58
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528- Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunaan Data SPOT-6 Monitoring of Urban Open Green Space Application Using SPOT-6 Data Mukhoriyah 1*) , Dipo Yudhatama 1 , dan Rizki Putri Aprili 2 1 Pusat Pemanfaatan Penginderaan jauh - LAPAN 2 Fakultas Pertanian – Universitas Jenderal Soedirman *) Email: [email protected] ABSTRAK – Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan vegetasi guna mendukung manfaat ekologis dan sosial budaya masyarakat. Kecenderungan saat ini luasan RTH perkotaan cenderung berkurang akibat dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan. Sebagai unsur utama pembentuk kota, RTH dirancang dengan baik dan benar sesuai dengan rencana tata ruang kotanya. Namun seringkali RTH yang telah ditetapkan pada rencana kota tidak sesuai dengan peruntukannya saat ini. Permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya dalam pemantauan kondisi pemanfaatan RTH yang ada, yaitu pada area perkotaan yang memiliki tingkat kepadatan dan heterogenitas tinggi. Data SPOT-6 memiliki resolusi spasial sangat tinggi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah perkotaan yaitu memantau pemanfaatan RTH perkotaan di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur yang memiliki tingkat vegetasi yang beragam. Ekstraksi informasi digital digunakan untuk memisahkan piksel pada objek RTH dengan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan SPOT-6 mempunyai akurasi yang baik dalam memantau RTH perkotaansampai wilayah kelurahan. Penggunaannya dalam pemantauan dapat membantu untuk mendeteksi dini perubahan pemanfaatan RTH yang ada secara efektif dan efisien. Kata kunci: Ruang Terbuka Hijau (RTH), perkotaan, SPOT-6 ABSTRACT - Urban Open green space is part of open spaces in urban region that filled by plant and vegetation to support ecological and social culture in society. In this time trend of urban open green space area is decreasing because of convertion to urban infrastructure. As the first element of city formation, the design of open green space is good and correct according to spatial city plan. But, open green space that had been set on the city plan are often not applied properly. The problems is the difficulties on monitoring the condition of open green space application, especially in the urban area with high population and high heterogenity. SPOT-6 data has high spatial resolution that can be used for urban region identification to monitor urban open green space in Duren Sawit Subdistrict east Jakarta, which has various vegetation. Extraction of digital information is used for piksel disrupt on the open green space object from the other. The result of research show that SPOT-6 has good accuracy in monitoring the urban open green space up to urban communities. It helps to make early detection on the open green space application effectively and efficiently. Keywords: Open Green Space, urban, SPOT-6 1. PENDAHULUAN Kebutuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang semakin meningkat di suatu kota mendorong tingginya kebutuhan penduduk terhadap lahan. Hal ini menyebabkan aktivitas pembangunan fisik perkotaan terus dilakukan seperti perumahan, sekolah, pabrik, gedung perkantoran dan perbelanjaan. Proses pembangunan berdampak pada perubahan penggunaan lahan dan luasan ruang terbuka hijau (RTH), contohnya yang terjadi di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area yang memanjang berbentuk jalur atau area mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, merupakan tempat tumbuh tanaman, yang tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam. Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20% untuk publik dan 10% untuk privat (KemenPU No. 12, 2009). Kemajuan pembangunan fisik di perkotaan berdampak positif pada peningkatan kegiatan perekonomian, tetapi dampak negatif yang ditimbulkan adalah terhadap terjadinya penurunan kualitas lingkungan akibat perubahan penggunaan lahan. Keberadaan RTH di wilayah perkotaan dapat meningkatkan kualitas yaitu mempunyai fungsi secara ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan estetika. Secara ekologis, RTH berfungsi sebagai paru-paru kota, pengatur iklim mikro, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan dalam udara, air, dan tanah, serta sebagai penahan angin. Secara sosial budaya berfungsi

Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

-528-

Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota

Menggunaan Data SPOT-6

Monitoring of Urban Open Green Space Application Using SPOT-6 Data

Mukhoriyah1*), Dipo Yudhatama1, dan Rizki Putri Aprili2

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan jauh - LAPAN 2Fakultas Pertanian – Universitas Jenderal Soedirman

*)Email: [email protected]

ABSTRAK – Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan vegetasi guna mendukung manfaat ekologis dan sosial budaya masyarakat. Kecenderungan saat ini luasan RTH perkotaan cenderung berkurang akibat dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan. Sebagai unsur utama pembentuk kota, RTH dirancang dengan baik dan benar sesuai dengan rencana tata ruang kotanya. Namun seringkali RTH yang telah ditetapkan pada rencana kota tidak sesuai dengan peruntukannya saat ini. Permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya dalam pemantauan kondisi pemanfaatan RTH yang ada, yaitu pada area perkotaan yang memiliki tingkat kepadatan dan heterogenitas tinggi. Data SPOT-6 memiliki resolusi spasial sangat tinggi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah perkotaan yaitu memantau pemanfaatan RTH perkotaan di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur yang memiliki tingkat vegetasi yang beragam. Ekstraksi informasi digital digunakan untuk memisahkan piksel pada objek RTH dengan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan SPOT-6 mempunyai akurasi yang baik dalam memantau RTH perkotaansampai wilayah kelurahan. Penggunaannya dalam pemantauan dapat membantu untuk mendeteksi dini perubahan pemanfaatan RTH yang ada secara efektif dan efisien. Kata kunci: Ruang Terbuka Hijau (RTH), perkotaan, SPOT-6 ABSTRACT - Urban Open green space is part of open spaces in urban region that filled by plant and vegetation to support ecological and social culture in society. In this time trend of urban open green space area is decreasing because of convertion to urban infrastructure. As the first element of city formation, the design of open green space is good and correct according to spatial city plan. But, open green space that had been set on the city plan are often not applied properly. The problems is the difficulties on monitoring the condition of open green space application, especially in the urban area with high population and high heterogenity. SPOT-6 data has high spatial resolution that can be used for urban region identification to monitor urban open green space in Duren Sawit Subdistrict east Jakarta, which has various vegetation. Extraction of digital information is used for piksel disrupt on the open green space object from the other. The result of research show that SPOT-6 has good accuracy in monitoring the urban open green space up to urban communities. It helps to make early detection on the open green space application effectively and efficiently. Keywords: Open Green Space, urban, SPOT-6 1. PENDAHULUAN

Kebutuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang semakin meningkat di suatu kota mendorong tingginya kebutuhan penduduk terhadap lahan. Hal ini menyebabkan aktivitas pembangunan fisik perkotaan terus dilakukan seperti perumahan, sekolah, pabrik, gedung perkantoran dan perbelanjaan. Proses pembangunan berdampak pada perubahan penggunaan lahan dan luasan ruang terbuka hijau (RTH), contohnya yang terjadi di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan area yang memanjang berbentuk jalur atau area mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, merupakan tempat tumbuh tanaman, yang tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam. Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, bahwa 30% wilayah kota harus berupa RTH yang terdiri dari 20% untuk publik dan 10% untuk privat (KemenPU No. 12, 2009). Kemajuan pembangunan fisik di perkotaan berdampak positif pada peningkatan kegiatan perekonomian, tetapi dampak negatif yang ditimbulkan adalah terhadap terjadinya penurunan kualitas lingkungan akibat perubahan penggunaan lahan.

Keberadaan RTH di wilayah perkotaan dapat meningkatkan kualitas yaitu mempunyai fungsi secara ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan estetika. Secara ekologis, RTH berfungsi sebagai paru-paru kota, pengatur iklim mikro, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan dalam udara, air, dan tanah, serta sebagai penahan angin. Secara sosial budaya berfungsi

Page 2: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 (Mukhoriyah dkk.)

-529-

menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi, dan tempat rekreasi warga. Secara ekonomi RTH berfungsi sebagai sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, buah, daun, dan sayur mayur. Beberapa fungsi sebagai bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain: secara estetika berfungsi sebagai meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik skala mikro (halaman rumah/lingkungan permukiman), maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan), dan menciptakan suasana serasi dan seimbang. Dalam suatu wilayah perkotaan, RTH berdasarkan fungsi ekologis, sosial budaya, ekonomi, dan estetika dapat dikombinasikan sesuai kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologis, dan konservasi hayati.

Pemantauan pemanfaatan RTH di wilayah kota dilakukan dengan menggunakan data penginderaan jauh yaitu citra satelit SPOT-6 yang memiliki resolusi temporal yang baik dan cakupan wilayah yang luas. Kerapatan vegetasi di wilayah administrasi Jakarta Timur, khususnya Kecamatan Duren Sawit akan sangat mempengaruhi suhu permukaan daerah tersebut. Kerapatan vegetasi inilah yang akan menciptakan kenyamanan dan kesejukan di suatu penggunaan lahan. Tinggi rendahnya suatu kerapatan vegetasi dapat diketahui dengan menggunakan teknik NDVI (Normalize Difference Vegetation Index) yang merupakan transformasi citra penajaman spektral untuk menganalisis hal-hal yang berkaitan dengan vegetasi.

2. METODE

Lokasi penelitian berada di Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta yang secara geografis terletak di koordinat 106 ͦ 49’ 35’’ BT dan 6 ͦ 10’37’’ LS dan memiliki tujuh kelurahan yaitu Kelurahan Klender, Pondok Bambu, Duren Sawit, Malaka Sari, Malaka Jaya, Pondok Kopi, dan Kelurahan Pondok Kelapa. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit multitemporal SPOT-6 tahun 2013 dan 2015 dengan resolusi spasial 1,5 m dan Peta Rupa Bumi Indonesia. Pada data citra SPOT-6 dilakukan tahap georeference agar citra satelit memiliki koordinat sebenarnya di permukaan bumi (Danoedoro, 1996). Kemudian dilakukan koreksi geometrik, mosaik dan cropping.

Selanjutnya data SPOT digunakan untuk mengindentifikasi tingkat kerapatan dan kehijauan vegetasi pada RTH pada tahun 2013 dan 2015 dengan menggunakan metode algoritma Normalize Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan daun, yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI adalah indeks vegetasi yang paling populer digunakan dan dapat menggambarkan kodisi tingkat kehijauan, kesehatan dan kerapatan vegetasi (Trisaktidkk., 2014). NDVI pada dasarnya merupakan indeks vegetasi dalam menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun (Rushayati dkk., 2011). Parameter indek vegetasi sebaiknya memenuhi syarat (Jensen, 2000) : 1. Memaksimalkan sensitifitas dari parameter biofisik tanaman. 2. Menormalkan pengaruh dari luar seperti sudut matahari, sudut pandang sensor, atmosfer dan waktu

perekaman. 3. Menormalkan pengaruh dari dalam seperti variasi dari jenis kanopi dan tanah, kondisi topografi dan

jenis tanaman. 4. Dapat dihubungkan dengan parameter biofisik yang dapat diukur seperti biomassa atau leaf area index

(LAI) yang dapat dijadikan alat validasi dan kontrol kualitas informasi.

Tabel 1.Pembagian Daerah Berdasarkan Nilai NDVI Daerah Pembagian Nilai NDVI

Awan es, awan air, salju < 0,002 Batuan dan lahan kering 0,002 – 0,025 Padang rumput dan semak belukar 0,025 – 0,090 Hutan dan tanaman jarang 0,090 – 0,140 Hutan daerah hangat dan hutan hujan tropis 0,140 – 0,800

Sumber: Bosedkk.,(2012)

NDVI bernilai antara -1,0 hingga +1,0. Nilai -1 menunjukkan bahwa indeks vegetasinya rendah dan +1 menunjukkan indeks vegetasinya tinggi. Nilai yang lebih besar dari 0,1 menandakan peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Nilai di antara 0 dan 0,2 umumnya merupakan karakterikstik dari bebatuan dan lahan kosong dan nilai kurangdari 0 mengindikasikan awan es, awan uap air dan salju. Permukaan vegetasi memiliki rentang nilai NDVI 0,025 untuk lahan savanna (padang rumput) hingga 0,8 untuk daerah hutan hujan tropis (Bose dkk., 2012).

Page 3: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-530-

Nilai NDVI dapat diperoleh dengan membandingkan pengurangan data dari band NIR (Near Infrared) dan band red (Infrared) dengan penjumlahan dari kedua band tersebut. Rumus NDVI adalah sebagai berikut (Lau dkk., 2006).

NDVI = ...............................................................................................................................................(1)

Keterangan : NDVI = NilaiNormalize Difference Vegetation Index NIR = Nilai Digital pada band Near Infrared red = Nilai Digital pada band Infrared

Setelah diketahui tingkat kehijaun dan nilai kerapatannya, kemudian dilakukan uji akurasi dengan

menggunakan Confusion Matrix untuk mengetahui tingkat ketepatan atau keakuratan klasifikasi yang dibuat. Keakuratan tersebut meliputi jumlah training sample yang diklasifikasikan dengan benar atau salah dan persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Uji akurasi yang digunakan yaitu matriks kontingensi yang sering disebut confusion matrix. Dalam matriks kontingensi ini, analisis dihitung besarnya akurasi pembuat dan akurasi pengguna dari setiap kelas tutupan lahan (Riswanto, 2009). Setelah dilakukan uji akurasi, kemudan dianalisis perubahan RTH tahun 2013 dan 2015 sehingga diketahui tingkat perubahannya

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

3. HASILDAN PEMBAHASAN Transformasi Algoritma NDVI untuk Mengidentifikasi RTH Tahun 2013 dan 2015 Menggunakan Data Citra SPOT-6

Berdasarkan hasil analisis dan identifikasi tingkat kehijauan dan kerapatan vegetasi pada RTH dengan melakukan perhitungan dengan algoritma NDVI dirumuskan sistematis antara Band Near Infrared dengan Band Visible Red. Band Red dijadikan B1, Band Green menjadi B2, Band Blue menjadi B3, dan Band NIR dijadikan B4. Pengurangan nilai piksel B4 terhadap B1 dibagi penjumlahan nilai piksel B4 terhadap B1 menghasilkan nilai NDVI yang berkisar antara -1 sampai dengan +1. Nilai -1 menunjukkan bahwa indeks vegetasinya rendah dan +1 menunjukkan indeks vegetasinya tinggi (Bose dkk., 2012). Pada Gambar 2 dan 3, dapat diketahui citra hasil transformasi NDVI ditunjukkan dengan rona yang cerah, semakin cerah maka

Page 4: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 (Mukhoriyah dkk.)

-531-

semakin rapat vegetasinya. Pada citra 2013 memiliki nilai NDVI -0,655 sampai 0,812 sedangkan citra 2015 memiliki nilai NDVI -0,106 sampai 0,829. Hal ini menunjukkan citra 2015 memiliki indeks vegetasi yang sedikit lebih tinggi dibanding citra 2013.

Gambar 2.Nilai NDVI pada citra SPOT-6 Tahun 2013 Gambar 3. Nilai NDVI pada citra SPOT-6 Tahun 2015

Analisis klasifikasi yang digunakan untuk interpretasi citra adalah klasifikasi tidak terbimbing

(unsupervised). Proses pengkelasan ini didasarkan pada informasi gugus-gugus spektral yang tidak bertumpang susun pada ambang jarak tertentu pada saluran-saluran yang digunakan. Hasil dari klasifikasi belum diketahui identitasnya karena didasarkan hanya pengelompokan secara natural. Proses klasifikasi diawali dengan penentuan jumlah kelas (cluster) yang akan dibuat. Selanjutnya analisis penetapan kelas-kelas vegetasi terhadap kelas-kelas spektral yang telah dikelompokkan oleh komputer. Dari kelas-kelas (cluster) yang dihasilkan, analisis dapat digabungkan beberapa kelas yang dianggap memiliki informasi yang sama menjadi satu kelas.

Pada citra 2013 dibuat 30 kelas spektral yang dikelompokkan menjadi 3 kelas vegetasi yaitu vegetasi, vegetasi 2 (rumput), vegetasi 3 (bertanah). Kelas 1 sampai 21 dan kelas 23 memiliki cluster yang sama maka dikelompokkan cluster tersebut menjadi satu kelas, yaitu vegetasi. Vegetasi yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan tinggi hingga sedang. Kelas 24 sampai 28 dan kelas 22 memiliki cluster yang sama dan dikelompokkan menjadi satu kelas, yaitu vegetasi 2 (rumput). Vegetasi 2 yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan sedang hingga rendah. Kelas 29 sampai 30 memiliki cluster yang sama dan dikelompokkan menjadi satu kelas, yaitu vegetasi 3 (bertanah). Vegetasi 3 yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan rendah hingga sangat rendah.

Gambar 4. Hasil Klasifikasi Citra SPOT-6 Tahun 2013

Pada citra 2015 dibuat 50 kelas spektral yang dikelompokkan menjadi 3 kelas vegetasi yaitu vegetasi

(rapat), rumput (sedang), bertanah (rendah/jarang). Kelas 1 – 6, 8, 10, 11, 15, 28, 29, 31 – 36, dan 43 memiliki cluster yang sama maka dikelompokkan cluster tersebut menjadi satu kelas, yaitu vegetasi (rapat). Vegetasi yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan tinggi hingga sedang. Kelas 7, 8, 12 – 14, 16 – 27, 30, dan 37 - 42 memiliki cluster yang sama dan dikelompokkan menjadi satu kelas, yaitu rumput (sedang). Rumput yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan sedang hingga rendah. Kelas 44 sampai 50 memiliki cluster yang sama dan dikelompokkan menjadi satu kelas, yaitu bertanah (rendah/jarang). Bertanah yang dimaksud memiliki tingkat kerapatan rendah hingga sangat rendah.

Vegetasi (Rapat) Rumput (Sedang) Bertanah (Rendah)

Page 5: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-532-

Gambar 5. Hasil Klasifikasi Citra SPOT-6 Tahun 2015

Gambar6. Overlay Citra SPOT-6 2013 terklasifikasi Tahun 2013 dan 2015 terklasifikasi

Uji akurasi dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan atau keakuratan klasifikasi yang dibuat.

Keakuratan tersebut meliputi jumlah training sample yang diklasifikasikan dengan benar atau salah dan persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Uji akurasi yang digunakan yaitu matriks kontingensi yang sering disebut confusion matrix. Dalam matriks kontingensi ini, analisis dihitung besarnya akurasi pembuat dan akurasi pengguna dari setiap kelas tutupan lahan (Riswanto, 2009). Nilai overall accuracy antara klasifikasi tidak terbimbing dengan kelas poligon training sampel manual diperoleh sebesar 73,4 % dan nilai statistik kappa 0,598 .

Tabel 1. Uji Akurasi Confusion Matriks untuk Menentukan Nilai Kerapatan RTH

di Kecamatan Duren Sawit Kelas Vegetasi Rumput Bertanah

Vegetasi 3254 281 0 Rumput 34 408 64 Bertanah 0 21 97

Analisis Perubahan Tingkat Kerapatan RTH Tahun 2013 dan 2015

Hasil overlay dari data SPOT-6 tahun 2013 dan 2015 diperoleh perubahan RTH yang dibagi dalam 3 kelas kerapatan yaitu: rapat, sedang dan jarang (rendah). Vegetasi rapat pada tahun 2013 masih terlihat dominan pada bagian kanan bawah sedangkan pada tahun 2015 vegetasi rapat sudah mulai berkurang. Hal ini disebabkan karena kondisi citra pada waktu perekaman tertutup oleh awan. Pada Gambar 7(a), vegetasi rapat masih terlihat dominan pada tahun 2013 sedangkan pada tahun 2015 terjadi pengurangan dari vegetasi rapat menjadi sedang danhilangnya area vegetasi menjadi non vegetasi. Hal ini disebabkan karena kondisi citra pada waktu perekaman tertutup oleh awan dan adanya alih fungsi lahan menjadi permukiman. Gambar 7(c). tahun 2013 dan 2015, vegetasi sedang masih terlihat dominan namun sebagian terjadi penurunan kerapatan dari sedang menjadi rendah. Dan pada Gambar 7(d) tahun 2013 didominasi oleh vegetasi rapat sedangkan kerapatan vegetasi pada tahun 2015 berubah menjadi sedang dan rendah.

Citra SPOT-6 Tahun 2013 Vegetasi (Rapat) Rumput (Sedang) Bertanah (Rendah)

Citra SPOT-6 Tahun 2015

Page 6: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 (Mukhoriyah dkk.)

-533-

Citra SPOT-6 Tahun 2013 Citra SPOT-6 Tahun 2015

(a) (a)

(b) (b)

(c) (c)

(d) (d) Gambar7.Perubahan Tingkat Kerapatan RTH Tahun 2013 dan 2015

Pada Gambar 8, 9 dan 10 tampilan warna merah pada citra menunjukkan terjadinya perubahan yang

disebabkan oleh kondisi citra 2015 saat perekaman tertutup oleh awan, penentuan threshold (ambang batas) dan adanya perubahan vegetasi menjadi non vegetasi seperti perumahan dan industri. Tampilan warna hijau pada citra menunjukkan terjadinya perubahan peningkatan kerapatan vegetasi. Hal ini disebabkan penentuan threshold (ambang batas) indeks vegetasi dan perubahan vegetasi rendah menjadi vegetasi sedang. Tampilan warna oranye pada citra menunjukkan keadaan yang konsisten (tetap) pada tahun 2013 hingga 2015. Tidak mengalami penurunan atau peningkatan kerapatan.

Page 7: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-534-

Gambar 8. Citra SPOT-6 Band 1 Tahun 2013 Gambar 9. Citra SPOT-6 Band 2 Tahun 2015

Gambar 10.Perubahan Tingkat Kerapatan RTH citra SPOT-6 Tahun 2013 dengan Tahun 2015

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa metode vegetasi NDVI dapat diterapkan pada citra SPOT-6 yang digunakan untuk mendapatkan informasi tingkat kerapatan RTH di Kecamatan Duren Sawit yang terbagi menjadi 3 kelas yaitu vegetasi (rapat), rumput (sedang), bertanah (rendah/jarang). Berdasarkan hasil klasifikasi didapatkan perubahan yang terjadi disebabkan adanya alih fungsi lahan dari RTH menjadi area terbangun seperti untuk industri, permukiman, dan bangunan lainnya.

