Upload
andi-darfianto
View
27
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat tht
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran atau tuli sejak lahir akan menyebabkan gangguan
perkembangan bicara, bahasa, kognitif dan kemampuan akademik. Bila gangguan
pendengaran dan ketulian terlambat diketahui tentu hambatan yang akan dihadapi
akan lebih besar lagi. Dampak yang merugikan tersebut harus dicegah atau dibatasi
melalui program deteksi dini ketulian. Gangguan pendengaran dan ketulian yang
dapat dideteksi lebih awal kemudian mendapat rehabilitasi pendengaran yang
memadai akan membuka kesempatan bagi penderita untuk mencapai kemampuan
berkomunikasi yang lebih optimal sehingga lebih mudah berinteraksi dengan
lingkungan dan diharapkan mampu mengikuti jalur pendidikan biasa. 1
Anak yang terlalu kecil bukan halangan untuk melakukan penilaian definitif
gangguan pendengaran terhadap status fungsi telinga tengah dan sensitifitas koklea
serta jalur suara. Kecurigaan terhadap adanya gangguan pendengaran pada anak harus
dilakukan secara tepat. Jenis-jenis pemeriksaan pendengaran yang direkomendasikan
oleh American Academy of Pediatrics adalah pemeriksaan yang disesuaikan dengan
umur anak, anak harus merasa nyaman terhadap situasi pemeriksaan, pemeriksaan
harus dilakukan pada tempat yang cukup sunyi dengan gangguan visual dan audio
yang minimal. Salah satu uji pendengaran dalam rangka deteksi dini gangguan
pendengaran yang sudah lazim sesuai rekomendasi JCIH (The Joint Commitee on
Infant Hearing) tahun 2000 adalah dengan pemeriksaan OAE (Otoacoustic
Emission).1
1.1. Epidemiologi Gangguan Pendengaran
Pendengaran memegang peranan yang sangat penting bagi anak dalam
mempelajari bicara dan bahasa, sosialisasi dan perkembangan kognitif. Anak belajar
berbicara berdasarkan pada apa yang dia dengar, sehingga gangguan pendengaran
yang dialami anak sejak lahir akan mengakibatkan keterlambatan berbicara dan
1
berbahasa. Suzuki (2004) mengatakan bahwa gangguan pendengaran adalah
kecacatan yang tidak kelihatan. Berlainan dengan cacat kelahiran yang lain, gangguan
pendengaran mempunyai kesulitan dalam pendeteksian. Di Amerika Serikat pada
kasus gangguan pendengaran sedang sampai berat rata-rata dideteksi pada usia 20-24
bulan. Pada kasus gangguan pendengaran yang ringan ditemukan pada usia rata-rata
48 bulan. Bahkan pada kasus gangguan pendengaran yang unilateral baru dapat
diidentifikasi pada usia sekolah. 1
Intervensi dini pada gangguan pendengaran dapat memberikan hasil yang
lebih baik dalam kemampuan untuk berbicara dan berbahasa. Penanganan gangguan
pendengaran yang dini terbaik dilakukan di bawah usia 6 bulan karena akan
memberikan hasil intervensi yang optimal. Gangguan pendengaran adalah kasus
kelainan bawaan tersering dengan angka kejadian berkisar antara 1 sampai 3 kejadian
setiap 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut dapat meningkat 10 hingga 50 kali lipat
bila dilakukan survei pada kelompok dengan risiko tinggi. Angka kejadian gangguan
pendengaran pada neonatus yang diobservasi ketat di Neonatal Intensive Care Unit
(NICU) adalah 2,5 setiap 100 bayi risiko tinggi. Suwento (2004) mencatat pada
Survey Kesehatan Mata dan Telinga (1994-1996) di Indonesia didapatkan prevalensi
gangguan pendengaran adalah 16,8%, tuli 0,4% dan tuli kongenital 0.1%. Selanjutnya
data WHO menyebutkan bayi lahir tuli (tuli kongenital) berkisar 0,1-0,2% dengan
risiko gangguan komunikasi dan akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan
bangsa. Dengan angka kelahiran di Indonesia sekitar 2,6% maka setiap tahunnya
akan ada 5200 bayi tuli di Indonesia.1
1.2. Prinsip Dasar Pemeriksaan Pendengaran Pada Bayi Dan Anak
Pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak harus dapat menentukan :1
a. Jenis gangguan pendengaran (sensorineural, konduktif, campur)
b. Derajat gangguan pendengaran (ringan sampai sangat berat)
c. Lokasi kelainan (telinga luar, tengah, dalam, koklea, retrokoklea)
d. Ambang pendengaran dengan frekuensi spesifik
2
Pada bayi dibawah 6 bulan masih sulit melakukan pemeriksaan behavioral
(Behavioral audiometry, Visual Reinforcement audiometry, play audiometry).
