Upload
manaf-abdul
View
2.817
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PARADIGMA GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH Oleh
Drs. Abdul Manaf, M.PdDOSEN STI TARBIYAH AL-HILAL SIGLI
A. PENDAHULUAN
Pendidikan agama memainkan peranan penting dan strategis dalam
pembangunan peradaban suatu bangsa. Berbagai kajian dan pengalaman sejarah
menunjukkan bahwa pendidikan agama memberi manfaat yang luas bagi
kehidupan suatu bangsa. Pendidikan agama mampu melahirkan masyarakat
terpelajar dan berakhlak mulia, yang menjadi pilar utama dalam membangun
masyarakat sejahtera yang berkeadilan. Pendidikan agama juga meningkatkan
kesadaran masyarakat sehingga mampu hidup harmoni dan toleran dalam
kemajemukan, sekaligus memperkuat kohesi sosial dan memantapkan wawasan
kebangsaan untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan Islami.
Menurut Muhaimin (2009), setidak-tidaknya ada beberapa alasan mengenai
perlunya Pendidikan Agama Islam dikembangkan sebagai budaya sekolah, yaitu:
(1) UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dan (2), UU No. 14/2005
tentang Guru dan Dosen Pasal 6 dan 7, (2) Permen Diknas No.22/2006 tentang
Standar Isi terutama pada lampiran Standar Kompetensi Dasar Mata Pelajaran PAI.
Dengan demikian, upaya mengembangkan pendidikan agama sebagai budaya
sekolah telah memperoleh legalitas yang kuat, (3) sekolah yang bermutu dan
memberi muatan agama lebih banyak menjadi pilihan pertama bagi orang tua, (4)
prestasi sekolah bukan hanya prestasi fisik, tetapi ada nilai-nilai, keyakinan, norma
dan budaya yang menjadi ukuran keunggulan, dan (5) budaya sekolah mempunyai
dampak yang kuat terhadap prestasi kerja.
Mencermati landasan tersebut di atas, maka terjadi perubahan paradigma
pendidikan agama di sekolah, yaitu bahwa pendidikan agama bukan hanya tugas
guru agama saja, akan tetapi merupakan tanggung jawab seluruh warga sekolah.
Hal ini harus dipahami secara luas agar tidak terjadi missunderstanding antara guru
agama dan guru lintas bidang studi lainnya. Artinya, guru-guru lintas bidang studi
itu tetap pada posisi dan porsinya masing-masing sesuai dengan bidang
keahliannya. Kaitannya dengan pembudayaan agama, menurut Muhaimin (2009)
1
2
bahwa ada langkah-langkah yang harus terjadi secara berurutan adalah sebagai
berikut: (1) pengenalan nilai-nilai agama secara kognitif, (2) memahami dan
menghayati nilai-nilai agama secara afektif, dan (3) membentuk tekad secara
konatif.1
Sebelum langkah-langkah tersebut di atas diaplikasikan kepada siswa,
terlebih dahulu guru secara individu harus memiliki kepribadian yang terpuji,
ramah, sabar, suka menolong, senang kepada siswa, bersikap adil, tegas dan tidak
kasar, memiliki pengetahuan yang cukup terhadap mata pelajaran yang diajarkan,
tahapan selanjutnya dapat diupayakan agar terjadi pembudayaan agama di sekolah,
maka warga sekolah termasuk siswa harus mengetahui nilai-nilai agama yang bisa
didapatkan baik melalui PBM di dalam kelas maupun diluar jam pelajaran
pendidikan Agama Islam. Pada tingkatan selanjutnya berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan yang dimilikinya dapat menumbuhkan semangat atau sikap untuk
menerapkan pengetahuan keagamaannya kepada warga sekolah termasuk siswa.
Dan pada langkah yang terakhir, siswa dapat melaksanakan pengetahuan agamanya
dengan tekad yang kuat sehingga menjadi budaya yang tidak terpisah dari
kepribadiannya.
