Upload
nabila-yusuf
View
23
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
GUILLAIN BARRE SYNDROME
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem Neuro-Behaviour I
Oleh:
TUTOR 6
Meila Sabridatia Putri 220110100007
Jelita Puspa Nirwana 220110100011
Novi Lisnawati 220110100018
Nur Asiyah 220110100040
Ina Islamia 220110100069
Devi Puspasari 220110100087
Dwi Jayanti Meiana Dewi 220110100090
Dini Fathania 220110100094
Putri Ayu Prima Dewi 220110100112
Santa Maria Pangaribuan 220110100115
Cindy HMP Simangunsong 220110100116
Dina Sonyah 220110100125
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2012
GUILLAIN BARRE SYNDROME
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem Neuro-Behaviour I
Oleh:
TUTOR 8
Nurul Khaira 220110100006
Rd. Gita Mujahidah 220110100017
Monika Rohmatika 220110100025
Dwiesty Fathia Noverina 220110100026
Elga Kristi Ginting 220110100050
Suci Perdana 220110100071
Wina Tresnawati 220110100076
Anah Rostianah 220110100095
Putri Yani Lubis 220110100113
Mika Ginting 220110100118
Eka Wahyu Ningsih 220110100128
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2012
I. DEFINISI
Sindrom Guillain Bare (Guillain-Bare Syndrome < GBS) sudah ada
sejak 1859. Nama Guillain Barre diambil dari dua Ilmuwan Perancis,
Guillain dan Barré yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun
1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima
perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan terjadi hanya 1 atau 2
kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya. (Depkes,
http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43-
newsslider/1628-guillain-barre-sindrom.html).
Sindrom Guillain-Bare merupakan sindrom klinis yang ditunjukan
oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf tepi dan kranial
(awitan akut paralisis atau paresis otot). Proses penyakit mencakup
demielinisasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf tepi dan kranial
(Sylvia A.Price dan Lorraine M. Wilson, 1995). Sindrom ini terjadi akibat
serangan otoimun pada mielin yang membungkus saraf perifer. Dengan
rusaknya mielin, akson dapat rusak. Gejala sindrom GBS menghilang saat
serangan otoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila
kerusakan badan sel terjadi selama serangan, beberapa derajat disabilitas
dapat tetap terjadi.
GBS adalah penyakit sistem saraf perifer yang ditandai dengan
awitan mendadak paralisis atau paresis otot. GBS merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flaid yang terjadi secara
akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis.
GBS terjadi dengan frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin
dan pada semua ras. Puncak yang tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25
tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap golongan usia. Bagian
proksimal saraf cenderung paling sering terserang dan akar saraf dalam
ruang subarakhoid biasanya berpengaruh. (Arif Muttaqin: 197, 2011).
Guillan Barre Syndrome (GBS) mempunyai banyak sinonim (istilah lain),
antara lain:
1. Polineuritis akut pasca infeksi
2. Polineuritis akut toksik
3. Polineuritis febril
4. Poliradikulopati,dan
5. Acute ascending paralysis.
II. ETIOLOGI
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pasti penyebabnya. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Respon alergi atau respon autoimun
Pada kondisi normal, tubuh akan menghasilkan antibodi untuk
melawan antigen (zat yang merusak tubuh) ketika tubuh terinfeksi
penyakit, virus, atau bakteri. Pada kasus SGB, antibodi malah
menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kerusakan sel saraf. Hal ini
ditimbulkan karena antibodi merusak selaput myelin yang menyelubungi
sel saraf (demyelinasi). Demyelinasi menyebabkan penghantaran impuls
oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. Kerusakan
yang ditimbulkan dimulai dari pangkal ke tepi atau dari atas ke bawah.
Kerusakan tersebut akan menyebabkan kelumpuhan motorik dan
gangguan sensibilitas. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari
myelin dan menyerang beberapa saraf, oleh karena itu GBS disebut juga
Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP). Jika
kerusakan terjadi sampai pangkal saraf maka dapat terjadi kelainan
pada sumsum tulang belakang.
2. Infeksi (pernapasan dan gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadinya
serangan penurnan neurologis. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa
infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang saraf tepi.
3. Penyakit sistemik, seperti:
keganasan,
systemic lupus erythematosus,
tiroiditis,
penyakit addison.
