Upload
lyque
View
230
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007
TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih
Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
ERMELLIA OCTAVIANI
NIM: E 000 5160
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007
TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
Disusun oleh
ERMELLIA OCTAVIANI
NIM: E.0005160
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Sugeng Praptono, S.H, M.H Isharyanto, S.H, M.Hum.
NIP. 19520808 198403 1 001 NIP. 19780501 200312 1 002
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulis Hukum (Skripsi)
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007
TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
Disusun oleh:
ERMELLIA OCTAVIANI
NIM: E.0005160
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Maret Sebelas Sukarta
Pada: Hari : Senin Tanggal : 26 Juli 2010
TIM PENGUJI
1. Maria Madalina, S.H., M.Hum : (…………………………..) Ketua
2. Isharyanto, S.H., M.Hum : (…………………...……...) Sekretaris
3. Sugeng Praptono, S.H., M.H : (………………………..…) Anggota
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret,
Mohamad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 19610930 198601 1 001
4
PERNYATAAN
Nama : Ermellia Octaviani
NIM : E0005160
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007
TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemusian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juli 2010
Yang membuat pernyataan
ERMELLIA OCTAVIANI
NIM. E 0005160
5
ABSTRAK
Ermellia Octaviani, 2010. PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI DASAR PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS. Fakultas Hukum UNS.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia kaitanya sebagai dasar pelaksanaa otonomi khusus lebih lanjut lagi untuk mengetahui hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi DKI Jakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD Provinsi DKI Jakarta . Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara, observasi atau pengamatan dan melalui studi kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen seperti berkas perkara, dan sebagainya. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dan memperfunakan analisis interaktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan bahwa pelakasanaan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007, memberikan tugas serta kewenangan yang khusus bagi Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara yang tidak hanya menanggung kepentingan daerah tapi juga menanggung kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peran dan kedudukan Provinsi DKI Jakarta berbeda dengan Provinsi lain di Indonesia,dimana Provinsi DKI Jakarta harus dapat mengakomodasi peran lokal, nasional, dan Internasional. Salah satunya status otonomi khusus yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta dicirikan dengan tidak adanya wilayah administrasi, status otonomi Provinsi DKI Jakarta ada pada tingkat Provinsi. Perbedaan tugas dan wewenang Gubernur serta pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan wilayah lain di Indonesia, adanya perbedaan istilah serta kedudukan dalam pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, memiliki rencana tata ruang Nasional oleh sebab itu tata ruang provinsi DKI Jakarta harus sinergi dengan dengan tata ruang daerah sekitarnya.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 yang berisi 11 Bab dan 40 Pasal ini mengatur dasar, kedudukan, fungsi, peran, batas serta pembagian wilayah, bentuk dan susunan pemerintahan, kewenangan dan urusan pemerintahan provinsi, kerja sama, tata ruang dan kawasan khusus, protokoler dan pendanaan provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara secara garis besar sudah berjalan dengan baik, hanya saja beberapa hal yang belum dapat terlaksana dengan optimal karena berbagai macam hal.
Kata kunci : Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, hambatan pelaksanaan, tugas dan kewenagan khusus Provinsi DKI Jakarta, otonomi khusus.
6
ABSTRACT
Ermellia Octaviani, 2010. IMPLEMENTATION OF LAW NUMBER 29 YEAR 2007 ON THE PROVINCIAL ADMINISTRATION JAKARTA SPECIAL CAPITAL REGION AS STATE CAPITAL UNITY AS THE BASIS OF THE IMPLEMENTATION OF THE REPUBLIC OF INDONESIA SPECIAL AUTONOMY. FAKULTAS UNS LAW.
The aim of the research conducted by the authors is to know how the implementation of Law Number 29 of Provincial Government of DKI Jakarta as the capital of the Republic of Indonesia kaitanya special autonomy as a basis for further implementation again to know what obstacles arise in the implementation of special autonomy in the Province DKI Jakarta.
This study is descriptive and if seen from its purpose, including empirical legal research. Location of research at the provincial government and the Local House or Representative of DKI Jakarta Province. Type of data used in this study are primary and secondary data. Data collection techniques used were interviews, observation and through the study of literature both in the form of books, legislation, documents such as case files, and so forth. Data analysis of qualitative data and analysis use interaktif.
Based on the results of research and data analysis has been carried out that the implementation of Law Number 29 of 2007, providing duty and authority specifically for the Province of DKI Jakarta as the capital of the State which not only bear the interests of the region but also bear the interests of the Unitary Republic of Indonesia. The role and position of different DKI Jakarta province with other provinces in Indonesia, where the Jakarta Provincial role must be able to accommodate local, national, and international. One of them held a special autonomy status of DKI Jakarta Province is characterized by the lack of administrative areas, the status of autonomous province of DKI Jakarta is on the provincial level. Differences in the duties and authority of the governor and the provincial government of DKI Jakarta and other Indonesian regions, the differences in the term and a position in the government of DKI Jakarta Province, has a national spatial plan accordingly DKI Jakarta provincial spatial structure should be synergies with the regional spatial surroundings. Implementation of Law Number 29 of 2007 which contains 11 Chapters and 40 Articles of this basic set, position, function, role, boundaries and zoning, shape and composition of government, provincial authorities and government affairs, cooperation, spatial properties, and special areas, protocol and funding the province of DKI Jakarta as the capital of the state outline is well underway, it's just that some things can not be accomplished with optimal due to various thing.
Keywords: Implementation of Act Number 29 of 2007, barriers to implementation, tasks and special kewenagan DKI Jakarta Province, the special autonomy.
7
KATA PENGANTAR
Segala puji Penulis panjatkan kepada Allah SWT, Yang Maha Pengasih
lagi Penyayang, atas segala limpahan karunia dan berkahnya yang telah diberikan
kepada penulis, tak lupa shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
(skripsi) yang berjudul “Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Dasar Pelaksanaan
Otonomi Khusus”.
Dalam proses yang panjang ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih
yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang dengan kerelaannya telah
memberikan bantuan, bimbingan, peran serta,dorongan, dukungan baik secara
materiil ataupun immateriil sejak awal hingga akhir penyusunan laporan penulisan
hukum (skripsi) ini. Untuk itu penulis pada kesempatan ini hendak menyampaikan
banyak terima kasihnya kepada:
1. Bapak Moh. Jamin, S. H., M.Hum., selaku Dekan FH UNS yang telah
memberikan kesempatan serta ijin kepada penulis untuk melakukan
kegiatan belajar di FH UNS yang akhirnya bermuara pada penulisan
hukum ini;
2. Ibu Aminah, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara FH
UNS yang telah memberikan bantuan dan ijin kepada penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini;
3. Bapak Sugeng Praptono S.H., M.H., selaku pembimbing I skripsi penulis.
Atas semua bimbingan dan ilmu yang penulis peroleh selama penulis
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini;
4. Bapak Isharyanto, S.H, M.Hum., selaku Pembimbing II skripsi Penulis.
Atas semua bimbingan, arahan, suport yang teramat besar, serta
pengetahuan yang penulis peroleh dalam setiap bimbingan yang diberikan
sehingga dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini;
8
5. Bapak Isharyanto, S.H, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik atas
bimbingan, pencerahan dan nasihatnya selama penulis menuntut ilmu di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
6. Bapak Puspla Dirdjaja, Biro Hukum Pemerintah Daerah Provinsi DKI
Jakarta, yang telah bersedia penulis wawancarai dan telah memberikan
banyak ilmu serta masukan dalam penulisan hukum (skripsi) ini;
7. Bapak R.A Zulkarnain, Hubungan Masyarakat DPRD Provinsi DKI
Jakarta, yang telah bersedia penulis wawancarai dan telah memberikan
banyak ilmu serta masukan dalam penulisan hukum (skripsi) ini;
8. Bapak Amir Hamzah, mantan Anggota Dewan PAN/Pakar Tata Negara di
DPRD DKI Jakarta, yang telah bersedia penulis wawancarai dan telah
memberikan banyak ilmu dan masukan dalam penulisan hukum (skripsi)
ini;
9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf Fakultas Hukum UNS
yang telah memberikan ilmu, membimbing Penulis sehingga dapat
menjadi bekal bagi Penulis dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat
penulis amalkan dalam kehidupan masa depan penulis;
10. Bapak Budi Prasetyo dan Ibu Emmy Melwani Rasyid orang tua penulis,
terimakasih atas dukungan, doa, ketulusan, serta kasih sayang yang kalian
berikan tanpa henti. Tidak ada kata yang dapat mewakilkan rasa terima
kasihku, yang hanya bisa berusaha memberikan yang terbaik kepada bapak
dan ibu, yang akan selalu bersama dalam hatiku tanpa perbedaan apapun
dengan alasan apapun.
11. Erinna Melina Prasetyo, adik Penulis yang telah memberikan semangat,
dan seluruh keluarga besar, terima kasih atas seluruh doa. dukungan,
perhatian serta kasih sayang;
12. Afri Yudha Pratama, atas cinta, kasih sayang, pengertian, dan kesabaran
yang tiada batas, selalu berusaha membuatku tersenyum, tanpamu aku tak
akan berdiri sekuat dan setegar ini. Serta bantuan dan dukungannya selama
mengerjakan karya tulis (skripsi) ini;
9
13. Almamater kedua di Fakultas Hukum yang telah memberikan banyak
pelajaran hidup yang tiada terkira, dan memberikanku keluarga yang indah
penuh kebersamaan serta pengalaman yang tak akan pernah terlupakan.
Laboratorium Seni Teater Delik, semoga nafasmu senantisa tersambung
demi paseduluran kita, kalian akan selalu hidup dalam hati dan pikiranku;
14. Panitia 9, Kuclux, Menul, Mpis, dnox, Gondang, Irma, Paiye, Tembonk,
atas semua support/dukungan. Terimakasih telah menemaniku selama di
solo, Semoga kita dapat selalu bersama.”Aku sayang kalian semua”;
15. Teman-temanku di Fakultas Hukum UNS, Andre, Sinta, Elisa, Fenti,
febty, disya, farid, reza, lemot, teman-teman magang, Tim Indisipliner
Somasi 2008 dan semua angkatan 2005, terima kasih telah menambah
pengalaman dan cerita dalam hidupku dan selalu menjadi kenangan;
16. Bapak Rachmat, Ibu Ernita, Andra dan Sarah, terimakasih atas kasih
sayang kalian, menerima aku apa adanya, mengukir kebersamaan selama
masa perkuliahan di Fakultas Hukum UNS;
17. . Semua sahabat-sahabat terbaiku di Jakarta, terimakasih atas kebersamaan
serta kasih sayang yang kalian berikan.
18. Special thanks untuk pihak yang direpotkan secara langsung dalam
pembuatan skripsi ini, Apenk, Dnox, Mpis, Kuclux, disya, Bapak Eddy
Supriadi beserta keluarga, Jerry, pak pri, Om Indra. Serta semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuannya bagi penulis dalam menyusun penulisan hukum ini baik secara
moril maupun materil.
Dengan kerendahan hati Penulis menerima kritik dan saran yang
membangun sehingga dapat memperbaiki semua kekurangan yang ada dalam
Penulisan Hukum Ini. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi
siapapun yang membacanya.
Surakarta, Juni 2010 Penulis,
ERMELLIA OCTAVIANI
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETEJUAN PEMBIMBING............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 9
E. Metode Penelitian .............................................................. 9
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori .................................................................. 18
1. Tinjauan tentang Negara Hukum ................................. 18
2. Tinjauan tentang Otonomi Daerah............................... 21
3. Tinjauan tentang Provinsi DKI Jakarta ........................ 30
B. Kerangka Pemikiran........................................................... 34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Daerah Khusus Ibukota Jakarta ............................... 36
11
B. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Dalam
Kaitannya Sebagai Dasar Pelaksanaan Otonomi Khusus di
Provinsi DKI Jakarta .......................................................... 48
1. Wilayah Administrasi .................................................. 50
2. Kewenangan Khusus Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta........................................................................... 57
3. Kekhasan Tata Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta .... 62
4. Sumber Dana Pemerintahan Provinsi DKI .................. 68
C. Hambatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007 Sebagai Dasar Pelaksanaan Otonomi Khusus di DKI
Jakarta…………………………………………………… 70
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................ 82
B. Saran-saran......................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA
12
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Analisis data ................................................................................ 15
Gambar 2. Kerangka Pemikiran.................................................................... 34
Gambar 3. Pola Organisasi Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta ......... 63
13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Penelitian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 85
Lampiran 2. Surat Keterangan Penelitian DPRD Provinsi DKI Jakarta....... 86
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai landasan konstitusional.
Kerangka kenegaraan dan sistem pemerintahan Indonesia diatur berdasarkan
UUD 1945. Ketentuan UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia merupakan
negara konstitusi, bersendikan demokrasi, dan berbentuk republik kesatuan.
Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki wilayah
yang sangat luas dan mempunyai keanekaragaman di setiap daerah. Negara
Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Daerah-
daerah di negara Indonesia juga mempunyai latar belakang yang berbeda-beda,
baik dalam hal sejarah, adat istiadat, maupun kebiasaan yang sudah menjadi
budaya turun temurun, sehingga tidak dapat dihilangkan. Latar belakang tersebut
membuat kebutuhan di setiap daerah pun berbeda-beda.
Demi terwujudnya kesejahteraan dan peran serta masyarakat dalam negara
yang majemuk seperti Indonesia satu ukuran belum tentu cocok untuk semua
daerah, maka perlu diperhatikan serta dihormati setiap kekhususan dan keragaman
di setiap daerah. Peraturan Daerah satu sama lain tidak perlu seragam. Oleh
karena itu, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan daerahnya sesuai kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat,
namun tetap tunduk dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945
(lex superiori derogat legi imperiori). Pemerintah daerah mempunyai otonomi
untuk mengatur daerahnya, hal ini bertujuan agar setiap daerah dapat
memberdayakan daerahnya (HAW widjaja,2004 : 2).
14
Ketentuan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional negara Indonesia
memberi pedoman dasar bagaimana local goverment diselenggarakan di
Indonesia. Membuat koridor hukum sesuai dengan konsep hubungan pusat dan
daerah. Sebagaimana diungkapkan oleh Bhenyamin Hoessein bahwa
pemerintahan daerah menganut asas otonomi daerah dan tugas pembantuan yang
dalam penyelenggaraannya lebih menitik beratkan pada penggunaan asas
desentralisasi politik atau devolusi, bukan asas desentralisasi administrasi atau
dekonsentralisasi. Hubungan pusat daerah bukanlah komando, tapi hubungan
sesama badan publik yang diatur dalam Undang-undang (Hanif Nurcholis,
2007:24).
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Amandemen UUD 1945) menjadi dasar konstitusional kehadiran Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004), kehadiran undang-undang
tersebut dimaksud untuk mengatur setiap daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Pada
prinsipnya pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa
selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
atau tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan
menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara
keseluruhan.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di
wilayah provinsi. Hal ini agar proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin
agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selain itu pemerintah daerah juga berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas tugas
15
pembantuan, misalnya kota madya menarik pajak-pajak tertentu, seperti pajak
kendaraan, yang sebenarnya menjadi hak dan urusan pemerintah pusat.
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 dibuat agar mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kalangan pakar politik menyebutnya dengan istilah desentralisasi
asimetris (asymmetrical decentralization) yaitu desentralisasi luas, yang meliputi
desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak harus
seragam untuk semua wilayah negara, tetap harus mempertimbangkan potensi
dan kekhususan masing-masing daerah. Konsep tersebut sebenarnya sudah mulai
dijalankan, yaitu dengan adanya beberapa daerah berotonomi khusus
(http://www.desentralisasi.org.html (18 Mei 2009)).
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD
1945 mengakui dan menghormati hak-hak khusus dan istimewa setiap daerah
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
(http://id.wikipedia.org (18 Mei 2009)).
Konsep ini terdapat dalam Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945 (setelah
amandemen) yang menyatakan:
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
16
2. Negara nengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dengan undang-undang.
Dalam pemerintahan daerah di Indonesia dikenal adanya daerah otonom,
daerah administrasi, daerah istimewa serta dan atau daerah khusus (Hanif
Nurcholis,2007 : 110).
1. Daerah otonom adalah satuan pemerintahan di daerah yang penduduknya
berwenang mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berdasarkan
aspirasinya, kecuali pertahanan dan keamanan, peradilan, luar negeri,
agama, keuangan dan bidang tertentu lainnya. Daerah ini menjadi otonom
karena pemerintah pusat melakukan desentralisasi teritorial kepadanya.
Dengan desentralisasi teritorial terhadap satuan politik yang ada di daerah
maka jadilah sebagai daerah otonom. Daerah ini disebut daerah otonom
karena setelah dilakukan desentralisasi oleh pemerintah pusat, daerah
tersebut berhak mengurus dan mengatur urusannya sendiri berdasarkan
aspirasi dan kepentingan masyarakat. Biasanya suatu daerah diberi sistem
ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan
minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang
khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut dan untuk
menyelenggarakan urusannya sendiri. Daerah otonom memiliki dewan
perwakilan yang dipilih oleh rakyat daerah tersebut melalui pemilu yang
bebas. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan kepala
daerah membuat kebijakan daerah dan melaksanakannya sesuai dengan
aspirasi dan kehendak masyarakat setempat, sehingga dapat mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
2. Wilayah administrasi adalah wilayah kerja pejabat pusat yang ditempatkan
di daerah, pada wilayah administrasi pemerintah pusat tidak melakukan
desentralisasi tapi dekonsentrasi, karena yang dilakukan pemerintah pusat
17
adalah dekonsentrasi maka tidak terjadi otonomi di daerah ini. Masyarakat
yang berada di wilayah ini tidak boleh membuat keputusan sendiri untuk
menentukan kepentingan dan kebutuhannya begitu pula pejabatnya.
Pejabat dalam wilayah administrasi bukanlah pejabat yang dipilih oleh
masyarakat setempat tapi pejabat yang diangkat atau ditunjuk dan
bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan tidak
bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Hubungan
administrasi terjadi sebagai konsekuensi kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang merupakan satu kesatuan dalam
penyelenggaraan sistem administrasi.
3. Daerah istimewa merupakan daerah-daerah yang secara historis pada masa
pemerintahan Hindia Belanda diperbolehkan menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri berdasarkan hukum adat masing-masing kecuali
bidang-bidang tertentu sesuai dengan perjanjian, yang kemudian dikenal
dengan daerah swapraja misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah
Istimewa Aceh (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Daerah-daerah
tersebut istimewa karena mempuyai susunan asli baik struktur politiknya,
struktur ekonominya, maupun sosial budayanya.
