Upload
egi-gumilang
View
131
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pelanggaran
Citation preview
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 1
POSITION PAPER
Pelanggaran Pemilu 2009 Dan
Tata Cara Penyelesaiannya
Jakarta, Desember 2008
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 2
Pelanggaran Pemilu 2009 Dan
Tata Cara Penyelesaiannya
Tim Penyusun:
Yulianto
Veri Junaidi
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 3
Pengantar Penerbit
Pemilihan Umum (pemilu) sebagai bagian dari system demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Karena melalui pemilu tidak hanya menjamin berlangsungnya proses sirkulasi dan regenerasi kekuasaan. Tetapi partisipasi dan representasi atas kepentingan rakyat terhadap terpenuhinya pemerintahan yang baik, akan senantiasa terjaga. Kepentingan rakyat sebagai bagian dari hak-hak konstitusional yang harus selalu dijamin, dilindungi dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu system pemilu yang dibangun, hendaknya dikreasikan dengan tujuan dan maksud tersebut. Termasuk didalam setiap penyelenggaraan pemilu, diharapkan dapat berjalan secara jujur dan adil (free and fair election) serta transparan.
Namun tidak bisa dihindari, dalam setiap penyelenggaraan pemilu. seringkali muncul persoalan atau perkara pemilu. Persoalan-persoalan tersebut muncul karena ketidakpuasan terhadap penyelenggara (KPU), seperti keputusan/kebijakan yang dikeluarkan tidak transparan, kekurangcermatan dalam menghitung dsb. Persoalan juga muncul karena adanya penyimpangan dan kecurangan yang dilakukan para peserta pemilu, seperti pemalsuan identitas, money politik, dan sebagainya. Persoalan-persoalan tersebut apabila dibiarkan dan tidak diberikan mekanisme penyelesaian (mekanisme hukum) yang jelas dan tegas, bukan hanya dapat mengganggu kelancaran/kesuksedan pemilu, tetapi akan mengakibatkan rendahnya kredibilitas dan legitimasi pemilu. Hingga pada gilirannya dapat mengancam dan mengabaikan hak-hak konsitusional para peserta pemilu dan masyarakat pada umumnya.
System dan politik hukum bagi pemilu 2009 telah digariskan melalui konstitusi (UUD 1945), UU Pemilu (legeslatif dan Presiden), serta UU MK. Melalui UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Untuk Anggota Legeslatif (DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten dan DPD), ditentukan bahwa perkara pemilu dapat dibedakan menjadi perkara yang bersifat administrative, pelanggaran pidana dan sengketa hasil. Masing-masing perkara tersebut, telah diatur mekanisme dan prosedur penyelesaiannya. Untuk perkara yang bersifat administrative, mekanisme penyelesaiannya melalui Bawaslu/Panwaslu. Sedangkan untuk penanganan perkara pelanggaran pidana, mekanismenya diserahkan kepada kepolisian, kejaksaan dan pengadilan umum (MA). Dan untuk perkara sengketa hasil pemilu, termasuk sengketa pilkada, proses penyelesaiannya melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 4
Ditengarai dalam penyelenggaraan pemilu 2009 nanti, perkara yang muncul intensitas dan kompleksitasnya akan semakin rumit. Jika melihat kembali pada pemilu 2004, terdapat 3153 kasus pelanggaran dalam pemilu legeslatif dan 274 kasus dalam pemilu presiden. Sedangkan dalam kasus sengketa hasil, tercatat 500 pengaduan ke Mahkamah Konstitusi. Dari angka tersebut, 370 merupakan perkara MK. Untuk pilkada, lebih dari 167 gugatan diajukan ke MA atau pengadilan tinggi dan hanya tiga kasus yang dikabulkan. Jumlah tersebut kemungkinan besar akan meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah partai peserta pemilu, juga aturan jenis dan kualifikasi pidana pemilu yang bertambah. Yang menarik, perkara sengketa hasil pemilu bisa terjadi antar caleg dalam satu partai yang sama, antar caleg lintas partai dan sengketa antar partai politik. Kompleksitas masalah akan bertambah jika regulasi yang mengatur untuk penanganan dan penyelesaian perkara pemilu, tidak diatur secara rinci, jelas dan limitative. Hal ini bisa menambah keruwetan persoalan, yang bisa berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan berujung pada ketidakadilan didalam penerapannya.
Berkait dengan itu, instrumen yang tak kalah penting adalah menyangkut tatacara penjatuhan hukuman bagi semua pihak yang telah melakukan pelanggaran terhadap aturan main. Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah keterbatasan wewenang Bawaslu dalam penanganan pelanggaran pemilu. Tidak jauh berbeda dengan Panitia Pengawas (Panwas) Pemilu 2004, wewenang dan tugas Bawaslu adalah; mengawasi kemungkinan adanya pelanggaran di setiap tahapan, mengkaji dan meneruskan dugaan pelanggaran pemilu kepada pihak lain yang berkompeten. Undang-undang tidak membebani Bawaslu untuk mengawal hasil kajian atas dugaan pelanggaran pemilu yang telah diteruskan. Dengan keterbatasan tersebut maka penanganan perkara dari hulu (sejak terjadinya pelanggaran) hingga muara (keputusan terhadap pelaku pelanggaran) akan menemui hambatan.
Position paper ini mencoba memberikan gambaran terhadap hal-hal mengenai alur/proses tatacara penanganan pelanggaran pemilu tersebut diatas. Dalam position paper ini juga disampaikan beberapa kritik dan rekomendasi yang perlku dilakukan supaya aturan yang telah ditentukan dalam UU Pemilu maupun Peraturan turunannya dapat menjawab kebutuhan penegakan hukum pemilu. Dengan adanya position paper ini diharapkan masyarakat pada umumnya dan pihak-pihak yang akan terlibat dalam proses pemilu dapat lebih mudah memahami bagaimana aturan main pemilu dilaksanakan sehingga kualitas pemilu dapat terjaga.
Sangat disadari bahwa dalam penyusunan Position Paper tentang tata cara penanganan pelanggaran pemilu ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu maka kritik dan saran sangat kami harapkan.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 5
Terlepas dari segala kekurangan tersebut, tidak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam proses penyusunan position paper ini khususnya lembaga-lembaga pemantau pemilu, dan terutama Yayasan Tifa yang telah mendukung proses penyusunan dan penerbitan position paper ini.
Jakarta, Mei 2009
Firmansyah Arifin
Ketua KRHN
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 6
KATA PENGANTAR
Penyelenggaraan pemilu tahun 2009 seyogianya mempunyai makna penting bagi proses
konsolidasi politik di Indonesia. Ada beberapa alasan dapat diajukan yang antara lain: kesatu,
pemilu tahun 2009 adalah pemilu kedua dalam era reformasi yang dilaksanakan oleh komisi
pemilihan yang independen sehingga seharusnya kualitas penyelenggaraan akan lebih baik
dibandingkan dengan pemilu 2004; kedua, penyelenggaraan pemilu dilengkapi oleh badan
pengawas yang juga bersifat tetap dan independen untuk memastikan agar pemilu dilaksanakan
sesuai dengan asas pemilu, yaitu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil; ketiga, ada
civil societies yang secara khusus mengabdikan dan mewakafkan waktunya agar proses
penyelenggaraan pemilu obyektif, berkualitas dan secara sungguh-sungguh dalam mewujudkan
kedaulatan rakyat.