5. UCAPAN TERIMAKASIH

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak DR. Bambang Trisakti dan teman-teman yang telah membantu dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Danoedoro, P., (1996). Pengolahan Citra Digital. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Jensen., (2000). Remote Sensing of Environment An Earth Resources Perpektif. Prentice-Hall, Inc. USA.544p Peraturan Menteri PU No. 12 Tahun (2009). Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan. Riswanto, E., (2009). Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutup Lahan Menggunakan Citra Alos Palsar Resolusi

RendahStudi Kasus di Pulau Kalimantan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Rushayati, S.B., Alikodra, H.S., Dahlan, E.N., dan Purnomo, H., (2011). Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Permukaan di Kabupaten Bandung.Forum Greografi, 25(1). Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Trisakti, B., Suwargana, N., dan Cahyono, J.S., (2014). Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Memantau Parameter Status Ekosistem Perairan Danau (Studi Kasus: Danau Rawa Pening. Seminar Nasional Penginderaan Jauh. Pusfatja. LAPAN.

Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Page 8: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 (Mukhoriyah dkk.)

-535-

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator : Dr. M. Rokhis Khomarudin JudulMakalah : Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota Menggunakan Data SPOT-6 Pemakalah : Mukhoriyah (LAPAN) Diskusi : Pertanyaan: Agus Hidayat (LAPAN) Banyak konsep city farming di mana di atap-atap gedung bertingkat banyak ditanami sayur, jika itu terjadi di Jakarta, bagaimana metodologi ini bisa diterapkan, di mana RTH akan tampak bertambah terus, padahal yang benar RTH itu adalah open space yang benar diperuntukkan untuk resapan bukan tanaman hijau? Terlihat dari satelit adalah kanopi, itu akan lebih besar atau luas dari akarnya, bagaimana perhitungan NDVI benar yang dihitung RTH-nya bukan proyeksi dari kanopi, bisa jadi akan melebihi 30 % luas RTH yang ditentukan Undang-Undang ?

Jawaban: Dalam perhitungan NDVI masih melihat dari kanopi, belum bisa melihat yang di bawah kanopi, perlu survey lapangan. Jawaban: Dr. Bambang Trisakti (LAPAN) Dinas tata kota, juga menghitung RTH di atas atap. Terkait dengan keterbatasan penginderaan jauh, di bawah kanopi ada bangunan dan lainnya ini merupakan kesalahan, jadi perlu kerjasama dengan orang lapangan, sehingga bisa dihitung besarnya kesalahan ruang hijau yang dikeluarkan. Saran: Dr. Dony Kushardono (LAPAN) Dengan resolusi spasial yang sangat tinggi diharapkan bukan sekedar luasan, tapi jenis tanaman, setidaknya tegakan tahunan, dll. Ruang terbuka hijau kaitannya dengan kualitas dia meresap, polusi udara,dll., tujuaannya untuk itu, misal tanaman merambat bisa luas dilihat dari satelit, apa itu yang dimaksud, tapi kan yang diharapkan itu yang luas berupa tanaman tegakan misalnya beringin dan sebagainya (Saran) Saran: Dr. M. Rokhis Khomarudin (LAPAN) Ada beberapa hal yang dikemukan oleh Pak Agus menjadi tantangan kita bagaimana kita memanfaatkan data resolusi sangat tinggi tadi bisa menghitung real pohon

Page 9: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-536-

Aplikasi Penginderaan Jauh dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang

Pariaman, Sumatera Barat

Application of Remote Sensing in Agricultural Land Resource Mapping. Case Mapping in the district of Padang Pariaman, West Sumatra

Widia Siska1*) dan Via Yulianti1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat

*)Email : [email protected] ABSTRAK-Pemetaan sumberdaya lahan merupakan langkah strategis dalam mendukung pengembangan kawasan pertanian. Makalah bertujuan untuk memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan sumberdaya lahan menuju pengembangan kawasan pertanian. Kegiatan dilakukan di wilayah Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat, pada tahun 2015. Metode yang digunakan yaitu memanfaatkan data citra satelit dan data Digital Elevation Model (DEM), didukung peta RBI semi detil dan peta tanah tinjau. Tahapan diawali dengan melakukan tumpang tindih (overlay) peta tanah tinjau dengan Peta RBI digital. Selanjutnya dibuat peta lereng, peta elevasi dan peta kontur dari DEM. Kegiatan ini menghasilkan peta satuan lahan skala 1:50.000. Peta tersebut menjadi landasan untuk menseleksi lokasi yang potensial untuk pengembangan kawasan pertanian, dan dasar penentuan titik pengamatan untuk verifikasi lapangan. Dari kegiatan diperoleh gambaran, Kabupaten Padang Pariaman yang luasnya sekitar 140.000 ha terdiri dari 65 satuan lahan. Sebahagian besar (92,17%) merupakan potensi pengembangan kawasan pertanian untuk komoditas tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, sisanya (7,83%) merupakan lahan konservasi. Peta satuan lahan yang dihasilkan dari pengolahan data penginderaan jauh ini memiliki keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana untuk survei lapang. Penerapan penginderaan jauh terbukti dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pemetaan sumberdaya lahan. Dengan demikian, penginderaan jauh selayaknya dijadikan instrumen utama didalam pemetaan lahan untuk pengembangan kawasan pertanian.

Kata kunci : Penginderaan Jauh, DEM, Pemetaan Sumberdaya Lahan, Sumatera Barat

ABSTRACT- Mapping of land resources is a strategic step in supporting the development of agricultural areas. The paper aims to take advantage of remote sensing technology for land resources mapping towards the development of agricultural areas. The activities carried out in the district of Padang Pariaman West Sumatra, in 2015th. The method used satellite imagery data and Digital Elevation Model data, Supported by RBI maps semi-detailed and soil maps review. Stages begins by overlap soil maps review by RBI map. Then create a slope map, elevation maps and contour maps from DEM. The result of these activities is land units map scale of 1 : 50,000. The map is the basis for selecting potential sites for the development of agricultural areas, and the basis for determining the observation point for field verification. Obtained a description of activities, Padang Pariaman district that covers about 140,000 hectares, comprising 65 of land units. Largely (92,17%) is the potential for the development of agricultural areas for food crop, horticulture and plantation, the rest (7,83%) is a conservation area. Land units Map resulting from the processing of remote sensing data has advantages in accuracy, saving time and money for field survey. The application of remote sensing can be used as an approach proven in the development of agricultural areas. Thus, remote sensing should be used as the main instrument in the development of agricultural areas.

Keywords: Remote Sensing, DEM, Mapping of Land Resources, West Sumatra 1. PENDAHULUAN

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera (sensor) yang dipasang pada pesawat terbang atau satelit (Lillesand dan Keifer, 1994).

Di bidang pertanian, aplikasi penginderaan jauh mampu memberikan data/informasi tentang sumberdaya lahan dengan tingkat ketelitian analisis yang tinggi. Metode ini telah mempertimbangkan masukan keterpisahan nilai spektral dan data informasi lapangan (hibrid classification). Informasi baku tentang tingkat

Page 10: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

-537-

ketelitian/kebenaran hasil analisis data digital ini sangat penting dan berguna bagi pemanfaatan data dan aplikasi bagi pengguna (Wahyunto, dkk., 2004). Teknologi ini meningkatkan peranan data spasial dalam memenuhi permintaan informasi sumberdaya lahan yang efisien, aktual dan akurat (Hikmatullah, dkk., 2014)

Data dan informasi ini merupakan masukan dasar bagi perencanaan, penelitian, dan pemantauan pemanfaatan sumberdaya lahan di tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten dan kota. Berbagai upaya dilakukan Badan Litbang Pertanian untuk mengidentifikasi potensi dan sebaran sumberdaya lahan strategis untuk mendukung perencanaan pembangunan pertanian. Salah satunya dengan menyusun peta sumberdaya lahan skala 1:250.000 pada level provinsi di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan pada metode dan data terbaru (Badan Litbang Pertanian 2013). Namun, agar bisa digunakan untuk tingkat operasional lapangan, dibutuhkan data dan informasi sumberdaya lahan pada skala yang lebih besar, yaitu skala 1:50.000 (Ismon, dkk., 2015).

Penyusunan peta sumberdaya lahan dilakukan melalui pendekatan analisis terrain, dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, yaitu landform, relief/lereng, litologi/bahan induk (Van Zuidam, 1986). Unsur-unsur terrain seperti lereng mempunyai kaitan erat dengan tingkat kesesuaian lahan, sehingga delineasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai satuan dasar dalam evaluasi lahan. Dalam survei sumberdaya lahan tingkat tinjau Proyek LREP I Sumatera (1987-1990) telah diterapkan pendekatan analisis terrain. Pemetaan sumberdaya lahan tingkat semi detil membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi, namun pendekatan analisis terrain dapat diperoleh informasi sumberdaya lahan suatu wilayah secara cepat dan akurat. Analisis terrain memadukan teknik interpretasi citra satelit, peta kontur (DEM), dan verifikasi lapangan (Puslittanak, 1999).

Secara progresif pemetaan sumberdaya lahan merupakan suatu pendekatan yang efektif untuk mencari dan mengetahui lahan potensial, berikut luas penyebarannya secara spasial. Tahapan kegiatan pemetaan lahan ialah: (1) analisis landform untuk delineasi satuan lahan melalui interpretasi foto udara atau citra landsat; (2) identifikasi dan karakterisasi sifat fisik dan morfologi tanah di lapang; dan (3) analisis sifat fisik, kimia, dan mineral contoh tanah dan air yang representatif di laboratorium (Djaenudin, 2009). Pemetaan sumberdaya lahan berguna untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan dan menghindarkan tumpang tindih serta konflik kepentingan penggunaan lahan.

Makalah bertujuan untuk memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan sumberdaya lahan menuju pengembangan kawasan pertanian, kasus pemetaan lahan di Kabupaten Padang Pariaman.

2. METODE 2.1 Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 2015.

Gambar 1. Lokasi penelitian

Page 11: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-538-

2.2 Rancangan kegiatan 2.2.1 Peralatan dan Data

Peralatan yang menunjang proses pembuatan peta satuan lahan analisis adalah sebagai berikut : 1) 1 Unit PC Pentium Intel, RAM 64 MB, HD 2 GB; 2) Software ArcView 3.2. 3) Software Arc GIS 10.1. 4) Software SAGA-GIS. 5) Software Global Mapper 9.

Data merupakan objek utama dalam proses kegiatan ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) Peta dasar digital Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG); 2) Peta Rupa Bumi Indonesia tercetak skala 1: 50.000 yang diterbitkan oleh BIG; 3) Peta model elevasi digital (digital elevation model/DEM) resolusi 30 m yang sudah mempunyai proyeksi yang sama dengan peta RBI; 4) Citra Satelit; 5) Peta geologi; 6) Citra radar/SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) resolusi 30 m; 7) Peta tanah tinjau digital skala 1:250.000 dari BBSDLP (Tafakresnanto et al. 2014).

2.2.2 Tahapan analisis

Pemetaan sumberdaya lahan diawali dengan pembuatan peta satuan lahan. Satuan lahan (land unit) merupakan hamparan lahan yang mempunyai karakteristik yang seragam dalam hal landform, litologi/bahan induk dan relief/lereng. Komponen satuan lahan dideliniasi dan digambarkan pada peta berdasarkan satuan landform, satuan batuan induk, dan satuan relief/lereng. Analisis satuan lahan dilakukan dari data DEM dan citra inderaja (Hikmatullah et al. 2014). Peta ini menjadi dasar utama dalam perencanaan pengamatan lapangan. Penyiapan data

Kegiatan diawali dengan cropping atau pemotongan data layer (DEM, citra inderaja, peta tanah tinjau) wilayah Kabupaten Padang Pariaman, dengan sistem UTM. Selanjutnya penyusunan peta satuan lahan diawali dengan pengolahan citra satelit dan interpretasi landform dari citra satelit, DEM, dan peta geologi.

Citra satelit perlu dilakukan koreksi geometrik dan radiometrik. Koreksi geometrik dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi spasial obyek pada citra satelit, sehingga posisi obyek yang terekam sesuai dengan koordinat di lapangan. Koreksi geometrik yaitu koreksi geometri citra ke peta (image to map). Peta referensi yang digunakan untuk koreksi geometri citra ke peta adalah Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1:50.000 bergeoreferensi DGN 95.

Koreksi geometrik membutuhkan titik ikat/Ground Control Point (GCP). Titik kontrol atau rujukan yang digunakan diambil dari peta peta RBI skala 1:50.000 dan pengamatan di lapangan. Titik-titik kontrol tersebut adalah titik-titik yang mudah dikenali secara visual, seperti persimpangan jalan dan percabangan sungai. Koreksi radiometrik dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi nilai spectral citra satelit agar kontras obyek pada citra nampak lebih tajam, sehingga mudah diinterpretasi, yaitu dengan menggunakan metoda linear contrast enhancement. Disamping itu, koreksi radiometrik ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi efek atmosfer yang menyebabkan nilai reflektansi yang dipantulkan obyek di permukaan bumi yang diterima sensor satelit mengalami gangguan. Citra satelit yang sudah dikoreksi digunakan untuk membuat peta satuan lahan analisis. Analisis data

Peta landform skala 1:250.000 didetilkan dengan peta kontur, DEM, citra landsat, dan peta geologi. Klasifikasi pendetilan landform mengacu pada Laporan Teknis LREPP II No.5 (Marsoedi, dkk., 1997) sampai level 2. Hasilnya berupa delineasi satuan-satuan landform baru.

Informasi dan delineasi jenis litologi atau batuan induk diperoleh dari peta geologi dengan teknik tumpang tepat (overlay) dengan data DEM dan citra satelit/landsat serta peta RBI. Setiap jenis litologi/batuan induk diberi simbol huruf kecil yang mengindikasikan sifat dari bahan induk tersebut. Jika dalam satuan formasi geologi memiliki lebih dari satu jenis litologi maka dipilih 2 jenis yang pertama (Hikmatullah, dkk., 2014).

Analisis landform dilakukan melalui interpretasi citra landsat ETM 7 dan ditunjang dengan peta kontur dari Digital Elevation Model (DEM) resolusi 30 m dan peta RBI skala 1:50.000. Pengelompokan landform mengacu pada Klasifikasi Landform LREP II (Marsoedi, dkk., 1997). Analisis atau delineasi satuan landform dilakukan dari data DEM yang di-overlay-kan dengan data citra landsat, kontur, peta geologi, peta rupabumi, dan peta tanah tingkat tinjau sebagai referensi. Secara makro Grup Landform terdiri atas Grup Aluvial (A), Marin (M), Fluvio-Marin (B), Gambut (G), Karst (K), Tektonik/Struktural (T), dan Volkanik (V). Selanjutnya grup landform tersebut dibedakan lagi menjadi sub-landform yang lebih detail. Grup

Page 12: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

-539-

landform diberi simbol berupa huruf besar, sedangkan sub-landform diberi simbol berupa angka arab dibelakang huruf besar. Sebagai acuan penamaan Grup Landform digunakan buku pedoman klasifikasi Landform (Marsoedi, dkk., 1997).

Analisis relief/kelas lereng dan elevasi secara lebih detail dapat dilakukan dari data DEM. Proses analisis dilakukan secara otomatis dengan software (ArcGIS, SAGA GIS). Hasil analisis dilakukan filtering atau penggabungan poligon. Luasan poligon <10 ha digabungkan ke poligon yang luas di sebelahnya. Relief dirinci menjadi relief datar (lereng <1%), agak datar (lereng 1-3%), berombak (lereng 3-8%), bergelombang (lereng 8-15%), berbukit kecil (lereng 15-25%), berbukit (lereng 25-40%), dan bergunung (lereng >40%). Elevasi dikelompokan menjadi 0-400 m dpl, 400-700 m dpl, 700-1200 m dpl dan >1200 m dpl.

Peta satuan lahan hasil analisis/interpretasi perlu dilengkapi dengan keterangan legenda peta. Legenda peta disusun berdasarkan urutan berikut: Nomor urut, simbol satuan lahan, uraian satuan landform, satuan litologi, satuan relief/kelas lereng, dan luas masing-masing satuan lahan dalam hektar dan persentasenya (Hikmatullah, dkk., 2014).

Gambar 2. Diagram Alir

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Penggunaan lahan di Kabupaten Padang Pariaman

Kabupaten padang pariaman memiliki luas 132.879 ha. Luas tanah menurut jenis penggunaannya yakni pemukiman 7.501 ha, Sawah 27.089,5 ha, Tegalan 632,5 ha, Kebun Campuran 16.582 ha, Perkebunan 36.444 ha, Hutan Belukar 11.232 ha Hutan 28.644 ha, Hutan sejenis 75 ha, Semak/Alang-alang 2.488 ha, Kolam 56 ha, Lain-lain 2.135 ha (Anonim, 2014). Ketersediaan informasi sumberdaya lahan Kabupaten Padang Pariaman relatif terbatas.

Dilihat dari topografi wilayah, Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari wilayah daratan pada daratan Pulau Sumatera dan 6 pulau-pulau kecil, dengan 40 % daratan rendah yaitu pada bagian barat yang mengarah ke pantai. Daerah dataran rendah terdapat disebelah barat yang terhampar sepanjang pantai dengan ketinggian antara 0 – 10 meter di atas permukaan laut, serta 60% daerah bagian timur yang merupakan daerah bergelombang sampai ke Bukit Barisan. Daerah bukit bergelombang terdapat disebelah timur dengan ketinggian 10 – 1000 meter di atas permukaan laut (Ismon, dkk., 2015).

3.2 Hasil Analisis Penginderaan Jauh 3.2.1 Landform

Landform adalah bentukan alam di permukaan bumi, khususnya di dataran, yang terjadi karena proses geomorfik tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu, dan dapat dibedakan berdasarkan skalanya dari sub-kontinental (misalnya rangkaian pegunungan) sampai bagian dari lereng tunggal (Marsoedi, dkk., 1997).

Page 13: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-540-

Berdasarkan hasil interpretasi, Kabupaten Padang Pariaman dikelompokan kedalam 5 Grup landform, yaitu : Aluvial, Karst, Marin, Tektonik dan Volkanik (Tabel 1). Penyebaran landform di Kabupaten Padang Pariaman disajikan pada Gambar 3.

Landform aluvial (A) merupakan landform yang terbentuk akibat proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial. Penyebaran landform ini umumnya di sekitar jalur aliran sungai, pelembahan, dan dataran aluvial dengan penyebaran seluas 42.410 ha atau 30,22%. Grup ini menurunkan subgrup: dataran bajir sungai bermeander (A.112), dataran alluvial (A.13), dasar lembah (A.14), kipas aluvial (A.21). Subgrup dataran bajir sungai bermeander mempunyai penyebaran terluas, yaitu 26.710 ha atau 19,03 %.

Landform grup Marin (M) penyebarannya seluas 18.848 ha atau 13,43%. Pada tingkat lebih rendah menurunkan satuan landfrom punggung dan cekungan pesisir (M.11) dan Rawa belakang Pasang Surut (M.23).

Landform Karst (K) terbentuk dari bahan batugamping keras dan masif (terumbu karang) dengan bentukan topografi tidak teratur, terbentuk karena pengangkatan batugamping, yang dilanjutkan dengan pelarutan batugamping. Di Kabupaten Padang Pariaman landform ini berupa pegunungan karst (K.4). Penyebarannya hanya 881 ha atau 0,63% dari seluruh luas Kabupaten Padang Pariaman.

Daerah karst dicirikan oleh morfologi permukaan berupa bukit-bukit kerucut (conical hills), depresi tertutup (dolin), lembah kering (dry valley) dan banyak dijumpai sungai-sungai bawah tanah. Daerah ini sangat dipengaruhi oleh struktur geologi berupa pengekaran (joint) karena umumnya kars terbentuk pada daerah berbatuan karbonat (gamping, dolomit, atau gypsum) (Palloan dan Zylshal 2009).

Landform Volkan (V) tersebut terbentuk akibat dari aktivitas volkan/gunung berapi tua. Landform ini terutama dicirikan oleh bahan pembentuk tanah yang berasal dari bahan volkanik. Berdasarkan bentukan dan topografi landform volkanik dibedakan menjadi Lereng Volkan Atas (V.113), Lereng Volkan Tengah (V.114), Lereng Volkan Bawah (V.115), Dataran Volkanik (V.15), Perbukitan Volkanik (V.151), Pegunungan Volkanik (V.152) dan Intrusi Volkanik (V.4). Penyebaran grup ini sangat luas mencapai 74.274 ha atau 52,92%.

Landform Tektonik dan Struktural (T) terbentuk akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis), berupa proses angkatan, lipatan dan/atau patahan. Bentukan landform tersebut ditentukan oleh proses-proses di atas dan sifat litologinya (struktural). Akibat proses-proses yang terjadi dan sifat litologinya, tektonik di Kabupaten Padang Pariaman dibedakan menjadi Perbukitan Tektonik (T.121) dan Pegunungan Tektonik (T.122). Penyebarannya hanya 2.700 ha atau 1,92%.

Akurasi pemetaan landform secara tradisional sangat rendah (sekitar 55%). Pemetaan landform menggunakan peta Digital elevation model (DEM) dan citra Advanced Spaceborne Thermal Emisi dan Reflection Radiometer (ASTER), dengan menginterpretasi bentuk lahan, kemiringan dan elevasi memiliki tingkat akurasi sekitar 91,8-99,6%, atau rata-rata 96,7% berdasarkan pengecekan lapang. Keuntungan utama dari pendekatan ini adalah tingkat akurasi, hemat waktu dan hemat dana untuk survey lapang (Saadat et al. 2008).

