8
Bencana Banjir Bandung Selatan (Studi Kasus Kelurahan Baleendah Kabupaten Bandung) Pendahuluan Sejarah mencatatkan sungai Citarum merupakan sumber penghidupan masyarakat di tanah sunda sejak masa prasejarah. Berbagai fenomena yang berkembang melalui legenda rakyat diceritakan secara turun menurun, mulai dari meletusnya Gunung Jayagiri yang kemudian menjadi cikal bakal Gunung Sunda, yang pada akhirnya meletus membuat kaldera sebagai landasan dasar terbentuknya Gunung Tangkubanparahu. Kemudian hasil letusan gunung sunda tersebut menyumbat aliran sungai Citarum sehingga pada ribuan tahun yang lalu terbentuklah danau bandung purba, kejadian-kejadian tersebut diceritakan melalui legenda masyarakat, contohnya Sasakala Sangkuriang- Dayang Sumbi-Tangkubanparahu. Kemudian seorang peneliti pada jaman kolonial tertarik dan merekonstruksi sasakala tersebut secara ilmiah (Baca: Van Bemmelen-The Geology Of Indonesia). Danau Bandung Purba itu akhirnya bobol di daerah perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat (Curug Jompong), dan menyisakan aliran sungai terpanjang di Provinsi Jawa Barat yaitu Sungai Citarum. Mengalir dari beberapa mata air di selatan Bandung, sungai Citarum melewati Kawasan Cekungan Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan bermuara di Kabupaten Karawang-Kabupaten Bekasi. Meskipun sungai Citarum pada masa dahulu masih terjaga keasrian dan kelestariannya, namun sejarah mencatat bahwa pada masa itu Citarum sudah mengalami banjir di beberapa daerahnya, terutama pada musim hujan. Karena itulah pada tahun 1810, Bupati Bandung saat itu, R.A Wiranatakusuma II memindahkan ibu kota Bandung dari daerah Krapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah Bandung tengah hingga saat ini (A.Sobana Hardjasaputra, 2010). Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS di Indonesia yang dikategorikan sebagai DAS super kritis. Meningkatnya kejadian banjir di DAS Citarum banyak disebabkan oleh faktor-faktor non-alami karena ulah manusia. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan di lanskap alami-binaan pada musim hujan telah meningkatkan air larian dan laju erosi yang memicu terjadinya banjir (LPPM UNPAD:2010) 1 . Tindak lanjut terhadap persoalan lingkungan di DAS Citarum, khususnya DAS Citarum Hulu telah banyak dan sedang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sungai Citarum merupakan bagian yang sangat vital dan strategis secara ekonomi, sosial politik dan keamanan. Nilai strategis sungai tercermin misalnya terhadap energi listrik sudah menjadi hal yang luar biasa pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Bila listrik padam setengah jam saja di seluruh pulau Jawa dan Bali yang listriknya di pasok dari Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur, maka bermiliar- miliyar rupiah kerugian yang akan diderita pengusaha dan kerugian sosial yang tak terhingga banyaknya. Dilihat dari segi pemanfaatannya, sungai Citarum ini mempunyai banyak manfaat bagi banyak kepentingan. Dari sungai Citarum dibangun tiga Waduk besar diantaranya; Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Kegunaan waduk-waduk itu yaitu untuk perikanan, pariwisata, pertanian dan pembangkit listrik yang memasok kebutuhan listrik Se-Jawa – Madura – Bali. Begitu banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari keberadaan sungai Citarum. Namun kini, sungai Citarum kondisinya kritis. Bencana banjir yang melanda Kabupaten Bandung setiap tahunnya diakibatkan oleh meluapnya sungai Citarum sebagai sungai utama yang elalui daerah ini. Meluapnya air di sungai Citarum hulu ini selain disebabakan oleh tingginya curah hujan di daearah hulu sungai juga dipengaruhi oleh topografinya yang landai. DAS Citarum hulu ini dialiri oleh beberapa sub DAS diantaranya : Cikapundung, Ciwidey, Cihaur, Cikeruh, Citarik, Cisangkuy dan Cirasea. Diantara sub DAS yang mengalir ke Citarum hulu yang telah mengalami kerusakan yang signifikan yaitu sub DAS Citarik, Cikapundung dan Cirasea. Sehingga dengan rusaknya dikawasan hulunya memberikan kontribusi terhadap pengendapan di hulu Citarum. Di samping itu potensi sumberdaya yang terdapat di daerah Sub DAS ini sangat tinggi. Bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, akan diikuti dengan bertambahnya pembangunan unit-unit kegiatan fungsional di atas suatu lahan. Pembangunan yang bersifat fisik di atas suatu lahan meliputi sarana permukiman, jaringan infrastruktur, fasilitas ekonomi ataupun fasilitas sosial lainnya 1 LPPM UNPAD. 2010. Sinkronisasi Program Pengelolaan SDA-LH di DAS Citarum Hulu : Kontribusi Perguruan Tinggi, Lembaga Non-pemerintah dan Komunitas Lokal. Bandung:-

