Upload
nguyenhanh
View
231
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
- 1 -
PEMBERDAYAAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN
BERBASIS AGAMA DI KABUPATEN CILACAP
LAPORAN PENELITIAN
Oleh
Ahmad Muttaqin
DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
KABUPATEN CILACAP
KERJASAMA DENGAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2016
- 2 -
ABSTRAK
Kabupaten Cilacap merupakan salah satu wilayah dengan tingkat buruh
migran perempuan yang tinggi. Seiring dengan jumlah tersebut, kasus-kasus yang
terkait dengan masalah hukum, kekerasan, dan sengketa hubungan kerja juga
tinggi. Akar persoalannya lebih banyak berada di dalam negeri yang terbentang
dari pusat hingga daerah (kabupaten dan desa). Masalah ini menjadi hal klasik
dalam isu buruh migran dan belum terurai secara konprehensip. Sementara itu,
kontribusi buruh migran terhadap negara dan daerah sangat signifikan.
Di Kabupaten Cilacap, remitansi atau kiriman uang dari luar negeri
mencapai angka lebih dari 500 M. Angka ini apabila diperbandingkan dengan
APBD Kab. Cilacap mencapai 50 %. Namun demikian, apresiasi dari pemerintah
daerah relatif rendah dengan indikator alokasi APBD yang secara khusus
diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan buruh migran perempuan minim.
Dalam realitasnya, kapasitas buruh migran perempuan masih dikategorikan
rendah. Hal ini dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang rata-rata SMP dan
kemampuan teknis pekerjaan yang bersifat informal. Kondisi ini diperparah
dengan tidak adanya alokasi dari Pemerintah Daerah utuk program-program
pemberdayaan. Situasi yang lain adalah komunitas buruh migran perempuan di
Cilacap belum terkoneksikan secara organisatoris. Hal inilah yang ditengarai
menjadi akar munculmnya masalah-masalah yang dihadapi buruh migran. Lebih
ironis apabila maslah tersebut melibatkan pihak lain, buruh migran perempuan
cenderung menjadi pihak yang dirugikan. Untuk menggali informasi dan
menganalisis isu di atas, metode yang digunakan adalah kajian lapangan dengan
analisis kualitatif deskriptif. Pendekatan yang dilakukan adalah sosiologi kritis
yang mencoba mengungkap relasi kuasa antarburuh migran dan pihak-pihak
terkat. Titik masuk kajian ini adalah peran agama dalam proses pemberdayaan
buruh migran perempuan.
Hasil kajian yang ditampilkan adalah bahwa buruh migran memiliki spirit
keagamaan (religiusitas) yang tinggi. Spirit ini kemudian menjadi amunisi atau
basis bagi proses pemberdayaan yang dilakukan. Persoalannya adalah kontruk
religiusitas buruh migran bersifat tradisional-doktrin sehingga membentuk
karakter yang naif. Kenaifan ini kemudian dirubah dengan spirit keagamaan kritis
yang bersifat progresif-emansipatoris. Amunisi yang digunakan sama, yaitu
religiusitas yang bersifat total. Agama berperan dalam proses penyadaran sosial
yang kemudian menggugah semangat kritis dan produktif melalui tafsir ulang dan
kajian-kajian kritis atas teks dan ajaran keagamaan.
Kata-Kata Kunci: buruh migran perempuan, pemberdayaan, sosiologi kritis,
progresif, emansipatoris.
- 3 -
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
BAB II KONSEP PEMBERDAYAAN DAN SIGNIFIKASI AGAMA ...................
A. Konsep Pemberdayaan ...................................................................................
B. Signifikansi Agama ........................................................................................
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................................
BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................................
A. Buruh Migran Cilacap ....................................................................................
B. Penguatan Kapasitas Buruh Migran Perempuan Cilacap...............................
C. Peran Agama dalam Pemberdayaan Buruh Migran .......................................
BAB IV KESIMPULAN............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
- 4 -
BAB I
PENDAHULUAN
Beragam kasus yang menimpa buruh migran Indonesia (BMI) yang
secara khusus buruh migran perempuan (BMP) menunjukkan bahwa sistem
perlindungan yang dibangun pemerintah tidak cukup protektif. Hal ini karena
sistem yang dibagun tidak antisipatif terhadap persoalan-persoalan yang
kemungkinan muncul pada seluruh proses penyelenggaraan kerja luar negeri.
Kesan reaktif sangat terlihat terutama setelah kasus-kasus hukum yang
menimpa BMI/BMP terpublikasi oleh media. Kasus Darsem misalnya, BMP
asal Kabupaten Kuningan yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi ini
baru mendapat perhatian dari pemerintah setelah dilansir oleh media-media
nasional.1
Secara nasional jumlah BMI mencapai angka 6 juta yang tersebar di 52
negara. Setiap tahunnya, BMI menyumbang remitansi sebesar 100 triliyun
atau berkontribusi sebesar 2 % dari total GDP (Gross National Product) atau
pendapatan negara per tahun yang berjumlah 6.500 triliyun.2 Apabila
dikontekstualkan dengan jumlah angkatan kerja yang mencapai 120 juta, maka
buruh migran berkontribusi menyerap 5%. Angka ini sangat signifikan dalam
mengurai persoalan pengangguran di Indonesia.
