Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
ii
KATA PENGANTAR
Belum optimalnya kualitas penyelenggaraan penanggulangan bencana
baik sebelum (pra bencana), pada saat (tanggap darurat bencana) maupun
sesudah terjadinya bencana (pasca bencana) yang disebabkan antara lain oleh
kurangnya kapasitas masyarakat dan aparatur, sarana prasarana serta upaya
pencegahan dan kesiapsiagaan. Selain itu Negara mempunyai kewajiban untuk
melakukan perlindungan, keselamatan dan pelayanan kebutuhan dasar
warganya. Undang-undang Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggungjawab untuk
menyelenggarakan penanggulangan bencana yang terencana, terkoordinasi
dan menyeluruh.
Menilik persoalan di atas maka Dewan Riset Daerah Jawa Tengah
menyusun sebuah laporan atas hasil Roundtable Discussion dengan tema
“Manajemen Penanganan Bencana Di Jawa Tengah” yang telah dilaksanakan
pada tanggal 15 September 2011. Laporan ini memuat hasil pemaparan materi
dari narasumber dan diskusi aktif pembahas/peserta. Oleh karenanya laporan
ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemangku kebijakan
terkait dengan “policy” yang bersifat komperehensif berkaitan dengan
penanganan pasca bencana khususnya di Provinsi Jawa Tengah.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada para narasumber, Dewan
Riset Daerah Jawa Tengah, juga kepada semua pihak-pihak yang telah
membantu hingga terselenggaranya acara ini.
Semarang, September 2011
Penyunting
Dr. Ir. Saratri Wilonoyudho, MSi
Antono Herry Purnomo Adhi, SE, Msi
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ................................................................................................. i
Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Maksud dan Tujuan .................................................................................. 2
C. Narasumber .............................................................................................. 3
D. Upaya Pemerintah Dalam Penanganan Bencana ................................... 3
E. Simpulan ................................................................................................... 12
F. Rekomendasi ............................................................................................ 21
Lampiran:
- Makalah-makalah
- Foto Kegiatan
1
A. LATAR BELAKANG
Propinsi Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah Republik Indonesia
yang menyimpan potensi bencana alam yang beragam, diantaranya banjir,
tanah longsor, angin topan, letusan gunung api, dan tsunami. Potensi bencana
tersebut bisa muncul sesuai letak geografis masing-masing kabupaten dan
kota dan sewaktu-waktu bisa mengancam keselamatan masyarakat Jawa
Tengah, sehingga penerapan manajemen bencana sangat perlu dipersiapkan.
Manajemen bencana merupakan serangkaian proses aktivitas terpadu
yang menanggapi eksistensi dan potensi bencana, meliputi pemahaman pada
bencana, penyebab dan dampak bencana, dan penyusunan rencana
manajemen bencana yang efektif. Proses tersebut membutuhkan identifikasi
dan pendekatan-pendekatan strategis yang secara efektif bisa mengurangi
dampak dari suatu bencana. Identifikasi atas kemungkinan terjadinya bencana
primer, kemungkinan adanya bencana sekunder, dan identifikasi potensi
daerah terdampak mutlak dilakukan, karena proses ini mengenali
kemungkinan adanya bencana potensial yang mengancam kehidupan
masyarakat. Deteksi dini potensi bencana ini memberikan implikasi bahwa
bencana bisa diprediksi dan setiap risiko bisa diminimalisir.
Dalam manajemen bencana, menyiapkan susunan rencana manajemen
bencana yang efektif juga mutlak dilakukan. Penyusunan rencana yang baik
akan mempermudah pencapaian target dan pengurangan risiko bencana bagi
masyarakat. Penyusunan rencana yang baik juga menunjukkan kesiapan
pemerintah dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana dan
penanganan risiko pasca terjadinya bencana.
Negara mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan,
keselamatan dan pelayanan kebutuhan dasar warganya. Undang-undang
Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa
pemerintah daerah memiliki tanggungjawab untuk menyelenggarakan
penanggulangan bencana yang terencana, terkoordinasi dan menyeluruh.
2
Kualitas penanggulangan bencana dilakukan oleh pemerintah melalui
beberapa upaya, antara lain:
1. Menurunkan ancaman;
2. Menurunkan kerentanan;
3. Meningkatkan kapasitas masyarakat dan aparatur.
Guna menjalankan fungsi pemerintah, maka sesuai RPJM Provinsi Jateng
2008-2013 telah disusun Program Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana,
dengan target dan indikator capaian sebagai berikut :
1. Meningkatnya kemampuan masyarakat dan aparatur dalam
melakukan upaya pencegahan, kesiapsiagaan dan pengurangan risiko
bencana;
2. Meningkatnya penyelamatan dan evakuasi terhadap korban bencana,
penanganan pengungsi dan pemulihan sarana prasarana vital untuk
aktifitas masyarakat;
3. Meningkatnya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
melalui perbaikan;
4. Meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana, perlatan dan logistik
bencana.
