Click here to load reader
Upload
august-gurniwa
View
31
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Patofisiologi Nyeri
A. Defenisi Nyeri
IASP (International Association for the Study of Pain) memberikan definisi Nyeri sebagai
“unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential damage, or
discribe in terms of such damage. And pain is always subjectif. Each indifidual learns the
application of the word through experience related injury in early life”. Definisi ini
menggambarkan nyeri sebagai pengalaman yang kompleks menyangkut multidimensional.
Definisi diatas mengandung dua poin penting, yaitu bahwa secara normal nyeri dianggap sebagai
indikator sedang atau telah terjadinya cedera fisik. Namun tidak berarti bahwa pasti terjadi
cedera fisik dan intensitas yang dirasakan dapat jauh lebih besar dari cedera yang dialami. Yang
kedua bahwa komponen kognitif, emosional dan tingkah laku dari nyeri dipengaruhi oleh proses
belajar dari pengalaman yang lalu tentang nyeri baik yang dialami ataupun yang orang lain
alami.
B. Klasifikasi Nyeri
Penggolongan nyeri yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan satu dimensi yaitu
berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun berdasarkan durasinya (nyeri akut vs
kronik).
1. Nosiseptik vs Neuropatik
Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptik dan nyeri neuropatik. Nyeri
nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh adanya stimuli noksius (trauma, penyakit atau
proses radang). Dapat diklasifikasikan menjadi nyeri viseral, bila berasal dari rangsangan pada
organ viseral, atau nyeri somatik, bila berasal dari jaringan seperti kulit, otot, tulang atau sendi.
Nyeri somatik sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu superfisial (dari kulit) dan dalam
(dari yang lain).
Pada nyeri nosiseptik system saraf nyeri berfungsi secara normal, secara umum ada hubungan
yang jelas antara persepsi dan intensitas stimuli dan nyerinya mengindikasikan kerusakan
jaringan. Perbedaan yang terjadi dari bagaimana stimuli diproses melalui tipe jaringan
menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik. Sebagai contoh nyeri somatik superfisial
digambarkan sebagai sensasi tajam dengan lokasi yang jelas, atau rasa terbakar. Nyeri somatik
dalam digambarkan sebagai sensasi tumpul yang difus. Sedang nyeri viseral digambarkan
sebagai sensasi cramping dalam yang sering disertai nyeri alih (nyerinya pada daerah lain).
Nyeri neuropatik adalah nyeri dengan impuls yang berasal dari adanya kerusakan atau disfungsi
dari sistim saraf baik perifer atau pusat. Penyebabnya adalah trauma, radang, penyakit metabolik
(diabetes mellitus, DM), infeksi (herpes zooster), tumor, toksin, dan penyakit neurologis primer.
Dapat dikategorikan berdasarkan sumber atau letak terjadinya gangguan utama yaitu sentral dan
perifer. Dapat juga dibagi menjadi peripheral mononeuropathy dan polyneuropathy,
deafferentation pain, sympathetically maintained pain, dan central pain.
Nyeri neuropatik sering dikatakan nyeri yang patologis karena tidak bertujuan atau tidak jelas
kerusakan organnya. Kondisi kronik dapat terjadi bila terjadi perubahan patofisiologis yang
menetap setelah penyebab utama nyeri hilang. Sensitisasi berperan dalam proses ini. Walaupun
proses sensitisasi sentral akan berhenti bila tidak ada sinyal stimuli noksius, namun cedera saraf
dapat membuat perubahan di SSP yang menetap. Sensitisasi menjelaskan mengapa pada nyeri
neuropatik memberikan gejala hiperalgesia, alodinia ataupun nyeri yang persisten.
Nyeri neuropatik dapat bersifat terus menerus atau episodik dan digambarkan dalam banyak
gambaran seperti rasa terbakar, tertusuk, shooting, seperti kejutan listrik, pukulan, remasan,
spasme atau dingin. Beberapa hal yang mungkin berpengaruh pada terjadinya nyeri neuropatik
yaitu sensitisasi perifer, timbulnya aktifitas listrik ektopik secara spontan, sensitisasi sentral,
reorganisasi struktur, adanya proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme inhibisi dari sentral
yang normal menghilang, serta terjadinya gangguan pada koneksi neural, dimana serabut saraf
membuat koneksi yang lebih luas dari yang normal.
