Upload
ninachayank
View
166
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia preeklampsia-eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama
kematian maternal dan kematian perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini
preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera
dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan anak. Perlu ditekankan bahwa
sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinui sering tidak diketahui atau
tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda
preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di
samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain.
Preeklampsia-Eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung
disebabkan oleh kehamilan. Preeklampsia adalah hipertensi disertai proteinuri dan edema akibat
kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat
timbul sebelum 20 minggu bila terjadi. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita
preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang disini bukan akibat kelainan neurologis.
Preeklampsia-Eklampsia hampir secara eksklusif merupakan penyakit pada nullipara. Biasanya
terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrem yaitu pada remaja belasan tahun atau
pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun.
Pre eklampsia merulakan penyakit yang berhubungan dengan kehamilan, oleh karena
itu, terapi utamanya adalah terminasi kehamilan. Berdasarkan patogenesisnya, progresivitas
penyakit akan terus terjadi selama kehamilan belum dilakukan termianasi.
Salah satu komplikasi yang menunjukan progresivitas dari PEB adala edema pulmo.
Dimana angka kejadian edema pulmo di RSDM (2008) adalah 51 kasus (23%) dari total 219
pasien yang dirawat dengan PEB. Morbiditas dan mortalitas pasien denga PEB udema pulmo
masih sangat tinggi, salah satunya disebabkan oleh pemakaian ventilator mekanik dan lambatnya
mobilisasi pada ibu yang menyebabkan meningkatnya komplikasi infeksi paru yang dapat
berlanjut terjadinya pneumonia dan sepsis.
Penanganan yang cepat dan tepat pada PEB diperlukan sebelum terjadi progresivitas
penyakit pada ibu. Terminasi kehamilan segera setelah diagnosis PEB ditegakan sangat
mempengaruhi prognosis maternal dan meghindari komplikasi lebih lanjut dari PEB.
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
Anatomi ParuParu kanan dan kiri lunak dan berbentuk seperti spons dan sangat
elastis. Jika rongga thorax dibuka, volume paru segera mengecil sampai 1/3 atau kurang.
Padaanak-anak, paru berwarna merah muda tetapi dengan bertambahnya usia paru menjadigelap
dan berbintik-bintik akibat inhalasi partikel
partikel debu yang akanterperangkap di dalam fagosit paru. Hal ini khususnya terlihat nyata pada
penduduk kota dan pekerja tambang.
Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga masing-masing paru terletak disamping kanan dan
kiri mediastinum. Oleh karena itu paru satu dengan yang laindipisahkan oleh jantung dan
pembuluh-pembuluh besar serta struktur lain di dalammediastinum.
Masing-masing paru berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis, danterdapat bebas di
dalam cavitas pleuralisnya masing-masing, hanya dilekatkan padamediastinum oleh radix
pulmonis.
Masing-masing paru mempunyai apex pulmo yang tumpul, yang menonjol keatas
ke dalam leher sekitar 1 inci (2,5 cm) di atas clavicula; basis pulmonis yangkonkaf tempat
terdapat diaphragma; facies costalis yang konveks yang disebabkanoleh dinding thorax yang konkaf;
facies mediastinalis yang konkaf yang merupakancetakan pericardium dan struktur medistinum lainnya.
Sekitar pertengahan facies mediastinalis ini terdapat hilum pulmonis yaitu,suatu cekungan tempat
bronchus, pembuluh darah, dan saraf yang membentuk radixpulmonis masuk dan keluar dari paru.
Margo anterior paru tipis dan meliputi jantung; pada margo anterior pulmonissinister terdapat
incisura cardiaca pulmonis sinistri. Pinggir posterior tebal danterletak di samping columna
vertebralis.
LOBUS DAN FISSURA Pulmo dexter (paru kanan) sedikit lebih besar dari
pulmo sinister dan dibagioleh fissura obliqua dan fissura horizontalis. Pulmonis dextri dibagi
menjadi tigalobus; lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Fissura oblique berjalan
daripinggir inferior ke atas dan ke belakang menyilang permukaan medial dan costalissampai
memotong pinggir posterior sekitar 2 ½ inci (6,25 cm) di bawah apexpulmonis. Fissura
horizontalis berjalan horizontal menyilang permukaan costalissetinggi cartilago costalis IV dan
2
bertemu dengan fissura obliqua pada linea axillarismedia. Lobus medius merupakan lobus kecil
berbentuk segitiga yang dibatasi olehfissura horizontalis dan fissura obliqua.