Namun demikian, kontribusi BMI yang sangat besar tersebut belum
mendapat imbalan yang sebanding dari pemerintah sebagai pihak yang paling
banyak memperoleh manfaat. Kewajiban-kewajiban pemerintah terutama
dalam bidang perlindungan hukum masih jauh dari harapan. Pelanggaran
hukum yang diterima BMI di negara tempat bekerja banyak yang tidak
tercover oleh pemerintah. Rendahanya kontrol dan sistem perlindungan yang
dijalankan pemerintah ditengarai sebagai sebab utama kelalaian tersebut.
Salah satu daerah yang menjadi basis BMI adalah kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. Berdasar data Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans), jumlah buruh migran asal Cilacap mencapai lebih dari
7.000. jumlah ini akan bertambah apabila digabung dengan burum migran asal
Cilacap yang berangkat tidak melalui jalur formal atau legal. Jumlah yag besar
ini berdampak secara langsung terhadap tingkat remitansi yag dalam 3 (tiga)
tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2007, remitansi
masih ada di bawah 300 M, pada tahun 2008 meningkat menjadi 324 M, tahun
2009 meningkat lagi menjadi 370 M, dan di tahun 2010 sebesar 570 M.
Namun demikian, kontribusi besar terhadap daerah ini tidak dibarengi
dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada BMI. Berdasar laporan
Local Budget Index (LBI) Lakpesdam dan Fitra Indonesia tahun 2010, alokasi
APBD yang diproyeksikan secara khusus bagi kelompok BMI hanya sebesar
250 juta untuk mata anggaran pendidikan latihan kerja luar negeri. Nilai ini
sangat tidak sebanding dengan kontribusi BMI menggerakkan ekonomi daerah
yang apabila diperbandingkan dengan APBD Cilacap tahun 2012 sebesar 1,2
1 Kompas, 14 Juli 2011. 2 Pikiran Rakyat, 18 Desember 2011.
- 5 -
triliyun mencapai 50%.3 Ketidakhadiran negara dalam situasi ini secara moral
menggerakkan ormas keagamaan untuk memberikan tanggungjawabnya
terhadap jama’ah-nya.
Nahdlatul Ulama (NU) melalui lembaga di bawahnya yaitu Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) melakukan
inisiatif pemberdayaan terhadap komunitas buruh migran terutama perempuan
untuk lebih produktif dan kritis atas situasi yang melingkupinya. Sebagai
ormas keagamaan, nilai-nilai yang menjadi basis pemberdayaan adalah ajaran
agama dalam hal ini Islam.
Agama sebagai basis nilai pemberdayaan dalam banyak sisi tidak
secara langsung bisa operasional. Nilai agama membutuhkan proses
transformasi dan interpretasi-interpretasi ideologis untuk mendukung gerakan
progresif pemberdayaan. Persoalan kemudian adalah bahwa agama selama ini
relatif masih dipahami secara naif sebagai sesuatu yang final mutlak, dan
transenden sehingga tidak dikritik atau dikontekstualisasikan dengan situasi
kekinian. Dengan demikian, proses pemberdayaan berbasis agama melalui 2
(dua) ahap sekaligus, yaitu transformasi nilai keagamaan dan operasionalisasi
nilai agama dalam kegiatan-kegiatan produktif pemberdayaan.
3 Laporan penelitian Local Budget Index (LBI) Lakpesdam dan Fitra Indonesia di Cilacap.
LBI dilakukan di 47 daerah kabupaten/kota tahun 2009 dan 2010. Untuk sektor publik, salah
satunya alokasi untuk BMI nilainya sangat kecil, yaitu 250 juta. Nilai ini akan semakin kecil
apabila dianalisis secara detile dari sisi belanja yang secara langsung dimanfaatkan oleh BMI. Hal
ini karena setiap program memiliki alokasi untuk biaya operasional yang diambil dari alokasi dana
kegiatan.
- 6 -
BAB II
KONSEP PEMBERDAYAAN DAN SIGNIFIKASI AGAMA
A. Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan
ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma baru pembangunan yang bersifat “people-centered, participatory,
empowering, and sustainable”.4 Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safetynet).
Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk
mencari apa konsepsi pembangunan alternatif (alternative development) yang
menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender
equality and intergenerational equity”.5 Konsep pemberdayaan tidak
mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena keduanya tidak
harus diasumsikan sebagai “incompatible or antithetical”. Konsep ini
mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. Ia
bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang
lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang
berkelanjutan.6
Lahirnya konsep pemberdayaan merupakan antitesa terhadap model
pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini
dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan
kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2)
pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja
dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun
bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan
sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4)
pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi
secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya.7
Terminologi pemberdayaan dikenal dengan istilah empowerment yang
berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan berasal dari dalam
tetapi dapat diperkuat dengan unsur–unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia
merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang
menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan
dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh
ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber–sumber power.