B. MAKSUD DAN TUJUAN
Menanggapi urgensi persiapan dan penerapan manajemen bencana,
diskusi ini menjadi forum bagi para pakar, praktisi, dan pengambil keputusan
untuk berdialog dan mengemukakan pandangan terkait dengan :
1. Ancaman dan potensi bencana serta upaya kesiapsiagaan di
lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah.
2. Pemulihan ekonomi pasca bencana yang berbasis pada klaster.
3. Sistem informasi manajemen kebencanaan.
3
4. Manajemen bencana berbasis kemasyarakatan dan tanggapan peran
gender.
5. Rencana aksi pemulihan pasca-bencana.
C. NARASUMBER
Narasumber dalam kegiatan ini adalah :
1. Sarwa Pramana, S.H., M.Si., Kepala Sekretariat Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Tengah dengan
materi “Ancaman dan Potensi Bencana yang Ada di Jawa Tengah
serta Mitigasi dan Kesiapsiagaan yang Telah Dilakukan”.
2. Bayu Wijayanto, S.E., M.E., Center for Micro anda Small Enterprise
Dynamics (CEMSED) Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
dengan materi “Rencana Aksi Program Pembangunan Ekonomi
Masyarakat di Wilayah Rawan/Terdampak Bencana”.
3. Dr. Projo Danoedoro, M.Sc., Direktur PUSPICS, Fakultas Geografi
UGM) dengan materi “Sistem Informasi Manajemen Kebencanaan
BPBD”.
4. Koordinator Tim MRR-DR4-UNDP dengan materi “Proses dan
beberapa titik kritis Pemulihan Pasca-erupsi Merapi”.
5. Indra Kertati (LPPSP Semarang) dengan materi “Peran Masyarakat
dalam Pencegahan dan Penanganan Bencana Daerah”.
D. UPAYA PEMERINTAH DALAM PENANGANAN BENCANA
Menanggapi eksistensi dan potensi bencana yang sering terjadi di
Indonesia, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa kelembagaan penanggulangan bencana tersusun atas :
4
1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
a. Badan Nasional Penanggulangan Bencana merupakan Lembaga
Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri.
b. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:
- memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi secara adil dan setara;
- menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan;
- menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
- melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal
dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
- menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan
/bantuan nasional dan internasional;
- mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
- melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan;
- menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah.
c. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi
meliputi:
- perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat
dan tepat serta efektif dan efisien;
5
- pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
2. Badan Penanggulangan Bencana Daerah
a. Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas:
- badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat
setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib;
- badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang
pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat
eselon IIa.
b. Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi :
- perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat
dan tepat, efektif dan efisien;
- pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
c. Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas :
- menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan
kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan
darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara;
- menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan;
- menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan
bencana;
- menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan
bencana;
6
- melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada wilayahnya;
- melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana
kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi
normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
- mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan
barang;
- mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
- melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan.
Berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tersebut,
penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada 3 kondisi, yaitu :
1. Pra-bencana
a. Situasi tidak ada bencana
- Perencanaan penanggulangan bencana
- Pengurangan Risiko Bencana
upaya mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul,
terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana
- Pencegahan
- Pemaduan dalam perencanaan pembangunan
- Persyaratan analisis risiko bencana
- Pelaksanaan dan penegakan tata ruang
- Pendidikan dan pelatihan
- Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
b. Situasi terdapat potensi bencana
- Mitigasi
- Peringatan Dini
7
- Kesiapsiagaan
- Rencana Kontijensi
2. Saat tanggap darurat
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
dan sumber daya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
e. perlindungan terhadap kelompok rentan;
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
3. Pasca bencana
a. Rehabilitasi
- perbaikan lingkungan daerah bencana;
- perbaikan prasarana dan sarana umum;
- pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
- pemulihan sosial psikologis;
- pelayanan kesehatan;
- rekonsiliasi dan resolusi konflik;
- pemulihan sosial ekonomi budaya;
- pemulihan keamanan dan ketertiban;
- pemulihan fungsi pemerintahan;
- pemulihan fungsi pelayanan publik.