Pulmo sinister (paru kiri) dibagi oleh fissure obliqua dengan cara yang
samamenjadi dua lobus, lobus superior dan lobus inferior. Pada pulmonis sinister tidak
adafissura horizontalis.SEGMENTA BRONCHOPULMONALIA Segmenta bronchopulmonalia
merupakan unit paru secara anatomi, fungsi,dan pembedahan. Setiap bronchus lobaris (sekunder)
yang berjalan ke lobus paru,mempercabangkan bronchi segmentales (tertier). Setiap bronchus
segmentalis masuk ke unit paru yang secara struktur dan fungsi adalah independen dan disebut
segmentabronchopulmonalia, dan dikelilingi oleh jaringan ikat. Bronchus segmentalis diikutioleh
sebuah cabang arteri pulmonales, tetapi pembuluh-pembuluh balik ke venaepulmonales berjalan
di dalam jaringan ikat di antara segmenta bronchopulmonaliayang berdekatan. Masing-masing
segmen mempunyai pembuluh limfe dan persarafanotonom sendiri.Setelah masuk segmenta
bronchopulmonaris, bronchus segmentales segeramembelah. Pada saat bronchi menjadi lebih
kecil, cartilago berbentuk U yang ditemuimulai dari trachea perlahan-lahan diganti dengan
cartilago irregular yang lebih kecildan lebih sedikit jumlahnya.
Bronchi yang paling kecil membelah dua menjadibronchioli, yang diameternya
kurang dari 1 mm. Bronchioli tidak mempunyaicartilago di dalam dindingnya dan dibatasi oleh
epitel silinder bersilia. Jaringansubmucosa mempunyai lapisan serabut otot polos melingkar yang
utuh.
Bronchioli kernudian membelah terjadi bronchioli terminales yangmempunyai
kantong-kantong lembut pada dindingnya. Pertukaran gas yang terjadiantara darah dan udara
terjadi pada dinding kantong-kantong tersebut, oleh karena itukantong-kantong lembut
dinamakan bronchiolus respiratorius. Diameter bronchiolusrespiratorius sekitar 0,5 mm.
Bronchioli respiratorius berakhir dengan bercabangsebagai ductus alveolaris yang menuju ke
arah pembuluh-pembuluh berbentuk kantong dengan dinding yang tipis disebut saccus
alveolaris.
Saccus alveolaris terdiri atas beberapa alveoli yang terbuka ke satu
ruangan.Masing-masing alveoli dikelilingi oleh jaringan kapiler yang padat. Pertukaran
gasterjadi antara darah yang terdapat di dalarn lumen alveoli, rnelalui dinding alveoli kedalam
darah yang ada di dalam kapiler di sekitarnya.
3
B.Edema Paru Akuta.
DefinisiEdema merupakan pembengkakan jaringan akibat kelebihan
cairaninterstisium. Penimbunan cairan interstisium yang berlebihan ini dikarenakansalah satu
gaya fisik yang bekerja pada dinding kapiler menjadi abnormal karenasuatu sebab
jantung dapat ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonalmengeras, dan tekanan
darah dapat meningkat.
Radiologis
Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitasmeningkat disertai
tanda bendungan paru, akibat edema interstisial ataualveolar.
EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tandaiskemia
atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru. Pasiendengan krisis hipertensi
gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkangambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran
gelombang Tnegatif yang lebar dengan QT memanjangyang khas, dimana akan membaik dalam
24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebabdari keadaan non-iskemik
ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaanyang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara
lain: iskemia sub-endokardialyangberhubungan dengan peningkatan tekanan pada
dinding,peningkatanakut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibatperubahan
metabolik atau katekolamin.
Penatalaksanaan Edema Paru AkutPenatalaksanaan terutama untuk edema paru akut
kardiogenik. Terapi EPAharus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan meskipun
pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisis masih berlangsung. Pasien
diletakkanpada posisi setengah duduk atau duduk, harus segera diberi
oksigen,nitrogliserin,diuretik IV, morfin sulfat, obat untuk menstabilkan
hemodinamik,trombolitik dan revaskularisasi, intubasi dan ventilator, terapi aritmia dan
gangguankonduksi, serta koreksi definitif kelainan anatomi.