B. PEMBAHASAN
Pendidikan secara historis maupun filosofis telah ikut mewarnai dan menjadi
landasan moral, dan etika dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan
merupakan variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi ilmu
pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dan
tujuan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tahun 2003 dinyatakan pada pasal 3 yaitu: Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar manjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
1 Muhaimin (2009). Pradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
3
demokratis serta bertanggung jawab (Pusat dan Informasi Balitbang Depdiknas
2003)2. Dalam rangka mewujudkan peserta didik sebagaimana yang dirumuskan
dalam tujuan pendidikan nasional di atas, khususnya pendidikan agama, maka
dengan demikian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan sebagai petunjuk
teknis operasional di lembaga kependidikan. Dalam peraturan pemerintah tersebut
dirumuskan tujuan Pendidikan agama adalah untuk berkembangnya kemampuan
peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama
yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(Pasal 2, ayat 2).3
Semua program pendidikan di Indonesia pada berbagai jenjang dan jenis
pendidikan dirancang untuk pencapaian tujuan pendidikan sebagaimana yang telah
dirumuskan. Rumusan rancangan program pembelajaran di setiap jenjang dan jenis
pendidikan disebut dengan istilah kurikulum. Kurikulum adalah niat dan harapan
yang dituangkan dalam bentuk rencana atau program pendidikan untuk
dilaksanakan oleh guru di sekolah. Dan Kurikulum adalah sebagai bingkai yang
merupakan salah satu alat untuk membina dan mengembangkan siswa menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Sebelumnya hanya dikenal kurikulum 1968,
kurikulum 1975, Maka pasca tahuntersebut, pendekatan belajar aktif dirintis secara
serius oleh Balitbang Depdiknas sejak tahun 1979 dengan proyek yang dikenal
sebagai Proyek Supervisi dan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) Cianjur, Jawa
Barat. Hasil-hasil proyek ini kemudian direplikasi di sejumlah daerah dan
disebarkan melalui penataran guru ke seluruh Indonesia.
Upaya pendekatan belajar aktif dimulai pada tingkat sekolah dasar,
kemudian mendorong penerapan pendekatan belajar aktif di tingkat sekolah
menengah. Hasil-hasil upaya ini secara bertahap kemudian diintegrasikan ke dalam
Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun
2 Undang-undang nomor 20 tahun 2003,tentang sistem pendidikan Nasional, Bab 1 pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
4
2004, yang dilanjutkan dengan Standar Isi yang lebih dikenal dengan istilah
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, yang merupakan
wewenang satuan pendidikan untuk mengembangkannya, dengan landasan hukum
dan memiliki akuntabilitas legal, menurut pendapat Hamid Hasan (2009; 59)
bahwa kurikulum tingkat sekolah legal, kurikulum Nasional tidak Legal,
menurutnya ahli kurikulum tersebut, sejak berlakunya undang-undang nomor 20
tahun 2003, peraturan menteri pendidikan nasional nomor 22 dan 23 dunia
pendidikan di Indonesia tidak lagi mengenal adanya Kurikulum Nasional dan yang
dinamakan berdasarkan angka tahun sebagai yang tersebut di atas, jadi keberlakuan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus disahkan oleh Komite
Sekolah dan Kepala Sekolah, dengan demikian KTSP tersebut sudah memiliki
akuntabilitas legal.4 dengan memberlakukan KTSP sebagai hasil rumusan bersama
atau produk bersama antara sekolah dan komite, maka sudah barang tentu sudah
melawati berbagai tahapan serta analisis yang mendalam terhadap berbagai
kemungkinan yang akan lahir sebagai dampak dari pemberlakukan KTSP dan
menjadi komitmen bersama sebagai wujud tanggung jawab terhadap pendidikan
baik dalam proses pelaksanaan maupun terhadap hasil yang diperoleh, hal yang
demikian akan melahirkan natural efek secara positif, artinya bukan hanya guru
yang dituntut untuk aktif dalam mengajar, akan tetapi komite juga aktif untuk
melakukan pengawasan kepada guru serta kepada siswa, gagasan tersebut
merupakan suatu usaha untuk mencapai suatu perubahan baik dalam penyiapan
calon siswa sebagai Raw In put (siswa), Proses (PBM) dan Out Put
(hasil/Produk/keluaran) dari lembaga pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan
materi pelatihan metode belajar-mengajar aktif menyebutkan bahwa muatan
kurikulum yang berlaku saat ini telah memuat gagasan-gagasan belajar aktif untuk
menumbuhkembangkan beragam kompetensi dalam diri peserta didik.5
Pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan nasional, hal
tersebut sesuai dengan penjelasan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 33 ayat 2 bahwa "kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
4 Hamid Hasan, Prof.Dr.S. (2009) Evaluasi Kurikulum, PT Remaja Rosda Karya, hal. 595 Bahan Pelatihan Metodologi Belajar-Mengajar Aktif, Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan
Pengembangan, Jakarta, 2010
5
memuat antara lain pendidikan agama", 6termasuk salah satunya pendidikan agama
Islam. Pendidikan agama Islam dilaksanakan untuk mengembangkan potensi
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia. Dalam hal ini
Daradjat (2001 : 172), berpendapat bahwa; pendidikan agama adalah usaha yang
secara sadar dilakukan guru untuk mempengaruhi siswa dalam rangka
pembentukan manusia beragama7. Secara lebih khusus pengertian pendidikan
agama Islam yang perumusannya dilakukan oleh Puskur Balitbang Depdiknas
(2001 : 8), sebagai berikut: Upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta
didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan
berakhlak mulia dalam mmenjalankan ajaran agama Islam dari sumber utamanya
kitab suci Al-Qur'an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
latihan, serta penggunaan pengalaman. Pengajaran agama Islam yang demikian
adalah bertujuan untuk memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT
serta berakhlak mulia8.