Transformasi kedaulatan rakyat melalui penggunaan hak pilih yang dimiliki rakyat dalam suatu
proses penyelenggaraan pemilu yang baik sesuai asas penyelenggaraan pemilu di atas, diyakini
akan dapat memilih wakil-wakil rakyat yang amanah karena mereka memiliki profesionalitas
dan integritas untuk membangun tata kelola kekuasaan yang baik. Dalam konteks pemilu
legislatif 2009, maka seyogianya anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih dalam pemilu tersebut dapat mennciptakan atmosfir kekuasaan legislatif
yang kondusif dalam nenjalankan tugas dan kewenangannya yang berpucuk pada sebesar-
besarnya kepentingan rakyat.
Fakta menegaskan, penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 2009 tidak lebih baik dari pemilu
tahun 2004. Ada beberapa kalangan menyatakan, pemilu kali ini lebih buruk dari pemilu
sebelumnya, dan bahkan sebagian lainnya memberikan penilaian sebagai pemilu yang terburuk.
Ada cukup banyak indikasi dan fakta dapat diajukan untuk sampai pada kesimpulan di atas,
mulai dari masalah Daftar Calon Tetap (DCT) hingga penghitungan suara hasil pemilu dan
penentuan kursi sesuai dengan jumlah suara di suatu daerah pemilihan. Diantara tahapan tersebut
ada cukup banyak pelanggaran, baik pelanggaran yang bersifat administrasi maupun pidana
pemilu selain sengketa hasil pemilu. Berbagai fakta atas banyaknya pelanggaran dan
ketidakmampuan menangani pelanggaran itu dapat mencederai kualitas pemilu.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 7
Buku ini memperoleh kontekstualitas karena telah berhasil mengemukakan hal ichwal yang
berkaitan dengan berbagai pelanggaran pemilu, khususnya bagaimana proses dan prosedur
penanganan pelanggaran pemilu sesuai dengan ketentuan yang tersebut dalam perundangan
maupun kesepakatan diantara para penegak hukum untuk mengatur prosedur beracara. Jadi,
salah satu kekuatan yang berhasil dikemukakan dalam buku ini adalah menjelaskan prosedur
atau tata cara penyelesaian pelanggaran pemilu secara gamblang. Pendekatan yuridis normatif
digunakan untuk mengidentifikasi, bagaimana prosedur penyelesaian pelanggaran pemilu diatur
di dalam peraturan perundangan dan sebagiannya didapatkan dari hasil analisis atas berbagai
kelemahan peraturan dimaksud dengan mengaitkannya pada penanganan sebagian kasus-kasus
pelanggaran pemilu. Berpijak pada hasil analisis tersebut maka diajukan berbagai kritik atas
ketentuan maupun pelaksanaan aturan yang mengalami kesulitan dalam penerapannya.
Buku ini akan menjadi sangat menarik bila dapat menampilkan berbagai masalah dan kasus-
kasus yang memperlihatkan pelanggaran atas prosedur pemilu. Berdasarkan kasus dan masalah
tersebut dapat dilihat sejauhmana kompleksitas masalah dan dapat dikaji sejauhmana dampak
atas kasus terhadap kualitas pemilu. Sebaran masalah dan modus operandi kasus dapat
dikatagorisir dan dikualifisir untuk kemudian dianalisis lebih mendalam untuk mengetahui
penyebab utamanya dan cara mengatasinya. Usulan gagasan perbaikan yang lebih komprehensif
hanya dapat dilakukan bilamana dilakukan kajian yang mendalam atas kompleksitas masalah dan
keragaman kasus.
Pada keadaan yang senyatanya, ada berbagai masalah yang belum diatur secara tegas di dalam
perundangan. Misalnya saja, tertukarnya surat suara dalam cakupan sebaran yang cukup luas.
Tindakan dimaksud dapat terjadi karena adanya kelalaian tetapi bukan tidak mungkin terjadi
karena kesengajaan. Persoalan menjadi problematik karena lembaga KPU membuat kebijakan
yang menyebabkan suara pemilih menjadi tidak berarti. Bawaslu secara tegas menyatakan,
tindakan dimaksud adalah tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 288 UU No. 10
Tahun 2008. Alasan yang diajukan Bawaslu, tindakan tersebut menyebabkan suara seorang
pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapatkan tambahan
suara. Pihak kepolisian menafsirkan masalah di atas secara berbeda dengan menyatakan,
tindakan dari KPU tersebut adalah merupakan kebijakan yang tidak dapat dikualifikasi serbagai
tindak pidana.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 8
Hal serupa juga terjadi dengan tindakan KPU dalam menafsirkan penetapan perolehan kursi
sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 10 Tahun 2008. Tindakan
KPU dalam menafsir pasal di atas ternyata berbeda dengan pendapat sebagian pembuat undang-
undang maupun kalangan ahli yang faham soal pembagian kursi. Para pihak yang dirugikan
mengalami kesulitan untuk mempersoalkan perbuatan KPU karena sudah tidak dapat lagi
mempersoalkannya melalui sengketa pemilu yang limit waktu hanya 3x24 jam setelah penetapan
suara nasional. Peraturan perundangan yang ada belum cukup mengatur masalah hukum
berkenaan dengan kasus seperti tersebut di atas.
Hal serupa dengan masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pada saat ini, soal DPT telah
berkembang menjadi isu dan masalah politik dengan disetujuinya Hak Angket oleh DPR atas
masalah DPT. Jika saja peraturan yang ada sudah mengatur secara tegas dan jelas hal-hal
berkaitan dengan pertanggungjawaban para pihak yang menyebabkan DPT menjadi masalah
maka tidak perlu terjadi hak angket.
Beberapa kasus seperti telah dikemukakan di atas dapat memperlihatkan, peraturan perundangan
yang ada belum cukup mengatur potensi masalah yang muncul di dalam proses penyelenggaraan
pemilu. Untuk itu perlu dirumuskan suatu klausul pasal yang dapat dipakai untuk
mengakomodasi suatu masalah yang potensial muncul di dalam suatu penyelenggaraan pemilu
yang pada awalnya belum dapat diidentifikasi.
Hal lain yang juga harus mendapat perhatian adalah standing position dan mekanisme koordinasi
aparatur di dalam sistem peradilan pidana pemilu. Perlu diatur dan dirumuskan secara tegas, apa
fungsi dan kedudukan Bawaslu beserta jajarannya dalam system peradilan pidana pemilu. Bila
Bawaslu dan Panwaslu di Propinsi dan Kabupaten/ Kota ditempatkan sebagai penyelidik maka
fungsinya hanya mengidentifikasi dan memastikan apakah ada suatu peristiwa pidana saja
berdasarkan suatu bukti permulaan. Bawaslu tidak perlu diwajibkan untuk mencari dan
mengumpulkan barang bukti karena tugas dimaksud adalah kewenangan dari penyidik atau
lembaga kepolisian. Bawaslu sedari awal tidak didesain mempunyai kewenangan sub poena atau
upaya paksa sehingga tidak dapat diharapkan untuk menemukan dan mengumpulkan barang
bukti.
