Click here to load reader
Upload
becakman-exedaime
View
26
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
2.3. Partnership (Jaringan Kemitraan Kerja)
Partnership dari perspektif etimologis diadaptasi dari kata partnership dan
berasal dari akar kata partner. Partner diterjemahkan sebagai pasangan atau
kompanion, sedangkan partnership diterjemahkan menjadi persekutuan atau
perkongsian. Bertolak dari sini maka partnership dapat dimaknai sebagai suatu
bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan
kerja sama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang atau tujuan tertentu
sehingga dapat dicapai hasil yang lebih baik (Sulistiyani, 2004).
Partnership sendiri dapat terbentuk apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Yang terlibat dalam partnership ada dua pihak atau lebih
2. Memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan
3. Ada kesepakatan
4. Saling membutuhkan
Tujuan suatu partnership adalah tercapainya hasil yang lebih baik dengan
saling memberikan manfaat pihak-pihak yang bernitra. Partnership hendaknya
memberikan manfaat kepada semua pihak yang bermitra.
Partnership dapat dilakukan oleh pihak baik perseorangan, badan hukum
atau kelompok. Adapun pihak-pihak yang bermitra tersebut dapat memiliki status
yang setara atau subordinate, memiliki kesamaan misi atau misi berbeda tetapi
saling mengisi dan melengkapi secara fungsional (Sulistiyani, 2004).
Menurut Walukow (2000) partnership adalah kebersamaan dari sejumlah
pelaku untuk mencapai tujuan yang sama, yang didasarkan atas kesepakatan
tentang peranan dan prinsip masing-masing pihak. Di dalam partnership setiap
pihak yang bermitra harus saling seimbang dalam daya dan pengaruh (balance of
power and influence, dengan kata lain harus selalu mengupayakan kesetaraan.
Nilai hakiki (core values) dan jati diri dari masing-masing pihak tetap
harus dijaga dan dipertahankan (Walukow, 2000). Sementara untuk membangun
partnership harus didasarkan pada 5 prinsip :
1. Kesamaan perhatian
2. Saling menghormati
3. Tujuan jelas dan terukur
4. Bersedia untuk memberi waktu, sumber daya, dan tenaga
5. Kepercayaan
Partnership adalah hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan
kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan (manfaat). Partnership di
bidang kesehatan adalah partnership yang dikembangkan dalam rangka
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. (Depkes RI, 2006).
Menurut Robert Davis dalam Notoatmojo (2003), partnership adalah suatu
kerja sama formal antara individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam kerja sama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen dan
peninjauan kembali terhadap kesepakatan yang telah dibuat, serta saling berbagi
baik dalam resiko maupun keuntungan yang diperoleh. Dari batasan di atas
terdapat 3 kata kunci dalam partnership yaitu:
1. Kerja sama formal antar kelompok, organisasi, individu
2. Bersama mencapai tujuan tertentu
3. Saling menanggung resiko dan keuntungan
Menurut Notoatmojo (2003), dalam membangun partnership ada 3 prinsip
kunci yang perlu dipahami oleh masing-masing anggota unit yaitu persamaan
(equity), keterbukaan (transparancy) dan saling menguntungkan (mutual benefit).
Contoh empiris pendekatan partnership dalam negri adalah Pekan
Imunisasi Nasional (PIN) untuk polio. Pekan Imunisasi Nasional berhasil baik dan
memperoleh penghargaan dari WHO berkat pendekatan partnership antara
pemerintah, dunia usaha, LSM kesehatan dan organisasi profesi.
Adapun tujuan dari kerja sama kemitraan (partnership) di bidang
kesehatan adalah meningkatnya percepatan, efektivitas dan efisiensiupaya
kesehatan dan pembangunan pada umumnya. Sektor yang terkait dalam
partnership dalam bidang kesehatan meliputi seluruh komponen masyarakat,
unsur pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, perguruan tinggi, media masa,
penyandang dana dan lain-lain.
Depkes RI (2006), menyebutkan setidaknya terdapat 6 pilar utama sebagai
pondasi awal dalam partnership di bidang kesehatan :
1. Kesehatan adalah hak asasi setiap manusia, merupkan investasi
sekaligus merupakan kewajiban bagi semua pihak.