b. Rekonstruksi
- pembangunan kembali prasarana dan sarana;
- pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
- pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
- penerapan rancang bangun yang tepat dan
penggunaanperalatan yang lebih baik dan tahan bencana;
8
- partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat;
- peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
- peningkatan fungsi pelayanan publik;
- peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah membagi
koordinasi dengan pembagian wilayah berdasarkan pendekatan eks-
karesidenan :
1. BAKORWIL I : Eks Karesidenan Pati dan Semarang
a. Eks Karesidenan Pati
- Kabupaten Pati
- Kabupaten Kudus
- Kabupaten Jepara
- Kabupaten Rembang
- Kabupaten Blora
b. Eks Karesidenan Semarang
- Kota Semarang
- Kabupaten Semarang
- Kabupaten Grobogan
- Kabupaten Demak
- Kabupaten Kendal
- Kota Salatiga
2. BAKORWIL II : Eks Karesidenan Surakarta dan Kedu
a. Eks Karesidenan Surakarta
- Kota Surakarta
- Kabupaten Boyolali
- Kabupaten Klaten
- Kabupaten Sukoharjo
9
- Kabupaten Wonogiri
- Kabupaten Karanganyar
- Kabupaten Sragen
b. Eks Karesidenan Kedu
- Kabupaten Magelang
- Kota Magelang
- Kabupaten Temanggung
- Kabupaten Wonosobo
- Kabupaten Kebumen
- Kabupaten Purworejo
3. BAKORWIL III : Eks Karesidenan Banyumas dan Pekalongan
a. Eks Karesidenan Banyumas
- Kabupaten Banyumas
- Kabupaten Purbalingga
- Kabupaten Banjarnegara
b. Eks Karesidenan Pekalongan
- Kabupaten Pekalongan
- Kota Pekalongan
- Kabupaten Batang
- Kabupaten Pemalang
- Kota Tegal
- Kabupaten Tegal
- Kabupaten Brebes
Kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa
Tengah terbentuk 31 BPBD Kabupaten/Kota se Jawa Tengah, dengan rincian 11
BPBD dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah dan 20 BPBD dibentuk
berdasarkan Peraturan Bupati/Walikota.
10
Terdapat 4 (empat) Kota yang belum/tidak membentuk BPBD yaitu Kota
Surakarta, Kota Salatiga, Kota Pekalongan dan Kota Magelang, dengan alasan
bahwa Urusan Penanggulangan Bencana melekat pada Dinas
Kesbangpolinmas.
Kegiatan penanggulangan bencana di Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Jawa Tengah antara lain sebagai berikut :
1. Pra Bencana
a. Penyusunan Peta Risiko Bencana
b. Pengembangan Desa Siaga Bencana
c. Pengembangan Budaya Sadar Bencana
d. Gladi Manajemen Bencana
e. Penyediaan Logistik dan Peralatan
2. Antisipasi Saat Bencana
a. POSKO SIAGA
b. Bintek SAR dan Latihan Gabungan
c. Simulasi Penanganan Darurat Bagi masyarakat dan Pelajar
d. Pedoman Penanggulangan Bencana
3. Pasca Bencana
a. Fasilitasi Rehabilitasi pasca bencana
b. Fasilitasi Rekonstruksi pasca bencana
c. Pelatihan Damaged and Losses Assesment
d. Fasilitasi Pembangunan Infrastruktur pasca bencana
Upaya pengurangan risiko bencana Jawa Tengah yang telah dilakukan
antara lain :
1. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana.
2. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana.
3. Pengembangan budaya sadar bencana.
4. Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana.
11
5. Penerapan upaya fisik dan pengaturan penanggulangan bencana.
6. Identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman
bahaya.
7. Pemantauan terhadap :
a. Penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam
b. Penggunaan teknologi tinggi
8. Pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan
lingkungan hidup.
9. Penguasaan ketahanan sosial masyarakat.
10. Meningkatkan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi terhadap
terjadinya bencana.
Dari kegiatan pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan menghadapi
bencana,
1. Telah tersusun peta risiko bencana banjir dan tanah longsor untuk 30
kabupaten/kota sejak tahun 2009-2011
2. Terbentuk 21 Desa Siaga bencana (banjir, tanah longsor, tsunami,
gunung berapi) sejak tahun 2009-2011
3. Terlaksana 6 kali Gladi Manajemen (dilaksanakan minimal 2 kali tiap
tahun) dengan melibatkan seluruh aparatur PB di Kab/Kota
4. Simulasi dan Gladi Lapang penanggulangan bencana untuk
masyarakat dan pelajar (± 4.000 orang)
5. Terlaksana 4 Bintek SAR dan 9 kali Latgab dengan melibatkan ± 2500
orang
6. Pengadaan Logistik dan peralatan bencana dalam rangka antisipasi
menghadapi bencana
7. Penyusunan Standard Operasional Prosedur (SOP) penanggulangan
bencana
12
8. Sosialisasi Penanggulangan Bencana bagi masyarakat dan aparatur
setiap tahun
9. Menciptakan masyarakat tangguh bencana
E. SIMPULAN
Berdasarkan paparan para narasumber, dapat ditarik beberapa simpulan
diskusi sebagai berikut :
1. Pemetaan potensi bencana di Jawa Tengah
a. Jawa Tengah merupakan wilayah administrasi yang mempunyai
potensi bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi antara lain
banjir, tanah longsor, angin topan, letusan gunung berapi, dan
tsunami. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Jawa Tengah, seluruh wilayah administrasi di Jawa
Tengah memiliki potensi bencana yang bervariasi sesuai dengan
karakteristik wilayah kabupaten/kota.
