9
PEMANFAATAN PATI TALAS SEBAGAI PENGOLAHAN KEMBALI DALAM PEMBUATAN BIODEGRADABLE FOAM Abstrak Styrofoam terhadap makanan berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan. Kemasan makanan yang terbuat dari polistirena berpotensi melepaskan stirena saat terpapar dengan suhu tinggi, alkohol, minyak dan asam. Green (2007) dalam laporannya yang berjudul Styrofoam – The Silent Killer menyatakan bahwa paparan stirena dapat menyebabkan gangguan hormonal yang dapat mengakibatkan gangguan tyroid, menstruasi yang tidak teratur bahkan kanker payudara dan kelenjar prostat. Stirena juga dikaitkan dengan peningkatan tingkat kerusakan kromosom dan fungsi abnormal paru-paru pada para buruh yang bekerja pada pabrik polistirena. Benzena yang merupakan bagian dari polistirena foam juga diketahui bersifat karsinogenik yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan modifikasi styrofoam agar dihasilakan styrofoam yang sehat dalam penggunaannya. Pati merupakan polimer yang dapat diuraikan secara hayati sehingga penggunaanya sebagai campuran styrofoam menghasilkan plastik yang bersifat bidegradeble. Kata kunci : styrofoam, biodegradeble, benzena Pendahuluan Kehidupan global merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan dan persaingan disegala bidang, baik di bidang Ilmu Pengetahuan maupun Teknologi (IPTEK), industri dan lainnya (Ginting, 2005). Persaingan di bidang industri menuntut kemajuan di bidang teknologi dan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Selain itu, persaingan dalam bidang industri dapat ditemui dengan adanya persaingan dalam membuat

Pemanfaatan Pati Talas Sebagai Pengolahan Kembali Dalam Pembuatan Biodegradable Foam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kimia lingkungan

Citation preview

PEMANFAATAN PATI TALAS SEBAGAI PENGOLAHAN KEMBALI DALAM PEMBUATAN BIODEGRADABLE FOAMAbstrak

Styrofoam terhadap makanan berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan. Kemasan makanan yang terbuat dari polistirena berpotensi melepaskan stirena saat terpapar dengan suhu tinggi, alkohol, minyak dan asam. Green (2007) dalam laporannya yang berjudul Styrofoam The Silent Killer menyatakan bahwa paparan stirena dapat menyebabkan gangguan hormonal yang dapat mengakibatkan gangguan tyroid, menstruasi yang tidak teratur bahkan kanker payudara dan kelenjar prostat. Stirena juga dikaitkan dengan peningkatan tingkat kerusakan kromosom dan fungsi abnormal paru-paru pada para buruh yang bekerja pada pabrik polistirena. Benzena yang merupakan bagian dari polistirena foam juga diketahui bersifat karsinogenik yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan modifikasi styrofoam agar dihasilakan styrofoam yang sehat dalam penggunaannya. Pati merupakan polimer yang dapat diuraikan secara hayati sehingga penggunaanya sebagai campuran styrofoam menghasilkan plastik yang bersifat bidegradeble.

