Upload
kurnia-nia-nastiti
View
80
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 1/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
Analisis Praktik dan Problem Politik Multikulturalisme di Filipina
dalam Kaitannya Dengan Kemunculan Gerakan Separatisme Moro
Abstrak
Arah dari politik multikulturalisme adalah pengakuan keberagaman
budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok
yang termarjinalisasi dapat terintegrasi dan masyarakat
mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka
diakui. Pengaplikasian politik multikultural secara baik akan
menghasilkan masyarakat multikultural yang hidup secara damai
seperti yang ditunjukkan oleh Kanada. Sebaliknya, buruknya
pengaplikasian politik multikulturalisme dapat memicu munculnya
gerakan separatisme etnis seperti misalnya gerakan separatisme
Moro di Filipina. Tulisan ini bermaksud menganalisis lebih lanjut
mengenai praktik dan problem politik multikulturalisme di Filipina
dalam kaitannya dengan kasus munculnya gerakan separatisme
Moro.
Kata Kunci : Politik multikulturalisme, separatisme, Filipina, Moro
Multikulturalisme secara konseptual dapat diartikan sebagai suatu pemahaman,
penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, atau dapat pula diartikan
sebagai suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain
(Blum dalam Lubis 2006:174). Dalam konsep tersebut tercakup gagasan, cara
pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan oleh masyarakat suatu negara, yang
majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya namun mempunyai cita-cita
untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai
kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut. Mengingat tindakan
mengakomodir kemajemukan masyarakat bukanlah suatu perkara yang mudah, maka
suatu negara hendaknya perlu mengaplikasikan politik multikulturalisme secara tepat
untuk menghindarkan terjadinya perpecahan.
| 1
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 2/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
Arah dari politik multikulturalisme ialah pengakuan keberagaman budaya yang
menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat
terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan
identitas mereka diakui (Kymlicka, 2000). Dalam rumusan tersebut, setidaknya
terdapat tiga aspek penting yakni aspek identitas, partisipasi, dan keadilan. Ide
tentang politik multikulturalisme sendiri sebenarnya telah berkembang sejak tahun
1950an. Radtke (2001) menyebutkan bahwa politik multikulturalisme merupakan
sebuah 'konsep menyebar' yang diperkenalkan di Kanada dan menyebar ke Amerika
Serikat kemudian menyeberangi Samudera Atlantik hingga tiba di Eropa Timur, lalu
melintasi Samudera Pasifik khususnya di Australia dan India.
Dalam penerapannya di konteks global, sejauh ini baru Kanada satu-satunya
negara konstitusional multikultural di dunia yang berhasil dalam menerapkan gagasan
politik multikulturalisme. Sementara, sejumlah negara lain di dunia baru mulai
mengintegrasikan multikulturalisme ke dalam kebijakan masing-masing. Tak jarang,
penerapan politik multikulturalisme yang buruk dan tidak dapat mengakomodir
kepentingan dari tiap-tiap kultur berujung pada munculnya gerakan-gerakan
pemberontakan dan seperatisme. Dalam konteks global, munculnya gerakan
pembeontakan dan separatisme yang dilandasi oleh perasaan terdiskriminasi oleh
kelompok tertentu telah banyak terjadi seperti misalnya pemberontakan dan upaya
separatisme oleh etnis Pattani di Thailand selatan, pemberontakan etnis Shan dan
Karen di Burma (Myanmar), upaya separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
Indonesia, dan upaya separatisme bangsa Moro di Filipina.
Pada tulisan ini, penulis akan memfokuskan bahasan pada praktik dan problem
multikulturalisme yang dihadapi Filipina terkait dengan kemunculan gerakan
separatisme bangsa Moro.
Timbulnya Gerakan Separatisme Etnis dalam Kajian Teori
David Brown (1988) dalam tulisannya “From Peripheral Communities to Ethnic
Nations: Separatism in Southeast Asia” secara teoritis memaparkan enam
| 2
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 3/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
pendekatan untuk menjelaskan adanya ethnic separatism atau tindakan tindakan-
tindakan separatis yang disebabkan karena adanya konflik antar etnis.