Sehingga dipilih pemeriksaan elektrofisiologik yang lebih obyektif seperti BERA
(Brainstem Evoked Response Audiometry), Otoacoustic Emission (OAE) dan
Impedance Audiometry (timpanometri, refleks akustik). Skrining pendengaran
terhadap kemungkinan gangguan pendengaran/ketulian pada bayi baru lahir, dengan
menggunakan prinsip pemeriksaan elektrofisiologik. Pemeriksaan harus bersifat
obyektif, praktis, cepat otomatis dan non invasif.1
1.3. Faktor Risiko Terhadap Gangguan Pendengaran/ Ketulian
Neonatus yang dirawat inap di NICU untuk waktu lebih dari dua hari
meningkatkan kecenderungan untuk adanya gangguan pendengaran sampai 10 kali
lipat. Program skrining sebaiknya diprioritaskan pada bayi dan anak yang mempunyai
risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran. Menurut American Joint Committee on
Infant Hearing Statement (2000) pada bayi usia 0–28 hari beberapa faktor berikut ini
harus dicurigai terhadap kemungkinan gangguan pendengaran :2
a. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU (Neonatal ICU)
selama 48 jam atau lebih.
b. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang
diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau konduktif
c. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang menetap
sejak masa anak-anak.
d. Anomali kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna atau liang telinga.
e. lnfeksi intrauterine seperti toksoplasma, rubella, cytomegalo virus, herpes,
sifilis.
3
Untuk bayi 29 hari-2 tahun :
a. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,
keterlambatan bicara, berbahasa dan atau anak keterlambatan perkembangan.
b. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak masa
anak-anak.
c. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan yang diketahui mempunyai
hubungan dengan konduktif atau gangguan fungsi tuba eustachius.
d. lnfeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengan sensorineural
termasuk meningitis bakterialis.
e. lnfeksi intrauterine seperti toksoplasma, rubella, cytomegalo virus herpes,
sifilis.
f. Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonatus, terutama
hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal
yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
g. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis osteopetrosis.
h. Adanya keluhan neurodegeneratif seperti Hunter syndrome dan kelainan
neuropati sensomotorik misalnya Friederich' ataxia, Charrot Marie Tooth
syndrome.
i. Trauma kapitis.
j. Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah minimal
3 bulan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Telinga
Untuk memahami tentang gangguan pendengaran dan cara pemeriksaan
pendengaran, perlu diketahui anatomi telinga dan fisiologi pendengaran. Anatomi
telinga terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam.1
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:HumanEar.jpg
Gambar 1. Anatomi Telinga.
Telinga Luar
5
Telinga luar terdiri dari auricula, meatus akustikus eksternus (MAE). Auricula
merupakan suatu lempengan kartilago yang berlekuk-lekuk ditutupi oleh kulit dan
dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Lekuk auricula yang utama
adalah heliks dan antiheliks, tragus dan antitragus, dan konka. Konka ini merupakan
suatu lekukan menyerupai corong yang menuju meatus. Satu-satunya bagian auricula
yang tidak mengandung kartilago ialah lobulus. Kartilago auricula ini berlanjut
dengan kartilago meatus akustikus eksternus luar.2,4
Meatus akustikus eksternus berbentuk huruf S, dengan rangka kartilago pada
sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit meatus akustikus eksternus
terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada
seluruh kulit meatus akustikus eksternus. Pada dua pertiga bagian dalam terdiri dari
tulang. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan
sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar
seruminosa.2,4
Gambar 2. Telinga Luar. Bagian-bagian Auricula.3
Telinga Tengah
6
Telinga tengah berbentuk kubus dengan :2
Batas luar : Membran timpani
Batas depan : Tuba eustachius
Batas bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
Batas atas : Segmen timpani (meningen / otak )
Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis
horizontal, kanalis fasialis, fenestra vestibuli(oval window), fenestra rotundum (round
window) dan promontorium.
Gambar 3. Telinga Tengah.3
Tulang Pendengaran
Tulang-tulang pendengaran membentuk suatu sistem pengungkit dan batang
yang meneruskan suatu energi mekanis getar ke cairan periotik. Sistem tersebut
terdiri dari maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah
saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus
melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap
7
lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian.2,4
Gambar 4.Tulang Pendengaran : Malleus, Incus, Stapes.6
Membran Timpani
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah meatus
akustikus eksternus dan terlihat oblik terhadap sumbu meatus akustikus eksternus.