Hal serupa juga dengan masalah koordinasi penanganan pidana pemilu. Apakah lembaga
kepolisian mempunyai kewenangan untuk menolak hasil pemeriksaan Bawaslu padahal belum
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 9
pernah secara resmi menerima laporan pengaduan yang diserahkan oleh Bawaslu? Persoalan ini
menjadi cukup urgen untuk diselesaikan karena komposisi Bawaslu sekarang berbeda dengan
Panwaslu pada tahun 2004 yang salah satu unsurnya adalah pihak dari lembaga kepolisian dan
kejaksaan. Pada pemilu 2009, Bawaslu dalam salah satu pernyataannya menyatakan, lembaga
kepolisian kerapkali menolak laporan kasus yang dikrimkan oleh Bawaslu dengan alasan yang
tidak jelas sehingga ada kesan pihak kepolisian telah bertindak tidak netral. .
Buku ini dapat menjadi langkah awal untuk kemudian dilanjutkan dengan tulisan lainnya seperti
beberapa catatan di atas guna mengelaborasi lebih lanjut berbagai masalah atau pelanggaran
yang muncul dalam seluruh proses dan tahapan penyelenggaran pemilu. Dari situ kelak akan
dapat diajukan berbagai perubahan untuk kepentingan perbaikan perundangan pemilu.
Penyelenggaran pemilu yang baik, diasumsikan akan dapat dilakukan secara optimal, bila
disertai dengan aturan yang jelas dan tegas untuk menindak siapapun yang bertindak lalai atau
mempunyai intensi melakukan pelanggaran atas tata cara dan prosedur penyelenggaraan pemilu.
Selamat dan terima kasih kepada para penulis yang telah berhasil menampilkan tulisan yang
ringkas, padat dan gamblang tentang hal ichwal pelanggaran pemilu. Ungkapan senada juga
dihaturkan pada Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) karena telah dan tetap
memperlihatkan dedikasinya untuk senantiasa melakukan kajian kritis pada berbagai masalah
publik, khususnya di dalam soal kepemiluan. Semoga saja, sidang pembaca akan mendapatkan
manfaat yang sebesar-besarnya atas seluruh uraian dan penjelasan yang tersebut di dalam buku
ini.
Jakarta, Juni 2009
DR. Bambang Widjojanto
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 10
Daftar Isi
KATA PENGANTAR .. A. Pelanggaran Pemilu : Ancaman Terhadap Proses Demokratisasi B. Pelanggaran Pemilu 2009 ..
1. Pelanggaran Administrasi .. 2. Tindak Pidana Pemilu 3. Perselisihan Hasil Pemilu ..
C. Sengketa Pemilu 2009 1. Perselisihan Hasil Pemilu 2. Sengketa Administrasi Pemilu
D. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Pemilu . 1. Mekanisme Pelaporan 2. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Administrasi . 3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu ..
a. Proses Penyidikan b. Proses Penuntutan c. Proses Persidangan .. d. Proses Pelaksanaan Putusan
4. Perselisihan Hasil Pemilu .. E. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu F. Potensi Masalah Hukum Pemilu 2009..
1. Waktu Terjadinya Pelanggaran .. 2. Penanganan Laporan .. 3. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi 4. Penegasan Wewenang dan Tanggung Jawab Penyelesaian Pelanggaran Administrasi ... 5. Pengertian Hari ................................................................................... 6. Tindakan Terhadap TNI ......................................................................... 7. Persidangan Anak ................................................................................... 8. Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) .............................................. 9. Proses Banding . 10. Jumlah Aparat Penegak Hukum 11. Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan ....................................... 12. Pelaksanaan Putusan ............................................................................. 13. Gugatan Putusan KPU ...........................................................................
G. Rekomendasi .
Lampiran 1. Perbandingan Waktu Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu Menurut UU No. 12/2003, UU No. 10/2008 dengan UU 42/2008
Lampiran 2. Bentuk dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemilu Menurut UU No. 10/2008 Lampiran 3. Bentuk dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemilu Menurut UU No. 42/2008
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 11
Daftar Skema
Skema 1. Alur Penanganan Pelanggara Pemilu Skema 2. Penanganan Laporan Di Bawaslu Skema 3. Waktu Penanganan Laporan/ Temuan Pelanggaran Oleh Bawaslu Skema 4. Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilu Skema 5. Waktu Penyidikan Skema 6. Proses Penuntutan Skema 7. Proses Persidangan Skema 8. Proses Penuntutan dan Persidangan Skema 9. Alur Perselisihan Hasil Pemilu Skema 10. Batas Waktu Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 12
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 13
A. Pelanggaran Pemilu : Ancaman Terhadap Proses Demokratisasi
Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak.
Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final. Beberapa permasalahan tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan, baik UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, maupun UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden, belum lengkap, multi tafsir, bahkan ada yang tidak sinkron. Adanya persoalan menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak cukup menjangkau.
Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten.
Tersedianya aturan yang konkrit dan implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.
B. Pelanggaran Pemilu 2009
Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pilleg) dan UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) pada dasarnya mengatur hal yang
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 14
sama dalam penanganan pelanggaran. Keduanya mengatur tentang kewajiban, larangan pada setiap tahapan yang disertai dengan ancaman atau sanksi.
Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain :
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;
3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih dan masyarakat secara umum yang disebut sebagai setiap orang.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi: (1) pelanggaran administrasi pemilu; (2) pelanggaran pidana pemilu; dan (3) pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
1. Pelanggaran Administrasi
Pasal 248 UU Pilleg dan Pasal 191 UU Pilpres, mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi.
Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya ; tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
2. Tindak Pidana Pemilu
Pasal 252 UU Pilleg dan Pasal 195 UU Pilpres, mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
C. Sengketa Pemilu 2009
1. Perselisihan Hasil Pemilu
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 15
Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.
Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK.
2. Sengketa Administrasi Pemilu
Satu jenis pelanggaran yang menurut UU KPU menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (Pasal 129 UU 12/2003). Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya.
Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat. Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan ruang khusus untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.
Contoh kasus yang telah nyata ada adalah 1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu. 2) sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.
D. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur
dalam UU Pemilu hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU, selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK dan sengketa administrasi masih menjadi perdebatan.
Skema 1 : Alur Penanganan Pelanggaran Pemilu
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 16
1. Mekanisme Pelaporan
Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam BAB XX UU Pilleg dan BAB XVIII UU Pilpres. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang.
Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh Warga Negara Indonesia anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran.
Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.
Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi 1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif dan 2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana. Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan.
Adapun Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan Pasal 247 UU Pilleg dan Pasal 190 UU Pilpres. Bahwa laporan pelanggaran harus disampaikan secara tertulis kepada pengawas pemilu, baik Bawaslu, Panwaslu provinsi,
PELAPOR
JAKSA PU PIDANA
PENYIDIK POLRI
BAWASLU
PN HAKIM
KHUSUS
PELANGGARAN
ADMIN KPU
SANKSI ADMIN
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 17
Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Laporan tersebut harus memuat beberapa hal, antara lain:
a. nama dan alamat pelapor;
b. pihak terlapor;
c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan
d. uraian kejadian.
