lain untuk bergabung dengan inisiatif OBOR yang mereka tawarkan, seluruh elit dan pemangku kepentingan di Tiongkok perlu menjaga komitmennya untuk menjaga perdamaian dan harmoni dengan negara-negara tetangganya guna memastikan kebangkitan damai Tiongkok. Kebangkitan kekuatan Tiongkok tampaknya telah menjadi satu perkembangan kontemporer yang tidak terhindari. Oleh karena itu, jika dengan sepenuh hati menawarkan agenda keamanan liberal untuk menjaga dan meningkatkan keamanan kawasan, Tiongkok

harus lebih percaya diri dengan kebangkitan kekuatannya dan berhenti mempersepsikan negara-negara lain berusaha membendung kebangkitan tersebut sehingga bermuara pada sikap-sikap yang agresif ketika terjadi eskalasi situasi keamanan. Selayaknya, Tiongkok berusaha untuk mendengarkan berbagai kekhawatiran negara-negara di kawasan dan berusaha meletakkan diri di posisi negara-negara tersebut. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan Tiongkok dalam rangka mensukseskan inisiatif OBOR adalah menjaga citranya sebagai kekuatan yang sedang bangkit dan bersahabat di hadapan negara-negara tetangganya. Pada akhir, sebagaimana premis pemikiran keamanan liberal, kerja sama strategis hanya dapat diperoleh melalui lingkungan strategis yang kondusif dan damai.

DAFTAR PUSTAKA

BukuA. Amighini dan A. Berkofsky (editor), Xi’s

Policy Gambles: The Bumpy Road Ahead, Milan: ISPI, 2015.

Cirincione, J., et. al., Deadly Arsenals: Nuclear Biological, and Chemical Threats. Second Edition, Washington, DC: Carnegie Endowment for International Peace, 2005.

Fedorenko, Vladimir, The New Silk Road Initiatives in Central Asia, Washington D.C.: Rethink Institute, 2013.

Held, G., et. al., Global Traniformations: Politics, Economics, and Culture, Stanford, CA: Stanford University Press, 1999.

Jinlei, Li, Report: Silk Road Economic Belt May Be Divided into Three Phases; Initial Completion Predicted in 2049, 2014.

Keohane, Robert O. dan Nye, Joseph S. Power and Interdependence, New York, NY: Longman, 2001.

Page 20: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

252 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

Keohane, Robert O. dan Nye, Joseph S., Power and Interdependence: World Politics in Transition, Boston: Little, Brown and Company, 1977.

Leonard, Mark, What Does China Think? London: Fourth Estate, 2008.

Moravcsik, Andrew, Liberal International Relations Theory: A Social Scientific Assessment, Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001.

William, Paul D. (ed), Security Studies: An Introduction, London and New York: Routledge, 2008.

William, Paul D. (editor), Security Studies: An Introduction, London and New York: Routledge, 2008.

North, Douglass C., Institutions, Institutional Change and Economic Performance, St. Louis: Washington University Press, 1990.

Pop, Irina I., Strengths and Challenges of China’s “One Belt, One Road” Initiative, London: Center for Geopolitics & Security in Realism Studies, 2016.

Cavelty, Myriam D. dan Mauer, Victor, The Routledge Handbook of Security Studies, Oxon and New York, NY: Routledge, 2010.

Russett, B. and Oneal, J., Triangulating Peace: Democracy, Interdependence, and International Organizations, New York: Norton, 2001.

Hough, et. al. International Security Studies: Theory and Practice, Oxon and New York, NY: Routledge, 2015.

Zimmerman, Thomas, The New Silk Roads: China, the US, and the Future of Central Asia, New York: Center on International Cooperation, 2015.

JurnalArduido, Alessandro, “China’s One Belt One

Road: Has the European Union Missed the Train”, Policy Report RSIS (March), 2016.

Barnett, Michael N dan Finnemore, Martha, “The Politics, Power, and Pathologies of International Organization”, International Organization, Vol. 53(4), 1999.

Callahan, William A. “China’s “Asia Dream”: The Belt Road Initiative and the New Regional Order”, Asian Journal of Comparative Politics, Mei, 2016.

Callaghan, Mike dan Hubbard, Paul, “The Asian Infrastructure Investment Bank: Multilateralism on the Silk Road”, China Economic Journal, Vol. 9(2), 2016.

Clarke, Michael, “’One Belt, One Road’ and China’s Emerging Afghanistan Dilemma”, Australian Journal of International Affairs, Vol. 70(5), 2016.

Copeland, D.C., “Economic Interdependence and War: A Theory of Trade Expectations”, International Security, Vol. 20(4), 1996.

Dorussen, Han and Ward, H., “Intergovennental Organizations and the Kantian peace: A Network Perspective”, Journal of Conflict Resolution, Vol. 52(2), 2008.

Fallon, Theresa, “The New Silk Road: Xi Jinping’s Grand Strategy for Eurasia” American Foreign Policy Interests, Vol. 37(3), 2016.

Jain, Purnendra dan McCarty, Gregory, “Between Centrality: China in Australia”, Asian Journal of Comparative Politics, Mei 2016.