4. Daerah khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Kekhususan
tersebut diberikan oleh pemerintah karena kawasan atau daerah ini
merupakan kawasan strategis yang secara nasional menyangkut hajat
hidup orang banyak, baik dari sudut politik, sosial budaya, lingkungan dan
pertahanan keamanan. Dalam daerah khusus ini diselenggarakan fungsi-
fungsi pemerintahan tertentu sesuai kepeningan nasional. Daerah-daerah
yang diberikan otonomi khusus ini adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
(Provinsi DKI Jakarta), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi
Papua, Provinsi Papua Barat.
Seperti yang telah disebutkan di atas Provinsi DKI Jakarta merupakan
salah satu daerah khusus yang berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus sebagai daerah
18
otonom pada tingkat provinsi yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban,
dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai
tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat atau perwakilan lembaga
internasional. Penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan
menurut asas otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan, dan
kekhususan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai ibukota negara peran dan kedudukan Provinsi DKI Jakarta
berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, di mana Provinsi DKI Jakarta harus
dapat mengakomodasikan peran lokal, nasional dan internasional, di mana dalam
perkembangannya Provinsi DKI Jakarta tumbuh menjadi pusat kegiatan yang
sering menjadi tolak ukur pembangunan dan stabilitas keamanan nasional atau
juga disebut barometer Indonesia.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sebagai pusat pemerintahan, dan sebagai daerah otonom berhadapan
dengan karakteristik permasalahan yang sangat kompleks dan berbeda dengan
provinsi lain. Kompleksitas permasalahan tersebut berkaitan dengan
keberadaannya sebagai pusat pemerintahan negara, faktor luas wilayah yang
terbatas, jumlah dan populasi penduduk yang tinggi dengan segala
dampak yang ditimbulkannya terhadap aspek-aspek pemukiman, penataan
wilayah, urbanisasi, keamanan, transportasi, pengelolaan kawasan khusus, dan
masalah sosial kemasyarakatan lain, yang memerlukan pemecahan masalah secara
sinergis melalui berbagai instrumen, oleh karena itu, perlu diberikan kekhususan
tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007). Undang -
undang ini mengatur kedudukan khusus Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota
Negara.
Penetapan Provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya sebagai Ibu Kota
Negara, tidak saja diperuntukan bagi kepentingan daerah tetapi juga untuk
19
kepentingan nasional. Provinsi DKI Jakarta mempunyai banyak perbedaan
dibanding dengan daerah-daerah otonom lain, di antara sekian banyak perbedaan,
status otonomi Provinsi DKI Jakarta berada pada lingkup provinsi, maka
ditiadakannya wilayah administrasi yang bersifat otonom. Selain menjadi daerah
khusus, Provinsi DKI Jakarta memiliki otonomi khusus dalam bentuk otonomi
tunggal yang berbeda dengan provinsi lainnya. Kedududukan Otonomi Khusus,
tidak terdapat rangkap daerah administrasi dengan daerah otonom, dan di bawah
daerah otonom tidak terdapat enclave wilayah administrasi ataupun bentuk
otonom lainnya. Pemberian otonomi khusus yang bersifat tunggal dianggap logis
dan objektif untuk dipertahankan, dengan 2 (dua) alasan:
1. Dalam perspektif demokrasi, desentralisasi memang dianggap sebagai
suatu kebutuhan berkenaan dengan distribusi kewenangan dan
kewenangan yang dipencarkan melalui hierarki geografis negara;
2. Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara memberi beban,
tantangan dan tanggung jawab besar dan kompleks untuk melaksanakan
fungsi-fungsi yang melekat pada pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pengaturan dalam satuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengembalian
yang kompak dan terintegrasi.
Wewenang yang dimiliki ini diberikan sebagai pelaksanaan asas
desentaralisasi yang dilakukan oleh pemerinah. Selain itu, hal ini juga sebagai
pelaksanaan asas dekonsentrasi. Gubernur selaku wakil pemerintah daerah
mendapatkan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat, dengan demikian,
berarti Provinsi DKI Jakarta mempunyai posisi ganda, yaitu sebagai Ibukota
NKRI dan juga menjadi daerah otonom yang sekaligus menjadi wilayah
administrasi. Demikian juga halnya dengan gubernur, di samping kepala daerah,
juga mengemban tugas sebagai wakil pemerintah pusat.
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ”PELAKSANAAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAHAN
PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA SEBAGAI
20
IBUKOTA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI
DASAR PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, perumusan masalah yang diangkat
dalam peulisan hukum ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai dasar pelaksanaan otonomi
khusus di Provinsi DKI Jakarta?
2. Hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2007 sebagai dasar pelaksanaan otonomi khusus di
Provinsi DKI Jakarta?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
hendak dicapai oleh penulis agar dapat menyajikan data yang akurat sehingga
dapat memberi manfaat dan mampu menjawab permasalahan di atas. Berdasarkan
hal tersebut, ada dua tujuan utama dalam penelitian ini, yaitu:
1. Tujuan Obyektif, yaitu untuk:
a. Mengetahui bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007 tentang pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
dasar pelaksanaan otonomi khusus.
b. Mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang
pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota
21
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai dasar pelaksanaan
otonomi khusus dalam mengikuti perkembangan politik dewasa ini,
khususnya di Provinsi DKI Jakarta.
2. Tujuan Subyektif, yaitu untuk:
a. Menambah pengetahuan penulis, terutama di bidang ilmu hukum,
khususnya hukum tata negara.
b. Memperoleh data-data yang dipergunakan dalam penyusunan
penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap kegiatan penelitian dalam penulisan skripisi ini akan
bermanfaat baik bagi orang lain pada umumnya maupun bagi penulis sendiri pada
khususnya. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis adalah:
1. Manfaat Teoritis, yaitu :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
penelitian pada ilmu hukum, khususnya hukum tata negara.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang
jelas mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007
serta hambatannya.
c. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dan literatur dalam dunia
kepustakaan yang berkaitan dengan peraturan tentang daerah khusus,
khususnya Provinsi DKI Jakarta.
2. Manfaat Praktis, yaitu :
a. Guna meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penalaran
penulis dalam bidang hukum, khususnya Hukum Tata Negara.
b. Untuk memberikan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung
dengan penelitian ini.
22
E. Metode Penelitian
Suatu penulisan, dalam hal ini penulisan skripsi, dapat dikatakan sebagai
suatu penelitian ilmiah bilamana dilakukan suatu penelitian menggunakan
metodologi yang tepat. Menurut Soerjono Soekanto, metodologi pada hakekatnya
memberikan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari,
menganalisa, dan memahami lingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto,
2006:6).
Untuk memperoleh data yang akurat, relevan dan lengkap dibutuhkan
suatu metode tertentu yang menunjang proses penelitian ini. Sehubungan dengan
hal itu maka metode yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian dengan jenis empiris yaitu suatu penelitian yang berusaha
mengidentifikasi hukum yang terdapat dalam masyarakat dengan maksud
mengetahui gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986:10). Dalam
penelitian hukum ini, penulis akan menjelaskan secara objektif mengenai
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 dalam pelaksanaanya sebagai dasar
pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi DKI Jakarta, serta hal-hal apa saja
yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan undang undang tersebut.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian yang bersifat
deskriptif. Suatu penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berupaya untuk
memberikan gambaran secara lengkap dan jelas mengenai obyek
penelitian, dapat berupa manusia, keadaan atau gejala, dan fenomena
sosial tertentu. Hal ini untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau dalam rangka
menyusun teori-teori baru ( Soerjono Soekanto 2006 : 10).
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan berupaya untuk
memberikan gambaran secara lengkap dan jelas mengenai pelaksanaan
23
serta hambatan dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007 sebagai dasar pelaksanaan otonomi khusus Provinsi DKI Jakarta .
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto penelitian kualitatif adalah penelitian
yang dilakukan dengan melakukan pengumpulan data berupa kata-kata,
gambar-gambar, serta informasi verbal maupun normative dan bukan
dalam bentuk angka-angka. Dan pendekatan tersebutlah yang digunakan
oleh penulis dalam penulisan hukum ini. Yaitu dengan mendasarkan pada
info dan data yang dinyatakan oleh nara sumber baik secara lisan maupun
tertulis. Serta dengan mengamati perilaku yang nyata untuk kemudian
dipelajari dan ditelaah (Soejono Soekanto, 1986:10).
4. Lokasi Penelitian
Untuk meperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis akan
melakukan penelitian dengan mengadakan penelitian di Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dan DPRD Provinsi DKI Jakarta.
5. Jenis Data
Dalam suatu penelitian, data yang digunakan dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu data yang diperoleh dari nara sumber, dan data yang diperoleh
dari bahan pustaka. Data pertama disebut dengan data primer atau data
dasar (primary data), dan data yang kedua dinamakan sebagai data
sekunder (secondary data) (Soerjono Soekanto, 1986:12). Jenis data yang
penulis gunakan dalam penelitian hukum ini adalah:
a. Data Primer
Data primer adalah keterangan, info, fakta yang diperoleh dari
nara sumber melalui wawancara maupun dari fakta yang diamati
secara langsung di lapangan. Dan dalam penelitian ini penulis
mengambil data primer dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
dengan Bapak Puspla Dirdjaja (Staf Subag Peraturan Daerah unsur
24
Biro Hukum) serta DPRD Provinsi DKI Jakarta dengan Bapak R.A
Zulkarnain (Hubungan Masyarakat DPRD), serta
Bapak Amir Hamzah (Pakar Tata Negara/Mantan Dewan PAN
DPRD Provinsi DKI Jakarta).
b. Data Sekunder
Data ini adalah keterangan, info, dan fakta yang diperoleh
bukan secara langsung dari nara sumber yang ada di lapangan
melainkan dari studi kepustakaan yaitu dari tulisan ilmiah, sumber
tertulis, buku, arsip, majalah, literature, peraturan Perundang-
undangan dan sebagainya yang tentunya mempunyai relevansi
dengan topik yang akan penulis bahas pada penelitian hukum ini,
untuk kemudian akan penulis telaah dan kaji lebih lanjut.
6. Sumber Data Penenelitian
Sumber data adalah tempat ditemukannya data yang akan digunakan
dalam suatu penelitian hukum. Dalam memecahkan suatu isu hukum dan
sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa seyogyanya, diperlukan
sumber-sumber penelitian (Peter Mahmud Marzuki, 2008:14). Sumber
data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yang sangat menunjang dalam penulisan
hukum ini adalah sumber data primer yang diperoleh secara
langsung dari lapangan. Sumber data primer yang terdiri dari
keterangan maupun data yang diperoleh dari petugas yang
berwenang di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta DPRD DKI
Jakarta.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh
bukan secara langsung oleh nara sumber di lapangan. Dalam
praktenya sumber data sekunder adalah data dari kepustakaan, yang
sifatnya dapat mendukung data primer, yang terdiri dari:
25
1) Bahan Hukum Primer, yaitu materi hukum yang sifatnya
mengikat dan mempunyai kedudukan secara yuridis, seperti
perturan perundang-undangan, meliputi:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang–
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah;
c) Undang-Undang Nomor 34 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia
Jakarta;
d) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007, tentang
pemerintahan Provinsi Provinsi DKI Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kestuan Republik Indonesia;
e) Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Organisasi Perangkat Daerah.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan
penelitian hukum sekunder yang digunakan penulis, yaitu:
a) Peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah
disebutkan di atas sebagai bahan hukum sekunder;
b) Buku-buku yang berkaitan dengan topik atau bahasan
yang penulis angkat, dalam hal ini buku yang banyak
memuat topik tersebut adalah buku-buku hukum;
c) Hasil hasil penelitian, artikel majalah dan koran, pendapat
pakar hukum maupun makalah-makalah yang
berhubungan dengan topik penulisan ini.
3) Bahan Hukum Tersier, adalah bahan yang member petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
Ini biasanya diperoleh dari media internet, kamus, ensiklopedi,
26
dan lain sebagainya (Soerjono Soekanto, 2001:113). Sepeti
kamus hukum, kamus bahasa, serta ensiklopedi.
7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengolahan data adalah bagaimana caranya mengolah data
yang berhasil dikumpulkan untuk memungkinkan peneliti yang
bersangkutan melakukan analisa yang sebaik-baiknya (Soejono dan
Abdurrahman, 2003:46). Dalam penulisan hukum ini penulis
menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Studi lapangan
Studi lapangan adalah pengumpulan data dengan cara
penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan, di mana peneliti
menggunakan teknik wawancara. Wawancara dipandang sebagai
teknik pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang
dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan kepada tujuan
penyelidikan. Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi
tentang hal-hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan
(Burhan Asofa, 2004:59);
b. Studi pustaka
Penulis melakukan studi pustaka dengan membaca dan
mempelajari segala bahan seperti buku, majalah, literature, tulisan
ilmiah, undang-undang, internet dan lain sebagainya, yang terdiri
dari data di bidang ilmu hukum, dan bidang yang mempunyai
relevansi dengan Undang–Undang Nomor 29 Tahun 2007 yang
penulis angkat.
8. Teknis Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan
data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data
(Lexy J. Maleong, 2002:103). Penulis menggunakan model analisis
interaktif (interactive model of analysis), yaitu data yang dikumpulkan
27
akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, menyajikan data dan
menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar
tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan satu sama
lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian
(H.B. Sutopo, 2002 :35). Tiga tahap tersebut adalah:
a. Reduksi Data
Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek,
membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul
dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus-
terus menerus sampai laporan akhir penelitian selesai.
b. Penyajian Data
Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset
dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, gambar, dan
tabel dan sebagainya.
c. Menarik kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi
berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan
peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang
mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan
(HB. Sutopo, 2002:37).
Berikut ini penulis berikan ilustrasi bagan dari tahap analisis data:
Pengumpulan Data
Reduksi data
Penarikan Kesimpulan/
Verifikasi
Sajian Data
28
Gambar 1.
Komponen-komponen Model Analisis Interaktif
(H. B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif)
Ketiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan dengan verifikasi dimulai dengan
pengumpulan data. Setelah pengumpulan data selesai dilakukan
maka peneliti menarik kesimpulan dengan verifikasi sehingga akan
dapat memperoleh data yang benar-benar dapat menjawab
permasalahan yang diteliti.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dari penulisan hukum
yang disusun, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum yang sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan gambaran umum
mengenai penulisan hukum yang mencakup: Latar Belakang Masalah;
Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Metode
Penelitian; Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Menguraikan mengenai tinjauan pustaka yang menjadi
landasan bagi peneliti dalam memecahkan masalah yang ada dalam
penelitian ini yaitu mengenai: Tinjauan tentang negara hukum, Tinjauan
tentang Otonomi Daerah, Tinjauan tentang Provinsi DKI Jakarta.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Bab ini penulis menguraikan mengenai hasil penelitian
dan pembahasan pokok permasalahan yang ingin diungkapkan
29
berdasarkan rumusan masalah, penulis akan mengungkapkan hasil
penelitian dari sumber data primer maupun sumber data sekunder
mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007, serta
hambatan apa saja yang menghambat pelaksanaan Undang-undang
tersebut sebagai dasar pelaksanaan otonomi khusus Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB IV :PENUTUP
Dalam bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan
jawaban atas rumusan permasalahan dalam bentuk kesimpulan yang
merupakan hasil telaah dan pembahasan dalam bab sebelumnya, serta
memberikan saran-saran sebagai sarana evaluasi terutama terhadap
temuan-temuan selama penelitian yang menurut hemat penulis
memerlukan perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
30
31
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Negara Hukum.
a. Pengertian Negara Hukum
Munculnya pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah
muncul sejak abad XIX sampai dengan abad XX. Arti negara hukum
itu sendiri pada hakikatnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara adalah hukum, sehingga seluruh alat perlengkapan
negara apapun namanya termasuk warga negara harus patuh dan
tunduk serta menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali (B. Hestu Cipto
Handoyo, 2003:12).
b. Konsepsi Negara Hukum
1) Negara Hukum Formal (Demokrasi Abad XIX).
Menurut Carl Frederich, negara hukum formal dapat
disebut negara yang menganut demokrasi konstitusional atau
negara hukum klasik yang hidup pada abad ke-19 yang
mempunyai ciri penting bahwa pemerintahan bersifat pasif,
artinya pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana berbagai
keinginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di
parlemen. Disini peranan negara lebih kecil dari pada peranan
rakyat yang memerintah (Moh.Mahfud M.D, 1999:21).
Perumusan yuridis tentang gagasan konstitusionalisme
dicapai pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 yang
ditandai dengan pemberian istilah Rechtsstaat (oleh ahli hukum
Eropa Barat Kontinental) atau Rule of Law (oleh ahli hukum
Anglo Saxon). Di Indonesia, keduanya diterjemahkan dengan
“Negara Hukum” yang pada masa tersebut sebagai negara
hukum formal (Moh.Mahfud M.D, 1999:23).
32
F.Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Barat
Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat (Moh. Mahfud
M.D, 1999:23), yaitu :
a) Hak-hak asasi manusia;
b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin
hak-hak asasi manusia;
c) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan;
d) Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan A.C Dicey dari kalangan Anglo Saxon
memberikan ciri-ciri Rule of Law (Moh. Mahfud M.D,
1999:23),yaitu:
a) Supremasi hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang-
wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika
melanggar hukum;
b) Kedudukan yang sama di dalam hukum;
c) Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-undang dan
keputusan-keputusan pengadilan (Moh.Mahfud M.D,
1999:23).
2) Negara Hukum Material (Demokrasi Abad XX)
Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam
urusan warga negara baik di bidang sosial dan maupun ekonomi
bergeser ke arah gagasan baru yaitu gagasan Welfare State atau
Negara Hukum Materiil dengan ciri-ciri berbeda yang
dirumuskan dalam konsep negara hukum formil (Moh. Mahfud
M.D, 1999:25).
Syarat-syarat terselenggaranya pemerintahan yang
demokratis di bawah Rule of Law (yang dinamis) menurut
International Commission of Jurist pada tahun 1965 di Bangkok
adalah (Miriam Budiardjo, 2007: 61) :
a) Perlindungan konstitusionil, yaitu konstitusi harus memuat
jaminan terhadap hak-hak individu, dan bukan itu saja,
33
melainkan cara-cara atau prosedur yang jelas mengenai
bagaimana individu dapat memperoleh perlindungan atas
hak-hak yang dijamin tersebut;
b) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
(independent and impartial tribunals);
c) Pemilihan umum yang bebas;
d) Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
e) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
f) Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
c. Negara Hukum Indonesia
Berdasarakan ciri-ciri di atas, konsepsi negara hukum Indonesia
diwarnai oleh konsep-konsep negara hukum formal, di mana
kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi sehingga kewenangannya
tidak melanggar Hak Asasi Manusia dan tidak melampaui batas-batas
kewenangan yang diberikan konstiutsi, juga negara hukum materiil, di
mana berdasarkan pembukaan UUD 1945, Indonesia bertujuan
memajukan kesejahteraan umum, tetapi konsep tersebut diberi nilai
keindonesiaan menjadi negara hukum Pancasila (Moh. Mahfud M.D,
1999:38).
