17
“Cabe-cabean” Sebagai Fenomena Sosial Ditinjau dari Perspektif Sosiologis Oleh: Aulia Rahman (4825134662) Dini Rahmawati (4825137140) Ghiyats Satrio (4825137145) Sosiologi Pembangunan B 2013 Puti Hafsah Sati (4825137129) Shafiya Ningtiar (4825137144) Syafiq Zilalil Haq (4825137143) 1. Abstrak Tujuan dari paper kelompok kami ini adalah untuk memaparkan fenomena cabe-cabean di Jakarta dengan menggunakan pisau analisis teori-teori sosiologis. Dalam penulisan, penulis menggunakan metode primer dengan wawancara dengan narasumber serta studi literatur baik dari buku, jurnal ilmiah serta karya tulis lainnya. Penulis merasa cabe-cabean adalah topik yang menarik untuk dikarena merupakan fenomena sosial yang hangat-hangatnya dibicarakan. Dengan karya tulis ini penulis berharap kita semua sebagai bagian dari masyarakat dapat lebih memahami fenomena cabe-cabean dari perspektif soiologis serta mengetahui lebih dalam penyebab menngapa fenomena ini dapat terjadi 1. Latar Belakang

Paper Kelompok Cabe-cabean

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sociology

Citation preview

Page 1: Paper Kelompok Cabe-cabean

“Cabe-cabean” Sebagai Fenomena Sosial Ditinjau dari Perspektif Sosiologis

Oleh:

Aulia Rahman (4825134662)

Dini Rahmawati (4825137140)

Ghiyats Satrio (4825137145)

Sosiologi Pembangunan B 2013

Puti Hafsah Sati (4825137129)

Shafiya Ningtiar (4825137144)

Syafiq Zilalil Haq (4825137143)

1. Abstrak

Tujuan dari paper kelompok kami ini adalah untuk memaparkan fenomena cabe-cabean di

Jakarta dengan menggunakan pisau analisis teori-teori sosiologis. Dalam penulisan, penulis

menggunakan metode primer dengan wawancara dengan narasumber serta studi literatur baik

dari buku, jurnal ilmiah serta karya tulis lainnya. Penulis merasa cabe-cabean adalah topik yang

menarik untuk dikarena merupakan fenomena sosial yang hangat-hangatnya dibicarakan.

Dengan karya tulis ini penulis berharap kita semua sebagai bagian dari masyarakat dapat lebih

memahami fenomena cabe-cabean dari perspektif soiologis serta mengetahui lebih dalam

penyebab menngapa fenomena ini dapat terjadi

1. Latar Belakang

Pergaulan remaja adalah hal yang banyak dibicarakan seiring dengan berkembangnya

jaman. Jaman sekarang, sulit sekali menemukan remaja yang bergaul sesuai porsinya. Pergaulan

bebas dan hubungan seks pra nikah sangat santer terdengar di masa sekarang dan sudah bukan

merupakan hal yang tabu lagi. Sudah sejak lama, terjadi perubahan perilaku seksual pada remaja.

Seks tidak lagi dianggap sakral, tetapi semua orang bahkan anak dibawah umur bisa

melakukannya. Hal ini dipicu oleh perubahan sosial-budaya yang terjadi dalam masyarakat.

Semakin berkembangnya jaman, maka semakin mudah para remaja-remaja untuk mengakses

situs-situs yang tidak sesuai dengan porsinya. Apalagi masa remaja adalah masa seseorang

Page 2: Paper Kelompok Cabe-cabean

sedang ingin tau dan mencoba segala hal. Hal ini mengakibatkan remaja cenderung terjerumus

kedalam hal-hal negative yang berhubungan dengan konteks seksual. Kehormatan seorang

wanita sudah diabaikan. Keperawanan bukan lagi hal yang bernilai. Di masa yang kaya akan

teknologi ini bahkan muncul ungkapan di masyarakat bahwa, “Anak jaman sekarang lebih takut

kehilangan gadget daripada kehilangan keperawanan.”

