9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531 Analisis Praktik dan Problem Politik Multikulturalisme di Filipina dalam Kaitannya Dengan Kemunculan Gerakan Separatisme Moro  Abstr ak  Arah dari politik multikulturalisme adalah pengakuan keberagaman buda ya yang menumbuh kan kepe dulian aga r berba gai kelo mpok yang termarjinalisasi da pat terintegrasi dan masya rakat mengakomodas i perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka di ak ui. Pengaplik asian polit ik mult ikul tural seca ra ba ik ak an meng hasilkan masya rakat multi kultur al yang hidup secara damai sepert i ya ng di tunj ukkan ol eh Kana da. Se balik nya, buruknya peng aplik asian politik multikulturalisme dapa t memicu munculnya gera kan sepa ratisme etnis seperti misaln ya gera kan sepa ratisme Moro di Fil ipi na. Tul isa n ini ber mak sud men ganal isi s lebih lan jut meng enai praktik dan problem politi k multik ulturalisme di Filipin a dala m kaita nnya deng an kasu s munc ulnya gera kan sepa ratisme Moro. Kata Kunci : Politik multikulturalisme, separatisme, Filipina, Moro Multikulturalisme secara konseptual dapat diartikan sebagai suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian ata s budaya seseorang, ata u dap at pula diartikan seb agai suatu penghormatan dan keingint ahu an ten tan g bud aya etnis ora ng lain (Bl um dalam Lubis 2006: 174 ). Dalam kon sep ter seb ut tercakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya namun mempunyai cita-cita un tuk mengemba ngka n semang at ke ba ngsaan yang sa ma da n mempunya i keb angga n untuk memper tahankan kemaje mukan ter sebut . Men gin gat tindakan mengakomodir kemajemukan masyarakat bukanlah suatu perkara yang mudah, maka suatu negara hendaknya perlu mengaplikasikan politik multikulturalisme secara tepat untuk menghindarkan terjadinya perpecahan. | 1

Paper UTS Polmul (Nia)

Embed Size (px)

Citation preview

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 1/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

Analisis Praktik dan Problem Politik Multikulturalisme di Filipina

dalam Kaitannya Dengan Kemunculan Gerakan Separatisme Moro

 Abstrak 

 Arah dari politik multikulturalisme adalah pengakuan keberagaman

budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok

yang termarjinalisasi dapat terintegrasi dan masyarakat

mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka

diakui. Pengaplikasian politik multikultural secara baik akan

menghasilkan masyarakat multikultural yang hidup secara damai

seperti yang ditunjukkan oleh Kanada. Sebaliknya, buruknya

pengaplikasian politik multikulturalisme dapat memicu munculnya

gerakan separatisme etnis seperti misalnya gerakan separatisme

Moro di Filipina. Tulisan ini bermaksud menganalisis lebih lanjut

mengenai praktik dan problem politik multikulturalisme di Filipina

dalam kaitannya dengan kasus munculnya gerakan separatisme

Moro.

Kata Kunci : Politik multikulturalisme, separatisme, Filipina, Moro

Multikulturalisme secara konseptual dapat diartikan sebagai suatu pemahaman,

penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, atau dapat pula diartikan

sebagai suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain

(Blum dalam Lubis 2006:174). Dalam konsep tersebut tercakup gagasan, cara

pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan oleh masyarakat suatu negara, yang

majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya namun mempunyai cita-cita

untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai

kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut. Mengingat tindakan

mengakomodir kemajemukan masyarakat bukanlah suatu perkara yang mudah, maka

suatu negara hendaknya perlu mengaplikasikan politik multikulturalisme secara tepat

untuk menghindarkan terjadinya perpecahan.

| 1

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 2/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

 Arah dari politik multikulturalisme ialah pengakuan keberagaman budaya yang

menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat

terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan

identitas mereka diakui (Kymlicka, 2000). Dalam rumusan tersebut, setidaknya

terdapat tiga aspek penting yakni aspek identitas, partisipasi, dan keadilan. Ide

tentang politik multikulturalisme sendiri sebenarnya telah berkembang sejak tahun

1950an. Radtke (2001) menyebutkan bahwa politik multikulturalisme merupakan

sebuah 'konsep menyebar' yang diperkenalkan di Kanada dan menyebar ke Amerika

Serikat kemudian menyeberangi Samudera Atlantik hingga tiba di Eropa Timur, lalu

melintasi Samudera Pasifik khususnya di Australia dan India.

