Upload
others
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Didi Antoni
11150450000012
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Didi Antoni. NIM. 11150450000012. OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM. Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M.
Studi ini untuk menjelaskan otonomi daerah dan hubungan pemerintahan
pusat dengan pemerintah daerah dalam bidang keuangan, yang mengacu kepada
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini
juga untuk memahami bentuk otonomi daerah dalam pandangan hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Studi Kepustakaan (library
research), sehingga dalam penyelesaiannya harus dilakukan pengumpulan data
dengan menggunakan kaidah, teori, dalil, dan sebagainya supaya hasil kesimpulan
penelitian sejalan dengan persoalan yang penulis lakukan. Studi kepustakaan
dilakukan dengan menelusuri literatur, baik berupa buku-buku, undang-undang,
jurnal serta website yang berhubungan dengan tema penelitian.
Maka hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa, penyelenggaraan otonomi
daerah di Indonesia itu diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Adapun hubungan pemerintahan pusat dan pemerintah
daerah dalam bidang keuangan, pemerintahan pusat memberikan anggaran
pembiayan kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya
yang terbagi kedalam beberapa jenis anggaran. Sementara dalam ketatanegaraan
Islam mengenai pengelolaan keuangan dalam pandangan fiqh siyasah itu
dilaksanakan dalam dua bentuk yaitu Bait al-Mal dan kebijakan fiskal.
Kata kunci : Otonomi Daerah
Pembimbing : Atep Abdurofiq, M. SI.
Daftar pustaka : Tahun 1979 s/d Tahun 2018
v
KATA PENGANTAR
حيم ن ٱلره حم ٱلره بسم ٱلله
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan
kesehatan, kekuatan, serta petunjuk. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “OTONOMI DAERAH DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
KETATANEGARAAN ISLAM”. Sebagai pelengkap syarat guna mencapai gelar
sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad Saw, serta para keluarga, sahabat, dan kita sebagai
pengikutnya.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tidak sedikit
hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan dan
kesabaran serta do’a dan dukungan dari berbagai pihak, baik keluarga, para sahabat,
bapak dan ibu dosen, dan khususnya bapak dosen pembimbing. Hambatan dan
kesulitan tersebut dapat diatasi dengan baik karena itu, penulis sangat berterimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu, baik berupa pemikiran, saran, dukungan,
serta do’a. Terutama kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan segenap civitas akademika.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, SH,. M.H., M.A, Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Sri Hidayati, M. Ag, dan Dr. Hj. Masyrofah, S. Ag. M. SI. Ketua dan
Sekertaris Program Studi Hukum Tata Negara (siyasah), Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Bapak Atep Abdurofiq, M. SI. Dosen pembimbing skripsi, yang begitu sabar
meluangkan waktunya ditengah kesibukan untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
vi
5. Kepada seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepada
Dosen Program Studi Hukum Tata Negara (siyasah), yang telah mengajarkan
penulis selama perkuliahan berlangsung dengan sabar dan ikhlas.
6. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA. Dosen Penasehat Akademik, yang
telah memberikan semangat dan pemikirannhya.
7. Bapak dan ibu tercinta, bapak Amad bin Sarta dan ibu Duri yang telah
mencurahkan segala usaha dan do’a untuk kesuksesan dan kelancaran penulis
dalam menyelesaikan studi ini. Serta kakak dan tetehku yang telah
memberikan warna dan semangat dalam proses studi ini, terimakasih banyak.
8. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan Fakultas Syariah
dan Hukum, dan perpustakaan utama Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan.
9. Keluarga besar Hukum Tata Negara (siyasah) 2015, yang selalu memberikan
warna didalam kelas saat jam-jam perkuliahan berlangsung. Semoga
kebersamaan kita akan yang kurang lebih 4 tahun menjadi penyemangat untuk
terus melaju kedepan, menggapai cita-cita, dan semoga sukses selalu
menyertai kita semua, Aamiiin
10. Teman-teman kosan, Wamos, Syauqi, Wahyu, Yusup, Samiaji, dan Yusep,
yang telah memberikan semangat dan do’anya.
11. Teman-teman sekarib, Adi Wahyu Nugroho, Sarhani, Moch Mansyur, Hasbi
Ash, dan Wahyu Solehudin, yang selalu bersama dan memberikan warna
dalam kehidupan ini serta memeberikan semangat dan juga dukungan dalam
menyelesaikan studi ini.
12. Teman-teman KKN PADI 172 yang telah memberikan semangat dan doanya
terkhusus kepada Nurul Aeni yang telah memberi dukungan dan semangat
lebih kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Dan teman-teman semua yang secara langsung maupun tidak langsung ikut
andil dalam memacu, memotivasi agar dapat menyelesaikan skriupsi ini,
vii
khususnya kepada Entu Datul Qomariyah, dan Riszkeu Septia Lestari yang
telah memberikan semangat, motivasi, dan do’anya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada semua
pihak, yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini, baik terlibat secara
langsung mauoun tidak langsung, baik bertupa semangat, pemikiran maupun
do’anya dalam penyusunan skripsi ini. Semoga Allah Swt membalas kebaikan
semuanya dan semoga langkah kita semua di ridhai dan di berkahi Allah Sw.
Akhir kalimat, semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Jakarta, 8 November 2019
DIDI ANTON
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................iii
ABSTRAK ..................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................v
DAFTAR ISI .............................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................1
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah .......................................9
1. Identifikasi Masalah...............................................................................9
2. Pembatasan Masalah..............................................................................9
3. Peruumusan Masalah.............................................................................9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................10
D. Metodologi Penelitian ...............................................................................10
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian .........................................................10
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data .............................................11
3. Teknik Pengolahan Data .....................................................................12
4. Teknik Analisis Data ..........................................................................12
5. Teknik Penulisan ................................................................................13
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................13
F. Sistematika Pembahasan ...........................................................................15
BAB II OTONOMI DAERAH DI INDONESIA ...................................................16
A. Bentuk dan Sistem Pemerintahan .......................................................16
B. Pengertian Otonomi Daerah ...............................................................20
C. Asas-asas Pelaksanaan Otonomi Daerah ............................................23
ix
D. Landasan Konstitusional Penyelenggaraan Otonomi Daerah di
Indonesia............................................................................................28
E. Sejarah Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ...........................31
BAB III OTONOMI DALAM KETATANEGARAAN ISLAM .........................37
A. Bentuk Negara dan Pemerintahan dalam Islam .................................37
B. Sistem Pemerintahan dalam Islam .....................................................40
1. Pemerintahan dalam Piagam Madinah .........................................41
2. Sistem Kesultanan, Khilafah, dan Keemiran ...............................45
BAB IV ANALISIS OTONOMI DAERAH DI INDONESIA DAN
KETATANEGARAAN ISLAM .............................................................................55
A. Otonomi Daerah di Indonesia Mengenai Hubungan Pusat dan Daerah
dalam Bidang Keuangan ..........................................................................55
B. Pandangan Fiqh Siyasah Terhadap Pengelolaan Keuangan dan hubungan
pemerintahan Pusat dan Daerah ................................................................60
BAB V PENUTUP ....................................................................................................67
A. Kesimpulan ...............................................................................................67
B. Saran .........................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia sejak menyatakan kemerdekannya pada tanggal 17
agustus 1945 sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dalam
perkembangan dan pertumbuhannya mengalami pasang surut sesuai dengan
situasi dan kondisi struktural politik pada waktu itu. Begitu pula halnya
dengan pemerintahan di daerah, sebagai konsekuensi logis dari isi dan
penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 telah dilengkapi dengan
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.1
Pemberlakuan otonomi daerah atau sistem desentralisasi di Indonesia,
sebagai suatu negara kesatuan mulai berlaku dan berkembang mulai dari
berahirnya orde baru, dan berganti reformasi yang di tandai dengan
pemberhentian presiden ke-2 yaitu soeharto. Bangsa Indonesia tengah
menjalankan upaya desentralisasi yang paling cepat dan pasif yang pernah
ada dalam sejarah. Gerakan desentralisasi ini dimotori oleh kekuatan-
kekuatan politik yang muncul sejak jatuhnya pemerintahan soeharto. Dan dari
peristiwa ini beralihnya sistem sentralisasi menjadi desentralisasi atau biasa
disebut dengan otonomi daerah.
Desentralisasi merupakan sebuah konsep yang mengisyaratkan
adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurus wilayahnya sendiri. Desentralisasi bertujuan agar
pemerintah lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas fungsi-fungsi
pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat. Artinya desentralisasi
1 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, ( Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1996), h. 12
2
menunjukkan sebuah bangunan vertikal dari bentuk kekuasaan negara di
Indonesia, dianutnya Desentralisasi kemudian diwujudkan dalam bentuk
kebijakan otonomi daerah.1
Sistem desentralisasi dalam negara Indonesia atau dikenal dengan
otonomi daerah adalah wacana yang hangat untuk dibicarakan dan
diperdebatkan. Karena menyangkut bagaimana upaya negara untuk
mensejahterakan rakyat Indonesia, Wacana otonomi daerah menguat di tahun
1990-an. Dalam kurun waktu cukup lama, Indonesia telah melaksanakan
pemerintahan yang terpusat dengan paradigma pembangunan sebagai
landasan nilai yang menjadi acuan kebijakan pemerintah. Sistem sentralistik
yang mengakar kuat dan mendarah daging membuat isu desentralisasi atau
otonomi daerah menjadi barang asing yang bahkan definisinya pun tidak
mudah untuk dipahami. Pembangunan daerah juga tidak berkembang dan
masalah didaerah belum juga dapat terselesaikan hingga saat ini. Meskipun
keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah tidak cukup meredam tuntutan
aspirasi daerah.2
Otonomi daerah sendiri yang mempunyai pengertian sebagai sebuah
konsep dasar merupakan sebuah penyerahan atau pelimpahan kewenangan
yang diberikan oleh pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya secara mandiri tanpa ada
campur tangan urusan pemerintahan pusat didalamnya yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain
1 Sakinah Nadir, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa, Jurnak Politik Profetik Volum 1
Nomor 1 Tahun 2013, h. 1
2Pheni Chalid, Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, (Jakarta:
Kemitraan,2005), h. 21.
3
berdasarkan pada aturan-aturan hukum, juga sebagai penetapan tuntutan
globalisasi yang wajib diberdayakan dengan cara memberikan kewenangan
yang lebih luas kepada daerah, lebih nyata dan bertanggung jawab, utamanya
dalam menggali, mengatur, dan memamfaatkan potensi besar yang ada di
masing-masing daerah.
Sedangkan pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 sebagai amandemen atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.3
Sedangkan desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah oleh
Pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.4
Pengertian otonomi daerah secara umum, yakni adanya kewenangan
yang melekat pada suatu organisasi atau unit dalam organisasi, untuk
mengembangkan fungsi-fungsi tertentu. Dalam kontek pemerintahan,
Otonomi biasanya dilihat dari tiga dimensi. Pertama, otonomi negara dalam
berhubungan yang ada dalam masyarakat (terutama masyarakat ekonomi dan
partai politik). Kedua, otonomi pemerintah daerah dalam hubungan dengan
pemerintah pusat. Ketiga, otonomi unit-unit bawahan dalam organisasi
pemerintahan hubungan dengan unit yang lebih tinggi. Dalam ketiga dimensi
itu terkandung satu muatan nilai pokok, yaitu adanya keleluasaan untuk
berprakarsa dan berkreasi. Implikasi dari adanya otonomi adalah tumbuhnya
suasana kompetisi yang sehat untuk mengejar kemajuan bersama.5
3 Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
4 Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
5 Ian Worotikan, Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1995) h. 30-31.
4
Tujuan yang hendak dicapai dalam pemberian otonomi daerah adalah:
“terwujudnya otonomi daerah yang nyata dinamis dan bertanggung jawab”
otonomi yang nyata berarti bahwa pemberian otonomi kepada daerah adalah
didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-
tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar menjamin
daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangga di daerahnya.
Daerah yang bersangkutan dalam melayani publik haruslah merata sesuai
dengan kepentingan masyrakat yang ada di daerah otonom tersebut. 6
Sedangkan otonomi daerah yang dinamis berarti pemberian otonomi
kepada daerah yang didasarkan pada situasi, kondisi dan berkembang
pembangunan. Selanjutnya pengertian otonomi yang bertanggung jawab
berarti bahwa pemberian otonomi daerah benar-benar sejalan dengan
tujuannya, yaitu memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air
tanpa ada pertentangan antara kebijaksaan yang diberikan oleh pemerintah
daerah serta pelaksanaan operasional yang dilaksanakan oleh daerah
penerima otonomi, sehingga pembangunan daerah merupakan rangkaian
pembangunan nasional secara menyeluruh.7
Desentralisasi bukan merupakan pilihan yang mudah bagi Indonesia.
Dengan wilayah geografis yang sangat luas yang terurai dalam puluhan ribu
pulau, serta masyarakat yang sangat heterogen, desentralisasi memang
seringkali menjadi dilema. Apresiasi terhadap keberagaman menuntut
desentralisasi yang pada gilirannya melahirkan otonomi daerah. Penghargaan
ini bisa menghasilkan dukungan daerah terhadap pemerintah nasional. Oleh
6 Ian Worotikan, Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, h. 11
7 Ian Worotikan, Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, h. 11
5
karena itu, negara Indonesia memulai perjalanannya dengan pilihan
pemerintahan yang desentralisasi.8
Desentralisasi melahirkan otonomi yang membuat pusat kehilangan
kendali, maka desentralisasi juga sering dianggap sebagai sumber masalah.
Inilah kurang lebih interpretasi yang dikembangkan oleh pemerintahan orde
baru yang menjadi basis bagi terbangunnya pemerintahan yang sentralistis.