Membran timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan
fibrosa di bagian tengah dimana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa
bagian dalam. Pada membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier.
Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut.
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah belakang,
untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.2,7
8
Gambar 5. Membran Timpani.8
Tuba Eustachius
Tuba eustachius terbentang dari dinding anterior kavum timpani ke bawah,
depan, dan medial sampai ke nasopharynx. Sepertiga bagian posterior-nya adalah
tulang dan dua pertiga bagian anteriornya adalah kartilago. Tuba berhubungan
dengan nasopharynx melalui pinggir atas m. constrictor pharynges superior. Tuba
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di dalam cavum timpani dengan
nasopharynx.4,7
Gambar 6. Tuba Eustachius.12
9
Telinga Dalam
Telinga dalam yang bertulang (selubung labirin) membungkus cairan perilimfa.
Cairan perilimfa dihubungkan dengan rongga subaraknoid oleh duktus perilimfatikus.
Labirin selaput berisi endolimfa, yang diproduksi oleh striavaskularis.3
Telinga dalam terdiri dari koklea (koklea) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak
koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan
skala vestibule oleh tulang lamina spiralis dan duktus koklearis. 2
Gambar 7. Telinga Dalam.9
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Sisa ruang di dalam kanalis semisirkularis
diselingi oleh trabekula yang mempunyai arachnoid dan tersebar jarang, dan melalui
trabekula ini bersirkulasi cairan periotik. 2,7
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) di antaranya. Skala vestibuli dan
skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala
vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar
skala media adalah membran basalis. Terletak di atas membran basalis dari basis ke
apeks adalah organ korti, yang mengandung organel-organel penting untuk
mekanisme saraf perifer pendengaran. 2,7
10
Gambar 8. Histologi dari telinga bagian dalam
Organ korti terdiri dari satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut
luar. Sel-sel indera berhubungan dengan membran tektoria. Membran tektoria
disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai
limbus. 3,7
Gambar 9. Alat corti. Sel-sel rambut tergantung pada bagian horizontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh lamina retikularis dan sel pillar luar dan dalam.
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel
rambut. Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang
juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada
bagian yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanali semisirkularis
bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang
melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut menonjol pada suatu
kupula gelatinosa. 3
2.2 Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Reseptor-reseptor
khusus untuk suara terletak di telinga dalam yang berisi cairan. Dengan demikian,
gelombang suara hantaran udara harus disalurkan ke arah dan dipindahkan ke telinga
dalam, dan dalam prosesnya melakukan kompensasi terhadap berkurangnya energi
suara yang terjadi secara alamiah sewaktu gelombang suara berpindah dari udara ke
air. Fungsi ini dilakukan oleh telinga luar dan telinga tengah.10
11
Auricula mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke saluran
telinga luar. Membran timpani, yang teregang menutupi pintu masuk ke telinga
tengah, bergetar sewaktu terkena gelombang suara. Daerah-daerah gelombang suara
yang bertekanan tinggi dan rendah berselang-seling menyebabkan gendang telinga
yang sangat peka tersebut menekuk keluar-masuk seirama dengan frekuensi
gelombang suara.4 , 10
Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke cairan di
telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai yang terdiri dari tiga
tulang yang dapat bergerak atau osikula (maleus, inkus, dan stapes) yang berjalan
melintasi telinga tengah. Tulang pertama : maleus, melekat ke membran timpani, dan
tulang terakhir, stapes, melekat ke venestra vestibula, pintu masuk ke koklea yang
berisi cairan. Ketika membrana timpani bergetar sebagai respons terhadap gelombang
suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi sama,
memindahkan frekuensi gerakan tersebut dan membran timpani ke fenestra vestibuli.