Menurut Philipus Hadjon, elemen-elemen penting negara hukum
yang berdasarkan Pancasila adalah (Moh. Mahfud M.D, 1999:143):
1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan
asas kerukunan;
2) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-
kekuasaan negara;
3) Penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir jika musyawarah gagal;
4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Pemerintah daerah berdasarkan hukum
Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia
berdasarkan atas negara hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan atas
34
kekuasaan belaka (machstaat). Pasal 18 UUD 1945 juga menjelaskan
bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah harus berdasarkan prinsip
permusyawaratan dan atau demokrasi. Berdasarkan hal di atas, dasar
hubungan pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi adalah
negara hukum (Hanif Nurcholis, 2007 : 118).
Dua prinsip yang melandasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah tersebut melahirkan prinsip pemencaran kekuasaan dan prinsip
keadilan, serta kesejahteraan sosial sesuai dengan UUD 1945.
Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah adalah
sama-sama badan publik dengan wewenang, tugas dan tanggang
jawab sesuai dengan ketentuan yang dispakati.
Prinsip keadilan serta kesejahteraan sosial adalah bahwa baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sama-sama memikul
tanggung jawab mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial,
karena itu harus ada pembagian wewenang, tugas, serta tanggung
jawab. Hal-hal yang bersifat layanan sosial dapat diserahkan kepada
daerah, sedangkan hal-hal yang bersifat kebijakan nasional dapat
diserahan kepada pemerintah pusat. Hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus berdasarkan atas kesejahteraan dan keadilan
sosial (Hanif Nurcholis, 2007 : 118).
2. Tinjauan Tentang Otonomi Daerah
a. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi.
Istilah otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa yunani, yakni
autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-undang.
Otonomi bermakna membuat perundang-undangan sendiri
(zelfwetgeving), namun pada perkembangannya, konsepsi otonomi
daerah selain mengandung arti zelfwetgeving (membuat perda-perda)
juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri)
(Ni’matul Huda, 2009 : 83).
35
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan perturan perundang-undangan yang berlaku (Soehino, 2003 :
55).
Otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara
membagi wewenang, tugas serta tanggung jawab mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan
pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan ataupun
yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah (Ni’matul Huda,
2009 : 84).
Istilah yang diberikan para sarjana terhadap pembagian urusan
antara pusat dan daerah dalam konteks otonomi ternyata tidak sama.
R. Tresna menyebut dengan istilah “kewenangan mengatur rumah
tangga”. Bagir Manan menyebutkan dengan istilah “sistem rumah
tangga daerah”. Moh Mahfud MD, memakai istilah “asas otonomi”.
Meskipun istilah yang dipergunakan berbeda-beda, mereka tetap
berpijak pada pengertian yang sama bahwa ajaran (formal, material,
riil) menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian
wewenang, tugas serta tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan antara pusat dan daerah (Ni’matul Huda, 2009 :
85).
Hubungan kewenangan antara pusat dan daerah dalam otonomi
antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan
atau cara menentukan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan
mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas.
Otonomi terbatas adalah (Ni’matul Huda,2009 :83):
1) Urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris
dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu;
2) Apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan
sedemiakian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan
36
kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri;
3) Sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang
menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan
keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak
otonomi daerah.
Otonomi luas biasanya bertolak bahwa semua urusan
pemerintah pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah,
kecuali yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan daerah yang
badan pemerintahannya dipilih oleh penduduk setempat dan memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri
berdasarkan peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi
dan kedaulatan nasional (Soehino, 2003 : 55). Daerah yang disebut
dengan daerah otonom adalah karena penduduknya berhak mengatur
dan mengurus kepentingannya berdasarkan prakarsanya sendiri.
Daerah tersebut memiliki kebebasan untuk mengatur dan mengurus
urusan-urusan rumah tangganya (kepentingannya sendiri) yang
diperbolehkan oleh Undang-undang tanpa mendapat campur tangan
langsung dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya
mengarahkan, mengawasi dan mengendalikan agar penyelenggaraan
otonominya tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan (Hanif Nurcholis, 2007 : 24).
Konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah adalah bahwa daerah
harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan
bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga
ekonomi, politik, hukum, keuangan, adat dan swadaya masyarakat
serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI (Iswantoro
dalam Jurnal Mimbar Hukum).
Penyelenggaraan rumah tangga pada daerah otonom diisi oleh
masyarakat daerah otonom tersebut, sebab pada hakekatnya yang
37
diberi otonomi adalah masyarakat yang tinggal di daerah tersebut,
bukan daerah atau pemerintah daerah. Karena itu, dalam daerah
otonom, masyarakat sendiri yang menentukan cara mengatur dan
mengurus kepentingannya. Masyarakat memilih kepala daerah dan
wakil-wakilnya untuk duduk dalam lembaga perwakilan, membuat
program, dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Daerah otonom terbentuk karena adanya desentralisasi atau
devolusi. Dengan desentralisasi atau devolusi terbentuk sebuah daerah
dengan batas-batas yang jelas, yang masyarakatnya diakui sebagai
kesatuan masyarakat hukum. Karena itu, daerah ini dapat melakukan
tindakan hukum seperti memiliki harta benda,
membeli/menjual/menyewa barang, melakukan perjanjian dengan
pihak lain, menuntut, dan lain-lain. Untuk melakukan tindakan
hukum, daerah otonom diwakili kepala daerahnya (Hanif Nurcholis,
2007 : 24). Perbedaan antara daerah otonom dengan otonomi daerah
adalah daerah otonom menunjuk pada daerah atau tempat sedangkan
otonomi daerah menunjuk pada isi otonomi atau kebebasan
masyarakat.
Charles Eismann menjelasakan bahwa otonomi adalah
kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap
menghormati perundang-undangan. The Liang Gie menjelaskan
otonomi daerah adalah wewenang untuk menyelenggarakan
kepentingan sekelompok penduduk yang berdiam dalam suatu
lingkungan wilayah tertentu yang mencakup, mengatur, mengurrus,
mengendalikan, dan mengembangkan berbagai hal yang perlu bagi
kehidupan penduduk (Hanif Nurcholis, 2007 : 30).
Dapat disimpulkan bahwa otonomi adalah hak yang diberikan
kepada penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah teretentu untuk
mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan urusannya
sendiri dengan tetap menghormati perundangan yang berlaku, dan
otonomi dearah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah
38
untuk mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan
urusannya sendiri dengan tetap menghormati perundangan yang
berlaku.
b. Otonomi daerah dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan di awal, Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah negara besar, baik dari segi luas wilayah
maupun jumlah penduduk, demikian pula ditinjau dari sisi kerumitan
organisasinya. Wajarlah apabila struktur organisasinya mengenal
pembagian kekuasaan, pendelegasian kekuasaan serta adanya sistem
pengendalian terpusat dan tersebar, karena negara yang besar dan
kompleks seperti Indonesia tidak akan efisien jika semua kewenangan
politik dan administrasi diletakkan pada organisasi atau pemerintah
pusat.
Apabila dilihat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (1), Negara
Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai suatu negara kesatuan yang
berbentuk republik. Di dalam negara kesatuan tanggung jawab
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di
tangan pemerintah pusat. Akan tetapi karena sistem pemerintahan
Indonesia salah satunya menganut asas negara kesatuan yang
didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri,
sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan
adanya hubungan kewenangan dan pengawasan (Ni’matul Huda, 2009
: 42).
Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia
memilih bentuk negara kesatuan, tetapi di dalamnya terselenggara
suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
keragaman antar daerah di seluruh tanah air. Kekayaan alam dan
budaya antar daerah tidak boleh diseragamkan dalam struktur Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dengan perkataan lain bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang
39
sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing,
tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat.
Sejak awal, para pembuat UUD 1945 telah sadar bahwa demi
efisiensi dan efektivitas, serta demi mencapai hasil maksimal
pengelolaan negara, maka daerah negara Indonesia dibagi dalam
daerah besar dan kecil. Pikiran itu tercermin dengan tegas dalam Pasal
18 UUD 1945 (sebelum di amandemen tahun 2001) berbunyi:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
Demi menghilangkan keragu-raguan serta demi mencapai
kesatuan tafsir maka rumusan Pasal 18 di atas diperjelas dan
dipertegas lagi dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut “Oleh
karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat Staat
juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah
propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil” (B.N.
Marbun,2005 : 6).
Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-
undang. Daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan
perwakilan daerah oleh karena itu di daerah pun pemerintah akan
bersendi atas dasar permusyawaratan.
Sesuai dengan rumusan dan tafsiran Undang-undang yang
mengatur otonomi daerah di Indonesia, dikenal beberapa asas :
1) Asas Desentralisasi:
Asas Desentralisasi adalah asas yang menyatakan
penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah
40
pusat atau dari pemerintah tingkat yang lebih tinggi kepada
pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi
urusan rumah tangga itu sendiri, dengan demikian maka daerah
tersebut mempunyai wewenang dan tanggung jawab sendiri
mengenai urusan-urusan daerah yang diserahkan tersebut.
(C.S.T kansil dan Christine S.T Kansil, 2002 : 4).
Telah dijelaskan di atas bahwa organisasi yang besar dan
kompleks seperti negara Indonesia tak akan efisien jika semua
kewenangan politik dan administrasi diletakkan pada puncak
hirarki organisasi/pemerintah pusat, karena pemerintah pusat
akan menanggung beban yang berat juga tidak cukup jika hanya
dilimpahkan secara dekonsentrasi kepada pejabatnya di
beberapa wilayah negara. Agar kewenangan tersebut dapat
diimplementasikan secara efisien dan akuntabel, maka sebagian
kewenangan politik dan administrasi perlu diserahkan pada
jenjang organisasi yang lebih rendah. Penyerahan sebagian
kewenangan politik dan administrasi pada jenjang organisasi
yang lebih rendah disebut desentralisasi, jadi desentralisasi
adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari
puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang
organisasi di bawahnya (pemerintah daerah). Dua kewenangan
tersebut (politik dan administrasi) diserahkan kepada pemerintah
daerah. (Hanif Nurcholis, 2007 : 9).
Pemerintah Daerah sebagai jenjang organisasi yang lebih
rendah dari pemerintah pusat diserahi wewenang penuh, baik
dalam bidang politik maupun administrasi oleh pemerintah
pusat, maka akan timbul otonomi kepada pemerintah daerah
tersebut untuk mengatur dan mengurus kepentingannya yang
bersifat local, maka dapat dikatakan bahwa desentralisasi
menimbulkan otonomi daerah, yaitu kebebasan masyarakat
yang tinggal di daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
41
kepentingannya yang bersifat lokal. Jadi, otonomi daerah adalah
konsekuensi logis penerapan asas desentralisasi pada pemerintah
daerah. (B.N Marbun, 2005 : 7).
Desentralisasi yaitu apabila wewenang mengatur dan
mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata
dilakukan oleh pemerintah pusat (central government),
melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintah yang lebih
rendah yang mandiri (teritorial atau fungsional), jadi,
desentralisasi bukan sekadar pemencaran kewenangan, tetapi
juga pembagian kekuasaan untuk mengatur dan mengurus
penyelenggaraan pemerintah negara antara pemerintah pusat dan
satuan-satuan pemerintah tingkat lebih rendah (Ni’matul Huda,
2005 :85-86).
2) Asas Dekonsentrasi:
Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala
wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi
kepada pejabat-pejabatnya di daerah (C.S.T. Kansil dan
Christine S.T Kansil, 2002 : 4). Tanggung jawab tetap ada pada
pemerintah pusat baik perencanaan dan pelaksanaanya maupun
pembiayaanya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,
pelaksanaanya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam
keduduknya sebagai wakil pemerintah pusat.
Kondinelli menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah
penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab
administrasi kepada cabang departemen atau badan pemerintah
yang lebih rendah. Harold F. Aldelfer menjelaskan, pelimpahan
wewenang dalam bentuk dekonsentrasi semata-mata menyusun
unit administrasi atau field administration, baik tunggal ataupun
ada dalam hirarki, baik itu terpisah atau tergabung, dengan
42
perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau
bagaimana mengerjakannya (Hanif Nurcholois,2007: 19).
Bhenyamin Hoessein, mengungkapkan dalam
dekonsentrasi tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal
serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-
badan pusat memiliki semua kekuasaan dalam dirinya sementara
pejabat lokal merupakan bawahan sepenuh-penuhnya dan
mereka hanya menjalankan perintah. Henry Maddick,
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang untuk melepaskan
fungsi-fungsi tertentu kepada pejabat pusat yang berada di luar
kantor pusatnya, oleh karena itu, dekonsentrasi menciptakan
local state government atau field administration wilayah
administrasi (Hanif Nurcholis, 2007 : 10).
Dapat dikatakan bahwa dalam dekonsentrasi yang
dilimpahkan hanya kebijakan administrasi (implementasi
kebijakan politik ), sedangkan kebijakan politiknya tetap berada
pada pemerintah pusat. Oleh karena itu, pejabat yang diserahi
pelimpahan wewenang tersebut adalah pejabat yang mewakili
pemerintah pusat di wilayah kerja masing-masing atau pejabat
pusat yang ditempatkan di luar kantor pusatnya. Tanda bahwa
pejabat tersebut adalah pejabat pusat yang bekerja di daerah.
Pejabat tersebut diangkat oleh pemerintah pejabat pusat, bukan
oleh rakyat yang dilayani. Hal ini menyebabkan pejabat daerah
yang dilimpahi wewenang tersebut bertindak atas nama
pemerintah pusat bukan atas nama dirinya sendiri yang
mewakili para pemilihnya.
3) Asas Tugas Pembantuan (medebewind):
Di samping asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia juga dikenal
medebewind atau tugas pembantuan. Di Belanda medebewind
diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan-
43
kepentingan dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya
lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah. Tugas
pembantuan diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah
yang lebih atas kepada pemerintah daerah di bawahnya
berdasarkan Undang-undang, oleh karena itu medebewind sering
disebut tantra atau tugas pembantuan (Bagir Manan, 1994 : 85).
Koesoemahatmadja mengartikan medebewind atau
zeljbestuur sebagai pemberian kemungkinan dari pemerintah
pusat/pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta
bantuan kepada pemerintah daerah atau pemerintah daerah
yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas
atau urusan rumah tangga daerah yang tingkatannya lebih atas.
Daerah-daerah tersebut diberi tugas pembantuan oleh
pemerintah pusat yang disebut medebewind atau zelffiestuur
(menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh dewan yang
lebih tinggi). Dalam menjalankan medebewind tersebut urusan
pusat/daerah yang lebih atas, tidak beralih menjadi urusan
rumah tangga daerah yang dimintai bantuan. Hanya saja cara
daerah otonom menyelenggarakan bantuan tersebut diserahkan
sepenuhnya pada daerah itu sendiri. Daerah otonom ini tidak
berada di bawah perintah, juga tidak dapat dimintai pertanggung
jawaban oleh pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi
yang memberi tugas (Hanif Nurcholis, 2007: 19).
Asas tugas pembantuan adalah asas yang menyatakan
tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang
ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban
mempertanggung jawabkannya kepada yang memberi tugas.
3. Tinjauan Tentang Provinsi DKI Jakarta.
a. Provinsi DKI Jakarta sebagai Daerah Khusus
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan suatu
daerah yang mempunyai pengaturan secara khusus yang diatur dengan
44
Undang-undang tersendiri dalam penyelengaraan pemerintahan
daerahnya. Pengaturan secara khusus ini disebabkan karena Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta mengemban satuan pemerintahan
yang bersifat khusus yang mempunyai kedudukan sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki fungsi dan peran
penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan, fungsi dan
peran penting tersebut perlu diberikan kekhususan tugas, hak,
kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga memiliki peranan
penting dalam membangun masyarakat Provinsi DKI Jakarta yang
sejahtera, dan mewujudkan citra bangsa Indonesia.
Provinsi DKI Jakarta merupakan suatu daerah yang
pengaturannya dilakukan secara khusus dengan Undang-undang
tersendiri. Pengaturan dengan Undang-undang tersendiri ini dibuat
oleh pembentuk Undang-undang mengingat kedudukan Provinsi DKI
Jakarta sebagai Ibu kota negara Republik Indonesia yang mempunyai
beban serta tugas yang berbeda dengan daerah lainnya. Di mana
Provinsi DKI Jakarta harus dapat mengakomodasikan peran lokal,
nasional dan internasional.
Predikat Provinsi DKI Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota
juga diatur dalam beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004. Undang-undang ini lebih mempertegas lagi bahwa
kedudukan Daerah Khusus Ibukota Jakarta pengaturannya diatur
dalam Undang-undang tersendiri. Penegasan ini disebutkan, antara
lain:
1) Pasal 225, yang berbunyi :
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan
diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-undang
ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam
Undang-undang lain.
45
2) Pasal 226 ayat (1) ,yang berbunyi :
(1) ketentuan dalam Undang-undang ini berlaku bagi
Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Provinsi
Nangroe Aceh Darusasalam, Provinsi Papua, dan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak
diatur secara khusus dalam Undang-undang tersendiri.
Yang dimaksud dengan Undang-undang tersendiri adalah
Undang-undang No. 34 Tahun 1999 tentang Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta(Undang-undang No. 34 Tahun
1999),
3) Pasal 227 ayat (1), ayat (2), ayat (3), yang berbunyi :
(1) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Republik
Indonesia, diatur dengan Undang-undang tersendiri.
(2) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Provinsi DKI Jakarta
sebagai Ibukota Negara berstatus sebagai daerah otonom,
dan dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk
daerah yang berstatus otonom.
(3) Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat pengaturan:
(a) Kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung
jawab sebagai ibukota Negara
(b) Tempat kedudukan perwakilan negara-negara
sahabat;
(c) Keterpaduan rencana umum tata ruang Provinsi
DKI Jakarta dengan rencana umum tata ruang
daerah sekitar;
(d) Kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh
Pemerintah.
46
Pengaturan dengan undang- undang tersendiri bagi Provinsi DKI
Jakarta ini, dalam perkembangannya selalu mengalami pergantian
Undang-undang. Pergantian Undang-undang tersebut tentunya
dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan pertumbuhan dan
perkembangan Provinsi DKI Jakarta. Di samping itu juga sebagai
penyelarasan terhadap pengaturan penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang berlaku secara umum.
b. Kedudukan Kekhususan Otonomi Provinsi DKI Jakarta.