Namun, seperti telah diduga sejak awal, pemerintahan yang sentralistis
semacam ini telah menuai rentetan protes yang sangat panjang. Oleh karena
itu, secara umum muncul kesadaran bahwa sentralisasi pemerintahan bukan
pilihan yang tepat dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.9
Otonomi daerah yang dirangsang oleh gerakan reformasi merupakan
upaya konstitusional untuk meningkatkan keadilan dan pemerataan antara
pembangunan nasional yang terpusat dengan pembangunan daerah serta
untuk meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah. Masalah pokok
dalam otonomi daerah adalah proses pemberdayaan daerah secara
keseluruhan dalam rangka menopang kemandirian dalam kebersamaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah dipandang
sebagai sistem yang memungkinkan daerah memiliki kemampuan untuk
mengoptimalkan potensi terbaik yang dimiliki daerah dan mendorong daerah
untuk berkembang sesuai dengan karakteristik ekonomi, geografis dan sosial
budaya di daerah yang bersangkutan.10
8 Abdul Gaffar Karim, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), h. 33
9 Abdul Gaffar Karim, Komple ksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, h. 34
10 Ismira, Konsep Otonomi Daerah dalam Perspektif Hukum Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, program Hukum Pidana dan Ketatanegaran, (UIN Alauddin Makassar, 2017), h. 7
6
Dalam negara kesatuan tanggungjawab pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Akan
tetapi, karena sistem pemerintahan Indonesia salah satunya menganut asas
negara kesatuan yang disentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang
oleh pemerintah pusat diserahkan sepenuhnya kepada daerah untuk diatur dan
diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang
melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.11 Negara
kesatuan merupakan landasan batas tersebut dan pengertian otonomi.
Berdasarkan landas batas tersebut dikembangkanlah berbagai peraturan yang
mengatur mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan antara tuntutan
kesatuan dan tuntutan otonomi.12
Sementara dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah orang
yang diberi amanat oleh Allah swt, untuk memimpin rakyat, yang di akhirat
kelak akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah swt. Oleh karena itu,
seorang pemimpin hendaknya jangan menggap dirinya sebagai manusia super
yang bebas dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi,
sebaliknya ia harus memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom
masyarakat.13 Hal ini berdasarkan firman Allah dalam QS al-Nisa ayat 58.
أهلها ت إلى ن يأمركم أن تؤدوا ٱلم عدل لناس أن تحكموا بٱل ٱمتم بين ذا حك إ و ۞إن ٱلل
ا بص كان سميع ا يعظكم بهۦ إن ٱلل نعم ٥٨ يراإن ٱلل
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
11 Syamsuddin Rajab, Syariat Islam dalam Negara Hukum, (Makassar: Alauddin Press,
2011), h. 45.
12 Syamsuddin Rajab, Syariat Islam dalam Negara Hukum, h. 45
13 Ismira, Konsep Otonomi Daerah dalam Perspektif Hukum Islam h. 10
7
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesunguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Dalam praktik sejarah politik umat Islam, sejak zaman Rasulullah
saw hingga al-Khulafa al-Rasyidun jelas tampak bahwa Islam dipraktikkan di
dalam ketatanegaraan sebagai Negara Kesatuan, dimana kekuasaan terletak
pada pemerintah pusat, gubernur-gubernur dan panglima-panglima yang
diangkat serta diberhentikan oleh khalifah.14
Masa pemerintahan daerah masih “al-Imarah al-Khaṣhah” di zaman
Nabi dan khalifah Abu Bakar, maupun sesudah menjadi “al-Imarah al-
Ammah” yang dimulai oleh khalifah Umar, negara Islam masih tetap
merupakan negara kesatuan. Tetapi setelah pemerintahan daerah menjadi
“al-Imarah al-Istila’” barulah berubah bentuk menjadi negara federasi.
Muhammad Kurdi Ali mengatakan bahwa pemerintahan daerah di zaman
khalifah Mansur, masih tetap desentralisasi atau daerah-daerah otonom.15
Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu
sama lain, yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Uluwiyah di Mesir
dan Daulah Umawiyah di Andalusia. Meskipun ketiga pemerintahan itu
terpisah, akan tetapi kaum muslimin sebagai umat dimana saja dia berada,
bahasa apa saja yang ia pakai dan ke dalam kebangsaan apapun dia termasuk,
dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain.
Oleh karena itu, walaupun dunia Islam pada waktu itu terpecah menjadi tiga
pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya
menganggap ketiga-tiganya ada di dalam wilayah darul Islam.
14 Ismira, Konsep Otonomi Daerah dalam Perspektif Hukum Islam h. 10
15 Zaenal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, (Jakarta: Pustaka Iqro, 1956), h, 182-
183.
8
Model Negara Kesatuan Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat
muslim di zaman sekarang tidak lagi dalam bentuk negara yang wilayahnya
berskala internasional seperti pada masa dinasti-dinasti Islam masa lalu,
melainkan dalam bentuk negara bangsa (nation-state). Kini, umat Islam
mempraktikkan negara kesatuan Islam dalam bentuk negara bangsa(nation-
state) sebagai respons terhadap konteks Negara-Negara yang berkembang di
masa sekarang. 16
Indonesia adalah salah satu negara yang mempraktikkan Negara
kesatuan dalam bentuk negara bangsa dan menganut sistem kepemerintahan
yang sama seperti masa ketika Islam masih menjadi negara kesatuan di masa
kejayaannya yaitu dengan desentralisasi atau otonom. Jika dilihat dalam
kajian fiqh siyasah, maka persoalan tentang kepemerintahan daerah ini akan
masuk dalam pembahasan siyasah dusturiyah, karena siyasah dusturiyah
membahas tentang hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di
pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam
masyarakatnya.
Maka penulis memandang bahwa membahas mengenai “Otonomi
Daerah di Indonesia dalam Perspektif Ketatanegaran Islam” ini penting
dikaji, Mengingat kesimpangsiuran terhadap pelaksanaan otonomi daerah dan
kewenangan yang dilakukan oleh pemerintahan daerah. dengan penelitian
skripsi ini dapat menambah referensi baru mengenai keilmuan yang
membahas kewenangan otonomi daerah dalam perspektif ketatanegaran
islam, dengan metode penelitian yang penulis lakukan pada penulisan skripsi
ini.
16 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah “Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam” (Jakarta: Erlangga, 2008), h, 201.
9
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan-pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Upaya dalam menjalankan sistem desentralisasi atau otonomi daerah
yang merupakan tugas pembantuan yang di berikan pemerintahan pusat
kepada pemerintahan daerah sebagai wakil dari pemerintahan pusat dalam
mengatur urusan daerahnya. Adapun identifikasi masalah yang penulis
dapatkan dari kajian ini antara lain:
a. Adanya otonomi penuh berarti pemerintahan sendiri dalam artian
pemerintah daerah memiliki hak dan kekuasaan penuh di dalam
mengatur dan mengurus daerahnya.
b. Adanya bentuk otonomi daerah tidak memberikan jaminan daerah
dapat hidup sejahtera
c. Adanya ketidak setabilan otonomi daerah yang di serahkan pusat.
d. Adanya pemanfaatan otonomi daerah bagi orang-orang yang
berkepentingan
2. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan, maka pembahasan dalam penulisan
ini hanya terbatas pada hubungan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah
dalam bidang keuangan dari otonomi daerah yang di berikan pusat kepada
daerah secara asas otonomi.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar bekang diatas maka sub-sub masalah
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana otonomi daerah di Indonesia mengenai hubungan
pemerintahan pusat dan pemerintah daerah dalam bidang
keuangan?.
b. Bagaimana pandangan fiqh siyasah terhadap pengelolaan
keuangan dan hubungan pemerintahan pusat dan daerah?.
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya.
a. Untuk mengetahui pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia.
b. Untuk mengetahui pengelolaan keuangan di Indonesia dan dalam
pandangan fiqh siyasah.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memberikan pemahaman tentang otonomi daerah di
Indonesia dalam bidang keuangan antara pemerintahan pusat dan
pemerintah daerah kepada seluruh warga masyarakat dan terutama
mahasiswa yang bergelut di dunia hukum.
b. Secara akademis penelitian ini merupakan syarat untuk meraih
gelar Sarjana Hukum dalam Program Hukum Tata Negara Islam
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan pendekatan penelitian
Dalam penelitian ini penulis menyusun denganm penelitian
kepustakan (library reseach). Jenis penelitian ini dapat di definisan
sebagai suatu penelitan yang diarahkan dan difokuskan untuk mentelaah
dan membahas bahan-bahan pustaka baik berupa buku-buku, kitab-kitab,,
jurnal-jurnal yang relevan dengan penelitian yang menggunakan buku-
buku sebagai sumber datanya.
Sementara Dalam pelaksanaan penelitian, penulis menggunakan
pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan Teologis Normatif (Syar’i), pendekatan ini dimaksudkan
untuk mengarahkan pemahaman masyarakat, praktisi hukum, dan para
mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk
lebih memahami mengenai otonomi daerah dalam pandangan Islam
dan Indonesia,
11
b. Pendekatan Yuridis Formal, Pendekatan ini dimaksudkan untuk
mengarahkan pemahaman masyarakat, praktisi hukum, dan para
mahasiswa mengenai otonomi daerah.
2. Sumber dan teknik pengumpulan data
Dalam penulisan skripsi ini menggunakan sumber data, yaitu
sebagai berikut:
a. Data primer, adalah semua bahan tertulis yang berasal
langsung atau asli dari sumber pertama yang membahas
masalah yang dikaji. Seperti buku-buku yang berkaitan dengan
hukum Tata Negara baik menurut hukum positifnya maupun
menurut Islam. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat dan terdiri dari Undang-undang, norma
atau kaedah dasar yaitu:
1. Undang-undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, perubahan atas Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004.
b. Data sekunder, adalah semua bahan tertulis yang berasal tidak
langsung atau asli dari sumber pertama yang membahas
masalah yang dikaji. Antara lain mencakup dokumen-
dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan,
dan sebagainya.17 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti misalnya, rancangan Undang-undang, hasil-hasil
penelitian, dan sebagainya.
17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 30
12
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus (hukum) , dan ensiklopedi.18
3. Teknik Pengolahan data
Adapun langkah-langkah dalam mengolah data adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi data, yaitu memilih dari beberapa sumber buku yang
berkaitan dengan topik penelitian
2. Editing data adalah pemeriksaan kembali dari data-data yang
diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna dan
kesinambungan makna antara yang satu dengan yang lain.
4. Teknik analisis data
Data dokumentatif dalam penelitian ini berupa fakta yang dinyatakan
dengan kalimat, pembahasan, dan analisisnya mengutamakan penafsiran-
penafsiran objektif yaitu berupa telaah mendalam atas suatu masalah. Data
penelitian diuraikan dengan analisis isi, analisis deskriptif, dan analisis atau
jenis analisis lain yang relevan dengan fokus penelitiannya.
5. Teknik penulisan
Pada skipsi ini, penulis menggunakan metode penulisan skripsi yang
mengacu pada pedoman penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Sejumlah penelitian tentang skripsi ini telah dilakukan, baik yang
mengkaji secara umum maupun baik yang menyinggung secara spesifik.
Berikut adalah paparan umum atas sebagian karya penelitian terkait mengenai
otonomi daerah.
18 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, h. 31-32
13
Karya Ilmiah (skripsi) Fikhan Harusi yang berjudul Otonomi Daerah
di Indonesia (StudI Kasus Daerah Kota Madya Depok).19 Penelitian ini
menjelaskan mengenai konsep otonomi daerah di Indonesia dengan
penerapannya di kota madya depok. Dari penelitian tersebut kita bisa melihat
konsep pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia dengan penerapannya di
kota depok, untuk melihat hasil dari pada wujud asas desentralisasi pada awal
pemberlakuan. Sementara yang membedakan dengan penulis dalam
penelitian ini yaitu skripsi ini lebih kebagaimana pemberlakuan otonomi
daerah mengenai hubungan pusat dan daerah dalam menjalankan pengaturan
dana keuangan atau pengalokasian keuangan yang diberikan pusat kepada
daerah.
Skripsi Ismira yang berjudul “Konsep Otonomi Daerah dalam
Perspektif Hukum Islam”20. Dalam penelitiannya ini menjelaskan bagaimana
pemberlakuan otonomi daerah di dalam aturan hukum Islam , dengan melihat
syariat-syariat yang diatur oleh Al-Quran, sunah, dan spinsip-prinsip ajaran
hukum Islam. Dan otonomi daerah di Indonesia mengenai hubungan pusat
dan daerah dalam bidang kewenangan. Sementara yang menjadi pembeda
dengan penelitian skripsi yang penulis bahas disini yaitu lebih ke hubungan
pusat dan daerah dalam bidang keuangan yang diberikan pemerintahan pusat
kepada daerah.
Skripsi Reka Marsela yang berjudul “Pelaksanan Otonomi Desa
Menurut Fiqh Siyasah”21 dalam penelitian ini menjeskan menengenai
pelaksanaan otonomi desa pada pemerintahan Desa Negeri Campak Jaya,
19 Fikhan Harusi, Otonomi Daerah di Indonesia (study kasus daerah kota madya depok),
Fakultas Ushuluddin dan filsafat jurusan akidah filsafat program study pemikiran politik islam, (UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 87
20 Ismira, Konsep Otonomi Daerah dalam Perspektif Hukum Islam, h. 89
21 Reka Marsela, Pelaksanan Otonomi Desa Menurut Fiqh Siyasah, Fakultas Syariah Jurusan
Hukum Tana Negara, (UIN Raden Intan Lampung, 2018), h. 86
14
yang dilhat dari aspek komunikasi internal, tertib administrasi
penyelenggaran otonomi, kerjasama antar aparat dengan masyarakat, dan
kredibilitas aparat. Sementara yang menjadi pembeda dengan penelitian yang
ditulis dalak skripsi ini yaitu penelitian ini lebih ke otonomi daerah yang
cakupannya lebih luas yaitu lebih ke pemerintahan yang ada di tingkat
provinsi dan kabupaten atau kota mengenai hubungan pusat dan daerah dalam
bidang keuangan,
Berdasarkan kajian terdahulu diatas penulis menemukan adanya
kesamaan dalam materi penelitian pada judul yang penulis angkat, namun
dalam kajian yang penulis teliti berbeda subjek, dan konsepnya. Dalam
penelitian ini penulis memfokuskan pembahasannya pada pandangan hukum
islam atau hukum ketatanegaran islam mengenai otonomi daerah atau
pemerintahan daerah mengenai kewenangan dari kepala daerah sebagai
palaksana dari pemerintahan daerah dengan asas otonom dan dikaitkan
dengan pemberlakuan di Indonesia. Namun demikian, beberapa karya diatas
akan penulis jadikan sebagai rujukan untuk menambah ketajaman saat
analisis nantinya.