b. Banjir berpotensi terjadi di Kabupaten Brebes, Kota Tegal,
Kabupaten Tegal, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Pemalang, Kabupaten
Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Banjarnegara,
Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten
Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Batang,
Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota
Salatiga, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Sukoharjo, Kota Surakarta, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten
Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan,
Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara,
Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, dan Kabupaten Blora.
c. Tanah longsor berpotensi terjadi di Kabupaten Brebes,
Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Cilacap,
13
Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Banjarnegara, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang,
Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Kendal,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten
Grobogan, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, dan Kabupaten
Rembang.
d. Angin topan berpotensi terjadi di Kabupaten Tegal, Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purbalingga,
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten
Kendal, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, dan Kabupaten Blora.
e. Dampak letusan gunung api berpotensi melanda Kabupaten
Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Purbalingga, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Magelang,
Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten.
f. Bencana tsunami berpotensi terjadi di Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten
Wonogiri.
2. Rekapitulasi kejadian bencana Jawa Tengah mempunyai tren yang
meningkat setiap tahunan, baik dalam frekuensi kejadian dan
kerugian.
a. Angin topan pada tahun 2009 terjadi 44 kejadian dengan taksiran
kerugian Rp 2.000.000.000,00, pada tahun 2010 sebanyak 122
kejadian dengan taksiran kerugian sebesar Rp.
6.584.887.000.000,00 dan sampai 26 Agustus 2011 sudah terjadi
14
72 kejadian dengan taksiran kerugian sebesar Rp
1.993.100.000,00.
b. Bencana banjir pada tahun 2009 terjadi sebanyak 45 kejadian
dengan taksiran kerugian sebesar Rp 14.000.000.000,00, pada
tahun 2010 terjadi sebanyak 115 kejadian dengan kerugian sebesar
Rp 63.042.050.000,00, dan sampai dengan 26 Agustus 2011 terjadi
71 kejadian dengan taksiran kerugian sebesar Rp
143.170.500.000,00.
c. Tanah longsor terjadi di Jawa Tengah pada tahun 2009 sebanyak
111 kejadian dengan taksiran kerugian sebesar Rp
14.000.000.000,00, pada tahun 2010 terjadi sebanyak 141 kejadian
dengan taksiran kerugian sebesar Rp 34.303.460.000,00, dan
sampai dengan 26 Agustus 2011 telah terjadi sebanyak 164
kejadian dengan taksiran kerugian sebesar Rp 8.451.110.000,00.
d. Gempa bumi terjadi pada tahun 2009 sebanyak 5 kejadian dengan
taksiran kerugian sebesar Rp 87.000.000.000,00, pada tahun
2010 terjadi sebanyak 1 kejadian dengan taksiran kerugian sebesar
Rp 95.000.000,00, dan sampai dengan 26 Agustus 2011 telah
terjadi 3 kejadian dengan taksiran kerugian sebesar Rp
3.000.000,00.
e. Bencana kebakaran terjadi pada tahun 2009 sebanyak 42 kejadian
dengan taksiran kerugian sebesar Rp 18.000.000.000,00, pada
tahun 2010 terjadi 73 kejadian dengan taksiran kerugian Rp
8.313.630.000,00, dan sampai 26 Agustus 2011 telah terjadi 162
kejadian dengan taksiran kerugian sebesar Rp 11.829.350.000,00.
f. Erupsi gunung api terjadi pada tahun 2010 sebanyak 1 kejadian
dengan taksiran kerugian sebesar Rp 479.326.000.000,00
g. Total kejadian bencana dan taksiran kerugian pada tahun 2009
terjadi 247 bencana dengan kerugian Rp 135.000.000.000,00,
15
pada tahun 2010 terjadi 453 bencana dengan kerugian ditaksir Rp
591.663.900.000,00, dan sampai 26 Agustus 2011 sudah terjadi
474 bencana dengan kerugian ditaksir sebesar Rp
165.453.060.000,00.
3. Kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Di Jawa Tengah telah dibentuk 31 BPBD Kabupaten/Kota se Jawa
Tengah, dengan rincian 11 BPBD dibentuk berdasarkan Peraturan
Daerah dan 20 BPBD dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati
/Walikota. Masih terdapat 4 (empat) Kota yang belum/tidak
membentuk BPBD yaitu Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota
Pekalongan dan Kota Magelang, karena Urusan Penanggulangan
Bencana melekat pada Dinas Kesbangpolinmas.
