Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PEMAHAMAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN
MENJAWAB SALAM TERHADAP NON MUSLIM STUDI
METODE YȖSUF AL-QARDHÂWÎ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh
Acep Komarudin
NIM: 1111034000088
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M
ii
iii
iv
ii
ABSTRAK
Acep Komarudin
Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap
non Muslim Studi Metode Yȗsuf al-Qardhâwî.
Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian
kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang
untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma
sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi sekarang ini. Isu sentral dalam
perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakikat, status, dan
autoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad Saw.) karena,
imitation Muhammadi menjadi standar etika tingkah laku di kalangan orang-orang
Muslim. Akan tetapi pesan-pesan hadis Nabi tersebut bisa saja keluar dari
koridornya karena keliru dalam memahami teks-teks hadis tersebut.
Perlu diperhatikan dalam memahami teks keagamaan seperti hadis untuk
meminimalisir kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap makna yang
terkandung di dalamnya. Kekeliruan dan kesalahan dalam memahami teks dapat
menyebabkan orang bersifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan konflik, yang
pada akhirnya akan mengganggu stabilitas kerukunan umat beragama.
Larangan Nabi mengucapkan dan menjawab salam terhadap non Muslim
dipahami dengan memperhatikan konteks historis, hubungan dan tujuannya,
dimana orang-orang Yahudi mengucapkan al-sâm ‘alaikum bukan al-salâmu
‘alaikum, yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. Sehingga ketika itu,
kalaupun harus dijawab, dijawab dengan ‘alaikum (tanpa wa) yakni “terhadap
kalian kutukan itu” bukan terhadap kami, atau wa’alaikum (dengan wa) yakni
“terhadap kami kematian pasti datang dan terhadap kalianpun demikian”. ‘Alaika
salâm atau salam yang tidak disertai dengan wa (dan) menurut Nabi Saw., adalah
salam untuk orang-orang mati” (HR. Abu Daud dan at-Tirmizi).
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka dengan
menggunakan metode Yȗsuf al-Qardhâwî yaitu: Pertama, Fahm al-Sunnah fî
Dau’i al-Qur’ân al-Karîm. Kedua, Al-Jam’u au al-Tarjîh baina Mukhtalif al-
Hadîts. Ketiga, Fahm al-Hadîts fî Dau’i Asbâbihâ wa Malâbisâtihâ wa
Maqâsidihâ. Dengan ketiga metode ini penulis menemukan pemahaman yang
mendalam terkait pesan dan tujuan hadis tersebut.
iii
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Terima kasih yang tak terhingga serta rasa syukur saya ucapkan kepada
Allah Swt. Sang Maha Hati, Sang Maha Segalanya, Maha Pengasih dan
Penyayang yang telah memberikan cinta dan kasih-Nya, nikmat yang tidak pernah
berujung, dan juga terima kasih atas berjuta kesempatan untuk selalu bisa
menengok ke atas melihat ke langit demi mensyukuri segala nikmat dan cobaan
yang penuh dengan pelajaran, terima kasih atas segala pejaman dan ketertundukan
dalam do’a yang telah membuat saya bangga bahagia hadir sebagai makhluk-Nya,
dan juga memberikan kesempatan kepada saya sehingga terselesaikannya skripsi
ini yang berjudul “Pemahaman Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab
Salam Terhadap non Muslim Studi Metode Yȗsuf Al-Qardhâwî” yang
dipergunakan untuk memenuhi syarat guna mendapatkan gelar S.Th.I.
Terimakasih sembah sujud kepada baginda Nabi Muhammad Saw. Atas segala
perjuangan dan amanah yang tak pernah padam sampai akhir zaman.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan
terwujud secara baik (walau masih banyak kekurangan) tanpa adanya bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Maka perlu kiranya penulis
menyampaikan rasa terima kasih secara khusus. Semoga segala kebaikan yang
telah diberikan menjadi amal tersendiri untuk mengumpulkan kita bersama
seluruh umat Muhammad di sisi Allah Swt nanti. Oleh karenanya, tanpa
mengurangi rasa hormat serta sembahan terimakasih kepada orang-orang yang
iv
tidak penulis sebutkan namanya, penulis perlu menyampaikan terima kasih secara
khusus kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan
Fakultas Ushuluddin), Dr. Lilik Ummi Kaltsum (Ketua Jurusan Tafsir
Hadits), Dra. Banun Binaningrum, M.Pd (Sekjur Tafsir Hadits).
2. DR. M. Isa H.A. Salam, M.Ag selaku pembimbing skripsi yang telah
banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasinya dalam
prosesi penulisan skripsi ini.
3. Segenap dosen fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan
Tafsir Hadits yang telah banyak berbagi ilmunya kepada saya,
sehingga saya mendapatkan setetes air dari samudera ilmu
pengetahuan.
4. Ayah Ibu tercinta atas kasihmu, sayangmu, bimbinganmu, serta
ketulusan segala upaya yang engkau berikan kepada saya. Kau tak
pernah berhenti memberikan semua itu, kau pelita dalam setiap
langkah saya, tanpa engkau aku tiada disini. Sembah hatur saya
peruntukkan ucapan rasa syukur dan terima kasih kepadamu (Ayah
Ibu) atas butiran kata dalam do’a do’amu sehingga penulis rasakan
getaran do’anya dalam semangat. (Allâhumma irhamhumâ kamâ
rabbayânî saghîrâ, wa-tawwil ‘umȗrahumâ fi tâ’atik).
5. Adik-adik tercinta yang selalu mendo’akan dan memberikan dukungan
dalam morilnya, semoga kalian kelak menjadi manusia-manusia yang
bermanfaat bagi manusia lain sukses dunia wal akhirah dan menyusul
v
ke jenjang perkuliahan, dunia dimana bisa menentukan pilihan
kebebasan. Khususnya teruntuk almarhum adik Ikbal Maulana yang
telah mendahului kami pergi ke alam keabadian dalam usia 20 tahun,
Allâhummaghfirlahu warhamhu wa’âfihi wa’fu ‘anhu.
6. Keluarga saya Abah Nenek yang selalu memberikan do’anya, bibi-bibi
dan mamang atas bantuannya baik dalam usaha orang tua maupun
dalam apapun itu. Dan semua kerabat dekat maupun jauh semoga
kalian diberikan kemudahan dalam segalanya.
7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 Tafsir Hadits khususnya
kelas THc yang masih ada keberadaannya, keluarga besar IPPMK
JADETABEK para senior dan teman sadulur saperjuangan, keluarga
besar HMKI yang ada di kuningan, keluarga besar karang taruna
babakan lor, dan para aktivis kampus yang telah mewarnai aktifitas
saya dalam hari-harinya di kampus hijau biru dan BEMJ, serta
keluarga besar asrama dershane khususnya cempaka satu yang akhir-
akhir ini penulis gunakan sebagai tempat strategis dalam menyusun
skripsi.
8. Teman-teman penulis dimana pun berada, atas semua kebersamaan
serta kebaikan, tidak ada sesuatu yang dapat penulis sampaikan,
kecuali ucapan terima kasih yang tak terhingga, serta do’a semoga
amal kebaikan kita semua dibalas dan diterima oleh Allah Swt,. Ȃmîn
Ciputat, 22 Oktober 2015
Acep Komarudin
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN...................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN.....................................................................iii
ABSTRAK.............................................................................................................iii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iv
DAFTAR ISI........................................................................................................vii
DAFTAR TABEL.................................................................................................ix
PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ........................................... 7
C. Metode Penelitian ........................................................................................ 9
1. Jenis dan sifat penelitian ....................................................................... 10
2. Metode pengunpulan data .................................................................... 10
3. Analisis data ........................................................................................... 11
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 13
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 15
F. Tehnik Penulisan ........................................................................................ 16
G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 16
BAB II YȖSUF AL-QARDHÂWÎ DAN METODE PEMAHAMAN
A. Biografi Intelektual Yȗsuf Al-Qardhâwî ................................................ 19
1. Sumbangan Pemikiran Yȗsuf Al-Qardhâwî ...................................... 21
2. Karya Tulis Yȗsuf al-Qardhawî .......................................................... 22
3. Pemikirannya Tentang Hadis Nabi Saw ............................................. 28
B. Metode Yȗsuf al-Qardhâwî dalam Memahami Hadis .......................... 30
1. فهم السنة فى ضوء القرأن الكريم (Memahami as-Sunnah dengan
berpedoman pada al-Qur’ân al-Karîm) .................................................. 31
2. جمع األحاديث الواردة فى الموضوع الواحد (Mengumpulkan Hadis-Hadis
dalam Satu Objek) ..................................................................................... 35
3. الجمع أو الترجيح بين مختلف الحديث (Memadukan Atau Mentarjih Antara
Hadis-Hadis yang Kontradiktif) ............................................................... 37
4. و مقاصدهافهم األحاديث فى ضوء أسبابها ومالبساتها (Memahami Hadis
dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya) ...................................................................................................................... 40
vii
5. التمييز بين الوسيلة المتغيرة و الهدف الثابت للحديث (Membedakan Antara
Sarana yang Berubah-Ubah dan Tujuan Permanen Hadis) .................. 42
6. التفريق بين الحقيقة و المجاز فى فهم الحديث (Membedakan Antara Hakekat
dan Majas dalam Memahami Hadis) ....................................................... 43
7. التفريق بين الغيب و الشهادة (Membedakan Antara yang Gaib dengan
yang Nyata) ................................................................................................. 44
8. التأكد من مدلوالت ألفاظ الحديث (Mengkonfirmasi Pengertian Kata-Kata
Hadis) .......................................................................................................... 45
BAB III HADIS-HADIS TENTANG MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB
SALAM TERHADAP NON-MUSLIM
A. Teks Hadis Tentang Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap
non-Muslim ................................................................................................ 47
1. Takhrij Hadis.......................................................................................... 48
2. Penjalasan (Syarah) Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab
Salam Terhadap non-Muslim ................................................................... 52
B. Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadis Larangan Mengucapkan dan
Menjawab Salam Terhadap non-Muslim................................................ 56
C. Interaksi Nabi Dengan non-Muslim Dalam Kerukunan ....................... 63
BAB IV KAJIAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN
MENJAWAB SALAM TERHADAP NON MUSLIM
A. Memahami al-Sunnah Dengan Berpedoman Pada al-Qur’ân al-Karîm
(dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim) ... 69
B. Memadukan atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif
(dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim) ... 78
C. Memahami Hadis Dengan Memperhatikan Konteks Historis,
Hubungan dan Tujuannya. (dalam hadis larangan mengucapkan salam
terhadap non-muslim) ............................................................................... 81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 86
B. Saran ............................................................................................................ 87
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 89
LAMPIRAN ......................................................................................................... 94
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D da د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
,koma terbalik keatas ، ع
menghadap ke kanan
Gh ge dan ha غ
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik Program Strata 1, fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012/2013, h. 381 - 383
ix
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ’ ء
Y Ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
_ي __
ai a dan i
___و
au a dan u
x
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas أ
î i dengan topi di atas ئي
و- ȗ u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan
ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, ة الضرر tidak ditulis
“ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
xi
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No Kata Arab Alih aksara
tarîqah طريقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-
Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juuga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
xii
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nȗr al-Dîn al-Rânîrî.
Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara
ذ األستا هب ذ dzahaba al-ustâdzu
tsabata al-ajru ثبت األجر
ركة العصرية al-harakah al-‘asriyyah الح
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشهد أن ال إله إالهللا
الح والناملك الص Maulânâ Malik al-Sâlih م
ثرك م هللا yu’atsirukum Allâh ي ؤ
ظاهر الع قلية al-mazâhir al-‘aqliyyah الم
ات حظ ر ة ت بيح الم al-darȗrat tubîhu al-mahzȗrât الضرور
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama tidak pernah berhenti dalam mengatur tata kehidupan manusia,
karena itu kerukunan dan toleransi antara umat beragama bukan sekedar hidup
berdampingan yang pasif saja, akan tetapi lebih dari itu; untuk berbuat baik dan
berlaku adil antara satu sama lain. Bagi umat Islam dan agama lainnya seyogianya
perbedaan agama jangan sampai menghalangi untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap manusia tanpa diskriminasi agama dan kepercayaan.1
Selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak
diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih “demi mencapai rida
Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang
Mahakuasa.”2
Dalam Islam al-Qur‟an adalah ruh eksistensi, fondasi bangunannya, dan ia
merupakan konstitusi asli yang menjadi rujukan semua perundang-undangan
Islam. al-Sunnah al-Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan memperinci
konstitusi tersebut, berfungsi sebagai penjelas teoritis dan implementasi praktis
terhadap al-Qur‟an.3
1 Said Agil Husin Al Munawar, Fikih hubungan antar agama, (Ciputat: PT. Ciputat
Press, 2005), h. 16 2 Alwi Shihab, Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan,
1999), h. 39-40. 3 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar terj. Saifullah Kamalie,
(Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148
2
Oleh karena itu imitation Muhammadi menjadi standar etika tingkah laku
di kalangan orang-orang muslim, menjadi dasar bagi hukum Islam dan menjadi
standar bahkan bagi kebanyakan aktivitas keduniaan.
Dalam menafsirkan teks-teks keagamaan setidaknya ada dua bentuk yang
berbeda dalam tataran prakteknya; pertama skipturalistik yang lebih berorientasi
pada teks-teks doktrin dan kedua bersifat subtansialistik yang berorientasi pada
makna dan isi atau konteks.4 Keduanya tentu sangat perlu diperhatikan dalam
memahami teks keagamaan seperti al-Qur‟an dan hadis untuk meminimalisir
kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap makna yang terkandung di dalamnya.
Kekeliruan dan kesalahan dalam memahami teks dapat menyebabkan orang
bersifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan konflik, yang pada akhirnya akan
mengganggu stabilitas kerukunan umat beragama.
Seperti dalam memahami hadis tentang larangan mengucapkan salam
terhadap non-Muslim :
بة بن سعيد، ح ث نا ق ت ي ، عن سهيل، عن أبيو، عن أب ىري رة، أن رسول حد راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد دلم، فإذا لقيتم أحدىم ف »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى طريق، ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس
5«فاضطروه إل أضيقو
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah
menceritakan kepada kami „Abd al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari
Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu
salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR.
Muslim)
4 Djamhari Ma‟ruf, Iradikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesat? Dalam Bahtiar
Effendi dan Soe Trisno Hadi(ed.), Agama dan Radikalisme (East Lansing: Nuqtah, 2007), h. 45 5 Imam Muslim, Sahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam
Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707
3
ث نا ىشيم، بة، حد ث نا عثمان بن أب شي ث نا أنس بن مالك رضي حد أخب رن عب يد الل بن أب بكر بن أنس، حد عنو، قال: قال النب صلى هللا عليو وسلم: " إذا سلم عليكم أىل الكتاب ف قولو 6ا: وعليكم الل
“Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami
„Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas
bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah
dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
Kedua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah
dan Imam al-Bukhârî melalui Anas bin Mâlik secara harfiyah dapat dipahami
sebagai larangan bagi seorang muslim untuk mengucapkan salam kepada non-
Muslim. Akan tetapi makna yang secara harfiyah ini tidak serta merta dapat
dijadikan sebagai makna tunggal karena akan terlihat bertentangan dengan sikap
dasar agama Islam yang di gambarkan di dalam al-Qur‟an.
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik
dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).7
Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisā‟
[4] ayat 86)
Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku
6 Imam Bukhari, Sahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 75
7 Penghormatan dalam islam ialah: dengan mengucapkan al-Salâmu `alaikum.
4
adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang adil. (al-
Mumtahanah [60]: 8)
Kedua ayat di atas setidaknya memberi penjelasan betapa indahnya Islam
dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Oleh karena itu, untuk memahami makna
subtansi dari hadis ini, perlu memperhatikan apa yang menjadi penyebab
terlarangnya muslim mengucapkan salam terhadap non-Muslim.
Salah seorang ulama yang secara tegas melarang mengucapkan salam
kepada non Muslim adalah Sayyid Quthb (1906-1966). Menurutnya, salam tidak
layak diucapkan kepada non Muslim karena disamping salam merupakan
penghormatan (tahîyah) kepada sesama Muslim, salam juga merupakan budaya
Islam yang sangat khas sekaligus sebagai pembeda dari budaya non Muslim.8
Berdasarakan pada al-Qur‟an surat al-Nisâ‟ ayat 86 Ibnu Katsîr (1301-
1372 M) memiliki pandangan yang hampir sama. Menurutnya, tidak boleh bagi
seorang Islam mengucapkan salam kepada non Muslim (baca Dzimmî). Namun,
Jawaban salamnya cukup dengan kalimat yang sepadan (bi
mitslihâ/mutamâtsilah), tidak boleh lebih dari ucapan salam mereka, bahkan (akan
lebih baik bila dijawab) dengan jawaban yang sesuai dengan ketetapan dua hadis
shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Anas bin Mâlik r.a, yakni
kalimat wa „alaikum.9
Syekh Mansûr „Ali Nâsif sebagai representasi ulama kontekstualis
mempunyai pandangan berbeda dengan Ibnu Katsîr di atas. Menurut Syekh
8 Sayyid Quth, Fî Dzilâl al-Qur‟an,tt., Manqahah Mufharisah, cet. 6, t.th., jild. 2, juz 5, h.
471 9 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, (jakarta: Gema insan press, 1999) h. 762
5
Mansûr „Ali Nâshif, dalam bukunya ”al-Tâj”, umat Islam dianjurkan menjawab
salam dengan kalimat wa„alaikum itu jika salam Dzimmî itu mengandung maksud
menghina, misalnya dengan kalimat „al-sâm‟ atau dengan kalimat lain yang
memiliki arti yang sama, atau salam mereka tidak dapat didengar dengan
sempurna. Tapi, kalau unsur-unsur tersebut tidak ditemukan, maka umat Islam
wajib menjawab salam mereka sebagaimana menjawab salam sesama Muslim.
Kewajiban tahiyyah yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an surat Al-Nisa‟ ayat 86
menurut Syekh Mansûr „Ali Nâshif, tidak melihat status Muslim dan kafir
Dzimmî, tetapi yang dilihat dan dinilai adalah unsur-unsur yang terdapat kalimat
salam.10
Dalam syarah kitab Riyad al-Sâlihin, Al-Utsaimin mengungkapkan bahwa
al-Salâm mempunyai makna al-du‟â (do‟a), yaitu do‟a keselamatan dari segala
sesuatu yang membahayakan, merugikan, atau merusakan.
Syeikh Ahmad Al-Sawi dalam tafsir Al-Sawi ketika menafsirkan waidzâ
huyyitum bitahiyyatin pada QS 4:86 beliau mengatakan bahwa al-Salâm
maknanya keselamatan dari segala marabahaya baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam pendekatan lain, kata “al-Salâm” termasuk sifat Allah Swt. Ketika as-
Salâm ini dinisbahkan kepada Allah Swt. Berarti juz salamah yang memiliki
keselamatan/keterhindaran. Itulah pendapat ulama seperti yang telah dikutip oleh
Quraish Shihab (2000:42-43) hanya saja lanjut beliau beberapa ulama tersebut
berbeda dalam memahami istilah ini, ada juga yang berpendapat bahwa Allah
yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok
10
Syekh Mansur „Ali Nasif, al-Taj al-Jam‟u Li Usul fi al-Hadits al-Rasul, penerjemah
Bahrun Abu Bakar (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996 M-1381 H), h. 249
6
ketiga berpendapat bahwa al-Salâm yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti
yang memberi salam kepada hamba-hambanya di surga kelak.11
Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih sayang dan cinta
dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan, dan penolakan yang mungkin ada dalam
kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat.
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhâwî memberikan penjelasan
yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan
menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhâwi,
sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul),
seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga
karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu
hadis.12
Dalam buku Kaifa Nata‟âmal Ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‟âlim
wa Dhawâbith, menurut Yȗsuf al-Qardhâwî, setiap orang yang berinteraksi
dengan sunnah atau yang akan menggunakan hadis untuk berbagai kepentingan
agama harus berpegang kepada 8 prinsip dasar metode dalam memahami hadis
Nabi, yaitu: 1. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur‟ân al-Karîm, 2.
menghimpun hadis-hadis yang setema, 3. Kompromi atau tarjih terhadap hadis-
hadis yang kontradiktif, 4. Memahami hadis dengan memperhatikan konteks
historis, hubungan dan tujuannya, 5. Membedakan antara sarana yang berubah-
ubah dan tujuan yang tetap, 6. Membedakan antara yang hakekat dan ungkapan, 7.
11
Jurnal pendidikan agama islam – Ta‟lim Vol. 9 No. 1 – 2011
12
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), h.
92.
7
Membedakan antara yang gaib dan yang nyata, 8. Memastikan makna kata-kata
dalam hadis13
Dari 8 prinsip dasar ini penulis hanya mengambil 3 metode saja, yaitu: 1.
Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm 2.
Memadukan Atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif 3. Memahami
Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya.
Dengan alasan bahwa ketiga metode ini lebih relevan untuk dipakai sebagai bahan
kerangka dalam mengambil pemahaman hadis larangan mengucapkan dan
menjawab salam terhadap non-Muslim.
Tulisan ini juga sama sekali tidak mempunyai pretensi untuk
„mengeluarkan‟ masalah tersebut dari wilayah khilâfiyah. Tapi, setidak-tidaknya,
penulis dapat mengungkapkan bahwa pendapat ulama tentang salam yang
berkembang di masyarakat bukan satu-satunya, tetapi ternyata ada pendapat lain
yang berbeda yang juga berpijak pada teks al-Qur‟ân dan al-Ḥadîth yang disertai
dengan argumentasi yang tidak bisa dipandang lemah. Dengan tulisan skripsi ini,
diharapkan bagi para pembaca ataupun bagi penulis sendiri memiliki pemahaman
yang luas tentang hukum salam terhadap non-Muslim berikut implikasi sosialnya.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menemukan banyak akar
permasalahan yang timbul dalam pemahaman penulis dan perlu adanya
penelusuran lebih lanjut berkaitan dengan hadis larangan mengucapkan dan
13
Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar. Penerjemah Saifullah
Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148-149
8
menjawab salam terhadap non-Muslim yang telah disabdakan oleh Rasulullah
yang jika dipahami secara tekstualis seolah kontradiktif, diantaranya :
1. Hadis ini menunjukan intoleransi Islam atas agama lain bahkan membatasi
interaksi sosial umat Islam jika dipahami secara tekstualis.
2. Adanya kesalahan dalam memahami hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
melalui Abu Hurairah. Hadis ini tidak hanya melarang mengucapkan atau
menjawab kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh
orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka yaitu dengan
mendesak siapapun diantara mereka ke pinggir jalan.
3. Perlunya pemahaman ulang terhadap hadis-hadis yang melarang Muslim
mengucapkan dan menjawab salam terhadap non-Muslim melalui metode
pemahaman hadis yang lebih objektif dan komprehensif.
b. Pembatasan Masalah
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini hanya terkait pengkajian hadis-
hadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim dari al-Kutub al-Tis‟ah
dan fokus yang akan dibahas dalam kajian ini ialah memahami kembali hadis-
hadis yang menyatakan larangan mengucapkan dan menjawab salam teradap non-
Muslim yang penulis anggap kontradiktif dengan menggunakan tiga metode
Yȗsuf al-Qardhâwî 1. Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân
al-Karîm 2. Memadukan atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif 3.