F. Sistematika Pembahasan
Dalam hal sistematika pembahasan, penulis membagi pembahasan
kedalam lima bab, yang disusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulisan akan membahas: Latar
Belakang Masalah, identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah, tujuan
dan fanfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika
Penulisan.
Bab II, pada bab ini penulis akan menjelaskan otonomi daerah di
Indonesia mengenai: bentuk dan sistem pemerintahan, pengertian, asas-asas,
dan sejarah pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
15
Bab III, pada bab ini penulis akan menjelaskan otonomi daerah dalam
pandangan fiqh siyasah atau ketatanegaran islam mengenai: bentuk dan
sistem pemerintahan dalam islam.
Bab IV, pada bab ini penulis akan menjelaskan analisis otonomi
daerah di Indonesia dan otonomi daerah dalam ketatanegaran islam (fiqh
siyasah).
Bab V, pada bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan dari bab-
bab sebelumnya serta memberikan saran atau masukan mengenai tema yang
dibahas
16
BAB II
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
A. Bentuk dan Sistem Pemerintahan
Bentuk negara merupakan hal yang sangat penting dalam suatu negara.
Hal ini didasari bahwa dalam kehidupan ketatanegaraan perlu adanya suatu
hubungan yang jelas antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah.
Tujuan akhir dari adanya bentuk negara adalah sebagai landasan dalam
mewudkan tujuan dari negara. Bentuk negara dalam suatu negara menggaris
bahawi secara jelas tentang tanggung jawab setiap pemerintahan baik itu
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam kehidupan ketatanegaraan
negara-negara di dunia dikenal dua bentuk negara yang sangat dominan dipakai
oleh sebuah negara,yaitu bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal.
Dikatakan oleh ni’matul huda “negara kesatuan dideklarasikan oleh para
pendirinya saat kemerdekaan dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai
bagian dari suatu negara, negara tidak dibentuk berdasarkan kesepakatan, setelah
itu baru dibentuk wilayah atau daerah di bawahnya. Kewenangan yang didapat
oleh daerah merupakan pelimpahan dari pemerintah pusat untuk diatur sebagian.1
Dalam beberapa literatur hukum dan penggunannya sehari-hari, konsep
bentuk negara (staats-vorm) sering diacampuradukkan dengan konsep bentuk
pemerintahan (regerings-vorm). Hal ini juga tercermin dalam Konstitusi Negara
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (1) yang
menyebutkan, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik”. Dari pasal ini the founding fathers Indonesia sangat menekankan
pentingnya konsepsi negara Kesatuan sebagai definisi hakiki negara Indonesia.
1 Ni’matul Huda, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, pilihan atas federasi atau negara
kesatuan, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 22.
17
Bentuk dari negara kesatuan Indonesia itu ialah republik. Jadi, jelaslah bahwa
konsep bentuk negara adalah republik yang merupakan pilihan lain dari kerajaan
(monarki) yang telah ditolak oleh para anggota BPUPKI mengenai kemungkinan
penerapannya untuk Indonesia Modern.1
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu di jelaskan perbedaan dasar antara
pengertian bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan. Ketiga
istilah tersebut sebaiknya tidak dipertukarkan satu sama lain, sehingga tidak
menimbulkan kesalah pahaman dalam praktiknya. Negara jika ditinjau dari segi
susunannya akan menimbulkan dua bentuk yaitu:2
1. Bentuk Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,
seperti halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya tunggal,
artinya ada satu negara tidak ada negara di dalam negara. Jadi, negara
kesatuan itu hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang
mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan
pemerintahan. Pemerintah pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan
tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu dalam negara tersebut.3
2. Bentuk Negara Federasi
Negara federasi adalah negara yang tersusun dari pada beberapa negara
yang semula berdiri sendiri-sendiri dan kemudian negara mengadakan ikatan
kerjasama yang efektif, tetapi di samping itu, negara-negara tersebut masih
1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Ed. II; Cet. I; Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), h. 209.
2 Ismira, Konsep Otonomi Daerah dalam Perspektif Hukum Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, program Hukum Pidana dan Ketatanegaran, (UIN Alauddin Makassar, 2017), h. 21.
3 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara (Ed. I; Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 64-65.
18
ingin mempunyai wewenang yang dapat diurus sendiri. Jadi di sini tidaklah
semua urusan diserahkan kepada pemerintah gabungannya, atau pemerintah
federal, tetapi masih ada beberapa urusan tertentu yang tetap diurus sendiri.
Biasanya urusan-urusan yang diserahkan oleh pemerintah negara-negara
bagian kepada pemerintah federal, adalah urusan-urusan yang menyangkut
kepentingan bersama dari pada semua negara-negara bagian tersebut,
misalnya urusan keuangan, urusan angkatan bersenjata, urusan pertahanan
dan sebagainya.4
Perbincangan mengenai bentuk pemerintahan berkaitan dengan
pilihan antara:5
1. Bentuk kerajaan (monarki), yaitu negara yang dikepalai oleh seorang raja
dan bersifat turun temurun dan menjabat seumur hidup.
2. Bentuk republik yaitu negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai
oleh seorang presiden sebagai kepala negara yang dipilih oleh rakyat
untuk masa jabatan, dan biasanya Presiden dapat dipilih kembali sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan mengenai sistem pemerintahan ada beberapa pilihan antara
lain:
1. Sistem pemerintahan presidensial.
2. Sistem pemerintahan parlementer.
3. Sistem pemerintahan campuran.
4. Dan sistem pemerintahan collegial
Maka dari konsep tersebut, bangsa Indonesia sejak kemerdekaan pada
tahun 1945 cenderung mengidealkan bentuk negara kesatuan, bentuk
4 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, h. 65.
5 Ismira, Konsep Otonomi Daerah dalam Perspektif Hukum Islam, h. 22
19
pemerintahan republik, dan sistem pemerintahan presidensial.6 Bentuk negara
Indonesia adalah berbentuk negara kesatuan, pernyatan ini secara tegas
menyatakan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang tertuang dalam
UUD 1945 pasal 1ayat (1) yang berpunyi “Negara Indonesia ialah negara
kesatuan yang berbentuk Republik”. Pasal-pasal dalam UUD 1945 telah
memperkukuh prinsip NKRI, di antaranya pada pasal 1 ayat (1), pasal 18 ayat
(1), pasal 18B ayat (2), pasal 25A, dan pasal 37 ayat (5). Selain itu, wujud
negara kesatuan tersebut semakin diperkuat setelah dilakukan perubahan atas
UUD 1945. Perubahan tersebut dimulai dari adanya kesepakatan MPR yang
salah satunya adalah tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 dan tetap
mempertahankan NKRI sebagai bentuk final negara bagi bangsa Indonesia.
Negara kesatauan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa
negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada negara di
dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu
pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta
wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan
kebijakan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat
maupun di daerah-daerah.7 Berbeda dengan negara federasi, lebih lanjut
Soehino menjelaskan, negara federasi adalah negara yang bersusunan jamak,
maksudnya negara ini tersusun dari beberapa negara yang semula telah
berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai
Undang-undang Dasar sendiri, tetapi kemudian karena sesuatu kepentingan,
dalam kepentingan politik, ekonomi atau kepentingan lainnya. Negara-negara
tersebut saling menggabungkan diri untuk membentuk suatu ikatan kerjasama
yang efektif. Namun disamping itu, negara-negara saling meggabungkan diri
6 C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), h. 18.
7 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 224.
20
tersebut kemudian disebut negara bagian, masih ingin mempunyai urusan-
urusan pemerintahan yang berwenang dan dapat diatur dan di urus sendiri, di
samping urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan di urus bersama-
sama oleh ikatan kerjasamanya tersebut.8
Dalam negara kesatuan dibagi kedalam 2 bentuk, yang pertama
negara kesatuan dengan sentralisasi yaitu segala sesuatu urusan negara
langsung diatur dan diurus oleh pemerintahan pusat dan daerah tingal
melaksanakannya, dan yang kedua adalah negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi yaitu daerah diberikan kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri.
Indonesia yang merupakan sebuah negara kesatuan dengan prinsip
otonomi yang seluas-luasnya. Dengan menempatkan pemerintah pusat
sebagai otoritas tertinggi sedangkan wilayah-wilayah administratif di
bawahnya hanya menjalankan kekuasaan yang dipilih oleh pemerintah pusat
untuk didelegasikan. Wilayah administratif di dalam negara Indonesia saat
ini terbagi menjadi 34 provinsi.
B. Pengertian Otonom Daerah
Istilah otonomi secara etimologis otonomi berarti pemerintahan
sendiri yang merupakan kesatuan dari dua kata yaitu “auto” yang berarti
“sendiri”, dan “nomes” yang berarti “pemerintahan”. Dalam bahasa yunani,
otonomi berasal dari autos yang berarti sendiri dan nemein yang bebrarti
kekuatan mengatur sendiri. Dengan demikian, secara maknawi otonomi
mengandung makna kemandirian dan kebebasan daerah dalam menentukan
langkah-langkah sendiri.9 Otonomi daerah adalah sebagai kesatuan
8 Soehino, Ilmu Negara, h. 226
9 hendra kariangan, Politik Hukum dalam Mengelola Keuangan Daerah, (Jakarta:kencana,
2013), h. 75-76
21
masyarakat hukum yang berwenang mengatur kepentingan masyarakat
setempat menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat,10 Dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai pengertian otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi Daerah sering disamakan dengan kata desentralisasi, karena
biarpun secara teori terpisah namun dalam praktiknya keduanya sukar
dipisahkan. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian
kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi
daerah menyangkut hak yang mengikuti. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mendefinisikan desentralisasi adalah wewenang dari pemerintah pusat yang
berada di ibu kota, melalui cara dekonsentrasi antara lain pendelegasian
kepada pejabat di bawahnya maupun pendelegasian kepada pemerintah atau
perwakilan daerah, sedang otonomi daerah yang merupan salah satu wujud
desentralisasi, adapun dalam arti luas, otonomi daerah adalah kemandirian
suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai
kepentingan daerahnya sendiri.
Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai
mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya.
Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandrian suatu daerah dalam
kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendri.11
Menurut pendapat lain, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan otonomi
10 Haw widjaja, penyelenggaran otonomi di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada;2005), h. 19
11 Ubedilah, Demokrasi, HAM,dan Masyarakat Madani,, (Jakarta: Indonesia Center for Civic
Education, 2000), h. 170
22
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut pelaksanaannya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonomi sendiri adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.12 Salah satu aspek penting otonomi
daerah adalah pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka dapat
berpatisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakan, dan
pengawasan dalam pengelolaan pemerintah daerah dalam penggunaan
sumber daya pengelola dan memberikan pelayanan prima kepada publik.
Pengertian otonomi daerah sendiri adalah kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undanga pasal 1 ayat (12) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Daerah otonom yang selanjutnya disebut
Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi dapat ditentukan berdasarkan teritorial (otonomi teritorial)
ataupun berdasarkan fungsi pemerintahan tertentu (otonomi fungsional)
sehingga keduanya lazim disebut desentralisasi teritorial dan desentralisasi
fungsional. Berdasarkan desentralisasi toritorial, negara sebagai suatu
12 Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 76
23
kesatuan teritorial dibagi dalam satuan-satuan pemerintahan teritorial yang
lebih rendah yang dinamakan daerah otonom. Daerah otonom dibentuk
sebagai subsistem dari negara kesatuan.13
Beberapa alasan ideal dan filosofis diselenggarakannya desentralisasi
pada pemerintahan daerah otonom. Mencegah penumpukan kekuasaan yang
pada akhirnya menyebabkan tirani, sebagai tindakan pendemokrasian,
melatih rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih dalam
menggunakan hak-hak dalam berdemokrasi, mencapai pemerintahan yang
efisien, kebijakan yang sesuai dengan daerah setempat, untuk ada perhatian
lebih dan khusus dalam menjaga serta mempertahanakan kultur, ciri khas
suatu daerah, baik itu segi geografis, ekonomi, kebudayaan dan latar belakang
sejarah agar kepala daerah dapat secara langsung melakukan pembangunan di
daerah tersbut.
C. Asas-asas Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berbicara landasan asas dalam pelaksanaan otonomi daerah, akan
dijumpai tiga bentuk asas pokok dalam penyelenggaran pemerintahan daerah
yang selama ini sering digunakan banyak negara, yakni: asas desentralisasi,
dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan.
1. Asas desentralisasi
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang
pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem
sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah,
dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat. Pejabat-pejabat di daerah
hanya melaksanakan kehendak pemerintahan pusat. Dalam sistem
13 Hendra Kariangan, Politik Hukum dalam mengelola keuangan daerah, (Jakarta: Kencana,
2013), h. 77
24
desentralisasi, sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan
kepada pihak lain untuk dilaksanakan.14
Dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintahan, desentralisasi itu
menunjukan:15
1. Satuan-satuan desenralisasi fleksibel dalam memenuhi berbagai
perubahan yang terjadi dengan cepat,
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan
efektif dan lebih efisien.