2. Masalah kesehatan saling terkait dan saling mempengaruhi dengan
masalah lain seperti masalah ekonomi, sosial, agama, politik, keamanan,
ketenagakerjaan, pemerintah, dll.
3. Masalah kesehatan tidak bisa diatasi oleh sektor kesehatan sendiri,
tetapi semua pihak harus juga terlibat terhadap masalah kesehatan tersebut.
4. Beberapa pihak khususnya pihak swasta diharapkan dapat
memperoleh manfaat karena kesehatan meningkatkan kualitas dan
produktivitas SDM.
5. Mengenai bagaimana pentingnya kemitraan (partnership) ini mulai
gencar dipropagandakan oleh WHO pada Konfrensi Internasional Promosi
Kesehatan di Jakarta pada tahun 1997.
6. Perlu dikembangkan upaya kerjasama yang saling memberi manfaat.
Hubungan kerjasama tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila juga
didasari oleh kesetaraan.
Selain itu Depkes RI (2006), juga menyebutkan terdapat 7 landasan
pengembangan partnership yaitu:
1. Saling memahami kedudukan, tugas dan fungsi berkaitan dengan
struktur
2. Saling memahami kemampuan setiap anggota (capacity)
3. Saling berhubungan secara proaktif (linkage)
4. Saling mendekati bukan hanya fisik tetapi juga pikiran dan
perasaan (empathy, proximity)
5. Saling terbuka dalam arti kesediaan membantu dan dibantu
(openess)
6. Saling menghargai dan mendukung (synergy)
7. Saling menghargai (reward)
Istilah partnership terus digunakan secara luas untuk pengaturan hubungan
antar organisasi yang berbeda. Termasuk persekutuan strategis perusahaan,
hubungan serikat buruh dan para pemberi kerja, serta hubungan antara pembeli
dan para pedagang, termasuk keterlibatan sektor swasta di dalam penyerahan dari
jabatan dalam pemerintahan. Partnership adalah juga suatu alat untuk mencapai
perubahan sosial, termasuk peneliti sosial dan praktisi, pengusaha, pemerintah dan
organisasi-organisasi non pemerintahan untuk pencapaian lingkungan sensitif dan
perkembangan berkelanjutan (Tomlison, 2005).
Bagaimanapun, keaneka ragaman kontek menyebabkan hal ini sulit untuk
diidentifikasi secara tepat apa yang dimaksud dengan “partnership” dan ketika
semakin banyak organisasi-organisasi terlibat dalam partnership, arti partnership
menjadi semakin sukar dipahami. Partnership dapat merupakan suatu alternatif
kerjasama terhadap hubungan tradiosional antara pelaku yang terlibat secara
bersaing, lawan atau hirarkis. Implementasi partnership tidak mudah seperti Das
dan Teng yang menyatakan persekutuan strategi (partnership) mempunyai tingkat
kegagalan yang lebih tinggi dibanding dengan “perusahaan tunggal” sedangkan
menurut Eden dan Huxham banyak proyek kolaborasi mengalami kegagalan
dalam mencapai tujuan yang diharapkan (Tomlison, 2005).
Penggunaan istilah “partnership” menyiratkan bagaimana para pelaku
yang terlibat diharapkan untuk bertindak dalam hubungannya dengan pihak lain.
Bagaimanapun, penamaan tidak bisa menentukan bagaimana hubungan-hubungan
ini akan ditetapkan. Keberadaan partnership seharusnya “baik”, tetapi ketidak
jelasan arti, menyebabkan timbul pertanyaan “baik dalam hal apa” dan “untuk
siapa”. Penggunaan istilah ini merujuk pada analisis arti dan membahas akibat
dari pengertian mengenai hubungan antara anggota partnership. Hal ini telah
digunakan sebagai sumber suatu studi kasus dari suatu proyek pengungsi yang
telah mencapai suatu titik krisis dalam sejarahnya. Proyek para anggota
menghasilkan partnership yang konsisten sebagai suatu ‘hal baik', tetapi
representasi partnership tidak mudah, lebih kritis, dan versi partnership lebih
banyak menunjukkan hubungan yang tidak seimbang.