Pertama, separatisme etnis terjadi akan lebih mudah terjadi pada negara-negara
yang memiliki keragamaman etnis (multi-ethnic ). Kedua, separatisme etnis terjadiseiring munculnya nasionalisme etnis di luar nasionalisme negara. Hal semacam ini
umumnya terjadi karena adanya ketidakmerataan dalam distribusi perekonomian
antara daerah pusat dengan daerah pinggiran. Ketiga, separatisme etnis timbul
karena masing-masing kelompok etnis mendefinisikan kelompok mereka berdasarkan
adanya kesamaan budaya maupun latar belakang historis yang sama akan sebuah
sebuah teritori yang mereka tempati bersama. Keempat , separatisme etnis timbul
karena ulah kaum “elit” tertentu yang seringkali bertindak sebagai ethnic
entrepreneurs padahal sebenarnya mereka hanya berusaha memperbesar
keuntungan bagi kelompok mereka sendiri dengan memanfaatkan faktor kesamaan
etnis untuk menggerakkan tindakan separatisme. Kelima, separatisme etnis timbul
karena pengaruh kompleksitas isu atau permasalahan yang memicu terjadinya konflik.
Keenam, Brown mengemukakan bahwa separatisme etnis merupakan hal yang
kompleks sehingga penjelasan untuk setiap fenomena kejadian pun akan berbeda.
Pentingnya penggunaan pendekatan Brown ini adalah sebagai bahan referensi
untuk menjelaskan pola separatisme yang terjadi pada sejumlah kasus khususnya di
Asia Tenggara.
Praktik dan Problem Multikulturalisme di Filipina:
Kasus Gerakan Separatisme Moro
Ditinjau dari segi latar belakang kultural, bangsa Filipina merupakan bangsa
yang multikultur. Filipina kerap disebut sebagai “pearl of the orient seas” atau mutiara
di laut Cina karena negara ini memiliki tradisi yang besar yaitu antara Islam dan
Kristen (Katolik) yang memiliki dampak yang signifikan bagi pembangunan politik,
sosial, buday, dan ekonomi dalam lintasan sejarah Filipina (Samuel Tan 1995 dalam
Rozi dan Lamijo 2003).
Filipina ditinggali oleh lebih dari 75 kelompok etnis, mayoritas merupakan
melayu Kristen dan sisanya melayu muslim serta keturunan etnis Cina. Kelompok
| 3
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 4/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
etnis mayoritas dan minoritas tersebut pun terbagi lagi ke dalam sejumlah 151
kelompok ethno-linguistik. Dari segi agama pun, terdapat dikotomi tersendiri yakni
Kristen Katotik sebagai mayoritas (83%), Kristen Protestan (9%), Islam (5%), dan
sisanya agama lain. Dikotomi antara mayoritas dan minoritas di Filipina merupakan
produk dari kolonisasi Spanyol dan Amerika Serikat yang berlangsung selama tiga
abad lebih. Mereka yang mengalkulturasi diri dengan kebudayaan barat (termasuk
Katolikisasi oleh misionari Spanyol) pada masa kolonial termasuk ke dalam kelompok
mayoritas. Sedangkan mereka yang melawan penjajahan dan mempertahankan
agama Islam serta budaya asli menjadi bagian dari kelompok minoritas.
Penduduk Filipina yang beragama Islam umunya terkonsentrasi di wilayah
Filipina selatan, terutama di Mindanao, Sulu, Palawan, dan Tawi-tawi. Mereka,penduduk muslim di Filipina selatan, dikenal sebagai bangsa Moro yang memiliki
identitas tersendiri baik dari segi sejarah maupun secara sosio kultural berbeda
dengan orang Filipino di Filipina utara. Awal mulanya komunitas muslim Moro hidup
damai di Filipina selatan namun ketika bangsa Spanyol berusaha menguasai wilayah
ini di tahun 1521 munculah pergolakan-pergolakan pemberontakan. Selama masa
kolonial, Spanyol menerapkan politik divide and rule (pecah belah dan kuasai) serta
mission-sacred (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam disana. Bahkan,orang Spanyol member julukan “Moor” (Moro) yang berarti buta huruf, jahat, dan tidak
ber-Tuhan. Sejak saat itulah julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang
mendiami kawasan Filipina selatan tersebut.
Bangsa Moro yang merasa tertekan dengan kehadiran Spanyol yang ingin
menguasai wilayah mereka sejak saat itu terus melakukan perlawanan terhadap
kolonialisme Spanyol. Namun Spanyol tak gentar dengan perlawanan tersebut.