Kata kunci : styrofoam, biodegradeble, benzena

Pendahuluan

Kehidupan global merupakan kehidupan yang penuh dengan tantangan dan persaingan disegala bidang, baik di bidang Ilmu Pengetahuan maupun Teknologi (IPTEK), industri dan lainnya (Ginting, 2005). Persaingan di bidang industri menuntut kemajuan di bidang teknologi dan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Selain itu, persaingan dalam bidang industri dapat ditemui dengan adanya persaingan dalam membuat produk yang cepat saji, mudah dibawa kemana-mana, dan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.Untuk membuat produk seperti itu banyak pabrik-pabrik yang menggunakan bahan-bahan kimia untuk membuat kemasan penyimpan makanan. Kemasan tersebut dibuat untuk mampu menyimpan makanan dalam jangka waktu yang cukup lama, makanan yang disimpan tetap segar, sederhana, dan mudah untuk dibawa. Kemasan makanan yang paling populer dan banyak digunakan belakangan ini adalah styrofoam. Hal ini disebabkan karena penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan memberikan harga yang relatif murah, simple, dan mudah untuk dibawa kemana-mana (Widyaningsih, 2010).Namun, disisi lain ternyata penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan memberikan berbagai dampak negatif terhadap kesehatan. Styrofoam yang digunakan sebagai pembungkus makanan dan minuman yang mengandung lemak mudah bereaksi dengan molekul lemak. Selain itu penggunaan styrofoam seagai pembungkus makanan mie instan dapat menyebabkan styrofoam terurai menjadi monomer stirena dan bercampur dengan mie yang akan kita makan. Sehingga secara langsung kita memakan monomer stirena dan masuk ke dalam tubuh. Padahal bahan-bahan tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia karena bersifat karsinogen (menimbulkan kanker) dan dapat menyebabkan endocrine disruption (penyakit ganguan pada sistem endrokrinologi dan reproduksi pada manusia (Hidayat, 2011). Foam polistirena merupakan plastik yang terdiri dari monomer-monomer stirena yang berbahan dasar minyak bumi. Sebagian besar masyarakat lebih mengenal foam polistirena sebagai styrofoam yang merupakan nama dagang produk yang diproduksi oleh Dow Chemical Company. Sejarah penemuan styrofoam berawal dari penemuan polistirena pada tahun 1838. Eduard Simon menemukan polistirena dengan cara mengisolasi suatu bahan dari resin alami. Berangkat dari penemuan tersebut, Ray McIntire mencampurkan stirena dengan isobutylene dengan tekanan tinggi. Hasil percobaan tersebut menghasilkan material yang lebih kuat dan 30 kali lebih ringan daripada polistirena. Material tersebut diperkenalkan sebagai styrofoam pada tahun 1954 (Mary Bellis 2011). Styrofoam memiliki karakteristik yang ringan, mudah dibentuk, mampu mempertahankan panas maupun dingin, dan biaya produksi yang murah, sehingga menyebabkan styrofoam banyak digunakan sebagai kemasan baik makanan maupun barang elektronik. Namun, penggunaan styrofoam berdampak negatif bagi lingkungan karena styrofoam sulit untuk didegradasi dan dapat bertahan di alam selama ribuan tahun. Dalam Polystyrene Fact Sheets yang dirilis TheWayToGo pada tahun 2008, U.S. Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1986 menyatakan bahwa foam polistirena merupakan penghasil nomor lima sampah yang paling berbahaya di Amerika Serikat. Pembuatan foam polistirena yang menggunakan HCFC-22 ternyata juga menimbulkan masalah karena HCFC-22 merupakan gas rumah kaca dan membahayakan lapisan ozon. Paparan styrofoam terhadap makanan berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan. Kemasan makanan yang terbuat dari polistirena berpotensi melepaskan stirena saat terpapar dengan suhu tinggi, alkohol, minyak dan asam. Green (2007) dalam laporannya yang berjudul Styrofoam The Silent Killer menyatakan bahwa paparan stirena dapat menyebabkan gangguan hormonal yang dapat mengakibatkan gangguan tyroid, menstruasi yang tidak teratur bahkan kanker payudara dan kelenjar prostat. Stirena juga dikaitkan dengan peningkatan tingkat kerusakan kromosom dan fungsi abnormal paru-paru pada para buruh yang bekerja pada pabrik polistirena. Benzena yang merupakan bagian dari polistirena foam juga diketahui bersifat karsinogenik yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa residu styrofoam dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada sistem endokrinologi dan reproduksi manusia (Dinas Kesehatan Surabaya 2009). Mengingat luasnya penggunaan styrofoam dan besarnya dampak negatif dari penggunaanya maka diperlukan bahan subtitusi untuk menggantikannya. Penggunaan material pengemas yang berbahan baku sumber daya pertanian dan kehutanan dapat menjadi solusi atas permasalahan ini. Salah satu hasil modifikasi kimia bahan alami yang mempunyai prospek untuk dikembangkan lebih lanjut adalah pati. Pati merupakan homoplimer glukosa dengan ikatan -glikosidik yang terdiri dari dua bagian utama yaitu amilosa dan amilopektin. Pati yang mengandung air dapat mengembang sampai pada volume tertentu. Sifat inilah yang dimanfaatkan untuk membuat produk substitusi expanded polystyrene. Penggunaan pati sebagai bahan pengemas memiliki kelebihan yaitu tidak menimbulkan bahaya kesehatan dan ramah terhadap lingkungan karena setelah dibuang produk tersebut akan terurai oleh alam.Penelitian mengenai pembuatan biodegradable foam yang berbahan dasar pati telah dimulai beberapa tahun yang lalu. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zhou et al. (2007) memperlihatkan bahwa tepung gandum dan pati dapat diolah menjadi biodegradable foam dengan mutu yang baik. Sebelumnya pada tahun 1998, Lye et al. telah meneliti pembuatan biodegradable foam melalui ekstrusi pati jagung yang menunjukkan bahwa biodegradable foam yang dihasilkan memiliki daya bantalan yang cukup baik. Pemilihan bahan yang tepat diperlukan untuk memperbaiki karakteristik biodegradable foam yang akan dihasilkan. Penggunaan tapioka pada penelitian terutama dimaksudkan sebagai penyedia pati sebagai bahan dasar biodegradable foam, sedangkan penggunaan ampok dimaksudkan untuk memperbaiki kekuatan foam yang terbentuk karena kandungan seratnya. Pada penelitian yang dilakukan Shogren (2002) terbukti bahwa penambahan serat dapat meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas foam yang terbentuk. Foam berbahan dasar pati cenderung rapuh dan mudah rusak. Penelitian yang dikerjakan Andersen dan Hodson (1998) menunjukkan bahwa polivinil alkohol (PVOH) dapat digunakan untuk meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan foam. Oleh karena itu, pada penelitian ini ditambahkan PVOH sebanyak 10% untuk meningkatkan ketahanan foam. Bahan pemlastis yang digunakan pada penelitian ini adalah air yang terbukti dapat menurunkan titik transisi gelas. Pada tahun 2005, Zhou menunjukkan bahwa tepung gandum dan pelet pati yang telah diekstrusi dapat berkembang secara bebas (tanpa cetakan) dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro (microwave). Penambahan NaCl dapat meningkatkan penyerapan energi dalam proses pemanasan tersebut (Zhou 2007). Berdasarkan hal tersebut hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan PVOH dan perbedaan rasio tapioka dan ampok pada proses pembuatan biodegradable foam dengan metode microwave assisted moulding (MAM).

