Upload
ariwanto-aslan
View
93
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Enam Belas
Penulis : Farah Reza Praditya
Alamat : SMA N 1 Magelang, Jalan Cepaka I Magelang.
Kelas Xii is 2
No Hp : 085643553478
No Rekening :
Pagi yang indah, pagi yang paling istimewa dan pagi yang paling cerah dari semua pagi
yang pernah mampir di Rumah Susun ini. Sekarang baru pukul lima pagi hari tapi aku sudah
siap. Bukan untuk berangkat bekerja karena kantor baru pukul delapan dan baru pukul tujuh
ada bis kota yang siap mengantarku ke sana. Amplop merah jambu inilah alasan mengapa
aku bangun lebih pagi dari biasanya, amplop dengan surat cinta, ya surat cinta untuk manusia
yang paling kucinta.
Aku hafal betul, tukang pos itu akan lewat depan rumah susun ini pada pukul lima lebih
empat puluh lima menit, berarti aku masih punya waktu empat puluh lima menit untuk
merapikan kamar dan aku tak boleh terlambat. “Seberapa penting sih surat itu za??
Kuperhatikan semalaman kau memeluknya” Tak hanya malam ini saja, sudah dua malam aku
memeluknya. “Surat wasiat ya?” Mbak Diana menyeletuk dari balik selimutnya. “Ngarang
aja..” Kataku sambil menarik selimutnya menggoda. “Jangan,dingin za..ampun” rengeknya
sambil terkekeh. Aku dan Diana memang bukan saudara sekandung tapi hanya padanya lah
aku bisa merengek dan bermanja-manja. Aku sudah menganggapnya sebagai saudara.
“Ini surat untuk emak di kampung mbak..” kataku sembari merapikan sajadah yang tadi
kupakai sembahyang. “Mau kasih kabar apa kamu za?? Jangan bilang kamu mau
mengabarkan bahwa anak gadis mereka gagal jadi model dan diperkosa?” Aku terhenyak
mendengar ucapannya. “Apa kamu yakin,mereka tak akan kecewa? Bukanya kamu pernah
cerita sama mbak ya, kalau kamu kabur dari rumah? Apa keluargamu sudah bisa
memaafkanmu za?” Bagai disambar petir, jantungku melompat ke tenggorokan sampai-
sampai nafasku sesak dibuatnya. Mbak Diana benar, aku bisa membayangkan bagaimana
derasnya air mata ibu jika membaca suratku ini, sungguh aku tak sampai hati. Ah, aku
memang hanya anak durhaka yang tak tahu diri. Tanpa kusadari aku telah menangis terisak-
isak bahkan gadis kecil di ujung ranjang itu sampai terbangun. Tanpa banyak bicara ia
memeluk leherku lembut. Rasa hangat menjalar sampai ulu hati “Ka-kak Az-za sak-kit?”
Ucap gadis itu terbat-bata. “Ndak kok sayang, ini kelilipan aja..” Jawabku dengan logat jawa
kental. “Ayo lek mandi... sudah siang!” Ku gendong tubuh mungil itu ke kamar mandi.
“Sudah, jangan cengeng. Jakarta tak membeli air matamu, kecuali kau bintang sinetron”
Mbak Diana menepuk punggungku perlahan.
Ia benar. Dengan hati yang masih terkoyak-koyak kuletakkan amplop berisi 25 lembar
kertas folio yang terlipat rapi pada laci lemari kamar. Tak perlu Emak membacanya. Batinku
koyak.