Gambar 3. Sebaran Landform Kabupaten Padang Pariaman

Page 14: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

-541-

Tabel 1. Rincian Landform di Kabupaten Padang Pariaman

Simbol Landform Luas

Ha % A.1.1.2 Dataran Banjir Pada Sungai Meander 26.710 19,03 A.1.3 Dataran Alluvial 8.699 6,20 A.1.4 Dasar Lembah 2.175 1,55

A.2.1 Kipas Alluvial 4.826 3,44 K.4 Pegunungan Karst 881 0,63

M.1.1 Punggung dan Cekungan Pesisir 11.150 7,94 M.2.3 Rawa belakang Pasang Surut 7.698 5,48

T.12.1 Perbukitan Tektonik 887 0,63 T.12.2 Pegunungan Tektonik 1.813 1,29

V.1.1.3 Lereng Volkan Atas 1.409 1,00 V.1.1.4 Lereng Volkan Tengah 6.673 4,75

V.1.1.5 Lereng Volkan Bawah 1.827 1,30 V.1.5 Dataran Volkanik 39.949 28,46

V.1.5.1 Perbukitan Volkanik 15.329 10,92 V.1.5.2 Pegunungan Volkanik 4.915 3,50

V.4 Intrusi Volkanik 4.172 2,97 X.1 Sungai 1.239 0,88

140.350 100,00

3.2.2 Litologi Litologi adalah karakteristik fisik dari batuan. Batuan merupakan segala macam material padat yang

menyusun kulit bumi, baik yang telah padu maupun masih lepas. Setiap batuan memiliki sifat dan ciri khusus. Sifat batuan tersebut meliputi bentuk, warna, kekerasan, kasar atau halus, dan mengilap atau tidaknya permukaan batuan. Hal ini disebabkan bahan-bahan yang terkandung dalam batuan berbeda-beda. Ada batuan yang mengandung zat besi, nikel, tembaga, emas, belerang, platina, atau bahan-bahan lain. Bahan-bahan seperti itu disebut mineral. Tiap jenis batuan mempunyai kandungan mineral yang berbeda. Berdasarkan proses terbentuknya, terdapat tiga jenis batuan yang menyusun lapisan kerak bumi. Tiga jenis batuan tersebut yaitu batuan beku (batuan magma atau vulkanik), batuan endapan (batuan sedimen), dan batuan malihan (batuan metamorf).

Berdasarkan interpretasi Peta geologi bersistem Indonesia lembar Sumatera (0715) skala 1:250.000 Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari 11 formasi. Kesebelas formasi tersebut, disajikan pada Tabel 2. Aluvium (Qal) berupa Lanau, pasir dan kerikil, kadang-kadang terdapat sisa-sisa batu apung tufa (Qhpt atau Qpt). Lanau, pasir dan kerikil, umumnya terdapat di dataran pantai; termasuk endapan rawa di sebelah utara Tiku. Formasi ini terbentuk pada masa Kala Holosen. Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau (Qamj) merupakan masa erupsi yg lama pada saat terjadi pergeseran lateral-kanan pada jalur sesar besar Sumatra; juga tuf batu apung tampaknya menutupi semua bat gunung api Maninjau. Formasi ini terbentuk pada Zaman Kuarter. Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat (Qast) merupakan Hasil-hasil dari Singgalang dan Tandikat, formasi ini terbentuk pada masa Zaman Kuarter. Batuan Gunungapi Asam Yang Tak Terpisahkan (Qou) merupakan lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf, ignimbrit dan obsidian yang asam sampai menengah. Formasi ini terbentuk pada masa Kala Plistosen.

Batu gamping Hablur (pTls) berupa batu gamping yang umumnya pejal dan berongga putih - keabuan bila segar dan kelabu gelap/kotor bila lapuk; besar butir berkisar 0,5 - 5,0 mm. Terbentuk pada zaman Pra Tersier. Tuf Batuapung (Qpt) berupa Serabut gelas dan frag batuapung putih 1 - 20 cm; agak kompak, setempat lapisan pasir kaya akan kuarsa, lapisan kerikil. Bongkah obsidian dan "pitchstone" , kelabu kemerahan. Formasi ini terbentuk pada Kala Plistosen.

Page 15: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-542-

Tuf Batuapung Hornblende Hipersten (Qhpt) hampir seluruhnya terdiri dari lapili batuapung, ukuran garis tengah 2 - 10 cm, hornblende, hipersten dan atau biotit; agak kompak. Formasi ini terbentuk pada masa Zaman Kuarter. Tuf Kristal Yang Telah Mengeras (QTt) adalah Pejal dan tersemen baik, masa dasar mengandung serabut gelas dengan frag kuarsa, plags dan frag batu gunungapi yang berkomposisi menengah hingga asam dengan garis tengah < 10 cm. Formasi ini terbentuk pada masa Kala Plio-Plistosen. Filit, Batupasir Meta (Kuarsit), Batu lanau Meta (pTps) berupa Sekisan, laminasi dan lineasi. Batuan lanauan bergradasi ke bps meta lunak butir kuarsa dalam masadasar lempungan; kuarsit kompak dan konglomerat kuarsa. Terbentuk pada zaman Pra Tersier. Batuan Granitik (Tgr) adalah Stok, berkomposisi antara granit dan diorit kuarsa. Terbentuk pada zaman Tersier Tua. Kuarsit (pTqt) Kompak, rijangan, kelabu, urat kuarsa, pirit, sisipan batulanau kelabu tua, berlapis baik, grauwak terubah dan batuan gunungapi terubah, fasies sekis hijau rendah. Terbentuk pada zaman Pra Tersier.

Keadaan geologi suatu daerah menggunakan penginderaan jauh memberikan gambaran mengenai kondisi geologi pada lokasi tersebut. Walaupun tidak sama persis dengan hasil analisis citra dan peta regional, namun interpretasi visual melalui penginderaan jauh dapat menjadi bahan atau acuan untuk melakukan kegiatan pemetaan agar proses pemetaan jauh lebih optimal. Hasil analisis citra sangat membantu proses pemetaan. Penentuan titik-titik pengamatan lapangan yang akan dilakukan observasi (Praba, dkk., 2015).

Gambar 3. Sebaran Litologi Kabupaten Padang Pariaman

Tabel 2. Rincian Litologi Kabupaten Padang Pariaman

No.

Simbol

Litologi Luas Ha %

1 Qamj Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 20.652 14,71 2 Qast Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat 6.197 4,42 3 Qou Batuan Gunungapi Asam Yang Tak Terpisahkan 16.114 11,48 4 pTls Batugamping Hablur 1.085 0,77 5 Qpt Tuf Batuapung 38.377 27,34 6 Qhpt Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 9.583 6,83 7 QTt Tuf Kristal Yang Telah Mengeras 2.817 2,01 8 Qal Aluvium 34.444 24,54 9 pTps Filit, Batupasir Meta (Kuarsit), Batulanau Meta 112 0,08 10 Tgr Batuan Granitik 4.619 3,29 11 pTqt Kuarsit 5.110 3,64 X.1 Sungai 1.239 0,88 Jumlah 140.350 100,00

Page 16: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

-543-

3.2.3 Relief/Lereng Dari segi topografi dan relief Kabupaten Padang Pariaman didominasi wilayah dataran rendah. Sebagian

besar 114.185 (81,35%) mempunyai relief datar sampai berbukit kecil. Sisanya berbukit sampai bergunung dengan lereng >25% sebesar 26.166 ha atau 18,65%. Rincian relief Kabupaten Padang Pariaman disajikan pada Tabel 3 dan penyebarannya dapat dilihat pada Gambar 4.

Relief merupakan salah satu penentu klas kemampuan lahan. Penetapan tingkat kemampuan penggunaan lahan (KPL) di DAS Nawagaon Maskara, Saharanpur-India menggunakan peta DEM, data citra satelit IRS LISS IV dan SRTM tiga dimensi Digital Elevation Model (DEM), memperlihatkan bahwa semakin curam lereng maka KPL akan mendekati ke kelas VIII, dan sebaliknya semakin datar lereng maka akan memiliki kelas KPL mendekati I (Hardjadi, 2007). Tanah kelas I-IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian sedangkan kelas V-VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya. Tanah kelas VIII dalah tanah-tanah yang berlereng sangat curam (lebih dari 65%) (Hardjowigeno, 2003).

Gambar 4. Sebaran Relief Kabupaten Padang Pariaman Tabel 3. Rincian Relief di Kabupaten Padang Pariaman

Simbol

Relief Lereng (%)

Luas Ha %

f Datar <1 13.410 9,55 n Agak datar 1-3 26.397 18,81 u Berombak 3-8 39.452 28,11 r Bergelombang 8-15 17.948 12,79 c Berbukit kecil 15-25 16.978 12,10 h Berbukit 25-40 14.035 10,00 m Bergunung >40 10.892 7,76 X1 Sungai 1.239 0,88

Jumlah 140.350 100,00

Dari segi elevasi, Kabupaten Padang Pariaman merupakan wilayah dataran rendah yakni 108.290 ha atau 77,16% dari total luasnya. Sisanya merupakan dataran medium, dataran tinggi dan kawasan pegunungan. Rincian elevasi Kabupaten Padang Pariaman disajikan pada Tabel 4 dan penyebarannya dapat dilihat pada Gambar 5.

Elevasi juga menjadi penentu wilayah pengembangan kawasan pertanian. Elevasi mempengaruhi pertumbuhan tanaman terhadap suhu udara, sinar matahari, kelembaban udara dan angin. Semakin tinggi suatu tempat, semakin rendah suhu udaranya atau udaranya semakin dingin. Begitu pula

Page 17: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-544-

sebaliknya, semakin rendah daerahnya semakin tinggi suhu udaranya atau udaranya semakin panas. Pengkajian pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pembungaan, Produksi, dan Mutu Benih Botani Bawang Merah, menunjukkan bahwa tingkat pembungaan dan produksi biji di dataran tinggi lebih besar daripada di dataran rendah, sebaliknya mutu benih yang dihasilkan di dataran rendah lebih baik daripada di dataran tinggi. Implikasi penelitian ini adalah dataran tinggi sangat potensial untuk pengembangan produksi biji bawang merah, di mana biji bawang merah dapat menghasilkan umbi bibit yang jauh lebih baik daripada umbi bibit yang beredar di pasar (Hilman, dkk., 2014).

Gambar 5 Sebaran Elevasi Kabupaten Padang Pariaman

Tabel 4. Rincian Elevasi di Kabupaten Padang Pariaman

Simbol Tinggi m dpl

Elevasi Luas Ha %

1 0-400 Dataran rendah 108.290 77,16 2 400-700 Dataran medium 15.160 10,80 3 700-1200 Dataran tinggi 14.305 10,19 4 >1200 Kawasan pegunungan 2.596 1,85

Jumlah 140.350 100,00

Hasil interpretasi secara lengkap ditampilkan pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5. Hasil interpretasi landform, relief dan litologi Kabupaten Padang Pariaman

No. SL Simbol Landform Bahan Induk Relief (% lereng) Elevasi

(m dpl) Karakteristik dan Klasifikasi Tanah Luas

Ha %

GRUP ALUVIAL (A)

1 1Afq.1.1.2.f Dataran Banjir Pada Sungai Meander Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Tropopsamments Tropaquents Sulfaquents 1.941,51 1,38

2 1Afq.1.1.2.n Dataran Banjir Pada Sungai Meander Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Dystrandepts Dystropepts 4.815,63 3,43

3 1Afq.1.3.f Dataran Aluvial Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Dystropepts Humitropepts Tropaquepts 1.655,02 1,18

4 1Afq.1.3.n Dataran Aluvial Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Dystropepts Humitropepts Tropaquepts 6.414,36 4,57

5 1Afq.1.3.r Dataran Aluvial Lanau, pasir dan kerikil 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystropepts Paleudults Tropaquepts 632,11 0,45

6 1Afq.1.4.f Dasar Lembah Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Tropopsamments Tropaquents Sulfaquents 360,80 0,26

7 1Afq.1.4.n Dasar Lembah Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 370,14 0,26

8 1Afq.2.1.f Kipas Alluvial Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Dystropepts Paleudults Tropaquepts 50,35 0,04

GRUP MARIN (M)

9 1Mfq.1.1.f Punggung dan Cekungan Pesisir Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 3.105,12 2,21

10 1Mfq.1.1.n Punggung dan Cekungan Pesisir Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Tropopsamments Tropaquents Sulfaquents 4.882,92 3,48

Page 18: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

-545-

11 1Mfq.2.3.f Rawa belakang Pasang Surut Lanau, pasir dan kerikil 0-1 Datar 0- 400 Tropaquepts Tropohemists 5.146,95 3,67

12 1Mfq.2.3.n Rawa belakang Pasang Surut Lanau, pasir dan kerikil 1-3 Agak datar 0- 400 Tropaquepts Tropohemists 5.069,38 3,61

GRUP KARST (K)

13 4Kc.4.m Pegunungan Karst Batugamping >40 Bergunung >1200 Troporthents Eutropepts Hapludalfs 327,50 0,23

14 3Kc.4.m Pegunungan Karst Batugamping >40 Bergunung 700-1200 Troporthents Eutropepts Hapludalfs 757,32 0,54

GRUP VOLKANIK (V)

15 4Va1.1.1.3.m Lereng Volkan Atas Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat >40 Bergunung >1200 Dystrandepts Hydrandepts Humitropepts 699,65 0,50

16 2Va1.1.1.4.r Lereng Volkan Tengah Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystrandepts Humitropepts 929,68 0,66

17 3Va1.1.1.4.c Lereng Volkan Tengah Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat 15-25 Berbukit kecil 700-1200 Dystrandepts Humitropepts 800,07 0,57

18 1Va1.1.1.5.u Lereng Volkan Bawah Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat 3-8 Berombak 0- 400 Dystropepts Humitropepts Dystrandepts 2.495,12 1,78

19 2Va1.1.1.5.r Lereng Volkan Bawah Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystropepts Humitropepts Dystrandepts 1.132,93 0,81

20 1Va1.1.1.5.c Lereng Volkan Bawah Andesit Dari Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Humitropepts Dystrandepts 139,33 0,10

21 1Vd.1.5.f Dataran Volkanik Tuf Batuapung 0-1 Datar 0- 400 Dystrandepts Humitropepts 1.150,25 0,82

22 1Va.1.5.n Dataran Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 1-3 Agak datar 0- 400 Dystrandepts Tropaquepts 190,57 0,14

23 1Vd.1.5.n Dataran Volkanik Tuf Batuapung 1-3 Agak datar 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 1.329,13 0,95

24 1Vd1.1.5.n Dataran Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 1-3 Agak datar 0- 400 Tropopsamments Tropaquents Sulfaquents 3.324,74 2,37

25 1Va.1.5.u Dataran Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 3-8 Berombak 0- 400 Dystropepts Dystrandepts 10.248,57 7,30

26 1Vb.1.5.u Dataran Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 3-8 Berombak 0- 400 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 89,61 0,06

27 1Vd.1.5.u Dataran Volkanik Tuf Batuapung 3-8 Berombak 0- 400 Dystropepts Troporthents 24.977,61 17,80

28 1Vd1.1.5.u Dataran Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 3-8 Berombak 0- 400 Dystrandepts Humitropepts 1.640,79 1,17

29 1Va.1.5.r Dataran Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystropepts Dystrandepts 906,57 0,65

30 2Va.1.5.r Dataran Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystrandepts Humitropepts 944,11 0,67

32 1Vb.1.5.r Dataran Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystropepts KanhapludultsTroporthents 624,84 0,45

33 3Vb.1.5.r Dataran Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 8-15 Bergelombang 700-1200 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 574,58 0,41

34 1Vd.1.5.r Dataran Volkanik Tuf Batuapung 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystrandepts Humitropepts 7.992,66 5,69

35 1Vd1.1.5.r Dataran Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 8-15 Bergelombang 0- 400 Dystropepts Dystrandepts Haplohumults 2.881,12 2,05

36 2Vd1.1.5.r Dataran Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystropepts Dystrandepts 216,17 0,15

38 2Va.1.5.1.r Perbukitan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 8-15 Bergelombang 400 - 700 Dystrandepts Dystropepts 1.113,10 0,79

39 2Va.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 15-25 Berbukit kecil 400 - 700 Dystrandepts Dystropepts 2.820,04 2,01

40 3Va.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 15-25 Berbukit kecil 700-1200 Dystrandepts Dystropepts 2.166,92 1,54

41 1Vb.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 465,10 0,33

42 3Vb.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 15-25 Berbukit kecil 700-1200 Dystropepts Hapludults Humitropepts 470,87 0,34

43 2Vb.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 15-25 Berbukit kecil 400 - 700 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 177,23 0,13

44 4Vb.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 15-25 Berbukit kecil >1200 Dystropepts Hapludults Humitropepts 553,13 0,39

45 1Vd.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Tuf Batuapung 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Troporthents 2.144,37 1,53

46 1Vd1.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Tuf Batuapung Hornblende Hipersten 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Dystrandepts 1.520,31 1,08

47 1Vd2.1.5.1.c Perbukitan Volkanik Tuf Kristal Yang Telah Mengeras 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Hapludults Eutropepts 2.816,89 2,01

48 4Va.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau 25-40 Berbukit >1200 Dystrandepts Dystropepts 197,40 0,14

49 2Vb.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 25-40 Berbukit 400 - 700 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 4.576,64 3,26

50 1Vb.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 25-40 Berbukit 0- 400 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 1.997,81 1,42

51 3Vb.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf 25-40 Berbukit 700-1200 Humitropepts Dystropepts Haplohumults 4.826,47 3,44

52 1Vd.1.5.1.h Perbukitan Volkanik Tuf Batuapung 25-40 Berbukit 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 782,99 0,56

53 3Va.1.5.2.m Pegunungan Volkanik Andesit Dari Kaldera Danau Maninjau >40 Bergunung 700-1200 Dystrandepts Dystropepts 2.065,04 1,47

54 4Vb.1.5.2.m Pegunungan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf >40 Bergunung >1200 Dystropepts Hapludults Humitropepts 818,20 0,58

55 3Vb.1.5.2.m Pegunungan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf >40 Bergunung 700-1200 Dystropepts Hapludults Humitropepts 735,53 0,52

Page 19: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-546-

56 2Vb.1.5.2.m Pegunungan Volkanik Lava, tuf hablur dan kaca, tuf breksi tuf >40 Bergunung 400 - 700 Dystropepts Hapludults Humitropepts 203,95 0,15

57 1Vg.4.c Intrusi Volkanik Batuan Granitik 15-25 Berbukit kecil 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 2.903,97 2,07

58 1Vg.4.h Intrusi Volkanik Batuan Granitik 25-40 Berbukit 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 591,82 0,42

59 2Vg.4.m Intrusi Volkanik Batuan Granitik >40 Bergunung 400 - 700 Dystropepts Hapludults Humitropepts 1.123,56 0,80

GRUP TEKTONIK DAN STRUKTURAL (T)

60 1Tfq1.12.1.h Perbukitan Tektonik Filit, Batupasir Meta (Kuarsit), Batulanau Meta 25-40 Berbukit 0- 400 Dystrandepts Humitropepts

112,27 0,08

61 2Tq.12.1.h Perbukitan Tektonik Kuarsit 25-40 Berbukit 400 - 700 Dystropepts Hapludults Humitropepts 608,11 0,43

62 1Tq.12.1.h Perbukitan Tektonik Kuarsit 25-40 Berbukit 0- 400 Dystropepts Hapludults Humitropepts 341,29 0,24

63 1Tq.12.2.m Pegunungan Tektonik Kuarsit >40 Bergunung 0- 400 Dystropepts Hapludults

938,51 0,67

64 3Tq.12.2.m Pegunungan Tektonik Kuarsit >40 Bergunung 700-1200 Dystropepts Hapludults

1.908,24 1,36

65 2Tq.12.2.m Pegunungan Tektonik Kuarsit >40 Bergunung 400 - 700 Dystropepts Hapludults

1.314,18 0,94 GRUP ANEKA (X)

66 X.1 Sungai 0- 400 1.239,23 0,88

Jumlah 140.350,38 100,00

Gambar 6. Peta Satuan Lahan Analisis Kabupaten Padang Pariaman

Gambar 7. Peta Interpretasi Operasional Lapangan Kabupaten Padang Pariaman

Page 20: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kasus Pemetaan Lahan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Siska, W., dkk)

-547-

Peta satuan lahan analisis digunakan sebagai dasar penetapan lokasi survei dan pengamatan lapangan. Metode ini sangat menghemat biaya dan waktu. Peta satuan lahan analisis selanjutnya di overlay dengan peta RBI menjadi peta operasional lapangan. Pada satuan-satuan lahan potensial untuk pengembangan kawasan pertanian, pengamatan perlu lebih banyak untuk mengetahui lebih rinci mengenai sebaran dan kemungkinan adanya variasi sifat-sifat tanah, yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.

Pendekatan analisis terrain untuk pemetaan sumberdaya lahan pertanian telah banyak diaplikasikan. Beberapa diantaranya Penentuan Lahan Kritis Mangrove Di Kecamatan Tugu, Kota Semarang (Ardiansyah dan Buchori 2014), dan Inventarisasi lahan kritis di lahan bekas penambangan timah di Pulau Belitung. Hasil kegiatan dapat menggambarkan status lahan kritis beserta luasannya secara terperinci (Suwarno 2013).

Kajian tingkat perubahan penggunaan lahan terhadap arahan fungsi lahan dan tingkat akurasi hasil interpretasi visual penggunaan lahan citra Landsat ETM+ pada pemanfaatan lahan telah dilakukan di DAS Garang Jawa Tengah antara tahun 2001 dan 2006. Kajian bertujuan untuk mengevaluasi interpretasi citra penginderaan jauh dan SIG untuk pemetaan perubahan penggunaan lahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui citra landsat ETM+ pada perekaman yang berbeda antara tahun 2001 dan 2006 dapat diperoleh data perubahan penggunaan lahan, dengan tingkat ketelitian interpretasi 85,71%. (Ahya, 2008).

4. KESIMPULAN

Dari kegiatan diperoleh gambaran, Kabupaten Padang Pariaman yang luasnya sekitar 140.000 ha terdiri dari 65 satuan lahan. Sebahagian besar (92,17%) merupakan potensi pengembangan kawasan pertanian untuk komoditas tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, sisanya (7,83%) merupakan lahan konservasi. Peta satuan lahan yang dihasilkan dari pengolahan data penginderaan jauh ini memiliki keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana untuk survei lapang. Penerapan penginderaan jauh terbukti dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pemetaan sumberdaya lahan. Dengan demikian, penginderaan jauh selayaknya dijadikan instrumen utama didalam pemetaan lahan untuk pengembangan kawasan pertanian. 5. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat yang telah memberikan dukungan pendanaan bagi terlaksananya penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian sebagai Penyedia data dan Bapak Ir. Rachmad Hendayana, MS atas bimbingan, saran, dan koreksinya selama penulisan makalah. DAFTAR PUSTAKA Anonim (2014). Kabupaten Padang Pariaman. BPS Kabupaten Padang Pariaman.

https://padangpariamankab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/21 [di akses tanggal 13 2016]. Ardiansyah, D.M., dan Buchori, I. (2014). Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Penentuan Lahan Kritis Mangrove Di

Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Geoplanning, 1(1):1–12. Badan Litbang Pertanian (2013). Peta Zona Agroekologi Provinsi Sumatera Barat, Badan Litbang Pertanian.