Terapi oksigenOksigen (40-50%) diberikan sampai dengan 8 L/menit, untuk
mempertahankanPaO2kalau perlu dengan masker. Jika kondisi pasien makin memburuk,
4
timbulsianosis, makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2tidak bisa dipertahankan ≥60
mmHg dengan terapi O2konsentrasi dan aliran tinggi,retensi CO2
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secaraadekuat, maka perlu dilakukan
intubasi endotrakheal, suction dan penggunaanventilator.
Nitrogliserin sublingual atau intravenaNitrogliserin diberikan peroral 0,4-0,6 mg
tiap 5-10 menit. Jika tekanan darahsistolik cukup baik (>95 mmHg). Nitrogliserin intravena
dapat diberikandimulai dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Jika notrogliserin tidak memberi
hasilyang memuaskan, maka dapat diberikan nitroprusid.
Morfin sulfatDiberikan 3-5 mg IV, dapat diulangi tiap 15 menit, sampai total dosis 15 mgbiasa
cukup efektif.
Diuretik IVDiberikan furosemid IV 40-80 mg bolus, dapat diulangi atau dosis
ditingkatkansetelah 4 jam, atau dilanjutkan dengan drip kontinyu sampai dicapai produksiurin 1
ml/kgBB/jam.
Obat untuk menstabilkan klinis hemodinamik
Nitroprusid IV: dimulai dengan dosis 0,1 mg/kgBB/menit.Diberikan pada
pasien yang tidak memperlihatkan respons yangbaik dengan terapi nitrat
atau pada pasien dengan regurgitasimitral, regurgitasi aorta, hipertensi
berat. Dosis dinaikkan sampaididapat perbaikan klinis.
Dopamin 2-5 mg mcg/kgBB/menit atau dobutamin 2-10mg/kgBB/menit.
Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis.
Digitalisasi jika ada fibrilasi atrium atau kardiomegali.
Obat trombolitik.
Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau
tidak berhasil dengan terapi oksigen.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. U
Usia : 33 tahun
Alamat : Sukoharjo
Tanggal MRS : 03 Februari 2013
Agama : Islam
Status : Menikah 1 kali (3 tahun)
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Buruh pabrik
A. PERJALANAN PENYAKIT
RPS: pasien seorang G2P0A1, 33 tahun, usia kehamilan 39 minggu, kiriman RS
Sukoharjo dengan keterangan G2P0A1, 33 tahun, hamil 39 minggu, presentasi bokong
dengan PEB. Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan janin masih dirasakan, kenceng-
kenceng teratur belum dirasakan, air kawah belum dirasakan keluar, lendir darah belum
dirasakan keluar.
Mual dan muntah, nyeri ulu hati, nyeri kepala dan pandangan kabur tidak dirasakan.
RPD: riwayat Hipertensi, sakit jantung, asma, DM dan alergi disangkal
PEMERIKSAAN FISISK:
KU: baik, CM
VS: TD: 170/100 mmHg N:88x/mnt
RR: 20x/mnt t: 36,5oC
Mata: CA+/+ SI-/-
Toraks: cor dan pumo dalam batas normal
Abd: supel, nyeri tekan (-), teraba janin, IU, letak lintang (kepala di kanan, punggung di atas), His (-), djj (+) 12-13-12/reg.
