PEDIATRIC

Embed Size (px)

DESCRIPTION

MANAJEMEN NYERI PADA ANAK

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahThe International Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai perasaan sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi atau digambarkan seperti mengalami kerusakan jaringan.1,2 Nyeri adalah alasan utama pasien mencari pengobatan sekaligus merupakan keluhan medis terbanyak di Amerika.11 Menurut laporan data Medicine-Report Relieving Pain in America, sebanyak 116 juta penduduk Amerika dibebani dengan nyeri kronik. Nyeri kronik yang banyak ditemukan pada anak anak diantaranya adalah nyeri akibat keganasan, penyakit rematologi, Sickle Cell Disease dan HIV/AIDS.9Insiden nyeri kanker pada anak berkisar antara 25-50%. Lebih dari separuhnya disebabkan oleh terapi dan hanya seperempatnya yang disebabkan oleh kanker itu sendiri.4 Wolfe dkk. dalam penelitian yang dilakukan di Boston pada tahun 1997-1998, menyatakan bahwa 89% anak dengan keganasan mengalami penderitaan hebat pada hari-hari terakhir hidupnya, dan penderitaan yang sering dialami adalah rasa nyeri (27%), pegal, atau sesak napas (16%).5 Di Indonesia, Kusumawardani, dalam penelitiannya mendapatkan 44 dari 128 (34.4%) pasien anak di bangsal hematologi onkologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya mendapat terapi paliatif dengan menggunakan analgesik.6Tujuan utama dari penatalaksanaan nyeri adalah untuk menghilangkan penderitaan. Nyeri adalah pengalaman subjektif yang harus diketahui dan ditatalaksana dengan baik. Penderitaan muncul ketika nyeri dirasa sangat hebat, sumber nyeri tidak diketahui atau ketika nyeri kronik. 9Namun demikian, nyeri pada anak sering kali tidak terdiagnosis karena keterbatasan komunikasi dan ekspresi9,12. Nyeri kronik yang tidak teratasi dengan baik, dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.10 Nyeri kronik dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Termasuk aktifitas fisik, kehadiran sekolah, pola tidur, interaksi keluarga dan hubungan sosial sehingga dapat menyebabkan distres, kecemasan, depresi, insomnia, kelelahan dan perubahan mood seperti iritabilitas dan perilaku negatif. Oleh karena itu, penanganan holistik diperlukan untuk meredakan nyeri. 1,12

B. Tujuan PenulisanTujuan penulisan refrat ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah mengenai penatalaksaan nyeri pada anak. Pokok bahasan dalam referat ini meliputi definisi, insidensi, klasifikasi, patofisiologi, evaluasi, dan tatalaksana farmakologi serta nonfarmakologi nyeri pada anak.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISIThe International Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai perasaan sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi atau digambarkan seperti mengalami kerusakan jaringan.1,2 Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang dialami dengan durasi lebih dari 12 minggu1Nyeri persisten didefinisikan sebagai nyeri jangka panjang yang disebabkan oleh suatu penyakit medis, sebagai contoh, nyeri yang terkait dengan penyakit infeksi mayor (contoh: HIV), kanker, kronik neuropati (setelah amputasi) dan nyeri episodik (krisis pada penyakit bulan sabit)1

B. INSIDENSI Nyeri adalah alasan utama pasien mencari pengobatan sekaligus merupakan keluhan medis terbanyak di Amerika.11 Menurut laporan data Medicine-Report Relieving Pain in America, sebanyak 116 juta penduduk Amerika dibebani dengan nyeri kronik. Nyeri kronik yang banyak ditemukan pada anak anak diantaranya adalah nyeri akibat keganasan, penyakit rematologi, Sickle Cell Disease dan HIV/AIDS.9Insidens nyeri kanker pada anak berkisar antara 25-50%. Lebih dari separuhnya disebabkan oleh terapi dan hanya seperempatnya yang disebabkan oleh kanker itu sendiri.4 Wolfe dkk. dalam penelitian yang dilakukan di Boston pada tahun 1997-1998, menyatakan bahwa 89% anak dengan keganasan mengalami penderitaan hebat pada hari-hari terakhir hidupnya, dan penderitaan yang sering dialami adalah rasa nyeri (27%), pegal, atau sesak napas (16%).5 Di Indonesia, Kusumawardani, dalam penelitiannya mendapatkan 44 dari 128 (34.4%) pasien anak di bangsal hematologi onkologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya mendapat terapi paliatif dengan menggunakan analgesik.6

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NYERI

Nyeri merupakan fenomena multidimensional, yang dipengaruhi oleh proses sensoris, fisiologis, kognitif, afektif, perilaku dan komponen spiritual. Emosi (komponen afektif), respon perilaku terhadap nyeri (komponen perilaku), kepercayaan, sikap (attitude), spiritual dan kebudayaan terhadap nyeri serta kontrol nyeri (komponen kognitif), dapat berpengaruh terhadap bagaimana nyeri akan dialami (komponen sensoris). Hal tersebut terjadi dengan cara memodifikasi transmisi noxious stimuli (stimulus tidak menyenangkan) terhadap otak (komponen fisiologi).1