Dalam penerapannya di konteks global, sejauh ini baru Kanada satu-satunya

negara konstitusional multikultural di dunia yang berhasil dalam menerapkan gagasan

politik multikulturalisme. Sementara, sejumlah negara lain di dunia baru mulai

mengintegrasikan multikulturalisme ke dalam kebijakan masing-masing. Tak jarang,

penerapan politik multikulturalisme yang buruk dan tidak dapat mengakomodir 

kepentingan dari tiap-tiap kultur berujung pada munculnya gerakan-gerakan

pemberontakan dan seperatisme. Dalam konteks global, munculnya gerakan

pembeontakan dan separatisme yang dilandasi oleh perasaan terdiskriminasi oleh

kelompok tertentu telah banyak terjadi seperti misalnya pemberontakan dan upaya

separatisme oleh etnis Pattani di Thailand selatan, pemberontakan etnis Shan dan

Karen di Burma (Myanmar), upaya separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) di

Indonesia, dan upaya separatisme bangsa Moro di Filipina.

Pada tulisan ini, penulis akan memfokuskan bahasan pada praktik dan problem

multikulturalisme yang dihadapi Filipina terkait dengan kemunculan gerakan

separatisme bangsa Moro.

Timbulnya Gerakan Separatisme Etnis dalam Kajian Teori

David Brown (1988) dalam tulisannya “From Peripheral Communities to Ethnic 

Nations: Separatism in Southeast Asia”  secara teoritis memaparkan enam

| 2

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 3/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

pendekatan untuk menjelaskan adanya ethnic separatism atau tindakan tindakan-

tindakan separatis yang disebabkan karena adanya konflik antar etnis.

Pertama, separatisme etnis terjadi akan lebih mudah terjadi pada negara-negara

yang memiliki keragamaman etnis (multi-ethnic ). Kedua, separatisme etnis terjadiseiring munculnya nasionalisme etnis di luar nasionalisme negara. Hal semacam ini

umumnya terjadi karena adanya ketidakmerataan dalam distribusi perekonomian

antara daerah pusat dengan daerah pinggiran. Ketiga, separatisme etnis timbul

karena masing-masing kelompok etnis mendefinisikan kelompok mereka berdasarkan

adanya kesamaan budaya maupun latar belakang historis yang sama akan sebuah

sebuah teritori yang mereka tempati bersama. Keempat , separatisme etnis timbul

karena ulah kaum “elit” tertentu yang seringkali bertindak sebagai ethnic 

entrepreneurs padahal sebenarnya mereka hanya berusaha memperbesar 

keuntungan bagi kelompok mereka sendiri dengan memanfaatkan faktor kesamaan

etnis untuk menggerakkan tindakan separatisme. Kelima, separatisme etnis timbul

karena pengaruh kompleksitas isu atau permasalahan yang memicu terjadinya konflik.

Keenam, Brown mengemukakan bahwa separatisme etnis merupakan hal yang

kompleks sehingga penjelasan untuk setiap fenomena kejadian pun akan berbeda.

Pentingnya penggunaan pendekatan Brown ini adalah sebagai bahan referensi

untuk menjelaskan pola separatisme yang terjadi pada sejumlah kasus khususnya di

 Asia Tenggara.