Partnership secara sukarela membuat beberapa organisasi yang berbeda
mempunya satu tujuan yang sama. Keanggotaannya mempresentasikan beberapa
organisasi yang memiliki ukuran, misi, sumber daya dan kultur yang berbeda
(Gazley, 2007).
Perlu dicatat makna operasional dari 2 kata kunci sukarela dan kolaboratif.
Sukarela berarti dilakukan atas keinginan sendiri sementara kolaboratif berarti
bekerja sama dengan bekerja sama dengan agen-agen atau pihak lain dalam
sebuah proyek atau usaha. Kolaborasi adalah suatu proses untuk mecapai tujuan
yang tidak bisa dicapai sendirian (minimal tidak bisa dicapai secara efisien).
Kolaborasi sebagai suatu proses adalah sebuah jalan menuju akhir, bukan akhir itu
sendiri. Meski demikian proses tersebut harus efektif untuk mencapai hasil akhir
yang sukses. Partnership memungkinkan individu berbeda dari organisasi yang
berbeda untuk bekerja sama dengan mengkapitalisasi bakat-bakat dan kekuatan-
kekuatan komplementernya (Gazley, 2007).
Meskipun masyarakat yang lebih luas mendapatkan manfaat dari
partnership, tidak selalu berarti individu atau organisasi yang berpartisipasi dalam
partnership akan mendapatkan akan mendapatkan manfaat langsung dari
partnership ini. Mungkin saja koalisi dalam komunitas menghasilkan keuntungan
tetapi menghasilkan kerugian bagi setiap partner meskipun hal yang sebaliknya
juga bisa terjadi. Jika partnership bertujuan untuk kebaikan bersama maka
partner-partner yang terlibat bisa saja menganggap kerja sama mereka efektif dan
menguntungkan. Partnership mengandalkan pada kesepakatan yang bagus tentang
kesediaan, kemampuan dan keterlibatan rekan-rekan individu dalam pembuatan
keputusan, memberikan kepemimpinan dan petunjuk yang berfungsi penyalur dari
dan untuk masyarakat beserta implementasi inisiatif (Hasnain et al., 2003).
Bagaimana kemitraan (partnership) itu bekerja dan bagaimana cara untuk
mengukur keberhasilannya :
1. Pertama, sebuah partnership berusaha menarik organisasi dan individu secara
bersama-sama.
2. Kedua, para anggota partnership harus mampu mengembangkan dan
menjelaskan tujuan bersama.
Namun bagaimana sebuah partnership mengatur dirinya tergantung pada
konsep komunitas, kebutuhan komunitas, tujuan komunitas, isu yang berlaku dan
partner yang terlibat. Karena kolaborasi memerlukan hubungan, prosedur dan
struktur yang berbeda dari cara kerja organisasi sebelumnya maka membangun
partnership yang efektif sangat sulit, memakan waktu dan sumber daya intensif.
Namun timbul pertanyaan mengapa beberapa usaha kolaborasi bisa
berhasil sementara yang lain gagal. Keberhasilan menutut partner berkomitmen
pada proses-proses yang seringkali panjang yang pada akhirnya mencapai hasil.
Meskipun para donatur siap memberikan bantuan kepada partnership, insentif ini
kurang mendesak bagi agen-agen yang tidak menerima sumber daya langsung
atau yang misi organisasi keseluruhan tidak saling melengkapi dengan
partnership tersebut. Organisasi umumnya mau berkolaborasi dengan organisasi
lain jika aktivitas kolaborasi secara keseluruhan tidak mengganggu kekuasaan dan
kontrol (pengawasan yang ada) organisasi yang bersangkutan.
2.3.1. Model Partnership
Menurut Siagian (1997) istilah jaringan kemitraan kerja (partnership)
adalah kerjasama antara organisasi dalam bentuk penggabungan sumber,
penyatuan gerak langkah dan kesamaan tindakan, untuk mencapai tujuan yang
telah disepakati bersama. Partnership di sektor kesehatan yang ada menurut
Notoatmojo (2003) secara umum dibagi dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. Partnership Model 1, merupakan model paling sederhana
berupa jaring kemitraan kerja yang sering disebut building linkages.