Gambar 1. Faktor Multidimensional Nyeri1

Nyeri bersifat subyektif karena ambang nyeri setiap individu berbeda-beda.2 Ambang nyeri akan turun pada saat kita merasa lelah, cemas, sedih, marah, depresi, bosan, takut, dan terisolasi. Keadaan tidur, istirahat, rasa empati, diversi, dan pengertian akan meningkatkan ambang nyeri.3Verghese dan Hanallah menyatakan bahwa anak anak juga menderita nyeri pos operasi sama seperti orang dewasa. Namun demikian, rasa takut, kecemasan, coping style, dan kurangnya dukungan sosial dapat memperberat nyeri fisik yang dialami anak-anak. Pemberian analgesik setelah operasi tidak bergantung pada usia pasien, namun tergantung prosedur dan ambang nyeri pasien.10Penatalaksanaan nyeri pada anak seringkali tidak adekuat. Hal ini disebabkan oleh,7,111. Mitos bahwa infan dan anak-anak tidak merasa nyeri, atau hanya menderita ringan dibanding dewasa.2. Kurangnya evaluasi rutin nyeri pada anak.3. Kurangnya pengetahuan modalitas terbaru dan strategi peresepan yang tepat untuk analgesik pada anak.4. Khawatir terhadap resiko depresi nafas atau efek samping analgesik.5. Kepercayaan bahwa pencegahan nyeri pada anak menyita waktu dan tenaga.

D. KLASIFIKASI NYERITerdapat 4 cara untuk mengklasifikasikan nyeri, yaitu berdasarkan mekanisme patofisiologi nyeri, durasi, etiologi dan lokasi anatomis.81. Mekanisme patofisiologi nyeriTerdapat dua jenis nyeri, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif timbul ketika jaringan yang rusak mengaktifasikan reseptor spesifik nyeri, yaitu nosiseptor. Nosiseptor dapat merespon panas, dingin, getaran, kerusakan jaringan atau peradangan. Nyeri jenis ini disubklasifikasikan menjadi nyeri somatik dan nyeri visceral, teragantung lokasi nosiseptor yang terlokasi. Nyeri somatik disebabkan oleh aktivasi nosiseptor di purmukaan jaringan (kulit, mukosa mulut, hidung, urethra, anus dll), atau jaringan dalam, seperti tulang, sendi, otot dan jaringan ikat. Semetara nyeri viseral disebabkan oleh aktivasi nosiseptor yang berada di viseral ( organ dalam tubuh yang didalam rongga, seperti organ di dalam toraks dan abdomen). Bisa terjadi akibat infeksi, distensi cairan atau gas, atau penekanan biasanya akibat tumor padat.8Nyeri neuropati disebabkan oleh kerusakan struktural dan disfungsi sel saraf perifer atau sentral. Proses yang dapat menyebabkan kerusakan saraf, seperti metabolik, trauma, infeksi, iskemik, toksik atau kondisi patologi akibat imun dapat menimbulkan nyeri neuropati. Sebagai tambahan, nyeri neuropati dapat disebabkan oleh kompresi saraf atau proses abnormal sinyal nyeri dari otak dan medula spinalis. Penyebab nyeri neuropati perifer pada anak diantaranya adalah cedera saraf, kompresi saraf oleh lesi tumor atau abses, kerusakan saraf akibat infeksi HIV atau efek toksik ART, tumor jinak saraf,yaitu neurofibroma atau scar neuroma setelah trauma/pembedahan, infiltrasi saraf oleh kanker, dan kerusakan saraf akibat pengobatan kanker (kemoterapi, radiasi). Sementara itu, penyebab nyeri neuropati sentral adalah cedera medula spinalis. Anak anak juga dapat mengalami nyeri neuropati sindrom seperti congenital degenerative peripheral neuropathies dan inflamatory neuropaties (contoh: Sindroma Guillain-Barre).1

2. Durasi waktu nyeriBerdasarkan waktu, nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut atau nyeri kronik. Batasan waktu antara keduanya seringkali berubah dan berbeda, sehingga tidak esensial untuk penetapan strategi tatalaksana nyeri.1Nyeri akut adalah nyeri yang timbul dengan onset mendadak, dirasakan setelah adanya cedera, dengan intensitas berat, namun tidak bertahan lama. Timbul akibat cedera jaringan yang menstimulasi nosiseptor dan menghilang seiring dengan penyembuhan jaringan.1Nyeri kronik adalah nyeri terus menerus atau kambuhan, yang menetap melebihi waktu normal penyembuhan. Nyeri kronik mungkin pada mulanya timbul sebagai nyeri akut yang menetap dalam jangka waktu yang lama dan kemudian kambuh akibat stimulasi menetap. Nyeri kronik dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Termasuk aktifitas fisik, kehadiran sekolah, pola tidur, interaksi keluarga dan hubungan sosial sehingga dapat menyebabkan distres, kecemasan, depresi, insomnia, kelelahan dan perubahan mood seperti iritabilitas dan perilaku negatif. Oleh karena itu, penanganan holistik diperlukan untuk meredakan nyeri. 1

