Osteo Maaaa

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    1/28

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

    2.1.1 Anatomi Hidung

    Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar

    dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu paling atas kubah tulang yang tak

    dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat

    digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah

    digerakkan. Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks, agak keatas dan

    belakang dari apeks disebut batang hidung (Higler, 1997).

    Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan.

    Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os

    maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan

    terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari sepasang kartilago

    nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala

    mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Kerangka tulang dan tulang

    rawan ini dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi

    untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung (Dhingra, 2007;

    Soetjipto et al, 2007).

    Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri

    dari m.dilator nares (anterior dan posterior), m.proserus, kaput angulare

    m.kuadratus labii superiordan kelompok konstriktor yang terdiri dam.nasalis

    dan m.depressor septi (Hwang & Abdalkhani, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    2/28

    Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar (Dhingra, 2007)

    Hidung bagian dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi

    kiri yang dipisahkan oleh septum nasi. Lubang hidung bagian depan disebut

    nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior

    atau koana (Dhingra, 2007; Soetjipto & Wardani, 2007).

    Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,

    inferior dan superior. Dinding medial terdapat septum nasi dan dinding lateral

    terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Yang terkecil ialah

    konka suprema dan biasanya rudimenter. Celah antara konka inferior dan

    dasar hidung dinamakan meatus inferior. Celah antara konka media dan

    inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus

    superior (Soetjipto & Wardani, 2007).

    Kavum nasi terdiri dari (Hwang & Abdalkhani, 2009; Dhingra, 2007;

    Soetjipto, 2007):

    1. Dasar hidung: dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus

    horizontal os palatum.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    3/28

    2. Atap hidung: terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, prosesus

    frontalis os nasal, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid.

    Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa.

    3. Dinding lateral: dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus

    frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka

    inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus

    medial.

    4. Konka: pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka

    inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka

    inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila.

    Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari

    etmoid.

    5. Meatus nasi: diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga

    sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka

    inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada

    meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media

    terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada

    meatus media terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan etmoid

    anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka

    superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan

    sinus sfenoid.

    6. Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    4/28

    Gambar 2. Penampang Lateral Hidung (Dhingra, 2007)

    2.1.2 Pendarahan Hidung

    Pendarahan pada hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri

    karotis eksterna yang mendarahi septum dan dinding lateral hidung

    (Dhingra, 2007)2.1.2.1 Pendarahan arteri karotis interna

    Arteri optalmikus yang berasal dari arteri karotis interna bercabang

    menjadi arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior masuk ke

    kavum nasi. Arteri etmoidalis anterior mendarahi septum bagian anterior dan

    dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior mendarahi septum bagian

    posterior dan dinding lateral hidung(Dhingra, 2007; Hwang & Abdalkhani,

    2009).

    2.1.2.2 Pendarahan arteri karotis eksterna

    Arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna kemudian

    bercabang menjadi arteri sfenopalatina dan arteri palatine mayor. Arteri

    sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung melalui foramen

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    5/28

    sphenopalatina yang terletak sebelah lateral ujung posterior konka media.

    Di dalam rongga hidung arteri sfenopalatina bercabang menjadi lateral nasal

    arteryyang mendarahi dinding lateral hidung dan posterior septal nasal artery

    yang mendarahi septum nasi. Arteri karotis interna juga bercabang menjadi

    arteri fasialis lalu menjadi arteri labialis superior (Dhingra, 2007; Lee, 2008;

    Hwang & Abdalkhani, 2009).

    Pada bagian anterior septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

    arteri spenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri labialis superior, arteri

    palatina mayor yang disebut plexus kieselbach. Letaknya superfisial dan

    mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber perdarahan

    hidung (Dhingra, 2007).

    Pada bagian posterior konka media terdapat anastomose arteri

    spenopalatina dan ascendeing pharyngeal artery (woodruffs area). Daerah

    ini sering menyebabkan epistaksis posterior (Hwang & Abdalkhani, 2009).

    Representasi skematis anatomi arterial normal region sinonasal. ACA mengindikasikan anterior cerebral

    artery; AEA, anterior ethmoidal artery; APA, ascending palatine artery; APhA, ascendeing pharyngeal artery;

    DPA, sescending palatine artery; ECA, external carotid artery; FA, facial artery; ICA, internal carotid artery;

    ILT, inferior lateral trunk; IMA, internal maxillary artery; OFA, orbotofrontal artery; OphA, ophthalmic

    artery; PEA, posterior ethmoidal artery; SLA, superior labial artery; SPA sphenopalatine artery

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    6/28

    Gambar 3. Sistem pendarahan hidung (Willems, 2009)

    2.1.3 Persarafan hidung

    Bagian antero-superior rongga hidung dan septum mendapat persarafan

    sensoris dari nervus etmoidalis anterior sedangkan bagian postero-superior

    rongga hidung dan septum oleh nervus etmoidalis posterior. Keduanya

    merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus

    oftalmikus. Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang,

    memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan ke septum

    bagian superior, selanjutnya ke bagian antero-inferior dan mencapai palatum

    durum melalui foramen insisivus (Hwang & Abdalkhani, 2009; Lee, 2008).

    Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah

    bulbus olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian

    atas konka superior dan bagian septum yang berhadapan (Hwang &

    Abdalkhani, 2009).

    Gambar 4. Sistem persarafan hidung (Dhingra, 2007)

    (A)Lateral wall. Sphenopaltine ganglion situated at the posterior end of middle turbinate

    supplies most of posterior teo-thirds of nose. (B) nerves on the medial wall

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    7/28

    2.1.4 Anatomi sinus paranasal

    Sinus maksila adalah sinus terbesar dari semua sinus. Sinus maksila

    memiliki bentuk piramida dan dibatasi menjadi empat bagian yakni dinding

    anterior yang dibentuk dari permukaan wajah dari maksila dan berhubungan

    dengan jaringan lunak pipi. Dinding posterior berhubungan dengan bagian

    infratemporal dan fosa pterygopalatina. Dinding medial berhubungan dengan

    bagian pertengahan maksila dengan meatus inferior, pada daerah ini dinding

    sangat tipis dan berupa membran sedangkan dasar dari maksila dibentuk

    dari prosesus palatine dan alveolar dari maksila dan terletak kira kira 1 cm di

    bawah dasar hidung (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani, 2009).

    Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan

    bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid (Soejipto &

    Mangunkusumo, 2007)

    Sinus etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses

    perkembangan janin. Sinus etmoid anterior merupakan evaginasi dari dinding

    lateral hidung dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoid

    posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan, sel

    ini diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia

    satu tahun, etmoid baru dapat dideteksi melalui foto polos dan setelah itu

    membesar dengan cepat hingga umur 12 tahun. Jumlah sel berkisar 4-17 sel

    pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata 14-15 ml

    (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani ,2009).

    Sinus etmoid berongga rongga , terdiri dari sel sel yang menyerupai

    sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang

    terletak antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya,

    sinus etmoid terbagi menjadi dua yakni sinus etmoid anterior yang bermuara

    di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus

    superior (Soejipto & Mangunkusumo, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    8/28

    Sinus frontal mulai berkembang sepanjang bulan keempat masa

    kehamilan yang merupakan suatu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal

    anterosuperior. Sinus frontal jarang tampak pada pemeriksaan foto polos

    sebelum umur 5 atau 6 tahun, setelah itu pelan-pelan tumbuh, total volume

    6-7 ml. Sinus frontal mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis .

    Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar

    daripada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis

    tengah. Kira kira 15 % dari orang dewasa hanya mempunyai satu sinus

    frontal dan 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Sinus frontal dipisahkan

    oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga

    infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini (Soejipto &

    Mangunkusumo, 2007).

    Sinus sfenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan

    yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior rongga

    hidung. Sinus ini berupa suatu takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur

    3 tahun ketika pneumatisasi mulai lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk

    menjangkau tingkatan sella tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran

    orang dewasa setelah berumur 18 tahun, total volume 7.5 ml. Sinus sfenoid

    mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid

    posterior (Hwang & Abdalkhani, 2009).

    2.1.5 FISIOLOGI SINUS PARANASAL

    Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan

    masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa

    sinus paranasal tidak mempunyai fungsiapa-apa karena terbentuknya

    sebagai akibat pertumbuhan tulang muka (Soetjipto & mangunkusumo,

    2000).

    Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat

    membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan,

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    9/28

    melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan

    penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal hanya

    berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto &

    Mangunkusumo, 2000).

    Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:

    A. Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)

    Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

    mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan,

    sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus

    dan rongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

    Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000

    volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam

    untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak

    mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung

    (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

    B. Sebagai penahan suhu (thermal insu lators)

    Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

    orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan

    tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung

    dan organ-organ yang dilindungi (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

    C. Membantu keseimbangan kepala

    Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

    muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan

    memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teoriini dianggap tidak bermakna (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

    D. Membantu resonansi suara

    Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

    mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat, posisi

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    10/28

    sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator

    yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya

    sinus pada hewan tingkat rendah (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000).

    E. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

    Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

    mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto &

    Mangunkusumo, 2000).

    F. Membantu produksi mukus

    Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

    dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

    membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena

    mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto

    & Mangunkusumo, 2000).

    2.1.6 Klasifikasi Tumor di Kavum Nasi dan Sinus Paranasal

    Secara garis besar tumor di kavum nasi dan sinus paranasal terbagi atas

    dua yakni: (Bailey, 2006, Marentette et al, 2009, Lund et al, 2010).