4. Permasalahan yang dihadapi Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten/Kota :
a. Masih terdapat BPBD yang belum mempunyai gedung
b. Peningkatan capacity building aparatur belum optimal.
c. Anggaran kebencanaan masih minim dan belum menjadi prioritas
yang penting dalam penganggaran/pembangunan daerah
d. Stok logistik masih terbatas dan manajemen logistik perlu
diperbaiki
e. Sarana dan prasarana masih minim baik berupa sarana utama PB
(peralatan evakuasi) maupun pendukung (logistik)
f. Rencana Aksi dan Implementasi kegiatan Pengurangan Risiko
Bencana belum ada.
g. Penyediaan Gedung Logistik dan Peralatan evakuasi, Dokumen
Perencanaan, serta Pedoman Penanganan Darurat/ SOP belum
memadai.
16
5. Rancangan aksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah :
a. Penguatan Kelembagaan (Penguatan SDM, Sarana Prasarana,
Mobilitas, Anggaran)
b. Standard Operasional Prosedur (SOP) untuk seluruh BPBD (Prov
dan Kab/Kota)
c. Rencana Penanggulangan Bencana
d. Pengurangan Risiko Bencana di Daerah Rawan Bencana (Early
warning, Mitigasi, Gladi lapang, Rencana Kontijensi, Peta Risiko,
Jalur evakuasi)
e. Pemberdayaan Masyarakat melalui :
- Optimalisasi Desa Siaga Bencana
- Pembentukan Desa Tangguh Bencana
- Komunitas Peduli Bencana
- Masyarakat dapat menanggulangi Bencana secara mandiri
dalam skala kecil/sesuai kemampuan yang dimiliki
f. Menggandeng para pengusaha basar untuk lebih peduli dengan
Penanggulangan bencana, dengan diawali memberikan alternatif-
alternatif/antisipasi kebencanaan yang mungkin terjadi
g. Meningkatkan jejaring guna mengakses lembaga-lembaga donor
(nasional dan internasional) untuk meningkatkan peran dalam
Pengurangan Risiko Bencana Jawa Tengah.
6. Pemulihan ekonomi masyarakat pasca bencana
a. Pendekatan pemulihan pasca bencana berbasis klaster memiliki
kelebihan, yaitu :
- Mampu memahami permasalahan pemulihan industri, secara
lebih komprehensif
17
- Mampu menghasilkan alternatif tindakan pemulihan lebih
tepat, cepat dan efisien
b. Pemulihan pasca bencana berbasis klaster dilakukan dengan
mengadopsi alternatif tindakan pemulihan untuk minimasi
persoalan ekonomi masyarakat terdampak.
7. Agenda pemulihan pasca bencana berbasis klaster :
a. Koordinasi kegiatan
b. Partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan
c. Ketersediaan Data Baseline
d. Penyempurnaan instrumen penyusunan program
8. Sistem Informasi Manajemen Kebencanaan
a. Manajemen bencana mengandung serangkaian kegiatan antara
lain :
- Early Warning System (EWS)
- Tanggap Darurat Bencana
- Penanganan Pasca-bencana/Pemulihan
b. Early Warning System (EWS) memerlukan pemetaan lokasional
jenis-jenis bencana yang diprediksi ada pada tiap-tiap wilayah.
Pemetaan berbagai jenis bencana tersebut perlu didukung oleh
ketersediaan Infrastruktur Data Spasial yang terdiri dari
ketersediaan data spasial, aspek kelembagaan, protokol
pertukaran data, standar kualitas dan format data.
Permasalahannya, sampai saat ini Infrastruktur Data Spasial
belum tersedia secara lengkap dan fungsional di Indonesia
c. Penanganan bencana harus memadukan peta risiko, kerawanan
bencana, area terdampak secara fisikal, dengan peta
administratif.
18
9. Pelajaran penting yang bisa diambil dari bencana-bencana yang telah
terjadi :
a. Penanganan bencana perlu koordinasi yang baik
b. Diperlukan managemen yang baik
c. Diperlukan melibatkan masyarakat bukan sebagai obyek, tapi
sebagai subyek
d. Mainstreaming gender
10. Kegiatan-kegiatan Manajemen Bencana :
a. Pencegahan (prevention)
- Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana
(jika mungkin dengan meniadakan bahaya).
- Permasalahannya, kesadaran masyarakat secara umum masih
rendah, kesadarannya masyarakat di daerah terdampak
belum kuat, dan hidup damai di daerah bencana baru terjadi
di daerah yang pernah didampingi (pilot project) yang belum
melembaga di tengah masyarakat
b. Mitigasi (mitigation)
- Mitigasi struktural pada daerah rawan bencana masih
diperlukan peningkatan.
- Mitigasi non-struktural pada daerah terdampak masih sedikit
yang tercover.