3. Etiologi nyeriKlasifikasi berdasarkan etiologi secara umum dibedakan berdasarkan penyakit yang mendasari, yaitu malignansi atau non malignansi1

4. Lokasi anatomis nyeri Nyeri juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tubuh (contoh: kepala, punggung, leher) atau fungsi anatomis jaringan yang terlibat (contoh: myofasial, rhematik, skeletal, neurological dan vascular). Namun demikian, lokasi dan fungsi tubuh semata tidak terlalu berpengaruh terhadap dimensi fisik dan tidak termasuk dalam mekanisme dasar penyakit. Meskipun klasifikasi anatomis dapat bermanfaat untuk menentukan diferensial diagnosis, klasifikasi ini tidak berpengaruh terhadap tatalaksana nyeri.1

E. PATOFISIOLOGI NYERIPatofisiologi nyeri diawali dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin (PGE2 dan PGEa), histamin, serotonin, dan substansi P yang akan merangsang ujung-ujung saraf bebas. Stimulus ini akan diubah menjadi impuls listrik yang dihantarkan melalui saraf menuju ke sistem saraf pusat. Adanya impuls nyeri akan menyebabkan keluarnya endorfin yang akan berikatan dengan reseptor m, d, dan k di sistem saraf pusat. Terikatnya endorfin pada reseptor tersebut akan menyebabkan hambatan pengeluaran mediator di perifer, sehingga akan menghambat penghantaran impuls nyeri ke otak.7Pada keganasan, nyeri yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor disebut nyeri nosiseptif; sedangkan nyeri yang ditimbulkan oleh gangguan pada sistem saraf disebut nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif terjadi akibat kerusakan jaringan yang potensial yang dapat disebabkan oleh penekanan langsung tumor, trauma, inflamasi, atau infiltrasi ke jaringan yang sehat dan dapat berupa nyeri somatik maupun viseral. Nyeri somatik terjadi akibat terkenanya struktur tulang dan otot, bersifat tajam, berdenyut, serta terlokalisasi dengan jelas. Nyeri viseral adalah nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh penarikan, distensi, atau inflamasi pada organ dalam toraks dan abdomen. Nyeri viseral bersifat difus, tidak teralokalisasi, dan dideskripsikan sebagai tegang atau kejang disertai rasa mual dan muntah.7,8Nyeri neuropatik sering dijumpai pada pasien keganasan dan umumnya sulit untuk ditangani. Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat kompresi saraf oleh masa tumor, trauma saraf pada prosedur diagnostik atau pembedahan, serta cedera sistem saraf akibat efek samping kemoterapi atau radioterapi. Adanya gangguan pada sistem saraf akan menyebabkan lepasnya muatan spontan dan paroksismal pada sistem saraf perifer dan pusat atau menyebabkan hilangnya modulasi inhibitor pusat. Karakteristik nyeri neuropatik adalah hiperalgesia (respon berlebihan terhadap stimulus yang menimbulkan nyeri) dan alodinia (nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menyebabkan nyeri.7,8

F. EVALUASI NYERI PADA ANAKPenilaian nyeri pada anak seringkali tidak mudah dilakukan karena tidak semua anak dapat berkomunikasi verbal atau memiliki cacat perkembangan. Persepsi dan komunikasi nyeri pada anak tergantung dari tingkat intelektual dan perkembangan sosial. Ekspresi nyeri bergantung pada kemampuan anak untuk memahami, mengukur dan mengkomunikasikan nyeri yang dialami.9Penilaian nyeri dapat dilakukan melalui teknik pelaporan sendiri (self-report technique), obsevasi perilaku atau pengukuran tanda tanda fisiologis, bergantung dari usia anak serta kemampuan komunikasi. 9Pengukuran nyeri pada anak dapat dilakukan dengan autoanamnesis, pemeriksaan fisis, observasi tingkah laku, dan pengukuran fisiologis. Anammesis umumnya dapat dilakukan pada anak di atas 3 tahun dan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan orangtua. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menggambarkan nyeri adalah visual analog scale (VAS), numerical scale dan faces scale.Visual analog scale dan numerical scale merupakan sebuah skala garis lurus berukuran 10 cm, tetapi teknik VAS tidak menggunakan angka untuk menunjukkan intensitas nyeri. Kedua teknik ini dapat digunakan untuk anak berusia lebih dari 7 tahun. Faces scale dapat digunakan untuk menilai nyeri pada anak berusia 3-7 tahun yang dapat berkomunikasi dan sudah mengerti konsep lebih dan kurang.