Memahami Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan
Tujuannya..
9
c. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan
masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pemahaman hadis larangan mengucapkan dan menjawab
salam terhadap non-Muslim dengan menggunakan tiga teori Yȗsuf al-
Qardhâwî ?
2. Bagaimana penerapan hadis tersebut dalam konteks kehidupan umat
sekarang ?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dari sebuah
penelitian sehingga metode penelitian tidak bisa dipisahkan dari sebuah
penelitian. Bahkan metode penelitian akan membentuk karakteristik keilmiahan
dari penelitian, karena eksistensi metode dalam sebuah penelitian ini berfungsi
sebagai jalan bagaimana penelitian ini diselesaikan. Terkait dengan metode
penelitian ada beberapa hal yang perlu dijelaskan:
1. Jenis dan sifat penelitian
Ditinjau dari obyeknya, penelitian ini merupakan penelitian
pustaka (library research), yaitu penelitian yang berorientasi pada data-
data kepustakaan, yang dalam hal ini terutama pada kitab hadis yang
sembilan (al-Kutub al-Tis‟ah). Selain itu karena penelitian ini
menggunakan pendekatan metode pemahaman Yȗsuf Qardhâwî maka
semua karya yang berhubungan dengan teori ini dianggap penting serta
karya-karya lain yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
10
Sedangkan sifat penelitian ini adalah kualitatif karena tidak
menggunakan mekanisme statistik dan sistematik dan matematis dalam
pengolahan data. Data diuraikan dan dianalisis dengan memahami dan
menjelaskan.
2. Metode pengunpulan data
Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan
standar untuk memperoleh data yang diperlukan.14
Sedangkan data ialah
semua keterangan atau informasi mengenai suatu gejala atau fenomena
yang ada kaitannya dengan penelitian. Data yang dikumpulkan dalam
suatu penelitian harus relevan dengan pokok permasalahan. Untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperlukan suatu
metode yang efektif dan efesien.
Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dengan
jalan dokumentasi terhadap buku-buku atau kitab-kitab serta kajian yang
masih ada kaitannya dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini sumber
data dibagi atas dua kategori: primer dan skunder. Sumber data primernya
adalah kitab-kitab hadis yaitu sembilan kitab induk dan bulughul maram.
Pemilihan terhadap sembilan kitab induk ini didasarkan pada kehujjahan
kitab dan dianggap cukup untuk mewakili kitab-kitab hadis lainnya. Selain
itu penulis merujuk pada buku Yȗsuf al-Qardhâwî, Kaifa nata‟aamal ma‟a
al-sunnah al-nabawiyah, ma‟alim wa dhawabith, terj. Drs. H. Saifullah
Kamalie, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar, serta karya-karya
14
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h.174
11
yang berhubungan dengan teori fungsi interpretasi Yȗsuf al-Qardhâwî.
Sedangkan sumber data sekundernya ialah semua karya baik berbentuk
buku, jurnal dan lainnya yang dapat mendukung argumen penelitian ini.
3. Analisis data
Penelitian ini mengkaji sebuah teks hadis dengan pendekatan
pemikiran tokoh yang dikenal dengan metode pemahaman Yȗsuf al-
Qardhâwî. Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data yang
diperoleh dari penelitian pustaka adalah dengan deskriptif analitis.
Deskriptif analisis ialah penelitian yang menuturkan, menganalisis,
serta mengklarifikasikan yang pelaksanaannya tidak hanya terbatas pada
pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data.15
Analisis
ialah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta
menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca.16
Dengan metode ini
diharapkan nantinya akan memperoleh pemahaman yang tepat terhadap
data-data yang telah diperoleh.
Maka dalam penelitian ini yang dimaksud deskriptif analisis adalah
memberikan gambaran secara sistematis dan akurat mengenai pemaknaan hadis
larangan mengucapkan salam terhadap non-Muslim dengan pendekatan metode
pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî, diantaranya sebagai berikut:
15
Winano Surahmad, Pengantar penelitian ilmiah dasar metode tehnik (Bandung: Tarsito,
1994), h. 45
16
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), h.358
12
ALUR TAHAPAN REKONSTRUKSI PEMAHAMAN HADIS NABI
HADIS (sebagai teladan ideal Nabi)
Melalui
Rekonstruksi
TEKS-TEKS HADIS REALITAS
Menghasilkan
PENELITIAN HADIS (METODE TAKHRIJ) Memecahkan
Tidak Orisinal Orisinal : (dengan metode Yȗsuf al-Qardhâwî) Produk Pemahaman
Tidak dipakai
Memahami as-Sunnah) فهم السنة ىف ضوء القرأن الكرمي .1
dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm) Memadukan Atau) اجلمع أو الرتجيح بني خمتلف احلديث .2
Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif) Memahami) فهم األحاديث ىف ضوء أسباهبا وملبساهتا و مقاصدىا .3
Hadis dengan Memperhatikan Konteks Historis,
Hubungan dan Tujuannya
13
D. Tinjauan Pustaka
Telaah atau kajian pustaka dalam sebuah penelitian merupakan hal yang
sangat urgen karena kajian pustaka ini akan menunjukan dan membuktikan
orisinalitas sebuah karya yang tujuannya untuk menghindari plagiasi karya orang
lain. Dalam penelitian ini ada dua aspek yang menjadi perhatian dalam kajian
pustaka, pertama berkaitan dengan metode fungsi interpretasi Yusuf Qardhawi
dan kedua hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non
muslim yang menjadi objek dari penelitian ini.
Hadis larangan mengucapkan salam terhadap non muslim ini sejauh
penulusuran penulis ternyata udah ada karya skripsi dan jurnal yang telah
menelitinya, pertama, skripsi Ai Popon Fatimah dari UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang berjudul: Salam Terhadap Non-Muslim Perspektif Hadis. Oleh
karena itu perlu pembacaan secara jelas agar terhindar dari pengulangan
penelitian. Ai Popon Fatimah dalam skripsinya “Salam Terhadap Non-Muslim
Perspektif Hadis” menggunakan metode tematik (maudhu‟i). Pokok masalah
dalam sekripsi ini adalah apa saja hadis yang menjelaskan tentang salam terhadap
non-Muslim, bagaimana hadis mengatur salam terhadap non-Muslim, dan
bagaimana menyikapi non-Muslim yang sangat toleran terhadap umat Islam.
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah
“Bagaimana hadis mengatur tata cara salam terhadap non-Muslim baik dalam hal
memulai atau menjawab salam secara langsung ataupun melalui surat”. Dan
kesimpulannya adalah bahwa jawaban salam atas orang-orang non-Muslim sesuai
dengan hadis yaitu “wa‟alaikum” atau “wa‟alaika”. Serta hadis membolehkan
14
membalas surat dari non-Muslim yang disertakan salam. Secara kontekstual hadis
tersebut datang ketika sedang terjadi permusuhan antara muslim dan non muslim.
Kedua, skripsi Said Mujahid “hadis larangan mengucapkan salam terhadap
nonmuslim ditinjau studi teori fungsi penafsiran Jorge J.E Gracia” UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2014. Skripsi ini lebih memfokuskan ke dalam teori Jorge
J.E Gracia yaitu dengan membagi fungsi interpretasi menjadi tiga aspek. Pertama,
fungsi historis (historical function). Kedua, fungsi perkembangan makna
(meaning function). Ketiga, fungsi implikatif (implikatif function). Dengan tiga
fungsi interpretasi yang ditawarkan Gracia ini mendeskripsikan mulai dari
pemaknaan salam, konteks dimana teks larangan tentang mengucapkan salam
terhadap non-Muslim dan perkembangan makna yang diakibatkan perbedaan
tempat dan kebudayaan serta implikasinya. Keseluruhan ini merupakan bahasan
pokok dalam skripsinya.17
Ketiga, Jurnal Johar Arifin, hadis-hadis Nabi dalam berinteraksi dengan
non-Muslim “Muharibun”, jurnal Ushuluddin vol. XVII No. 1, januari 2011.
Dalam jurnalnya hadis-hadis aplikatif dalam penataan konsep berinteraksi dengan
non Muslim difokuskan pada kelompok muharibun.18
Jurnal ini membahas
tentang berinteraksi dengan non Muslim Muharibun, pandangan Islam terhadap
17
Said Mujahid, Hadits larangan mengucapkan salam terhadap non muslim (Studi teori
fungsi penafsiran Jorge J.E Gracia),( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014).
18 Berasal dari kata “haraba-yuharibu-muharabah-muharib”, al-Harbu berarti musuh,
contohnya “Fulan harab Fulan” bermakna Fulan itu memusuhinya. Secara terminologi menurut
ulama fiqh: orang yang memusuhi atau memerangi kaum muslimin, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
15
peperangan, dan sikap Rasulullah Saw., dalam berinteraksi dengan kelompok
muharibun.19
Keempat, Buku Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, (Jakarta:
Paramadina, 2004), hlm. 66-78 dalam bab dua dengan judul besarnya, Fiqih yang
Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam, dan dalam judul
kecilnya, Mengucapkan Salam kepada non-Muslim. Dalam buku ini mereka
menjelaskan bahwa fatwa larangan mengucapkan salam terhadap non-Muslim
tidak disetujui oleh semua ulama. Dan penetapan hukum mengucapkan salam
kepada orang-orang non-Muslim harus berdasarkan pada kemaslahatan dan
hikmah.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini, antara
lain sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
hadis tersebut tidak hanya pada ranah harfiah saja melainkan menggali
makna subtansinya. Lebih jelasnya untuk mengungkapkan pesan yang
akan disampaikan hadis tersebut dengan ditinjau melalui prinsip metode
Yȗsuf al-Qardhâwî.
2. Membantu memberikan kontribusi serta pemahaman dalam konteks dunia
sosial sekarang ini.
19
Johar Arifin, Hadis-hadis Nabi dalam Berinteraksi dengan Non Muslim “Muharibun”,
Jurnal Ushuluddin Vol. XVII No. 1, Januari 2011.
16
3. Dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam
(S.Th.I) Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya
dalam menambah wacana ilmu pengetahuan di bidang hadis larangan
mengucapkan salam terhadap non Muslim dengan tinjauan teori Yȗsuf al-
Qardhâwî.
2. Dengan penelitian ini diharapkan pula bisa menjadikan pemahaman
terhadap konsep teori Yȗsuf al-Qardhâwî dalam memahami hadis Nabi.
F. Tehnik Penulisan
Adapun tehnik penulisan, penulis menggunakan buku pedoman akademik
program strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012/2013, dan buku
pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) cetakan ke-1
(Ciputat: Center for quality development and assurance UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1 Januari 2007), dalam bentuk pdf.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini diperlukan sistematika pembahasan yang bertujuan
untuk memudahkan dalam mengolah data. Disamping itu, sistematika
pembahasan juga berfungsi untuk mengatur kedisiplinan dalam sebuah penelitian
agar penelitian dapat diselesaikan dengan baik dan teratur.
17
BAB Pertama, brupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah
penulisan skripsi, identifikasi, pembatasan dan rumusan masalah yang diangkat,
serta metode penelitian yang penulis terapkan dalam penelitian ini. Selain itu, di
bab ini juga dipaparkan tinjauan pustaka, tujuan penelitian dan sistematika
pembahasan.
BAB Kedua, berupa biografi intelektual Yȗsuf al-Qardhâwî, sumbangan
pemikirannya dan metode pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî dalam memahami
hadis Nabi; Memahami as-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟an al-Karim,
Mengumpulkan hadis-hadis dalam satu objek, Memadukan atau mentarjih antara
hadis-hadis yang kontradiktif, Memahami hadis berpedoman pada sebab-sebab,
hubungan dan tujuannya.
BAB Ketiga, berupa hadis-hadis tentang mengucapkan salam terhadap
non-Muslim, teks hadis, Takhrij Hadis, Penjalasan (Syarah) Hadis Larangan
Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim, Pemahaman Para
Ulama Terhadap Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap
non-Muslim, dan interaksi Nabi dengan non-Muslim dalam kerukunan.
BAB Keempat, berupa penerapan pemahaman Yȗsuf al-Qardhâwî;
Memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-Qur‟ân al-Karîm (dalam hadis
larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim), Memadukan atau mentarjih
antara hadis-hadis yang kontradiktif (dalam hadis larangan mengucapkan salam
terhadap non-muslim), Memahami hadis dengan Memperhatikan Konteks
Historis, Hubungan dan Tujuannya. (dalam hadis larangan mengucapkan salam
terhadap non-muslim).
18
BAB Kelima, berupa penutup, yang meliputi; Kesimpulan, yang berisi
jawaban atas pertanyaan yang telah disebutkan dalam perumusan masalah, dan
saran, berisi saran-saran seputar isi serta esensi terhadap hasil penelitian yang
ditulis.
19
BAB II
YȖSUF AL-QARDHÂWÎ DAN METODE PEMAHAMAN
A. Biografi Intelektual Yȗsuf Al-Qardhâwî
Perubahan di Dunia Islam dewasa ini secara keseluruhan berpengaruh dan
mendorong kepada perubahan-perubahan di kalangan umat Islam Indonesia.
Perkenalan, pengenalan, dan penyerapan pikiran-pikiran pembaruan, pemurnian,
dan reorientasi pemikiran Islam di seluruh dunia yang sangat dipengaruhi oleh
adanya teknik pencetakan buku dan terbitan berkala, media komunikasi dan
transportasi tentu akan, dan memang sedang dan sudah berpengaruh kepada
keadaan umat Islam Indonesia.1 Dalam hal ini agama memegang peranan penting
dalam mengarahkan dan membimbing masyarakat. Tak ada yang menandingi
kekuatan agama, karenanya, ia merupakan sumbu utama dan pegangan pokok
bagi kehidupan manusia.2
Seorang pemikir, sarjana dan intelek kontemporer abad 20 (tahun 90-an
sampai sekarang) Pemikirannya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan di
seluruh dunia khususnya di Indonesia. Beliau adalah Yȗsuf bin „Abd Allâh bin
„Alî bin Yȗsuf al-Qardhâwî.3 Dilahirkan pada tanggal 09 september 1926 di desa
Shaft At- Turâb terletak antara kota Thanta (Ibu kota provinsi Al Gharbiyah), dan
kota Al-Mahallah Al-Kubra, yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling
terkenal di provinsi Al-Gharbiyyah. Ia berjarak sekitar 21 kilo meter dari Thantha
1 Budi Munawar Rachaman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, (Jakarta: Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007), h. 1 2 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa kontemporer. Penerjemah As‟ad Yasin (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), h. 51 3 Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I, (Judul asli: n l- h l-
l mi h h h penerjemah: Cecep Taufikurrahman, dan Nandang Burhanuddin,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), h. 103
20
dan 9 kilo meter dari Al-Mahallah. Desa tersebut adalah tempat dimakamnya
salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yaitu Abdullah bin Harist RA.4 Kata
“al-Qardhâwî” dinisbahkan kepadanya karena kakek Qardhâwî, „Ali, berasal ari
desa al-Qardhah yang pindah ke Shafth Turab.5 Qardhâwî tumbuh di keluarga
petani dan lingkungan yang agamis dari sudut pandang tradisional. Ciri
tradisional-agamis masyarakat Shafth Turab terlihat dari ramainya aspek-aspek
formal tradisi keagamaan yang dilakukan, seperti keterikatan masyarakat pada
ma hab al-Sy fi‟ dan Hanaf dalam pelaksanaan ibadah keterikatan kepada
tarekat Sy d iliyyah, yȗmiyyah dan Kh liliyyah serta kepada Ihy ‟ „Ulȗm al-
n, karya Abȗ H mid al-Ghazâlî, yang diakui Qardhâwî cukup berpengaruh pada
pemikirannya, dalam bertasawuf. Masyarakat Shaft Turab juga melakukan
berbagai tradisi yang umumnya ada pada masyarakat tradisional, seperti perayaan
hari lahir Nabi Muhammad Saw., perayaan Isra‟ Mi‟raj, peringatan malam Nisfu
Sya‟ban, bahkan perayaan hari lahir l syaikh-syaikh tarekat, yang
dikemudian hari tradisi-tradisi itu menjadi sasaran kritik pemikiran Qardhâwî.6
Ayahnya meninggal dunia ketika Qardhâwî masih berumur dua tahun dan
bondanya ketika berumur 15 tahun sudah pasti memberikan kesan yang mendalam
kepada dirinya (Al-Qaradawi, 2010a; 2010b), dan ia bersama pamannya, bernama
A mad, A mad mengantarkan Qardhâwî ke surau tempat mengaji (kuttâb) ketika
4 Yusuf Al-Qaradhawi, Huda Al- l m F ‟ hi alih bahasa Abdurrahman Ali
Bauzir, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), Cet. Ke-III, h. 45 5 Karena keturunan orang al-Qardhah inilah maka sebagian orang di mesir dan Timur
Tengah memanggilnya dengan sebutan al- Qardh w (tanpa “a” setelah huruf “r”). uku-bukunya
yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan nama Qardhâwî, baru
belakangan inilah ia dikenalkan dan ditulis dengan Qaradh w (dengan “ra” yang dibaca fat ah).
penulis menggunakan kata Qardhâwî, dengan alasan lebih sesuai dengan asal pembentukan
katanya (wazan). 6 Lukman Zain Muhammad Sakur, Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf al-
Qardhawi: Analisis strukturalisme- emio ik k if N ‟ m l m ‟ l-Sunnah al-
Nabawiyyah, (Tesis: 2007), h. 26-27
21
Qardhâwî masih berumur lima tahun. Beliau tidak menikmati kehidupan yang
mewah. Suasana keluarganya bersama-sama bapa saudaranya yang mendidik
beliau dengan didikan agama termasuk biah kampungnya yang mementingkan
ilmu dan amalan agama berjaya membentuk peribadi dan aspirasi Islam dalam diri
beliau.7
alam perjanan kehidupannya, Yȗsuf al-Qardhâwî pernah mengenyam
“pendidikan” penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia
masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatanya dalam
pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat
terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara
militer selama dua tahun. Yȗsuf al-Qardhâwî terkenal dengan khutbah-
khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang menjadi khatib di sebuah
mesjid di daerah Zamalik. Alasannya, karena khutbah-khutbahnya dinilai
menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rezim saat itu.
(1) m ng n Pemiki n Yȗ f Al-Qardhâwî
Fazlur Rahman seorang pemikir yang mempelopori gagasan pembaharuan
neomodernisme Islam, berpandangan bahawa seorang pemikir hebat ialah mereka
yang mempunyai ciri-ciri berikut: (a) Menemukan suatu gagasan utama atau
prinsip dasar yang utama yang mengandung segala realita, lalu dia
mentafsirkannya dengan jelas dan menjadikannya sesuatu yang baru dan penting;
(b) Gagasan pokok itu seterusnya mampu merubah perspektif kita dalam
berinteraksi dengan realita tersebut; dan (c) Mampu mengemukakan suatu
7 Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts Vol 3 Issue 1 (Juni
2013): h. 53.
22
penyelesaian yang baru dan jitu terhadap segala permasalahan yang setelah lama
mengganggu fikiran manusia (Rahman, 1975). Berdasarkan kepada ciri-ciri
pemikir hebat oleh Fazlur Rahman, Yȗsuf Al-Qardhâwî telah memenuhi setiap
kriteria tersebut. Beliau bukan saja mengenal pasti prinsip dasar dengan segala
realiti bahkan telah mentafsirkan, memperjelaskan dan menerangkannya dalam
bentuk yang lebih segar untuk manfaat semua.8
Pemikiran Yȗsuf al-Qardhâwî mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan di seluruh dunia. Pemikiran yang dinamik dan bersesuaian dengan
keadaan dan suasana semasa menjadikan beliau sering menjadi rujukan dan
panduan oleh umat Islam. Di antara sumbangan besar Yȗsuf al-Qardhâwî ialah
memperkenalkan pendekatan dinamik untuk memahami h i‟ h melalui
beberapa konsep fiqh dan manhaj yang beliau anjurkan dan ini termasuk fiqh al-
Nusus, fiqh al- qi‟ fiqh l-muwazanat, fiqh al-awlawiyyat, fiqh al-taghayyur,
fiqh al-Jihad, fiqh al-tsaurah, fiqh al-iqtisadi al-Islami, fiqh al-aqalliyyat, fiqh al-
wasatiyyah, fiqh al-dakwah dan manhaj al-salafi.9
(2) T li Yȗ f al-Qardhawî
Yȗsuf al-Qardhawî merupakan ilmuan yang menguasai perbagai cabang
ilmu (Talimah, 2000). Hingga kini, lebih daripada 120 buah buku telah dihasilkan
dalam berbagai bidang seperti aqidah, sumber hukum Islam yaitu al-Qur‟ n dan
al-Sunnah, usul al-fiqh, bidang ibadat, hal ihwal wanita dan kekeluargaan,
kemasyarakatan, ekonomi dan keuangan, perubahan, politik dan pemerintahan
walaupun beliau teramat sibuk dengan jadwal harian. Diceritakan bahwa beliau
selalu menghabiskan waktunya sehingga 14 jam sehari di perpustakaan rumahnya
8 Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts., h. 53
9 Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts., h. 58
23
untuk menelaah dan menulis (Ghazali, 2012). Beliau bukan saja menghasilkan
penulisan akademik yang berkualitas tinggi dan menjadi rujukan utama ilmuan
tetapi menyumbangkan berbagai makalah di dalam berbagai majalah dan akhbar
harian di peringkat antarabangsa.10
Diantara buku-buku karangan beliau adalah
sebagai berikut :
a. idang „Ulȗm Al-Qur'ân dan as-Sunnah11
1) if N ‟ m l ‟ l-Sunnah al-N i h: ‟ lim
Dawâbith; (2) Al-Madkhal li-Dirâsât al-Sunnah al-Nabawiyyah;
2) Al-Muntaqâ fi al-Targhib wa al-Targhib (2 Juz);
3) Al- nn h h n li l- ‟ if h l- h h
4) N ‟ h li- l- l-Nabawi;
5) Al-Sunnah wa al-Bi ‟ h
6) Al- j ‟i h l-„Ul f l-Islâm li al- ‟ n l-Sunnah.