Paper-Bencana Banjir Bandung Selatan

Embed Size (px)

Citation preview

Bencana Banjir Bandung Selatan (Studi Kasus Kelurahan Baleendah Kabupaten Bandung)

Pendahuluan

Sejarah mencatatkan sungai Citarum merupakan sumber penghidupan masyarakat di tanah sunda sejak masa prasejarah. Berbagai fenomena yang berkembang melalui legenda rakyat diceritakan secara turun menurun, mulai dari meletusnya Gunung Jayagiri yang kemudian menjadi cikal bakal Gunung Sunda, yang pada akhirnya meletus membuat kaldera sebagai landasan dasar terbentuknya Gunung Tangkubanparahu. Kemudian hasil letusan gunung sunda tersebut menyumbat aliran sungai Citarum sehingga pada ribuan tahun yang lalu terbentuklah danau bandung purba, kejadian-kejadian tersebut diceritakan melalui legenda masyarakat, contohnya Sasakala Sangkuriang-Dayang Sumbi-Tangkubanparahu. Kemudian seorang peneliti pada jaman kolonial tertarik dan merekonstruksi sasakala tersebut secara ilmiah (Baca: Van Bemmelen-The Geology Of Indonesia). Danau Bandung Purba itu akhirnya bobol di daerah perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat (Curug Jompong), dan menyisakan aliran sungai terpanjang di Provinsi Jawa Barat yaitu Sungai Citarum. Mengalir dari beberapa mata air di selatan Bandung, sungai Citarum melewati Kawasan Cekungan Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan bermuara di Kabupaten Karawang-Kabupaten Bekasi. Meskipun sungai Citarum pada masa dahulu masih terjaga keasrian dan kelestariannya, namun sejarah mencatat bahwa pada masa itu Citarum sudah mengalami banjir di beberapa daerahnya, terutama pada musim hujan. Karena itulah pada tahun 1810, Bupati Bandung saat itu, R.A Wiranatakusuma II memindahkan ibu kota Bandung dari daerah Krapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah Bandung tengah hingga saat ini (A.Sobana Hardjasaputra, 2010).

Daerah aliran sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS di Indonesia yang dikategorikan sebagai DAS super kritis. Meningkatnya kejadian banjir di DAS Citarum banyak disebabkan oleh faktor-faktor non-alami karena ulah manusia. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan di lanskap alami-binaan pada musim hujan telah meningkatkan air larian dan laju erosi yang memicu terjadinya banjir (LPPM UNPAD:2010)1.