Praktik dan Problem Multikulturalisme di Filipina:

Kasus Gerakan Separatisme Moro

Ditinjau dari segi latar belakang kultural, bangsa Filipina merupakan bangsa

yang multikultur. Filipina kerap disebut sebagai “pearl of the orient seas” atau mutiara

di laut Cina karena negara ini memiliki tradisi yang besar yaitu antara Islam dan

Kristen (Katolik) yang memiliki dampak yang signifikan bagi pembangunan politik,

sosial, buday, dan ekonomi dalam lintasan sejarah Filipina (Samuel Tan 1995 dalam

Rozi dan Lamijo 2003).

Filipina ditinggali oleh lebih dari 75 kelompok etnis, mayoritas merupakan

melayu Kristen dan sisanya melayu muslim serta keturunan etnis Cina. Kelompok

| 3

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 4/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

etnis mayoritas dan minoritas tersebut pun terbagi lagi ke dalam sejumlah 151

kelompok ethno-linguistik. Dari segi agama pun, terdapat dikotomi tersendiri yakni

Kristen Katotik sebagai mayoritas (83%), Kristen Protestan (9%), Islam (5%), dan

sisanya agama lain. Dikotomi antara mayoritas dan minoritas di Filipina merupakan

produk dari kolonisasi Spanyol dan Amerika Serikat yang berlangsung selama tiga

abad lebih. Mereka yang mengalkulturasi diri dengan kebudayaan barat (termasuk

Katolikisasi oleh misionari Spanyol) pada masa kolonial termasuk ke dalam kelompok

mayoritas. Sedangkan mereka yang melawan penjajahan dan mempertahankan

agama Islam serta budaya asli menjadi bagian dari kelompok minoritas.

Penduduk Filipina yang beragama Islam umunya terkonsentrasi di wilayah

Filipina selatan, terutama di Mindanao, Sulu, Palawan, dan Tawi-tawi. Mereka,penduduk muslim di Filipina selatan, dikenal sebagai bangsa Moro yang memiliki

identitas tersendiri baik dari segi sejarah maupun secara sosio kultural berbeda

dengan orang Filipino di Filipina utara. Awal mulanya komunitas muslim Moro hidup

damai di Filipina selatan namun ketika bangsa Spanyol berusaha menguasai wilayah

ini di tahun 1521 munculah pergolakan-pergolakan pemberontakan. Selama masa

kolonial, Spanyol menerapkan politik divide and rule (pecah belah dan kuasai) serta

mission-sacred  (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam disana. Bahkan,orang Spanyol member julukan “Moor” (Moro) yang berarti buta huruf, jahat, dan tidak

ber-Tuhan. Sejak saat itulah julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang

mendiami kawasan Filipina selatan tersebut.

Bangsa Moro yang merasa tertekan dengan kehadiran Spanyol yang ingin

menguasai wilayah mereka sejak saat itu terus melakukan perlawanan terhadap

kolonialisme Spanyol. Namun Spanyol tak gentar dengan perlawanan tersebut.

Pihaknya kemudian menerapkan politik adu domba antara penduduk pribumi yang

telah dikristenisasi di Filipina utara atau yang biasa disebut “Filipino” dengan

penduduk muslim Moro di Filipina selatan. Akhirnya, terjadilah peperangan antara

orang Filipino dan Moro dengan mengatasnamakan “misi suci”. Dari sini kemudian

timbulah kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap bangsa

Moro yang Islam. Kondisi ini terus berlangsung hingga penjajahan Spanyol di Filipina

berakhir dan digantikan oleh Amerika Serikat sesuai dengan ketentuan Traktat Paris

tahun 1898.

 | 4

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 5/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