Akibat dari perubahan mindset remaja ini, muncullah beberapa fenomena pergaulan remaja yang

bersifat negative; seks pra nikah, MBA atau Married By Accident—yang berarti remaja yang

menikah karena sudah hamil duluan, dan salah satunya yang sedang menjadi topic hangat

pembicaraan semua kalangan adalah fenomena “cabe-cabean”. “Cabe-cabean” merupakan

julukan yang digunakan untuk perempuan-perempuan yang tergabung dalam komunitas balapan

liar. Perempuan-perempuan ini biasanya masih berusia sangat belia. Mereka menjajakan dirinya

di kalangan pembalap liar. Biasanya perempuan-perempuan ini juga bisa dijadikan bahan

taruhan untuk berhubungan seksual. Tetapi pada umumnya “cabe-cabean” bukan mencari

keuntungan materi. Mereka cenderung melakukan hubungan seks dengan pembalap karena

mereka mengagumi pembalap-pembalap tersebut. Mereka cenderung akan mengikuti apa saja

kemauan sang pembalap idola mereka. Para “cabe-cabean” ini tidak hanya melakukan hubungan

seksual dengan pembalap liar, tapi terkadang sang pembalap tega menjual kegadisan perempuan-

perempuan “cabe” ini untuk keuntungan materi, karena “cabe-cabean” cenderung akan

menngikuti apapun kemauan pembalap idolanya.

Fenomena ini tentu saja fenomena yang meresahkan bagi banyak pihak terutama orangtua.

Orangtua yang cenderung tidak mengetahui aktifitas anak-anak mereka diluar rumah akan

merasa khawatir dengan munculnya fenomena ini. Mereka yang merupakan ‘cabe-cabean”

cenderung akan sangat jarag berada dirumah. Walaupun mereka tetap melaksanakan

kewajibannya sebagai pelajar yaitu bersekolah, tetapi itu hanya akan memakan 30% dari seluruh

waktunya dalam satu hari yang sisanya akan dihabiskan dengan sekedar nongkrong bersama

komunitas pembalap liar tersebut. Mereka baru akan pulang setelah dini hari karena kegiatan

balapan liar dilakukan saat sekitar pukul 3 atau 4 pagi saat jalanan sedang sepi.

Page 3: Paper Kelompok Cabe-cabean

Apakah sebenarnya yang berada di balik fenomena “cabe-cabean” itu? Bagaimana sebenarnya

kehidupan perempuan-perempuan yang dijuluki sebagai “cabe-cabean”? Apakah “cabe-cabean”

merupakan julukan yang mereka buat sendiri atau julukan yang diberikan masyarakat? Apa yang

sebenarnya membuat seorang gadis menjajakan keperawanannya demi pembalap idolanya?

Dalam makalah ini kami akan membahas masalah “cabe-cabean” lebih mendalam dengan

menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena fenomena ini merupakan fenomena yang

sudah meresahkan masyarakat banyak, kami akan membahas penyebab timbulnya dan

bagaimana menghadapi “cabe-cabean” dengan narasumber salah satu dari pelaku “cabe-cabean”

tersebut.

3. Pembahasan

a. Tentang Cabe-cabean

Jika mendengar persoalan seputar cabe-cabean, pasti identik dengan kehidupan remaja dan

pergaulannya. Remaja menurut WHO merupakan individu yang sedang berkembang dari saat

pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai

kematangan seksual. 1 Kematangan seksual dalam diri remaja dapat ditandai dengan terjadinya

peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih

mandiri. 2 Usia relatif seseorang yang tergolong sebagai remaja berkisar antara 10-20 tahun.

Pada usia itu keadaan psikologis remaja umumnya labil, karena masa peralihan disebut juga

sebagai masa mencari jati diri. Maka tidak heran banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan

pada usia tersebut baik dalam pergaulan maupun kehidupan pribadinya.

Seiring perkembangan zaman, dimana arus globalisasi tidak dapat terbendung. Tidak heran bila

pola-pola kehidupan manusia semakin meluas. Salah satunya adalah pola-pola dalam pergaulan

remaja. Jika dahulu pergaulan remaja selalu terjaga hanya dalam lingkup hal-hal positif, tidak

seperti sekarang, pergaulan remaja telah terpengaruh oleh pergaulan ala dunia barat, yang

membiarkan pergaulan bebas antar kaum remaja. Contoh yang dapat terlihat sekarang ini adalah

munculnya fenomena ‘cabe-cabean’ yang melibatkan wanita sebagai pelakunya. Cabe-cabean