6
VT: v/u tenang, dinding vagina dalam batas normal , portio lunak, mencucu ke belakang, :-
cm, eff 30%, , selaput ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), lendir darah (-)
USG: tampak janin tunggal, IU, letak lintang (kepala di kanan, punggung di atas). djj (+)
dengan FB: BPD: 9,2; FL:7,0, AC: 301, EFBW: 2700 g. Insersi placenta di fundus gr II, air
ketuban cukup. Tak tampak jelas kelainan kongenital mayor. Saat ini janin dalam keadaan baik
Laboratorium: 03-02-2013, 03;00
Hb : 6,9; Hct : 25; AL : 9,2; AT : 317; AE : 3,49; PT : 13,4; , APTT: 27,4 GDS:90 OT : 24; PT :
45; Alb : 3.5; Cr : 0,5; Ur : 19; LDH: 446; Na : 140; K : 3,8; Cl : 109; HbsAg (-); Ewitz: +2
Diagnosis:
Preeklampsi berat, letak lintang pada sekundigravida nullipara hamil aterm belum dalam
persalinan dengan anemia (6,9)
Terapi:
Usul SCTP Emergency
Protap PEB
1. Inf RL 12 tpm
2. O2 3-4 lpm
3. Inj MgSO4 8gr (im) boka-boki dilanjutkan 4 gr im/6 jam bila syarat terpenuhi
4. Nifedipine 10 mg jika tensi >160/110 mmHg
5. Pasang DC →BC
NST reaktif
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jamskin test
Konsul anesthesi 02.45 AM dijawab 05.00 am
saran :
transfusi 2 kolf PRC : 2 kantong (500cc)pre op
ransfusion dimulai 06.00
Transfusion selesai 09.30
Peralatan Operasi belum tersedia, Operasi dimulai 10.40
7
OK IGD: 03-02-2013: 10.50
Dilakukan SC emergency:
Lahir bayi, laki-laki: BB: 2800 gr , As: 8-9-10.
Placenta lahir lengkap perabdominal, ukuran 20x20x2 cm, panjang tali pusat : 50 cm
03-02-2013: 13.00 (Ruang pemulihan):
pemeriksa: Residen Anestesi
KU: sedang, CM, sesak berat
VS: T: 180/105mmHg RR:42x/m,nasal kanul, saturasi : 83-35%
HR:125bpm t : 36.2oC
Thorax: ronki(-/-), wheezing(-/-)
Laborat: 03-02-2013: 6:07
Hb : 11,8; Hct : 39; AL : 21,9; AT : 264; AE : 4,95; Alb: 2,4
Post SCTP-em a/i Preeklampsia berat, letak lintang pada sekundipara hamil aterm.
Posisi setengah duduk
NRM dihubungkan dengan O2 10 lpm
Inf NS: stop, ganti dengan 250 cc WB
Ruang pemulihan: 03-02-2013:13.10
Pemeriksa: residen Anestesi
KU: sedang, CM, dyspneu berat
VS: T: 200/101mmHg Rr:48x/m, nasal kanul, saturasi : 87%
HR:150x-168x bpm t : 36.2oC
Thorax: RBK( +/+) di seluruh lapangan paru
Terapi:
Dilakukan intubasi.
Fentanyl 80 mcg, propofol 80 mg, raculac 80mg, dilakukan Ventilasi tekanan positif
8
VS: T: 130/90mmHg RR: terkontrol , saturasi 93-95%
HR:135bpm t : 36.2oC
13.30
CVP pada vena subclavia dextra
Diagnosis:
oedema pulmo, preeklampsia berat, hamil aterm dengan anemia dalam perbaikan
terapi:
Inj Lasix 20 mg i.v
Intubasi ET dengan kontrol pernafasan
Pindah ICU
Lapor staff ICU Acc Dx/Tx
Balance Cairan:
Input: 2200 cc
Output: 200 cc
IWL : 250 cc
BC:+1750
ICU: 04-02-2013: 06.00
KU: jelek, tersedasi
VS: T: 118/86mmHg RR: ventilator ,sp O2: 88%
HR:137bpm t : 39oC
Mata: CA(-/-), SI(-/-)
Thorax: cor:dbn pulmo:SDV (+/+), RBH (+/+)
Abd: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusat , luka operasi tertutup verban
Gen : darah (-), lochia (+)
Laboratorium 04-02-2013
Hb : 10,3; Hct : 36; AL : 26,6; AT : 335; AE : 4.76; Alb : 2.8; Cr : 1,2; Ur : 54; Na : 142; K : 4.8;