7) Ash-Shabru wal-'IImu fil-Qur'an al-Karîm
8) 'Aqlu wal-'lmu fil-Qur'an al-Kariem
9) Kaifa Nata'amal Ma'al-Qur'an al-'Azhîm
10) Tafsir Surat ar-Ra'd
11) Quthuf Daniyyah min al-Kitab was-Sunnah
b. Bidang Fikih dan Ushul Fikih
1) Al-Halal wal-Haram fil-Islam
2) Fatawa Mu'ashirah juz 1
3) Fatawa Mu'ashirah Juz 2
4) Fatawa Muashirah Juz 3
10
Zulkifli Hasan, Yusuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts., h. 54 11
Lukman Zain Muhammad Sakur, Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf al-
Qardhawi., h. 26-27
24
5) Taysir al-Fiqh: Fiqh Shiyam
6) Al-Ijtihad Fisy-Syari'ah al-Islamiyyah
7) Madkhal Li Dirasat al-Syariah al-Islamiyyah
8) Min Fiqhid-Daulah al-Islam
9) Taysir al-Fiqh li al-Muslim al-Muashir l
10) Al-Fatwa baina al-Indhibath wat-Tasayyub
11) Awamil as-Sa'ah wal-Murunah fisy-Syari'ah al-Islamiyyah
12) Al-Fiqh al-Islami bainal-Ashalah wat-Tajdid
13) Al-Ijtihad al-Mu'ashir bainal-Indhibath wal-Infirath
14) Ziwaj al-Misyar
15) Adh-Dhawabith asy-Syariyyah li Binaa al-Masajid
16) Al-Ghina' wal-Musiqa fi Dhau'il- was-Sunnah
17) Al-Hayat ar-Rabbaniyyah wal-'Iimu
18) An-Niyat wal-Ikhlash
19) Al-Tawakkul
20) Al-Taubat Ila Allah
c. Bidang Ekonomi Islam
1) Fiqhuz-Zakat (dua juz)
2) Musykilat al-Faqr wa Kaifa 'Alajaha al-Islam
3) Bai'al-Murabahah lil-Amir bisy-Syira'
4) Fawaidul-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram
5) Daurul-Qiyam wal-Akhlaq fil-Iqtishad al-Islami
d. Bidang Akidah
1) Al-Iman wal-Hayat
25
2) Mauqif al-Islam min Kufr af-Yahud wan-Nashara
3) Al-Iman bil-Qadar
4) Wujudullah
5) Haqiqat at-Tauhid
e. Bidang Dakwah dan Tarbiyah
1) Tsaqafat ad-Da'iyyah
2) Al-Tarbiyyah al-lslamiyyah wadrasatu Hasan al-Banna
3) Al-Ikhwan al-Muslimin 70 'Aaman fil al-Da'wah wa al-Tarbiyyah
4) Ar-Rasul wal-'lLmu
5) Rishafat al-Azhar baina al-Amsi wal-Yaum wal-Ghad
6) Al-Waqtu fi Hayat al-Muslim
f. Bidang Gerakan dan Kebangkitan Islam
1) Ash-Shahwah al-lslamiyyah bainal-Juhud wat-Tatharruf
2) Ash-Shahwah al-lslamiyyah wa Humum al-Wathan al-'Arabi wal-
Islami
3) Ash-Shahwah al-lslamiyyah bainal-Ikhtilafal-Masyru' wat-Afarruqal-
Madzmum
4) Min Ajli Shahwah Rasyidah Tujaddid ad-Din wa Tanhad bid-Dunya
5) Ayna al-Khalal?
6) Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyah fil al-Marhalah al-Qadimah
7) Al-Islam wal-'Almaniyyah Wajhan bi Wajhin
8) Fi Fiqh al-Awlawiyyat (FiqihPrioritas)
9) Al-Tsaqafah al-Arabiyyah al-Islamiyyah baina al-Ashalah wa al-
Muasharah
26
10) Malamih al-Mujtama' al-Islami alladdzi Nunsyiduhi
11) Ghayrul al-Muslimin fi al-Mujtama' al-Islami
12) Syari'at- al-Islam Shalihah lil-Tathbiq fi Kulli Zamanin wa Makanin
13) Al-Ummat al-Islamiyyah Haqiqat la Wahm
14) Zhahirat al-Ghuluw fit-Tafkir
15) Al-Hulul al-Musrawridah wa Kayfa Janat 'Ala Ummatina
16) Al-Hill al-Islami Faridhah wa Dharurah
17) Bayyinal-Hill al-Islami wa Syubuhat al-'ilmaniyyin wal-
Mutagharribin
18) A'da' al-Hill al-Islami
19) Dars an-Nakbah al-Tsaniyyah
20) Jailun-Nashr al-Mansyud
21) An-Naas wa al-Haq
22) Ummatuna bainal-Qarnayn
g. Bidang Penyatuan Pemikiran Islam
1) Syumul al-Islam
2) Al-Marji'iyyah al-'Ulya fi al-Islam li al-Qur'an was-Sunnah
3) Mauqif al-Islam min al-Ilham wa al-Kaysf wa al-Ru'aa wa min al-
Tamaim wa al-Kahanah wa al-Ruqa
4) Al-Siyasah al-Syar'iyyah fi Dhau' Nushush al-Syari'ah wa
Maqashidiha
h. Bidang Pengetahuan Islam Yang Umum
1) Al-'Ibadah fi al-Islam
2) Al-Khashaish al-'Ammah fi al-Islam
27
3) Madkhal li Ma'rifat al-Islam
4) Al-lslam Hadharat al-Ghad
5) Khuthab al-Syaikh al-Qardhawi juz 1
6) Khuthab al-Syaikh al-Qaradliawi juz 2
7) Liqaat wa Muhawarat hawla Qadhaya al-Islam wal-'Ashr
8) Tsaqafatuna baina al-Infitah wa al-Inghilaq
9) Qadhaya Mu'ashirah 'Ala Bisath al-Bahts
i. Tentang Tokoh-Tokoh Islam
1) Al-Iman Al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi
2) Asy-Syaikh al-Ghazali kama 'Araftuhu: Rihlah Nishfu Qarn
3) Nisaa' Mu'minaat
4) Al-Imam al-Juwaini Imam al-Haramain
5) „Um in A l Aziz Khamis al-Khulafa' al-Rasyidin
j. Bidang Sastra
1) Nafahat wa Lafahat (kumpulan puisi)
2) Al-Muslimin Qadimum (kumpulan puisi)
3) Yusuf ash-Shiddiq (naskah drama dalam bentuk prosa)
4) 'Alim wa Thagiyyah
k. Buku-Buku Kecil Tentang Kebangkitan Islam
1) Al-Din fi 'Ashr al-'Ilmi
2) Al-Islam wa al-Fann
3) Al-Niqâb lil-Mar'ah baina al-Qawl bi Bid'atihi wal-Qawl biWujubihi
4) Markaz al-Mar'ah fil-Hayah al-lslamiyyah
5) Fatawa lil-Mar'ah al-Muslimah
28
6) Jarimah ar-Riddah wa 'Uqububat al-Murtad fi Dhau' al-Qur'an was-
Sunnah
7) Al-Aqlliyat ad-Diniyyah wal-Hill al-Islami
8) Al-Mubasyyirat bi Intishar al-Islam
9) Mustaqbal al-Ushuliyyah al-lslamiyyah
10) Al-Quds Qadhiyat Kulli Muslim
11) Al-Muslimun wal-'Awlamah
(3) Pemikirannya Tentang Hadis Nabi Saw
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhâwî memberikan penjelasan
yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan
menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhâwî,
sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul),
seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga
karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu
hadis.12
Pernyataan al-Qardhâwî tentang karakter dasar sunnah yang komprehensif,
seimbang, dan memudahkan adalah konsep-konsep ideologisnya tentang hadis.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan satu model pemahaman ke
dalam masyarakat. Sementara model pemahaman yang ditawarkannya itu
bertujuan untuk menjaga kemurnian (keaslian) Islam, mendorong kebangkitan
kembali Islam dan penguasaan syari‟ah atas negara.
12
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1994), h.
92.
29
Yȗsuf Al-Qardhâwî berpandangan bahwa agama Islam adalah sangat
mudah dan ringan. Terutama mengenai hal-hal yang biasanya dianggap oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang susah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt:
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi ia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur.” (Q.S Al Maidah: 6).22
Membebaskan masyarakat dari sifat fanatik dan taklid terhadap imam atau
madzhab tertentu. Karena Allah Swt tidak memerintahkan kita untuk mengikuti
i i ‟ kepada madzhab atau imam tertentu, tetapi Allah Swt memerintahkan kita
agar kita mengikuti i i ‟ kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah.13
Pendapat beliau
sesuai dengan perkataan Imam Hasan Al-Banna pada prinsip keenam yang
merupakan bagian dari “20 prinsipnya”, “Semua orang boleh diambil atau
ditinggalkan perkataannya, kecuali al- ‟sȗm (terjaga dari kesalahan dan dosa)
yaitu nabi Muhammad Saw. Semua yang datang dari generasi salaf, yang sesuai
dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah maka kita terima. Sedangkan jika tidak, maka al-
Qur‟an dan as-Sunnah lebih utama untuk diikuti.”14
13
Biografi Yusuf Al-Qardhawi., h. 30 14 Yusuf Al-Qaradhawi, Memahami Khazanah Klasik, Mazhab dan Ikhtilaf. Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), cet. Ke- 1, h. 9
30
B. Metode Yȗsuf al-Qardhâwî dalam Memahami Hadis
Al-Qardhâwî berpendapat bahwa, setiap orang yang berinteraksi dengan
sunnah atau yang akan menggunakan hadis untuk berbagai kepentingan agama
harus berpegang kepada tiga prinsip dasar. (1) memastikan keshahihan hadis:
prinsip pertama dalam berinteraksi dengan sunnah adalah dengan cara
memastikan keotentikan hadis (shahih atau hasan) sesuai dengan kriteria dan hasil
kerja para ahli hadis kemudian menerimanya sebagai hujjah. (2) memahami hadis
dengan seksama: memahami hadis-hadis Nabi Saw., harus dilakukan secara
seksama dan cermat. Menurut Qardhâwî, pemahaman atas hadis yang seksama
adalah pemahaman yang:
Sesuai dengan pengertian kebahasaan (Arab), dan dalam rangka konteks
hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam
kaitannya dalam nash-nash al-Qur‟an dan Sunnah yang lain, dan dalam
rangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam. Semua
itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang diucapkan
demi menyampaikan risalah (misi Nabi) dan yang bukan untuk itu. Atau
dengan kata lain, antara sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri‟
(penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara
tasyri‟ yang memiliki sifat umum dan permanen, dengan yang bersifat
khusus dan sementara. Sebab diantara penyakit terburuk dalam
pemahaman sunnah adalah pencampuradukan antara bagian yang satu
dengan yang lain.15
(3) menyelesaikan atau menyelaraskan pertentangan antar hadis: tentang
prinsip ketiga ini Qardhawi berkata:
memastikan bahwa nash (hadis) tersebut tidak bertentangan dengan nash
lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Qur‟an,
atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya atau lebih shahih
darinya, atau labih sejalan dengan ushul (pokok ajaran agama). (hadis
tersebut juga) tidak dianggap berlawanan dengan nash yang lebih layak
dengan hikmah tasyri‟, atau berbagai tujuan umum syari‟ah yang dinilai
telah mencapai tingkat qath‟i karena disimpulkan bukan hanya dari satu
15
Yȗsuf al-Qardhâwî, Al- j ‟i h l-„Ul â fi al-Islâm li-al- ‟ân wa al-Sunnah:
Dhawabithuh wa Mahadzir fi al-Fahm wa al-Tafsîr, ( eirut: Mu‟assasah al-Risalah, 1996), h. 126
31
atau dua nash saja, tetapi dari sekumpulan nash yang- setelah digabungkan
satu sama lain – mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang tsubut-
nya (atau keberadaannya sebagai nash).16
Oleh karenanya, dalam bukunya if N ‟ m l ‟ l-Sunnah al-
N i h: ‟ lim Dawâbith, dijelaskan secara spesifik mengenai cara
memahami hadis Nabi dengan benar melalui 8 prinsip dasar, yaitu :
Memahami al-Sunnah dengan berpedoman) فهم السنة ىف ضوء القرأن الكرمي .1
pada al- ‟ n l-Karîm)
Menurut Al-Qardhâwî, pemahaman hadis harus selalu diintegrasikan
dengan ayat-ayat al-Qur‟an agar pemahaman hadis tepat dan terhindar dari
interpretasi yang bias (al-tahrif wa al-intihal), bilamana pemahamannya selalu
dihadapkan kepada teks-teks al-Qur‟an yang jelas (al-muhkamat), karena al-
Qur‟an adalah asas pokok dan pedoman utama ajaran Islam yang tak dapat
disangkal.17
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al- ‟ n sebagai kalimat
yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-
Nya dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui”. (al-
An‟ m 6:115)
Dalam ayat ini, kita dituntut untuk memahami al-Sunnah dengan benar,
jauh dari penyimpangan dan salah menta‟wilkan harus dilakukan di bawah
naungan al-Qur‟an, dalam lingkup orientasi Rabbani yang benar dan adil.
16
Yȗsuf al-Qardhâwî, Al-Marja‟iyyah, h. 126 17
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi) V 8, No. 2 (September 2006): h. 137
32
Al-Qardhâwî bersikap hati-hati dalam menerapkan metodenya.
Menurutnya dalam Islam al-Qur‟an adalah ruh eksistensi, fondasi bangunannya,
dan ia merupakan konstitusi asli yang menjadi rujukan semua perundang-
undangan Islam. al-Sunnah an-Nabawiyah adalah yang menjelaskan dan
memperinci konstitusi tersebut, berfungsi sebagai penjelas teoritis dan
implementasi praktis terhadap al-Qur‟an.
Dan al-Qardhâwî berpendapat bahwa tidaklah penjelasan akan
bertentangan dengan yang dijelaskan, tidak pula cabang bertentangan dengan
pokok. Maka penjelasan Nabi Muhammad Saw. selamanya berkisar dalam
cakrawala al-Qur‟an dan tidak pernah melampauinya. Bila sebagian orang
mengira adanya pertentangan dengan ayat-ayat muhkam al-Qur‟an, maka dapat
dipastikan hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita terhadapnya tidak benar,
atau apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan
bukan pertentangan hakiki. 18
Kecendrungan keilmuan klasik justru sebaliknya: sunnah dipandang
sebagai penjelasan wahyu yang tidak mungin salah dan tidak mungkin dibatalkan
oleh al-Qur‟an. Imam al-Sy fi‟ mempelopori pendapat yang menyatakan bahwa
sunnah tidak dapat dibatalkan oleh al-Qur‟an karena sunnah berperan membuat
perintah-perintah al-Qur‟an yang umum menjadi spesifik. Apabila terlihat ada
kontradiksi, sarana yang bisa mendorong untuk menyelesaikannya adalah ta‟wil.
18
Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami Al-Sunnah Dengan Benar. Penerjemah Saifullah
Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148-149
33
Menurutnya karena sunnah dianggap sumber independen yang tidak dapat
dibatalkan oleh al-Qur‟an.19
Dan juga menurut al-Qardhâwî perlunya penelitian seksama tentang
keberlawanan suatu hadis dengan al-Qur‟an. Mengenai hal ini, perlu kiranya
diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya
keberlawanan antara hadis-hadis dan al-Qur‟an, tanpa dasar yang shahih.20
Dan
adalah kewajiban setiap Muslim untuk tidak menerima begitu saja hadis yang
dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang muhkam, selama tidak ada
penafsirannya yang dapat diterima.
Karena itu, al-Qardhâwî tidak dapat begitu saja menerima hadis yang
dirawikan oleh Abȗ wud dan selainnya:
ث نا م ث نا ابن أب زائدة، أخب رن ممد بن صالح بن ذريح بعكب راء، قال: حد سروق بن المرزبن، قال: حدث نا أب، ]ص: الوائدة والموءودة »[ عن عامر، قال: قال رسول الل صلى الل عليو وسلم: 255قال: حد
21) صحيح ابن حبان («ف النار
“Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayi perempuannya dan si bayi
yang terkubur hidup-hidup, kedua-duanya di neraka”
Dan hadis lain:
م سل ت ف اإلسالم دة ائ الو ك در الأن ت إ ،الوائدة والموءودة ف النار
19
Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah bayna ahl al-Fiqh wa ahl al-hadits (kairo, 1989;
buku ini edisi berbahasa indonesianya diterbitkan Mizan (1999) berjudul Studi kritis atas Hadis
Nabi Saw, antara pemahaman tekstual dan kontekstual, h. 19 20
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Penerjemah Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 1994), h. 101
21Muhammad bin Hibban, Sahih ibn Hibban, Juz. 4, no hadis 4717, (Bairut: Taba‟ah al-
tsaniyah, 1414-1993) h. 230
34
“Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayinya yang
perempuan, kedua-duanya berada di neraka, kecuali jika si perempuan
(yang melakukan hal itu) mendapati agama Islam lalu ia memeluknya.”
Di hadis yang kedua ini masih ada peluang baginya untuk selamat dari
azab neraka, sedangkan si anak perempuan (yang menjadi korban) tidak ada
peluang baginya.
Dalam hal ini, para sahabat dahulu bertanya-tanya ketika mendengar Nabi
Saw bersabda:
ان ك و ن ؟ قال: إ ول قت ال ل ا ب م ،ف ل ات وا: ىذاالق ال "ق ار ىف الن ول قت وال ل ات الق ا، ف م يه يف س ب ان سلم ى ال ق ا الت إذ و ب اح ص ل تا على ق يص ر ح
“Apabila dua orang Muslim saling berhadapan dengan kedua
pedang mereka masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh,
kedua-duanya di neraka.”
Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, si pembunuh memang berhak
memperoleh hukuman seperti it2wu; tetapi mengapa yang terbunuh (dimasukan
pula ke neraka)?” maka beliau menjawab:
“sebab ia (si pembunuh) juga bertekad untuk membunuh kawannya.
Begitulah Nabi Saw., menjelaskan kepada mereka, mengapa si korban
juga berhak atas hukuman neraka. Yaitu, karena niatnya untuk membunuh
temannya itu.22
Maka dengan keadaan hadis tadi “Jika si perempuan yang mengubur bayi
perempuannya, memperoleh hukuman neraka; mengapa pula si anak yang
menjadi korbannya? Bukankah hal itu berlawanan dengan firman Allah Swt23
.,:
22
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 97 23
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 97
35
„dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?‟ (Al-Takwîr [81]: 8-9)
Tidak hanya Al-Qardhâwî yang menyatakan bahwa sunnah harus
dievaluasi kembali dengan bantuan al-Qur‟an, namun Al-Ghazâlî, Rasyîd Ridhâ,24
Th H usain dan Muhammad H usain Haikal juga pendapat mereka hampir sama.
األحاديث الواردة ىف الوضوع الواحدمجع .2 (Mengumpulkan Hadis-Hadis dalam
Satu Objek)
Dalam memahami al-Sunnah dengan benar hadis-hadis shahih yang
berkaitan dengan suatu tema tertentu hendaknya di kumpulkan dalam satu objek.
Dimana yang bersifat mutasyâbih dikembalikan kepada yang bersifat muhkam,
yang mutlak dibawa kepada yang terikat, dan yang bersifat umum ditafsirkan oleh
yang bersifat khusus. Dengan demikian pengertian hadis yang dimaksud akan
jelas.25
Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan “mengenakan
sarung sampai di bawah mata kaki”, yang mengandung ancaman cukup keras
kepada pelakunya.
Perhatikanlah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a.,
bahwa Nabi Saw pernah bersabda:
و ب ت لع س . والنفق نة م ال ا إ يئ ى ش عط ى الي ذ ، ال نان : ال ة يام الق وم هللا ي م ه م ل ك ي ال ثة ال ث ، اب ذ الك لحلل ه ار ز إ ل سب وال
“Tiga jenis manusia, yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara
oleh Allah: 1) seorang mannân (pemberi) yang tidak memberi sesuatu
24
Al-Manâr 12 (1911) : 693-99; dikutip dalam Juynboll, Authenticity, 30. 25
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 106
36
kecuali untuk diungkit-ungkit; 2) seorang pedagang yang berusaha
melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah
bohong; dan 3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di
bawah kedua mata kakinya.”
Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar:
“Tiga jenis manusia yang kelak di hari kiamat tidak diajak bicara oleh
Allah, tidak dipandang oleh-Nya, tidak ditazkiyah oleh-Nya, dan bagi
mereka tersedia a ab yang pedih.” (Rasulullah Saw., mengulangi sabda
beliau itu tiga kali, sehingga Abu ar berkata: „Sungguh ya Rasulullah?‟
Maka jawab beliau): “Orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai
ke bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian
diungkit-ungkit; dan pedagang yang melariskan barang dagangannya
dengan bersumpah bohong.”
Kalau begitu apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan “orang
yang menjulurkan sarung sampai ke bawah mata kaki”? Apakah mencakup siapa
saja yang memanjangkan sarungnya, walaupun hal itu semata-mata karena
kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat dan tanpa maksud
menyombongkan diri?26
Mungkin saja hal itu didukung oleh hadis yang diriwayatkan dalam Shahih
al- ukhari, dari Abu Hurairah: “Sarung yang dibawah mata kaki, akan berada di
neraka.”
Yang dimaksud dengan “sarung” dalam hadis itu, ialah “kaki” seseorang
yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke
neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya.
Akan tetapi, bagi orang yang sempat membaca semua hadis yang berkenaan
dengan masalah ini, akan mengetahui apa yang di-tarjih-kan oleh Al-Nawawi, Ibn
Hajar dan lain-lainnya, bahwa yang dimaksud disini adalah sikap sombong yang
26
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi., h. 107
37
menjadi motivasi orang yang menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam
dengan hukuman yang keras.
Dari beberapa hadis Nabi lainnya yang telah dipaparkan di dalam buku Al-
Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw. Sebagai konklusinya bahwa,
apa yang telah menjadi adat kebiasaan, harus pula diperhitungkan, sebagaimana
dinyatakan oleh Al-Hâfidz Al-„Ir q . Sebab, adakalanya suatu perbuatan yang
menyimpang dari kebiasaan umum, mungkin justru menjadikan pelakunya makin
terkenal. Sedangkan cara berpakaian yang sengaja dimaksudkan untuk tujuan
seperti itu, adalah tercela pula. Maka yang paling baik adalah sikap tengah-tengah.
Walaupun demikian, sekiranya ada orang yang memendekkan tsaub-nya, demi
mengikuti al-sunnah dan menjauhkan diri dari tuduhan hendak menyombong, atau
ingin memilih jalan yang lebih “selamat” maka, insya Allah, ia akan beroleh
pahala juga. Tetapi dengan syarat ia tidak boleh memaksa orang lain untuk
mengikutinya bahkan sampai berbuat radikalis.27
Memadukan Atau Mentarjih Antara) اجلمع أو الرتجيح بني خمتل الحلديث .3
Hadis-Hadis yang Kontradiktif)
Dalam pandangan Al-Qardhâwî, pada dasarnya nash-nash syari‟at tidak
akan saling bertentangan. Maka bila tampaknya ada kontradiksi,maka hal itu
hanya penglihatan sepintas yang pada hakekatnya tidak demikian dan merupakan
kewajiban kita untuk menghilangkan kontradiksi semu tersebut.28
27
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h.109-112 28
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami al-Sunnah Dengan Benar., h. 197
38
Tahap selanjutnya bila hadis-hadis yang memiliki tema yang sama nampak
kontradiktif, maka langkah pertama adalah melakukan kompromi (al-j m‟ l-
taufiq) terhadap hadis-hadis tersebut. Dasar pemikiran Al-Qardhâwî adalah bahwa
pada prinsipnya nash-nash tidak mungkin saling bertentangan secara substansi.