Provinsi DKI Jakarta merupakan suatu daerah yang memiliki
pengaturan secara khusus yang diatur dalam Undang-undang
tersendiri. Disamping sebagai Ibukota Negara, Provinsi DKI Jakarta
mempunyai tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk
mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Wewenang yang dimiliki
ini diberikan sebagai pelaksanaan desentralisasi yang dilakukan oleh
pemerintah. Selain itu, sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi,
gubernur selaku wakil pemerintahan mendapat pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat, dengan demikian Provinsi DKI Jakarta
memiliki posisi ganda, yaitu sebagai ibukota negara dan juga
merupakan daerah otonom (provinsi) yang sekaligus wilayah
administrasi. Demikian juga halnya dengan gubernur di samping
sebagai kepala darah, juga mengemban sebagai wakil pemerintah
pusat.
Konsekuensi Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah yang
mempunyai kekhususan, Provinsi DKI Jakarta memiliki otonomi
khusus dalam bentuk otonomi tunggal yang berbeda dengan provinsi
lainnya. Kedudukan otonomi khusus, tidak terdapat rangkap daerah
administrasi dengan daerah otonom, dan di bawah daerah otonom
tidak terdapat enclave wilayah administrasi atau pun bentuk otonom
lainnya. Pemberian otonomi khusus yang bersifat tunggal dianggap
logis dan obyektif untuk dipertahankan, dengan dua alasan:
47
1) Dalam perspektif demokrasi, desentralisasi memang dianggap
sebagai suatu kebutuhan berkenaan dengan distribusi
kewenangan dan kewenangan yang dipencarkan melalui hierarki
geografis negara;
2) Kedudukan Provinsi DKI Jakarta, sebagai ibukota negara
memberi beban, tantangan dan tanggung jawab besar dan
kompleks untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang melekat pada
pemerintah Provinsi Provinsi DKI Jakarta. Pengaturan dalam
satuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang
kompak dan terintregrasi.
B. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan konstitusional Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum. Sebagai negara kesatuan
yang majemuk Negara Republik Indonesia perlu adanya pembagian kekuasaan
UUD 1945
Otonomi Daerah
Otonomi Khusus Provinsi DKI Jakarta
UU Nomor 29 Tahun 2007
Pelaksanaan Hambatan
48
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah otonom. Hal ini karena negara
Indonesia mempunyai kekhususan dan keragaman yang berbeda-beda pada setiap
daerah, maka peraturan di tiap daerah tidak perlu seragam.
Pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus
daerahnya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Pembagian urusan
pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran menyangkut terjaminnya
kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, tapi karena sistem
pemerintahan Indonesia berasas negara kesatuan, maka berbagai urusan
pemerintahan sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal-hal
tersebut diatur oleh Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah. Undang-undang ini mengatur tentang otonomi daerah. Termasuk juga
tentang otonomi untuk daerah istimewa dan daerah khusus.
Salah satu daerah khusus yaitu Provinsi DKI Jakarta yang berkedudukan
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi DKI Jakarta
merupakan daerah khusus pada tingkat provinsi memiliki kekhususan tugas, hak,
kewajiban serta tanggung jawab yang berbeda dengan daerah otonom lainnya,
oleh karena itu diperlukan adanya Undang-undang yang mengatur tentang
kekhususan Provinsi DKI Jakarta tersebut. Undang undang Nomor 29 Tahun 2007
tentang pemerintahan provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara jelas mengatur tentang kedudukan,
wewenang, kewajiban, tugas, tentang kekhususan DKI Jakata yang berbeda
dengan daerah lain. Dalam penelitian untuk penulisan skripsi ini, penulis akan
meneliti tentang bagaimana pelaksanaan serta hambatan dalam menjalankan
Undang- undang tersebut.
49
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Secara historis, Jakarta khususnya dalam bidang pemerintahan
daerah, sejak awal sudah menjadi daerah khusus, baik sejak masa
kerajaan, masa VOC atau kolonial Belanda, hingga saat ini.
Perkembangan ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia juga membawa
pengaruh besar bagi pemerintahan kota Jakarta.
Jakarta pada Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa, sebagai pelabuhan
Kerajaan Pajajaran. Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara
Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam, selama berabad-abad kemudian
kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang
ramai. Penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama
Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan
Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer
di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis
merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke
Bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh Fatahillah, dari sebuah
kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Kemudian Fatahillah mengubah
nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527 yang pada
akhirnya tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta
(www.jakarta.go.id (01 Maret 2010)).
Pada akhir abad ke-16 persekutuan dagang Belanda yang bernama
Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai menjalankan usahanya
di Indonesia dan kemudian menguasai Jayakarta. Tahun 1619 nama
Jayakarta diganti menjadi Stad Batavia dan dijadikan tempat pusat
kedudukan VOC. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan
negeri Belanda. Belanda membangun kanal-kanal untuk melindungi
Batavia dari ancaman banjir. Pada tahun-tahun berikutnya dibentuklah
alat-alat perlengkapan kota yang menjalankan pemerintahan Stad Batavia,
50
dan alat pemerintahan pusat VOC yang mengemudikan dan
mengendalikan seluruh wilayah kekuasaan di Indonesia (www.scribd.com
(30 Juni 2010) ).
Awalnya kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan
yang terletak sekitar 500 meter dari Bandar, dan dibangunlah Balai Kota,
yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia, namun
lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pemerintahan
Stad Batavia terus berlangsung selama masa pemerintahan VOC,
kemudian masa peralihan, hingga akhir masa pendudukan Inggris pada
tahun 1816 (www.jakarta.go.id (01 Maret 2010)).
Sejak tahun 1816 dimulailah masa Pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia, dan pada tahun 1903 Pemerintahan Kota Jakarta mulai
menjalankan peraturan desentralisasi yang membuka kemungkinan
pembentukan daerah-daerah yang mempunyai keuangan sendiri, terlepas
dari keuangan Pemerintah Hindia Belanda, untuk membiayai keperluan
dan penyelenggaraan urusan-urusan yang dilepaskan dari Pemerintah
Hindia Belanda (www.hendrifisnaeni.blogspot.com (18 Febuari 2010)).
Tanggal 1 April 1905 Jakarta yang sebelumnya bernama Stad
Batavia menjadi Gemeente Batavia, yang mempunyai alat perlengkapan
kota untuk menjalankan pemerintahan daerahnya menurut perundang-
undangan desentralisasi yang mulai dijalankan di Indonesia. Tahun 1922
oleh Pemerintah Belanda dilakukan pembaharuan pemerintahan dan
perubahan politik desentralisasi di Indonesia, dan pada tanggal 1 Oktober
1926 Gemeente Batavia diubah menjadi Stadsgemeente Batavia yang
mempunyai alat perlengkapan dan keuangan tersendiri untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga kotanya, pada periode ini Kota Jakarta telah
menjadi daerah otonom dengan kata lain tidak ada otonomi dalam daerah
yang berkedudukan lebih rendah dari Kota Jakarta, karena memang Kota
Jakarta tidak dibentuk dalam tingkatan-tingkatan (www.jakarta.go.id (01
Maret 2010)).
51
Sekitar tahun 1942 – 1945 dimulailah kekuasaan balatentara Jepang
yang ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia,
pada saat itu tata hukum modern Eropa telah menampakkan
perkembangannya, namun perubahan itu seperti mengalami ‘titik balik’
ketika Perang Pasifik pecah, dan balatentara Jepang berhasil menguasai
Indonesia. Sekalipun semasa Perang Dunia II balatentara Jepang hanya
berada di Indonesia selama tiga setengah tahun, berdasarkan hukum
Internasional maka balatentara jepang harus mengembalikan wilayah yang
diduduki kepada penguasa yang mengalahkannya dalam peperangan.
Sejarah menunjukkan begitu banyak perubahan-perubahan yang terjadi
dalam beberapa aspek kehidupan hukum administrasi dan ketatanegaraan
di Indonesia yang telah terjadi sepanjang dasawarsa-dasawarsa pertama
pasca colonial (http://id.wikipedia.org (18 Febuari 2010)).
Sejak tanggal 8 Agustus 1942 Kota Jakarta ditunjuk sebagai sebuah
Tokubetusi atau Stad Gemeente luar biasa. Pemerintahan Kota Jakarta
menurut sistem otonomi Jepang ini berakhir pula dengan berakhirnya
pendudukan balatentara Jepang di Indonesia dalam bulan Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk
pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui
pada tahun 1949, pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan diakuinya Negara Indonesia,
sejarah Pemerintahan Kota Jakarta mengalami fase yang baru, dengan
nama Pemerintahan Nasional Jakarta setelah peralihan kekuasaan dari
tangan Jepang ke Pemerintah Indonesia yang di dahului dengan usaha-
usaha untuk merebut kekuasaan secara damai. Setelah beberapa hari,
Hasegawa menyerahkan kekuasaan wewenangnya kepada Suwirjo sebagai
Walikota dan Suratno Sastroamidjojo sebagai sekretaris, sedangkan nama
Tokubetu Si diganti dengan Pemerintahaan Nasional Kota Jakarta
(www.jakarta.go.id (01 Maret 2010)).
52
Penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh Pemerintahan Nasional
Kota Jakarta tidak dapat berjalan lancar dan normal. Hal ini berkaitan
kedatangan tentara Belanda yang membonceng tentara sekutu, yang
bertugas melucuti tentara Jepang karena kalah perang. Kedatangan tentara
Sekutu pada tanggal 29 September 1945 menduduki beberapa bagian dari
wilayah Jakarta, yang menyebabkan di Jakarta terdapat dua pemerintahan,
yaitu Pemerintahan Nasional dan Pemerintahan Militer Sekutu
(http://id.wikipedia.org (18 Febuari 2010)).
Akhir tahun 1949 terjadilah pemulihan kedaulatan dari pihak
Belanda kepada bangsa Indonesia. Negara Republik Indonesia Serikat
berdiri pada 27 Desember 1949, dan karena beribukota di Jakarta, maka
kedudukan Stadsgemeente Batavia mengalami peninjauan kembali.
Pemerintah Kota Jakarta akan diperbaharui dan diatur kembali oleh
Pemerintah Pusat Republik Indonesia Serikat sesuai kedudukan dan
pertumbuhan yang terjadi di kota tersebut. Mulai tanggal 31 Maret 1950
Pemerintahan Kota Jakarta tersebut dinamakan Kotapraja Jakarta Raya,
dengan mempunyai wilayah yang lebih luas dari pada semula, serta
mempunyai status yang tersendiri dalam hubungan dengan struktur negara
federal tersebut. Sekitar bulan Agustus 1950 Negara Republik Indonesia
Serikat berganti nama menjadi Negara Republik Indonesia, namun hal ini
tidak membawa perubahan dalam kedudukan Kotapraja Jakarta Raya.
Pemerintahan Kota Jakarta tetap dijalankan menurut ketentuan-ketentuan
dalam peraturan-peraturan dari Pemerintahan Republik Indonesia Serikat
hingga akhir 1956 (www.jakarta.go.id (01 Maret 2010)).
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah pada tanggal 18 Januari 1957, sejarah
perkembangan Kotapraja Jakarta Raya menginjak suatu fase yang baru,
berlangsungnya Pemerintahan Kota Jakarta dilaksanakan berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan desentralisasi Indonesia
yang dan berlaku seragam diseluruh Indonesia. Kemudian pada tahun
1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini
53
mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan
kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah
rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta, dan sekarang
lebih dikenal dengan sebutan Kota Metropolitan Jakarta. Sejarah yang
panjang tersebutlah yang telah membentuk Jakarta menjadi daerah yang
mempunyai sistem budaya sendiri yang khas (www.jakarta.go.id (01
Maret 2010)).
Sejarah Pemerintahan DKI Jakarta
Semenjak pernyataan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus tahun
1945, Jakarta merupakan sebuah kota yang dipimpin oleh Gubernur
pertamanya yaitu Suwirjo. Sebelum menjabat sebagai Walikota, Suwirjo
merupakan wakil I dari Tokubetu Si yang dijabat oleh Hasegawa.
Hasegawa menyerahkan kekuasaan wewenangnya kepada Suwirjo sebagai
Walikota dan Suratno Sastroamidjojo sebagai Sekretaris, sedangkan nama
Tokubetu Si diganti dengan Pemerintahaan Nasional Kota Jakarta, sampai
terjadinya Agresi Militer Belanda tanggal 27 Desember 1947 yang
berakhir dengan di dudukinya balaikota dengan kekerasan sekaligus
penangkapan beberapa pejabat lainnya (www.fauzibowo.com (30 Juni
2010)).
Menurut Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1945, sebagai suatu
daerah otonom di kota Jakarta juga harus dibentuk Badan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota Jakarta yang mewakili seluruh lapisan masyarakat
dan golongan, dan Badan Eksekutif yang diketuai oleh Walikota. Dalam
kedudukannya sebagai kepala daerah, Walikota juga sebagai pimpinan atas
Korps Pamong Praja dan Kepolisian di Kota Jakarta.
Terjadi perubahan ketatanegaraan dengan terbentuknya Republik
Indonesia Serikat (RIS) sekitar bulan 27 Desember Tahun 1949. Hal ini
mengubah nama Kota Jakarta menjadi Kotapraja Jakarta. Hal ini
dinyatakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1950, dengan
demikian nama kota Jakarta menjadi Kotapraja Jakarta Raya yang
54
pengawasannya berada dalam Kementrian Dalam Negeri Republik
Indonesia Serikat (www.fauzibowo.com (30 Juni 2010)).
Perkembangan berikutnya, di mana terjadi perubahan ketatanegaraan
berikutnya, yaitu dengan kembalinya bentuk negara dari negara serikat
menjadi negara kesatuan, pengaturan kotapraja diatur dalam serangkaian
peraturan desentralisasi yang beraneka ragam, yaitu bentuk sistem
otonominya berdasarkan Stadsgemeente ordonnantie, untuk aparatur
pemerintahannya diatur di dalam ordonnantie Tijdelijke Voorzieningen
Bestuur Stadsgemeente Java, serta Keputusan Presiden RIS Nomor 114
tahun 1950, dan mengenai pembentukan, nama, dan kedudukannya dengan
Undang-Undang Darurat RIS Nomor 20 Tahun 1950 yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1956
(www.fauzibowo.com (30 Juni 2010)).
Selama kurun waktu tujuh tahun sejak kembalinya bentuk negara
dari negara serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
pemerintahan daerah mengalami perkembangan baru dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil
yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri yang merupakan
sebanyak-banyaknya tiga tingkat yaitu sebagai berikut : Daerah Tingkat I
termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat I I, dan Daerah
Tingkat I II”.
Dari rumusan Pasal ini berarti kedudukan Jakarta hanyalah sebuah
Kota Praja yang diberi kedudukan sebagai Daerah Tingkat I atau
Provinsi. Undang undang ini telah mengubah status Kotapraja Jakarta
Raya sebagai Daerah Tingkat I yang sederajat dengan Daerah Tingkat I
lainnya. Selanjutnya dengan terjadinya perkembangan ketatanegaraan
berikutnya, yaitu adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan
kembali berlakunya UUD 1945 di bidang pemerintahan daerah, dan
55
peraturan tentang Kotapraja Jakarta Raya dengan ciri khas yang
dimilikinya, pada tanggal 28 Agustus tahun 1961 diberikan kedudukan
khusus berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 tentang
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
Pemberian kedudukan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya
disebutkan dalam penjelasan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961
tersebut, yaitu untuk menjadikan Ibukota Negara sebagai kota indroktinasi,
teladan, dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia, Jakarta sebagai
Ibukota Negara juga perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota
internasional. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mewujudkan
cita-cita tersebut, maka kota Jakarta diberi kedudukan khusus yang
berbeda dengan Daerah Tingkat I lainnya. Kekhususan Pemerintahan
DKI Jakarta meliputi dua hal yaitu:
a. Bidang kewenangan, dan
b. Bidang anggaran,
Dalam bidang kewenangan ditentukan bahwa di samping wewenang
yang ada dalam Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 juga
melaksanakan wewenang lain yang langsung menyangkut kegiatan dan
kepentingan Jakarta. Perkembangan selanjutnya, ketika disinyalir adanya
aspirasi untuk memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke daerah lain,
maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang
Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Raya tetap sebagai Ibukota Negara
Republik Indonesia dengan nama Jakarta. Sejak dikeluarkannya Penetapan
Presiden Nomor 2 Tahun 1961, kemudian dipertegas dengan berbagai
Undang-undang selanjutnya, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964
nama Jakarta Raya ditetapkan menjadi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964 ini tidak ada Pasal yang
mengatur tentang prinsip otonomi, dan kedudukan wilayah administrasi
yang bersifat otonom, tetapi lebih menekankan pada aspek historis.
Pemberian kedudukan khusus ini juga diberikan kepada Kepala
Daerahnya, yang berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 15 Tahun 1965
56
ditetapkan bahwa Kepala Daerah DKI Jakarta berkedudukan sebagai
Menteri, dengan gelar Menteri Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
(www.jakarta.go.id (01 Maret 2010)).
Meskipun telah ada pernyataan diberlakukannya kembali UUD 1945
berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, namun dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah masih tetap diberlakukan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957, yang apabila dilihat dari substansinya adalah penjabaran lebih
lanjut dari UUDS 1950. Kenyatannya penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang sesuai dengan semangat UUD 1945 baru dapat direalisasikan
pada tahun 1965, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965, yang mana dalam Undang-undang ini wilayah Indonesia
terbagi atas tingkatan, yaitu :
a. Provinsi/Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I ;
b. Kabupaten/Kotamadaya sebagai Daerah Tingkat I I;
c. Kecamatan/Kotamadya sebagai Daerah Tingkat I II.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, sebutan
Kotapraja berubah menjadi Kotaraya yang kedudukannya tetap setingkat
dengan provinsi yang pengaturannya dilakukan dengan Undang-undang
tersendiri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965, yaitu :
“Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1964 sebagai Kota Raya tersebut diatas ,baik bagi perubahan dan penyempurnaan batas-batas wilayahnya maupun mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya daerah-daerah tingkat lain ataupun pemerintahan dalam bentuk lain yang sedapat mungkin akan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang.”
