Upload
others
View
38
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS
DALAM KASUS POLIGAMI
( Analisis Putusan Nomor 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi )
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Yayah Lutfiyah
NIM : 107044100480
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H / 2011 M
Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas
Dalam Kasus Poligami
(Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
oleh:
Yayah Lutfiyah
NIM: 107044100480
Dibawah bimbingan
Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD.
NIP: 150077526
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432H/2011M
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama mahasiswa : Yayah Lutfiyah
NIM : 107044100480
Fakultas : Syariah dan Hukum
Jurusan/ Konsentrasi : Ahwal Syakhsiyyah
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang
merupakan hasil penelitian, pengolahan, dan analisis saya sendiri serta bukan
merupakan plagiat maupun saduran dari hasil kaya atau penelitian orang lain.
Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat maka skripsi ini dianggap gugur
dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan
serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian
hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 1 Juni 2011
(Yayah Lutfiyah)
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
kemudahan, petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam selalu tercurah
kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umatnya
menuju zaman yang beradab dan penuh pencerahan.
Skripsi dengan judul Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas
Dalam Kasus Poligami (Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi)
disusun guna memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana Syariah pada Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi dan juga telah membimbing penulis yaitu kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Ketua Jurusan dan ibu Hj. Rosdiana,
MA., sebagai Sekertaris Jurusan Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
v
3. Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD, selaku dosen pembimbing yang
sudah meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi penulis untuk
menjadi lebih baik.
4. Pansek Pengadilan Agama Bekasi beserta jajaran pegawai Pengadilan Agama
yang telah membantu penulis dalam memperoleh data-data yang diperlukan
dalam penelitian.
5. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum, terima
kasih atas ilmu dan bimbinganya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag
Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya
membantu mempelancar penyelesaian skripsi ini.
6. Ayahanda H. Abdul Hamid (Alm) dan Ibunda tercinta Hj. Rodemah atas
pengorbanan dan cinta kasihnya baik moril dan materill, serta doa yang tak
terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis. Segala hormat
Penulis sembahkan.
7. Kakak dan adik-adikku tersayang, Robiatul Adawiyah, Humaidah, Ahmad
Syatirudin, Sulasatul Milati dan Ahmad Thantowi yang memberikan semangat
dan kehangatan di dalam keluarga serta Muhammad Syambuzi, terimakasih
atas pengorbanan baik moril maupun materil dan selalu setia menemani
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian semua di berikan
kesehatan dan kesuksesan.
8. Teman-teman seperjuangan kelas Pengadilan Agama 2007 Laila Wahdah,
Ratna Khuzaemah, Jainul Amidin, Tajul Muttaqin, Syawaludin, Ahmad
vi
Syadhali, Riki Dian Saputra, dan lain-lain yang tidak penulis sebutkan satu-
persatu, yang telah banyak sedikitnya membantu, baik moril maupun materil,
dan semangat, semoga kesuksesan dan keberhasilan selalu menaungi dan
menyertai kita.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan Penulis, semoga
skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang
membacanya, Amin.
Ciputat, 13 Juni 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah....................................... 6
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian ................................................ 8
D. Studi Review Terdahulu ........................................................... 9
E. Metodologi Penelitian .............................................................. 10
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 13
BAB II : PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian Pembatalan Perkawinan ......................................... 15
B. Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan ................................. 21
C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan .................................. 34
D. Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas.............. 37
viii
BAB III : DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BEKASI DAN
DESKRIPSI KASUS PERKARA NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/
PA. BEKASI
A. Sejarah dan Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi ........ 41
B. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Bekasi ............................... 43
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bekasi ...................... 44
D. Daftar Jumlah Pejabat Pengadilan Agama Bekasi ................... 44
E. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi ........................ 45
F. Daftar Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama
Bekasi ...................................................................................... 46
G. Deskripsi Kasus Perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi 48
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ........ 60
B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Hukum Perdata Indonesia ........................................ 68
C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Kompilasi Hukum Islam .......................................... 70
ix
BAB V : ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
PERSPEKTIF HUKUM FIQH
A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Madzhab Syafi’iyah ................................................. 76
B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Madzhab Hanafiyah ................................................. 78
C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Madzhab Malikiyah .................................................. 80
D. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Madzhab Hanibalah .................................................. 81
BAB VI : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 84
B. Saran-Saran ............................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 90
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum Islam dikenal istilah nikah. Menurut ajaran Islam
melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah. Melakukan perbuatan
ibadah berarti juga melaksankan ajaran agama, seperti hadits yang diriwayatkan
oleh Sunan Ibnu Madjah yang berbunyi:
“ barang siapa yang melaksanakan nikah berarti ia melaksanakan
separuh ajaran agamanya, yang separuh lagi hendaklah ia takwa kepada
Allah“.1
Demikian sunnah Qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.
Rasulullah memerintahkan orang-orang yang telah mempunyai kesanggupan,
menikah dan hidup berumah tangga karena perkawinan atau memeliharanya dari
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah.2
Perkawinan memang merupakan salah satu subsistem dari kehidupan
beragama dan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
1 Ali bin Ahmad bin Muhammad Al-Azizi, Al-Siraj Al-Munir Syarah Al-Jami’u Al-Shagir,
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1405), Juz. 3, h. 347.
2 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo
Perkasa, 1997), Cet. 1, h. 12.
2
manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina
sesuai dengan norma dalam tata kehidupan masyarakat. Melalui media
perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri, esensi dan tujuan hidup berkeluarga ( rumah tangga )
barulah akan tercapai yaitu membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang
penuh barokah, tentram, damai, rukun bahagia dan kekal.3
Masalah perkawinan merupakan permasalahan yang sangat penting dalam
sudut pandang agama maupun negara. Oleh karena itu, meskipun masalah
perkawinan telah diatur secara komprehensif dalam agama Islam namun pada
tataran pelaksanaan kehidupan bernegara perlu adanya Undang-undang yang
mengcover kebutuhan ini supaya tidak terjadi kesalahan mekanisme dalam
pelaksanaan perkawinan dan perangkat-perangkat lainnya.
Apabila dilihat dari sudut pandang agama, perkawinan mengandung unsur
perbuatan ibadah yang pada dasarnya merupakan sunnah Allah dan Rasul Nya.
Jika melihat pada tujuan perkawinan yang membentuk keluarga bahagia yang
kekal, tujuan ini dapat dielaborasikan menjadi tiga hal :
1. Suami isteri saling membantu dan saling melengkapi
2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk
pengembangan tersebut suami isteri harus saling membantu
3 Chandra Sabtian Irawan, Perkawinan dalam Islam : Monogami atau Poligami ?, (
Yogyakarta : An-Naba Islamic Media, 2007 ), cet Ke-1, h. 12.
3
3. Tujuan terakhir yang ingin dicapai adalah keluarga bahagia yang sejahtera
spiritual dan material.4
Mengingat perkawinan bukan hanya sekedar hubungan antar individu
melainkan dapat merupakan perbuatan yang melibatkan orang lain yang pada
gilirannya akan menimbulkan hak dan kewajiban, maka pemerintah mencoba
mengakomodir dan mengatur pernikahan itu dengan lahirnya Undang-undang No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa “ perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga )
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Pada prinsipnya, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
berasaskan monogami yaitu suatu perkawinan dimana seorang pria hanya boleh
mempunyai satu orang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum agama
dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang dan meskipun hal ini dikehendaki oleh yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan atas putusan izin
Pengadilan.6
4 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI, ( Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2006 ), Cet Ke-3, h. 57.
5 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang-
Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, ( Jakarta : 2001 ), h. 131.
6 www.Legalitas.co.id, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pustaka
Yayasan Peduli Anak Negeri ( YPAN ), h. 2
4
Meskipun pada prinsipnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan berasaskan monogami, akan tetapi Undang-Undang No. 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991)
sebenarnya menganut kebolehan Poligami walaupun terbatas hanya sampai empat
orang isteri saja. Kebolehan berpoligami tersebut memang tidaklah terlepas dari
berbagai persyaratan. Persyaratan-persyaratan seseorang dapat berpoligami yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam memanglah sangat berat, sehingga menyebabkan orang
seringkali mengambil jalan pintas dengan melanggar Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku. Banyak cara yang dilakukan seseorang agar dapat
berpoligami, salah satunya yaitu dengan cara memalsukan identitas dirinya.
Apabila persyaratan-persyaratan bagi seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang tidak terpenuhi, maka perkawinan yang baru dapat diajukan
pembatalannya ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal kedua suami isteri, ditempat
suami atau isteri. Hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan (Pasal 24) yaitu bahwa diantara sebab-sebab
dilakukannya pembatalan perkawinan jika terdapat suami atau isteri yang masih
mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seizin dan
sepengetahuan pihak lainnya. Pemikiran tersebut juga terdapat dalam Kompilasi
Hukum Islam ( KHI ) “ bahwsannya perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang
5
suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama ( Pasal 71 ).7 Alasan
tersebut dapat menjadi sebuah landasan hukum untuk melakukan tindakan hukum
yang berupa permohonan pembatalan perkawinan oleh isteri yang mengetahui
suaminya telah menikah dengan orang lain tanpa sepengetahuan dan izin darinya
pada Pengadilan Agama yang berwenang.
Poligami memang merupakan salah satu polemik dalam perkawinan yang
paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak
dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis
bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Akan tetapi, pada sisi lain
poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas
dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena
selingkuh dan prostitusi.
Perjalanan kehidupan berumah tangga memang tidaklah selalu berjalan
mulus dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Berbagai alasan seseorang untuk
beristri lebih dari seorang diantaranya yaitu kurangnya perhatian dari pasangan
hidupnya, adanya indikasi perselingkuhan dan adakalanya hanya untuk
melampiaskan hawa nafsu semata. Kebanyakan dari orang yang melakukan
poligami tanpa izin dari pihak lain (pihak isteri) dikarenakan isteri mengetahui
bahwa tidak terdapat indikasi persyaratan seorang suami dapat melakukan
poligami yang terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Dengan demikian, tidak ada peluang bagi seorang suami untuk
7 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Reneka Cipta 1991 dan Inpres Ri No.1 Th 1991
kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Depag RI 1998.hal
6
melakukan poligami. Di Pengadilan Agama Bekasi terdapat kasus pembatalan
perkawinan poligami karena suami memalsukan identitas. Kajian pembatalan
perkawinan karena pemalsuan identitas dalam kasus poligami merupakan
fenomena yang menarik untuk dikaji.
Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan penelitian terhadap
pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Bekasi dalam bentuk skripsi
dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN
IDENTITAS DALAM KASUS POLIGAMI ( Analisis Putusan Nomor 1513 /
Pdt. G / 2009 / PA. BEKASI )”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasikan sejumlah masalah sebagai berikut:
a. Pada dasarnya beberapa persyaratan bagi seseorang dapat melakukan
poligami sudah di jelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ), akan tetapi
pada kenyataannya masih banyak orang yang melakukan poligami tidak
memenuhi persyaratan dalam Undang-undang tersebut.
b. Banyaknya cara yang dilakukan seseorang dalam melakukan poligami
agar dapat diakui keabsahan hukumnya, salah satunya yaitu dengan
memalsukan identitasnya.
7
2. Perumusan Masalah
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa untuk beristeri lebih dari seorang,
maka seseorang harus mendapatkan izin dari isteri pada umumnya dan izin
dari pengadilan pada khususnya, sehingga bagi seorang suami yang
melakukan poligami tanpa mengikuti aturan hukum yang ada maka
perkawinan yang baru dapat diajukan permohonan pembatalan perkawinan ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya
perkawinan.
Sehubungan dengan permasalahan diatas dan untuk memudahkan
penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah skripsi ini
adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan KHI yang mengatur hukum pembatalan perkawinan karena pemalsuan
identitas dalam kasus poligami, di terapkan oleh hakim Pengadilan Agama
Bekasi dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi?
b. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
pembatalan perkawinan tersebut dan bagaimana akibat hukum dari
pembatalan perkawinan itu?
c. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pertimbangan hakim dalam putusan
itu di tinjau dari hukum positif dan hukum fikih?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain :
a. Untuk memberikan penerangan kepada masyarakat banyak bahwa
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI sudah
memberikan kejelasan hukum tentang seseorang yang beristeri lebih dari
satu orang yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
pembatalan perkawinan tersebut dan akibat hukumnya
c. Untuk lebih memahami kekuatan dan kelemahan pertimbangan hakim
dalam masalah pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas di
tinjau dari hukum positif dan hukum fikih
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain :
a. Manfaat Teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang
hukum Islam, baik materiil maupun formil.
b. Manfaat Praktis : sebagai referensi bagi pencari keadilan serta
memberikan kejelasan pada masyarakat umunya tentang ketentuan hukum
dan perundang-undangan yang mengatur tentang pembatalan perkawinan.