Partnership semacam ini hanya dalam bentuk jaringan kerja (networking) saja.
Masing-masing mitra atau institusi telah mempunyai program sendiri mulai
merencanakannya, melaksanakannya, mengevaluasinya. Oleh karena adanya
persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau karakteristik yang lain
diantara mereka, maka dibentuklah jaringan kerja. Sifat partnership ini sering
juga disebut koalisis, seperti Koalisis Indonesia Sehat, Forum Promosi
Kesehatan Indonesia.
2. Partnership Model 2, partnership model ini lebih baik dan
solid, masing masing anggota (mitra) mempunyai tanggung jawab yang lebih
besar terhadap program atau kegiatan bersama. Oleh sebab itu visi, misi, dan
kegiatan dalam mencapai tujuan partnership tersebut harus direncanakan dan
dievaluasi bersama. Contoh partnership model ini adalah Gerakan Terpadu
Nasional (GERDUNAS) TB. Paru, dan Gebrak Malaria (Rollback Malaria).
Gerdunas dan Gebrak Malaria adalah suatu program pemberantasan TB. Paru
dan malaria yang dirancang dan dilaksanakan bersama lintas program dan
sektor.
Langkah-langkah penggalangan partnership menurut Notoatmojo (2003)
adalah sebagi berikut :
1. Melakukan identifikasi stake holder (mitra dan pelaku
potensial).
2. Membangun jaringan kerja sama antara mita dalam upaya
mencapai tujuan.
3. Memadukan sumber daya yang tersedia di masing-masing
mitra kerja.
4. Melaksanakan kegiatan terpadu.
5. Menyelenggarakan pertemuan berkala untuk perencanaan,
pemantauan, penilaian, dan pertukaran informasi.
2.3.2. Tujuan Partnership dan Hasil yang Diharapkan
Dari partnership yang dibentuk, tentu saja mempunyai tujuan tersendiri,
dan tujuan itu dikategorikan menjadi 2, yaitu :
1. Tujuan Umum
Meningkatkan percepatan, efektivitas dan efisiensi upaya kesehatan dan upaya
pembangunan pada umumnya.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan saling pengertian
b. Meningkatkan saling percaya
c. Meningkatkan saling memerlukan
d. Meningkatkan rasa kedekatan
e. Membuka peluang untuk saling membantu
f. Meningkatkan daya, kemampuan, dan kekuatan
g. Meningkatkan rasa saling menghargai
Sedangkan pada dasarnya, hasil partnership yang diharapkan adalah
adanya percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai upaya kesehatan.
2.3.3. Prinsip, Landasan, dan Pengembangan Partnership
Dalam partnership ada prinsip, landasan, dan langkah tersendiri dalam
pengembangannya, adapun pengembangan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tiga Prinsip Partnership :
a. Kesetaraan, dalam arti tidak ada atas bawah (hubungan vertikal), tetapi
sama tingkatnya (horisontal)
b. Keterbukaan
c. Saling menguntungkan
2. Tujuh Landasan Partnership :
a. Saling memahami kedudukan, tugas dan fungsi (kaitan dengan struktur)
b. Saling memahami kemampuan masing-masing (kapasitas unit organisasi)
c. Saling menghubungi secara proaktif (linkage)
d. Saling mendekati, bukan hanya secara fisik tetapi juga pikiran dan perasaan
(empati, proximity)
e. Saling terbuka, dalam arti kesediaan untuk dibantu dan membantu (opennes)
f. Saling mendorong dan mendukung kegiatan (synergy)
g. Saling menghargai kenyataan masing-masing (reward)
3. Enam Langkah Penunjang Partnership :
a. Penjajagan dan persiapan
b. Penyamaan persepsi
c. Pengaturan peran
d. Komunikasi intensif
e. Melakukan kegiatan
f. Melakukan pemantauan dan penilaian
2.3.4. Indikator Keberhasilan Partnership
Keberhasilan suatu partnership dapat dilihat dari ukuran indikator
keberhasilannya, yaitu :
1. Indikator Input, meliputi jumlah mitra yang menjadi anggota dalam hubungan
kerja sama.