Selama belum terbentuk undang undang yang mengatur secara
khusus mengenai Provinsi DKI Jakarta, maka pengaturan untuk Provinsi
DKI Jakarta masih tetap mengacu pada Penetapan Presiden Nomor 2
Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964. Berlakunya
57
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 ini tidak berlangsung lama. Dalam
tenggang waktu 9 Tahun, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 diganti
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Terjadinya pergantian
undang undang tersebut dikarenakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan pada saat itu, yang
bertujuan melancarkan pelaksanaan pembangunan di seluruh Indonesia
dan membina kestabilan politik maupun kesatuan bangsa.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang
membagi Wilayah Indonesia atas tiga tingkatan, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 membagi wilayah Indonesia atas dua tingkatan :
a. Provinsi sebagai Dati I dan Kepala Daerahnya disebut sebagai
Gubernur.
b. Kabupaten/Kotamadya sebagai Dati I dan Kepala Daerahnya disebut
dengan Bupati/Walikotamadya.
Untuk DKI Jakarta, dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5
Tahun1974, dinyatakan bahwa:
“Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya sususnan pemerintahan dalam bentuk lain yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang.”
Maksud dari ketentuan yang termuat dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun1974 tersebut di atas menyatakan, bahwa:
“Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964 mempunyai ciri dan kebutuhan yang berbeda-beda dengan Daerah Tingkat I lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat menghendaki adannya susunan pemerintahan yang lebih menjamin daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, oleh karena itu Pasal ini memberikan kemungkinan bahwa Jakarta sebagai Ibukota Negara, dalam wilayahnya dapat mempunyai sususnan pemerintahan yang berlainan dengan Daerah Tingkat I lainnya, yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri.”
58
Pernyataan Jakarta sebagai Ibukota Negara dipertegas kembali
dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun
1974 yang menetapkan sebutan untuk Wilayah Ibukota Negara dan Daerah
Khusus Ibukota ialah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sedangkan sebutan
bagi kepala wilayah dan daerahnya adalah Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
Dari ketentuan yang termuat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 beserta penjelasannya, dinyatakan secara jelas bahwa DKI
Jakarta dimungkinkan mempunyai susunan pemerintahan yang berlainan
dengan daerah lainnya, yang mempunyai wewenang dalam mengatur
tentang pemerintahannya lebih lanjut diatur dengan Undang-undang
tersendiri. Namun demikian, dalam perkembangannya pengaturan dengan
Undang-undang tersendiri untuk DKI Jakarta belum dapat
direalisassikan, sehingga untuk sementara masih dipakai peraturan
perundang-undangan yang lama. Dengan sendirinya DKI Jakarta masih
tetap berjalan menurut ketentuan-ketentuan dari peraturan perundangan
yang semula, yaitu Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 serta
berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964.
Pengaturan secara khusus dengan Undang-undang tersendiri bagi
DKI Jakarta sebagaimana dimaksud dengan Pasal 6 beserta penjelasan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, baru dapat direalisasikan pada
tahun 1990, yaitu dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara
Republik Indonesia Jakarta. Undang-undang ini kemudian mencabut
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1964 yang pernah berlaku untuk DKI Jakarta.
Diberikannya pengaturan secara khusus di dalam Undang-undang ini
secara jelas disebutkan dalam konsideran menimbangnya yang
menyatakan:
59
“Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan dan peranan yang penting, baik dalam mendukung dan memperlancar penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia maupun dalam membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya bangsa Indonesia; upaya pembangunan dan pengembangan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia perlu dilaksanakan secara selaras dan serasi dengan kedudukan dan peranan tersebut.”
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 ini sudah mengatur secara
jelas mengenai pembagian wilayah, penyelenggaraan pemerintahan,
perangkat pemerintahan dan pembiayaan pengkhususan tersebut
didasarkan oleh kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara yang setingkat
dengan Provinsi atau Daerah Tingkat I lainnya. Sebagai Daerah Tingkat I
mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dari Daerah Tingkat I lainnya,
karena tidak ada politik hukum untuk membentuk wilayah administrasi
yang bersifat otonom, titik berat otonomi hanyalah pada tingkat Provinsi
DKI Jakarta. Seperti yang dikutip dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, bahwa berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990
ternyata harus mengalami pergantian kembali mengingat perkembangan
dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berlaku
secara umum telah mengalami pergantian dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk mewujudkan semangat, isi dan jiwa yang terkandung dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian dibuat Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 1999. Lahirnya Undang-Undang Nomor 34
Tahun 1999 ini mempertegas kembali kedudukan khusus DKI Jakarta
sebagaimana disebutkan dalam konsiderannya:
“Dengan memperhatikan peranannya sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia perlu memberikan kedudukan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan kepada Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta; untuk melaksanakan peranan dan kedudukan yang khusus, perlu mengadakan peraturan tersendiri mengenai pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta.”
60
Pada tahun 2000 MPR mengeluarkan TAP Nomor IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
yang menjadi dasar perubahan UUD 1945 khususnya Pasal 18 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Pasal 18A dan Pasal 18B, dan selanjutnya
Pasal-Pasal tersebut di implementasikan oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kedudukan DKI
Jakarta secara khusus diatur dalam Pasal 227 yang menyatakan bahwa
kedudukan Provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya sebagai Ibukota
Negara Republik Indonesia diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Amanat dasar Pasal 227 tersebut diimplementasikan dengan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 menggantikan Undang-undang
sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999. Disahkannya
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 sekali lagi menegaskan tentang
kekhususan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
Dengan demikian, dari rentetan sejarah perkembangan
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, Provinsi DKI Jakarta
merupakan suatu daerah yang pengaturannya dilakukan dengan Undang-
undang tersendiri untuk mengatur jalannya pemerintahan. Pengaturan
dengan Undang-undang tersendiri ini dibuat oleh pembentuk Undang-
undang, megingat kedudukannya sebagai Ibukota Negara yang mempunyai
beban tugas yang berbeda dari daerah lain pada umumnya kekhusuan yang
selalu membedakan dengan daerah provinsi lain adalah ditiadakannya
wilayah administrasi yang bersifat otonom, dengan demikian Provinsi DKI
Jakarta selain tunduk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagai ketentuan umum tentang Pemerintahan Daerah juga diatur secara
khusus dalam Undang undang Nomor 29 Tahun 2007 yang sebagai
landasan konstitusionalnya adalah Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945.
61
B. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Dalam
Kaitannya Sebagai Dasar Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi
DKI Jakarta.
Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
ini disahkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 yang
dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan
penyelenggaraan pemerintahan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 ini berisi
11 Bab dan 40 Pasal yang mengatur dasar, kedudukan, fungsi, peran, batas serta
pembagian wilayah, bentuk dan susunan pemerintahan, kewenangan dan urusan
pemerintahan provinsi, kerja sama, tata ruang dan kawasan khusus, protokoler dan
pendanaan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara.
Sebelum membahas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
akan dibahas terlebih dahulu mengenai beberapa perbedaan antara Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
ini, diantaranya Gubernur Provinsi DKI Jakarta dalam Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2007 memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang Nomor 34
Tahun 1999 sejumlah pejabat setingkat Kepala Dinas, Kepala Lembaga teknis
daerah seperti Kepala Badan, Kantor, atau Rumah Sakit Umum Daerah
diangkat oleh Gubernur atas dasar usul Sekretaris Daerah, sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta
tidak secara jelas disebutkan kewenangannya untuk mengusulkan pengangkatan
dari pejabat-pejabat, untuk mengangkat dan memberhentikan semua jabatan para
pejabat strategis pada semua tingkatan baik tingkat provinsi,
kotamadya/kabupaten administratif, kecamatan dan kelurahan dari mulai Kepala
Dinas, Kepala Lembaga teknis daerah seperti Kepala Badan, Kantor, maupun
Rumah Sakit Umum Daerah, Walikota/Bupati, Wakil Walikota/Wakil Bupati,
Sekretaris Kota/Kabupaten, Kepala Suku Dinas, dan Camat tersebut menjadi
kewenangan mutlak dari Gubernur untuk mengangkat dan memberhentikan(Pasal
20).
62
Sekretaris Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Gubernur, dan bertanggungjawab kepada Gubernur (Pasal 15). Sekretaris DPRD
diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur, dalam melaksanakan tugas teknis
operasional berada di bawah dan bertanggungjawab kepada pimpinan DPRD dan
secara teknis administratif bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris
Daerah(Pasal 16). Dibandingkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 1999 maupun, Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 memberikan
kedudukan yang lebih lemah bagi Sekretaris Daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007, tugas Sekretaris sebagian
diambil alih oleh para Deputi dan sebagian lain akan dipegang langsung oleh
Gubernur. Dalam Undang-undang sebelumnya pejabat Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta yang diangkat dan diberhentikan langsung oleh Presiden hanyalah
Sekretaris Daerah, sekarang ada empat pejabat yang akan secara langsung
kedudukannya ditentukan oleh Presiden, yaitu Gubernur, Wakil
Gubernur,Sekertaris Daerah, dan Deputi Gubernur .
Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007, Kepala Dinas/Kepala
Lembaga Teknis Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk memberikan
usulan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Suku Dinas dan Kepala Lembaga
Teknis Daerah pada tingkat kota/kabupaten kepada Gubernur. DPRD sebagai
lembaga legislatif daerah juga diberi kedudukan yang lebih besar berdasarkan
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 ini pertambahan jumlah anggota DPRD
mulai Pemilu 2009 menjadi 125% dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah
penduduk Provinsi DKI Jakarta (Wawancara Dengan Bapak Amir Hamzah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21 mei
2010, pukul 11.00).
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 Pasal 27 “untuk membantu
Lurah dalam penyelenggaraan pemerintah kelurahan, dibentuk Dewan
Kelurahan”. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 Pasal
25 “Untuk membantu Lurah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Kelurahan
dibentuk Lembaga Musyawarah Kelurahan”. Istilah Lembaga Musyawarah
Kelurahan tersebut muncul sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 29
63
tahun 2007, namun dalam pelaksanaanya sampai saat ini masih menggunakan
istilah Dewan Kelurahan, karena menyangkut Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
2001 tentang Dewan Kelurahan (Wawancara dengan Bapak Puspla Dirdjaja, Biro
Hukum Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 5 November 2009,
pukul 13.00).
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
seharusnya segala produk hukum yang mengacu pada Undang-Undang Nomor
34 Tahun 1999 dirombak. Namun saat ini sedang dalam proses untuk
perubahannya, jadi masih menggunakan istilah yang lama.
Diatas telah dibahas mengenai perbedaan antara Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2007 dengan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor
34 Tahun 1999. Selanjutnya akan dibahas mengenai pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2007 dalam kaitannya sebagai dasar pelaksanaan otonomi
khusus di Provinsi DKI Jakarta.
1. Wilayah Administrasi
Provinsi DKI Jakarta yang berkedudukan sebagai Ibukota Negara
Republik Indonesia, sebagai pusat pemerintahan, pusat kegiatan
internasional, pusat kegiatan politik, perdagangan, serta pusat pariwisata,
dan mempunyai kedudukan politis yang khas. Kekhasan kedudukan politis
ini bermula dari pemberian status provinsi kepada DKI Jakarta yang hanya
sebuah kota. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan
bahwa “wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil
yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri yang merupakan
sebanyak-banyaknya tiga tingkat yaitu Daerah Tingkat I termasuk Kota
Praja Jakarta Raya, Daerah Tingkat I I, dan Daerah Tingkat I II”, dari
rumusan Pasal ini dapat dinyatakan bahwa kedudukan Jakarta hanyalah
sebuah Kotapraja yang diberi kedudukan sebagai Daerah Tingkat I atau
provinsi.
64
Provinsi DKI Jakarta mempunyai ciri tertentu yang memberi
kekhasan tersendiri, sebagai Daerah Tingkat I Provinsi DKI Jakarta
berbeda dari Daerah Tingkat I lainnya, karena tidak mengakui atau tidak
ada politik hukum untuk membentuk wilayah administrasi, hal inilah yang
menjadi salah satu tonggak pemberian kekhususan pada Provinsi DKI
Jakarta.
Ada tiga perspektif dalam pembentukan daerah otonom (Andy
Ramses dalam http://www.google.com/jurnal konstitusi), yaitu :
a. Perspektif demokrasi.
b. Perspektif administrasi.
c. Perspektif politik.
Dalam perspektif demokrasi, pembentukan daerah otonom tidak
didasarkan pada dimensi daya guna dan hasil guna, tetapi lebih pada
pengakuan terhadap suatu realitas adanya komunitas lokal sebagai entitas
politik, dan pada tujuan demokrasi pemerintahan. Urgensi pembentukan
daerah otonom tidak hanya ditentukan oleh kemampuan syarat-syarat
ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah, ruang lingkup
pelayanan. Dimensi politik pembentukan daerah otonom lebih
mempertimbangkan aspek-aspek geografis, demografi, sosial budaya yang
membentuk identitas dari suatu komunitas. Dimensi politik menggunakan
kriteria komunitas sebagai wilayah yang dikenal sebagai unit sosial politik
di mana komunitas memperoleh identitas.
Dalam perspektif administrasi, pembentukan daerah otonom
dimaksudkan untuk mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan
dengan suatu lingkungan kerja yang ideal dalam berbagai aspek. Otonomi
daerah dalam lingkungan kerja yang ideal akan menciptakan kemampuan
pemerintahan daerah untuk lebih mengoptimalkan perluasan pelayanan
publik. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal dalam skala yang
lebih luas.
Kebutuhan desentralisasi dari perspektif administrasi adalah untuk
membentuk pelayanan yang ideal dengan wilayah pelayanan dengan
65
membentuk organisasi pelayanan di wilayah kerja atau daerah untuk
sejumlah tugas-tugas. Wilayah-wilayah yang diberi status otonomi atau
didesentralisasikan diyakini akan meningkatkan pelaksaan administrasi
pelaksanaan kepada masyarakat, karena desentralisasi dapat memberi
peluang pada penyesuaian administrasi dan pelayanan pada karakteristik
wilayah yang bervariasi terhadap konsekuensi dari perbedaan-perbedaan
yang dibentuk oleh geografi.
Geografi dalam kesatuan fisik menjadi dasar dalam batas-batas
administrasi. Suatu wilayah geografis dengan wilayah yang kecil adalah
areal yang tepat untuk pelayanan yang lebih optimal karena wilayah
pelayanan yang sempit. Kemudian permintaan yang responsif karena lebih
dekat dengan komunitas yang dilayani. Partisipasi masyarakat lebih
meluas karena akses masyarakat yang relatif terbuka. Konsolidasi
masyarakat menjadi lebih mudah karena kedekatan institusi dengan
masyarakat, Pengawasan menjadi relatif mudah karena wilayah
pengawasan yang lebih sempit. Suatu wilayah pelayanan idealnya relatif
sempit sehingga pelayanannya lebih optimal dan prinsip-prinsip
mendekatkan pada masyarakat dapat terpenuhi.
Aspek-aspek perluasan pelayanan, responsibilitas, partisipasi,
konsolidasi, yang optimal, pengawasan tentu adalah dimensi teknis yang
relevan dalam pembentukan daerah otonom. Dalam menjawab urgensi
pelayanan yang otonom berdasarkan indikator-indokator administrasi
tersebut tampak bahwa urgensi administrasi juga tidak dapat terpenuhi.
Kota Administratif, Kabupaten Administratif, Kecamatan, Kelurahan,
adalah Wilayah Pelayanan. Untuk meningkatkan wilayah pelayanan tidak
perlu menutup daerah otonom, karena tidak akan sangat efisien dan tidak
ekonomis.
Dalam perspektif politis, pembentukan daerah otonomi dipandang
sebagai model pemerintahan menjadi lebih efisien dan efektif. Secara
empirik pada negara-negara otokratis yang paling efektif sekalipun
ternyata melaksanakan seluruh fungsi pemerintahan melalui organ pusat
66
secara langsung tidak pernah tercapai. Pemusatan dan konsentrasi
kekuasaan yang berlebihan tenyata menjadi sangat tidak efisien, dan
kegagalan mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah lokal akan
menghambat efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu
perspektif dalam pembentukan daerah otonom mencakup aspek-aspek
geografis, sosial dan budaya yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai
berikut (Andy Ramses dalam jurnal konstitusi) :
a. Faktor geografi pembentukan daerah otonom adalah variabel yang
terkait dengan pembentukan daerah otonom sebagai akibat
munculnya ikatan-ikatan yang bermotif politik pada masyarakat
yang tinggal di suatu daerah. Latar belakang kesatuan geografis
membentuk ikatan-ikatan secara politis. Kuat lemahnya ikatan
tersebut sangat tergantung kepada seberapa besar daya tarik politik
terhadap hadirnya kesatuan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas
politik. Smith, sebagaimana dikutip Ramses, menyatakan bahwa
tindakan politik dalam konteks negara selalu mengambil tempat pada
seluruh wilayah politik dengan phisical survival dan
dimungkinkannya pengaturan dan penyelesaian konflik.
Daerah otonom terbentuk jika tidak terdapat jalinan ikatan politis
antara suatu komunitas dengan wilayah tinggalnya. Sebagai bentuk
dari aktualisasi politik, pembentukan daerah otonom harus memiliki
landasan dasar yang kuat secara politis, sehingga mampu memberi
identitas baru yang mempresentasikan perasaan-perasaan
masyarakat dalam bentuk yang sangat khas.
Faktor geografis adalah salah satu alasan yang signifikan dalam
pembentukan daerah otonom atau pemekaran daerah otonom, maka
pembentukan daerah-daerah otonom dianggap menjadi lebih berguna
pada wilayah-wilayah yang berbeda, karena mempresentasikan
daerah dan masyarakatnya dan dapat mengakomodasikan
karakteristik lokal ke dalam sistem lokal, sedangkan pada wilayah-
wilayah kota di Provinsi DKI Jakarta tidak terdapat jalinan ikatan
67
politis dengan wilayah tinggalnya. Dari aspek geografi tampak
bahwa wilayah-wilayah kota tidak signifikan membentuk perasaan
satu dari komunitas yang membentuk entitas sosial bersama, tidak
ada perbedaan yang khas dari komunitas yang berdiam di wilayah-
wilayah kota yang membentuk identitas, dan tidak ada ikatan politik
yang timbul dari komunitas dengan wilayah tinggalnya. Selain itu
tidak terdapat karakteristik yang khas yang membedakan wilayah-
wilayah Provinsi DKI Jakarta secara geografis.