4 Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat,Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996), hlm. 19. 5 J. Friedmann, Empowerment: The Politics of Alternative Development, (Cambridge:
Balckwell, 1992), hlm. 31. 6 Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996), hlm. 21. 7 A. M. W. Pranarka dan Vidhandika Moeljarto, “ Pemberdayaan (Empowerment)”, dalam
Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka, 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi, (Jakarta: CSIS, 1996), hlm. 44-46
- 7 -
Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dis powerment,
yaitu peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat
tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya
dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan
secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.
Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama,
melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat
posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara
konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak
mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan.
Dalam konteks buruh migran, pemberdayaan diarahkan untuk
mengurai persoalan-persoalan mendasar yang dihadapinya. Dari identifikasi
persoalan tersebut, buruh migran diarahkan untuk mengenali dan
mengoptimalkan potensinya agar bisa secara produktif mengurai persoalan-
persoalan secara mandiri. Dari sisi persoalan dasar buruh migran, 3 (tiga) area
utamanya adalah pra keberangkatan (persiapan), penempatan, dan kepulangan.
Dari 3 fase tersebut, buruh migran relatif tidak mandiri dalam arti memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap pihak-pihak lain.
Selama ini, ketergantungan tersebut mengarah pada situasi
ketidakberdayaan di mana buruh migran mengalami kteerbatasan mengatasi
masalah-masalahnya. Situasi menjadi lebih memprihatinkan karena pihak-
pihak lain tersebut justeru mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. Situasi
ketidakberdayaan menjadi peluang tersendiri bagi kelompok lain. Karena
menguntungkan, kelompok lain relatif menjadikan situasi ini sebagai status
quo.
B. Signifikansi Agama
Durkheim berpendapat agama merupakan perwujudan dari collective
consciousness (kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada perwujudaan-
perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu
sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam
collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu
sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna. Tuhan
adalah personifikasi masyarakat dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia.
Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu
kepercayaan dan ritus/ upacara-upacara. Keyakinan adalah pikiran dan ritus
adalah tindakan.8
Agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya
yang ideal. Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti
ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka
kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat.
Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan
8 Hotman Siahaan, Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1986), hlm. 24.
- 8 -
sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciousness tersebut semakin
lemah kembali. Jadi ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap
berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif di antara masyarakat, atau
dengan kata lain ritual agama merupakan charge bagi manusia untuk
mendekatkan diri kembali kepada Tuhannya.
Sebagai collective representation, agama hadir sebagai hal yang sentral
dalam kehidupan masyarakat. Orientasi dasarnya adalah membangun
colektivitas dalam bentuk solidaritas dan keteraturan sosial (social order).
Melalui solidaritas inilah manusia bisa mengembangkan dirinya secara
manusiawi dan memberikan manfaat dan fungsinya bagi yang lain.
Secara dikotomis, Durkheim membagi tipe solidaritas dalam 2 (dua)
bentuk, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.9 Solidaritas mekanik
didasarkan pada suatu kesadaran kolektif (collective consciousness) yang
menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang umumnya
ada pada masyarakat homogen. Solidaritas model ini tergantung pada
individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut
kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Individualitas tidak
berkembang karena terus-menerus dilumpuhkann oleh tekanan untuk
mencapai konformitas. Namun demikian, individu-individu tersebut tidak
mengalaminya sebagai tekanan karena mereka tidak memiliki kesadaran lain
selain kolektivitas.10
Indikator paling umum dari solidaritas mekanik adalah ruang lingkup
dan hukum yang bersifat menekan (repressive). Hukum ini mendefinisikan
setiap perilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau melanggar
kesadaran kolektif yang sudah kuat. Hukuman tidak harus mencerminkan
pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian secara obyektif yang
menimpa suatu masyarakat. Hal ini karena hukuman merupakan ekspresi dan
penyataan kemarahan kolektif atas pelanggaran atau ancaman yang muncul.
Ciri lain yang khas dari solidaritas mekanik adalah tingkat homogenitas yang
tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan lainnya. Homogenitas hanya
mungkin terjadi pada masyarakat yang pembagian kerjanya minim.
Solidaritas organik didasarkan pada tingkat ketergantungan yang
tinggi. Saling ketergatungan bertambah besar sebagai hasil dari bertambahnya
spesialisasi dalam pembagian kerja. Spesialisasi dan pembagian kerja ini
berdampak pada perbedaan dalam individu. Perbedaan pada individu
merombak kesadaran kolektif sebelumnya yang kemudian menempatkannya
tidak terlalu penting sebagai dasar keteraturan sosial (social order).
