Upload
vuongtram
View
245
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PANDANGAN QURAISH SHIHAB TERHADAP AYAT-AYAT
HUKUM KELUARGA DALAM AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
FUAD ALI FIKRI
NIM: 11140440000121
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H / 2019 M
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PANDANGAN QURAISH SHIHAB TERHADAP AYAT-AYAT
HUKUM KELUARGA DALAM AL-QUR’AN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
FUAD ALI FIKRI
NIM: 11140440000121
Di Bawah Bimbingan:
Dr. Hj. Azizah, MA
NIP. 196304091989022001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PANDANGAN QURAISH SHIHAB TERHADAP
AYAT-AYAT HUKUM KELUARGA DALAM AL-QUR’AN” telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 21 Januari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal al-Syakhsiyyah).
Jakarta, 21 Januari 2019
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Phil. H. Asep Saepudin Jahar, MA
NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Dr. Abdul Halim, M.Ag (..…………………….)
NIP. 196706081994031005
Sekretaris : Indra Rahmatullah, SH, MH (......………………….)
NIP.
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA (...……………………)
NIP. 196304091989022001
Penguji I : Dr. Mesraini, M.Ag (..…………………….)
NIP. 197602132003122001
Penguji II : Hj. Hotnidah Nasution, MA (..…………………….)
NIP. 197101311997032010
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 01 Januari 2019
FUAD ALI FIKRI
NIM: 11140440000121
v
ABSTRAK
Fuad Ali Fikri. NIM 11140440000121. PANDANGAN QURAISH
SHIHAB TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM KELUARGA DALAM AL-
QUR’AN. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. xiv+85
halaman dan lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis pemikiran Quraish Shihab
mengenai masalah-masalah hukum keluarga. Pembahasan dalam skripsi ini
menguraikan tentang komparasi pemikiran Quraish Shihab dan fuqaha mengenai
jenis-jenis atau instrumen yang ada dalam hukum keluarga guna untuk
mempertajam bagaiamana pemikiran Quraish Shihab tersebut, serta menggali
metode istinbath hukum yang digunakan oleh Quraish Shihab. Karena sebagai
seorang mufassir beliau dituntut untuk dapat menguasai seluruh cabang ilmu
termasuk yang berkaitan dengan hukum keluarga. Dengan meneliti pemikiran-
pemikirannya, diharapkan akan tergambar tentang bagaimana hukum keluarga
perspektif ahli tafsir.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
melalui pendekatan normatif (normatif-yuridis), karenanya tehnik pengumpulan
datanya menggunakan data kepustakaan (library research). Objek penelitian ini
adalah Quraish Shihab namun hanya terbatas pada pandangannnya tentang
menafsirkan ayat-ayat hukum keluarga dalam Al-Qur‟an. Sumber primer (primary
resources) penelitian ini adalah buku-buku karya Quraish Shihab yang relevan
dengan pembahasan, adapun sumber skunder dalam penelitian ini adalah buku-
buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan
permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemikiran Quraish Shihab
mengenai permasalahan dalam hukum keluarga seperti Nusyuz, isteri bekerja,
Poligami, batas minimal mahar, status kawin hamil, Aborsi, nikah beda agama,
dan keluarga berencana(KB) masih relevan dengan pemikiran dan pandangan-
pandangan fuqaha klasik. Hanya saja pemikiran Quraish Shihab terlihat lebih
kontemporer dan berada pada posisi tengah-tengah atau bahkan keluar dari
pendapat jumhur ulama sehingga terlihat adanya perbedaan pandangan dengan
para fuqaha dalam memahami makna ayat-ayat hukum keluarga dalam al-Qur‟an.
Akan tetapi pemaknaan itu lebih bersandar pada konsep kemaslahatan dan kehati-
hatian dan tidak keluar dari esensi dan koridor ajaran-ajaran syariat Islam. Oleh
karena itu pendapat-pendapatnya dapat dijadikan sebagai pilihan atau alternatif
bagi masyarakat luas tetapi dengan tidak meninggalkan pendapat-pendapat ulama
yang lain.
Kata kunci :Quraish Shihab, Pandangan, Hukum Keluarga, Ahli Tafsir
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA
Daftar Pustaka : 1939-2017 Tahun
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah Subhanahu Wataala yang telah memberikan
beribu nikmat, rahmat, taufik, hidayah dan „inayah-Nya, sehingga tiada lain kata
yang pantas terucap secara tulus kecuali hanya dengan kalimat Alhamdulillahi
Rabbil‟alamin. Sungguh hanya dengan pertolongan dan petunjuk-Nya lah akhir
nya skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Kedua kalinya tak lupa shalawat
teriring salam senantiasa tercurah limpahkan kepada manusia terbaik, manusia
pemimpin ummat yaitu Baginda Nabi Muhammd Shallallahu „Alaihi Wasallam
dengan mengucapkan Allahumma Shalli „Ala Sayyidina Muhammad beserta para
keluarga, sahabat dan tabi‟in serta umatnya. Aamiin.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih
jauh dari kata sempurna. Namun demikian, skripsi ini adalah hasil usaha dan
upaya yang maksimal dari penulis. Masih banyak hal yang tidak dimuat oleh
penulis dalamnya karena keterbatasan pengetahuan penulis. Namun disamping
kekurangan tersebut, penulis mendapat banyak pengalaman dalam penulisan
skripsi ini.Kemudian penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukanlah
semata-mata hasil usaha sendiri, akan tetapi sampai terbentuknya skripsi ini
banyak pihak yang membantu dan memotivasi serta membimbing penulis dalam
menulis skripsi ini dari semua pihak. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saifudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum beserta wakil-wakil Dekan termasuk para pembantu Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Abdul Halim, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga serta Bapak Indra Rahmatullah S.H, M.H., selaku Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga yang telah bekerja dengan maksimal.
3. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis
yang selalu mendukung penulis dalam menulis.
vii
4. Ibu Dr. Hj. Azizah, M.A., selaku Dosen pembimbing skripsi yang selalu
bersedia menyisihkan waktunya untuk membimbing penulis, mengarahkan
penulis, memberi saran dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan
ilmunya serta mengajarkan akhlaknya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Zainal Abidin dan Ibunda Nur
Hidayati yang telah mendoakan penulis siang malam, yang telah bekerja
siang malam demi membiayai kuliah penulis, dan yang selalu memberikan
penulis motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi
ini. Semoga Allah selalu memberi kesehatan pada keduanya dan Allah
ampuni segala kesalahan mereka.
7. Kiyai sekaligus guru yang luar biasa, KH. Bahruddin, S.Ag, yang telah
menunjukkan kami untuk mempelajari ajaran-ajaran islam dan yang selalu
menanamkan ahlak yang baik pada kami. Semoga senantiasa dirahmati
Allah dunia dan akhiratnya.
8. Teman-temanku seperjuangan (Arianto Saiful Hak, Muklis Sah, Fadilah
Hakim, Wahyudin Sidik, Miftahul Huda, Amza Maulana) yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Kepada Sholihati, Karina Izza Nabila, Abda Ilma Rodiana, Mutiara
Abdussalam, sebagai sahabat-sahabat terbaik yang pernah singgah dihati
dan selalu menyemangati penulis.
10. Seluruh teman-teman yang tergabung dalam organisasi HIKMAT
(Himpunan Keluarga Mahasiswa Alumni Tebuireng) JABODETABEK,
organisasai yang telah menyediakan wadah bagi penulis untuk pertama
kalinya studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Seluruh Pengurus ISDAH 2017 yang telah membimbing dan membantu
penulis hingga akhirnya selesai.
viii
12. Seluruh Santri-santri Daar- el Hikam yang telah menambah motivasi
penulis dalam belajar ilmu agama dan memperbaiki diri.
13. Teman- teman organisasi PMII Komfisip dan PMII Komfaksyahum serta
KBPA(Keluarga Besar Peradilan Agama) UIN Jakarta.
14. Seluruh teman-teman SAS 2014 yang telah menambah warna dalam hidup
penulis selama studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga akhirnya
selesai penulisan skripsi ini.
Pada akhirnya, penulis mengucapkan banyak terimakasih sebesar-besarnya
kepada seluruh pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam penulisan
skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca umumnya serta menjadi amal kebaikan tersendiri di sisi Allah, akhirnya
semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari
Allah SWT.
Wassalamu‟alaikum, Wr. Wb.
Jakarta, 09 Januari 2019
Fuad Ali Fikri
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………...xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................ 7
E. Kajian Terdahulu ............................................................................. 8
F. Metode Penelitian ............................................................................ 9
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 12
BAB II HUKUM KELUARGA DAN PANDANGAN ULAMA MAZHAB
MENGENAI HUKUM KELUARGA
A. Pengertian Hukum Keluarga ......................................................... 13
B. Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga ...................................... 18
C. Pandangan Ulama Mazhab Mengenai Hukum Keluarga .............. 22
1. Nusyuz ....................................................................................... 22
2. Isteri Bekerja ............................................................................. 23
3. Poligami. .................................................................................... 25
4. Mahar ......................................................................................... 26
5. Status Kawin Hamil ................................................................... 29
6. Aborsi ........................................................................................ 30
7. Pernikahan Beda Agama ........................................................... 31
8. Keluarga Berencana(KB) .......................................................... 33
x
BAB III BIOGRAFI SINGKAT DAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB
MENGENAI HUKUM KELUARGA
A. Biorgafi Quraish Shihab.................................................................36
1. Kehidupan Quraish Shihab ....................................................... 36
2. Guru-guru Quraish Shihab ....................................................... 39
3. Karya-karya Quraish Shihab ..................................................... 41
B. Pemikiran Quraish Shihab Mengenai Hukum Keluarga. .............. 45
1. Nusyuz. ...................................................................................... 45
2. Isteri Bekerja ............................................................................. 47
3. Poligami. .................................................................................... 49
4. Mahar ......................................................................................... 51
5. Status Kawin Hamil ................................................................... 52
6. Aborsi ........................................................................................ 53
7. Pernikahan Beda Agama ........................................................... 54
8. Keluarga Berencana(KB) .......................................................... 56
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PANDANGAN QURAISH
SHIHAB DAN ULAMA MAZHAB
A. Analisis Pemikiran ........................................................................ 57
1. Nusyuz ....................................................................................... 57
2. Isteri Bekerja ............................................................................. 59
3. Poligami. .................................................................................... 62
4. Mahar ......................................................................................... 65
5. Status Kawin Hamil ................................................................... 67
6. Aborsi ........................................................................................ 69
7. Pernikahan Beda Agama ........................................................... 71
8. Keluarga Berencana(KB) .......................................................... 73
B. Bagan Perbandingan Antara Pemikiran Quraish Shihab dan Ulama
Mazhab Mengenai Hukum Keluarga ............................................ 75
A. Corak Pemikiran Quraish Shihab .................................................. 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 80
B. Saran .............................................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 82
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Di dalam skripsi ini banyak
dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab
dengan tulisan huruf Latin. Pedoman Transliterasi yang digunakan dalam skripsi
ini sebagai berikut:
a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
1 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017, h., 66-69
xii
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
ع„
koma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ـه
Ap ء
Y Ya ي
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong
yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dengan huruf. Untuk
xiii
Transliterasi vokal tunggal atau monoftong dalam tulisan Latin
dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut:
Sedangkan Transliterasi vokal rangkap atau diftong dalam tulisan Latin
dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut:
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ـــــاـ
 a dengan topi di atas
ــــــيــ
Î i dengan topi di atas
ـــــوــ
Û u dengan topi di atas
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif
dan lam ( ال ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd = اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
A Fathah ـــــــــــ
I Kasrah ـــــــــــ
U Dammah ـــــــــــ
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
Ai a dan i ـــــــــــ ي
Au a dan u ـــــــــــ و
xiv
e. Ta‟ Marbutah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri atau diikuti oleh
kata sifat (na„t) maka huruf ta marbûtah tersebut transliterasinya dalam
tulisan Latin menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut transliterasinya dalam tulisan
Latin menjadi huruf “t” (te)
f. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh hurufhuruf syamsiyyah. Misalnya:
al-syuf„ah, tidakditulis asy-syuf„ah = ةعفشال
No Kata Arab Alih Aksara
syarî„ah شسيعت 1
al-syarî„ah al-islâmiyyah الشسيعت إلاسالميت 2
muqâranat al-madzâhib مقازهاث املراهب 3
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat
sehingga hukum sangat dibutuhkan oleh suatu kelompok manusia, baik yang
primitif maupun modern untuk mengatur kehidupan mereka agar terciptanya
keamanan dan ketertiban. Tidak dapat dibayangkan bagaimana perkumpulan atau
suatu kelompok manusia tanpa adanya hukum yang mengatur tata kehidupan1
Hukum keluarga adalah hukum yang paling awal dikenal oleh manusia ,
khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan perkawinan Adam Alaihi
Salam dengan isterinya, Hawa. Hukum pernikahan atau hukum keluarga
dilaksanakan oleh keturunan Adam dan Hawa secara terus menerus dari dulu
hingga sekarang dengan berbagai perubahan dan perkembangan yang terjadi
didalamnya.2
Di negara-negara yang penduduknya tergolong heterogen semacam Indonesia
dan Malaysia misalnya, berlakunya hukum yang pluralis merupakan sesuatu yang
tidak bisa dihindarkan. Sebagaimana sistem-sistem hukum lain yang berlaku di
negara manapun, sistem hukum keluarga Islam masih tetap eksis dan terus berlaku
di Dunia Islam. Dari sekian banyak negara Islam, atau negara-negara
berpenduduk mayoritas Muslim umumnya dan bahkan di negara-negara
berpenduduk muslim minoritas sekalipun, hukum keluarga Islam benar-benar
menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh keluarga-keluarga
Muslim.3
1 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 2 2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 5
3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam , h. 9
2
Fenomena yang muncul pada dunia islam di abad ke-20 adalah adanya usaha
pembaruan hukum keluarga di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.
Misalnya Turki sebagai Negara pertama yang melakukan pembaruan hukum
keluarga yaitu pada tahun 1917, kemudian diikuti oleh Mesir pada tahun 1920,
Iran pada tahun 1930, Syiria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan
pada tahun 1961, dan Indonesia pada tahun 1974.4 Adapun bentuk
pembaharuannya berbeda antara satu negara dengan yang lainnya, ada yang
melakukan pembaharuan berdasarkan taqnin(pengundangan), putusan(dekrit),
kepala negara(raja dan presiden), maupun ketetapan-ketetapan hakim.5
Adanya pengundangan hukum islam tersebut hakikatnya bertujuan untuk
mempersatukan hukum islam atau biasa disebut unifikasi hukum. Dalam
perkembangannya, pengundangan yang dilakukan di negara-negara muslim
sebagian besar hanya terjadi dalam bidang hukum keluarga, karena bidang
tersebut dianggap bagian dari substansi dalam hukum islam, Penerapan hukum
keluarga yang tidak jauh dari adanya unsur hukum adat dan hukum yang
berkembang di masyarakat menjadikan hukum keluarga sensitif untuk
dilakukannya perubahan.6 Oleh karena itu hukum keluarga yang diadobsi dari
hukum islam diberlakukan secara universal di dalam negara Muslim.
Meskipun telah dilakukan pengundangan, namun dinamika terhadap
pemikiran dan penafsiran tentang nilai-nilai hukum keluarga berikut
perdebatannya masih terbuka di kalangan para ulama. Apalagi nilai-nilai tersebut
terambil dari ayat-ayat al-Qur‟an yang masih mungkin mengandung makna yang
umum, sehingga dapat menimbulkan berbagai interpretasi dikalangan masyarakat
maupun ulama.
Salah satu ulama yang intens mengkaji tentang hukum islam adalah Quraish
Shihab. Bahkan ia juga masuk ke dalam ranah pembahasan mengenai masalah-
4 Atho Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2003), h. 1 5 Hilal Malarangan, Pembaruan Hukum Islam dalam Hukum Keluarga di Indonesia,
Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008, h. 39. 6 Ahmad tholabi Karlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 13
3
masalah yang ada dalam hukum keluarga. Ia tercatat sebagai penulis yang sangat
profilik. Buku-buku yang ia tulis antara lain berisi sekitar kajian epistimologi al-
Qur'an yang menyentuh permasalahan kehidupan dalam konteks masyarakat
Indonesia kontemporer7. Terlebih, ia adalah cendekiawan muslim yang termasuk
menjunjung tinggi hak-hak perempuan yang ditandai dengan adanya tulisan-
tulisan dan pemikirannya yang membahas tentang persamaan kedudukan laki-laki
dan perempuan. Hal ini sejalan dengan apa yang dicita-citakan oleh tujuan dari
adanya pembaruan hukum keluarga itu sendiri yaitu pengangkatan status wanita.
Penulis tertarik untuk menggali pemikirannya karena ia merupakan ulama
ahli tafsir yang sangat mumpuni keilmuannya dan terbilang produktif dalam
mengarang buku. Ia memiliki beberapa pandangan terhadap masalah hukum
keluarga kontemporer. Oleh karenanya, penulis ingin mengetahui bagaimana
perspektif secara umum tentang permasalahan hukum keluarga menurut ulama
tafsir melalui pemikiran Quraish Shihab. Mengingat ia adalah seorang
cendekiawan muslim yang telah banyak menyumbangkan pikirannya terhadap
masalah-masalah hukum islam melalui buku-bukunya.
Salah satu karya beliau tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an (baik yang
ahkam maupun yang mutasyabih) ia jadikan satu dalam sebuah karya
fenomenalnya yang diberi judul Tafsir Al-Misbah, yang berjumlah lima belas jilid
dan selesai diterbitkan pada tahun 2003. Total karyanya secara keseluruhan
hingga saat ini yang telah dibukukan setidaknya sudah mencapai 50 buku lebih.
Sehingga hal ini yang membuat penulis tertarik untuk mengkajinya lebih jauh.
Diantara penjelasannya dalam kitab Tafsir Al-Misbah yang terkait dengan
masalah hukum keluarga adalah penafsirannya terhadap salah satu ayat tentang
nusyuz. Ia menjelaskan bahwa yang berhak melakukan pemukulan terhadap isteri
yang membangkang adalah pemerintah. Perintah pemukulan tersebut
kewenangannya tidak ditujukan pada suami, melainkan pemerintah yang berhak
7 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 365
4
melakukan pemukulan dengan segenap kebijakannya.8 Ayat tersebut menurutnya
turun berkaitan dengan pengaduan seorang perempuan kepada Rasulullah yang
baru saja dipukul oleh suaminya. Lalu rasul menyuruh untuk membalas pukulan
suaminya tersebut dengan pukulan yang sama.
Padahal telah disebutkan dengan jelas dalam surat An-Nisa‟ ayat 34 bahwa
tindakan pertama yang boleh dilakukan suami terhadap isterinya adalah
menasehatinya, dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Apabila tindakan
pertama ini tidak membawakan hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu
berpisah ranjang . Apabila dengan tindakan kedua isteri masih tetap tidak mau
berubah juga, suami diperbolehkan melakukan tindakan ketiga yaitu memukulya.9
Bagi penulis hal ini menarik untuk digali karena ketika ayat muhkam yang telah
jelas-jelas menunjukkan bahwa perintah memukul isteri yang nusyuz merupakan
kewenangan suami akan tetapi ditafsirkan berbeda oleh Quraish Shihab bahwa
kewenangan itu ada pad pemerintah.
Quraish Shihab juga mengatakan bahwa Islam tidak merinci pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya tugas pokok seorang suami adalah
mencari nafkah, dan tugas pokok seorang isteri adalah mengatur rumah tangga.
Namun dengan demikian tidak menutup kemungkinan bahwa seorang suami
boleh melakukan pekerjaan rumah tangga, dan seorang isteri bekerja mencari
nafkah, terutama bila penghasilan seorang suami tidak mencukupi kebutuhan
rumah tangga10
itu artinya Quraish Shihab memperbolehkan perempuan untuk
beraktifitas diluar rumah bahkan memperbolehkan untuk seorang isteri bekerja
mencari nafkah untuk keluarganya.
Sedangkan menurut KH. Hasyim Asy‟ari dalam kitabnya, menyebutkan
diantara adab-adab seorang perempuan diantaranya: berdiam dirumahnya,
8 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta:Lentera Hati, 2000), vol 1, h. 412 9 Amir syarifuddin, Hukum Perkainan Islam di Indonesia ( Jakarta: Kenacana, 2006), h.
192. 10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, vol 1
(Jakarta:Lentera Hati, 2000), h. 459
5
menetap dengan kesibukan rumahnya, tidak banyak bicara dan mengunjungi
tetangga kecuali karena ada kepentingan, menghormati suami ketika ada atau
tidak adanya, yang mencari kebahagiaan suaminya dalam segala hal dan tidak
keluar rumah tanpa seizin suaminya”11
lalu Rasulullah pernah bersabda pada
putrinya yaitu Fatimah r.a :”apa saja perkara yang baik bagi perempuan? Fatimah
r.a menjawab : “Tidak memandang laki-laki dan membiarkan laki-laki
memandangnya” lalu Rasulullah SAW memeluknya yang artinya Rasulullah
membenarkannya. Jelas hal ini menggambarkan ada sedikit penafsiran berbeda
dari Quraish Shihab terhadap kedudukan seorang perempuan.
Selain itu, pandangan Quraish Shihab terhadap hukum berpoligami yang
berlandaskan surat an-Nisa‟ ayat 3 menurutnya ayat tersebut bukanlah berisi
tentang peraturan poligami, karena poligami sudah dulu dilakukan oleh
masyarakat jauh sebelum turunnya ayat tersebut. Ayat tersebut menurutnya hanya
menunjukkan sebatas pembolehan poligami dan bukan berisi tentang perintah
maupun anjuran untuk berpoligami.12
Itupun merupakan pintu kecil yang hanya
dapat dilalui oleh yang membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Ia tidak terlalu keras dalam menentang poligami, namun ia juga tidak
menganjurkan untuk poligami, menurutnya poligami boleh dilakukan siapapun
jika kondisinya memang darurat. Sebagaimana pernyataan yang disampaikannya
ketika ditanya oleh wartawan republika. ''Poligami itu bukan anjuran, tetapi salah
satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan
memenuhi syarat-syaratnya. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat
terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu,'' tandas
Quraish kepada Damanhuri Zuhri wartawan dari Republika di ruang kerjanya
Pusat Studi al Quran (PSQ) Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (5/12/2017)13
11 Hasyim Asy‟ari, Dau‟u Al-Misbah Fi Bayani Ahkami Al-Nikah,(Jombang: Maktabah
Turats Al-Islami, 2010), h. 21 12 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, vol 2 h.