Gambar 2. Pengukuran Nyeri Self Report Technique7

Observasi tingkah laku dapat digunakan pada bayi atau anak yang belum dapat bicara. Teknik pengukuran yang dapat digunakan adalah FLACC scale dan Riley infant pain scale. Skala FLACC dapat digunakan pada anak berusia 2 bulan sampai 7 tahun, sedangkan riley infant pain scale dapat digunakan untuk menilai nyeri pada bayi. Skor FLACC berupa total nilai yang diakumulasikan. Manajemen nyeri perlu dilakukan bila skor akumulasi 3. 7

Tabel 1. Skala Pengukuran Nyeri FLACC 7,8KatagoriSkor

012

Face (Wajah)Tidak ada ekspresi khusus, senyumMenyeringai, mengerutkan dahi, tampat tidak tertarik (kadangkadang)Dagu gemetar, gigi gemeratak (sering)

Legs (Kaki)Normal, rileksGelisah, tegangMenendang, kaki tertekuk

Actifity (Aktivitas)Berbaring tenang, posisi normal, gerakan mudahMenggeliat, tidak bisa diam, tegangKaku atau kejang

Cry (Menangis)Tidak menangisMerintih, merengek kadang mengeluhTerus menangis, berteriak, sering mengeluh

ConsolabilityrileksDapat ditenangkan dengan sentuhan, pelukan, bujukanSulit dibujuk

Tabel 2. Riley Infant Pain Scale7Katagori0123

Wajah Netral/senyumMenyeringai Mengerutkan dahiMengertakkan gigiTerus menangis

Gerakan tubuhTenang, rileksGelisah tidak tenangAgitasi sedangGerakan memukul, agitasi terus menerus, mengkakukan tubuh

Tidur Tenang, rileksTidur gelisahSering terbangunMudah terbangun dengan sentuhan, tidak bisa tidur

Verbal/vokalTidak menangisMenangis, merintih, mengeluhMenangis kesakitanBerteriak, high pitched cry

Consolability Netral Mudah dibujukTidak mudah dibujukTidak dapat dibujuk

Respon terhadap sentuhanGerakan mudahMengerinyit jika disentuh atau bergerakMenangis bila disentuh atau bergerakBerteriak dengan high pitched cry jika disentuh atau bergerak

Pengukuran respons fisiologis merupakan pengukuran tambahan yang mencakup flushing, berkeringat, peningkatan tekanan darah, takikardia, takipnea, penurunan saturasi oksigen, dan dilatasi pupil.

G. TATALAKSANA NYERI PADA ANAKPenanganan nyeri dapat dilakukan dengan terapi farmakologis dan nonfarmakologis.13 Sekitar 80-90% pasien dengan keganasan dengan keluhan nyeri dapat diatasi dengan pemberian analgesik, terutama morfin. Strategi penanganan nyeri secara farmakologis yang digunakan saat ini berpedoman pada pedoman yang dikeluarkan WHO sebagai berikut,By the clock. Terapi harus diberikan dengan jadwal tertentu untuk mencegah awitan nyeri.By the apropriate route. Terapi harus diberikan dengan cara yang mudah dan dapat diterima oleh pasien.By the child. Pemberian dosis terapi harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Analgesik harus diberikan berdasarkan derajat nyeri pasien. WHO telah membuat rekomendasi terapi analgesik yang digambarkan seperti tangga

1. Terapi Farmakologia) Prinsip Penatalaksanaan FarmakologiTerapi farmakologi yang dianjurkan WHO adalah penggunaan 2 langkah tahapan analgesik berdasarkan derajat nyeri yang dirasakan. Strategi ini dinilai lebih efektif untuk menangani nyeri persisten pada anak dengan penyakit medis dibanding strategi tiga langkah tahapan yang digunakan pada tahun 1986. Strategi tiga langkah tahapan merekomendasikan penggunaan kodein sebagai opioid lemah untuk mengatasi nyeri derajat sedang, sementara strategi dua langkah tahapan merekomendasikan penggunaan opioid kuat dosis rendah untuk mengatasi nyeri derajat sedang. 8

Gambar 3. Dua Langkah Tahapan Pendekatan Manajemen Nyeri Pada Anak8

1) Nyeri ringanPada anak usia >3bulan, dengan nyeri ringan, obat pilihan pertama yang direkomendasikan adalah parasetamol dan ibuprofen. Sementara pada anak usia < 3 bulan, satu-satunya obat pilihan adalah parasetamol.7,8Namun demikian, penggunaan parasetamol dan ibuprofen perlu diperhatikan karena memiliki efek samping yang merugikan anak. Parasetamol dan ibuprofen memiliki risiko potensial toksik terhadap renal, hepar dan gastrointestinal. Ibuprofen juga dapat meningkatkan risiko perdarahan.8

2) Nyeri sedang-beratPenatalaksanaan nyeri derajat sedang-berat memerlukan penggunaan opioid kuat. Morfin adalah obat pilihan langkah kedua. Opiod kuat lain juga dapat dipertimbangkan sebagai alternatif morfin dan mengurangi efek samping morfin.8 Obat golongan opioid kuat dinilai lebih efektif dan memiliki efek samping yang lebih minimal dibanding efek samping kodein dan tramadol. Kodein, merupakan golongan opiod lemah yang keamanan dan efikasi obat bergantung pada variabilitas biotransformasi genetik. Kodein merupakan prodrug yang dikonversikan ke produk metabolit aktif oleh enzim CYP2D6. Pada fetus, aktifitas CYP2D6 kurang dari 1% nilai dewasa. Kadarnya akan terus meningkat, namun kurang dari 25% nilai dewasa, pada anak kurang dari 5 tahun. Oleh karena itu, efek analgesik kodein pada neonatus dan anak anak sangat rendah atau hampir tidak ada.8Penelitian mengenai keamanan dan efikasi penggunaan tramadol pada anak sangat terbatas. Oleh karena itu, penggunaan tramadol untuk mengatasi nyeri pada neonatus dan anak tidak direkomendasikan.8

b) Analgesik Non-opioidPenggunaan parasetamol dan ibuprofen (dan NSAID lainnya) harus dibatasi pada dosis yang direkomendasikan sesuai umur dan berat badan untuk menghindari efek toksik. Hal yang perlu dipertimbangkan lainnya adalah kapasitas anak untuk memetabolisme parasetamol dan ibuprofen. Seperti kondisi malnutrisi, status nutrisional buruk dan penggunaan obat lainnya8