9
D. Studi Review Terdahulu
No Nama Penulis/ Judul/
Tahun
Substansi Pembeda
01 Nur Ulfah Mariana/
pembatalan Perkawinan
akibat Poligami Tanpa
Izin Dari Istri Menurut
Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dan KHI
(Studi Kasus Pengadilan
Agama Jakarta Selatan)/
Fakultas Syariah dan
Hukum/ 2007
skripsi ini menjelaskan
tentang Implikasi UU
No. 1 Tahun 1974 dan
KHI dalam menerapkan
hukum poligami yang
tidak memenuhi
persyaratan.
Skripsi yang penulis
bahsa tidak hanya
menjelaskan
implikasi UU No. 1
Tahun 1974 dan KHI
saja, akan tetapi
penulis juga
membahas perkara
pembatalan
perkawinan dari
beberapa sudut
pandang, yaitu dari
hukum positif dan
hukum fiqih
02 Arud Badrudin/
Pembatalan Perkawinan
Karena Poligami Liar
(Analisa Yurisprudensi
Skripsi ini menjelaskan
tentang argumentasi
hakim dalam
menetapkan hukum
Dalam skripsi ini
yang penulis bahas
lebih mengarah
kepada pembatalan
10
Perkara No. 416/ Pdt. G/
1995/ PA. Sumedang)/
Fakultas Syariah dan
Hukum/ 2010
pembatalan perkawinan
akibat poligami liar
serta mengetahui pihak
mana yang akan di
untungkan atau di
rugikan dalam
pembatalan perkawinan
perkawinan akibat
pemalsuan identitas,
dan di lihat dari
beberapa sudut
pandang
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Metode
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan
dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan, sedangkan yang
dimaksud penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu adalah
penelitian hukum yang dilakukan untuk mengkaji aturan hukum yang bersifat
mengutus baik tertulis maupun tak tertulis. Dalam hal ini objeknya ialah
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan sebuah putusan
hakim di Pengadilan Agama.
11
a. Data Penelitian
1) Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim Pengadilan
Agama Bekasi yang memutus perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.
Bekasi.
2) Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil kajian hukum terhadap
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) terhadap putusan hakim Pengadilan
Agama Bekasi dalam perkara No. 1513 / Pdt. G / 2009 / PA. Bekasi
b. Teknik Pengumpulan Data
1) Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah data
hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang
memutus perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. Sedangkan
bahan hukum sekundernya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, KHI dan amar putusan Pengadilan Agama
Bekasi yang telah berkekuatan hukum tetap serta buku-buku hukum
lain yang mendukung dan memperjelas.
12
2) Interview atau Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan untuk menjawab semua permasalahan penelitian. Data
yang diperoleh dari wawancara ini akan disinergikan dengan data-data
yang diperoleh dari studi dokumentasi.
c. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan
untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1) Seleksi Data : setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian
baik melalui studi dokumentasi, maupun wawancara, lalu diperiksa
kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan.
2) Klasifikasi Data : setelah data dan bahan diperiksa lalu di
klasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil
kesimpulan.
d. Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah content analysist dan
analisis wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa
sudut pandang. Data yang dianalisis merupakan data yang bersumber dari
sumber data, baik yang didapat melalui wawancara maupun studi
dokumenter.
13
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran secara garis besar dan menyeluruh skripsi
ini disusun atas enam bab dan tiap-tiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab
meliputi:
Bab pertama tentang Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metodologi penelitian, Studi Review Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang Pembatalan Perkawinan karena
pemalsuan identitas, yang didalamnya membahas pengertian pembatalan
perkawinan, sebab-sebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan menurut
perspektif fiqih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam serta akibat hukum pembatalan perkawinan.
Bab ketiga berisi tentang deskripsi Pengadilan Agama Bekasidan deskripsi
putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. Bab ini
terdiri atas dua bagian. Bagian pertama membahas sejarah dan letak geografis
Pengadilan Agama Bekasi, Visi dan Misi, struktur organisasi Pengadilan Agama
Bekasi, Jumlah perkara yang di putus Pengadilan Agama dri tahun 2009-2011
serta wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi. Bagian kedua berisi deskripsi
kasus yang hendak di bahas dalam skripsi ini.
Bab keempat merupakan Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.
Bekasi menurut Perspektif Hukum Positif. Didalam bab ini penulis mengawalinya
dengan menganalisa putusan tersebut menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
14
Tentang Perkawinan, yang kedua penulis menganalisa putusan menurut Hukum
Perdata Indonesia (BW), kemudian yang terakhir penulis menganalisa putusan
menurut Kompilasi Hukum Islam.
Bab kelima berisi Analisis Pututsan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Perspektif Hukum Fiqih. Di dalam bab lima ini penulis mengalisis
menurut pendapat imam-imam Madzhab, diantaranya yaitu: Madzhab
Syafi’iyyah, Madzhab Hanafiyyah, Madzhab Malikiyyah dan Madzhab
Hanabalah.
Bab keenam merupakan bab terahir dalam skripsi ini yang berisi
kesimpulan serta saran-saran. Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan
semua yang telah di bahas dalam skripsi ini.
15
BAB II
PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Pengertian fasakh secara umum dapat dipahami sebagai memutuskan atau
membubarkan suatu ikatan pernikahan disebabkan suatu alasan yang telah di
tentukan oleh syara. Arti fasakh ialah merusak atau membatalkan ini berarti
bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusak atas permintaan salah satu pihak
oleh Pengadilan Agama.
Di dalam fikih, batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang
dimaksud fasakh, secara etimologi atau menurut bahasa adalah:
"Fasakh adalah merusak pekerjaan atau akad”1
Sedangkan secara terminology atau istilah syar‟i, fasakh adalah
pembatalan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat
antara suami dan istri.2
Menurut Ali Hasabillah, secara terminology fasakh adalah suatu yang
merusak akad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talaq.3
1 Firdaweri, hukum Islam Tentang Fasakh, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet Ke-
1, hal. 52
2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Beirut: Daarul Fikr, 1983), Cet ke-37, hal. 268.
16
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa memfasakh akad nikah adalah
membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri, fasakh dapat
terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal-
hal lain yang datang membatalkan kelangsungan perkawinan.4
Adapun contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam
akad perkawinan adalah:
1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara susuan,
2. Suami istri masih kecil diakadkan setelah dewasa, ia berhak untuk
meneruskan ikatan perkawinanya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini
disebut dengan khiyar baliq. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri,
hal ini disebut dengan fasakh akad.
Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari pasangan
suami istri mengetahui ada aib pada pihak lainnya sebelum aqad nikah dan ia
menerima secara tegas atau ada tanda yang menunjukan kerelaannya, maka hak
untuk meminta fasakh dengan alasan aib tersebut hilang.
Terdapat 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar, yaitu:
Tiga berada dalam keduanya (suami atau istri) yaitu gila, penyakit kusta dan
supak, dua terdapat dalam laki-laki yaitu: unah ( lemah sahwat), dan impoten,
tiga lagi dari perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yang
3 Ali Hasabillah, al-furqan Baina Zaujani,( Kairo : Daarul fikr, 1949), cet ke 1, hal. 169.
4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terjemahan. Nor Hasanuddin, (Jakarta : Pena Pundi Aksara,
2006), hal. 211.
17
menghalangi persetubuhan, dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau basah
karena penyakit (keputihan) yang menyebabkan hilangnya kenikmatan
bersetubuh.5
Menurut ketentuan hukum Islam, siapa yang mengetahui dan melihat
akan adanya seseorang yang berkehendak untuk melangsungkan pernikahan,
padahal diketahui bahwa penikahan tersebut cacat hukum karena kurang syarat
dan rukun yang ditentukan, maka perkawinan tersebut wajib dicegah. Jika
pasangan suami istri mengetahuinya setelah akad nikah, maka pihak yang di
rugikan wajib mengajukan pembatalan perkawinan kepada instansi yang
berwenang.
Dalam literatur fikih tidak di kenal lembaga pencegah perkawinan akan
tetapi fikih Islam mengenal dua istilah yang berbeda walaupun hukumnya sama
yaitu nikah fasid dan nikah batil. Menurut Al-Jaziry6, nikah fasid adalah nikah
yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan fasakh
atau nikah batil ialah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah di
tetapkan oleh syara‟. Hukum nikah dari kedua bentuk pernikahan itu adalah
sama-sama tidak sah dan harus di batalkan. Meskipun kedua hal tersebut menjadi
ikhtilaf para ulama dan para ahli hukum Islam, tetapi kedua hal ini nuansanya
tidak bisa di pisahkan dan sangat sulit di bedakan di antara keduanya.
5 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Madzhab, ( Lentera Basretama, 1999 ), h. 351.
6 Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-
Fikr ), h. 118.
18
Ash Shan‟ani7 mengemukakan bahwa nikah fasid itu tidak ada dalam Al-
Qur‟an dan Al-Hadis, akan tetapi Ash Shan‟ani mengemukakan bahwa pada
dasarnya dalam Syari‟at Islam hanya ada nikah yang sah dan nikah yang bathil
saja, tidak ada nikah yang terletak di antara nikah sah dan nikah yang bathil itu.
Di kalangan mazhab Syafi‟iyyah nikah fasid itu adalah akad nikah yang
di lakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah satu
syarat yang di tentukan oleh syara‟, sedangkan nikah batil adalah pernikahan
yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi
kurang salah satu rukun syara‟. Menurut ahli hukum Islam mazhab Syafi‟iyyah,
nikah fasid dapat terjadi dalam bentuk:
(1) pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang
perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki lain
(2) pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro‟ karena wathi syubhat
(3) pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita
tetapi perempuan tersebut di ragukan iddahnya karena ada tanda-tanda
kehamilan
Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 hanya mengatur menyangkut
pembatalan saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang
7 Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shan‟ani, Subulus Salam, terjemahan Abu
Bakar Muhammad, Jilid III, ( Surabaya : Al-Ikhlas ), 1995, h. 118.
19
menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid
dan nikahul bathil
Apabila nikah fasid dan nikah batil di kaitkan dengan dengan fasakh,
maka fasakh adalah sesuatu yang dapat menyebabkan hubungan suami istri
berhenti, baik di hentikan oleh hakim maupun di hentikan dengan sendirinya di
karenakan di ketahui tidak terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Dengan
demikian putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena adanya
kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian
yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan itu.8
Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad:
a. Di ketahui kemudian bahwa suami istri itu ternyata mempunyai hubungan
nasab atau sepersusuan
b. ketika di kawinkan umurnya masih kecil (belum dewasa) dan tidak punya hak
pilih, tetapi setelah dewasa dia menyatakan pilihan untuk membatalkan
perkawinan
c. ketika akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada
penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan perkawinan
Bentuk kesalahan terjadi setelah berlangsungnya akad perkawinan:
a. Salah seorang murtad dan tidak mau di ajak kembali kepada Islam
b. Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan melakukan
hubungan suami istri
8 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet Ke-2, h. 133.
20
c. Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu pulihnya
kehidupan ekonomi si suami.9
Menurut Al-Jaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh
seseorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan
belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut perlu dibatalkan, yang
melakukan perkawinan tersebut tidak berdosa, jika terjadi persetubuhan maka itu
dipandang sebagai wathi’syubhat, tidak dipandang sebagai perzinahan. Jika
perkawinan yang di lakukan oleh seseorang sehingga perkawinan itu menjadi
tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu,
persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal lain yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, maka perkawinan yang demikian itu wajib di batalkan. 10
Jadi, ada dua jenis pembatalan dari segi kapan berlakunya yaitu:
a. Berlaku surut
Apabila pada waktu di langsungkannya akad telah di ketahui sebab
yang dapat menyebabkan aqad tidak sah atau perkawinan yang di langsungkan
tidak memenuhi syarat atau rukun perkawinan yang telah di tentukan oleh
syara.
b. Tidak berlaku surut
Pembatalan yang tidak berlaku surut yaitu apabila sebab yang dapat
membatalkan aqad di ketahui setelah berlangsungnya perkawinan, dengan
9 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Cet Ke-2, h. 134.
10
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, jilid IV, hal.119.
21
begitu aqadnya tetap di anggap sah. Seperti contoh setelah perkawinan telah
berlangsung, salah satu dari pasangan suami istri keluar dari Islam atau
murtad, dengan begitu akadnya tetap di anggap sah.
B. Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan
1. Perspektif fiqh
Fiqh Islam mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama,
yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak
memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil,
apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan batil adalah
sama-sama tidak sah. Batalnya perkawinan menurut fiqih Islam antara lain
disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, karena tidak terpenuhi rukun
perkawinan dan atau karena tidak terpenuhi syarat perkawinan dan kedua,
karena adanya sebab lain setelah perkawinan berlangsung. Pembatalan
dimaksud dikenal dengan istilah “fasakh”.11
Menurut pendapat kalangan madzhab Syafi’iyyah diantara perceraian di
sebabkan fasakh yaitu di sebabkan seorang suami berat memberikan maskawin
( sebelum di pergauli ), nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, seorang istri
terdapat cacat ( dari kemaluannya), di sebabkan akad nikah yang fasid, dan
tidak sekufu. Kalangan madzhab Malikiyyah berpendapat bahwa di antara sebab
11
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), Cet
Ke-3, h. 243.