324 13 https://www.republika.co.id/amp/23350. Diakses hari Minggu 23 September 2018
pukul 14:25
6
Menurut penulis hal ini menarik ketika fi‟l amar (perintah) yang tertera di
dalam surat An-Nisa‟ ayat 3 dipandang oleh Quraish Shihab bukan lah suatu
anjuran atau bahkan perintah, akan tetapi hanya menjadi sebuah dalil kebolehan
berpoligami saja, itupun menurutnya pembolehan tersebut hanya bersifat darurat,
dan ketika suatu ayat menggunakan fi‟l amar(perintah) hanya dipandang sebagai
hukum rukhsah(keringanan) karena adanya hal yang darurat maka ini menjadi
menarik untuk diteliti.
Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui lebih lanjut bagaiamana pemikiran-
pemikiran hukum keluarga Quraish Shihab, pendekatan metode istinbath
hukumnya, dan faktor yang mempengaruhi pemikirannya. Berdasarkan uraian di
atas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang pemikiran M. Quraish Shihab
sebagai suatu karya ilmiah dengan judul: “PANDANGAN QURAISH SHIHAB
TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM KELUARGA DALAM AL-QUR’AN”
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas penulis dapat mengidentifikasi
beberapa masalah yang ada dalam bahasan ini. Masalah-masalah tersebut
diantaranya adalah :
1. Bagaimana pemikiran Hukum Keluarga perspektif Quraish Shihab?
2. Bagaimana metode istibath hukum Islam Quraish Shihab?
3. Apa corak atau aliran pemikiran Hukum Islam Quraish Shihab?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Batasan masalah berfungsi sebagai pijakan awal dan landasan penelitian.
Batasan masalah dapat mempermudah peneliti dalam penelitian agar tetap fokus
terhadap penelitianya. Maka, masalah harus sudah diidentifikasi, dibatasi dan
dirumuskan secara jelas, sederhana dan tuntas saat memulai memikirkan
penelitian.14
Adapun fokus penelitian ini hanya terbatas pada masalah-masalah
14
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2006), h. 93
7
hukum keluarga seperti Nusyuz, isteri bekerja, Poligami, Mahar, kawin hamil,
Aborsi, nikah beda agama, dan Keluarga Berencana (KB).
2. Perumusan Masalah
Dari pemaparan identifikasi masalah yang telah dijelaskan di atas maka fokus
dalam pembahasan ini adalah :
a. Bagaimana metode istinbath hukum Quraish Shihab dalam masalah hukum
keluarga?
b. Bagaimana perbandingan pemikiran Quraish Shihab dan fuqaha klasik dalam
masalah hukum keluarga?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan menjelaskan metode istinbath hukum menurut Quraish
Shihab dalam masalah hukum keluarga
2. Mengetahui dan menjelaskan perbandingan pemikiran Quraish Shihab
terhadap fuqaha klasik dalam masalah hukum keluarga
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah::
1. Bagi peneliti
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya dapat digunakan
oleh peneliti ketika sudah berada dilingkungan akademisi dan lingkungan
masyarakat.
2. Bagi Masyarakat
Dapat bermanfaat sebagai pengetahuan bagi masyarakat tentang pemikiran
Hukum Keluarga oleh Quraish Shihab
3. Bagi Lembaga
Sebagai masukan yang konstruktif dan merupakan dokumen yang bisa
dijadikan kerangka acuan dalam penelitian selanjutnya
8
E. Kajian Terdahulu
Kajian tentang pemikiran dan pandangan-pandangan Quraish Shihab terhadap
Ayat-ayat Hukum Keluarga penulis belum pernah menemukannya. Yang ada
hanyalah beberapa kajian yang membahas satu tema khusus yang ada dalam
Hukum Keluarga, sebagaimana yang telah penulis temukan sebagai berikut:
1. Karya Yulia Baidar dengan judul “PERKAWINAN AHLUL KITAB
MENURUT PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB”, Prodi Ilmu Syari‟ah
STAIN Zawiyah cot kala Langsa pada tahun 2013 dengan temuan
penelitiannya yaitu pemikiran Muhammad Quraish Shihab yang
membolehkan perkawinan beda agama, tetapi dengan catatan laki-laki
muslim boleh menikah dengan perempuan ahli kitab sesuai dengan al Quran
surat al-Maidah ayat 5, karena memang al-Quran tidak memberikan
pelarangan yang tegas mengenai hal tersebut, tetapi wanita muslimah tidak
boleh menikah dengan laki-laki Ahli kitab sesuai dengan al Quran surat al
Baqarah 221.
2. Karya Taufik Mubarok dengan judul “STUDI ANALISIS TERHADAP
PENDAPAT QURAISH SHIHAB TENTANG TIDAK ADA EWAJIBAN
SUAMI MEMBAYAR MAHAR TERHADAP ISTRI TALAK QOBLA
DUKHUL”, Prodi Ahwal Syahsiyah Fakultas Syariah IAIN Semarang, pada
tahun 2009 dengan temuan penelitiannya yaitu pendapat Quraish Shihab yang
mengatakan suami tidak berkewajiban membayar mahar terhadap isteri
disebabkan karena ketika terjadi perceraian isteri dalam keadaan qabla dukhul
dan mahar belum juga ditentukan tapi suami menggantinya dengan
membayar mut‟ah.
3. Karya Nurul Irfan dengan judul “PERSPEKTIF M. QURAISH SHIHAB
TERHADAP WANITA PEKERJA”, Prodi Ahwal Syahsiyah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010 dengan
temuan penelitiannya yaitu Skripsi ini membahas tentang pandangan Quraish
Shihab terhadap wanita pekerja baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam
hasil pembahasannya beliau memperbolehkan seorang wanita bekerja ketika
penghasilan seorang suami tidak mencukupi.
9
4. Karya Rivaldi Fahlepi dengan judul “FATWA M. QURAISH SHIHAB
DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM (Studi Terhadap Metode
Istinbath Hukum dalam Bukunya M. Quraish Shihab Menjawab 1001
Macam Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui)”, Prodi Ahwal
Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2016 dengan temuan penelitiannya yaitu Pemahaman hukum
Islam Muhammad Qurasih Shihab dalam menjawab problematika hukum
keluarga Islam, selain dengan pemahaman terhadap tafsir ayat-ayat al-Qur‟an
dan Hadits adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip ushul fiqh yang telah
dirumuskan dan dikodifikasi oleh para ushuliyyin serta menggunakan prinsip-
prinsip Maqashid asy-Syari‟ah, yang biasa disebut dengan metode Bayani,
Ta‟lili, Istishlahi.
Perbedaannya dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian penulis lebih
difokuskan pada pandangan-pandangan Quraish Shihab tentang Hukum Keluarga
yang dibatasi pada pembahasannya yang meliputi jenis-jenis Hukum Keluarga
seperti Nusyuz, Isteri bekerja, Poligami, Aborsi, Nikah Beda Agama, Kawin
Hamil, dan Keluarga Berencana (KB) dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimana perspektif ahli tafsir dalam memahami ayat-ayat tentang Hukum
Keluarga dan untuk mempertajam pembahasan, maka penulis membandingkannya
dengan pemikiran ulama mazhab.
Dari sekian judul skripsi terdahulu tentang pemikiran Quraish Shihab belum
ada yang membahas penelitian dengan judul : “PANDANGAN QURAISH
SHIHAB TERHADAP AYAT-AYAT HUKUM KELUARGA DALAM AL-
QUR’AN”.
F. Metode Penelitian
Untuk membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, maka dibutuhkan
metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah-masalah yang
akan dibahas dengan baik, benar, dan tepat. Berikut beberapa metode yang
digunakan oleh penulis antara lain:
10
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.15
Karenanya penelitian ini
dalam proses pengumpulan datanya menggunakan data kepustakaan ( library
research ), yaitu sebuah penelitian yang analisanya didasarkan pada sumber-
sumber pustaka seperti buku, makalah, artikel, jurnal dan bahan bahan lain yang
relevan dengan masalah yang sedang diteliti16
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam skripsi ini adalah dengan melakukan
pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif adalah pendekatan dengan cara
mendekati masalah yang akan diteliti dengan memperhatikan dan melihat apakah
sesuatu itu lebih baik atau buruk, benar atau salah berdasarkan norma-norma
agama dan norma yang berlaku di masyarakat.
3. Sifat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan normatif yang
bersifat deskriptif analisis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan
analisa terhadap pemikiran tokoh.17
4. Objek Penelitian
Objek penelitian penulis dalam skripsi ini adalah pemikiran tokoh, yaitu
pemikiran Quraish Shihab dalam memahami ayat-ayat Hukum Keluarga dalam al-
Qur‟an melalui karyanya tafsir al-Misbah.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari studi pustaka tersebut diuraikan secara logis dan
sistematis selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian
masalah dengan cara berfikir deduktif, yaitu mengumpulkan dan mengolah data
yang bersifat umum yang kemudian untuk diambil kesimpulan yang khusus.
15
Penelitian Kualitatif merupakan suatu strategi penelitian yang menekankan pada
pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, symbol, gejala, maupun deskripsi tentang
suatu fenomena yang kemudian disajikan secara naratif.
Lihat: Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, (Jakarta:
Kencana, 2014), Cet. 1, h. 329 16 Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah
(Yogyakarta : IKFA PRESS, 1998), h. 7 17 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), h.
38
11
6. Sumber Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, maka sumber
data yang penulis gunakan yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber asal, yang
dalam hal ini data primer penulis adalah buku Tafsir Al Misbah, Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Quran karya Prof. M. Quraish Shihab.
b. Data Sekunder adalah semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai
sumber data primer, Diantaranya:
1) Perempuan, dari cinta sampai seks, dari nikah mut‟ah sampai nukah
sunnah Dari Bias Lama Sampai Bias Baru karya Prof. M. Quraish Shihab
2) M. Quraish Shihab menjawab: 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui karya Prof. M. Quraish Shihab
3) M. Quraish Shihab menjawab: 101 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui karya Prof. M. Quraish Shihab
4) Cahaya, Cinta, dan Canda M. Quraish Shihab karya Mauluddin Anwar,
dkk
5) Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq
6) Al-fiqhul Islam wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaili
7) Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
7. Teknik Penulisan
Tehnik penulisan studi ini, merujuk pada pedoman penulisan skripsi, tesis,
dan disertai dengan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta 2017.
12
G. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan sistematika penulisan
menjadi lima bab yang terdiri dari sub-sub bab pada masing-masing bab.
Sistematika penulisannya sebagai berikut:
BAB I, merupakan bab pendahuluan yang meliputi : Latar belakang masalah,
Pembatasan masalah, dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian,
Metode penelitian, Studi review terdahulu dan sistematika penulisan.
BAB II, merupakan bab yang membahas landasan teori yang meliputi:
Pengertian Hukum Keluarga, Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga, dan
Hukum Keluarga perspektif ulama‟ mazhab.
BAB III, merupakan bab yang menjelaskan Profil Quraish Shihab yang
meliputi: Biografi siangkat Quraish Shihab, guru-guru Quraish Shihab, karya-
karya Quraish Shihab dan Pemikiran Quraish Shihab terhadap jenis-jensi Hukum
Keluarga.
BAB IV, merupakan bab yang memaparkan tentang perbandingan Hukum
Keluarga menurut Quraish Shihab dan ulama mazhab yang meliputi: Komparasi
pemikiran ulama mazhab dan Quraish Shihab terhadap ayat-ayat Hukum Keluarga
serta analisis penulis.
BAB V, merupakan bab terakhir yang membahas penutup yang meliputi ;
Kesimpulan dan Saran
13
BAB II
HUKUM KELUARGA DAN PANDANGAN ULAMA MAZHAB
MENGENAI HUKUM KELUARGA
A. Pengertian Hukum Keluarga
Istilah Hukum Keluarga terdiri dari dua kata yaitu Hukum dan Keluarga.
Secara penggunaannya hukum terbagi menjadi dua jenis yaitu hukum
konvensional dan hukum syara‟. Adapun definisi hukum yang pertama
adalah peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau timbul
berdasarkan adat yang berlaku bagi suatu masyarakat (Negara). Sedangkan
hukum syara‟ secara sin gkat biasa disebut dengan hukum islam.1
Namun penggunaan istilah hukum yang dikehendaki dalam pembahasan
hukum keluarga disini adalah hukum syara‟ yang memiliki definisi yang
berbeda dengan hukum umum. Hukum syara‟ adalah hukum yang bersumber
langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk mengatur
kehidupan manusia di muka bumi. Menurut ahli fiqih, hukum syara‟ adalah
efek yang dikehendaki oleh khitab syari‟ dalam hal perbuatan seperti wajib,
haram, dan mubah.2 Hukum secara bahasa artinya menetapkan sesuatu di atas
sesuatu yang lain ( يءا
ى ش يئ عل
ش
باث
ث ).3 Sedangkan definisi hukum syara‟
menurut ahli ushul fiqh diartikan :
فين
لكملعال ا
ف
ق با
عل
خ ملى ا
عال
اب هللا ح
اء خط
خض
و إق
ا أ يير
خ
و ج
ا أ وضع
Artinya: “Perintah Allah yang berhubungan dengan perbuatan seorang
mukallaf (orang yang sudah dibebani hukum atau cakap hukum baik berupa
tuntutan(iqtidha‟), kebebasan memilih untuk bertindak(takhyir), maupuan
dalam bentuk ketetapan(wadha‟)”4.
1 Tim Penyusun Kamus, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 314 2 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 2014), h. 173
3 Moh. Rifa‟i, Ushul Fiqh, Edisi Revisi, (Bandung: PT Alma‟arif, 1973), cet. 1, h. 11
4 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h. 26
14
Sedangkan istilah Keluarga itu sendiri mengandung pengertian yang
beragam. Diantaranya pengertian berdasarkan UU No. 10 tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pasal 1
ayat 10 yang menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Dalam undang-undang ini keluarga
masih didefinisikan dalam arti sempit.
Keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi
terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua
institusi, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang
yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan
perkawinan, dan adopsi.5 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia keluarga
merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Selain itu keluarga juga merupakan suatu struktur yang bersifat khusus,
dimana antara satu sama lain memiliki ikatan, baik melalui hubungan darah
maupun pernikahan, dan masing-masing individu saling mempunyai ikatan
batin.6 Pengertian dari kata keluarga pada umumnya dikelompokkan menjadi
dua jenis, yaitu keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil juga biasa
disebut dengan keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sedangkan
keluarga besar mencakup seluruh anggota keluarga yang bertambah sebagai
akibat dari hubungan perkawinan yang meliputi ayah, ibu, dan mertua.
Adapun ayat tentang keluarga dalam Al-Qur‟an sebagai berikut:
ا من أ
نا هب ل
ن زب
ىن
ىل
رين يق
وال
إماما
قين
مخ
ا لل
نعين واجعل
أ
ة س
ا ق
اجن ي ز
ا وذ
واجن
ش
Artinya: “Dan orang orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah
kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”.
(Qs.Al-Furqon : 74)7
5 Herien Puspitawati, Konsep dan Teori Keluarga, Jurnal Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut Pertanian Bogor, 2013, h. 1
Lihat juga sumber Herien Puspitawati, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di
Indonesia. (Bogor: PT IPB Press, 2012) 6 Hammudah „Abd. Al-Ati, The Family Structure in Islam (Keluarga Muslim), (Surabaya:
Bina Ilmu, 1984), h. 29 7 Departemen Agama RI, Al- Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 45
15
ة م مىد
ك
يها وجعل بين
ىا إل
نسك
ا لد واج
ش
م أ
سك
ف
هم من أ
ك
ق ل
ل خ
ن
ومن آياجه أ
وزحمت
سون
ك
ف
ىم يخ
لك آلياث لق
)١٢: ٣. السوم/( إن في ذ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesara)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Qs.Ar-Ruum : 21)8
Suami dan isteri adalah dua manusia yang telah Allah
pasangkan. Dengan adanya manusia yang berpasang-pasangan, maka Allah
akan mendatangkan ketenteraman, rasa cinta, kasih-sayang, anugerah, karunia
dan rahmat dalam suatu binaan rumah tangga Islam.
Berdasarkan pemaparan definisi kedua istilah diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa definisi Hukum Keluarga adalah ketentuan Allah yang
bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang berhubungan dengan
mukallaf untuk mengatur perkara-perkara yang berkaitan dengan hubungan
kekeluaragaan baik dari adanya hubungan darah maupun hubungan ikatan
perkawinan.
Istilah Hukum Keluarga yang biasa digunakan di Indonesia antara lain
hukum perkawinan, hukum keluarga, hukum kekeluargaan dan hukum
perorangan.9 Menurut Asep Saepudin Jahar, yang disebut keluarga adalah
sanak saudara, kaum kerabat, kaum saudara atau satuan kekerabatan yang
sangat mendasar dalam masyarakat. Sementara kekeluargaan adalah sesuatu
yang bersifat keluarga yang berkaitan dengan sebagai anggota dalam satu
keluarga. Kedua istilah tersebut digunakan untuk menamai aturan yang
berkaitan dengan masalah keluarga, yaitu hukum keluarga dan hukum
kekeluargaan, meski memiliki definisi yang sama namun kata hukum
keluarga lebih tepat pemakaiannya dalam hal ini.10
8 Departemen Agama RI, Al- Qur‟an dan Tafsirnya, jilid VII, h. 477
9 Khoirudin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga Perdata Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2007), h. 7 10
Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis, (Jakarta: Kencana,
Cet,1,2013), h. 10
16
Beberapa pakar hukum mendefinisikan istilah Hukum Keluarga secara
berbeda-beda namun maksudnya sama. Diantaranya Musthafa Hasan yang
mendefinisikan Hukum keluarga sebagai keseluruhan ketentuan yang
mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah
dan kekeluargaan karena adanya perkawinan antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami-istri11
. Menurut Subekti, Hukum Keluarga
merupakan hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari adanya hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta
hubungan dalam lingkup hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan
orang tua dan anak, perwalian, serta curatele.12
Menurut Abdul Wahhab Khallaf hukum keluarga adalah hukum yang
berkaitan dengan keluarga yang meliputi hubungan suami istri dan karib
kerabat. Dalam Al-qur‟an kira-kira ada 70 ayat dalil tentang hukum
keluarga.13
Menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami Wa
Adillatuhu mengatakan bahwa hukum keluarga adalah hukum yang mengatur
hubungan keluarga sejak dimasa-masa awal pembentukannya hingga dimasa-
masa akhir atau berakhirnya (keluarga) berupa nikah, talak, nasab, nafkah,
dan kewarisan.14
Dengan melihat beberapa definisi tersebut, maka dapat diketahui ruang
lingkup hukum keluarga diantaranya adalah mengatur tentang pembentukan
sebuah keluarga melalui akad nikah, hubungan dalam kekeluargaan, hak dan
kewajiban suami-istri dalam keluarga, hak dan kewajiban orang tua dan anak,
putusnya hubungan perkawinan, Keturunan (nasab), dan Kewarisan.
Hukum keluarga menjadi penting karena manusia tidak dapat hidup
menyendiri, manusia bersifat saling bergantung antara satu sama lain, sama
halnya dengan pria dan wanita. Oleh karena itu hukum keluarga menjadi
11
Musthafa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),h. 4 12
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Internasa, 1991), h. 16 13
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Fajar Interpratama
Mandiri, 2016), cet. I, h. 4 14
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 19
17
penting untuk mengatur bagaimana hubungan kekeluargaan dalam berumah
tangga seorang pria dan wanita dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya
muslim. Oleh karena itu, hukum keluarga yang diterapkan di Indonesia
adalah hukum keluarga islam. Yang mana hukum keluarga islam memiliki
definisi tersendiri yaitu hukum yang mengatur hubungan internal anggota
keluarga dalam suatu keluarga muslim yang berkaitan dengan masalah-
masalah tertentu. Sedangkan menurut Amin Summa, Hukum Keluarga Islam
adalah seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal
anggota keluarga dalam konteksnya yang khusus/spesifik dalam hubungan
hukum suatu keluarga muslim.15
Keluarga muslim yang dimaksud adalah keluarga yang anggota-anggota
keluarganya muslim atau paling tidak pemimpin keluarganya itu muslim
meski ada anggota keluarga yang lain yang bukan muslim. Apabila dalam
keluarga tersebut memenuhi kriteria sebagai keluarga muslim maka aturan
hukum keluarga yang berlaku baik itu dalam hal pernikahan, perceraian,
nafkah, kewarisan dan lain sebagainya adalah mengikuti pada aturan hukum
keluarga islam yang berlaku. Maka ruang lingkup dalam hukum keluarga
islam mencakup perkawinan (munakahat dan yang berkaitan dengannya),
perwalian, wasiat, dan kewarisan.
Dalam perkembangannya, negara-negara muslim melakukan unifikasi
hukum atau qanunisasi hukum yang sebagian besar hanya terjadi dalam
bidang hukum keluarga, karena bagian tersebut adalah bagian dari substansi
hukum islam.16
Seperti di Indonesia saja, perundang-undangan yang sudah
dipositifkan menjadi peraturan universal dan berlaku untuk seluruh
masyarakat Indonesia, tetapi dasar pembentukan hukum keluarganya lebih
banyak diambil dari aturan-aturan hukum islam seperti berlakunya undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Itu artinya Indonesia telah
15
M. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 13 16
Ahmad Tholabi Karlie, Hukum Keluarga Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.13
18
melakukan pembaharuan hukum sebagai mana yang di lakukan oleh Turki
sebagai negara yang pertama kali memperbarui hukum keluarganya.
Tujuan dari adanya pembaharuan hukum keluarga adalah sebagai
unifikasi hukum, pengangkatan status wanita, dan merespon perkembangan
zaman. Hasil dari pembaharuan hukum islam tersebut antara lain adanya
pencatatan pernikahan, pembatasan hak talak sepihak oleh suami, keharusan
pencatatan nikah, jaminan hak istri, dan jaminan hak anak yang orang tuanya
bercerai.17
Salah satu pembaruan itu diantaranya adalah pencatatan
pernikahan di Indonesia sejak diberlakukannya uu no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, sehingga pernikahan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah
oleh Negara. Seperti yang tertera dalam pasal 2 ayat 2 : “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”18
B. Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga
Hukum keluarga adalah hukum yang paling awal dikenal oleh
manusia , khususnya masalah hukum perkawinan yang ditandai dengan
adanya perkawinan Adam a.s dengan isterinya, Hawa. Hukum pernikahan
atau hukum keluarga dilaksanakan oleh anak, cucu, cicit nabi Adam dan
Hawa secara terus menerus dari dulu hingga sekarang dengan berbagai
perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalamnya.19
Sehingga dengan
begitu hukum keluarga sering mengalami perubahan legalisasi yang berlaku
di masing-masing daerah maupun negara.