Tabel 3. Dosis dan Pemberian Analgesik Non-Opioid pada Anak8Dosis (rute oral)

Obat Neonatus usia 0-29 hariInfan usia 30 hari- 3 bulanInfan usia 3-12 bulan atau anak usia 1 th-12 thDosis maksimum harian

Parasetamol 5-10 mg/kg tiap 6-8 jam*10 mg/kg tiap 4-6 jama10-15 mg/kg tiap 4-6 jama,bNeonatus, infan dan anak: 4 dosis/hari

Ibuprofen --5-10 mg/kg tiap 6-8 jamAnak: 40 mg/kg/hari

Keterangan : aAnak dengan malnutrisi atau status nutrisi buruk lebih rentan terhadap efek toksik dosis standar akibat rendahnya kadar enzim natural detoxifying glutathionebDosis maksimal adalah 1 gram pada satu kali pemberian

c) Analgesik opioidUntuk memperoleh dosis dengan efek pereda nyeri optimal dan efek samping minimal, morfin atau opioid kuat lain harus diberikan dengan dosis bertahap meningkat. Berbeda dengan parasetamol dan NSAID, tidak ada batas dosis maksimal untuk analgesik opioid karena tidak ada ceiling analgesic effect. Dosis yang sesuai adalah dosis yang dapat meredakan nyeri untuk masing masing anak. Tujuan dari titrasi pereda nyeri adalah untuk mencegah anak merasa kesakitan dengan dosis yang terendah. Oleh karena itu perlu penilaian berkala dari respon nyeri anak untuk memberikan dosis yang sesuai. Opioid lain perlu diberikan sebagai alternatif bila ditemukan efek samping mual, muntah, sedasi dan kejang.7,8Dosis awal penggunaan opiod harus sesuai dengan pedoman. Setelah penggunaan dosis awal, dosis pemberian perlu disesuaikan berdasarkan individu pasien hingga tercapai dosis efektif (tanpa dosis maksimal, kecuali pertimbangan tidak dapat menaikkan dosis karena efek samping yang tidak dapat dikendalikan). Maksimal peningkatan dosis adalah 50% tiap 24 jam pada pasien rawat jalan, dan 100% pada pasien rawat inap yang dapat dievaluasi berkala. Penggunaan opioid jangka panjang dapat menyebabkan konstipasi, oleh karena itu pasien perlu diberikan kombinasi laksatif atau pelunak tinja.8 Morfin adalah obat lini pertama golongan opioid kuat yang direkomendasikan untuk mengatasi nyeri derajat sedang-berat pada anak dengan penyakit medis. Morfin dapat disediakan dengan harga yang terjangkau dan dalam berbagai formula yang bervariasi, diantaranya adalah,81) Injeksi: 10 mg dalam 1 ml Ampul (morfin hidroklorida atau morfin sulfat)2) Granul (prolonged release) (dicampur dengan air): 20 mg, 30 mg, 60 mg, 100 mg, 200 mg (morfin sulfat)3) Oral liquid: 10 mg/5ml (morfin hidroklorida atau morfin sulfat)4) Tablet (immediate-release): 10 mg (morfin sulfat)5) Tablet (prolonged-release): 10 mg, 30 mg, 60 mg, 100 mg, 200 mg (morfin sulfat)

Oral tablet formulasi morfin tersedia dengan immediate-release dan prolonged-release. Tablet immediate-release direkomendasikan untuk digunakan sebagai titrasi dosis morfin hinga tercapai dosis efektif.7,8Penggantian opiod dan atau rute administrasi pada anak direkomendasikan bila efek analgesik tidak adekuat disertai efek samping yang tidak dapat ditolerir. Penggantian jenis opiod secara berkala tanpa alasan klinis tidak direkomendasikan.8Obat alternatif dari morfin yang direkomendasikan pada anak adalah fentanyl, hydromorphone, methadon dan oxycodone.14,15

Tabel 4. Dosis Inisial untuk Analgesik Opioid untuk Neonatus8Obat Rute administrasiDosis inisial

Morfin Injeksi IV25-50 mcg/kg tiap 6 jam

Injeksi SC25-50 mcg/kg tiap 6 jam

Infus IVDosis inisial IVa, 25-50 mcg/kg, kemudian 5-10 mcg/kg/jam, 100 mcg/kg tiap 6 atau 4 jam