Mengenai materi muatan laporan, Pasal 3 ayat (2) Peraturan Bawaslu No.05 /2008 menambahkan beberapa pointer, sehingga laporan tentang pelanggaran memuat hal-hal sebagai berikut:
a. nama dan alamat pelapor;
b. waktu dan tempat kejadian perkara;
c. nama dan alamat pelanggar;
d. nama dan alamat saksi-saksi;
e. uraian kejadian
Skema 2 : Penanganan Laporan Di Bawaslu
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 18
Skema 3 : Waktu Penanganan Laporan/Temuan Pelanggaran Oleh Bawaslu
2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi
Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu. Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU.
PIDANA PELAPOR
BAWASLU
MAKS 3 HARI
ADMIN
INFO TAMBAHAN MAKS 5 HARI
BKN PELANGGARAN
PELA
NG
GA
RA
N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
PELANGG. ADM KE KPU
KAJIAN BAWASLU
LAP TERTULIS KE BAWASLU
PID PEMILU KE PENYIDIK
POLRI
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 19
Peraturan KPU No. 44/2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Adminsitrasi Pemilu mengatur pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran administrasi dilakukan dalam waktu 7 hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu dan mengambil keputusan hukum terhadap pelanggaran tersebut sesuai dengan tingkat pelanggaran yang terjadi paling lambat 14 hari setelah dokumen diterima dari Bawaslu.
Skema 4 : Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilu
Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU,
KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 248 - 251 UU Pilleg (Pasal 191 194 UU Pilpres), tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 Pasal 113 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), dan Pasal 123 ayat (2) dan UU 42/2008 Pasal 178 ayat (2), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 88 ayat (2).
3. Mekanisme penyelesaian pelanggaran pidana pemilu
a. Proses Penyidikan
Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.
Mengacu kepada Pasal 247 angka (9) UU Pilleg (Pasal 190 angka (9) UU Pilpres), temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari. Guna mengatasi kendala waktu
K P U
BAWASLU
PEM
ERIK
SAA
N
7 H
AR
I
SAN
KSI
A
DM
IN
14 H
AR
I
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 20
dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4-5 orang.
TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI
BARESKRIM 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri)
POLDA 5 TIM
POLWIL 3 TIM
POLRES 10 TIM
Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap 1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan 2) materi/laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.
Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).
Skema 5 : Waktu Penyidikan
b. Proses Penuntutan
UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk Jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang Jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di luar
TERIMA LAP DARI BAWASLU
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
MENYERAHKAN BP II
MENYERAHKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN OLEH POLRI
PERBAIKAN BERKAS
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 21
pidana pemilu. Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008.
Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada Penuntut Umum.
Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik. Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala.
Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakumdu). Adanya Sentra Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.
Skema 6 : Proses Penuntutan
c. Proses Persidangan
Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran dimungkinkan dilakukan dengan persidangan secara maraton, bahkan jika diperlukan persidangan dapat dilanjutkan hingga malam hari. Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan
PENYIDIK KEPOLISIAN 14 H
PENUNTUT UMUM
Pengembalian Berkas
3 H
3 H Pengembalian
berkas
PENGADILAN NEGERI 5 H
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 22
tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.
Pengajuan perkara pidana pemilu, berdasarkan SEMA 12 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proses Persidangan Pelanggaran Pidana Pemilu, dapat dilakukan melalui 2 cara, baik acara biasa maupun acara singkat. Acara biasa digunakan untuk perkara pidana pemilu dengan ancaman hukuman lebih dari 5 (lima) tahun, antara lain Pasal 266, 291, 297, 298, 300 dan Pasal 306 UU Pilleg (Pasal 208, 246, 248 UU Pilpres). Terhadap pelanggaran pidana pemilu itu, penyidik, penuntut umum dan hakim dapat melakukan penahanan terhadap terdakwa.
Pelanggaran pidana pemilu dengan ancaman hukuman kurang dari 5 (lima) tahun, dimana pembuktiannya mudah (sumir), maka perkaranya diajukan dengan acara singkat. Perkara dengan pembuktian sumir, jika tidak dihadiri terdakwa tidak dapat diputus verstek, maka berkas perkara dikembalikan kepada penuntut umum (vide Bab XVI KUHAP).
Persidangan pelanggaran pidana pemilu dilakukan dalam 7 hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA. PERMA No. 03/2008 tentang Penunjukan Hakim Khusus Perkara Pidana Pemilu, menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah minimal 4 orang hakim untuk Pengadilan Negeri dan 6 orang untuk Pengadilan Tinggi, dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu.
Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan. PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima.
PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.
Skema 7 : Proses Persidangan
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 23
d. Proses Pelaksanaan Putusan
3 hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa.
Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud.
Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU Pilleg dan UU Pilpres yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 59 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa. Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.
Skema 8 : Proses Penuntutan & Persidangan
PENGADILAN TINGGI
7Hri
7HH
Memeriksa Mengadili Mumutus
PERMOHONAN BANDING
3 H
Memeriksa Mengadili Mumutus
PUTUSAN
3 H
PENUNTUT UMUM
3 H EKSEKUSI
PENGADILAN NEGERI
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 24
E. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu
Perselisihan Hasil Perolehan Suara
Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisihan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Peraturan itu menyebutkan bahwa pemohon dalam perselisihan hasil perolehan suara adalah perseorangan calon anggota DPD peserta pemilu, partai politik peserta pemilu atau partai politik dan partai lokal peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK) di Aceh. Adapun termohon dalam perselisihan itu adalah KPU. Dalam perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota, DPRA, DPRK, KPU Provinsi dan Kabupaten/ Kota atau Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Kabupaten/ Kota Aceh merupakan turut termohon.
Permohonan tersebut diajukan oleh pemohon peserta pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Permohonan diajukan kepada MK secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya. Permohonan tersebut diserahkan dalam 12 rangkap setelah ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal pimpinan pusat atau dewan pimpinan partai politik bersangkutan serta calon anggota DPD peserta pemilu atau kuasanya. Terhadap permohonan yang diajukan calon anggota DPD atau partai politik lokal peserta pemilu DPRA dan DPRK di Aceh dapat dilakukan melalui permohonan online, email atau faksimili. Atas permohonan tersebut, permohonan asli harus sudah diterima MK dalam 3 hari sejak habisnya batas waktu pengajuan permohonan. Permohonan tersebut harus memuat beberapa hal, antara lain:
a. nama dan alamat pemohon, termasuk nomor telepon (kantor, rumah, hand phone), nomor faksimili, dan atau email;
b. uraian tentang:
0
PELIMPAHAN BERKAS
PERKARA KE PN
1 2 3 4
5
6
12
13 14 15 16 17 18 .... . .
25 26 27 28
BP II DITERIMA
JPU
PUTUSAN PN
KESEMPATAN BANDING
PUTUSAN BANDING
PELIMPAHAN BERKAS BANDING
EKSEKUSI PUTUSAN
29 30 31
PENYAMPAIAN PTS KPD JPU
..