2. Indikator Proses, yaitu kontribusi mitra dalam jaringan partnership, jumlah
pertemuan yang diselenggarakan, jumlah dan jenis kegiatan bersama yang
dilakukan, keberlangsungan partnership yang dijalankan.
3. Indikator Output, yaitu jumlah produk yang dihasilkan, percepatan upaya yang
dilakukan, efektivitas dan efisiensi upaya yang diselenggarakan.
2.3.5. Dimensi Partnership
Dalam partnership secara global terdapat 7 dimensi yang harus diterima
sebelum melakukan partnership, yaitu :
1. Mengenal dan menerima kebutuhan partnership
2. Memberikan kejelasan dan realisme tujuan
4. Menjamin komitmen dan kepemilikan
5. Mengembangkan dan memelihara kepercayaan
6. Membuat rancangan partnership yang kuat dan jelas
7. Mengawasi, mengukur, dan mempelajari
Namun untuk partnership secara lokal, dimensi ini meluas menjadi lebih
terfokus pada kelompoknya. Dimensi tambahan evaluasi partnership lokal
dinyatakan sebagai berikut :
1. Memelihara budaya Partnership pada organisasi dan kelompok
2. Melibatkan secara berarti semua stakeholder yang terlibat
3. Mengembangkan komunikasi efektif
Pada penelitian terdahulu (Halliday et al., 2004), yang merupakan studi
banding evaluasi Partnership di bidang kesehatan, penelitian ini mendapatkan
bahwa keunggulan partnership ada pada 4 dimensi pertama. Ada kesepakatan
bahwa keunggulan tersebut dapat dicapai tanpa penerapan sanksi dan reward yang
tepat. Pada proses penilaian menunjukkan bahwa para responden merasa
organisasi mereka saat ini harus bekerja dengan partnership dengan organisasi lain
untuk mencapai tujuan utama dan hal ini berlaku timbal balik. Responden merasa
bahwa mitra mereka dapat menjamin komitmen yang jelas dari level yang paling
senior di organisasi dan menarik individu baru kedalam jaringan partnership
tersebut. Namun ditemukan pula kelemahan Partnership (partnership). Hal ini
terjadi karena melibatkan semua stake holder yang terkait dalam partnership
secara bermakna. Di mana pada proses penilaian mengungkapkan bahwa individu
dari semua kelompok yang secara relevan terlibat dan stake holder tidak memiliki
akses yang sama terhadap informasi. Banyak kelompok merasa bahwa
keanggotaan formal mereka adekuat tetapi tidak selalu dilibatkan secara nyata
atau dalam persebaran informasi di luar orang yang terlibat langsung. Hal ini
dapat di atasi dengan komunikasi efektif. Pengembangan ini berupa pembagian
system informasi dan transfer data, misalnya adanya arus informasi dua arah
antara manajer senior dengan tingkat paling bawah dan adanya strategi
komunikasi yang mencerminkan kebutuhan informasi dari semua stake holder.
2.3.6. Partnership Pemerintah dengan Swasta
Suatu hasil yang penting dari pengembangan model pemerintahan dari
Pelayanan publik yang baru adalah adanya penekanan di kerja sama (kolaborasi)
dibanding kompetisi antara publik dan sektor swasta. Meski banyak ilmuwan
telah menyampaikan banyak definisi-definisi kerja sama (kolaborasi), masing-
masing yang menekankan prasyarat-prasyarat, proses, atau hasil-hasil dari
hubungan, penggunaan komponen sama dapat ditemukan di dalam berbagai
pendekatan (Gazley, 2007).