Kolektivitas dianggap tidak lebih penting dibanding dengan saling
ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang
memiliki spesialisasi. Pembagian kerja secara terus-menerus mengambil peran
yang sebelumnya diisi oleh kesadaran kolektif.11
9 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, alih bahasa MZ. Lawang,
(Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 181. 10 Ibid., hlm. 183. 11 Ibid., hlm. 185.
- 9 -
Ciri khas masyarakat bertipe solidaritas organik adalah keberadaan
hukum yang bersifat memulihkan (restitutive). Hukum restitutif bertujuan
mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks
antara berbagai individu yang terspesialisasi dalam fungsi-fungsi yang
berbeda. Karena itu hukuman yang diberikan kepada individu yang dianggap
melanggar bertujuan memulihkan dan mengembalikan individu tersebut pada
fungsi spesialisasinya.
Posisi agama pada masyarakat dengan dua model solidaritas ini sangat
berbeda. Walaupun secara prinsip agama tetap memiliki posisis sentral, tetapi
dari sisi operasionalisasi dan manifestasi agama dalam masyarakat berbeda.
Pada masyarakat bertipe solidaritas mekanik, agama dan atura-aturan yang
didasarkannya dikuasai atau didominasi oleh seseorang atau sekelompok
individu yang memerankan diri sebagai pemimpin. Tafsir dan pemahaman
agama yang berlangsung adalah tafsir pemimpin masyarakat. Individu anggota
masyarakat tidak memiliki otoritas yang legal uantuk memahami dan
menafsirkan agama.
Sebaliknya pada masyarakat bertipe solidaritas organik, partisipasi
individu dalam masyarakat tinggi yang secara fungsional berkontribusi pada
kontruksi pemahaman agama. Masing-masing individu yang memiliki
spesialisasi memberikan kontribusinya terhadap konstruk umum secara
fungsional yang diferentiatif.
Melalui perspektif teoretis di atas, agama penting pada saat manusia
menghadapi persoalan-persoalan yag tidak bisa diurai oleh pengetahuan dan
sistem teknologinya. Semakin masyarakat berkembang ke arah situasi modern
maka semakin kompleks pula kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Teknologi dan
pengetahuan pada masyarakat modern sangat strategis, namun pada saat yang
sama keduaya berpotensi mencapai pada titik nadir. Pada saat itulah manusia
kembali pada suatu nilai transenden yang hanya dimiliki oleh agama.
Berbeda dengan Durkheim, Karl Marx melakukan kritik terhadap
eksistensi agama sebagai sumber alienasi. Namun demikian Marx tidak lantas
memposisikan agama sebagai hal yang tidak penting. Kritik agama oleh Karl
Marx dijadikan titik masuk (entry point) bagi kritik masyarakat secara
menyeluruh. Pemanfaatan agama sebagai titik masuk ini mengindikasikan
bahwa Karl Marx menempatkan agama sebagai entitas penting bagi proses
sosial yang berlangsung di masyarakat.12
Melalui kritik agama inilah Karl Marx megembangkan analisis
kritisnya terhadap masyarakat atas belenggu-belenggu yang membuatnya tidak
produktif. Salah satu yang menjadi sebab tidak produktifnya masyarakat
adalah tingkat pemahaman masyarakat yang cenderung menempatkan agama
secara ideologis. Pada saat agama telah menjelma menjadi ideologi maka
agama menjadi anti kritik. Pada posisi inilah agama berubah orientasinya dari
instrumen transformatif menjadi status quo.
Revitalisasi merupakan kunci agar agama terurai dari belenggu-
belenggu ideologis. Salah satu caranya adalah menarik agama menjadi lebih
12 Malcolm Hamilton, Sociology of Religion,Teoretical dan Comparative Perspectives,
Second Edition, (London and New York: Routledge, 2001), hlm. 94-95.
- 10 -
operasional melalui tindakan nyata atau praxis kehidupan.13 Agar bisa
mentransformasikan diri sebagai instrumen praxis kehidupan, agama harus di-
breakdown menjadi formula-formula praktis dalam kehidupan nyata yang oleh
Karl Marx dideterminasi oleh persolan material. Agama bermetamorfosisis
menjadi instrumen bagi masyarakat menguasai dan memiliki instrumen
material sebagai basis kegiatan ekonomis.
Dalam sejarahnya, secara sosiologis agama muncul untuk menjawab
persoala-persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh pengetahuan dan sistem
teknologi yang dimiliki manusia. Sebagai makhluk yang memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi, manusia terus mencari jawaban atas persoalan-persoalan
tersebut hingga ditemukan apa yang disebut dengan transendensi.14
Transendensi merupakan salah satu pendekatan teologi kontekstual yang
melihat bahwa realitas bukan sebagai yang "ada di luar" dan lepas dari
pengenalan manusia melainkan berada pada dinamika kesadaran diri. Model
transendental bukan berpusat pada pewartaan kitab suci atau tradisi tetapi
bertolak pada pengalaman religius dan pengalaman yang menyangkut diri
sendiri.