Fentanil Injeksi IVb1-2 mcg/kg tiap 2-4 jamc

Infus IVbDosis inisial IVc 1-2 mcg/kg kemudian 0,5-1 mcg/kg/jam

Keterangan:aBerikan IV morfin perlahan sekitar 5 menitbDosis intravena untuk neonatus tergantung dari informasi tatalaksana manajemen nyeri akut dan dosis sesdasi. Dosis yang lebih rendah diperlukan untuk neonatus tanpa ventilasicberikan IV fentanil perlahan sekitar 3-5 menit

Tabel 5. Dosis Inisial Analgesik Opioid untuk Infan (usia 1 bulan-1 th)8Obat Rute AdministrasiDosis Inisial

Morphin Oral (immediate release)80-200 mcg/kg tiap 4 jam

Injeksi IVa1-6 bulan: 100 mcg/kg tiap 6 jam6-12 bulan: 100 mcg/kg tiap 4 jam (maks 2,5 mg/dosis)

Injeksi SC1-6 bulan: Dosis inisial IV: 50 mcg/kg kemudian 10-30 mcg/kg/jam6-12 bulan: dosis insial IC: 100-200 mcg/kg kemudian 20-30 mcg/kg/jam

Infus IVa1-3 bulan: 10 mcg/kg/jam3-12 bulan: 20 mcg/kg/jam

Infus SC1-2 mcg/kg tiap 2-4 jamc

Fentanil bInjeksi IVDosis inisial IC 1-2 mcg/kgc, kemudian 0,5-1 mcg/kg/jam

Infus IV

Oxycodone Oral (intermediate release)50-125 mcg/kg tiap 4 jam

KeteranganaBerikan IV morfin perlahan sekitar 5 menitbDosis intravena untuk neonatus tergantung dari informasi tatalaksana manajemen nyeri akut dan dosis sesdasi. Dosis yang lebih rendah diperlukan untuk neonatus tanpa ventilasicberikan IV fentanil perlahan sekitar 3-5 menit

Tabel 6. Dosis Inisial Analgesik Opioid untuk Anak (usia 1 th-12 th)8Obat Rute AdministrasiDosis inisial

Morfin Oral (immediate release)1-2 th: 200-400 mcg/kg tiap 4 jam2-12 th: 200-500 mcg/kg tiap 4 jam (max 5 mg)

Oral (prolonged release)200-800 mcg/kg tiap 12 jam

Injeksi IVa1-2 th: 100 mcg/kg tiap 4 jam2-12 th: 100-200 mcg/kg tiap 4 jam (max 2,5 mg)

Injeksi SC

Infus IVdosis insial IV: 100-200 mcg/kga, kemudian 20-30 mcg/kg/jam

Infus SC20 mcg/kg/jam

FentanylInjeksi IVDosis inisial IV 1-2 mcg/kgb, diulang tiap 30-60 menit

Infus IVDosis inisial 1-2 mcg/kgb, kemudian 1 mcg/kg/jam

HydromorphoneOral (intermediate release)30-80 mcg/kg tiap 3-4 jam (max 2 mg/dosis)

Injeksi IVd atau inj SC15 mcg/kg tiap 3-6 jam

Metadone Oral (intermediate release)100-200 mcg/kg Tiap 4 jam untuk 2-3 dosis pertama kemudian tiap 6-12 jam (max 5 mg/dosis awal)f

Injeksi IV g dan inj SC

OxycodoneOral (intermediate release)125-200 mcg/kg tiap 4 jam (max 5 mg/dosis)

Oral (prolonged release)5 mg tiap 12 jam

Keterangana Berikan IV morfin perlahan sekitar 5 menitbberikan IV fentanil perlahan 3-5 menitcHydromorphone adalah opioid kuat dan terdapat perbedaan antara penggunaan oral dan intravena. Hatihati dalam mengkonversi rute satu rute lain. Bila mengkonversi parenteral hydromorphone ke oral hydromoprhone, dosis perlu dititrasi lebih dari 5 x dosis IVd berikan IV hidromorphone perlahan 2-3 meniteKarena bentuk natural komples dan variasi farmakokinetik yang lebar antar individu, metadone hanya boleh diberikanoleh dokter berpengalamanfMetadone harus diinisiasi dengan titrasi seperti opioid kuat lain. Dosisnya perlu diturunkan 50% 2-3 hari setelah peggunaan dosis efektif untuk mencegah efek samping akibat akumulasi metadonegBerikan IV metadone perlahan 3-5 menit

Tabel 7. Perkiraan Rasio Dosis Pergantian antara Dosis Parenteral dan Dosis Oral8Obat Rasio Dosis (Parenteral: Oral)

Morfin 1:2 1:3

Hydrophone 1:2 1:5a

Methadone 1:1 1:2

Keterangan:a Hydromorphone adalah opioid kuat dan terdapat perbedaan signifikan dosis oral dan intravena. Konversi hydromorphone parenteral ke oral memerlukan titrasi dosi 5x dosis IV