3. Satuan desentralisasi lebih inovatif.
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral
yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Menurut R.G .Kartasapoetra,16 desentralisasi diartikan sebagai
penyerahan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah menjadi
urusan rumah tangganya. Penyerahan ini bertujuan untuk mencegah
pemusatan kekuasaan, keuangan serta sebagai pendemokratisasian
pemerintahan, untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sama halnya yang
di ungkapkan E. Koswara,17 menyatakan desentralisasi adalah sebagai
proses penyerahan urusan-urusan pemerintahan yang semula termasuk
wewenang pemerintah pusat kepada badan atau lembaga
Pemerintahan Daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga
14 Hendra Kariangan, Politik Hukum dalam mengelola keuangan daerah, (Jakarta: Kencana,
2013), h. 87
15 Nomensen Sinemo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (jakarta: PT Pustaka
Mandiri, 2010), h. 81
16 R.G Kartasapoetra, Sistematka Hukum Tata Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h.
87&98
17 E. Koswara, Otonomi Daerah: untuk demokrasi dan kemandirian rakyat, (Jakarta:
Yayasan Parida, 2001), h. 17
25
urusan tersebut beralih kepada pemerintah daerah dan menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah.
2. Asas dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan
kepada daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat
di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan, dan lembaga yang
melimpahkan kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat
yang telah dilimpahi kewenangan itu mengenai pengambilan atau
pembuatan keputusan.18sebab terjadinya penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat atau aparatnya untuk
melaksanakan wewenang tertentu dilakukan dalam rangka
menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah, sebab pejabat-
pejabat atau aparatnya merupakan wakil pemerintah pusat di daerah yang
bersangkutan. Sedangkan menurut Peraturan Perundang-undangan Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa
dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau
kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan
pemerintahan umum.
dekonsentrasi diartikan sebagai penyebaran atau pemabagian
kewenangan pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah yang tersebar
di wilayah-wilayah untuk melaksanakan kebijakan sebagai penanggung
jawab urusan pemerintahan umum. Pendelegasian wewenang pada
dekonsentrasi hanya bersifat menjalankan atau melaksanakan peraturan-
18 Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah. (Yogyakarta: Konsorsium
pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST “Press”. 2000), h. 11
26
peraturan dan keputusan-keputusan pusat lainnya yang tidak berbentuk
peraturan yang tidak dapat menciptakan peraturan dan atau membuat
keputusan bentuk lainnya untuk kemudian dilaksanakan sendiri pula.
Mengenai dekonsentrasi, Bagir Manan berpendapat dekonsentrasi
sama sekali tidak mengandung arti bahwa dekonsentrasi adalah sesuatu
yang tidak perlu atau kurang penting. Dekonsentrasi adalah mekanisme
untuk menyenggarakan urusan pusat di daerah.19
3. Asas Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan adalah keikutsertaan pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas dan
lebih tinggi didaerah tersebut. Tugas pembantuan adalah salah satu wujud
dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan sendiri
untuk itu, yang tersusun secara vertikal. Menurut Undang-undamg Nomor
23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah, tugas pembantuan adalah
penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah provinsi. Jadi tugas pembantuan merupakan
kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang
ruanglingkup kewenangnya bercirikan tiga hal yaitu:20
19 Bagir Manan, Hubungan Pusar dan Daerah Menurut UUD 1945, (Bandung: Armico,
1998), h.160 dan dikutif pula oleh Hendra Kariangan, Politik Hukum dalam mengelola keuangan
daerah, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 8
20 Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Mensiasati Otonomi Daerah. (Yogyakarta :
Konsorsium pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST “Press”. 2000) h. 13
27
a. Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-daerah
otonom untuk melaksanakannya.
b. Dalam menyelenggrakan pelaksanaan, daerah otonomi mempunyai
kelonggaran untuk menyesuaikan segala sesuatu dengan kekhususan
daerahnya sepanjang peraturan mengharuskannya memberi
kemungkinan untuk itu,
c. Yang dapat diserahi urusan tugas pembantuan hanya daerah otonom
saja. Walaupun sifat tugas pembantuan hanya bersifat “membantu”
dan tidak dalam kontek hubungan “atasan-bawahan”, tetapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak mempunyai hak untuk
menolak. Hubungan ini timbul oleh atau berdasarkan ketentuan
hukum atau peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya, tugas
pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi. Daerah terikat melaksanakan peraturan
perundangan-undangan, termasuk yang diperintah atau diminta dalam
rangka tugas pembantuan.
Adapun dalam menjalankan pemerintahan secara luas itu pemerintahan
berpegang pada dua asas, yaitu asas keahlian atau fungsional dan asas
kedaerahan.21
1. Asas keahlian (asas fungsional)
Yang dimaksud dengan asas keahlian adalah suatu asas yang
menghendaki tiap urutan kepentingan umum diserahkan kepada para
21 Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, ( Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1996), h. 13.
28
ahli untuk diselenggarakan secara fungsional, dan hal ini terdapat
pada susunan pemerintahan pusat, yaitu di departemen-departemen.
2. Asas kedaerahan
Dengan berkembangnya tugas-tugas serta kepentingan-kepentingan
yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pusat, maka demi
kebaikan serta kelancaran jalannya pemerintahan di samping asas di
atas juga berpegang pada asas kedaerahan, dimana asas ini di tempuh
dengan sistem dekonsentrasi dan desentralisasi.
D. Landasan Konstitusional Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dalam penyelenggaraan
otonomi daerah di Indonesia itu sudah ditentukan sumber utama dan prinsif
dasar yang dianut dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di daerah
Negara kesatuan Republik Indonesia menurut undang-undang dasar 1945.
Otonomi daerah yang merupakan salah satu pilar penyenggaran
demokrasi, formulasi kebijakan orde baru yang mengacu pada prinsip-prinsip
good and clean governance, aspiratif berkeadilan dan menghargai pliralisme
merupakan isntrumen penting bagi tuan-tujuan nasional untuk memajukan
daerah, mensejahterakan masyarakatnya,serta integrasi nasional.22
Pada prinsipnya yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah dari
masa reformasi hingga saat ini mengacu pada Undang-undang Nomor 22 dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 dan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang kemudian direvisi menjadi
Undang-undang N0mor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
22 Fikhan Harusi, Otonomi Daerah di Indonesia (study kasus daerah kota madya depok), h.
50
29
Daerah, yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah hak, wewenang,
kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.23
Selain peraturan perundang-undangan diatas, terdapat pula peraturan
perundang-undangan lainya sebagai dasar pelaksanan otonomi daerah, antara
lain sebagai berikut;
a. Undang-undang Dasar 1945 ayat 18, menyatakan bahwa
NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan dibagi natas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan
kota itu mempunya pemerintahan daerah,yang diatur dengan
undang-undang. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan
kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
b. UUD 1945 Pasal 18A ayat (1) yang meyatakan “Hubungan
wewenang antar pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antar provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Ayat (2)
“Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang”.
c. UUD 1945 Pasal 18B, adanya satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa, dan adanya masyarakat
23 Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
30
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat.24
d. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penerapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi
Undang-undang.
e. Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah.
Dari pemaparan diatas dapat dinyatakan bahwa otonomi daerah
merupakan kemandirian daerah untuk mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah. Kemandirian disini
maksudnya adalah kemampuan daerah untuk mengelola dan mengembangkan
potensi, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Ini tentunya
harus dilakukan secara optimal tanpa bergantung pada daerah lain. Oleh
karena itu, pelaksanaan otonomi daerah hendaknya mendorong dan
memberdayakan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat,
menumbuhkan peran serta masyarakat dan kreatifitas masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPR.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu adanya kemampuan dibidang ekonomi yang cukup
memadai, adanya sumber daya manusia yang handal, memiliki sumber daya
alam yang memadai, adanya dukungan dalam bidang pertahanan dan
keamanaan daerah. Hal ini perlu diperhatikan karena sejatinya otonomi
daerah memberikan kesempatan pada daerah-daerah untuk mengembangkan
24 Lihat Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
31
segala potensi yang dimiliki sebagai kesinambungan pembangunan
nasional.25
Otonomi daerah bukan hanya sekedar pelimpahan wewenang yang
karenanya justru daerah otonomi menjadi terpuruk akibat kurang siapnya
daerah lantaran aspek-aspek yang dibahas diatas kurang diperhatikan.
Disamping itu, kurang siapnya mental pemerintah daerah dan masyarakatnya
dalam mengemban amanah otonomi daerah yang di idamkan oleh bangs
indonesia secara keseluruhan akan memunculkan berbagai permasalahan
yang justru malah membebani masyarakat didaerah.
E. Sejarah Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang
pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil
dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan dimasa kerajaan-
kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini
menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan
pembentukan badan perwakilan tiap daerah. Dalam undang-undang ini
ditetapkan tiga jenis daerah otonom. yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota.26
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan
tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-
undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa
dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah yaitu provinsi,
25 Fikhan Harusi, Otonomi Daerah di Indonesia (study kasus daerah kota madya depok), h.
52
26 Sani safitri, sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia, jurnal criksetra, volume
5, nomor 9 februari 2016, h. 79
32
kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan
kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi
kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan, telah
dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang
penyerahan sebagaian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan
lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk
sebelumnya. Perubahan tersebut pada suatu sisi menandai dinamika orientasi
pembangunan daerah di Indoneia dari masa kemasa. Tapi disisi lain hal ini
dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa
dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah di Indonesia
pasca Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 di isi dengan munculnya
beberapa Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu Undang-
undang Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang
berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), Undang-undang Nomor 18 Tahun
1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya) dan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1974.27
Sementara di tahun 1959 Dekrit presiden mengubah sistem
pemerintahan daerah dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun
1959. Dalam Undang-undang ini pemerintah tetap mempertahankan politik
desentralisasi dan dekonsentrasi dengan menjungjung desentralisasi teritorial
untuk kepentingan rakya, keutuhan pemerintahan daerah dan kedaulatan
administrasi dualisme kepemimpinan daerah dihapuskan. Dari dua bidang itu
adalah: pertama Bidang pemerintahan umum dan pusat didaerah ditangan
pamongpraja. Kedua Bidang otonomi dan tugas pembantuan dalam
27 Sani safitri, sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia, h. 80
33
pemerintahan ditangan pemerintahan daerah. Pemerintahan kedua itu perlu
di letakan dalam satu tangan.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian disusul dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi
kekuasaan orde baru, Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya
tumbuh sebelum orde baru, berkuasa secara perlahan dilumpuhkan di bawah
kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan pertumbuhan
ekonomi menjadi alasan pertama bagi masa orde baru untuk mematahkan
setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat sendri. Otonomi daerah
muncul sebagai bentuk sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru,
berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan
dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakat daerah, ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintahan
pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan
pemerintah daerah pada saat itu.
Sementara dalam undang-undang yang disebut terakhir mengatur
pokok-pokok penyelenggara pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah
pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada
daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah
yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang
dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru diganti
dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.28
28 Sani safitri, sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia, h. 80
34
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah
adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi
desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang
tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada undang-undang tersebut.
Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua undang-undang tersebut
(Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Nomor 25 Tahun 1999) secara
teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih cenderung pada corak
dekonsentrasi. Sedangkan desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata
jika dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah. Berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang
merupakan kepanjangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala
wilayah yang melaksanakan tugas dekonsentrasi lebih dominan dibanding
sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan
bukan kepada DPRD sebagai representasi dari rakyat di daerah yang
memilihnya. 29
Dengan demikian yang melatar belakangi dilaksanakannya otonomi
daerah secara nyata di Indonesia adalah ketidakpuasan masyarakat yang
berada di daerah yang kaya sumber daya alam namun kehidupan
masyarakatnya tetap berada dibawah garis kemiskinan.Walaupun secara
undang-undang sudah sering diterbitkan namun dalam kenyataannya
pengelolaan kekayaan alam dan sumber daya alam daerah masih diatur oleh
29 Sani safitri, sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia, h. 81
35
pusat.Sehingga masyarakat daerah yang kaya sumber daya alamnya merasa
sangat dirugikan. Akhirnya, pada masa reformasi mereka menuntut
dilaksanakannya otonomi daerah. Sehingga lahirlah Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 dan pelaksanaan otonomi daerah mulai terealisasi sejak tahun
2000 secara bertahap.
Setelah dilaksanakannya otonomi daerah maka perimbangan
keuangan sesuai Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 memberikan
peluang kepada daerah untuk mendapatkan 70% dari hasil pengelolaan
kekayaan alamnya sendiri untuk dimanfaatkan bagi kemajuan daerahnya
sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah ini diperbarui menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan perimbangan keuangan diperbarui juga menurut
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2104. Sehingga dengan adanya otonomi daerah ini , daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam mengalami kemajuan dalam
pembangunan sedangkan daerah yang tidak memiliki kekayaan alam
mengalami kesulitan untuk memajukan wilayahnya.
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia selalu mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan politik hukum ketatanegaraan yang
beberapa kali mengalami pergantian, yakni masa orde lama, orde baru dan
yang sekarang ini orde reformasi. Pemilihan negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi yang menjadi dasar berdirinya daerah-derah otonom sudah
menjadi pilihan sejak awal berdirinya negara Indonesia, hal ini dapat dilihat
dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Diatur dalam
Pasal (1) negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik,
dan Pasal 18 Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa. Pada awal era reformasi berkembang dan populer di
36
masyarakat banyaknya tuntutan reformasi yang didesak oleh berbagai
komponen bangsa, antara tuntutannya adalah amandemen UUD 1945 dan
desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah.30
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, merupakan babak baru penyelenggraan otonomi daerah sekaligus
mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah bahwa efisiensi dan efektifitas
penyelenggraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pusat dengan daerah dan antar
daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan
persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
menyebutkan bahwa dasar perubahan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
ditujukan untuk mendorong lebih terciptanya daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mensejahterakan masyarakat,
baik melalui peningkatan pelayanan publik maupun melalui peningkatan daya
saing daerah.perubahan ini bertujuan untuk memacu sinergi dalam berbagai
aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan pemerintah
pusat.31
30 Sri Kusriyah, Politik Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam Perspektif Negara
Kesatuan Republik Indonesia, (Jurnal Pembaharuan Hukum Volume III No. 1 Januari - April 2016), h.