Di masa penjajahan Amerika Serikat, orang-orang Amerika melakukan

pendekatan yang lebih persuasif untuk mengintegrasikan bangsa Moro dengan orang-

orang Filipina di utara yang beragama Kristen. Namun, penyatuan bangsa Moro dan

orang Filipino yang dilakukan secara paksa dan tanpa ada koordinasi dengan

penduduk Moro ini justru menanamkan bibit-bibit separatisme di kalangan bangsa

Moro yang akhirnya membuat konflik antar kedua kubu tak kunjung selesai. Kondisi

tersebut semakin diperburuk dengan adanya berbagai diskriminasi ketidakadilan

dalam berbagai bidang yang diterima oleh bangsa Moro dari pemerintah. Selain itu,

orang Filipino pun menganggap bangsa Moro jauh lebih rendah dari mereka, tidak

beradab dan sebagai budak (Lamijo dan Rozi 2003, 18). Terlebih lagi, para penjajah

dari Amerika Serikat dengan sengaja membangun banyak pemukiman bersubsidi di

Mindanao yang akhirnya mendorong orang-orang Kristen yang sebelumnya tinggal di

Filipina Utara bertransmigrasi ke Filipina Selatan. Migrasi besar-besaran orang Kristen

ke selatan dan pencaplokan tanah orang-orang muslim oleh orang Kristen yang

didukung oleh pemerintah yang berkuasa ketika itu membuat orang-orang muslim

Moro menjadi kaum minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri.

Selepas dari era kolonialisme di tahun 1946, dampak dari upaya penyatuan

paksa muslim Moro ke dalam mayoritas Kristen (Katolik) Filipino masih terasa dengan

berlangsungnya dominasi, hegemoni dan kontrol yang represif dari pemerintah

Filipina yang mewakili kepentingan mayoritas, peminggiran (marginalisasi) kelompok

minoritas, terjadinya kesenjangan ekonomi maupun perbedaan status sosial antara

antara minoritas dan mayoritas. Marginalisasi dan deprivasi secara konstan yang

dialami Moro sebagai akibat hegemonisasi di atas, menjadi iklim dan lahan subur bagi

berkembangnya semangat pemberontakan terhadap pemerintah pusat yang mewujud

dalam berbagai gerakan separatisme. Hal ini kemudian semakin menguatkan

keinginan bangsa Moro untuk segera memisahkan diri dari Filipina dan semakin

mencederai penegakkan nilai-nilai multikulturalisme di negara tersebut.

Keinginan muslim Moro untuk memisahkan diri semakin memuncak tatkala

Presiden Ferdinand Marcos yang muali berkuasa tahun 1965 menerapkan

Presidential Proclamation No.1081 yang isinya mengintimidasi kaum muslim di

Filipina Selatan. Sejak saat itu, sejumlah gerakan pemberontakan Islam mulai

bermunculan antara lain adalah Muslim Independent Movement  (MIM), MoroLiberation Front  (MLF), Moro Islamic Front  (MIF), dan beberapa lagi lainnya. Tujuan

| 5

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 6/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

dari didirikannya sejumlah gerakan tersebut tak lain adalah untuk mendirikan negara

Islam yang merdeka di Mindanao.

Lepas dari pemerintahan Marcos di tahun 1986, sejumlah perundingan sebagai

upaya untuk menyelesaikan konflik Moro mulai banyak dilakukan. Tahun 1986,presiden Aquino yang menggantikan presiden Marcos melakukan pertemuan dengan

Nur Misuari (pimpinan MNLF) untuk membicarakan rencana perdamaian sebagai

langkah awal negosiasi penyelesaian sengketa/konflik. Menurut penulis ini merupakan

langkah yang baik untuk menjalin hubungan perdamaian antara pemerintah dengan

MNLF. Akan tetapi, hal ini membuat kemarahan MILF yang tidak diikutsertakan.

 Alhasil, setelah 10 tahun kemudian dibentuk "Final Peace Agreement" . Dimediasi oleh

OKI dan MWL namun pemerintah Filipina cenderung melakukan negosiasinya dimulai

dengan MNLF.