Spirit transendensi inilah yang kemudian dijadikan titik kritik Karl
Marx atas kondisi masyarakat. Agama sesungguhnya memiliki semangat
progresif untuk merubah dunia, namun karena manusia terjebak pada
transendensi dalam arti melampaui rasionalitas (beyond rationality) perilaku-
perilaku yang muncul bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya yang
bersifat material. Sebaliknya Karl Mark menarik spirit transendensi untuk
merubah situasi material masyarakat yang penuh dengan penindasan,
eksploitasi, dan ketimpangan.
Setiap agama memiliki pola transendensi yang secara moral dan
ideologi mengikat para pemeluknya. Loyalitas pemeluk tidak bersandar pada
otoritas pemimpin atau elite agama lainnya melainkan pada sumber moral
yang dimiliki agama tertentu yang diyakini menjadi penjamin atau solusi atas
persoalan-persoalan yang dihadapi. Melalui nilai transendensi ini, pemeluk
agama dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan yang transenden dalam
arti tak terbatas.
Dalam konteks Islam, transendensi diterjemahkan menjadi hak-hak
Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Kekuatan transendental
yang dimiliki Tuhan dapat merubah apapun terutama yang dianggap tidak
masuk akal dari sisi pengetahuan dan sistem teknologi manusia. Kekuatan
transendensi Tuhan dalam Islam terformula dalam 99 sifat baik Tuhan (asma
al-husna) yang mencakup seluruh kebutuhan dan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi dalam kehidupan manusia di dunia. Melalui asma al-husna ini,
13 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, alih bahasa MZ. Lawang,
(Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 139-141. 14 Kata Transendental mengacu pada metode transendental yang diungkapkan oleh
Immanuel Kant pada abad ke delapan belas. Kemudian pada abad ke dua puluh dikembangkan
oleh beberapa pemikir seperti Pierre Rousselot, Joseph Marechal, Karl Rahner dan Bernard
Lonergan. Mereka berusaha menterjemahkan "intelektual" yang asli menurut pemikiran Thomas
Aquinas sebagai subjektifitas dan kesadaran historis. David Jary & Julia Jary, Collins Dictionary
of Sociology, (Glasgow: Harper Collins Publisher, 1991), hlm. 667.
- 11 -
pemeluk Islam menyandarkan diri atas persoalan-persoalan yang dihadapinya
baik yang bersifat material maupun non material.
Spirit tak terbatas pada asma al-husna inilah yang menjadi modal
sosial (social capital) bagi seorang muslim untuk terus-menerus
mengupayakan perubahan dalam dirinya. Asma al-husna menjadi kekuatan
trasformatif yang memberdayakaan secara detile potensi-potensi yang dimiliki
seorang muslim merubah dan memperbaiki kehidupan material didunia.
- 12 -
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi lapangan yang bersifat kualitatif
deskriptif, yaitu penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang
tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur
statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif
deskriptif ini secara umum digunakan untuk penelitian tentang kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial,
dan lain-lain.
Penelitian berlokasi di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Cilacap, yaitu
Adipala Binangun, dan Nusawungu. Lokasi ini dipilih karena memiliki
populasi buruh migran yang relatif tinggi di banding dengan kecamatan-
kecamatan lain di Kabupaten Cilacap. Selain itu, jarak yang berdekatan
memberi nuansa tersendiri bagi komunitas buruh migran di mana interaksi
antarkomunitas terutama keluarga di daerah asal berlangsung intens. Interaksi
ini memberi dinamika berbeda terutama dari sisi progres material sebagai
indikator utama kesuksesan seorang uruh migran. Dinamika seperti ini tidak
terjadi di kecamatan lain terutama karena intensitas komunikasi tidak
berlangsung intensif sebagaimana terjadi di tiga kecamatan lokasi penelitian.
Penelitian dilaksanakan bulan April – Juli 2012.
Subjek penelitian ini adalah komunitas buruh migran perempuan di
kecamatan Adipala, Binangun, dan Nusawungu Kabupaten Cilacap.
Komunitas ini secara organisasi berbentuk forum yang memiliki keanggotaan
eksklusif, yaitu keluarga buruh migran. Objek atau masalah yang akan diteliti
adalah pola relasi agama dan masyarakat serta teknik-teknik pemberdayaan
komunitas buruh migran yang mendasarkan pada nilai dan ajaran-ajaran
agama.