Di negara-negara yang penduduknya tergolong heterogen semacam
Indonesia dan Malaysia misalnya, berlakunya hukum yang pluralis
merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Sebagaimana sistem-sistem
hukum lain yang berlaku di belahan bumi manapun, sistem hukum keluarga
Islam masih tetap ada dan terus berlaku di Dunia Islam. Dari sekian banyak
negara Islam, atau negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dan bahkan
17
Atho Mudzhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2003), h. 10-11 18
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, 1975), h. 42 19
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 5
19
di negara-negara berpenduduk muslim minoritas sekalipun, hukum keluarga
Islam benar-benar menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan
oleh keluarga-keluarga Muslim.20
Sesuai dengan sifatnya, hukum bisa berubah sesuai tuntutan zaman
dan keadaan dimana hukum itu berlaku. Sehingga di beberapa Negara yang
memberlakukan hukum keluarga melakukan pembaharuan hukum tersebut
agar sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Meskipun hasil penalaran
fuqaha dimasa lampau yang sesuai dan memenuhi kebutuhan masyarakat
muslim pada masa itu, tetapi tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan masyarakat muslim sekarang.21
Isi dan kandungannya
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya karena adanya perbedaan
pengetahuan diantara fuqaha sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
dan membuat masyarakat muslim tidak puas dengan hal itu.
Oleh karena itu banyak fenomena yang muncul pada dunia islam di
abad ke-19 diantaranya adalah adanya usaha pembaruan hukum keluarga di
negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Misalnya Turki yang
melakukan pembaruan di tahun 1917, Mesir pada tahun 1920, Iran pada tahun
1930, Syiria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan pada tahun
1961, dan Indonesia pada tahun 1974.22
Adapun bentuk pembaharuannya
berbeda antara satu negara dengan yang lainnya, ada yang melakukan
pembaharuan berdasarkan taqnin, putusan(dekrit), kepala negara(raja dan
presiden), ada pula dengan ketetapan-ketetapan hakim.23
Dari situ kita bias
melihat bahwa yang melakukan pembaharuan hukum pertama kali adalah
Turki.
20 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 9 21
Kurniati, Hukum Keluarga di Mesir, Jurnal Al-Daulah, Vol. 3, No. 1, h. 26 22 Atho Muzdhar dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2003), h. 1 23 Hilal Malarangan, Pembaruan Hukum Islam dalam Hukum Keluarga di Indonesia,
Jurnal Hunafa, Vol. 5 No. 1, April 2008, h. 39.
20
Negara yang memiliki peranan penting dalam proses pembaharuan
hukum keluarga di Negara-negara muslim lainnya adalah Turki dan Mesir.24
Turki merupakan Negara yang pertama kali melakukan pembaharuan hukum
keluarga pada tahun 1917, sedangkan mesir merupakan Negara Arab yang
pertama kali melakukan pembaharuan hukum keluarga sekaligus Negara
kedua yang melakukan pembaharuan tersebut yaitu pada tahun 1920. Dengan
diadakannya pembaharuan tersebut, maka kedua Negara ini telah membuka
pintu perubahan sistem hukum keluarga yang dipakai untuk Negara-negara
muslim lainnya, diantara bentuk pembaharuannya adalah meninggalkan
kebiasaan lama yang selalu merujuk pada kitab fikih klasik setiap ada
permasalahan yang kemudian menggunakan peraturan yang sudah
diundangkan misalnya Turki dengan lahirnya the Ottoman Law Of Family
Rights pada tahun 1917 maka dari yang awalnya masih berbentuk kitab fikih
klasik menuju format baru yang berupa perundang-undangan.
The Ottoman Law Of Family Rights adalah kitab undang-undang yang
dipakai Turki sebagai rujukan dalam masalah hukum keluarga. Sebagai
tonggak awal yang menandai adanya pembaharuan hukum islam di Dunia
Islam, maka the Ottoman Law Of Family Rights tercatat pernah diadopsi oleh
Lebanon, Yordania, dan Syiria. Oleh karena itu setidaknya Turki telah
memberi pengaruh dan inspirasi terhadap Negara muslim lainnya yang
menerapkan legalitas hukum keluarga. Mesir termasuk negara kedua yang
melakukan pembaharuan hukum keluarga pada tahun 1920 yang ikut
terisnpirasi oleh pembaharuan yang dilakukan oleh Turki. Salah satu contoh
pembaharuan hukum keluarga yang kerap mengalami amandemen di Turki
adalah aturan-aturan tentang perceraian. Di Turki aturan-aturan tentang
perceraian mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan
dengan fikih konvensional.
24
Syaiful Bahri, Kontribusi Pemikiran Qasim Amin Dalam Pembaruan Hukum Keluarga
Islam, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 6 No. 1, 2013, h. 20
21
Menurut Taheer Mahmud ada empat konsep dan metode pembaharuan
hukum Islam di Negara-negara muslim antara lain:25
1. Intra-doctrinal Reform
Merupakan pembaharuan hukum Islam yang didasarkan pada mazhab
hukum Islam (fiqh), yang dianut oleh masyarakat disuatu Negara. Seperti
Indonesia yang menganut mazhab Sunny dan lebih banyak mengambil
doktrin Imam Syafi‟i, kemudian Mesir yang semula menganut
Syafi‟iyyah, kemudian setelah penyebaran melalui Dinasti Usmani beralih
kepada mazhab Hanafiyyah hingga sekarang, Saudi Arabia yang menganut
mazhab Hanbali, Yaman dengan mazhab Zaidi.
2. Extra-doctrinal Reform
Merupakan pembaharuan hukum Islam di beberapa Negara muslim yang
keluar dari pendapat-pendapat mazhab fiqh yang dianut oleh
masyarakatnya. Seperti adanya ijtihad hukum islam yang baru yang
mereka lakukan. Diantara ijtihad dalam pembaharuan itu contohnya adalah
tentang wasiat wajibah dalam hukum kewarisan, pelarangan poligami dan
sebagainya. Seperti yang dilakukan oleh Mesir, Turki dan Albania.
3. Regulatory Reform
Merupakan pembaharuan hukum Islam yang dipengaruhi oleh berbagai
prosedur hukum barat karena adanya perkembangan masyarakat muslim
yang bersentuhan dengan barat seperti adanya system legislasi dan
administrasi modern. Contoh Negara yang melakukan pembaharuan ini
antara lain Pakistan, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan lain
sebagainya.
4. Codification
Merupakan pembaharuan hukum Islam dengan cara pembukuan materi
hukum secara lengkap dan sistematis yang dikenal dari hukum barat
terutama sistem eropa continental.
25
Syaiful Bahri, Kontribusi Pemikiran Qasim Amin Dalam Pembaruan Hukum Keluarga
Islam, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 6 No. 1, 2013, h., 213
22
Dalam perkembangannya, pengundangan yang dilakukan di negara-
negara muslim sebagian besar hanya terjadi dalam bidang hukum keluarga,
karena bidang tersebut dianggap bagian dari substansi dalam hukum islam,
Penerapan hukum keluarga yang tidak jauh dari adanya unsur hukum adat dan
hukum yang berkembang di masyarakat menjadikan hukum keluarga sensitif
untuk dilakukannya perubahan.26
Sehingga hukum keluarga mampu bertahan
ditengah-tengah hempasan gelombang westernisasi (barat) karena masyarakat
muslim yang lebih tertarik untuk menggunakan hukum adat yang turun
temurun berlaku di masyarakat dan berpaling dari system hukum barat yang
telah disusun secara sistematis. Adanya pengundangan hukum islam tersebut
bertujuan untuk mempersatukan hukum islam atau yang biasa disebut
unifikasi hukum dan menghasilkan kepastian hukum.
C. Pandangan Ulama Mazhab Mengenai Hukum Keluarga
1. Nusyuz
Menurut kesepakatan para ulama pukulan oleh suami terhadap isteri
yang nusyuz diperbolehkan bagi suami jika nasihat dan pisah ranjang tidak
berfaidah baginya.27 Berdasarkan surah An-nisa‟ ayat 34, suami boleh
memberlakukan sanksi dan hukuman terhadap istrinya yang berbuat nusyuz,
yaitu melalui tahap-tahap persuasif, menasihati dan pisah ranjang, yang
selanjutnya al-dharb atau memukul. Mengenai pemukulan ini para mufassir
dan fuqaha‟ telah menyepakati bahwa pukulan yang diberikan adalah pukulan
yang lemah dan tidak sampai melukainya.28 Dari keterangan tersebut bisa
dipahami bahwa menurut para ulama mazhab, suami tetap memiliki hak
untuk memukul isteri yang nusyuz.
Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa jika isteri benar-benar nusyuz maka
suami boleh memukul isterinya. Tetapi meskipun boleh memukul tetapi
26 Ahmad tholabi Karlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 13 27 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, diterjemahkan oleh Darwis Dkk, Shahih Fikih
Sunnah, (Jakarta: Darus Sunnah, 2017), h. 259 28
Muhammad Kamil Hasan Al Mahami, Wanita Dimata Dunia dan Al-Qur‟an, (Jakarta:
Mustaqim, 2004), h. 98
23
hendaknya bagi suami tidak memukul dengan pukulan yang melukai atau
mengeluarkan darah, tidak boleh berulang-ulang, dan hindarkan pemukulan
pada wajah.. Imam Syafi‟i juga mengatakan: “Aku lebih suka tidak
memukulnya, karena Nabi Muhammad SAW bersabda: “lan yadhriba
khiyarukum (orang yang baik di antara kalian tidak akan memukul istri).
Dalam kesempatan lain sesudah Nabi mendengar ada tujuh puluh orang
perempuan yang mengadukan perlakuan kasar suami mereka, beliau
mengatakan :”wa ma tajiduna ula-ika bikhiyarikum (kalian perlu ketahui
bahwa mereka para suami yang berlaku kasar terhadap istri bukan orang-
orang yang baik di antara kalian)”.29
Mazhab Hanafi berpendapat suami boleh memukul istri dengan pukulan
yang ringan dan tidak melukai. Disini Syariat islam membatasi dengan
memberikan kriteria pemukulan tersebut yang diperbolehkan adalah
memukul selain muka, perut atau bagian tubuh lain yang dapat menyebabkan
kematian atau kemudharatan, tidak memukul pada satu tempat, serta tidak
memukul dengan alat yang bisa melukai.30
Sedangkan Mazhab Hanbali berpendapat suami tidak boleh memukul
lebih dari 10 kali pukulan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Tak boleh memukul melebihi
sepuluh kali kecuali pada saat hukuman had yang Allah tetapkan.31
2. Isteri Bekerja
Berbicara masalah hak dan kewajiban suami isteri, penulis hanya
membatasi pada pembahasan tentang kewajiban memberi nafkah oleh suami.
Alasan yang sering dikemukakan ulama mengenai wajibnya suami menafkahi
isteri adalah karena terbatasnya ruang gerak bagi isteri yang telah menikah
29
Al- Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhazzab. (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah ,
2007), Cet. VI, h. 325 30
MD. Nor Bin Muhammad, Skripsi tentang Konsep Nusyuz (Studi Komperatif Antara
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i), (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2011), h. 58 31
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, diterjemahkan oleh Darwis Dkk, Shahih Fikih
Sunnah, h. 260
24
untuk mendapatkan penghasilan bagi dirinya sendiri. Dalam bahasa ulama
disebutkan isteri itu bagaikan al-mahbus (tawanan).32
Diantara perbuatan ketaatan isteri terhadap suami adalah tinggal dirumah
selama dia telah menerima mahar dari suaminya yang membuatnya
mendedikasikan dirinya untuk memperhatikan berbagai perkara rumah
tangga, mengurus rumah dan menjaga atau merawat anak-anaknya. Bahkan
disebutkan isteri tidak boleh keluar rumah walaupun untuk melaksanakan
ibadah haji kecuali dengan seizin suaminya. Disana suami berhak untuk
melarangnya. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a,
ia berkata: aku melihat seorang perempuan datang menemui nabi dan dia
berkata, “Ya Rasulullah apa hak suami yang harus di penuhi oleh isterinya?”,
Rasulullah menjawab: “Haknya yang harus dipenuhi oleh isterinya adalah
jangan sampai dia keluar dari rumahnya kecuali dengan izinnya, jika dia
melakukannya maka Allah, malaikat rahmat, dan malaikat marah
melaknatnya sampai dia bertobat atau kembali”.33
Masalah keluar rumah oleh isteri, ada beberapa pandangan dari ulama
mazhab diantaranya adalah mazhab Syafi‟i dan mazhab Hanafi. Bagi mazhab
Syafi‟i makruh hukumnya untuk melarang isteri mengunjungi bapaknya yang
sakit berat dan melarang isteri datang untuk melayatnya jika meninggal
dunia. Bagi mazhab Hanafi membolehkan isteri untuk keluar rumah tanpa
izin suaminya jika salah satu dari kedua orang tuanya sakit.
Menurut ulama Hanafiyyah, jika ia bekerja tanpa keridhoan suami maka
tidak wajib diberi nafkah, tetapi jika ia bekerja dengan ridanya, nafkah tetap
wajib. Ridha suami pada suatu waktu tidak otomatis menjadi keridaan di
setiap waktu dan tempat, baginya boleh mencegah istri. Jika tidak mau, ia
tergolong nusyu dan gugur nafkahnya.34
32
Hairul Hudaya, Jurnal Studi Gender dan anak Vol. 1, Hak Nafkah Isteri (Perspektif
Hadis dan Kompilasi Hukum Islam), 2013, h. 30 33
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 303 34
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
terj. Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I, h. 216.
25
Menurut Nasaruddin Umar, banyak juga Hadis Nabi yang membolehkan
perempuan bekerja di luar rumah, di antaranya Nabi membiarkan perempuan
aktif dalam profesi peternakan. Bahkan, Nabi pernah memberikan petunjuk
dalam praktik jual beli. Beliau bersabda “apabila kamu ingin membeli atau
menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang kauinginkan untuk membeli
atau menjualnya, baik kemudian kamu diberi atau tidak”.35
Istri-istri nabi sendiri aktif dalam bidang ekonomi dalam beragam
profesi, seperti: Siti Khadijah, konglomerat yang berhasil dalam bidang usah
ekspor-impor, Safiyah bint Huyay, perias pengantin, dan Zainab bint Jahsh,
bekerja dalam bidang home industry pada proses menyamak kulit binatang.
Selain itu, menurut dia, perempuan-perempuan lain seperti Qilat Ummi banu
Ammar yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk mengenai
jualbeli. Raitah, istri „Abd Allâh ibn Mas„ûd, Sahabat Nabi yang aktif
berbisnis karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.
3. Poligami
Sebab-sebab yang umum diantaranya adanya poligami adalah kebutuhan
umat terhadap bertambahnya jumlah penduduk, untuk melakukan peperangan
melawan musuh, atau untuk membantu pekerjaan pertanian, pabrik dan
lainnya. Agama Yahudi telah membolehkan sistem poligami dan di dalam
agama masehi tidak ada nash yang melarang praktik poligami.
Dalam Islam sendiri tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang kebolehan seorang laki-laki menikahi wanita lebih dari satu.
Perbedaan hanya terjadi pada status hukum kebolehan tersebut; azimah atau
rukhsah.36 Selain itu juga perbedaan terjadi dalam jumlah istri yang
dibolehkan dalam poligami. Dalam hal ini penulis hanya mengungkapkan
pendapat jumhur ulama yang di kutip oleh Ibrahim Hosen dalam bukunya
sebagai berikut:
35
Fatimah Mernisi, Women and Islam, (London: Bisal Blackwell, 1991), h. 45 36
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), h. 138
26
Jumhur memandang kebolehan poligami hanya terbatas pada empat wanita
berdasarkan surat an-Nisa‟ ayat 3 bahwa huruf “wawu” dalam kata “wa
tsulatsa”, “wa ruba‟a” adalah bermakna “aw” yang artinya (atau), dan bukan
makna aslinya yaitu (dan). Demikian juga dengan kata “matsna, tsulatsa,
ruba‟a” yang dimaknai dua, tiga, dan empat, tidak dimaknai dua-dua, tiga-
tiga, empat-empat. Penyimpangan dari arti asal itu dibolehkan karena ada
qarinah hadis Nabi saw berikut ini:
متسل
ال : ا
ق
حازث
يس بن ال
بي عن ق
الك للنست ذ
ك
ر
مان نسىة ف
وعندي ج
زبعار منهن ا
تقال اخ
ه عليه وسلم ف
ى الل
)زواه داود وابن ماجه( صل
“Dari Qais bin al-Harits, ia berkata: „aku masuk Islam sedangkan aku
mempunyai delapan istri. Lalu aku datang mengunjungi Nabi saw dan
menyampaikan hal itu. Beliau bersabda: „Pilihlah diantara mereka itu
empat!‟” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah). 37
4. Mahar
Mahar adalah persyaratan dalam menikah, apabila ada pernikahan yang
dilakukan tanpa adanya mahar maka pernikahan tidak sah karena mahar
adalah sesuatu yang wajib diberikan pada saat pernikahan baik disebutkan
maupun tidak. Hal ini adalah pendapat madzhab Maliki, dan salah satu dari
pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal serta pendapat yang dipilih oleh Ibnu
taimiyah. Sedangkan jumhur ulama seperti Imam Abu Hanifah, Syafi‟i dan
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa persyaratan nikah yang meniadakan
mahar tidak membatalkan suatu pernikahan dan pihak wanita berhak
mendapatkan mahar yang sepadan.38
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan bahwa mahar merupakan
segala sesuatu yang bernilai dalam perniagaan.39 Mahar itu berupa harta, suci,
halal, mendatangkan kemanfaatan, dan bisa diserahterimakan seperti rumah
dan lain sebagainya. Pendapat Mazhab Syafi‟i dan Hanbali tentang kriteria
mahar yaitu setiap amal yang bisa diupahkan boleh dijadikan sebagai mahar
contohnya seperti mengajarkan Al-Qur‟an, kerajinan tangan, berkhidmat dan
37 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 140-141.
38 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan , h. 132
39 Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, jilid 2 (ttp: tt), h. 46
27
lain sebagainya. Namun pendapat tersebut di tentang oleh Imam Abu Hanifah
dan dimakruhkan oleh Imam Malik.
Adapun batasan maksimal nilai mahar para ulama sepakat tidak ada
batasan maksimal nilai mahar yang harus diberikan pada isteri. Imam Ibnu
Taimiyah mengatakan “tidak masalah bagi orang yang diberikan kelapangan
oleh Allah dan ingin memberikan mahar yang banyak pada isterinya”.
Namun jika seseorang tidak mampu dan tidak mau melaksanakannya maka
hukumnya makruh bila dipaksakan.40
Sedang untuk batasan minimal nilai mahar menurut pendapat yang kuat
tidak ada batasan minimal mahar. Boleh memberikan mahar dengan setiap
sesuatu yang disebut dengan harta, atau yang bernilai harta apabila telah ada
keridhaan. Ini merupakan pendapat Mazhab Syafi‟i, Hanbali, Ishaq, Abu
Tsaur, Al-Auza‟i, Al-Laits, Ibnu Al-Musayyab dan lainnya. Bahkan Ibnu
Hazm membolehkan dengan segala sesuatu yang bernilai setengah dari suatu
barang walaupun dengan setengah dari sebiji gandum.41
Tidak adanya batasan minimal dalam menetapkan nilai mahar diperkuat
dengan keumuman firman Allah :
“Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu
jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk
berzina” (Q.S An-Nisa : 24).
Sabda Nabi Muhammad SAW kepada seorang laki-laki yang ingin
menikahi seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi, “Apakah
engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?, lelaki tersebut menjawab,
“Tidak”. Lalu Nabi berkata: “Pulanglah carilah dirumahmu apa yang engkau
miliki walaupun berupa cincin dan besi”. Hal ini menunjukkan bahwa mahar
boleh dengan segala sesuatu tetapi yang bernilai atau yang dinamakan
materi(harta).42
40
Majmu‟ Al-Fatawa (32/195) 41
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, diterjemahkan oleh Darwis Dkk, Shahih Fikih
Sunnah, h. 158 42
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, diterjemahkan oleh Darwis Dkk, Shahih Fikih
Sunnah, , h. 159
28
Sedangkan Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqih Islam Wa
Adillatuhu menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai
masalah minimal mahar yang harus diberikan oleh laki-laki, yang terbagi
pada tiga pendapat, yaitu:43
Pertama, pendapat Mazhab Hanafi bahwa minimal mahar adalah sepuluh
dirham, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Jabir, dari Nabi
Muhammad SAW bersabda:
سة دزاهم
ل من عشق
مهس ا
ل
Artinya: “Tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham”
Kedua, pendapat Mazhab Maliki yang mengatakan bahwa standar mahar
yang paling rendah adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak
murni yang sama sekali tidak mengandung kepalsuan. Atau dengan barang-
barang yang suci yang terbebas dari najis yang sebanding dengan harganya,
baik berupa barang, hewan, maupun bangunan yang dibeli secara legal dan
bermanfaat menurut syariat. Serta mampu diserahkan pada isteri yang barang
tersebut kadar, jenis dan macamnya jelas.
Ketiga, pendapat Mazhab Syafi‟i dan Hanbali yang menyebutkan bahwa tidak
ada batasan terendah bagi mahar. Sahnya mahar tidak ditentukan dengan
sesuatu. Oleh karena itu, sah jika mahar adalah harta yang sedikit ataupun
banyak. Batasannya adalah semua yang sah untuk dijual atau yang memiliki
nilai sah untuk menjadi mahar. Dan jika tidak memiliki nilai maka tidak bisa
dijadikan mahar.