22
yang dapat di fasakh yaitu di sebabkan akad nikah yang fasid, nikah sirri,
menikah tanpa wali, putusan hakim dengan talaq ba‟in dalam perceraian ( baik
di ceraikan atas putusan hakim atau atas perintah Istri). Menurut kalangan
madzhab Hanafiyyah di antara sebab yang dapat mengakibatkan fasakh yaitu
salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara
Islam yang aman, karena fakta yang menyebabkan akad nikah fasid, dan salah
satu dari suami atau istri kafir, sedangkan menurut kalangan mazdhab
Hanabilah di antara sebab yang dapat menyebabkan fasakh yaitu seorang suami
tidak sanggup memberikan maskawin (sebelum di pergauli), nafkah, tempat
tinggal, dan pakaian, dan salah satu dari suami atau istri kafir.12
Adapun dalam hal fasakhnya suatu pernikahan di sebabkan karena
adanya cacat pada wanita yang di nikahi, dalam hal ini istri tetap berhak
mendapatkan mahar. Hal tersebut sesuai dengan hadis Sayyidina Umar yang
berbunyi:13
Umar bin Khattab berkata “laki-laki mana saja yang mengawini seorang
perempuan dan bergaul dengannya, lalu menemukan pada istrinya itu mengidap
12
Lihat Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar
al-Fikr ), h. 372.
13
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Maram, (Surabaya: Syirkah Bengkulu Indah), h. 218
23
penyakit sopak, gila atau kusta, maka berikanlah maharnya karena telah bergaul
dengannya (artinya setelah keduanya dipisahkan)”.
Penjelasan dari hadis tersebut bahwa laki-laki yang telah memfasakh
perkawinannya karena terdapat cacat pada istrinya tetap wajib membayar mahar
karena suami tersebut harus bertanggung jawab terhadap walinya, meskipun
sudah tertipu di dalam pernikahannya dan pernikahannya dapat di fasakh sesuai
dengan apa yang di tetapkan dalam aturan fasakh.14
Akan tetapi apabila seorang suami tertipu dengan sifat wanita yang
dinikahinya tersebut, seperti tertipu karena keperawanannya, ternyata wanita
tersebut tidak perawan, wanita tersebut mengaku muslim, ternyata wanita
tersebut bukan muslim, mengaku merdeka, dan mengaku bukan senasab tetapi
ternyata berbeda dengan kenyataannya, maka para ahli fiqih berbeda pendapat
dalam hal tersebut kecuali madzhab Hanafiyyah. Menurut pendapat Madzhab
Syafi’iyyah yaitu jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, di
syaratkan sebelum atau di saat akad meneliti sifat wanita tersebut, seperti jelas
keislamannya, atau jelas nasabnya, dan jelas status kemerdekaannya. Apabila
setelah akad ternyata diketahui berbeda dengan kenyataannya, menurut qaul
yang lebih sahih pernikahannya tetap di anggap sah. Begitu pula menurut
Madzhab Hanabilah yaitu apabila seorang laki-laki menipu seorang wanita
dengan sesuatu yang merusak akad, seperti perkara sekufu, kemerdekaannya,
14
Ibid, hal. 522.
24
keturunannya, maka bagi istri berhak untuk memilih antara fasakh atau tetap
berlangsung. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah yaitu tidak di bolehkan
adanya perceraian karena salah satu dari kedua suami istri tertipu oleh sifat dari
salah satu kedua suami istri tersebut kecuali terdapat cacat yang dapat
menyebabkan suami istri susah untuk bersenggama.15
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi fasakh
dan infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari kehendak
sendiri, keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim, sedangkan
infisakh muncul karena adanya peristiwa alamiah yang tidak memungkinkan
berlangsungnya akad.16
Sedangkan Sayyid Sabiq17
menggunakan istilah mem-fasakh akad nikah
yang berarti membatal-kannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami
isteri. Fasakh dapat terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad
nikah atau karena hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan
kelangsungan perkawinan. Sayid Sabiq menambahkan bahwa fasakh itu terbagi
kepada dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan
hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar dan kedua, fasakh
yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab
fasakh-nya jelas.
15
Ibid, hal. 526.
16
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damaskus, 1984, hlm.
3150.
17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Beirut: Daarul Fikr, 1983), Cet ke-37.
25
Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq tersebut, maka pembatalan
perkawinan (fasakh) dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Dilihat dari sisi sebab pembatalannya, terdiri dari:
1) Sebab yang telah ada pada saat perkawinan dilangsungkan, contohnya
perkawinan dilangsungkan tidak memenuhi rukun dan/atau syarat
perkawinan.
2) Sebab yang terjadi setelah akad perkawinan berlangsung, contohnya
setelah perkawinan berlangsung, salah satu dari suami atau isteri murtad.
b. Dilihat dari kewenangan pembatalannya, terdiri dari:
1) Pembatalan perkawinan melalui keputusan hakim, berarti suami isteri
tidak dibolehkan membatalkannya tanpa ada keputusan hakim, hal ini
dilakukan jika alasan yang dapat membatalkan perkawinan masih samar-
samar, contohnya karena isteri masih belum memeluk agama Islam,
sedangkan suaminya sudah. Ada kemungkinan, setelah perkara dibawa ke
pengadilan, isterinya mau memeluk agama Islam.
2) Pembatalan perkawinan yang tidak harus melalui keputusan hakim,
berarti suami isteri dapat langsung membatalkannya tanpa harus
menunggu keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang
membatalkan perkawinan sudah jelas, seperti karena terdapat halangan
perkawinan di antara mereka disebabkan hubungan nasab atau sesusuan,
berhubung perkawinan yang demikian adalah haram menurut fiqih Islam.
26
Dasar hukum Putusnya hubungan perkawinan dengan cara fasakh ini,
antara lain adalah:
a. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa Ayat 23 yang berbunyi :
Artinya : “ Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua),
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah
terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
b. Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud,
yang berbunyi:
27
Artinya: “Dan dari Abdurraman bin Hurmuz Al-A‟raj sesungguhnya Abbas
bin Abdullah bin Abbas tela mengawinkan Abdurahmnan bin Hakam dengan
anak putrinya dan sebaliknya Abdurahman mengawinkan Abbas dengan
anak putrinya dan mereka berdua menjadikan tukar menukar itu sebagai
maharnya kemudian Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim surat kepada
Marwan bin Hakam yang isinya menyuruh Marwan agar menceraikan antara
mereka berdua, seraya berkata dalam suratnya itu inilah nikah syigar yang di
larang oleh Rasulullah SAW.” (HR ahmad dan abu daud).18
c. Dalam Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Hakim, yang berbunyi:
سلم العا :بن كعب بن عجرة عن ابيو قال عن زيد ل اللو صلي اللو عليو ج رس تس
ضعت ثيا بيا رأي بكشحيا بيا ضا فقا ل البسي : ليت من بني غفا ر فلما دخلت عليو
امر ليا با لصداق الحقي بأىلك (راه الحاكم)ثيا بك
Artinya: “ Hadits dari Zaid bin Ka‟ab bin „Ujrah dari bapaknya dia berkata:
Rasulullah SAW mengawini seorang wanita dari bani Ghafar. Ketika Rasul
hendak bersetubuh dengannya, wanita itu membuka pakaiannya. Rasul
melihat warna putih di rusuknya. Lantas Rasul berkata: Pakailah pakaianmu
dan pergilah kerumah orang tuamu, dan Rasul memberinya mahar.” (HR.
Hakim).19
2. Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan
adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Akan
tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang menyangkut hal
pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid dan nikahul
bathil. Dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
18
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Juz. 34, h. 216, Hadis Ke-16253 19
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulug Al-Maram, (Surabaya: Syirkah Bengkulu Indah), h. 218
28
Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam penjelasannya kata “ dapat “ dalam pasal ini adalah bisa batal
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain.20
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan
oleh seseorang dapat menjadi batal demi hukum dan dapat dibatalkan oleh
hakim apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang ini berarti dapat
difasidkan, sehingga bersifat relative neitig. Dengan demikian perkawinan
dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan
karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.21
Menurut M. Yahya Harahap,22
secara teoritis Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatu
perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum ( van
rechtswegwnietif ) sampai ikut campur tangan Pengadilan. Hal ini dapat
20
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2004), Cet Ke-1,
h. 106.
21
Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Jakarta : Indonesia Legal
Center Publishing, 2002 ), h. 25.
22
Yahya Harahap, SH. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, ( Medan : CV. Zahir Trading Co ), 1975,
Cet Ke-I, h. 74.
29
diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana
dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh
Pengadilan.
Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan.
Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap
materi perkawinan. Misalnya perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman,
terjadi salah sangka mengenai calon suami dan isteri.23
Pihak-pihak yang berhak melakukan pembatalan perkawinan dalam
Undang-Undang Perkawinan yaitu:
1. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari masing-masing pihak
(Pasal 23 huruf a)
2. Suami istri itu sendiri (Pasal 23 huruf b)
3. Jaksa (Pasal 23 huruf c ayat (1) jo. Pasal 16)
4. Pejabat tertentu (Pasal 23 huruf d jo Pasal 16)
5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut (Pasal 23 huruf c)
3. Perspektif Hukum Perdata Indonesia
Didalam hal seseorang tidak mengindahkan akan ketentuan-ketentuan
undang-undang tentang perkawinan dan pelangsungan perkawinan, dengan
23
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), h.
107.
30
begitu adanya dua macam akibat hukum yaitu kebatalan karena hukum atau
kemungkinan pernyataannya batal oleh hakim atas permohonan pihak-pihak
yang bersangkutan.24
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dengan jelas
disebutkan pada pasal 85 yaitu:
Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim.
Mengenai pembatalan dalam perkawinan yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu di jelaskan dalam pasal 85-99.25
Adapun
bunyi dari pasal 85-99 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Suatu
perkawinan dapat di batalkan dengan alasan-alasan sebagai berikut:26
1. Karena adanya perkawinan rangkap (poligami)
2. karena tidak ada persetujuan yang bebas di antara para pihak
3. karena salah satu pihak di anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum
4. karena salah satu pihak atau masing-masing pihak belum mencapai umur
yang di tentukan menurut Undang-Undang dan belum mendapat izin
5. karena adanya larangan perkawinan
6. karena perkawinan yang di langsungkan akibat dari suatu hubungan zina
(overspell)
24
H.F.A. Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, ( Jakarta: Rajawali, 1992 ), Cet Ke-3, h.
60. 25
Lihat, Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 22.
26
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007),Cet Ke-1, h. 13.
31
7. karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan, antara lain orang
tua dan wali.
Dalam hal perkawinan rangkap (poligami), pihak yang berwenang
melakukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
1. Suami atau istri dari perkawinan yang pertama
2. Suami atau istri dari perkawinan yang kedua
3. Jaksa
Dalam hal perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak-pihak yang di
anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum, permohonan pembatalan
perkawinan dapat di lakukan oleh:
1. Orang tua
2. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke samping
3. Curator
Untuk melakukan pembatalan perkawinan harus dilakukan dengan
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negri yang daerah hukumnya
meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan tersebut. Pembatalan
perkawinan tersebut baru terjadi setelah dinyatakan dalam putusan Pengadilan
yang telah in Kracht van gewijsde.27
27
Ibid, h. 14.
32
4. Perspektif kompilasi Hukum Islam
Mengenai sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan
perkawinan di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan
sebagai berikut :
Dalam pasal 70 dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan
apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun satu dari
keempat isterinya itu dalam iddah talak raj‟i
b. Seseorang menikahi isterinya yang telah dili‟annya
c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain
yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis
masa iddahnya.
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudaranya neneknya.
33
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tirinya.
4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri
atau isteri-isterinya.28
Sedangkan pasal 71 KHI menjelaskan tentang aturan dimana suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tidak
mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.
Di dalam pasal 72 KHI dijelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan
apabila:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
salah sangka mengenai calon suami atau istri.
Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan
perkawinan diatur dalam pasal 73, yaitu :
28
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata hukum Indonesia, (
Jakarta : Gema Insani Press, 1994 ), h. 97.
34
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami
atau isteri,
b. Suami atau isteri,
c. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun
dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Pembicaraan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan itu sebelumnya
telah berlangsung dan akibat dari perkawinan tersebut menghasilkan anak dan
harta bersama.29
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal
28 ayat (2) dinyatakan :
Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu.
29
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), h.
113.
35
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hokum tetap.
Sedangkan menurut KHI seperti yang terdapat pada pasal 75, dijelaskan
keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :30
1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad;
2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Sedangkan dalam pasal 76 KHI dinyatakan :
“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya.”
Dalam fiqih dijelaskan akibat hukum dari pembatalan perkawinan di
antaranya yaitu yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, yakni:
1. Apabila telah sempat bersenggama, maka senggama itu tidak di anggap zina
selama benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu haram baginya, dan
oleh karena itu tidak dikenakan hukum dera seratus kali bagi yang masih
belum pernah menikah dan tidak pula hukuman rajam bagi yang sudah pernah
menikah
30
Ibid, h. 113.