Penghentian opiod analgesik mendadak dapat menimbulkan gejala neurologis seperti iritabilitas, kecemasan, insomnia, agitasi, peningkatan tonus otot, abnormal tremor dan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, kram perut, diare dan penurunan nafsu makan. Oleh karena itu, penghentian opiod analgesik harus dilakukan dengan cari tappering-off . Untuk terapi jangka pendek (7-14 hari), penurunan dosis adalah 10-20% dosis awal tiap 8 jam. Untuk terapi jangka lama, penurunan dosis tidak lebih dari 10-20% tiap minggu.14,15Overdosis opioid dapat terjadi bila salah menghitung dosis inisial yang dibutuhkan. Dapat juga terjadi akibat salah menghitung saat opioid diganti atau ketika opioid formula prolonged-release secara eror digunakan sebagai ganti opioid formula short-acting. Gejala overdosis opioid adalah timbulnya depresi nafas disertai gejala klasik pupil pinpoint yang dapat menimbulkan koma. Antidotum spesifik untuk mengatasi overdosis opioid adalah naloxone. Overdosis opioid moderate, dapat diatasi dengan penggunaann bantuan ventilator, dan naloxone dengan dosis awal 1 microgram (mcg)/ kg dititrasi tiap saat, tiap 3 menit hingga tercapai dosis efektif. Infus naloxone dosis rendah dapat dilanjutkan untuk monitoring kondisi hingga pasien sadar penuh.16

c) Terapi AdjuvantTerapi adjuvant sering diberikan di praktek klinis bersama dengan analgesik untuk meringankan gejala nyeri pada kondisi nyeri hebat. Terapi tersebut digunakan spesifik untuk kasus nyeri neuropatik, nyeri tulang dan nyeri yang berkaitan dengan spasme otot. Namun penelitian lebih lanjut mengenai manfaat dan efikasi penggunaan terapi adjuvan belum banyak ditelaah secara ilmiah8Beberapa obat yang sering digunakan di praktek klinis diantaranya adalah,1) Steroid Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi adjuvan tidak direkomendasikan pada pengobatan nyeri persisten anak dengan penyakit medis. Kortikosteroid sering menimbulkan efek samping pada penggunaan kronik. Kortikosteroid diindikasikan untuk menurunkan edema peritumor,peningkatan tekanan intrakranial pada tumor SSP, dan untuk terapi neuropati terkait kompresi medula spinalis atau saraf tepi.

2) Nyeri tulangBifosfonate.Penggunaan bifosfonate sebagai terapi adjuvan tidak direkomendasikan untuk mengatasi nyeri tulang pada anak. Pada dewasa, penggunaan bifosfonat menunjukkan perbaikan nyeri akibat metastase tulang, meskipun memiliki banyak efek samping. Namun demikian penggunaan bifosfonat pada anak tidak banyak diteliti keamanan dan efikasi obat.16

3) Nyeri neuropatiNyeri neuropati pada anak jarang terjadi. Nyeri neuropati pada anak mungkin disebabkan complex pain regional syndrome, phantom limb pain, cedera medula spinalis, trauma dan nyeri neuropati pos operatif serta neuropati degeneratif (contoh: Sindrome Guillain Bare).17

Tricyclic Antidepressant (TCA)Obat TCA, seperti amitriptilin dan nortriptilin banyak digunakan secara klinis untuk meringankan nyeri neuropati seperti post-herpetic neuralgia dan neuropati diabetik. Amitriptiline sudah banyak digunakan secara luas dan terjangkau.18

Selective Serotonin Reuptake InhibitorsPenggunaan SSRI pada anak dan dewasa dengan nyeri kronik menurunkan risiko depresi dan risiko penyimpangan perilaku serta ide bunuh diri. Fluoxetin banyak digunakan dalam panduan mengatasi nyeri dan antidepresan pada anak lebih dari 18 tahun.18

AntikonvulsanPenggunaan antikonvulsan seperti Karbamazepin dan Gabapentin dalam mengatasi nyeri neuropati mulai banyak diberikan pada pasien dewasa. Beberapa praktek klinis telah menggunakan obat tersebut sebagai adjuvan mengatasi nyeri dalam pediatrik. Namun belum banyak penelitian mengenai efikasi dan efek samping penggunaan antikonvulsan sebagai adjuvan terapi neuropati8

4) Nyeri akibat spasme ototBaclofen dan benzodiazepin banyak diberikan pada praktek klinis untuk mengatasi nyeri akibat spasme otot dan kekakuan otot. Namun demikian belum ada bukti ilmiah yang mendukug penggunaan baclofen dan benzodiazepin sebagai terapi adjuvan mengatasi nyeri pada pediatrik19

2. Terapi Non FarmakologiTerapi nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri pada anak diantaranya adalah strategi psikologis, edukasi dan dukungan orangtua. Untuk anak yang akan menjalani prosedur menyakitkan, dapat dilakukan intervensi cognitive-behavioural therapy untuk menurunkan kecemasan dan stres.11Tujuan terapi ini untuk mengajarkan anak menguasai respon terhadap situasi tertentu yang penuh tekanan. Idealnya respon yang diharapkan merupakan perilaku yang sesuai dengan tahapan basic coping strategi pasien. Kebanyakan teknik ini membutuhkan waktu untuk mempelajari dan menguaai. Teknik distraksi sederhana, untuk mengaburkan perhatian anak terhadap stimulus nyeri, atau teknik dorongan positif dengan menyediakan penghargaan kecil atas usaha dan keberanian pasien, dapat dilakukan pada pasien yang akan menjalani prosedur tertentu.11Teknik lain yang dapat menenangkan anak adalah dengan memegang, memijat, mengelus dan mengayun.7 Teknik ini didesain untuk menurunkan kecemasan, namun kurang adekuat untuk meredakan nyeri hebat.11