    1. Tumor Jinak

    2. Tumor Ganas

    1. Tumor Jinak

    Chondroma

    Craniopharyngioma

    Fibrous Dysplasia

    Inverted Papilloma

    Lymphangioma

    Meningioma

    Neurofibroma

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    11/28

    Ossifying fibroma

    Osteoma

    Osteoblastoma

    Hemangioma

    Schwannoma

    2. Tumor Ganas

    Adenoid cystic carcinoma

    Basaloid carcinoma

    Chondrosarcoma

    Chordoma

    Esthesioneuroblastoma

    Fibrosarcorma

    Hemangiopericytoma

    Lymphoma

    Malignant fibrous histiocytoma

    OsteosarcomaRhabdomyosarcoma

    Malignant schwannoma

    Sinonasal melanoma

    Sinonasal undifferentiated carcinoma

    Squamous cell carcinoma

    2.2 EPIDEMIOLOGI

    Swamy & Gowda ( 2004) dalam penelitiannya dari tahun 2000 sampai

    dengan 2001 di Bangalore melaporkan 30 kasus tumor jinak hidung dan

    sinus paranasal dimana yang terbanyak adalah squamous papilloma

    sebanyak 4 kasus (13,33%), diikuti inverted papiloma (13,31%), hemangioma

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    12/28

    (10%), ossifying fibroma (6,6%), Fibroma dan Fibrous dysplasia sebanyak

    3,33%. Laki-laki memiliki kekerapan lebih tinggi (73,33%) dibanding

    perempuan (26,67%). Lokasi tumor terbanyak kavum nasi (66,66%), sinus

    paranasal ( 20%), septum (6%), hidung luar (6%).

    Lund et al (2009) melaporkan osteoma adalah tumor jinak terbanyak yang

    ditemukan di hidung dan sinus paranasal. Osteoma biasanya muncul pada

    dekade ke -2 dan ke -6. Rasio lelaki dan perempuan 1,3 1 : 2.

    Prevalensi inverted papiloma dilaporkan sekitar 0,5 4 % dari seluruh

    tumor hidung yang ada. Insiden berkisar antara 0,75 1,5 % dari 100.000

    kasus pertahun. Laki laki lebih banyak dari perempuan yakni sekitar 3 :1

    dan lebih sering menyerang ras kaukasia. Inverted Papiloma sering

    menyerang dekade ke 5- sampai dekade 7 (Thapa , 2010). Tetapi, insiden

    bisa terjadi pada usia yang lebih muda, dilaporkan pada usia 10 tahun

    (Lyngdoh et al, 2006).

    Hemangioma biasanya menyerang populasi perempuan dengan insiden

    tertinggi pada dekade ke-3. Lokasi hemangioma terbanyak pada porsi

    anterior di nasal septum dan bagian konka (Lund et al, 2010).

    Tumor jinak biasanya menyebabkan obstruksi nasal seperti squamous

    papilloma yang berasal dari vestibulum. Inverted papiloma biasanya berasal

    dari dinding lateral dan tumbuh ke dalam hidung dan sinus. Hemangioma dari

    tipe kapiler berasal dari nasal septum sebagai polip yang berdarah. Fibroma

    biasanya jarang. Osteoma biasanya berasal dari sinus frontal dan jarang

    berasal dari sinus etmoid dan sinus maksilaris (Iqbal & Hussain, 2006).

    Insiden tumor kavum nasi dan sinus paranasal (tumor ganas sinus

    parasanal) rendah pada kebanyakan populasi (

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    13/28

    THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15%

    dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio

    laki-laki banding wanita sebesar 2:1 (Roezin, 2007). Rifqi mengemukakan

    data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di

    Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,325,3% dari

    keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas

    nasofaring (Tjahyadewi dan Wiratno, 1999). Di RSUP H. Adam Malik Medan

    selama Januari 2005 sampai dengan Desember 2009 pasien yang dirawat

    dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak

    51 kasus terdiri dari 30 laki- laki dan 21 perempuan (Salim, 2010).

    2.3 ETIOLOGI

    Kavum nasi dan sinus paranasal merupakan daerah yang jarang untuk

    tumor di daerah kepala dan leher. Sejumlah faktor berupa paparan industri,

    termasuk nikel, kromium, debu kayu, kulit, formaldehide, minyak mineral,

    isopropil,radium,iradiasi dan merokok. Hubungan antara faktor makan dan

    keganasan dari kavum nasi dan sinus paranasal serta alkohol dan makanan

    diasinkan meningkatkan terjadi resiko. Selain itu, Human Papiloma virus

    (HPV) dianggap memiliki hubungan dengan inverted papiloma dan

    karsinoma sel skuamosa (Chukuezy & Nwosu, 2010).

    2.4 Gambaran Klinis

    Tumor yang berasal pada kavum nasi dan sinus paranasal merupakan

    tumor yang jarang. Gejala pada tumor bisa menjadi samar dan pasien sering

    didiagnosa dengan rinosinusitis. Keterlambatan yang signifikan padadiagnosa tumor ini terjadi sampai usaha pengobatan rinosinusitis dengan

    obat obatan tidak berhasil ataupunditemukan pemeriksaan tambahan

    berupa anjuran pemeriksaan radiologi (Marentette et al, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    14/28

    Pada penelitian Swamy dan Gowda (2001) menemukan gambaran klinis

    terbanyak pada pasien tumor jinak yakni hidung tersumbat (56%), epistaksis

    (53%) dan hidung berair (50%).