2
31 Sri Kusriyah, Politik Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam Perspektif Negara
Kesatuan Republik Indonesia, h. 2
37
BAB III
OTONOMI DAERAH DALAM KETATANEGARAAN ISLAM
A. Bentuk Negara dan Pemerintahan dalam Islam
1. Bentuk Negara Kesatuan
Negara kesatuan ialah bentuk negara dimana wewenang kekuasan
tertinggi dipusatkan d pusat. Kekuasan terletak pada pemerintahan pusat dan
tidak pada pemerintahan daerah, pemerintahan pusat mempunyai wewenang
untuk menyerahkan sebagian kekuasannya kepada daerah berdasarkan hak
otonomi ( negara kesatuan dengan sistem desentralisasi ), tetapi pada tahap
terahir kekuasan tertinggi di tangan pemerintah pusat. Jadi kedaulatan
sepenuhnya terletak pada pemerintahan pusat. Dengan demikian yang
menjadi hakikat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatan tidak terbagi, atau
dengan perkatan lain kekuasan pemerintah pusat tidak dibatasi. Jadi adanya
kewenangan untuk membuat peraturan bagi daerahnya itu tidaklah berarti
bahwa pemerintahan daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasan
tertinggi masih tetap terletak di tangan pemerintah pusat.1
Sementara dalam praktik politik umat Islam, sejak zaman Rasulullah
hingga al-Khulafa al-Rasyidun jelas tanpak bahwa Islam dipraktekan dalam
bentuk negara kesatuan, dimana kekuasan terletak ditangan pemerintahan
pusat, gubernur, dan panglima-panglima yang diangkat dan diberhentikan
oleh khalifah. Hal ini berlangsung sampai runtuhnya pemerintahan Daulah
Umawiyah, yang hingga menimbulkan tiga kerajaan besar setelahnya.
1 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta: Erlangga 2008), h. 198-199
38
Negara Kesatuan Islam yang berbentuk republik dalam sejarah Islam awal
yang kemudian dirubah oleh muawiyah menjadi negara kesatuan Islam yang
berbentuk monarki ( kerajan ) dimana kepala negara tidak dipilih lagi oleh rakyat
melainkan berdasarkan keturunan.1 Ciri-ciri dari negara kesatuan yaitu;
a. Adanya supremasi dari Parlemen/Lembaga Perwakilan Rakyat Pusat,
dalam kasus Indonesia adalah MPR.
b. Tidak adanya badan-badan yang mempunyai bawahan.
Medel negara kesatuan Islam hanya dipraktekan oleh masyarakat
muslim zaman sekarang tidak lagi dalam bentuk negara yang wilayahnya
berskala internasional seperti pada masa dinasti-dinasti Islam masa lalu,
melainkan dalam bentuk negara bangsa. Kini umat Islam mempraktekan
negara kesatuan Islam dalam bentuk negara bangsa sebagai respon terhadap
konteks negara-negara yang berkembang dimasa sekarang.2
2. Negara Federal
Negara federal adalah sebuah negara yang tersusun dari beberapa
negara yang semula berdiri sendiri-sendiri dan kemudian negara mengadakan
ikatan kerjasama yang efektif, tetapi di samping itu, negara-negara tersebut
masih ingin mempunyai wewenang-wewenang yang dapat diurus sendiri.
Prinsip dari negara federal adalah bahwa kekuasan dibagi menjadi
sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian
dalam bidang-bidang tertentu adalah sebab satu sama lain.3
1 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h. 201
2 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h. 201
3 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h. 202
39
Ciri-ciri dari negara federal adalah:
a. Adanya supermasi dari konstitusi dimana federal itu terwujud.
b. Adanya pembagian kekuasan negara-negara federal dan negara-
negara bagian.
c. Adanya suatu lembaga yang diberikan wewenang untuk
menyelesaikan suatu perselisihan antara pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian.
Sementara mengenai pemerintahan Ibnu Khaldun mencoba
memberikan penjelasan dengan menunjukan tiga pemerintahan, yaitu sebagai
berikut:
a. Monarki absolut, yaitu pemerintahan yang membawa rakyat umum mentaati
kemauan perorangan atau sekelompok orang dinamakan “mulkum ṭabi’i”
(pemerintahan raja yang sewenang-wenang),
b. Pemerintah konstitusi, yaitu pemerintahan yang mengajak rakyat umum,
mentaati kehendak pikiran yang sehat pada kepentingan kenegaraan
(duniawi) dan menolak segala kemelaratan. Sekarang dinamakan monarki
yang konstitusional dan pemerintah republik, sedangkan Ibnu Khaldun
menamakannya “mulkun siasiy”
c. Pemerintah khilafah, yaitu mengajak rakyat umum mentaati kehendak agama
untuk kepetingan-kepentingan mereka dalam masalah-masalah keagamaan
(akhirat) dan kenegaraan (duniawi) yang kebaikannya untuk mereka sendiri.4
Adapun pendapat Ibnu Abi Rabi’ dikutip dalam Munawir Sjadzali,
membagikan beberapa sistem pemerintahan, yaitu sebagai berikut:
a. Monarki, yaitu kerajaan di bawah pimpinan seorang serta penguasa
tunggal,
4 Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, (Yogyakarta: Pustaka Iqra, 2001), h. 18.
40
b. Aristokrasi, yaitu kerajaan pemerintahan yang berada di tangan
sekelompok kecil orang-orang pilihan atas dasar keturunan atau
kedudukan,
c. Oligarki, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh selompok kecil orang
kaya,
d. Demokrasi, yaitu negara diperintah lansung oleh seluruh warga negara
Namun dari sekian banyak pemerintahan, Ibnu Abi Arabi’ memilih
monarki atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja. Dia menolak bentuk-
bentuk lain pemerintahan. Alasan utama Ibnu Abi Rabi’ memilih monarki
sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik adalah kenyakinannya bahwa
dengan banyak kepala, maka politik negara akan terus kacau dan sukar
membangun persatuan.5
B. Sistem Pemerintahan dalam Islam
Adapun sistem pemerintahan yang pernah di praktikan dalam Islam
sangan terkait dengan kondisi konseptual yang dialami oleh masing-masing
umat. Dalam rentang waktu yang sangan panjang sejak abad ke-7 masehi
hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktikan beberapa sistem
pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan khilafah (khalifah
berdasarkan syura dan khalifah monarki), imamah, monarki, dan demokrasi.6
1. Sistem pemerintahan dalam piagam madinah
Sejarah menunjukan bahwa Nabi Muhammad saw, dan umat Islam,
selama kurang lebih 13 tahun di Mekah, terhitung sejak pengangkatan
Muhammad saw sebagai Rasul, belum mempunyai kekuatan dan kesatuan
politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi satu komunitas
5 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Ed. V; Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1993), h. 46
6 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h. 204
41
yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M melakukan hijrah ke
Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yastrib. Kalau di Mekkah mereka
sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, di Madinah mereka
mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan
dapa berdiri sendiri.7
Komunitas Islam itu terdiri dari para pengikut Nabi yang datang dari
Mekah (Muhajirin) dan penduduk Madinah yang telah memeluk Islam serta
yang telah mengundang Nabi ke Madinah (Anshar). Di antara penduduk
Madinah terdapat juga komunitas lain, yaitu orang Yahudi dan sisa-sisa orang
Arab yang belum memeluk Islam. Umat Islam di Madinah merupakan bagian
dari masyarakat yang majemuk.8
Tidak lama sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad saw membuat
suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang
dihuni oleh beberapa macam golongan. Ia memandang perlu meletakkan
aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah agar terbentuk kesatuan
hidup di antara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup yang baru dibentuk itu
dipimpin oleh Muhammad saw sendiri dan menjadi negara yang berdaulat.
Dengan demikian di Madinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai
sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat kepala negara.9
Dalam piagam itu dirumuskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata
kehidupan bermasyarakat, kelompok-kelompok sosial Madinah, jaminan hak,
dan ketetapan kewajiban. Piagam Madinah itu juga mengandung prinsip
kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan
7 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1985), h. 92
8 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 10.
9 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk (Ed. 1: Cet. II;
Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 2
42
kesatuan hidup, dan sebagainya. Insiatif dan usaha Muhammad saw dalam
mengorganisir dan mempersatukan pengikutnya dan golongan lain, menjadi
suatu masyarakat yang teratur, berdiri sendiri, dan berdaulat yang akhirnya
menjadi suatu negara di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw, sendiri
merupakan praktek siyasah, yakni proses dan tujuan untuk mencapai tujuan.10
Menurut hasil penelitian Suyuthi Pulungan, terdapat empat belas
prinsip yang terdapat dalam piagam Madinah khususnya berhubungan erat
dengan pemerintahan; prinsip umat, prinsip persatuan dan persaudaraan,
prinsip persamaan, prinsip kebebasan, prinsip hubungan antar pemeluk
agama, prinsip tolong menolong dan membela yang teraniaya, prinsip hidup
bertetangga, prinsip perdamaian, prinsip pertanian, prinsip musyawarah,
prinsip keadilan, prinsip pelaksanaan hukum, prinsip kepemimpinan, dan
prinsip ketaqwaan, al-amru bil ma’ruf wannahyu ȧni-munkar.11
Prinsip-prinsip pokok Piagam Madinah sebagaimana dicontohkan dan
dipraktekkan oleh Rasulullah saw. merupakan sistem politik dan bentuk
pemerintahan yang harus dipedomani oleh umat Muslim. Sistem tersebut
sesungguhnya merupakan prinsip-prinsip ajaran umum dalam menjalankan
roda pemerintahan. Menyangkut soal mekanisme dan bentuk yang
diinginkan umat Islam dalam konteks kehidupan umat Islam selanjutnya,
tidak ada acuan normatif yang ditetapkan dalam al-Qur’an maupun Hadis.
Hal ini menyebabkan beragamnya sistem maupun bentuk politik umat
Islam, disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks zamannya. Intisari yang
tetap dan perlu diambil dari prinsip umum di atas, dalam menjalankan
pemerintahan adalah ,hubungan demokratis antara umat dan negara. Prinsip-
prinsip Piagam Madinah yang sangat relevan untuk diterapkan dalam konteks
10 Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 5.
11 Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, h. 121
43
kekinian adalah menyangkut egalitarialisme, penghargaan kepada orang
berdasarkan prestasi (bukan prestasi seperti keturunan, kesukuan, ras dan
lain-lain), keterbukan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan
kepemimpinan melalui pemilihan umum, bukan berdasarkan keturunan.12
Dalam Piagam Madinah menyatakan bahwa mukminin-muslimim
merupakan satu ummah (umat) yang berbeda dari manusia lain. Kata umat
digunakan untuk menyebutkan populasi orang-orang yang telah masuk Islam,
tanpa melihat suku, asal-usul, ras, kedudukan sosial, dan sebagainya. Asal
sudah masuk Islam, dari manapun asalnya, seseorang disebut mukmin dan
muslim.13
Dalam al-Qur’an kata ummah dan jamaknya ummah disebutkan
sebanyak 64 kali, 52 kali diantaranya disebut dalam bentuk tunggal (mufrad)
dan digunakan untuk berbagai pengertian. Dari jumlah itu, sebagian besar
termasuk ke dalam ayat-ayat Makiyyah. Adapun dalam ayat-ayat Madaniyah
hanya 17 kali kata ummah disebutkan al-Qur’an. Hampir semua kata ummah
dalam ayat-ayat Makkiyah berarti bangsa, bagian dari bangsa atau generasi
dalam sejarah. Selain untuk pengertian tersebut, kata ummah juga bermakna
kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, pemimpin,
orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya. Menurut Quraish shihab yang
dikutip dalam Muhammad Iqbal, dalam kata ummah terselip makna-makna
yang cukup dalam. ummah mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu,
jalan yang jelas serta gaya dan cara hidup. Ini berarti bahwa unuk menuju
12 Nurcholish Madjid, Memberdayakan Masyarakat, Menuju Negeri yang Adil, Terbuka dan
Demokratis, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 7
13 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk, h. 8
44
suatu arah, harus jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara
tertentu, pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya.14
Maka dari ayat-ayat al-Qur’an dan Piagam Madinah di atas dapat
dicatat beberapa ciri yang menggambarkan ummah (Islam). Yaitu:
a. Ummah memiliki kepercayaan kepada Allah swt dan keyakinan kepada
Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir, memiliki kitab yang satu (al-
Qur’an) dan bentuk pengabdian yang satu kepada Allah swt dan arah
kiblat yang satu pula (Ka’bah). Mereka mangikuti Syariat yang
diturunkan Allah swt melalui Nabi Muhammad saw. Pendek kata,
anggota ummah diikat oleh Islam. Ini yang membedakan dengan
kelompok- kelompok lainnya.
b. Islam yang memberikan identitas pada ‘ummah mengajarkan semangat
universal. al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia seluruhnya adalah
sama. Tidak pada perbedaan manusia atau kelompok dengan manusia
atau kelompok lainnya, kecuali ketakwaan (QS al-Hujurāt/49:13).
ن ذكر وأنثى وجعلن كم م أيها ٱلناس إنا خلقن ئل شعوب كم ي إن أك ا وقباا رمكم لتعارفو
عليم خبير كم إن ٱلل أتقى ١٣عند ٱلل
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Karena, Islam tidak mengakui kasta, kelas sosial atau warna kulit sebagai
pembeda manusia. Konsekuensinya, universalitas Islam ini menolak
14 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah:Kontekstual Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), h. 208.
45
pembatasan-pembatasan umatnya berdasarkan suku, kelompok
komunitas, dan batas-batas wilayah.
c. karena umat Islam bersifat universal, maka secara alamiah umat Islam
juga bersifat organik. Kesatuan organik ini diikat oleh semangat
persaudaraan seiman, sebagaiman dalam QS al-Hujurat/49:10.
قوا إنما ٱلمؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم وٱت ١٠رحمون ت لعلكم ٱلل
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”
Persaudaraan dalam Islam tidak berdasarkan hubungan-hubungan
primordial seperti kekeluargaan, darah, dan keturunan.15
2. Sistem Kesultanan, Khilafah, dan Keemiran.
a. Kesultanan
Sultan dalam bahasa Arab adalah kata benda abstrak yang lebih
berarti kekuasaan atau pemerintah. Menurut Bernat Lewis, kata sultan
awalnya digunakan hanya sebagai suatu abstraksi dan tidak pernah orang.