2. Akut vs Kronik
Nyeri akut diartikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang kompleks berkaitan dengan
sensorik, kognitif dan emosional yang berkaitan dengan trauma jaringan, proses penyakit, atau
fungsi abnormal dari otot atau organ visera. Nyeri akut berperan sebagai alarm protektif terhadap
cedera jaringan. Reflek protektif (reflek menjauhi sumber stimuli, spasme otot, dan respon
autonom) sering mengikuti nyeri akut. Secara patofisiologi yang mendasari dapat berupa nyeri
nosiseptif ataupun nyeri neuropatik.
Nyeri kronik diartikan sebagai nyeri yang menetap melebihi proses yang terjadi akibat
penyakitnya atau melebihi waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan, biasanya 1 atau 6 bulan
setelah onset, dengan kesulitan ditemukannya patologi yang dapat menjelaskan tentang adanya
nyeri atau tentang mengapa nyeri tersebut masih dirasakan setelah proses penyembuhan selesai.
Nyeri kronik juga diartikan sebagai nyeri yang menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan
sehari-hari, tidak memiliki fungsi protektif, serta menurunkan kesehatan dan fungsional
seseorang. Penyebabnya bermacam-macam dan dipengaruhi oleh factor multidimensi, bahkan
pada beberapa kasus dapat timbul secara de novo tanpa penyebab yang jelas. Nyeri kronik dapat
berupa nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik ataupun keduanya.
Nyeri kronik sering di bagi menjadi nyeri kanker (pain associated with cancer) dan nyeri bukan
kanker (chronic non-cancer pain, CNCP). Banyak ahli yang berpendapat bahwa nyeri kanker
diklasifikasi terpisah karena komponen akut dan kronik yang dimilikinya, etiologinya yang
sangat beragam, dan berbeda dalam secara signifikan dari CNCP baik dari segi waktu, patologi
dan strategi penatalaksanaannya. Nyeri kanker ini disebabkan oleh banyak faktor yaitu karena
penyakitnya sendiri (invasi tumor ke jaringan lain, efek kompresi atau invasi ke saraf atau
pembuluh darah, obstruksi organ, infeksi ataupun radang yang ditimbulkan), atau karena
prosedur diagnostik atau terapi (biopsy, post operasi, efek toksik dari kemoterapi atau
radioterapi).
C. Mekanisme Dasar Nyeri
Mekanisme dasar terjadinya nyeri adalah proses nosisepsi. Nosisepsi adalah proses penyampaian
informasi adanya stimuli noksius, di perifer, ke sistim saraf pusat. Rangsangan noksius adalah
rangsangan yang berpotensi atau merupakan akibat terjadinya cedera jaringan, yang dapat berupa
rangsangan mekanik, suhu dan kimia. Bagaimana informasi ini di terjemahkan sebagai nyeri
melibatkan proses yang kompleks dan masih banyak yang belum dapat dijelaskan.
Deskripsi makasnisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan dengan empat proses yaitu
transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Pengertian transduksi adalah proses konversi
energi dari rangsangan noksius (suhu, mekanik, atau kimia) menjadi energi listrik (impuls saraf)
oleh reseptor sensorik untuk nyeri (nosiseptor). Sedangkan transmisi yaitu proses penyampaian
impuls saraf yang terjadi akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat. Persepsi merupakan
proses apresiasi atau pemahaman dari impuls saraf yang sampai ke SSP sebagai nyeri. Modulasi
adalah proses pengaturan impuls yang dihantarkan, dapat terjadi di setiap tingkat, namun
biasanya diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap proses di kornu
dorsalis medulla spinalis.
Nociceptor:
Sensor elemen yang dapat mengirim signal ke CNS akan hal–hal yang berpotensial
membahayakan. Sangat banyak dalam tubuh kita, serabut-serabut afferentnya terdiri dari:
1. A delta fibres, yaitu serabut saraf dengan selaput myelin yang tipis.
2. C fibres, serabut saraf tanpa myelin.
Tidak semua serabut-serabut tadi berfungsi sebagai nosiseptor, ada juga yang bereaksi terhadap
rangsang panas atau stimulasi mekanik. Sebaliknya nosiseptor tidak dijumpai pada serabut-
serabut sensory besar seperti A Alpha, A Beta atau group I, II. Serabut-serabut sensor besar ini
berfungsi pada “propioception” dan “motor control”.