Pemecahan Masalah Menurut Peneliti Terdahulu1. Selain bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan styrofoam, ternyata terdapat sedikit penggunaan sampah styrofoam yaitu sebagai bahan baku pembuatan batako.Pembuatan batako dari styrofoam sangat sederhana sehingga tidak perlu keahlian khusus. Komposisinya 50% styrofoam, 40% pasir, dan 10% semen. Penggunaan styrofoam bisa menghemat 50% kebutuhan pasir ketimbang penggunaan batu bata. Bahan baku styrofoam juga lebih unggul dibandingkan dengan semen karena dalam styrofoam terkandung banyak serat. Ini membuat fondasi bangunan yang menggunakan styrofoam lebih kuat. Uji coba pernah dilakukan Universitas Gajah Mada terhadap batako dari styrofoam. Bahan material styrofoam ternyata tahan gempa. Maka dari itu, batako jenis ini disarankan sebagai bahan material rumah agar bangunan lebih kokoh. Sifat styrofoam yang mengikat akan membuat batako kuat (Surami dan Marzuki, 2011). Cocok untuk daerah rawan gempa dan bangunan yang tinggi. Bobotnya yang ringan menjadikan pemasangan batako ini juga lebih cepat.2. Kemasan plastik food gradeini diklaim aman untuk membungkus makanan yang masih panas. Bahkan, dapat digunakan untuk mempertahankan panas makanan di dalamnya. Di Jepang sendiri, produk yang diberi nama Naruhot ini sudah mulai dipakai oleh banyak rumah makan. Dengan menyimpan makanan di Naruhot maka kehangatan makanan akan bertahan hingga 30 menit. Naruhot terdiri dari tiga bagian dimana bagian luarnya terbuat daristyrofoamtebal, wadah serta tutup kemasannya menggunakan plastikfood grade. Kemudian di bagian luar ada kantung kertas yang berisi kapur dan mineral yang dilengkapi dengan benang yang terjulur ke luar. Pemanasan timbul ada saat benang ditarik setelah makanan diletakkan di wadah plastikfood gradekarena ada reaksi kimia antara kapur dan mineral sehingga makanan di dalamnya menjadi hangathanya dalam waktu 5-6 menit, dan bertahan hingga 30 menit. Selain sebagai tempat untuk membungkus makanan, Naruhot juga dapat sebagai media penghangat makanan penggantimicrowave. Saat ini di Jepang, Naruhot dijual dengan harga sekitar US$ 1-2 dollar per buah. Perusahaan Sojitz pun mulai memasarkan produknya di luar Jepang termasuk akan segera dijual di Indonesia. Jika makin murah, semoga pembungkus ini makin popular untuk mengurangi dampak bahayastyrofoam.3. Ubi kayu sebagai bahan baku PLA (Poly Lactic Acid) memiliki potensi yang sangat besar, baik dari segi produksi, ketersediaan, dan kegunaan. Rendemennya juga cukup tinggi sehingga sangat efektif dalam pemanfaatannya. PLA dapat dimanfaatkan sendiri oleh Indonesia atau diekspor sebagai kemasan ramah lingkungan.