Kementerian Pertanian. Djaenudin, U.D. (2009). Prospek penelitian potensi sumber daya lahan di wilayah indonesia. Pengembangan Inovasi

Pertanian, 2(4):243–257. Hardjowigeno, S., (2003). Ilmu Tanah, Jakarta: Akademika Pressindo. Hikmatullah, dkk., (2014). Petunjuk Teknis Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail Skala 1:50.000, Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Hilman, Y., Rosliani, R. dan Palupi, E. (2014). Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pembungaan , Produksi , dan

Mutu Benih Botani Bawang Merah. Jurnal Hortikultura, 24(2):154–161. Ismon, dkk., 2015. Laporan Akhir Tahun Anggaran 2015 Penyusunan Peta Pewilahan Komoditas, Palloan, P., dan Zylshal (2009). Identifikasi Morfologi dan Struktur Geologi Kawasan Karst di Kabupaten Maros

dengan Menggunakan Citra Landsat 7 ETM+. Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika, 9(5):69–77. Saadat, H., dkk., (2008). Landform classification from a digital elevation model and satellite imagery. Geomorphology,

100(3-4):453–464. Suwarno, Y., (2013). Pemetaan Lahan Kritis Kabupaten Belitung Timur Menggunakan Sistem Informasi Geografis.

Globe, 15(1):30–38. Tafakresnanto, C., dkk., (2014). Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Satuan Lahan untuk Pewilayahan Komoditas

Pertanian Skala 1:50.000, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Wahyunto, Retno, M.S., dan Ritung, S. (2004). Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Dan Uji Validasinya Untuk

Page 21: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-548-

Deteksi Penyebaran Lahan Sawah Dan Penggunaan/Penutupan Lahan. Informatika Pertanian, pp.745–769. Wiweka, P.Y., dkk. (2015). Pemanfaatan Data Citra dan Data DEM Dalam Mengoptimalkan Kegiatan Pemetaan

Geologi. Seminar Nasional Penginderaan Jauh. pp. 317–327.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Aplikasi Penginderaan Jauh Dalam Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Kasus Pemetaan Lahan Di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat Pemakalah : Widia Siska (BPTP Sumatera Barat) Diskusi : Pertanyaan: Suwarsono (LAPAN): Terkait pernyataan pada Kesimpulan bahwa “Peta satuan lahan yang dihasilkan dari pengolahan data penginderaan jauh ini memiliki keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana untuk survey lapang. Penerapan penginderaan jauh terbukti dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pemetaan sumberdaya lahan. Dengan demikian, penginderaan jauh selayaknya dijadikan instrument utama di dalam pemetaan lahan untuk pengembangan kawasan pertanian. Terkait penginderaan jauh, dalam studi Saudara tampaknya Saudara hanya memanfaatkan data dengan menerapkan metode untuk analisis land form dan perubahan liputan lahan namun tidak membuktikan dan melakukan studi komparasi terkait “keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana untuk “survey lapang”, jadi menurut kami pendapat Saudara dalam kesimpulan tersebut kurang tepat, statement terlalu bombastis tidak didasari hasil analisis tapi disimpulkan. Lebih baik secara objektif dan jujur dengan statement dalam pemetaan sumberdaya lahan pertanian, data penginderaan jauh telah berperan dan digunakan untuk membantu dalam analisis land form dan perubahan liputan lahan. Apakah Saudara akan memperbaiki statement kesimpulan tersebut atau bertahan pada kesimpulan sebelumnya dengan menambah analisis pembuktian ilmiah dan studi komparasi akurasi, hemat waktu dan dana disbanding survey lapangan. Jawaban: Makalah ini memanfaatkan data penginderaan jauh dengan menerapkan metode untuk analisis landform dan perubahan liputan lahan, namun memang belum melakukan studi komparasi terkait “keunggulan dalam akurasi, hemat waktu dan dana untuk “survey lapang”. Oleh karena itu, bersama ini saya kirimkan perbaikan statement kesimpulan seperti yang telah Ibu sarankan.

Page 22: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-549-

Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu

(Studi Kasus Pulau Lombok)

Verification Phase Growth of Rice Model Based MODIS Images Using Multitemporal Landsat Images Analysis (Case Study Lombok)

Johannes Manalu1*), dan I Made Parsa1

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

*)Email: [email protected]

ABSTRAK -Model fase pertumbuhan yang berbasis citra MODIS yang ada saat ini walaupun belum diverifikasi secara ideal, tetapi telah digunakan untuk operasional pemantauan luas tanam dan panen padi secara nasional.Verifikasi yang dilakukan selama ini dengan membandingkan secara langsung fase pertumbuhan (MODIS) dengan fase tanaman di lapangan berpotensi memberikan hasil verifikasi yang salah karena adanya perbedaan waktu antara data MODISyang diproses dengan pengambilan data lapangan.Oleh karena itu penelitian ini didesain sedemikian rupa dengan mempertimbangkan perbedaan waktu (keterlambatan ketersediaan data MODIS).Penelitian ini bertujuan untuk verifikasi model fase pertumbuhan tanaman padi berbasis MODIS di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menggunakan citra Landsat multitemporal dan data lapangan.Secara umum penelitian ini dilakukan dengan metode analisis dan evaluasi secara bertahap, pertama dengan analisis citra Landsat8 multiwaktu untuk memperoleh fase pertumbuhan padi yang akan dijadikan pembanding terhadap hasil analisis fase pertumbuhan berbasis MODIS, sedangkan tahap kedua menggunakan data referensi hasil pengamatan lapangan (survei).Akurasi model fase pertumbuhan dihitung menggunakan matrik kesalahan. Hasil analisis dan evaluasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan ketelitian model fase mencapai 67%. Hal ini mengindikasikan bahwa model fase pertumbuhan untuk Provinsi NTB perlu dilakukan review secara lebih mendalam. Kata kunci: fase pertumbuhan, citra MODIS, citra Landsat multiwaktu, matrik kesalahan ABSTRACT – Growth phase models based on MODIS image that exists today, although have not been verified perfectly, but it has been used for operational monitoring of extensive and harvesting rice nationwide. Verification that was carried out by comparing directly between the growth phase (MODIS) with the phase of the plant in the field may lead to the wrong verification result because of the time difference between the data MODIS processed with field data collection. Therefore, this study was designed to take into account the time difference (delay in MODIS data availability). This study aimed to verify the model phase of growth of rice plants in the province of West Nusa Tenggara (NTB) using multitemporal Landsat imagery and field data. Generally, this study was conducted using analysis and evaluation in several stages, first with Landsat 8 multitemporal image analysis to obtain rice growth phase that will be the comparison of the results of the analysis of MODIS-based growth phase, while the second stage uses field observation data (survey) as a reference. The accuracy of the growth phase model is calculated using the confusion matrix. The results of the analysis and evaluation showed that the overall accuracy of the model phase reached 67%. This indicates that the growth phase model for NTB needs to be reviewed in greater depth. Key words: growing phase, MODIS images, multitemporal Landsat8 images, confusion matrix 1. PENDAHULUAN

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) telah mengembangkan model untuk pemantauan fase pertumbuhan tanaman padi berbasis data MODISdelapan harian resolusi 250 meter dimana outputnyamengklasifikasi informasi menjadi enam kelas yaitu fase air (pengolahan tanah), fase vegetative 1 (1-40 hst), fase vegetative 2 (41-64 hst), fase generative 1 (65-96 hst), generative 2 (97-panen) dan fase bera/panen (Dirgahayu, dkk., 2005; Dirgahayu, dkk., 2014). Dalam implementasi model tersebut juga menggunakan basis data luas baku sawah dari Kementerian Pertanian skala 1:5000 tahun 2010 (untuk pulau Jawa) dan skala 1:10.000 tahun 2012 (untuk luar pulau Jawa) (Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, 2016)sebagai acuan. Sebelum digunakan dalam pemodelan, data spasial luas baku sawah tersebut terlebih dulu di-downscaling ke skala 1:250.000. Model pemantauan fase pertumbuhan belum dilakukan verifikasi dan validasi secara memadaidimana hasilnya harus disampaikan secara rinci dan lengkap kepada

Page 23: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu (Studi Kasus Pulau Lombok) (Manalu, J., dkk)

-550-

Pusfatja untuk dapat dijadikan bahan masukan guna memperbaiki akurasinya.Namun demikian, karena kebutuhan yang mendesak, maka model tersebut telah dioperasionalkan oleh Kementerian Pertanian untuk menghasilkan informasi perkiraan/perkembangan luas tanam/panen dari waktu ke waktu.Selain itu informasi luas tanam/panen ini juga mendukung prediksi angka ramalan produksi (ARAM) yang dilakukan oleh BPS.

Beberapa hasil verifikasi/validasi yang telah dilakukan menunjukan katelitian sangat bervariasi, hasil verifikasi Balai Penelitian Agroklimat dan Klimatologi untuk ketelitian fase 8-70% sedangkan BBSDLP 75-91% sedangkan untuk ketelitian luas 7-70% (Syahbuddin, H, 2015; Badan Litbang Pertanian, 2015). Namun demikian secara rinci hasil verifikasi tersebut baik menyangkut teknik verifikasi, sebaran titik sampel tiap lokasi, maupun teknik pengambilan sampel belum pernah diterima oleh Pusfatja.Berkaitan dengan teknik verifikasinya, yang dilakukan selama ini kelas fase pertumbuhan tanaman padi hasil MODIS yang terdiri atas enam kelas informasi yaitu: fase air (pengolahan tanah, fase vegetative 1 (umur 1-40 hst), fase vegetative 2 (umur 41-64 hst), fase negeratif1 (umur 65-96 hst), fase generative 2 (umur 97-panen), dan fase bera yang langsung dibandingkan dengan informasi lapangan padahal ada perbedaan waktu diantara keduanya. Penggunaan klasifikasi informasi fase tanaman padi seperti ini tidak dapat mengakomodasi beda waktu antara data MODIS yang diolah dengan waktu pelaksanaan verifikasi/survei lapangan.Hal ini dapat menyebabkan kesalahan komparasi antara informasi fase tanaman padi (MODIS) dengan umur tanaman padi di lapangan sehingga berpotensi menyebabkan kesalahan.Sebagaimana diketahui bahwa timelag atau delay antara aqusisi dengan ketersediaan data di website USGS rata-rata mencapai tujuh hari (untuk data 8harian) dan dua hari (untuk data harian), oleh karena itu untuk aplikasinya akan selalu terjadi keterlambatan data selama 7 hari tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, informasi yang akan diverifikasi/dicek di lapangan tidak lagi menggunakan kelas fase sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, tetapi harus dimodifikasi sedemikian rupa (umur tanaman padi ditambahkan beda waktu/delaynya data) dan kisaran umur untuk tiap kelas dibuat selang 8 hari sesuai dengan periode data input MODIS yang digunakan. Sehingga umur tanaman padi mulai dari umur 7-14 hst, 15-22 hst, 23-30 hst, 31-38 hst, 39-46 hst, 47-54 hst, 55-62 hst, dan seterusnya. Umur tanaman ini langsung dapat dibandingkan dengan umur tanaman di lapangan.

Walaupun demikian, Kementerian Pertanian dalam hal ini Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) telah menggunakan untuk monitoring luas tanam dan panen yang lebih dikenal dengan istilah Standing Crop (SC). Dalam perkembangan lebih lanjut BBSDLP telah melakukan terobosan dengan melakukan otomatisasi mulai dari download data MODIS hingga pengolahan data untuk menghasilkan informasi fase pertumbuhan tanaman. Langkah otomatisasi ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap kebutuhan waktu proses data menjadi sangat singkat. (Parsa, 2014).

Berkaitan dengan hal tersebut, akan dilakukan analisis secara bertahap terhadap fase pertumbuhan tanaman padi berbasis data resolusi rendah MODISmenggunakan data penginderaan jauh multispektral resolusi menengah Landsat8 dan data hasil pengamatan lapangan. Tujuan analisis adalah untuk verifikasi informasi spasial fase pertumbuhan padi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menggunakan data resolusi menengah Landsat8 dan data lapangan.Makalah ini merupakan laporan kemajuan hasil analisis tahap satu yang telah dilakukan hingga saat ini dan akan dilanjutkan ke verifikasi tahap kedua dengan menggunakan informasi lapangan. 2. METODE

Data yang digunakan dalam analisis ini meliputi data Landsat P/R 116065, 115065 multitemporal yang direkam bulan Februari sampai Juni 2016 (Bank Data Penginderaan Jauh Nasional, 2016; USGS, 2013), sedangkan yang diuji adalah informasi fase pertumbuhan tanaman padi yang diolah dari data MODISdelapan harian 250m periode periode Januari-Juni 2016 (http://MODIS.gsfc.nasa.gov/data/).Lokasi penelitian adalah beberapa kecamatan/kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Secara teknis verifikasi informasi fase tanaman padi ini akan dilakukan secara bertahap dengan menggunakan citra yang mempunyai resolusi lebih baik. Pada tahap awal ini menggunakan citra resolusi menengah 30 m yaitu Landsat8 multiwaktu.Pada tahap berikutnya verifikasi akandilakukan dengan data lapangan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisiscitra Landsat-8 multiwaktu untuk memperoleh fase pertumbuhan padi yang akan dikomparasi dengan hasil analisis fase pertumbuhan berbasis MODIS.Satuan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah area sesuai dengan kondisi citra Landsatyang sudah tersedia.Berdasarkan hasil analisis tersebut akan dilakukan penghitungan akurasi model fase pertumbuhan menggunakan matrik kesalahan (Parsa, I. M., 2013; Parsa, I.M., 2013;)Secara diagram, grand desain penelitian ini akan dilaksanakan sesuai Gambar 1.

Page 24: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-551-

Gambar 1.Diagram alir penelitian pemanfaatan citra resolusi menengah Landsat untuk validasi informasi spasial fase pertumbuhan padi berbasis citra MODIS

Mengingat periode informasi fase pertumbuhan (delapan harian) tidak sama dengan periode perekaman

citra Landsat (hanya enam belas hari) maka terlebih dulu dilakukan pemilihan periode fase pertumbuhan tanaman padi yang bersesuaian dengan tanggal perekaman Landsat (Gambar 2).Beberapa pasangan yang bersesuaian antara citra Landsat dengan fase tanaman padi untukProvinsi NTB (Tabel 1).

INFORMASI KETELITIAN (II)

FASE TANAMAN PADI (MODIS)

FASE TANAMAN PADI (CITRA LANDSAT)

KOMPARASI DAN UJI KETELITIAN

INFORMASI KETELITIAN (I)

KEPUTUSAN

YA

OPERASIONALISASI MODEL (OTOMATISASI)

REVIEW INPUT DAN METODE FASE

TANAMAN PADI

TIDAK

INFORMASI SPASIAL FASE TANAMAN PADI BERBASIS MODIS

1. FASE AIR (pengolahan tanah) 2. FASE VEGETATIF1 (1-40 hst) 3. FASE VEGETATIF2 (41-64 hst) 4. FASE GENERATIF1 (65-96 hst) 5. FASE GENERATIF2 (97-panen) 6. FASE BERA (selesai panen)

CITRA LANDSAT8

MULTIWAKTU

ANALISIS FASE PERTUMBUHAN PADI

KESESUAIAN DATA

REPROYEKSI KE CITRA LANDSAT

PERIODE DATA

FASE TANAMAN PADI: 1. FASE AIR 2. FASE VEGETATIF1 3. FASE VEGETATIF2 4. FASE BERA

DATA LAPANGAN

CITRA KOMPOSIT KANAL 6,5,4

Page 25: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu (Studi Kasus Pulau Lombok) (Manalu, J., dkk)

-552-

Tabel 1. Daftar pasangan citra Landsat dan informasi fase tanaman padi Provinsi NTB

No. Tanggal Perekaman Citra Landsat Path/Row Informasi Fase Tanaman Padi

Periode Tanggal 1. 27 Desember 2015 116066 2. 12 Januari 2016 116066 9 Januari 9-16 Januari 3. 29 Februari 2016 116066 26 Februari 26 Februari-3Maret 4. 16 Maret 2016 116066 13 Maret 13-20 Maret 5. 1 April 2016 116066 29 Maret 29 Maret-5April 6. 17 April 116066 14 April 14-21 April

Keterangan:

(a) (b) Gambar 2.Citra komposit kanal 6,5,4 Landsat-8 12 Januari 2016 (a), Fase pertumbuhan padi periode 09-16 Januari

2016 (b) Pulau Lombok 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis citra Landsat dilakukan untuk identifikasi kondisi lahan sawah pun fase tanaman padi, apabila dilakukan dengan menggunakan satu citra saja hanya akan dapat identifikasi fase air dan bera saja, tetapi dengan menggunakan citra multiwaktu, (16 harian) maka fase tanaman akan dapat diketahui. Metode ini diterapkan dengan menggunakan asumsi bahwa varietas padi yang ditanam petani adalah sama yaitu Ciherang dengan umur panen 120 hari. Hal ini sesuai dengan referensi yang diperoleh bahwa lebih dari 90% areal persawahan di Indonesia telah ditanami varietas unggul baru (VUB) yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Beberapa VUB yang tidak asing bagi masyarakat seperti : IR64, Ciherang, Cibogo, Cigeulis, dan Ciliwung, merupakan yang paling banyak ditanam di Indonesia. Secara umum, varietas Ciherang masih menjadi primadona bagi petani di Indonesia bahkan mencapai 47% dari seluruh varietas yang telah dilepas oleh Badan Litbang Pertanian (http://pengetahuanumumindonesiadandunia. blogspot.co.id/2013/). Umur panen untuk varietas Ciherang adalah 116-125 hss (hari setelah sebar) (Badan Litbang Pertanian, 2012).Jika pembibitan berlangsung selama 21 hari, maka panen varietas Ciherang 95-104 hari setelah tanam (hst) atau rata-rata 99 hari.

Secara umum identifikasi tanaman padi di lahan sawah pada citra Landsat multiwaktu hanya bersifat global, dimana dapat hanya dapat mengidentifikasi air, vegetasi dan bera dan perubahannya dari waktu ke waktu.Berdasarkan pengalaman, untuk identifikasi fase airpun tidak semudah yang dipikirkan selama ini, karena ternyata tanaman padi yang baru tanam hingga umur satu minggu sulit dibedakan dengan lahan sawah yang sedang masa persiapan tanam (fase air) (Parsa, I.M., 2015).Selain sulit dibedakan dengan fase vegetatif1 (awal) terutama sampai umur tanaman 1 minggu, ternyata fase air juga seringkali sulit dipisahkan dengan fase bera jika bera tersebut dalam kondisi lembab.Oleh karena itu dalam identifikasi ini fase air termasuk didalamnya padi umur 1 minggu, sedangkan fase bera termasuk di dalamnya bera yang lembab.Walaupun ada kesulitan sebagaimana disebutkan diatas, namun dengan analisis citra multiwaktu yang dihubungkan dengan umur tanaman padi diharapkan kesulitan tersebut dapat diminimalisir.

Jika dilihat secara umum antara kenampakan pada citra Landsat dengan fase tanaman hasil analisis MODIS terlihat bahwa kenampakan air pada citra Landsat cenderung menjadi fase generatif 2 dan bera pada fase MODIS (Gambar 3), sedangkan vagetatif awal (hijau kebiruan) pada citra Landsat telah terklasifikasi menjadi vegetatif1 pada klasifikasi MODIS (Gambar 4), sedangkan bera pada Landsat cendrung menjadi generatif 2 dan vegetatif1 (Gambar 5). Hal ini merupakan indikasi bahwa model fase pertumbuhan untuk Provinsi NTB ini perlu dilakukan review lebih mendalam.

Page 26: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-553-

(a) (b)

Gambar 3. Kenampakan air pada citra Landsat (a) dan kelas generatif 2 pada fase MODIS (b)

(a) (b)

Gambar 4. Kenampakan hijau kebiruan (vegetatif) pada citra Landsat (a) dan kelas vegetatif1 pada fase MODIS (b)

(a) (b)

Gambar 5. Kenampakan bera pada citra Landsat (a) dan kelas generatif 2 pada fase MODIS (b)

Page 27: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu (Studi Kasus Pulau Lombok) (Manalu, J., dkk)

-554-

Identifikasi awal fase padi didasarkan pada kenampakan air pada citra Landsat untuk kemudian dilanjutkan dengan citra yang direkam berikutnya sampai ketemu fase bera. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan menunjukan bahwa dalam selang waktu 5-6 periode Landsat (90-106) sudah akan ketemu fase bera. Dengan memperhitungkan umur tanaman padi (97 hst) maka fase tanaman padi pada setiap periode Landsat dapat diketahui, hanya saja fase yang dimaksud disini bukan fase tanaman sebagaimana klasifikasi dari MODIS, tetapi hanya fase tanaman secara umum yaitu fase air, vegetatif, generatif, dan bera. Jika pada suatu area lokasi pada citra Landsat (1) diidentifikasi sebagai air, tetapi pada lima periode data berikutnya (80 hari) ternyata sudah menjadi fase bera maka ini berarti umurnya lebih dari 97 hari sehingga dengan demikian fase air yang diidentifikasi pada citra awal sesungguhnya sudah ada tanaman berumur 17 hari dan fase tanaman pada setiap periode citra Landsat dapat perkirakan dengan menghitung mundur umurnya. Jika pada citra ke enam masih terpantau hijau vegetasi maka dengan mempertimbangkan umur panen 97 hari maka umur maksimal pada saat itu kurang dari 97 hari, hal ini berarti bahwa fase air yang teridentifikasi pada citra awal memang benar fase air (belum dilakukan penanaman padi). Hasil analisis fase tanaman padi dan citra Landsat multiwaktu selengkapnya disajikan pada Lampiran.