Begitu juga pada wilayah-wilayah kota di Provinsi DKI Jakarta tidak
terdapat keterpaduan penduduk suatu wilayah, tidak terdapat suatu
komunitas yang padu yang terjalin erat atau lahir dari aspek
kultural, karakter sosial dan ekonomi, tidak terdapat pola-pola atau
ruang lingkup komunitas yang membentuk garis demarkasi suatu
wilayah yang memisah, dengan demikian tidak terdapat alasan dari
aspek demografis untuk memberi status otonom kepada kota
administratif/kabupaten bedasarkan pola-pola kehidupan sosial
ekonomi yang memisahkan satu komunitas dengan komunitas
lainnya yang menjadi dasar pembentukan pemerintah kota menjadi
kota yang otonom.
b. Faktor sosial budaya dalam pembentukan daerah otonom didasari
oleh suatu pemikiran bahwa setiap masyarakat dengan suatu sistem
budaya tersendiri yang membentuk dan membedakannya dengan
masyarakat lain. Budaya membentuk identitas dan dalam arena
politik ikatan kesatuan masyarakat tersebut akan membentuk
identitas politik lebih kuat. Aspek ini secara langsung terkait dengan
persoalan entitas. Faktor ini sebetulnya terkait pula dengan faktor
geografi, karena faktor entitas tidak mungkin muncul dengan
sendirinya. Pembentukan sebuah identitas etnik merupakan proses
yang sangat panjang yang terkait dengan faktor-faktor geografis dan
demografis secara langsung.
68
c. Faktor demografi dalam pembentukan daerah otonom didasari
pemikiran bahwa homogenitas penduduk dalam suatu wilayah akan
mendorong lahirnya kesatuan penduduk secara politis sehingga
menjadi wilayah politis. Suatu masyarakat dengan penduduknya
yang homogen, akan memiliki tingkat kesatuan politis yang lebih
tinggi dibanding dengan masyarakat yang heterogen. Jika faktor
homogenitas ini dikolaborasikan dengan kesatuan secara geografis,
maka secara politis pembentukan kesatuan masyarakat tersebut
akan lebih kuat dan secara langsung akan semakin mendorong
tuntutan terbentuknya daerah otonom.
Bentuk otonomi dan kewenangan yang khusus sebagaimana
diuraikan di atas, merupakan suatu aturan yang digunakan sebagai
pelindung untuk menghindari ketidaksamaan prioritas dan penetapan
kebijakan yang diberikan oleh pemerintah daerah agar tidak terjadi
ketimpangan pada tiap daerah. Mengingat wilayah Povinsi DKI Jakarta
yang sebenarnya wilayahnya tidak terlalu besar, sehingga pemeritah
berusaha menyatukannya, tanpa memberi kesempatan pada tiap daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Hal tersebut guna
menjamin kekhususan dalam penentuan prioritas dan penetapan kebijakan
yang terhindari dari wilayah kota yang sempit dan tersekat-sekat serta
menghindari ketidaksamaan regional dalam pelayanan publik. Otonomi
pada wilayah-wilayah kota akan menimbulkan keadaan tidak efisien dan
ekonomis serta perubahan politik yang mengarah pada perkembangan kota
yang signifikan. Secara politis, desentralisasi menjadi berguna dalam
wilayah-wilayah yang secara geografis berbeda dalam perbedaan
geografis dan bahkan tidak terdapat sekat-sekat demografis yang
signifikan.
Dari perspektif yuridis sejak awal kemerdekaan sampai sekarang
pengkhususan Provinsi DKI Jakarta yang dicirikan dengan ditiadakannya
wilayah administrasi, adalah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara
Republik Indonesia. Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki otonomi
69
sampai pada tingkat Kabupaten/Kota tidak pernah dilaksanakan oleh
seluruh Undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Provinsi
DKI Jakarta, namun ketiadaan wilayah administrasi yang bersifat otonom
juga didasarkan pada pertimbangan sosiologis dan politis.
Sejak awal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, sudah ditetapkan
bahwa Provinsi DKI Jakarta diatur dalam satu undang-udang tersendiri
yang sebenarnya untuk memberi perubahan status. Dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, kedudukan Provinsi DKI Jakarta secara
khusus diatur dalam Pasal 227 ayat (1) menyatakan bahwa:“khusus untuk
Provinsi DKI Jakarta karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara RI
diatur dengan Undang-undang tersendiri”.
Berkaitan dengan titik berat otonom pada ayat (2) menyebutkan
secara tegas “Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah
administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom”,
amanat Pasal 227 tersebut diimplementasikan dengan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007. Undang-undang ini sekali lagi
menegaskan yang menjadi dasar diberikannya kekhususan Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta, yang mengemban tugas yang besar, tanggung jawab,
dan tantangan yang lebih kompleks sebagai Ibukota NKRI, maka
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta memiliki kekhususan yang selalu
membedakan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dengan daerah provinsi
lain yaitu ditiadakannya wilayah administrasi yang tidak bersifat otonom.
Tidak bisa dibayangkan apabila kota-kota dalam wilayah Provinsi
DKI Jakarta memiliki otonomi sendiri, memiliki DPRD sendiri, membuat
peraturan daerah sendiri, yang belum tentu sinkron antara satu dengan
yang lainnya, dan hal tersebut dapat menzalimi rakyat, karena sebenarnya
perbedaan pemberian status otonom diletakkan pada tingkat provinsi
bukan pada tingkat kota akan melahirkan kebijakan yang berbeda pula
yang disesuaikan dengan keadaan serta tanggung jawab Provinsi DKI
Jakarta, maka apabila dipaksakan yang menjadi korban justru rakyat
70
karena ada diskriminasi dalam masyarakat, yang bisa jadi akan ada
treatment-treatment yang berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang
lain padahal masih dalam satu lingkup Provinsi DKI Jakarta yang luasnya
tidak terlalu besar yaitu 740,28 km2 (Wawancara dengan Bapak Puspla
Dirdjaja, Biro Hukum Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada
tanggal 5 November 2009, pukul 13.00).
Setiap masyarakat terkait dengan suatu sistem budaya tersendiri
yang membentuk dan membedakannya dengan masyarakat lain. Budaya
membentuk identitas dan dalam arena politik ikatan kesatuan masyarakat
tersebut akan membentuk identitas politik lebih kuat. Aspek ini secara
langsung terkait dengan persoalan etnisitas. Faktor ini sebetulnya terkait
pula dengan faktor geografis, karena faktor etnisitas tidak mungkin muncul
dengan sendirinya. Pembentukan sebuah identitas etnik merupakan proses
yang sangat panjang yang terkait dengan faktor-faktor geografis dan
demografis secara langsung.
Begitu pula hendaknya dalam melihat pemerintahan DKI Jakarta
seyogyanya tidak hanya melihat dari perspektif sempit tetapi juga melihat
dari akar sejarah sosiologis, politis dan yuridis. Ketiga aspek tersebut
masing-masing berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Otonomi Provinsi DKI Jakarta yang hanya pada lingkup provinsi bertujuan
agar dapat membina dan mengembangkan Provinsi DKI Jakarta dalam
satu kesatuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Dengan
demikian, diharapkan Provinsi DKI Jakarta akan mampu memberikan
pelayanan yang cepat, tepat, dan terpadu kepada masyarakat.
2. Kewenangan Khusus Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, tidak
hanya menanggung kepentingan daerah tapi juga kepentingan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Provinsi DKI Jakarta harus dapat
mengakomodasikan antara peran lokal, nasional, dan internasional. Oleh
71
karena itulah Provinsi DKI Jakarta mempunyai sifat yang khusus,
kekhususannya antara lain mengenai:
a. Tugas,hak, dan kewajiban,
b. Tanggung jawab sebagai Ibukota Negara;
c. Tempat kedudukan perwakilan negara-negara sahabat;
d. Keterpaduan rencana umum tata ruang Provinsi DKI Jakarta
dengan rencana umum tata ruang daerah sekitar;
e. Kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan tertentu yang dikelola langsung oleh
pemerintah.
Kekhususan Provinsi DKI Jakarta yang hanya sebuah Kota Raya
tetapi diberi kedudukan Provinsi ini, juga dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk menjadikan Provinsi DKI Jakarta sebagai indoktrinasi dan
percontohan bagi seluruh wilayah Indonesia.
Dijelaskan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang undang Nomor 29 Tahun 2007 bahwa:
“Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom mencakup seluruh urusan pemerintahan kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama, serta bagian-bagian dari urusan pemerintahan lain yang menjadi wewenang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam Undang undang Nomor 29 Tahun 2007”.
Selain memiliki kewenangan yang dimiliki sebagai daerah otonom
serta penyelenggaraan sejumlah urusan pemerintahan yang dilimpahkan
oleh Pemerintah Pusat dalam rangka penyelenggaraan asas dekonsentrasi
dan asas tugas pembantuan, Pemerintah Provinsi juga memiliki
kewenangan khusus sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lainnya sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi penetapan dan pelaksanaan
kebijakan dalam bidang hal ini disebutkan dalam Pasal 26 ayat 4 Undang
undang Nomor 29 Tahun 2007, yaitu:
72
a. Tata ruang;
Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah Ibukota
Negara dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mempunyai tugas
serta kewenangan terhadap tata ruang Provinsi DKI Jakarta dengan
rencana umum tata ruang daerah sekitar, karena tata ruang Provinsi
DKI Jakarta yang harus sinergi dengan tata ruang daerah
disekitarnya. Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenai penetapan
dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang tata ruang disebutkan
dalam Pasal 26 Undang undang Nomor 29 Tahun 2007 (Wawancara
Dengan Bapak R.A Zulkarnain, Hubungan Masyarakat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21 mei
2010, pukul 11.00).
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang berbatasan
langsung merupakan hasil kerja sama secara terpadu dengan Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Banten. Hal ini dilakukan dengan
mengikutsertakan Pemerintah Kota atau Kabupaten yang wilayahnya
berbatasan langsung untuk lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Kerja
sama secara terpadu tersebut mencakup keterpaduan dalam proses
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang yang
dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah setiap provinsi dengan
memperhatikan kepentingan strategis nasional.
b. Sumber daya alam, dan lingkungan hidup;
Provinsi DKI Jakarta dengan kondisi geografis lautan yang
lebih luas dari daratan memiliki potensi sumber daya laut yang
cukup besar, yakni berupa sumber daya mineral dan hasil laut.
Sumber daya mineral yang dihasilkan, tepatnya di Pulau Pabelokan,
73
Kepulauan Seribu, berupa minyak bumi dan gas mulai dieksploitasi
sejak tahun 2000 dengan rata-rata kapasitas produksi sekitar 4 juta
barel per tahun. Kekayaan laut yang dapat dieksploitasi berupa ikan
konsumsi dan ikan hias. (www.jakarta.go.id (01 Maret 2010)).
Sumber Daya Alam Provinsi DKI Jakarta juga memiliki
pertanian yang cukup baik, produk pertanian diri dari palawija,
sayuran, anggrek, dan tanaman obat. Produksi ini pada umumnya
merupakan hasil pemanfaatan lahan tidur dan lahan pekarangan.
Selain itu Provinsi DKI Jakarta juga harus menyeimbangkan
kepentingan lingkungan hidup dengan kepentingan sosial ekonomi
masyarakat dalam konteks pembangunan berkelanjutan, yaitu
dengan peningkatan kualitas lingkungan, Peningkatan pengendalian
dampak lingkungan, penyerasian keindahan lingkungan, dan
penataan dan pengembangan ruang terbuka hijau.
c. Transportasi;
Sebagai Ibukota Negara yang juga sebagai pusat
perekonomian, sarana prasarana penunjang kegiatan investasi yang
tersedia sangat layak, baik prasaranya perhubungan maupun
prasaranya lainnya, diantaranya terdapat bandar udara internasional
yaitu Bandara Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma serta
pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan laut utama juga
dukungan transportasi darat selama 24 jam seperti kereta
api,bus,taksi,mikrolet dan transportasi darat lainnya.
d. Pengendalian penduduk dan permukiman;
Provinsi DKI Jakarta mempunyai keunggulan ekonomi yang
lebih baik di banding dengan provinsi lain di Indonesia, sebagai
Ibukota Negara dan wilayah konsentrasi dari berbagai kegiatan
perekonomian nasional dan internasional, Provinsi DKI Jakarta
memiliki basis ekonomi yang lebih baik, infra-struktur yang lebih
memadai serta daya tarik investasi di sektor-sektor produktif yang
melebihi provinsi lain. Hal inilah yang secara terus menerus
74
berpotensi menciptakan urbanisasi ke Provinsi DKI Jakarta dengan
dampak negatif pada melemahnya daya dukung lahan dan
lingkungan serta masalah-masalah kemasyarakatan lainnya.
Sehingga meningkatkan kepadatan penduduk di Provinsi DKI
Jakarta, serta pemukiman yang sangat padat. Bahkan tidak sedikit
pemukiman yang sebenarnya tidak layak tinggal.
e. Industri dan perdagangan;
Mengenai hal industri dan perdagangan,berhubung kondisi
lahan di Provinsi DKI Jakarta terbatas menyebabkan Provinsi DKI
Jakarta memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap
pasokan bahan baku dan produksi baik di sektor perdagangan
maupun industri dari daerah lain. Namun potensi jumlah penduduk
dengan tingkat konsumsi yang cukup tinggi menjadikan Provinsi
DKI Jakarta sebagai market yang potensial bagi pemasaran produk
perdagangan dan industri dari daerah ataupun provinsi lain di
Indonesia(www.jakarta.go.id (01 Maret 2010)).
Salah satu yang menjadi motor penggerak perekonomian
Provinsi DKI Jakarta adalah sektor perdagangan dan jasa. Sektor itu
memberikan kontribusi terhadap perekonomian Provinsi DKI Jakarta
tetapi juga mampu menyerap tenaga kerja yang relatif lebih besar.
f. Pariwisata.
Provinsi DKI Jakarta sering disebut juga sebagai Kota Wisata,
banyak menyajikan atraksi dan obyek wisata yang menarik,
beraneka ragam, dan seiring dengan pertumbuhan pariwisata yang
terus berkembang, pusat-pusat hiburan, selain itu Provinsi DKI
Jakarta juga memiliki banyak tempat bersejarah dan warisan budaya.
Pariwisata merupakan salah satu industri jasa yang
pertumbuhannya paling cepat dan mempunyai banyak peluang untuk
terus berkembang. Seperti museum yang menampilkan koleksi
peninggalan masa lalu, pergelaran kesenian daerah maupun kesenian
mancanegara hingga taman rekreasi yang serba lengkap dan modern,
75
dengan terus meningkatkan beragam sarana Provinsi DKI Jakarta
akan semakin dapat menarik perhatian dunia, dan dapat dijadikan
sumber devisa. Selain itu komposisi penduduk yang datang dari
berbagai daerah di Nusantara dengan segala etnis dan budaya yang
dibawanya menjadikan Provinsi DKI Jakarta 'Jendela Budaya'
bangsa Indonesia.
Dalam melaksanakan kewenangan-kewenangan tersebut diatas,
Gubernur melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat, pemda
sekitarnya, dan bertanggung jawab kepada Presiden.
3. Kekhasan Tata Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta
Unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta adalah
Gubernur dan perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta. Organisasi
Perangkat Daerah Provinsi DKI Jakarta diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dengan
adanya Peraturan Daerah tersebut, maka dibentuk Organisasi Perangkat
Daerah Provinsi DKI Jakarta, yang terdiri dari (Pasal 3 Peraturan Daerah
Nomor 10 Tahun 2008) :
a. Sekretariat Daerah;
b. Sekretariat DPRD;
c. Inspektorat;
d. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah;
e. Dinas;
f. Lembaga Teknis Daerah;
g. Kota Administrasi;
h. Kabupaten Administrasi;
i. kecamatan;
j. Kelurahan;
k. Satpol PP.
Untuk lebih jelasnya mengenai Pola Organisasi Pemerintah Daerah
Provinsi DKI Jakarta, maka akan diterangkan dalam bagan berikut ini:
76
77
Dalam struktur kepemerintahan, Provinsi DKI Jakarta terdiri dari
lima wilayah Kotamadya yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta
Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Barat serta satu Kabupaten Administratif
yaitu Kepulauan Seribu. Provinsi DKI Jakarta terdiri dari 43 Kecamatan
dan 265 Kelurahan dan juga terdapat organisasi-organisasi
kemasyarakatan seperti Rukun Tetangga (RT) serta Rukun Warga (RW)
yang berada di bawah pengawasan Kecamatan. (www.jakarta.go.id (01
Maret 2010)).
Provinsi DKI Jakarta dikepalai oleh seorang Gubernur di bantu
seorang Wakil Gubernur yang bertanggungjawab langsung kepada
Presiden Republik Indonesia melalui Menteri dalam Negeri. Provinsi DKI
Jakarta dikepalai oleh seorang Gubernur di bantu seorang Wakil Gubernur
yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia
melalui Menteri dalam Negeri (Pasal 10).
Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam Kota Administrasi dan
Kabupaten Administrasi, yang masing wilayah Kota dan atau Kabupaten
di bagi dalam Kecamatan dan masing-masing Kecamatan di bagi atas
Kelurahan (Pasal 7). Kota Administrasi dipimpin oleh Walikota yang
bertugas membantu mempersiapkan perencanaan wilayahnya, sedangkan
Kabupaten Administrasi dipimpin oleh Bupati dari Pegawai Negeri Sipil
yang memenuhi syarat, diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD,
DPRD Provinsi DKI Jakarta memberikan pertimbangan terhadap calon
Walikotadan atauBupati yang diajukan Gubernur. Walikota dan atau
Bupati diberhentikan oleh Gubernur sesuai peraturan perundang-undangan
dan bertanggungjawab kepada Gubernur (Pasal 19).
Perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta terdiri atas Sekretariat
Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kota
Administrasi, Kabupaten Administrasi, Kecamatan, dan Kelurahan. Dalam
kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengusulkan kepada Pemerintah
penambahan jumlah Dinas, Lembaga Teknis Provinsi serta Dinas, dan
78
atau Lembaga Teknis Daerah baru sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan anggaran keuangan daerah hal in disebutkan juga dalam
(Pasal 13).
Gubernur dalam menjalankan tugasnya sebagai Kepala Daerah
Provinsi DKI Jakarta sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka (7)
“Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang karena
jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah
Provinsi DKI Jakarta”,juga memiliki hak protokoler yaitu dapat
menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibukota Negara,
termasuk mendampingi Presiden dalam acara-acara kenegaraan. Dalam
menyelenggarakan kewenangan dan urusan pemerintahan ”tertentu”
Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden, hal tersebut terdapat dalam
Pasal 26 ayat (70), maksud urusan tertetu adalah sebagaimana diatur dalam
Pasal 26 ayat (1),(2),(3),(4),dan (5) yaitu :
(1) Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom mencakup seluruh urusan pemerintahan kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan,keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama, serta bagian-bagian dari urusan pemerintahan lain yang menjadi wewenang Pemerintah sebagaimana diatur dalam perundangundangan, dan urusan pemerintahan yang diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan asas dekonsentrasi.
(3) Urusan pemerintahan yang ditugaskan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan asas tugas pembantuan.