4. Kehamilan atau dalam masa nifas.
III. PATOGENESIS
Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding
akson tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi
gangguan dalam selaput (nodus ranvier) tempat kontak langsung antara
membran sel akson dengan cairan ekstraseluler. Membran sangat permeabel
pada nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion
masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus
ranvier, sehingga impuls-impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi salsatori) dengan cukup
kuat.
Pada GBS, selaput mielin yang mengelilingi akson hilang. Selaput
mielin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi,
termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vaskular, dan
reaksi imunologi. Demielinasi adalah respons umum dari jaringan saraf
terhadap banyak kondisi yang merugikan ini. Kehilangan serabut mielin
pada Guillain – Barre Syndrome membuat konduksi salsatori tidak mungkin
terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses
demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului GBS
akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim
saraf-saraf perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis
ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-
perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah
infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi
itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak
segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang
berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan
lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca
infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-
otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan
pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik
pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak. Secara patologis
ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai
infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama
terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag,
serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel
plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan
aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis
atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga
karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah
tersebut.
Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan
pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke
tiga atau keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke
sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada
hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan
berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam,
sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan
bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang
ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan
ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan
berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan
makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung
myelin dari sel schwan dan akson.
2002 citized by USU digital library
IV. KLASIFIKASI1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(AIDP) adalah jenis paling umum ditemukan pada SGB, yang juga
cocok dengan gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis
paling sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal dibanding
distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi
limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama
musim panas SGB epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara
dan 55% hingga 65% dari pasien SGB merupakan jenis ini. Jenis ini
lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi
motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang
cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun
pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien
dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas.
Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat
meningkatkan rangsangan neuron motorik.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah
penyakit akut yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi
saraf sensorik dan motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan
karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari AMAN.
4. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia,
arefleksia, dan oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis,
facial palsy, dan bulbar palsy mungkin terjadi pada beberapa pasien.
Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap ganglioside
GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada
saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
5. Acute Neuropatic panautonomic
Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka
pada SGB. Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait
dengan tingkat kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan
terkait disritmia. Gangguan berkeringat, kurangnya pembentukan air
mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau bergantian
dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala
nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif
penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik ringan.
Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi
ortostatik, serta disfungsi pencernaan.
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)
Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai
dengan onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran,
hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan penyakit dapat monophasic
atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE meskipun
presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI
memainkan peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien
BEE telah dikaitkan dengan SGB aksonal, dengan indikasi bahwa dua
gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan.
Klasifikasi berdasarkan lokasi saraf yang terkena
1. Ascending
Gangguan pada fungsi saraf perifer
2. Descending
Gangguan pada fungsi saraf kranial
V. MANIFESTASI KLINIK1. Ascenden
Kelemahan otot secara ascending dengan paralisis flaksid (cedera
pada neuron) dan atropi.
Kesulitan berjalan yang menjurus pada kelumpuhan. Pada sebagian
penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara ascenden ke badan, anggota gerak atas,
dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak
dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal
lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
Menurunnya atau tidak adanya refleks tendon dalam.
Paresthesia. Paresthesia adalah suatu kondisi yang abnormal disaat
seseorang merasakan sensasi seperti terbakar, baal, geli, gatal dan
seperti ada yang menjalar di kulit pada tubuhnya. Paling sering
paresthesia atau kesemutan ini terasa pada alat gerak atau ekstrimitas
kita, seperti tangan, kaki, jari, dan kadang-kadang juga bisa terjadi
pada bagian tubuh lainnya. Paresthesia terjadi karena adanya
penekanan pada saraf sampai dengan kerusakan pada saraf tersebut.
Nyeri kram
2. DescendenKerusakan saraf kranial. Saraf kranialis yang paling sering terkena
adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi
tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat
antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan
N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N. IV atau N.III. Bila
N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar
menelan, disfonia (gangguan produksi suara ) dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
Gangguan pernapasan (sesak napas, menurunnya bunyi napas, dan
menurunnya tidal volume)
Tekanan darah tidak stabil
Disritmia jantung (irama jantung tidak beraturan)
Takhikardi (denyut jantung yang cepat)
Kehilangan kontrol bowel dan bladder
(Tarwoto, 2007)
VI. KOMPLIKASI1. Gagal Pernapasan
Komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas.
Melemahnya otot pernapasan membuat pasien dengan gangguan ini
beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Mungkin
terdapat komplikasi yang sama tentang imobilitas seperti yang terdapat
pada korban stroke.