Jika mungkin melakukan kompromi, maka hal tersebut harus terlebih dahulu
dilakukan dibanding melakukan komparasi hadis (al-tarjih). Namun perlu dicatat
bahwa kompromi ini hanya dilakukan terhadap hadis-hadis yang sahih saja, tidak
termasuk hadis da‟if dan diragukan validitasnya.29
Masih berkaitan dengan hadis-hadis yang paradoks, Al-Qardhâwî
nampaknya kurang memilih alternatif selanjutnya yakni nasakh, karena
menurutnya medan naskh dalam hadis lebih sempit dibanding pendekatan
kompromi (al-j m‟ l-taufiq) maupun komparasi (tarjih). Menurut Qardhâwî
hal ini disebabkan karena sebagian hadis hanya bersifat parsial dan temporal.30
Sebagai contoh: hadis-hadis yang melarang kaum wanita menziarahi
kuburan. Misalnya, hadis dari Abȗ Hurairah, bahwa Rasulullah Saw., “mel kn
k m ni ng e ing menzi hi k n”. (Dirawikan oleh Ahmad, Ibn
Majah dan al-Tirmid i yang berkata: “hadis ini hasan sahih”. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam sahih-nya).31
Diriwayatkan pula dari Ibn Abbas dan Hassan bin Tsabit dengan lafal:
“para wanita pen iarah kuburan.”
29
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 118 30
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h.140 31
Lihat juga al-Tirmidzi dalam bab Janâiz (1056), Ibn Mâjah (1576) dan Ahmad (2/337).
Juga dirawikan oleh Al-Baihaqi dalam al-Sunan (4/78).
39
Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan
terhadap kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula
larangan terhadap ziarah kubur bagi wanita.
Namun ada hadis lain yang mengizinkan menziarahi kuburan, sama seperti
kaum laki-laki. Diantaranya, sabda Nabi Saw.:
32اوى ور ز ، ف ورب الق ة ر ي م عن ز ك يت ه م ن نت ك
“Aku pernah melarang kalian men iarahi kuburan kini iarahilah”
الوت ر ذك ا ت إن ف ور ب وا الق ور ز
“Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan
kepada maut.”
Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum
wanita juga.
Juga hadis yang dirawikan oleh al-Bukhârî dan Muslim, dari Anas, bahwa
Nabi Saw., menjumpai seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah
kuburan, lalu beliau berkata: “bertakwalah kamu dan bersabarlah” wanita itu
menjawab: “Menjauhlah kamu dariku. Engkau tidak mengalami musibah yang
kualami.” (Rupa-rupanya ia tidak mengenali Rasulullah Saw...).
Dalam hadis itu, Nabi Saw., menyatakan ketidak sukaannya kepada sikap
si wanita yang tampak kurang sabar dalam menerima musibah, namun beliau
tidak melarangnya berziarah.
Meskipun hadis-hadis ini, lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan
hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya
32
Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel, hadis no.
1406 juz 2, h. 1025
40
menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan
mengartikan kata “melaknat” yang tersebut dalam hadis sebagaimana dinyatakan
oleh al-Qurthubi yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan
ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwârât, yang berkonotasi “amat
sering”. Menurut al-Qurthubi, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat
mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada para pemenuhan hak
suami, disamping kemudian membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi
orang-orang yang mati dengan suara keras. Dan dapat dikatakan pula bahwa jika
semua itu dapat dihindarkan, maka boleh menziarahi kuburan bagi kaum laki-laki
maupun perempuan.
Berkata al-Syauk ni: “pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan
dalam upaya menggabungkan antara hadis-hadis yang tampaknya saling
bertentangan menurut ahirnya.”33
Memahami Hadis dengan) فهم األحاديث ىف ضوء أسباهبا ومالبساهتا و مقاصدىا .4
Memperhatikan Konteks Historis, Hubungan dan Tujuannya)
Untuk memahami hadis dengan benar dan mendalam, haruslah
mengetahui hubungan-hubungan dalam konteks nashnya yang memberikan
penjelasan dan mengatasi situasi dan kondisinya sehingga maksud dari hadis
tersebut dapat ditentukan dengan pasti dan tidak memberikan peluang terhadap
dugaan-dugaan sepintas atau pengertian eksplisit yang bukan maksud sebenarnya.
33
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 121-122
41
Sehingga kita harus memahami suatu hadis dari kesimpulan dan realita konteks
hadis tersebut.34
Jadi terkadang sebuah kandungan hadis yang bersifat umum dan abadi,
namun bila melihat illahnya, maka akan bersifat kontekstual. Bila illah tidak
terdapat, maka hilang kontekstual ini, tentu diperlukan pengetahuan yang
mendalam tentang hakikat agama, maqâshid al-syâri‟ah, keberanian moral, situasi
dan kondisi historis hadis (asbâb al- ȗ .
Disisi lain Qardhâwî juga mengkritik pemahaman tekstual terhadap hadis
karena pemahaman tekstual terkadang tidak sesuai dengan ruh dan tujuan hadis,
bahkan bertentangan. 35
Disebutkan dalam Sahih al-Bukhâri dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas,
secara marfu‟:
36م ر ها م ع إال و م ة أ ر إمر اف س ت ال
“Tidak dibolehkan seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang
mahram bersamanya”
„Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan
perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahram.
Ini mengingat bahwa dimasa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal
ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mngarungi padang pasir
yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi itu,
34
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar., h. 223 35
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h. 141-142 36
Lihat al-Bukhari hadis no. 1863, juz 3, h. 19. dan Muslim dalam Program al-Maktabat
Shamel, hadis no. 418 juz 2, h. 976
42
seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya,
tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau – paling sedikit – nama baiknya
dapat tercemar.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti dimasa kita
sekarang, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita
yang bepergian sendiri. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindakan
pelanggaran terhadap hadis tersebut. Bahkan hal seperti itu, menguatkan
kandungan hadis marfu‟ yang dirawikan oleh al- ukh r , dari „Adi bin H tim:
37يوشك أن خترج الظعينة من الحلرية تقدم البيت )أى الكعبة( الزوج معها
“Akan datang masanya ketika seorang perempuan penunggang
unta pergi dari (kota) hijrah menuju ka‟bah, tanpa seorang suami
bersamanya”
Hadis ini, pada hakikatnya, menubuatkan tentang datangnya masa
kejayaan Islam sebagai mercusuar yang memancarkan sinarnya di seluruh alam.
Dan sekaligus juga menunjukan dibolehkannya seorang perempuan bepergian
tanpa suami atau mahram dalam keadaan seperti itu. Begitulah yang disimpulkan
Ibn Hazam dari hadis tersebut.38
Membedakan Antara Sarana) التمييز بني الوسيلة التغرية و اهلدف الثابت للحديث .5
yang Berubah-Ubah dan Tujuan Permanen Hadis)
Menurut Al-Qardhâwî, Di antara sebab terjadinya kesalahan pemahaman
terhadap al-Sunnah adalah sebagian orang mencampur adukkan antara tujuan dan
maksud yang permanen (al-ahdaf al-tsabitah) dimana al-Sunnah berusaha
37
irawikan oleh ukh ri dalam ab „Al m t Al-Nubuwwah fi al-Islâm. 38
Yȗsuf Al-Qardhâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw., h. 136-137
43
merealisasikannya dan sarana yang bersifat temporal (al-wasâil al-
mutaghoyyirah) dan lokal yang terkadang membantunya untuk mencapai tujuan
yang diharapkan.39
Membedakan Antara Hakekat dan) التفريق بني الحلقيقة و اجملاز ىف فهم الحلديث .6
Majas dalam Memahami Hadis)
Makna metaforis (majazi) di sini adalah mencakup al-majaz al-lughawi
(metaforis menurut bahasa) dan al-majaz al-„aqli (metaforis menurut rasio), al-
istiarah wa al-kinayah (kiasan), dan setiap bentuk kata atau kalimat yang memiiki
makna konotatif. Majaz dapat diketahui dengan memperhatikan indikator makna
(al-qarinah) dari sebuah kata atau kalimat.40
Al-Imam al-Rahib al-Ashfahani dalam bukunya yang bermutu Al- ar ‟ah
Ilâ Makârimi-sy-Syar ‟ah mengatakan :
“Ketahuilah bahwa pembicaraan, bila diucapkan dengan perumpamaan
untuk diambil pelajaran bukannya untuk memberikan berita, maka sebetulnya
tidak termasuk dusta. Oleh karena itu orang-orang yang sangat berhati-hati tidak
merasa rikuh menggunakannya”.
Hati-hati Untuk Tidak Mudah Menta‟wilkan Ungkapan Majazi
Al-Qardh w berpendapat, bahwa penta‟wilan hadis-hadis dan teks-tekas
dalil pada literal, adalah masalah yang cukup riskan yang tidak boleh mudah-
mudah dilakukan kecuali bila ada petunjuk dari dalil aqli dan naqli. Seringkali
39
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, h.248 40
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h. 143
44
hadis-hadis dita‟wilkan karena berdasarkan pandangan subjektif, temporal atau
lokal.
Penta‟wilan Yang itolak
i antara penta‟wilan yang tidak boleh diterima adalah penta‟wilan kaum
kebatinan yang tidak berdasarkan dalil, baik dari ungkapan maupun dari konteks
perkataan.
Ibnu Taimiyyah dan Penolakan Majaz
Menurut Al-Qardhâwî, bahwa Syaikhu-I-Islam menolak adanya majaz
dalam al-Qur‟an, hadis dan dalam bahasa secara umum dan pendapatnya ini
diperkuat dengan sejumlah dalil dan ungkapan. Ibnu Taimiyyah ingin menutup
pintu bagi mereka yang berlebih-lebihan dalam menta‟wilkan hal-hal yang
berhubungan dengan sifat-sifat Allah „A a wa Jalla yaitu mereka yang
dinamakan kaum al-Mu‟athilah. Sifat-sifat Allah ta‟ala menurut pandangan
mereka hampir menjadi sekedar negatif bukan positif dan nafyun yang tidak
disertai itsbat.
Ia ingin menghidupkan apa yang ada pada umat terdahulu yang
mengitsbatkan bagi Allah ta‟ala apa-apa yang telah diitsbatkan-Nya dalam kitab-
Nya al-Qur‟an dan dalam sunnah Rasul-Nya dan menafikan apa-apa yang telah
dinafikan al-Qur‟an dan as-Sunnah.41
Membedakan Antara yang Gaib dengan yang) التفريق بني الغيب و الشهادة .7
Nyata)
41 Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar, h.312-317
45
Kesalahan pokok dalam memahami hadis yang terkait dengan hal-hal gaib
adalah menganalogikannya dengan hal-hal nyata. Sebuah analogi yang keliru (al-
qiyas mâ al-fariq bathil) karena hal-hal nyata memiliki perbedaan dengan hal-hal
gaib. Oleh karena itu, seharusnya hal-hal bersifat gaib tidak perlu diperdebatkan.
Hadis-hadis tentang keadaan syurga, neraka, sirath, mizan, siksa kubur, dan
sebagainya tidak perlu dianalogikan dengan kondisi alam nyata. Pendekatan Al-
Qardhâwî nampak cenderung kepada Ahlu Sunnah yang menolak takwil terhadap
eksistensi hal-hal gaib.42
Oleh karena itu, para ulama kita menetapkan bahwa agama datang
membawa ajaran yang mengajak akal untuk berdialog tetapi ia tidak mungkin
membawa ajaran yang dapat dirubah oleh akal. Maka bagaimanapun juga, dalil
naqli yang shahih tidak bakal bertentangan dengan akal murni.43
Mengkonfirmasi Pengertian Kata-Kata) التأكد من مدلوالت ألفاظ الحلديث .8
Hadis)
Hal yang sangat penting, menurut Al-Qardhâwî, untuk memahami hadis
dengan benar adalah memahami makna kata perkata dari teks hadis, karena
seringkali kata-kata tersebut berubah makna sesuai dengan konteks kalimat dan
zaman. Hal ini suatu hal yang telah maklum dalam sejarah bahasa. Al-Qardhâwî
mengutip perkataan al-Ghazali tentang perbedaan kalangan salaf dan khlaf tentang
pergeseran penggunaan kata dalam ilmu agama yang menyebabkan pencapur
adukan istilah.
42
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h.144 43
Yusuf Qardhawi, Metode Memahami As-Sunnah Dengan Benar., h. 3221
46
Sebagai contoh adalah pendapat sebagian ulama yang mengharamkan
lukisan dalam bentuk apapun termasuk photografi. Padahal orang arab tentu tidak
akan berpikir ketika menggunakan kata al-tashwir termasuk photografi. Oleh
karena itu kesimpulannya bahwa kata al-tashwir bukanlah sebutan kebahasaan,
tapi sebuah bahasa hukum, sehingga photografi tidak terwakili dalam kata al-
tashwir. Jadi photografi adalah suatu yang mubah.44
44
Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)., h. 144
47
BAB III
HADIS-HADIS TENTANG MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB SALAM
TERHADAP NON-MUSLIM
A. Teks Hadis Tentang Mengucapkan dan Menjawab Salam Terhadap
non-Muslim
، عن سهيل، عن أبيو، عن راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي أب ىري رة، أن رسول حدل »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى ، ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس يتم أحدىم ري ذا ل م،
و 1«اضطروه إل أضي
“Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali megucapkan salam
kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang mereka
di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim)
ث نا ىشيم، أخب رن عب يد الل بن أب بكر بن أنس، ح بة، حد ث نا عثمان بن أب شي ث نا أنس بن مالك رضي حد د
ولوا: وعليكم عنو، قال: قال النب صلى هللا عليو وسلم الل 2: " إذا سلم عليكم أىل الكتاب
“Menceritakan Yahya bin Yahya, mengkhabarkan kepada kami
Husyaim dari Ubaidillah bin Abu Bakar ia berkata aku mendengar Anas
berkata, bersabda Rasulullah saw, Haun (tahwilu sanadain), mentahditskan
Ismail bin Salim kepada ku, Mentahditskan Husyaim kepada kami,
mengkhabarkan kepada kami Ubaidillah bin Abu Bakar dari kakeknya
Anas bin Malik bahwasanya Rasulallah saw bersabda “Jika seorang ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah
dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
1 Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam
Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707 2 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 75
48
1. Takhrij Hadis
Upaya penulis menguraikan mengenai hadis-hadis larangan mengucapkan
salam dengan Ahl al-Kitâb Untuk ditakhrij3 hanya sebatas sebagai bahan
pendukung agar mengetahui asal-usul hadis dan mengemukakan sumber
pengambilannya-dari berbagai kitab koleksi hadis yang disusun oleh para kolektor
(mutakharrij)-nya, secara langsung. Dan untuk hadis larangan mengucapkan dan
menjawab salam terhadap non-Muslim penulis menemukan dalam kitab takhrij al-
Mu‟jam al-Mufahras l al- al- a îts, Mausȗ‟a râf al- a îts, dan Miftâ u
Kunȗz al-Sunah. Penjabarannya sebagai berikut:
Langkah pertama, setelah ditelusuri dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras l
al- al- a îts al-Nabawî dari semua lafaz yang ada dalam matan hadis, Data
yang disajikan dari penelusuran kata adalah sebagai berikut:
4م عليكم أىل الكتاب ولوا )وعليكم(إذاسل سلم :
Kitab al-Mu‟jam al-Mufahras l al- al- a îts al-Nabawî
سلم
Shahih al-Bukhari, kitab Isti‟dzhan no. 22, kitab
murtadain no.4
٤، مرتدين ٢٢استئذان :خ ٨ ٩,۷سالم : م
3 Takhrîj )ختريج( dalam bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-istinbath )اإلستنباط(, artinya
“mengeluarkan”, at-tadrîb )التدريب(, artinya “melatih” atau “pembiasaan” dan at-tarjih artinya “menghadap. Sedangkan menurut istilah, menyampaikan hadis kepada orang)التجيح(
banyak dengan menyebutkan semua perawi dalam mata rantai sanad hadis itu beserta metode
periwayatan masing-masingnya. Lihat, M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), h. 222 4 A.J. wensinck, al-Mu‟jam al-Mu a ras l al- al- a ts al-Nabawî, Jilid 5. (Leiden:
E.J. Bill 1936)
49
Shahih Muslim, kitab salam no.9 dan 87.
Muwatta Malik, kitab Salam no.3.
Sunan al-Darimi, kitab Isti‟dhan no.7.
Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 2 halaman 900 dan
jilid 3 halaman 99.
٣سالم : ط
۷استئدان : دي ٩٩،٣،..٩،٢ : حم
Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam
lampiran 1.
Kedua, penulis menelusuri hadis melalui metode awal matan dengan
menggunakan kitab Mausuah al-Atraf, dan data yang disajikan oleh kitab ini
adalah sebagai berikut:
ta Mausȗ‟a r al- a ts
5إذاسلم عليكم أحد من أهل الكتاب
Sunan at-Tirmidly, nomor hadis 3301
Sunan Ibn Majah, nomor hadis 3697
Al-Suyuti, bab 67 nomor hadis 188
Ibn Abi Shaibah, bab 8 nomor hadis 442
٣٣۱۰: ت
٣٦٩۷ : ه
۰۷۷: ٦۷ : منشور
٤٤٢: ٨ : ش
٢٥٢٩۷ : كنز
5 Abu Hajar Muhammad al-Sa‟id bin Buyuni Zaghlȗl, Mausȗ‟a r al- a ts Jilid 1,
(Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah,t.t.), h. 332
50
Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam
lampiran 2.
Dalam kitab ini juga diinformasikan bahwa hadis ini juga dapat dilacak dalam
kitab Kanz al-Umal nomor 25297.
Ketiga, penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan
menggunakan kitab Kanz al-„Umal. Dan data yang terdapat dalam kitab ini adalah
sebagai berikut:
6( ت ه عن أنس(1إذاسلم عليكم أحد من أىل الكتاب ولوا : وعليكم )حم ق )
Dari penelusuran dengan metode ini, didapatkan informasi bahwa hadis
ini diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hanbal, muttafaq „alaih (bukhari dan Muslim),
al-Tirmidzi, dan Ibn Majah.
Selain dari metode –metode di atas, penulis juga menelusuri hadis melalui
metode tematik dengan menggunakan kitab Miftâ u Kunȗz al-Sunah, dan data
yang didapat dari kitab ini adalah sebagai berikut :
6 Al-Muttaqi al-Syadzaily al-Madiny, Kanz al-„Umal Sunan al-Aqwal wa al- ‟al
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1409 H), h. 123
51
ta M t u unȗ al-Sunah
7متى وكيف يسلم على اليهود والنصارى
Bagaimana menjawab salam non-Muslim.
Menjawab salam non-Muslim dalam surat.
Larangan memulai salam kepada non-
Muslim.
Memberi salam dalam Majlis yang berisi
kaum Muslim dan Musyrik.
Bagaimana menulis surat untuk non-
Muslim.
Mengucapkan salam kepada non-Muslim.
Tidak mengucapkan dan juga tidak
menjawab salam atas orang yang berdosa.
Larangan membunuh non-Muslim yang
memberi salam.
٢٢و ٢۱ب ۷٩ك –بخ
۰٣ – ۰۱قا ٩ – ٦ح ٣٩ك –مس
۰٣۷ب ٤۱ك –بد
۰٢ب ٤۱، ك ٤۰ب ۰٩ك –تر
۰٣ب ٣٣ك –سخ
۷ب ۰٩ك –مى
۷۰ص ٢ق ٤ج –عد
،٤٥٩و ٤٤٥و ٣٤٦و ٢٦٦اثن ص –حم
٢۰٢و ٢۱٢و ۰۰٥و ۰۰٣و ٩٩اثلث ص
،٢٩۱و ٢۷۷و ٢۷٣و ٢٢٢و ٢۰٤و
٣٩٨و ٢٣٣و ۰٤٣رابع ص
٢٤٢٤و ٢۱٦٩و ۰٩۷۰ح –ط
7 Muhammad Fu‟ad „abdul baqi, M t u unȗ al-Sunah, (Lahore: Isaroh Tarjamanu al-
Sunah, 1931), h. 242
52
Adapun keterangan tabel di atas dan hadis-hadisnya terdapat dalam
lampiran 3.
Dari hasil penelusuran di atas, ditemukan sebelas hadis yang berkaitan
dengan salam terhadap non-Muslim hadis-hadis tersebut diklasifikasikan ke dalam
poin-poin sebagai berikut :
Untuk tema yang pertama, yaitu bagaimana menjawab salam non-Muslim
terdapat tiga hadis yang berkaitan. Pertama, Menjawab dengan “wa „alaika”.
Kedua, menjawab dengan “‟alaika” atau “wa „alaika”. Ketiga menjawab dengan
“‟alaika ma qulta”.8
Tema kdua, yaitu mengucapkan salam kepada non-Muslim terdapat dua
hadis yang berkaitan. Pertama, tidak perlu menarik ucapan salam kepada non-
Muslim. Kedua, meminta kembali ucapan salam. Sementara untuk tema-tema
yang lainnya, masing-masing hanya terdapat satu hadis saja.
2. Penjalasan (Syarah) Hadis Larangan Mengucapkan dan Menjawab Salam
Terhadap non-Muslim
Dilalah „amr (petunjuk perintah). Apakah sighat amr (perintah) itu
menunjukkan wajib? Atau mustahab? Atau boleh jadi wajib dan boleh jadi
mustahab? Atau tidak menunjukkan suatu hukum pun kecuali jika disertai dengan
qarinah (indikasi) tertentu? Atau apakah hukum perintah dalam al-Qur'an dan as-
Sunnah itu berbeda?9
8 Ai Popon Fatimah, Salam terhadap non-Muslim perspektif hadis, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2014). h. 31-34
9 Yȗsuf al-Qardhawî, Kaedah Toleransi Dalam Masalah, h.2
53
“Al-sâmu‟alaikum [semoga kematian menimpa kalian].” Dalam riwayat
Al-Kasymihani disebutkan dengan redaksi, Assâmu‟alayka (semoga kematian
menimpamu) dengan bentuk tunggal pada kata ganti orang kedua tunggal.
Demikian juga yang disebutkan dalam hadis Aisyah dan hadis ibnu Umar. Selain
itu tidak ada yang berbeda dengan hadis Anas yang menggunakan lafaz tunggal,
„ala ka.
Selain itu, ada yang mengatakan, bahwa itu tidak diartikan sebagai celaan,
tetapi mendo‟akan kematian yang pasti terjadi. Oleh karena itu, sebagai
jawabannya beliau menjawab, وعليكم (dan semoga pula menimpa kalian).