Bahkan, belakangan ketika kata itu biasa untuk menunjukan orang,
terkadang kita masih menemukannya dalam pengertian sebagai suatu
abstraksi. Kelihatannya, kata tersebut pertama-tama telah diterapkan
secara informal untuk menunjuk menteri, gubernur, atau figur-figur
penting lainnya. Secara kebetulan ini merupakan contoh dari
kecenderungan umum dalam bahasa politik dimana kata-kata yang
dimaksudkan untuk menunjuk abstraksi menjadi sebutan-sebutan personal
dari para pemegang kedaulatan. Sebutan sebutan sultan konon telah
diberikan untuk pertama kalinya oleh khalifah Harun al-Rasyid kepda
wazirnya. Hal ini meragukan, tapi bukan suatu hal yang mustahil. Kita
15 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah:Kontekstual Doktrin Politik Islam, h. 209
46
menemukan bahwa kata tersebut kadang-kadang digunakan untuk
menunjuk khalifah-khalifah, baik dari Abbasiyah maupun Fathimiyah.16
Pada abad ke-10, kata ini telah menjadi sebutan yang berlaku umum,
walaupun masih secara informal, untuk menunjuk penguasa-penguasa dan
raja-raja independen yang digunakan untuk membedakan mereka dari
penguasa-penguasa dan raja-raja lain yang masih tunduk di bawah
kekuasaan pemerintah pusat yang efektif. Terdapat banyak rujukan
literatur, baik dalam puisi, surat, maupun narasi historis, yang
menunjukan penggunaan sebutan itu, tapi tidak ada uang atau prasasti
dimana sultan digunakan sebagai sebutan personal. Dari sini jelas bahwa
sebutan itu belum pernah diakui secara resmi. Sebutan sultan baru diakui
secara resmi pada abad ke-11 ketika digunakan oleh dinasti Turki yang
dikenal sebagai Saljuk Yang Agung, yang memakainya sebagai sebutan
utama.17
Dengan demikian Kesultanan Saljuk Yang Agung, gelar sultan
kemudian mengalami proses yang umum terjadi, yakni devaluasi dan
keruntuhan. Setelah orang-orang Saljuk, untuk sementara gelar sultan
diadopsi oleh orang-orang Khawariz sebagai klaim atas fungsi mereka
sebagai pengganti kesultanan Saljuk yang universal. Sejak saat itu, gelar
sultan juga digunakan oleh banyak dinasti lain. Tidak lama kemudian,
gelar sultan tidak lagi menjadi gelar yang secara eksklusif digunakan
untuk menunjuk para penguasa, tapi secara lebih luas juga digunakan
untuk putra-putra mahkota, bahkan untuk putri-putri mahkota. Dalam
penggunaan bahasa Turki Utsmani, gelar sultan yang ditempatkan setelah,
16 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h. 234-
245 yang di kutip dari Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1994), h. 73
17 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h. 234-
245 yang di kutip dari Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, h. 73
47
bukan sebelum nama pribadi yang digelarinya di berikan kepada putri-
putri para penguasa yang berdaulat atau putra mahkota yang diproleh atas
dasar keturunan. Cucu perempuan Turki Utsmani dari garis ibu
mempunyai gelar yang lebih kecil, hanim sulthan (sultan perempuan). Ibu
dari penguasa mempunyai gelar valide sulthan (sultan ibu) dan memiliki
kekuatan maupun kekuasaan sebagai pemimpin tertinggi rapa harem di
istana kerajaan.18
b. Khilafah
Secara literal, Khilafah berarti penggantian terhadap pendahulu, baik
bersifat individual maupun kelompok. Sedangkan secara neknis, khilafah
adalah lembaga pemerintahan Islam yang berlandaskan pada al-Quran
dan al-Hadits. Khilafah merupakan medium untuk menegakan al-Din
(agama) dan memajukan syariah. Berdasarkan pandangan tersebut, maka
muncullah suatu konsep yang menyatakan bahwa Islam meliputi Din wa
ad-Daulah (Agama dan Negara). Kata khilafah itu sendiri berasal dari
akar kata khalafa yang berarti menggantikan, mengikuti, atau yang datang
kemudian. Bentuk jama dari kata tersebut ada dua macam, yaitu khulafa
dan khalaif.19
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial,
sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan
yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Pada
intinya khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi
agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi Saw.20
Jabatan khalifah merupakan penggati Nabi Saw, dengan tugas yang
sama, yakni mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan
18 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h. 237
19 Syahrudin Siregar, Khilafah Islam dalam Pespektif Sejarah Pemikiran Ali Abdul Razik,
(Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 1 tahun 2018), h, 125
20 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h, 205
48
dunia. Lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan). Orang yang
menjalankan tugas itu disebut khalifah.21 Tugas dari seoramg khalifah
menjadikan seorang pelindung bagi umat dan menjaga kelestarian alam
(ekosistem), sehingga khalifah dan umat harus bersatu dan saling
mencintai guna menjalankan kehidupan sesuai dengan syariat Islam dan
keberlangsungan hidup. Tugas khalifah dalam al-Quran biasa disebut
Imaratul Ardh (memakmurkan bumi) dan Ibadatullah (beribadah kepada
Allah).22
Sistem khilafah dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Sistem khilafah berdasarkan syura
Sistem pemerintahan Khilagah Islamiyah berdasarkan syura
pernah diperaktekan pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun ketika
memimpin jumat Islam dibeberapa kawasan yang didasarkan pada
sistem musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaannya, Abu
Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib telah menjalankan sistem pemerintahan yang
dilandasi oleh semangat musyawarah.23
Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan ini terletak pada
mekanisme musyawarah, bukan dengan sistem keturunan. Tidak
ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan
kekuasannya kepada sanak kerabatnya. Musyawarah mejadi cara
yang ditempuh dalamk me njalankan kekuasaan sesuai dengan apa
yang diajarkan Rasulullah.24
2. Sistem Khalifah berdasarkan monarki
21 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h, 206
22 Sunardi, Peran manusia Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi Perspektif Ekologis dalam
Ajaran Islam, (Jurnal Penelitian, Vol. 12 No. 2, Agustus 2018), h, 367
23 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h, 206
24 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h, 208
49
Pasca berahirnya masa al-Khulafa ar-Rasyidun, kekhilafahan
dilanjutkan oleh Dinasti Bani Umayah dengan Muawiyah bin Abi
Sufyan sebagai khalifah pertama. Sejak saat itulah khilafah
Islamiyah yang susah berdasarkan syura digantikan dengan sistem
keturunan, menjadi negara kerajaan (monarki) mengikuti sistem
yang diberlakukan di Persia dan Romawi.25
Sistem khilafah monarki ini disebut oleh Antony Black dengan
khilafah patriomanial. Patriomanial yang dimaksud di sini adalah
sistem pemerintahan yang memberikan hak kepada pemimpin
untuk menganggap negara sebagai miliknya dan bisa diwariskan
kepada keluarganya (turun temurun) sementara rakyat dipandang
sebagai bawahan yang berada dibawah perlindungan dan
dukungannya.26
Berubahnya khilafah berdasarkan syura menjadi khilafah
monarki ini terjadi ketika Muawiyah melantik putranya, Yazid
sebagai khalifah atas saran Mughirah bin syu’bah. Lebih lanjut
Hasan Basri mengatakan, karena rencana inilah, kepala-kepala
negara menjadikan pemerintahan turun-temurun kepada putra-
putranya. Jika bukan karena ini, tentu sistem pemerintahan Islam
tetap musyawarah dan republik sampai hari kiamat. Khilafah
monarki berlangsung terus meskipun kekuasaan Bani Umayah
habis.27
Sistem khilafa monarki terus berlanjut hingga kekuasaan islam
dipegang oleh Turki Utsmani yang timbul di Istanbul pada 699
25 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h, 208
dikutif dari Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI-
Press, 1993), h, 27
26 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h, 208
27 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h, 208
50
H/1299 M yang dipimpin oleh Usman I yang kemudian dikenal
dengan sebutan Dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini memerintah
hingga 1342 H/1924 M dengan khilafah terahir Abdul Hamid II.
Tak pelak lagi sejak Dinasti Umayyah hingga Turki Utsmani,
sistem pemerintahan Islam sudah bergeser sangat jauh dari
kekhalifahan yang berbasis syura menjadi khilafah monarki.28
c. Keemiran
Secara etimologi kata amir diturunkan dari kata amira yang berarti
menjadi amir. Kata amir disini bermakna pemimpin. Ben tuk plural dari
kata amir yaitu umara. Kata amir tidak ditemukan di dalam al-Qur’an,
yang ada hanya ulil amri. dalam kamus, kata umara diartikan seabagai
pemimpin dan ahli ilmu pengetahuan. Tapi di dalam teks-teks hadits Nabi
banyak digunakan kata amir. Bentuk amir disebut di dalam hadits tidak
kurang dari 40 kali, dan bentuk umara kurang lebih 24 kali. Bila
diperhatikan secara cermat, hadits-hadits tersebut menggambarkan
pentingnya peranan pemimpin dalam kehidupan masyarakat dan
pemimpin harus benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.29
Istilah amir sebagai institusi kenegaraan dalam sejarah politik Islam
juga sangat populer. Dalam tradisi pemerintahan Islam, istilah amir ini
digunakan untuk kepentingan politik, khususnya jabatan-jabatan penting.
Dalam penggunaannya, kata amir ini ditambah dengan kata lainnya,
seperti amir al-mu’minin, amir al-muslimin, amir al-umara, dan amir
saja. Kata amir, juga biasa digunakan untuk gelar kepala pemerintahan di
daerah dan gelar untuk penguasa militer.30
28 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam, h, 208-
209
29 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Rajawali,1995), h. 62-63.
30 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, h. 63.
51
Penggunaan kata amir yang berati pemimpin Muslim adalah muncul
pertama kali dalam pertemuan di Balai Saqifah Bani Sa’adah. Pertemuan
ini sendiri merupakan pertemuan yang bersejarah. Hal ini karena dalam
pertemuan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh elit muslim yang datang
dari Makkah dan Madinah. Adapun tujuan pertemuan yang dihadiri oleh
kaum Anshar dan Muhajirin tersebut adalah untuk memusyawarahkan
sosok pengganti pucuk pemimpin umat Islam berkaitan dengan wafatnya
Nabi Saw. Kaum Anshar mengusulkan: “dari kami seorang amir dan dari
kamu seorang amir”. Kaum Muhajirin menjawab, “kami adalah umara
dan kamu adalah sebagai wizara”. Akhirnya mereka sepakat memilih
Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Saw. Namun demikian, ia tidak diberi
gelar amir melainkan Khalifah al-Rasul. Gelar amir al-Mukminin yang
setingkat dengan Khalifah al-Rasul digunanakan oleh Umar bin
Khattab.31
Pada masa Rasul dan Khulafa al-Rasyidun, penguasa daerah disebut
amil yang sinonim dengan kata amir. Selama pemerintahan Islam di
Madinah, amir dipergunakan untuk menyebut para komandan militer dan
komandan divisi militer, yaitu Amir al-jaisy. Pada gubernur yang mulanya
adalah para jendral yang menaklukkan daerah juga disebut amir. Pada
saat itu, penyebutan amir sebagai penguasa daerah mempunyai tugas
sebagai pengelola administrasi politik, pengumpulan pajak, dan sebagai
pemimpin agama. Kemudian masa pasca Rasul, tugasnya bertambah
meliputi pemimpin ekspedisi-ekspedisi militer, menandatangani
perjanjian damai, memelihara daerah taklukan Islam, membangun masjid,
31 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, h. 64.
52
menjadi imam shalat dan khatib jumat, mengurus administrasi
pengadilan, dan ia bertanggungjawab kepada khalifah di Madinah.32
Dalam perkembangan pasca Khulafa‘ ar-Rasyidun fungsi amir
mengalami pergeseran, khususnya pada masa Dinasti Umaiyyah. Pada
masa ini, gelar amir hanya diperuntukkan bagi penguasa daerah provinsi
yang juga disebut wali (hakim, penguasa, pemerintah). Tugasnya pun
mulai dibedakan. Ia didampingi beberapa pejabat yang diangkat untuk
melaksanakan tugasnya, misalnya, seorang katib (sekretaris) atau lebih,
seorang hajib (pengawal), Shahib al-Kharaj (pejabat pendapatan), Shahib
al-Syurthah (pejabat kepolisian), Shahib al-Barid (pegawai kantor pos),
kepala keagamaan dan hakim. Amir juga diberi wewenang mengangkat
wakilnya di daerah-daerah atas persetujuan pemerintah pusat, yakni
khalifah. Tapi ada juga yang langsung diangkat oleh khalifah. Selain itu
amir juga bertugas mengawasi percetakan uang, mengatur sistem
penarikan pajak, memimpim delegasi untuk menyampaikan baiat kepada
khalifah yang baru diangkat, membangun sarana umum, dan
mengirimkan sebagian penghasilan daerah ke Damaskus sebagai pusat
pemerintahan.33
Kedudukan dan fungsi amir pada masa Daulah Bani Umayyah tidak
jauh berbeda dengan masa Daulah Abbasiyah. Pada masa pemerintahan
Abbasiyah, penguasa daerah atau gubernur juga disebut amir. Pada
umumnya tugas amir pada periode ini adalah mengelola pajak, mengelola
administrasi urusan sipil dan keuangan. Dalam menjalankan fungsinya, ia
didampingi oleh seorang pejabat keuangan yang disebut amil. Namun,
sejalan dengan perjalanan sejarah Daulah Abbasiyah itu sendiri, seorang
32 Tim Penyusun Depag. RI, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Depag RI, 1982), h.
77.
33 Amir, dalam H.A.R. Gibb et. Al., (ed), The Encyclopedia of Islam, Leiden: New Edition,
Vol I., W.J. Brill, 1979, h. 438-439.