Kerja sama (kolaborasi) dengan singkat dapat digambarkan sebagai proses
dimana organisasi-organisasi yang menghadapi suatu masalah kemudian mencari
suatu solusi dimana satu sama lain menentukan sasaran hasil mereka yang tidak
bisa dicapai sendirian (Gazley, 2007). Kolaborasi memerlukan keanggotaan
sukarela dan otonomi (para mitra tetap menetapkan keputusan sendiri bahkan
ketika mereka setuju kepada beberapa aturan bersama), dan mereka
melakukannya dengan mengubah tujuan atau keinginan untuk meningkatkan
kapasitasnya dengan berbagi sumber daya. Berdasarkan definisi umum tersebut,
kolaborasi antara pemerintah dengan organisasi nirlaba akan mengecualikan
hubungan kontrak murni, di mana kewenangan tidak dibagi bersama,
penggabungan organisasi-organisasi tadinya mandiri, dan komisi atau panel yang
bertemu secara teratur tetapi tidak memiliki sasaran spesifik. Pembedaan seperti
ini adalah sesuai dengan unsur-unsur partnership privat publik seperti yang
digambarkan oleh Fosler dan Peters (Gazley, 2007).
Menurut Fosler, kerja sama (kolaborasi) secara umum melibatkan suatu
derajat tingkat yang lebih tinggi dari perencanaan timbal balik dan manajemen
antar panutan-panutan; kelurusan sasaran, strategi, agenda-agenda, sumber daya
dan aktivitas; satu komitmen yang patut dari investasi dan kapasitas; dan
pembagian resiko-resiko, kewajiban dan bermanfaat bagi organisasi-organisasi
yang berkolaborasi. Oleh karena itu, Fosler menyarankan sesuatu yang kurang
dari wewenang dan koordinasi, dan sesuatu yang lebih dari (sekedar) kooperasi
yang diam-diam (Gazley, 2007).
Kerjasama Pelayanan Publik menguraikan suatu privatisasi bentuk negara,
meski istilah itu sering digunakan tanpa satu definisi yang eksplisit. Becker juga
mencatat kebingungan atas definisi dan menyatakan ketiadakjelasan itu sendiri
sudah mencegah Partnerships Pelayanan Publik mendapatkan lebih banyak
keuntungan dari suatu strategi privatisasi. Peters menetapkan 5 kondisi untuk
Partnerships yang menyertakan pemerintah (Grenwood, 2003) yaitu :
1. Mereka melibatkan dua atau lebih para pelaku (organisasi), dimana sedikitnya
satu dari organisasi tersebut adalah publik.
2. Masing-masing dari para pelaku itu dapat menawar atas nama dirinya sendiri
(tidak mengatas namakan organisasi lain).
3. Partnership melibatkan suatu hubungan yang jangka panjang dan kronis (poin
ini akan meniadakan hubungan-hubungan tergantung dari bantuan dana atau
nilai kompetitif dari kontrak-kontrak yang ditanda-tangani).
4. Masing-masing pelaku membuat sumbangan-sumbangan kepada partnership,
yang dapat berupa material (misalnya sumber daya) atau simbolis (misalnya
pembagian otoritas).
5. Semua para pelaku berbagi tanggung jawab untuk hasil yang didapat.
Peters juga mencatat bahwa meskipun formalitas kekuatan partnership ada
pada sasaran (adanya pengaruh dan hasil-hasil, kerjasama pribadi dan publik
dapat memiliki kedua-duanya), dengan dan tanpa manfaat dari suatu persetujuan
atau kontrak yang formal. Peters tidak menyatakan bahwa partnerships selalu
membawa manfaat-manfaat yang sama kepada kedua belah pihak atau bahwa
mereka dapat menghindari permasalahan di dalam kerja sama. Partnerships
tergantung secara kronis pada tingkat prasyarat-prasyarat, termasuk minat dan
peluang untuk kedua belah pihak untuk mendapatkan oleh partnership
(Grenwood, 2003).
2.3.7. Manfaat dan Biaya Kerja Sama Interorganisasional
Sebagian besar literatur yang ada menyatakan bawah kerja sama antar
organisasi mempunyai arti normatif, kooperasi menetapkan sebagai suatu tujuan
dengan sendirinya dan mendiskusikan bagaimana kolaborasi lebih efektif dapat
dicapai (Gazley, 2007). Apa yang diabaikan di dalam diskusi ini adalah adanya
biaya potensi lembaga yang bermitra, biaya-biaya persekutuan-persekutuan
antarorganisasi, yang mungkin menyebabkan ketidak stabilan keuangan,
kesukaran lebih besar dalam mengevaluasi hasil-hasil, dan penggunaan waktu dan
sumber daya lembaga yang mendukung aktivitas kolaboratif (Gazley, 2007).