- Masih belum memerhatikan kepentingan perempuan.
c. Kesiapan (preparedness)
- Penyiapan sarana komunikasi, pos komando, penyiapan
lokasi evakuasi,
- Perumusan Rencana Kontinjensi, dan sosialisasi peraturan
/pedoman penanggulangan bencana.
19
- Belum mainstreaming gender
d. Peringatan Dini (early warning)
- Menjangkau masyarakat (accesible) , namun masyarakat
belum tanggap
- Tegas tidak membingungkan (coherent) namun beberapa
info simpang siur
- Bersifat resmi (official), tidak respipun tidak bisa dicegah
karena faktor budaya
- Lambat direspon oleh kelompok rentan (perempuan, anak
dan lansia)
e. Tanggap Darurat (response)
- Respon masyarakat yang tidak terkena dampak bagus
- Partispasi masyarakat bagus
- Koordinasi antar stakeholder masih lemah
- Peran masyarakat terdampak makin baik
- Mainstreaming gender masih lemah.
f. Bantuan Darurat (relief)
- Penyediaan pangan, sandang, tempat tinggal sementara
kesehatan cukup baik, untuk sanitasi dan air bersih masih
kurang
- Partisipasi warga baik, namun beberapa temuan menunjukan
tingkat empati masih kurang.
- Koordinasi stakeholder kurang kuat.
- Partisipasi Warga yang bukan korban sangat baik
- Belum responsif gender
g. Pemulihan (recovery)
- Proses recovery butuh waktu lama
- Recovery sosial dan kelembagaan lebih lambat
20
- Recovery penguatan kapasitas masyarakat lambat dan belum
responsif gender
- Koordinasi lemah
h. Rehablitasi (rehabilitation)
- Prosesnya lama
- Rehabilitasi ekonomi lambat untuk wilayah tertentu, namun
pada wilayah dengan etos kerja masyarakat yang baik bisa
cepat.
- Rehabilitasi sosial cepat dilakukan
- Partisipasi masyarakat bagus namun belum responsif gender
i. Rekonstruksi (reconstruction)
- Partisipasi masyarakat baik
- Lambat dilakukan
- Perencanaan belum banyak melibatkan masyarakat
- Pengembangan masyarakat butuh waktu lama
- Belum responsif gender
11. Manajemen bencana berbasis masyarakat masih membutuhkan
kegiatan-kegiatan penunjang:
a. Goodwill penanggulangan bencana
b. Koordinasi berjalan dengan baik
c. Penghargaan peran stakeholder
d. Proses-proses yang dilakukan melibatkan masyarakat yaitu
representasi dari: aparat pemerintah desa, lembaga-lembaga
yang ada di masyarakat, perempuan, kelompok miskin, remaja,
tokoh adat atau yang dituakan.
e. Replikasi program direncanakan dengan matang, masuk proses
perencanaan penganggaran reguler.
21
f. Proses mitigasi terintegrasi dalam proses perencanaan
penganggaran, mainstreaming gender dan bencana.
g. Penghargaan atas kapasitas lokal untuk mengurangi kerentanan.
12. Prinsip-prinsip rencana aksi pemulihan pasca bencana Merapi 2011 –
2013 :
a. Building back better
b. Living in harmony with risk
c. Partisipatif
d. Sebagai bagian dari pembangunan rutin > dengan mengutamakan
pada pulih/meningkatnya sumber penghidupan dan daya lenting
masyarakat.
F. REKOMENDASI
Bencana di berbagai daerah dapat dipastikan akan melumpuhkan
perekonomian rakyat, dan di ujungnya akan meningkatkan jumlah masyarakat
miskin baru. Sebagai contoh, bencana Merapi misalnya, kini telah
meluluhlantakkan ribuan hektar lahan-lahan pertanian di Sleman, Magelang,
Klaten, Boyolali, bahkan di Yogyakarta juga terkena imbas karena menurunnya
jumlah wisatawan.
Berapa ratus kepala keluarga kehilangan rumah, harta benda, dan
kesempatan berusaha. Data yang dihimpun instansi di Jawa Tengah dan DIY
yang terkait dengan penanggulangan bencana menunjukkan bahwa ribuan
hektar lahan pertanian rakyat tidak dapat ditanami untuk beberapa waktu dan
ratusan ternak mati, serta ribuan penduduk menganggur untuk waktu yang
cukup lama. Kalau dihitung secara material, kira-kira ada kerugian 6 triliun
rupiah akibat bencana tersebut. Ini belum lagi berbicara soal dampak
psikologis yang akan mempengaruhi masa depann mereka.