0
TP PEMILU YG MEMPENGARUHI
PEROLEHAN SUARA
TAP HSL PEMILU SCR
NAS
1 2 3 4 5
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 25
- kesalahan hasil penghitungan suara yang dimumkan KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon;
- permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Pengajuan permohonan kepada MK tersebut disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya.
Apabila kelengkapan dan syarat permohonan di atas dianggap tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi.
3 hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan.
Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 hari sebelum hari persidangan.
Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi : 1) pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam. 2) pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Putusan MK dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.
Skema 9 : Alur Perselisihan Hasil Pemilu
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 26
Skema 10 : Batas Waktu Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu
F. Potensi Masalah Hukum Pemilu 2009
1. Waktu Terjadinya Pelanggaran.
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20. 3233
PENE
TAPA
N HA
SIL
PEMI
LU
SCR
NASI
ONAL
REGI
STRA
SI P
ERKA
RA
PUTUSAN MK
PERM
OHON
AN
SIDA
NG P
ERTA
MA
PENY
AMPA
IAN
KET
TERT
ULIS
KPU
KPD
MK
PEMB
ERIT
AHUA
N
HARI
SID
ANG
PENG
IRIM
AN P
ERMO
HONA
N KP
D TE
RMOH
ON (K
PU)
KPU
kpd
MK
PERB
AIKA
N
PERM
OHON
AN
PEMOHON
PEMERIKSAAN PENDAHULUA
N
DIREGISTRASI PENETA
PAN HARI
SIDANG
PANITERA MK
PEMERIKSAA
N
TIDAK DIREGISTRASI
PEMBUKTIAN
RAPAT PERMUSYAW
PUTUSAN
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 27
Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempos delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum. Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari.
2. Penanganan laporan.
Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu.
3. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi.
Peraturan KPU No. 44/2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU Pemilu bahkan ketentuan waktu penanganan pelanggaran melebihi batas waktu dari yang telah ditentukan. UU Pemilu mengatur pelanggaran yang bersifat administrasi diselesaikan oleh KPU dalam waktu 7 hari, tetapi Peraturan KPU justru memperpanjang menjadi 14 hari. Adanya aturan berbeda mengenai masalah ini akan dapat mengakibatkan penolakan dari pelaku karena dasar hukum penanganannya (Peraturan KPU 44/2008) dinilai bertentangan dengan Undang-undang. Peraturan KPU yang seharusnya memperjelas justru memberikan ketidakpastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan.
4. Pengertian hari.
UU Pilleg dan Pilpres tidak memberikan definisi dan penjelasan mengenai hari untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Mahkamah Agung telah bersepakat bahwa hari disini adalah hari kerja tetapi Kejaksaan menegaskan bahwa yang dimaksud dengan hari 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) sebagaimana diatur dalam KUHAP. Sementara KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).
5. Tindakan terhadap TNI.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 28
UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008 ataupun UU 42/2008, sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.
6. Persidangan anak
UU Pilleg dan UU Pilpres tidak mengatur secara khusus mekanisme persidangan dengan terdakwa anakanak. Undang - undang itu hanya mengatur keberadaan hakim khusus dalam menangani pelanggaran pidana pemilu, tanpa membedakan apakah terdakwanya anak anak atau tidak.
7. Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Pembuatan kesepahaman antara Ketua Bawaslu, Kepala Kepolisian dan Jaksa Agung RI No. 055/A/JA/VI/2008; B/06/VI/2008; 01/BAWASLU/KB/VI/2008 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu dan Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana Pemilu Legislatif Tahun 2009, belum menjawab kebutuhan terhadap percepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU itu menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali, masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
8. Proses Banding.
Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung sejak permohonan banding diterima. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak permohonan banding diterima. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.
9. Jumlah Aparat Penegak Hukum.
Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut masih dirasakan kurang, sehingga dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 29
singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.
10. Pelaksanaan putusan.
UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?
11. Gugatan Putusan KPU.
UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu. Selain itu dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.
Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu
Alternatif (I) Alternatif (II) Alternatif (III) Alternatif (IV)
Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan
Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan
Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat
Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 30
G. Rekomendasi
Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU - Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu.
Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten. Untuk itu melihat dari sejumlah permasalahan di atas, kami merekomendasikan beberapa hal :
1. KPU harus segera merevisi aturan tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan lebih operasional. Peraturan tentang pedoman tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.
2. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.
3. Waktu Terjadinya Perkara.
Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan perlu menyamakan persepsi tentang maksud waktu terjadinya perkara. Bahwa terjadinya perkara dihitung sejak pelanggaran itu diketahui oleh pelapor.
4. Penanganan laporan
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 31
Bawaslu perlu mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik.
5. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi
Peraturan KPU No. 44/2008 tentang Pedoman Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi perlu direvisi dengan menyesuaikan waktu penanganan pelanggaran dengan UU Pemilu, bahwa penyelesaian penanganan pelanggaran administrasi di KPU selama 7 hari.
6. Pengertian hari.
Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan dan KPU perlu menyamakan persepsi tentang pengertian hari. Hari yang dimaksud adalah hari kerja, sehingga pelanggaran dapat diselesaikan dan menghindari daluarsa waktu penanganan.
7. Tindakan terhadap TNI.
Perlu ada kesepakatan bersama antar aparat penegak hukum bahwa pemeriksaan terhadap TNI tidak memerlukan ijin khusus, karena UU Pemilu tidak mengatur permasalahan itu. Terhadap kewenanganan penyidangan anggota TNI, hendaknya MA membuat aturan khusus sebagai acuan dalam penanganan pelanggaran pidana pemilu yang dilakukan oleh anggota TNI. Karena pelanggaran pidana pemilu merupakan pelanggaran dalam ranah peradilan sipil, maka peradilan yang menyidangkannya adalah pengadilan negeri.
8. Persidangan anak
MA harus menunjuk hakim khusus yang akan menangani perkara pidana pemilu dengan terdakwa anak anak dengan memberlakukan hukum acara dalam peradilan anak.
9. Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan harus mencabut Pasal 12 MOU tentang Sentra Gakkumdu. Karena ketentuan pasal itu telah menyalahi batas waktu bolak balik perkara antara kepolisian dan kejaksaan.
10. Proses Banding.
MA harus mempertegas mempertegas ketentuan yang mengatur tentang waktu banding di Pengadilan Negeri.
11. Jumlah Aparat Penegak Hukum.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 32
Penentuan jumlah aparat penegak hukum hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan. Artinya jumlah aparat khusus yang menangani pelanggaran pemilu dapat dimaksimalkan sesuai dengan jumlah perkara yang masuk.
12. Pelaksanaan putusan.
Pasca putusan, hendaknya pengadilan segera mengirimkan salinan putusan kepada jaksa pununtut umum agar segera dapat dilakukan eksekusi.