53
amir dalam posisinya sebagai penguasa daerah, ia membatasi diri untuk
berhubungan dengan pemerintah pusat, dalam hal ini khalifah. Bahkan
dalam perkembangannya lebih lanjut, beberapa amir memisahkan diri dari
pusat kekuasaan. Mereka kemudian mendirikan dinasti-dinasti kecil yang
berdaulat seperti dinasti-dinasti Aghlabid, Tahiri, Tulun, Samaniyah, dan
hamdaniyah. Gejala ini merupakan awal adanya disintegrasi politik
khalifah Abbasiyah. Pada masa ini, kata amir juga dipakai untuk
memberikan gelar bagi panglima tertinggi angkatan perang, yaitu dengan
sebutan amir al-umara.34
Penyebutan gelar amir juga dipakai untuk menyebut para pejabat
militer, khususnya pada masa pemerintahan Saljuk, Ayyubiyah dan
Mamluk. Demikian pula, Dinasti Umayyah di Spanyol para khalifahnya
hingga pada masa Abd. al-Rahman al-Nashr disebut juga dengan amir,
gelar yang sinonim untuk khalifah. Sedangkan gubernurnya disebut amil.
Raja-raja Murabitun di Afrika menggunakan gelar amir al-Muslimin. Para
gubernur Dinasti Fatimiyah juga disebut amil.35
Dalam perkembangan sejarah politik Islam, penyebutan bagi seorang
penguasa tidak semata dengan amir saja. Ada istilah lain yang juga
dipergunakan untuk memberi gelar bagi para pemegang kekuasaan saat
itu, yang disebut wulat al-amr, waliyul amr, dan ulil amr. Ketiga istilah
ini memiliki makna dan fungsi yang berbeda. Yang pertama berarti
pemerintah, yang kedua berarti orang yang memiliki wewenang dan
kekuasaan untuk mengemban suatu urusan atau tugas. Yang ketiga
diartikan dengan para pemimpin dan ahli ilmu pengetahuan. Waliyul amr
34 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, h. 65.
35 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, h. 66.
54
oleh para ulama disamakan dengan istilah ulil amr yang disebut al-
Qur’an.36
36 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, h. 66.
55
BAB IV
ANALISIS OTONOMI DAERAH DI INDONESIA DAN
KETATANEGARAAN ISLAM
A. Otonomi Daerah di Indonesia Mengenai Hubungan Pusat dan Daerah
dalam Bidang Keuangan
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah diselenggarakan lebih
dari setengah abad. Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai
diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa
kali perubahan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut telah
mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang
kemudian juga membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di
berbagai bidang.
otonomi daerah merupakan posisi pemerintah dan masyarakat di suatu
daerah memiliki peranan yang penting dalam peningkatan kualitas
pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini terutama disebabkan
karena dalam otonomi daerah terjadi peralihan kewenangan yang pada
awalnya diselenggarakan oleh pemerintahan pusat kini menjadi urusan
pemerintah daerah masing-masing. Gagasan pelaksanaan otonomi daerah
adalah gagasan yang luar biasa yang menjanjikan berbagai kemajuan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Namun dalam
realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak sesuai dengan apa yang
dibayangkan.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada gilirannya harus
berhadapan dengan sejumlah tantangan yang berat untuk mewujudkan cita-
citanya. Tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut datang dari
56
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Diantaranya adalah tantangan di
bidang hukum dan sosial budaya. Adapun hubungan pemerintahan pusat dan
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah, penulis hanya
memberikan gambaran dalam bidang keuangan antara hubungan pusat dan
daerah.
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah sangan menetukan
kemandirian otonomi darah. akan tetapi, yang umum di persoalkan adalah
terbatasnya jumlah yang dimiliki daerah dibandingkan dengan yang dimiliki
pusat. Dari berbagai kenyataan mengenai hubungan keuangan antara pusat
dan daerah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.1
Dalam penyelenggaran sebagian urusan pemerintahan, pemerintah
daerah pempunyai kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah yang
meliputi pengelolaan dana secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel,
menyingkronkan pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan
program pemerintah pusat, dan melaporkan realisasi pendanaan urusan
pemerintahan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan.2
Berdasarkan pasal 279 Undang-undang Nomor 23 Tahuh 2014
tentang pemerintahan daerah, hubunghan bidang keuangan antara pusat dan
pemerintahan daerah meliputi;
1. Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah untuk
membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan
dan/atau ditugaskan kepada Daerah.
1 Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi: Dilengkapi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 dan Perubahan-perubahannya. (Bandung: Pustaka Setia. 2010), h. 156
2 Andi pangeran Moenta dan Syafa’at Anugrah Pradana, Pokok-pokok Hukum Pemerintahan
Daerah, (Depok; PT Raja Grapindi, 2018), h. 144
57
2. Hubungan keuangan dalam penyenggaran Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada pusat sebagai dimaksdu pada ayat (1) meliputi;
a. Pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan
retribusi daerah.
b. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
c. Pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk
Pemerintahan Daerah tertentu yang ditetapkandalam Undang-
Undang, dan
d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat,dan insentif
(fiskal)
3. hubungan keuangan dalam penyelenggaran urusan pemerintahan yang
ditugaskan kepada daerah sebagaimana dimaskud pada ayat (1)
disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan pemerintahan yang
ditugaskan sebagai pelaksanaan dari Tugas Pembantuan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan keuangan Pemerintahan
pusat dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan undang-undang.3
Karena anggaran daerah merupakan realisasi kebijakan fiskal, dan
kebijakan ini termasuk dari bagian kebijakan pemerintah daerah dalam
pembangunan, kebijakan penganggaran daerah harus ditangani dengan
sebaik-baiknya. Pengumpulan dan penggunaan dana harus disesuaikan
dengan kebutuhan pembangunan daerah. Pendapat pemerintah daerah harus
selalu meningkat, sedangkan pengeluaran harus dilakukan seeifisien
mungkin. Seluruh proses anggaran harus terkordinasi dengan rapi sehingga
mampu membiayai pembangunan. Fungsi pengeluaran adalah
mengalokasikan dana-dana kepada badan-badan pemerintah daerah sehemat
3 Lihat Undang-undang No. 23 Th 2014 tentang Pemerintahan daerah.
58
mungkin. Untuk itu dilakukan supervisi dengan ketat dan pengendalian
terhadap penggunaan dana sehingga sumber-sumber dana daerah dapat
dimanfaatkan dengan baik.
Berdasarkan pasal 285 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, sumber pendapatan daerah terdiri atas;
1. Sumber pendapatan daerah terdiri atas;
a. Pendapatan asli daerah meliputi;
1. Pajak darah
2. Retribusi daerah
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
4. Lain-lain asli pendapatan daerah yang sah.
b. Pendapatan transfer dan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2. pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. Transfer pemerintahan pusat terdiri atas:
1. Dana perimbangan
2. Dana otonomi khusus
3. Dana keistimeawaan
4. Dana desa
b. Transfer antar daerah terdiri atas;
1. Pendapatan bagi hasil dan
2. Bantuan keuangan.4
4 Lihat Undang-undang No. 23 Th 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
59
Hubungan pemerintah pusat dan daerah bukanlah permasalahan yang
baru di Indonesia akan tetapi problem masa lalu yang hingga saat ini belum
terselesaikan, meskipun waktu yang lebih dari cukup telah terlewati akan
tetapi bukan berarti tidak ada usaha sama sekali dalam menangani masalah
tersebut. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah, namun sampai saat
ini belum kunjung terselasaikan, permasalahan hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah telah banyak Undang-undang yang mengatur sampai saat ini
ternyata tidak kunjung terselesaikan juga, pemerintahan yang sentralistik
maupun pemerintahan yang demokratis telah di praktekan di negara ini yang
tentunya melahirkan berbagai pandangan dan penilaian masing-masing.
Kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini yang terkait dengan
pelaksanaan otonomi daerah adalah sebuah permasalahan yang cukup serius,
setidaknya ada beberapa motif yang melatar belakangi seperti,
keterjangkauan, efisiensi keamanan, dan ekonomi. Dalam implementasi
otonomi daerah setidaknya harus memperhatikan persoalan keterjangkauan,
terutama dari segi pelayanan terhadap masyarakat yang terkait pada persoalan
wilayah dan tata letak, persoalan efisiensi yang terkait dengan persoalan
biaya jarak. Hal tersebut yang harus mendapat perhatian besar dalam
pelaksanaan otonomi daerah disamping dua hal yang strategis keamanan dan
ekonomi yang juga harus mendapat perhatian. Disamping hal tersebut,
Indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis terutama pemerintah
yang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang
memiliki urusan yang terlalu banyak sehingga tidak satupun yang
terselesaikan dengan baik, pusat mengurus sampai pada urusan yang bersifat
teknis yang ada di daerah, pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis
dan terfokus.
60
B. Pandangan Fiqh Siyasah Terhadap Pengelolaan Keuangan dan
Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah
1. pengelolaan keuangan
Menurut Imam Al-Mawardi pengelolaan keuangan negara
dilaksanakan melalui dua bentuk, yaitu: Bait al-Mal dan kebijakan fiskal.
Pertama, Bait al-Mal adalah konsep yang diperkenalkan oleh Rasulullah
SAW yang mengelola keuangan negara melalui pengumpulan semua hasil
yang didapatkan oleh negara dan perbelanjaannya melalui pos-pos yang telah
ditetapkan oleh syariat.5 Bait al-Mal sendiri mirip dengan lembaga
Kementerian Keuangan dalam konteks Indonesia.6 Dalam Bait al-Mal
terdapat semacam direktorat APBN yang bertugas menyiapkan APBN,
direktorat pengendalian harta negara, dan direktorat pengawasan seperti BPK.
Bait al-Mal dalam mengelola keuangan negara berperan untuk
mengoptimalkan sumber-sumber keuangan negara, seperti harta miliki umum
(air, tanah, tambang, dll), harta milik negara (fai’, ghanimah atau instrumen
pajak), Kekayaan pribadi dari masyarakat seperti zakat.7
Kedua, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat kebijakan
ekonomi makro dan merupakan kebijakan utama pemerintah yang
diimplementasikan melalui APBN. Tujuan kebijakan fiskal menurut Imam
Al-Mawardi adalah untuk menyejahterakan rakyat dan untuk meningkatkan
5 Zulkadri, “Keuangan Publik Perspektif Imam Al-Mawardi dalam Kitab Al-Ahkam As-
Sulthaniyyah WA Al-Wilayat Ad-Diniyah”, KHOZANA: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Islam, I, 2
(Juli, 2018), h. 233.
6 Ali Fikri, Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: LPFE UI, 1997),
h., 35.
7 Zulkadri, “Keuangan Publik Perspektif Imam Al-Mawardi dalam Kitab Al-Ahkam As-
Sulthaniyyah WA Al-Wilayat Ad-Diniyah”, KHOZANA: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Islam, I, 2
(Juli, 2018), h. 233.
61
pendapatan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah tidak boleh
mendzalimi rakyat, seperti mewajibkan pajak diatas kemampuan rakyat dan
menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan syariat Islam.8
Menurut Ibn Khaldûn, penetapan pajak harus didasarkan pada prinsip
keadilan yang sesuai dengan syariah.9 Seperti pada pajak, tanah, kharâj,
jizyah, dan lain-lain. Semua itu memiliki batas yang tidak dapat dilebihkan.
Sementara dimasa al-Khulafa ar-Rasyidun, keuangan negara lebih banyak
bersumber kepada Zakat di dalam segala macamnya. Tetapi setelah wilayah
negara semakin luas yang meliputi tiga benua yang besar dan kepentimgan
negara bertambah banyak, maka sumber keaungan negara bukan lagi semata-
mata pada zakat akan tetapi dipusatkan pada kharaj yang bisa disebut dengan
pajak tanah dan didalam susunannya terdapat departemen perpajakan (diwan
al-Kharaj) atau departemen keuangan (baitul mal)10.
Demi mewujudkan kesejahteraan bagi segenap rakyat diperlukan dana
yang cukup dalam melakukan pembangunan diberbagai bidang. Dalam upaya
untuk pembangunan negara pemerintah dapat menghimpun dana melalui tiga
cara berikut, yaitu:11
8 Zulkadri, “Keuangan Publik Perspektif Imam Al-Mawardi dalam Kitab Al-Ahkam As-
Sulthaniyyah WA Al-Wilayat Ad-Diniyah”, KHOZANA: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Islam, I, 2
(Juli, 2018), h. 236.
9 Ibn Khaldûn, Muqaddimah, Edisi Indonesia, pener, Ahmad Thaha, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), h. 348.
10 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zana, Fiqih Siyasah, dan Pemikiran Politik Islam,
(Jakarta: Erlangga 2008), h, 359 yang dikutip dari Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam III:
Sejarah Islam dan Ummatnya Sampai Sekarang Perkembangan dan Zaman Kezaman, (Jakarta: Bulan
Bintang,1977), h, 268.
11 Muh. Fudhail Rahman, “Sumber-Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Negara Islam”, Al-
Iqtishad, V, 2 (Juli, 2013), h. 244.
62
a. Bisnis.
Dalam rangka menghimpun dana dengan tujuan untuk
menyejahterakan rakyat, negara dapat melakukan bisnis seperti
mendirikan perusahaan, misalnya mendirikan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Dengan mendirikan BUMN diharapkan dapat menghasilkan
keuntugan yang besar dan memberikan pemasukan kedalam sumber
keuangan negara.
b. Pajak.
Pajak merupakan cara yang umum dilakukan oleh setiap negara di
dunia dalam upayanya menghimpun dana. Dalam Islam hal yang paling
penting dalam pajak adalah distribusi yang harus berdasarkan pada asas
netralitas dan penyamarataan. Selain itu dalam penetapan pajak harus
didasarkan pada prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
c. Meminjam Hutang.
Dalam kehidupan penyelenggaraan negara saat ini, hutang lazim
menjadi salah satu sumber keuangan negara. Hutang yang dimaksud di
sini tentunya hutang yang ditujukan untuk pembangunan negara. Jika
dalam upaya pembangunan negara tidak ada dana yang culup, maka
proses pembangunan negara akan sulit dilaksanakan. Maka dari itu
hutang dapat menjadi solusi yang tepat bagi sumber keuangan
pembangunan negara.