“Za..hidup ini tak mudah dan akan lebih mudah jika tak dikeluhkan” Mbak Diana
membesarkan hatiku. Ia memang tak sesempurna kalimat-kalimatnya, ia adalah mantan orang
terbuang dan gagal sama sepertiku. Tapi aku tak pernah membenci hidupku seperti ia
membenci hidupnya. Seperti ia membenci takdir dan Tuhan. Aku bahkan tak pernah
menemukannya bersujud maupun sembahyang. Aku pernah bertanya sekali tentang tabiatnya
yang satu itu, dan jawabannya sungguh mengejutkan. Jawaban yang menggambarkan gurat-
gurat kekecewaanya pada Tuhan. “Tuhan sedang sibuk, Ia tak kan melihatku biarpun aku
melolong ketakutan” Jawabnya getir. Mbak Diana pernah bercerita tentang hidupnya, tujuh
tahun yang lalu ia seorang mahasiswi kedokteran di salah satu perguruan tinggi terbaik di
kota ini, terperangah juga aku mendengarnya sungguh tak menyangka. “Bisa kau bayangkan
betapa bangga ayahku yang hanya seorang pensiunan pegawai negeri mempunyai anak calon
dokter.” Hidupnya yang lancar-lancar saja, sampai pada akhirnya ia hamil di luar nikah.
Kekasih yang selama ini ia percaya lari entah ke mana, jadilah Mbak Diana menanggung
beban ini sendirian. Keluarga Mbak Diana benar-benar murka saat ia membawa seorang bayi
mungil dalam pelukannya. Bukan karena bibirnya sumbing tapi karena anak tak berdosa itu
tak berayah. Tepatnya tak ada pria yang mengakui bayi mungil itu sebagai anaknya. Wajar
saja jika Mbak Diana menyematkan nama Nela, akronim dari kata Nelangsa dan Lara begitu
katanya.
Tak sampai situ saja penderitaan Mbak Diana dan Nela, mereka diusir dari rumah tanpa
membawa harta benda apapun. “Aku terpaksa mengundurkan diri dari kampus karena dengan
kewarasan penuh aku yakin takkan mampu membayar biaya kuliah yang sangat mahal, dan
kau pasti tahu Za dengan hadirnya Nela beban hidupku akan sangat berat,aku perlu susu perlu
popok bayi dan perlu tempat tinggal yang layak untuk berteduh, tak mungkin aku membawa
Nela tidur di emperan toko, tak sampai hati aku melakukannya” Suara Mbak Diana bergetar,
sampai membuat bulu kudukku merinding. Benar-benar wanita luar biasa, pujiku dalam hati.
“Berhari-hari aku tinggal di sebuah di pos satpam yang hampir ambruk tanpa alas tidur
ataupun selimut sering aku bergidik saat mendapati bibir Nela membiru kedinginan, tapi Nela
tak pernah menangis, sekalipun air susuku tak keluar lancar karena aku pun tak bisa makan,
masa yang sulit bagi kami Za..sangat sulit” Malah air mataku yang menetes sedang wanita
kuat itu hanya tersenyum getir.
Tapi bukan Mbak Diana kalau menyerah, ia terus mencari celah untuk lepas dari masa
sulit ini. Kantor demi kantor ia datangi, gedung demi gedung ia jelajahi, sampai pada
akhirnya ada sebuah rumah sakit yang mau menerimanya. Dengan latar pendidikan yang ia
miliki, Mbak Diana bekerja sebagai staf bangsal rumah sakit tersebut. Hidupnya berangsur-
angsur membaik, ia mampu membeli sepetak rumah susun yang layak huni, setidaknya ia tak
menggelandang lagi.