Pihaknya kemudian menerapkan politik adu domba antara penduduk pribumi yang
telah dikristenisasi di Filipina utara atau yang biasa disebut “Filipino” dengan
penduduk muslim Moro di Filipina selatan. Akhirnya, terjadilah peperangan antara
orang Filipino dan Moro dengan mengatasnamakan “misi suci”. Dari sini kemudian
timbulah kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap bangsa
Moro yang Islam. Kondisi ini terus berlangsung hingga penjajahan Spanyol di Filipina
berakhir dan digantikan oleh Amerika Serikat sesuai dengan ketentuan Traktat Paris
tahun 1898.
| 4
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 5/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
Di masa penjajahan Amerika Serikat, orang-orang Amerika melakukan
pendekatan yang lebih persuasif untuk mengintegrasikan bangsa Moro dengan orang-
orang Filipina di utara yang beragama Kristen. Namun, penyatuan bangsa Moro dan
orang Filipino yang dilakukan secara paksa dan tanpa ada koordinasi dengan
penduduk Moro ini justru menanamkan bibit-bibit separatisme di kalangan bangsa
Moro yang akhirnya membuat konflik antar kedua kubu tak kunjung selesai. Kondisi
tersebut semakin diperburuk dengan adanya berbagai diskriminasi ketidakadilan
dalam berbagai bidang yang diterima oleh bangsa Moro dari pemerintah. Selain itu,
orang Filipino pun menganggap bangsa Moro jauh lebih rendah dari mereka, tidak
beradab dan sebagai budak (Lamijo dan Rozi 2003, 18). Terlebih lagi, para penjajah
dari Amerika Serikat dengan sengaja membangun banyak pemukiman bersubsidi di
Mindanao yang akhirnya mendorong orang-orang Kristen yang sebelumnya tinggal di
Filipina Utara bertransmigrasi ke Filipina Selatan. Migrasi besar-besaran orang Kristen
ke selatan dan pencaplokan tanah orang-orang muslim oleh orang Kristen yang
didukung oleh pemerintah yang berkuasa ketika itu membuat orang-orang muslim
Moro menjadi kaum minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri.
Selepas dari era kolonialisme di tahun 1946, dampak dari upaya penyatuan
paksa muslim Moro ke dalam mayoritas Kristen (Katolik) Filipino masih terasa dengan
berlangsungnya dominasi, hegemoni dan kontrol yang represif dari pemerintah
Filipina yang mewakili kepentingan mayoritas, peminggiran (marginalisasi) kelompok
minoritas, terjadinya kesenjangan ekonomi maupun perbedaan status sosial antara
antara minoritas dan mayoritas. Marginalisasi dan deprivasi secara konstan yang
dialami Moro sebagai akibat hegemonisasi di atas, menjadi iklim dan lahan subur bagi
berkembangnya semangat pemberontakan terhadap pemerintah pusat yang mewujud
dalam berbagai gerakan separatisme. Hal ini kemudian semakin menguatkan
keinginan bangsa Moro untuk segera memisahkan diri dari Filipina dan semakin
mencederai penegakkan nilai-nilai multikulturalisme di negara tersebut.
Keinginan muslim Moro untuk memisahkan diri semakin memuncak tatkala
Presiden Ferdinand Marcos yang muali berkuasa tahun 1965 menerapkan
Presidential Proclamation No.1081 yang isinya mengintimidasi kaum muslim di
Filipina Selatan. Sejak saat itu, sejumlah gerakan pemberontakan Islam mulai
bermunculan antara lain adalah Muslim Independent Movement (MIM), MoroLiberation Front (MLF), Moro Islamic Front (MIF), dan beberapa lagi lainnya. Tujuan
| 5
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 6/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
dari didirikannya sejumlah gerakan tersebut tak lain adalah untuk mendirikan negara
Islam yang merdeka di Mindanao.
Lepas dari pemerintahan Marcos di tahun 1986, sejumlah perundingan sebagai
upaya untuk menyelesaikan konflik Moro mulai banyak dilakukan. Tahun 1986,presiden Aquino yang menggantikan presiden Marcos melakukan pertemuan dengan
Nur Misuari (pimpinan MNLF) untuk membicarakan rencana perdamaian sebagai
langkah awal negosiasi penyelesaian sengketa/konflik. Menurut penulis ini merupakan
langkah yang baik untuk menjalin hubungan perdamaian antara pemerintah dengan
MNLF. Akan tetapi, hal ini membuat kemarahan MILF yang tidak diikutsertakan.