Tindak lanjut terhadap persoalan lingkungan di DAS Citarum, khususnya DAS Citarum Hulu telah banyak dan sedang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sungai Citarum merupakan bagian yang sangat vital dan strategis secara ekonomi, sosial politik dan keamanan. Nilai strategis sungai tercermin misalnya terhadap energi listrik sudah menjadi hal yang luar biasa pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Bila listrik padam setengah jam saja di seluruh pulau Jawa dan Bali yang listriknya di pasok dari Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur, maka bermiliar-miliyar rupiah kerugian yang akan diderita pengusaha dan kerugian sosial yang tak terhingga banyaknya. Dilihat dari segi pemanfaatannya, sungai Citarum ini mempunyai banyak manfaat bagi banyak kepentingan. Dari sungai Citarum dibangun tiga Waduk besar diantaranya; Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Kegunaan waduk-waduk itu yaitu untuk perikanan, pariwisata, pertanian dan pembangkit listrik yang memasok kebutuhan listrik Se-Jawa – Madura – Bali. Begitu banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari keberadaan sungai Citarum. Namun kini, sungai Citarum kondisinya kritis. Bencana banjir yang melanda Kabupaten Bandung setiap tahunnya diakibatkan oleh meluapnya sungai Citarum sebagai sungai utama yang elalui daerah ini. Meluapnya air di sungai Citarum hulu ini selain disebabakan oleh tingginya curah hujan di daearah hulu sungai juga dipengaruhi oleh topografinya yang landai. DAS Citarum hulu ini dialiri oleh beberapa sub DAS diantaranya : Cikapundung, Ciwidey, Cihaur, Cikeruh, Citarik, Cisangkuy dan Cirasea. Diantara sub DAS yang mengalir ke Citarum hulu yang telah mengalami kerusakan yang signifikan yaitu sub DAS Citarik, Cikapundung dan Cirasea. Sehingga dengan rusaknya dikawasan hulunya memberikan kontribusi terhadap pengendapan di hulu Citarum. Di samping itu potensi sumberdaya yang terdapat di daerah Sub DAS ini sangat tinggi.

Bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, akan diikuti dengan bertambahnya pembangunan unit-unit kegiatan fungsional di atas suatu lahan. Pembangunan yang bersifat fisik di atas suatu lahan meliputi sarana permukiman, jaringan infrastruktur, fasilitas ekonomi ataupun fasilitas sosial lainnya

1 LPPM UNPAD. 2010. Sinkronisasi Program Pengelolaan SDA-LH di DAS Citarum Hulu : Kontribusi Perguruan Tinggi, Lembaga

Non-pemerintah dan Komunitas Lokal. Bandung:-

Analisis Kerusakan Fisik Sugandi (2007:92) memaparkan bahwa banjir dan longsor pada suatu kawasan DAS

menunjukkan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang mengalami kerusakan. Kondisi inilah sebenarnya yang mengganggu kelestarian sungai2. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari media cetak (terutama Kompas dan Pikiran Rakyat), wilayah yang terlanda banjir berturut-turut adalah wilayah Kecamatan Cikancung (meliputi Desa Ciluluk) , Majalaya (meliputi Desa Bojong, Majalaya, Majakerta, Majasetra, Sukamaju), Baleendah (meliputi Desa Andir, Kelurahan Baleendah) dan Dayeuhkolot (meliputi Desa Citeureup, Cangkuang Wetan, Dayeuhkolot). Berikut ini adalah tabel kronologis banjir yang terjadi akibat luapan Sungai Citarum.

Tabel Koronologis Banjir Citarum

Tahun Dampak Luapan

1931 Para ahli memperkirakan bahwa banjir besar yang terjadi tahun 1931 merupakan banjir paling besar dengan luas genangan sekitar 9.300 ha di wilayah Cekungan Bandung

1977 Tanggul Sungai Citarum di Kec. Batu Jaya, Kab. Karawang jebol. Beberapa desa di Kec. Batujaya dan Desa Pisang Sambo, Kec. Tirtajaya terendam banjir.