Singkatnya, kerja sama (kolaborasi) menghasilkan bermacam resiko dan
peluang dan riset komprehensif pada motivasi kolaborasi harus melibatkan kedua
faktor yang memaksa dan mendorong untuk berkerja sama. Para pembangkit
adanya kolaborasi menetapkan satu daftar potensi manfaat kooperasi antar
organisasi, termasuk kemampuannya untuk membagi masalah bersama secara
efektif, potensi untuk menghemat biaya belanja organisasi, pelayanan bermutu
dan hasil akhir yang bias menghasilkan keuntungan kompetitif, akses terhadap
ketrampilan atau pasar yang baru dan penyebaran resiko. Kolaborasi dapat juga
berguna untuk menyelesaikan atau menghindari perselisihan (Gazley, 2007).
Pada sektor nirlaba, kerja sama (kolaborasi) antar organisasi dapat
memperbaiki pelayanan dan membangun citra yang lebih kuat di masyarakat
(Gazley, 2007). Lebih dari itu, terhadap manajer yang publik terkait dengan
tantangan tanggung jawab lebih besar yang terjadi oleh privatisasi dan wujud lain
dari kebijakan pemerintah yang tidak langsung, kerja sama mendukung
argumentasi bahwa aliansiantar sektor dapat mempertanggung jawabkan lebih
baik kepada publik. Tanggung jawab ini dicapai oleh potensi lebih besar
pemerintah yang dilibatkan di dalam persekutuan-persekutuan yang strategis
untuk mencapai sasaran.
Berbagai perspektif pengamatan yang bervariasi terhadap kolaborasi
membantu mengatasi ketidak pastian keuangan dari luar. Pendekatan pada
keuntungan kooperasi antarorganisasi, dengan menekankan kolaborasi atau
menurunkan ketidakpastian, mempunyai kemungkinan ekstensif untuk dijelajahi
di dalam literatur yang tidak mencari keuntungan dan juga dicerminkan di dalam
kerangka-kerangka teoritis yang dibahas sebelumnya (Hasnain at al., 2003).
Beberapa kerangka-kerangka teoritis dalam pengambilan keputusan
strategis pada organisasi membantu menjelaskan daya dorong untuk membentuk
persekutuan antar organisasi. Kerja sama (kolaborasi) dipandang sebagai suatu
perilaku yang diinginkan dan boleh bahkan diperlukan atau yang diharapkan
berpengaruh oleh para pelaku (Hasnain et al., 2003). Bagaimanapun, penelitian
teori Partnership terakhir secara umum menekankan pada cara-cara bagaimana
kolaborasi antar organisasi dapat meningkatkan sumber daya dan menurunkan
biaya (beban) daripada bagaimana kebutuhan aliansi dan persekutuan terhadap
sumber daya, waktu dan tenaga dari mitranya.
2.3.8. Kompleksitas Penerapan Partnership
Permasalahan kesehatan muncul karena terganggunya determinan
kesehatan sehingga perlu dilakukan identifikasi faktor determinan apa saja yang
terkait dengan permasalahan kesehatan tersebut. Dari hasil analisis ini diharapkan
dapat dipetakan hubungan antara masalah kesehatan dengan faktor (determinan)
kesehatan, sehingga penyebab permasalahan kesehatan pada kelompok sasaran di
wilayah masing-masing dapat lebih teridentifikasi. Beberapa faktor determinan
yang langsung mempengaruhi status kesehatan tersebut adalah genes, disease
experience, health and well being of populations, health system influences, global
and ecological perspective, social, cultural and environmental determinants,
gender perspective dan public health perspective (Bealeghole, 2002)
Memperhatikan kompleksnya permasalahan kesehatan serta faktor
determinan kesehatan, tidak mungkin masalah kesehatan dapat diatasi oleh sektor
kesehatan sendiri tanpa melibatkan stakeholder. Untuk mengatasi berbagai
permasalahan kesehatan tersebut perlunya koordinasi baik lintas program maupun
dengan stakeholder terkait melalui mekanisme tertentu sehingga dalam
pelaksanaan kegiatan dapat terpadu. Keterpaduan yang diharapkan meliputi
berbagai aspek mulai dari aspek kegiatan, aspek ketenagaan, aspek pendanaan,
maupun aspek sarana dan prasarana Chu (1994).