Cl : 109;
AGD:
pH: 7.348; BE:-9.8; PCO2 : 25,8; PO2 : 56.4; HCO3: 16.6
9
Kesan: asidosis metabolik terkompensasi tidak sempurna
Diagnosis:
SIRS,oedem pulmo, Preeclampsi berat, letak lintang pada secundipara hamil aterm dengan
hypoalbuminemia(2,8) dengan anemia dalam perbaikan
Terapi:
Post sctp-em DPH I
Inf RL 12 dpm
Inj Amikacin 500mg/8jam
Inj. Ketorolac 1 amp/8jam
Inj asam traneksamat1amp/8jam
Inj Alinamin F 250mg/8jam
Inj furosemid 40 mg/6jam
Vip albumin 4x2 caps
Balance cairan:-300cc
UO: 50 cc/jam
Rencana : kultur darah, roentgen Thorax
Diagnosa pulmo:
Oedem pulmo pada Preeklampsia berat
Terapi :
O2 3-4 lpm
Inj furosemid 40 mg/6 jam
Diagnosa jantung:
Susp. OMI anteroseptal a/i oedem pulmo
HT emergensi
Terapi:
Post SCTP emergensi susp. Oedem pulmo pada Preeklampsi berat
ISDN syringe pump 50 cc dengan kecepatan 5cc/jam
Inj furosemide 40 mg/8jam (SYRING PUMP)
10
Inf morpin 5mg/jam in s.p
Inf midazolam 12mg/jam in s.p
ICU: 05-02-2013 sd 08-02-2013
KU: jelek, tersedasi
VS: T: 110-150/70-100 mmHg RR: ventilator ,SCMV,sp O2: 98%
HR:120-147 bpm t : 38oC
mata: CA(-/-), SI(-/-)
Thorax: cor:dalam batas normal pulmo:SDV (+/+), RBH (+/+)
Abd: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusat, luka post operasi tertutup verban
Gen : darah (-), lochia (+)
Lab: 05-02-2013
Hb : 11,2; Hct : 41; AL : 25,1; AT : 249; AE : 5,35; OT : 124; PT : 40; Alb : 3.1; Cr : 1,0; Ur :
54; Na : 141; K : 4,1; kalsium ion : 1,06;
AGD:
pH: 7.263; BE:-4,8; PCO2 : 46; PO2 : 65; HCO3: 21,7
Kesan: Alkalosis respiratorik
Lab: 06-02-2013
Hb : 9,9; Hct : 34; AL : 17,4; AT : 264; AE : 4.26; Alb : 3.1; Cr : 1,0; Ur : 54; Na : 146; K : 3.8;
Cl : 110;
AGD:
pH: 7.450; BE:-0.3; PCO2 : 35; PO2 : 180; HCO3: 24.1
Kesan: Alkalosis respiratorik
Rontgen thorax : Cardiomegali dan oedem pulmo
11
Diagnosis:
SIRS,oedem pulmo, Preeklampsia berat, letak lintang pada secundipara hamil aterm dengan
hypoalbuminemia
Terapi:
Post sctp-em
Inf RL 12 tpm
Inj Amikacin 1g/8jam
Inj ketorolac 30 mg/8 jam
Inj. Alinamin F 250 mg/ 8 jam
Inj furosemid 40mg/ 8 jam (SP)
Monitoring KU/ VS/ BC
Diagnosa pulmo:
Oedem pulmo pada Preeclampsia berat
Terapi:
O2 6 liter/mnt (ventilator)
Furosemid 40 mg/8 jam (SP)
Diagnosa jantung:
Syok kardiogenik Susp. OMI anteroseptal
Oedem pulmo
Terapi:
Dobutamin dalam 50 cc RL dengan kecepatan 5mg/jam flow
Inj furosemid 20mg /8jam jika T>100/60 mmhg
Epinefrin dengan s.p
Inf morpin 5mg/jam dengan s.p
Inf midazolam 12mg/jam dengan s.p
12
ICU:08-02-2013: 09.00
KU: terjadi penurunan kondisi
VS: T: 78/57mmHg RR: ventilator (SpOs:88%)
HR:140 bpm t : 38.2oC
mata: CA(+/+), SI(-/-)
Thorax: cor:dalam batas normal pulmo: SDV (+/+), RBH (+/+)
Abd: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusat, luka post operasi btertutup verban,
Gen : darah (-), lochia (+)
Hasil kultur darah:Sensitif: Amikacin, Tigecycline and trimethoprim/ Sulfamethoxazole
Diagnosis :
Syok kardiogenik, Sepsis, oedem pulmo, preeclampsia beerat, letak lintang pada secundipara
hamil aterm, dengan anemia (9,9), renal insufficiensi.