36
2. Wajib membayar mahar wanita seperti yang di sepakati, dan kalau belum ada
kesepakatan tentang jumlahnya maka harus membayar jumlah yang layak
baginya
3. Ibu wanita haram bagi laki-laki menikahinya karena sudah di anggap sebagai
mertuanya,
4. Jika senggama itu menghasilkan anak, maka anak itu di akui sebagai anak
ayahnya, baik hal yang menyebabkan batalnya itu di sepakati maupun di
perselisihkan.31
Dari penjelasan pasal-pasal diatas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang
akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan adalah anak sah dan
merupakan tanggung jawab orang tua dalam pemeliharaannya, kecuali
pembatalan perkawinan atas dasar kesengajaan para pihak, karena perkawinan
yang tidak sah karena unsur kesengajaan anak hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya.
2. Penyelesaian terhadap harta bersama yang didapat dalam perkawinan yang
dibatalkan atas dasar adanya ikatan perkawinan yang lebih dahulu atau
poligami aturan hukumnya belum jelas. Sedangkan terhadap harta bersama
yang didapat dalam perkawinan diselesaikan menurut hukumnya masing-
masing, baik menurut hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.
31
Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, ( Jakarta: Kencana,
2004), Cet Ke-2, h. 26.
37
D. Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas
Pemalsuan identitas atau biasa disebut dengan manipulasi identitas terdiri
dari dua suku kata yakni manipulasi dan identitas. Manipulasi merupakan kata
serapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu manipulation yang berarti “
penyalahgunaan atau penyelewengan “.32
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahsa
Indonesia, manipulasi diartikan sebagai “ upaya kelompok atau perseorangn untuk
mempengaruhi perilaku sikap dan pendapat orang lain tanpa orang itu
menyadarinya. “33
Definisi identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti
ciri-ciri, keadaan khusus seseoroang, jati diri. Definisi lain dari identitas yakni
persamaan, tanda-tanda, ciri-ciri.34
Jadi, dapat disimpulkan manipulasi identitas dalam perkawinan adalah
suatu upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang untuk
memalsukan data-data baik berupa status, tanda-tanda, ciri-ciri maupun keadaan
khusus seseorang atau jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa
kebohongan kepada pejabat negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan
perkawinan.
32
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta: PT. Gramedia,
2000), h. 372.
33
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka,
2005), h. 712.
34
Santoso, Ananda dan A.R Al-Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya,
Penerbit Alumni, t.th), h. 157.
38
Manipulasi identitas terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah
manipulasi nama, usia, alamat, agama bahkan status.
Ada beberapa penyebab terjadinya manipulasi identitas dalam perkawinan,
yaitu:
1. Sikap mental buruk pelaku yang pada dasarnya ingin mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya hanya unuk kepentingan diri sendiri
2. Masih kurangnya pengetahuan sebagian anggota masyarakat tentang
perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku serta hukum munakahat.
3. Masih kurangnya tertib pelaksanaan administrasi NTCR, akibat kurangnya
pengetahuan dan kemampuan teknis para petugas atau Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) dan wakilnya.
4. Kurang mantapnya koordinasi diantara pejabat/petugas pelaksana NTCR yang
berwenang menanganinya.
5. Belum sepenuhnya diterapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, termasuk hukum munakahat belum
merata dikalangan masyarakat dan instansi-instansi yang mengakibatkan
kurangnya hukum.35
35
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 2003 ),
cet. Ke-6, h. 111.
39
6. Adanya keinginan untuk berpoligami tanpa harus diketahui oleh isterinya dan
untuk memudahkannya tanpa harus meminta izin dari Pengadilan Agama.36
Salah satu faktor perkawinan itu dapat dibatalkan apabila terjadi adanya
pemalsuan identitas terhadap diri suami atau istri yang melangsungkan
perkawinan. Pemalsuan identitas tersebut dapat berupa pemalsuan status, usia
maupun agama. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
mengatur pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas yaitu pada pasal 27
yang berbunyi:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri.
Sedangkan dalam Hukum Perdata Indonesia (BW) mengingat perkawinan
merupakan suatu perikatan, maka suatu perikatan dapat di batalkan apabila salah
satu dari para pihak yang melakukan perikatan tersebut melakukan penipuan maka
perikatan tersebut dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan pasal 1449 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
“perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau
penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.”
36
Ibid.
40
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang pembatalan
perkawinan karena pemalsuan identitas, yaitu sesuai dengan pasal 72 yang
berbunyi:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri.
41
BAB III
DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BEKASI DAN KASUS
PERKARA NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI
A. Sejarah Dan Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi1
Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,
warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah
dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-
undang. Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam
melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi
harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang
sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Bekasi
sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang menjabarkan oleh
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan
yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib
dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam.
1 http://www.pa-bekasi.go.id/profil-pa di akses pada tanggal 14 April 2011.
42
Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah,
shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”.
Institusi Pengadilan agama Bekasi terbentuk pada tahun 1950 yang
berkantor di Jl. Is Sirait Kampung Melayu Jatinegara dengan ketua Rd. H. Abu
Bakar kemudian terjadi pemekaran yaitu terbentuk Kabupaten Bekasi juga wilayah
hukumnya di pindah ke Kabupaten Bekasi. Seiring waktu wilayah Walikotamadya
Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1996 tanggal 19
Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, pada
tahun 1998 berdasarkan KEPRES No. 145 tahun 1998di bentuk Pengadilan
Agama Kabupaten Bekasi yang dikenal Pengadilan Agama Cikarang sebagai
konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut, dimana wilayah hukum
Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya sejak
diresmikannya Pengadilan Agama Cikarang hanya meliputi wilayah Kotamadya
Bekasi saja. Gedung Pengadilan Agama Bekasi saat ini terletak di Jl. Ahmad Yani
No. 10 Bekasi Telp. (021) 8841880 Kode Pos 17141 dengan Letak Geografis
Posisi antara 106°55' - Bujur Timur dan antara 6°7 - 6° 15' Lintang Selatan dengan
memiliki markaz Kiblat 64° 51' 29° 87'' dari Utara ke Barat atau 25° 08' 30 13''
dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas ± 16.175.21 HA dengan
batas-batas :
1. Sebelah Barat dengan Wilayah DKI Jakarta.
2. Sebelah Utara dengan Kec. Tarumajaya dan Babelan.
3. Sebelah Timur dengan Kec. Tambun dan Setu.
43
4. Sebelah Selatan dengan Wilayah Kab. Bogor.
B. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Bekasi2
Visi : “ Adalah berusaha menciptakan dan menghadirkan Pengadilan Agama
Bekasi sebagai salah satu Judicial Power dalam melaksanakan tugas pokok dan
kewenangannya sebagai Peradilan Negara yang sejajar dengan Peradilan lainnya
serta bermartabat dan dihormati demi tegasnya hukum dan keadilan, ketertiban
dan kepastian hukum ditengah masyarakat yang religius menuju terlaksananya
Syari’at Islam yang efektif.”
Misi : “ adalah optimalisasi peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama
sebagai lembaga Peradilan resmi agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan
hukum dan keadilan terhadap masyarakat melalui putusan yang mencitrakan asas
keadilan, kepastian hukum dan manfaat. Menghadirkan Pengadilan Agama sebagai
Institusi Negara yang keberadaannya diterima sebagai milik masyarakat melalui
pelayanan hukum aparatur yang berkualitas dalam penyelenggaran Peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan dan meningkatkan pemahaman kepada
masyarakat fungsi dan tugas Pengadilan Agama sebagai salah satunya lembaga
resmi dalam penyelesaian sengketa antara ummat Islam terutama dalam hal kasus
rumah tangga sehingga masyarakat terhindar dari upaya proses penyelesaian
perceraian secara dibawah tangan.”
2 http://www.pa-bekasi.go.id/profil-pa, di akses pada tanggal 14 april 2011.
44
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bekasi
Gambar 3.1
Struktur organisasi Pengadilan Agama Bekasi
Sumber: Subbag Umum Pengadilan Agama Bekasi
D. Daftar Jumlah Pejabat Pengadilan Agama Bekasi3
1. Daftar Jumlah Hakim Pengadilan Agama Bekasi
Jumlah Hakim Pengadilan Agama Bekasi yang telah memutus semua
perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011
yaitu sebanyak 15 (lima belas) hakim yang terdiri dari ketua, wakil, hakim
pratama utama serta hakim madya pratama.
3 Subbag Kepegawaian Pengadilan Agama Bekasi
HAKIM-HAKIM
KEPANITERAAN/KESEKRETARIATAN
WAKIL PANITERA WAKIL SEKRETARIAT
PANMUD
PERMOHONAN
PANMUD
HUKUM
PANMUD
GUGATAN
KAJUR
KEPEGAWAI
AN
KAJUR
UMUM
KAJUR
KEUANGAN
KETUA
WAKIL KETUA
45
2. Daftar Jumlah Pegawai Pengadilan Agama Bekasi
Jumlah pegawai Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011 yaitu
sebanyak 27 pegawai yang terdiri dari Panitera / Sekretaris, Panitera Muda
Permohonan, Panitera Muda Gugatan, Panitera Muda Hukum, Kepala Sub
Bagian Kepegawaian, Kepala Sub Bagian Keuangan, Panitera Pengganti.
E. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi4
Beberapa wilayah yang masuk ke dalam wilayah Yuridiksi Pengadilan
Agama Bekasi adalah sebagai berikut:
1. Kecamatan Pondok Gede,
2. Kecamatan Jati Sampurna,
3. Kecamatan Pondok Melati,
4. Kecamatan Jati Asih,
5. Kecamatan Bantar Gebang,
6. Kecamatan Mustika Jaya,
7. Kecamatan Bekasi Timur,
8. Kecamatan Rawa Lumbu,
9. Kecamatan Bekasi Selatan,
10. Kecamatan Bekasi Barat,
11. Kecamatan Medan Satria, dan
4 http://www.pa-bekasi.go.id/profil-pa, di akses pada tanggal 14 April 2011.
46
12. Kecamatan Bekasi Utara.
F. Daftar Jumlah Perkara Yang Di Putus Dari Tahun 2009-2011
Jumlah perkara yang telah di putus Pengadilan Agama Bekasi dari tahun
2009-2011 yaitu sebanyak 4.887. Perkara yang telah di putus terdiri atas:
Tabel 3.1
Jenis dan Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama Bekasi 2009-2011
No. Jenis Perkara Jumlah
01 Perkawinan
Izin Poligami 10
Pencegahan perkawinan -
Penolakan Perkawinan -
Pembatalan Perkawinan 3
Kelalaian atas Kewajiban Suami -
Perceraian 3.322
Harta Bersama 27
Penguasaan Anak 4
Nafkah Anak Oleh Ibu -
Hak-Hak Bekas Istri -
Pengesahan Anak 3
Pencabutan Kekuasaan Orang Tua -
47
Perwalian 13
Penolakan Kawin Campur -
Isbat Nikah 136
Izin Kawin -
Dispensasi Kawin 1
Wali Adhol 9
02 Kewarisan 30
03 Wasiat 1
04 Hibah -
05 Wakaf -
06 Shodaqoh -
07 Lain-Lain 120
Jumlah 4.887
Dari semua perkara yang telah di putus oleh Pengadilan Agama Bekasi dari
tahun 2009-2011, di antaranya terdapat perkara banding yaitu berjumlah 27
perkara. Adapun perkara banding tersebut terdiri atas: Penguasaan Anak, harta
bersama, dan kewarisan. Di lihat dari perkara yang telah di putus Pengadilan
Agama Bekasi bahwa perkara perceraian adalah yang paling banyak di terima dan
di putus oleh Pengadilan Agama Bekasi.
48
G. Deskripsi Kasus Perkara No.1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
1. Pihak-Pihak Yang Berperkara
Pengadilan Agama Bekasi yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara
pembatalan nikah antara:
Zakaria ( nama samaran ), umur 55 tahun, agama Islam, pekerjaan
Kepala Kantor Urusan Agama ( KUA ) kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi,
bertempat tinggal di Bekasi, selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”, melawan
Renita ( nama samaran ), umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan
swasta, bertempat tinggal di Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai
Termohon I, Andika ( nama samaran ), umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan
Wiraswasta, bertempat tinggal di Jakarta Pusat, selanjutnya disebut sebagai
“Termohon II”.
Pengadilan Agama tersebut, setelah membaca dan mempelajari surat-
surat perkara, setelah mendengar pihak yang berperkara dan para saksi di muka
sidang.