Maksudnya, kematian pasti menimpa kami dan juga kalian, sehingga do‟a tersebut
tidak ada gunanya. Itulah pendapat yang diisyaratkan oleh Al-Qadhi Iyadh, dan
isyarat ini pun telah dikemukakan pada pembahasan tentang meminta izin. Juga
orang yang mengucapkan, السأم dengan huruf hamzah yang bermakna السامة
(bosan), yang artinya mendo‟akan agar bosan terhadap agama, dan ini bukan
sebagai ungkapan jelas dalam mencela.10
Dalam buku Fiqih Lintas Agama, Bahwa dalam bukunya hukum suatu
masalah baru bisa ditetapkan apabila diketahui konteks dan situasinya, yang
dengan demikian diketahui pula kemaslahatan dan kemudlaratannya. Bukan
hukumnya yang ditetapkan terlebih dahulu dan kemudian hukum itu diterapkan
kepada semua peristiwa atau kasus. Hukum harus tunduk kepada kemaslahatan
dan hikmah. Tidak boleh sebaliknya kemaslahatan harus tunduk kepada hukum.
10
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, terj. Amir Hamzah :
Fathul Baari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 64
54
Beberapa catatan sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh bukhari ini perlu
mendapat perhatian. Pertama, salam yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi
adalah salam penghinaan, yaitu “Assamu‟alaikum” atau “Assamu‟alaika”, bukan
salam perdamaian, yaitu “Assalâmu‟alaikum”. Kedua, yang memulai
mengucapkan salam, yaitu salam penghinaan, adalah orang-orang Yahudi, bukan
Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi itu terhadap Nabi adalah sikap kebencian
dan permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan. Keempat, Nabi
menegur Aisyah agar tidak bertindak kasar dan tidak melaknat para tamu yang
tidak sopan itu karena Allah mencintai keramahan dan kelembutan. Kekasaran
dan ketidak sopanan tamu tidak boleh menghilangkan keramahan dan kelembutan
penerima tamu. Kelima, karena itu, cukup bagi Nabi untuk menjawab salam
orang-orang Yahudi itu dengan “wa‟alaikum”11
(dan bagimu [kematian], atau
“wa‟alaika” (dan bagi engkau [kematian].
Sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî melalui Aisyah,
Abdullah ibn Umar, dan Anas ibn Malik ini, memberikan gambaran wajah Islam
yang diberikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah
tadi. Sepuluh hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah, Abdullah ibn Umar ini
memberikan gambaran wajah Islam yang ramah, lembut dan bersahabat,
sedangkan hadis yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah tadi memberikan
gambaran wajah Islam yang kasar, galak dan tidak bersahabat.
11
Namun sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ahlul kitab mengucapkan salamnya itu
tegas “ ssalamu‟‟ala kum”, maka jawabannya adalah tetap semisal dengannya yaitu:
“Wa‟ala kumus salam.” Alasannya adalah firman Allah Ta‟ala (yang artinya), “Apabila kamu
diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An
Nisa‟: 86). Sebagaimana hal ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al „Utsaimin.
55
Oleh karenanya, penetapan hukum mengucapkan salam kepada orang-
orang non-Muslim harus berdasarkan pada kemaslahatan dan hikmah. Di
Indonesia banyak orang Muslim dan orang-orang non-Muslim bersahabat, atau
paling tidak, tidak bermusuhan. Dalam konteks seperti itu, bertolak dari
kemaslahatan dan hikamah.
Dalam kitab Syarah al-Majmu‟ al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi
dijelaskan beberapa dalil dari al-Qur‟an ataupun hadis Nabi :
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin As RA;12
Seseorang bertanya kepada Nabi Saw, “(bagian) islam yang mana yang
baik?” Nabi Saw menjawab, “kau memberi makan dan mengucapkan salam pada
orang yang kau kenal dan yang tidak kau kenal.” (HR. Al-Bukhârî dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam RA, ia berkata, “aku mendengar
Rasulullah bersabda;
„Wahai seluruh manusia! Sebarkan salam, berilah makanan, sambunglah
tali kekerabatan, dan shalatlah saat orang-orang tidur niscaya kau masuk surga
dengan aman‟.” HR. al-Darimi dan al-Tirmidzi. Al-Tirmidzi berkata, “Hadis
Sahih.”
Al Baihaqi menyebutkan dalam kitab shahihnya; ammar berkata, “tiga hal,
barangsiapa menyatukan semuanya, ia telah menyatukan imam; bersikap adil
terhadap diri sendiri, mengucapkan salam terhdap siapa saja dan bersedekah saat
12
Imam Nawawi, Al-Majmu‟ Syara l Mu a a terj. H. Abdul Somad Lc., MA.,
Umar Mujtahid, Lc. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), hlm. 1019-1021
56
kesusahan.‟13
Kami juga meriwayatkan hadis serupa dari Rasulullah Saw., di
selain Shahih Al-Bukhârî. Dalam hal ini ada banyak sekali hadis masyhur.
B. Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadis Larangan Mengucapkan
dan Menjawab Salam Terhadap non-Muslim
Dalam buku Al-Majmu‟syarah Al Muhadzdzab karangan Imam Nawawi
dijelaskan bahwa Al-Mawardi menjelaskan dalam Al-Hawi; dalam hal ini ada dua
pendapat. Pertama, tidak boleh mengucapkan salam kepada orang-orang kafir.
Kedua, boleh memulai salam kepada mereka, namun dengan mengucapkan; al-
sal mu‟alaika, bukan; al-sal mu‟alaikum. Pendapat ini nyeleneh dan lemah. Bila
orang kafir dzimmi mengucapkan salam kepada orang muslim, jawaban yang
diucapkan adalah; wa‟alaikum, tidak lebih. Inilah pendapat yang kuat, inilah yang
13
Muhammad bin Najib al-Muthi‟i menjelaskan, atsar ini diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hanbal dari berbagai sanad dari Sufyan Ats-Tsauri. Juga diriwayatkan oleh Ya‟kub bin Syaibah
dalam musnadnya dari sanad Syu‟bah, Zuhair bin Mu‟awiyah dan lainnya, mereka semua
meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai‟i dari Shillah bin Zuhfar dari Ammar. Matan riwayat
syu‟bah dari Ammar sebagai berikut; (Ada) tiga hal, barangsiapa yang tiga hal ini terdapat dalam
dirinya, imannya telah sempurna. Riwayat ini intinya sama. Seperti itulah yang kami riwayatkan
dalam Jami‟ Ma‟mar dari Abu Ishaq. Seperti itu pula yang disampaikan oleh Abdurrazzaq dalam
mushannafnya dari ma‟mar. Abdurrazzaq menyampaikannya saat hafalannya berubah di akhir usia
dan ia sambungkan sanadnya hingga Nabi Saw.
Al-Hafizh Ibnu Hajar setelah menyebutkan atsar ini menyatakan, hadis ini cacat dari sisi
sanadnya sebab Abdurrazzaq berubah hafalannya di akhir usia, dan mereka mendengarkan hadis
ini dari abdurrazzaq di saat hafalannya telah berubah. Perlu di ketahui, hal semacam ini tidak
disampaikan berdasarkan pendapat dan dihukumi sebagai hadis marfu‟. Kami meriwayatkan hadis
ini secara marfu‟ dari sanad lain dari Ammar.
Ath-Thabari meriwayatkannya dalam Al-Mu‟jam Al-Kabir dan dalam sanadnya ada perawi
dhai‟f. Hadis ini memiliki riwayat-riwayat lain yang menguatkan seperti yang disebutkan dalam
ta‟liq At-Ta‟liq. Abu Zinad bin Siraj dan lainnya menyatakan, alasan kenapa orang yang
menyatukan tiga hal tersebut berarti imannya telah sempurna karena poros ketiga hal tersebut
adalah bila seorang hamba bersikap adil terhadap dirinya sendiri, ia tidak akan meninggalkan suatu
kewajiban pun untuk Allah Saw., melainkan pasti ditunaikan dan tidaklah meninggalkan
meninggalkan suatu laranganpun melainkan ia tinggalkan, hal ini menyatukan rukun-rukun iman.
Berkenaan dengan mengucapkan salam, sikap ini mengandung akhlak-akhlak mulia, sikap
tawadlu, tidak merendahkan orang lain, disamping karena mengucapkan salam akan menimbulkan
persatuan hati dan cinta.
57
dipastikan oleh mayoritas fuqaha. Pengarang Al-Hawi menyebutkan pendapat
lain, jawabannya adalah; wa rahmatullah. Pendapat ini nyeleneh dan lemah.14
Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam dalam kitabnya “Syarah
Bulȗghul Marâm” bahwa, tidak boleh kaum Muslim memulai salam kepada
Yahudi dan Nasrani. Tetapi jika mereka mengucapkan salam terlebih dahulu,
maka hal ini dijelaskan dalam Ash-Shahihain dari hadis Anas bahwa Nabi Saw
bersabda : “ pa la seorang a l k ta mem er salam kepa amu maka
ucapkanla wa‟alaykum ( an kamu juga)”.15
Sayyid Quthb (1906-1966 M). Menurutnya, salam tidak layak diucapkan
kepada non Muslim karena disamping salam merupakan penghormatan (tahiyyah)
kepada sesama Muslim, salam juga meruapakan budaya Islam yang sangat khas
sekaligus sebagai pembeda dari budaya non Muslim.16
Berpijak pada ayat 86 surat al-Nisâ‟, Quthb menjelaskan lebih jauh nilai
tahiyyah (penghormatan) yang ada pada salam. Baginya, tahiyyah yang ada pada
salam mengandung hal yang bersifat karateristik. Ia merupakan manhaj Islami
untuk membentuk karakter umat Islam yang khas. Karenanya penggunaan
tahiyyah mempunyai tata aturan (nidzam). Menurutnya, perbedaan tahiyyah
dalam Islam dengan agama lainnya sama halnya perbedaan dalam masalah kiblat
dan aqidah.
14
Imam Nawawi, Al-Majmu‟syarah Al Muhadzdzab, terj. H. Abdul Somad Lc., MA dan
Umar Mujtahid : Syarah Al Muhadzdzab (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 1038 15
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah bulughul maram, terj. Thahirin Suparta,
dkk. : Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.363 16
Sayyid Quthb, Ta s r Z lal l Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk. (Jakarta: gema Insani
Press, 2000), cet. 1, jild. 2, juz 5, h. 471
58
Di samping itu, kata Quth, tahiyyah menjadi media perubahan yang
paralel (kontinu) sekaligus sebagai media komunikasi untuk menguatkan tali asih
dan hubungan kekerabatan antara individu-individu dalam masyarakat Islam.
Mengucapkan salam dan menjawab tahiyyah dengan cara yang lebih baik adalah
cara yang terbaik untuk menumbuhkan hubungan dan ikatan persaudaraan. Ikatan
persaudaraan sebagai dampak psikologis yang ditimbulkan dari ucapan salam
hanya akan terjadi di kalangan umat Islam. Efektifitas dampak psilokogis akan
lebih terasa jika salam disampaikan orang Islam yang belum dikenal
sebelumnya.17
Dari pandangannya ini, Quth meyakini bahwa salam sebagai
budaya tahiyyah dalam Islam tak akan berdampak psikologis bagi non muslim
jika salam itu diucapkan kepada mereka.
Berdasarakan pada ayat yang sama (Al-Qur‟an surat al-N s ‟ ayat 86),
Ibnu Katsīr (1301-1372 M) memiliki pandangan yang hampir sama.
Menurutnya, tidak boleh bagi seorang Islam mengucapkan salam kepada non
Muslim (baca Dzimmî). Namun, kalau sekedar menjawab salam mereka
diperbolehkan berdasarkan Hadîts yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbâs:
Barangsiapa mengucapkan salam dari makhluk Allah (manusia), maka jawablah,
meskipun dia seorang Majusi.18
Meskipun diperbolehkan menjawab salam non
Muslim, tetapi isi jawabannya berbeda dengan jewaban salam kepada salam
Muslim. Jawaban salamnya cukup dengan kalimat yang sepadan (bi
mitslihâ/mutamatsilah), tidak boleh lebih dari ucapan salam mereka, bahkan (akan
lebih baik bila dijawab) dengan jawaban yang sesuai dengan ketetapan dua hadîts
17
Sayyid Quthb, Ta s r Z lal l Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, dkk. h. 472 18
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, (jakarta: Gema insan press, 1999) h. 531
59
shohih baik yang melalui Ibnu Umar r.a. maupun Abu Hurairah r.a, yakni kailmat
wa alaikum.19
Syekh Mansûr „Ali Nâsif sebagai representasi ulama kontekstualis
mempunyai pandangan berbeda dengan Ibnu Katsîr di atas. Menurut Syakh
Mansûr „Ali Nâshif, dalam bukunya ”al-T j”, umat Islam dianjurkan menjawab
salam dengan kalimat wa„ala kum itu jika salam Dzimmî itu mengandung maksud
menghina, misalnya dengan kalimat „al-sâm‟ atau dengan kalimat lain yang
memiliki arti yang sama, atau salam mereka tidak dapat didengar dengan
sempurna. Tapi, kalau unsur-unsur tersebut tidak ditemukan, maka umat Islam
wajib menjawab salam mereka sebagaimana menjawab salam sesama Muslim.
Kewajiban tahiyyah yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an surat Al-Nisa‟ ayat 86
menurut Syekh Mansûr „Ali Nâshif, tidak melihat status Muslim dan kafir
Dzimmî, tetapi yang dilihat dan dinilai adalah unsur-unsur yang terdapat kalimat
salam.20
Dengan kata lain, salam yang wajib dijawab adalah salam yang betul-betul
mengandung nilai dan pesan salam baik dari segi orang yang mengucapkan
maupun dari segi kalimat yang diucapkan. Meskipun salam itu keluar dari lisan
kafir Dzimmî tetapi diucapkan dengan penuh kesungguhan (berdoa dan bagian
dari upaya damai) maka wajib dijawab. Namun sebaliknya, jika dalam salam itu
tidak mengandung pesan-pesan salam, seperti doa, maka cukup dengan jawaban
wa „ala kum atau wa alaika, meskipun salam itu diucapkan oleh seorang Islam.
19
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, h. 762 20
Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al-Jam‟u L Us ul al-Hadits al-Rasul, penerjemah
Bahrun Abu Bakar (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1961 M-1381 H), h. 249
60
Hal ini berdasar pada Hadîts yang diriwayatkan melalui Salman Al-Farisi,
bahwa Nabi Muhammad pernah menjawab salam dengan kalimat “‟alaika”
kepada laki-laki yang mengucapkan salam dengan kalimat lengkap. Kemudian
laki-laki itu bertanya kepada Nabi: “Wahai Nabi Allah, demi bapakku, engkau,
dan ibuku, fulan dan fulan datang kepadamu dan mereka mengucapkan salam
kepadamu, engkau menjawabnya dengan jawaban yang lebih lengkap daripada
kepadaku”. Nabi menjawab: Sesungguhnya kamu tidak mendo‟akan apa-apa
kepada kami.”21
Hadits Nabi ini semakin memperjelas bahwa menjawab salam
seseorang itu tidak berkaitan dengan latar belakang agama (Islam dan Non Islam/
kafir Dzimmî), tetapi didasarkan pada kualitas dan substansi salam.
Pemikiran Syekh Mansûr „Ali Nâshif tentang menjawab salam non
Muslim di atas jauh lebih maju dibandingkan dengan Quthb, Ibnu Katsîr, bahkan
dalam masalah mengucapkan salam ( lqa‟ al-salâm) kepada non Muslim pun juga
lebih maju dariapada pendapat keduanya. Jika bagi Quthb, dan Ibnu Katsîr haram
hukumnya memulai salam kepada non Muslim (pendapat yang sama juga
disampaikan oleh Al-Nawawi), bagi Syekh Mansûr „Ali Nâsif, larangan yang
terdapat dalam hadits Abu Hurairah r.a. itu tidak mencapai haram, tatapi hanya
makruh, bahkan bisa mubah jika salam itu mendatangkan manfaat dan
menghindari dari bahaya.22
Muhammad Abduh (1849-1905 M) juga berpandangan bahwa wajib bagi
umat Islam menjawab salam non Muslim. Selain itu, dia berpendapat sunnah
hukumnya bagi mereka mengucapkan salam ( sya‟ salam) kepada kaum Dzimmî.
21
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jil.
1, terj. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, (jakarta: Gema insan press, 1999) h. 761
22
Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al-Jam‟u L Us ul al-Hadits al-Rasul., h. 249
61
Abduh menempatkan salam untuk syiar; bahwa Islam adalah agama
damai dan aman. Al-salâm adalah seuatu yang sangat asasi dalam Islam. umat
Islam adalah ahli damai dan pencinta kedamaian.23
Dengan adanya Hadis-hadis tersebut, Abduh semakin yakin bahwa
mengucapkan salam kepada non Muslim bukan sesuatu yang dilarang, apalagi
salam itu menurutnya merupakan hak umum. Karena dari salam didapatkan dua
hal yang didambakan oleh setiap orang yaitu: (1) penghormatan yang mutlak dan
(2) terwujudnya keamanan bagi pengucap dan pendengar salam dari tindakan
penipuan, pesakitan, dan dari hal-hal yang tidak baik lainnya. Alasan Abduh
menempatkan salam sebagai hak umum didasarkan pada Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Thabranî dan Baihaqî melalui Abî Umâmah:
“Sesunggu nya lla Ta‟al menja kan salam se aga ke ormatan umat kam
dan sebagai keamanan bagi kaum Dzimmî.” 24
Penjelasan Qatadah tentang perbedaan jawaban tersebut, kata Abduh, tidak
ada dalilnya baik dalam al-Qur‟an maupun hadis, bahkan penjelasan tersebut
bertentangan dengan hadîst yang diriwayatkan Ibn Jarîr dari Ibnu Abbâs r.a.
Rasulullah bersabda:”Barangsiapa dari makhluk Allah yang mengucapkan salam
kepadamu hendaklah dijawab meskipun dia seorang Majusi. Menurut
Abduh, kewajiban membalas penghormatan orang lain sebagaimana dimaksud
Al-Qur‟an .S. Al-Nisâ‟ ayat 86 itu sama sekali tidak melihat latar belakang agama
dan status sosial seseorang. Penghormatan atau salam yang sepadan
(mutamâtsilah /ruddûha) atau yang lebih baik (ahsana minhâ) itu dasarkan pada
23
Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid., h. 312 24
Syekh Muhammad Abduh, Tafsîr Al-Manar , Ibid., h. 314
62
aspek kalimat salam yang diucapkan dan aspek tata cara, bahasa tubuh, serta keras
dan pelannya suara saat menjawab salam.
Dalam syarah kitab Riyadhus Shalihin, Al-Utsaimin mengungkapkan
bahwa al-Salām mempunyai makna al- u‟â (do‟a), yaitu do‟a keselamatan dari
segala sesuatu yang membahayakan, merugikan, atau merusakan.
Syeikh Ahmad Al-Sawi dalam tafsir Al-Sawi ketika menafsirkan waidzâ
huyyitum bitahiyyatin pada QS 4:86 beliau mengatakan bahwa al-Salām
maknanya keselamatan dari segala marabahaya baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam pendekatan lain, kata “al-Salâm” termasuk sifat Allah Swt. Ketika al-
Salâm ini dinisbahkan kepada Allah Swt. Berarti juz salamah yang memiliki
keselamatan/keterhindaran. Itulah pendapat ulama seperti yang telah dikutip oleh
Quraish Shihab (2000:42-43) hanya saja lanjut beliau beberapa ulama tersebut
berbeda dalam memahami istilah ini, ada juga yang berpendapat bahwa Allah
yang menghindarkan semua makhluk dari penganiayaan-Nya dan yang kelompok
ketiga berpendapat bahwa al-Salâm yang dinisbahkan kepada Allah itu berarti
yang memberi salam kepada hamba-hambanya di surga kelak.25
Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih sayang dan cinta
dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan, dan penolakan yang mungkin ada dalam
kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat.
Oleh karena, hukum suatu masalah baru bisa ditetapkan apabila diketahui
konteks dan situasinya, yang dengan demikian diketahui pula kemaslahatan dan
kemudlaratannya. Bukan hukumnya yang ditetapkan terlebih dahulu dan
kemudian hukum itu diterapkan kepada semua peristiwa atau kasus. Hukum harus
25
Jurnal pendidikan agama islam – Ta‟l m Vol. 9 No. 1 – 2011
63
tunduk kepada kemaslahatan dan hikmah. Tidak boleh sebaliknya kemaslahatan
harus tunduk kepada hukum.26
C. Interaksi Nabi Dengan non-Muslim Dalam Kerukunan
Sejarah mencatat bahwa, orang-orang muslim dengan non-Muslim saling
hidup berdampingan tanpa adanya permusuhan. Dengan demikian, wajar jika
konsep tentang Ahli Kitab dipandang sebagai salah satu tonggak semangat
kosmopolitanisme Islam. Atas dasar pandangan dan orientasi mondial konsep ini,
kaum Muslim di zaman klasik berhasil menciptakan ilmu pengetahuan yang
benar-benar berdimensi universal melalui dukungan dari semua pihak.27
Banyak hadis Nabi yang terkait dengan perintah bagi umatnya untuk terus
menjaga sikap dan perilaku mereka agar tidak melanggar batas-batas
kemanusiaan, meskipun berbeda dalam keyakinan. Perjanjian antara Nabi
Muhammad Saw. dan umat Kristen di Gunung Sinai adalah salah satu contoh
besar dari sikap toleransi dan mengakui adanya keberagaman agama dalam
masyarakat ini.28
Contoh lain dari toleransi Islam yang diajarkan oleh Nabi adalah
pada waktu Fath Makkah yang dilakukan umat Islam di bulan Ramadhan.
Makkah perlu dibebaskan setelah sekitar 21 tahun dijadikan markas orang-orang
musyrik. Saat umat Islam mengalami euforia atas keberhasilannya. Sekelompok
kecil sahabat Nabi yang berpawai dengan memekikkan slogan „al-yaum yaum al-
malh}amah. Slogan ini dimaksudkan sebagai upaya balas dendam mereka atas
kekejaman orang musyrik Makkah kepada umat Islam sebelumnya. Gejala tidak
sehat ini dengan cepat diantisipasi oleh Nabi Muhammad dengan melarang
26
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 66. 27
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 44-45 28
Adeng Muchtar Ghazali, Teologi kerukunan beragama dalam Islam (Studi Kasus
Kerukunan Beragama di Indonesia), Vol XIII, Nomor 2, Desember 2013, h. 285
64
beredarnya slogan tersebut dan menggantinya dengan slogan, al-yaum yaum al-
marh}amah, sehingga pembebasan Makkah dapat terwujud tanpa harus terjadi
insiden berdarah.29
Sejumlah ayat dalam Al-Qur‟an dapat dijadikan landasan dalam
bertoleransi (tasâmuh), antara lain: Ali „Imrân (3): 19, Yȗnus (10): 99, QS. An-
Nahl (16): 125, Al-Kahfi (18): 29, dan Al-Mumtahanah (60): 8-9.30
Setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah dan menjadi penguasa
politik, dia mendeklarasikan adanya jaminan keselamatan kepada orang-orang
yang berbeda agama. Kebijakan Nabi ini termuat dalam satu dokumen sejarah
Islam yang disebut dengan Piagam Madinah31
(Sjadzali , 1993: 8-17).