Azra (2002 : 57), berpendapat bahwa "kedudukan pendidikan agama Islam
di berbagai tingkatan dalam sistem pendidikan nasional adalah untuk mewujudkan
siswa yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia".9 Kedudukan tersebut
menjadi lebih urgen lagi untuk jenjang pendidikan tingkat SMP, dimana siswaanya
berusia sekitar 13-16 tahun yang hampir disepakati para ahli ilmu jiwa bahwa
kelompok umur ini berada pada masa remaja, dengan situasi dan kondisi sosial dan
emosionalnya yang belum stabil (Drajat, 1975 : 11-12), sementara tuntutan yang
akan dihadapinya semakin besar dan rumit yaitu dunia perguruan tinggi atau dunia
kerja/masyarakat. Karenanya rumusan tujuan Pendidikan Agama Islam di sekolah
Menengah Pertama adalah dalam rangka untuk: Meningkatkan keyakinan,
pemahaman, penghayatan dan pengalaman siswa tentang agama islam sehingga
menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
6 Undang-undang nomor 20 tahun 2003,tentang sistem pendidikan Nasional, pasal 33 ayat 27 Daradjat, Z. (1976), Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta : Bumi Aksara. Hal. 1728 Puskur Balitbang Depdiknas (2001 : hal. 8)9 Azra, A. (2002). Paradigma pendidikan Nasional : Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta : Penerbit
Buku Kompas. Hal. 57
6
serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (GBPP PAI
1995).
Tujuan tersebut menggambarkan akan kesadaran tentang pentingnya
pendidikan yang memberikan kepedulian pada pembentukan manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, serta berakhlak mulia. Kesadaran tersebut
didasarkan pada keyakinan bahwa manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT serta berakhlak mulia akan dapat menciptakan keharmonisan dalam
kehidupan pribadi, berbangsa dan bernegara. Menurut konsep islam, iman
merupakan potensi rohani yang harus diaktualisasikan dalam bentuk amal shaleh,
sehingga menghasilkan prestasi rohani yang disebut taqwa. Amal shaleh itu
menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk keshalehan pribadi; hubungan
manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan sosial (solidaritas sosial),
serta hubungan manusia dengan alam sekitar.
Kurikulum pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP dirancang untuk
mengantarkan siswa kepada peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
SWT serta pembentukan akhlak yang mulia. Keimanan dan ketaqwaan serta
kemuliaan akhlak sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pembelajaran yang
akan dapat dicapai dengan terlebih dahulu, jika sebelumnya siswa sudah memiliki
pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan benar terhadap ajaran agama Islam,
sehingga terinternalisasi dalam penghayatan dan keasadaran untuk melak-
sanakannya dengan benar. Dengan demikian kurikulum dan pembelajaran PAI
yang dirancang seharusnya dapat menghantarkan siswa kepada pengetahuan dan
pemahaman yang utuh dan seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan tentang
agama Islam dengan kemampuan pelaksanaan ajaran serta pengembangan nilai-
nilai Akhlakul Karimah.