5. Status Kawin Hamil
Mengenai ketentuan-ketentuan hukum perkawinan wanita hamil dalam
pendapat para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin
43 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 235
29
Hanbal), mereka berbeda pendapat, pada umumnya dikelompokkan kepada
dua kelompok pendapat:44
a. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i mengatakan: Wanita hamil akibat
zina boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang
menghamilinya atau dengan laki-laki lain.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wanita hamil karena zina itu
tidak ada iddahnya, boleh mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan
hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya”, hal ini didasarkan
pada Firman Allah Surah An-Nisa ayat 24 dan sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka jangan
sampai dia siramkan air spermanya kepada janin milik orang lain,
maksudnya menggauli perempuan yang sedang hamil”.45
Sementara Imam Syafi'i mengatakan: “hubungan seks karena zina itu
tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan
boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan hamil”. Mazhab
ini mendasarkan pada surah an-Nisa‟ ayat 24 dan Hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah : ”Perkara yang haram tidak membuat haram
sesuatu yang halal”46
Jadi, menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan ketentuan-
ketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam nikah.
Karena iddah itu hanya ditentukan untuk menghargai sperma yang ada
dalam kandungan isteri dalam perkawinan yang sah. Sperma hasil dari
hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum.
b. Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal mengatakan tidak boleh
melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-
laki lain sampai dia melahirkan kandungannya.
44
Jurnal Masalah - Masalah Hukum oleh Aladin, Pernikahan Hamil di Luar Nikah
Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Fiqih Islam di Kantor Urusan Agama (Studi
Kasus di Kota Kupang), Jilid 46 No. 3, Juli 2017, h. 239-248 45
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 145 46
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk , h. 146
30
Menurut Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal perkawinan dalam
bentuk apapun memiliki akibat yang sama yaitu adanya iddah. Pendapat
yang mereka kemukakan didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW
yang artinya:
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat menyiramkan airnya (spermanya) kepada tanaman orang lain,
yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan
perang sampai menghabiskan istibra'-nya (iddah) satu kali haid”.
Selain itu keduanya juga beralasan atas dasar sabda Nabi Muhammad
SAW yang lainya: “Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia
melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali”.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan
dari kedua hadits tersebut, bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini,
karena dia perlu iddah. Mereka memberlakukan sama adanya iddah baik
bagi wanita hamil dari perkawinan yang sah maupun wanita hamil dari
akibat perbuatan zina, maka wanita hamil dilarang melangsungkan
perkawinan kecuali setelah berakhirnya masa iddahnya yaitu ketika
seseorang melahirkan anaknya.
6. Aborsi
Menurut pandangan mayoritas fuqaha‟, melakukan aborsi bagi janin
yang telah berusia 120 hari hukumnya haram. Sedang usia sebelum 120 hari
terjadi khilafiyah (perbedaan). Ada yang berpendapat boleh, makruh, dan
haram. Alasan yang mengharamkan usia 120 hari dan membolehkan sebelum
120 hari adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ibn Mas‟ud yang
menyatakan tentang penciptaan janin, dari nuthfah ke „alaqah, ke mudghah
dan sampai ditiupkannya ruh pada usia ke 40 hari.47
47
Dewani Ramli, Jurnal Aborsi Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
(Suatu Kajian Komparatif), PPs. IAIN Ar-Raniri, Banda Aceh, Diakses 22 Oktober 2018 pukul
14:39. Lihat: https://media.neliti.com/media/publications/58382-ID-aborsi-dalam-perspektif-
hukum-positif-da.pdf
31
Mayoritas fuqaha Syafî‟iyah, dan mayoritas fuqaha‟ Hanabilah serta
mayoritas fuqaha Hanafiyah, berpendapat bahwa jika pengguguran
kandungan (aborsi) atas persetujuan suami istri, tidak menggunakan alat yang
membahayakan, dan janin yang digugurkan tersebut belum berusia 40 hari,
maka hukumnya makruh. Alasan dari mahzab Hanafi adalah karena janin itu
belum berbentuk.48
Juga menurut para ulama Hanafiah boleh menggugurkan
kandungan sebelum berumur empat bulan sekalipun itu dilakukan tanpa
seizin suami.49
Para ulama Malikiah berpendapat bahwa jika rahim telah dibuahi sperma
maka tidak boleh mengganggunya, apalagi jika sperma tersebut sudah
terbentuk menjadi janin yang kemudian janin tersebut telah ditiupkannya ruh,
maka mereka sepakat bahwa itu adalah pembunuhan.50
7. Pernikahan Beda Agama
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menyebutkan bahwa semua
ulama sepakat seorang Muslim tidak boleh menikah dengan perempuan
musyrik karena memiliki perbedaan yang prinsipal yaitu islam dan
kesyirikan, sehingga dianggap sebagai dua kutub yang berlawanan.51 Dalam
kitab Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu disebutkan bahwa perempuan musyrik
adalah perempuan yang menyembah Allah bersama sesuatu yang lain, seperti
berhala, bintang-bintang, api, dan binatang. Yang tergolong kedalamnya
antara lain perempuan atheis, materealis, majusiyyah (penyembah api),
watsaniyyah (penyembah berhala), serta orang yang murtad, dan lain-lain.52
48
Dewani Ramli, Jurnal Aborsi Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
(Suatu Kajian Komparatif), PPs. IAIN Ar-Raniri, Banda Aceh 49
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 105 50
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 105 51 Ahmad Tholabi Karlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 241 52 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 147
32
Para fuqaha‟ empat mazab memiliki pandangan masing-masing tentang
bagaimana hukumnya laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab.
penjelasannya sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafi: Imam Abu Hanifah membolehkan mengawini wanita ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahli kitab tersebut meyakini trinitas,
karena menurut mereka yang terpenting adalah ahli kitab tersebut memiliki
kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahli kitab
adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah
diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi
Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS
dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab Hanafi mengawini wanita ahli kitab dzimmi
atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja
hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan
mengandung mafsadah yang besar, yakni seorang suami muslim yang
kawin dengan perempuan ahli kitab dikhawatirkan akan patuh terhadap
istrinya yang berjuang memperbolehkan anaknya beragama dengan selain
agamanya.53
b. Mazhab Maliki: Nikah dengan kitabiyah (ahli kitab) hukumnya makruh
mutlak baik dzimmiyah maupun harbiyah, namun makruh menikahi
wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa isteri
kitabiyah ini akan mempengaruhi agama anak-anaknya dan meninggalkan
agama ayahnya, maka hukumnya haram.54
c. Mazhab Syafi‟i: berpendapat sama dengan jumhur ulama tentang
makruhnya menikahi wanita ahli kitab. Meskipun terlihat dibolehkan
dengan dasar hukum makruh, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi,
ketika tidak memenuhi syarat-syaratnya maka hukumnya pun akan
berubah menjadi haram. Syarat yang dimaksud adalah wanita ahli kitab
53
Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2006),
h. 40 54
Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, h. 41
33
harus berasal dari keluarga Yahudi atau Nasrani sebelum ajaran mereka
diselewengkan. Artinya mereka harus berasal dari Ahli kitab yang masih
murni pada ajarannya. Jika dilihat pada kenyataannya untuk saat ini, maka
akan sangat sulit atau bahkan mustahil untuk menemukannya. Sehingga
secara tidak langsung mazhab Syafi‟i mengharamkan pernikahan dengan
ahli kitab untuk konteks saat ini.55
d. Mazhab Hanbali: mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita
musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Mazhab ini
banyak mendukung pendapat guru Imam Hanbali yaitu Imam Syafi‟i.
Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahli kitab adalah Yahudi dan
Nasrani yang berasal dari Bangsa Israel saja, melainkan semua wanita-
wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad
SAW belum diutus menjadi Rasul, baik dari bangsa Israel maupun tidak.
8. Keluarga Berencana(KB)
Salah satu cara untuk mengatur jumlah kelahiran adalah dengan cara
„Azl, yaitu mengeluarkan sperma diluar vagina.56 Dengan begitu sperma tidak
masuk kedalam sel telur. Para ulama sepakat bahwa melakukan „azl tanpa
seizin isteri yang merdeka hukumnya makruh, karena hubungan intim
merupakan sebab mendapatkannya anak. Sedangkan isteri berhak untuk
mendapatkan anak. Dengan melakukan „azl maka kesempatan untuk
mendapatkan anak menjadi sirna.
Dalil diperbolehkannya „azl adalah perkataan Jabir yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim, “Dulu di zaman Rasulullah kami melakukan „azl, dan hal
itu sampai ke beliau, namun beliau tidak melarangnya.” Keempat madzhab
menyepakati pendapat yang memperbolehkan „azl berdasarkan hadits Abu
Sa‟id al-Khudri secara marfu‟ dari Ahmad,57 “kami menggauli isteri kami dan
55 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam,h. 42 56
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 104 57
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 299
34
kami suka menggauli mereka, maka apa pendapatmu tentang „azl? Beliau
menjawab:
“Perbuatlah apa yang menurut kalian baik, maka apa yang ditetapkan oleh
Allah itulah yang terjadi, dan tidak dari setiap air sperma lahir anak”
Sedangkan dalil yang memakruhkan „azl adalah hadits yang diriwayatkan
dari Judzamah binti Wahab al-Asadiyyah:
“Aku menghadiri Rasulullah ketika beliau berada di tengah-tengah manusia
seraya bersabda, “Sungguh aku berkeinginan untuk melarang al-ghiilah58.”
Kemudian aku melihat keadaan orang-orang Romawi dan Persia, ternyata
mereka melakukan al-ghiilah, dan itu tidak membahayakan anak-anak
mereka sedikitpun. Kemudian para sahabat bertanyakepada beliau mengenai
„azl, lantas Rasulullah menjawab, “Itu merupakan al-wa‟d59 yang
tersembunyi, yaitu: tatkala anak yang dikubur hidup-hidup ditanya.”
Menurut Ibnu Utsaimin tentang „azl dalam fatwanya menyebutkan tidak
boleh melakukan „azl pada isteri yang merdeka (bukan budak), kecuali atas
izinnya. Sebab isteri juga punya hak untuk mempunyai anak. Kemudian tapa
izin dari dia dapat mengurangi kepuasannya dalam melakukan hubungan
seksual. Maka melakukan „azl tanpa seizin isteri merupakan tindakan
menghilangkan kepuasan isteri dan juga menghilangkan proses terjadinya
anak, oleh karenanya „azl dilakukan setelah mendapatkan izin dari isteri.60
Berikut pandangan empat madzhab tentang keabsahan melakukan „azl
antara lain:61
a. Mazhab Hanafi : mayoritas ulama mazhab Hanafi mengizinkan al-„azl
sebagai tindakan kontrasepsi. Tetapi terjadi perbedaan mengenai
persetujuan isteri. Ada yang berpendapat boleh tanpa persetujuan isteri
apabila telah terjadinya kemunduran agama “zaman yang buruk” dan
kekhawatiran akan melahirkan anak-anak yang nakal.62
Kalangan ulama
58
Al-ghiilah adalah menggauli isteri ketika ia masih sedang menyusui. 59
Al-wa‟d adalah mengubur anak hidup-hidup. 60
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dkk, Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah,
Musthofa Aini, dkk, (Jakarta: Darul Haq, 2003), h. 433 61
„Abd al-Rahim „Umran, Islam dan KB, penerjemah, Muhammad Hasyim, (Jakarta:
Lentera, 1997), h. 181-194 62
„Abd al-Rahim „Umran, Islam dan KB, penerjemah, Muhammad Hasyim, h. 181-182
35
Hanafiah menyebutkan: “Ada beberapa sebab seseorang boleh melakukan
„azl tanpa izin dari isteri, seperti ketika dalam perjalanan jauh, di dalam
area peperangan yang dikhawatirkan akan keselamatan anak, atau si isteri
berakhlak buruk sehingga ia ingin menceraikannya, dan itu dilakukan
karena takut akan terjadi kehamilan.”
b. Mazhab Maliki : mayoritas ulama Maliki menegaskan halalnya al-„azl
untuk mencegah kehamilan, dengan syarat adanya persetujuan isteri.63
Dalam akhir keterangan kitabnya al-Muwaththa‟, imam malik menyatakan
pendapatnya secara tegas tentang „azl, dan ini menjadi sikap mazhab
maliki, ia mengatakan “tak seorangpun boleh melaksanakan al‟-azl tanpa
persetujuan isteri yang merdeka.
c. Mazhab Syafi‟i: sikap khas mazhab Syafi‟i adalah al-„azl boleh dilakukan
dan boleh tanpa persetujuan isteri. Tetapi kebolehan tanpa izin isteri
tersebut paling tidak dihukumi sebagai makruh tanzih (makruh ringan),
karena wanita mempunyai hak akan hubungan kelamin tetapi tidak berhak
anak ejakulasi.64
d. Mazhab Hanbali: mayoritas mazhab Hanbali sependapat dengan mayoritas
mazhab yang lain bahwa al-„azl adalah halal dengan persetujuan isteri,
baik ia muda ataupun tua. Persetujuan itu boleh ditinggalkan disaat-saat
tertentu, bahkan beberapa ulama Hanabilah mewajibkan untuk
mempraktikkan al-„azl di wilayah musuh. Imam Ahmad bin Hanbal
sendiri telah mensahihkan dalam musnadnya banyak hadits tentang al-„azl,
ia mengizinkan melakukan itu tetapi harus dengan persetujuan isteri.65
63
„Abd al-Rahim „Umran, Islam dan KB, penerjemah, Muhammad Hasyim , h. 183 64
„Abd al-Rahim „Umran, Islam dan KB, penerjemah, Muhammad Hasyim, h. 189 65
„Abd al-Rahim „Umran, Islam dan KB, penerjemah, Muhammad Hasyim, h. 194
36
BAB III
BIOGRAFI SINGKAT DAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB
MENGENAI HUKUM KELUARGA
A. Biografi Quraish Shihab
1. Kehidupan M. Quraish Shihab1
Nama lengkap Quraish Shihab adalah Muhammad Quraish Shihab,
dilahirkan di Kabupaten Sindenreng Rappang (Sindrap)2 Provinsi Sulawesi
Selatan pada tanggal 16 Februari 1944. Ia berasal dari keluarga yang
sederhana tetapi sangat kuat dalam berpegangan terhadap ajaran agama. Ia
adalah anak keempat dari enam bersaudara. Tiga kakaknya bernama Nur, Ali,
Umar, dan dua adiknya bernama Wardah dan Alwi. Setelah lahir adiknya
yang terakhir, yaitu Alwi shihab, ayahnya memboyong keluarga besarnya ke
Makassar, persisnya di Jalan Sulawesi Lorong 194 nomor 7 yang lebih
dikenal dengan Kampung Buton. Disana kemudian lahir lagi tujuh adik
Quraish shihab bernama Nina, Sida, Nizar, Abdul Muthalib, Salwa, dan si
kembar Ulfa dan Latifah. Sehingga keluarga Quraish Shihab memiliki total
12 putra-putri.
Quraish Shihab lahir dari sang ayah bernama Habib Abdurrahman Shihab
yang lahir pada tahun 1905 dan wafat pada tahun 1986. Ayahnya tersebut
tinggal di Rappang selama 10 tahun sejak menikahi emma‟ (sebutan untuk
ibu Quraish Shihab). Ia Merupakan seorang ahli tafsir, mantan rektor Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Alaudin Ujung Pandang, Provinsi Sulawesi
Selatan selama periode 1972 sampai 1977, dan ikut serta dalam mendirikan
Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujung Pandang sekaligus menjadi
1 Afrizal Nur, Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII No. 1, Januari 2012, h. 22- 24
2 Luas wilayahnya mencapai 1.883,25 km2 , dengan 11 kecamatan, 38 kelurahan, dan 65
desa.
37
ketuanya pada 1959-1965. Ternyata darah sebagai ahli tafsir dalam diri
Quraish shihab memang sudah ada dalam diri ayahnya.
Sejak kecil Quraish Shihab terpengaruh oleh ayahnya untuk mendalami
ilmu tafsir. Banih kecintaan terhadap ilmu tafsir ditanamkan di usia belia.
Ayahnya selalu mengajak anak-anaknya wirid setelah maghrib. Sejak kecil
pula ia sudah lancar membaca al-Qur‟an dan mampu menguraikan kisah-
kisah dalam kitab suci. Ketika beliau berumur enam tahun, ayahnya
mewajibkannya mengikuti pengajian al-Qur‟an yang diadakan oleh ayahnya
sendiri. Disamping itu juga ia belajar tentang kisah-kisah di dalam al-Qur‟an
yang diceritakan oleh ayahnya sehingga dari sinilah mulainya timbul benih-
benih kecintaanya terhadap kitab suci al-Quran.1
Pendidikan formal Quraish Shihab dimulai dari Sekolah Dasar (SD)
Lompobattang, Ujung Pandang, yang letaknya tak jauh dari rumahnya di
jalan Sulawesi. Ia tamat SD pada usia 11 tahun. Setelah tamat SD, ia
melanjutkan pendidikannya di SMP Muhammadiyyah Makassar. Namun tak
sampai lulus di SMP Muhammadiyah Makassar, tepatnya hanya setahun
mengenyam pendidikan di sana, ia terpikat oleh kepiawaian kakaknya yang
bernama Ali Shihab dalam berbahasa Arab setelah nyantri di pesantren Dar
al-Hadits al-Fiqhiyyah Malang. Oleh karena itu Quraish Shihab pindah
sekolah dari SMP Muhammadiyah Makassar ke pesantren Dar al-Hadits al-
Fiqhiyyah Malang.
Pada tahun 1958 setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya di
Malang. Quraish Shihab belajar di pondok tersebut hanya dua tahun,2 dia pun
berangkat ke Kairo, Mesir, menjadi wakil pelajar dari Sulawesi Selatan dalam
seleksi nasional yang diselenggarakan oleh Departemen Agama Republik
Indonesia. Ia juga berangkat bersama dua saudaranya Umar Shihab dan Alwi
Shihab. Di sana ia beserta saudaranya mendapat bantuan beasiswa dari
Pemerintah Daerah (Pemda) Sulawesi Selatan. Ia masuk pada jurusan Tafsir,
1 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
(Jakarta: ttp. 2002), h. 80 2 Miftahudin bin Kamil, Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek Metodologi,
(Malaysia: Universiti Malaya, 2007), h. 209
38
Fakultas Usuluddin di Universitas al-Azhar. Tetapi ia menempuh pendidikan
Tsanawiyah di Al-Azhar terlebih dahulu sebelum masuk perguruan tinggi
Universitas al-Azhar.
Quraish Shihab di Mesir banyak belajar dengan Ulama-ulama besar
seperti Syaikh Abdul Halim Mahmud pengarang buku al-Tafsir al-Falsafi fi
al-Islam, al-Islam wa al-Aql, dan lainnya. Abdul Halim Mahmud juga
merupakan dosen Quraish Shihab sewaktu menuntut ilmu di Universitas al-
Azhar. Gurunya ini juga lulusan Universitas Al-Azhar kemudian melanjutkan
studinya ke Sorbon University dalam bidang falsafah. Quraish Shihab
menyatakan keberkesanannya terhadap sang guru: “ beliau adalah dosen saya
yang kemudian menjadi Syaikh Al-Azhar, saya sering naik bus bersama
beliau, beliau punya pengaruh yang besar”3
Pada tahun 1967 beliau meraih gelar Lc (S-1) di Fakultas Ushuluddin
Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar. Kemudian beliau
melanjutkan pendidikannya di Fakultas yang sama dan pada tahun 1969
berhasil meraih gelar MA, dengan tesis yang berjudul “al I‟jaz al-Tasyri‟iy li
al-Qur‟an al-Karim .”4Meskipun telah mendapat gelar Master, ia merasa ilmu
yang dimilikinya masih belum cukup, pada tahun 1980 Quraish Shihab
kembali lagi ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan studinya di Universitas al-
Azhar setelah ia banyak berkiprah di Indonesia baik di pemerintahan maupun
di luar pemerintahan. Pada tahun 1982 akhirnya ia mendapatkan gelar Doktor
Falsafah (Ph.D) dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an dengan tesisnya yang
berjudul “Nazham al-Durar Li al-Biqa‟i: “Tahqiq wa Dirasah”. Ia mendapat
predikat Summa cum Laude disertasi. Dengan keberhasilannya itu, Quraish
Shihab tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar
Doktor Falsafah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an dari Universitas al-Azhar
Kairo, Mesir.
3 Miftahudin bin Kamil, Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek Metodologi,
h. 208 4 M. Quraish Shihab, Membumikan alQur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. kata
Pengantar
39
Secara keseluruhan Quraish Shihab telah menjalani masa belajar dibawah
asuhan dan bimbingan Universitas Al-Azhar kurang lebih selama 13 tahun,
hampir dapat dipastikan bahwa sedikit banyaknya iklim dan tradisi serta
aliran keilmuan dalam studi Islam di lingkungan Universitas al-Azhar telah
mempengaruhi terhadap kecenderungan intelektual dan corak pemikiran
keagamaan Quraish Shihab, terkhusus pada dimensi metode penafsirannya.
Dalam menjalani hidup berumah tangga, beliau didampingi seorang isteri
bernama Fatmawati Assegaf. Keduanya menikah pada 2 Februari 1975 di
Solo dan dianugerahi 5 orang anak, masing-masingnya bernama Najeela
Shihab, Najwa Shihab, Nasywa Shihab, Nahla Shihab, dan Ahmad Shihab5 .
Secara adat walaupun beliau dilahirkan di luar Pulau Jawa, namun tradisi
Quraish Shihab sekeluarga adalah tradisi Nahdhiyyin.6
2. Guru-guru Quraish Shihab
a. Habib Abdul Qadir Bilfaqih
Nama lengkap beliau adalah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih
al-Alawy, lahir di kota Tarim, Hadhramaut, Yaman, pada tahun 1896 atau
tepatnya 15 Shafar 1316 H, dan wafat di Malang Jawa Timur pada 21
Jumadil Akhir 1382H, bertepatan dengan 19 November 1962M, empat
tahun setelah Quraish Shihab meninggalkan kota Malang. Beliau adalah
salah satu guru Quraish Shihab ketika ia nyantri dan sekolah di Malang,
tepatnya di pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyyah. Ayahnya menamainya
dengan Abdul Qadir karena merujuk pada Syekh Abdul Qadir al-Jilani
yang merupakan waliyullah.
Sejak kecil Habib Abdul Qadir Bilfaqih sudah dikenal sebagai anak
yang cerdas, ia murid yang sangat ta‟dzim pada guru-gurunya. Kecerdasan
Habib Abdul Qadir Bilfaqih kian tampak ketika usianya yang baru
menginjak 10 tahun sudah hafal al-Qur‟an, dan pada usia 16 tahun
5 Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi,Asma al-Husna dalam Perspektif
al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. kata pengantar 6 Nahdhiyyin adalah istilah yang digunakan kepada masyarakat yang menjadi warga NU,
yang mana baik pemikirannya maupun aktifitas dalam peribadatannya mengikuti tradisi-tradisi
yang dilakukan oleh NU seperti menjunjung tinggi konsep kemoderatan dan tahlilan dll.