1983 Daerah yang tergenang luapan Citarum di Cekungan Bandung mencapai 13.000 ha.

1984 Luas genangan luapan Citarum di cekungan Bandung mencapai 47.000 ha. Banjir tahun ini menyebabkan 21.560 jiwa warga Bandung Selatan harus mengungsi. Sedangkan di Kec. Muara Gembong, Kab. Bekasi Utara banjir menggenangi 3.000 hektar lahan yang terdiri dari pemukiman, sawah tadah hujan dan pertambakan. Area pertambakan adalah yang paling luas terkena banjir. Akibat banjir ini pula 1.626 jiwa (400 KK) penduduk asal Kelurahan Bale Endah, Manggahang dan Jelekong Kecamatan Ciparay, Kab Bandung dipindahkan ke Cimuncang.

1985 Banjir besar tahun 1985 melanda kawasan Baleendah, Bojongsari, Sapan, dan Dayeuhkolot, yang melumpuhkan berbagai sektor perekonomian, transportasi, perikanan, dan pertanian di kawasan Bandung Selatan.

1986 Pada bulan Maret 20.000 rumah di 10 desa yang berada di 10 kecamatan wilayah Bandung Selatan terendam air. Luas genangan mencapai 7.500 ha. Sebanyak 68.635 jiwa menderita, 38.672 di antaranya mengungsi dan 5 orang tewas. Kerugian ditaksir mencapai Rp 10 miliar. Untuk mengamankan warga dari bahaya banjir, 500 warga tiga desa, yakni Dayeuhkolot, Andir, dan Baleendah, direlokasi ke Kampung Riunggunung, Kelurahan Manggahang, Kecamatan Baleendah, namun mereka kemudian memutuskan kembali ke tempat tinggal semula.

1992 Banjir melanda Kab. Bandung sejak bulan Desember 1991 hingga April 1992. Rumah yang tergenang air sebanyak 28.026 buah dan kebanyakan berada di wilayah Kec. Rancaekek, Majalaya, Bojongsoang, Katapang, dan Pameungpeuk.

1993 Banjir masih menghampiri kawasan Kab. Bandung. Di Dayeuhkolot ketinggian air mencapai 1-2,5 m, sedangkan Kec. Majalaya terendam air lebih dari 8 hari.

2002 Luapan Citarum menggenangi kawasan Bandung Selatan, dengan ketinggian air 0,5–2 m. Banjir sempat menggenangi 2.676 rumah yang dihuni 4.073 KK (14.962 jiwa), di tiga kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bandung. Tak ada korban jiwa dalam bencana alam itu.

2005 Di Kecamatan Baleendah, banjir merendam sedikitnya 435,5 hektar sawah. Di Kecamatan Dayeuhkolot, sawah yang terendam mencapai 25 hektar dengan usia tanam padi antara 7-10 hari. Ketinggian banjir di dua kecamatan itu tercatat mencapai 2,5 meter. Luas genangan banjir Citarum 1.119 ha.

2007 Terjadi banjir yang menggenangi kawasan permukiman di Bandung selatan, terutama Kec. Dayeuhkolot, Majalaya, Banjaran, Pameungpeuk, dan Baleendah. Luas genangan di Kab. Bandung mencapai 2.701 ha.

2 Sugandi, Dede. 2007. Model Penanggulangan Banjir dalam Jurnal GEA Vol. 7 No. 1 April 2007. Bandung: Jurusan Pendidikan

Geografi FPIPS UPI

Tahun Dampak Luapan

2008 Banjir besar terjadi pada bulan Maret, April, November, Desember. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah daerah-daerah di Kab. Bandung. 4.523 rumah yang ada di 4 desa terendam air dengan ketinggian 0,5-2 meter. Luas genangan mencapai 2.701 ha.