Guru sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang nomor 14 tahun
2005 adalah pendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasikan peserta didik, sejalan dengan maksud di atas, maka dalam
mengoperasionalkan pendidikan agama disekolah, pihak Menteri Agama
mengeluarkan peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 tahun
7
2010 Tentang Pengelolaan pendidikan agama pada sekolah, bagian kedua, pasal 2
Pengelolaan pendidikan agama meliputi standar isi, kurikulum, proses
pembelajaran, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan,
penyelenggaraan, sarana dan prasarana, pembiayaan, penilaian, dan evaluasi.10
Dengan demikian bahwa guru PAI juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas pembelajaran pendidikan agama Islam, hal tersebut sesuai
dengan pendapat Ngalim Purwanto, dkk (1979;7, bahwa guru adalah individu yang
terdidik, ahli dalam mata pelajaran dengan ijazah yang berkualifikasi agar mampu
mengajar pada bidangnya, mampu bekerja sama dengan anak-anak dengan cara
meningkatkan kemampuan belajar baginya.11
Disamping itu, sebelumnya terlebih dahulu di ketahui kedudukan guru
sebagaimana yang diamanahkan dalam Peraturan bersama Menteri pendidikan
nasional Dan Kepala badan kepegawaian negara Nomor: 03/v/pb/2010, Nomor: 14
tahun 2010, Bab I, Pasal 1, poin I disebutkan bahwa Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sedangkan
pada Poin 4, menyebutkan bahwa Guru mata pelajaran adalah Guru yang
mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam proses
pembelajaran pada satu mata pelajaran tertentu di sekolah/madrasah.12
Sesuai dengan peraturan diatas, bahwa idealnya guru mengetahui
kemampuan seseorang akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah
belajar atau berlatih, disamping itu, Gage (1964 :139), memberi penekanan bahwa
perilaku guru dipandang sebagai "sumber pengaruh", sedangkan tingkah laku yang
belajar sebagai "efek" dari berbagai proses, tingkah laku dan kegiatan interaktif.13
Para pakar menyatakan bahwa, betapapun bagusnya kurikulum (official), hasilnya
10 peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2010 Tentang Pengelolaan pendidikan agama pada Sekolah bagian kedua, pasal 2.
11 M. Ngalim Purwanto,dkk.(1979) Kompetensi Belajar dan Guru, Jakarta. Nasco. Hal. 712 Peraturan bersama Menteri pendidikan nasional Dan Kepala badan kepegawaian negara Nomor: 03/v/pb/2010,
Nomor 14 tahun 2010, Bab I, Pasal 1.13 Gage, NL. (1964), Handbook of Research on Teaching. Chicago : rand McNally Hal 139
8
sangat tergantung pada apa yang dilakukan guru dalam kelas "curriculum actual"
(Syaodih; 1997 : 194).
Pendekatan pembelajaran yang seyogianya diterapkan adalah pendekatan
yang memotivasi peserta didik agar dapat belajar bagaimana belajar, sejalan
dengan pernyataan di atas S. Nasution (1982;80) berpendapat bahwa belajar lebih
berhasil bila dihubungkan dengan minat, keinginan dan tujuan anak.14 Sejalan
dengan pendapat ahli di atas, Daradjat (1980;26) berpendapat bahwa titik
permulaan dalam mengajar yang berhasil adalah membangkitkan minat anak didik,
karena rangsangan tersebut, membawa kepada senangnya anak didik terhadap
pelajaran, dan meningkatkan semangat.15 Hal tersebut sesuai dengan amanah
Permen Diknas Nomor 41, tahun 2007: Standar Proses untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, yaitu; “Pelaksanaan kegiatan inti ini merupakan proses
pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik”.16 Sejalan dengan peraturan menteri di atas, Presiden Susilo Bambang
Yudoyono dalam Temu Nasional di Jakarta, 29 Oktober 2009, mengatakan, bahwa;
“Saya minta Menteri Pendidikan Nasional untuk mengubah metodologi belajar-
mengajar yang ada selama ini. Sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah
jangan hanya gurunya yang aktif , tetapi harus mampu membuat siswanya juga
aktif” Untuk tercapainya maksud pernyataan di atas, lahirnya Peraturan Menteri
Agama RI Nomor 16 tahun 2010, dalam pasal 13 disebutkan, Guru Pendidikan
Agama minimal memiliki kualifikasi akademik Strata 1/Diploma IV, dari program
studi pendidikan agama dan/atau program studi agama dari Perguruan Tinggi yang
terakreditasi dan memiliki sertifikat profesi guru pendidikan agama. Selanjutnya,
dalam Pasal 16 ayat 1, disebutkan bahwa Guru Pendidikan Agama Islam harus
memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional, dan