Setiap getaran yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti gelombang pada cairan
telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi gelombang suara
semula. 2,4,7,10
Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap fenestra vestibuli
menyebabkan timbulnya gelombang tekanan. Ketika stapes bergerak mundur dan
menarik fenestra vestibuli ke luar ke arah telinga tengah, perilimfe mengalir dalam
arah berlawanan, mengubah posisi fenestra rotunda ke arah dalam. Jalur ini tidak
menyebabkan timbulnya persepsi suara tetapi hanya menghamburkan tekanan.8 , 1 0
Transmisi gelombang suara melalui gerakan cairan di dalam perilimfe yang
ditimbulkan oleh getaran fenestra vestibule yang mengikuti dua jalur: (1) melalui
skala vestibuli, mengitari helikotrema, dan melalui skala timpani, yang menyebabkan
fenestra rotunda bergetar. (2) skala vestibuli melalui membran basilaris ke skala
timpani. Jalur pertama hanya menyebabkan penghamburan energi suara, tetapi jalur
kedua mencetuskan pengaktifan reseptor untuk suara dengan membengkokkan
12
rambut di sel-sel rambut sewaktu organ corti pada bagian atas membrana basilaris
bergetar, mengalami perubahan posisi terhadap membrana tektorial di atasnya. 2 , 7 , 1 0
Organ Corti, yang terletak di atas membran basilaris, di seluruh panjangnya
mengandung sel-sel rambut, yang merupakan reseptor untuk suara. Sel-sel rambut
menghasilkan sinyal saraf, jika rambut di permukaannya secara mekanis mengalami
perubahan bentuk berkaitan dengan gerakan cairan di telinga dalam. Rambut-rambut
ini secara mekanis terbenam di dalam membrana tektorial, suatu tonjolan mirip tenda-
rumah yang menggantung diatas, di sepanjang organ Corti.10
Sel-sel rambut adalah sel reseptor khusus yang berkomunikasi melalui sinaps
kimiawi dengan ujung-ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf auditorius
(koklearis). Depolarisasi sel-sel rambut (sewaktu membran basilaris bergeser ke atas)
meningkatkan kecepatan pengeluaran zat perantara mereka, yang menaikkan
kecepatan potensial aksi di serat-serat aferen. Sebaliknya, kecepatan pembentukan
potensial aksi berkurang ketika sel-sel rambut mengeluarkan sedikit zat perantara
karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu membrana basilaris bergerak ke
bawah).2 , 7 , 1 0
Dengan demikian, telinga mengubah gelombang suara di udara menjadi
gerakan-gerakan berosilasi membrana basilaris yang membengkokkan pergerakan
maju-mundur rambut-rambut di sel reseptor. Perubahan bentuk mekanis rambut-
rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian) saluran
di sel reseptor, yang menimbulkan perubahan potensial sehingga mengakibatkan
perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan
cara ini, gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dapat
dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara.4,8,10
13
2.3 Otoacoustic Emission (OAE)
2.3.1 Definisi OAE
Otoacoustic Emission atau OAE pertama kali ditemukan oleh Gold pada
tahun 1948 dan diperkenalkan oleh Kemp pada tahun 1978. OAE merupakan suara
dengan intensitas rendah yang diproduksi oleh koklea baik secara spontan atau
menggunakan stimulus yang disebabkan oleh gerakan sel-sel rambut luar di telinga
bagian dalam. Gerakan-gerakan ini adalah hasil mekanisme sel yang aktif, yang dapat
terjadi baik secara spontan, maupun oleh rangsangan bunyi dari luar.11,12
OAE merupakan skrining pendengaran yang dilakukan untuk mengetahui
fungsi koklea di telinga dalam dan hasilnya merupakan respons koklea yang
dipancarkan dalam bentuk energi akustik, namun tidak dapat memberikan informasi
tentang derajat gangguan pendengaran seorang bayi atau anak. Fungsi koklea selain
menerima suara, juga menghasilkan energi akustik. Energi akustik yang dihasilkan
berupa suara dengan intensitas rendah, dapat timbul secara spontan atau merupakan
respons terhadap rangsangan akustik.12,13
14
Gambar 11. Contoh alat OAE.14
OAE adalah suatu teknik pemeriksaan koklea yang relatif baru, berdasarkan
prinsip elektrofisiologik yang obyektif, cepat, mudah, otomatis, non invasif, dengan
sensitivitas mendekati 100%. Pemeriksaan OAE dikatakan objektif karena dapat
langsung mengetahui fungsi koklea. Keuntungan lain OAE tidak terbatas pada umur,
bahkan dapat dilakukan pada neonatus, tidak memerlukan waktu lama, tersedia alat
portable. Kelemahannya dipengaruhi oleh bising lingkungan, kondisi telinga luar dan
tengah, kegagalannya pada 24 jam pertama kelahiran cukup tinggi, serta harga alat
relatif mahal.12,13,15
2.3.2 Tujuan Pemeriksaan OAE
Tujuan utama pemeriksaan OAE adalah guna menilai keadaan koklea,
khususnya fungsi sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk:16
a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, infant atau individu dengan
gangguan perkembangan)
b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu
c. Membedakan gangguan sensori dan neural pada gangguan pendengaran
sensorineural
15
d. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura).
Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur, bahkan pada
keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan respon tingkah
laku.
2.3.3 Syarat-syarat untuk menghasilkan OAE:16
a. meatus akustikus eksternus luar tidak obstruksi
b. menutup rapat-rapat meatus akustikus eksternus dengan probe
c. posisi optimal dari probe
d. tidak ada penyakit telinga tengah
e. sel rambut luar masih berfungsi
f. pasien kooperatif
g. lingkungan sekitar tenang
2.3.4 Cara kerja OAE
OAE bertujuan menilai apakah koklea berfungsi normal, terutama fungsi sel
rambut. Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus
listrik, selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energi
bunyi tidak dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju meatus
akustikus eksternus. Produk sampingan koklea ini kemudian disebut sebagai emisi
otoakustik (Otoaccoustic emission). Koklea tidak hanya menerima dan memproses
bunyi tetapi dapat juga memproduksi energi bunyi dengan intensitas rendah yang
berasal dari sel rambut luar koklea.12,14
OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari luar
yang tiba di sel sel rambut luar (outer hair cells/ OHC’s ) koklea. Telah diketahui
bahwa koklea berperan sebagai organ sensor bunyi dari dunia luar. Di dalam koklea
bunyi akan dipilah-pilah berdasarkan frekuensi masing-masing, setelah proses ini
maka bunyi akan diteruskan ke sistem saraf pendengaran dan batang otak untuk
selanjutnya dikirim ke otak sehingga bunyi tersebut dapat dipersepsikan.12,14,17
16
Kerusakan yang terjadi pada sel-sel rambut luar, misalnya akibat infeksi virus,
obat obat ototoksik, kurangnya aliran darah yang menuju koklea – menyebabkan
OHC’s tidak dapat memproduksi emisi. OAE tidak muncul pada hilangnya
pendengaran lebih dari 30-40 dB.14,16
Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan suatu probe ke dalam
meatus akustikus eksternus luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan
pengeras suara (loudspeaker) yang berfungsi memberikan stimulus suara. Mikrofon
berfungsi menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus.
Sumbat telinga dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon yang timbul
dari koklea.14,16,18
Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke meatus
akustikus eksternus melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak
(probe tip) yang ukurannya dapat dipilih sesuai besar meatus akustikus eksternus,
menggetarkan gendang telinga, selanjutnya melalui telinga tengah akan mencapai
koklea. Saat stimulus bunyi mencapai OHC koklea yang sehat, OHC akan
memberikan respon dengan memancarkan emisi akustik yang akan dipantulkan ke
arah luar (echo) menuju telinga tengah dan meatus akustikus eksternus. Emisi akustik
yang tiba di meatus akustikus eksternus akan direkam oleh mikrofon mini yang juga
berada dalam insert probe, selanjutnya diproses oleh mesin OAE sehingga hasilnya
dapat ditampilkan pada layar monitor mesin OAE.17,18
Analisa gelombang OAE dilakukan berdasarkan perhitungan statistik yang
menggunakan program komputer. Hasil pemeriksaan disajikan berdasarkan ketentuan
pass– refer criteria, maksudnya pass bila terdapat gelombang OAE dan refer bila
tidak ditemukan gelombang OAE. Pemeriksaan OAE dapat dilakukan di ruang biasa
yang cukup tenang sehingga tidak memerlukan ruang kedap suara (sound proof
room). Juga tidak memerlukan obat penenang (sedatif) asalkan bayi/ anak tidak
terlalu banyak bergerak.17,18
17
.http://www.mimosaacoustics.com/products/teoae.html
Gambar 12.Transient Evoked OAE (TEOAE).