(4) Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara KesatuanRepublik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang: a. tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; b. pengendalian penduduk dan permukiman; c. transportasi; d. industri dan perdagangan; dan e. pariwisata.
(5) Dalam melaksanakan kewenangan dan urusan Gubernur melakukan koordinasi dengan Pemerintahdan pemerintah daerah lain.
79
Tugas Gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut berbeda dengan tugas
daerah khusus atau provinsi lainnya. Hal ini merupakan salah satu
kewenangan khusus yang diberikan pada pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
yang juga menjadi kekhasan bagi Provinsi DKI Jakarta.
Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah dan
Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang diberikan kekhususan tugas,
hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam kedudukan Provinsi DKI
Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, di bantu
oleh sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang Deputi Gubernur sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah yang bertanggung jawab
kepada Gubernur. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 14 ayat (1),
dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 14 ayat (1),
“Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah dan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggun jawab dalam kedudukan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibantu oleh sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang deputi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah”.
Deputi Gubernur merupakan salah satu kekhususan yang juga
menjadi khas Provinsi DKI Jakarta yang membedakan dengan daerah
otonom lain. Pengertian Deputi Gubernur ini dijelaskan dalam Pasal 1
angka (9) “Deputi Gubernur, selanjutnya disebut deputi, adalah pejabat
yang membantu Gubernur dalam menyelenggarakan Pemerintahan
Daerah Provinsi DKI Jakarta yang karena kedudukannya sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Deputi Gubernur di Provinsi DKI Jakarta yang mempunyai tugas
sebagai pejabat yang membantu Gubernur dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah. Deputi Gubernur memiliki kedudukan setingkat
dengan Sekretaris Daerah, dan diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang
memenuhi syarat, dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Gubernur, bertanggungjawab kepada Gubernur yang kedudukan, tugas,
fungsi, dan tanggung-jawabnya diatur dengan Peraturan Presiden.
80
(Wawancara Dengan Bapak R.A Zulkarnain, Hubungan Masyarakat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21
mei 2010, pukul 11.00).
Peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta dibentuk oleh DPRD Provinsi
DKI Jakarta dengan persetujuan bersama Gubernur (Pasal 1 angka (14)).
Dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan perangkat daerah
Gubernur dibantu oleh Sekertaris Daerah. Sekretaris Daerah diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur, bertanggungjawab kepada
Gubernur (Pasal 15 ayat (3) dan (4)).Sekretaris DPRD dalam
melaksanakan tugas teknis operasional berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada pimpinan DPRD dan secara teknis administratif
bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah (Pasal 16
ayat (4) dan (5)).
Kekhususan Provinsi DKI Jakarta lainnya yaitu adanya istilah
Dewan Kota/Dewan Kabupaten yang dijelaskan dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2007 Pasal 24 ayat(1) disebutkan “Untuk membantu
Walikotamadya/Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan
Kotamadya/Bupati administrasi, di bentuk Dewan Kota/Kabupaten”. Hal
ini menjadi salah satu ciri khusus dari Provinsi DKI Jakarta di jelaskan
juga dalam Pasal 1 angka 12 ”Dewan kota/dewan kabupaten adalah
lembaga musyawarah pada tingkat kota/kabupaten untuk peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan
layanan masyarakat”. Dewan Kota dan atau Dewan Kabupaten ini terdiri
atas tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat dengan komposisi satu
kecamatan satu wakil, yang diusulkan oleh masyarakat dan disetujui oleh
DPRD Provinsi DKI Jakarta dan selanjutnya ditetapkan oleh Gubernur.
Selanjutnya mengenai Dewan Kota/Dewan Kabupaten tersebut diatur
dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Dewan
Kota/Kabupaten (Wawancara dengan Bapak Puspla Dirdjaja, Biro Hukum
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 5 November 2009,
pukul 13.00).
81
Provinsi DKI Jakarta yang berkedudukan sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia heterogenitas penduduk, dan permasalahan
yang kompleks yang harus ditangani secara terpadu. Untuk penanganan
masalah tersebut di atas diperlukan suatu lembaga yang mampu
menjembatani antara kepentingan masyarakat dan memanfaatkan potensi
yang ada di masyarakat untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan dan
program-program pemerintah, oleh sebab itu dibuat Dewan Kota dan atau
Dewan Kabupaten serta Lembaga Musyawarah Kelurahan sebagai wadah
komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat.
Tingkat kelurahan, untuk membantu Lurah dalam penyelenggaraan
pemerintahan di bentuk Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), hal ini
dijelaskan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007.
Anggota LMK dipilih secara demokratis pada tingkat Rukun Warga dan
selanjutnya ditetapkan oleh Walikota/Bupati melalui Camat.
Hal tersebut diatas juga merupakan mencerminkan kedudukan
khusus Provinsi DKI Jakarta lainnya,yang membedakan dengan daerah
otonom lain ataupun provinsi lainnya di Indonesia.
4. Sumber Dana Pemerintahan Provinsi DKI
Pendanaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bersifat khusus dalam
kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN),
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (1), kewenangan yang
bersifat khusus dalam hal ini dinyatakan dalam Pasal 26 ayat (4) yang
meliputi bidang:
1) Tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; 2) Pengendalian penduduk dan permukiman; 3) Transportasi; 4) Industri dan perdagangan; dan 5) Pariwisata.
Selanjutnya dalam Pasal 26 ayat (6) dinyatakan bahwa:
82
”Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang ada di daerah Provinsi DKI Jakarta”.
Pendanaan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bersifat khusus dalam
kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
termasuk dalam rangka melestarikan dan mengembangkan budaya
masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah
lain Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memperoleh alokasi
pendanaan dari APBN. Selain itu dana tersebut juga dibutuhkan dalam
rangka perkembangan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara yang
mempunyai beban dan permasalahan yang besar. Dana dalam rangka
pelaksanaan kekhususan sebagai Ibukota Negara ini ditetapkan bersama
antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.
Dana dari APBN ini merupakan anggaran yang diperuntukkan dan
dikelola oleh Pemerintah provinsi yang pengalokasiannya melalui
Kementerian/Lembaga terkait. Gubernur pada setiap akhir tahun anggaran
wajib melaporkan seluruh pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawaban
keuangan yang terkait hal tersebut kepada Pemerintah Pusat melalui
Menteri atau Kepala Lembaga terkait sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Salah satu yang menjadi motor penggerak
perekonomian Provinsi DKI Jakarta adalah sektor perdagangan dan jasa.
Sektor itu memberikan kontribusi terhadap perekonomian Provinsi DKI
Jakarta tetapi juga mampu menyerap tenaga kerja yang relatif lebih besar.
Perekonomian Provinsi DKI Jakarta selama ini telah menjadi
barometer bagi kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional karena
memikili kondisi umum yang jauh lebih baik dibanding propinsi-propinsi
lain di Indonesia. Sebagai Ibukota Negara dan wilayah konsentrasi dari
berbagai kegiatan perekonomian nasional dan internasional, Provinsi DKI
Jakarta memiliki basis ekonomi yang lebih baik, karena didukung oleh
83
sumber daya manusia (SDM) yang relatif baik, infrastruktur yang lebih
memadai serta daya tarik investasi di sektor-sektor produktif yang
melebihi propinsi-propinsi lain. Daya tarik dan keunggulan ekonomi ini
pula yang secara terus menerus berpotensi menciptakan urbanisasi ke
Provinsi DKI Jakarta dengan dampak negatif pada melemahnya daya
dukung lahan dan lingkungan serta masalah-masalah kemasyarakatan
(Wawancara Dengan Bapak R.A Zulkarnain, Hubungan Masyarakat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21
mei 2010, pukul 11.00).
C. Hambatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
Sebagai Dasar Pelaksanaan Otonomi Khusus di DKI Jakarta
Dalam praktik dan perkembangannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007 pernah diuji materiilkan oleh Biem Benyamin yang menyatakan diri
berkedudukan sebagai perorangan warga Negara Republik Indonesia, yang merasa
dirugikan hak konstitusionalnya karena merasa diperlakukan diskriminatif oleh
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 yang meletakkan otonomi hanya pada
tingkat provinsi saja.
Menurut Biem Benyamin Undang-undang ini merugikan warga Provinsi
DKI Jakarta serta berpotensi dapat merugikan hak konstitusional Biem Benyamin
untuk ikut serta dalam pemilihan calon Walikota di Provinsi DKI Jakarta karena
sebagai perseorangan warga negara yang bermaksud untuk mengajukan diri
sebagai calon Walikota di wilayah Provinsi DKI Jakarta terhalang oleh ketentuan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007 yang mengandung unsur untuk menghalangi Biem Benyamin ikut dalam
pemilihan calon Walikota. Permohonan pengujian tersebut adalah pengujian
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 227 ayat (2) frasa “Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah
administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom”,
84
Undang- undang Nomor 29 Tahun 2007 Pasal 19 ayat (2) frasa
“Walikota/Bupati diangkat oleh gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI
Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat”. Pasal 19 ayat (3) frasa:
“Walikota/Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberhentikan oleh
gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”, Pasal 19 ayat
(4) sepanjang frasa, ”Walikota/Bupati bertanggungjawab kepada Gubernur” Pasal
19 ayat (6), sepanjang frasa, ”Wakil Walikota/Wakil Bupati diangkat dari pegawai
negeri sipil yang memenuhi persyaratan”. Pasal 19 ayat (7) sepanjang frasa,
”Wakil Walikota/Wakil Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-
undangan”. Pasal 19 ayat (8) sepanjang frasa, ”Wakil Walikota/Wakil Bupati
bertanggungjawab kepada Walikota/Bupati”, Pasal 24 ayat (1), sepanjang frasa,
”Untuk membantu Walikota/Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan
Kota/Kabupaten dibentuk Dewan Kota/Dewan Kabupaten”. Pasal 24 ayat (2)
sepanjang frasa ”Anggota Dewan Kota/Dewan Kabupaten terdiri atas tokoh-tokoh
yang mewakili masyarakat dengan komposisi satu Kecamatan satu Wakil”. Pasal
24 ayat (3) sepanjang frasa, ”Anggota Dewan Kota/Dewan Kabupaten diusulkan
oleh masyarakat dan disetujui oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk selanjutnya
ditetapkan oleh Gubernur”. Pasal 24 ayat (4) sepanjang frasa ”Ketentuan lebih
lanjut mengenai susunan, jumlah, kedudukan, tata kerja dan tata cara pemilihan
keanggotaan Dewan Kota/Dewan Kabupaten diatur dengan peraturan daerah”.
Dengan berlakunya Pasal 227 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Pasal 19 ayat (2), (3), (4), (6), (7), dan (8) serta Pasal 24 ayat (1),
(2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 telah merugikan hak
dan/atau kewenangan konstitusional, karena sebagai penduduk Provinsi DKI
Jakarta, hanya berhak memilih dan dipilih sebagai anggota DPR, anggota
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD Provinsi dan Gubernur.
Dalam permohonannya Biem Benyamin menyatakan bahwa berlakunya
ketentuan Pasal 227 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
beberapa Pasal yang sudah disebutkan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2007, Biem Benyamien beranggapan bahwa kewenangan
85
konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan tersebut telah dianggap menutup
peluang, menghilangkan kesempatan, atau setidak-tidaknya menghalang-halangi
Biem Benyamien untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu dalam pemilihan DPR,
DPD, Presiden, dan Walikota, utamanya untuk mencalonkan diri sebagai
Walikota di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Biem Benyamien merasa diperlakuan
diskriminatif, karena seluruh provinsi lainnya di Indonesia memiliki Pemerintahan
daerah tingkat kabupaten dan kota, sehingga hal tersebut telah merugikan hak dan
kewenangan konstitusional Biem Benyamin berkaitan dengan bersamaan
kedudukan hak-hak warga negara untuk memperoleh kedudukan yang sama di
depan hukum dan dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat
(1) yang menyatakan bahwa ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, Pasal 28 D ayat (3) yang
memyatakan ”Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan”, dan Pasal 28i ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan ”Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang tersebut hanya
meletakan otonomi daerah di tingkat provinsi, padahal di daerah istimewa atau
khusus lainnya tidak demikian halnya (www.google.co.id/risalah sidang perkara
nomor 11 (8 Juni 2010)).
Sehubungan dengan titik berat otonomi hanya di tingkat provinsi maka
warga negara Republik Indonesia yang berstatus penduduk Provinsi DKI Jakarta
hak dan kewenangannya dirugikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, di mana hal tersebut terbukti telah
berakibat Biem Benyamin pada pemilu tahun 2004 dan pilkada tahun 2007 serta
berpotensi dapat merugikan hak konstitusional Biem Benyamin untuk ikut serta
dalam pemilihan calon Walikota di Provinsi DKI Jakarta karena sebagai
perseorangan warga negara yang bermaksud untuk mengajukan diri sebagai calon
Walikota di wilayah Provinsi DKI Jakarta jadi terhalang oleh ketentuan
86
Undang-undang tersebut di atas yang mengandung unsur untuk menghalangi
Biem Benyamin ikut dalam pemilihan calon Walikota.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 otonomi daerah
pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang bersifat tunggal di tingkat provinsi,
sebenarnya sama sekali tidak menghilangkan hak perseorangan warga negara
Indonesia termasuk Biem Benyamin untuk memperoleh kesempatan yang sama
dalam Pemerintahan dan DPRD Provinsi. Bahkan peluang keterwakilan semakin
tinggi dengan ditambah 125% dari jumlah yang sesuai peraturan tentang pemilu
(berdasarkan jumlah penduduk), selain itu karena pembentuk Undang-undang
telah menentukan pilihan kebijakan hukum (legal policy), maka sebagai
konsekuensi yuridisnya dalam wilayah administrasi tersebut tidak tersedia
mekanisme pemilihan untuk pimpinan pemerintahan setempat atau Kepala
Daerah, tetapi hal ini tidak berarti menghalangi atau megurangi bahkan
mengabaikan hak konstitusional Biem Benyamin karena Biem Benyamin tetap
dapat menggunakan hak konstitusionalnya untuk memilih dan dipilih dalam
mekanisme demokrasi yang tersedia pada jabatan-jabatan publik yang tersedia
pula. Sehingga anggapan Biem Benyamin bahwa ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
dianggap diskriminatif serta menghilangkan hak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan adalah tidak berdasar, jadi dalil Biem Benyamin yang
menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang berstatus penduduk Provinsi
DKI Jakarta hak dan kewenangannya dirugikan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, pada pemilu 2004 dan
pilkada 2007 hanya berhak memilih dan dipilih sebagai anggota DPR, anggota
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD Provinsi, dan Gubernur, yang
secara demikian bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) adalah pendapat yang tidak tepat karena pembentuk
UU telah menentukan pilihan kebijakan yang menentukan daerah otonom hanya
pada tingkat provinsi saja dan dalam wilayah aministrasi tersebut tidak dibentuk
daerah yang bersifat otonom, sehingga di Provinsi DKI Jakarta tidak terdapat
pemilihan anggota DPRD pada wilayah administrasi. Pemilihan anggota DPRD
87
hanya padatingkat provinsi. Atau pemerintahan pada wilayah kabupaten ataupun
kota seperti di wilayah lainnya.
Selain itu menurut Biem Benyamin Pasal 227 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan beberapa Pasal dalam Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007 juga dianggap tidak sesuai dengan Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat
(2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B UUD 1945 yang
meletakkan kekhususannya Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara dengan
meletakan otonomi hanya di tingkat provinsi, dianggap tidak sesuai dengan UUD
1945. Karena di dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 dijelaskan “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-undang”. (Biem
benyamin.asp) Namun pada kenyataanya di Provinsi DKI Jakarta, pada tingkatan
kota tidak ada DPRD selaku perwujudan unsur legislatif. Pasal 18 ayat (2)
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan”. Pasal 18 ayat (3), “Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Di dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945 juga menetapkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis”. Di daerah lain, termasuk juga daerah istimewa,
dilakukan pilkada untuk memilih kepala daerah. Sedangkan di provinsi DKI
Jakarata mengapa Walikota dan Bupati tidak dipilih lewat pilkada,". Menurut
Biem Benyamin ketentuan Pasal-Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan
Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) dan Pasal
18B.
Sehingga menurut Biem Benyamin hal tersebut tidak sesuai dengan
prinsip kaedah hukum yang bersifat khusus (lex specialis) boleh berbeda dengan
Undang-undang yang bersifat umum (lex generalis), karena menurut Biem
Benyamin Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan aturan yang
88
bersifat umum yang mengatur desentralisasi dan pembagian daerah otonom
pada umumnya yang membagi Negara Republik Indonesia atas daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten/kota, yang masing-
masing mempunyai pemerintahan daerah dengan kewenangan untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan (www.google.co.id/risalah sidang perkara nomor 11 (8 Juni 2010)).
Hal itu karena Biem Benyamin pengujian Undang-undang hanya
melihatnya dari satu perspektif, sementara UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis
haruslah dimaknai atau dipahami sebagai satu kesatuan ide besar, satu kesatuan
norma dasar yang selalu berkaitan antara pembukaan, Pasal demi Pasal, bahkan
ayat demi ayat, demikian juga norma yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah (Wawancara Dengan Bapak Amir Hamzah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21 mei 2010, pukul
11.00).
Pasal 227 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun materi
muatan Pasal dalam Undang-Undang 29 Tahun 2007 yang pada intinya meletakan
otonomi daerah Provinsi DKI Jakarta hanya di tingkat provinsi merupakan
konsekuensi dari kekhususan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota,
sudah berdasarkan pada Pasal 18B ayat (1) ,dan (2) UUD 1945 sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya.
Pasal 18 ayat (1),(2),(3) dan (4) serta Pasal 18B ayat (1),dan(2) yang
terdapat dalam Bab VI Pemerintahan daerah tidak dapat ditafsirkan secara
terpisah-pisah karena Bab VI karena Pemerintahan daerah secara keseluruhan
merupakan satu norma dasar dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan kehadiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2007 merupakan penjabaran dan kehendak Pasal-Pasal
tersebut, sehingga norma konstitusi yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemerinatahan daerah yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1),(2),(3),dan(4) bukan
norma yang berdiri sendiri melainkan harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan
Pasal lain yang juga mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena
disamping pengaturan itu juga terdapat Pasal 18A dan Pasal 18B. Asas yang
89
menghendaki terdapatnya hierarki daerah otonom sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 18 ayat (1),(2),(3),dan(4) tidak bisa diartikan bahwa keberadaan daerah
tersebut adalah mutlak, tetapi bersifat fakultatif karena Pasal 18B ayat (1)
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
Undang-undang (www.google.co.id/risalah sidang perkara nomor 11 (8 Juni
2010)).