Terapi:
Post SCTP em DPH V
O2 6 lpm (ventilator)
Inj. Amikacin 500mg/8jam
Inj ranitidin 1 amp/8jam
Edukasi keluarga
Balance cairan:-200cc
UO: 40 cc/jam
10.50
KU: jelek, koma, apnea
VS: T: 50/palpasi RR: ventilator (SpO2: 66%)
HR:165 t : 35.5oC
Diagnosis:
Syok septik, oedem pulmo, preeclampsia berat letak lintang pada sekundipara hamil
aterm,dengan klinis anemia (9,9) and renal insufficiensi
Terapi:
13
CPR
Adrenalin 1amp injection & SA 4 amp injection
KIE keluarga
Lapor staf ICU: advice : KIE keluarga
11.05
Evaluasi CPR
VS: T: - RR: -
HR:- t : 34oC
Mata: pupil midriasis maximal 4 mm/4 mm, RC -/-
pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga,dokter dan perawat, dengan penyebab
kematian: Pre Eclampsi berat dengan komplikasi
14
BAB III
PEMBAHASAN
Pre eklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang didapatkan setelah umur
kehamilan 20 minggu (POGI, 2005). Eklampsia adalah kejadian kejang pada PEB yang terjadi
dalam kehamilan menyebabkan kelainan pada susunan saraf. Penyebab eklampsia adalah
berkurangnya aliran darah ke otak, hipoksik otak atau edema otak (Rustam Mochtar, 1998).
Komplikasi PEB yang sering terjadi dan mennjadi penyebab mortalitas dan morbiditas maternal
adalah terjadinya : eklampsis, HELLP syndrome dan Udema paru.
PEB merupakan penyakit sistemik yang berhubungan dengan kehamilan dan melibatkan
multi sistem organ tubuh. Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering
disebut “the desease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima untuk
menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh
darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan
ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester
dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan
mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi,
peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat
terjadi diberbagai organ.
PEB dan Udema paru
Salah satu komplikasi yang berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan
mortalitas wanita dengan PEB adalah terjadinya udema paru. Terjadinya perubahan pada paru
menyebabkan penimbunan cairan pada jaringan intersisial dan alveolar paru yang berakibat
edema paru, merupakan komplikasi preeklamsia yg dihubungkan dgn tingginya angka kematian.
Sibai dkk (1987) mendapatkan insidensi edema paru pd PEB/ eklamsia : 2,9% dari total kasus
PEB Rima dkk. Mendapatkan insiden udem paru di RSDM tahun 2002 s/d 2004 mendapatkan
angka lebih tinggi : 10,19% (37 dari 363).
Patofisiologi terjadinya udem paru pada diduga dikarenakan:
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru
15
Peningkatan permeabiliti kapiler
Penurunan tekanan Onkotik
Penurunan drainage sistem limfe
Sedangkan pada kasus PEB/eklampsia, udem paru disebabkan oleh:
Kegagalan ventrikel kiri, menyebabkan Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
Paru (disfungsi ventrikel kiri, overload cairan iatrogenik, mobilisasi cairan
ekstravaskular postpartum)
Peningkatan permeabilitas kapiler paru oleh karena kerusakan endotel
edema paru diperberat oleh resusitasi cairan yg cepat, emboli amnion, sepsis
sepsis yang berakibat terjadinya distres pernafasan (ARDS)
Gambar 1. Perubahan patofisiologi paru normal dan udema pulmo
Penegakan diagnosis
Diagnosis adanya udem pulmo ditegakan dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Adanya keluhan sesak nafas tanpa disertai adanya riwayat infeksi saluran nafas
sebelumnya, dengan didukung adanya PEB mengarah kepada suatu progresivitas dari PEB yang
sudah menimbulkan komplikasi udem pulmo
Pemeriksaan rongen torak akan memastikan diagnosis udem pulmo, dimana dari
gambaran foto torak didapatkan adanya perkabutan pada parenkim paru, terutama didaerah basal
16
paru. Pemeriksaan penunjang lain adalah analisis gas darah, yang dapat memastikan tingkat berat
ringanya udem paru, berhubungan dengan fungsi paru.