2009 Di awal tahun, 12 kecamatan di Kab. Bekasi tergenang banjir dengan Ketinggian air mencapai 70 cm-2,5 meter. Banjir pun singgah di Cieunteung, Kel./Kec. Baleendah, Kab. Bandung. Di daerah ini ketinggian air 60 cm hingga lebih dari 1,5 meter

2010 Februari 2010, pemadaman listrik di sejumlah wilayah Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, yang kebanjiran sepekan terakhir masih akan dilakukan hingga air surut. Selain menghindari kerusakan infrastruktur yang lebih parah, langkah ini juga ditempuh Perusahaan Listrik Negara (PLN) demi keselamatan masyarakat luas. Pemutusan arus listrik dilakukan apabila genangan mencapai sekitar 70 sentimeter di atas permukaan tanah. Parameter itu diambil mengacu ketinggian papan hubung bagi (PHB) di masing-masing gardu distribusi tiang portal setinggi 1,2 meter. Berdasarkan data PLN DJBB, selama terjadi banjir, pemadaman dilakukan di empat gardu distribusi yang mengaliri listrik ke Kampung Cieunteung, Cigado, Cigosol, Muara, Jambatan, Ciputat, dan Uak. Semuanya di Kecamatan Baleendah. Total pelanggan yang arus listriknya dipadamkan akibat banjir 1.863 rumah tangga, dengan keseluruhan pemakaian listrik mencapai 28.975 kWh. Pemadaman listrik di Kampung Cieunteung terdiri dari 157 pelanggan, dengan total pemakaian 7.466 kWh. Adapun aliran listrik di wilayah lain sudah tersambung lagi karena air surut.

2011 Kecamatan Baleendah, khususnya di Kp. Cieunteung, Kel. Baleendah dan Kp. Cigosol, Kel. Andir, Mei 2011, kembali direndam banjir. Sejak Senin dini hari, air setinggi 2 meter hingga 3 meter merendam sekitar 5.300 rumah di kawasan tersebut. Luapan banjir Cieunteung kembali memutuskan jalur Jln. Anggadireja, Baleendah menuju arah Ciparay atau Majalaya. Badan Jln. Anggadireja sepanjang sekitar 300 meter yang melewati Kp. Cieunteung tergenang banjir setinggi 50 cm, sehingga menyulitkan kendaraan bermotor lewat. total rumah yang terendam sebanyak 5.317 rumah. Terdiri dari 2.074 rumah di Kel. Baleendah dan 3.245 rumah di Kel. Andir. Petugas lapangan sudah mengevakuasi 90 kepala keluarga (KK) atau sekitar 286 jiwa. Mereka sebagian besar tinggal di Kp. Cieunteung, Kel. Baleendah dan Kp. Cigosol, Kel. Andir. Korban banjir di Kp. Cieunteung sebanyak 43 kepala keluarga (KK) atau 147 jiwa, sebanyak 40 KK atau 129 jiwa ditampung di tenda RW 28. Sedangkan 7 KK atau 19 jiwa dari Kp. Cigosol, Kel. Andir ditampung di aula kantor Kec. Baleendah.

Sumber: PR, KOMPAS, Yamany, 2009, (dimodifikasi dari berbagai sumber)3 Mengidentifikasi tingkat risiko bencana banjir dapat dilakukan dengan menganalisis faktor

bahaya, kerentanan dan kapasitas di Kawasan Banjir Bandung Selatan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) sehingga tingkat risiko bencana dapat dipetakan secara spasial (dalam studi kasus ini peta hasil interpretasi fisik turut dilampirkan). Hasil lainnya adalah teridentifikasinya tindakan mitigasi untuk mengurangi risiko bencana banjir (Flood Risk Reduction) dan juga arahan kebijakan di dalam pengendalian tata ruang di Kawasan Banjir Bandung Selatan. Berikut ini adalah hasil interpretasi citra satelit yang menunjukkan Daerah Penguasaan Banjir Citarum di Kawasan Cekungan Bandung.

3 Yamany, Zaki. 2009. Menggadaikan Citarum untuk Jakarta

Gambar 1 Analisis Citra Terhadap Kawasan Bencana Banjir Bandung Selatan

Sumber: BBWS Citarum, 2010

Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit yang telah dilakukan melalui berbagai studi, tampak kontras bahwa perubahan guna lahan, dan aktivitas tak sesuai kaidah konservasi di hulu citarum menjadi masalah utama kekritisan DAS Citarum. Degradasi lahan yang sedemikian besar di tambah kejadian perubahan iklim global, telah mengakibatkan produksi sedimen yang di angkut dari kawasan hulu sungai, terbawa ke arah hilir dan menyebabkan pendangkalan sungai. Pendangkalan ini pula yang menyebabkan kapasitas debit air berkurang, sehingga meluap ke sekitar sempadan.