13. Gugatan Putusan KPU.
MA mencabut SEMA 8 Tahun 2005 yang telah menghilangkan kewenangan Pengadilan TUN dalam menyelesaikan gugatan terhadap keputusan yang dikeluarkan KPU. SEMA itu hanya dapat diberlakukan terhadap sengketa pilkada dan tidak dapat diberlakukan terhadap Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Keberadaan SEMA 8/2005 telah menabrak konsep hukum administrasi negara, bahwa KPU sebagai pejabat TUN, setiap keputusannya bersifat administratif dan dapat digugat melalui Peradilan TUN. Oleh karena itu, MA perlu menetapkan mekanisme khusus dalam penanganan sengketa TUN terkait penyelenggaraan pemilu
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 33
Lampiran 1.
Perbandingan Waktu Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu Menurut UU No. 12/2003 dengan UU No. 10/2008
TAHAPAN UU 10/2008 UU 12/2003
Pasal Waktu Pasal Waktu
Laporan kepada Bawaslu tentang pelanggaran pemilu
247 ayat (4) 3 hari 127 ayat (4) 7 hari
Tindak lanjut laporan oleh bawaslu
247 ayat (6) 3 hari 128 ayat (2) 7 hari
Bawaslu memerlukan keterangan tambahan
247 ayat (7) 5 hari 128 ayat (3) 14 hari
Penyidikan kepolisian 253 ayat (1) 14 hari 131 ayat (2) 30 hari Pelimpahan berkas ke JPU
131 ayat (3) 7 hari
Pengembalian berkas kepada penyidik kepolisian
253 ayat (2) 3 hari 138 ayat (1) UU 8/1981
7 hari
Penyampaian kembali berkas perkara ke JPU
253 ayat (3) 3 hari 110 ayat (4) UU 8/ 1981
14 hari
Pelimpahan berkas perkara oleh JPU ke PN
253 ayat (4) 5 hari 131 ayat (4) 14 hari
Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan PN
255 ayat (1) 7 hari 133 ayat (4) 21 hari
Permohonan banding 255 ayat (2) 3 hari 233 ayat (2) UU 8/1981
7 hari
Pelimpahan berkas perkara permohonan banding oleh PN
255 ayat (3) 3 hari 236 ayat (1) UU 8/1981
14 hari
Pemeriksaan, persidangan dan lahir putusan PT
255 ayat (4) 7 hari 133 ayat (4) 14 hari
Penyampaian hasil putusan PN dan PT ke JPU
256 ayat (1) 3 hari - -
Pelaksanaan hasil putusan PN dan PT
256 ayat (2) 3 hari - -
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 34
Lampiran 2:
Bentuk dan Unsur Unsur Tindak Pidana Pemilu Menurut UU No. 10 Tahun 2008
Pasal Kualifikasi Delik Unsur Unsur Pidana Pemilu Sanksi Pidana
Tahapan Pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih: Pasal 260
Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Menyebabkan orang lain kehilangan
hak pilih
Penjara 12 24 bulan dan denda 12 24 juta
Pasal 261
Memberi keterangan tidak benar
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Memberi keterangan tidak benar
mengenai diri sendiri atau diri orang lain
4. Tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Pasal 262
Menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih
1. Setiap orang 2. Dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan 3. Menggunakan kekuasaan yang ada
padanya pada saat pendaftaran pemilih
4. Menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu
Pidana Penjara 12 -36 bulan dan denda 12 36 juta
Pasal 263
Tidak memperbaiki daftar pemilih sementara
1. Petugas PPS/PPLN 2. Dengan sengaja 3. Tidak memperbaiki daftar pemilih
sementara 4. Setelah mendapat masukan dari
masyarakat dan peserta pemilu
Pidana Penjara 3 - 6 bulan dan denda 3 6 juta
Pasal 264
Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, PPL dan PPLN
1. Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN
2. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, PPL dan PPLN
3. Dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap
4. Merugikan WNI yang memiliki hak
Pidana Penjara 6 - 36 bulan dan denda 6 36 juta
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 35
pilih Pendaftaran dan Penetapan Peserta Pemilu
Penetapan Jumlah Kursi dan Pencalonan DPR, DPD, DPRD: Pasal 265
Melakukan perbuatan curang
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan seseorang atau dengan memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya
4. Untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD (sebagaimana dimaksud pasal 13)
Pidana Penjara 12 36 bulan dan denda 12 36 juta
Pasal 266
Membuat surat atau dokumen palsu, atau menggunakan surat/ dokumen palsi
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Membuat surat atau dokumen 4. Dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang memakai atau 5. Sengaja menggunakan surat atau
dokumen yang dipalsukan 6. Untuk menjadi bakal calon anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota atau calon Peserta Pemilu (sebagaimana dimaksud pasal 63 dan pasal 73)
Pidana Penjara 36 72 bulan dan denda 36 72 juta
Pasal 267
Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota.
1. Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
2. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu (sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat 3)
Pidanan Penjara 6 - 36 bulan dan denda 6 36 juta
Pasal 268
Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota.
1. Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
2. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu dan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (sebagaimana dimaksud pasal 60 ayat 3 dan pasal 70 ayat 3)
Pidana Penjara 6 - 36 bulan dan denda 6 36 juta
Tahapan Masa Kampanye
Pasal 269
Melakukan kampanye di luar jadwal waktu
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Melakukan kampanye di luar jadwal
waktu yang telah ditetapkan KPU,
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 36
KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota untuk masing-masing peserta pemilu (sebagaimana dimaksud pasal 82)
Pasal 270 jo Pasal 84 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, dan i
Melanggar larangan pelaksanaan kampanye
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Mempersoalkan dasar negara
Pancasila, Pembukaan UUD 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau
4. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI, atau
5. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta pemilu yang lain, atau
6. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat
7. Mengganggu ketertiban umum, atau 8. Mengancam untuk melakukan
kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat dan atau peserta pemilu lain, atau
9. Merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu, atau
10. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, atau
11. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut lain selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan atau
12. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.
Pidana Penjara 6 24 bulan dan denda 6 24 juta
Pasal 271 jo Pasal 84 ayat (2)
Melanggar larangan kampanye mengikut sertakan pejabat tertentu
1. Setiap pelaksana kampanye 2. Mengikut sertakan ketua, wakil ketua,
ketua muda, hakim agung pada MA, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah MA, dan hakim konstitusi pada MK; atau
3. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota BPK; atau
4. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan deputi gubernur BI; atau
5. Pejabat BUMN/BUMD; atau 6. PNS; atau 7. Anggota TNI dan POLRI; atau 8. Kepala desa; atau
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 30 60 juta
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 37
9. perangkat desa; atau 10. Anggota badan permusyawaratan
desa; atau 11. WNI yang tidak memiliki hak
memilih. Pasal 272 jo Pasal 84 ayat (3)
Pejabat ikut serta sebagai pelaksana kampanye
1. Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung/Hakim Konstitusi, hakim-hakim pada semua badan peradilan,
2. Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan,
3. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia
4. Pejabat BUMN/ BUMD 5. Ikut serta sebagai pelaksana
kampanye
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 25 50 juta
Pasal 273 jo pasal 84 ayat (3)
Pegawai negeri sipil sebagai pelaksana kampanye
1. Setiap PNS, Anggota TNI dan Polri, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan Anggota BPD
2. Ikut serta sebagai pelaksana kampanye
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Pasal 273 jo pasal 84 ayat (5)
Pegawai negeri sipil sebagai peserta kampanye
1. Setiap PNS 2. Mengerahkan PNS dilingkungan
kerjanya atau 3. Menggunakan fasilitas negera
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Pasal 274
Memberi uang atau materi lain kepada peserta kampanye.