22
Mengenai kaitan antara bencana dan kemiskinan telah banyak diulas oleh
berbagai institusi internasional. Data dari World Bank (2005) menunjukkan
bahwa gempa bumi di El Salvador pada tahun 2001 menyebabkan peningkatan
jumlah kaum miskin sekitar 2,6%. Demikian pula di Honduras, Badai Mitch
tahun 1998 juga meningkatkan jumlah kaum miskin dari 63,1% menjadi 65,9%.
Kemudian di Vietnam sebanyak 5% penduduknya akan terjatuh lagi dalam
jurang kemiskinan jika terjadi bencana. Tak ketinggalan, di Indonesia tsunami
Aceh juga menambah jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi
30%-50%.
Beberapa rekomendasi kebijakan yang teridentifikasi berdasar simpulan
diskusi sebagai berikut :
1. Penyusunan Strategi Komprehensif
Bencana pada umumnya akan menghilangkan aset dan kesempatan
berusaha, merusak sarana pendidikan dan kesehatan, serta
menggerogoti tabungan warga. Ini artinya strategi pengurangan
resiko bencana harus diintegrasikan dengan strategi penanggulangan
kemiskinan.
Strategi itu mesti komprehensif dan sanggup mengenal sampai detil,
misalnya faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap
kerentanan (jenis pekerjaan, lokasi rumah, akses terhadap kredit dan
jaring pengaman sosial, dsb). Kerentanan itu tidak sama antaretnis,
antargeografis, antarkelompok sosial, dst.
Strategi-strategi yang tepat harus dilakukan karena setelah bencana,
harus ada usaha pemulihan dan ini butuh waktu yang lama, karena
ada berbagai perubahan seperti : perubahan dalam produksi pangan,
penjualan aset untuk memenuhi kebutuhan selama pengungsian dan
selama sumberdaya produksi belum pulih, penghentian dari bangku
sekolah bagi anak-anaknya, terputusnya akses kredit, dan sebagainya.
23
Pengarusutamaan pengurangan resiko bencana harus menjadi unsur
pokok dalam perencanaan pembangunan, baik di tingkat nasional
atau daerah. Dengan cara ini, mesti ada alokasi dana untuk
manajemen resiko bencana, termasuk perencanaan keuangan bagi
daerah-daerah yang potensial terkena bencana.
2. Penguatan kelembagaan dengan memasukkan manajemen resiko
bencana ke dalam target-target jangka pendek dan jangka panjang,
terutama menangkap dampak dari program-program yang berkaitan
dengan kaum miskin serta pada upaya mengurangi kerentanan yang
lebih dari sekedar mengurangi kerugian.
Pengalaman bencana di Ethiopia dan Honduras menunjukkan bahwa
jaring pengaman sosial yang dibiayai dari dana publik, sangat
mendukung keluarga miskin selama dan pasca bencana guna
pemulihan penghidupannya. Program pengaman sosial tersebut
mampu menyediakan pangan dasar, membantu mengalihkan upaya-
upaya dan strategi-strategi untuk pertahanan hidup, seperti untuk
mencegah penjualan aset-aset produktif guna bertahan hidup.
Dengan jaring pengaman sosial juga dapat diarahkan berbagai
kegiatan yang dapat memberi penghasilan yang dapat membantu
membangun aset serta meningkatkan pendapatan.
Kelompok miskin lebih rentan runtuhnya mekanisme bertahan hidup
tradisional, rentan pada ketergantungan pada pendapatan dalam
bentuk uang daripada produksi dalam bentuk barang, dan rentan
untuk berpindah ke daerah lain yang justru lebih rawan terkena
bencana. Di daerah yang baru ini pertumbuhan penduduk yang cepat
karena perpindahan, pada umumnya peraturan tidak ditaati, misalnya
peraturan alih fungsi lahan atau peraturan dalam mendirikan
bangunan, termasuk eksploitasi sumberdaya alam.
24
3. Penyediaan Peta Kerawanan Bencana dilengkapi dengan Peta Risiko
Bencana tiap desa untuk mempermudah identifikasi tingkat
kerawanan dan prediksi kemungkinan terjadi bencana pada masa
mendatang.
Badan Litbang kota/kabupaten juga harus secara kontinyu
memperbarui peta-peta rawan bencana dan peta-peta penggunaan
lahan. Inventarisasi potensi lahan yang bersifat umum atau kualitatif
yang bertujuan untuk mengidentifikasi kemungkinan pengembangan
wilayah yang berwawasan lingkungan, merupakan langkah awal yang
perlu didesain dan dibuat prosedur maupun format-formatnya. Pada
tingkatan ini analisis sosial ekonomis hanya bersifat umum.
4. Penyusunan Perda Bencana
Hampir dapat dipastikan bencana di Jateng akan terus hadir jika nafsu
pembangunan tidak dikendalikan selaras dengan hukum alam.