Nociceptor sangat peka tehadap rangsang kimia (chemical stimuli). Pada tubuh kita terdapat
“algesic chemical” substance seperti: Bradykinine, potassium ion, sorotonin, prostaglandin dan
lain-lain.
Subtansi P, suatu neuropeptide yang dilepas dan ujung-ujung saraf tepi nosiseptif tipe C,
mengakibatkan peningkatan mikrosirkulasi local, ekstravasasi plasma. Phenomena ini disebut
sebagai “neurogenic inflammation” yang pada keadaan lajut menghasilkan noxious/chemical
stimuli, sehingga menimbulkan rasa sakit.
Deregulasi Sistem Motorik yang Menyebabkan Rasa Sakit
Kita ketahui hypertonus otot dapat menyebabkan rasa sakit. Pada umumnya otot-otot yang
terlibat adalah “postural system”. Nosiseptif stimulus diterima oleh serabut-serabut afferent ke
spinal cord, menghasilkan kontraksi beberapa otot akibat “spinal motor reflexes”. Nosiseptif
stimuli ini dapat dijumpai di beberapa tempat seperti kulit visceral organ, bahkan otot sendiri.
Reflek ini sendiri sebenarnya bermanfaat bagi tubuh kita, misalnya “withdrawal reflex”
merupakan mekanisme survival dari organisme.
Disamping berfungsi tersebut, kita juga sadari bahwa kontraksi-kontraksi tadi dapat
meningkatkan rasa sakit, melalui nosiseptor di dalam otot dan tendon. Makin sering dan kuat
nosiseptor tersebut terstimulasi, makin kuat reflek aktifitas terhadap otot-otot tersebut. Hal ini
akan meningkatkan rasa sakit, sehingga menimbulkan keadaan “vicious circle”, kondisi ini akan
diperburuk lagi dengan adanya ischemia local, sebagai akibat dari kontrksi otot yang kuat dan
terus menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat sebagai akibat dari disregulasi system
simpatik.
Pada gambar 1, terlihat input serabut afferent dan organ visceral, kulit, sendi, tendons, otot-otot
atau impuls dan otak yang turun ke spinal dapat mempengaruhi rangsangan (exitability) dan
alpha dan gamma motorneurons yang berakibat kontraksi otot (muscle stiffness), misalnya
meningkatkan input nosiseptif dari viscus abdominalis akan meningkatkan tonus otot-otot
abdomen. Atau input nosiseptif dari sendi kapsul dapat meningkatkan “reflex excitability” dan
beberapa otot-otot antagonis yang bersangkutan dengan pergerakan sendi tersebut sehingga hal
ini dapat memblok sendi tersebut, disebut juga sebagai “neurogenic block”. Pengaruh yang
paling besar berasal dari otak, stress dan emosi dapat mengakibatkan “descending excitatory
pathways”, sehingga merangsang peningkatan reflek dari otot-otot postural.
Perasaan nyeri tergantung pada pengaktifan serangkaian sel-sel saraf, yang meliputi reseptor
nyeri afferent primer, sel-sel saraf penghubung (inter neuron) di medulla spinalis dan batang
otak, sel-sel di traktus ascenden, sel-sel saraf di thalamus dan sel-sel saraf di kortek serebri.
Bermacam-macam reseptor nyeri primer ditemukan dan memberikan persarafan di kulit, sendi-
sendi, otot-otot dan alat-alat dalam pengaktifan reseptor nyeri yang berbeda menghasilkan
kuatitas nyeri tertentu. Sel-sel saraf nyeri pada kornu dorsalis medulla spinalis berperan pada
reflek nyeri atau ikut mengatur pengaktifan sel-sel traktus ascenden. Sel-sel saraf dari traktus
spinothalamicus membantu memberi tanda perasaan nyeri, sedangkan traktus lainnya lebih
berperan pada pengaktifan system kontrol desenden atau pada timbulnya mekanisme motivasi-
afektif.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa thalamus lebih berperan dalam sensasi nyeri
dibandingkan daerah kortek serebri (willis WD, 1995). Meskipun demikian penelitian-penelitian
lain membuktikan peranan yang cukup berarti dan kortek serebri dalam sensasi nyeri. Struktur
diensepalik dan telesepalik seperti thalamus bagian medial, hipotalamus, amygdala dan system
limbic diduga berperan pada berbagai reaksi motivasi dan afektif dari nyeri.