5
94 NATIONAL GEOGRAPHIC TRAVELER TEKS DAN FOTO OLEH VALENTINO LUIS Ota vendae nus plaut quatur arciis volorem vitatem Uptur am repudae verum conserro cus atiusam quia doluptasit provitatem volla dollitate plique nobitium qui totam que et et quostiorro tenihiciat odit incipit ium sed quo is exerchilia que et aut dolut eris excea porit autestrum re del eici repro DUNIA PATAGONIA

Patagonia (Chile & Argentina) by Valentino Luis for National Geographic Traveler Magazine

Embed Size (px)

DESCRIPTION

National Geographic Traveler, NGT, Nat Geo Traveler, Traveling, Travel Writing, Travel Writer, Travel Photography, Travel Photographer, Valentino Luis

Citation preview

9 4 N a t i o N a l G e o G r a p h i c t r a v e l e r

teks DAN FOtO OLeH VALENTINO LUIS

Ota vendae nus plaut quatur arciis volorem vitatem

Uptur am repudae verum conserro cus atiusam quia doluptasit provitatem volla dollitate plique nobitium qui totam que et et quostiorro tenihiciat odit incipit ium sed quo is exerchilia que et aut dolut eris excea porit autestrum re del eici repro DUNIA

PATAGONIA

9 6 N a t i o N a l G e o G r a p h i c t r a v e l e r

APAKAH PATAGONIA ITU?SEBUAH BENUA YANG HILANG SEPERTI ATLANTIS? SEBUAH PULAU YANG TERSEMBUNYI? SEBUAH NEGARA YANG MASIH MEMPERJUANGKAN EKSISTENSINYA? ATAUKAH, SEBUAH KOTA PELESIR YANG BARU TERCIPTA?

Agnis est faces dolenis elit re lignist atia delis

autas dem ni cus, si nulpa cones dolore escius

doloreperia delibusa coreperspic temquae plit

od que ipsam inctotatio qui totatque de nimpedita idunt eatquam a di officit

iissum nostrum aut

Sederet pertanyaan itu menyeruak di dalam benak. Saya ingat betul terhadap peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu. Ketika itu, saya dengan penuh rasa ingin tahu membolak-balik atlas, lalu mengamati dengan saksama halaman demi halamannya.Namun, tak berapa lama kemudian, saya menggeleng lunglai.Saya melipat tangan dan menatap lekat guru geografi sekolah.Seolah menuntut penjelasan dari orang yang telah menyusupkan kata ‘Patagonia’ ke dalam otak saya.

“Jika Abrakadabra merupakan kata sakti bagi pesulap, maka Patagonia adalah kata keramat untuk seorang petualang.” Guru geografi saya memberikan jawaban singkatnya. Dia menyitir kalimat novelis Bruce Catwin untuk memanasi khayalan kami, anak-anak muridnya.

Waktu cepat berlalu. Serangkaian kata yang terlontar guru geografi itu masih terpatri dalam pikiran.

Saya pun dapat mengerti mengapa kalimat Bruce Catwin dan gelora sang pengajar tadi telah mampu mengantarkan saya kepada mimpi menjelajahi tanah berjuluk Land of The Wind ini. Jawaban itu saya dapatkan saat mendarat di bandar udara El Calafate, Santa Cruz, Argentina. Di tempat itu, mata saya tertumbuk pada sebaris kalimat yang tertera di sebuah papan: Bienvenido a la Patagonia.

patagonia memang bukanlah benua, pulau, negara, maupun kota. Ia merupakan sebuah wilayah yang diringkas karena keistimewaan lanskap. Pemilik teritori ini adalah dua negara, Cili dan Argentina. Itu sebabnya, saya paham apabila kata ‘Patagonia’ jarang tercetak pada atlas kebanyakan. Tempat ini berhulu di bagian selatan Pegunungan Andes dan berujung di

S e p t e M B e r 2 0 1 3 99

kuku-kuku kaki daratan Amerika, tempat Samudra Pasifik dan Atlantik bertemu.

Secara geopolitik, Patagonia mencakup lima provinsi Argentina dan tiga provinsi Cili. Ferdinand Magellan, petualang Portugal yang merambah selatan Amerika pada awal abad ke-16, telah menggagas pemetaan dan penamaan Patagonia. Ia mengambil kata patagão, yang bermakna tanah manusia raksasa. Magellan menyematkan nama itu atas tanah temuannya setelah berjumpa suku asli Tehuelches yang konon bertubuh gigantis. Antonio Pigefetta, pengikut Magellan, kemudian mengkonversinya ke dalam lafal Italia. Jadilah, “Patagonia”.