Sesungguhnya berbagai peraturan sudah banyak dibuat, namun
penyakit khas bangsa ini masih belum sembuh, yakni memperlakukan
peraturan hanya sebagai kelengkapan adiministratif atau hanya
sebagai macan kertas belaka.
Karenanya usulan agar setiap kabupaten/kota memiliki peraturan
daerah tentang penanggulangan bencana sebagai langkah antisipasi
jika terjadi bencana, juga diragukan efektivitasnya. Perda ini
diperlukan karena kota ini rawan terjadi bencana. Dengan perda ini
diharapkan setelah ada bencana ada yang bergerak dan
bertanggungjawab.
Dari sinyal ini nampak bahwa Perda yang dimaksud adalah lebih
cenderung ke fase tanggap darurat. Padahal hadirnya Perda yang
dapat menghambat terjadi kerusakan lingkungan pada saat pra-
bencana justru lebih penting. Sederhana saja alasannya, selain gejolak
di bidang politik dan ekonomi, pesatnya pertumbuhan industri juga
25
menimbulkan banyak kerusakan lingkungan. Bencana-bencana alam
yang terjadi di Semarang seperti banjir, rob, dan longsoran tanah,
menunjukkan bahwa ada yang tidak seimbang dalam pembangunan
kota. Pertambahan jumlah bangunan yang nyaris tidak terkendali
diperparah oleh ulah manusia dengan menggunduli hutan
sebagaimana terjadi di Kecamatan Mijen dan sebagainya.
Bertambahnya aktivitas manusia pada lahan-lahan yang kritis inilah
yang mengakibatkan tanah longsor dan banjir.
Dengan demikian Perda penanganan bencana memang perlu namun
seperti pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati”, maka
pencegahan bencana lebih diperlukan. Mestinya pemerintah
kabupaten/kota memiliki rencana tindakan yang jelas untuk jangka
pendek, menengah dan jangka panjang, seperti : merehabilitasi lahan-
lahan kritis, merumuskan arahan permanfaatan DAS apakah untuk
daerah lindung, fungsi penyangga, maupun fungsi budidaya. Yang
lebih penting lagi adalah adanya penyuluhan yang kontinyu kepada
masyarakat di sekitar pantai, dan penegakan hukum bagi yang berani
melanggar.
5. Perlu disusun kebijakan atau program baik makroekonomi, struktural,
dan sosial, untuk mengurangi kemiskinan dan mendorong
pertumbuhan yang memihak si miskin.
Lembaga-lembaga pemerintah mesti bekerjasama dengan pihak lain
untuk mengkaji peran bahaya alam dan risiko-risikonya, terutama
yang berandil dalam meningkatkan kemiskinan.
6. Penyusunan rencana kontijensi tiap-tiap bencana dan potensi
bencana.
Pemerintah kabupaten/kota harus memiliki rencana semi detil untuk
studi feasibilitas proyek-proyek pembangunan yang bersifat
kuantitatif. Analisis cost-benefit harus tajam yang didasarkan atas
26
analisis terpadu. Dari data ini dimungkinkan untuk menetapkan
daerah-daerah terbangun yang tetap memperhatikan kondisi alam,
keserasian lingkungan, maupun manfaat sosial ekonomi, tidak saja
dalam jangka pendek namun juga dalam jangka panjang.
7. Pembuatan jalur evakuasi yang tepat untuk mempermudah lalu lintas
petugas terkait, relawan, dan bantuan pendukung.
8. Longitudinal Survey pada masyarakat terdampak dari pada saat
terjadinya bencana sampai dengan pasca masa pemulihan.
9. Tempat Evakuasi Akhir yang dilengkapi dengan fasilitas Puskesmas,
kelompok usaha, sarana MCK, akses dengan pasar tradisional yang
terdapat link dengan institusi perdagangan, dan rumah bercinta.
10. Pemanfaatan media komunikasi yang lebih cepat dan murah untuk
penyebaran informasi kebencanaan, misal horn masjid dilengkapi
dengan bunyi sirene dan radio yang disetel pada frekuensi tertentu
untuk menangkap pesan tanda bencana.
11. Peningkatan ekonomi masyarakat terdampak dengan pendekatan
klaster.
12. Peningkatan aksesibilitas masyarakat pada Peta Risiko Bencana
melalui situs atau media cetak.
13. Pelestarian dan sosialisasi kearifan lokal dalam tanggap bencana;
teriakan “smong” di Simelue, teriakan “lampor” (lahar hujan) di DIY,
suara bambu pecah sebagai pertanda datangnya awan panas di DIY,
dan “bagpack” yang berisi makanan kecil dan perlengkapan mandi di
Jepang.
14. Pelatihan dan Penerapan Mekanisme Penanganan Dini secara efektif,
seperti kasus di Bangladesh; waktu 3 bulan pasca bencana banjir,
masyarakat tidak perlu pindah tetapi membuat karamba.