kepemimpinan.14 S. Nasution,(1982) Azas-azas Kurikulum, Bandung, CV. Diponegoro, hal. 80.15 Daradjat, Zakiah, (1980) Kepribadian Guru, Jakarta. Bulan Bintang, hal. 2616
Permen Diknas Nomor 41, tahun 2007: tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
9
Dengan demikian, Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) harus memiliki
kualifikasi akademik, sertifikat profesional dan kompetensi.17 Pernyataan di atas
sesuai dengan pendapat Sagala (2006 ; 210) bahwa guru harus menguasai sepuluh
kompetensi dasar, yaitu (1) menguasai landasan-landasan pendidikan, (2)
menguasai bahan pelajaran (3) kemampuan mengelola program belajar mengajar,
(4) kemampuan mengelola kelas, (5) kemampuan mengelola interaksi belajar
mengajar, (6) menilai hasil belajar siswa, (7) kemampuan mengenal dan
menerjemahkan kurikulum, (8) mengenal fungsi dan program bimbingan dan
penyuluhan (9) memahami prinsip-prinsip dan hasil pengajaran, (10) mengenal dan
menyelenggarakan administrasi pendidikan.18 Oleh karena itu, guru harus
menguasai kompetensi-kompetensi keguruan, karena semua pontensi yang dimiliki
oleh peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru,
sesuai dngan pernyataan di atas Mulyasa (2007:64) memberi penekanan bahwa
minat, bakat kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan
berkembang secara optimal tanpa bantuan guru.19
Disamping faktor guru, faktor siswa juga mempengaruhi kualitas
pembelajaran PAI. Siswa SMP dilihat dari tingkat perkembangan intelektualnya
telah mampu berfikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Menurut
Sigelman & Shafer (Yusuf, 2001: 193) bahwa, pertumbuhan otak mencapai
kesempurnaan dari mulai usia 12-20 tahun.20 Dengan demikian maka model dan
strategi pembelajaran PAI di SMP disajikan untuk memfasilitasi perkembangan
kemampuan berfikirnya melalui Participatory learning Pembelajaran partispatif
adalah kegiatan pembelajaran di mana semua pihak, termasuk pendidik dan peserta
didik, terlibat secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Keikutsertaan
peserta didik itu diwujudkan dalam tiga tahapan kegiatan pembelajaran yaitu tahap
perencanaan program (program planning), pelaksanaan (program implementation),
dan penilaian (program evaluation) kegiatan pembelajaran. Sedangkan student
17 Peraturan Menteri Agama RI (PMA) Nomor 16 tahun 2010, tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Agama Islam Bab.II pasal 13.
18 Sagala, Saiful, (2006) Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, Bandung, Al-Fabeta. Hal.21019 E. Mulyasa, (2007) Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung, Remaja Rosda Karya,hal. 6420
Yusuf, Syamsu, LN. (2001) Psikologi Perkembangan Anak dan remaja. Cetakan kedua, bandung : Remaja Rosda Karya. Hal. 193
10
active learning merupakan pendekatan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan
peserta didik dalam mengakses berbagal informasi dan pengetahuan untuk dibahas
dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga mereka mendapatkan
berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan kompetensinya. Selain itu, belajar
aktif juga memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan analitis
dan sintesis serta mampu merumuskan nilai-nilai baru yang diambil dan hasil
analisis mereka sendiri.
Metode pembelajaran dimaksudkan sebagai cara yang digunakan guru untuk
melakukan proses pembelajaran di kelas, terutama dalam konteks transfer of
knowledges dan transfer of values Sehingga pembelajaran PAI mengandung makna
serta fungsi dalam kehidupan mereka. Kondisi pembelajaran pendidikan agama
Islam di sekolah menurut Departemen Agama (1999 : 33), memiliki ciri-ciri
seperti: "(1) kemampuan siswa heterogen, (2) waktu/jam pelajaran agama Islam
terbatas, (3) minat siswa lebih besar pada mata pelajaran lain, dan (4) sarana dan
prasarana pendidikan agama Islam masih terbatas.
C. KESIMPULAN
1. Delimatisnya Guru Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, karena secara
profesional yang dimiliki sebagai guru yang melakukan tranfer knowlage
and tranfer value kepada warga belajar, disisi yang lain diberikan tanggung
jawab yang besar terhadap tugas pembinaan warga belajar secara
menyeluruh, alias tugas ganda disamping sebagai guru mata pelajaran dan
juga sebagai guru bimbingan konsling dan tanggung jawab tersebut dalam
rentang waktu yang bersamaan.