2. Duduk Perkara
Menimbang, bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 25
November 2008 yang di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bekasi,
telah mengajukan permohonan pembatalan nikah dengan uraian/ alasan sebagai
berikut:
49
a. Bahwa Termohon I dengan Termohon II telah Menikah pada tanggal 23
September 2005 dihadapan Pejabat KUA Kecamatan Bekasi Timur sebagai
mana teryata dalam kutipan Akta Nikah No 1379 / 186 / IX / 2005,
b. Bahwa selama berumah tangga Termohon I dan Termohon II belum
dikaruniai keturunan,
c. Bahwa Termohon I dan TermohonII dalam melakukan pernikahan tidak
terdapat hal – hal yang menghalangi sahnya pernikahan baik syarat dan
rukun pernikahan serta persyaratan administrasi telah terpenuhi sehingga
pernikahan di langsungkan,
d. Bahwa teryata pada Agustus 2008 diketahui adanya pemalsuan status
Termohon II dimana sebelumnya mengaku berstatus Jejaka teryata diketahui
Termohon II telah mempunyai seorang istri dengan 2 orang anak, dengan
demikian Termohon II telah melakukan tindakan melawan Hukum,
e. Bahwa pada tanggal 24 November 2008 orang tua Termohon I telah datang
di Kantor KUA Kecamatan Bekasi Timur dan mohon kepada Kepala KUA
Bekasi dengan alasan Termohon II telah memalsukan identitasnya,
f. Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, Pemohon mengajukan permohonan
pembatalan pernikahan Termohon I dan Termohon II karena bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku, maka dengan uraian tersebut di atas
Pemohon mohon Pengadilan Agama Bekasi berkenan menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
50
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon
2. Menetapkan batal perkawinan antara Termohon I dengan Ternohon II
yang di laksanakan di Kantor urusan Agama Kecamatan Bekasi Timur
Kota Bekasi dengan Buku Kutipan Akta Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/
2005,
3. Menetapkan biaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Bilamana Pengadilan Agama Bekasi berpendapat lain mohon Putusan
yang seadil-adilnya.
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal yang telah di tetapkan,
Pemohon dan Termohon I telah hadir sendiri di persidangan sedangkan
Termohon II tidak hadir meskipun telah di panggil secara rsemi dan patut dan
ketidak hadirannya tanpa alasan yang sah dan tidak pula mengutus orang lain
sebagai kuasa atau wakilnya,
Menimbang, dan oleh Ketua Majelis telah di usahakan perdamaian
namun tidak berhasil, lalu pemeriksaan di lanjutkan dengan membacakan surat
permohonan tersebut yang isinya tetap di pertahankan oleh Pemohon,
Menimbang, bahwa atas permohonan tersebut, Termohon I telah
mengajukan jawaban yang secara rinci sebagaimana tertuang dalam berita acara
perkara ini yang untuk mempersingkat putusan pada pokoknya adalah sebagai
berikut:
51
g. Bahwa benar Termohon I dengan Termohon II telah menikah pada tanggal 23
September 2005 di hadapan Pejabat KUA Kecamatan Bekasi Timur
sebagaimana ternyata dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 1379/ 186/ IX/ 2005,
h. Bahwa benar selama berumah tangga Termohon I dan Termohon II belum di
Karuniai keturunan,
i. Bahwa benar Termohon I dan Termohon II dalam melakukan pernikahan tidak
terdapat hal-hal yang menghalangi sahnya pernikahan baik syarat dan rukun
pernikahan, namun Agustus 2008 diketahui adanya pemalsuan status Termohon
II dimana sebelumnya mengaku sebagai jejaka ternyata diketahui Termohon II
telah mempunyai seorang istri dengan dua orang anak, dengan demikian
Termohon II telah melakukan tindakan melawan hokum, sedangkan Termohon
I tidak mengetahui status Termohon II sebenarnya,
j. Bahwa benar tanggal 24 November 2008 orang tua Termohon I telah dating di
kantor KUA Kecamatan Bekasi Timur dan Mohon kepada Kepala KUA
Bekasi dengan alasan Termohon II telah memalsukan identitasnya, dan
k. Bahwa Termohon I tidak keberatan dan menerima pembatalan pernikahan
tersebut.
Menimbang, bahwa atas keterangan Termohon I pihak Pemohon
menanggapi bahwa Pemohon menerima dan percaya setelah kelengkapan
administrasi sudah ada yang di ajukan anak buah Pemohon bernama Wasih
Abbas, S. Ag dan yang bersangkutan bertindak sebagai penghulu dalam
pernikahan tersebut sehingga di terbitkan buku nikah:
52
1. Photocopy Kartu Tanda Penduduk a.n Pemohon Nomor
.10.5501.240754.1002 tanggal berlaku 24-07-2010 (bukti P.1),
2. Photocopy SK Kepala Kantor Wilayah Depag Prov. Jawa Barat No. KW.
101/2/KP.07.6/6017/2006 tentang penyesuaian dalam jabatan fungsional
penghulu dan angka kreditnya atas nama H. Abdullah (nama samaran)
tanggal 29 September 2006 (Bukti P.2),
3. Photocopy Akta Pencacatan Nikah Nomor 1379 tertanggal 23 September
2005 atas nama Renita dengan Andika (Bukti P.3),
4. Photocopy Akta Nikah Nomor. 1379/186/IX/2005 tanggal 23 September
2005 yang di keluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi
Timur (Bukti T.4),
5. Photocopy Daftar Pemeriksaan Nikah Nomor. 1379/186/IX/2005 tanggal
20 Agustus 2005 a.n Renita dengan Andika (Bukti T.5),
6. Photocopy Kartu Tanda Penduduk a.n Termohon Nomor.
09.5104.910780.0274 tanggal berlaku 21 Juli 2013 (Bukti P.6),
7. Photocopy Kutipan Akta Nikah Termohon II Andika dengan Selvita (nama
samaran) Nomor. 043/ II/ V/ 1999 yang di keluarkan oleh KUA Kecamatan
Argomulyo Kabupaten Salatiga Jawa Tengah (Bukti P.7),
Menimbang, bahwa Pemohon telah menghadirkan saksi-saksi di muka
sidang yang telah di ambil keterangan di bawah sumpah sebagai berikut:
53
Saksi I:
Ahmad Syatirudin (nama samaran), umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan
PNS, bertempat tinggal di Kel. Jati Bening Kec. Pondok Gede, Kota Bekasi,
1. Bahwa saksi adalah sebagai Pegawai KUA Kec. Bekasi Timur dan baru kenal
saat di langsungkan pernikahan dengan petugas yang dilaksanakan di kantor
KUA yang menjadi wali paman Termohon I bernama Tono (nama samara)
karena pengakuan Termohon I bapak kandungnya beragama Kristen di saksikan
oleh saksi bernama Riko (nama samara) dan Tari (nama samara) dengan mahar
seperangkat alat solat,
2. Bahwa ternyata setelah terjadi pernikahan dating orang tua istri Termohon I
bahwa Termohon II bukanlah berstatus jejaka tetapi sudah punya istri,
3. Bahwa adanya permohonan Pemohon untuk membatalkan pernikahan tersebut
karena Termohon II memalsukan identitas,
Saksi II:
Budi Haryanto, umur 26 tahun, agama Islam, pekerjaan sopir, bertempat
tinggal di Bogor,
1. Bahwa saksi kenal Termohon II karena tahu dari Termohon I karena bekerja
sebagai sopir pribadi Termohon I dan lebih dekat dengan orang tuanyadari
Termohon I,
2. Bahwa benar nikah ulang agar sah harus sesuai dengan KMA karena sebagai
Termohon I dan Termohon II telah menikah dan setelah menikah mereka
tinggal di Kwitang,
54
3. Bahwa saya sekarang dengan Termohon I datang ke Pengadilan Agama
membatalkan pernikahan karena Termohon II di ketahui mempunyai istri,
Saksi III:
Muhammad Syambuzi, umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS,
bertempat tinggal di Kota Bekasi,
1. Bahwa saksi kenal Termohon I dan Termohon II di saat melangsungkan
pernikahan karena selain PNS juga amil yang menikahkan Termohon I dengan
Termohon II yang pernikahan di laksanakan di KUA Kec. Bekasi Timur karena
sesuai bukti yang ada Ternohon I tinggal di Bekasi dan Termohon II jejaka
tinggal di Bekasi Jaya sebagaimana pengantar dari kelurahan Bekasi Jaya,
2. Bahwa pernikahan di lakukan ada tenggang waktu dari pendaftaran ke tangga
pelaksanaan pernikahan setelah terlebih dulu mengecek kebenaran pernyataan
tersebut,
3. Bahwa pernikahan sesuai dengan syarat dan rukun pernikahan dengan wali
paman Termohon I Teguh dan saksi bernama Rudi dan Ria maskawin
seperangkat alat shalat,
4. Bahwa setelah berlangsungnya pernikahan tersebut datang orang tua Termohon
I yang menerangkan bahwa Termohon II bukanlah jejaka tetapi sudah beristri
dengan punya dua orang anak kepada Kepala KUA Kec. Bekasi Timur untuk
membatalkan pernikahan tersebut,
Menimbang, atas keterangan saksi-saksi tersebut Pemohon tidak
keberatan dan menambahkan terbitnya buku nikah adalah pemalsuan identitas
55
Termohon II yang mengaku jejaka sebenarnya telah beristri dan Termohon I
juga membenarkannya,
Menimbang, bahwa selanjutnya untuk mempersingkat uraian putusan ini
di tunjuk kepada hal-hal sebagaimana tercantum dalam berita acara persidangan
perkara ini.
3. Pertimbangan Hukum
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
seperti di uraikan tersebut di atas,
Menimbang, bahwa dari posita permohonan Pemohon telah jelas
menunjukkan sengketa perkawinan dan dengan didasarkan kepada dalil
Pemohon sendiri tentang domisili Pemohon yang berada di wilayah Hukum
Pengadilan Agama Bekasi yang tidak ada bantahan, maka dengan didasarkan
pada ketentuan pasal 49 ayat ( 2 ) butir 6 penjelasan umum atas Undang –
Undang Nomor 7 tahun 1989 jo Pasal 25 Undang – Undang Nomor 1 tahun
1974, maka Pengadilan Agama Bekasi berwenang, menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan permohonan Pemohon.
Menimbang bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 82 Ayat ( 1 ) dan
Ayat ( 4 ) Undang – Undang No 7 tahun 1989 jo Pasal 31 Ayat ( 1 ) dan ( 2 )
PP No. 9 Tahun 1975, majlis Hakim telah berupaya menasehati kedua belah
pihak berpekara terutama kepada Pemohon agar berpikir ulang, namun usaha
tersebut tidak berhasil.
56
Menimbang, bahwa dari posita permohonan Pemohon, majlis menilai
bahwa yang di jadikan alasan permohonan Pemohon pembatalan nikah
Termohon I dengan Termohon II adalah sebagaimana tersebut di atas,
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon sendiri dan juga
sebagaimana ternyata dari bukti berupa Buku Kutipan Akta Nikah atas nama
Termohon I dengan Termohon II ( Bukti P.3, 4 dan 5 ), harus dinyatakan
terbukti bahwa antara Termohon I dengan Termohon II telah terikat dalam
perkawinan yang sah.
Menimbang bahwa Termohon II tidak dapat didengar keterangannya
karena tidak pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil dengan patut
dan resmi sedangkan ketidak hadirannya bukan disebabkan halangan yang sah
yang dibenarkan menurut hokum, maka majlis hakim menganggap ketidak
hadirannya maka Termohon II telah telah menerima dan mengakui kebenaran
dalil-dalil tersebut.
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Termohon I yang diperkuat
dengan keterangan para saksi dan bukti-bukti tertulis yang diajukan oleh
Pemohon, maka majlis dapat menarik suatu kesimpulan yang merupakan fakta
adalah sebagai berikut:
a. Antara Termohon I dengan Termohon II telah terikat dalam perkawinan
yang sah;
b. Termohon I dengan Termohon II telah melakukan pernikahan di hadapan
Pejabat Pencatat Nikah KUA Kecamatan Bekasi Timur;
57
c. Temohon I telah melakukan pernikahan dengan Termohon II sesuai dengan
syarat-syarat rukun nikah namun tanpa prosedur hukum berlaku karena
Termohon II telah beristeri.
Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon dan Termohon
I dan juga keterangan saksi, majlis menemukan fakta bahwa perkawinan
Termohon I dengan Termohon II tanpa dilengkapi dengan surat Ijin Pengadilan
Agama untuk berpoligami dan karenanya pencacatan perkawinan antara
Termohon I dengan Termohon II telah melanggar ketentuan pasal 44 PP No. 9
Tahun 1975.
Menimbang, bahwa dengan telah ditemukannya fakta bahwa
perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II tanpa dilengkapi dengan
ijin poligami dari Pengadilan, sedangkan bukti P 7 menunjukkan bahwa
Termohon II sebelumnya telah menikah dengan seorang perempuan dengan
kutipan akta nikah Nomor. 043/ II/ V/ 1999 yang dikeluarkan oleh KUA
Kecamatan Argomulyo Kabupaten Salatiga Jawatengah (Bukti P 7);
Maka sejalan dengan bunyi pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam, permohonan Pemohon agar perkawinan antara Termohon I dengan
Termohon II dibatalkan, patut diterima dan dikabulkan.