2. Penyimpangan Kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan sistem saraf otonom pada pasien GBS
yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis
dalam tanda-tanda vital yang dapat mengancam kehidupan.
3. Komplikasi Plasmaferesis
Pasien dengan GBS yang menerima plasmaferesis berisiko
terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi
mungkin terjadi pada tempat akses vascular. Hipovolemia dapat
mengakibatkan hipotensi, takikardia, pening, dan diaphoresis.
Hipokalemia dan hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia jantung.
Pasien dapat mengalami sirkumoral temporer dan paresis ekstremitas
distal, kedutan otot, dan mual serta muntah yang berhubungan dengan
pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat dan pengkajian
penting untuk mencegah masalah-masalah ini.
(Sistem Neurobehaviour, 2012)
VII. PATOFISIOLOGI(Terlampir)
VIII. PROSES KEPERAWATAN1. Pengkajian
A. IdentitasUmur : (puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-
25 tahun tetepi mungkin juga berkembanag pada setiap golongan usia)
Jenis kelamin : (frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin)Alamat : (kebersihan berpengaruh, tempat yang kurang bersih
beresiko terhadap penyakit ini)Diagnosa medis: Guillain-Bare syndrome
B. Keluhan utamaAscenden: biasanya klien mengeluh kelemahan otot yang berkaitan
dengan gangguan saraf perifer.Descenden: klien biasanya mengalami gangguan fungsi saraf V,VII,IX,X,XI,XII
C. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot pernafasan membuat klien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernafasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstermitas atas da bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskuler, yang mungkin menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
D. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya pada pasien ini didahului dengan ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf serta pemakaian obat-obatan kortikosteroid, antibiotik (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik), dan infeksi lumbal.
E. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologi klien GBS meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kelurga ataupun masyrakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan atau kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan, untuk melakukan aktifitas secara optimal, pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perilaku akibat stress.
2. Pemeriksaan Fisik Antopometri : (perlu dikaji)
- Berat badan menurun
TTV :
TD
Pada klien GBS didapatkan ortostatik hipotensi/ TD
meningkat (hipertenisi transien), berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
RR
Pada klien GBS didapatkan RR mengalami peningkatan,
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum
dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya
akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan.
Suhu
Pada klien GBS didapatkan suhu tubuh normal.
Nadi
Pada klien GBS denyut nadi mengalami penurunan,
berhubungan dengan penurunan curah jantung.
1. Pada GBS descending biasanya ditemukan kelainan-kelainan sebagai berikut:
B1 (BREATHING )
Penurunan kemampuan batuk Peningkatan sekresi mukus sesak nafas, pengguanaan otot bantu nafas , dan peningkatan
frekuensi pernafasan karena infeksi saluran pernafasan dan yang paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernafasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernafasan.
taktil premitus seimbang kanan dan kiri.Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien GBS berhuubungan akumulas sekret dari infeksi saluran nafas.
B2 (BLOOD)
Denyut jantung tidak stabil kadang ditemukan bradikardi (denyut jantung lambat) dan juga ditemukan takhikardi (denyut jantung cepat).
Tekanan darah tidak stabil tapi cenderung Tekanan darah: hipotensi ortostatik (menurunya tekanan darah yang berlebihan ketika seseorang sedang berdiri karena menurunya aliran darah ke otak dan pingsan) tetapi bisa juga ditemukan gejala hipertensi (tekanan darah tinggi).
Gangguan vasomotor (sistem saraf dan otot yang mengontrol diameter pembuluh darah)
B4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5(BOWEL)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunya serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
2. Pada GBS ascending ditemukan kelainan-kelainan berikut:
B3 (BRAIN)
1. Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran klien compos mentis (CM). Apabila klien mengalami gkat kesadaran maka diperlukan pengkajian berikutnya yaitu penilaian GCS untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
Asumsikan : Pada klien, hasil GCS M = 3, V=5, E=4
2. Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien serta tingkah lakunya
nilai gaya bicara: kadang ditemukan klien ini disfonia (gangguan produksi suara yang disebabkan oleh gangguan pada organ-organ fonasi terutam laring)
ekspresi wajah klien: kaku, tidak bisa menunjukkan ekspresi3. Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I.Fungsi penciuman normal, Saraf II.tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal, Saraf III,IV,VI.penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata,paralisis okular. Saraf V.paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah. Saraf VII.persepsi pegecapan pada batas normal,wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral Saraf VIII tidak ada tuli konduktif dan tuli persepsi Saraf IX dan X. paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara,
mengunyah dan menelan.