Gambar 2 Kondisi Hulu Citarum

Sumber: Dokumen Penulis, 2007

Kejadian banjir adalah kejadian yang alami. Namun seiring dengan pertumbuhan manusia

yang melakukan aktivitasnya baik sosial maupun ekonomi, timbul masalah keterbatasan lahan, kemudian mereka mulai membangun lahan-lahan fungsionalnya itu, bahwan sampai ke bibir sungai (sempadan). Berikut ini adalah beberapa gambar citra satelit yang telah di olah, sehingga jika kita interpretasi, terlihat jelas perubahan tata guna lahan di Kabupaten Bandung dari tahun ke tahun.

Gambar 3 Perubahan Tata Guna Lahan Kabupaten Bandung

Sumber: BPLHD, 2005

Berdasarkan gambar di atas, terlihat kontras bahwa pola penggunaan lahan di Kawasan Cekungan Bandung telah mengalami perubahan, hal ini di dorong oleh terjadinya urbanisasi (perluasan kota) yang menuntut bertambahnya luas area permukiman. Dalam kaidah ekologis ketidak seimbangan antara kawasan serapan air dan kawasan yang telah ditutupi bangunan atau perkerasan akan mengganggu siklus hidrologi, kejadian banjir adalah salah satu dampaknya.

Kelurahan Baleendah adalah satu dari beberapa Kelurahan di Kabupaten Bandung yang sering terdampak banjir. Beberapa kampung (Setingkat RW) yang menjadi “langganan” banjir diantaranya adalah Kampung Cieunteung, Kampung Cigado, dan Kampung Babakan Bandung. Beberapa kampung tersebut merupakan kawasan padat penduduk. Penduduk di ketiga kampung tersebut rata-rata bermatapencaharian sebagai buruh pabrik tekstil yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya, sehingga sangat sulit untuk merelokasi dan merehabilitasi kawasan tersebut. Dari beberapa kejadian banjir besar yang terjadi mereka di evakuasi ke kawasan yang lebih tinggi ke arah perbukitan di sebelah selatan, atau di jembatan dayeuhkolot. Sementara itu dalam aspek kerusakan infrastruktur, banyak terjadi kerusakan-kerusakan yang menimbulkan kerugian materi yang besar.

Gambar 4 Kondisi Pasca Banjir Kampung Cieunteung Kelurahan Baleendah Kabupaten Bandung 2010

Sumber: Diella Dachlan, BBWS, 20104 Kerusakan Infastruktur

Dalam lingkup Perencanaan Wilayah dan Kota, Rodney Howes (2005:16) menjelaskan tipologi infrastruktur fisikal yang diklasifikasikan menurut fungsi dan bentuk lahan (geomorfologi). Infrastruktur teknik (technical/economy Infrastructure), biasa di sebut infrastruktur ekonomi, terdiri atas jaringan yang berumur panjang, padat modal, di desain dengan cermat dalam upaya mendukung perekonomian. Infrastruktur perniagaan (trade infrastructure) merepresentasikan fasilitas-fasilitas yang dipergunakan untuk memproduksi barang dan jasa seperti pabrik, gudang, toko dan perkantoran. Infrastruktur social difokuskan terhadap kesejahteraan social, seperti sekolah, kampus, sarana kesehatan, sarana olahraga, fasilitas rekreasi, di mana berfungsi sebagai pendorong standar kehidupan manusia yang lebih baik dan pembangunan manusianya itu sendiri5.