Penjelajahan Patagonia initidak saya lakukan seorang diri.Ada tiga rekan asal Jerman (Chris Braun, Hans Richter, dan Sebastian Schulze) yang menemani. Kami bersepakat untuk menempuh jalur-jalur legendaris dengan bersepeda motor. Kisah-kisah para petualang sebelumnya telah mampu membakar dopamin kami hingga akhirnya memilih motor.

kami melaju pada subuh hari keempat. Persiapan kami selama tiga hari dirasakan cukup untuk memulai perjalanan panjang itu. Di El Calafate, kota yang menjadi magnet para pejalan dari berbagai negara, menjadi tempat spesial awal penjelajahan. Di sini, kami menghabiskan waktu untuk merakit komponen sepeda motor—yang kami bawa dari Jerman.Kami juga mempelajari dengan saksama peta (informasi rute, pompa bensin, lokasi berkemah, dan lainnya), mencermati prakiraan cuaca, dan mengumpulkan segala informasi selama perjalanan.

Sasaran awal kami adalah Los Glaciares—taman nasional yang telah mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia sejak 1981. Gletser abadi menyelimuti kawasan lindung itu.Perhatian dunia memang telah tersedot ke Los Glaciares. Sebab, selain menjadi salah satu lokasi dari tiga tempat di Bumi dengan tumpukan es terluas (Greenland dan Antartika), gletser di sini berada di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut. Sementara, di belahan bumi lain, gletser rata-rata baru dapat kita jumpai di

atas ketinggian 2.500 meter.Tak hanya bongkahan es yang menghampar, Los Glaciares

mendapatkan anugerah lain berupa tutupan hutan—yang menjadi tempat hidup berbagai jenis fauna. Saya membayangkan betapa asyiknya apabila bermalam di tengah rimba. Namun, Lago Argentino, telaga biru yang berpijar keperakan, yangakhirnya menjerat kami untuk mendirikan kemah di dekatnya. Dingin memompa cairan bening meleleh dari hidungku, tapi siapa peduli jika di depannya tersaji pemandanganluar biasa danau beserta lekuk-lekuk gunung nan indah?

Menurut catatan, Taman Nasional Los Glaciares menyimpan 247 gletser, baik berukuran besar maupun kecil. Selusin diantaranya berhasil mengalir mencapai Samudra Atlantik.Kami menyinggahi Perito Moreno, gletser paling populer. Lebar gletser kurang lebih lima kilometer. Bongkahan es itu amat mudah kita lihat dari sudut ke sudut lantaran pengelola kawasantelah membuatkan anjungan lapang, lengkap dengan walking circuit.

Alih-alih bergabung dengan puluhan orang disana, kami langsung menumpang kapal turdemi sensasi intimasi. Kami terapung di tengah pecahan gletser dan berhadapan muka dengan tebing es—yang tingginya sekira Monumen Nasional Jakarta.Dikelilingi alam semegah ini, pelan tapi pasti saya mulai menyadari kekecilan kami di Patagonia.

namanya, guillermo rojas. Ia adalah warga setempat yang menjadi kenalan Chris Braun. Guillermo mengundang kami singgah ke peternakannya di El Chalten.Tentu saja, undangan itu

bak gayung bersambut. Kami pun beranjak menuju kawasan utara Los Glaciares itu, setelah berkemah selama dua malam di dekat Lago Argentino.

Kami membutuhkan waktu sekitar empat jam untuk berpindah dari taman nasional yang begitu luas ini. Jalanan menuju El Chalten lumayan mulus dan sedikit sekali kelokan.Dalam hati, diam-diam saya khawatir akan sugesti perjalanan berdurasi lama pada rute lurus bervista monoton seperti ini: menyenangkan di seratus menit pertama tapi sesudahnya membosankan.

Tanpa terasa, perjalanan sudah melewati separuh masa.Pada saat bersamaan panorama menawan kembali bermunculan, satu per satu. Kami mengaso di La Leona, restoran tepi jalan, tempat singgah favorit para pejalan.