2. Melihat situasi kekinian perkembangan kehidupan dalam berbangsa dan
bernegara sudah berada pada titik yang mengkawatirkan, maka Pendidikan
Agama Islam merupakan solusi sebagai kebutuhan dalam mengatur
penghidupan.
3. Peningkatan kapasitas stake hoders pendidikan sangat penting
dilaksanakan.
11
4. Guru merupakan suatu komponen penting dalam melaksanakan
pembelajaran di sekolah.
5. Belum terpenuhinya alokasi anggaran yang sesuai dengan aturan untuk
tercapainya maksud undang-undang nomor 20 tahun 2003, undang-undang
14 tahun 2005.
6. Masih lemahnya kapasitas guru dalam melakukan proses belajar mengajar
di sekolah
7. Aturan hukum yang berlaku tentang pendidikan di indonesia menjamin
untuk merumuskan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan dinyatakan
legal.
D. SARAN-SARAN
1. Idealnya guru PAI jangan diberi tanggung jawab dalam bentuk doblel job
dalam bentuk tanggung jawab tugas, akan tetapi cukup dengan beban yang
ditanggung dalam bentuk tanggung jawab moral sebagai guru Pendidikan
Agama Islam pada sekolah.
2. Pihak Pemerintah pusat/pemerintah daerah berkewajiban untuk memberi in
servis training kepada kepala Sekolah dan Guru yang mempunyai kapasitas
dalam bidangnya untuk merumuskan kurikulum KTSP
3. Pihak Eksikutif dan Legislatif harus serius merencanakan pengembagan
pendidikan melalui pengembangan materi ajar terutama terhadap guru
Pendidikan Agama Islam
4. Pihak Eksikutif dan Legislatif harus bersama-sama membangun
sumberdaya manusia yang Islami melalui pendidikan yang berbasis
karakter dan berakhlaq mulia.
5. Pihak Satuan Pendidikan tidak ada alasan untuk tidak mempunyai kapasitas
untuk merumuskan Kurikulum tingkat satuan pendidikan.
6. Pihak satuan pendidikan tidak ada lasan untuk tidak memberlakukan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
12
7. Untuk mencegah terjadinya pergeseran nilai-nilai luhur yang dianut oleh
bangsa Indonesia, tingkat satuan pendidikan harus diberikan kesempatan
dan peluang yang besar untuk melakukan pembinaan anak-anak bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, A. (2002). Paradigma pendidikan Nasional : Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Bahan Pelatihan Metodologi Belajar-Mengajar Aktif, Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta, 2010
Daradjat, Zakiah, (1980) Kepribadian Guru, Jakarta. Bulan Bintang.Daradjat, Zakiah. (1976), Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara. E. Mulyasa, (2007) Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung, Remaja
Rosda Karya.Gage, NL. (1964), Handbook of Research on Teaching. Chicago: rand McNally Hamid Hasan, Prof.Dr.S. (2009) Evaluasi Kurikulum, PT Remaja Rosda Karya.M. Ngalim Purwanto,dkk.(1979) Kompetensi Belajar dan Guru, Jakarta. Nasco.Muhaimin (2009). Pradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.S. Nasution,(1982) Azas-azas Kurikulum, Bandung, CV. DiponegoroSagala, Saiful, (2006) Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan,
Bandung, Al-Fabeta. Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan KeagamaanPermen Diknas Nomor 41, tahun 2007: tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.Peraturan Menteri Agama RI (PMA) Nomor 16 tahun 2010, tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Agama Islam Peraturan bersama Menteri pendidikan nasional Dan Kepala badan kepegawaian Negara Nomor: 03/v/PB/2010, Nomor: 14 tahun 2010.peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2010 Tentang
Pengelolaan pendidikan agama pada Sekolah bagian kedua.Puskur Balitbang Depdiknas (2001)Yusuf, Syamsu, LN. (2001) Psikologi Perkembangan Anak dan remaja. Cetakan
kedua, bandung : Remaja Rosda Karya.Undang-undang nomor 20 tahun 2003,tentang sistem pendidikan Nasional, Bab I
pasal 3 dan Pasal 33 ayat 2.
13