2.3.5 Analisa dan Interpretasi pemeriksaan OAE
Prinsip pemeriksaan OAE adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh
telinga saat suara menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk mengetahui
kerusakan pada sel rambut luar, dapat pula digunakan untuk memeriksa telinga
tengah dan dalam. Walaupun amplifikasi suara yang diproduksi oleh sel rambut luar
di dalam koklea bisa setinggi 50 dB, namun energi sisa yang mencapai kanal telinga
(OAE) normalnya berkisar 0-15 dB.12
Ada 3 langkah umum dalam menganalisa OAE. Langkah pertama yakni
memverifikasi kondisi pengukuran yang adekuat, khususnya pada level suara yang
rendah (biasanya kurang dari -10dB) untuk dapat menghasilkan deteksi aktivitas
OAE yang meyakinkan dan tingkat intensitas stimulus pada kanal telinga sebaiknya
mendekati level yang ditargetkan. Langkah berikutnya dalam analisa data adalah
mempertimbangkan apakah OAE yang timbul dapat diterima yakni apakah amplitudo
OAE melebihi level suara 6 dB atau lebih pada frekuensi pemeriksaan. Langkah
terakhir, ketika perbedaan antara amplitudo OAE dan tingkat kebisingan ≥ 6 dB, hasil
dianalisa dengan cermat untuk daerah normal yang sesuai dari amplitudo OAE.12
Aplikasi utama dari pemeriksaan OAE yakni skrining pada pasien dengan
resiko gangguan pendengaran. Hasil skrining OAE ini secara umum digambarkan
sebagai pass atau refer. Jika terdapat gelombang OAE (≥ 6 dB di atas tingkat
18
kebisingan) untuk frekuensi pemeriksaan yang paling banyak maka bayi dapat
melewati tes OAE (pass), yang berarti bayi tersebut tidak mengalami gangguan
pendengaran. Namun walaupun terdapat OAE tidak selalu menggambarkan sensivitas
pendengaran yang normal, hasil pass mengeliminasi hilangnya pendengaran pada
tingkat yang serius. Jika tidak ditemukan gelombang OAE berarti ada gangguan
pendengaran (refer). Hasil refer perlu dilihat sebagai faktor resiko hilangnya
pendengaran yang dapat mempengaruhi komunikasi, sehingga pasien dengan hasil
pemeriksaan refer dianjurkan untuk dilakukan tes lanjutan.12,17
Pemeriksaan OAE dapat menentukan penilaian klinik telinga perifer/jalur
preneural, namun tidak dapat memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau
respon otak/jalur neural terhadap suara. OAE dipengaruhi oleh verniks kaseosa,
debris, dan kondisi telinga tengah (cavum tympani). Neonatus usia kurang dari 24 jam
meatus akustikus eksternus terisi verniks kaseosa yang akan keluar dalam 24-48 jam
setelah lahir, sehingga hasil refer 5-20% bila skrining dilakukan 24 jam setelah
lahir.17,18
Angka refer <3% dicapai bila skrining dilakukan usia 24-48 jam karena
perjalanan stimulus bunyi menuju koklea maupun emisi akustik yang dipancarkan
oleh koklea ke meatus akustikus eksternus harus melewati telinga tengah; maka
sebelum pemeriksaan OAE harus dipastikan bahwa telinga tengah dalam kondisi
normal dengan pemeriksaan timpanometri agar dapat dipastikan bahwa hasil tes OAE
akurat atau tidak. Selama hasil timpanometri adalah normal, maka hasil tes OAE
dapat dipercaya. Tetapi jika dari hasil tes timpanometri menunjukkan adanya
gangguan di telinga tengah, maka hasil tes OAE kurang akurat.18,19
Faktor lain yang mempengaruhi hasil tes OAE yaitu ukuran probe (harus
sesuai dengan ukuran meatus akustikus eksternus), posisi penempatan probe (tidak
ada kebocoran atau celah udara dan posisi probe harus lurus ke arah gendang telinga)
serta kebisingan eksternal maupun internal.16,17
19
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3631808/
Gambar 13. Contoh Hasil Tes Pemeriksaan OAE.12,14
Pemeriksaan OAE sensitif untuk mengetahui adanya kerusakan pada outer
hair cell di koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat skrining karena
selain sensitif juga cukup murah. Minnesota Newborn Hearing Screening Program
memakai OAE sebagai standar pemeriksaan awal, apabila didapatkan abnormalitas
baru diperiksa dengan ABR. OAE merupakan skrining pendengaran secara obyektif,
namun tidak dapat memberikan informasi tentang derajat gangguan pendengaran
seorang bayi atau anak.18,19
2.3.6 Jenis Pemeriksaan OAE
OAE dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yakni:11,14,15
1. Spontaneous OAE (SFOAE)Merupakan respon yang dibangkitkan oleh nada murni yang panjang dan terus
menerus, jenis ini tidak mempunyai arti klinis, dan jarang digunakan. Stimulus ini biasa diukur dalam frekuensi yang sempit ( < 30 Hz) yang diukur dalam saluran telinga eksternal.