Jaminan keselamatan atas non-Muslim dalam Islam dikenal dengan
konsep ahl-dzimmah. Pemerintahan Islam memberikan perlindungan bagi
penganut agama lain dengan cara menarik jizyah, sejenis pajak kepala (Rahman
1984: 28). Tindakan ini menjadi standar perlakuan Islam terhadap kaum Yahudi
dan Kristen, yang selanjutnya dikenakan juga kepada penganut agama-agama
lain.32
Prestasi Rasulullah Saw., dalam membangun peradaban yang unggul di
Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar
29
Lihat Said Aqiel Siradj, “Meneguhkan Islam Toleran”, dalam Republika, 14 April 2007. 30
Adeng Muchtar Ghazali, Teologi Kerukunan Beragama Dalam Islam (Studi Kasus
Kerukunan Beragama di Indonesia), Vol XIII, Nomor 2, (Desember 2013) h. 284 31
Piagam Madinah adalah perjanjian yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw., setelah
hijrah ke Madinah antara kaum Muhajirin, Ansar dan kaum Yahudi Madinah. dalam bahasa Arab
adalah صحيفة المدينة Sahîfatul al-madînah. As-Sahîfah صحيفةال adalah nama yang disebut di dalam
naskah. Kata صحيفة ditulis delapan kali dalam teks Piagam. Selain nama itu, di dalam naskah,
tertulis sebutan “kitab” dua kali. Kata treaty dan agreement menunjukan kepada isi naskah. Kata
charter dan piagam lebih menunjukan pada surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal.
Dan kata As-Sahîfah semakna dengan charter atau Piagam. Zuraidah Hafni, Piagam Madinah dari
perspektif kebudayaan, (Skripsi s 1 Program studi sastra arab, Universitas Sumatra Utara 2009), h.
21 32
Ajat Sudrajat, Relasi umat islam dan kristen: beberapa faktor penggaggu,
65
bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia33
dengan
kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin
Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen
Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam
menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun
sebelumnya.34
Karen Armstrong mencatat:
“Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari
penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk
Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia
memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah,
yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang
panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada
pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada
pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau
pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem
memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan
dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan
monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di
Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Dikutip dan diterjemahkan dari
buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths,
(London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.)
Dan juga ada hadis Nabi yang menunjukan bahwa Beliau (memulai)
mengucapkan salam kepada Negus (Najasyi), Raja Etiopia, melalui suratnya.
Surat beliau itu berbunyi sebagai berikut:
Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ini surat dari Muhammad, Rasul Allah, kepada Najasyi Raja Habasyah,
Raja Etiopia. Salam bagi anda. Puji syukur kepada Allah yang tiada sekutu
bagi-Nya. Dialah Allah yang tiada pada-Nya kekurangan dan kesalahan;
33
Setelah melakukan pembebasan Aelia (nama Aelia berganti menjadi Al-Quds pada masa kekuasaan Abbasiyah). dari tangan Romawi pada tahun 15H / 636M, sayyidina Umar bin Al
Khattab RA kemudian menuliskan perjanjian yang menjamin keamanan dan keselamatan seluruh
penduduk Aelia, baik jiwa, harta maupun kebebasan beragama mereka. Perjanjian tersebut
kemudian terkenal dengan nama Perjanjian Aelia (ميثاق ايليا) atau Perjanjian Umar (العهدة العمرية)
yang ditanda tangani pada tanggal 20 Rabiul Awal 15H (5-2-636 M). Pembebasan al-Quds dan
perjanjian Aelia oleh Umar bin al-Khattab, Artikel diakses pada 9 September 2015 dari http://www.kitabklasik.net/2008/08/pembebasan-al-quds-dan-perjanijian.html
34 Adian Husaini, Piagam Madinah dan Toleransi Beragama., h. 6
66
hamba-Nya yang taat akan selamat dari murka-Nya. Dia melihat dan
menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya.
Amma ba‟du: aku memuji Allah padamu yang tidak ada Tuhan selain Dia,
yang Maha Menguasai, Maha Suci, Maha Penyelamat, Maha Pemberi
Aman, dan Maha Pembeda. Aku bersaksi bahawa Isa anakMaryam ruh
Allah, dan firman-Nya yang diberikan kepada Maryam yang suci lagi
perawan, lalu ia hamil dari ruh dan tiupannya, sebagaiman Ia menciptakan
Adam dengan tangan-Nya. Aku mengajakmu kepada Allah yang Esa, yang
tidak ada sekutu bagi-Nya, mematuhi dengan ketaatan kepada-Nya, dan
untuk mengikutiku dan mempercayai apa yang aku bawa. Aku Rasulullah,
aku mengajakmu dan para pasukanmu kepada Allah yang Maha Perkasa
lagi Maha Timggi. Aku telah menyampaikan pesan dan memberi nasihat,
maka terimalah nasihatku. keselamatan bagi orang yang mengikuti
petunjuk.
Salam pembukaan dalam surat ini berbeda dengan salam pembukaan
dalam surat-surat yang dikirim kepada Khosru Iran, Kaisar Romawi, dan
Muqauqis. Dalam surat ini, salam pembukaan yang diucapkan oleh Nabi
Muhammad Saw., adalah “salam bagi anda” (Salamun „alayk). Salam ini
ditujukan kepada negus, Raja Etiopia, yang beragama Kristen (Nasrani).35
Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad Saw telah melakukan
interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani),
budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia
dan Romawi). Ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani,
Persia, Romawi, menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan
diberi pedoman yang snagat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di
luar Islam.
Bahkan, al-Qur‟an juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik
terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk
menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya,
35
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 71-72
67
dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat
baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari
kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad Saw., berpesan, "Barangsiapa
menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa
menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).36
Islam merealisasikan kerukunan hidup beragama dalam konteks Indonesia,
dengan berpatokan pada tri kerukunan yakni, kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar umat beragama dengan
pemerintah. Khusus dalam kerukunan antar umat beragama, disebut SKB No.
1/1979 sebagai pedoman, dimana tanggung jawab dan tugas penertiban
pelaksanaannya berada di atas pundak Departemen Agama dan Departemen
Dalam Negri.37
36
Adian Husaini, Piagam Madinah dan Toleransi Beragama, h. 2 37
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta;
Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia, 1997), h. 8-10
68
BAB IV
KAJIAN HADIS LARANGAN MENGUCAPKAN DAN MENJAWAB
SALAM TERHADAP NON MUSLIM
A. Memahami al-Sunnah Dengan Berpedoman Pada al-Qur’ân al-Karîm
(dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim)
Dalam teorinya al-Qardhâwî, bahwa tidaklah penjelasan akan bertentangan
dengan yang dijelaskan, tidak pula cabang bertentangan dengan pokok.1 Maka
dalam hal ini, seperti yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan
dalam bukunya fiqih lintas agama bahwa, l- u ‟ n d n l- adîth tidak boleh
dikonfrontasikan, tetapi justru harus dicari dan dihayati dasar-dasar
pertemuannya.2
Langkah-langkah memahami al-Sunnah dengan berpedoman pada al-
u ‟ n l-Karîm adalah dipastikan hadis yang kita teliti “s hih”, perlunya
penelitian seksama tentang keberlawanan suatu hadis dengan al-Qur‟an, Mengenai
hal ini, perlu kiranya diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan
tuduhan adanya keberlawanan antara hadis-hadis dan al-Qur‟an, tanpa dasar yang
sahih.3 Dan adalah kewajiban setiap Muslim untuk tidak menerima begitu saja
hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang muhkam, selama
tidak ada penafsirannya yang dapat diterima. Maka kalaupun ada sebagian dari
kita memperkirakan adanya pertentangan seperti itu, hal itu pasti disebabkan tidak
1 Yȗsuf Qardhâwî, Metode Memahami al-Sunnah dengan Benar. Penerjemah Saifullah
Kamalie, (Jakarta: media dakwah, 1994 M), h. 148 2 Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 55
3 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 101
69
sahihnya hadis yang bersangkutan, atau apa yang diperkirakan sebagai
“pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan bukan pertentangan hakiki.4
Oleh karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ
Hurairah, yang melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang berbunyi :
، عن سهيل، عن أبيو، عن راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي ن رسول أب ىري رة، أ حدلم، فإذا لقيتم أحدىم ف طريق، »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس
5«فاضطروه إل أضيقو
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah
menceritakan kepada kami „Abdu al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari
Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu
salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR.
Muslim)
Hadis ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim
untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendesak siapa saja di antara
mereka ke pinggir jalan.
Hadis lain yang dijadikan dalil untuk larangan mengucapkan salam
terhadap orang-orang non Muslim adalah:
ث نا ث نا أ حد ث نا ىشيم، أخب رن عب يد الل بن أب بكر بن أنس، حد بة، حد نس بن مالك رضي عثمان بن أب شي عنو، قال: قال النب صلى هللا عليو وسلم: " إذا سلم عليكم أىل 6الكتاب ف قولوا: وعليكم الل
4 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 94
5 Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam
Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 4. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1707 6 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 75
70
“Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami
„Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas
bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah
dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
Kedua hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah
dan Imam al-Bukhârî melalui Anas bin Mâlik adalah sahih.
Maka teorinya al-Qardhâwî dalam memahami al-Sunnah dengan
berpedoman pada al- u ‟ n l-Karîm adalah kalaupun ada sebagian dari kita
memperkirakan adanya pertentangan dalam memahami hadis, hal itu disebabkan
apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan
bukan pertentangan hakiki.7 Oleh karenanya, sesuai teorinya al-Qardhâwî
pemahaman hadis harus selalu diintegrasikan dengan ayat-ayat al-Qur‟an,8
Yȗsuf Qardhâwî berpendapat bahwa, keaneka ragaman agama terjadi
sesuai dengan kehendak Allah Swt., yang pasti memiliki hikmah yang besar.
Dalam surat (Yunus [10]: 99) :
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah engkau, engkau memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang mukmin semuanya. (Yunus
[10]: 99).
Masyarakat pertama yang menjadi gambaran kehidupan agama yang
berbeda adalah masyarakat Nabawi di Madinah, ketika Rasulullah Saw., hijrah ke
7 Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 94
8 Afwan Faizin, Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi) V 8, No. 2 (September 2006): h. 137
71
Madinah sudah ada masyarakat Yahudi yang berada di sana. Mengakui
keberadaan Yahudi di sana lalu mengadakan perjanjian yang dikenal dengan
piagam madinah yang terkenal. Kedua pihak ini hidup rukun, saling membantu
dalam keadaan senang ataupun susah inilah yang ditetapkan Islam hidup saling
menghormati satu sama lain bukan dalam permusuhan.9
Hal ini ditegaskan pula oleh firman Allah Swt., dalam surah al-Nisâ‟ ayat
86 yang berbunyi :
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, Maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa)[327]10
. Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu. (Al-Nisâ‟ [4]: 86)
Ini menunjukan bahwa membalas ucapan sesuai dengan yang lebih dulu
kalau tidak dapat dengan yang lebih baik darinya.11
Pada masa jahiliah,
masyarakatnya bila bertemu saling mengucapkan salam antara lain yang berbunyi
,ayyâka Allâh, yakni semoga Allah memberikan untukmu kehidupan (حياك هللا)
dari sini kata tahiyyah secara umum dipahami dalam arti mengucapkan salam.
Islam datang mengajarkan salam bukan dengan ayyâka Allâh atau (أنعم صباحا)
n‟im sabâhan/selamat pagi dan (أنعم مسا ءا) n‟im m s ‟ n/sel m t so e, tetapi
9 Video YuoTube diakses pada tgl 02 oktober 2015 dari https: // www .youtube. com/
watch?v=cFT42sRfg5A dalam acara talkshow “non Muslim di tengah Masyarakat Muslim
Bersama Syeikh Yusuf al Qardhâwî” Courtesy Al-Jazirah, disiarkan langsung dari Doha, Qatar.
Diterbitkan 24 agustus 2013.
10 Penghormatan dalam Islam Ialah: dengan mengucapkan al-Salâmu'alaikum.
11 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Sahih al-Bukhâri, terj. Amir Hamzah :
Fathul Baari, juz 30 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 145
72
yang diajarkannya adalah al-s l mu „ l ikum, bahkan kata inilah yang diucapkan
Allah kepada mereka yang beriman dan memperoleh anugrah-Nya. “kepada
mereka dikatakan: “S l m”, sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang”
(QS. Yâsîn [36]: 58). Kepada para Nabi, Allah mengucapkan/mencurahkan
salam.12
Adapun maksud dari ayat di atas juga ada yang berpendapat bahwa
maksudnya adalah memberi penghormatan yang baik kepada orang-orang Islam,
atau memberi penghormatan dengan yang serupa atas orang-orang kafir.
Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Salim bin
Nuh menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‟id bin Abi Urwah menceritakan
kepada kami dari Al-Qatadah, mengenai ayat (Wa idzâ huyyîtum bitahiyyatin
f h yyȗ bi ahsana minhâ) “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya,” bahwa maksudnya itu untuk (kepada) kaum Muslim (Aw uddȗh )
“atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa,” kepada ahli kitab.13
Abu Ja‟far berpendapat bahwa, itu ditujukan kepada orang-orang Islam.
Maksud dari makna tersebut adalah, diharuskan menjawab salam atas orang
muslim – apabila seseorang memberikan salam kepadanya – dengan yang lebih
baik dari salam yang telah diucapkan untuknya, atau sama seperti yang telah
diucapkan untuknya.14
12
Baca antara lain sekian banyak ayat dalam QS. Al-Safat [37]: 79, 109, 120, 130, 181. 13
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Al-Thabari, terj. Akhmad Affandi
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), juz 2, h. 409 14
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Al-Thabari., juz 2, h. 411
73
Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Ap bil seseo ng hli
kit b membe ik n s l m kep d mu, m k j w bl h, “w „ l ikum” „D n t s
k mu pul ‟.15
Dalam Tafsirnya Al Qurthubi, Ibnu Abbas dan selainnya berkata, “maksud
dari ayat وإذا حييتم بتحية , Jika ia seorang Muslim فحيوا أبحسن منها walaupun kepada
orang non Muslim, maka balaslah salam mereka sebagaimana yang Rasulullah
Saw., sabdakan dengan mengucapkan w „ l ikum.
Dalam Sahih Muslim ada huruf wawu yang terkadang ditulis dan
terkadang tidak („ l ik ) dan ia merupakan riwayat yang maknanya jelas. Adapun
kata „alaika yang bergandengan dengan huruf wawu merupakan huruf ataf yang
menyebabkan kalimat setelahnya mengikuti kalimat sebelumnya. Oleh karena itu
jika hal itu di lakukan, maka non Muslim dan juga orang-orang yang telah
meninggal termasuk dalam kewajiban menjawab salam.
Ahli tafsir berbeda pendapat mengenai hal itu. Pertama, wawu berfungsi
sebagai ataf hanya saja kita menjawab salam mereka dan mereka tidak wajib
menjawab salam kita, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Saw. Kedua,
wawu berfungsi sebagai isti‟naf (permulaan), namun pendapat pertama lebih
utama menurutnya.16
15
Al-Bukhari dalam Al Isti‟dzan (6258), Muslim dalam As-Salam (2163), Abu Daud dalam
Al Adab (5206), dan Ibnu Majah dalam Al Adab (2697) 16
Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), juz. 2, h. 716-717
74
Al-Tabari menukil riwayat dari jalur Ibnu Uyainah, dia berkata, “boleh
memulai salam kepada orang non Muslim berdasarkan firman Allah dalam surat
al-Mumtahanah ayat 817
:
Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak
memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku
adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang adil. (al-
Mumtahanah [60]: 8)
Ibnu Abi Syaibah menukil riwayat dari jalur Aun bin Abdullah, dari
Muhammad bin Ka‟ab bahwa dia menanyakan kepada Umar bin Abdul Aziz
tentang memulai salam kepada ahli dzimmah, maka diapun menjawab, “kita boleh
menjawab salam mereka tapi tidak boleh memulai salam kepada mereka.”
Aun berkata : Lalu aku katakan kepadanya (kepada Muhammad bin
ka‟ab), “menurutmu sendiri bagaimana?” ia menjawab, “menurutku, tidak apa-apa
memulai salam kepada mereka.” Aku bertanya lagi, “mengapa?” ia menjawab,
“karena firman Allah dalam surah Al-Zukhruf ayat 89 menyebutkan فاصفح عنهم وقل
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah, salam„ سلم
(selamat tinggal)‟.”18
Al-Qurthubi mengatakan tentang sabda Nabi Muhammad Saw:
17
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri., h. 135 18
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri., h. 136
75
فإذا لقيتم أحدىم ف طريق، فاضطروه إل أضيقو
(dan jika kalian berjumpa dengan mereka di jalan, maka pepetkanlah
mereka ke bagian yang sempit) maknanya adalah, “janganlah kalian
mempersilahkan mereka di jalan sempit karena memuliakan dan menghormati
mereka”. Dengan demikian, redaksi ini sesuai dengan makna redaksi yang
pertama. Jadi, maknanya bukan jika kalian berjumpa dengan mereka di jalanan
yang luas maka pepetlah mereka di sudutnya sehingga mereka kesempitan, karena
sikap demikian berarti mengganggu mereka, padahal kita dilarang mengganggu
mereka tanpa sebab.
Dan perkataan Nabi Ibrahim kepada ayahnya (yang kafir) dalam surat
maryam ayat 47 :
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu,
aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia
sangat baik kepadaku. (Maryam [19] 47)
Kendati demikian tegas ancaman orang tua Nabi Ibrahim as, Nabi agung
ini masih menjawab dengan halus dengan mengucapkan salam perpisahan. Dia
tidak membantah, apalagi menghardik; dia tidak membalas ancaman dengan
ancaman tetapi dia berkata; „salamun „alaika” selamat berpisah semoga
keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan beristigfar memintakan ampun
atau memohonkan hidayah bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat
baik kepadaku.
76
Janji Nabi Ibrahim as. Untuk bapaknya hanya pada saat itu, namun setelah
adanya larangan, beliau tidak lagi beristigfar sebagaimana dinyatakan dalam QS.
al-Taubah [9] 114; Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk
bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada
bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun.
Janji yang dimaksud ayat al-Taubah ini adalah janji yang disebut oleh ayat
47 surat Maryam ini dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 4.19
Ayat sebelumnya yang senada dengan hadis larangan mengucapkan salam
terhadap non-Muslim, dalam surat al-Taubah ayat 113:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi
mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam. (al-Taubah [9] 113)
Atas dasar hasil identifikasi penulis terhadap hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah dan Imam al-Bukhârî melalui Anas bin
Mâlik setelah diintegrasikan dengan ayat-ayat al-Qur‟an bahwa, kita
diperbolehkan untuk membalas salam terhadap non-Muslim bahkan membalasnya
dengan yang lebih baik dalam konteks persaudaraan, perdamaian, dan menjaga
stabilitas kerukunan umat beragama. Adapun mengucapkan salam sendiri tetap
19
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 8, h. 200-201
77
tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa, surat al-Taubah ayat 113-114
memberikan penjelasan bahwa yang benar mengenai ayat ini adalah sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Uyainah.20
Mengenai hadis Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Muslim menunjukkan agar tidak lebih dulu memberikan salam
kepada mereka, karena sikap itu merupakan bentuk penghormatan.
B. Memadukan atau Mentarjih Antara Hadis-Hadis yang Kontradiktif
(dalam hadis larangan mengucapkan salam terhadap non-muslim)
Menurut al-Qardhâwî, nas-nas sy i‟ t tidak mungkin saling bertentangan.
Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya
dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Dan atas dasar
itu, wajib menghilangkannya dengan cara:
Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau
menyesuaikan antara kedua nas, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada,
sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama
daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Dalam hal ini al-Qardhâwî
menegaskan bahwa penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan.21
Oleh karenanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ
Hurairah yang melarang mengucapkan salam terhadap non Muslim sebagai
berikut:
20
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008), jilid 11, h. 299 21
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 118
78
، عن سهيل، عن أ راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي بيو، عن أب ىري رة، أن رسول حدلم، فإذا لقيتم أحدىم ف طريق، »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس
22«فاضطروه إل أضيقو
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah
menceritakan kepada kami „Abdu al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari
Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu
salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR.
Muslim)
Berkenaan dengan hadis di atas tentang larangan mengucapkan salam dan
anjuran untuk berbuat kasar terhadap non Muslim, sesuai dengan arahan metode
al-Qardhâwî penulis akan menggabungkan atau menyesuaikan dengan beberapa
hadis Nabi lainnya yang tentu sama-sama sahih.
Pertama, Perlu pula memperhatikan hadis Nabi Saw., yang melalui Anas
bin Malik yang mengatakan bahwa:
ث نا عثمان ث نا أنس بن حد ث نا ىشيم، أخب رن عب يد الل بن أب بكر بن أنس، حد بة، حد مالك رضي بن أب شي عنو، قال: قال النب صلى هللا عليو وسلم 23ف قولوا: وعليكم : " إذا سلم عليكم أىل الكتاب الل
“Telah menceritakan kepada kami „Utsmân bin Abî Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami
„Ubaidillah bin Abî Bakri bin Anas, telah menceritakan kepada kami Anas
bin Mâlik ra, bahwasanya Rasulallah Saw bersabda “Jika seorang ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah
dengan ucapan wa‟alaikum.” (HR. Al-Bukhârî)
Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî di atas menunjukkan bahwa
orang-orang Muslim wajib menjawab salam yang diucapkan oleh Ahli Kitab.
Meskipun dalam hadis ini yang disebut adalah Ahli Kitab, tentu saja salam yang
22
Imam Muslim, Shahih Muslim., h. 1707 23
Imam Bukhari, Shahih Bukhari., h. 75
79
wajib dijawab oleh orang-orang Muslim bukan hanya salam Ahli Kitab tetapi juga
salam orang-orang non Muslim lain.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam bukunya Fathul Bâri menjelaskan tentang
mengucapkan salam dalam perkumpulan yang terdiri dari orang-orang Muslim
dan orang-orang Musyrik. Pada pembahasan ini Imam Bukhârî mencantumkan
hadis Usamah bin Zaid yang menceritakan kisah Abdullah bin Ubai.
Dalam hadis Usamah bin Zaid disebutkan, حت مر ف اجمللس فيو أخلط من
Hingga beliau melewati suatu kumpulan orang yang terdiri dari) املسلمني و املشركني
kaum Muslimin, kaum musyrikin), dan disebutkan صلى هللا عليو و سلم فسلم عليهم النب
(Lalu Nabi Saw., mengucapkan salam kepada mereka).
Al-Tabari berkata: tidak ada kontradiksi antara hadis Usamah yang
menyebutkan ucapan salam Nabi Saw., kepada orang-orang kafir yang sedang
bersama orang-orang Islam, dengan hadis Abu Hurairah yang melarang
mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat
umum sedangkan hadis Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu
Hurairah khusus dalam kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa
keperluan yang terkait dengan hak persahabatan, atau bertetangga, atau membalas
kebaikan dan sepertinya. Maksudnya adalah melarang memulai salam kepada
mereka dengan salam yang disyariatkan.24
24
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri., h. 136
80
Diriwayatkan oleh al-Darimi dan al-Tirmidzi melalui „Abdullah bin Salâm
yang menjelaskan tentang anjuran menyebarkan salam kepada seluruh manusia,
anjuran ini bukan hanya kepada seorang Muslim ataupun Ahli Kitab.