1. Pelaksana kampanye 2. Dengan sengaja 3. Menjanjikan atau memberikan uang
atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye
4. Secara langsung atau tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu
5. Sehingga surat suaranya tidak sah (sebagaimana dimaksud pasal 87)
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 38
Pasal 275 jo Pasal 123 ayat (1)
Mengakibatkan terganggunya tahapan atau pelaksanaan kampanye
1. Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU Provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota, peserta kampanye
2. Dengan sengaja atau lalai 3. Melakukan tindak pidana Pemilu
atau pelanggaran administrsi pemilu yang mengakibatkan terganggunya tahapan kampanye yang sedang berlangsung
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta
Pasal 276
Memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan
1. Setiap orang 2. Memberi/menerima dana kampanye
melebihi batas yang ditentukan pasal 131 a (1) (2) dan pasal 133 a (1) dan a (2)
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 1 5 milyar
Pasal 277 jo pasal 139
Menerima sumbangan kampanye dari pihak asing
1. Peserta pemilu 2. Terbukti menerima sumbangan dan
atau bantuan kampanye dari pihak asing; tidak jelas identitas penyumbangnya; pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD; atau pemerintah desa dan badan usaha milik desa
3. Tidak melaporkan dana itu kepada KPU dan tidak menyerahkannya kepada kas negara paling lambat 14 hari setelah kampanye berakhir.
Pidana Penjara 12 - 36 bulan dan denda 12 36 juta
Pasal 278
Mengacaukan jalannya kampanye
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Mengacaukan, menghalangi,
mengganggu jalannya kampanye pemilu
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta
Pasal 279 ayat (1) jo Pasal 107
Karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya tahapan pemilu
1. Pelaksana kampanye 2. Karena kelalaiannya 3. Mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilu di tingkat desa/kelurahan
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Pasal 279 ayat (2) jo Pasal 107
Sengaja mengakibatkan terganggunya tahapan pemilu
1. Pelaksana kampanye 2. Dengan sengaja 3. Mengakibatkan terganggunya 4. tahapan penyelenggaraan Pemilu di
tingkat desa/kelurahan
Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 39
Pasal 280
Sengaja atau lalai mengakibatkan terganggunya tahapan pemilu
1. Setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye
2. Terbukti dengan sengaja atau lalai 3. Mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilu
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta
Pasal 281
Memberi keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Memberikan keterangan tidak benar
dalam laporan dana kampanye (sebagaimana dimaksud pasal 134, 135 (1) (2)
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 - 24 juta
Masa Tenang Pasal 282 jo pasal 245 ayat (2)
Mengumumkan hasil survey dalam masa tenang
1. Setiap orang 2. Mengumumkan hasil survey/jajak
pendapat dalam masa tenang
Pidana Penjara 3 12 bulan dan denda 3 12 juta
Tahap pemungutan dan Penghitungan Suara Pasal 283
Menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi yang ditentukan
1. Ketua KPU 2. Dengan sengaja 3. Menetapkan jumlah surat suara yang
dicetak melebihi jumlah yang ditentukan (dimaksud pasal 145 ayat (2), (3), (4))
Pidana Penjara 12 24 bulan dan denda 120 240 juta
Pasal 284
Sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan
1. Setiap perusahaan percetakan surat suara
2. Dengan sengaja 3. Mencetak surat suara melebihi jumlah
yang ditetapkan oleh KPU (sebagaimana dimaksud pasal 146 ayat (1))
Pidana Penjara 24 48 bulan dan denda 500 juta 10 milyar
Pasal 285
Tidak menjaga kerahasiaan surat suara
1. Setiap perusahaan percetakan surat suara
2. Tidak menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara (sebagaimana dimaksud Pasal 146 ayat 1)
Pidana Penjara 24 48 bulan dan denda 500 juta 10 milyar
Pasal 286
Sengaja memberi uang kepada pemilih
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Saat pemungutan suara 4. Menjanjikan atau memberikan uang
atau materi lainnya kepada pemilih 5. Supaya tidak menggunakan hak
pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu
6. Sehingga surat suaranya tidak sah
Pidana Penjara 12 36 bulan dan denda 6 36 juta
Pasal 287
Menghalangi seseorang
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 40
menggunakan hak pilih
3. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau
4. melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara.
24 juta
Pasal 288
Menyebabkan suara pemilih tidak bernilai
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Melakukan perbuatan yang
menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang
Pidana Penjara 12 36 bulan dan denda 12 - 36 juta.
Pasal 289
Sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Pada saat pemungutan suara
mengaku dirinya sebagai orang lain
Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta
Pasal 290
Memberi suara lebih dari satu
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Pada waktu pemungutan suara
memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu TPS atau lebih
Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta
Pasal 291
Menggagalkan pemungutan suara
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Menggagalkan pemungutan suara
Pidana Penjara 24 60 bulan dan denda 24 60 juta
Pasal 292
Majikan tidak memberikan kesempatan pekerja memberikan suara
1. Seorang majikan atau atasan 2. Tidak memberikan kesempatan
seorang pekerja 3. Memberikan suaranya pada
pemungutan suara, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat ditinggalkan
Pidana Penjara 6 - 12 bulan dan denda 6 12 juta
Pasal 293
Merusak hasil pemungutan suara
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Merusak atau menghilangkan hasil
pemungutan suara yang sudah disegel
Pidana Penjara 12 - 36 bulan dan denda 12 36 juta
Pasal 294 jo pasal 155 ayat (2)
Tidak memberikan surat suara pengganti
1. Ketua dan anggota KPPS/ KPPSLN 2. Dengan sengaja 3. Tidak memberikan surat suara
pengganti hanya satu kali kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak dan tidak mencatat surat suara yang rusak dalam berita acara
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Pasal 295 jo
Memberitahu pilihan pemilih
1. Setiap orang yang bertugas membantu pemilih
Pidana Penjara 3 12 bulan dan denda 3
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 41
pasal 156 ayat (2)
kepada orang lain 2. Dengan sengaja 3. Memberitahukan pilihan pemilih
kepada orang lain
12 juta
Pasal 296 ayat (1) jo Pasal 220 ayat (2)
Tidak menetapkan pemungutan suara ulang
1. Anggota KPU Kabupaten/ Kota 2. Tidak menetapkan pemungutan suara
ulang di TPS, padahal pemungutan ulang telah diusulkan oleh KPPS dan telah diteruskan kepada PPK
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 - 24 juta
Pasal 296 ayat (2)
Tidak melaksanakan pemungutan suara ulang
1. Ketua dan anggota KPPS 2. Dengan sengaja 3. Tidak melaksanakan ketetapan KPU
untuk melaksanakan pungutan suara ulang di TPS
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Penetapan Hasil Pemilu Pasal 297
Merusak atau menghilangkan berita acara pemungutan suara
1. Setiap orang 2. Karena kelalaiannya 3. Menyebabkan rusak/hilangnya
berita acara pemungutan, penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang sudah disegel
Pidana Penjara 12 - 60 bulan dan denda 500.juta -1 milyar
Pasal 298
Mengubah berita acara hasil pemungutan suara
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Mengubah berita acara hasil
penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara
Pidana Penjara 12 - 60 bulan dan denda 500 juta 1 milyar
Pasal 299 ayat (1)
Karena kelalaiannya mengakibatkan berita acara hasil rekapitulasi hilang/ rusak
1. Anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan PPK
2. Karena kelalaiannya 3. Mengakibatkan hilang atau
berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara
Pidana Penjara 6 - 12 bulan dan denda 6 12 juta
Pasal 299 ayat (2)
Dengan sengaja mengakibatkan berita acara hasil rekapitulasi hilang/ rusak.
1. Anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK
2. Dengan sengaja 3. Mengakibatkan hilangnya atau
berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara
Pidana Penjara 12 - 24 bulan dan denda 12 24 juta
Pasal 300
Merusak sistem informasi penghitungan suara
1. Setiap orang 2. Dengan sengaja 3. Merusak / mengganggu /
mendistorsi sistim informasi perhitungan suara hasil pemilu
Pidana Penjara 60 - 120 bulan dan denda 500 juta - 1 milyar
Pasal 301
Sengaja tidak membuat berita
1. Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN 2. Dengan sengaja
Pidana Penjara 12 - 36 bulan dan denda 6
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 42
acara perolehan suara
3. Tidak membuat dan menandatangani berita acara perolehan suara Peserta Pemilu dan calon anggota
4. DPR, DPD, dan DPRD (sebagaimana dimaksud pasal 154 ayat (3))
12 juta
Pasal 302
Tidak memberi salinan berita acara pemungutan suara
1. Setiap KPPS/KPPSLN 2. Dengan sengaja 3. Tidak memberikan salinan satu
eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS (sebagaimana dimaksud pasal 180 ayat 2 dan ayat 3)
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Pasal 303
Tidak mengamankan kotak suara
1. Setiap KPPS/KPPSLN 2. Tidak menjaga, mengamankan
keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN bagi KPPSLN pada hari yang sama (sebagaimana dimaksud pasal 180 ayat (4) dan ayat (5))
Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta
Pasal 304
Panwaslu tidak mengawasi penyerahan kotak suara
1. Setiap Panwaslu Lapangan 2. Tidak mengawasi penyerahan kotak
suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU kabupaten/kota (sebagaimana dimaksud pasal 180 ayat (6))
Pidana Penjara 6 - 24 bulan dan denda 6 24 juta
Pasal 305
Tidak mengumumkan hasil penghitungan suara
1. Setiap PPS 2. Tidak mengumumkan hasil
penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya (sebagaimana dimaksud pasal 181)
Pidana Penjara 3 - 12 bulan dan denda 3 12 juta
Pasal 306
KPU tidak menetapkan hasil pemilu
1. Setiap anggota KPU 2. Tidak menetapkan perolehan hasil
Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD 3. provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
secara nasional (sebagaimana dimaksud pasal 199 ayat (2))
Pidana Penjara 24 - 60 bulan dan denda 240 600 juta
Pasal 307 jo pasal 245 ayat
Mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari pemungutan suara
1. Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat
2. Mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/ tanggal
Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 43
(3) pemungutan suara Pasal 308 jo pasal 245 ayat (4)
Tidak memberitahukan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi pemilu
1. Setiap orang atau lembaga 2. Melakukan penghitungan cepat 3. Tidak memberitahukan hasil
penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu
Pidana Penjara 6 - 18 bulan dan denda 6 18 juta
Pasal 309
KPU tidak melaksanakan putusan pengadilan
1. Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
2. Tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (sebagaimana dimaksud Pasal 257 ayat (2))
Pidana Penjara 12 - 24 bulan dan denda 12 24 juta
Pasal 310
Bawaslu tidak menindaklanjuti temuan pelanggaran pemilu oleh KPU
1. Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, Panwaslu LN
2. Dengan sengaja 3. tidak menindaklanjuti temuan
dan/atau laporan pelanggaran Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu
Pidana Penjara 3 - 36 bulan dan denda 3 -36 juta
Pasal 311
Pemberatan 1. Penyelenggara Pemilu 2. Memenuhi unsur dalam Pasal
260, Pasal 261, Pasal 262, Pasal 265, Pasal 266, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 276, Pasal 278, Pasal 281, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 293, Pasal 295, Pasal 297, Pasal 298, dan Pasal 300
Pidana ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam pasal-pasal tersebut.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 44
Unsur Unsur Tindak Pidana Pemilu Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Dasar Hukum (UU 42/2008)
Kualifikasi Delik Unsur Unsur Pelanggaran Pidana Pemilu Ancaman Pidana
Tahapan Pemutahiran data dan penyusunan daftar pemilih: Pasal 202 Menyebabkan orang lain
kehilangan hak pilih 4. Setiap orang 5. Dengan sengaja 6. Menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilih
Pidana Penjara 12 24 bulan dan denda 12 24 juta
Pasal 203 Memberi keterangan tidak benar 5. Setiap orang 6. Dengan sengaja 7. Memberi keterangan tidak benar mengenai
diri sendiri atau diri orang lain 8. Tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk
pengisian daftar pemilih
Pidana Penjara 3 12 bulan dan denda 3 12 juta
Pasal 204 Menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih
5. Setiap orang 6. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 7. Menggunakan kekuasaan yang ada padanya
pada saat pendaftaran pemilih 8. Menghalangi seseorang untuk terdaftar
sebagai pemilih dalam Pemilu
Pidana Penjara 12 -36 bulan dan denda 12 36 juta
Pasal 205 Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu
5. Setiap anggota KPU 6. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu 7. Dalam melaksanakan verifikasi kebenaran
dan kelengkapan administrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden
Pidana Penjara 6 36 bulan dan denda 6 36 juta
Pasal 206 Tidak mengumumkan dan atau tidak memperbaiki DPS setelah mendapat masukan masyarakat dan pasangan calon
1. Setiap anggota KPU, KPU Popinsi, KPU Kabupaten/ Kota dan PPS
2. Dengan sengaja 3. Tidak mengumumkan dan/atau tidak
memperbaiki DPS setelah mendapat masukan dari masyarakat dan pasangan
Pidana penjara 3 6 bulan dan denda 3 6 juta
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional 45
calon Pasal 207 Tidak menindaklanjuti temuan
pengawas pemiludalam penyusunan DPS
1. Setiap anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, dan PPLN
2. Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, PPLN
3. Dalam melakukan penyusunan dan pengumuman DPS, perbaikan DPS, penetapan DPT
4. Merugikan WNI yang memiliki hak pilih
Pidana penjara 6 36 bulan dan denda 6 36 juta
Pendaftaran bakal Pasangan Calon dan penetapan Pasangan Calon Pasal 208 Membuat surat atau dokumen
palsu, atau menggunakan surat/ dokumen palsu