Dalam koordinasi tersebut perlu ditetapkan hubungan antara stakeholder
terkait apakah bersifat hubungan vertikal, hubungan horizontal, atau bentuk
komando koordinasi. Adapun alternatif peran yang dapat diambil oleh setiap
stakeholder dalam posisi hubungan partnership adalah peran sebagai :
1. Inisiator, yaitu pemrakarsa partnership dalam rangka sosialisasi dan
operasionalisasi program-program kesehatan
2. Motor atau dinamisator, yaitu penggerak partnership, melalui pertemuan,
kegiatan bersama, dll
3. Fasilitator, yaitu pihak yang memfasiltasi, memberi kemudahan sehingga
kegiatan partnership dapat berjalan lancar
4. Anggota aktif, yaitu anggota yang akan berperan dan terlibat dalam
pelaksanaan kemitraan secara aktif
5. Peserta kreatif, yaitu sebagai peserta kegiatan partnership yang mampu
bertidak secara kreatif
6. Pemasok input teknis, yaitu pemberi masukan teknis (program kesehatan)
7. Pemberi dukungan sumber daya, yaitu pemberi dukungan sumber daya sesuai
dengan kondisi, masalah, dan potensi yang ada
Bila penanganan permasalahan kesehatan yang disertai dengan perbaikan
terhadap faktor determinan kesehatan dilakukan secara sinergis antar stakeholder
terkait maka diharapkan dapat tercapai percepatan efektivitas dan efisiensi kerja
demi terciptanya 11 poin utama Chu (1994).
a. a clean, safe physical environment of high quality (including housing quality)
b. an ecosystem that is stable now and sustainable in the long term
c. a strong mutually supportive and non-exploitive community
d. a high degree of participation and control by the public over the decision
affecting their lives, health and wellbeing
e. the meeting of basic needs for all the city’s people, for food, water, shelter,
income, safety, and work
f. access to a wide variety of experiences and resources, with the chance for wide
variety of contact, interaction and communication
g. a diverse, vital and innovative city economy
h. the encouragement of connectedness with the past, with the cultural, with other
groups and individual
i. a form that is compatible with and enhances the preceding characteristics
j. an optimum level of appropriate public health and sick care services
accessible to all
k. high health status, high levels of positive health and low levels of disease
Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur (2007), sinergitas program
partnership sangat diperlukan untuk merealisasikan Visi dan Misi Jawa Timur
Sehat 2008, dan tidak mungkin hanya dibebankan pada sektor kesehatan saja
karena masalah kesehatan adalah muara dari semua sektor pembangunan.
Dengan adanya partnership antar mitra kerja (stakeholder) terkait maka
diharapkan dapat terjadi :
1. Peningkatan koordinasi dan komunikasi untuk memenuhi kewajiban peran
masing-masing stakeholder terkait dalam pembangunan kesehatan
2. Peningkatan kemampuan bersama dalam menanggulangi masalah yang
berhubungan dengan kesehatan untuk kemashlahatan bersama
Untuk mengetahui peran masing-masing stakeholder dalam pembangunan bidang
kesehatan, perlu disusun suatu perencanaan yang akan mengidentifikasi beberapa
alternatif peran yang dapat dilakukan, yang disesuaikan dengan :
7. Permasalahan kesehatan pada kelompok sasaran yang terkait dengan komitmen global
maupun komitmen nasional
8. Permasalahan kesehatan pada kelompok sasaran yang bersifat lokal spesifik
9. Permasalahan kesehatan yang terkait dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial,
ekonomi, dan budaya
10. Masalah kesehatan yang terkait dengan perilaku yang tidak sehat
11. Masalah kesehatan kelompok tertentu