Usai menyesap cokelat hangat, saya dan ketiga rekan Jerman meneruskan perjalanan.Memilih jalan kecil, kami

menyusuri bantaran sungai berhiasakan deretan air terjun kecil. Kami berupayamengejar momen matahari tenggelam di balik bayangan jauh gunung Cerro Torre dan Fitz Roy.

Angkasa telah menggelap begitu kami tiba di El Chalten. Setengah berlari,seorang bocah laki-laki menyongsong sorotan lampu sepeda motor kami di gerbang pagar rumah. Temannya,

BONGKAHAN ES ITU AMAT MUdAH KITA LIHAT dARI

SUdUT KE SUdUT LANTARAN AdA

ANJUNGAN LAPANG.

Bo. Obis cus et, int poris ratquate eaque volorum fugiand ersperr uptibus ditem. Nequi im veniae. Neque occuptat estruptaque odit autem. Otati omnihicia quis dolor moluptius, quam aciatibus volupta ssunt, aborior sit quo quo odi omnihitestor simpore ptatem iur mod explit unt ipsum

Batas ProvinsiIbukota ProvinsiO

O

O

O

O

O

O

O

O

O

O

O

O

O

OO

O

O

O

O

O

O

Ushuaia

Cochrane

CoihaiqueSarmiento

Rio Verde

Rio Grande

El Calafate

Rio Gallegos

Punta Arenas

Puerto Aisen

Perito Moreno

Paso Rio Mayo

Puerto Deseado

Puerto Natales

Puerto Williams

Villa O'Higgins

28 de Noviembre

Puerto San Julian

Comodoro Rivadavia

GobernadorGregores

Comondante Luis Piedrabuena

S a n t a C r u z

Chubut

A i sen

Ma

ga

l l an

es y A

nt á

r t i c a Ch i l e n a

S a n t a C r u z

Ma

ga

l l an

es y A

nt á

r t i c a Ch i l e n a

A i sen

Chubut

Tierra del Fuego

Tierra del Fuego

TN. TORRES DEL PAINE

TN. LOS

GLACIARES

Cerro Torre3.128m

SA

MU

DR

A P

AS

IF

IK

SA

MU

DR

A A

TL

AN

TIK

TN. TORRES DEL PAINE

TN. LOS

GLACIARES

AMERIKASELATAN

AREADIPERBESAR

BUENOS AIRES

ARGENT INA

C I L I

0 150

Km

U

S e p t e M B e r 2 0 1 3 1011 0 0 N a t i o N a l G e o G r a p h i c t r a v e l e r

anjing hitam jenis Mountain Cur mengibaskan ekor secara bergilir ke kaki kami.Ayah sang bocah, tak lain Guillermo, muncul dengan tegap dari belakang. Ia memeluk Chris terlebih dahulu sebelum mengguncang lengan saya dengan satu ucapan yang mengagetkan, “Hallo Indonesia, appa khabarrr…?!”

Keluarga Guillermo boleh dibilang keluarga petualang sejati.Ia menghabiskan masa muda dengan berkelana. Ayahnya yang berusia 77 tahun, baru kembali dari ekspedisi kapal berbulan-bulan di Skandinavia (dia membawa pulang selusin baju hangat dari sana, katanya).Martin,putranya, 15 tahun, sudah berani pergi tanpa orang tuanya ke beberapa negara. Sang istri menyukai hal-hal berkaitan dengan situs-situs kuno seperti kuil atau candi.

“Sekarang kau tahu kenapa saya bisa ber-appa khabarr denganmu. Karena kesukaan istriku tersebutlah menuntun kami ke stupa-stupa Borobudur dan sejumlah candi di Jawa. Negerimu indah sekali. Bahasa kalian lucu, kupu-kupu, ubur-ubur. Apalagi penduduknya, amat ramah, memperlakukan kami laiknya selebritas,” tutur Guillermo bersemangat. Saya paham maksud kalimat terakhir ‘memperlakukan kami laiknya selebritas’ itu.

Guillermo menganugerahi kami previledge untuk menempati pondok kecil di sebelah rumahnya selama yang kami mau. Ia juga mengembangkan peternakan kuda. “Kesamaan dalam keluarga kami ialah kecintaan terhadap kuda.” Oh, ini keluarga keren, saya juga mencintai hewan itu! Saya mengira tanah beserta bangunan ini warisan ayahnya, ternyata ia membelinya setahun silam.Beberapa orang akan berpikir itu ide sinting jika tahu bahwa pasangan muda ini meninggalkan karir politik yang cemerlang di Buenos Aires untuk menjalani kehidupan bersahaja di pegunungan.