1. Metode Pengumpulan Data
a. Observasi partisipatif; merujuk pada proses studi yang mensyaratkan
interaksi sosial antara peneliti dengan subjek penelitian dalam
lingkungan subjek penelitiannya sendiri.15 Tekhnik ini dilakukan untuk
memperoleh data secara sistematis. Data yang diharapkan terkumpul
melalui teknik ini adalah pola-pola umum terkait dengan relasi agama
dan aktivitas komunitas buruh perempuan, aktivitas pemberdayaan,
dan pola interaksi antaranggota komunitas buruh migran perempuan.
b. Deep Interview; merupakan teknik pengumpulan data melalui interaksi
langsung antara peneliti dengan subjek penelitian dalam rangka
memahami pandangan subjek mngenai hidupnya, pengalamannya, atau
situasi sosial yang diungkapkan dalam bahasanya sendiri.16 Suasana
dalam deep interview cendeung informal, akrab, dan seimbang. Situasi
informal ini memungkinkan subjek penelitian dapat mengekspresikan
informasi-informasi terkait secara terbuka dan sadar. Data yang ingin
15 Lexy J Moleong, Metode Penelitia Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1989), hlm. 14. 16 SJ Taylor dan R Bogdan, Introduction to Qualitative Research Methods, The Search
Meanings, Second Edition, (Toronto: John Miley and Sons, 1984), hlm. 41.
- 13 -
diperoleh melalui teknik deep interview adalah persepsi subjek atas
agama yang dianutnya. Perspesi ini mencakup pandangan-pandangan
transendental (eskatologis), keterkaitan antara agama dan kehidupan
sosial, dan ikatan-ikatan spiritual antara subjek dengan agama. Data
persepsional bersifat kualitatif sehingga konklusi atas data berupa
narasi-narasi.
c. Dokumentasi; teknik pengumpulan data yang mendasarkan pada
ketersediaan dokumen atau arsip terkait dengan fokus penelitian.
Dalam konteks penelitian ini, data yang ingin diperoleh melalui
metode dokumentasi adalah kebijakan publik tentang buruh migran
baik pada level daerah maupun pusat, arsip dari kliping media massa,
dan dokumen kependudukan berbasis pekerjaan di level desa dan
kabupaten.
d. Focus Group Discussion; merupakan teknik multistakeholders terkait
dengan fokus penelitian. Melalui FGD ini, klarifikasi, penjelasan,
hingga penarikan kesimpulan dilakukan secara bersama oleh peserta
sehingga akurasi data terjamin dan dapat meminimalisasi
kesalahpahaman penafsiran. Beberapa data yang ingin diperoleh
melalui FGD adalah pemanfaatan nilai-nilai agama sebagai basis
gerakan pemberdayaan, hubungan antara pemerintah dan komunitas
buruh migran, dan posisi agama dalam komunitas.
2. Pendekatan
Pendekatan merupakan cara memperlakukan sesuatu (a way of
dealing with something). Pendekatan menempatkan obyek sebagai sesuatu
yang bersifat aktif. Pendekatan membutuhkan sejumlah ilmu bantu untuk
memahami obyek secara mnyeluruh. Dalam fokus masalah peran agama
dalam pemberdayaan buruh migran, pendekatan yang akan digunakan
adalah sosiologi kritis. Sosiologi memandang segala sesuatu sebagai
fenomena atau gejala sosial yang memiliki 2 (dua) indikasi utama yaitu
observable dan measurement. Pendekatan kritis berasumsi bahwa
persoalan yang muncul karena pola relasi kuasa yang tidak seimbang.
Pemberdayaan dalam perspektif kritis hanya bisa dilakukan dengan
mengurai pola relasi tersebut dan diarahkan pada perubahan-perubahan
pola relasi baru yang lebih seimbang.
Pendekatan sosiologi kritis pada penelitian ini diaplikasikan
dengan menempatkan agama dan persoalan buruh migran sebagai gejala
sosial yang bisa dipahami berdasar kecenderungan yang ada. Dari
kecenderungan tersebut kemudian bisa disimpulkan pola relasi yang
berlangsung. Pola relasi ini yang kemudian dianalisis secara kritis untuk
menemukan pola relasi baru yang lebih seimbang. Pendekatan kritis
mengadaptasi teori strukturalisme konflik.
3. Analisis Data
Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya
jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data
atau informasi baru. Analisis data kualitatif memiliki tiga jalur, yaitu
- 14 -
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.17 Reduksi data
dipahami sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan lapangan. proses ini berlangsung terus-menerus selama
penelitian berlangsung bahkan sebelum data terkumpul sebagaimana yang
terdesain dalam kerangka konseptual penelitian, permasalahan penelitian,
dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih peneliti.
Proses reduksi yang akan dilakukan dalam proses analisis data
penelitian ini meliputi meringkas data, menelusur tema dan membuat
gugus-gugus analisis. Reduksi data dimaksudkan untuk menajamkan,
mengklasifikasi, mengarahkan dan membuang data yang tidak relevan,
serta mengorganisasikan data sehingga bisa ditarik kesimpulan yang
memadai. Cara reduksi data dilakukan dengan seleksi ketat atas data,
ringkasan atau uraian singkat, dan mengklasifikasi dalam pola yang
berdasar rumusan masalah yang ditetapkan, yaitu fungsi agama dan
kontribusinya bagi proses pemberdayaan masyarakat.