Berdasarkan perkiraan fase tanaman yang dianalisis dari citra Landsat multiteporal maka dilakukan analisis lebih lanjut kesesuaian/akurasi fase yang diperoleh dari data MODIS. Secara umum dari 100 lokasi area (multitemporal) yang dianalisis, hanya 84 lokasi yang dapatdiverifikasi, hal ini disebabkan karena 16 lokasi lainnya tertutup awan pada salahsatu (MODIS/Landsat) datanya.Analisis lebih lanjut terhadap 84 data hasil verifikasi dengan menggunakan matrik kesalahan ternyataakurasi secara keseluruhan hanya 67% dengan akurasi tertinggi pada fase vegetatif1 dan generatif1 (80% dan 79%), sedangkan fase vegetatif2 dan generatif2 masing-masing 75% dan 73%. Hasil komparasi antara citra Landsat dengan fase pertumbuhan MODIS untuk Pulau Lombok disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitlasi hasil verifikasi fase pertumbuhan padi berbasis citra Landsat dengan fase pertumbuhan tanaman

padi berbasis citra MODIS FASE

MODIS CITRA LANDSAT

Air Hijau1 Hijau2 Hijau3 Hijau4 Bera Air 0 0 0 0 0 0 Vegetatif1 0 16 1 1 0 2 Vegetatif2 0 0 3 1 0 0 Generatif1 0 0 3 15 1 0 Generatif2 1 2 3 2 22 0 Bera 7 4 0 0 0 0

Sumber data: Hasil analisis Keterangan: blokberwarna hijau adalah hasil analisis yang benar

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis kualitatif dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disampaikan kesimpulan sementara bahwa: 1. Terdapat beberapa kesalahan hasil fase tanaman padi yang berbasis MODIS Provinsi NTB dibandingkan

dengan hasil analisis citra Landsat multiwaktu yang bersesuaian 2. Akurasi fase tanaman padi untuk Provinsi NTB adalah 67% 3. Perlu dilakukan review dan perbaikan terhadap model fase pertumbuhan untuk meningkatkan akurasi

model. 4. Perlu dilakukan analisis lanjutan yang bersifat kuantitaif terhadap data Landsat agar dapat dihitung

akurasi model 5. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada teman-teman peneliti/perekayasa yang telah memberikan bantuan, masukan dan saran pada pelaksanaan penelitian maupun penulisan makalah ini.

Page 28: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-555-

DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian (2012).Varietas-Padi-Unggulan Majalah Agroinovasi.Sinartani.No. 3441 Tahun XLII. 7 h. Badan Litbang Pertanian(2015). Inovasi Pertanian untuk Kemandirian Pangan dan Energi.Laporan Tahunan Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Bank Data Penginderaan Jauh Nasional – BDPJN LAPAN, diunduh bulan Februari-Juni 2016 dari http://bdpjn-

catalog.lapan.go.id/catalog/index.php Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, (2016).Pengelolaan Data Lahan Sawah, Alat dan Mesin Pertanian,

dan Jaringan Irigasi. Bahan Presentasi pada Pertemuan Tahunan Forum Komunikasi Statistik dan Sistem Informasi Pertanian. Solo.

Dirgahayu, D., Adhyani, N.L., dan Nugraheni, S., (2005).Model Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data MODIS untuk Pendugaan Umur Padi. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV, Surabaya.

Dirgahayu, D., Noviar, H., dan Anwar, S., (2014). Model Pertumbuhan Tanaman Padi di Pulau Sumatera Menggunakan Data EVI MODIS Multitemporal. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh.

MODISModerate Imaging Spectroradiometer.diunduh bulan Februari-Juni 2016 dari http://MODIS.gsfc.nasa.gov/data/ Parsa, I.M., (2013a). Optimalisasi Parameter Segmentasi untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Citra Satelit

Landsat (Studi kasus Padang Pariaman-Sumatera Barat dan Tanggamus-Lampung).Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, 10(1):27-38.

Parsa, I.M., (2013b). Kajian Pendekatan Teori Probabilitas untuk Pemetaan Lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Landsat Multiwaktu (Studi Kasus Daerah Tanggamus, Lampung).Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, 10(2):113-121.

Parsa, I.M., (2014). Ujicoba Model Pemetaan lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Landsat Mosaik Tahunan di Jawa Barat).Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, 11(1):15-28.

Parsa, I.M., (2015). Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Resolusi Menengah Landsat untuk Uji Ketelitian Informasi Spasial Fase Pertumbuhan Padi Berbasis Citra MODIS.Proseding Seminar Nasional Penginderaan Jauh. Bogor. ISBN: 978-979-1458-95-5.

Syahbuddin, H., (2015). Sistem Informasi Katam Terpadu versi 2.1 dan Standing Crop.Verifikasi Standing Crop di Empat Kabupaten Jawa Barat.Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Kementerian Pertanian.

USGSLandsat Mission, diunduh 22 Januari 2013 dari http://landsat.usgs.gov/documents/LDCM_Brochure/

Page 29: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Verifikasi Model Fase Pertumbuhan Tanaman Padi Berbasis Citra MODIS Menggunakan Analisis Citra Landsat Multiwaktu (Studi Kasus Pulau Lombok) (Manalu, J., dkk)

-556-

Lampiran. Hasil analisis fase tanaman padi dan citra Landsat multiwaktu di Pulau Lombok

SAMPEL MODIS Landsat Ket

MODIS Landsat Ket MODIS Landsat Ket MODIS Landsat Ket 9 Januari 12 Januari 26 Februari 29 Februari 13 Maret 16 Maret 29 Maret 01 April TS1 bera Air s bera hijau s awan hijau,awan ? g2 hijau b TS2 veg1 air, hijau b gen2 hijau s awan hijau,awan ? g2 hijau b TS3 bera air, hijau s veg2 hijau b awan hijau ? g1 hijau s TS4 bera air s awan hijau ? gen1,aw hijau b g2 hijau b TS5 veg1 air, hijau b gen2 hijau s gen1 hijau b g2 hijau b TS6 veg1 air, hijau b awan hijau ? gen1 awan ? g2 hijau b TS7 bera air, hijau s awan hijau s gen2 hijau s g2 hijau b TS8 gen2 air, hijau s awan hijau b gen1 hijau b g2 hijau b TS9 gen2 air, hijau s gen2 hijau s veg2 hijau s g2 hijau b TS10 veg1 air, hijau b awan hijau,aw ? gen1 hijau b g2 hijau,br b TS11 veg1 air, hijau b gen1 awan ? veg1 hijau s g2 g2,bera b TS12 veg1 air, hijau b ge21 awan ? gen2 hijau s g2 g2,bera b TS13 bera air, hijau s gen1 hijau b gen1 hijau b g2 g2,bera b TS14 veg1 air, bera b gen1 awan b gen1,2 hijau b g2 hj,bera b TS15 veg1 bera, s bera air s veg1 bera, air b v1 hj,bra b TS16 veg1 hijau,bera s veg1 air b veg1 a,h,b b v1 hj,bra b TS17 bera Air s gen1 hijau s veg2 hijau b g2 hjau,bra b TS18 bera Air s awan hijau ? gen1 hijau b g2 hijau b TS19 veg1 Air b gen1 awan s awan hijau ? g2 bera, hj b TS20 veg1 Air b awan hijau ? awan hijau ? g2 hju, bra b TS21 veg1 Air b awan hijau ? gen1 hijau b g2 hju, bra b TS22 bera Air s awan hijau ? gen1 hijau b g2 bera, hjau b TS23 bera Air s awan hijau ? veg1 hijau s g2 hjau,air b TS24 veg1 Air b awan hijau ? gen12 hijau b g2 bera,air b TS25 gen2 Air s gen1 hijau s veg2,aw hijau b g2 hijau b

Keterangan: Sumber data: Hasil analisis TS1: training sampel1

Page 30: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-557-

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Dr. M. Rokhis Khomarudin Judul Makalah : Analisa Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dengan Menggunakan Citra Landsat dan

Data Lapangan (Studi Kasus Pulau Lombok) Pemakalah : Johanes Manalu (LAPAN) Diskusi : Pertanyaan: Mahdi Kartasasmita, Ph.D Kesimpulan agak membingungkan, mau mendeteksi ketelitian dari produk data MODIS, tentunya ada kesalahan, maka dari itu perlu pengetesan. Dalam penelitian ini bagaimana menjamin ketelitian data MODIS sesuai dengan sampel Landsat?

Jawaban : Satu piksel data MODIS 250, makanya kami ambil piksel 3x3 ada 9 sehingga menjadi 270, ini untuk menghindari atau meminimalisir kesalahan, karena untuk mencapai titik tengah masih kesulitan sehingga di ambil pengamatan hamparan. Pertanyaan: Agus Hidayat (LAPAN) Di kesimpulan, akurasi model fase tanaman padi di NTB 67 %, apa maknanya, apakah akurasi data MODIS dengan Landsat atau data modis dengan lapangan? Jawaban : Ambil titik pengamatan, misal pada vegetatif satu ada 16 sample terus pengamatan sama di 16 titik. Pertanyaan: Dr. Bidawi Hasyim Kesimpulan harus benar. Kesimpulan adalah inti dari penelitian. Kita bicara fase tanaman, yang sangat menentukan adalah repetitive time data, ketika geometriknya bagus, sehingga menentukan hasil repetitive time sangat menentukan, dalam tiap bulan Landsat dan MODIS setiap hari, hal ini sangat menentukan grafik fase tanaman jadi perlu memutuskan yang mana yang benar.

Page 31: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-558-

Identifikasi Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8

Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index

Identification of Rice Plant Growth Phase from Landsat-8 Image Data Using Normalize Difference Vegetation Index Parameter

R. Johannes Manalu1*), dan Nana Suwargana1

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Fase pertumbuhan dan umur tanaman padi merupakan paramater biofisik tanaman yang dapat dideteksi oleh teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja). Penelitian bertujuan untuk membangun model pertumbuhan tanaman padi sawah yang dapat diterapkan di PT Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat. Fase pertumbuhan dan umur tanaman padi dapat diduga berdasarkan model tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengolahan data satelit Landsat-8 multi temporal dan analisis data setiap nilai piksel dari training sample (poligon). Pengolahan awal yang dilakukan adalah melakukan koreksi geometrik dari data citra Landsat 8 dua tanggal yaitu tanggal 11 Juli 2014 dan tanggal 12 Agustus 2014. Selanjutnya dengan perangkat lunak yang dipergunakan dilakukan ekstraksi informasi menjadi nilai Normalize Difference Vegetation Index (NDVI), sehingga diperoleh hubungan umur tanaman padi dengan NDVI. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan antara pertumbuhan tanaman padi dengan nilai NDVI, yang berbentuk parabola. Pola pertumbuhan tanaman padi dimulai dengan fase awal tanam (nilai NDVI dari minus menuju 0), dilanjutkan dengan fase vegetatif sehingga mencapai puncak parabola (nilai NDVI bertambah menuju 1). Setelah mencapai puncak tanaman padi memasuki fase generatif, dilanjutkan dengan fase panen dan diakhiri dengan fase bera (nilai NDVI dari mendekati 1 menuju nilai minus).

Kata kunci: LANDSAT-8 , NDVI, Fase Pertumbuhan, Fase Vegetatif, Fase Generatif

ABSTRACT- Growth phase and age of the rice plant is a crop biophysical parameters that can be detected by remote sensing technology. The research aims to develop rice crop growth model that can be applied in PT Sang Hyang Seri, Subang, West Java. Growth phase and age of the rice plant can be predicted by the model. The methods used in this research are data processing of multi-temporal Landsat-8 data and analysis of each pixel value of the training sample (polygons). Data pre-processing includes geometric correction of Landsat 8 image data, namely the date of July 11, 2014 and on August 12, 2014. Furthermore, the extraction of Normalize Difference Vegetation Index (NDVI) was carried out to estimate the relationship between rice plant age and NDVI. The analysis showed a relationship between the growth of the rice plant to NDVI values as parabolic form. The pattern of growth of the rice plant begins with the initial phase of planting (NDVI value of minus toward 0), followed by the vegetative phase, to reach the peak of the parabola (NDVI values increase towards 1). After reaching the peak of the rice crop enters the generative phase, followed by the harvest phase and ends with fallow phase (NDVI value of close to 1 to a minus value).

Keywords: LANDSAT-8, NDVI, phase of growth, vegetative phase, generative phase

1. PENDAHULUAN Penelitian menggunakan citra satelit untuk memantau pertumbuhan tanaman padi telah banyak dilakukan

(Shao dkk., 1997; Kuroso dkk., 1997; Le Toan, 1997; Panigrahy dan Sharma, 1997; Oette dkk., 2000; Shao dkk., 2001; David dkk., 2003). Beberapa penelitian sebelumnya telah menggunakan resolusi global dan moderat seperti NOAA AVHRR dan MODIS untuk memantau sawah (Fang dkk., 1998; Wataru dkk., 2006; Xiao dkk., 2005). Selanjutnya beberapa peneliti lainnya (Yoshinari dkk., 2001) melakukan pemantauan sawah menggunakan data time series dari data Landsat-7 ETM dan Landsat-5 yang diteliti mulai dari penanaman padi hingga panen, yang dilakukan pada tahun 2000 di bawah kendali Pusat Penelitian Pertanian Hirosima di Higashi Hiroshima Jepang, hubungan antara NDVI yang dihitung dari data satelit dan parameter-parameter fisik dari pertumbuhan tanaman padi. Penggunaan citra satelit resolusi spasial moderat dan global dibatasi terutama di lahan sawah yang kecil/sempit, karena ada banyak jenis tutupan lahan dalam satu pixel. Hal ini akan mengurangi nilai akurasi (Strahler dkk., 2006). Di sisi lain, pemanfaatan citra satelit resolusi spasial yang tinggi atau menengah dibatasi, terutama selama periode awal tanam, karena citra yang tersedia selama 120 hari periode pertumbuhan padi sedikit (Currey dkk, 1987). Landsat ETM+ memiliki

Page 32: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index (Manalu, R.J.,dkk.)

-559-

resolusi temporal, spasial dan spektral yang baik untuk memantau tanaman padi. Waktu pengamatan kembali ke wilayah yang sama dari Landsat ETM+ adalah 16 hari dengan resolusi spasial 30 m. Landsat ETM+ memiliki enam band dengan ukuran piksel yang sama yang bermanfaat dalam pengembangan algoritma untuk pemodelan padi.

Pembuatan model prediksi waktu panen padi secara spasial menggunakan data Landsat TM 5 yang dilakukan oleh Dirgahayu (1999) didasarkan atas pendugaan umur tanaman padi menggunakan parameter NDVI. Citra NDVI yang mempresentasikan kondisi tajuk tanaman padi dalam berbagai fase dan kondisi tersebut diperoleh dari rasio selisih dengan jumlah pada kanal Infra Merah Dekat (kanal 4 Landsat atau kanal 2 NOAA-AVHRR) dan kanal Merah (kanal 3 Landsat atau kanal spektrum tampak pada kanal 1 NOAA-AVHRR). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dirgahayu (2005) dengan menggunakan NDVI dapat menduga umur tanaman padi. Keterbatasan model terjadi pada kisaran nilai NDVI yang sama dapat dimiliki oleh tanaman yang umurnya berbeda, jika hanya menggunakan 1 tanggal data. Selanjutnya model dikembangkan menjadi 2 bentuk model pendugaan untuk umur padi pada fase vegetatif (hingga umur 8 minggu setelah tanam) dengan bentuk model Sigmoid dan model pendugaan untuk umur padi pada fase generatif (umur 8 minggu hingga 14 minggu/panen) yang berbentuk kuadratik. Pemecahan model tersebut meningkatkan koefisien determinasi persamaan regresi. Selanjutnya dari citra dapat diprediksikan umur padi, waktu dan luas panen padi baik dalam bentuk tabular maupun spasial per Kabupaten di seluruh pulau Jawa.

Sebagian besar penelitian aplikasi inderaja berdasarkan pendugaan umur terhadap tanaman padi adalah tentang estimasi produktivitasnya, jarang yang memprediksi luas panennya. Ekstraksi nilai reflektansi dari 7 kanal Landsat 7 ETM dilakukan pada blok-blok tanam lahan sawah PT. Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat. Setiap blok memiliki jadwal tanam dan varietas padi yang berbeda, sehingga rata-rata nilai reflektan tanaman padi pada umur yang berbeda dapat diketahui hanya dengan menggunakan satu tanggal data Landsat 7 ETM. Penelitian menghasilkan 2 model pertumbuhan tanaman padi dalam bentuk spline kubik, baik pada fase vegetatif dan generative. Sejak bulan Mei 2003, data Landsat 7 ETM mengalami SLC-Off (kerusakan), sehingga penelitian untuk tujuan pemantauan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi perlu dilakukan menggunakan data yang lebih banyak. LAPAN dapat melakukan penelitian kembali untuk pendugaan umur tanaman dengan menggunakan data multi temporal di tahun 2013 dan 2014 setelah Landsat-8 beroperasi.

Pertumbuhan tanaman padi dari musim tanam sampai panen dan kondisi/fase bera dapat dideteksi oleh data inderaja satelit dengan kombinasi kanal RGB dari citra Landsat-8 dan menentukan NDVI. Hal tersebut dapat dilakukan karena perubahan kondisi tanaman/parameter pertumbuhan tanaman seperti pertambahan tinggi, luas daun dan kerapatan tajuk menyebabkan fluktuasi perubahan NDVI. Takeuchi dan Yasuoka (2004), Sakamoto dkk. (2006), dan Xiao dkk.,(2006) menyatakan bahwa pola tanam padi bisa dipantau dengan menganalisis gambar fonologi yang diperoleh dari data satelit multi temporal resolusi tinggi. MODIS digunakan sebagai sumber data untuk ciri pola tanam padi di wilayah Asia. Kemudian Gitelson dkk. (2002) menggunakan saluran hijau yang menghasilkan presisi yang memuaskan untuk memperkirakan tutupan vegetasi. Meskipun saluran biru juga berisi informasi vegetasi, tetapi jarang diterapkan dalam penginderaan jauh vegetasi. Major dkk. (1990) dan Handine dkk. (1999) menyatakan bahwa NDVI adalah fungsi pemantulan kanal merah dan kanal infra merah dekat, yang merupakan kanal yang paling banyak digunakan. Karena reflektansi penyerapan klorofil yang tinggi dari jaringan tanaman hidup di kanal merah dan di kanal infra merah dekat, sehingga kedua kanal tersebut mengandung banyak informasi vegetasi.

2. METODE 2.1 Deskripsi Wilayah Survei

Penelitian ini dilakukan di PT Sang Hyang Seri yang terletak di wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat, berpusat pada 06° 19' 01" Lintang Selatan dan 107° 38' 07" Bujur Timur (Gambar 1.). Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan untuk mempermudah perolehan data sekunder seperti jadwal tanam, umur tanaman pada tiap blok yang dibutuhkan dalam pembangunan model. Area PT Sang Hyang Seri ini meliputi areal persawahan dengan luas sekitar 300 ha.

Page 33: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-560-

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian dengan citra Landsat-8 di Wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat.

2.2 Data

Data yang digunakan adalah data citra Landsat-8 lintasan 122/64 tanggal 11 Juli 2014 dan tanggal 12 Agustus 2014.

2.3 Metode

Untuk menentukan umur pertumbuhan padi dari fase awal tanam sampai fase panen dan kondisi fase bera dilakukan dengan menurunkan nilai NDVI. Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengekstrak citra Landsat-8 untuk menurunkan nilai NDVI adalah dengan membuat training area yang homogen sebanyak 3 training sampel (poligon) dari tiap blok area tanaman padi yang terdapat pada citra Landsat-8 multi temporal. Poligon untuk satu umur tanaman pada citra yang sama dapat dicatat lebih dari satu poligon sesuai dengan kenampakan pada tiap blok tanaman.

Pengambilan poligon pada setiap blok pada citra Landsat-8 diperlihatkan pada Gambar 2. Selanjutnya kumpulan data hasil training sampel dengan data umur tanaman berdasarkan Hari Setelah Tanam (HST) dicatat mulai dari fase awal tanam, fase vegetatif, fase generatif dan panen/bera pada suatu tabel. Kemudian dari hasil pencatatan nilai digital citra Landsat-8 tanggal 11-07-2014 dan citra Landsat-8 tanggal 12-08-2014 diturunkan nilai indeks vegetasi dengan model NDVI = (NIR-RED)/(NIR+RED) dan kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik dari fase awal tanam hingga panen. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kombinasi Kanal

Pengolahan data Landsat-8 dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kombinasi kanal RGB 653 (warna yang sebenarnya). Gambar 2 menunjukkan Lokasi Survei pada citra Landsat-8 yang diakusisi pada tanggal 11-07-2104 (Gambar 2.a) dan tanggal 12-08-2104 (Gambar 2.b) serta foto di lokasi survei yang diambil pada tanggal 12-08-2104. Gambar 2.a menampilkan sawah dengan mayoritas padi dalam fase panen dan masa awal tanam (fase bera). Kenampakan citra warna biru tua menunjukkan sawah mayoritas digenangi air, sedangkan kenampakan citra warna hijau menunjukkan padi dalam keadaan fase generatif. Kenampakan citra warna merah menunjukkan sawah dalam keadaan kering karena padi habis dipanen dan sebagian sawah dalam fase bera mulai dibajak yang ditunjukkan dengan kenampakan objek tersebut dengan warna biru tua karena banyak genangan air.

Gambar 2.b menampilkan sawah dengan mayoritas padi dalam fase generatif, kenampakan citra warna hijau muda sampai hijau tua. Gambar 2.c menunjukkan foto tanaman padi kering dan tanah kering yang pada citra menampilkan warna merah (dalam fase bera). Gambar 2.d menunjukkan foto sawah dengan tanaman padi sedang dalam masa pertumbuhan yang pada pada citra menampilkan warna hijau muda sampai hijau tua (fase generatif). Gambar 2.e menunjukkan foto tanaman padi

Page 34: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index (Manalu, R.J.,dkk.)

-561-

pada masa awal tanam (fase vegetatif), yang pada citra menampilkan warna biru hingga warna hijau muda karena obyeknya dominan air.

Gambar 2. Lokasi Survei (•) Pada Citra Landsat-8 Kombinasi Kanal RGB 653.