Tahun 1996, dibawah pimpinan Fidel Ramos memang sudah terbentuk FPA

yang disepakati oleh MNLF dengan pemerintah Filipina. Kondisi ini dalam tahapan

proses damai disebut dengan tahapan peacemaking seperti halnya setelah perjanjian

Tripoli. Dalam kondisi peacemaking fokus antara keduanya pada kesepakatan untuk

penghentian peperangan diantara kedua pihak, dengan agreement tersebut berarti

konflik itu harus dihentikan dan ada tanggung jawab bersama untuk menjaga

perjanjian tersebut baik dari pemerintah maupun MNLF. Sehingga, apabila

perdamaian sudah terwujud maka perdamaian tersebut harus dijaga, ini akan

berlangsung ketahap perdamaian selanjutnya.

Selanjutnya, presiden Fidel Ramos digantikan oleh Presiden Estrada (1998-

2001) menyatakan "all out war"  tentara pemerintah Filipina dengan MILF. Selama

pemerintah Estrada tidak terjadi sebuah pertemuan yang akan menyelesaikan

masalah ini. Pada kenyataannya, presiden Estrada tidak mengindahkan akan

perjanjian FPA yang sudah berlangsung. Sehingga yang terjadi adalah kegagalan

resolusi konflik melalui negosiasi FPA tersebut. Seharusnya yang terjadi adalah

bukannya kekerasan kembali akan tetapi proses rekonsiliasi.

Yang patut disayangkan, kendati sejak era pos-kolonialisme telah banyak upaya

perundingan damai baik oleh pemerintah Filipina sendiri maupun dengan bantuan

masyarakat internasional melalui perwakilan negara yang tergabung dalam Negara

Konferensi Islam (OKI), kasus Moro tak kunjung selesai. Salah satu kendala yang

| 6

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 7/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

menyebabkan sulitnya kasus ini selesai tidak saja disebabkan karena permusuhan

dan kebencian yang memang telah mengakar antara Moro dan Filipino, melainkan

 juga disebabkan karena inkonsistensi pemerintah Filipina sendiri dalam

mengaplikasikan politik multikulturalisme yang tidak diskriminatif di negaranya.

Tindak diskriminatif pemerintah Filipina terhadap bangsa Moro di era pos-

kolonialisme salah satunya ditunjukkan dengan memberlakukan sejumlah undang-

undang pertanahan yang cenderung memberatkan bangsa Moro dan memihak etnis

mayoritas. Belum lagi, pengadilan Filipina secara sepihak membatalkan kesepakatan

Memorandum of Agreement Ancestral Domain (MOA-AD) yang merupakan sebuah

perjanjian yang mengatur pengakuan atas tanah leluhur di wilayah Mindanao pada

penduduk Muslim. Tak berhenti sampai disitu, pemerintah Manila sendiri sering

melakukan operasi militer untuk mengejar sebagian pejuang yang mereka anggap

sebagai pemberontak Moro. Tak jarang, operasi militer yang dilakukan oleh

pemerintah justru memicu timbulnya serangan balik dari bangsa Moro yang semakin

menambah daftar panjang rentetan kasus gerakan separatisme Moro.

Kesimpulan

Kemunculan gerakan separatisme Moro merupakan salah satu bentuk

problematika dalam penegakkan nilai-nilai multikulturalisme di Filipina. Kemunculan

gerakan separatisme ini berakar dari adanya diskriminasi ekonomi, politik, maupun

sosial antara penduduk Filipina mayoritas (Filipino) dengan penduduk minoritas

(bangsa Moro) yang memiliki perbedaan kultural seperti agama, ras, dan bahasa. Jika

dihubungakan dengan pendekatan teoritis Brown (1988), kasus gerakan separatisme

Moro lebih disebabkan karena ulah kaum elit yakni para penjajah yang melakukan

kolonialisasi di Filipina dan kemudian memanfaatkan kedekatan kultural dalam hal

agama untuk mengadu domba etnis Filipino dan Moro sehingga akhirnya memicu

timbulnya pemberontakan dan upaya separatisme bangsa Moro di Filipina.