Gambar 2. Gambaran rongen torak udem paru
Manajemen udem paru
Prinsip terapi edema paru:
1. Oksigenasi yang memadai, dengan penggunaan ventilasi mekanik
2. Restriksi cairan/ diuretik
3. kardiovaskular support
4. Antibiotik adekuat untuk pencegahan infeksi
5. Suplemen nutrisi cukup, karena umumnya pasien dengan udem pulmo memerlukan
perawatan jangka panjang
6. mengobati penyakit yang mendasari udem pulmo
Management udem pulmo:
bila telah ditegakan udem pulmo karena PEB, terminasi kehamilan segera untuk
mengurangi beban ventilasi pada paru
prinsip penanganan setealh terminasi adalah menghindari terjadinya gagal anfas
17
pilihan terapi medicamentosa yang utama adalah dengan pemberian: vasodilator, diuretik
dan inotropik agen yang bertujuan untuk menurunkan tekanan hidrostatik vaskuler pada
paru
1. mekanisme kerja vasodilator untuk udem paru:
mendilatasi vena menyebabkan peningkatan kapasitas vena
pendistribusian darah ke perifer
penurunan filtrasi cairan pada parenkim paru
dengan dilatasi vena juga terjadi resistensi pembuluh darah sistemik sehingga
akan meningkatkan cardiac output dan stroke volume
Obat yang sering dipakai: Venodilator : Nitrat ( Nitrogliserin), Arteriodilator
: Phentolamin , Veno dan Arteri dilator : Hydralazine, Nitropruside
2. Pemberian diuretik
Mekanisme kerja utama: meningkatkan ekskresi sodium dan air melalui ginjal.
Obat yang digunakan: Furosemide Dosis: 20-40 mg, IV , pelan-pelan.
Infus: loading dose 80 mg, diikuti 10- 20 mg
mg/jam.
Jika tidak bereaksi dalam 1 jam :
Loading dose diulangi lagi .
Dosis infus dilipatgandakan.
Dosis tidak boleh > 160 mg/jam.
Jika respons masih tidak ada , mungkin resisten terhadap furosemide
berikan : kombinasi Furosemide dengan diuretik jenis lain seperti
Metolazone 2,5-5mg atau Thiazide.
Efek samping: Hipokalemi berat, Alkalosis metabolik, Aritmia jantung
Oleh karena itu perlu preparat KCl
18
ANALISIS KASUS
Pada kasus diatas, pasien masuk dengan diagnosis PEB, letak lintang pada
sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan dengan anemia. Kemudian dilakukan SCTP
emergency dengan spinal anestesi. Sebelum operasi diberikan tranfusi 2 PRC (500 cc)
Sebelum dilakukan spinal anestesi, dilakukan loading cairan dengan koloid 1500 cc.
durante operasi, vital sign ibu stabil, dan jumlah perdarahan 300 cc, dengan balance cairan
+1750 cc.
Setelah operasi di RR, pasien menunjukan penurunan kondisi, dengan: keluhan sesak
nafas dan dari pemeriksaan pulmo didapatkan RBH pada kedua lapangan paru, kemudian pasien
di kirim ke ICU untuk perawatan lebih lanjut.
Dalam 5 hari perawatan, pasien terus mengalami penurunan kondisi dan akhirnya
meninggal dengan penyebab kematian PEB dengan komplikasi.
Pada kasus PEB, secara patofisiologis adalah disebabkan karena adanya placenta atau sel
trofoblas dalam tubuh maternal. Progresivitas PEB akan berhenti setelah placenta dievakuasi.
Dan dengan dilakukanya terminasi kehamilan, diharapkan perjalanan penyakit akan membaik.