40
memperoleh ijazah untuk memberikan fatwa agama. Kemudian pada usia
23 tahun beliau mendirikan dua lembaga pendidikan dan sosial di Tarim,
yaitu Jam‟iyyat al-Ukhuwwah wa al-Mu‟awanah dan Jam‟iyyat an-Nasr
Wa al-Fadha‟il.
Ketika tahun 1919, dalam melakukan safari dakwahnya di luar
hadramaut, Habib Abdul Qadir Bilfaqih singgah di Surabaya dan langsung
didaulat sebagai direktur Madrasah al-Khairiyyah. Dua belas tahun
kemudian beliau pindah ke Solo dan mendirikan Madrasah ar-Rabithah.
Setelah melakukan ibadah haji yang kedua, beliau kembali ke
Indonesia dan memilih kota Malang sebagai basis dakwahnya. Di sinilah
beliau mendirikan Pondok Pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyyah pada 12
Februari 1945. Beliau menamakan pesantrennya dengan Dar al-Hadits
karena keinginannya untuk menularkan ilmu-ilmu hadits kepada santri-
santrinya. Karena Habib Abdul Qadir Bilfaqih sangat menguasai ilmu
hadits dan fiqh, di samping mahir ilmu kalam, nahwu-sharaf, dan sastra
arab.
Sejumlah ulama terkenal yang pernah berguru dengan Habib Abdul
Qadir Bilfaqih selain Quraish Shihab adalah Habib Ahmad al-Habsyi
(Pesantren ar-Riyadh, Palembang), Habib Muhammad Ba‟abud (Pesantren
Dar an-Nasyi‟in, Malang), Habib Syekh bin Ali al-Jufri (Pesantren al-
Khairat, Jakarta) dan KH. Alawy Muhammad (Pesantren at-Taroqy,
sampang, Madura).
b. Syeikh Abdul Halim Mahmud
Syeikh Abdul Halim Mahmud lahir 1 jumadil Awal 1328 hijriyah
yang bertepatan dengan 12 Mei 1910 Masehi di desa Al-Salam, 50
kilometer utara timur dari Kairo, Mesir. Pada usia dini ia sudah hafal al-
Qur‟an. Beliau memulai studinya di al-Azhar dan lulus pada tahun 1932.
Kemudian melanjutkan studinya di Prancis, Sorbonne University. Disana
beliau mendapat gelar Doktor dalam bidang Tasawwuf mengkaji
Tasawwufnya al-Haris al-Muhasabi pada tahun 1940 bertepatan 1359
hijriyah. Pernah menjabat sebagai Grand Imam Al-Azhar mulai dari tahun
41
1973 hingga wafatnya, beliau wafat pada tahun 1978. Dia dikenal karena
pendekatan modernisasi mengajar di Al-Azhar, memberitakan moderasi
dan merangkul ilmu pengetahuan modern sebagai kewajiban agama.
Setelah pindah dari Malang ke al-Azhar, Mesir, untuk melanjutkan
masa studinya, Quraish Shihab diterima di Jurusan Tafsir dan Hadits
Fakultas Ushuluddin. Tetapi pada awalnya sebelum diterima di kampus al-
Azhar, ia masuk kelas dua I‟dadiyah yang setara dengan SMP atau
Tsanawiyah di Indonesia, pendidikan itu ia tempuh selama tiga tahun.
Ketika masuk Fakultas Ushuluddin, ia memiliki satu sosok guru yang ia
kagumi, yaitu Syeikh Abdul Halim Mahmud, yang merupakan salah satu
dosen al-Azhar dan menjadi dekan Fakultas Ushuluddin. Menurutnya,
gurunya itu adalah seorang sufi yang rasional, seorang pengagum imam al-
Ghazali.
Syekh Abdul Halim Mahmud adalah Imam Akbar dan Syekh Al-
Azhar, yaitu pemimpin tertinggi lembaga-lembaga Al-Azhar tahun 1970
hingga 1978. Syekh Abdul Halim juga digelari dengan Imam Al-Ghazali
Abad XIV H. Menurut Quraish Shihab, Syekh Abdul Halim Mahmud
merupakan tokoh yang sangat sederhana dan tulus. Meskipun sudah
menjadi imam kaum muslimin, dia tetap menghuni rumah yang begitu
sederhana. Bahkan menurutnya mengaku kerap berangkat naik bus umum
bersama Syekh Abdul Halim Mahmud menuju fakultas.
Syeikh Abd Halim Mahmud menuntut ilmu dengan beberapa
orang masyayeikh Azhar yang terkenal pada masa itu seperti Syeikh
Mahmud Shaltut, Syeikh Hamid Meheisen, Syeikh al-Zankaloni, Syeikh
Muhammad Abd-Allah Daraz, Syeikh Muhammad Mustafa al-Maraghi
dan Syeikh Mustafa Abdurraziq
3. Karya-karya Quraish Shihab
Salah satu karyanya yang sangat monumental adalah Tafsir al-
Misbah, setebal lebih dari 10.000 halaman, yang terbagi menjadi 15
volume (bagian). Sebanyak 14 volume ia selesaikan dalam waktu kurang
dari 3 tahun, saat ia menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia
42
untuk Mesir, Somalia, dan Djibouti. Kemudian ia sempurnakan menjadi
15 volume ketika kembali ke Jakarta dan selesai ditulis pada tahun 2003.
Sebelum penulis paparkan apa saja karya buah pemikiran beliau
dalam menulis, semasa kuliah Quraish shihab setidaknya memiliki tiga
tokoh idola yang dijadikan panutan dalam menulis, di antaranya adalah
Abbas Mahmud al-Aqqad, Syeikh Abdul Halim Mahmud, dan Anis
Mansour.7
Berikut adalah buku-buku Quraish Shihab yang berhasil penulis
temukan :
a . Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang:
IAIN, 1984)
b . Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 15 jilid
c . Membumikan al-Qur‟an: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996)
d . Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994)
e . Wawasan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1996)
f . Untaian Permata Buat Anakku : Pesan al-Qur‟an Untuk Mempelai
(Bandung: Mizan, 1998)
g . Mukjizat al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1998)
h . Menyingkap Tabir Ilahi (Jakarta: Lentera Hati, 1998)
i . Pengantin al-Qur‟an: Kalung Permata Buat Anak-Anakku (Jakarta:
Lentera Hati, 1999)
j . Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999)
k . Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999)
l . Shalat Bersama Quraish Shihab (Bandung: Abdi Bangsa)
m . Puasa Bersama Quraish Shihab (Bandung: Abdi Bangsa)
n . Fatwa-Fatwa (Bandung : Mizan, 1999), 4 Jilid.
o . Hidangan Ilahi: Tafsar Ayat-Ayat Tahlil (Jakarta: Lentera
Hati,1999)
7 Mauluddin Anwar, dkk, Cahaya, Cinta, dan Canda M. Quraish Shihab, (Tangerang:
Lentera Hati, 2015), Cet. II, h. 269-271
43
p. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat
Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2000)
q. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Dalam Pandangan Ulama dan
Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
r. Dia di Mana-Mana: Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Jakarta:
Lentera Hati, 2004)
s. “Perempuan” Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut‟ah Sampai
Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera
Hati, 2005)
t. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal Dalam
Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
u. Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994)
v. Secercah Cahaya Ilahi (Bandung: Mizan, 2002)
w. Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat dalam al-Qur‟an,
as-Sunnah, Serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini
(Jakarta: Lentera Hati, 2002)
x. Yang Sarat dan Yang Bijak (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
y. Sunni Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta: Lentera
Hati, 2007)
z. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987)
aa. Mahkota Tuntutan Ilahi (Tafsir Surat al-Fatihah), (Jakarta: Untagma,
1988)
bb. Menabur Pesona Ilahi, al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
cc. Ayat-ayat Fitna (Jakarta: Lentera Hati & PSQ, 2008)
dd. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw (Jakarta: Lentera Hati, 2011)
ee. Do‟a Harian (Jakarta: Lentera Hati, 2009)
ff. Wawasan Al-Qur‟an Tentang Zikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati,
2006)
gg. Kematian Adalah Nikmat (Jakarta: Lentera Hati, 2013)
44
hh. Bisnis Dengan Allah: Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat
(Jakarta: Lentera Hati, 2008)
ii. Lentera Al-Qur‟an, Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung, Mizan,
2008)
jj. Al-Lubab, Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Al-Fatihah dan Juz
„Amma (Jakarta: Lentera Hati, 2008)
kk. Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab, Mistik , Seks, dan Ibadah
(Republika: 2004)
ll. 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
mm. Kehidupan Setelah Kematian, Surga yang Dijanjikan Al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2001)
nn. Menjemput Maut, Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT (Jakarta:
Lentera Hati, 2002
oo. Menabur Pesan Ilahi, Al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
pp. Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah (Mizan, 1999)
qq. Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdhah (Mizan, 1999)
rr. Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama (Mizan, 1999)
ss. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut Anda
Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2010)
tt. Al-Qur‟an dan Maknanya (Jakarta: Lentera Hati, 2010)
uu. Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2010)
vv. Ensiklopedia Al-Qur‟an : Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,
2007)
ww. Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013)
xx. M. Quraish Shihab Menjawab Pertanyaan Anak Tentang Islam
(Jakarta: Lentera Hati, 2014)\
yy. Mutiara Hati, Mengenal Hakikat Iman, Islam, dan Ihsan (Jakarta:
Lentera Hati 2014)
zz. Islam Yang Saya Pahami (Jakarta: Lentera Hati, 2018)
aaa. Islam Yang Saya Anut (Jakarta: Lentera Hati, 2018)
45
B. Pemikiran Quraish Shihab Mengenai Hukum Keluarga
Salah satu rujukan penulis untuk mengetahui pemikiran Quraish Shihab
tentang hukum keluarga adalah buku Tafsir Al-Misbah. Di dalam Tafsir Al-
Misbah ia menafsirkan seluruh ayat Al-Qur‟an yang berjumlah 6.236 ayat.8
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdul Wahhab Kahallaf bahwa dalam Al-
Qur‟an terdapat sekitar 70 ayat yang berbicara tentang hukum keluarga,9 maka
sebanyak itu pula Quraish Shihab menafsirkan ayat-ayat tentang hukum keluarga,
karena didalamnya memuat tentang penafsiran beliau terhadap seluruh ayat-ayat
al-Qur‟an. Namun penulis tidak memaparkan keseluruhan ayat-ayat tersebut
melainkan hanya ingin menjelaskan beberapa contoh ayat-ayat yang khusus
membahas tentang hukum keluarga.
Berikut ini penulis paparkan sedikit beberapa contoh pandangan Quraish
Shihab tentang ayat-ayat hukum keluarga antara lain:
1. Nusyuz (Surat An-Nisa’ ayat 34).10
امون على النساء بما فضل اللو ب عضهم على ب عض وبما أن فقوا من أموالهم الرجال ق و
فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ اللو والالتي تخافون نشوزىن فعظوىن
غوا عليهن سبيال إن اللو كان عليا واىجروىن في المضاجع واضربوىن فإن أطعنكم فال ت ب
)٤٥: ٥النساء/( كبيرا
8 Meskipun banyak perbedaan jumlah ayat al-Qur‟an, tetapi pada Mushaf al-Qur‟an yang
diterbitkan di Indonesia, jumlah ayat al-Qur‟an sebanyak 6236 ayat. Dengan telah menghitung
basmalah pada surat al-Fatihah sebagai ayat pertama. Sedangkan setiap surat, selain surat 9
(AtTaubah), dimulai dengan basmalah tidak dihitung sebagai ayat.
Lihat : Jurnal Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Jumlah Ayat Al-Qur‟an dan Implikasinya
Terhadap Penerbitan Mushaf Al-Qur‟an di Indonesia, oleh Mohd. Zahid (Dosen STAIN
Pamekasan) 9 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri,
2016), cet. II, h. 4 10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Tangerang: Lentera Hati, 2000), cet.I, vol.2, h. 402
46
Menurutnya ayat tersebut menyinggung tentang fungsi dan kewajiban
masing-masing jenis kelamin serta latar belakang perbedaan keduanya. Karena
tidak semua isteri taat kepada Allah, maka ayat ini memberikan tuntunan kepada
suami bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap isteri yang
membangkang jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut, dan jangan
sampai juga sikap suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya
kehidupan rumahtangga.
Penulis ingin menyoroti tafsiran Quraish Shihab tentang bagian kata pukullah
mereka. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan kata ( (واضسبىهن
terambil dari kata dharaba yang memiliki banyak arti. Karena itu, perintah diatas
dipahami oleh para ulama berdasarkan penjelasan Rasul SAW bahwa yang
dimaksud memukul dalam ayat ini adalah memukul yang tidak menyakitkan
(mendidik). Ini merupakan upaya terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami)
dalam memelihara dan menjaga keutuhan rumah tangganya.
Pemecahan lain yang dapat dilakukan demi mepertahankan keharmonisan
rumah tangga adalah melakukan langkah ketiga yakni memukul, tetapi
kewenangannya ditujukan pada pemerintah. Quraish Shihab memahami perintah
menempuh dengan langkah pertama dan kedua berupa menasihati dan memisahi
ranjang adalah ditujukan pada suami. Sedangkan langkah ketiga yang berupa
memukul ditujukan kepada penguasa atau pemerintah.11
Quraish Shihab mengutip pendapat sejumlah ulama‟ yaitu Imam Atha‟ yang
berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul isterinya, yang boleh hanya
memarahinya. Kemudian imam Ibn al-„Arabi mengomentari pendapat Imam
Atha‟ yang mengatakanan bahwa pemahamannya itu berdasar adanya kecaman
Nabi SAW kepada suami yang memukul isterinya. Sebagaimana sabda Nabi
SAW: “lan yadhriba khiyarukum (Orang-orang terhormat tidak memukul
isterinya)”
11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran cet. I,
vol.2, h. 404
47
Kendati dalam ayat tersebut perintah memukul isterinya yang membangkang
merupakan fiil amar, namun Quraish Shihab berpendapat: “Agaknya untuk masa
kini, dan di kalangan keluarga terpelajar pemukulan bukan lagi satu cara yang
tepat dilakukan”12
. Pendapatnya itu disertai dengan mengutip Thahir ibnu „Asyur
yang mengatakan jika pemerintah mengetahui bahwa suami tidak dapat
menempatkan sanksi-sanksi agama di tempat yang semestinya, dan tidak
mengetahui batas-batas yang wajar maka dibenarkan bagi pemerintah untuk
menghentikan sanksi ini dan mengumumkan bahwa siapa yang memukul
isterinya, maka dia akan dijatuhi hukuman. Hal ini agar tidak berkembang luas
tindakan-tindakan yang merugikan isteri, khusunya dikalangan mereka yang tidak
memiliki moral.
Dalam sikap suami terhadap isteri yang nusyuz inilah yang menjadi menarik
pembahasannya karena dalam menasihati isteri untuk mencegah perbuatannya
terulang lagi maka suami berhak menasihati dan memisahi ranjang (tempat
tidurnya) tetapi tidak berhak pada memukul isteri. Meskipun dalam ajaran islam
suami boleh memukul isterinya yang nusyuz tetapi pandangan Quraish Shihab
sebagaimana tertuang dalam Tafsir Al-Misbah bahwa yang berhak memukul isteri
yang nusyuz kewenangannya ada pada penguasa, pemerintah atau hakim dengan
menyertakan pendapat beberapa ulama yang mendukung sikapnya itu.
2. Isteri Bekerja (An-Nisa’: 34)
امون على النساء بما فضل اللو ب عضهم على ب عض وبماأن فقوا من أموالهم الرجال ق و
)٥: ٤٥النساء/( حافظات للغيب بما حفظ اللو فالصالحات قانتات
“Para lelaki adalah qawwamun atas para wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat, memelihara diri ketika tidak di tempat, oleh karena Allah
telah memelihara mereka.
12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran cet. I,
vol.2, h. 404
48
Penulis ingin mengutip tafsiran Quraish Shihab pada kalimat ( بما أنفقىا من
(أمىالهم 13
yang ada dalam surat An-Nisa‟ ayat 34 yang artinya disebabkan karena
mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Bentuk kata kerja pada
kalimat tersebut menggunakan kata kerja masa lampau yang menunjukkan bahwa
memberi nafkah kepada wanita sudah menjadi kelaziman bagi laki-laki dari dulu
hingga sekarang. Bahkan ada satu ayat yang menggambarkan tentang kewajiban
suami untuk menafkahi isteri dengan baik. Dalam al- Quran disebutkan :
... : {٣٤٤}البقرة
Artinya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. (QS: Al-Baqarah 233)
Quraish Shihab tidak membatasi yang harus mencari nafkah adalah hanya
suami, ia memberi keleluasaan pada perempuan yang boleh mencari nafkah ketika
penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya.14 Sedangkan
menurut sebagian ulama klasik seorang wanita tidak boleh keluar rumah kecuali
dengan izin suami dan ia tidak boleh berinteraksi dengan laki-laki yang bukan
mahramnya.Dalam konteks hubungan suami-isteri, ayat ini menunjukkan bahwa
isteri mempunyai hak dan kewajiban terhadap suami, sebagaimana suamipun
mempunyai hak dan kewajiban terhadap isteri, keduanya dalam keadaan
seimbang, bukan sama, karena antara laki-laki dan wanita diberikan kodrat yang
berbeda baik secara fisik maupun psikis.
Dengan demikian, tuntutan ini menuntut adanya kerjasama yang baik antara
suami-isteri, pembagian kerja yang adil antara keduanya walaupun tidak ketat,
sehingga terjalinnya kerjasama yang baik dan harmonis. Walau bekerja mencari
13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet.I,
vol.2, h. 407 14 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet.I,
vol.1, h. 459
49
nafkah adalah tugas utama pria, tetapi bukan berarti isteri tidak diharapkan
bekerja juga, khususnya bila penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan
rumah tangga.15 Walaupun isteri bertanggung jawab untuk mengurusi masalah
rumah tangga, kebersihan, penyiapan makanan, dan mengasuh anak, tetapi itu
bukan berarti suami membiarkannya sendiri tanpa dibantu. Diriwayatkan,
Rasulullah SAW menjahit sendiri pakaian beliau yang sobek, menaruh susu
kambing untuk sarapan, dan terlibat membantu isteri-isteri beliau dalam urusan
rumah tangga. Ini menunjukkan harus adanya hubungan timbal-balik untuk
keberhasilan sebuah perkawinan.
Quraish Shihab tidak membatasi yang harus mencari nafkah adalah hanya
suami, ia memberi keleluasaan pada perempuan yang boleh mencari nafkah ketika
penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya.16
Sedangkan
menurut sebagian ulama klasik seorang wanita tidak boleh keluar rumah kecuali
dengan izin suami. Dan itupun tidak boleh berinteraksi dengan laki-laki yang
bukan mahramnya. Dari situ kita dapat mencari tau lebih jauh pada pembahasan
tentang isteri yang boleh bekerja untuk mencari nafkah.
3. Poligami (An-nisa’ ayat 3)17
وإن خفتم أل ت قسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مث نى وثالث ورباع
لك أيمانكم ملكت ما أو ف واحدة ت عدلوا أل خفتم فإن )٤: ٥النساء/(نى أل ت عولوا أد ذ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim),
maka nikahilah yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua, tiga, atau
empat. Lalu jika kamu takut tidak akan dapat belaku adil, maka seorang saja,
atau hamba sahaya wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”
15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet.I,
vol.1, h. 459 16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet.I,
vol.1, h. 459 17 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet.I,
vol.1, h. 321
50
Menurut Quraish Shihab, ayat ini tidak membuat dan berisi peraturan tentang
poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai
syariat agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat
tersebut tidak mewajibkan dan menganjurkan poligami, ia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami dan merupakan hanya pintu kecil yang dapat dilalui oleh yang
sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Oleh karena itu
pembahasan tentang poligami dalam pandangan Al-Quran hendaknya tidak
ditinjau dari segi baik dan buruknya, akan tetapi harus dilihat dari sudut pandang
penetapan hukum dalam suatu kondisi tertentu.
Lebih lanjut lagi menurutnya, ayat ini tidak membuat dan berisi peraturan
tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut
berbagai syariat agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini.
Ayat tersebut tidak mewajibkan dan menganjurkan poligami, ia hanya berbicara
tentang bolehnya poligami dan merupakan hanya pintu kecil yang dapat dilalui
oleh yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Oleh karena
itu pembahasan tentang poligami dalam pandangan Al-Quran hendaknya tidak
ditinjau dari segi baik dan buruknya, akan tetapi harus dilihat dari sudut pandang
penetapan hukum dalam suatu kondisi tertentu.
Menurutnya, Poligami yang dilakukan oleh Rasulullah bukanlah sesuatu yang
sunnah dan ditauladani, karena semua yang wajib dan terlarang bagi Rasulullah
belum tentu itu berlaku bagi umatnya.18
Poligami dibenarkan agama dengan
syarat-syarat tertentu. Quraish Shihab menganalogikannya seperti pintu darurat di
pesawat. Tidak boleh dibuka kecuali atas izin pilot dalam situasi yang sangat
gawat. Yang duduk di kursi pintu darurat haruslah memenuhi syarat pula, yakni
yang mampu dan mengetahui cara-cara membukanya.19
18 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet. I,
vol 2,h. 326 19
M. Quraish Shihab, Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 75
51
4. Mahar (Surat An-Nisa’ ayat 4).20
ا فكلوه ىنيئا مريئا ن فس منو شيء عن لكم طبن فإن وآتوا النساء صدقاتهن نحلة )٥: ٥النساء/(
“Berikanlah maskawin-maskawin kepada wanita-wanita sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Lalu jika mereka menyerahkan untuk kamu sebagian
darinya, maka makanlah pemberian itu! Sedap lagi baik akibatnya.”