Apabila Biem Benyamin mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tersebut tidak sesuai
dengan prinsip kaidah hukum lex specialis boleh berbeda dengan Undang-undang
yang lex generalis, akan tetapi tidak sesuai dengan UUD 1945, adalah juga tidak
dapat diterima karena Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007menggantungkan
norma pada Pasal 227 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, sedangkan Pasal 227 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menggantungkan norma konstitusi pada Pasal 18B ayat (1),dan (2)
UUD 1945. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 adalah
Lex specialis dari UU Nomor 32 Tahun 2004 (www.google.co.id/risalah sidang
perkara nomor 11 (8 Juni 2010)).
Akibat dari persepsi yang hanya didasarkan pada satu persfektif, maka
Biem Benyamin juga melihat pemerintahan daerah provinsi yang lain secara
mutlak yakni ditandai dengan adanya otonomi daerah di tingkat kabupaten atau
kota. Padahal semua provinsi di Indonesia memiliki akar sejarah yang berbeda-
beda yang akan menentukan pilihan hukum dan pilihan kebijakan baik dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, selain itu karena faktor sosiologis
masyarakat yang secara langsung terkait dengan persoalan etnisitas. Faktor ini
sebenarnya terkait dengan faktor geografis, karena faktor etnisitas tidak mungkin
muncul dengan sendirinya. Pembentukan sebuah identitas etnik merupakan proses
yang sangat panjang yang terkait dengan faktor-faktor geografis dan demografis
secara langsung, oleh sebab itu dalam melihat Pemerintahan DKI Jakarta tidak
bisa melihat dari perspektif sempit saja, tetapi juga harus melihat pada akar
sejarah, sosiologis, politis, dan yuridis yang saling berpautan dan tidak dapat
90
dipisahkan satu sama lain (Wawancara Dengan Bapak Amir Hamzah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21 mei 2010, pukul
11.00).
Secara garis besar pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
sudah terlaksana dengan baik, meskipun ada beberapa hal yang belum dapat
terlaksana dengan optimal karena berbagai macam hal. Seperti telah dijelaskan di
atas yang menjadi salah satu perubahan setelah di sahkannya Undang undang
Nomor 29 Tahun 2007 adalah adanya istilah Lembaga Musyawarah Kelurahan
(LMK) di tingkat kelurahan, dan ditetapkannya kembali istilah yang sama dengan
Undang-undang sebelumnya yaitu istilah Dewan Kota di tingkat Kotamadya dan
Dewan Kabupaten di tingkat kabupaten.
Provinsi DKI Jakarta yang mempunyai 265 Kelurahan yang tentu
membutuhkan lembaga penampung aspirasi masyarakat, sehingga ada komunikasi
dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi alasan
adanya LMK. Lembaga Musyawarah Kelurahan merupakan lembaga di tingkat
Kelurahan bertugas membantu Lurah dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang
pada Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999
disebut dengan Dewan Kelurahan. Namun pada saat ini masih tetap menggunakan
Dewan Kelurahan hal ini disebabkan karena Peraturan Daerah yang mengatur
tentang LMK belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya masih menggunakan
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Dewan Kelurahan. Peraturan
Daerah yang ada masih menggunakan Dewan Kota sehingga LMK belum sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 dan belum terealisasi maksimal
karena terbentur oleh Peraturan Daerah yang belum sesuai tersebut. Dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 seharusnya produk hukum yang
masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 dirombak
(Wawancara dengan Bapak Puspla Dirdjaja, Biro Hukum Pemerintah Daerah
Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 5 November 2009, pukul 13.00).
Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah penduduk yang besar yaitu 8.520.222
dengan beragam suku dan budaya selalu menimbulkan berbagai permasalahan
seperti: urbanisasi, keamanan, transportasi, pengelolaan kawasan khusus, dan
91
masalah sosial kemasyarakatan, pengangguran, penataan wilayah, pemukiman,
daerah kumuh, banjir dan sampah, serta dihuninya daerah resapan yang
mengundang kekhawatiran akan banjir. Hal tersebut berkaitan dengan
keberadaannya sebagai pusat pemerintahan negara, faktor luas wilayah yang
terbatas, jumlah dan populasi penduduk yang tinggi
(http://www.kependudukancapil.go.id (30 Juni 2010)).
Dalam menangani pemasalahan tersebut pemerintahan Provinsi DKI
Jakarta perlu bekerjasama dengan daerah sekitarnya. Pemerintah Daerah Provinsi
DKI Jakarta harus menghadapi realitas sosial. Dalam kenyataannya Provinsi DKI
Jakarta tidak hanya dihuni oleh orang-orang Jakarta, namun juga merupakan pusat
tujuan penduduk sekitar mencari nafkah, oleh sebab itu Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta harus bekerja sama dengan Pemerintah wilayah sekitarnya, seperti
program tempat pembuangan sampah, mngendalikan tingkat urbanisasi dan
sebagainya (Wawancara Dengan Bapak R.A Zulkarnain, Hubungan Masyarakat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21 mei
2010, pukul 11.00).
Pesatnya pembangunan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara,
menyebabkan terjadinya perluapan perkembangan kota ke wilayah di sekitarnya
yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, cianjur, sehingga terjadilah
berbagai alih fungsi peruntukan di kota-kota sekitar Provinsi DKI Jakarta, maka
diperlukan pemahaman dan kerjasama untuk mengelola kerjasama antar daerah.
Mengingat kondisi ini, maka diperlukan pengelolaan yang integratif antar wilayah
tersebut. Sehingga, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan
JABODETABEKPUNJUR.
Kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional yang
memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang secara terpadu. yang selanjutnya penataan ruangnya secara
spesifik diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 Tentang Penataan
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur
(Perpres Nomor 54 Tahun 2008). Dalam upaya meningkatkan keserasian dan
92
keterpaduan pembangunan serta pemecahan masalah bersama di wilayah
JABODETABEKPUNJUR, Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat telah sepakat untuk mengembangkan kerjasama dan
membentuk suatu wadah kerjasama (Wawancara Dengan Bapak R.A Zulkarnain,
Hubungan Masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta
pada tanggal 21 mei 2010, pukul 11.00).
Kerjasama antar daerah menjadi salah satu pendekatan utama dalam
penataan ruang wilayah dan atau kawasan serta pengelolaan lingkungan hidup
yang meliputi lebih dari satu wilayah administrasi, dan merupakan salah satu alat
untuk meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah,
serta berperan dalam mewujudkan efisiensi pemanfaatan ruang sebagai tempat
berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial budaya serta pelestarian
lingkungan hidup.
Penataan ruang Provinsi DKI Jakarta harus memikirkan tata ruang daerah
sekitarnya, karena berkaitan dengan kepentingan tata ruang nasional.
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta harus mempunyai hubungan dengan wilayah
sekitarnya yaitu JABODETABEKPUNJUR, maka harus ada ksepakatan
kerjasama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur Jawa
Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok, Bupati
Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi Dan Bupati
Cianjur tentang Kerjasama Antar Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor, Kota Bogor,
Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota
Bekasi Dan Kabupaten Cianjur, oleh sebab itu dibuat lembaga lintas sektoral
seperti Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) JABODETABEKPUNJUR.
Wilayah JABODETABEKPUNJUR yang terdiri dari 11 wilayah
administrasi otonom, yang tediri dari 3 provinsi serta 8 kabupaten/kota ini
merupakan kawasan perkotaan yang mempunyai dinamika dan muatan persoalan
serta kegiatan tertinggi di Indonesia. Wilayah JABODETABEKPUNJUR
merupakan wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan, dan
93
keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia (Wawancara Dengan Bapak
Amir Hamzah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada
tanggal 21 mei 2010, pukul 11.00).
Perkembangan dan perubahan yang terjadi di salah satu wilayah jelas
berpengaruh dan dipengaruhi oleh wilayah lain, sebagai satu kesatuan ekosistem.
Mengingat kondisi ini, maka diperlukan pengelolaan yang integratif antar wilayah
tersebut. Sehingga, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional kawasan
JABODETABEKPUNJUR ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional yang
memerlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang secara terpadu. yang selanjutnya penataan ruangnya secara
spesifik diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan
Ruang Kawasan JABODETABEKPUNJUR (Perpres Nomor 54 Tahun 2008).
Dalam upaya meningkatkan keserasian dan keterpaduan pembangunan serta
pemecahan masalah bersama di wilayah JABODETABEKPUNJUR,
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah
sepakat untuk mengembangkan kerjasama dan membentuk suatu wadah
kerjasama.
Dalam kedudukan Jakarta sebagai Ibukota, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dapat memperoleh alokasi pendanaan dari APBN. Dana dalam rangka
pelaksanaan kekhususan sebagai Ibukota Negara ini ditetapkan bersama antara
Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 menyebutkan adanya alokasi
anggaran APBN yaitu untuk kebudayaan betawi, dan kebudayaan Indonesia yang
lain yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta merupakan Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencerminkan kesatuan dan
keanekaragaman Indonesia, oleh sebab itu mempunyai tugas dan kewenangan
untuk memelihara kebudayaan tersebut. Begitu juga APBN mengenai tata ruang
dan permasalahan kemiskinan, lalu mengenai pariwisata, perindustrian, serta
perdagangan yang sampai sekarang yang belum bisa direalisasikan.Hal ini
94
disebabkan karena lambannya pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan
program untuk mendapatkan alokasi anggaran itu.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Pasal 30 juga dijelaskan
mengenai Kawasan khusus yaitu kawasan di dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta
yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi tertentu
pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang bersifat khusus bagi kepentingan
nasional. Kawasan khusus sebagaimana dimaksud dikelola bersama antara
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau didelegasikan oleh
Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dalam pelaksanaanya belum ada peraturan pelaksanaan mengenai hal
tersebut. Meskipun sudah ada anggarannya, namun tetap tidak bisa dijalankan
karena belum ada peraturan pelaksana yang mengaturnya. Padahal kawasan
khusus tersebut sangat diperlukan baik bagi Provinsi DKI Jakarta sendiri maupun
bagi provinsi lain di Indonesia (Wawancara Dengan Bapak Amir Hamzah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 21 mei 2010, pukul
11.00).
95
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 kaitannya
sebagai dasar otonomi khusus secara umum telah terlaksana dengan
baik. Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI mempunyai tugas
serta kewenangan yang khusus, yang membedakan dengan provinsi
lainnya di Indonesia. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007
memberikan beberapa kewenangan dan kewajiban khusus kepada
DKI dalam pelaksanaan pemerintahannya yaitu:
a. Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara,
tidak hanya menanggung kepentingan daerah tapi juga
kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Provinsi DKI Jakarta harus dapat mengakomodasikan antara
peran lokal, nasional, dan internasional.
b. Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah dan
Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang diberikan
kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam
kedudukan DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI, yang di bantu
oleh 4 orang Deputi Gubernur. Salah satu kekhususan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta memiliki hak protokoler.
c. Adanya Dewan Kota/Dewan Kabupaten adalah lembaga
musyawarah pada tingkat Kota/Kabupaten untuk peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan
peningkatan layanan masyarakat”.
d. Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI memiliki rencana
tata ruang wilayah nasional. Pemerintah DKI Jakarta juga
mempunyai tugas serta kewenangan terhadap tata ruang daerah
sekitarnya, karena tata ruang Provinsi DKI Jakarta harus
sinergi dengan dengan tata ruang daerah sekitarnya. Untuk
96
membangun kerjasama tersebut diperlukan pembentukan
badan kerjasam antar daerah sekitar tersebut yaitu BKSP.
e. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperoleh alokasi
pendanaan dari APBN APBN yang salah satunya digunakan
untuk pelestarian budaya lokal (Betawi) serta melindungi
berbagai budaya masyarakat daerah lain,selain itu juga untuk
tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup,
pengendalian penduduk dan permukiman, transportasi, industri
dan perdagangan, dan pariwisata, dan dana tersebut juga
dibutuhkan dalam rangka perkembangan Provinsi DKI Jakarta.
2. Hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 29 tahun 2007 sebagai dasar pelaksanaan otonomi
khusus di DKI Jakarta, yaitu:
a. Adanya anggapan di masyarakat bahwa Undang-undang ini
merugikan warga Provinsi DKI Jakarta serta berpotensi dapat
merugikan hak konstitusional
b. Peraturan Daerah yang ada masih menggunakan Dewan Kota
sehingga LMK belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2007 dan belum terealisasi maksimal karena
terbentur oleh Peraturan Daerah yang masih mengacu pada
Undang-undang sebelumnya.
c. Belum optimalnya kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta dengan Pemerintah wilayah sekitarnya, seperti program
tempat pembuangan sampah, mngendalikan tingkat urbanisasi
dan sebagainya.
d. APBN untuk pelestarian budaya lokal (Betawi) serta
melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain serta tata
ruang dan permasalahan kemiskinan, lalu mengenai pariwisata,
perindustrian, perdagangan yang sampai sekarang yang belum
bisa direalisasikan.
97
B. Saran-saran
1. Bagi Pemerintah DKI Jakarta sebaiknya Sejumlah aturan baru yang
berhubungan dengan Jakarta sebagai Ibukota Negara ini harus
menjadi dasar penyusunan kebijakan ke depan dari Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi dan DPRD. Seluruh peraturan
pelaksanaan atas Undang-undang ini ditetapkan paling lambat telah
disusun 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini. Untuk itu sejumlah
PP, Perda dan Keputusan Bersama yang menjadi amanat dari
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 ini harus segera dipersiapkan
dan diselesaikan oleh seluruh pihak terkait Provinsi DKI Jakarta
yang berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Banyaknya penduduk, dan permasalahan yang kompleks yang harus
ditangani secara terpadu. Untuk penanganan masalah tersebut di atas
diperlukan suatu lembaga yang mampu menjembatani antara
kepentingan masyarakat dan memanfaatkan potensi yang ada di
masyarakat untuk kelancaran pelaksanaan pembangunan dan
program-program pemerintah, oleh sebab itu harus di optimalkan
kinerja Dewan Kota dan atau Dewan Kabupaten serta Lembaga
Musyawarah Kelurahan sebagai wadah komunikasi timbal balik
antara pemerintah dan masyarakat.
3. Perlu adanya partisipasi aktif dari pemerintah di wilayah sekitar
DKI Jakarta dalam menunjang kelancaran program kerja Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, mengingat Jakarta merupakan sentral
perekonomian nasional.
xcviii
xcix
xcix
DAFTAR PUSTAKA
Andy Ramses.2007. "Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Pilihan Bentuk Otonomi
Asimetrik".Jurnal Konstitusi.volume 8.Nomor 3.
Bagir Manan.1994.Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945.
Jakarta.Sinar Harapan.
B. Hestu Cipto Handoyo.2003.Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak
Asasi Manusia <Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di
Indonesia>.Yogyakarta.Universitas Atmajaya Yogyakarta.
BN. Marbun.2005.DPRD dan Otonomi Daerah.Jakarta.PT. Pustaka sinar harapan.
Burhan Asofa.2004.Metode Penelitian Hukum.Jakarta.Sinar Grafika.
C. S. T Kansil dan Christine . S . T Kansil.2002.Pemerintahan Daerah Indonesia.
Jakarta.Sinar Grafika.
Fauzi Bowo.SejarahJakarta.http://www.fauzibowo.com/artikel.php?id=80&option =view. <30 Juni 2010/19.00>
Hanif Nurcholis.2007.Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Jakarta.PT. Grasindo.
H.A.W. Widjaja.2004.Otonomi Daerah Daerah Otonom.Jakarta.Raja Grafindo
Persada.
H.B Sutopo.2002.Pengantar Penelitian Kualitatif <Dasar-Dasar Teoritis dan
Praktis>.Surakarta.Pusat Penelitian Surakarta.
Hendri Fisnaeni.Sejarah Pemerintahan DKI Jakarta.http://hendrifisnaeni. blogspot.com/2008/08/melintasi-sejarah-pilkada-di-indonesia.html.<18 Febuari 2010/20.00>
Iswantoro.2007”Perspektif Kritis Relasi Legislatif Dan Eksekutif Didaerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”.Jurnal Mimbar
Hukum,Volume 19 Nomor 2 Juni 2007.
Lexy . J. Maleong.2002.Metedologi Penenlitian Kualitatif.Bandung.PT.Remaja
Rodakarya.
Miriam Budiarjo.2007.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta.PT. Gramedia Pustaka
Utama.
c
c
______________.2001.Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia.Jakarta.PT.
Rineka Cipta.
Moh. Mahfud MD.1999.Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi.Yogyakarta.Gama
Media
Ni’ matul Huda.2005. Otonomi daerah. Yogyakarta.PT. Pustaka Pelajar.
_____________.2009.Hukum Pemerintahan Daerah.Bandung.Nusa
Media.
No Name.desentralisasi assimetris.http://www.desentralisasi.org.html <18 Mei
2009/19.00>
_________.daerah otonom.http://www.wikipedia.org/wiki/daerah_otonom.<18
Mei 2009/20.00>
_________.sejarah dki jakarta.www.pemerintahdkijakarta.co.id.<01
Maret 2010/19.00>
_________.risalah sidang perkara.www.google.co.id/risalah sidang perkara
nomor 11/puu-vi/2008 .<8Juni 2010/19.00>
_________.Daerah Khusus Ibukota Jakarta.www.wikipedia.com /Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta.html<18 Mei 2009/19.00>
_________.Sejarah Pemerintahan DKI Jakarta.www.jakarta.go.id.<01 Maret
2010/20.00>
_________.kota jakarta.http://www.jakarta.go.id/jakartaku/kota_jakarta01.htm. <18 Febuari 2010/18.00>
_________.sejarahpemerintahan.http://www.jakarta.go.id/jakartaku/sejarah_pemerintahan.htm.<18 Febuari 2010/18.00>
_________.SejarahNusantara.http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_%281942-1945%29.<18 Febuari 2010/18.15>
_________.SejarahIndonesia.http://id.wikipedia.org/wiki/sejarah_Indonesia_%281945-1949%29.<18 Febuari 2010/18.30>
_________.Sejarah Jakarta.http://www.jakarta.go.id/v70/index.php /t/376-sejarah-jakarta.<18 Febuari 2010/19.00>
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Dewan Kota dan Dewan
Kabupaten.
ci
ci
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Dewan Kelurahan.
Peter Mahmud Marzuki.2008.Penelitian Hukum.Jakarta.Kencana Prenada Media
Group.
Soejono dan Abdurahman.2003.Metode Penelitian Hukum.Jakarta.Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto.1986.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta.UI-Pers
_______________.2001.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta.UI-Pers
_______________.2006.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta.UI-Pers
Undang Undang Dasar 1945.
Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 jo Undang–undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta.
Undang Undang Nomor 29 tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
cii
cii