Api unggun menghangatkan acara berbagi kisah hingga larut malam. Guillermo memamerkan seri foto formasi-formasi unik pecahan gletser hasil bidikannya yang membuat saya menelan air liur berulang kali saking uniknya. Ia memberi judul “Dunia Es Patagonia”. Selusin bir Antares pun tandas. Begitu pemilik rumah pamit, tiga teman saya menggelar Grobhäusern—permainan kartu a la Jerman—di atas meja dan berbagi sebotol wiski pemberian ayah Guillermo.

Rio de las Vueltas, sungai di belakang pondok menggoda saya untuk mencelupkan kaki saat malam hari. Ampun dinginnya! Ups, saya lupa kalau ini sebagian kecil ‘Dunia Es Patagonia’.

keesokan hari kami melakukan eksursi ke Cerro Torre dan nantinya berlanjut ke Fitz Roy.(Maksud saya, trekking ke kaki gunung, bukan mendaki menuju puncaknya karena, jujur saja, tingkat kemampuan panjat kami sangat jauh dibanding kegagahan pilar-pilar batu itu).

Cerro Torre adalah batu menjulang yang menakjubkan dan menjadi incaran para pemanjat kaliber dunia. Pendaki Swiss Stefan Siegrist mendaki dinding berlapis embun beku nan berbahaya di pegunungan setinggi 3.100 meter jarang berhasil didaki orang. Setelah berminggu-minggu menghadapi gunung dan cuaca brutal yang hampir selalu menyelimutinya, tim beranggotakan empat orang itu merampungkan pendakian musim dingin pertama dari sisi barat.

“Ada banyak anak sungai di sana. Tanpa dimasak pun kemurnian airnya tak usah diragukan untukkalian minum,” pesan

Guillermo melihat saya sibuk mengisi kantung air. Sepanjang jalan kami berpapasan dengan para pendaki lain. El Chalten adalah basis bagi pemanjat yang ingin menguji nyali. Kota ini tergolong ini baru. El Chalten sengaja dibentuk sebagai klaim Argentina atas wilayah ini taktala merebak isu pencaplokan oleh Cili tahun 1985. Komunitas-komunitas pencinta gunung tumbuh bak jamur.

Secara umum ada empat arah pendakian utama. Semuanya berakhir di danau (lago). Paling selatan ke Lago Tunel, arah kedua ke Lago Torre. Bagian tengahke Lago de los Tres, dan terakhir Lago Electrico di utara. El Chalten boleh kecil namun disini terdapat 12 danau biru nan cantik menghadap ke gunung-gunung cadas, yang jika hendak ditilik satu per satu danaunya, kami harus memangkas setidaknya tiga minggu jatah waktu petualangan.

Empat jam trekking dibutuhkan untuk menggapai Lago Torre. Dari sini pandangan berfokus ke gunung Cerro Torre.Pilar-pilar tombaknya bagaikan monumen atau malah lebih tepatnya menyerupai deretan menara pencakar langit. Gletser di kakinya turun lalu mendadak buntu di danau. Selang beberapa tempo, kabut datang bagai orang menarik layar panggung opera. Sreeettt…. Seketika semua memutih. Gerimis turut turun.

“Bagaimana nasib mereka yang menjejaki gletser tadi?” saya bertanya.Kami memang tidak sendirian. Ada sekelompok orang mendahului kami tadi dan terus melaju, naik meninggalkan danau

“Mereka akan baik-baik saja. Ini fenomena sehari-hari. Mereka

RIO dE LAS vUELTAS

MENGGOdA SAYA UNTUK

MENCELUPKAN KAKI SAAT

MALAM HARI.

Xxxngit-langit penuh bintang Hotel Shangri-la yang dibuka pada 1939 merepresentasikan aura kehebatan dan gemerlap Hollywood, daya tarik yang terpancar kuat dari papan ikonik “Hollywood.” dan gemerlap Hollywood, daya tarik yang terpancar kuat dari papan ikonik “Hollywood.”