Maskawin dinamai oleh ayat ini dengan shaduqat(صدقات) bentuk jamak dari
yang terambil dari akar kata kebenaran. Ini karena maskawin itu didahului (صدقة)
oleh janji.21 Demikian pula pendapat yang disampaikan oleh muhammad Thahir
bin „Asyur. Mahar menurut Quraish juga bukan saja merupakan lambang
kebenaran dan ketulusan hati untuk menikah dan untuk menanggung kebutuhan
isterinya, tetapi juga sebagai lambang janji untuk tidak membuka rahasia
kehidupan rumah tangga, khususnya rahasia terdalam yang tidak dibuka oleh
wanita kecuali kepada suaminya, dari segi kedudukan, maskawin sebagai lambang
kesediaan seorang suami menanggung kebutuhan kehidupan isteri, maka
maskawin hendaknya sesuatu yang bernilai materi, walau berupa cincin dari besi
sebagai mana sabda nabi Muhammada SAW dan sebagai lambang kesetiaan
suami isteri, maka maskawin boleh berupa pengajaran ayat-ayat al-Quran.
Meskipun demikian, pada kesempatan lain dalam acara narasi Shihab dan
Shihab pada tanggal 14 oktober 2018 juga Quraish Shihab menyampaikan bahwa
sebaiknya berikan maskawin yang memiliki nilai dan secara materi, karena
seandainya setelah menikah lalu mereka langsung berpisah atau bercerai yang
dirugikan adalah isterinya, oleh karena itu berikanlah mahar yang sekiranya
bernilai materi.
20 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet. I,
vol.1, h. 328 21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet. I,
vol.2, h. 329
52
Diperkuat lagi dengan kata (هحلت) dimaknai sebagai pemberian yang tulus
tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dapat berarti agama atau pandangan hidup,
sehingga diartikan sebagai maskawin yang diserahkan merupakan kebenaran yang
tulus dari hati seseorang yang di dorong oleh tuntunan agama dan pandangan
hidupnya.
Dari ayat ini dipahami adanya kewajiban suami membayar maskawin buat
isteri dan bahwa maskawin itu adalah hak isteri secara penuh. Dia bebas
menggunakannya dan bebas pula memberi seluruhnya atau sebagian darinya
kepada siapapun termasuk kepada suaminya.
5. Status Kawin Hamil
ك على الزاني ل ي نكح إل زانية أو مشركة والزانية ل ي نكحها إل زان أو مشرك وحرم ذل (٤: ٣٥النور /)المؤمنين
Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau
dengan perempuan musyrik, dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang-orang mukmin.(Q.S. An-Nur:3)22
Implikasi dari ayat tersebut adalah perkawinan yang didahului oleh
kehamilan. Banyak ulama yang menilainya sah. Sahabat Nabi bernama Ibnu
„Abbas berpendapat bahwa hubungan dua jenis kelamin yang tidak didahului oleh
pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah,
menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal.
Pendapat imam Syafi‟i dan imam Abu Hanifah serupa dengan apa yang di
sebutkan oleh Ibnu „Abbas tersebut. Menurut madzhab ini pernikahan semacam
ini diumpamakan seperti seseorang yang mencuri buah dari kebun orang lain,
kemudian dia membeli dengan sah kebun tersebut bersama seluruh buahnya. Apa
yang dicurinya haram dan setelah curian tadi dibelinya menjadi halal.
Sedangkan imam Malik berpendapat siapa yang berzina dengan seseorang
kemudian dia menikahinya, maka hubungan seks keduanya adalah haram. Kecuali
22
Departemen Agama RI, Al- Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid VI, h. 561
53
melakukan akad nikah yang baru dan setelah selesai iddah dari hubungan seks
yang tidak sah tadi. Menurut Quraish Shihab kalau ingin lebih tenang
pernikahannya, sehingga dipandang sah juga oleh madzhab maliki, maka
lakukanlah pernikahan ulang.23
6. Aborsi (Surah Al-An’am ayat 151).24
Hukum yang terkait dengan aborsi (menggugurkan kandungan) diantaranya
terdapat dalam surat Al-An‟am ayat 151:
وبالوالدين إحسانا ول ت قت لوا أولدكم قل ت عالوا أتل ما حرم ربكم عليكم أل تشركوا بو شيئاها وما بطن ول ت قت لوا ا فس من إمالق نحن ن رزقكم وإياىم ول ت قربوا الفواحش ما ظهر من لن
)١٦١: ٧الن عام/(و لعلكم ت عقلون التي حرم اللو إل بالحق ذلكم وصاكم ب “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kamu atas kamu,
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, dan kepada kedua
orang ibu bapak berbuat baiklah , dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu karena kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepada kamu dan kepada
mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik
yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali berdasar sesuatu yang benar".
Demikian itu yang diperintahkan-Nya kepada kamu, supaya kamu memahami.”
Ayat di atas berisi larangan mempersekutukan Allah, berbuat durhaka
terhadap kedua orang tua yang telah menjadi penyebab perantara lahirnya
manusia, membunuh anak-anak kamu karena kamu sedang ditimpa kemiskinan
dan membuat kamu menduga jika mereka lahir kamu akan memikul beban
tambahan, mendekati perbuatan-perbuatan keji seperti membunuh dan berzina
baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, membunuh jiwa yang
memang diharamkan Allah membunuhnya kecuali berdasar suatu sebab yang
benar yaitu berdasarkan hukum Allah.
Larangan membunuh jiwa oleh ayat diatas disertai dengan kata-kata
23
M. Quraish Shihab, Quraish Shihab Kenjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 545 24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran , cet. I,
vol.2, h. 329
54
yang artinya “yang diharamkan Allah kecuali berdasarkan (التي حرم اللو إل بالحق )
sesuatu yang dibenarkan”. Terjemahan tersebut berpijak pada kata haram yang
dipahami dalam arti diharamkan/dilarang. Kalimat ini berfungsi menjelaskan
bahwa larangan membunuh bukan sesuatu yang baru, tetapi sudah ada dalam
syariat seluruh agama sejak kelahiran manusia di muka bumi.
Menurut Quraish Shihab Penggalan ayat ini seakan-akan mengatakan:
janganlah membunuh jiwa, karena jiwa manusia telah dianugerahi Allah
kehormatan, sehingga tidak boleh disentuh kehormatan tersebut dalam bentuk
apapun. Ayat ini menyebutkan hal-hal yang haram yang bukan berkaitan dengan
masalah makanan, hal itu untuk mengisyaratkan bahwa menghindari kebejatan
moral terhadap Allah dan manusia jauh lebih penting dari pada berdiskusi tentang
halal dan haram.
Dalam ayat ini terdapat tiga kali pelarangan membunuh, pertama, larangan
membunuh anak, kedua, larangan melakukan kekejian seperti berzina dan
membunuh, dan ketiga, larangan membunuh selain yang dibenarkan agama.
Disimpulkan sebagai manusia harus mengesakan Allah, menghargai hak azasi,
penghormatan dan menjauhkan dari segala bentuk kekejian moral.
7. Pernikahan Beda Agama (Surah Al-Ma’idah : 5)25
Quraish Shihab membolehkan penikahan dengan wanita Ahlul Kitab atas
dasar tafsiran surat Al-maidah ayat 5 sebagai berikut:
حصنات الي وم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم والم
من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من ق بلكم إذا آت يتموىن أجورىن
يمان ف قد حبط عملو وىو في ر مسافحين ول متخذي أخدان ومن يكفر بال محصنين غي
(٦: ٦)المائدة/ الخرة من الخاسرين
25 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran , cet. I,
vol.3, h. 26
55
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian
halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum
kalian, bila kalian telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-
gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang
merugi.”
Menurutnya dalam ayat ini lafadz ( وطعامكم) untuk menggarisbawahi dalam
soal makanan ada timbal balik kebolehan antara muslim dan ahlul kitab, lain
halnya dengan soal pernikahan tidak ada timbal balik dalam arti pria muslim
boleh menikahi wanita non-muslim dalam hal ini wanita yang ahlul kitab tetapi
pria ahlul kitab tidak boleh menikahi wanita muslimah.
Larangan pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda ini dilatarbelakangi
oleh keinginan untuk menciptakan keluarga yang “sakinah” dalam keluarga
sebagaimana tujuan dari pernikahan itu sendiri. Dan akan berlangsung lama atau
langgeng apabila adanya kesesuaian pandangan hidup antara suami dan isteri.
Jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya dan tingkat pendidikan saja
sering menjadi penyebab kesalahpahaman dalam suatu rumah tangga.
Meskipun ayat ini membolehkan pernikahan beda agama yaitu pria muslim
menikahi wanita ahlul kitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar terhadap
kebutuhan mendesak ketika itu. Dimana kaum muslimin sering berpergian jauh
melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka. Sekaligus juga
untuk tugas dakwah karena pria yang biasanya menjadi pemimpin dalam rumah
tangga dapat mempengaruhi isterinya.
Ayat ini menunjukkan bahwa izin menikahi wanita ahlul kitab bertujuan
untuk menampakkan kesempurnaan islam serta keluhuran budi pekerti yang
diajarkan dan diterapkan oleh suami terhadap para isteri penganut agama yahudi
atau kristen itu, tanpa harus memaksanya untuk memeluk islam karena dalam ayat
ini umat islam telah memiliki kesempurnaan tuntunan agama. Oleh karena itu
tidak dibenarkan menjalin hubungan pernikahan dengan wanita ahlul kitab bagi
56
yang tidak mampu menampakkan kesempurnaan ajaran islam, lebih-lebih yang
diduga akan terpengaruh oleh ajaran non-Muslim, yang dianut oleh calon isteri
atau keluarga calon isteri.
8. Keluarga Berencana (KB)
Quraish Shihab memulai penjelasan tentang bagaiamana mengatur kelahiran
dalam sebuah pernikahan atau yang biasa disebut “Keluarga Berencana” dengan
terlebih dahulu menyadarkan pada kita bahwa Islam memperkenalkan lima tujuan
pokok kehadirannya, yang kepadanya bertumpu seluruh tuntunannya. Lima tujuan
pokok tersebut adalah berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta yang kemudian dikenal dengan istilah Maqashid Syari‟ah.
Al-Qur‟an menegaskan bahwa alam semesta berjalan atas dasar keserasian
dan perhitungan yang tepat. Sama halnya dengan ibadah yang dilakukan harus
dijalankan sesuai dengan nilai-nilai keserasian dan perhitungan yang tepat seperti
dalam masalah shalat, zakat, puasa, dan haji. Semuanya akan mengantarkan
seorang muslim untuk menyadari perlunya perhitungan yang tepat dan keserasian
dalam kehidupannya, termasuk dalam kehidupan rumah tangga (keluarga) yang
harus diserasikan dengan kemampuan ekonomi.
Berdasarkan perhitungan tersebut, menurutnya membatasi kelahiran dengan
cara „Azl (mengeluarkan seperma diluar vagina) itu dibenarkan dengan melihat
prkatik „Azl yang dilakukan oleh sahabat nabi. Ia menambahkan bahwa Segala
macam bentuk dan cara kontrasepsi dapat dibenarkan oleh islam selama tidak
dipaksakan, tidak menggugurkan (aborsi), dan tidak mengakibatkan pemandulan
abadi.
57
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN PANDANGAN QURAISH
SHIHAB DAN ULAMA MAZHAB
A. Analisis Pemikiran
1. Nusyuz.
Menurut kesepakatan para ulama, pukulan yang tidak menyakitkan dan
bersifat mendidik (litta‟dib) oleh suami terhadap isteri yang nusyuz
diperbolehkan bagi suami jika nasihat dan pisah ranjang tidak berfaidah
baginya.1 Secara tidak langsung hal itu menunjukkan bahwa menurut
mayoritas ulama mazhab kewenangan pemukulan terhadap isteri yang nusyuz
tetap dilakukan oleh seorang suami dan bukan oleh penguasa atau
pemerintah.
Perbedaan yang terjadi adalah menurut ulama mazhab pemukulan itu
dilakukan oleh suami dan tidak melibatkan pemerintah. Jika imam Syafi‟i
berpandangan bahwa jika isteri benar-benar nusyuz maka suami boleh
memukul isterinya. Tetapi meskipun boleh memukul hendaknya bagi suami
tidak memukul dengan pukulan yang melukai atau mengeluarkan darah, tidak
boleh berulang-ulang, dan hindarkan pemukulan pada wajah. Karena
berlandaskan pada perkataan Nabi Muhammad SAW yaitu: “lan yadhriba
khiyarukum (orang yang baik di antara kalian tidak akan memukul istri).
Dalam kesempatan lain sesudah Nabi mendengar ada tujuh puluh orang
perempuan yang mengadukan perlakuan kasar suami mereka, beliau
mengatakan :”wa ma tajiduna uläika bikhiyarikum (kalian perlu ketahui
bahwa mereka para suami yang berlaku kasar terhadap istri bukan orang-
orang yang baik di antara kalian)”.2
1 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, diterjemahkan oleh Darwis Dkk, Shahih Fikih
Sunnah, (Jakarta: Darus Sunnah, 2017), h. 259 2 Al- Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhazzab. (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah ,
2007), Cet. VI, h. 325
58
Mazhab Hanafi berpendapat suami boleh memukul istri dengan pukulan yang
ringan dan tidak melukai. Disini Syariat islam membatasi dengan
memberikan kriteria pemukulan tersebut yang diperbolehkan adalah memukul
selain muka, perut atau bagian tubuh lain yang dapat menyebabkan kematian
atau kemudharatan, tidak memukul pada satu tempat, serta tidak memukul
dengan alat yang bisa melukai.1
Pendapat terakhir adalah pendapat menurut Mazhab Hanbali bahwa
suami tidak boleh memukul lebih dari 10 kali pukulan. Hal ini berdasarkan
hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Tak
boleh memukul melebihi sepuluh kali kecuali pada saat hukuman had yang
Allah tetapkan.2
Sedangkan menurut Quraish Shihab berdasarkan keterangan dan
penjelasan yang ada di dalam Tafsir Al-Misbah ia mengatakan bahwa
kewenangan pemukulan terhadap isteri yang nusyuz diserahkan kepada
pemerintah atau hakim agar kebijakannya lebih terarah dan tidak
menimbulkan kemudharatan yang lebih besar. Dengan mengutip pendapat
Imam Ibn „Arabi, Imam Atha‟ dan Thahir Ibnu Asyur sebagai argumentasi
pendukungnya, meskipun ia masih membenarkan praktik pemukulan yang
dilakukan dikalangan pendidikan kemiliteran dan lain sebagainya.
Menurut penulis pendapat Quraish Shihab lebih tepat, dan penulis setuju
dengan pendapatnya karena sesuai dengan kaidah fiqh sebagai berikut:
سزبا لض يصال
سز ل لض ا
Artinya:“Kemadharatan tidak dapat dihilangkan dengan kemadharatan”.3
Berdasarkan kaidah tersebut, menurut penulis sudah tepat jika Quraish Shihab
memaknai perintah memukul terhadap isteri yang nusyuz kewenangannya
ditujukan pada pemerintah atau penguasa, agar pemukulan tersebut terarah,
bijak, dan tidak menimbulkan madharat yang lebih besar bagi isteri yang
1 MD. Nor Bin Muhammad, Skripsi tentang Konsep Nusyuz (Studi Komperatif Antara
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i), (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2011), h. 58 2 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, diterjemahkan oleh Darwis Dkk, Shahih Fikih
Sunnah, h. 260 3 Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 38
59
telah berbuat madharat tersebut. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakannya bahwa di zaman sekarang sudah tidak relevan lagi pemukulan
dilakukan oleh seorang suami karena akan mengakibatkan bahaya yang
semakain luas.
Kemudian jika ditinjau dari segi Maqashid Syari‟ah, maka pendapat
Quraish Shihab itu sejalan dengan prinsip Hifdz al-Nafs, yang mana agar jiwa
isteri tersebut tidak terancam keselamatannya dan merasakan trauma akibat
pemukulan oleh suaminya, oleh karena itu untuk mereduksi dan menekan
dampak dari pemukulan yang tidak terarah maka pemukulan terhadap isteri
yang nusyuz kewenangannya diserahkan pada penguasa atau pemerintah.
Menurut penulis, pandangan Quraish Shihab juga sesuai dengan salah
satu sumber hukum islam yaitu Sadd al-Dzariah, yaitu merupakan salah satu
sumber hukum islam yang bersifat preventif (pencegahan) yang berarti
menutup jalan yang akan membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.4
Dalam konteks ini kewenangan pemukulan yang bukan lagi diserahkan pada
suami adalah sebagai upaya pencegahan agar madharat tidak semakin luas.
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan bahwa metode ini diterapkan pada
perbuatan yang pada dasarnya adalah mubah, namun adanya kemungkinan
yang akan membawanya kepada kebinasaan yang lebih besar dibandingkan
kemaslahatan yang di raih.5
2. Isteri Bekerja
Penulis membatasi masalah ini pada isteri yang ikut bekerja mencari
nafkah untuk keluarganya. Seorang isteri yang ikut mencari nafkah karena
penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya, oleh
karenanya mau tidak mau isteri harus keluar rumah untuk bekerja. Meskipun
tidak adanya dalil secara pasti tentang izin suami, tetapi Mayoritas mazhab
secara tidak langsung berpendapat bahwa isteri tidak boleh keluar rumah
termasuk untuk bekerja kecuali hanya dengan izin suami. Mazhab Syafi‟i
4 Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke 7, h. 158
5 Satria Effendi, Ushul Fiqih, Cet. Ke 7, h. 159
60
mensyaratkan keluar rumah harus dengan izin suami kecuali makruh
hukumnya untuk melarang isteri mengunjungi bapaknya yang sakit berat dan
melarang isteri datang untuk melayatnya jika meninggal dunia. Mazhab
Hanafi membolehkan isteri untuk keluar rumah tanpa izin suaminya hanya
jika salah satu dari kedua orang tuanya sakit.6
Sedangkan Quraish Shihab berpandangan bahwa isteri diharapkan ikut
bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarganya jika penghasilan dari suami
tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga.7 Hal ini dilakukan untuk menjaga
keseimbangan dalam keluarga, karena menurutnya dalam pembagian
pelaksanaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga tidak boleh terlalu ketat.
Hal ini berlandaskan pada apa yang dilakukan oleh nabi dalam rumah
tangganya. Nabi yang menyiapkan makanan sendiri, menjahit pakaiannya
sendiri dan terlibat dalam membantu pekerjaan isterinya didalam
kerumahtanggaan. Menurutnya hal ini menggambarkan bahwa tidak boleh
adanya pembagian hak dan kewajiban yang ketat karena dalam rumah tangga
yang dituntut hanya adanya kerjasama yang baik.
Penulis memandang pemikiran Quraish Shihab lebih tepat, karena para
ulama tidak menjelaskan dalil-dalil secara tegas yang melarang isteri bekerja
diluar rumah. Sebaliknya, fakta sejarah menyebutkan pada masa Nabi
Muhammad SAW banyak wanita-wanita yang bekerja seperti Ummu Salim
binti Malham, Qilat Ummi Bani Ammar, dan Asy-Syaffa‟. Bahkan isteri-
isteri nabi juga bekerja,8 diantaranya Siti Khadijah sebagai pengusaha yang
berhasil dalam bidang usahanya, Shafiyah binti Huyay sebagai perias
pengantin, dan Zainab binti Jahsh yang bekerja dalam bidang proses
menyamak kulit binatang dan lain sebagainya.
6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 303 7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, cet.I,
vol.1, h. 459 8 B. Syafuri, Nafkah Wanita Karier dalam Perspektif Fikih Klasik , (Jurnal Ahkam: Vol.
XIII, No. 2, Juli 2013), h. 207
61
Pemikiran Quraish Shihab ini menurut penulis ia menggunakan metode
istihsan dalam mengistinbathkan hukumnya.9 Hal ini terlihat dari
keterangannya yang menjelaskan bahwa bekerja bagi wanita dapat menjadi
wajib jika keadaan membutuhkannya. Artinya disini yang semula kewajiban
mencari nafkah adalah tugas suami dan bukan tugas isteri tetapi setelah
adanya alasan yang kuat untuk sama-sama mencukupi kebutuhan keluarga,
maka isteri wajib ikut mencari nafkah juga. Selain istihsan, ia mengambil
ibroh atau pelajaran yang terjadi dimasa Rasulullah yang mana ketika itu
Rasulullah tidak melarang wanita-wanita untuk beraktifitas diluar rumah
utamanya bekerja, bahkan ia tidak melarang isterinya sekalipun.
Ia menganalogikannya seperti adanya seseorang yang mau melahirkan
tetapi tidak ada bidan yang membantu kelahiran tersebut kecuali dia, maka
dia wajib untuk membantu kelahiran tersebut, sama ketika wanita bekerja
berarti ia sedang membutuhkan hal itu untuk memlihara kelangsungan
hidupnya dan hidup anak-anaknya.10
Harta yang dihasilkan dari jerih payah istri adalah hak sepenuhnya bagi
istri dan jika digunakan untuk menafkahi suami serta anak-anak maka hal
tersebut termasuk sedekah dan perbuatan yang mulia. Sebagaimana hadits
Nabi SAW:
ث نا شعبة عن عدى بن ثابت قال سمعت عبد اللو بن يزيد ث نا آدم بن أبى إياس حد حدصلى اهلل عليو -نصارى عن أبى مسعود النصارى ف قلت عن النبى ف قال عن النبى ال
رواه . ( إذا أن فق المسلم ن فقة على أىلو وىو يحتسب ها، كانت لو صدقة : قال –وسلم )٦٤٦١: البخاري
“Apabila seorang Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia
mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)
9 Menurut Imam Abu Hasan al-Karkhi istihsan yaitu penetapan hukum terhadap suatu
masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang
serupa, karena adanya alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu
atau lebih singkatnya menghindarkan kesulitan demi kemudahan.
Lihat : Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 401 10
M. Quraish Shihab, M. Quraish Menjawab 1001 Keislaman Yang Patut Anda Ketahui,
(Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 653
62
Kemudian dengan memperhatikan kaidah fiqh:
ى ليل عل ى يدل الد حت
باحت
ياء إلا
ش
صل فى لا
حسيملا
الخ
Artinya: “Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, sampai adanya dalil
yang mengharamkannya”11
Menurutnya, Islam tidak memerintahkan dan tidak melarang wanita untuk
bekerja. Hanya saja ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ketika syarat
tersebut tidak dipenuhi maka jelaslah dalil keharaman atasnya untuk bekerja,
diantara syarat-syaratnya yaitu pekerjaan tersebut benar-benar dibutuhkan
karena penghasilan suami yang kurang, tidak menimbulkan dampak negatif
yang membahayakannya, pekerjaannya terhormat dan atas izin dari suami.