Tapi nampaknya Tuhan mempunyai banyak rencana untuknya, pada usia 3 tahun Nela di
vonis menderita cacat mental, penyakit ini membuat Nela memiliki kecerdasan di bawah
anak-anak normal, tak memiliki kemampuan komunikasi yang baik bahkan Nela sering
melakukan hal-hal berbahaya karena ia memiliki tingkat pemahaman di bawah normal, ini
membuat Nela harus di jaga dua puluh empat jam penuh untuk menghindarkannya dari
celaka. “Malang kuadrat” begitu komentarku saat Mbak Diana menceritakan penyakit Nela
bak seorang dokter kejiwaan hebat. “Sesunguhnya kau memang calon dokter hebat” Aku
bergumam perlahan. Mahalnya biaya hidup di kota serba mewah ini memaksa Mbak Diana
menyekolahkan Nela di sekolah biasa, itupun karena Mbak Diana kenal dengan kepala
sekolahnya, kalau tidak? Nela terancam tak sekolah. Ironis memang. “ka kak aazz aaah a yo
be rang kat” Nela membuyarkan lamunanku. “Sudah siap sayang?” Aku menatapnya lekat-
lekat, mata gadis yang sempurna dengan warna hitam pekat dan bulu mata yang meliuk ke
atas, hidung panjang yang mancung dan tulang pipi yang tegas. Hampir sempurna, jika bibir
itu melengkung penuh tanpa jeda. “Suud ah” Jawabnya terbata-bata. “Ayo berangkat, pamit
sama mama dulu..” Gadis itu jalan berjingkat mendekati ibunya, meraih tangan wanita itu
perlahan dan mengecupnya. “Ma..be rang kat” di kembangkan bibirnya hingga giginya yang
putih berbaris rapi dibelakang. “Ya..”. Mbak Diana memang tak pernah memanjakan Nela,
untuk mengelus kepalanya saja ia segan. Bukan karena ia tak mencintai gadis itu, tapi ia tak
ingin Nela lemah. “Jangan kau manjakan anakku itu za, hidupnya tak akan mudah maka ia
harus belajar bertarung dengan nasibnya sendiri” Mbak Diana senewen saat sesekali aku
membelikan Nela es krim. “Biarlah, hanya sesekali saja..” kataku berdalih sambil terkekeh.
“Mbak di, za berangkat ya...” ucapku sambil membuka pintu rumah dan hendak
melenggang keluar. “Kak za...” Nela menunjuk sekuntum mawar putih dan secarik kertas
yang tergeletak di depan pintu rumah. Ini bukan untuk pertama kalinya. Sudah kali ke lima
puluh kali mungkin aku menemukan bunga mawar putih dan secarik surat gombal ini dan
sudah ke sekian puluh kali aku membuang bunga ini di tong sampah dekat pintu masuk
rusun. Memang sengaja aku melakukannya, agar pengirim tak rahasia itu tahu kalau aku
tengah menolak cintanya. “Tak kapok-kapok pria gila itu!” Makiku kesal. Bergegas aku
menuruni tangga dan berlari kecil menuju ujung jalan, ini sudah terlalu siang. Aku takut gadis
ini terlambat. “Nela, maafkan kak aza ya..kita jadi ketinggalan bis gini..” Aku panik setengah
mati, tak ada bis yang mau berhenti, semuanya telah di jejali manusia-manusia yang saling
berebut tempat tanpa empati, tak mungkin aku naik taksi, sama saja puasa seharian jadinya.
Tapi tiba-tiba sebuah mobil sedan perak mendekati kami, mobil lelaki gila itu. “Udah telat ya
sayang? Berangkat sama om aja yuk!” Pria berkemeja putih itu tampak tampan dengan
potongan rambut barunya yang tampak keren, aku tertegun saat ia keluar dari mobil dan
mendekati Nela, seolah mengacuhkanku. “Ya oo om” Nela tersenyum senang. Tanpa basa
basi pria itu menggendong Nela masuk ke dalam mobilnya tanpa menatap ke arahku sedikit
pun. Kesal benar aku dibuatnya. “Hei..main bawa aja anak orang!” Kataku sewot. “Anak
Mbak Diana kan? Di tak kan keberatan jika aku mengantar Nela ke sekolah” Ucapnya pura-
pura acuh. Benar juga, Mbak Diana takkan marah padanya, Aldo adalah dokter anak yang
baru magang di rumah sakit tempat Mbak Diana bekerja, sudah tentu mereka cukup akrab
pasti Mbak Diana takkan marah jika Aldo mengantar Nela, toh ia takkan menculik Nela.
“Huft, hancurlah gengsiku” Gumamku lirih. “Mau ikut gag?” Lagi-lagi aku terperangkap
dalam sikapnya yang menyebalkan. “Aku ikut bukan karena kamu! Aku hanya takut Kamu
menculik Nela!” Ujarku ketus yang disambut tawanya. “Baiklah, nona galak” Di kursi
belakang aku mengamati bagaimana pria itu memasangkan sabuk pengaman ke tubuh Nela
dengan lembut, mengelus kepala Nela dengan wajah tulus. Darahku berdesir. “Sudah kau
buang bunganya, nona?” Ia mencoba membuka percakapan sambil menatapku dari kaca
depan mobil. “Tentu...” Jawabku acuh. “Suratnya?” Tanyanya lagi. “Sudah aku masukkan
dalam kardus, mungkin bulan sudah bisa dikilokan,” Jawabku tanpa emosi. Aku tak boleh
terlihat lemah di matanya, biar saja ia kesal dengan semua ucapanku. “Bulan depan?