د بن جعفر ، ومم اب الث قفي ث نا عبد الوى ار، قال: حد د بن بش ث نا مم ، ويي بن سعيد، حد ، وابن أب عديا ق ، عن زرارة بن أوف، عن عبد هللا بن سلم، قال: لم يلة األعراب دم رسول هللا صلى عن عوف بن أب ج
اس إليو، وقيل: قدم رسول هللا صلى الل عليو وسلم، فجئت ف الناس الل عليو وسلم المدينة انفل الن ا است ب نت وجو رسول هللا صلى الل عليو وسلم عرفت أن وجهو ليس اب وكان أ ألنظر إليو، ف لم ول بوجو ك
لم، وأطعموا شيء تكلم بو أن قال الطعام، وصلوا والناس نيام تدخلون اجلنة : ي أي ها الناس، أفشوا الس بسلم.
25ىا حديث صحيح.
“Wahai seluruh manusia! Sebarkan salam, berilah makanan,
sambunglah tali kekerabatan, dan shalatlah saat orang-orang tidur niscaya
kamu masuk surga dengan aman”. (HR. Al-Darimi dan Al-Tirmidzi) Al-
Tirmidzi berkata, “Hadis s hih”.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim melalui
„Abdullah ibn Amru dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah
mengucapkan salam kepada orang non Muslim boleh atau dilarang :
ث نا ث نا الليث، عن يزيد، حد هما، عمرو بن خالد، قال: حد عن عن أب اخلي، عن عبد الل بن عمرو رضي اللر؟ قال: لم على من »أن رجل سأل النب صلى هللا عليو وسلم: أي اإلسلم خي تطعم الطعام، وت قرأ الس
26عرف عرفت ومن ل ت
Hadis ini menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah
Saw., tentang Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab: “Memberikan
25
Imam al-Turmidzy, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Isa
Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam Juz 4, hadis ke-2485, ( Daar
al-Fikr,Beirut), h. 233 26
Imam Bukhari, Shahih Bukhari.,h. 12
81
makanan dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang
tidak engkau kenal”.
Makna zahir ungkapan “siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak
engkau kenal” dalam hadis ini menunjukan keumuman pada seluruh manusia (kull
al-nâs), baik yang beriman maupun yang kafir, karena makna zahir ini
menunjukan bahwa salam adalah milik Allah Swt., bukan untuk pemenuhan hak
pengenalan.
Dengan dua perangai ini (memberikan makanan dan menyebarkan salam),
kepercayaan dan keamanan akan sempurna, cinta dan harmoni akan terwujud,
kebahagiaan dan kedamaian akan menjadi agung, dan fenomena-fenomena Islam
dengan bentuk-bentuk ini semua akan menjadi tampak nyata. Hadis ini
menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah agama solidaritas dan kedamaian.27
Karena itu, dengan menggabungkan dan menyesuaikan antara hadis Imam
Muslim melalui Abȗ Hurairah dengan hadis-hadis lainnya bukan berarti dalam
penjama‟an ini penulis berupaya untuk menghilangkan atau menumpulkan legal
standing hadis Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah tersebut, tetapi tentu kedua-
duanya setelah digabungkan memiliki peranan masing-masing dalam konteks
masing-masing pula. Tidak ada kontradiksi antara hadis satu dengan hadis yang
lainnya. Dengan hadis Abu Hurairah yang melarang mengucapkan salam kepada
orang-orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat umum sedangkan hadis
Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu Hurairah khusus dalam
kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa keperluan yang terkait
27
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 73
82
dengan hak persahabatan, atau bertetangga, atau membalas kebaikan dan
sepertinya. Maksudnya adalah melarang memulai salam kepada mereka dengan
salam yang disyariatkan.
C. Memahami Hadis Dengan Memperhatikan Konteks Historis,
Hubungan dan Tujuannya. (dalam hadis larangan mengucapkan
salam terhadap non-muslim)
Al-Qardhâwî berpendapat bahwa, suatu hukum yang dibawa oleh suatu
hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan untuk waktu tak terbatas, namun
jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan
dengan suatu „ill h tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang
„ill h-nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku „ill h-nya.
Oleh karenanya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ
Hurairah yang berbunyi:
، عن سهيل، عن أبيو، عن راوردي ث نا عبد العزيز ي عن الد بة بن سعيد، حد ث نا ق ت ي أب ىري رة، أن رسول حدل »هللا عليو وسلم قال: هللا صلى م، فإذا لقيتم أحدىم ف طريق، ل ت بدءوا الي هود ول النصارى بلس
28«فاضطروه إل أضيقو
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa‟îd, telah
menceritakan kepada kami „Abd al-“azîz yakni al-Darâwardiyya, dari
Suhail, dari bapanya, dari Abî Hurairah, bahwasannya Rasulullah
Sallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian awali
mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu
salah seorang mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR.
Muslim)
Perlu dicatat bahwa, dalam memahami hadis Nabi ini, selain dari dipahami
dengan berpedoman pada al- u ‟ n l-Karîm dan dengan menggabungkannya,
28
Imam Muslim, Shahih Muslim., h. 1707
83
maka selanjutnya penulis teliti melalui konteks historis (asbâb al-wu ȗd), kondisi
lingkungan dan untuk tujuan apa ia diucapkan. Sehingga dengan demikian
maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang
menyimpang dan terhindar dari ditetapkan dalam pengertian yang jauh dari tujuan
sebenarnya.29
Pada umumnya mayoritas fuqaha30
dan banyak ulama berpendapat bahwa
hukum mengucapkan salam kepada non-Muslim adalah haram, terlarang. Sahabat
Nabi Saw., Ibn „Abbâs dan sekelompok ulama selain beliau berpendapat
demikian.31
Larangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw., Nabi berkata:
“J ng nl h k mu memul i (menguc pkan) salam kepada orang-orang Yahudi
dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah
di ke pinggi .” Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah. Hadis
ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang
Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap
kasar terhadap mereka, yaitu dengan mendesak siapapun di antara mereka ke
pinggir jalan. Hadis ini menampilkan Islam dengan wajah garang dan kasar.
Hadis lain yang dijadikan dalil untuk larangan mengucapkan salam kepada
orang-orang non-Muslim adalah hadis yang menceritakan bahwa sekelompok
orang-orang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad Saw., sambil mengucapkan
(al-s m „ l ikum) ”kematian bagimu”, “celaka bagimu”, “kehinaan bagimu”.
29
Yȗsuf Qardhâwî, bagaimana memahami hadis Nabi Saw., h. 131-132 30
Imam Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhadzdzab, penerjemah Abdul Somad, Umar
Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 1037 31
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., Vol. 2, h. 539
84
Melihat peristiwa itu, Aisyah, istri Nabi, mengucapkan (w ‟ l ikum l-sâm wa al-
l ‟n h) “Dan bagimu kematian dan laknat” kepada tamu Yahudi yang tidak sopan
itu. Nabi menegur Aisyah, perlahan-lahan, hai Aisyah. Sesungguhnya Allah
menyukai keramahan dalam semua urusan. Maka Aisyah bertanya kepada beliau,
“Ya Rasulallah. Apa engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”
Rasulullah menjawab, “Aku telah mengucapkan w ‟ l ikum (bagimu [kematian]).
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari melalui Aisyah.
Namun petunjuk Nabi Saw., yang melarang memulai salam kepada orang
Yahudi dan Nasrani, (HR. Muslim dari Abu Hurairah) ini karena ketika itu
permusuhan mereka sudah sangat jelas: “me ek tid k henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu, mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan
oleh h ti me ek lebih bes l gi” ( S. Ȃl „Im n [3]: 118).
Larangan Nabi mereka pahami dalam konteks zamannya, dimana orang-
orang Yahudi mengucapkan (االس)م عليكم al-s m „ l ikum bukan al-salâmu
„ l ikum, yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. Sehingga ketika itu,
kalaupun harus dijawab, dijawab dengan (عليكم) „alaikum (tanpa wa) yakni
“terhadap kalian kutukan itu” bukan terhadap kami, atau (و عليكم) wa‟alaikum
(dengan wa) yakni “terhadap kami kematian pasti datang dan terhadap kalianpun
demikian”. (عليك السلم) „Al ik s l m atau salam yang tidak disertai dengan wa
85
(dan) menurut Nabi Saw., adalah salam untuk orang-orang mati” (HR. Abu Daud
dan at-Tirmizi).32
Ada sembilan hadis lain yang pada intinya, meskipun dengan redaksi-
redaksi yang sedikit berbeda, sama dengan hadis ini. Sembilan hadis ini
diriwayatkan oleh al-Bukhari melalui tiga orang: enam hadis melalui Aisyah, dua
hadis melalui Abdullah Ibn Umar, dan satu hadis melalui Anas Ibn Malik.
Larangan hadis ini para ulama memahaminya dalam konteks zamannya.
Beberapa catatan tentang sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
ini perlu mendapat perhatian. Pertama, salam yang diucapkan oleh orang-orang
Yahudi adalah salam penghinaan, yaitu “al-sâm „ l ikum” bukan salam
perdamaian, yaitu “al-s l mu „ l ikum”. Kedu , yang memulai mengucapkan
salam, yaitu salam penghinaan, adalah orang-orang Yahudi bukan Nabi. Ketiga,
sikap para tamu Yahudi itu terhadap Nabi adalah sikap kebencian dan
permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan. Keempat, Nabi menegur
Aisyah agar tidak bertindak kasar dan tidak melaknat para tamu yang tidak sopan
itu karena Allah mencintai keramahan dan kelembutan. Kekasaran dan ketidak
sopanan tamu tidak boleh menghilangkan keramahan dan kelembutan penerima
tamu. Kelima, karena itu, cukup bagi Nabi untuk menjawab salam orang-orang
Yahudi itu dengan “wa‟alaikum” (dan bagimu [kematian].33
Jika syariaat islam dilaksanakan sebagaimana mestinya maka tidak
menjadi masalah, karena syariaat islam datang dengan kemaslahatan untuk
kehidupan dunia dan akhirat. Untuk muslimin dan non muslimin datang dengan
32
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah., Vol. 2, h. 515 33
Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama., h. 69-70
86
keadilan, kebebasan, kemuliaan, kehormatan, persamaan.34
Oleh karenanya,
penetapan hukum mengucapkan salam terhadap non Muslim harus berdasarkan
penelusuran konteks historis dan tujuannya pada zaman Rasulullah Saw.,
sehingga tidak terjadi kesalah pahaman dan ketidak benaran dalam menafsirkan
pemahaman hadis tersebut. Di Indonesia banyak orang Muslim dan non Muslim
saling hidup berdampingan, bersahabat, dan bahkan satu lingkup keluarga, dalam
konteks seperti itu tidak mungkin hadis Imam Muslim yang melalui Abu
Hurairah, yang melarang memulai mengucapkan salam kepada non Muslim
bahkan menyuruhnya untuk memepetkannya hingga ke pinggir jalan diaplikasikan
dalam konteks kerukunan. Tetapi, hadis tersebut bukan berarti penulis anggap
tidak digunakan lagi, namun penerapan hadis tersebut harus sesuai konteks.
34
Video YuoTube diakses pada tgl 02 oktober 2015 dari https: // www .youtube. com/
watch?v=cFT42sRfg5A dalam acara talkshow “non Muslim di tengah Masyarakat Muslim
Bersama Syeikh Yusuf al Qardhâwî” Courtesy Al-Jazirah, disiarkan langsung dari Doha, Qatar.
Diterbitkan 24 agustus 2013.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan hadis larangan mengucapkan dan menjawab
salam terhadap non Muslim dengan diteliti melalui 3 metode al-Qardhâwî, penulis
mendapatkan kesimpulan bahwa:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Abȗ Hurairah,
yang melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang
Yahudi dan Nasrani, setelah diteliti melalui metodenya al-Qardhâwî
dengan berpedoman pada al-Qur’ân al-Karîm, kita diperbolehkan
untuk membalas salam terhadap non-Muslim bahkan membalasnya
dengan yang lebih baik dalam konteks persaudaraan, perdamaian, dan
menjaga stabilitas kerukunan umat beragama atas dasar surat al-Nisâ‟
[4]: 86. Adapun mengucapkan salam sendiri tetap tidak diperbolehkan
dengan alasan bahwa, surat al-Taubah ayat 113-114 memberikan
penjelasan bahwa yang benar mengenai ayat ini adalah sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Uyainah.1 Mengenai hadis Abu Hurairah
yang diriwayatkan oleh Muslim menunjukkan agar tidak lebih dulu
memberikan salam kepada mereka, karena sikap itu merupakan bentuk
penghormatan.
2. Kedua, dengan metodenya Memadukan atau mentarjih antara hadis-
hadis yang kontradiktif bahwa, hadis yang diriwayatkan oleh Imam
1 Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), jilid 11, h. 299
88
Muslim melalui Abȗ Hurairah setelah dipadukan dengan hadis-hadis
lain yang tentu sama-sama sahih. Yaitu dengan hadis al-Bukhârî
melalui Anas bin Malik, Al-Darimi dan Al-Tirmidzi melalui „Abdullah
bin Salâm, dan al-Bukhârî dan Muslim melalui „Abdullah Ibn Amru,
memberikan penjelasan bahwa, kedua-duanya setelah digabungkan
memiliki peranan masing-masing dalam konteks masing-masing pula.
Tidak ada kontradiksi antara hadis satu dengan hadis yang lainnya.
Dengan hadis Abu Hurairah yang melarang mengucapkan salam kepada
orang-orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat umum sedangkan
hadis Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu Hurairah
khusus dalam kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa
keperluan yang terkait dengan hak persahabatan, atau bertetangga, atau
membalas kebaikan dan sepertinya. Maksudnya adalah melarang
memulai salam kepada mereka dengan salam yang disyariatkan.
3. Dan yang terakhir dengan memperhatikan konteks historis, hubungan
dan tujuannya. Larangan Nabi atas ucapan salam terhadap non Muslim
dipahami dalam konteks zamannya, dimana orang-orang Yahudi
mengucapkan (االس)ـ عليكم al-sâm ‘alaikum bukan al-salâmu ‘alaikum,
yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. Sehingga ketika itu,
kalaupun harus dijawab, dijawab dengan (عليكم) „alaikum (tanpa wa)
yakni “terhadap kalian kutukan itu” bukan terhadap kami, atau (و عليكم)
wa‟alaikum (dengan wa) yakni “terhadap kami kematian pasti datang
89
dan terhadap kalianpun demikian”. (عليك السالـ) ‘Alaika salâm atau
salam yang tidak disertai dengan wa (dan) menurut Nabi Saw., adalah
salam untuk orang-orang mati” (HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi). Dan
Oleh karenanya, penetapan hukum mengucapkan salam terhadap non
Muslim dengan berdasarkan penelusuran konteks historis dan tujuannya
pada zaman Rasulullah Saw., dilarangnya pada waktu itu dengan alasan
ketika itu permusuhan mereka sudah sangat jelas terhadap Nabi Saw.
Maka, ketika konteks dimana orang-orang non-Muslim mengucapkan
salamnya dalam term “al-Sâmu „alaikum” jelas kita dilarang untuk
mengucapkan dan menjawabnya cukup dengan kalimat “wa‟alikum”
sesuai dengan hadis al-Bukhâri yang melalui Anas bin Mâlik.
90
B. Saran
Setelah melalui proses pembahasan dan pengkajian tentang pemahaman
hadis larangan mengucapkan dan menjawab salam terhadap non Muslim studi
metode Yȗsuf al-Qardhâwî. Kiranya penulis perlu untuk mengemukakan beberapa
saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut di atas;
Dalam skripsi ini penulis membahas tentang pemahaman hadis larangan
mengucapkan dan menjawab salam terhadap non Muslim dengan menggunakan
metode pemahaman hadis Yȗsuf al-Qardhâwî, Pertama, Fahm al-Sunnah fî Dau’i
al-Qur’ân al-Karîm. Kedua, Al-Jam’u au al-Tarjîh baina Mukhtalif al-Hadîts.
Ketiga, Fahm al-Hadîts fî Dau’i Asbâbihâ wa Malâbisâtihâ wa Maqâsidihâ.
Dengan ketiga metode ini penulis menemukan pemahaman yang mendalam
terkait pesan dan tujuan hadis tersebut. Dengan demikian, dalam pemahaman
hadis Nabi dapat terhindar dari sikap mudah terpancing untuk menyalahkan
kesahihan hadis tersebut. Sementara setelah dipahami dengan menggunakan
ketiga metode itu ternyata hadis tersebut diucapkan oleh Rasulullah ketika saat itu
sikap orang-orang non Muslim sudah sangat jelas dalam permusuhannya dan ada
hadis-hadis lain juga yang menganjurkan untuk kita supaya dapat bersikap lemah
lembut dan menyebarkan salam ke seluruh manusia, kepada orang yang kita kenal
dan yang tidak dikenal. Oleh karenanya disarankan kepada jurusan TH untuk
lebih giat lagi mengadakan kajian-kajian kritik terhadap hadis dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan yang komprehensif. Sehingga hadis Nabi
tidak hanya dipahami secara tekstual semata yang berakibat menjauhkan makna
substansi hadis tersebut dan menjadikan kesalahan dalam memahaminya.
91
Pembahasan dalam skripsi ini bukanlah pembahasan yang sempurna.
Terlepas dari kemampuan dan keterbatasan, maka penulis sangat mengharapkan
kritik dan koreksi yang bisa lebih menyempurnakan pembahasan ini. Namun
demikian tidak menghalangi adanya penelitian selanjutnya yang bisa optimal
dalam membahas permasalahan ini.
92
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Al-Hafid ibn Hajar, Bulughul Maraam, Bab kitab al-Jāmi‟, no 1474.
................. Fathul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri, terj. Amir Hamzah : Fathul
Baari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah bulughul maram, terj. Thahirin
Suparta, dkk. : Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007.
Abu Daud, Imam, Sunan Abu Daud dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi
Daud Sulaiman bin al-Asy`ats al-Sajistaniy, Sunan Abu Daud jilid 4,
Beirut : Daar al-a‟Alam.
Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah bayna ahl al-Fiqh wa ahl al-hadits, kairo,
1989; buku ini edisi berbahasa indonesianya diterbitkan Mizan (1999)
berjudul Studi kritis atas Hadis Nabi Saw, antara pemahaman tekstual dan
kontekstual.
al-Madiny, Al-Muttaqi al-Syadzaily, Kanz al-‘Umal fi Sunan al-Aqwal wa al-
Af’al, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1409 H.
al Munawar, Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, Ciputat: PT. Ciputat
Press, 2005.
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Abi al-Husain Muslim ibn al-hajjaj, Shahih Muslim,
kairo: Daar ibn Jauzi. 2010.
Al-Qardhâwî, Yȗsuf, Kaifa nata’âmal ma’a as-sunnah an-nabawiyah, ma’âlim
wa dhawâbith, terj. Drs. H. Saifullah Kamalie, Metode Memahami As-
Sunnah Dengan Benar, Jakarta: media dakwah, 1994 M.
.................. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Bandung: Karisma, 1994.
.................. Fatwa-fatwa kontemporer, Penerjemah As‟ad Yasin, Jakarta: Gema
Insani Press, 1995.
93
.................. Perjalanan Hidupku I, (Judul asli: Ibn al-Qaryah wa al-Kuttâb
Malâmi h S rah wa Mas rah, penerjemah: H. Cecep Taufikurrahman, Lc.
Dan H Nandang Burhanuddin, Lc., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.
................. Huda Al-Islam Fatawa Mu’ashir, alih bahasa Abdurrahman Ali
Bauzir, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
................ Memahami Khazanah Klasik, Mazhab dan Ikhtilaf, alih bahasa oleh
Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Al Qurthubi, Imam, Tafsir Al Qurthubi, terj. Ahmad Rijali Kadir Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008, juz. 2.
Ar-Rifa‟i, Muhammad Nasib, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu
Katsir, Jil. 1, terj. Drs. Syihabuddin, ringkasan tafsir ibnu katsir, jakarta:
Gema insan press, 1999.
Artikel diakses pada 21 September 2015 dari http://menjadihebat.blogspot.co.id
/2012/05/teks-asli-piagam-madinah-beserta.html
Al-Turmidzy, Imam, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi
Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam
Juz 5. Daar al-Fikr,Beirut.
Bakhtiar, Amsal, dkk., pedoman akademik program strata 1,UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012/2013.
Brown, Daniel W, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, Bandung:
Mizan, 2000.
Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat
juga, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari,
Juz < Indonesia: Maktabah, Dahlan, t.th.
Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia,
Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997.
Hambal, Imam Ahmad ibn, Musnad Imam Ahmad Hambal, (Beirut : al-Maktub
al-islam, 1978 M), juz =, hadis ke-9665.
94
Hidayat, Komaruddin, Agama punya seribu nyawa, Jakarta: Noura books, 2012.
Jarir Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin, Tafsir Ath Thabari, terj. Akhmad
Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, juz 2.
Muslim, Imam, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga
Imam Muslim, Shahih Muslim, hadis no. 2167, juz 8. kairo: Daar ibn
Jauzi. 2010.
Muhayyidin, M.R. Bawa, Islam Untuk Kedamaian Dunia, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2010 M.
Madjid, Nuecholish, dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004.
Muhammad al-Sa‟id bin Buyuni Zaghlȗl, Abu Hajar, Maus ’ah A râf al-
a ts,Jilid 1, Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah,t.t.
Muhammad Fu‟ad „abdul baqi, Miftâ u Kun al-Sunah, Lahore: Isaroh
Tarjamanu al-Sunah, 1931.
Ma‟ruf, Djamhari, Iradikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesat? Dalam
Bahtiar Effendi dan Soe Trisno Hadi(ed.), Agama dan Radikalisme, East
Lansing: Nuqtah, 2007.
Nashir, Ridlwan, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Yogyakarta: pustaka pesantren,
2014.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011
Nawawi, Imam, Al-Majmu’ Syarah Al Muha ab, terj. H. Abdul Somad Lc.,
MA., Umar Mujtahid, Lc. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
Nasuhi, Hamid, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Ciputat: CeQDA (Center
for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Pongsibanne, Lebba Kadore, Islam dan Budaya Lokal, Ciputat: mazhab ciputat,
2013.
95
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. As‟ad Yasin, dkk. Jakarta: gema
Insani Press, 2000, cet. 1, jild. 2, juz 5.
Rachaman, Budi Munawar, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, Jakarta:
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007.
Shihab, Dr. Alwi, Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama,
Bandung: Mizan, 1999
Sayyid Quth, Fī D ilāl al-Qur’ān,tt., Manqahah Mufharisah, cet. 6, t.th., jild. 2,
juz 5.