    Tanda dan gejala klinis pada pasien dengan tumor ini terbagi menjadi dua

    yakni gejala dini dan gejala lanjut. Tanda dan gejala klinis berupa epistaksis,

    hidung tersumbat dan hidung berbau. Hidung tersumbat di salah satu sisi

    merupakan indikator yang paling penting untuk membedakan tumor dengan

    penyakit peradangan di kavum nasi dan sinus paranasal. Epistaksis ringan

    maupun berat biasanya terjadi tumor ganas yang tidak berdefferensiasi dan

    karsinoma sel skuamosa (Marentette et al, 2009).

    Gejala lanjut pada tumor yang berasal dari kavum nasi dan sinus

    paranasal berupa parasthesia, gangguan penciuman, nyeri ketika membuka

    mulut, gangguan pendengaran, proptosis dan maloklusi. Parasthesia

    disebabkan karena tumor meluas ke cabang dari saraf trigeminal. Gangguan

    penciuman terjadi karena perluasan tumor di kedua kavum nasi, sedangkan

    proptosisdisebabkan oleh invasi tumor ke orbita (Marentette et al, 2009).

    Metastasis regional dan jauh sering tidak terjadi meskipun penyakit telah

    berada dalam stadium lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal

    bervariasi dari 1% hingga 26%, dari kasus yang pernah dilaporkan yang

    terbanyak adalah kurang dari 10%. Hanya 15% pasien dengan keganasan

    sinus paranasal berkembang menjadi metastasis setelah pengobatan pada

    lokasi primer. Jumlah ini berkurang hingga 11% pada pasien yang mendapat

    terapi radiasi pada leher (Bailey, 2006).

    2.5 Diagnosis

    2.5.1 Pemeriksaan fisik

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    15/28

    Pemeriksaan fisik pada pasien dengan adanya tumor yang berasal dari

    kavum nasi dan sinus paranasal meliputi pemeriksaan kepala dan leher yang

    komplit.

    1. Kavum nasi dan sinus paranasal

    Pemeriksaan dari kavum nasi dan sinus paranasal dapat menunjukkan

    adanya massa pada kavum nasi. Septum dapat ditandai sebagai

    tanda apakah terjadi deviasi kontralateral disebabkan karena ekspansi

    dari tumor karena erosi tumor biasa meluas ke daerah kontralateral.

    Pada evaluasi dengan endoskopi berguna pada tumor jinak seperti

    inverted papiloma untuk mengevaluasi mukosa dari tumor sehingga

    dapat dibedakan dibedakan dengan polip..

    2. Kavum oris.

    Gigi dan palatum perlu diperiksa untuk melihat apakah ada invasi ke

    maksila.

    3. Wajah dan mata

    Pembengkakan pada wajah, pipi dan kulit hidung merupakan indikasi

    bahwa tumor telah meluas ke dinding jaringan melalui dinding tulang

    anterior. Proptosis biasanya meluas melalui lamina papirasea

    menekan periorbital pada yang tumor jinak seperti mukokel dan bisa

    disebabkan karena keganasan yang melibatkan invasi intraorbital.

    Diplopia biasanya terlihat dengan proptosis dan kehilangan

    penglihatan dapat menjadi tanda terjadi keterlibatan penekanan saraf

    optikus.

    4. Saraf kranial

    Keterlibatan saraf kranial merupakan kelanjutan dari invasi tumor di

    kavum nasi dan sinus paranasal. Gangguan saraf kranial olfaktorius (I)

    biasanya terjadi pada esthesioneuroblastomas. Saraf kranial lain

    melibatkan saraf optikus (II), saraf okulomotorius( III), saraf trokhlearis

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    16/28

    (IV), saraf abdusen ( VI) dan supraorbital serta cabang maksilaris dari

    saraf trigeminal.

    5. Penemuan fisik lain

    Penemuan fisik lain yang dapat bisa berupa otitis media serosa karena

    keterlibatan tuba eustahius dan massa di leher karena metastase

    tumor ke kelenjar getah bening (Mandpe, 2008 ).

    2.5.2 Radiologi

    Deteksi dengan tomografi komputer pada kavum nasi dan sinus paranasal

    (CT scan) lebih akurat daripada foto polosuntuk menilai struktur tulang sinus

    paranasal.Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri

    persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinus

    paranasal dan dengan simptom persisten setelah pengobatan medis yang

    adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scanpotongan aksial

    dan koronal dengan kontras atau magnetic resonance imaging (MRI). CT

    scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus

    sinus paranasal dan dasar tomografi tulang tengkorak. Penggunaan kontras

    dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri

    karotid (Bailey, 2006).

    MRI dipergunakan untuk membedakan tumor sekitar dengan jaringan

    lunak, membedakan sekresi di dalam kavum nasi dan sinus paranasal yang

    tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan penyebaran perineural,

    membuktikan keunggulan pencitraan pada potongan sagital dan tidak

    melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. MRI potongan koronal

    dipergunakan untuk mengevaluasi foramen rotundum, kanal vidian, foramen

    ovale dan kanal optik. Potongan sagital berguna untuk menunjukkan

    pergantian sinyal berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave

    berintensitas tinggi pada lemak di dalam fossa pterigopalatina oleh sinyal

    tumor yang mirip dengan otak (Bailey, 2006; Maroldi et al, 2004).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    17/28

    Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan

    kepala dan leher untuk menetukan stadium dan angka ketahanan hidup.

    Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan anatomi yang jelas membantu

    perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya tumor (Bailey,

    2006).

    Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika

    tumor tampak di kavum nasi atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan

    harus segera dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi

    Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal (Roezin, 2007).

    2.6 Tumor Jinak Kavum Nasi dan Sinus Paranasal

    Chukuezy dan Nwosu (2010) pada penelitiannya selama 10 tahun di

    Nigeria melaporkan tumor jinak lebih banyak dibandingkan tumor ganas,

    yakni sekitar 58,97%. Tumor jinak terbanyak yang ditemui adalah

    hemangioma (30,78%), inverted papiloma (15,38%), epitelial papiloma

    (5,13%). Sementara London et al (2002) menemukan osteoma adalah tumor

    jinak tebanyak yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi.

    Barandafar et al (2006) pada penelitiannya pada 105 pasien di tahun

    1997 2003 menemukan tumor jinak terbanyak adalah inverted papiloma

    (24 pasien), lesi fibroseus ( osteoma, fibrous dysplasia, ossyfing fibroma)

    sebanyak 23 pasien dan hemangioma sebanyak 6 pasien.

    Chuekezy dan Nwosu (2010) menemukan penderita tumor ganas

    sebanyak 51,28% pria dan 48,72% adalah perempuan dengan rasio 1,1 : 1.

    Swamy (2004) melaporkan penelitiannya terhadap 30 orang , menemukan

    jenis kelamin terbanyak adalah pria 22 orang dan wanita 8 orang.

    Dengan tempat tumor terbanyak di kavum nasi 66,6%, sinus paranasal 20 %,

    septum 2%, hidung bagian luar 2%. Gejala yang paling sering dikeluhkan

    adalah sumbatan hidung (51 %), massa si hidung (47%), epistaksis (38%),

    hidung berair (25% dan pipi bengkak sebanyak 8% (Iqbal & Hussain, 2006),

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    18/28

    sedangkan penelitian lain oleh Swamy et al ( 2004) menemukan sumbatan

    di hidung (56,6%), hidung berair (50%), massa di hidung (40%) dan

    epistaksis (50 %).

    2.6.1 Inverted papiloma

    Inverted papiloma didefinisikan sebagai tumor jinak epitelial yang terdiri

    dari diferensiasi sel epitel kolumnar atau sel epitel silia respiratori yang

    memiliki variabel diferensiasi skuamosa. (Thapa, 2010). Tumor ini sangat

    menarik, karena meskipun jinak, tumor ini memiliki kecenderungan untuk

    rekuren dan cenderung menjadi ganas (Lund et al, 2009).

    Insiden terjadinya belum pernah dilaporkan sebelumnya pada studi

    epidemiologi pada grup populasi normal. Inverted papiloma berkisar 0,5-4%

    dari tumor hidung yang dioperasi dengan onset umur berkisar antara 15 -96

    tahun dengan insiden tertinggi pada dekade ke 5 dan 6 (Lund et al, 2009).

    Tempat tersering dari inverted papiloma adalah dinding lateral dari kavum

    nasi, dan dinding medial dari sinus maksila, meskipun demikian bisa ditemui

    di sinus lainnya.(Thapa, 2010).

    Gejala yang ditimbulkan meliputi sumbatan hidung, epistaksis, hidung

    berair, dan sinusitis yang rekuren. Meskipun gejala tersering dari tumor ini

    adalah sumbatan hidung yang unilateral. Keterlibatan kedua sinus dilaporkan

    sebanyak 1-9% pada pasien dengan inverted papiloma (Thapa, 2010 ; Iqbal

    et al, 2008).

    CT Scan diperlukan untuk melihat adanya erosi tulang sehingga dapat

    memberitahukan kepada kita kemungkinan untuk terjadinya keganasan.

    Sedangkan MRI sangat penting untuk membedakan mukus atau papiloma

    lainnya. (Lund et al , 2009).

    Secara histopatologis, inverted papiloma berupa penebalan lapisan epitel

    dengan invaginasi kriptiform yang ditopang oleh stroma. Klasifikasi epitel

    terdiri atas skuamus, transisional dan tipe apikal. (Kim, 2001).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    19/28

    Klasifikasi inverted papiloma menurut Han et al :

    Stadium Perluasan

    Stadium 1 Tumor terbatas di kavum nasi, dinding hidung lateral sinus

    maksila medial, sinus etmoid dan sinus sfenoid .

    Stadium 2 Seperti stadium 1 kecuali tumor meluas dari lateral ke dinding

    medial maksila

    Stadium 3 Tumor telah melibatkan sinus frontal

    Stadium 4 Tumor telah meluas keluar dari sinus ( orbita dan intra kranial)

    Penanganan inverted papiloma meliputi rinotomi lateral atau midfacial

    deglovingdan pendekatan secara endoskopik (Thapa, 2010).

    2.6.2 Tumor Fibro-oseusdan tulang

    Tumor fibro-oseus termasuk tumor jinak dengan abnornalitas tulang yang

    dapat terjadi di region kavum nasi dan dan sinus paranasal. Tumor fibro-

    oseus ini terbagi menjadi tiga grup besar yakni Fibrous dysplasia, ossifyingfibromadan osteoma. Etiologisampai saat ini masih belum diketahui dengan

    pasti (Lund et al, 2009).