Mungkin jika ku perpanjang suratnya minggu depan kau sudah dapat menjualnya, nona,” Ia
tertawa, tak ada nada kesal dalam kalimatnya. Sial. “Membaca lima kalimat darimu saja aku
tak pernah apalagi kau membuatnya berhalaman-halaman” Jawabku dengan sedikit melotot.
Dan lagi-lagi ia tertawa. Tawa yang membuat darahku berdesir.
Mobil berhenti di sebuah sekolah swasta yang sudah lenggang, ya wajar saja sudah sepi,
pasti semua murid sudah masuk. Kuputuskan mengantar Nela sampai kelas, tak tega aku
melihatnya berjalan sendirian. “Te teri ma kas sih ya om” Nela meraih tangan Aldo dan
menciumnya. Jantungku berdegup keras. Nela tak pernah mencium tangan sembarangan
orang, hanya orang-orang yang dicintainya saja. Tapi apa-apaan ini? Baru beberapa kali
bertemu, pria itu berhasil merebut perhatian Nela. “Ayo, sayang!” Kataku sambil
membimbingnya keluar mobil. “Thank” Ucapku cepat, aku tak mau ia menangkap rasa
kagum yang baru saja menyeruak dari hatiku. Dan ia hanya tersenyum. Manis sekali.
Oh tidak...aku tak boleh menaruh rasa apapun padanya. Kagum sekalipun. Semua lelaki
itu tak beradab! Makiku kesal, bukan kesal padanya, tapi kesal pada hatiku sendiri.
Setelah mengantar Nela sampai kelas, aku bergegas pergi. Satu jam lagi aku harus tiba di
kantor, atau matilah aku. Mungkin aku harus naik ojek, takkan ada bis kosong jam segini.
“Mau nebeng lagi??” Ternyata pria itu belum beranjak, ia menungguku. Keras kepala juga
manusia yang satu ini. “Aku naik ojek saja..” Aku tak boleh lemah di matanya. “Baiklah..”
Jawabnya ringan sambil meninggalkanku sendirian di pinggir jalan. “Laki-laki macam apa
dia??Tega benar membiarkan seorang wanita sendirian di jalan begini? Tidakkah ia
berinisiatif untuk mencarikan kendaraan? Atau setidaknya menungguku dulu” Makiku kesal,
sebenarnya tadi aku berharap Aldo akan memaksaku masuk mobilnya agar aku tak nampak
memelas di matanya. Sial benar nasibku pagi ini. Jarum jam sudah meringkuk sempurna,
pukul setengah delapan. Mati aku!!. Empat puluh lima menit lagi jadwal shift-ku mulai, Oh
Tuhan...aku tak mau masa Trainingku gagal total.
Sudah sesiang ini tapi pangkalan ojek belum terisi oleh para penjaja jasa antar. Malas
benar tukang ojek daerah ini? Kalau di kampungku dari jam lima subuh pangkalan ojek sudah
terisi penuh bahkan banyak dari mereka yang sudah mengantar ibu-ibu penjual sayur ke
pasar. Kota yang malas!. Semua serba pribadi sih, mobil pribadi, rumah pribadi, bahkan
sampai perusahaan saja milik pribadi. “Sudah siang neng, mau ngojek?” Seorang pria
berhelm duduk di belakang stang motor menghampiriku. “Iya bang, ojek?” Tanyaku sedikit
heran. Tukang ojek kok pake kemeja dan sepatu mengkilat?. “Iya, ayo neng!” Aku agak
familiar dengan suaranya. Tapi, ya sudahlah daripada telat. “Tamrin ya bang...” Kataku
sambil mengambil posisi duduk di belakangnya “Siap neng!” Suara yang kukenal. “Ngebut
ya neng, pegangan..” Entah kesurupan setan apa, tapi tukang ojek ini agak gila membawa
motornya. Aku sudah tak mampu berkata-kata lagi, nafasku sudah tak teratur, apalagi degup
jantungku yang tak karuan. Mau mati saja rasanya. “Sampai neng..” Ha? Aku kan belum
bilang di mana kantorku, bagaimana bisa ia mengantarku ke sini. “Berapa bang?” Kataku
sambil mengeluarkan dompet dari tas penuh heran. “Bayarnya pake dinner aja ya neng?”