Motorik Verbal Eye
Menurut 6 Orientasi 5 Membuka spontan 4
Bisa melokaliris nyeri 5 Bingung 4 Terhadap panggilan 3
Menghindar 4 Kata tidak dimengerti 3 Terhadap nyeri 2
Fleksi abnormal 3 Hanya suara 2 Tidak dapat 1
Ekstensi abnormal 2 Tidak ada 1
Tidak ada 1
Saraf XI. tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII.lidah simetris,indra pengecapan normal
4. Sistem motorik Kekuatan otot menurun karena kontrol keseimbangan dan
koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.5. Pemeriksaan refleks
Pemeriksan refleks dalam, pengetukan pada tendon,ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal
6. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor,kejang,Tic (gangguan kecemasan dimana adanya gerakan motorik atau vokalisasi involunter tiba-tiba), dan distonia (kelainan neurlogis gerakan yang menyebabkan kontraksi terus menerus yang tidak terkontrol yang dapat menyebabkan kesalahan postur misalnya leher yang berpaling kesatu sisi dan gerakan yang berulang-berulang).
7. Sistem sensorik
Parestesia (kesemutan) kelemahan otot kaki,yang dapat berkembang ke ekstremitas
atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik
raba, nyei, dan suhu.
B6 (BONE)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum.Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak di bantu oleh orang lain.
3. Pemeriksaan Diagnostik1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian
kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh
peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi
sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini
dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10
sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak
ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma
Inapproriate Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan elektromyography (EMG)
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat
pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4
minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP
kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas
jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan
penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan
yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS
dan denervasi EMG.
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS
adalah :
a. Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
b. Distal motor retensi memanjang
c. Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
d. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan
elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis
penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh
sempurna .
3. Test Fungsi Paru
Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan
PaO2, meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH).
4. Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai
adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan
kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah
beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat
gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan
menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah
onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein
dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
Karakteristik Cairan Serebrospinalis Normal
Karakteristik Cairan Serebrospinalis
Normal
1. Tekanan 80-100 mmH202. Warna Cairan Bening3. Leukosit 0-8/ mm34. Tipe Sel 5. Protein 15-45 mg6. Glukosa 45-75/100 ml7. Kultur Negatif
5. Pemeriksaan darah Pada darah tepi,
Didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat
terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah
dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah
salah satu gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat,
dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati
terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis
viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena
virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
6. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus
takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead
lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak
sering.
7. Pemeriksaan Patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan
bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase
lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul
bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian
dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua
tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler,
meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf
spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit
dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe,
hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
Diagnosis GBS umumnya ditentukan oleh adanya kriteria
klinis dan beberapa temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan
elektrofisiologis dan cairan serebrospinal (CSS),
Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis
Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih
ArefleksiaTemuan klinis yang mendukung diagnosis
Gejala atau tanda sensorik ringan
Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial
lainnya
Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti
Disfungsi otonom
Tidak adanya demam saat onset
Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu
Adanya tanda yang relatif simetris
Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:
Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl
Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi:
melambatnya atau terbloknya hantaran saraf
4. Diagnosa Keperawatan Ascending
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot ditandai dengan kekuatan otot 3.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan melemahnya otot-
otot pernafasan ditandai dengan klien mengeluh sesak nafas.
3. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
frekuensi jantung ditandai dengan hipotensi.
4. Gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan penurunan kemampuan menelan ditandai
dengan penurunan berat badan.
5. Ansietas berhubungan dengan kondisi kesehatan ditandai dengan
klien mengungkapkan kecemasannya atas kondisi saat ini.
Descending
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan melemahnya otot-
otot pernafasan ditandai dengan klien mengeluh sesak nafas.
2. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
frekuensi jantung ditandai dengan hipotensi.
3. Gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan penurunan kemampuan menelan ditandai
dengan penurunan berat badan.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot ditandai dengan klien tidak mampu menggerakkan
anggota geraknya dan paralisis.
5. Ansietas berhubungan dengan kondisi kesehatan ditandai dengan
klien mengungkapkan kecemasannya atas kondisi saat ini.