    Insiden pada fibrous dysplasiabiasanya terjadi pada dekade pertama dan

    kedua dari kehidupan dimana laki-laki dan perempuan memiliki rasio yang

    sama. Pada ossifying fibroma biasanya terjadi pada dekade kedua dan

    keempat dari kehidupan. Dimana rasio antara laki-laki dan perempuan

    sebesar 1:5. Pada osteoma dengan rasio antara laki-laki dan perempuan

    antara 1,5-1 sampai 3,1-1. Osteoma dapat di temukan pada semua usia,

    namun sering ditemukan pada dekade ketiga dan keempat kehidupan (Lund

    et al , 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    20/28

    Gejala paling sering yang dikeluhkan pasien pada fibrous dysplasia

    adalah ketidaksimetrisan wajah yang diikuti rasa nyeri, gejala okuler dan

    gangguan neurologis. Pada diagnosis fibrous dysplasia ditegakkan dengan

    CT Scan yakni tampak gambaran groundglass pada tulang. Penanganan

    pada kasus fibrous dysplasia berupa pembedahan yaitu pembedahan

    dengan bantuan endoskopik. Sedangkan pada ossifying fibroma gejala

    bergantung pada perluasan tumor. Gejala meliputi nyeri pada wajah,

    pembengkakan pada wajah, sumbatan di hidung, gejala okuler dan

    rinosinusitis kronis. Draft et al melaporkan bahwa penanganan ossifying

    fibroma berupa pembedahan dengan endoskopik sehingga mengurangi

    terjadi komplikasi (Lund et al, 2009).

    Gejala juga bergantung pada perluasan tumor. Sejumlah penulis

    melaporkan bahwa osteoma menimbulkan gejala orbita seperti diplopia,

    epifora, bahkan sampai kebutaan . Penanganan berupa pembedahan dengan

    endoskopik.(Lund et al, 2009).

    2.6.3 Hemangioma

    Hemangioma adalah tumor jinak pada hidung yang etiologinya sampai

    saat ini belum diketahui dengan pasti. Etiologinya dihubungkan dengan

    kehamilan, kontrasepsi oral dan trauma (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008).

    Gejala paling sering dari hemangioma adalah hidung tersumbat dan

    hidung berdarah. Hemangioma kadang kadang sulit dibedakan dengan

    polip yang berdarah dan polip angimatous. Hemangioma paling sering terjadi

    di anterior nasal septum (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008).

    Hemangioma bisa terjadi pada semua dekade, tetapi insiden paling tinggi

    pada dekade ketiga dari kehidupan dan lebh sering mengenai perempuan

    dibanding laki laki (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008) Secara makroskopis,

    hemangioma digambarkan sebagai lesi polipoid dengan permukaan yang

    licin (Lazar et al, 2004) sedangkan secara histopatologis, hemangioma

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    21/28

    digambarkan sebagai vaskularisasi sub mukosal pada lobus ataupun kluster

    yang terdiri dari kapiler kapiler sentral (Nair, Bahal & Bhadauria, 2008).

    Penatalaksanaan dari hemangioma adalah eksisi luas dari tumor

    termasuk batas dari mukosa sehat dan perikondrium (Lazar et al, 2004).

    2.7 Tumor ganas kavum nasi dan sinus paranasal

    Fansula dan Lasisi (2007) pada penelitian menemukan 59,42% dari 138

    tumor ganas sinus parasanal selama periode 1996 sd 2006. Pada penelitian

    ini, ditemui 56(68,29%) laki- laki dan 26 (31,71%) perempuan. Usia sekitar 4

    sd 69 tahun dengan umur rata- rata 4- 69 tahun.

    Analisis histopatologis menjelaskan bahwa sekitar 91,46% adalah tumor

    ganas epitelial dan 8,54% adalah tumor non epiehelial. Karsinoma sel

    skuamosa sekitar 90,67 % dari tumor epitelial dan 82, 93 % dari tumor ganas

    sinus parasanal sedangkan Rhabdomyosarcoma sekitar (14, 29%) dari

    sekitar tumor non epitelial (Fansula & Lasisi, 2007)

    Gambaran dari tumor ganas sinus parasanal 55% dari sinus maksilaris,

    35% dari kavum nasi, 9% dari sinus etmoid, dan sisanya berasal dari sinus

    frontal dan sinus sfenoid (Fansula & Lasisi, 2007). Pada penelitian, ditemui

    92 % dengan kasus karsinoma sel skuamosa , dimana adenokarsinoma

    sekitar 10 -25 % dari seluruh keganasan dan limfoma sekitar 57,14% dari

    seluruh keganasan non epitelial di sinus paranasal. Iqbal (2006) pada

    penelitiannya yang dilakukan di tahun 1995 sd 1998 menemukan bahwa 85%

    adalah karsinoma sel skuamosa dan 60 % ditemui di maksila, 30 % di kavum

    nasi dan 10 % melibatkan sinus etmoid. Adenokarsinoma biasanya ditemui

    pekerja kayu dan 5 20% dari tumor ganas sinonasal melibatkan sinus

    etmoid. Gejala yang paling sering dari tumor ganas sinus parasanal adalah

    sumbatan hidung (42%), diikuti epistaksis (31%) dan nyeri wajah (27%).