20
2. Transient Evoked OAE (TEOAE)Untuk memperoleh emisi TEOAE digunakan stimulus bunyi click yang
onsetnya sangat cepat (milidetik) dengan intensitas sekitar 40 dB. Secara otomatis
akan diperiksa 4–6 jenis frekuensi. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa TEOAE
adalah 500-4500 Hz untuk orang dewasa dan 5000–6000 Hz pada bayi. TEOAE tidak
terdeteksi pada ketulian >40 dB. Bila TEOAE pass berarti tidak ada ketulian koklea,
sebaliknya bila TEOAE refer berarti ada ketulian koklea lebih dari 40dB. Umumnya
hanya digunakan untuk skrining pendengaran bayi/anak.
3. Distortion Product OAE (DPOAE)
Mempergunakan 2 buah stimulus bunyi nada murni sekaligus, yang berbeda
frekuensi maupun intensitasnya. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa lebih luas
dibandingkan dengan TEOAE, dapat mencapai frekuensi tinggi (10.000 Hz). DPOAE
(+BERA) digunakan untuk mendiagnosis auditori neuropati, monitoring pemakaian
obat ototoksik dan pemaparan bising, menentukan prognosis tuli mendadak (sudden
deafness) dan gangguan pendengaran lainnya yang disebabkan oleh kelainan koklea.
Gambar 14 Distortion Product OAE11
21
2.3.7 Aplikasi klinis pemeriksaan OAE
Aplikasi klinis dari pemeriksaan OAE terfokus untuk identifikasi gangguan
sensorineural perifer, walaupun diketahui bahwa kelainan di telinga luar dan telinga
tengah sangat mempengaruhi transmisi hantaran suara.11,12
Pemeriksaan OAE secara klinis dapat dibagi dalam beberapa kategori
yaitu:11,12
a. Aplikasi klinis pada anak
1) Skrining pendengaran bayi baru lahir
2) Diagnostik audiologi pediatric
3) Monitoring ototoksik
4) Pengukuran gangguan proses auditori
5) Pengukuran kemungkinan tuli fungsional (nonorganic)
b. Aplikasi klinis pada dewasa
1) Deteksi dini dari disfungsi koklear akibat bising
2) Monitoring siklus koklear pada potensial ototoksik
3) Membedakan disfungsi koklear dengan retrokoklear
4) Pengukuran kemungkinan tuli fungsional (nonorganic)
5) Konfirmasi adanya disfungsi koklear pada pasien dengan tinnitus
Gambar 15 Penggunaan OAE.12
22
2.3.8 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi OAE:12
a. Non patologi1) Kesalahan meletakkan probe2) Serumen yang menghalangi probe3) Debris atau benda asing pada meatus akustikus eksternus4) Vernix caseosa pada neonatus5) Pasien yang tidak kooperatif
b. Patologi1) Telinga luar :
a) Stenosisb) Otitis eksternac) Kista
2) Membran timpani : perforasi3) Telinga tengah
a) Tekanan telinga tengah yang abnormalb) Otosklerosisc) Disartikulasi telinga tengahd) Kolesteatomae) Kistaf) Otitis media
4) Kokleaa) Pemaparan obat-obat ototoksik atau pemaparan bisingb) Patologi koklear lainnya
2.3.9. Kondisi-kondisi yang menggambarkan abnormal OAE:11,15
a. Tinnitusb. Paparan bunyi bising yang berlebihanc. Ototoksikd. Kelainan vestibuler
2.3.10. Kondisi-kondisi yang menyebabkan normal OAE:11
a. Kehilangan pendengaran fungsionalb. Autismc. Neuropati pendengarand. Kerusakan pada sel rambut dalam tapi tidak pada sel rambut luar
23
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan pendengaran dapat terjadi pada semua manusia, terutama di zaman sekarang dengan lingkungan yang mempunyai tingkat kebisingan tinggi dari industri musik, lalu lintas, gaya hidup dan sebagainya. Umumnya gangguan pendengaran terjadi secara perlahan dan tanpa disadari pada awalnya. Antara 30% dan 35% dari individu di atas usia 65 mengalami gangguan pendengaran yang memadai untuk memerlukan alat bantu dengar. 40% dari masyarakat di atas usia 75 mengalami gangguan pendengaran.
Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan bicara, berbahasa, kognitif, masalah sosial, dan emosional. Identifikasi gangguan pendengaran secara dinidan intervensi yang sesuai sebelum usia 6 bulan terbukti dapat mencegah segala konsekuensi tersebut. The Joint Committee on Infant Hearing tahun 2000 merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan.
Untuk mendeteksi gangguan pendengaran terdapat banyak jenis pemeriksaan salah satunya yang kini berkembang dengan kemajuan teknologi yaitu pemeriksaan pendengaran objektif dengan menggunakan alat yang relatif aman dan mudah digunakan salah satunya alat emisi otoakustik (OAE) yang saat ini merupakan pemeriksaan baku emas terutama bagi anak-anak.