3.2 Indeks Vegetasi Pengolahan citra Landsat-8 dengan tanggal akusisi 11-07-2014 dilakukan menggunakan perangkat lunak

ER Mapper 7.0 dengan menggunakan fasilitas formula NDVI dihasilkan Gambar 3 yang menunjukkan gambar citra NDVI dan citra RGB di mana nilai indeks vegetasi dengan model NDVI menghasilkan rentang nilai indeks vegetasi -0,119289 - 0,788376. Nilai indeks vegetasi yang terbanyak berada di antara 0,0 hingga 0,4 yang menunjukkan lahan sawah dan tanaman padi dalam kondisi fase bera dan awal tanam (generatif), terlihat dengan mayoritas warna biru pada citra NDVI. Nilai indeks vegetasi yang cukup banyak berada di antara 0,4 hingga 0,6 yang menunjukkan tanaman padi dalam kondisi fase vegetatif terlihat dengan warna kuning dan oranye pada citra NDVI. Nilai indeks vegetasi yang paling sedikit berada di antara 0,6 hingga 0,8 yang menunjukkan lahan sawah dan tanaman padi dalam kondisi kering sehabis panen, terlihat dengan mayoritas warna merah pada citra NDVI (Gambar 3.a). Hal ini dapat juga dilihat dari bentuk histogramnya yang merupakan fasilitas dari perangkat lunak yang dipergunakan (Gambar 3.b). Pengolahan citra Landsat-8 dengan tanggal akusisi 12-08-2014 dilakukan menggunakan perangkat lunak ER Mapper 7.0 dengan menggunakan fasilitas formula NDVI dihasilkan Gambar 4 yang menunjukkan gambar citra NDVI dan citra RGB di mana nilai indeks vegetasi dengan model NDVI menghasilkan rentang nilai indeks vegetasi 0,114618 - 0,780684. Nilai indeks vegetasi yang terbanyak berada di antara 0,4 hingga 0,8 yang menunjukkan lahan sawah dan tanaman padi dalam kondisi fase generatif dan panen, terlihat dengan mayoritas warna kuning, oranye dan merah. pada citra NDVI. Hal ini dapat juga dilihat dari bentuk histogramnya yang merupakan fasilitas dari perangkat lunak yang dipergunakan (Gambar 4.b).

Page 35: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-562-

Gambar 3. Citra dan Bentuk Histogram Citra tanggal 11-07-2014.

Gambar 4. Citra dan Bentuk Histogram Citra tanggal 12-08-2014.

Page 36: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index (Manalu, R.J.,dkk.)

-563-

Tabel 1. Umur Tanaman Padi dengan Indeks Vegetasi NDVI pada Piksel 3x3 yang Diperoleh dari Dua Citra Tanggal 11-07-2014 dan 12-08-2014.

Umur piks-1 piks-2 piks-3 piks-4 piks-5 piks-6 piks-7 piks-8 piks-9

U6 -0,9699 -0,8079 -0,7772 -0,9699 -0,7378 -0,821 -0,9699 -0,8473 -0,821 U7_1 -0,05276 -0,567 -0,5407 -0,3962 -0,4969 -0,4969 -0,3874 -0,3349 -0,5801 U7_2 -0,9393 -0,8604 -0,8298 -0,9393 -0,8604 -0,7816 -0,8473 -0,821 -0,8298 U12 -0,7991 -0,7597 -0,8079 -0,7991 -0,8079 -0,8079 -0,7772 -0,8079 -0,7991

U20_1 -0,1684 -0,3611 -0,2341 -0,3349 -0,3699 -0,44 -0,3392 -0,3699 -0,3568 U20_2 -0,4969 -0,44 -0,1378 -0,5757 -0,44 -0,1684 -0,3261 -0,2867 -0,2692 U20_3 0,3571 0,2432 0,0067 0,2563 0,0768 0,0724 0,3571 0,0768 0,0943

U22 0,2738 0,0373 0,2651 0,3483 0,0373 0,2651 0,4359 0,2257 0,1643 U32 -0,3086 -0,2735 0,0724 0,3392 -0,7816 -0,4487 -0,5582 -0,7772 -0,4487 U38 -0,6863 -0,7863 -0,9876 -0,6863 -0,7863 -0,9515 -0,6863 -0,8254 -0,9515 U40 -0,0633 -0,2341 -0,0283 -0,2473 -0,3173 -0,1772 -0,1378 -0,3173 -0,1772 U44 0,4345 0,3854 0,2515 0,4166 0,2917 0,5549 0,0151 0,4211 0,5951 U47 -0,2166 -0,1465 -0,1246 -0,1246 -0,0983 -0,1334 -0,1991 -0,2166 -0,0067

U52_1 0,7815 0,7008 0,8127 0,8095 0,7573 0,879 0,7095 0,8182 0,779 U52_2 0,7703 0,6877 0,8008 0,8399 0,8921 0,879 0,3571 0,0887 0,1044 U54_1 0,9293 0,9057 0,76 0,9571 0,8507 0,9136 0,6779 0,945 0,9921 U54_2 0,7616 0,8921 0,8704 0,7616 0,9312 0,8921 0,379 0,8486 0,8312 U54_3 0,8182 0,3398 0,7312 0,8182 0,3094 0,4877 0,9269 0,5529 0,4138

U58 0,9396 0,9177 0,9177 0,8695 0,9177 0,9177 0,8476 0,8695 0,8783 U59_1 0,944 0,9965 0,9396 0,9834 0,9615 0,9878 0,944 0,9615 0,979 U59_2 0,3877 0,3485 0,4355 0,2877 0,4051 0,4833 0,1572 0,4051 0,5312 U59_3 0,3877 0,3485 0,4355 0,2877 0,4051 0,4833 0,1572 0,4051 0,5312 U69_1 0,668 0,6899 0,7556 0,7381 0,76 0,7907 0,8607 0,7162 0,668 U69_2 0,8914 0,9002 0,76 0,8695 0,9045 0,5717 0,8388 0,8038 0,5717 U69_3 0,5399 0,4007 0,5703 0,579 0,4877 0,5877 0,2529 0,1529 0,1485

U72 0,2877 0,2833 0,1876 0,3572 0,3138 0,3224 0,3138 0,3442 0,4051 U74 0,8607 0,7907 0,5761 0,8388 0,8607 0,7556 0,8564 0,6505 0,7907 U79 0,8921 0,9399 0,5703 0,9225 0,9356 0,853 0,5051 0,9486 0,953 U85 0,2432 0,1162 0,2476 0,1862 0,1162 0,1731 0,1862 0,1643 0,1731 U86 0,1572 0,1963 0,2572 0,3659 0,579 0,5964 0,5921 0,6616 0,3529 U90 0,0181 -0,0558 0,0441 0,0355 -0,0123 -0,0166 -0,1558 -0,0166 0,0268 U91 0,4138 0,4442 0,4138 0,4312 0,3964 0,3224 0,4268 0,3964 0,3181

U101_1 0,0398 0,0615 0,0398 0,005 0,0615 0,0268 0,0137 0,0441 0,0311 U101_2 -0,0079 -0,0558 -0,0862 -0,0079 -0,0601 -0,0384 -0,0384 -0,0688 -0,1253 U106 -0,1645 -0,1427 -0,2732 -0,1645 -0,1427 -0,1949 -0,1906 -0,208 -0,1862

Hasil dari pengolahan data citra Landsat-8 multi temporal dengan menggunakan formula NDVI didapat

tahap pertumbuhan tanaman padi yaitu fase awal tanam, fase vegetatif dan fase generatif (termasuk masa panen dan bera) ditampilkan pada Tabel 1. Hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan mulai dari umur 6 hari (U6) hingga umur 106 hari (U106) menunjukkan nilai NDVI yang besarnya -1 hingga 1. Nilai -1 menunjukkan bahwa objek lahan sawah dalam keadaan tanpa vegetasi, di objek lahan sawah tersebut yang terdeteksi adalah air dan tanah. Hasil pengukuran indeks vegetasi mulai umur 6 hari hingga 106 hari nilai NDVI nya bervariasi dan bentuk profil pertumbuhan tanaman padi mulai dari awal tanam hingga panen ditunjukkan pada Gambar 5 yang berfluktuasi membentuk lengkungan.

Page 37: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-564-

Gambar 5. GrafikUmur Tanaman Padi Dengan Nilai NDVI.

Untuk mendapatkan nilai NDVI yang lebih halus dibuat nilai rata-rata dari seluruh pengamatan dan

semua nilai negatif dijadikan nol, hasilnya ditampilkan pada Tabel 2. Data pengamatan yang didapat dimulai dari umur tanaman padi 6 hari (U6) hingga umur tanaman padi 106 hari (U106), dari data dapat dilihat 4 fase yang dialami tanaman padi.

Umur 6 hari hingga umur 20 hari menunjukkan fase pengolahan awal, di mana sawah mulai dibajak dan mulai ditanami. Umur 20 hari hingga umur 54 hari menunjukkan fase vegetatif dengan nilai NDVI mulai nilai 0,171188889 meningkat hingga umur 58 hari dengan nilai NDVI 0,897255556. Dari umur 58 hari hingga umur 59 hari merupakan puncak nilai NDVI 0,966366667 dan dari umur 59 hari NDVI kembali turun menjadi 0,382366667 yang menunjukkan fase generatif. Nilai rata-rata NDVI pada pertumbuhan tanaman padi mulai umur 6 hari hingga umur 106 hari, dapat dilihat pada Gambar 6.

Page 38: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index (Manalu, R.J.,dkk.)

-565-

Tabel 2. Rata-rata NDVI.

UMUR RATA-NDVI U6 0

U7_1 0 U7_2 0 U12 0

U20_1 0 U20_2 0 U20_3 0,171188889 U22 0,228088889 U32 0,082744444 U38 0,082744444 U40 0,351766667 U44 0,373988889 U47 0,373988889

U52_1 0,783055556 U52_2 0,602222222 U54_1 0,881266667 U54_2 0,796422222 U54_3 0,599788889 U58 0,897255556

U59_1 0,966366667 U59_2 0,382366667 U59_3 0,382366667 U69_1 0,738577778 U69_2 0,790177778 U69_3 0,413288889 U72 0,312788889 U74 0,775577778 U79 0,835566667 U85 0,178455556 U86 0,417622222 U90 0,032588889 U91 0,3959

U101_1 0,035922222 U101_2 0

U106 0

Gambar 6. menunjukkan hubungan umur tanaman padi dengan nilai NDVI yang menghasilkan bentuk parabola. Pertumbuhan vegetatif tampak diikuti dengan kenaikan nilai NDVI hingga mencapai nilai maksimum antara umur 58 – 59 HST. Fase pertumbuhan vegetatif tampak terbagi tiga, yaitu vegetatif awal antara umur 0-20 HST yang masih didominasi oleh penggenangan air dengan nilai NDVI sekitar 0,17118 dan fase pertumbuhan vegetatif antara umur 20 – 52 HST dengan nilai NDVI sekitar 0,7830 dengan slop tajam, fase vegetatif antara umur 52 – 59 HST dengan nilai NDVI sekitar 0,9663, di umur ini mulai pembentukan malai. Sedangkan fase pertumbuhan generatif tampak terbagi 2, yaitu masa pembentukan biji antara 59 – 85 HST dengan nilai NDVI sekitar 0,1784, masa pematangan antara umur 85 – 91 HST dengan penurunan nilai NDVI menjadi 0,3959. Selanjutnya tanaman padi akan dipanen dan kondisi lahan menjadi bera dengan nilai NDVI sekitar 0,0359.

Page 39: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-566-

Gambar 6. Hubungan Umur Padi Dengan NDVI.

4. KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Model indeks vegetasi

Normalize Difference Vegetation Index (NDVI) dengan menggunakan data citra Landsat-8 dapat menunjukkan fase pertumbuhan tanaman padi. Pola pertumbuhan tanaman padi dengan menggunakan indeks vegetasi NDVI menghasilkan kurva parabola, di mana pada awal tanam nilai NDVI menunjukkan nilai minus dan akan bergerak naik mendekati nilai 1 (puncak parabola) pada fase vegetatif. Setelah mencapai nilai mendekati 1, nilai NDVI bergerak turun menuju 0 pada fase generatif, panen dan bera.

5. UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada manajemen PT Sang Hyang Seri yang telah memberikan

kesempatan untuk melakukan penelitian di areal persawahan milik PT Sang Hyang Seri. Juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Bambang Trisakti sebagai Kepala Bidang Sumber Daya Wilayah Darat Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN, atas saran dan masukan yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA Currey, B.,dkk..(1987). How useful is Landsat monitoring Nature. 328:587-590. David, D.,dkk.. (2003). Trends in Rice-Wheat Area in China. Field Crops Research. Dirgahayu,D., (1999). Applications prediction modelfor forecasting general rice harvestedrice in Java period from

January to April 1998 (in Indonesian). Majalah LAPAN, 1(2). Dirgahayu, D. (2005).Model Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Data Modis untuk Pendugaan Umur Padi

Sawah. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Gitelson, A. A., dkk..(2002). Vegetation and soil lines in visible spectral space: A concept and technique for remote

estimation of vegetationfraction. Int J Remote Sens, 23(13): 2537-2562. Handine, G.,dkk.. (1999). The MERIS Global Vegetation Index (MGVI), Description and preliminary application. Int

J Remote Sens, 20(9):1917-1927. Kuroso, T.,dkk..(1997). Monitoring of Rice Fields Using Multi-Temporal ERS-1 C-band SAR Data. International

Journal of Remote Sensing, 14:2953- 2965. LeToan, T.,dkk..(1997). Rice Crop Mapping and Monitoring Using ERS-1 Data Base on Experiment and Modeling

Results. IEEE Transactions on Geosciences and Remote Sensing, 35:41- 56. Major D. J., dan Huete A. R. (1990). A ratio vegetation index adjusted for soil brightness. Int J Remote Sens,11(5):727-

740. Panigrahy, S., dan Sharma, S.A. (1997). Mapping of Crop Rotation Using Multidate Indian Remote Sensing Satellite

Digital Data. ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 52:85-91. Shao, Y.,dkk..(2001). Rice Monitoring and Production Estimation Using Multitemporal RADARSAT. Journal of

Remote Sensing for Environment, 76:310–325.

Page 40: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8 Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index (Manalu, R.J.,dkk.)

-567-

Shao, Y.,dkk..(1997). Evaluation of SAR image for Rice Monitoring and Land Cover Mapping. In Presented at Geomatics in Era of RADARSAT, Ottawa, Canada.

Sakamoto, T.,dkk..(2006). Spatio-temporal distribution of rice phenology and cropping systems in the Mekong Delta with special reference to the seasonal water flow of the Mekong and Bassac rivers, Remote Sensing of Environment, 100:1-16.

Yoshinari, O.,dkk.. (2000). Monitoring of Rice Field by Landsat-7 ETM+ and Landsat-5 TM Data. Paper presented at the 22nd Asian Conference on remote Sensing.

Othman, A., dan Gloaguen, R.(2013). River Courses Affected by Landslides and Implications for Hazard Assessment: A High Resolution Remote Sensing Case Study in NE Iraq–W Iran. Remote Sensing, 5(3):1024-1044.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Identifikasi Fase Pertumbuhan Tanaman Padi dari Data Citra Landsat-8

Menggunakan Parameter Normalize Difference Vegetation Index (NDVI)

Nama Pemakalah : R. Johannes Manalu (LAPAN) Diskusi : Pertanyaan: Suwarsono (Pusfatja, LAPAN): Bagaimana bentuk dan persamaan kurva periode fase pertumbuhan menggunakan NDVI? Jawaban: Bentuk kurva dari pertumbuhan padi dapat digambarkan seperti di bawah ini dengan pertumbuhan selang 5 hari. Mulai dari tanam fase vegetatif hingga fase generatif (panen).

Analisis selama pertumbuhan tanaman padi fase vegetatif atau generatif bentuk persamaan yang diperoleh adalah polinom orde 3 atau Spline Qubic dengan persamaan umumnya berbentuk: y = b3*t3 + b2*t2 + b1*t + b0 y = merupakan parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman, lebar atau luas daun, berat kering tanaman, EVI atau NDVI, b adalah konstanta, sedangkan t adalah hari setelah tanam. Pertanyaan: Samsul Arifin (Pusfatja LAPAN): Adakah metide lain sebelumnya (NDVI) jika ada bagaimana perbandingan akurasinya? Jawaban: Parameter NDVI= (NIR-RED)/(NIR+RED), merupakan Indeks vegetasi yang umum dipakai.

0

0,2

0,4

0,6

0,8

0 50 100 150

Inde

ks V

eget

asi

HST=Hari Setelah Tanam

Model Profil Pertumbuhan Padi Selang 5 Hari

Obs NDVI

Obs EVI

Page 41: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-568-

Sebelum NDVI ada parameter lain di antaranya GNDVI, EVI dan OSAVI. Untuk keakurasiannya tidak dapat kami bandingkan karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung dari kebutuhan. Berikut kami sampaikan karakteristik dari parameter tersebut. GNDVI= lebih sensitif terhadap konsentrasi klorofil dari pada NDVI EVI=menggunakan kanal biru untuk mengkorelasi sinyal latar belakang tanah dan untuk mengurangi pengaruh atmosfir termasuk aerosol hamburan. OSAVI = Indeks ini paling baik digunakan didaerah dengan vegetasi yang relatif jarang di mana tanah terlihat melalui kanopi.

Page 42: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-569-

Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades

untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya

Utilization of Very High Spatial Resolution Pleiades Data to Identify Vegetation and Its Density

Bambang Trisakti1*)

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK – Pada umumnya perkembangan di suatu wilayah perkotaan mengakibatkan semakin bertambahnya wilayah permukiman dan semakin berkurangnya wilayah ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang atau mengelompok yang penggunaaannya bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh alami atau sengaja ditanam. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan kota mensyaratkan ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota tersebut. Oleh karena itu informasi mengenai kondisi eksisting ruang terbuka hijau (area bervegetasi) menjadi sangat penting untuk mendukung program pengendalian pemanfaatan ruang pada wilayah perkotaan. Pada kegiatan ini data resolusi sangat tinggi Pleiades digunakan untuk mengindentifikasi area bervegetasi (sebagai ruang terbuka hijau) dan mengestimasi tingkat kerapatan vegetasi pada area tersebut. Alur kerja adalah mengambil sampel pada berbagai penutup lahan dan pada bangunan dengan warna atap berbeda untuk mengidentifikasi profil spektral dari setiap objek. Selanjutnya melakukan identifikasi parameter untuk memisahkan vegetasi dari penutup lahan lainnya dan melakukan pemetaan area bervegetasi pada wilayah tersebut. Kerapatan vegetasi adalah ukuran kuantitatif dari vegetasi yang terdiri dari beberapa lapisan dari atas permukaan tanah, yang mewakili jumlah total biomassa vegetasi tersebut, kerapatan vegetasi diestimasi menggunakan beberapa indek dan dibandingkan. Hasil memperlihatkan bahwa kombinasi antara indek NDVI dan band biru dapat memisahkan area bervegetasi secara akurat walaupun masih sulit untuk memisahkan antara area bervegetasi dengan atap bangunan yang berwarna hijau. Estimasi kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan menggunakan indek klorofil (rasio green/red), di mana indek ini mempunyai korelasi yang paling baik dengan penampakan visual kerapatan vegetasi pada citra pleaides dibandingkan indek lainnya. Kata kunci: Pleaides, ruang terbuka hijau, vegetasi, indek klorofil

ABSTRACT-The development of urban areas resulted in the increasing of residential areas and the decreasing of the open green space area. Open green space is elongated or clustered area whose use is open, where the plants grow well naturally or planted. Law No. 26 Year 2007 regarding to the city arrangement, requires that open green space must be at least 30 percent of the city area. Therefore, information about the existing condition of open green space (vegetated area) becomes very important to support the spatial planning control programs in urban areas. Very high spatial resolution Pleiades data were used to identify vegetated areas (open green space) and to estimate the vegetation density in the area. In the first step, training samples were taken at the various land cover and at different colors of building roof, then the spectral profile of each object were identified. Furthermore, some parameters were used to separate vegetation from other objects, and the vegetated area in the region was mapped. Vegetation density is a quantitative measure of vegetation which consisting of several layers above the ground, and it represents the total amount of biomass vegetation. Vegetation density was estimated using some index and compared. Results showed that the combination of NDVI and blue bands can separate a vegetated area more accurate, although there were still difficult to separate vegetated area with green roof of the building. Vegetation density estimation could be well performed using chlorophyll index (ratio green / red), the index had the best correlation with the visual appearance of vegetation density in the image than other index. Keywords: Pleiades, Open green space, vegetation, chlorophyll index 1. PENDAHULUAN

Pada umumnya perkembangan di suatu wilayah perkotaan mengakibatkan semakin bertambahnya wilayah permukiman dan semakin berkurangnya wilayah ruang terbuka hijau. Dalam Permen PU No.05 tahun 2008 dijelaskan bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang atau mengelompok yang penggunaaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman baik yang tumbuh alami atau sengaja ditanam (Kemen PU, 2008). Selanjutnya dalam pedoman itu diuraikan mengenai tujuan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan adalah untuk menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air,

Page 43: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya (Trisakti, B.)

-570-

menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, dan meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

Ruang terbuka hijau memiliki beragam fungsi meliputi fungsi ekologis, sosial budaya, estetika dan ekonomi. Salah satu fungsi dari ruang terbuka hijau perkotaan pada aspek ekologis yang saat ini banyak dibahas oleh berbagai kalangan adalah hutan kota yang terkait dengan perannya dalam penurunan emisi gas rumah kaca, dan juga penetralisir polusi udara perkotaan khususnya gas karbon dioksida. Berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, dijelaskan bahwa 30% wilayah kota harus berupa ruang terbuka hijau yang terdiri dari 20% publik dan 10% privat. ruang terbuka hijau publik adalah ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum (Rahmy dkk., 2012).

Saat ini Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus mengejar target untuk menyediakan ruang terbuka hijau hingga 30%, dengan pembagian 16% ditanggung oleh Pemprov DKI Jakarta dan 14% oleh pihak swasta. Untuk mencapai target tersebut maka Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan dana 5 triliun setiap tahunnya untuk melakukan penambahan ruang terbuka hijau sebesar 6% di wilayahnya hingga tahun 2030, hal ini tertuang dalam Perda nomor 1 tahun 2012 (http://www.newsmimbarrevolusi.com/). Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program ini Dinas Penataan Kota Jakarta Timur telah melakukan koordinasi dengan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) LAPAN untuk dapat memanfaatkan data satelit penginderaan jauh untuk memantau ruang terbuka hijau di wilayah Jakarta Timur. Pemantauan ini akan sangat bermanfaat untuk mengetahui kondisi eksisting zona hijau yang telah dibuat dalam RDTR, untuk perhitungan luasan eksisting ruang terbuka hijau dan untuk mengetahui apakah zona hijau masih merupakan ruang terbuka hijau (masih ditutupi oleh vegetasi) atau sudah berubah fungsi menjadi area terbangun.

Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk pemetaan dan pemantauan perubahan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan telah banyak dilakukan dengan menggunakan data resolusi spasial menengah (seperti MODIS dan Landsat) untuk skala global (Mahmooddzadeh, 2007; Rao dkk., 2015; Hu dkk., 2016), dan menggunakan data resolusi spasial tinggi atau sangat tinggi (IKONOS, Quicbird, Pleiades dll) untuk skala detail (Simarmata 2012; Andriyani 2012; Zylzhal dkk., 2016). Untuk mendapatkan informasi yang lebih detail lagi digunakan citra foto udara, dan bahkan kombinasi antara data LIDAR dan citra foto udara untuk ekstraksi otomatis distribusi ruang terbuka hijau dan bangunan di perkotaan (Li dkk., 2014; Caccetta dkk., 2011). Identifikasi ruang terbuka hijau dengan menggunakan data penginderaan jauh lebih diarahkan kepada identifikasi area bervegetasi dengan menggunakan berbagai indek seperti indek vegetasi seperti NDVI atau MSAVI dengan memanfaatkan band pada panjang gelombang merah dan inframerah dekat (Rao dkk., 2015; Zylzhal dkk., 2016). Berbeda dengan penampakan objek pada data resolusi spasial menengah atau tinggi, penampakan objek pada data resolusi spasial sangat tinggi hingga satuan submeter (kurang dari 1 meter) menjadi sangat detail, sehingga penampakan objek-objek yang terdapat di sekitar vegetasi, seperti objek bangunan dan lahan terbuka, menjadi semakin detail dan pemisahan objek vegetasi dari objek-objek sekitarnya menjadi lebih sulit. Oleh karena itu beberapa pertanyaan riset yang muncul dalam pemanfaatan data satelit resolusi sangat tinggi untuk mendukung program pemantauan kondisi eksisting ruang terbuka hijau adalah: 1) Bagaimana memetakan area bervegetasi (ruang terbuka hijau) secara akurat, 2) Bagaimana menilai tingkat kerapatan vegetasi pada ruang terbuka hijau, 3) Bagaimana membedakan tipe vegetasi pada ruang terbuka hijau, 4) Bagaimana menentukan persentase penutupan vegetasi pada zona hijau, dan 5) Bagaimana memantau dan menentukan lokasi yang mengalami konversi lahan dari vegetasi menjadi bangunan.

Pada kegiatan ini data resolusi sangat tinggi Pleiades digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua, yaitu memetakan area bervegetasi (sebagai ruang terbuka hijau) dan menilai tingkat kerapatan vegetasi pada area tersebut. Data Pleiades mempunyai resolusi spasial 0,5 meter yang mampu untuk mengindentifikasi keberadaan kanopi pohon dan persil bangunan secara akurat, sehingga sesuai digunakan untuk pemantauan perkotaan secara detail dan akurat. Pada tahap pengerjaan pola spektral objek penutup lahan dianalisis untuk menentukan parameter-parameter yang paling sesuai untuk memetakan area bervegetasi, dan memetakan tingkat kerapatan vegetasi di lokasi kajian. 2. METODE

Lokasi penelitian terdapat di sekitar lapangan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan kondisi objek penutup lahan, kondisi kerapatan vegetasi yang bervariasi dan warna atap bangunan yang bervariasi. Variasi tersebut dapat diamati pada data Pleaides yang digunakan pada Gambar 1. Data Pleiades yang digunakan diperoleh dari Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh,

Page 44: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-571-

LAPAN. Kondisi data terkoreksi ortho sistematik, dengan resolusi spasial 0,5 m dan waktu perekaman pada tanggal 12 Mei 2015.

Gambar 1. Data Pleiades pada lokasi penelitian

Alur penelitian dimulai dari pengambilan sampel pada berbagai objek penutup lahan: vegetasi, tubuh air,

jalan, lahan terbuka kongrit, lahan terbuka tanah, berbagai warna atap bangunan (Gambar 2). Selanjutnya melakukan analisis pola spektral dari berbagai sampel tersebut untuk menentukan parameter apa yang akan digunakan untuk pemetaan area bervegetasi. Berdasarkan hasil analisis pola spektral maka, pemetaan area terbuka dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara indek vegetasi Normalized Different Vegetation Index (NDVI) dan band biru atau selisih band biru dan band hijau. Prosedur pemetaan area terbuka dilakukan dua tahap, tahap pertama penerapan algoritma menggunakan kombinasi NDVI dan band biru dan mengatur histogram untuk membuat band baru dengan nilai objek non vegetasi menjadi nol, selanjutnya tahap kedua melakukan penentuan nilai treshold untuk memisahkan vegetasi dengan objek yang mirip vegetasi. Dengan melakukan prosedur ini maka penentuan nilai treshold menjadi lebih mudah dan akurat.

Gambar 2. Sampel objek penutup lahan

Setelah area bervegetasi berhasil dipetakan selanjutnya melakukan kerapatan vegetasi dengan

menggunakan indek vegetasi NDVI dan menggunakan indek klorofil yang merupakan rasio antara band hijau dan band merah. Nichol dan Lee (2005) memaparkan bahwa kerapatan vegetasi adalah ukuran kuantitatif dari vegetasi yang terdiri dari beberapa lapisan dari atas permukaan tanah yang mewakili jumlah

Vegetasi tinggi Semak belukar Lapangan rumput Tubuh air dan jalan Lahan terbuka

Atap(biru, putih dan abu) Atap (merah gelap dan merah terang) Atap (hijau)

Page 45: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya (Trisakti, B.)

-572-

total biomassa vegetasi tersebut, di mana kerapatan vegetasi dapat diekstrak dengan menggunakan rasio band hijau dan band merah. Selanjutnya dilakukan perbandingan untuk menentukan indek yang dapat mewakili kerapatan vegetasi, dan kemudian melakukan verifikasi terhadap hasil tingkat kerapatan vegetasi dengancara melakukan pengamatan visual terhadap data komposit RGB pleaides.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil spektral dari objek penutup lahan dari data Pleaides yang diambil pada Gambar 2 mempunyai bentuk yang bervariasi bergantung kepada tingkat sensitifitas dari panjang gelombang yang diterima sensor satelit dengan masing-masing objek. Gambar 3 memperlihatkan pola spektral dari: a) Profile spektral dari vegetasi dari berbagai tingkat kerapatan dan jenis, b) Profile spektal objek penutup lahan selain vegetasi dan bangunan, c) Profile spektral objek penutup lahan bangunan yang mempunyai berbagai warna atap.

a) Profile spektral dari vegetasi dari berbagai tingkat kerapatan dan jenis

b) Profile spektal objek penutup lahan selain vegetasi dan bangunan

c) Profile spektral objek penutup lahan bangunan yang mempunyai berbagai warna atap

Gambar 3. Sampel objek penutup lahan dari data Pleaides

Data Pleaides terdiri dari 4 band (biru, hijau, merah dan inframerah dekat). Objek vegetasi mempunyai

nilai spektral merah rendah dan nilai spektral inframerah dekat yang tinggi, ini adalah karakteristik dari

0

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.600

1.800

Blue Green Red NIR

Profil spektral vegetasi

Dense vegetation Medium vegetation(brush) Low vegetation

0200400600800

1.0001.2001.4001.6001.800

Blue Green Red NIR

Profil Spektral Obejek Non Vegetasi

Bareland (white) Road Water Bareland (red)

0

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

Blue Green Red NIR

Profil Spektral Atap Bangunan

white roof Green roof Red roof dark red roof Cyan roof Blue roof

Page 46: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-573-

vegetasi yang menyerap energi pada panjang gelombang merah dan memantulkan maksimal pada panjang gelombang inframerah dekat. Pada objek spektral selain vegetasi dan bangunan, nilai spektral seluruh band relatif tidak berubah, dengan sedikit perbedaan untuk objek lahan terbuka mempunyai nilai infra merah sedikit lebih tinggi sedangkan pada objek jalan beraspal dan tubuh air mempunyai nilai inframerah dekat yang lebih rendah. Variasi spektral terlihat pada objek bangunan dengan berbagai warna atap, di mana pada atap dengan warna biru, hijau dan cyan mempunyai pola seperti objek vegetasi di mana nilai spektral terendah pada merah dan tertinggi pada inframerah dekat.

Kesamaan antara pola spektral vegetasi dan pola spektral beberapa warna atap bangunan mengakibatkan penggunaan indek vegetasi NDVI yang menggunakan selisih band inframerah dan merah tidak dapat memecahkan seluruh masalah, sehingga perlu dipertimbangkan adanya parameter lainya yang dapat digunakan untuk mempertinggi akurasi dari pemisahan vegetasi. Gambar 4 memperlihatkan hasil pemisahan tahap pertama menggunakan parameter NDVI (kiri), penggunaan band biru pada area yang sama (tengah) dan tampilan citra RGB (kanan). Dengan menggunakan NDVI maka atap bangunan dengan atap biru dan hijau terpetakan menjadi area bervegetasi, tetapi dengan menggunakan band biru maka bangunan dengan atap biru mempunyai nilai spektral paling tinggi dibandingkan dengan vegetasi disekelilingnya sehingga kombinasi NDVI dengan band biru dapat meningkatkan hasil pemisahan vegetasi, walaupun untuk bangunan dengan atap berwarna hijau tetap sulit untuk dipisahkan karena nilai spektral dan warnanya sama dengan nilai dan warna vegetasi.

Gambar 4. Hasil pemisahan tahap 1 dengan NDVI (kiri), dengan band biru (tengah) dan citra RGB (kanan) Selanjutnya hasil pemisahan tahap kedua dengan menggunakan kombinasi antara parameter NDVI dan

band biru untuk mendapatkan area bervegetasi dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil memperlihatkan bahwa bangunan dengan atap biru dapat dipisahkan dengan baik, sedangkan untuk bangunan dengan atap hijau sulit dilakukan sehingga dilakukan editing manual. Jumlah bangunan beratap hijau tidak banyak dijumpai dan umumnya bangunan cukup besar seperti perkantoran sehingga proses editing tidak terlalu sulit.

Gambar 6 memperlihatkan hasil akhir pemetaan area bervegetasi dengan menggunakan treshold untuk lokasi kajian, dan membandingkan hasil dengan citra komposit RGB 321 (true color composite) dari data Pleiades. Berdasarkan pengamatan visual antara keduanya, maka area bervegetasi yang dihasilkan mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi dan mampu memetakan vegetasi dengan berbagai kondisi. Kondisi vegetasi yang masuk ke dalam area bervegetasi terdiri dari vegetasi tinggi dan rapat, vegetasi menengah (semak), vegetasi rendah (lapangan rumput) dan vegetasi jarang (percampuran penampakan vegetasi dan tanah).

NDVI Citra RGBBand Biru

Page 47: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya (Trisakti, B.)

-574-

Gambar 5. Hasil pemisahan dengan kombinasi antara NDVI dan band biru

Gambar 6. Citra komposit RGB 321 dan hasil akhir pemetaan area bervegetasi dengan treshold Kerapatan vegetasi dilakukan dengan menggunakan indek kehijauan NDVI dan indek klorofil terhadap

data Pleaides pada area bervegetasi yang dihasilkan sebelumnya. Hasil pengamatan kepada kedua parameter memperlihatkan bahwa NDVI lebih dapat menampilkan tingkat kehijauan vegetasi yang berhubungan dengan jenis vegetasi atau aktifitas fotosintesis dibandingkan kondisi kerapatan dari tumbuhan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan tingginya nilai NDVI pada lapangan rumput yang mempunyai biomass sedikit dan tingkat kerapatan rendah. Sedangkan indek klorofil lebih dapat mewakili kondisi biomassa dan tingkat kerapatan dari vegetasi. Gambar 7(a) memperlihatkan hasil tingkat kerapatan vegetasi pada area bevegetasi di lokasi penelitian, sedangkan Gambar 7(b) memperlihatkan perbandingan antara kenampakan visual kerapatan vegetasi pada citra komposit RGB dengan kerapatan vegetasi dengan menggunakan indek klorofil. Semakin tinggi tingkat kerapatan vegetasi maka warna menjadi semakin merah, sebaliknya semakin rendah tingkat kerapatan vegetasi maka warna menjadi biru dan pink. Pada Gambar 7(b) warna merah teridentifikasi pada area vegetasi tinggi yang mempunyai biomassa yang besar dan tingkat kerapatan yang tinggi, sedangkan warna hijau dan biru teramati pada area vegetasi jarang yang biomassa dan tingkat kerapatannya rendah. Walaupun begitu indek klorofil juga dipengaruhi oleh jenis vegetasinya, hal ini teramati pada

Page 48: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-575-

vegetasi dengan tingkat kerapatan yang sama pada citra RGB 321 tapi mempunyai nilai indek klorofil yang berbeda. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa kedua vegetasi diperkirakan berlainan jenis karena mempunyai tekstur dan warna yang sedikit berbeda.

a) Tingkat kerapatan vegetasi dengan indek klorofil

b) Pengujian hasil dengan membandingkan antara citra RGB 321 (kiri) dan tingkat kerapatan (kanan)

Gambar 7. Tingkat kerapatan vegetasi dengan indek klorofil (a), dan pengujian tingkat kerapatan vegetasi (b) 4. KESIMPULAN

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna untuk pemetaan ruang terbukka hijau, maka pada kegiatan ini data resolusi sangat tinggi Pleiades digunakan untuk memetakan area bervegetasi (sebagai ruang terbuka hijau) dan menilai tingkat kerapatan vegetasi pada area tersebut. Hasil memperlihatkan pola spektral bangunan dengan warna atap tertentu (biru dan hijau) mempunyai kesamaan dengan pola spektral dari vegetasi, sehingga pemisahan vegetasi dari non vegetasi perlu dilakukan dengan menggunakan kombinasi beberapa parameter. Metode pemisahan vegetasi dengan 2 tahapan dan menggunakan kombinasi NDVI dan band biru dapat mempercepat proses dan meningkatkan akurasi hasil pemetaan area bervegetasi. Walaupun masih sulit untuk memisahkan antara area bervegetasi dengan atap bangunan yang berwarna hijau. Estimasi kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan menggunakan indek klorofil (rasio green/red), di mana indek ini mempunyai korelasi yang paling baik dengan penampakan visual kerapatan vegetasi pada citra pleaides dibandingkan indek kehijauanNDVI.

Tinggi

Rendah

Page 49: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi Vegetasi dan Kerapatannya (Trisakti, B.)

-576-

5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada pejabat struktural Pusfatja yang telah memfasilitasi

pelaksanaan penelitian ini, dan juga mengucapkan terimakasih kepada Pustekdata yang telah memenuhi permintaan dari penulis untuk menyediakan data Pleaides pada lokasi kajian. DAFTAR PUSTAKA Andriyani, E.P., (2012). Pemetaan Greenways Menggunakan Citra Quickbird di Kota Surakarta. Jurnal Bumi

Indonesia. Caccetta ,P., Collings, S., Hingee, K., McFarlane, D., dan Wu, X., (2011).Fine-Scale Monitoring of Complex

Environments using Remotely Sensed Aerial, Satellite, and Other Spatial Data, Image and Data Fusion.International symposium.

http://www.newsmimbarrevolusi.com/ Hu, T., Yang, J., Li, X., dan Gong, P., (2016). Mapping Urban Land Use by Using Landsat Images and Open Social

Data.Remote Sens. Kemen PU (2008). Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Dirjen

Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Li, X., Meng, Q., Li, W., Zhang, C., Jancso, T., dan Mavromatis, S., (2014). An Explorative Study on The Proximity of

Buildings to Green Spaces in Urban Areas using Remotely Sensed Imagery.Annals of GIS,20(3):193–203. Mahmoodzadeh, H., (2007). Digital Change Detection Using Remotely Sensed Data for Monitoring Green Space

Destruction in Tabriz.Int J Environ Res, 1(1):35-41. Nichol, J. dan Lee, C.M., (2005). Urban vegetation monitoring in Hong Kong using high resolution multispectral

images. International Journal of Remote Sensing. Rahmy, W.A, Faisal, B., dan Soeriaatmadja, A.R., (2012). Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat,

Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia. Rao, Y., Zhu, X., Chen, J., dan Wang, J., (2015). An Improved Method for Producing High Spatial-Resolution NDVI

Time Series Datasets with Multi-Temporal MODIS NDVI Data and Landsat TM/ETM+ Images.Remote Sens, 7:7865-7891

Simarmata, M., (2012). Kajian Ketercukupan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar.Jurnal Akar, 1(2):91-103

Zylshal, Sulma, S., Yulianto, F., Nugroho, J.T.,dan Sofan, P. (2016). A support vector machine object based image analysis approach on urban green space extraction using Pleiades-1A imagery. Model Earth Syst Environ, 2:54

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator : Dr. M. Rokhis Khomarudin Judul Makalah : Pemanfaatan Data Resolusi Spasial Sangat Tinggi Pleiades Untuk Identifikasi

Vegetasi dan Kerapatannya Pemakalah : Bambang Trisakti (LAPAN) Diskusi : Pertanyaan: Nanin Anggraini (LAPAN) Dalam kegiatan penelitian tahun ini kami sedang melakukan kajian kerapatan untuk Mangrove, apakah metode yang digunakan pada penelitian yang dilakukan pak Bambang bisa digunakan untuk mengkaji kerapatan di lokasi Mangrove? Jawaban: Metode ini pada dasarnya bisa digunakan untuk semua vegetasi, hanya seperti disampaikan kita belum menentukan batas thresholdnya, sampai mana disebut vegetasi rapat, menengah, kurang rapat untuk menggunakan indeks klorofil. Harus ada penelitian lebih lanjut indeks klorofil bisa diterapkan untuk melihat kondisi kerapatan vegetasi mulai dari rapat sampai kurang rapat. Setelah itu uji lapangan untuk mendefinisikan itu jarang, menengah, rapat. Nanti kita tentukan batasan mana threshold dari indeks klorofil ini. Peneliti berfikir bahwa indeks klorofil lebih baik dari indeks NDVI dikarenakan penelitian indeks klorofil ini menggunakan data resolusi lebih tinggi (Ikonos, QB, dan Pleiades) di mana korelasi lebih baik dari NDVI. Data resolusi sangat tinggi yang menggunakan indeks klorofil, layer mesofil dari daun mempegaruhi nilai dari band NIR (di mana NIR tidak konsisten), jadi lebih baik menggunakan band hijau,

Page 50: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-577-

karena band hijau ada pantulan dari vegetasi. Terkait klasifikasi, saya definisikan dulu mana vegetasi rendah, menengah dan tinggi. Pertanyaan: Dr. Muchlisin Arif (LAPAN) Dalam klasifikasi tidak bermain dengan threshold, mau apa yang dithreshold tapi kalau NDVI atau lainnya baru pakai. Threshold berapa yang peneliti lakukan untuk mendeteksi mana yang jarang atau yang rapat?

Jawaban: Ada 2 kerapatan yang coba dipetakan : a. Berbasis Indeks klorofil sifatnya kualitatif, kita bagi (dari rendah – tinggi). Kita belum bagi menggunakan

threshold b. Berbasis klasifikasi, ini ada supervised, maximum likelihood di sini tidak menggunakan threshold, di sini

menggunakan mean, varian, covarian, dll.

Page 51: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-578-

Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes)

(Studi Kasus: Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang)

Application of Landsat 8 OLI for Water Hyacinth (Eichhornia Crassipes) Density and Biomass Mapping

(Case Study: Rawa Pening, Ambarawa, Semarang)

Agil Rizki Tidar1*), Prima Dinta Rahma Syam2, dan Pramaditya Wicaksono3

1Sekolah Vokasi Penginderaan Jauh dan SIG, Universitas Gadjah Mada 2Kartografi dan Penginderaan Jauh, FakultasGeografi, Universitas Gadjah Mada

*Email : [email protected]

ABSTRAK-Pertumbuhan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) yang sangat cepat mengakibatkan tertahannya pancaran sinar matahari yang akan masuk ke dalam air dan mengganggu ekosistem mengakibatkan pendangkalan pada perairan. Jika tidak dilakukan pengendalian, pertumbuhan gulma ini dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Tersedianya data Landsat 8 OLI dengan perekaman setiap 16 hari mampu memantau perkembangan cepat dari Enceng Gondok. Data Landsat 8 OLI diunduh dari USGS pada dua tanggal perekaman, yaitu sebelum dan sesudah dilakukan survei lapangan sebagai kontrol terhadap perubahan posisi dan kerapatan enceng gondok yang berkembang dengan cepat karena pengaruh lingkungan, angin dan manusia. Tujuan penelitian ini adalah memetakan kerapatan Eceng Gondok melalui pemodelan Citra Landsat 8 OLI, yang akan digunakan sebagai acuan pembuatan peta biomassa Enceng Gondok Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang. Estimasi biomassa didapatkan dari hasil analisis regresi antara nilai biomassa lapangan dengan nilai kerapatan hasil pemodelan nilai indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Inde, EVI (Enhanced Vegetation Index) dan VARI (Visible-Atmospherically Resistent Index) Citra Landsat 8 OLI yang telah terkoreksi geometrik dan radiometrik. Density slice digunakan untuk mengelaskan nilai NDVI menjadi kelas kerapatan tentatif. Survei lapangan dilakukan pada masing masing kelas. Nilai biomassa di lapangan di dapatkan dengan menimbang berat kering enceng gondok pada plot sampel yang telah ditentukan untuk masing-masing kelas kerapatan. Nilai biomasa dari hasil survei lapangan kemudian diregresikan dengan nilai kerapatan sehingga didapatkan peta estimasi biomassa.