1 Salito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008). Hlm. 92 Ibid

Page 4: Paper Kelompok Cabe-cabean

merupakan suatu bentuk pergaulan yang dapat menjurus kearah seks bebas. Karena dalam

pengertian masyarakat cabe-cabean adalah remaja wanita yang biasanya berusia sekitar 15-20

tahun, mudah diajak bergaul dan mau untuk menjadi ‘mainan lelaki’. Wanita remaja yang

tergolong dalam istilah ini biasanya berbentuk kelompok-kelompok yang mempunyai kegemaran

sama, seperti gemar menonton balapan liar. Istilah cabe-cabean sebenarnya lahir dari stereotip

masyarakat khususnya dikalangan kaum muda yang menilai wanita-wanita remaja yang masuk

dalam pergaulan negatif. Stereotip merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep

prasangka. 3 Orang yang menganut stereotip mengenai kelompok lain cenderung berprasangka

terhadap kelompok tersebut. Sikap prasangka ini lahir karena masyarakat menilai kelompok

wanita itu berada pada pergaulan yang kurang baik. Tentu prasangka dan stereotip masyarakat

tidak lahir tanpa penyebab. Nyatanya memang kelompok wanita ini bersikap kurang etis, seperti

gemar menggoda orang lain yang berjalan di depannya, merokok, sering keluar malam, bergaul

dengan lelaki yang tidak jelas identitasnya, dll. Oleh karena itu, masyarakat menjuluki kelompok

ini sebagai cabe-cabean yang bisa juga berarti ‘penghangat suasana’.

Fenomena cabe-cabean memang negatif. Karena bisa dikatakan bersinggungan dengan prostitusi.

Perempuan yang tergolong sebagai ‘cabe’ biasanya loyal terhadap orang-orang asing karena

faktor uang, mereka rela mengikuti kemauan orang lain (lelaki khususnya) asal si lelaki tersebut

memiliki uang untuknya. Hal ini dapat dikatakan sebagai tindakan sosial karena memberikan

dampak pada masing-masing pelakunya. Persis seperti prostitusi, tetapi mungkin perbedaannya

adalah fenomena cabe-cabean hanya sebagai gaya hidup remaja saja, tidak sebagai pekerjaan

layaknya prostitusi.

Lingkungan dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, sehingga lingkungan dapat menjadi

faktor utama untuk menjerumuskan remaja dalam pergaulan negatif. Apabila seorang gadis yang

terdidik dari keluarga baik, jika ia mempunyai lingkungan sekunder seperti kelompok bermain

buruk maka ia cenderung akan mengikuti perkembangan lingkungan sekundernya tersebut. Jika

telah bergabung dengan suatu kelompok bermain maka sulit untuk tidak terjerumus terhadap

segala hal negatif didalamnya, walaupun ia berusaha untuk menolak. Seorang remaja pasti

merasa malu jika tidak mengikuti pergaulan pada kelompoknya namun disisi lain ia juga tahu

3 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : LPFE UI, 2004) Hlm. 152

Page 5: Paper Kelompok Cabe-cabean

bahwa pergaulan yang dijalaninya itu negatif. Sehingga, akan terjadi pergolakan pada diri remaja

tersebut tentang ke mana arah yang akan ia ikuti. Durkheim mengatakan bahwa fenomena seperti

ini disebut fakta sosial, karena bersifat memaksa dan mengendalikan individu yang berasal dari

luar individu itu sendiri.

Selain lingkungan sekunder, faktor lain yang menyebabkan seorang gadis muda tergolong

sebagai ‘cabe-cabean’ adalah faktor ekonomi pribadinya. Pada umumnya seorang gadis

mempunyai keinginan untuk menunjukkan dirinya untuk bisa mandiri, termasuk dalam hal

ekonomi. Apabila ada suatu barang yang diinginkan seperti perhiasan dan fashion, tetapi gadis

tersebut tidak memiliki uang untuk memperolehnya walaupun sudah meminta kepada orangtua .