Penyajian data merupakan kegiatan penyusunan informasi
sehingga memberi kemungkinan bagi penarikan kesimpulan. Dalam
penelitian ini, penyajian data dilakukan dalam dua bentuk, yaitu teks
naratif dan tabel. Teks naratif merupakan catatan-catatan lapangan, sedang
tabel merupakan klasifikasi data sesuai dengan gugs analisis yang
dilakukan. Melalui teks naratif dan tabel ini dapat diketahui apakah
kesimpulan sudah bisa dilakukan atau sebaliknya melakukan analisis
kembali. Prosesnya dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat
hubungan 2 (dua) fenomena, yaitu pemahaman agama dan aktivitas
pemberdayaan. Proses ini dimaksudkan untuk memaknai apa yang
sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapi
tujuan penelitian.
Penarikan kesimpulan sesungguhnya sudah dilakukan selama
proses penelitian di lapangan. Kesimpulan diverifikasi dengan cara
memikir ulang selama penulisan dan tinjauan ulang catatan lapangan.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan
berubah bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap
pengumpulan data berikutnya. Peneliti akan menyampaikan kesimpulan
yang paling kredibel, yaitu kesimpulan yang didukung oleh bukti-bukti
kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti
kembali ke lapangan untuk tahap ke-2 dan seterusnya.
Langkah verifikasi yang dilakukan peneliti bersifat terbuka untuk
menerima masukan data, walaupun data tersebut adalah data yang
tergolong tidak bermakna. Namun demikian peneliti pada tahap ini sudah
memutuskan antara data yang mempunyai makna dengan data yang tidak
diperlukan atau tidak bermakna. Data yang dapat diproses dalam analisis
lebih lanjut adalah data dalam kategori absah, berbobot, dan kuat. Sedang
17 MB Miler dan AM Huberman, Qualitative Data Analysis; A Sourcebook of New
Methods, (Beverly Hills: Sage, 1992), hlm. 23.
- 15 -
data lain yang tidak menunjang, lemah, dan menyimpang jauh dari
kebiasaan dipisahkan.
Verifikasi data dilakukan dengan cara: mengecek
representativeness atau keterwakilan data, mengecek data dari pengaruh
peneliti, mengecek melalui triangulasi, melakukan pembobotan bukti dari
sumber data-data yang dapat dipercaya, dan membuat perbandingan atau
mengkontraskan data.
Dengan mengkonfirmasi makna setiap data yang diperoleh dengan
menggunakan satu cara atau lebih, diharapkan peneliti memperoleh
informasi yang dapat digunakan untuk mendukung tercapainya tujuan
penelitian. Penggunaan lebih dari satu cara dalam menemukan makna pada
setiap data berfungsi untuk menarik kesimpulan pada kontruksi yang
paling dekat dengan kenyataan lapangan. Kekurangan teknik suatu cara
akan tertutup dengan kelebihan teknik yang lain.
- 16 -
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Buruh Migran Cilacap
Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Propinsi Jawa Tengah.
Dengan luas 234.522 Ha, kab Cilacap terbagai dalam 24 kecamatan, 269 desa
dan 15 kelurahan.18 Pada tahun 2010 jumlah penduduk Cilacap adalah
2.094.095 (1.040.684 berjenis kelamin perempuan). Kabupaten Cilacap
mer19upaan salah satu daerah industri yang sedang berkembang. Dari sisi
kesejahteraan masyarakat, progresnya dari tahunn ke tahun mengalami
peningkatan. Indikator untuk mengukur kesejahteraan adalah Indek
Pembangunan Manusia (IPM).20 Pencapaian IPM Kabupaten Cilacap tahun
2008 sebesar 70,81, tahun 2009 mengalami peningkatan menjaadi 71,39, dan
tahun 2010 sebesar 71,73 dengan rincian pencapaian Angka Harapan Hidup
(AHH) sebesar 70,51 tahun, rata-rata lama sekolah sebesar 6,72 tahun, angka
melek huruf penduduk dewasa sebesar 90,28 % dan paitas daya beli sebesar
Rp. 634.500,/orang/bulan.21
Tahun 2009, jumlah kepala keluarga miskin (KKM) sebanyak 150.707
atau 32,31% dari total penduduk, menurun dari tahun 2008 yang berjumlah
156.936 atau 35,56%. Artinya selama satu tahun berkurang sebanyak 6,229
KKM atau sebesar 3,97%.22
Dari sisi ketenagakerjaan, berdasar RKPD Kabupaten Cilacap tahun
2013, jumlah tenaga kerja Kabupaten Cilacap tahun 2010 sebanyak 47.445
orang, terdiri dari 41.144 laki-laki dan 6.301 perempuan. Jumlah tenaga kerja
tersebut apabila dikategorisasi berdasar pendidikan adalah SD sebnyak 911
orang, SMP sebanyak 7.030 orang, SMA sebanyak 9.490 orang, D1/D2
sebanyak 334 orang, D3 sebanyak 1.314 orang, dan sarjana sebanyak 2.513
orang.