Tukang ojek itu membuka kaca helmnya. “Aldo!” Kataku setengah berteriak. “Jam setengah
tujuh, ku jemput di rumah. Kau harus bayar, sudah hutang dua kali kau padaku!” Katanya
tersenyum kemenangan. Kurang ajar benar ia menjebakku. “Dua kali??” Tanyaku tak terima.
“Pertama, aku sudah mengantarmu tepat waktu yang kedua, enak saja kau peluk-peluk
punggungku. Emang kau pikir aku cowok apaan?” Ia berpura-pura marah. “Siapa suruh
ngebut? Lagipula kau sendiri yang minta aku pegangan!” Jawabku sambil berkacak
pinggang. “Aku minta kau pegangan, bukan pelukan!” Jawabnya sambil memacu gas dan
meninggalkanku. “Jam setengah tujuh ya neng...” Teriaknya keras-keras. Dasar pria gila tak
tahu malu!. Habis tenagaku memakinya, sungguh lelaki aneh.
Untung saja aku belum terlambat, jika sampai aku terlambat,aku tak tahu bagaimana
jadinya nasib menghantamku. Bu Indah, kepala kebersihan akan mengomeliku seharian,
salah-salah aku akan mendapat surat peringatan, untung saja. “Diantar cowokmu ya tadi za?”
Mila sahabatku mencoba menggodaku. “Bukan, itu pria gila yang menyamar jadi tukang
ojek.” Jawabku sambil menyiapkan pel dan sapu. “Dokter yang naksir kamu itu?” Mila
semakin penasaran. “Iya dokter sakit jiwa itu..” Kataku dengan nada mencibir. “Katanya
dokter anak za? kok sekarang dokter sakit jiwa?” Ya ampun Mila, polos sekali kamu ini.
“Ayo bantu aku mengepel kantor depan!” Kutarik lengannya mengikutiku. “Apa dia jadi
dokter jiwa dan anak? Hebat dong..” Mila tak henti bertanya soal pria gila itu. “Iya” Jawabku
sekenanya. “Aza..kamu ni bego amat sih, ada dokter tajir ganteng lagi, kamu tolak gitu aja..”
Mila mulai berkutat dengan pembicaraanya sendiri. “Za za..kalau aku jadi kamu pasti aku
mau saja. Kalau dilihat-lihat wajahnya kayak artis lho..” Memang, tapi dia sedikit gila.
“Jaman sekarang mana ada cowok yang mau ngejar-ngejar cewek kayak dia ngejar kamu”
Dia kan gila, kamu lupa Mil?? “Kamu tu di ajak ngobrol malah diem aja..” Mila mencubit
lenganku gemas. “Aduh ampun Mil, tadi sudah kujawab kok” Mataku mengerling. “Dalam
hati!!” Ucap kami bersamaan dan tertawa sampai leher kami mau lepas rasanya. “Sudah-
sudah, nanti kita ketahuan macan meteng lho za..” Mila memperingatkanku. “Ra papa...
hiburan” Kataku kembali terkekeh.
Aku dan Mila adalah para urban yang kurang beruntung. Usiaku yang baru 16 tahun,
masih terlalu belia untuk bertarung dengan desakan hidup metropolis yang tak mudah, begitu
juga Mila, usianya baru 18 tahun, tapi sudah dua kali dia menikah dan ini sudah kedua
kalinya ia diceraikan. “Mantan-mantan suamiku gak ada yang perhatian seperti dokter itu lho
za, lha dia belum jadi suami aja uda perhatian gitu, gmana jadi suamimu?” Mila, mengusikku
lagi. “Mila, aku gak mau nikah” Jawabku serius sambil menatapnya lekat-lekat. “Kenapa?