    2.7.1 Karsinoma sel skuamosa

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    22/28

    Karsinoma sel skuamosa merupakan karsinoma tersering yang ditemukan

    pada keganasan di sinus paranasal (Bailey, 2006)

    Karsinoma sel skuamosa terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris

    (sekitar 60-70%), kavum nasi (sekitar 10-15%), sinus sfenoidalis dan frontalis

    sekitar 1% (Dhingra, ; Adams, 1997).

    Secara histopatologis, karsinoma sel skuamosa dibagi menjadi 2 tipe

    yakni : keratinizing dan non keratinizing. Dalam karsinoma sel skuamosa

    keratinizing, sel tumor menunjukkan keratinisasi antar jembatan dan

    gambaran seperti mutiara. Sel tumor biasanya memiliki inti membesar,

    hiperkromatik, dengan inti anaplastik. Sedangkan pada karsinoma sel

    skuamosa non keratinizing berbentuk padat, bersarang dengan ukuran

    bervariasi, sering dengan perbatasan yang smooth. Sel tumor secara

    individual menunjukkan inti besar yang seragam, bulat atau oval dengan

    nukleolus yang menonjol (Thomson, 2006).

    2.7.2 Undifferentiated Carcinoma

    Tumor ini sangat jarang dan sangat agresif berdiferensiasi menunjukkan

    pleomorphism dan nekrosis. Pada pasien dengan tumor ganas sinus

    parasanal berdiferensiasi, gejala biasanya sulit dibedakan dengan tumor lain.

    Umur rata rata pada pasien ini biasanya pada dekade ke- 6 dan dengan

    predominan laki laki sebagai penderita terbanyak. Secara histopatologis,

    Sel-sel tersebut diatur dalam sarang, lobulus dan lembaran tanpa diferensiasi

    skuamosa atau kelenjar. Sel-sel memiliki rasio nuklir untuk sitoplasma tinggi

    dengan medium sampai besar inti yang dikelilingi oleh sedikit sitoplasma.

    Nukleolus biasanya menonjol dan yang paling sering adalahcomedonekrosis. Angka mitosis biasanya meningkat. Invasi limfe- vaskular

    biasanya sering ditemukan (Thomson, 2006).

    2.7.3 Limfoma Maligna

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    23/28

    Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel

    natural killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus

    mengindikasikan bahwa limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T.

    Limfoma pada nasal jarang ditemukan di Negara barat, umumnya dijumpai di

    negara-negara Asia. Karakteristik morfologi dari limfoma ini adalah nekrosis

    masif dan apaptosis, serta di jumpai infasi pembuluh darah dan

    angiodestruksi oleh sel neoplastik. Sel ini agak memanjang dengan inti

    slender dengan inti kromatin. Sel-sel ini biasanya dijumpai dengan sel-sel

    blastoid (Kitamuraet al, 2005).

    2. 7.4 Adenokarsinoma

    Adenokarsinoma pada sinus paranasal dikenal sebagai tumor glandular

    maligna dan tidak menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma

    dijumpai 10 hingga 14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus

    paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering

    ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini

    timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas.

    Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Simptom primer berupa

    hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan/atau

    proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya (Abecasis et al, 2004 ).

    Prognosis jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan

    penyebaran lokal tanpa adanya metastasis (Leivo, 2007).

    2.7.5 Melanoma Maligna

    Melanoma maligna dari mukosa sinus adalah penyakit yang jarang dan

    memiliki angka kehidupan yang rendah. Diagnosis sering terlambat

    dikarenakan onset yang tiba-tiba dan pasien telah datang pada stadium

    lanjut. Tumor biasanya sangat jarang berasal dari sinus paranasal

    dibandingkan kavum nasi. Secara histopatologis kebanyakan sel dengan

    eosinofil dalam jumlah banyak dengan sitoplasma yang mengelilingi inti

    menunjukkan inti eosinofil ataupun sel spindle (Lund et al, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    24/28

    2.7.6 Penatalaksanaan tumor ganas

    2.7.6.1 Pembedahan

    Jaringan dapat diambil dengan bantuan pembedahan endoskopik sinus

    atau melalui prosedur transkutan/ trans oral seperti pada antrostomi Caldwell-

    Luc dan rinotomi. Prosedur endoskopik dipilih dengan alasan untuk

    mendapatkan akses yang baik pada operasi dan kontrol hemostatik yang

    baik sehingga dapat menurunkan morbilitas dan tidak mengkontaminasi

    jaringan lunak lainnya (Bailey, 2006)..

    2.7.6.2.Drainase/Debridement

    Drainase adekuat (seperti nasoantral window) seharusnya dilakukan pada

    pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat terapi

    radiasi sebagai pengobatan primer (Bailey, 2006).