OAE merupakan skrining pendengaran yang dilakukan untuk mengetahui fungsi koklea di telinga dalam dan hasilnya merupakan respons koklea yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik, namun tidak dapat memberikan informasi tentang derajat gangguan pendengaran seorang bayi atau anak. Teknik pemeriksaan OAE bersifat obyektif, cepat, mudah,otomatis, non invasif, dengan sensitivitas mendekati 100%. Pemeriksaan OAE dikatakan objektif karena dapat langsung mengetahui fungsi koklea. Dengan demikian, pemeriksaan OAE diharapkan dapat mencegah ketulian ke tingkat yang lebih parah lagi dan rehabilitasi menggunakan alat bantu dengar juga dapat dilakukan sesegera mungkin.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Santoso HA; Ekorini, HS; Wiyadi MS. Deteksi Dini Gangguan fungsi Outer hair
Cell Cochlea Berdasarkan pemeriksaan Transient Evoked Otoakustik Emissions
serta Analisis Faktor Risiko Tinggi pada Bayi Pasca Perawatan di Ruang
Intermediet IRNA IKA RSUD dr. Soetomo. SMF Ilmu Kesehatan THT FK
UNAIR. 2009.
2. Boies, adams. Buku Ajar Penyakit THT .Edisi 6. Penerbit : EGC. Jakarta. 1997.
3. Ear: Structure of The Human Ear. In: Encyclopedia Brittanica Online. Available
from: URL: http://www.britannica.com/EBchecked/media/530/Structure-of-the-
human-ear. Acessed: August, 4th 2013.
4. Arsyad Soepardi, Efiaty; Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi
Resuti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala &
Leher; Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007.
5. Medicalook. Middle Ear Anatomy. Available from
http://www.medicalook.com/human_anatomy/organs/Middle_ear.html. 2007.[Di
akses pada tanggal 8 Maret 2015] ;
6. Rnceus. Middle Ear Anatomy. [Di akses pada tanggal 8 Maret 2015]; Available
from http://www.rnceus.com/otitis/otimid.htm8. 2008.
7. Dorland. Tympanic Membrane. [Di akses pada tanggal 8 Maret 2015];
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/tympanic+membrane. 2007.
8. Hall, John E. Guyton., Hall .Textbook of Medical Physiology. Publisher: Saunders. 2010.
9. Dorland. Eustachian Tube.[ Di akses pada tanggal 8 Maret 2015]; Available from
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/eustachian+tube. 2007.
10. Sherwood Laurale.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.Penerbit: EGC.
Jakarta . 2006.
11. Trihandani, Okti. Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik sebagai
Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir di RSUP. H.Adam Malik Medan dan
25
Balai Pelayanan Kesehatan Dr. Pringadi Medan. Tesis. Program Pendidikan
Dokter Spesialis THT-BKL USU. 2009.
12. Hall, James W. A Guide to Otoacoustic Emissions (OAE) for Otolaryngologists.
Maico. 2009.
13. Rundjan, Lily; dkk. Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus Risiko
Tinggi. Sari Pediatri, Vol.6, No.4, Maret 2005. P. 149-154.
14. Smith, Steven D. A Guide to Otoacoustic Emissions (OAE) for Physicians.
Maico Diagnostics. Alabama. 2005.
15. Campbell K.C.M. Otoacoustic Emissions. Department of Surgery, Division of
Otolaryngology, Southern Illionis University School of medicine. 2006.
(http://emedicine.medscape.com/article/835943-overview#showall.) Diakses 10
Maret 2015.
16. Sjarifuddin; Bashiruddin, Jenny; Alviandi, Widayat. Tuli Koklea dan tuli
Retrokolea. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung tenggorok kepala
dan leher. Edisi keenam. FKUI. 2007.
17. Suwento, Ronny; Zizlavsky, Semiramis; Hendarmin, Hendarto. Gangguan
Pendengaran pada Bayi dan Anak. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi keenam. FKUI. 2007.
18. Suwento, Ronny. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran / Ketulian.
(http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=7). Diakses: 31 juli 2013.
19. Ghanie, Abla. Aditiawati. Pentingnya Deteksi Dini Pendengaran dan
Intervensinya. In Clinical Approaches and Intervention of Growth and
developmental Disorders in Daily Practise. Naskah Lengkap. Departemen IKA,
FK Universitas Sriwijaya. 2013
26