Sampeyan guyon to??” Mila terperangah mendengar jawabanku. “Semua lelaki itu biadab!
Pacarnya Mbak Diana kabur dari tangung jawab, suamimu itu juga tak kalah biadab kan?
Buktinya mereka membuangmu!” Dan pria itu telah merebut kesucianku. Merebut masa
depan dan hidupku. Tiba-tiba aku merasakan serangan rasa muak yang teramat, aku menangis
dan berlutut. Aku membenci tubuh ini, aku membenci semua lelaki. Semuanya.
*---------------------------------------*
Kebencian ini muncul sejak aku mulai melangkahkan kaki keluar dari rumah.
Meninggalkan emak dan bapak di kampung. Meninggalkan hidup yang aman dan terjamin.
Menyisakan luka yang dalam. Mbak Parti yang baru saja pulang dari kota mendadak jadi
kaya, rumah yang tadinya reyot dipugar dan dibikin gedong, bahkan dengar-dengar akan di
buat tingkat dua. Gagah benar. Mbak Parti yang dulunya janda enggak laku tiba-tiba
digandrungi oleh semua duda dan bujangan tua di desaku. “Padahal dulu pake jarit aja nda
pantes ya?Sekarang sudah pandai pake rok mini. Duh Gusti..” Emak menggeleng-gelengkan
kepalanya keheranan. Sampai pada suatu hari mbak Parti ke rumahku sambil menawarkan
harapan. “Bulan depan ada pemilihan model remaja lo za.” Katanya penuh semangat. “Ini
brosurnya, kamu punya kesempatan” Mbak Parti mulai menghasutku. “Tu dibaca,
persyaratanya kan sudah kamu penuhi semua ta nduk? Cantik, tinggi 165, menarik, trus yang
terakhir usia minimal 16 tahun. Lha kamu tu kurang apa? Ayune kaya bidadari gitu..”
Sering aku berkaca dan mengagumi wajah dan tubuhku sendiri, berandai-andai jika aku
menjadi artis. Ya, seluruh warga desa selalu menyebutku sebagai kembang desa. Katanya
mataku hitam,besar dengan bulu mata panjang dan lentik. Hidungku mancung sempurna.
Daguku tajam dan mengundang cubitan. Tulang pipiku menonjol, membuat aku terlihat
tembem dan menggemaskan. Tubuhku? Jangan di tanya.
“Di kota kamu bisa jadi orang kaya nduk..jadi model itu enak cuma foto ama senyum
aja” Mbak parti semakin gencar menghasutku. “Nanti aza bilang Bapak dulu ya...” Kataku
sambil mendekap brosur itu rapat-rapat. Ada getaran yang berbeda. Seolah-olah aku telah
menemukan masa depanku. Dengan semangat yang membara kuserahkan brosur itu pada
Bapak, kuulang semua penjelasan mbak Parti dengan sempurna lalu ku bumbuhi agar Bapak
semakin percaya. Percaya kalau ini takdirku. Kulihat dahi Bapak berkerut, bibirnya sedikit
melengkung dan ia semakin cepat menghisap rokok. Ini pertanda tak baik. Tiba-tiba Bapak
berdiri, mengelus kepalaku dan berkata “Bapak memberikanmu nama Fatimah Az-Zahra
bukan Angelina atau Margaretha itu ada alasannya. Bapak pingin kamu jadi anak yang sholeh
seperti putri Kanjeng Rasul, berbakti sama emakmu, bapakmu juga. Jadi istri yang shaleh.
Bukan jadi model macam gini.” Suara Bapak semakin meninggi. “Kamu tidak usah macam-
macam. Kamu sekolah saja yang benar, kamu ini anak bau kencur, tau apa soal hidup” Bapak
kembali ke kursinya lalu mulai menghisap kretek. “Aza bukan jadi model kalender yang
saru-saru itu kok pak..aza mau jadi model remaja” Kataku mendesak “Sama wae, mau jadi
model apa aja tetep nanti harus pake baju mini. Bapak nda sudi kamu pake rok mini kaya
mbak Parti itu! Malu bapak nduk...” Bapak benar-benar marah dan aku benar-benar tak mau
tahu.