Berdasarkan analisa penulis, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan

problem separatisme Moro yang berlangsung sejak era kolonialisme Spanyol diFilipina ini sulit selesaikan hingga kini.

| 7

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 8/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

Pertama, problem separatisme Moro sulit diselesaikan karena merupakan

problematika multikultural yang mempunyai akar sejarah permasalahan yang panjang

dimana tidak saja melibatkan dua kelompok yang bertikai (“Filipino” dan “Moro”)

melainkan juga melibatkan kultur lain yakni kultur para penjajah dari Spanyol dan

 Amerika Serikat di era kolonialisme Filipina. Adanya misi Kristenisasi, dan beragam

budaya lain yang diperkenalkan oleh para penjajah telah menyebabkan terbentuknya

suatu dikotomi kultural baru di Filipina yakni Krsiten serta budaya barat sebagai

kelompok mayoritas dan Islam serta budaya asli sebagai kelompok minoritas.

Dikotomi budaya dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas sejak era kolonialisme

telah menumbuhkan benih-benih konflik antara kedua kelompok sejak saat itu. Konflik

dan kebencian yang telah mengakar menyebabkan upaya damai dengan kelompok

separatisme Moro sebagai upaya untuk kembali menegakkan nilai-nilai

multikulturalisme di Filipina selalu gagal.

Kedua, problem separatisme Moro sulit diselesaikan karena buruknya aplikasi

politik multikulturalisme oleh pemerintah Filipina. Pada praktiknya, pemerintah Filipina

 justru kerap kali mencederai nilai-nilai multikulturalisme dengan mendukung sejumlah

perlakuan diskriminasi terhadap bangsa Moro. Di era kolonialisme, pemerintah

melakukan diskriminasi dalam pembagian sumberdaya terkait penguasaan tanah oleh

Filipino dan bangsa Moro, serta dengan sengaja mengabaikan hak-hak minoritas dan

membedakan akses untuk menikmati hasil-hasil bumi yang digali di wilayah bangsa

Moro. Sementara di era pos-kolonialisme, diskriminasi dilakukan pemerintah dengan

memberlakukan sejumlah undang-undang pertanahan yang cenderung memberatkan

bangsa Moro dan memihak etnis mayoritas. Oleh karena itu, sekalipun pemerintah

Filipina telah berupaya melakukan perundingan damai dengan bangsa Moro

problematika separatisme ini tidak kunjung selesai karena ketiadaan konsistensi dari

pemerintah dalam mengaplikasikan politik multikulturalisme yang mampu

mengakomodir kepentingan semua etnis yang ada disana.

Dengan demikian, Filipina setidaknya dihadapkan pada dua problem utama

dalam menegakkan nilai-nilai multikulturalisme dan mendamaikan gerakan

separatisme Moro yakni: (1) konflik yang telah mengakar antara etnis Moro dan

Filipino (pemerintah); dan (2) inkonsistensi pemerintah Filipina dalam

mengaplikasikan politik multikulturalisme yang tidak diskriminatif. Tanpa adanyaupaya untuk menyelesaikan dua problematika tersebut, penegakkan nilai-nilai

| 8

5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 9/9

Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531

multikulturalisme  yang mengajarkan bahwa ikatan budaya yang berbeda dapat hidup

berdampingan secara damai salam posisi setara  akan sulit terwujud di Filipina.

Daftar Pustaka

Brown, David. 1988. From Peripheral Communities to Ethnic Nations: Separatism in

Southeast Asia. 61 (1). [online] www.jstor.org/stable/2758072 [diakses 1

November 2011].

Kymlicka, Will. 2000. Kewargaan Multikultural (terj E.H Eddin). Jakarta: LP3ES.

Radtke, Frank-Olaf. 2001. “Multiculturalism: sociological aspects”. In: Neil J. Smelser and Paul B. Baltes, eds., International Encyclopedia of the Social & Behavioral 

Sciences, 15: 10184–9. Oxford: Elsevier 

Rozi, Syafuan dan Lamijo. 2003. “Demografi dan Sejarah Kolononialisasi di Filipina”

dalam Budiwanti, Erni. Multikulturalisme, Separatisme, dan Pembentukan

Negara Bangsa di Filipina. Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional,

LIPI.

| 9