Terjadinya udem pulmo pada kasus diatas dimungkinkan karena beberapa hal, antara
lain:
Pemberian tranfusidarah, yang salah satu akibatnya adalah terjadinya udem
pulmo. Oleh karenanya setiap pemebrian terapi cairan harus dimonitor balance
cairan secara ketat, terutama pad akasus kusus seperti PEB
Loading cairan dengan koloid, dimana cairan koloid cenderung akan lebih lama
mengisi sirkulasi
Manajemen udem pulmo pada kasus diatas, menurut pelapor belum dilakukan secara
adekuat, dan manajemen resusitasi cairan pada saat penatalaksanaan pre operasi dan durante,post
operasi tidak termonitoring, sehingga overload. Dalam 5 hari perawatan, pasien tidak
menunjukan perbaikan dari udem pulmonya. Dalam hal ini, kita dapat meningkatkan pemberian
diuresis sampai maksimal dosis, dan pemberian obat-obat venodilator untuk meningkatkan
cardiac output dan stroke volume. Pada pasien dengan udema pulmo, yang utama harus
diperhatikan adalah :
19
Oksigenasi yang memadai, dengan penggunaan ventilasi mekanik
Restriksi cairan/ diuretik
kardiovaskular support
Antibiotik adekuat untuk pencegahan infeksi (disesuaikan dengan hasil kultur)
Suplemen nutrisi cukup, karena umumnya pasien dengan udem pulmo
memerlukan perawatan jangka panjang
mengobati penyakit yang mendasari udem pulmo
20
BAB III
KESIMPULAN
PEB merupakan penyakit sistemik yang menyerang multi organ
Pada permasalahan kasus diatas adanya kesalahan manajemen dari pre operasi ,durante
operasi,sampai post operasi yang mengakibatkan pasien ini terjadi oedem pulmo, yaitu
masalah resusitasi cairan yang overload yang tidak diketahui.
Terapi utama PEB adalah dengan terminasi kehamilan, dan umumnya progresifitas
penyakit akan berhenti setelah placenta dievakuasi.
Udem pulmo merupakan komplikasi yang sangat fatal pada PEB karena mortalitas yang
tinggi pada pasien PEB dengan udem pulmo
Manajemen yang tepat dan adekuat akan menghindarkan PEB dengan udem pulmo dari
perburukan penyakit yang dapat berujung pada kematian.
Pada pasien dengan risiko udem pulmo: misal PEB, sebaiknya selalu dilakukan
pemasangan CVP sehingga dapat dimonitor secara ketat balance cairan, yang diduga
merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya udem pulmo.
21
Referensi:
1. Reeder, Mastroianni, Martin, Fitzpatrik. Maternity Nursing. 13rd ed. Philadelphia: JB
Lippincott Co, 2006; 23: 463-72.
2. Manuaba Gde IB. Penuntun diskusi obstetri dan ginekologi untuk mahasiswa kedokteran.
Jakarta, EGC, 1995; 25-30.
3. Wiknjosastro H, dkk. Ilmu Kebidanan. Ed. ketiga. Cetakan keempat. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 1997; 24: 281- 301.
4. Ansar DM, Simanjuntak P, Handaya, Sjahid Sofjan. Panduan pengelolaan hipertensi
dalam kehamilan di Indonesia. Satgas gestosis POGI, Ujung Pandang, 2008; C: 12-20.
5. Wibisono B. Kematian perinatal pada preeklampsia-eklampsia. Fak. Ked. Undip
Semarang, 2007; 6-12.
6. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. William Obstetrics. Penerjemah: Hariadi R, dkk.
Surabaya: Airlangga University Press, 2007; 27: 609-46.
7. Briggs G Gerald B Pharm, Freeman K. Roger, Yaffe JS. Drugs in pregnancy and
lactation. 4th Ed. Maryland: William & Wilkins, 2004; 66a.
8. American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in pregnancy.
ACOG Technical Bulletin No. 219. Washington, DC: ACOG, 1996.
9. Meekins JW, Pijnenborg R, Hanssens M, et al. A study of placental bed spiral arteries
and trophoblast invasion in normal and severe pre-eclamptic pregnancies. Br J Obstet
Gynaecol. 1994;101:669–674.
10. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on high
blood pressure in pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 2000;183:S1-S22.
11. Morriss MC, Twickler DM, Hatab MR, et al. Cerebral blood flow and cranial magnetic
resonance imaging in eclampsia and severe preeclampsia. Obstet Gynecol. 1997;89:561.
12. Rochat RW, Koonin LM, Atrash HF, et al. Maternal mortality in the United States:
Report from the Maternal Mortality Collaborative. Obstet Gynecol. 1988;72:91.
22
13. Duley L. Maternal mortality associated with hypertensive disorders of pregnancy in
Africa, Asia, Latin America and the Caribbean. Br J Obstet Gynaecol. 1992;99: 547.
23