“Tapi ini panggilan hati Aza pak..sudah lama Aza mengimpikan semua ini..” Kataku
terus mendesaknya setuju. Bapak memang seharusnya setuju. “Aza..kamu ini tau apa soal
masa depan? Bapak ini sudah cukup makan manis getirnya dunia, Bapak hanya mau kamu
bahagia..” Suara bapak mulai melembut. “Aza mohon..” Kataku memelas “Selesaikan saja
sekolahmu dan Bapak tidak mau dengar soal ini lagi, sampai kapanpun jawaban Bapak tetap
tidak akan memberimu izin za..sudahlah jangan merengek lagi..” Bapak meninggalkanku dan
melenggang masuk ke bilik. Tanpa sempat melihat air mata ini.
Ini sama sekali bukan air mata ketakutan apalagi air mata terdakwa di kursi pesakitannya
tapi sebaliknya ini air mata Soekarno saat membacakan pidato kebesarannya, Indonesia
Menggugat di depan kompeni, air mata seorang pejuang yang takkan kalah. Air mata
pembelaan, air mata kemarahan dan air mata untuk kebebasan. Malam itu telah bulat tekadku,
Indonesia sudah merdeka tapi kenapa aku masih saja dijajah? Aku akan menghirup
kebebasan. Kabur dari rumah. Merinding juga aku memikirkannya, kabur dari rumah. Segera
ku raih kotak perhiasanku, aku punya kalung dan gelang pemberian emak yang terkadang aku
pakai saat kondangan tetangga. Mungkin ini akan berguna suatu saat, gumamku. Tanpa pikir
panjang, segera ku raih tas ransel yang tak terlalu besar di atas lemari,sedikit berdebu
memang tapi tak apalah. “Nduk, buka pintu...” Suara Emak terdengar parau di seberang
pintu. Ragu aku membukanya, tapi itu Emak, malaikatku. “Nduk...” Emak tersenyum saat
aku membuka pintu. Aku tahu ia takkan pernah marah padaku. “Kamu sudah makan?”
Tanyanya teramat lembut. “Belum” Jawabku tanpa sanggup menatap matanya, aku takut
menemukan matanya yang sembab karena menangisiku. Aku terlalu pengecut untuk
melihatnya.
“Bawa kalung dan uang panen Bapakmu ini, ati ati ya nduk,jangan lupa shalatnya dan
jangan lupa kabari Emak..” Emak memelukku erat-erat, pelukan yang khas dengan
perpisahan, pelukan yang selalu kulihat pada film-film perang, pelukan yang terakhir. Dan
pagi itu aku bergegas ke terminal tanpa sepengetahuan Bapak, tapi dengan izin emak bahkan
aku diantar Pak Dhe Yadi, kakak sulung emak. “Arep ning ndi ta za?” Pak Dhe Yadi
kebingungan saat Emak memintanya mengantarku sampai terminal pagi-pagi buta. “Meraih
cita-cita pak Dhe..” Jawabku enteng tanpa ada firasat bahwa keputusanku adalah bencana.
Ini baru pukul dua pagi, kereta terakhir baru akan datang pukul tiga nanti, kusandarkan
punggungku di kursi peron, melepas lelah batin sejenak. Ku dekap tas ranselku erat-erat
sambil berusaha menghalangi angin malam menusuk tulang igaku. Dingin. “Mau ke mana
dek?” Suara itu membuatku terperanjat. Suara asing. “Mau ke Jakarta mas..” Ucapku ramah
tanpa prasangka. Dan kalimat itu adalah kalimat yang terakhir ku ingat sampai akhirnya aku
terbangun pada sebuah kamar hotel. Pandanganku sedikit kabur, rasanya seperti habis
pingsan. Kurasakan tubuhku remuk seperti ada ribuan paku yang menusuk tulang
rusukku,sakit. “Selamat pagi cantik...” Suara asing itu lagi. “Makasih ya semalam, ini
upahmu... aku harus berangkat kerja. Kalau kamu mau menginap semalam lagi bayar dengan
uangmu sendiri ya..” Suara asing itu menghilang. Dan aku tidur lagi.