Dari penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam pembagian
tugas dalam rumah tangga tidak begitu ketat termasuk dalam hal bekerjasama
untuk menutupi kebutuhan rumah tangga sehingga isteri berhak dan
diharapkan juga untuk membantu suami ketika kebutuhan lebih banyak
dibanding pemasukan. Hal ini mencontoh pada sikap Rasulullah dalam
menahkodai rumah tangganya bersama para isteri-isterinya.
3. Hukum Berpoligami
Perselisihan yang terjadi dikalangan ulama sebenarnya bukanlah
permasalahan kebolehan laki-laki yang boleh menikahi wanita lebih dari satu,
melainkan kebolehan tersebut berdasarkan hukum poligami menurut jumhur
fuqaha apakah statusnya „Azimah atau Rukhshah.12
Oleh karena itu terjadi
perbedaan pemahaman tentang hal kebolehan melakukan poligami dikalangan
ulama fiqih dan ulama tafsir terkait dengan memahami surat an-Nisa‟ ayat 3.
Menurut fuqaha‟ dalam memahami kebolehan poligami dalam ayat
tersebut adalah kebolehan yang muthlaq, artinya kebolehan untuk beristeri
lebih dari satu adalah „Azimah, karena berdasarkan melihat zahir ayat yang
11
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 25 12
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 138
63
menjelaskan tentang kebolehan berpoligami secara apa adanya. Tetapi
sebaliknya dikalangan sebagian ulama tafsir berpandangan bahwa hukum
kebolehan berpoligami adalah Rukhshah dalam artian dilakukan secara
darurat. Jadi poligami menurut ulama tafsir hanya boleh dilakukan ketika
keadaan darurat dan sangat dibutuhkan saja serta mampu berlaku adil dan
memiliki kesanggupan untuk melakukan hal itu, dan yang demikian termasuk
pendapat Quraish Shihab yang membolehkan poligami dengan syarat ketika
darurat.
Menurut Quraish Shihab sebagai ulama tafsir, fi‟l amar yang tertera
dalam surat an-Nisa‟ ayat 3 menunjukkan bukan sebuah perintah, melainkan
hanya mengandung arti pembolehan dan bukan pewajiban. Sebab
menurutnya, sebenarnya yang berhak melakukan poligami hanya Rasulullah
dan yang dilakukan beliau belum tentu harus diikuti oleh umatnya.
Kebolehan tersebut hanya didasarkan pada kebutuhan yang mendesak (secara
darurat). Ia menganalogikannya dengan pintu pesawat yang hanya boleh
dibuka kapan saja ketika terjadi kecelakaan atau darurat serta yang paham
bagaimana cara membukanya. Ia menambahkan kalau poligami yang
dilakukan oleh Rasulullah adalah sunnah maka yang berpoligami juga harus
sama seperti Rasulullah yaitu menikahi para janda.
Meskipun demikian, penulis memahami bahwa pintu kebolehan
berpoligami tidak dapat ditutup karena tidak adanya dalil atau nash secara
tegas yang menyatakan terhadap larangan terhadap poligami dan dalil yang
menunjukkan poligami maupun pelakunya itu salah, karena dalam satu
kesempatan Quraish Shihab menyampaikan bahwa pintu berpoligami itu
memang ditutup tetapi tidak ditutup mati.13
Selain itu keadilan seorang laki-
laki(suami) menjadi pertimbangan dan kesepakatan bersama para ulama
sebagai syarat berpoligami agar keseimbangan dalam keluarga dapat terjaga.
Keadilan yang dituntut disini adalah keadilan yang dapat diukur seperti
dalam hal nafkah yang bersifat materi, pembagian waktu bermalam, dan lain
13
Disampaikan ketika dalam acara Narasi Shihab dan Shihab yang di moderatori oleh
Najwa Shihab dan diupload di youtube oleh Najwa Shihab pada tanggal 24 September 2018.
64
sebagainya yang berupa materi. Sedangkan keadilan yang tidak bisa diukur
tidak menjadi tuntutan dalam poligami seperti masalah hati dan rasa, karena
Allah tidak menjadikan dua cinta dalam diri seseorang, oleh karena itu cinta
dalam hal pernikahan tidak dapat dibagi-bagi. Sebagaimana firman Allah
dalam Al-Qur‟an:
……. {٤: ٣٣ /}لاحصاب
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
itu sebagai ibumu(QS. Al-Ahzab:4)
Oleh karena itu penulis sependapat dengan pandangan Quraish Shihab
yang menyebutkan bahwa surat an-Nisa‟ ayat 3 adalah sekedar pembolehan
bukanlah suatu anjuran atau bahkan kewajiban untuk berpoligami, dan hanya
sebagai pintu darurat yang boleh digunakan dalam keadaan terdesak sebagai
hukum Rukhshah. Berdasarkan pemahamannya tentang kalimat perintah (fi‟l
amar) yang di artikan sebagai hukum boleh menurut penulis sesuai dengan
kaidah:
باحة الصل فى المر لل
Artinya: “Asal dari suatu perintah adalah untuk membolehkan” 14
Quraish Shihab menggunakan sumber hukum Sadd al-Dzariah dalam
hukum kebolehan berpoligami, dengan menganalogikan pintu darurat
pesawat yang boleh dibuka sewaktu-waktu ketika sudah mendesak, karena
jika tidak pinta itu dibuka maka dikhawatirkan akan menyebabkan
kemudharatan yang lebih besar, contohnya seperti perzinaan yang merajalela
dan lain sebagainya. Ia juga mengungkapkan dalam Tafsir Al-Misbah bahwa
menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan dan
mencukupkan pada satu orang isteri saja adalah lebih dekat kepada tidak
14
Moh. Rifa‟i, Ushul Fiqh, Edisi Revisi, (Bandung: PT Alma‟arif, 1973), cet. 1, h. 27
65
berbuat aniaya yakni mengantarkan kepada keadilan dan kepada tidak
memiliki banyak anak yang harus ditanggung biaya hidupnya. Kiranya sesuai
dengan kaidah fiqih berikut :
م على جلب المصالح درء المفاسد مقد
Artinya: “Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan
mashlahat”15
4. Mahar
Para ulama sepakat bahwa hukum mahar dalam pernikahan adalah
termasuk dari salah satu syarat sahnya pernikahan. Dan tidak boleh
mengadakan persetujuan untuk meninggalkannya. para ulama berbeda
pendapat mengenai masalah minimal mahar yang harus diberikan oleh laki-
laki kepada mempelai wanita.
Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalam bukunya perbedaan itu antara
lain:16
1. Mazhab Hanafi: minimal mahar adalah sepuluh dirham, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan dari Jabir, dari Nabi Muhammad SAW bersabda:
اقل من عشرة دراىم لمهر
Artinya: “Tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham”
2. Mazhab Maliki: standar mahar yang paling rendah adalah seperempat
dinar emas atau tiga dirham perak murni yang sama sekali tidak
mengandung kepalsuan. Atau dengan barang-barang yang suci yang
terbebas dari najis yang sebanding dengan harganya, baik berupa barang,
hewan, maupun bangunan yang dibeli secara legal dan bermanfaat
menurut syariat. Serta mampu diserahkan pada isteri yang barang tersebut
kadar, jenis dan macamnya jelas.
15
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah Wan Nadho‟ir, (Indonesia: Syirkah
Nur Asia, t.th), h. 55 16
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 235
66
3. Mazhab Syafi‟i dan Hanbali: tidak ada batasan terendah bagi mahar.
Sahnya mahar tidak ditentukan dengan sesuatu. Oleh karena itu, sah jika
mahar adalah harta yang sedikit ataupun banyak. Batasannya adalah yang
sah untuk dijual dan memiliki nilai serta yang sah untuk menjadi mahar.
Sedangkan pendapat Quraish Shihab yang tertera dalam Tafsir al-Misbah
tentang batasan minimal mahar, ia tidak membatasi jenis dan nilai mahar
dengan berlandaskan hadits nabi yang menyebutkan bahwa cincin dari besi
dan pengajaran ayat-ayat al-Quran dapat dijadikan mahar.17
Adapun hadits
yang pemahamannya mengandung arti tidak adanya pembatasan mahar, yaitu
hadits Sahal bin Sa‟d As-Sa‟idi yang disepakati keshahihannya:18
Menurutnya menetapkan mahar pada batas yang paling minimal mahar
yang berupa cincin dari besi dan pengajaran ayat-ayat al-Qur‟an itu karena
agar tidak memberatkan seseorang yang hendak menikah. Sehingga seseorang
tersebut tidak terhalangi atau terbebani oleh mahar yang mahal dan
memberatkannya itu, sebab mahar ditafsirkan sebagai suatu kebenaran yang
tulus dari hati seseorang.
Penulis lebih setuju dengan pendapat Quraish Shihab yang menetapkan
tidak adanya batasan minimal mahar bagi orang yang hendak menikah
dengan alasannya itu karena terdapat kaidah fiqh yang sesuai yaitu:
يسسجلب الخ
ج
ت
ق
ش
مل ا
Artinya: “Kesukaran itu akan menarik adanya kemudahan”.19
Merujuk juga pada firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 185:
عسس . لايت...م ٱل
يسيد بك
يسس ول
م ٱل
ه بك
يسيد ٱلل
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak
menghendaki kesulitan bagimu”
17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Quran cet.I,
vol.1, h. 328 18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, penerjemah Abu Usamah Fatkhur Rokhman, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h. 35 19
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, h. 29
67
Kemudian jika dilihat dari sisi Maqashid Syari‟ah, hal ini tergolong
kepada hifdz al-Nasl, yaitu untuk menjaga keturunan. Jika seseorang
terhalang menikah di sebabkan oleh mahar yang memberatkannya, maka
seseorang yang hendak menikah tersebut bisa jadi batal untuk menikah,
sehingga ketika seseorang batal untuk menikah, maka untuk menjaga dan
melestarikan keturunan akan terhenti.
5. Status Kawin Hamil
Ada dua kelompok ulama mazhab tentang bolehnya mengawini wanita
yang hamil yaitu : Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i yang mengatakan
bahwa wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan dengan
laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain, sedangkan Imam
Malik dan Ahmad bin Hanbal berpendapat tidak boleh melangsungkan
perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia
melahirkan kandungannya.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wanita hamil karena zina itu
tidak ada iddahnya, boleh mengawininya, tetapi tetap tidak boleh melakukan
hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya”, hal ini didasarkan
pada Firman Allah Surah An-Nisa ayat 24 dan sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka jangan
sampai dia siramkan air spermanya kepada janin milik orang lain,
maksudnya menggauli perempuan yang sedang hamil”.20
Sementara Imam Syafi'i mengatakan: hubungan seks karena zina itu
tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan
boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan hamil. Mazhab ini
mendasarkan pada surah an-Nisa‟ ayat 24 dan Hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah : ”Perkara yang haram tidak membuat haram sesuatu yang halal”21
20
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie
Al-Kattani, dkk, h. 145 21
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 146
68
Menurut Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal perkawinan dalam bentuk
apapun memiliki akibat yang sama yaitu adanya iddah. Pendapat yang mereka
kemukakan didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya:
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat
menyiramkan airnya (spermanya) kepada tanaman orang lain, yakni wanita-
wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai
menghabiskan istibra'-nya (iddah) satu kali haid”.
Dan atas dasar sabda Nabi Muhammad SAW yang lainya:
“Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita
yang tidak hamil sampai haid satu kali”.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan dari
kedua hadits tersebut, bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia
perlu iddah. Keduanya memberlakukan sama antara iddah bagi wanita hamil
dari perkawinan yang sah maupun wanita hamil dari akibat perbuatan zina,
maka wanita hamil dilarang melangsungkan perkawinan kecuali setelah
berakhirnya masa iddahnya yaitu ketika seseorang melahirkan anaknya.
Sedangkan pandangan Quraish Shihab dalam masalah ini lebih cenderung
kepada pendapat Imam Malik yang menyebutkan menikahi wanita hamil dua
kali namun ciri khas pandangannya didasarkan konsep kehati-hatiannya
terhadap hukum menikahi wanita hamil yaitu dengan cara menikahi ulang
wanita hamil tersebut setelah pernikahan pertama dan setelah masa iddahnya
dari hubungan seks yang tidak sah tadi selesai.
Artinya, kendati mayoritas ulama madzhab menghukumi perkawinan
kawin hamil adalah sah ada juga yang mensyaratkan harus selesai masa
iddahnya dulu, tetapi Quraish Shihab menganjurkan untuk melakukan
pernikah dua kali demi menjaga kesucian pernikahan itu sendiri.22
Menurut penulis, pandangan Quraish Shihab lebih tepat karena
pendapatnya berada di tengah-tengah dan menggabungkan pandangan dua
kelompok mazhab tersebut meskipun lebih cenderung kepada pendapatnya
22
M. Quraish Shihab, Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 545
69
Imam Malik dan Ahmad karena untuk menjaga kesucian pernikahan itu
sendiri maka ia menganjurkan untuk berhati-hati dengan cara menikahi
wanita hamil tersebut dua kali.
Menurut penulis hal ini berkaitan dengan Maqashid Syari‟ah yang
berupa Hifdz al-Nasl, dengan kata lain, dilakukannya pernikahan dua kali,
maka akan menjaga keturunan yang dilahirkannya, seperti jelasnya suatu
nasab serta tujuan kemaslahatan bersama yaitu agar nama baik seseorang
maupun keluarga dapat terpelihara.
6. Aborsi
Mayoritas Ulama Mazhab berpandangan bahwa haram hukumnya
melakukan aborsi bagi janin yang telah memasuki usia 120 hari. Tetapi
terjadi perbedaan sebelum usia janin memasuki 120 hari. Mayoritas fuqaha
Syafî‟iyah, dan mayoritas fuqaha‟ Hanabilah serta mayoritas fuqaha
Hanafiyah, berpendapat bahwa jika pengguguran kandungan (aborsi) atas
persetujuan suami-istri, tidak menggunakan alat yang membahayakan, dan
janin yang digugurkan tersebut belum berusia 40 hari, maka hukumnya
makruh. Alasan dari mahzab Hanafi adalah karena janin itu belum berbentuk.
Juga menurut para ulama Hanafiah boleh menggugurkan kandungan sebelum
berumur empat bulan sekalipun itu dilakukan tanpa seizin suami.23
Para
ulama Malikiah berpendapat bahwa jika rahim telah dibuahi sperma maka
tidak boleh mengganggunya, apalagi jika sperma tersebut sudah terbentuk
menjadi janin yang kemudian janin tersebut telah ditiupkannya ruh, maka
mereka sepakat bahwa itu adalah pembunuhan.
Putusan fatwa MUI Nomor 4 tahun 2005 menyebutkan bahwa
Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding
rahim ibu (nidasi) dan Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan
yang terjadi akibat zina.24
Tetapi ada Aborsi yang dibolehkan karena adanya
23
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-
Kattani, dkk, h. 105 24
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Bidang Sosial dan Budaya, (Jakarta:
Airlangga, 2015), h. 132
70
uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Keadaan darurat seperti
perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut dan
kehamilan yang mengancam nyawa si ibu. Sedangkan keadaan hajat seperti
Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic, kalau lahir kelak
sulit disembuhkan, kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim
yang berwenang. Kebolehan aborsi tersebut harus dilakukan sebelum janin
berusia 40 hari.
Sedangkan Quraish Shihab berpendapat demi menjaga hukum kehati-
hatian maka ia secara tidak langsung melarang praktik aborsi, baik usia janin
yang belum mencapai 120 hari maupun setelah 120 hari, hal ini terlihat jelas
pada keterangannya yang menyebutkan membunuh jiwa yang memang
diharamkan Allah membunuhnya adalah haram hukumnya.
Selain itu pula ia mengecam keras dan menyayangkan terhadap wanita
yang melakukan aborsi karena menurutnya praktik aborsi itu adalah perilaku
orang-orang jahiliyah di zaman dahulu, oleh karena itu untuk saat ini sudah
banyak orang terpelajar maka tidak sepantasnya lagi aborsi ini dilakukan,
apalagi dengan tanpa bimbingan dokter.25
Itu artinya Quraish Shihab sangat
tidak setuju jika ada yang melakukan aborsi, karena kalau berdalih pada takut
untuk menanggung biaya kehidupan anak, maka tidak ada lagi orang yang
mau melahirkan di muka bumi ini sebab Allah sudah menjamin atas rizki
seseorang.
Penulis setuju dengan pendapat Quraish Shihab, karena baik usia janin
yang belum mencapai 120 hari maupun setelah mencapai 120 hari jika itu
dilakukan tanpa bimbingan dokter dan ketentuan medis, maka bisa
membahayakan dirinya sendiri. Maka hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan olehnya mengambil jalan tengah sebagai bentuk kehati-hatian.
Quraish Shihab tidak mencantumkan dalil-dalil pelarangan aborsi secara
rinci tetapi dapat kita kaitkan dengan prinsip Maqashid Syari‟ah yaitu
menjaga keturunan (Hifdz al-Nasl) dan menjaga jiwa (Hifdz al-Nafs). Ketika
25
Disampaikan ketika acara kajian Tafsir al-Misbah di salah satu stasiun televisi swasta
yang diadakan pada Ramadhan setiap sebelum sahur pada tahun 2009.
71
seseorang melakukan aborsi berarti dia sama saja membahayakan diri sendiri
dan nyawa dalam kandungannya serta tidak melestarikan keturunan/memutus
keturunan. Sedangkan membahayakan diri sendiri dan orang lain itu dilarang
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Ibnu Majah, dan
Ibnu Abbas:
لضرار ولضرار
Artinya: “Tidak boleh membuat kemadharatan pada diri sendiri dan
membuat kemadharatan pada orang lain”26
الضرر ي زال
Artinya: “sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan”27
Dengan mengacu pada kaidah tersebut hendaknya manusia menjauhkan
diri dari perbuatan yang membahayakan, baik baginya maupun orang lain dan
tidak seharusnya ia menimbulkan bahaya tersebut.28
Selain itu perlu kiranya
memperhatikan kaidah fiqih berikut :
م على جلب المصالح درء المفاسد مقد
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik
kemashlahatan”29
Dengan melihat kaidah-kaidah itu, maka larangan untuk meggugurkan
kandungan yang ada dalam janin itu di dahulukan untuk menolak kerusakan
karena kebanyakan orang yang melakukan aborsi ingin terhindar dari aib,
sehingga terhindar dari aib dianggap sebagai sebuah mashlahat bagi mereka,
tetapi sesungguhnya hal itu yang dapat membahayakan dirinya sendiri.
7. Pernikahan Beda Agama
Semua ulama sepakat seorang muslim tidak boleh menikah dengan
perempuan musyrik karena memiliki perbedaan yang prinsipal yaitu islam
26
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, h. 35 27
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah Wan Nadho‟ir, (Indonesia: Syirkah
Nur Asia, t.th), h. 112 28
Nashir Farid Muhammad Washil dkk, Qowaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), h.17 29
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, h. 39
72
dan kesyirikan. Tetapi sepakat jika laki-laki muslim boleh mengawini
perempuan yang termasuk ahli kitab dan mengharamkan pernikahan
muslimah dengan laki-laki kafir. Kebolehan menikahi wanita ahli kitab
tersebut menurut mayoritas ulama hanya sebatas hukum makruh, bahkan
menurut mazhab maliki hukumnya makruh mutlak.
Sedangkan pendapat Quraish Shihab sejalan dengan pendapat empat
mazhab. Namun ia lebih menganjurkan pernikahan tersebut untuk tidak
dilakukan karena menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian, agar ajaran islam
yang dimiliki oleh laki-laki muslim dapat terjaga kemurniannya dan tidak
khawatir terbawa ajaran calon isterinya dan keluarga calon isterinya.
Penulis setuju dengan pendapat Quraish Shihab dalam masalah ini, karena
ini menyangkut keyakinan seseorang yang tidak bisa diukur kadar
keyakinannya, sehingga akan sangat dikhawatirkan bagi laki-laki muslim tadi
terjerumus pada ajaran isterinya yang non muslim tersebut. Kemudian ia
menambahkan bahwa bagi laki-laki yang hendak menikah dengan ahlu kitab
tapi tidak mampu menampakkan kesempurnaan ajaran islam, maka tidak
dibenarkan, karena hal itu dapat membuat dirinya terpengaruh oleh ajaran
non-Muslim yang dianut oleh calon isterinya dan mertuanya.
Oleh karena itu Quraish Shihab berpendapat lebih baik pernikahan yang
seperti ini tidak dilakukan. Dengan memperhatikan kaidah fiqih berikut:
بضاع التحريم الصل فى ال
Artinya:” Pada dasarnya hukum dalam masalah sex adalah haram”30
Berdasarkan masalah ini maka pada diri wanita ahlu kitab memiliki dua
perbedaan, yaitu boleh menikahinya dan haram menikahinya. Oleh karena itu
jika halal dan haram berkumpul, maka yang dimenangkan adalah yang haram,
sebagaimana yang dikatakan oleh kaidah fiqih yang lain:
30 Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, h. 27
73
اجتمع الحالل والحرام غلب الحرام اذا
Artinya: ”Apabila berkumpul antara yang halal dan yang haram, maka di
menangkan yang haram”
Jika melihat kaidah-kaidah di atas maka lebih baik pernikahan beda
agama tersebut tidak dilakukan sekalipun wanitanya berasal dari ahli kitab
demi menjaga kehati-hatian. Jika merujuk pada fatwa MUI tentang nikah
beda agama maka pernikahan beda agama hukumnya haram termasuk laki-
laki muslim dengan wanita ahlu kitab sekalipun, karena didasarkan pada
prinsip kemaslahatan.31
Tidak hanya fatwa MUI, didalam KHI (Kompilasi
Hukum Islam) juga memuat tidak diperbolehkannya pernikahan beda agama.
Serta dari sisi Maqashid Syari‟ah pendapat Quraish Shihab lebih tepat
karena mengandung prinsip Hifdz al-Din yaitu untuk menjaga agamanya.
Agar aqidah dari laki-laki muslim itu dapat terjaga kemurniannya.
8. Keluarga Berencana
Empat Mazhab membolehkan/menghalalkan „azl sebagai cara membatasi
dan mengatur kelahiran. Namun ada perbedaan pendapat dalam
mensyaratkannya dengan seizin isteri atau tidak, diantaranya adalah Mazhab
Hanafi mengemukakan ada yang berpendapat boleh tanpa persetujuan isteri
apabila telah terjadinya kemunduran agama “zaman yang buruk” dan
kekhawatiran akan melahirkan anak-anak yang nakal, Mazhab Maliki
mengemukakan boleh tetapi harus seizin isteri, mazhab Syafi‟i
mengemukakan boleh tanpa seizin isteri, dan mazhab Hanbali yang
mengemukakan harus dengan izin isteri tetapi persetujuan itu boleh
ditinggalkan disaat-saat tertentu, seperti ketika berada diwilayah musuh.