Agar dalam pengelolaan keuangan negara tidak terjadi penyimpangan,
maka diperlukan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
Transparansi keuangan negara merupakan salah satu persyaratan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, dan bertanggungjawab.
Begitupun dengan akuntabilitas merupakan sarana bagi pemerintah dalam
kapasitasnya sebagai pengelola keuangan negara untuk mempertanggung
jawabkan tugasnya untuk menyejahterakan rakyat. Maka dari itu keuangan
63
negara harus dapat memberikan informasi yang jelas mengenai tujuan,
sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan
yang dianggarkan dan penggunaan dananya pun harus dapat dipertanggung
jawabkan.
sistem pendistribusian harta yang menjadi tanggung jawab lembaga
keuangan negara dikelola berdasarkan kondisi keuangan yang ada dan
wewenang lembaga ini dalam mendistribusikannya sesuai dengan tujuan
masingmasing. Bagi al-Mawardi,12 tanggung jawab institusi keuangan atas
penerimaan negara harus didistribusikan untuk kepentingan masyarakat.
Dalam pandangan al-Mawardi,harta yang menjadi hak institusi keuangan
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu harta yang hanya disimpan dalam
perbendaharaan kas negara untuk tujuan tertentu, dan harta yang menjadi aset
keuangan pemerintah yang diperoleh dari berbagai sumber penerimaan
Negara.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa pendapatan keuangan
negara dan perbelanjaannya dilaksanakan melalui pos-pos terpisah sesuai
dengan kebutuhannya masing-masing. Jika satu pos kategori tertentu
anggarannya kurang maka anggaran dari pos lain dapat dipinjam untuk
memenuhi anggaran pos yang kurang tadi. Menurut Al-Mawardi institusi
yang mengelola penerimaan keuangan negara harus mendistribusikan
keuangan negara tersebut untuk kepentingan rakyat. Al-Mawardi yang
menayatakan bahwa keuangan negara harus dipergunakan untuk melindungi
tujuan syari’ah (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang tujuannya
adalah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara
pengelolaan keuangan negara adalah melalui zakat. Keuangan negara
12 Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa-Wilayat al-Diniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996),
h, 213
64
didistribusikan untuk kepentingan rakyat melalui metode zakat yang
diserahkan kepada masyarakat yang termasuk dalam 8 golongan. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang akan berefek pada
tingkat kesejahteraan negara itu sendiri.
2. Otonomi dalam pandangan fiqh siyasah mengenai Hubungan
Pemerintahan Pusat dan pemerintah Daerah
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
otonomi maka perlu memperhatikan hubungan antara susunan pemerintahan
pusat dan pemerintahan daerah. Potensi dan keanegaramaan daerah, aspek
hubungan wewenang, memperhatikan kekuasaan, dan keragamaan daerah
dalam sistem Negara Kesatuan. Aspek hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemamfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
dilaksanaakn secara adil dan selaras.
Mengenai hubungan pusat dan daerah, dalam piagam itu dirumuskan
kedaalam prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata kehidupan bermasyarakat,
kelompok-kelompok sosial Madinah, jaminan hak, dan ketetapan kewajiban.
Piagam Madinah itu juga mengandung prinsip hubungan antar kelompok,
kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan sebagainya. Insiatif dan
usaha Muhammad saw dalam mengorganisir dan mempersatukan
pengikutnya dan golongan lain, menjadi suatu masyarakat yang teratur,
berdiri sendiri, dan berdaulat yang akhirnya menjadi suatu negara di bawah
pimpinan Nabi Muhammad saw, sendiri merupakan praktek siyasah, yakni
proses dan tujuan untuk mencapai tujuan.13
13 Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 5.
65
Bahwa setiap pemerintahan baik pusat maupun daereah pasti harus
memiliki hubungan satu dengan yang lainnya, seperti hubungan kewenangan,
hubungan pengawasan, dan hubungan keuangan. Agar ada kontrol dari tiap-
tiap pemerintahan dalam menjalankan kekuasaannya antar pemerintahan
pusat dan pemerintahan yang ada di daerah, terutama dalam hubungan
keuangan pusat dan daerah. Keuangan yang menjadi sumber untuk
meningkatkan kesejahtraan daerah-daerah yang mempunya tanggung jawab
kepada pemerintah pusat.
Terutama dalam sebuah negara kesatuan pasti ada hubungan antar
pemerintahan pusat dan daerah, seperti wilayah Islam pada masa Nabi
Muhammad Saw itu terbagi kedalam 10 daerah, sementara di masa khalifah
Abu Bakar ditambah menjadi 12 daerah administratif, maka masa khalifah
Umar bin Khattab jumlahnya diperkecil, tetapi dengan isi lebih luas, yakni
menjadi daerah-daerah otonomi yang memiliki badan-badan kekuasaan
lengkap mulai dari al-Imarah al-Khasah yang bersifat kolegial, menjadi
wilayah al-Ammah yang memiliki hak-hak otonomi dan hak melaksanakaan
peraturan-peraturan.14
Pemerintahan daerah merupakan tingkat pemerintahan yang
mempunya kekuasaan ditingkat daerah, dan miniatur pemerintahan negara.
Hanya saja kedudukannya menyerupai kadhi, kalau dilihat dari segi
pelimpahan kekuasaan dan sisi pandangan umum. Namun dari pandangan
kerjanya pemerintahan daerah lebih khusus karena kekuasaannya terbatas
pada daerah otonom. Dapat diketahui bahwa islam tidak hanya mengatur dan
menetukan secara eksplisit tentang bentuk pemerintahan suatu negara, daerah
atau wilayah. Tetapi islam hanya memberikan gambaran bahwa apapun
14 Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, (Yogyakarta: Pustaka Iqra, 2001), h.181
66
bentuk corak pemerintahan suatu negara, hanya mempunya suatu tujuan yaitu
mencapai kemaslahatan umat. Dan tugas terpenting dari pemerintahan adalah
memajukan pembangunan terutama dalam bidang ekonomi demi
meningkatkan tarif hidup masyarakatnya.
Dalam ketatanegaran Islam, tujuan dari pemerintahan adalah untuk
memperhatikan dan mengurus persoalan-persoalan duniawi, misalnya
menghimpun suber-sumber dana yang sah dan menyalurkan kepada yang
berhak, mencegah timbulnya kezaliman atau kerusuhan dan lain sebagainya.
Persoalan-persoalan duniawi tersebut mempunyai satu muara yaitu
pemerintahannya harus mampu membawa masyarakatnya untuk mencapai
kebahagiaan yang hakiki untuk akhirat kelak.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian terhadap permasalahan
maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut;
1. Penyelenggaran otonomi daerah di Indonesia itu diatur berdasarkan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah
dengan menggunakan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Adapun hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam bidang keuangan yaitu pemerintah pusat memiliki hubungan
keuangan dengan daerah untuk membiayai penyelenggaran urusan
pemerintahan yang diserahkan pusat kepada daerah. Hubungan keuangan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
daerah meliputi pemberian sumber penerimaan daerah berupa pajak
daerah dan retribusi daerah, pemberian dana yang bersumber dari
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pemberian
dana penyelenggaran otonomi khusus untuk pemerintahan daerah tertentu
yang ditetapkan dalam undang-undang, dan pemberian pinjaman atau
hibah, dana darurat dan insentif (fiskal).
2. Otonomi daerah dalam pandangan fiqh siyasah mengenai pengelolaan
keuangan dan hubungan antar pemerintahan pusat dan pemerintah daerah
yaitu:
a. Pengelolaan keuangan dalam islam itu dilaksanakan dalam dua
bentuk, yaitu; Bait al-Mal dan kebijakkan fiskal. Pertama, Bait al-
Mal adalah konsep yang diperkenalkan oleh Rasulullah SAW yang
mengelola keuangan negara melalui pengumpulan semua hasil yang
didapatkan oleh negara dan perbelanjaannya melalui pos-pos yang
telah ditetapkan oleh syariat. Bait al-Mal sendiri mirip dengan
68
lembaga Kementerian Keuangan dalam konteks Indonesia. Kedua,
kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat kebijakan ekonomi
makro dan merupakan kebijakan utama pemerintah yang
diimplementasikan melalui APBN
b. Sementara mengenai hubungan pemerintahan pusat dan daerah dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
otonomi, maka perlu memperhatikan hubungan antara susunan
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Potensi dan
keanegaramaan daerah, aspek hubungan wewenang, memperhatikan
kekuasaan, dan keragamaan daerah dalam sistem Negara Kesatuan.
Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemamfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanaakn secara adil dan
selaras.
B. Saran
Dengan adanya pelaksaan otonomi daerah yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan
pembangunan ditiap-tiap daerah bisa berjalan dengan merata. Dalam artian
bahwa pembangunan tidak hanya terfokus pada daerah-daerah tertentu saja,
tetapi pembangunan harus diberikan secara merata keseluruh daerah-daerah
yang ada di Indonesia. Selain itu tingkat kesejahteraan di daerah harus lebih
diperhatikan lagi, terutama dari segi keuangan yang diberikan pemerintahan
pusat kepada daerah untuk mengurus daerahnya, agar tercapai suatu daerah
yang sejahtera dan mandiri.
69
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abidin Ahmad, Zainal, Membangun Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Iqro, 2001.
Amiruddin dan Asikin, Zaina, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Andi pangeran Moenta dan Syafa’at Anugrah Pradana, Pokok-pokok Hukum
Pemerintahan Daerah, Depok; PT Raja Grapindi, 2018.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. II; Cet. I;
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara, Ed. I; Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta: Bumi
Aksara, 2008.
Chalid, Pheni, Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Jakarta :
Kemitraan,2005.
E. Koswara, Otonomi Daerah: untuk demokrasi dan kemandirian rakyat, Jakarta:
Yayasan Parida, 2001,
Fauzi, Noer, dan R.Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah. Yogyakarta:
Konsorsium pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST “Press”. 2000,
Fikri, Ali, Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: LPFE UI,
1997
Gaffar, Abdul, Karim, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
70
Huda, Ni’matul, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, pilihan atas federasi atau
negara kesatuan, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Ibnu Syarif, Mujar, dan Zada, Khamami, Fiqh Siyasah “Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam” Jakarta: Erlangga, 2008.
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah:Kontekstual Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014.
Kariangan, hendra, Politik Hukum dalam Mengelola Keuangan Daerah, Jakarta:
kencana, 2013.
Kariangan, Hendra, Politik Hukum dalam mengelola keuangan daerah, Jakarta,
Kencana:2013.
Khaldûn, Ibn, Muqaddimah, Edisi Indonesia, pener, Ahmad Thaha, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000
Madjid, Nurcholish, Memberdayakan Masyarakat, Menuju Negeri yang Adil,
Terbuka dan Demokratis, Jakarta: Paramadina, 1996.
Manan, Bagir, Hubungan Pusar dan Daerah Menurut UUD 1945, BandunG:Armico,
1998.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1985.
Pulungan, Suyuthi, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
R.G Kartasapoetra, Sistematka Hukum Tata Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
71
Rajab, Syamsuddin, Syariat Islam dalam Negara Hukum, Makassar: Alauddin Press,
2011.
Rosidin, Utang. Otonomi Daerah dan Desentralisasi: Dilengkapi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan Perubahan-perubahannya, Bandung: Pustaka
Setia, 2010.
Sinemo, Nomensen, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, jakarta: PT Pustaka
Mandiri, 2010.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran Ed. V;
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia UI-Press, 1993.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2000.
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian
Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang
Majemuk Ed. 1: Cet. II; Jakarta:Sinar Grafika, 2014
Sunardi, Peran manusia Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi Perspektif Ekologis
dalam Ajaran Islam, Jurnal Penelitian, Vol. 12 No. 2, Agustus 2018.
Sunindhia, Y.W, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1996.
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Jakarta: Rajawali, 1995.
Tim Penyusun Depag. RI, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Depag RI, 1982.
Ubedilah, Demokrasi, HAM,dan Masyarakat Madani,, Jakarta; Indonesia Center for
CivicEducation, 2000.
72
widjaja, Haw, penyelenggaran otonomi di Indonesia, Jakarta; PT Raja Grapindo
persada, 2005.
Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002.
Worotikan, Ian, Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995.
Jurnal dan Lainnya.
Amir, dalam H.A.R. Gibb et. Al., (ed), The Encyclopedia of Islam, Leiden: New
Edition, Vol I., W.J. Brill, 1979
Harusi, Fikhan, Otonomi Daerah di Indonesia (study kasus daerah kota madya
depok), Fakultas Ushuluddin dan filsafat jurusan akidah filsafat program
study pemikiran politik islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Ismira, Konsep Otonomi Daerah dalam Perspektif Hukum Islam, Fakultas Syariah
dan Hukum, program Hukum Pidana dan Ketatanegaran, UIN Alauddin
Makassar, 2017.
Kusriyah, Sri, Politik Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam Perspektif
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Pembaharuan Hukum Volume
III No. 1 April 2016.
Marsela, Reka, Pelaksanan Otonomi Desa Menurut Fiqh Siyasah, Fakultas Syariah
Jurusan Hukum Tana Negara, UIN Raden Intan Lampung, 2018.
Nadir, Sakinah, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa, Jurnak Politik Profetik
Volum 1 Nomor 1 Tahun 2013.
73
Rahman, Muh. Fudhail, Sumber-Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Negara
Islam, Al-Iqtishad, V, 2 Juli, 2013.
Safitri, Sani, sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia, jurnal criksetra,
volume 5, nomor 9 februari 2016.
Siregar, Syahrudin, Khilafah Islam dalam Pespektif Sejarah Pemikiran Ali Abdul
Razik, Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 1 Tahun 2018.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Zulkadri, “Keuangan Publik Perspektif Imam Al-Mawardi dalam Kitab Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah WA Al-Wilayat Ad-Diniyah”, KHOZANA: Jurnal Ekonomi
dan Perbankan Islam, I, 2 Juli, 2018