“Dimana aku?” Teriakku panik saat kutemukan diriku tidur pada sebuah kamar hotel
tanpa dibalut busana sehelai pun. Air mata ini mengalir saat kusadari ada bercak darah di
sprei. Aku nyaris terkena serangan jantung. “Tidaakkkkk!!!” Ternyata teriakan itu tak
mengundang siapa pun datang, kecuali ketakutan yang amat sangat. Tubuhku mendadak
lemas, sama sekali tak bertenaga. Aku diperkosa. Ya ku diperkosa oleh orang asing yang tak
berotak!. Aku kehilangan gelar perawanku dan aku tak tau di mana aku sekarang. Kenyataan
itu membuatku kepalaku serasa sempoyongan bak di lempar bogem mentah.
“Emak.....tolong....!!” Teriakku berkali-kali tanpa bersuara, tenggorokan kering, suaraku
serak. Entah mimpi buruk macam apa ini, tapi jika ini memang hanya mimpi aku ingin segera
terbangun dan memeluk Emak. Aku takut mak, terlebih saat aku membaca sebuah catatan
kecil di samping kasur. “Selamat Datang di Jakarta. Anggap saja ongkos keretamu adalah
upah” Aku baru saja kehilangan duniaku, kegadisanku bahkan cita-citaku. Aku tak mungkin
pulang, apa kata orang kampung nanti? Oh Tuhan..aku habiskan berhari-hari dengan tidur di
jalanan,tanpa uang cukup, tanpa tujuan dan tanpa harapan. Hingga akhirnya Mbak Diana
memungutku.
*-------------------------------------------------*
“Aza...aza......” Mila memelukku erat-erat, melantunkan beberapa kalimat tasbih
padaku,tapi aku tak mampu menjawabnya. Tubuhku melayang, kenangan buruk itu
membawaku ke dalam ruangan dingin hampa udara. Nafasku sesak, benar-benar sesak.
Mataku kabur, aku hanya bisa mendengar Mila menagis dan terus memanggil namaku. Aku
ingin menjawabnya tapi tampaknya ia tak dengar, aku tengah melayang. “Aza..istighfar...”
Kali ini bukan suara Mila, ini suara pria. “Aza..buka matamu..” Tubuh itu tiba-tiba
memelukku dan rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Perasaan yang telah lama tak
kurasakan. Getaran lembut yang menenangkan. “Za..kamu sudah sadar?” Pria itu melepas
pelukannya, dan menatap wajahku. Tolong jangan lepaskan, peluk aku lagi. kumohon,
sedetik saja. Aku menyukainya, pelukanmu. Darahku tiba-tiba berdesir, rasa bahagia yang
selama ini hilang entah ke mana tiba-tiba berlarian di jantungku, seperti riak kecil yang
melebar dan menyentuh ujung kolam, kolam hatiku. Tolong jangan lepaskan pelukan
itu,kumohon....
*----------------------------------------------------*
“Suratku untuk takdir...” Kubaca sebuah kalimat terakhir dalam novelku, riuh tepuk
tangan membuncah. “Darimana anda mendapatkan inspirasi dalam pembuatan novel ini?
ceritanya benar-benar bergerak dan nyata” Seorang juru berita bertanya diantara kasak-kusuk
undangan lainnya. “Terima kasih atas pertanyaannya, ini adalah bagian dari surat saya untuk
ibu saya di kampung. Jadi semua cerita dalam novel ini benar adanya” Jawabku dengan dada
bergetar. Ini adalah peluncuran novel perdanaku yang berjudul ‘16’. “Mengapa judul
bukunya enam belas?” Tanya seorang undangan di ujung ruangan. “Karena semua cerita itu
saya alami pada usia ke enam belas..” Memang sengaja ku beri tekanan pada kata enam belas,
agar seluruh dunia tahu bahwa aku sudah jatuh bangun hingga jungkir balik melawan takdir
saat usiaku baru enam belas. Ya, baru enam belas.
Tuhan terima kasih, aku percaya kau tak pernah sibuk untuk menjagaku.