Kata kunci: Biomassa, Enceng Gondok, Landsat 8 OLI, Pemetaan, Rawa Pening

ABSTRACT – The accelerated growth of water hyacinth (Eichhornia crassipes) prevent the sunlight to effectively penetrate the water body. This accelerated growth may disrupt the ecosystem functions as well as causing siltation in water body. If not well managed, water hyacinth growth may adversely impact the life of the surrounding ecosystems and society. The availability of Landsat 8 OLI data may be used to monitor water hyacinth growth. In this research, two Landsat 8 OLI scene acquired before and after field survey activities were utilized, as a control for the change in spatial distribution and density of water hyacinth caused by environmental changes, winds, and human activities. The aim of this research is to map water hyacinth density as the basis to perform water hyacinth biomass mapping in Rawa Pening Lake, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Biomass estimation was obtained from the regression analysis between field biomass data and density values modeled from NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), EVI (Enhanced Vegetation Index) and VARI (Visible-Atmospherically Resistent Index) of radiometrically and geometrically corrected Landsat 8 OLI. Density slice was used to classify NDVI into tentative density classes. Field survey was conducted on each of these tentative classes. Map of Eceng Gondok biomass was obtained from the resultant regression function between field biomass and estimated Eceng Gondok density

Keywords: Biomass, Water Hyacinth, Landsat 8 OLI, Mapping, Rawa Pening

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Eceng gondok yang dikenal sebagai gulma dapat merusak lingkungan perairan. Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat dikarenakan air danau memiliki kandungan nutrien yang tinggi terutama nitrogen, fosfat dan potasium. Pertumbuhan eceng gondok yang sangat cepat mengakibatkan

Page 52: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) (Studi Kasus: Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang) (Tidar, A.R., dkk.)

-579-

tertahannya pancaran sinar matahari yang akan masuk kedalam air dan mengganggu ekosistem yang ada di dalam air. Selain menahan sinar matahari, tumbuhan ini juga mengakibatkan pendangkalan pada area danau. Kandungan garam yansg tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan eceng gondok melambat, sama halnya seperti di Afrika Barat di mana eceng gondok akan bertambah sepanjang musim hujan dan berkurang saat kandungan garam naik pada musim kemarau. (Kaleka dan Hartono, 2013)

Pertumbuhan enceng gondok di Rawa pening, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang sangat pesat. Data dari Dinas Pariwisata Ambarawa menyebutkan bahwa 65 % dari permukaan danau ditumbuhi oleh tanaman air yang didominasi oleh eceng gondok. Tumbuhan dengan nama latin Eichhornia crassipes ini banyak dimanfaatkan warga sekitar untuk pembuatan barang kerajinan maupun pakan ternak. Bahkan daerah sekitar Rawa Pening telah menjadi pusat komoditas kerajinan enceng gondok yang mampu menembus pasar internasional. Keberadaann enceng gondok selain dapat memberikan keuntungan secara ekonomi pada masyarakat sekitar, memiliki dampak negatif bagi ekosistem danau jika pertumbuhannya tidak dikendalikan. Hal ini dikarenakan tumbuh suburnya tanaman ini di Rawa Pening tidak sebanding dengan jumlah yang diambil oleh masyarakat. Untuk itu perlu adanya pengelolaan enceng gondok di Rawa Pening sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga tidak mengganggu ekosistem. Tidak adanya informasi spasial di Rawa Pening menjadi faktor penghambat proses monitoring dan evaluasi pengelolaan enceng gondok. Padahal data spasial dapat menjadi alat yang cukup efektif untuk menyusun strategi pengelolaan enceng gondok.

Citra penginderaan jauh merupakan salah satu sumber data utama dalam informasi geospasial. Kualitas sumber data tentu menjadi parameter utama, karena berbagai informasi dapat diturunkan dari citra. Kualitas yang tidak memenuhi standart dapat mengaburkan bahkan menyajikan informasi yang salah. Namun sebenarnya semua citra yang diperoleh melalui perekaman sensor tak lepas dari wujud geometri dan konfigurasi permukaan bumi, serta kondisi atmosfer saat perekaman. Kesalahan yang terjadi dalam proses pembentukan citra ini perlu dikoreksi supaya aspek geometri dan radiometri yang dikandung oleh citra tersebut benar-benar dapat mendukung pemanfaatan untuk aplikasi yang berkaitan dengan pemetaan sumberdaya dan kajian lingkungan atau kewilayahan lainnya (Danoedoro, 2012)

Teknologi penginderaan jauh di era modern sekarang ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sudah banyak digunakan di berbagai bidang kajian penelitian mengingat keunggulan penggunaan teknik penginderaan jauh yang sangat bermanfaat dan mudahnya akses untuk memperoleh data penginderaan jauh juga menjadikan peneliti untuk mengembangkan suatu penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Metode pemanfaatan teknik penginderaan jauh citra satelit dapat dijadikan solusi yang tepat untuk melakukan suatu penelitian berskala luas seperti kajian mengenai danau karena lebih efisien, efektif dan dapat dilakukan secara temporal, salah satunya ialah kajian mengenai kerapatan eceng gondok sebagai parameter perhitungan biomassa.

Landsat 8 merupakan citra multitemporal yang dapat digunakan sebagai data awal untuk pembuatan data spasial yang berkaitan dengan informasi-informasi yang ada di danau rawa pening, kualitas yang cukup baik dari citra ini dan jangka perekaman dari citra ini juga tidak terlalu jauh sangat memungkinkan digunakan untuk updating data. Landsat 8 menjadi sumber data utama untuk kajian kerapatan dan biomassa enceng gondok di Rawa Pening, sehingga didapatkan estimasi kerapatan serta biomassa enceng gondok untuk mengetahui jumlah berat kering enceng gondok di Rawa Pening.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Tidak adanya informasi di danau rawa pening terkait data distribusi spasial dan temporal tentang persebaran/kerapatan dan biomassa di Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang

1.2.2 Kajian mengenai distribusi spasial kerapatan dan biomassa eceng gondok di Danau Rawa Pening dengan pemanfaatan teknik penginderaan jauh multi temporal dan perhitungan statistik.

1.3 Pertanyaan Penelitian 1.3.1. Bagaimana distribusi spasial kerapatan dan biomassa eceng gondok di Danau Rawa Pening

Kabupaten Semarang dengan pemanfaatan citra penginderaan jauh multi temporal Landsat 8 OLI (operational Land Imager) tahun perekaman 2016

1.3.2. Bagaimana pemetaan kerapatan eceng gondok dan biomassa eceng gondok di Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang

Page 53: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-580-

1.4 Tujuan 1.4.1. Pemetaan kerapatan eceng gondok di Danau Rawa Pening dengan pemanfaatan Citra

Landsat 8 OLI (operational Land Imager) multi temporal tahun perekaman 2016 1.4.2. Pemetaan Biomassa eceng gondok di Danau Rawa Pening dengan Pemanfaatan Citra

Landsat 8 OLI (operational Land Imager) multi temporal tahun perekaman 2016

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1. Memberikan informasi spasial terkait persebaran eceng gondok dan kerapatan eceng gondok

di Danau Rawa Pening bagi pihak-pihak pengelola Danau Rawa Pening serta kelayakan umum khususnya masyarakat yang tinggal atau bermata pencaharian disekitar danau.

1.5.2. Memperkaya aplikasi citra Landsat 8 OLI multi temporal dan pengembangan ilmu penginderaan jauh untuk pemetaan kerapatan dan biomassa eceng gondok di Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang pada tahun 2016

1.6 Batasan Penelitian 1.6.1. Indikator berat kering / biomassa yang dihitung dalam penelitian ini adalah estimasi statistik

biomassa yang di gunakan sebagai objek utama penelitian ini. 1.6.2. Perhitungan statistik untuk ekstraksi informasi distribusi data spasial konsentrasi nilai

biomassa di Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang. 1.6.3. Citra satelit yang digunakan ialah Landsat 8 OLI (operational Land Imager) multi Temporal

path 120 row 65 perekaman 13 April 2016

2. METODE 2.1. Deskripsi Wilayah Penelitian

Rawa pening merupakan sebuah danau dengan luas area ± 2077,84 Ha yang terletak di Kabupaten Semarang. Danau rawa pening menempati 4 kecamatan, yaitu: Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru yang berada di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.(Sumber : www.semarangkab.go.id). Danau ini memiliki ekosistem yang didominasi oleh tumbuhan eceng gondok karena pertumbuhannya yang sangat cepat dan subur maka permukaan danau ini tertutup oleh eceng gondok. (Kaleka dan Hartono, 2013) 2.2. Alat dan Bahan Penelitian

2.2.1. Alat 1. Seperangkat komputer 2. Software pengolahan citra digital ENVI 4.5 3. Software pemetaan untuk desain kartografis peta ArcGIS ArcMap 10.2 4. Software perhitungan statistik Microsoft Office Excel 2007 5. Software penulisan laporan Microsoft Office Word 2007 6. Software DNR-GPS digunakan untuk export dan import data titik survei dari laptop ke GPS

maupun sebaliknya 7. GPS Garmin 60csx 8. Plot sampel (terbuat dari bambu ukuran 50 x 50 cm) 9. Perahu mesin 10. Trash bag untuk penyimpanan sampel eceng gondok 2.2.2. Bahan 1. Citra Satelit Landsat 8 OLI (Operational Land Imager) tahun perekaman 13 April 2016 2. Basemap Provinsi Jawa Tengah tahun 2006 sumber BIG (Badan Informasi Geospasial) berupa

batas administrasi. 3. Tabel checklist survei lapangan pengambilan sampel eceng gondok

2.3. Tahapan Penelitian 2.3.1. Perolehan Data 1. Data Primer Data primer meliputi data nilai biomassa didapat dari hasil survei lapangan yang dilakukan pada tanggal 28 – 29 Mei 2016, di mana terdapat 15 titik uji dan 15 titik sampel. Penentuan titik-titik tersebut secara random (acak) mengacu pada data pra-lapangan dari hasil pengolahan data citra

Page 54: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) (Studi Kasus: Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang) (Tidar, A.R., dkk.)

-581-

dengan teknik pemilahan tingkat kerapatan (Density slice) transformasi NDVI dengan slicing sejumlah 6 kelas. 2.Data Sekunder Data sekunder meliputi data citra Landsat 8 OLI dan basemap daerah kajian. Data citra Landsat 8 OLI didapatkan dari hasil download pada website resmi USGS (U.S. Geological Survey) yaitu glovis.usgs.gov dimana citra diperoleh secara gratis. Data basemap merupakan data vektor berupa shapefile Provinsi Jawa Tengah yang diperoleh dari BAKOSURTANAL (sekarang Badan Informasi Geospasial) tahun 2006. Citra yang diunduh direkam pada tanggal 13 April 2016 (sebelum survey lapangan) dan pada tanggal 16 Juni 2016 (setelah survey lapangan).

2.3.2. Pra-Pengolahan Data

Koreksi radiometrik dilakukan sebagai tahapan awal pra-pengolahan data untuk mendapatkan nilai piksel yang bebas dari gangguan atmosfer. Penelitian ini menggunakan saluran tampak dan saluran inframerah serta daerah kajian merupakan daerah perairan yang ditutupi vegetasi yang lebat sehingga koreksi radiometrik yang digunakan ialah TOA Reflectance dan sudut matahari (Sun Elevation) pada saluran 1 sampai 7. Adapun algoritma TOA Reflectance adalah sebagai berikut (USGS, 2013):

ρλ = MρQcal + Aρ / Sin SE (Sun Elevation)

Keterangan: ρλ = Hasil pengolahan TOA dengan menggunakan sudut pengambilan matahari. Qcal = Nilai piksel (DN), diisikan band yang digunakan MP = Konstanta rescalling (REFLECTANCE_MULT_BAND_x, di mana x adalah band yang digunakan) AP = Konstanta penambah (REFLECTANCE_ADD_BAND_x, di mana x adalah band yang digunakan) SE = Sudut Elevasi

Tahapan pra-pengolahan yang kedua adalah Masking. Area. Proses dilakukan untuk

memotong area kajian sesuai dengan batas wilayah yang dikaji. Proses Masking area dilakukan dengan subset via ROI yang ada pada software ENVI. Data ROI didapatkan dari proses digitasi on screen pada daerah kajian di rawa pening kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang.

2.3.3. Pengolahan Data

Pengelolahan Transformasi Index Vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Formulasinya adalah sebagai berikut :

NDVI =( − ℎ)( + ℎ)

Pemrosesan density slice dilakukan pada hasil akhir Transformasi NDVI . Penentuan density slice dapat dilihat dari histogram interactive stretching pada hasil akhir Transformasi NDVI dengan memilih enhance pada display tersebut. Pembuatan kelas slicing menggunakan interval tidak teratur karena pantulan spektral material objek tubuh air dan vegetasi pada histogram yang dihasilkan memiliki julat dan kenampakan yang berbeda-beda sehingga berdasarkan julat tersebut pembuatan didapatkan 6 kelas kerapatan tentatif yang dijadikan dasar dalam pengambilan sampel di lapangan

Page 55: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-582-

Gambar 1. Tampilan hasil density slice dalam bentuk vector

2.3.4. Survei Lapangan 1. Pra-Lapangan

Penentuan Titik Survei Sampel Eceng Gondok diambil berdasarkan hasil density slice pemrosesan NDVI. Setiap kelas kerapatan tentatif yang didapatkan, diwakilkan dengan 2 titik uji di lapangan. Selain titik uji, direncanakan pula titik sampel sejumlah 15 titik secara random untuk membandingkan obyek di citra dan di lapangan. Keseluruhan titik yang diambil di lapangan adalah 30 titik.

Gambar 2. Tampilan hasil density slice beserta titik survei

Gambar 3. Proses titik uji (a) dan titik sampel (a) di lapangan

2. Lapangan

Lokasi titik survei mengacu pada GPS dan peta titik survei pengambilan sampel eceng gondok. Setiap titik uji diambil enceng gondok dalam 50 cm x 50 cm plot sampel pada lokasi yang homogen dan posisi enceng gondok yang relatif stabil. Setiap titik uji dan titik sampel yang diambil di lapangan dilakukan marking dengan menggunakan GPS hand-held. 3. Pasca Lapangan

Proses pasca lapangan dilakukan untuk penentuan berat kering (biomassa) eceng gondok dengan proses pengeringan alami (sinar matahari) proses ini berlangsung 7 hari.

a b

Page 56: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) (Studi Kasus: Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang) (Tidar, A.R., dkk.)

-583-

2.3.4. Analisis Data 1. Korelasi dan Regresi

Data biomasa hasil survey lapangan dikonversikan menjadi nilai biosamassa per piksel kemudian dikorelasikan dengan hasil pemrosesan NDVI citra yang digunakan untuk survey, dan didapatkan persamaan. Kontekstual editing digunakan untuk menghilangkan titik uji yang memiliki korelasi kecil dengan nilai NDVI, yaitu sebanyak 3 titik. Sehingga secara keseluruhan didapatkan 12 titik uji yang dikorelasikan dengan NDVI. Persamaan dari hasil korelasi biomassa dan NDVI kemudian digunakan untuk menghitung nilai biomassa pada citra perekaman baru (citra setelah survey lapangan) sehingga didapatkan data estimasi biomassa enceng gondok Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang. 2.Visualisasi peta

Hasil pemrosesan diubah dalam format raster, kemudian dilakukan representasi data mejadi sebuah peta kerapatan dan Estimasi Biomassa Enceng Gondok.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai biomassa enceng gondok di lapangan diambil dalam plot sampel 50 x 50 cm dikonversikan

dalam satuan biomassa per piksel untuk kemudian dikorelasikan dengan citra perekaman 13 April 2016 (citra sebelum survey lapangan), karena kondisi titik uji lebih mendekati citra ini dibandingkan citra perekaman 16 Juni 2016 (citra setelah perekaman). Ukuran plot sample yang digunakan lebih kecil daripada ukuran piksel, namun pendekatan yang dilakukan tetap berbasis piksel. Oleh karena itu diasumsikan bahwa satu plot sample merupakan perwakilan dari sub piksel dari masing – masing piksel, sehingga perlu dilakukan penyetaraan unit analisis dari sub piksel menjadi piksel dengan mengkalikan hasil pengukura biomassa dengan angka 3600 ( jumlah sub piksel pada tiap satu piksel). Resiko dari ukuran plot sample yang lebih kecil adalah terjadinya overestimated, namun metode ini dirasa paling realistis dalam pengambilan sample biomassa enceng gondok di lapangan, karena pengambilan sample dalam jumlah banyak akan mengubah komposisi kerapatan enceng gondok dan akan mempegarunho kerapatan disekitarnya. Selain itu jika mengambil sampel yang sama atau lebih besar dari ukuran piksel, proses pengangkutan dan pengeringan akan sangat tidak efektif.

Tabel 1. Hasil Korelasi Biomassa Enceng Gondok di Lapangan dan Nilai NDVI

Citra Landsat Perelaman 23 April 2016

No Koordinat Nilai

Biomassa Titik Uji

Nilai Biomassa(Total/pixel)

NDVI X Y

1 437017,8 9192764 0,76 2736 0,7668 2 437083,2 9192950 0,68 2448 0,6801 3 437054,6 9193054 0,47 1692 0,7298 4 437100,2 9193101 0,595 2142 0,7993 6 437137 9193697 0,43 1548 0,6987 7 437127,2 9193690 0,395 1422 0,6987 9 437200,6 9194073 0,23 828 0,8252

10 437180 9194281 0,175 630 0,6534 11 437109,4 9193603 0,125 450 0,4689 13 437100,8 9193469 0,06 216 0,638 14 435888,1 9195892 0,32 1152 0,3139 15 435860,2 9195916 0,486 1749,6 0,3119

Titik uji yang berjumlah 15 dilakukan kontekstual editing dengan menghilangkan 3 titik uji yang

memiliki error cukup besar. Error tersebut dibuktikan dengan posisi titik yang tidak berada di obyek vegetasi saat ditampalkan dengan citra perekaman 13 April 2016 (citra sebelum survey). Pergerakan enceng gondok yang cukup dinamis karena dipengaruhi angin, air, serta aktivitas manusia menyebabkan

Page 57: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

-584-

kondisi yang diambil saat di lapangan berbeda dengan posisi citra setelah survey, maka dari itu persamaan regresi diambil dari citra yang lebih mendekati kondisi saat survey di lapangan, yaitu citra perekaman 13 April 2016. Namun konsistensi hasil koreksi radiomaterik menjadi salah satu kunci yang besar dalam mempengaruhi akurasi hasil estimasi citra, karena nilai piksel hasil koreksi radiometri yang dipakai sebagai dasar dalam pemrosesan. Jumlah titik sample dan titik uji yang lebih banyak akan dapat menambah kestabilan model. Tabel 1 menunjukkan korelasi antara nilai biomassa dengan NDVI pada 12 titik uji di lapangan.

Gambar 4. Grafik Korelasi biomassa dan NDVI

Gambar 4 menunjukkan korelasi antara biomassa dan NDVI menghasilkan hubungan yang

berbanding lurus, artinya semakin besar nilai NDVI maka biomassa enceng gondok pun semakin besar pula. Dari grafik ini didapatkan persamaan

y = 1651,9x + 301,65......................................................................................................................................(1) dimana y adalah nilai biomassa yang dicari, dan x adalah nilai NDVI. Dengan persamaan tersebut di atas dilakukan regresi untuk mendapatkan nilai biomassa dari keseluruhan Danau Rawa Pening di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang.

Gambar 5. Kerapatan Vegetasi Enceng Gondok

Gambar 5. Estimasi Biomassa Enceng Gondok

y = 1651,9x + 301,65R² = 0,1966

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

B

NDVI

biomassa (kg/piksel)

Page 58: Pemantauan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Kota …sinasinderaja.lapan.go.id/files/prosiding/2016/06_Topik-6-Aplikasi...Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016 -528-Pemantauan Pemanfaatan

Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan dan Biomassa Eceng Gondok (Eichhornia Crassipes) (Studi Kasus: Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang) (Tidar, A.R., dkk.)

-585-

Didapatkan 8 kelas kerapatan Enceng Gondok dengan nilai minimal estimasi biomasa adalah nol dan maksimal 1714.313965 kg/piksel dengan estimasi keseluruhan biomassa 20.433.642.071.417 kg atau 20.433.642.071,417 ton. Perhitungan estimasi didapatkan dengan mengkalikan nilai piksel hasil regresi dengan jumlah piksel kemudian menjumlah total keselurahnnya. Jika dibandingakn dengan kerapatan enceng gondok, maka dapat dilihat bahwa semakin tinggi kelas kerapatannya, maka akan semakin besar nilai estimasi enceng gomdok yang dihasilkan.

3. KESIMPULAN Nilai NDVI dan Kelas Kerapatan, berbanding lurus dengan Estimasi Biomassa Enceng Gondok.

Data Landsat 8 OLI dapat digunakan untuk estimasi biomassa enceng gondok. Didapatkan 8 kelas kerapatan Enceng Gondok dengan nilai minimal estimasi biomasa adalah nol dan maksimal 1714.313965 kg/piksel dengan estimasi keseluruhan biomassa 20.433.642.071.417 kg atau 20.433.642.071,417 ton.

4. SARAN Perlu adanya studi lebih lanjut terkait konsistensi koreksi radiometri untuk pengaplikasian model di

dua citra yang berbeda perekamannya. Penambahan titik sampel dapat dilakukan untuk membuat model yang lebih stabil.

5. UCAPAN TERIMAKASIH Keluarga besar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, dan Prodi Penginderaan Jauh dan SIG

Universitas Gadjah Mada

DAFTAR PUSTAKA

Danoedoro, P., (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta : Andi Offset. Lillesand, T.M, Ralph, W.K., Jhonatan, W.C., (2008). Remote Sensing and Image Interpretation-sixth edition. USA:

jhon Willey & Sons, Inc Kaleka dan Hartono., (2013). Kerajinan Eceng Gondok. Solo : Arcit Ginting, P ., dan Fatur, R.M., (2004). Geografi. Jakarta : Erlangga. pp.147-148. Khorram, S., Frank, H.K., Stacy, A.C.N., dan Cynthia, F., (2012). Remote Sensing. Boston. MA Springer US. USGS, (2013). Using the USGS Landsat 8 Product. [Online] Available at: http://landsat.usgs.gov/ landsat8_using

_product.php, diupload 17 mei 2013 diakses 15 April 2016

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah : Pemanfaatan Citra Landsat 8 OLI Untuk Pemetaan Kerapatan Dan Biomassa

Eceng Gondok (Eichhorniacrassipes) (Studi Kasus: Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang)

Pemakalah : Agil Rizki Tidar (Sekolah Vokasi UGM) Diskusi : Pertanyaan: Suwarsono (LAPAN) 1. Penggunakan plot tidak 1 X 1m2? 2. Grafik persamaan dengan r2< 0,2 apakah bisa diterima?

Pertanyaan: Dede Dirgahayu (LAPAN) Saran: Data Landsatnya harus ditambah sehingga sample >30 agar dihasilkan model yang stabil yang mewakili kondisi cuaca dan lokasi yang berbeda Jawaban: Tidak ada jawaban dari penulis.