Alhasil, setelah 10 tahun kemudian dibentuk "Final Peace Agreement" . Dimediasi oleh
OKI dan MWL namun pemerintah Filipina cenderung melakukan negosiasinya dimulai
dengan MNLF.
Tahun 1996, dibawah pimpinan Fidel Ramos memang sudah terbentuk FPA
yang disepakati oleh MNLF dengan pemerintah Filipina. Kondisi ini dalam tahapan
proses damai disebut dengan tahapan peacemaking seperti halnya setelah perjanjian
Tripoli. Dalam kondisi peacemaking fokus antara keduanya pada kesepakatan untuk
penghentian peperangan diantara kedua pihak, dengan agreement tersebut berarti
konflik itu harus dihentikan dan ada tanggung jawab bersama untuk menjaga
perjanjian tersebut baik dari pemerintah maupun MNLF. Sehingga, apabila
perdamaian sudah terwujud maka perdamaian tersebut harus dijaga, ini akan
berlangsung ketahap perdamaian selanjutnya.
Selanjutnya, presiden Fidel Ramos digantikan oleh Presiden Estrada (1998-
2001) menyatakan "all out war" tentara pemerintah Filipina dengan MILF. Selama
pemerintah Estrada tidak terjadi sebuah pertemuan yang akan menyelesaikan
masalah ini. Pada kenyataannya, presiden Estrada tidak mengindahkan akan
perjanjian FPA yang sudah berlangsung. Sehingga yang terjadi adalah kegagalan
resolusi konflik melalui negosiasi FPA tersebut. Seharusnya yang terjadi adalah
bukannya kekerasan kembali akan tetapi proses rekonsiliasi.
Yang patut disayangkan, kendati sejak era pos-kolonialisme telah banyak upaya
perundingan damai baik oleh pemerintah Filipina sendiri maupun dengan bantuan
masyarakat internasional melalui perwakilan negara yang tergabung dalam Negara
Konferensi Islam (OKI), kasus Moro tak kunjung selesai. Salah satu kendala yang
| 6
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 7/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
menyebabkan sulitnya kasus ini selesai tidak saja disebabkan karena permusuhan
dan kebencian yang memang telah mengakar antara Moro dan Filipino, melainkan
juga disebabkan karena inkonsistensi pemerintah Filipina sendiri dalam
mengaplikasikan politik multikulturalisme yang tidak diskriminatif di negaranya.
Tindak diskriminatif pemerintah Filipina terhadap bangsa Moro di era pos-
kolonialisme salah satunya ditunjukkan dengan memberlakukan sejumlah undang-
undang pertanahan yang cenderung memberatkan bangsa Moro dan memihak etnis
mayoritas. Belum lagi, pengadilan Filipina secara sepihak membatalkan kesepakatan
Memorandum of Agreement Ancestral Domain (MOA-AD) yang merupakan sebuah
perjanjian yang mengatur pengakuan atas tanah leluhur di wilayah Mindanao pada
penduduk Muslim. Tak berhenti sampai disitu, pemerintah Manila sendiri sering
melakukan operasi militer untuk mengejar sebagian pejuang yang mereka anggap
sebagai pemberontak Moro. Tak jarang, operasi militer yang dilakukan oleh
pemerintah justru memicu timbulnya serangan balik dari bangsa Moro yang semakin
menambah daftar panjang rentetan kasus gerakan separatisme Moro.
Kesimpulan
Kemunculan gerakan separatisme Moro merupakan salah satu bentuk
problematika dalam penegakkan nilai-nilai multikulturalisme di Filipina. Kemunculan
gerakan separatisme ini berakar dari adanya diskriminasi ekonomi, politik, maupun
sosial antara penduduk Filipina mayoritas (Filipino) dengan penduduk minoritas
(bangsa Moro) yang memiliki perbedaan kultural seperti agama, ras, dan bahasa. Jika
dihubungakan dengan pendekatan teoritis Brown (1988), kasus gerakan separatisme
Moro lebih disebabkan karena ulah kaum elit yakni para penjajah yang melakukan
kolonialisasi di Filipina dan kemudian memanfaatkan kedekatan kultural dalam hal
agama untuk mengadu domba etnis Filipino dan Moro sehingga akhirnya memicu
timbulnya pemberontakan dan upaya separatisme bangsa Moro di Filipina.