Di sisi lain Heller (2009) menyebut isu utama di dalam masalah populasi dan demografi adalah dinamika pertumbuhan penduduk, dimana setiap perubahan akan berdampak pada kebutuhan infrastruktur. Ukuran populasi mempengaruhi permintaan ruang universal dalam pelayanan infrastruktur (dipengaruhi pula oleh factor ekonomi)6

Kejadian banjir dapat menyebabkan blokade pada sistem drainase dan sanitasi (drainage and sewer system) sehingga air dapat kembali menggenangi bangunan terutama pada kawasan padat penduduk. Kerusakan infrastruktur tertentu dapat terjadi ketika faktor ketinggian banjir dan durasi waktu yang cukup lama. Berikut ini adalah beberapa infrastruktur (prasarana dasar) yang mengalami kerusakan di Kelurahan Baleendah:

4 Dachlan, Diella. 2010. Laporan Suatu Siang di Cieunteung. Bandung: BBWS 5 Howes, Rodney and Herbert Robinson. 2005. Infrastructure for the Built Environment: Global Procurement Strategies.

Burlington: Elsevier Ltd

6 Heller, Peter. 2009. Should Policymakers Take Account Of Demographic Factors In Considering Investment In Infrastructure

(Presentation to POPNET Conference). Dublin:-

1. Sistem Drainase Terakumulasinya sedimen yang di angkut dari kawasan hulu, kurang baiknya saluran pembuangan, timbunan sampah, telah menimbulkan luapan yang besar di Kampung Cieunteung, Kampung Cigado, dan Babakan Bandung. Tanggul yang di bangun pemerintah tidak mampu mengatasi banjir di kawasan ini. Diperlukan adanya normalisasi dan peninggian kontur, karena secara fisik Kampung Cieunteung berada 1,5 meter di bawah permukaan maksimal sungai Citarum. Ketiga kampung ini pun berada di beberapa pertemuan sungai yaitu Cikapundung (dari arah Kota Bandung)-Citarum, Cigado (Dari arah Manggahang)-Citarum, Cisangkuy(dari arah Pangalengan)-Citarum.

2. Jalan Raya Jalur Jln. Anggadireja, Baleendah menuju arah Ciparay atau Majalaya. Badan Jln. Anggadireja sepanjang sekitar 300 meter yang melewati Kp. Cieunteung tergenang banjir setinggi 50 cm, sehingga menyulitkan kendaraan bermotor lewat. Kendaraan yang akan menuju Ciparay atau Malajaya terpaksa berbelok arah melalui Jalan Raya Banjaran. Kondisi tersebut membuat antrean panjang kendaraan di jalur Jalan Raya Banjaran maupun Jalan Raya Dayeuhkolot sebelum pertigaan Dayeuhkolot-Baleendah.

3. Gardu Listrik PLN Berdasarkan data PLN DJBB, selama terjadi banjir, pemadaman dilakukan di empat gardu distribusi yang mengaliri listrik ke Kampung Cieunteung, Cigado, Cigosol, Muara, Jambatan, Ciputat, dan Uak. Semuanya di Kecamatan Baleendah. Pemadaman dimulai Jumat dan rata-rata dilakukan 10 jam menunggu air surut, pemutusan arus listrik dilakukan bila genangan mencapai sekitar 70 sentimeter di atas permukaan tanah. Parameter itu diambil mengacu ketinggian papan hubung bagi (PHB) di masing-masing gardu distribusi tiang portal setinggi 1,2 meter. Total pelanggan yang arus listriknya dipadamkan akibat banjir 1.863 rumah tangga, dengan keseluruhan pemakaian listrik mencapai 28.975 kWh. Durasi pemadaman listrik yang paling lama hanya di Kampung Cieunteung yang terdiri dari 157 pelanggan, dengan total pemakaian 7.466 kWh. Adapun aliran listrik di wilayah lain sudah tersambung lagi karena air surut.7

4. Sistem Air Bersih Berdasarkan data yang diperoleh dari Data Laporan RDTR Baleendah8 berikut ini adalah tabel prasarana air bersih di Kelurahan baleendah, jika diasumsikan kerusakan infrastruktur air bersih mencapai 30% dari total infrastruktur air bersih di kelurahan baleendah, maka selisihnya ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.