Menimbang, bahwa untuk menjaga kepastian hukum dan untuk
menghindari penyalahgunaan hokum, maka majlis berpendapat bahwa
permohonan Pemohon agar Termohon I dan Termohon II diperintahkan untuk
menyerahkan Kutipan Akta Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005 tanggal 23
58
September 2005 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Bekasi Timur kepada Pengadilan Agama Bekasi dan Kepala KUA Kecamatan
Bekasi Timur diperintahkan untuk mencoret buku Kutipan Akta Nikah tersebut
dari Register Akta Nikah, patut diterima dan dikabulkan.
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka
sesuai pasal 89 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan perubahannya
biaya perkara di bebankan kepada Pemohon,
Mengingat, pasal 49 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 serta segala
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan dalil syar’I yang
bersangkutan dengan perkara ini.
4. Putusan
a. Mengabulkan permohonan Pemohon;
b. Menetapkan batal demi hukum perkawinan Termohon I dan Termohon II
yang dilaksanakan di KUA Bekasi Timur, Kota Bekasi dengan Akta Nikah
Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005;
c. Menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005 tanggal 23
September 2005 bukti perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II
yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, tidak
berharga atau tidak mempunyai kekuatan hukum;
d. Memerintahkan kepada Termohon II untuk menyerahkan Kutipan Akta
Nikah Nomor. 1379/ 186/ IX/ 2005 Tanggal 23 September 2005 yang
59
dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Bekasi Timur kepada Pengadilan Agama
Bekasi;
e. Memberikan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara;
Demikianlah diputuskan pada hari selasa tanggal 03 Maret 2009
bertepatan dengan tanggal 06 Rabiul Awwal 1430 H, oleh kami Majlis Hakim
Pengadilan Agama Bekasi yang terdiri dari Dra. Lelita Dewi, SH. M. Hum
sebagai Ketua Majlis dan Drs. Humaidi Yusuf serta Dra. Hj. Nurwathon, SH
masing-masing sebagai Hakim-Hakim Anggota, putusan tersebut oleh Ketua
Majlis pada hari itu juga diucapkan dalam siding terbuka untuk umum dengan
didampingi oleh Endoy Rohana, SH sebagai Panitera Pengganti Pengadilan
Agama tersebut dan dihadiri oleh Pemohon dan Termohon I tanpa hadirnya
Termohon II.
60
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI
MENURUT HUKUM POSITIF
A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dalam putusan perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi putusnya
pembatalan perkawinan tersebut didasarkan atas beberapa sebab yaitu :
1. Bahwa Termohon II diketahui telah memalsukan identitas dirinya dalam
perkawinannya dengan Termohon I yaitu berupa Pemalsuan status
2. Bahwa Termohon II diketahui telah mempunyai seorang istri dan dua orang
anak.
Perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan,
karena secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan . Pertama, pelanggaran
prosedural perkawinan, contohnya yaitu tidak terpenuhinya syarat-syarat wali
nikah, tidak dihadiri para saksi, poligami tanpa izin dari pengadilan agama dan
alasan prosedural lainnya. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan,
contohnya yaitu perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah
sangka mengenai calon suami dan istri.1
1 Amiur Nurudin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), hal.
107.
61
Adapun perkawinan yang dapat dibatalkan secara rinci dijelaskan di dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu alasan-alasan
pembatalan perkawinan antara lain:2
1. Perkawinan yang di langsungkan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan
(Pasal 22 UU Perkawinan)
2. Salah satu pihak masih terikat dalam satu hubungan perkawinan (Pasal 24 UU
Perkawinan)
3. Perkawinan yang di langsungkan tidak di hadapan pejabat yang berwenang
(Pasal 26 Ayat (1) UU Perkawinan)
4. Perkawinan yang di langsungkan dengan tidak ada wali nikah yang sah dan
karena tidak ada dua orang saksi (Pasal 26 Ayat (2) UU Perkawinan)
5. Perkawinan yang di langsungkan karena adanya suatu ancaman yang melanggar
hukum (Pasal 27 Ayat (1) UU Perkawinan)
6. Perkawinan yang di langsungkan karena adanya penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri (Pasal 27 Ayat (2) UU Perkawinan)
Dilihat dari sebab terjadinya pembatalan perkawinan pada putusan No.
1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi, bahwa Termohon II telah memalsukan
identitasnya dan ternyata Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak,
dengan begitu perkawinannya dapat dibatalkan sesuai dengan bunyi Undang-
Undang Perkawinan pasal 24 dan pasal 27 ayat (2).
2 Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007),Cet Ke-1, h. 14.
62
Dalam pasal 24 di jelaskan bahwa barang siapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.
Sedangkan di dalam pasal 27 di jelaskan sebagai berikut:
1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa alasan pembatalan perkawinan
tersebut dalam pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan adalah alasan yang agak limitatif tetapi tidak secara mutlak. Alasan
tersebut tidak menutup kemungkinan timbulnya alasan-alasan lain yang dapat di
gunakan untuk mengajukan pembatalan perkawinan yang di dasarkan kepada
ketentuan dalam batas-batas perikemanusiaan dan kesusilaan, seperti penipuan,
penyakit gila dan impoten. Hal ini penting untuk mewujudkan tujuan perkawinan
sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu mewujudkan
rumah tangga bahagia dan sejahtera serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
63
Maha Esa. Tujuan perkawinan tersebut tidak akan tercapai kalau dalam
pelaksanaan perkawinan terjadi cacat sehingga merugikan salah satu pihak.3
Dalam uji lapangan yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan,
perkara yang di ajukan ke Pengadilan Agama se-Jawa Tengah yang menjadi
sampel penelitian, dapat di informasikan melalui tabel berikut:4
Tabel 4.1
Daftar Perkara Pembatalan Perkawinan Se-Jawa Tengah
No. Pengadilan Agama Jumlah
Perkara
Status Perkara
Diputus Ditolak Dicabut
1. PA Semarang 3 3 - -
2. PA Temanggung 4 3 1 -
3. PA Klaten 4 4 - -
4. PA Mungkid 13 13 - -
5. PA. Karanganyar 9 8 1 -
6. PA Magelang 1 1 - -
Jumlah 34 22 2 -
Dari data-data tersebut di atas yang berkaitan dengan alasan pembatalan
perkawinan yang paling dominan adalah karena poligami tanpa izin isteri. Dalam
3 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana,
2006), Cet Ke-1, h. 66.
4 Mu’allim Amir Bin, Yurisprudensi Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam Di
Lingkungan Peradilan Agama Se-Jawa Tengah Dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 1991-
1997).
64
hal persetujuan seorang isteri di sebutkan dalam pasal 5 Undang-Undang
Perkawinan dan di ulang kembali dalam pasal 41 b, c, dan d dengan tambahan
penjelasan bahwa :
a. Persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus di ucapkan
di depan sidang Pengadilan
b. Kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-
anak, dengan memperlihatkan:
1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tanda tangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
2) Surat keterangan pajak penghasilan;
3) Surat keterangan lain yang dapat di terima oleh Pengadilan;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang di buat dalam
bentuk yang di tetapkan untuk itu (maksudnya rumusan dan cara pengucapan
pernyataan atau janji itu).
Para Hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan untuk membatalkan
suatu perkawinan sudah barang tentu di dasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan hukum tertentu. Pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut
adakalanya secara eksplisit tertuang dalam naskah putusan, adakalanya di sebutkan
secara implisit dalam naskah putusan, serta yang menjadi pertimbangan hukum
65
para hakim dalam memutus perkara adakalanya berupa nash Al-Quran dan Al-
Hadis.
Sebagai bukti pengggunaan mekanisme dan landasan hakim dalam
memutus perkara sebagaimana yang di ungkapkan di atas, dapat di cermati dari
perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang
telah memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut, menyatakan bahwa
Ketua Majlis menetapkan hukum pembatalan perkawinan karena pemalsuan
identitas dalam kasus poligami sesuai Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan
pasal 24 yang telah dijelaskan diatas. Alasan yang di berikan oleh hakim bahwa
seorang suami apabila ingin berpoligami maka harus izin dari istri pertama pada
khususnya dan izin dari Pengadilan Agama pada umumnya.5
Berdasarkan pertimbangan hakim dalam menggunakan landasan hukum
perkara pembatalan perkawinan dapat di lihat dari putusan di Pengadilan Agama
Se-Jawa Tengah dalam tabel berikut ini:6
5 Hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi (Drs. Humaidi Yusuf, MH ) pada
tanggal 15 April 2011 di Pengadilan Agama Bekasi.
6 Amir Bin Mu’allim, Yurisprudensi Peradilan Agama (Studi Pemikiran Hukum Islam Di
Lingkungan Peradilan Agama Se-Jawa Tengah Dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 1991-
1997).
66
Tabel 4.2
No.
Pengadilan Agama
Jum
lah sam
pel p
erkara
Landasan Hukum Atau Rujukan
Dalil Syar’i Peraturan Perundang-
undangan
Al-Q
ur’an
Al-H
adis
Kitab
Fiq
ih
UU
No. 1
4/1
970
UU
No.1
/1974
U
UU
No.7
/1989
KH
I
PP
No.9
/1075
Kep
men
HIR
1. Temanggung 2 1 - 1 - 1 1 2 - - -
2. Magelang 1 - - 1 - 1 1 1 - - -
3. Karanganyar 3 - - 1 - 2 2 2 - - -
4. Klaten 2 - - 1 - 1 1 1 - - -
5. Mungkid 4 - - - - 2 3 3 - - -
6. Semarang 1 - - - - 1 1 1 1 - -
Jumlah 15 4 - - 2 15 12 11 5 1 -
Kasus gugatan pembatalan perkawinan seperti yang tergambar dalam data-
data tersebut di atas menunjukkan bahwa:
a. Secara umum penekanan skala prioritas dalam hal penggunaan rujukan
sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara lebih menekankan peraturan
perundang-undangan dibandingkan dengan dalil syar’i.
b. Perujukan terhadap kitab-kitab fiqh sebagai dasar memutuskan perkara lebih
banyak dilakukan dari pada merujuk pada nash Al-Quran dan Al-Sunnah.
67
Sedangkan dalam hal perujukan terhadap peraturan perundang-undangan,
penggunaan UU Nomor 7 Tahun 1989 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 lebih
mendapat prioritas di banding yang lain.
c. Pengadilan Agama yang satu dengan Pengadilan Agama yang lain beragam
dalam hal penerapan rujukan sebagai dasar hukum memutus perkara.
Adanya keberagaman tersebut memberi kesan bahwa meskipun statusnya
sebagai Pengadilan Agama yang mestinya banyak berkaitan dengan nuansa
keagamaan namun dalam prakteknya ternyata cenderung lebih banyak menerapkan
peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum dalam memutus perkara.
Menurut analisis penulis terhadap pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara pembatalan perkawinan tersebut kurang tepat apabila hakim menjatuhkan
putusan dengan pasal 24 saja, karena apabila dilihat dari duduk perkara pada
putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi, Pemohon mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan dengan sebab Termohon II telah memalsukan identitasnya
yang mengaku berstatus jejaka, dengan begitu hakim lebih tepat apabila
memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut dengan menggunakan pasal
24 dan pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seperti
yang telah di kemukakan oleh M. Yahya Harahap bahwa perkawinan dapat di
batalkan apabila salah satu pihak melakukan penipuan dalam bentuk pemalsuan
identitas, seperti contoh pria tersebut sudah pernah kawin tetapi di katakannya
masih jejaka atau bentuk perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan tersebut
dapat berlangsung.
68
Adapun pasal 27 itu lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.
2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri.
B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Hukum
Perdata Indonesia
Di dalam Hukum Perdata Indonesia di jelaskan bahwa apabila seseorang
tidak mengikuti akan ketentuan-ketentuan undang-undang tentang perkawinan,
maka ada dua macam akibat hukumnya, yaitu batal demi hukum atau dapat di
batalkan oleh hakim.7 Kemudian mengenai sebab-sebab perkawinan dapat di
batalkan yaitu di jelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal
86-91.8 Selengkapnya bunyi pasal 86-91, suatu perkawinan dapat di batalkan
dengan alasan-alasan sebagai berikut:9
1. Karena adanya perkawinan rangkap (poligami)
7 H.F.A. Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, ( Jakarta: Rajawali, 1992 ), Cet Ke-3, h.
60. 8 Lihat, pasal 86-91 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
9 Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007),Cet Ke-1, h. 13.
69
2. karena tidak ada persetujuan yang bebas di antara para pihak
3. karena salah satu pihak di anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum
4. karena salah satu pihak atau masing-masing pihak belum mencapai umur
yang di tentukan menurut Undang-Undang dan belum mendapat izin
5. karena adanya larangan perkawinan
6. karena perkawinan yang di langsungkan akibat dari suatu hubungan zina
(overspell)
7. karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan, antara lain orang
tua dan wali.
Dalam perkara putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa
permohonan pembatalan perkawinan karena Termohon II telah melakukan
pemalsuan identitas, yang mengaku berstatus jejaka. Akan tetapi Termohon II
telah mempunyai istri dan dua orang anak.
Dalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di jelaskan bahwa
Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan
perdata. Dari pasal tersebut dapat di simpulkan bahwa perkawinan merupakan
hubungan antara dua orang. Hubungan tersebut merupakan hubungan yang di atur
dan di akui oleh hukum, dengan begitu perkawinan merupakan suatu perikatan.