S e p t e M B e r 2 0 1 3 1031 0 2 N a t i o N a l G e o G r a p h i c t r a v e l e r

tahu hal itu,” balas Sebastian. Ia menyodorkan teropong kecilnya ke saya. “Lihatlah ke bawah sana. Kabut juga menutupi rute yang kita lalui sebelumnya,” lanjutnya. Astaga, kami terkepung kabut?

Hingga petang, mata saya tak menangkap rupa Cerro Torre lagi. Kami melakukan ritual kemah seperti sebelumnya. Chris bernarasi perihal gunung ini, soal misteri, serta peristiwa eksplorasi Cerro Torre nan kontroversial. Saya mendengarkannya saksama.

Dengan sedih kami meninggalkan tepi danau hari berikutnya. Hingga lirikan terakhir, Cerro Torre hanya mau memunculkan siluet hilang muncul, menegaskan bahwa ia benar-benar sukar dijamah. Alam memegang kuasanya sendiri, ia tak tunduk pada perhitungan geofisika manusia. Tak apa, perkemahan Rio Blanco, tujuan kami selanjutnya, menumbuhkan harapan untuk menengok pilar-pilar kokoh lainnya, Fitz Roy.

di tepi garis pantai, Seno Última Esperanza berdirilah Puerto Natales, pintu gerbang menuju jantung Patagonia-nya Cili. Tak ada perbedaan besar antarasuasana kota ini dengan kota-kota yang telah kami lalui sebelumnya, malah terkesan kaku. Saya melenggang dongkol sebab meskipun urusan izin masuk sudah ditangani di Santiago—ibu kota Cili—dalam jeda penerbangan ke El Calafate, namun kali ini peraturan lain harus kami patuhi lagi, semisal menanggalkan beberapa bekalyang kami bawa dari Argentina.Chili ketat mengontrol apapun yang dibawa pendatang, makanan ringan sekalipun.

Seandainya ketiga rekan saya tidak mengemban ‘misi’ di Puerto Natales, kami dapat menempuh jalur yang lebih singkat, melalui Cerro Castello, kemudian tembus ke Torres del Peine, incaran kami sesungguhnya.

Misi yang diemban berkaitan dengan Hans Richter, anggota tertua dalam kuartet perjalanan ini. Hans hendak bersua dengan sanak saudaranya yang bermigrasi puluhan tahun dari Jerman ke Puerto Natales. Sebentuk perjalanan saga, menyambungkan jalinan darah yang tercerai. Saya baru tahu bahwa setengah dari warga kota ini adalah imigran Jerman. Tahun 1845 Cili merilis hukum keimigrasian yang membolehkan warga kelas menengah dari negara asing menempati wilayah selatan. Dikatakan lebih dari 6000 keluarga Jerman memanfaatkan kesempatan itu.Migrasi warga Negeri Panzer bertambah ketika Perang Dunia II meletus, dimana gerombolan orang melarikan diri dari kejaran pasukan Hitler. Keluarga besar Hans ikut, hanya ibunya yang janda tertinggal. Hans masih dalam kandungan.

perjalanan berlanjut. Kami menderu melepaskan Puerto Natales.Jalan lurus, lalu berliku naik turun dibumbui kerikil berdebu,lahan kosong silih berganti memaparkan diri, perlahan mendekatkan kami pada pegunungan Torres del Peine. Harus diakui, pemandangan pegunungan Menara-Menara Biru (arti nama Torres del Peine) tiada taranya. Kami berhenti berulang kali untuk mengambil gambar sepanjang sungai Rio Paine.

“Ini bisa jadi satu dari alur berkendaraan paling mengagumkan dalam hidup saya,” Chris berkomentar, terpana pada kawanan Guanaco, mamalia menyerupai unta mini khas Amerika Selatan yang khusuk merumput di atas tanah merah.Kuda-kuda liar acap mencegat laju kami di kaki bukit, mempertontonkan perlombaan adu cepat antar mereka dengan angin.Saya bisa melihat cuplikan film klasik, orang-orang bersenjata seperti Butch Cassidy dan Sundance Kid, yang berkendaraan dari Ohio ke Patagonia hanya untuk merampok bank di perairan Rio Gallegos. Pelintasan ini merupakan surga bagi pemimpi, bentangan kertas untuk diisi catatan idealis serta revolusioner.