Quraish Shihab membenarkan dan memperbolehkan untuk mengatur
jumlah kelahiran dengan menggunakan cara kontrasepsi. Hal ini terlihat dari
penjelasannya bahwa ia berkesimpulan kalau Islam membenarkan
penggunaan kontrasepsi dan itu dipraktikkan oleh para sahabat Nabi dengan
31
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Bidang Sosial dan Budaya, (Jakarta:
Airlangga, 2015), h. 43-45
74
cara yang mereka kenal yaitu „azl dengan catatan selama tidak dipaksakan,
tidak menggugurkan (aborsi), dan tidak mengakibatkan pemandulan abadi.32
Meskipun beliau tidak secara langsung menjelaskan dasar hukumnya,
namun kita bisa berpegang pada beberapa ucapan shahabat sebagai berikut:
ث نا يحيى بن سعيد عن ابن جريج عن عطاء عن جابر قال د حد ث نا مسد كنا ن عزل حد (٦٣٢٨صلى اهلل عليو وسلم )رواه البخارى: -على عهد النبى
Menceritakan padaku Musaddad dan Yahya Ibn Sa‟id dari Ibnu Juraih dari
„Atha dari Jabir berkata : “Dulu di zaman Rasulullah SAW kami melakukan
„Azl” (HR. Bukhori no. 5207)
-صلى اهلل عليو وسلم -وعن عمرو عن عطاء عن جابر قال كنا ن عزل على عهد النبى )٦٣٢٥: رواه البخارى(والقرآن ي نزل
Artinya: “Dari Amr dari „Atha‟ dari Jabir berkata: Kami dahulu pernah
melakukan „azl di masa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dan al-
Qur‟an turun ketika itu” (HR. Bukhari no. 5208(,
Dalam riwayat lain disebutkan:
صلى اهلل -ف ب لغ ذلك نبى اللو -صلى اهلل عليو وسلم-كنا ن عزل على عهد رسول اللو هنا -عليو وسلم (١٥٥)رواه المسلم : .ف لم ي ن
“Kami dahulu melakukan „azl di masa Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam dan sampai ke telinga beliau, namun beliau tidak melarangnya” (HR.
Muslim no. 1440)
Penulis menyimpulkan bahwa pendapat Quraish Shihab sejalan
dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Tujuan utama dari dilakukannya „Azl
adalah untuk mengatur jumlah kelahiran, sebab menurutnya dalam
mengarungi kehidupan rumah tangga perlu adanya perhitungan yang tepat
dan keserasian dalam kehidupannya, sehingga tujuan dari pernikahan dapat
dicapai yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.33
32
M. Quraish Shihab, Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 457 33
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1
75
B. Bagan Perbandingan Antara Pemikiran Quraish Shihab dan Ulama
Mazhab Mengenai Hukum Keluarga
No. Hukum
Keluarga
Mazhab Fiqh Quraish Shihab
1. Nusyuz Terhadap isteri yang
nusyuz, setelah melalui
tahapan menasehati, pisah
ranjang, kemudian
memukul(pemukulan)
seluruh Mazhab secara
tidak langsung menyatakan
kewenangan pemukulan
tetap dilakukan oleh suami,
tetapi dalam bentuk
pembelajaran(litta‟dib)
yang mereka dukung
argumennya dengan hadits-
hadits Nabi SAW.
Menyatakan sama seperti
ulama mazhab dalam hal
tahapan-tahapan
menasehati isteri yang
nusyuz, hanya saja dalam
tahapan pemukulan, ia
memahami kewenangan
pemukulan tersebut
dilakukan oleh penguasa
atau pemerintah, hal itu
didasarkan pada pendapat
Imam Ibn „Atha, Ibn
„Arobi, dan Thahir Ibn
„Asyur.
2. Hak dan
Kewajiban suami-
isteri dalam
rumah tangga.
Dalam hal isteri keluar
rumah untuk mencari
nafkah, Mayoritas mazhab
secara tidak langsung
berpendapat isteri tidak
boleh keluar rumah
termasuk untuk bekerja
kecuali hanya dengan
seizin suami. Mazhab
Syafi‟i mensyaratkan
keluar rumah harus dengan
izin suami dan Mazhab
Hanafi membolehkan isteri
untuk keluar rumah tanpa
izin suaminya jika salah
satu dari kedua orang
tuanya sakit.
Pemikiran quraish Shihab
tentang isteri bekerja
masih relevan dengan para
fuqaha mazhab, yang
mana salah satu syarat
diperbolehkannya isteri
bekerja adalah atas dasar
izin dari suami, ketika
tidak ada izin dari suami
maka pekerjaan terlarang.
Namun secara normatif
pembagian tugas dalam
rumah tangga menurutnya
jangan terlalu ketat,
karena yang dituntut
adalah saling kerjasama
maka ketika penghasilan
suami tidak mencukupi,
maka diharapkan juga
untuk isterinya bekerja
mencari nafkah untuk
keluarganya.
3. Hukum Poligami Fuqaha‟, dalam memahami
ayat poligami tersebut
adalah bahwa hukumnya
boleh. Kebolehannya
tersebut bersifat „Azimah
Dalam hal hukum
berpoligami Quraish
Shihab berpandangan
bahwa hukum kebolehan
berpoligami adalah
76
yang merupakan hukum
asal dari sesuatu itu, karena
berdasarkan dengan
melihat dzahir ayat yang
secara apa adanya tertera
dengan jelas.
Rukhshah dalam artian
boleh dilakukan secara
darurat ketika keadaannya
sudah terdesak.
4. Mahar Para ulama sepakat bahwa
hukum mahar dalam
pernikahan adalah
termasuk dari salah satu
syarat sahnya pernikahan.
Adapun kriteria dan
batasan minimal atau
paling rendahnya mahar
yaitu menurut Mazhab
Hanafi adalah sepuluh
dirham emas, Mazhab
Maliki adalah seperempat
dinar emas atau tiga
dirham perak murni yang
sama sekali tidak
mengandung kepalsuan
Mazhab Syafi‟i dan
Hanbali adalah tidak ada
batasan terendah bagi
mahar
Dalam hal minimal nilai
mahar, Quraish Shihab
tidak membatasi jenis dan
nilai mahar itu sendiri,
dengan berlandaskan
hadits nabi yang
menyebutkan bahwa
cincin dari besi dan
pengajaran ayat-ayat al-
Quran dapat dijadikan
sebagai mahar.
5. Status Kawin
Hamil
Terhadap hukum kawin
hamil perbedaan pendapat
dikalangan ulama yaitu
Imam Syafi‟i dan Abu
Hanifah berpendapat
wanita hamil akibat zina
boleh melangsungkan
perkawinan dengan laki-
laki yang menghamilinya
atau yang tidak
menghamilinya.Sedangkan
menurut Imam Malik dan
Ahmad bin Hanbal
berpendapat tidak boleh
melangsungkan
perkawinan antara wanita
hamil karena zina dengan
laki-laki lain sampai dia
melahirkan kandungannya.
Quraish Shihab terhadap
status hukum kawin hamil
lebih cenderung pada
pendapat imam malik
yang berdiri pada prinsip
kehati-hatiannya terhadap
hukum menikahi wanita
hamil yaitu dengan cara
menikahi ulang wanita
hamil tersebut setelah
pernikahan pertama dan
setelah masa iddahnya
dari hubungan seks yang
tidak sah tadi selesai. Agar
kesucian pernikahan dapat
terjaga.
77
6. Aborsi Terhadap hukum aborsi
mayoritas Ulama Fiqih
berpandangan bahwa
haram hukumnya
melakukan aborsi bagi
janin yang telah memasuki
usia 120 hari. Tetapi terjadi
perbedaan sebelum usia
janin memasuki 120 hari.
Menurut mazhab Hanafi,
Syafi‟i, dan Hanbali
makruh hukumnya
menggugurkan janin yang
belum berusia 120 hari.
Tetapi bagi ulama maliki
aborsi haram meskipun
usia janin belum mencapai
120.
demi menjaga hukum
kehati-hatian maka
Quraish Shihab secara
tidak langsung melarang
praktik aborsi, baik usia
janin yang belum
mencapai 120 hari
maupun setelah 120 hari,
hal ini terlihat jelas pada
keterangannya yang
menyebutkan membunuh
jiwa yang memang
diharamkan Allah
membunuhnya adalah
haram.
7. Pernikahan Beda
Agama
Dalam hal pernikahan beda
agama ini semua ulama
sepakat seorang Muslim
tidak boleh menikah
dengan perempuan
musyrik karena memiliki
perbedaan yang prinsipal
yaitu islam dan kesyirikan.
Tetapi sepakat jika laki-
laki muslim boleh
mengawini perempuan
yang ahli kitab dan
mengharamkan pernikahan
muslimah dengan laki-laki
kafir tetapi kebolehan
tersebut hanya sebatas
hukum makruh.
Quraish Shihab sejalan
dengan pendapat empat
mazhab. Namun ia lebih
menganjurkan pernikahan
tersebut untuk tidak
dilakukan karena
menjunjung tinggi prinsip
kehati-hatian, agar ajaran
islam yang dimiliki oleh
laki-laki muslim dapat
terjaga kemurniannya dan
tidak khawatir terbawa
ajaran calon isterinya dan
keluarga calon isterinya.
8. Keluarga
Berencana
Mengenai Keluarga
Berencana (KB), empat
Mazhab menghalalkan „azl
sebagai cara membatasi
dan mengatur kelahiran.
Mazhab Hanafi : Ada yang
berpendapat boleh tanpa
persetujuan isteri apabila
telah terjadinya
kemunduran agama dan
adanya kekhawatiran akan
Mengenai mengatur
kelahiran dengan cara
„Azl Quraish Shihab
masih relevan dengan
empat mazhab. Ia
membenarkan dan
memperbolehkan untuk
mengatur jumlah
kelahiran dengan
menggunakan cara
kontrasespsi. ia
78
melahirkan anak-anak yang
nakal. Mazhab Maliki:
Harus seizin isteri. Mazhab
Syafi‟i: Boleh tanpa seizin
isteri, Mazhab Hanbali :
Harus dengan izin isteri
tetapi persetujuan itu boleh
ditinggalkan di saat-saat
tertentu, seperti ketika
berada diwilayah musuh.
menjelaskan bagainamana
praktik kontrasepsi
dengan cara „Azl yang
dibenarkan oleh islam dan
dilakukan oleh sahabat
dimasa Rasulullah.
Dengan catatan selama
tidak dipaksakan, tidak
menggugurkan (aborsi),
dan tidak mengakibatkan
pemandulan abadi.
C. Corak Pemikiran Quraish Shihab
Untuk melihat corak pemikiran Quraish Shihab dalam memahami ayat-ayat
hukum keluarga, maka penulis merujuk pada teori pembaharuan dalam hukum
Islam yang dikemukakan oleh Clifford Geertz bahwa ada dua corak dalam
pemikiran pembaharuan hukum Islam yaitu corak Traditionalism dan Modernism.
Untuk mengetahui lebih jelas kedua corak tersebut maka penulis akan
memaparkan secara singkat masing-masing corak tersebut.
1. Pemikiran Islam Traditionalism
Akar kata Traditional berasal dari bahasa inggris yaitu tradition jika di
Indonesia sering disebut tradisi. Tradisi adalah suatu adat atau kebiasaan secara
turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan hingga sekarang.34
Menurut Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
pemikiran Islam tradisional adalah pikiran-pikiran keislaman yang masih terikat
kuat dengan pemikiran-pemikiran ulama fiqih, hadits, tasawuf, tafsir, dan tauhid
yang hidup antara abad ke VII sampai abad ke XIII.35
Dari pengertian singkat tentang tradisional diatas dapat kita pahami bahwa
corak traditionalism adalah kelompok orang yang menganut suatu paham yang
bersifat konservatif (kolot) dan masih terikat pada pemikiran-pemikiran yang lama
tanpa menghendaki adanya pembaharuan. Mereka menolak setiap pembaharuan
34
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 35
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982),.h. 1.
79
yang didasarkan pada ide-ide, ilmu pengetahuan, maupun teknologi dari Barat dan
hanya cukup mengakui pada empat mazhab saja (Syafi‟i, Hanafi, Maliki dan
Hanbali).
Corak pemikiran tradisionalis didasarkan pada ayat-ayat atau dalil-dalil nash
yang tertera dalam Al-Quran maupun hadits. Akal dalam hal ini tidak begitu
menentukan dalam memahami nash Al-Quran dan hadits. Merka tidak terpaku
untuk menggunakan akal sebagai landasan berfikir mereka, sehingga kelompok
tradisionalis sulit sekali untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
modern sebagai hasil dari filsafat, sains dan teknologi.36
2. Pemikiran Islam Moderenism
Lahirnya istilah modernisme Islam merupakan gerakan pembaruan atas
kemapanan aliran tradisional Islam yang telah terlebih dahulu mengakar dalam
masyarakat, meskipun secara institusional muncul lebih belakangan. Aliran
modernisme ini mendapat inspirasi dari gerakan purifikasi Muhammad Ibnu
Abdul Wahab di Jazirah Arabia dan Pan–Islamisme Jamaluddin al-Afqhani yang
kemudian mendapat kerangka idiologis dan teologis dari muridnya seperti
Muhammad Abduh dan Rasyid Rihda.
Modernisme dalam agama adalam sebuah keyakinan dalam berfikir bahwa
kemajuan ilmiah dan budaya modern mengharuskan adanya reinterpretasi
(penafsiran ulang) terhadap berbagai doktrin ajaran agama tradisional.
Moderenisme berarti pembaharuan berpikir, aliran atau gerakan yang berusaha
untuk mengubah paham-paham konservatif untuk disesuaikan dengan pendapat-
pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan
modern.37
Maka akal rasio sangat dibutuhkan dan menentukan dalam memahami
ajaran-ajaran maupun nash yang tertera dalam Al-Quran dan hadits.
Berdasarkan penjelasan diatas, menurut penulis corak berpikir Quraish
Shihab tergolong pada aliran Modernism, karena menghendaki adanya perubahan-
perubahan doktirn agama dengan cara mereinterpretasi ayat-ayat dalam al-Quran.
36
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
(Bandung: Mizan, November, 1998), cet. V, h. 9 37
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek,(Jakarta: UI-Pers, 1978), jilid 2,
h. 93
80
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian bab-bab terdahulu, penulis telah membahas
pemikiran Quraish Shihab yang merupakan salah satu ahli tafsir yang ada
di Indonesia mengenai masalah hukum keluarga, terdapat beberapa
pemikiran yang ia kemukakan sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pendekatan Istinbath hukum yang digunakan oleh Quraish Shihab
terhadap ayat-ayat hukum keluarga antara lain dengan cara penafsiran
secara kontekstual dan kontemporer. Sedangkan sumber hukum dalam
istinbath hukumnya berdasarkan dari dalil-dalil al-Quran, Hadits,
istihsan, maslahat dan ditinjau dari sisi Maqashid Syari‟ah beserta
prinsip mashlahat yang bersandar pada konsep kehati-hatian.
2. Secara umum terdapat perbedaan pemikiran Quraish Shihab terhadap
pandangan fuqaha klasik mengenai masalah hukum keluarga
diantaranya Nusyuz, persamaan hak dan kewajiban suami-isteri,
Poligami, Mahar, status kawin hamil, Aborsi, dan Keluarga Berencana
(KB), tetapi perbedaan tersebut tidak keluar dari esensi dan koridor
ajaran-ajaran yang telah disyariatkan oleh Islam karena dalam
pandangan-pandangannya, Quraish Shihab lebih sering
mempertimbangkan pada nilai-nilai kemaslahatan dan kehati-hatian
dalam memahami ayat-ayat hukum keluarga dalam al-Qur‟an sehingga
beliau mencitrakan dirinya sebagai ulama yang moderat dan tidak
memaksakan pada pendapat satu ulama saja bahkan di satu
pandangannya tidak jarang ia keluar dari jumhur ulama mazhab yang
empat. Sehingga Jawaban-jawaban yang di sampaikannya merupakan
pilihan alternatif bagi umat Islam dengan mempertimbangkan pula
pendapat-pendapat ulama yang lain.
58
81
B. SARAN
1. Kepada pemerintah agar lebih mensosialisasikan aturan-aturan terkait
hukum keluarga pada masyarakat
2. Kepada masyarakat agar proaktif dan ikut serta dalam mensukseskan
program pemerintah terkait sosialisasi aturan-aturan hukum keluarga
3. Kepada peneliti berikutnya agar lebih mendalami permasalahan tentang
hukum keluarga.
82
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdurrahman, Dudung, Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya
Ilmiah, Yogyakarta : IKFA PRESS, 1998
„Abd. Al-Ati, Hammudah, The Family Structure in Islam (Keluarga Muslim),
Surabaya: Bina Ilmu, 1984
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Anwar, Mauluddin, dkk, Cahaya, Cinta, dan Canda M. Quraish Shihab,
Tangerang: Lentera Hati, 2015
Al-Asqalani, Hafidz Bin Hajar, Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam, Al-Miftah,
Surabaya: ttp. tth
Asy‟ari, Hasyim, Dau‟u Al-Misbah Fi Bayani Ahkami Al-Nikah, Jombang:
Maktabah Turats Al-Islami, 2010
Azka, Darul, Dkk, terjemah kitab Jam‟u Al-Jawami‟ juz 1 Kajian dan Penjelasan
Ushul Fiqh, Kediri: Lirboyo Press, 2014
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat, terj. Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, 2009
Beik, Muhammad Al-Khudhari, Ushul Fiqh, terjemahan Faiz el Muttaqien
Jakarta: Pustaka Amani, 2007
Al-Bigha, Musthofa Dib, Al-Tadzhib, Surabaya: Al-Hidayah, t.th
Dahlan, Abdul Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011, cet. II
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahannya, (Edisi yang
Disempurnakan), Jilid 9, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009
Departemen Agama RI, Al- Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid I, Jakarta: Lentara Abadi,
2010
Effendi, Satria, Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana, 2005, Cet. Ke 7
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika Hingga Ideologi,
Jakarta: ttp. 2002
84
Hasan, Musthafa, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung, CV Pustaka Setia, 2012
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, 1975
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003)
Jahar, Asep Saepudin, Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis, Jakarta: Kencana,
Cet,1,2013
Kamil, Miftahudin bin, Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek
Metodologi, Malaysia: Universiti Malaya, 2007
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 2014
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2006
Al-Mahami, Muhammad Kamil Hasan, Wanita Dimata Dunia dan Al-Qur‟an,
Jakarta: Mustaqim, 2004
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Airlangga,
2011
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: PT Fajar Interpratama
Mandiri, 2016, cet. II
Mudjib, Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2001
Muzhar, Atho, dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam
Modern, Jakarta: Ciputat Pers, 2003
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek,(Jakarta: UI-Pers, 1978),
Nasution, Khoirudin, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga Perdata Islam
di Indonesia, Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2007
Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Qaradhawi, Yûsuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid II, Jakarta: Gema Insani Pres,
1995
Rifa‟i, Moh. Ushul Fiqh, Edisi Revisi, Bandung: PT Alma‟arif, 1973, cet. 1
84
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, penerjemah Abu Usamah Fatkhur Rokhman,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007
Salim, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid, diterjemahkan oleh Darwis Dkk, Shahih
Fikih Sunnah, (Jakarta: Darus Sunnah, 2017)
Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008)
Shihab, M. Quraish, M. Quraish Shihab menjawab 101 Soal Perempuan yang
Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2010
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Quran,
Tangerang: Lentera Hati, 2000, cet.I, vol.2
Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian Al-Quran, vol
II Jakarta:Lentera Hati, 2000
Shihab, M. Quraish, Membumikan alQur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2001
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Internasa, 1991
Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKiS,
2006
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dkk, Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah,
Musthofa Aini, dkk, Jakarta: Darul Haq, 2003
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkainan Islam di Indonesia Jakarta: Kenacana, 2006
Tholabi Karlie, Ahmad, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013
Tim Penyusun Kamus, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990
„Umran, „Abd al-Rahim, Islam dan KB, penerjemah, Muhammad Hasyim,
Jakarta: Lentera, 1997
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1
85
Washil, Nashir Farid Muhammad, dkk, Qowaid Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009
Yusuf, Muri, Metode Penelitian, Jakarta: Kencana, 2014
Zein, Muhammad Ma‟shum, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Hikmah, Jombang, 2008
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, Penerjemah, Abdul
Hayyie Al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011
Jurnal: Afrizal Nur, Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII No. 1, Januari 2012,
Armansyah Matondang, Jurnal Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian
dalam Perkawinan, (Program Studi Ilmu Kepemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Medan Area, Indonesia, 2014)
B. Syafuri, Nafkah Wanita Karier dalam Perspektif Fikih Klasik , (Jurnal Ahkam:
Vol. XIII, No. 2, Juli 2013)
Dewani Ramli, Jurnal Aborsi Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
(Suatu Kajian Komparatif), PPs. IAIN Ar-Raniri, Banda Aceh, Diakses 22
Oktober 2018 pukul 14:39
Hilal Malarangan, Pembaruan Hukum Islam dalam Hukum Keluarga di
Indonesia, Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008
Herien Puspitawati, Konsep dan Teori Keluarga, Jurnal Departemen Ilmu
Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut Pertanian Bogor
Herien Puspitawati, Jurnal Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di
Indonesia. (Bogor: PT IPB Press, 2012)
Hairul Hudaya, Jurnal Studi Gender dan anak Vol. 1, Hak Nafkah Isteri
(Perspektif Hadis dan Kompilasi Hukum Islam), 2013
Jurnal Masalah - Masalah Hukum oleh Aladin, Pernikahan Hamil di Luar Nikah
Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Fiqih Islam di Kantor
Urusan Agama (Studi Kasus di Kota Kupang), Jilid 46 No. 3, Juli 2017
Kurniati, Hukum Keluarga di Mesir, Jurnal Al-Daulah, Vol. 3, No. 1
Internet:
https://www.republika.co.id/amp/23350. Diakses hari Minggu 23 September 2018
pukul 14:25
https://media.neliti.com/media/publications/58382-ID-aborsi-dalam-perspektif-
hukum-positif-da.pdfx