Syekh Manshur Ali Nashif al-Taj, al-Jam’u Li Ushul fi al-Hadits al-Rasul, Beirut:
Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1961 M-1381 H.
Siradj, Said Aqiel, “Meneguhkan Islam Toleran”, dalam Republika, 14 April
2007.
Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Vol. 9.
Video YuoTube diakses pada tgl 02 oktober 2015 dari https: // www .youtube.
com/ watch?v=cFT42sRfg5A.
Winano Surahmad, Pengantar penelitian ilmiah dasar metode tehnik, Bandung:
Tarsito, 1994
Wensinck, A.J. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâ i al- a ts al-Nabawî, Jilid 5.
Leiden: E.J. Bill 1936.
Skripsi :
Fatimah, Ai Popon, “Salam terhadap non-Muslim perspektif hadis”, Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2014.
Mujahid, Said, “Hadis larangan mengucapkan salam terhadap non muslim”,
(Studi teori fungsi penafsiran Jorge J.E Gracia), Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Muhammad, Lukman Zain Sakur, “Metode memahami hadis menurut Dr. Yuausf
al-Qardhâwi: Analisis strukturalisme-Semiotik atas buku Kaifa Nata‟amal
96
ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah”, Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007.
Zuraidah Hafni, “Piagam Madinah dari perspektif kebudayaan”, Skripsi s 1
Program studi sastra arab, Universitas Sumatra Utara 2009.
Jurnal :
Hidayatullah, Furqan Syarif, Jurnal pendidikan agama islam – Ta’lim Vol. 9 No.
1 – 2011.
Hasan, Zulkifli, “Yȗsuf al-Qaradawi and Contribution of His Thoughts”, Vol, no
3 Issue 1 (Juni 2013): h. 53.
Faizin, Afwan, “Metode fuqaha dalam memahami hadis (Studi pendekatan Yusuf
Qardhawi)”, V 8, No. 2 (September 2006): H. 137.
Ghazali, Adeng Muchtar, “Teologi kerukunan beragama dalam Islam (Studi
Kasus Kerukunan Beragama di Indonesia)”, Vol XIII, Nomor 2,
Desember 2013, h. 285.
97
LAMPIRAN
Takhrij Hadis:
1. Bagaimana menjawab salam Ahl al-Dhimmah
a. Sumber : Sahih al-Bukhari, kitab : meminta Izin, Bab : bagaimana
menjawab salam Ahl al-Dhimmah, No. Hadis : 6258
ثػنا ىشيم، أخبػرن عبػيد الل بن أب بكر بن أنس، ح - 8526 بة، حد ثػنا عثماف بن أب شيػ ثػنا أنس بن حد د
عنو، قاؿ: قاؿ النب صلى هللا عليو وسلم: " إذا سلم عل يكم أىل الكتاب فػقولوا: وعليكم مالك رضي الل
"2
b. Sumber : Sahih al-Bukhari, kitab : Meminta taubat orang-orang murtad
dan para pembangkang serta memerangi mereka, Bab : Jika Ahl al-
Dhimmah mencela Nabi Saw, No. Hadis : 6926
ثػنا ممد ب - 8258 ، أخبػرن شعبة، عن ىشاـ بن زيد بن أنس بن حد ن مقاتل أبو احلسن، أخبػرن عبد الل
عت أنس بن مالك، يػقوؿ: مر يػهودي برسوؿ الل صلى هللا عليو وسلم فػق ـ عليك، اؿ: الس مالك، قاؿ: س ا
[ الل صلى هللا عليو وسلم: " 68فػقاؿ رسوؿ ]ص:« وعليك »فػقاؿ رسوؿ الل صلى هللا عليو وسلم:
2 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 8 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 57
98
، أال نػقتػلو؟ قاؿ ـ عليك " قالوا: ي رسوؿ الل : " ال، إذا سلم عليكم أىل أتدروف ما يػقوؿ؟ قاؿ: السا
3الكتاب، فػقولوا: وعليكم "
c. Sumber : Ibn Majah, Kitab : Adab, Bab : Menjawab salam Ahl al-
Dhimmah, No. Hadis : 3697
ثػنا عبدة بن سليماف، وممد - 7823 ثػنا أبو بكر قاؿ: حد بن بشر، عن سعيد، عن قػتادة، عن أنس حد
تاب فػقولوا: بن مالك قاؿ: قاؿ رسوؿ الل صلى هللا عليو وسلم: " إذا سلم عليكم أحد من أىل الك
4وعليكم "
d. Sumber : Ibn Majah, Kitab : Adab, Bab : Menjawab salam Ahl al-
Dhimmah, No. Hadis : 3698
ثػنا أبو معاوية، عن العمش، عن مسلم، عن مسروؽ، عن عائشة: - 7826 ثػنا أبو بكر قاؿ: حد أنو حد
ـ عليك ي أب القاسم، فػقاؿ: أتى النب صلى هللا عليو وسلم نس من 5«وعليكم »اليػهود فػقالوا: السا
e. Sumber : Musnad Ahmad, Kitab : Musnad sahabat yang banyak
meriwayatkan hadis, Bab : Musnad Abdullah bin Umar bin al-Khattab RA,
No. Hadis : 5221
3 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 9 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 15 4 Al-Hafidz Abi „ Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibnu
Majah (kairo : Daar al-kutub al-Sirri), juz 6, hadis ke- 7:=;, hal. 1219.
5Al-Hafidz Abi „ Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibnu
Majah (kairo : Daar al-kutub al-Sirri), juz 6, hadis ke- 7:=<, hal. 1219.
99
ثػنا وكيع - 2556 ثػنا سفياف، وعبد الرحن، عن سفياف، عن عبد الل بن دينار، عن ابن عمر قاؿ: حد ، حد
ـ عليكم، فػقو 6عليكم "لوا: و قاؿ رسوؿ الل صلى هللا عليو وسلم: " إف اليػهود إذا لقوكم قالوا: السا
2. Larangan Memulai Salam kepada non-Muslim
Sumber : Tirmidhi, Kitab : Meminta izin dan Adab, Bab : Mengucapkan salam
untuk Ahl al-Dhimmah, No. Hadis :
ثػنا عبد العزيز بن ممد، عن سهيل - 5322 بة قاؿ: حد ثػنا قػتػيػ بن أب صالح، عن أبيو، عن أب حد
، وإذا لقيتم أحدىم ف »ىريػرة، أف رسوؿ الل صلى الل عليو وسلم قاؿ: ال تػبدأوا اليػهود والنصارى بلسالـ
7«ا حديث حسن صحيح ىذ «: »طريق فاضطروه إل أضيقو
3. Memberi Salam dalam Majlis yang Berisi Kaum Muslim dan Musyrik
Sumber : Sahih Muslim, Kitab : Jihad dan ekspedisi, Bab : Do‟a Nabi
kepada Allah dan kesabarannya dalam menghadapi gangguan orang-orang
Munafik, No. Hadis : 1798
ثػنا إسحاؽ بن إبػراىيم احلنظلي، وممد بن رافع، وعبد بن حيد، واللفظ البن 6326) - 668 رافع، ( حد
ثػنا، وقاؿ الخراف: أخبػرن عبد الرزاؽ، أخبػرن معمر، عن ا ، عن عروة، أف أسامة قاؿ ابن رافع: حد لزىري
فدكية، وأردؼ وراءه أسامة بن زيد، أخبػره، أف النب صلى هللا عليو وسلم ركب حارا عليو إكاؼ تتو قطيفة
6Imam Ahmad ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Hambal, (Beirut : al-Maktub al-islam,
1978 M), juz =, hadis ke-9665, hal. 182 7 Lihat Imam al-Turmidzy, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Isa
Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam Juz 5. ( Daar al-
Fikr,Beirut), h. 60
100
ن احلارث بن الزرج، وذاؾ قػبل وقػعة بدر، حت مر بجلس فيو أخالط من وىو يػعود سعد بن عبادة ف ب
، وف المجلس عبد هللا 6257المسلمني، والمشركني عبدة الوثف، واليػهود، فيهم ]ص: [ عبد هللا بن أب
نا، بن رواحة، فػلما غشيت المجلس عجاجة الدابة، خر عبد هللا بن أب أنػفو بردائو، وا عليػ ث قاؿ: ال تػغب
عاىم إل هللا، وقػرأ عليهم القرآف، فػقاؿ عبد هللا فسلم عليهم النب صلى هللا عليو وسلم، ث وقف، فػنػزؿ فد
: أيػها المرء، ال أحسن من ىذا إف كاف ما تػقوؿ حقا، فال تػؤذن ف مالسنا وا رجع إل رحلك، فمن بن أب
ليو، فػقاؿ عبد هللا بن رواحة: اغشنا ف مالسنا، فإن نب ذلك، قاؿ: فاستب جاءؾ منا فاقصص ع
المسلموف والمشركوف واليػهود حت هوا أف يػتػواثػبوا، فػلم يػزؿ النب صلى هللا عليو فضهم، ث ركب وسلم
يريد عبد هللا -دابػتو حت دخل على سعد بن عبادة، فػقاؿ: " أي سعد، أل تسمع إل ما قاؿ أبو حباب؟
فح، فػوهللا، لقد أعطاؾ هللا الذي أعطاؾ، قاؿ: كذا وكذا "، قاؿ: اعف عنو ي رسوؿ هللا، واص -بن أب
بوه بلعصابة، فػلما رد هللا ذلك ب رة أف يػتػوجوه فػيػعص حلق الذي أعطاكو، شرؽ ولقد اصطلح أىل ىذه البحيػ
8رأيت، فػعفا عنو النب صلى هللا عليو وسلم، بذلك، فذلك فػعل بو ما
4. Bagaimana Menulis Surat Kepada non-Muslim
a. Sumber : Sahih Muslim, Kitab : Jihad dan ekspedisi, Bab : Surat Nabi Saw
kepada Hiraclius, No. Hadis : 1773
8 Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam
Muslim, Shahih Muslim, juz 3. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1422, hal.
101
ثػنا إسحاؽ بن إبػراىيم احلنظلي، وابن أب عمر، وممد بن رافع، وعبد بن حي 6337) - 32 د، ( حد
ثػنا، وقاؿ الخراف: أخبػرن ع بد الرزاؽ، أخبػرن معمر، واللفظ البن رافع، قاؿ ابن رافع: وابن أب عمر، حد
بة، عن ابن عباس، أف أب سفياف، أخبػره ، عن عبػيد هللا بن عبد هللا بن عتػ من فيو إل فيو، قاؿ: عن الزىري
نا أن بلشاـ انطلقت ف المدة الت كانت بػين وبػني رسوؿ هللا صلى هللا عليو وسلم، قاؿ: فػبػيػ
، قاؿ: وك 6722]ص: اف [ إذ جيء بكتاب من رسوؿ هللا صلى هللا عليو وسلم إل ىرقل يػعن عظيم الروـ
دفػعو إل عظيم بصرى، فدفػعو عظيم بصرى إل ىرقل، فػقاؿ ىرقل: ىل ىاىنا أحد دحية الكلب جاء بو، ف
رقل، خلنا على ى من قػوـ ىذا الرجل الذي يػزعم أنو نب؟ قالوا: نػعم، قاؿ: فدعيت ف نػفر من قػريش، فد
اؿ أبو سفياف: فػقلت: فأجلسنا بػني يديو، فػقاؿ: أيكم أقػرب نسبا من ىذا الرجل الذي يػزعم أنو نب؟ فػق
جانو، فػقاؿ لو: قل لم إن سائل ىذا عن أن، فأجلسون بػني يديو، وأجلسوا أصحاب خلفي، ث دعا بتػر
بوه، قاؿ: فػقاؿ أبو سفياف: واي هللا، لو ال مافة أف يػؤثػر علي الرجل الذي يػزعم أنو نب، فإف كذبن فكذ
ؿ لتػرجانو: سلو كيف حسبو فيكم، قاؿ: قػلت: ىو فينا ذو حسب، قاؿ: فػهل كاف الكذب لكذبت، ث قا
تم تػتهمونو بلكذب قػبل أف يػقوؿ ما قاؿ؟ قػلت: ال ، قاؿ: ومن من آبئو ملك؟ قػلت: ال، قاؿ: فػهل كنػ
قصوف؟ ق يػ ـ يػنػ ـ ضعفاؤىم؟ قاؿ: قػلت: بل ضعفاؤىم، قاؿ: أيزيدوف أ اؿ: قػلت: ال، تبعو؟ أشراؼ الناس أ
هم عن دينو بػعد أف يدخل فيو سخطة لو؟ قا ؿ: قػلت: ال، قاؿ: فػهل بل يزيدوف، قاؿ: ىل يػرتد أحد منػ
نػنا وبػيػ ه؟ قاؿ: قػلت: تكوف احلرب بػيػ نو سجاال يصيب قاتػلتموه؟ قػلت: نػعم، قاؿ: فكيف كاف قتالكم إي
[، 6722ف مدة ال ندري ما ىو صانع فيها ]ص:منا ونصيب منو، قاؿ: فػهل يػغدر؟ قػلت: ال، ونن منو
102
ر ىذه، قاؿ: فػهل قاؿ ىذا القوؿ أح ئا غيػ لو؟ قاؿ: قاؿ: فػوهللا ما أمكنن من كلمة أدخل فيها شيػ د قػبػ
عث قػلت: ال، قاؿ لتػرجانو: قل لو إن سألتك عن حسبو، فػزعمت أنو فيكم ذو حسب، وكذلك الرسل تػبػ
ملك قػلت ف أحساب قػومها، وسألتك: ىل كاف ف آبئو ملك، فػزعمت أف ال، فػقلت: لو كاف من آبئو
ـ أشرافػهم، فػقلت: بل ضعفاؤىم وىم أتػباع رجل يطلب مل ك آبئو، وسألتك عن أتػباعو أضعفاؤىم أ
تم تػتهمونو بلكذب قػبل أف يػقوؿ ما قاؿ؟ فػزعمت أف ال، فػقد ت أنو ل يكن عرف الرسل، وسألتك: ىل كنػ
هم عن د ينو بػعد أف ليدع الكذب على الناس، ث يذىب فػيكذب على هللا، وسألتك: ىل يػرتد أحد منػ
مياف إذا خالط بش اشة القلوب، وسألتك: ىل يزيدوف أو يدخلو سخطة لو؟ فػزعمت أف ال، وكذلك ال
مياف حت يتم، وسألتك: ىل قاتػلتموه؟ فػزع قصوف؟ فػزعمت أنػهم يزيدوف، وكذلك ال مت أنكم قد يػنػ
نو نكم وبػيػ تػلى ث تكوف لم قاتػلتموه فػتكوف احلرب بػيػ سجاال يػناؿ منكم وتػنالوف منو، وكذلك الرسل تػبػ
ىل قاؿ ىذا القوؿ العاقبة، وسألتك: ىل يػغدر؟ فػزعمت أنو ال يػغدر، وكذلك الرسل ال تػغدر، وسألتك:
ل أحد لو قػلت رجل ائػتم بقوؿ قيل قػبػ لو؟ فػزعمت أف ال فػقلت: لو قاؿ ىذا القوؿ أحد قػبػ و، قاؿ: ث قػبػ
لة والعفاؼ، قاؿ: إف ي كن ما تػقوؿ فيو حقا فإنو نب، قاؿ: ب يمركم؟ قػلت: يمرن بلصالة والزكاة والص
حبػبت لقاءه، ولو كنت عنده وقد كنت أعلم أنو خارج، ول أكن أظنو منكم، ولو أن أعلم أن أخلص إليو ل
ل [، قاؿ: ث دعا بكتاب رسوؿ هللا صلى هللا 6728غن ملكو ما تت قدمي ]ص:لغسلت عن قدميو، وليػبػ
ـ »عليو وسلم، فػقرأه فإذا فيو ، سال على بسم هللا الرحن الرحيم، من ممد رسوؿ هللا إل ىرقل عظيم الروـ
سالـ أسلم تسلم، وأسلم يػؤتك هللا أجرؾ مرتػني، وإف من اتػبع الدى، أما بػعد، فإن أدعوؾ بدعاية ال
103
نكم أف ال نػعبد إال هللا تػوليت فإف عليك إث الريسيني، و }ي أىل الكتاب تػعالوا إ نػنا وبػيػ ل كلمة سواء بػيػ
ئا وال يػتخذ بػعضنا بػعضا أربب من دوف هللا فإف تػولوا فػقولوا اشهدو فػلما « ا بن مسلموف{وال نشرؾ بو شيػ
ني الكتاب ارتػفعت الصوات عنده وكثػر اللغط، وأمر بنا فأخرجنا، قاؿ، فػقلت لصحاب ح فػرغ من قراءة
ا بمر رسوؿ هللا صلى ن خرجنا: لقد أمر أمر ابن أب كبشة، إنو ليخافو ملك بن الصفر، قاؿ: فما زلت موق
سالـ 9هللا عليو وسلم أنو سيظهر، حت أدخل هللا علي ال
b. Sumber : Tirmidhi, Kitab : Meminta izin dan Adab, Bab : Bagaimana
menulis untuk pelaku kesyirikan, No. Hadis : 2717
ثػنا - 5363 ثػنا يونس، عن الزىري قاؿ: أخبػرن عبػيد الل ب حد ثػنا عبد الل قاؿ: حد ن عبد سويد قاؿ: حد
، عن ابن عباس، أنو أخبػره أف أب سفياف بن حرب، أخبػره أف ىرقل أرسل إ ليو ف نػفر من قػريش، وكانوا الل
عليو وسل بسم »م فػقرئ، فإذا فيو تارا بلشاـ فأتػوه فذكر احلديث قاؿ: ث دعا بكتاب رسوؿ الل صلى الل
ـ على من اتػبع الدى أما بػعد الل الرحن الرحيم من ممد عبد «: " الل ورسولو إل ىرقل عظيم الروـ السال
10ىذا حديث حسن صحيح، وأبو سفياف اسو: صخر بن حرب "
c. Sumber : Sunan Abu Daud, Kitab : Adab, Bab : Bagaimana menulis surat
kepada Ahl al-Dhimmah, No. Hadis : 5136
9 Imam Muslim, Shahih Muslim dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga Imam
Muslim, Shahih Muslim, juz 3. (kairo: Daar ibn Jauzi. 2010), h. 1393.
10
Lihat Imam al-Turmidzy, Sunan Turmidzyi dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Isa
Muhammad bin Isa bin Surah at-Turmidzy, Sunan al-Turmidzy dalam Juz 5. ( Daar al-
Fikr,Beirut), h. 65.
104
ثػنا عبد الرزاؽ، عن معمر، عن الز - 2678 ، وممد بن يي، قاال: حد ثػنا احلسن بن علي ، عن حد ىري
بة، عن ابن عب من ممد »اس، أف النب صلى هللا عليو وسلم، كتب إل ىرقل عبػيد الل بن عبد الل بن عتػ
ـ على من اتػبع الدى ، سال قاؿ ابن يي، عن ابن عباس، أف أب سفياف « رسوؿ الل إل ىرقل عظيم الروـ
وسلم فإذا فيو قاؿ: فدخلنا على ىرقل فأجلسنا بػني يديو، ث دعا بكتاب رسوؿ الل صلى هللا عليو أخبػره
11«ـ على من اتػبع الدى أما بػعد بسم الل الرحن الرحيم من ممد رسوؿ الل إل ىرقل عظيم الروـ سال »
5. Tidak Boleh memberi dan menjawab salam kepada orang yang berdosa
a. Sumber : Sahih al-Bukhari, Kitab : Hukum-hukum, Bab : Bolehkah imam
berhak mencegah orang berdosa dan pelaku kemaksiatan dari bicara ? No.
Hadis : 7225
ثػنا الليث، عن عقيل، عن ابن شهاب، عن عبد الرحن بن عبد - 3552 ثن يي بن بكي، حد الل بن حد
عت كعب بن كعب بن مالك، أف عبد الل بن كعب بن مالك، وكاف قائد كعب من بنيو حني عمي، قاؿ: س
ونػهى رسوؿ الل »، مالك قاؿ: لما تلف عن رسوؿ الل صلى هللا عليو وسلم ف غزوة تػبوؾ، فذكر حديثو
لة، وآذف رسوؿ الل صلى هللا عليو صلى هللا عليو وسلم املسلمني عن كال منا، فػلبثػنا على ذلك خسني ليػ
نا 12«وسلم بتػوبة الل عليػ
11
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud dalam Program al-Maktabat Shamel. Abi Daud
Sulaiman bin al-Asy`ats al-Sajistaniy, Sunan Abu Daud jilid 4 (Beirut : Daar al-a‟Alam), h. 366.
12
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, dalam Program al-Maktabat Shamel. Lihat juga, Abi
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 9 (Indonesia: Maktabah, Dahlan,
t.th), h. 32
105
b. Sumber : Sunan Abu Daud, Kitab : Sunnah, Bab : Menjauhi dan benci
terhadap ahli ahwa (pengikut hawa nafsu), No. Hadis : 4600
ثػنا ابن السرح، أخبػرن ابن وىب، قاؿ: أخبػرن يونس، عن ابن شهاب، قاؿ: أخبػرن عب - 2822 د حد
، قائد كعب من بنيو حني عمي الرحن بن عبد الل بن كعب بن مالك، أف عبد الل بن كعب بن مالك، وكاف
عت كعب بن مالك، وذكر ابن السرح، قصة تلفو عن النب صلى هللا عليو وسلم ف غزوة تػبوؾ -قاؿ: س
سلم المسلمني عن كالمنا أيػها الثالثة، حت إذا طاؿ علي ونػهى رسوؿ الل صلى هللا عليو و »قاؿ: -
ـ، ث ساؽ خبػر تسورت جدار حائط أب قػتادة، وىو ابن عمي، فسلمت عليو، فػوالل ما رد علي السال
13«و تػنزيل تػوبت
6. Larangan Membunuh non-Muslim yang memberi Salam Sumber : Sahih
Muslim, Kitab : Tafsir, Bab : Bab, No. Hadis : 3025
55 - (7252 بة، وإسحاؽ بن إبػراىيم، وأحد بن عبدة الضب ثػنا أبو بكر بن أب شيػ واللفظ البن -( حد
ثػنا، وقاؿ الخراف: أخبػرن بة، قاؿ: حد سفياف، عن عمرو، عن عطاء، عن ابن عباس، قاؿ: " لقي -أب شيػ
ـ عليكم، فأ خذوه فػقتػلوه وأخذوا تلك الغنػيمة، نس من المسلمني رجال ف غنػيمة لو، فػقاؿ: السال
ـ{ 14[22]النساء: فػنػزلت: )وال تػقولوا لمن ألقى إليكم السلم لست مؤمنا( " وقػرأىا ابن عباس: }السال
13
Imam Hafidz Abi Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud (Beirut : Daar al-a‟Alam), hadis ke-
8:44, bab. Menjauhi dan benci terhadap ahli ahwa (pengikut hawa nafsu), juz 8, hal. 199. 14
Abi al-Husain Muslim ibn al-hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim (kairo: Daar
ibn Jauzi. 2010), hal. 1393, no.hadits 7469, jilid 7, kitab Tafsir.