Berada di ketinggian 2.850 meter dan menguasai 181 hektar, Taman Nasional Torres del Peine tak keliru disebut primadona kebanggaan Cili. UNESCO telah menyematkan statusSitus Warisan Dunia pada tempat ini. (Penetapan ini tiga tahun lebih awal dibandingkan Los Glaciares). Lidah-lidah granit pipih pada puncak pegunungannya menyerupai tanduk rusa kutub. Disini juga terdapat Glacier Grey, gletser besar saingan Perito Moreno. Bayangkan seandainya Los Glaciares sukses dijaring pada pertengahan tahun 80-an, Cili pastinya lebih bermega-mega.

Cuaca baik memberi andil. Saking terpukaunya, kami berkemah nomaden selama sepekan lebih. Dalam kondisi alam sesempurna ini, saya pikir siapa pun akan melakukan hal yang sama, bahkan waktu selama itu pun belumlah cukup.

Mendaki, mendaki, dan mendaki. Mula-mula di Lago Pehoe dengan perkemahan Campamento Italianosebagai markas dimana pemandangan spektakuler Valle Frances membuka mataku sepanjang hari.Mendaki lereng lembah, tanpa perlu mencapai titik ujungnya, saya berulang kali menahan diri untuk tidak hiperbolis karena vista alamiah tempat ini telah membunuh kata-kata.Menyusul pindah ke Refugio Los Cuernos, kemudian Las Torres.

Di Chileno kami menikmati warna merah matahari pagi

menimpah menara-menara gunung, yang melahirkan ikrar untuk menggapai Mirrador del Torres, titik pengamatan terdekat, sesulit apapun.Tak ada kecanggungan, gaya amatiran kami, dengan topi tentara Jepang dan sepatu jogging, punya hak setara para pejalan lain yang tampil ciamik dengan topi-syal berbahan wol dan sepatu lars khusus pendakian. Kami tidak mempermasalahkan jika nantinya diterjang angin atau harus duduk kaku di atas batu es karena membawa barang seadanya. Kami juga tidak terlalu mempersoalkan, apakah beberapa hari ini sudah turut terseret ke ‘W’ Circuit, jalur pendakian yang terkenal itu, atau justru menciptakan ‘Z’ Circuit, zig-zag laksana torehan sang jagoan pedang Zorro.

“tidak ada akhir yang kami bila belum merayakannya di titik paling akhir, bukan?” Chris berseru sambil membuka tutup botol anggur Malbec. Kami berada di Avenida Maipu, di Ushuaia—kota yang digadang sebagai End of The World, Ujung Dunia. Saya, Hans, dan Sebastian sontak mengerenyitkan kening. “Oh, maaf, maksud saya, akhir dari bab awal perjalanan kita,” sambung Chris disusul gelak tawa.

Perjalanan kami memang baru menyelesaikan babak pertama.

Xxxxit penuh bintang Hotel Shangri-la yang dibuka pada 1939 merepresentasikan aura kehebatan dan gemerlap Hollywood, daya tarik yang terpancar kuat dari papan ikonik “Hollywood.”

Kembali dari Torres del Peine, kami mengunjungi Punta Arenas untuk menyaksikan eksebisi yang berkenaan dengan Ferdinand Magellan. Disana kami bersua sepasang pejalan Austria yang berencana melanjutkan trip bersepeda ke Bolivia, sama seperti rencana kami. Semangat kami pun kian terlecutkan.

Untuk saat ini, kami telah membebaskan diri dari kungkungan mimpiakan Patagonia. Semua persis seperti yang dituturkan Aime Tschiffely dalam bukunya Journey Through Patagonia; dengan gunung-gunung granit kukuh, jalan merah berdebu yang nyaris tiada akhir, dataran yang tersapu angin, sungai-danau biru nan bening, gletser beku, dan koloni hewan-hewan liar, tanah ditulang ekor Amerika ini telah menjadi ‘santapan’ kami sepanjang hari, siang dan malam.

Sungguh benarlah Bruce Catwin, Patagonia adalah kata keramat untuk para kelana. Seorang novelis lainnya menulis bahwa termonopoli panorama permai nan bisu, siapapun bakaltersihir menjadi kecil disini. Dia juga betul, saya dan teman-teman tak ubahnya sekuartet Elf yang bersepeda mencari pati di dunia makhluk gargantuan, dunia Patagonia.

Saya pun telah membuktikan dunia itu, yang pada masa bersekolah dulu menimbulkan pertanyaan kepada sang guru.