Tabel Prasarana Air Bersih Kelurahan Baleendah

No. Keterangan

Prasarana Air Bersih

Sumur Pompa Sumur Gali Mata Air Hidran Umum

PAM MCK

Jml (unit)

KK Jml

(unit) KK

Jml (unit)

KK Jml

(unit) KK

Jml (unit)

KK Jml

(unit) KK

1 Kelurahan Baleendah

2902 4081 664 1897 11 512 10 606 0 1504 13 142

2 Terdampak Banjir

871 1224 199 569 3 154 3 182 0 451 4 43

Selisih 2031 2857 465 1328 8 358 7 424 0 1053 9 99

Sumber: Analisis 2011

5. Gardu Telepon Terdapat beberapa kerusakan terutama beberapa gardu telepon yang tergenang.

Penutup Upaya mengatasi masalah banjir sampai saat ini masih mengendalikan pada kegiatan fisik

(struktur) seperti membangun sarana dan prasarana pengendalian banjir dan atau memodifikasi

7 KOMPAS, 9 Februari 2010 8 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan Baleendah – Kabupaten Bandung

kondisi alamiah sungai sehingga membentuk suatu sistem pengendalian banjir. Langkah tersebut diterapkan hampir diseluruh negara-negara di dunia yang mengalami masalah banjir. Di sisi lain Kegiatan non-struktur bertujuan untuk menghindari dan juga menekan besarnya masalah yang ditimbulkan oleh banjir, antara lain dengan cara mengatur pembudidayaan lahan di dataran banjir dan di hulu DAS. Dalam hal ini pelaku utama dari kegiatan ini adalah masyarakat Untuk dapat mempelajari dan mencari solusi dalam aspek bencana banjir perlu dilakukan pemetaan kawasan banjir di Kelurahan Baleendah. Setelah semua aspek fisikal dapat diperhitungkan, maka pendekatan selanjutnya adalah mengetahui tingkat kerentanan sosial. Perlu dibentuk sistem pengelolaan terpadu dalam mencerdasi bencana banjir dalam upaya mengurangi risikonya.

Dalam tulisan ini penulis menyertakan beberapa olahan peta yang menunjukkan karakteristik fisik lokasi Kelurahan Baleendah Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Oleh: Muhammad Iqbal Apriliyana 25410010

DAFTAR PUSTAKA Dachlan, Diella. 2010. Laporan Suatu Siang di Cieunteung. Bandung: BBWS Hardjasaputra, Sobana. 2010. Citarum Dalam Persfektif Sejarah (Dalam Foto & Cerita dari Hulu Sungai

Citarum, Sekilas Sejarah, Banjir: Dulu hingga Sekarang, Menuju Tujuan Bersama). Bandung: ICWRM-BBWS Citarum

Heller, Peter. 2009. Should Policymakers Take Account Of Demographic Factors In Considering Investment In Infrastructure (Presentation to POPNET Conference). Dublin:-

Howes, Rodney and Herbert Robinson. 2005. Infrastructure for the Built Environment: Global Procurement Strategies. Burlington: Elsevier Ltd

Koran KOMPAS Koran Pikiran Rakyat Laporan Antara Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan Baleendah – Kabupaten

Bandung LPPM UNPAD. 2010. Sinkronisasi Program Pengelolaan SDA-LH di DAS Citarum Hulu : Kontribusi

Perguruan Tinggi, Lembaga Non-pemerintah dan Komunitas Lokal. Bandung:- Sugandi, Dede. 2007. Model Penanggulangan Banjir dalam Jurnal GEA Vol. 7 No. 1 April 2007.

Bandung: Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS UPI Yamani, Zaky. 2009. Menggadaikan Citarum untuk Jakarta. Tersedia online: zaky-yamani-

menggadaikan-citarum-untuk-jakarta.pdf