Mengingat perkawinan merupakan suatu perikatan, maka apabila suatu
perikatan tersebut dapat batal karena sebab-sebab yang dapat membatalkanya,
demikian pula dalam hal perkawinan juga dapat di batalkan.
70
Sesuai dengan pasal 1449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan,
menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.
Dengan demikian permohonan pembatalan perkawinan pada perkara No.
1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi, perkawinannya dapat di batalkan, karena
Termohon II telah melakukan penipuan di dalam perkawinannya, sesuai pasal
1449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Kompilasi
Hukum Islam
Pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Hakim memutuskan
batalnya perkawinan disebabkan oleh poligami tanpa izin dari pengadilan agama,
yang didasarkan pada pasal 71 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama
Menurut penjelasan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang di dapat penulis
melalui wawancara, dalam kasus perkara putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.
Bekasi bahwa kasus yang ada adalah masalah poligami tanpa izin dari Pengadilan
Agama, karena di ketahui bahwa Termohon II telah mempunyai istri dan dua
orang anak. Dengan begitu, dapat diputuskan sesuai dengan pasal 71 huruf (a).10
10
Hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi (Drs. Humaidi Yusuf) pada
tanggal 15 April 2011 di Pengadilan Agama Bekasi.
71
Sedangkan apabila dilihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt.
G/ 2009/ PA. Bekasi pemohon mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
dengan alasan bahwa termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, yang
dalam hal ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 72 ayat 2 yang
berbunyi:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
salah sangka mengenai calon suami atau istri.
Sedangkan sebab kedua setelah diketahuinya Termohon II melakukan
pemalsuan identitas, diketahui bahwa Termohon II telah mempunyai istri dan dua
orang anak. Dengan begitu perkawinannya dapat di batalkan sesuai dengan pasal
71 huruf (a) yang berbunyi:
Perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tanpa
izin Pengadilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam tampaknya telah mengantisipasi kekurangan hal yang
tersebut dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
melalui pasal 72 ayat (2). Di kemukakan bahwa perkawinan dapat di batalkan tidak hanya
salah sangka mengenai diri suami atau istri tetapi juga termasuk “penipuan”. Penipuan
yang tersebut di sini tidak hanya di lakukan oleh pihak pria saja, tetapi dapat juga
72
dilakukan oleh pihak wanita. Dari pihak pria biasanya penipuan di lakukan dalam bentuk
pemalsuan identitas, misalnya pria tersebut sudah pernah kawin tetapi di katakannya
masih jejaka atau perbuatan licik lainnya sehingga perkawinan tersebut dapat berlangsung.
Penipuan yang di lakukan oleh pihak wanita biasanya menyembunyikan kekurangan yang
ada pada dirinya, misalnya di katakan tidak ada cacat fisik, tetapi kenyataannya tidak
demikian.11
Menurut analisis penulis melihat duduk perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/
PA. Bekasi seharusnya putusan tersebut lebih sesuai apabila diputuskan
berdasarkan pasal 72 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang telah di sebut di atas,
karena pemohon yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut
menjelaskan dengan tegas bahwa Termohon II telah melakukan pemalsuan
identitas dengan memalsukan statusnya sebagai jejaka, yang kemudian diketahui
bahwa Termohon II telah mempunyai istri dan dua orang anak. Selain itu
pengajuan permohonan tersebut di ajukan oleh wali dari Termohon I yang telah
mengetahui Termohon II melakukan pemalsuan identitas. Apabila kasus tersebut
di ajukan oleh istri pertama, maka baru bisa di anggap sebagai poligami liar karena
perkawinannya yang kedua tidak mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Hal
tersebut juga sesuai dengan apa yang telah di jelaskan oleh Abdul Manan dalam
bukunya Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia yang telah di
sebutkan di atas yang dengan jelas menyatakan bahwa pembatalan perkawinan
11
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana,
2006), Cet Ke-1, h. 67.
73
karena pemalsuan identitas yaitu sesuai dengan pasal 72 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam.
Seperti pada putusan Mahkamah Agung Nomor 05 K/AG/2005 seorang
lelaki bernama Ton mengaku jejaka melangsungkan perkawinan dengan seorang
wanita bernama Masti pada tanggal 21 September 1983 dicatat oleh PPN yang
berwenang. Dari perkawinan tersebut belum di peroleh anak. Pada tanggal 25
April 1991 seorang wanita bernama Karti mengajukan pembatalan perkawinan
Ton dengan Masti karena tidak di lengkapi izin poligami dari Pengadilan,
sedangkan pada waktu mereka melangsungkan perkawinan Ton masih terikat
perkawinan sah dengan Karti. Gugatan tersebut di kabulkan oleh Pengadilan
Agama karena melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.12
Dalam tingkat banding putusan Pengadilan Agama tersebut di batalkan
oleh Pengadilan Tinggi dengan pertimbangan: “bahwa gugatan pembatalan
perkawinan seperti yang telah di ajukan oleh penggugat adalah merupakan hak
yang di berikan oleh undang-undang kepada isteri untuk mengajukan pembatalan
perkawinan yang kedua dari suami. Namun menurut kepatutan serta rasa keadilan
penggunaan hak tersebut bukanlah tidak di batasi waktu berlakunya. Sebab apabila
hak tersebut merupakan hak yang tidak di batasi oleh waktu maka berarti
walaupun isteri menyadari telah terjadi perkawinan suami tanpa izin Pengadilan
akan bisa di gunakan kapan saja walaupun perkawinan itu telah di ketahui puluhan
12
Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 05 K/AG/2005 tanggal 28 Juli 2006.
74
tahun yang lalu dan sudah mempunyai anak cucu dan ini berarti pula bukan akan
menimbulkan manfaat bagi keluarga, akan tetapi akan menimbulkan mafsadat bagi
keluarga. Oleh karena itu menurut Pengadilan Tinggi Agama Jakarta rasa keadila
akan terpenuhi baik terhadap hak Penggugat maupun Tergugat I dan Tergugat II
apabila terhadap gugatan pembatalan perkawinan a quo di lakukan kias (analog)
dengan Pasal 27 Undang-Undang Perkawinan, demikian pula dengan Pasal 72
KHI di mana harus di ajukan paling lambat 6 bulan sejak yang bersangkutan
menyadari dan atau mengetahui perkawinan di maksud.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama tersebut di batalkan oleh Mahkamah
Agung dengan pertimbangan : “bahwa Pasal 27 Udang-Undang No.1 Tahun 1974
hanya berlaku bagi suami atau istri yang mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan dirinya sendiri dan bukan permohonan untuk pembatalan perkawinan
orang lain.13
Melihat Putusan Mahkamah Agung tersebut apabila di kaitkan dengan
Putusan Pengadilan Agama Bekasi maka seharusnya hakim lebih tepat
memutuskan perkara pembatalan perkawinan akibat pemalsuan identitas dengan
menggunakan pasal 27 Undang-Undang Perkawinan atau dengan Pasal 72 KHI.
Karena dalam Putusan No. 15/ PDT/G/2009/PA. Bekasi di ketahui bahwa
yang mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan adalah wali dari
Termohon I dan persetujuan Termohon I, dengan begitu pembatalan perkawinan
13
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Hukum Perdata Islam (Studi
Tentang Pergeseran Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam Tahun 1991-2007)
75
tersebut untuk perkawinan Termohon I dengan Termohon II bukan pembatalan
perkawinan untuk Termohon II dengan isteri pertamanya atau untuk orang lain.
76
BAB V
ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI
PERSPEKTIF HUKUM FIQH
A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab
Syafi’iyyah
Dalam putusan perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi di ketahui
sebab perkawinan dapat di batalkan yaitu:
1. Bahwa Termohon II telah melakukan Pemalsuan identitas dalam
melangsungkan perkawinannya dengan Termohon I
2. Bahwa ternyata diketahui Termohon II telah mempunyai seorang istri dan
dua orang anak
Menurut pendapat Madzhab Syafi’iyyah di antara perceraian yang di
sebabkan fasakh yaitu:
1. Disebabkan seorang suami berat memberikan maskawin, nafkah, tempat
tinggal dan pakaian,
2. Seorang istri terdapat cacat pada kemaluannya,
3. Di sebabkan akad nikah yang fasid,1
1 Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-
Fikr ), h. 372.
77
4. Karena seorang suami telah tertipu dengan sifat kewanitaannya, seperti
seorang wanita mengaku perawan tetapi pada kenyataannya tidak perawan,
mengaku merdeka ternyata budak.2
Melihat dari duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.
Bekasi bahwa perkawinannya batal karena Termohon II telah melakukan
pemalsuan identitas, dengan begitu apabila di analisis menurut pendapat Madzhab
Syafi’iyyah maka perkawinan tersebut dapat di batalkan karena telah tertipu dari
pada sifat salah satu dari kedua suami istri tersebut.
Apabila di qiyaskan sifat tersebut kepada pendapat Madzhab Syafi’iyyah
bahwa pernikahan dapat di batalkan apabila salah satu keduanya tertipu oleh sifat
suami atau istri, seperti contoh wanita mengaku perawan akan tetapi
kenyataannya tidak perawan. Begitu pula pada kasus tersebut bahwa Termohon II
yang telah mengaku sebagai jejaka tetapi ternyata telah mempunyai seorang istri
dan dua orang anak.
Akan tetapi Madzhab Syafi’iyyah memberi keterangan lebih lanjut bahwa
di syaratkan bagi seseorang yang ingin menikah terlebih dahulu meneliti sifat dari
keduanya sebelum atau di saat dilakukannya akad. Dengan begitu apabila sesudah
akad diketahui adanya penipuan terhadap sifatnya maupun tertipu karena terdapat
cacat, maka pernikahannya tetap di anggap sah.
2 Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adilatuh, ( Beirut : Daarul Fikr, 1996 ), Juz VII, Cet
Ke-I, hal. 525.
78
Menurut analisis penulis, melihat dari duduk perkara pada putusan No.
1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa perkawinannya batal disebabkan bahwa
Termohon II telah memalsukan identitasnya yang mengaku sebagai jejaka
ternyata di ketahui bawa Termohon II telah mempunyai seorang istri dan dua
orang anak. Dengan begitu, perkawinan tersebut sebenarnya memang dapat
dibatalkan karena telah melanggar aturan hukum perkawinan yang berlaku.
Apabila dikaitkan dengan pendapat Madzhab Syafi’iyyah maka
sebenarnya perkawinan tersebut tetap di anggap sah, akan tetapi di berikan pilihan
perkawinannya bisa di batalkan atau perkawinannya tetap berlangsung. Karena
menurut pendapat Madzhab Syafi’iyyah perkawinan dapat dibatalkan apabila
salah satu dari keduanya telah tertipu dengan sifat dari kedua suami istri.
B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab
Hanafiyah
Dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi diketahui sebab
terjadinya pembatalan perkawinan yaitu:
1. Di ketahui bahwa Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas yaitu
mengaku sebagai jejaka
2. Bahwa Termohon II ternyata di ketahui telah mempunyai seorang istri dan dua
orang anak.
Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah di antara sebab perkawinan dapat
di batalkan yaitu:
79
1. Salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara
Islam yang aman,
2. Di sebabkan akad nikah yang fasid,
3. Salah satu dari suami atau istri kafir3
Dalam hal perkawinan dapat di batalkan apabila salah satu dari kedua
suami istri telah tertipu oleh sifat dari salah satu kedua suami istri tersebut seperti
apa yang telah di kemukakan oleh pendapat Madzhab Syafi’iyyah, Madzhab
Hanafiyah berbeda pendapat. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah bahwa tidak
membolehkan adanya perceraian kecuali di sebabkan cacat yang menyebabkan
suami istri susah untuk bersenggama. Dalam hal perceraian di sebabkan adanya
cacat maka jika perceraian qabla dukhul, bagi istri mendapat setengah maharnya,
akan tetapi jika perceraian ba’da dukhul maka bagi istri wajib ber’iddah.4
Menurut analisis penulis, melihat duduk perkara pada putusan No. 1513/
Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa permohonan pembatalan perkawinan di
sebabkan karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas, dengan
begitu Termohon II telah melakukan penipuan terhadap Termohon I, maka
apabila di analisis menurut pendapat Madzhab Hanafiyyah perkawinannya tidak
dapat di batalkan, karena bukan dengan sebab adanya cacat melainkan karena di
3 Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-
Fikr ), h. 372.
4 Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islam Wa Adilatuh, ( Beirut : Daarul Fikr, 1996 ), Juz VII, Cet
Ke-I, hal. 523.
80
sebabkan salah satu dari suami istri tersebut tertipu oleh sifat dari salah satu
keduanya.