5. Intervensi Keperawatan
1.POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF BERHUBUNGAN DENGAN
MELEMAHNYA OTOT-OTOT PERNAFASAN DITANDAI DENGAN
SESAK NAFAS
Tujuan jangka pendek : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan
keperawatan pola nafas kembali efektif
Tujuan jangka panjang : dalam waktu 7x24 jam setelah diberikan tindakan
keperawatan
Kriteria : secara subjektif sesak nafas (-) , RR 16-20x / menit , tidak menggunakan
otot bantu nafas
INTERVENSI RASIONAL
Kolaborasikan dengan dokter untuk
pemberian ventilasi mekanik.
Memenuhi kebutuhan oksigen yang
sangat diperlukan tubuh klien.
Tinggikan kepala tempat tidur atau
letakkan pasien pada posisi duduk
bersandar
meningkatkan ekspansi paru dan usaha
batuk , menurunkan kerja pernafasan
dan membatasi terjadinya resiko aspirasi
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital
pernafasan
kapasitas vital klien di pantau lebih
sering dan dengan interval yang teratur
dalam penambahan kecepatan
pernafasan dan kulaitas pernafasan
sehingga pernafasan yang tidak efektif
dapat di antisipasi.Penurunan kapasitas
vital karena kelemahan otot-otot yang
digunakan saat menelan , sehingga hal
ini menyebabkan kesulitan saat batuk
dan menelan dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernafasan
Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas
tambahan , perubahan irama dan
kedalaman , penggunaan otot-otot
tambahan
Menjadi bahan parameter monitoring
serangan gagal nafas dan menjadi data
dasar intervensi selanjutnya
Lakukan pemantaun terhadap analisa
gas darah , oksimetri nadi secara
teratur
menentukan keefektifan dari ventilasi
sekarang dan kebutuhan untuk intervensi
Kolaborasi : Pemberiaan humidifikasi
oksigen sesuai indikasi
Untuk membersihkan saluran napas
klien, karena saat terjadi gangguan
menelan otot pernapasan yang lemah
tidak mampu untuk batuk, maka banyak
sekret yang tidak keluar.
Evaluasi keluhan sesak nafas, baik
secara verbal dan non verbal
Indikator keefektifan intervensi yang
telah dilakukan.
2. PENURUNAN CURAH JANTUNG YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PERUBAHAN FREKUENSI JANTUNG DITANDAI DENGAN
HIPOTENSI.
Tujuan : curah jantung dalam batas normal.
Kriteria : TD dalam batas normal, curah jantung kembali meningkat , input dan
output sesuai , tidak menunjukkan tanda-tanda disritmia
INTERVENSI RASIONAL
Kolaborasi :
Plasma exchange therapy (PE).
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40
– 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya
Plasma exchange therapy (PE) telah
dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat
terjadinya penyembuhan
pantau frekuensi dan irama jantung perubahan menunjukkan disritmia
Auskultasi TD. Bandingkan kedua
lengan, ukur dalam keadaan berbaring,
duduk , atau berdiri bila
memungkinkan.
Hipotensi dapat terjadi samapi dengan
disfungsi ventrikel, hipertensi juga
merupakan fenomena umum samapai
dengan nyeri cemas pengeluaran
katekolamin.
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi penurunan curah jantung
mengakibatkan menurunnya kekuatan
nadi
3.GANGGUAN PEMENUHAN NUTRISI : KURANG DARI KEBUTUHAN
BERHUBUNGAN DENGAN KETIDAKMAMPUAN UNTUK MENELAN
DITANDAI DENGAN PENURUNAN BERAT BADAN.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria : tidak terjadi komplikasi akibat penurunan asupan nutrisi
INTERVENSI RASIONAL
Kolaborasi : berikan nutrisi via selang
nasogatrik
jika klien tidak mampu menelan,
makanan diberikan melalai selang
lambung. Dalam kejadian ini, makanan
melalui intravena dipertimbangkan
diberikan oleh dokter dan perawat
memantau bising usus sampai terdengar
Kolaborasi dengan tim fisioterapis
untuk latihan batuk saat otot pernafasan
Mengurangi risiko masuknya benda
asing ke saluran pernapasan.
mulai membaik dan ajarkan cara untuk
menelan perlahan.
Evaluasi kemampuan klien dalam
pemenuhan nutrisi oral
Untuk mengevaluasi kemampuan klien
memenuhi nutrisi melalui oral.
berikan nutisi via oral bila paralisis
menelan berkurang
bila klien dapat menelan , makanan
melalui oral diberikan perlahan-lahan
dan sangat hati-hati
monitor komplikasi akibat paralisis
akibat insufisiensi aktivitas
parasimapatis
ilius paralisis dapat disebabkan oleh
insufisiensi aktivitas parasimapatis.