Maka akan timbul keinginan untuk mencari uang sendiri, tetapi harus dengan cepat. Jalan keluar

yang terbaik untuk mereka adalah salah satunya menjadi cabe-cabean. Hal ini dapat merubah

mental gadis tersebut dan bisa menjadi penyebab awal mula dari prostitusi.

b. Cabe-cabean sebagai Tindakan Sosial

Istilah cabe-cabean adalah suatu fenomena baru yang muncul di masyarakat, dimana mayoritas

ada pada remaja hingga dewasa. Cabe-cabean merupakan penyimpangan yang terjadi di

masyarakat yang semuanya adalah wanita. Ciri-ciri umum cabe-cabean biasanya identik dengan

hal-hal yang berbau balap (liar dan balapan lainnya) dan berada pada satu lingkungan tertentu,

maksudnya cabe-cabean ini tidak sendiri melainkan dalam suatu perkumpulan balap ada

beberapa wanita cabe-cabean di lingkungan itu. Selain itu ia biasanya mengenakan tang-top dan

hot-pants sebagai ciri khas lainnya. Menurut Emile durkheim, hal seperti ini adalah suatusub

‘kebudayaan menyimpang’ masyarakat, pengelompokannya lebih kepada Fakta Sosial non-

material, adalah sesuatu yang dianggap nyata (eksternal) dan merupakan fenomena yang bersifat

intersubjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Karena manusia tidak

berbatas untuk mencari jati diri, maka setiap orang pasti ada pemikiran untuk hal itu. Karena

pada kenyataannya kita adalah makhluk ambiguitas (otonom, tetapi tidak mempunyai sisi

otonomnya). Dan pada hal ini ambiguitas adalah sesuatu yang mempengaruhi pola perilaku cabe-

cabean ini pada umumnya. Mereka kurang tanggap pada peraturan tetapi tidak ingin mengatur

diri sendiri, dan biasanya cabe-cabean ini diperebutkan seperti ‘piala bergilir’ oleh Joki atau

Page 6: Paper Kelompok Cabe-cabean

pembalap untuk ‘dibawa-bawa’. Ada juga cabe-cabean yang mempunyai germo-nya sendiri,

seperti wanita panggilan tetapi tetap dalam ruang lingkupnya. Cabe-cabean ini biasanya hanya

mendapat panggilan melalui media, dan mau melakukan hal itu jikalau sedang tidak mempunyai

uang. Perilaku seperti ini bukan semata-mata hanya terjadi begitu saja sebagai perilaku otomatis

tetapi tetap membawa proses pemikiran di dalamnya. Hal itu dikatakan terjadi ketika individu

melekatkan makna Subektif pada tindakan mereka. Menurut weber, hal ini yang disebut sebagai

tindakan sosial. Ada beberapa tipe tindakan sosial dalam rasionalitasnya, baik tindakan rasional

maupun non rasional, yaitu:

a. Rasionalitas instrumental (Zweckrationalitat)

Yaitu tindakan yang diarahkan rasional yang diarahkan ke suatu sistem dari tujuan-tujuan

individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri dan dipertimbangkan. Seperti pola perilaku

cabe-cabean yang kedua, hal ini penuh pemikiran dan bukan semata-mata dilakukan

karena keterpaksaan dari luar individu.

b. Rasionalitas yang berorientasi nilai (Wertrasionalitat)

Rasionalitas ini lebih kepada hal-hal nilai atau suatu hal yang religius. Dalam hal ini

cabe-cabean ini nampaknya kurang paham atau tidak diberikan pelajaran seperti hal-hal

yang religius sehingga perilaku menyimpang itu timbul karena kurangnya nilai religius

tersebut.

c. Tindakan afektif

Tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau

perencanaan sadar. Tindakan seperti ini terjadi bisa saja karena hal hal intern seperti

permasalahan keluarga. Kurangnya pertimbangan dalam melakukan tindakan itulah yang

memlbuatnya terjerumus dan terpengaruh sehingga menjadi cabe-cabean.4

d. Cabe-cabean sebagai Kenakalan Remaja

4 Doyle Paul Johnson, 1986 Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia hal. 220

Page 7: Paper Kelompok Cabe-cabean

Fenomena cabe-cabeanbukanlah sebuah tindakan kriminal melainkan merupakan salah satu jenis

kenakalan remaja.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kenakalan remaja adalah

“perilaku remaja yang menjalahi aturan sosial di lingkungan masyarakat tertentu.”5

Masa remaja adalah masa krisis identitas bagi kebanyakan anak remaja . Remaja sedang

mencari-cari figur panutan, namun figur itu tidak ada didekatnya. Secara umum dan dalam

kondisi normal sekalipun, masa ini merupakan periode yang sulit untuk ditempuh, baik secara

individual ataupun kelompok, sehingga remaja sering dikatakan sebagai kelompok umur

bermasalah (the trouble teens). Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa masa remaja

dinilai lebih rawan daripada tahap-tahap perkembangan manusia yang lain.

Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan remaja, karena remaja

tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga dirumah atau dengan teman-teman disekolah tetapi

juga mulai menjalin hubungan dengan orang-orang dewasa di luar lingkungan rumah dan

sekolah, yaitu lingkungan masyarakat. Dalam hasil wawancara kelompok yang telah dilakuakan

penulis, narasumber mengaku dia memulai gaya hidup cabe-cabean karena pengaruh lingkungan

sekitar.

Kondisi lingkungan selalu berubah setiap saat, oleh karenanya remaja dituntut untuk dapat

membina dan menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk hubungan yang baru dalam berbagai

situasi, sesuai dengan peran yang dibawanya pada saat itu dengan lebih matang.6

Dalam hal menyesuaikan diri, dikenal istilah conformity atau penyesuaian diri dengan

masyarakat. Sebaliknya, deviation adalah penyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai

dalam masyarakat. 7

Kemampuan remaja dalam melakukan penyesuaian atau konformitas dengan lingkungan

sosialnya tidak timbul dengan sendirinya. Kemampuan ini diperoleh remaja dari bekal

5 Dedy Sugono, dkk, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, Depdiknas.

Hal. 964

6 Hurlock, E. B. 1997. Perkembangan Anak Jilid 2 (Terjemahan oleh Meitasari Tjandra). Jakarta: Erlangga hal 787 Soekanto, Soerjoono 1986. Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta CV Rajawali hal 193

Page 8: Paper Kelompok Cabe-cabean

kemampuan yang telah dipelajari dari lingkungan keluarga, dan proses belajar dari pengalaman-

pengalaman baru yang dialami dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Saat individu

berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, individu tersebut harus memperhatikan tuntutan dan

harapan sosial yang ada terhadap perilakunya. Maksudnya bahwa individu tersebut harus

membuat suatu kesepakatan antara kebutuhan atau keinginannya sendiri dengan tuntutan dan

harapan sosial yang ada, sehingga pada akhirnya individu akan merasakan kepuasan pada

hidupnya.8

Pada masa remaja mereka dituntut untuk dapat menentukan sikap pilihannya dan kemampuannya

dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya agar partisipasinya selalu relevan

dalam kegiatan masyarakat. Berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan

memperlihatkan bahwa tidak semua remaja berhasil atau mampu melakukan penyesuaian sosial

dalam lingkungannya.

Fenomena cabe-cabean terjadi di tengah masyarakat perkotaan di mana anggota-anggotanya

selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di kotanya. Penduduk

kota terdiri dari masyarakat yang latar belakang budayanya berbeda. Dengan demikian, kaidah-

kaidah dalam kota selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Maka conformity di kota

besar seperti Jakarta di mana fenomena cabe-cabean terjadi sangatlah kecil. Karena cabe-cabean

menganggap proses tersebut sebagai hambatan perkembangan gaya hidup mereka.

b. Cabe-cabean Sebagai Degradasi Moral

Dalam gaya hidup cabe-cabean praktik seks bebas, konsumsi miras, menggunakan pakaian yang

minim merupakan hal yang dianggap wajar. Hal ini tentulah menjadi masalah moral.

Moralitas bagi Durkheim tidak hanya menyangkut suatu ajaran normatif tentang baik dan buruk,

melainkan suatu sistem fakta yang diwujudkan, (yang terkait dalam keseluruhan sistem dunia).

Moralitas bukan saja menyangkut sistem prilaku yang sewajarnya melainkan juga suatu sistem

8 Uyun, Susatyo Yuwono 2006 Correlation Between Social Adjustment And Problem Solving With The Behavioral Delinquency at Adolescent. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1 hal 4

Page 9: Paper Kelompok Cabe-cabean

yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan, dan ketentuan-ketentuan ini adalah sesuatu yang

berada di luar diri si pelaku.

Dalam berbagai tulisannya, Durkheim menjelaskan bahwa moralitas itu bertumpu pada tiga sikap

dasar. Pertama, moralitas haruslah dilihat sebagai suatu fakta sosial yang kehadirannya terlepas

dari keinginan subyektif. Fakta sosial harus dianggap sebagai fenomena sosial, yang terdiri atas

aturan-aturan atau kaidah-kaidahdalam masyarakat. Karena perbuat moralistis berarti berbuat

menurut kepentingan kolektif.9

Cabe-cabean dianggap melanggar kaidah-kaidah moral karena mereka melakukn tindakan-

tindakan yang melanggar moral (seperti yang telah dijabarkan di atas).

4. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa, cabe-cabean merupakan pandangan masyarakat ataupun anggapan

dari remaja mengenai seorang perempuan yang dianggap bergaul di dalam lingkungan yang

kurang baik. Sedangkan orang yang di anggap cabe-cabean tersebut tidak menganggap bahwa

dirinya adalah seorang cabe-cabean. Bahkan beberapa diantara mereka yang dianggap cabe-

cabean tersebut tidak mengetahui apa itu cabe-cabean.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang dianggap cabe-cabean atau menjadi cabe-cabean.

Seperti misalnya faktor ekonomi, faktor lingkungan tempat bermain, faktor pertemanan, faktor

kemajuan zaman, dan bahkan faktor gaya hidup. Cabe-cabean biasanya menyerang remaja

perempuan yang berusia terbilang masih muda, yang masih belum mempunyai pendirian yang

cukup kuat dalam bergaul. Akibatnya mereka gampang terpengaruh oleh keadaan di lingkungan

mereka, walaupun keadaan dilingkungan tersebut tidak baik.

Banyak sekali kriteria seseorang yang bisa dikatakan cabe-cabean. Ada yang dianggap cabe-

cabean karena sering berkumpul atau bermain dengan laki-laki padahal disaat berkumpul itu dia

hanya menjadi perempuan sendiri yang berada disana. Ada pula yang dianggap cabe-cabean

karena sering berpakaian minim dan ketat, lalu menggoda laki-laki yang ada disekitarnya. Ada

9 Eriyanti, Fitri 2006. Aplikasi Teori Emile Durkheim tentang Moralitas dan Pendidikan Moral. Jurnal Demokrasi Vol. V No5. 1 hal 3

Page 10: Paper Kelompok Cabe-cabean

pula yang dianggap cabe-cabean karena sering menonton balapan liar atau memang terlibat

dalam acara balapan liar tersebut. Selain itu banyak juga perempuan yang menjadi cabe-cabean

karena mengikuti temannya, karena menganggap jiga dia seperti temannya akan menjadi

perempuan yang dianggap ‘gaul’ oleh teman-temannya yang lain. Bahkan ada juga cabe-cabean

memang karena mau, dan dibayar oleh laki-laki.

Hal ini sangat disayangkan. Disaat seorang remaja seharusnya menuntut ilmu, mempersiapkan

diri menuju masa depan malah terjerumus kedalam pergaulan yang tidak benar . Seharusnya

orang tua lebih memperhatikan anak-anaknya dalam bergaul di era globalisasi seperti ini. Selalu

mengingatkan hal-hal yang memang seharusnya tidak dilakukan oleh anak-anaknya agar tidak

dilakukan. Selain itu pendidikan berbasis agama juga seharusnya ditekankakn kepada anak-anak

mereka. Lembaga seperti sekolah juga mengajarkan nilai-nilai moral kepada murid-muridnya.

Agar mereka bisa memilah-milah dalam bergaul. Dan kembali lagi kepada kesadaran remaja itu

sendiri. memang sekarang zamannya telah berbeda menjadi semakin maju dan kehidupannya

semakin ke arah modern. Tetapi bukan berarti kemajuan tersebut membuat nilai moral dalam

dirinya hilang.

Daftar Pustaka

Page 11: Paper Kelompok Cabe-cabean

Eriyanti, Fitri 2006. Aplikasi Teori Emile Durkheim tentang Moralitas dan Pendidikan Moral.

Jurnal Demokrasi Vol. V No5. Kewarganegaraan

Hurlock, E. B. 1997. Perkembangan Anak Jilid 2 (Terjemahan oleh Meitasari Tjandra). Jakarta:

Erlangga

Johnson, Doyle Paul 1986 Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia

Sarwono, Salito Wirawan. 2008 Psikologi Remaja, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Soekanto, Soerjoono 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali

Sugono, Dedy, dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa, Depdiknas.

Sunarto, Kamanto, 2004 Pengantar Sosiologi, Jakarta : LPFE UI

Susatyo, Uyun Yuwono 2006 Correlation Between Social Adjustment And Problem Solving With

The Behavioral Delinquency at Adolescent. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1