Khurana, Gurpreet S. “China, India and “Maritime Silk Road”: Seeking a Confluence”, Maritime Affairs: Journal of the National Maritime Foundation of India, Vol. 11(1), 2016.

Len, Christopher, “China’s 21st Century Maritime Silk Road Initiative, Energy Security and SLOC Access”, Maritime Affairs: Journal of the National Maritime Foundation of India, Vol. 11(1), 2015.

Mansfield, E.D. and Pevehouse, J.C., “Trade Blocs, Trade Flows, and International Conflict”, International Organization, Vol. 54(4), 2000.

Page 21: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

253Yandri Kurniawan: One Belt On Road (OBOR): Agenda Keamanan Liberal

Manicom, James, “Source of Tension in the Asia-Pacific: Strategic Competition, Divided Regionalism and Non-Traditional Security Challenges”, Australia-Canada Security Cooperation in the Asia-Pacific, Paper No. 1.

Mearsheimer, John J., “The False Promise of International Institutions,” International Security, Vol. 19(3), 1994/1995.

Parameswaran, P., “Beijing Unveils new Strategy for ASEAN-China Relations,” China Brief, Vol. 13(21), 2013.

Pattiradjawane, René L., “The Indonesian Perspective toward Rising China: Balancing the National Interest”, Asian Journal of Comparative Politics, Juni, 2016.

Peyrouse, Sebastien dan Raballand, Gaël, “Central Asia: The New Silk Road Initiative’s Questionable Economic Rationality”, Eurasian Geography and Economics, Vol. 56(4), 2016.

Ripsman, N.M. and Blanchard, J.M., “Commercial Liberalism under Fire: Evidence from 1914 and 1936”, Security Studies, Vol. 6(2), 1996/97.

Summers, Tim, “China’s ‘New Silk Roads’: Sub-national Regions and Network of Global Political Economy”, Third World Quaterly, 2016.

Szczudlik-Tatar, Justyna, “China’s New Silk Road Diplomacy”, Policy Paper, Vol. 34(82), 2013.

Umaña, F., Transnational Security Threats in the Straits of Malacca,” The Fund for Peace, Washington, 2012.

Wang, Yang, “Offensive for Defensive: The Belt and Road Initiative and China’s New Grand Strategy”, The Pacific Review, Vol. 29(3), 2016.

Wilson, Jeanne L., “The Eurasian Economic Union and China’s Silk Road: Implications for the Russian–Chinese Relationship”, European Politics and Society, Vol. 17(1), 2016.

Wong, John, “Reviving the Ancient Silk Road: China’s New Economic Diplomacy”, East Asian Policy, Singapore: East-Asian Institute, 2014.

Ye, Min, “China and Competing Cooperation in Asia-Pacific: TPP, RCEP, and the New Silk Road”, Asian Security, Vol. 11(3), 2015.

Majalah/Surat Kabar“China and the Trans-Pacifik Partnership”, The

Diplomat, 14 Oktober 2015.

“Energy Futures in Asia: Final Report”, Booz-Allen & Hamilton, 2004.

“Russia Halts Gas Supplies to Ukraine after Talks Breakdown”, BBC, 1 Juli 2015.

“The New Silk Road?” The Diplomat, 11 November 2011.

“Where is the ‘String of Pearls’ in 2015?”, The Diplomat, 5 Oktober 2015.

“Why Putin Took Crimea”, Foreign Affairs, 18 April 2016.

“Project Musam: India’s Answer to China’s ‘Maritime Silk Road’”, The Diplomat, 28 September 2014.

“Silk Road Block: The Problem with China One Belt, One Road Policy”, Policy Forum, November 2015.

“2008 Georgia Russia Conflict Fast Facts”, CNN, 13 Maret 2014.

PortalHofman, Bert (2015), “China’s One Belt One

Road Initiative: What We Know Thus Far”, diakses melalui http://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/china-one-belt-one-road-initiative-what-we-know-thus-far.

National Development and Reform Commission (NDRC) (2015), “Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-Century Maritime Silk Road”, Beijing, diakses melalui http://en.ndrc.gov.cn/newsrelease/201503/t20150-330_66-

Page 22: ONE BELT ONE ROAD (OBOR) - Jurnal DPR RI

254 Politica Vol. 7 No. 2 November 2016

9367.html.

Xi Jinping’s Mideast Trip to Push “One Belt One Road”, Forbes, 30 Januari 2016. Diakses melalui http://www.forbes.com/sites/helenwang/2016/01/30/xi-jinpings-mideast-tr ip-to-push-one-belt-one-road/#68117e064f27.

“Joint Statement on Strengthening Comprehensive Strategic Partnership between the People’s Republic of China and The Republic of Indonesia”, Ministry of Affairs of the People’s Republic of China, 27 Maret 2015, diakses melalui ht tp : / /www. fmprc .gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1249201.

shtml.

“Indonesia, China Forge Comprehensive Strategic Partnership in Various Field”, Antara News,7 Oktober 2013 diakses melalui http://www.antaranews.com/en/news/91035/ indonesia-china-forge-comprehensive-strategic-partnership-in-various-field

“What is the Asian Infrastructure Investment Bank?”, Asian Infrastructure Investment Bank, diakses melalui http://www.aiib.org/html/aboutus/AIIB/?show=0.