Dalam kejadian ini, makanan melalui
IV dipertimbangkan untuk diberikan.
Monitor berat badan klien secara
berkala
Evaluasi intervensi yang telah
diberikan.
4.HAMBATAN MOBILITAS FISIK BERHUBUNGAN DENGAN
PENURUNAN KEKUATAN OTOT DITANDAI DENGAN KLIEN TIDAK
DAPAT MENGGERAKKAN ANGGOTA GERAKNYA DAN PARALISIS
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien
meningkat atau tidak terjadi penurunan fungsi otot.
Kriteria : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi trombosis vena profunda dan
emboli paru merupakan ancaman klien paralisis, yang tidak mampu
menggerakkan ekstremitas.Dekubitas tidak terjadi.
INTERVENSI RASIONAL
dekatkan alat dan sarana yang
dibutuhkan klien dalam pemenuhan
aktivitas sehari-hari
Mencegah terjadinya injuri
Hindari faktor yang memungkinkan
terjadinya trauma pada saat klien
melakukan mobilisasi
Individu paralisisi mempunyai
kemungkinan mengalami kolpresi
neuropati, paling sering saraf ulnar dan
perineal. Bantalan dapat di tempatkan
di siku dan kepala fibula untuk
mencegah terjadinya masalah ini.
sokong ekstremitas yang mengalami
paralisis dengan bantalan
Mencegah kontraktur dan kekakuan
monitor komplikasi hambatan mobilitas
fisik
Untuk deteksi dini trombosis vena
profunda dan dekubitus sehingga
dengan penemuan yang cepat,
penanganan lebih mudah dilaksanakan.
Kolaborasi dalam tindakan fisioterapi. Membantu meningkatkan kekuatan
otot.
ukur kekuatan setelah dilakukan
tindakan fisioterapi dengan
menggunakan (MMT- manual muscles
testing) secara berkala. Misal setiap 3
hari
Untuk mengukur perubahan kondisi
kekuatan otot klien.
5.ANSIETAS BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI KESEHATAN
DITANDAI DENGAN KLIEN MENGUNGKAPKAN KECEMASANNYA
DENGAN KONDISINYA SAAT INI.
Tujuan: ansietas hilang atau berkurang
Kriteria: mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor
yang mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.
INTERVENSI RASIONAL
mulai melakukan tindakan untuk
mengurangi kecemasan. Beri
lingkungan yang tenang dan suasana
penuh istirahat.
Membantu mengurangi kecemasan dan
meningkatkan ketenangan.
bantu klien mengekspresikan perasaan
marah, kehilangan, dan takut.
Untuk mengurangi beban klien yang
akan menambah kecemasan.
kaji tanda verbal dan nonverbal reaksi verbal/nonverbal dapat
ansietas, dampingi klien dan lakukan
tindakan bila menunjukkan perilaku
merusak
menunjukkan rasa agitasi, marah dan
gelisah.
hindari konfrontasi konfrontasi dapat meningkatkan rasa
marah, menurunkan kerjasama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan
tingkatkan kontrol sensasi klien dengan
cara memberikan informasi tentang
keadaan klien , menekankan pada
penghargaan terhadap sumber-sumber
koping, yang positif, membantu latihan
relaksasi , dan teknik-teknik pengalihan
dan memberikan respon balik yang
positif
kontrol sensasi klien akan memotivasi
klien untuk meningkatkan semangat
hidupnya.
orientasikan klien terhadap prosedur
rutin dan aktivitas yang diharapkan.
orientasi dapat menurunkan ansietas
berikan privasi untuk klien dan orang
terdekat.
memberi waktu untuk mengekspresikan
perasaan , menghilangkan cemas dan
perilaku adaptasi.adanya keluarga dan
teman-teman yang dipilih klien
melayani aktifitas dan pengalihan akan
menurunkan perasaan terisolasi
IX. Daftar Pustaka
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Aryani, Tutu April. 2012. Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba
Medika.
Tarwoto, Ns, S.Kep. 2007. Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Sagung Seto
Sidharta P. 2000. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: EGC.
http://library.usu.ac.id
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. - .
http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43-
newsslider/1628-guillain-barre-sindrom.html diakses tanggal 9
Oktober 2012.