    2.7.6.3 Reseksi Tumor

    Pembedahan dengan reseksi selalu direkomendasikan dengan tujuan

    kuratif. Eksisi paliatif dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri yang parah,

    untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur vital, atau untuk debulking lesi

    yang besar, atau untuk membebaskan penderita dari perasaan minder akan

    pembesaran tumor tersebut. Pembedahan merupakan penatalaksanaan

    tunggal untuk tumor maligna traktus sinus parasanal dengan angka

    ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86% (Bailey, 2006).

    Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam pencitraan preoperatif,

    intraoperative image-guidance system,instrumen dengan endoskopik dan

    material untuk hemostasis, teknik endonasal untuk mengangkat tumor kavum

    nasi dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan

    untuk traditional open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai untuk

    melihat tumor dalam rongga kavum nasi, etmoid, sfenoid, medial frontal dan

    sinus maksilaris medial. (Nicolai et al, 2008 ; Lund et al, 2007; Bailey, 2006;

    Zinreich, 2006).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    25/28

    2.7.6.4 Rehabilitasi

    Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer,

    memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang

    terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan menelan. Rehabilitasi

    setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan menggunakan prosthesis

    pada gigi atau rekontruksi dengan bantuan flap seperti flap otot temporalis

    dengan atau tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free

    myocutaneous dan flap kutaneus(Bailey, 2006).

    2.7.6.5 Terapi Radiasi

    Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan

    atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara

    lokal tetapi tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut.

    Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir tumor non radiasi dapat

    dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan luka post operasi lebih

    dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

    2.7.6.6 Kemoterapi

    Kemoterapi untuk penanganan pada tumor dari daerah kavum nasi dan

    sinus paranasal biasanya berupa terapi paliatif, menggunakan efek

    cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan sumbatan. Samant et al pada

    tahun 2004 melaporkan penggunaan cisplatin intra-arteri dengan radiasi

    konkomitan pada pasien dengan tumor ganas kavum nasi dan sinus

    paranasal dengan angka ketahanan hidup kira kira 53%. Pasien dengan

    prognosa yang buruk yang tidak bisa dilakukan tindakan operasi sebaiknya

    menggunakan protokol kombinasi kemoterapi dan radiasi (Bailey, 2006).

    2.8 Klasifikasi TNM dan Sistem Staging Tumor Ganas

    Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium, yang digunakan

    di Indonesia adalah klasifikasi AJCC 2010 yang hanya berlaku untuk

    karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    26/28

    sinus sphenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat

    jarang ditemukan. Definisi sistem TNM nya adalah sebagai berikut.

    Sinus maksila

    Tis : Carcinoma in situ

    T1 : Tumor terbatas pada sinus

    maksila

    T2 : Tumor menyebabkan erosi

    tulang termasuk palatum durum

    dan meatus media, tanpa

    penyebaran ke dinding posterior

    sinus maksila.

    T3 : tumor menginvasi dinding

    posterior sinus maksila, jaringan

    subkutaneus, dinding medial dan

    dasar orbita, fossa pterygoid, sinus

    etmoid.

    T4a : tumor menginvasi dinding

    anterior orbita, kulit pipi, fossa

    intratemporal, lempeng pterygoid,

    plate cribiformis, sinus frontal dan

    sfenoid .

    T4b : Tumor menginvasi atap

    orbita, dura, kranial, fosa media

    kranial, saraf kranial.

    Kavum nasi dan Sinus etmoid

    Tis : Carcinoma in situ

    T1 :tumor terbatas pada satu sisi,

    Regional Lymph Nodes (N)

    N0 : tidak ada penyebaran ke KGB

    leher

    N1 : Metastase single KGB leher

    ipsilateral, dengan ukuran 3cm

    N2a : metastase ke single KGB

    leher ipsilateral, dengan ukuran

    3x

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    27/28

    dengan atau tanpa destruksi

    tulang.

    T2 : tumor menginvasi dua sisi

    termasuk complex nasoethmoidal,

    dengan atau tanpa destruksi

    tulang.

    T3 : tumor meluas ke dinding

    medial dan dasar orbita, sinus

    maksila, palatum atau plate

    cribiformis.

    T4a : tumor menginvasi orbita

    anterior, kulit dari hidung dan pipi,

    ekstensi minimal dari fossa kranial

    anterior, plate pterygoid, sinus

    sfenoid dan frontal.

    T3 N1 M0

    IVA T4a N0 M0

    T4a N1 M0

    T1 N2 M0

    T2 N2 M0

    T3 N2 M0

    T4a N2 M0

    IVB T4b Any N M0

    Any T N3 M0

    IVC Any T Any N M1

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/25/2019 Osteo Maaaa

    28/28

    2.9 Kerangka Konsep

    Kotak biru = variabel dalam penelitian

    Faktor predisposisi:

    Alkohol Merokok

    Etiologi :

    Virus

    Karsinogen

    lingkungan

    Hormonal

    Tumor yang berasal

    dari kavum nasi dansinus parasanal.

    Pembedahan

    Kemoterapi

    radioterapi

    Tumor Jinak

    Pembedahan

    Tipe Histopatologis

    Tumor ganas

    Jenis Kelamin

    Umur

    Suku bangsa

    Keluhan UtamaLokasi tumor