BAB IIIKESIMPULAN

1. Nyeri adalah perasaan sensorik dan emosional tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi atau digambarkan seperti mengalami kerusakan jaringan.2. Nyeri merupakan fenomena multidimensional, yang dipengaruhi oleh proses sensoris, fisiologis, kognitif, afektif, perilaku dan komponen spiritual.3. Terdapat 4 cara untuk mengklasifikasikan nyeri, yaitu berdasarkan mekanisme patofisiologi nyeri, durasi, etiologi dan lokasi anatomis.4. Penilaian nyeri dapat dilakukan melalui teknik pelaporan sendiri (self-report technique), obsevasi perilaku atau pengukuran tanda tanda fisiologis, bergantung dari usia anak serta kemampuan komunikasi.5. Terapi farmakologi yang dianjurkan WHO adalah penggunaan 2 langkah tahapan analgesik berdasarkan derajat nyeri yang dirasakan.6. Obat pilihan untuk mengatasi nyeri ringan adalah obat parasetamol dan ibuprofen.7. Obat pilihan untuk mengatasi nyeri sedang-berat adalah golongan opioid kuat seperti morfin.8. Terapi adjuvan dapat diberikan untuk mengurangi gejala nyeri, namun demikian manfaat dan efikasinya belum banyak diteliti.9. Terapi nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri pada anak diantaranya adalah strategi psikologis, edukasi dan dukungan orangtua.

DAFTAR PUSTAKA1. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Control of pain in patients with cancer: a national clinical guideline. Didapat dari: http://www.sign.ac.uk Diakses tanggal 20 November 20152. American Medical Association. Pain management: pathophysiology of pain and pain assessment. Didapat dari: http://www.ama-meonline.com/pain_mgmt/module01/index.htm. Diakses tanggal 21 November 20153. Ripamonti C, Bruera E. Pain and symptom management in palliative care. Didapat dari: http://www.moffittusf.edu/pubs/ccj/v3n3/article2.html. Diakses tanggal 21 November 20154. Ministry of Health Singapore. Clinical practice guide-lines: cancer pain, 2003. Didapat dari: http://www.gov.sg/moh/pub/cpg/cpg.htm. Diakses tanggal 21 November 2015.5. Wolfe J, Grier HE, Klar N, Levin SB, Ellenbogen JM, Salem-Schatz S, dkk. Symptoms and suffering at the end of life in children with cancer. N Eng J Med 2000;342:326-33.6. Kusumawardani S, Netty. Penatalaksanaan nyeri pada pasien kanker anak di bangsal hematology onkologi RSUD Dr Soetomo 1998. Dalam: Firmansyah A, Trihono PP, Oswari H, Nurhamzah W, Darmawan,penyunting. Buku abstrak Konika XI-Jakarta. Jakarta:IDAI Pusat; 1999. h. 210.7. Farastuti, Damayani dan Endang Widiastuti. Sari Pediatri, Vol 7 No 3 Desember 2005: 153-1598. World Health Organization. WHO Guidelines on the Pharmacological Treatment of Persisting Pain in Children with Medical Illnesses. 2012.9. American Academy of Pediatrics. The Assesment and Management of Acute Pain in Infants, Children and Adolescents. Pediatrics. 2001. Vol 108 No 3.10. Susan T Verghese dan Raafat S Hanallah. Acute Pain Management in Children. Journal of Pain Research 2010:3 105-12311. American Medical Association. Pediatric Pain Management Guideline. 2013.12. Dyah Kanya Wati., dkk. Validitas Skala Nyeri NVPSR Sebagai Penilai Nyeri. Sari Pediatri. Vol 14 No 1, Juni 201213. McKenzie CA, Hobbs AE, Warrick LE. Pain management in cancer patient. US Pharmacist. Didapat dari: http://www.uspharmacist.com/oldformat.htm. Diakses tanggal 20 November 201514. Robertson RC et al. Evaluation of an Opiate-Weaning Protocol Using Methadone in Pediatric Intensive Care Unit Patients. Pediatric Critical Care Medicine. 2000. 1:119-12315. Anand KJ et al. Tolerance and Withdrawal from Prolonged Opioid Use in Critically Ill Children. 2010. Pediatrics. 125:1208-1225.16. Berde CB, Sethna NF. Analggesics for the Treatment of Pain in Children. New England Journal of Medicine, 2002. 347:154217. Walco GA et al. Neuropathic Pain in Children: Special Consideration. Mayo Clinic Proceedings, 2010,85 (Supp.3): S33-S4118. The selection and use of Essential Medicines. Report of the WHO Expert Committee. October 2007 (including the model list of Essential Medicines for Children). Geneva, World Health Organization. 2008. (WHO Technical Report Series No 950)19. WHO Essential Medicines List for Children (EMLc).2008. Palliative Care. Diakses pada tanggal 25 November 2015

2