PEMECAHAN MASALAH MENURUT KAMIDengan Teknologi Proses Pengolahan PLA (Poly Lactic Acid) dari Pati Umbi Talas Pati merupakan bahan utama dalam pembuatan PLA. Pemanfaatan umbi talas sebagai bahan baku PLA dimungkinkan karena jumlah kandungan Pati yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa pada ubi kayu relatif tinggi sekitar 85,2 % (Sugiyono, 2007). Produktivitas umbi talas yang tinggi serta kemudahan dalam memperolehnya akan sangat membantu kontinuitas produksi PLA, apabila diaplikasikan dengan skala industri. Poly Lactic Acid (PLA). Ini adalah polimer dari sumber yang terbarukan dan berasal dari proses esterifikasi asam laktat yang diperoleh dengan cara fermentasi oleh bakteri menggunakan substrat pati atau gula sederhana. Poly Lactic Acid juga memiliki sifat tahan panas, kuat, dan merupakan polimer yang elastis.Dapat dikatakan proses ini merupakan proses polipaduan atau film. Pembuatan polipaduan dilakukan dengan pelarutan bahan-bahan yang telah disiapkan yaitu styrofom 70%, Pati 30%, dan PLA 5%. Bahan ini dilarutkan dengan larutan metilena klorida dengan pengaduk magnet. Kemudian dicampurkan dengan larutan sorbitol 20% . dan diaduk sampai homogen. Setelah tercampur homogen polipaduan didiamkan sampai terlepas dari gelembung udara kira-kira dalam waktu 10 menit dan diletakkan diatas pelat kaca. Cetakan diuapkan pada suhu ruangan. Setelah dapat dilepas jadilah film yang siap digunakan dalam proses selanjutnya.