Berdasarkan analisa penulis, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan
problem separatisme Moro yang berlangsung sejak era kolonialisme Spanyol diFilipina ini sulit selesaikan hingga kini.
| 7
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 8/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
Pertama, problem separatisme Moro sulit diselesaikan karena merupakan
problematika multikultural yang mempunyai akar sejarah permasalahan yang panjang
dimana tidak saja melibatkan dua kelompok yang bertikai (“Filipino” dan “Moro”)
melainkan juga melibatkan kultur lain yakni kultur para penjajah dari Spanyol dan
Amerika Serikat di era kolonialisme Filipina. Adanya misi Kristenisasi, dan beragam
budaya lain yang diperkenalkan oleh para penjajah telah menyebabkan terbentuknya
suatu dikotomi kultural baru di Filipina yakni Krsiten serta budaya barat sebagai
kelompok mayoritas dan Islam serta budaya asli sebagai kelompok minoritas.
Dikotomi budaya dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas sejak era kolonialisme
telah menumbuhkan benih-benih konflik antara kedua kelompok sejak saat itu. Konflik
dan kebencian yang telah mengakar menyebabkan upaya damai dengan kelompok
separatisme Moro sebagai upaya untuk kembali menegakkan nilai-nilai
multikulturalisme di Filipina selalu gagal.
Kedua, problem separatisme Moro sulit diselesaikan karena buruknya aplikasi
politik multikulturalisme oleh pemerintah Filipina. Pada praktiknya, pemerintah Filipina
justru kerap kali mencederai nilai-nilai multikulturalisme dengan mendukung sejumlah
perlakuan diskriminasi terhadap bangsa Moro. Di era kolonialisme, pemerintah
melakukan diskriminasi dalam pembagian sumberdaya terkait penguasaan tanah oleh
Filipino dan bangsa Moro, serta dengan sengaja mengabaikan hak-hak minoritas dan
membedakan akses untuk menikmati hasil-hasil bumi yang digali di wilayah bangsa
Moro. Sementara di era pos-kolonialisme, diskriminasi dilakukan pemerintah dengan
memberlakukan sejumlah undang-undang pertanahan yang cenderung memberatkan
bangsa Moro dan memihak etnis mayoritas. Oleh karena itu, sekalipun pemerintah
Filipina telah berupaya melakukan perundingan damai dengan bangsa Moro
problematika separatisme ini tidak kunjung selesai karena ketiadaan konsistensi dari
pemerintah dalam mengaplikasikan politik multikulturalisme yang mampu
mengakomodir kepentingan semua etnis yang ada disana.
Dengan demikian, Filipina setidaknya dihadapkan pada dua problem utama
dalam menegakkan nilai-nilai multikulturalisme dan mendamaikan gerakan
separatisme Moro yakni: (1) konflik yang telah mengakar antara etnis Moro dan
Filipino (pemerintah); dan (2) inkonsistensi pemerintah Filipina dalam
mengaplikasikan politik multikulturalisme yang tidak diskriminatif. Tanpa adanyaupaya untuk menyelesaikan dua problematika tersebut, penegakkan nilai-nilai
| 8
5/16/2018 Paper UTS Polmul (Nia) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/paper-uts-polmul-nia 9/9
Tugas UTS Mata Kuliah Politik Multikulturalisme | Kurnia.070810531
multikulturalisme yang mengajarkan bahwa ikatan budaya yang berbeda dapat hidup
berdampingan secara damai salam posisi setara akan sulit terwujud di Filipina.
Daftar Pustaka
Brown, David. 1988. From Peripheral Communities to Ethnic Nations: Separatism in
Southeast Asia. 61 (1). [online] www.jstor.org/stable/2758072 [diakses 1
November 2011].
Kymlicka, Will. 2000. Kewargaan Multikultural (terj E.H Eddin). Jakarta: LP3ES.
Radtke, Frank-Olaf. 2001. “Multiculturalism: sociological aspects”. In: Neil J. Smelser and Paul B. Baltes, eds., International Encyclopedia of the Social & Behavioral
Sciences, 15: 10184–9. Oxford: Elsevier
Rozi, Syafuan dan Lamijo. 2003. “Demografi dan Sejarah Kolononialisasi di Filipina”
dalam Budiwanti, Erni. Multikulturalisme, Separatisme, dan Pembentukan
Negara Bangsa di Filipina. Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional,
LIPI.
| 9