C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab
Malikiyyah
Dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi di ketahui sebab
terjadinya pembatalan perkawinan yaitu:
1. Di ketahui bahwa Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas yaitu
mengaku sebagai jejaka
2. Bahwa Termohon II ternyata di ketahui telah mempunyai seorang istri dan dua
orang anak
Menurut pendapat Madzhab Malikiyyah di antara perceraian yang di
sebabkan fasakh yaitu:
1. Di sebabkan akad nikah yang fasid,
2. Nikah sirri
3. Menikah tanpa wali
4. Putusan hakim dengan talaq ba’in dalam perceraian ( baik di ceraikan atas
putusan hakim atau atas perintah Istri)5
Mengenai hal pembatalan perkawinan karena salah satu suami istri telah
tertipu oleh sifat salah satu dari keduanya, Madzhab Malikiyyah berpendapat
5 Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-
Fikr ), h. 372.
81
bahwa keduanya boleh memilih antara fasakh atau tetap berlangsung, sama halnya
dengan pendapat Madzhab Syafi’iyyah. Mengenai mahar menurut pendapat
Madzhab Malikiyyah jika perceraian dilakukan qabla dukhul maka perempuan
yang di kawini tidak mendapat apa-apa.
Menurut analisis penulis, melihat duduk perkara pada putusan No. 1513/
Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi bahwa pernikahannya batal karena Termohon II telah
melakukan pemalsuan identitas, apabila di kaitkan dengan pendapat Madzhab
Malikiyyah maka perkawinannya dapat di batalkan karena salah satu dari kedua
suami istri telah melakukan penipuan terhadap sifat salah satu kedua suami istri
tersebut.
D. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Madzhab
Hanabilah
Dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi diketahui sebab
terjadinya permohonan pembatalan perkawinan disebabkan karena:
1. Bahwa Termohon II diketahui telah memalsukan identitasnya dalam
perkawinannya yang mengaku berstatus jejaka
2. Bahwa Termohon II telah diketahui mempunyai seorang istri dan dua orang
anak
Menurut pendapat Madzhab Hanabilah di antara sebab perkawinan dapat
di batalkan yaitu:
82
1. Seorang suami berat memberikan maskawin (sebelum di pergauli), nafkah,
tempat tinggal, dan pakaian,
2. Salah satu dari suami atau istri bukan beragama Islam6
Madzhab Hanabilah juga berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki
menipu seorang wanita dengan sesuatu yang dapat merusak akad seperti perkara
sekufu, perihal kemerdekaannya, keturunannya, maka bagi istri berhak memilih
antara fasakh dan tetap berlangsung.7
Melihat duduk perkara pada putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
perkawinannya batal karena Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas
dalam perkawinannya dengan Termohon I, dengan begitu apabila di kaitkan
dengan pendapat Madzhab Hanabilah, maka perkawinan tersebut dapat di
batalkan karena salah satu dari kedua suami istri tersebut telah melakukan sesuatu
yang dapat merusak akad, yaitu Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas
yang mengaku sebagai jejaka tetapi ternyata diketahui bahwa Termohon II telah
mempunyai seorang istri dan dua orang anak.
Menurut analisis penulis, melihat duduk perkara pada putusan No. 1513/
Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi apabila dikaitkan dengan pendapat Madzhab Hanabilah,
perkawinannya dapat di batalkan karena dari kedua suami istri tersebut telah
melakukan sesuatu yang dapat merusak akad, kemudian bila di qiyaskan dengan
6Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-Fikr
), h. 372.
7 Wahbah Zuhaily, Al Fiqhu Al Islam Wa Adillatuh, ( Beirut : Daarul Fikr, 1996 ), Juz VII,
Cet Ke-I, hal. 526.
83
contoh sesuatu yang dapat merusak akad seperti mengaku merdeka tetapi
kenyataannya budak, dengan begitu bila melihat sebab putusnya perkawinan pada
putusan tersebut Termohon II telah melakukan pemalsuan identitas yaitu
mengaku sebagai jejaka tetapi pada kenyataannya telah mempunyai seorang istri
dan dua orang anak.
84
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan dan saran sebagai langkah
akhir setelah menganalisis dari beberapa sudut pandang dan kepustakaan untuk
melengkapi dan menyempurnakan sekaligus merupakan jawaban dari pernyataan
perumusan masalah yang telah di sebutkan terlebih dahulu. Maka dapat di tarik
beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Bahwa Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Telah
mengatur hukum pembatalan perkawinan karena adanya unsur penipuan yaitu
pada pasal 27 ayat 2. Begitu juga dengan Kompilasi Hukum Islam telah
mengatur hukum pembatalan perkawinan karena adanya unsur penipuan
dalam pasal 72 ayat 2.
2. Bahwa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara No.
1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi dalam perkara pembatalan perkawinan karena
pemalsuan identitas dalam kasus poligami yaitu dengan menggunakan pasal
24 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta Kompilasi
Hukum Islam pasal 71 huruf (a). Mengenai Akibat hukum dari pembatalan
perkawinan yaitu terhadap anak yang dilahirkan adalah tetap dianggap anak
sah, mengenai harta bersama dapat di selesaikan menurut hukumnya masing-
masing, baik menurut hukum agama, hukum adat maupun hukum lainnya,
85
kemudian di dalam fiqih di jelaskan bahwa apabila telah sempat bersenggama
maka bersenggamanya tidak di anggap zina selama benar-benar tidak
mengetahui bahwa perbuatan itu haram baginya.
3. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.
Bekasi dengan menggunakan pasal 24 UU Perkawinan dan KHI pasal 27
apabila di tinjau dari hukum positif maka di anggap telah berkekuatan hukum,
akan tetapi apabila di tinjau dari hukum fiqih hukumnya lemah karena dalam
hukum Islam masalah poligami telah di atur, tetapi apabila perkara tersebut di
putus dengan menggunakan pasal 27 UU Perkawinan atau dengan pasal 72
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pembatalan perkawinan
karena adanya unsur penipuan, di tinjau dari hukum positif dan hukum fiqih
putusan tersebut telah berkekuatan hukum, karena dari hukum positif maupun
hukum fiqih telah mengatur pembatalan perkawinan karena adanya penipuan.
B. Saran-Saran
Mengingat betapa pentingnya masalah pernikahan bagi masyarakat
dengan adanya peraturan perundang-undangan yang telah mengatur semua hal
tentang perkawinan dan untuk mencegah terjadinya dampak negatif dalam
perkawinan, maka penulis akan mengajukan saran-saran kepada semua pihak
yang terkait antara lain:
1. Kepada hakim Pengadilan Agama Bekasi agar lebih memperhatikan semua
sebab permohonan, agar semua perkara yang telah di putus memberikan rasa
86
keadilan bagi para pencari keadilan serta lebih tepat dalam menetapkan
pertimbangan hukumnya
2. Meningkatkan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat agar selalu
memperhatikan aturan yang telah di tetapkan oleh undang-undang maupun
peraturan lainnya, agar tidak terjadi dampak negatif terhadap perkawinannya
3. Meningkatkan peran aktif dan fungsi KUA atau Kelurahan sebagai salah satu
wadah untuk kegiatan-kegiatan yang dapat membangkitkan semangat untuk
menggali ilmu lebih tinggi, juga bimbingan keagamaan yang lebih konstruktif
dan inovatif.
4. Kepada para pegawai Kantor Urusan Agama agar memperhatikan segala hal
yang berkaitan dengan kedua mempelai dan lebih berhati-hati dalam
menjalankan tugasnya agar tidak terjadi kekeliruan terhadap kedua mempelai
tersebut dan tidak ada penyelundupan terhadap sesuatu yang dapat merusak
perkawinan.
90
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Dan Terjemahan. Departemen agama RI Bandung. Gema Risalah,
Press, 1993
Abdurrahman. Himpunan Peraturan UU Tentang Perkawinan. Jakarta :
Akademika presindo, 1986, Cet. 1
Abdurrahman SH. Ma. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Akademika
Presindo, 1996
Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata hukum
Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994
AH, Daud Muhammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta : Raja
Grafindo Perkasa, 1997, Cet. 1
Al Jaziri, Abdurrahman. Al Fiqhu Ala Madzahib Al Arba 'ah. Beirut: Daarul
Fikr, Juz IV
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta :
2001
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2005
Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta:
Kencana, 2004, Cet. 2
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia, 2000
Harahap, Yahya SH. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, Medan : CV. Zahir Trading Co, 1975, Cet. I
http ://www.pa-bekasi. go. id/profil-pa
Irawan, Sabtian Chandra. Perkawinan dalam Islam : monogami atau Poligami
?. Yogyakarta: An-Naba Islamic Media, 2007, cet Ke-1, h. 12
91
Mughniyyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Madzhab, Lentera Basretama,
1999 Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet Ke-1
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No.
1 Tahun 1974 Sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006, Cet Ke-3
Prodjohamidjodjo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta :
Indonesia Legal Center Publishing, 2002
Pedoman Penyusunan Skripsi, Fakultas Syar'iah dan Hukum, Jakarta 2007
Qudmah, Ibn. Al-Mugni (Al-Hijro At- Tauba'ah wa Nasr wa Taujia' wa I'lan).
Kairo, 1986
Ridho, Muhammad Rasyid. TafsirAl- Manor. Mesir : Al- Manar, 1325 H
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003. Cet 6
Rusdiana, Kama dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2007,Cet Ke-1
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Riyadh: Daar Al-Fath li Al- Alam Al- Arab, 1996
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera, 2007
Sohn'ani, Imam. Subulus salam : Syarah Bulughul Al-Maram. Beirut Lebanon:
Daru al-Fikr, 1991M/1411H.
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2006. Cet. 3
Syarirudin, Amir, Garis-Garis Besarfiqh, Jakarta: Kencana, 2003. Cet. 2
Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, 2008. Cet. 39
Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung:
PT. Alumni, 2000. Cet Ke-4
92
Salinan Putusan Pengadilan Agama Bekasi (No: 1513/Pdt. G/2009/PA.Bks)
Subbag Umum Pengadilan Agama Bekasi Subbag Kepegawaian
Pengadilan Agama Bekasi
Volmar, H.F.A. Pengantar Studi Hukum Perdata, Jakarta: Rajawali, 1992, Cet.
3
Zuhaily, Wahbah. Al Fiqhu Al Islam Wa Adilatuhu, Beirut: Daarul Fikr, 1996,
Juz VII, Cet, 1
Nama : Drs. Humaidi Yusuf, SH. MH
Jabatan : Hakim Anggota
Tempat : Pengadilan Agama Bekasi
Tanggal : 15 April 2011
INSTRUMEN WAWANCARA
1. Dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi, selain berpegang pada
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, apakah ada pertimbangan hukum lain yang menjadi pertimbangan hakim
dalam memutuskan perkara pembatalan perkawinan tersebut?
Jawab:
Menurut Bapak Humaidi Yusuf selaku Hakim di Pengadilan Agama Bekasi, ia
mengatakan bahwa selama di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang perkara yang mau
diputuskan maka tidak mengambil dari sumber hukum lain yang paling penting
putusan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat. Jadi setiap perkara di putus
menggunakan dasar hukum yang legal dan rasional, yaitu menggunakan dasar
hukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam dan juga unsur-unsur kemaslahatan dan kemanfaatan.
2. Faktor apa sajakah yang menjadikan suatu perkawinan dapat dibatalkan?
Jawab:
Faktor yang dapat menjadikan suatu perkawinan dapat dibatalkan yaitu yang
diatur dalam Undan-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu yang
terdapat dalam pasal 22, 24, 26, 27 ayat (1) dan (2), dan seperti yang ada dalam
KHI yaitu pada pasal 70, 71 dan pasal 72.
3. Apa yang menjadi pertimbangan bapak dalam memutuskan perkara pembatalan
perkawinan akibat pemalsuan identitas?
Jawab:
Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur dan
menjelaskan tentang sebab-sebab perkawinan dapat dibatalkan, pembatalan
perkawinan akibat pemalsuan identitas terdapat dalam Pasal 72 ayat 2 Undang-
Undang Perkawinan yang bunyinya “ Seorang suami atau istri dapat mengajukan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terdapat
salah sangka mengenai diri suami atau istri.
4. Bagaimana status perkawinan poligami yang dilakukan dengan memanipulasi
data akan tetapi perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) apakah
termasuk melanggar hukum?
Jawab:
Sesuai dengan pasal 22 Undang-Undang Perkawinan bahwa pernikahan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Dengan begitu perkawinan yang dilakukan dengan memanipulasi
data termasuk melanggar hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Selain itu apabila seorang suami ingin melakukan
poligami harus izin Pengadilan Agama, hal ini sesuai dengan pasal 71 Undang-
undang Perkawinan.
5. Menurut bapak apakah putusan pembatalan menguntungkan penggugat atau
tergugat?
Jawab:
Permasalahan tidak terletak pada untung dan rugi, tetapai pada apakah perkara itu
sah atau tidak, Akan tetapi menurut saya selama perkawinan tersebut masih bisa
di pertahankan karena kesalahan prosedur yang bersifat formil, lebih baik
dipertahankan. Kecuali apabila perkawinan tersebut memang harus dibatalkan,
seperti halnya perkawinan tersebut dilakukan olah dua orang yang sedarah atau
sepersusuan.
Nara Sumber Bekasi, 15 April 2011
Drs. Humaidi Yusuf, SH. MH Yayah Lutfiyah Hamid