Kabupaten Cilacap merupakan daerah pemasok buruh migrant
terbesar di jawa Tengah. Menurut data di Dinsosnakertrans Cilacap tahun
2011 terdapat lebih dari 7.000 buruh migrant yang masih aktif bekerja di luar
18 BPS tahun 2005 19 20 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah
pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk
semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara
adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur
pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. IPM mengukur pencapaian rata-rata
sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia: (1) hidup yang sehat dan panjang
umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran, (2) Pengetahuan yang diukur dengan
angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan
dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga), (3) standard kehidupan yang
layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya
beli. Setiap tahun Daftar negara menurut IPM diumumkan berdasarkan penilaian diatas.
Pengukuran alternatif lain adalah Indeks Kemiskinan Manusia yang lebih berfokus kepada
kemiskinan. 21 Rancangan Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Cilacap Tahun 2013, hlm. 6. 22 Rancangan Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Cilacap Tahun 2013, hlm. 24.
- 17 -
negeri. Jumlah tersebut adalah jumlah buruh migrant yang berangkat melalui
prosedur legal. Di Kabupaten Cilacap, buruh migran yang berangkat dari jalur
tidak legal terindikasi cukup banyak. Indikasi lain Kabupaten Cilacap sebagai
pemasok buruh migran adalah keberadaan lembaga/organisasi yang bergerak
di bidang jasa penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Tahun 2010 tercatat
secara resmi oleh Dinsosnakertrans sebanyak 71 perusahaan.
Tren remitensi atau kiriman uang dari luar negeri ke Cilacap terus
meningkat setiap tahunnya. Bahkan di tahun 2010 peningkatan tersebut
mencapai 54% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 remitensi buruh
migran Cilacap masih ada di bawah 300 M, pada tahun 2008 sebesar 324 M
dan pada tahun 2009 sebesar 372 M dan di tahun 2010 sebesar 577 M.
peningkatan remitensi rata-rata tiap tahun sebesar 34,97%.23
Secara rinci, penempatan angkatan kerja antarnegara (luar negeri)
Kabupaten Cilacap dari tahun 2006 – 2010 adalah sebagai berikut:
No Tahun Angkatan Kerja Luar Negeri
Laki-Laki Perempuan
1 2006 1.793 12.272
2 2007 1.000 8.239
3 2008 869 9.798
4 2009 831 6.562
5 2010 1.542 5.789
Sumber: BPS Kab. Cilacap
Posisi buruh migran terhadap stakeholders lain dalam penyelenggaraan
kerja luar negeri relatif tersubordinasi. Artinya bahwa buruh migran secara
politik berada pada posisi yag lemah dan kurang memiliki daya tawar yang
proporsional dengan unsur dan lembaga terkait. Kondisi ini menyebabkan
buruh migran asal Cilacap seringkali menjadi kelompok yang dirugikan baik
secara material maupun kerugian lainnya.
Secara umum, mayoritas persoalan buruh migran berada di dalam
negeri mulai dari sumber informasi yang kurang valid, tidak transparansinya
biaya penempatan, pendidikan untuk buruh migran yang tidak memadai, serta
merebaknyanya calo-calo perekrut para pekerja migran yang semakin tidak
terkontrol.
Berkaitan dengan masalah pertama, sumber informasi yang diperoleh
oleh buruh migran, hasil penelitian Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
tahun 2009 menunjukkan bahwa penyebab sebagian besar buruh migran
bermasalah salah satunya adalah karena sumber informasi yang dijadikan
acuan tidak memadai. Informasi yang didapatkan para buruh migran untuk
bisa bekerja di luar negeri umumnya berasal dari calo, yaitu sekitar 53%.
Selanjutnya, 30 % buruh migran mendapatkan informasi dari teman-teman
mereka yang sebelumnya sudah mempunyai pengalaman sebagai pekerja
migran dan kemudian pulang ke kampung halaman. Sedangkan buruh migran
yang mendapatkan informasi dari pemerintah hanya sekitar 2 %.
23 Rancangan Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Cilacap Tahun 2013, hlm. 44.
- 18 -
Calo-calo perekrut ketika memberikan informasi pada buruh migran,
umumnya hanya menyampaikan sisi bagus bekerja di luar negeri saja bahkan
cenderung dilebih-lebihkan, tapi aspek resiko yang mungkin terjadi tidak
diinformasikan. Dari data yang ada menunjukkan bahwa peran pemerintah
dalam penyampaian informasi kepada pekerja migran masih sangatlah kurang.
Padahal informasi mengenai gambaran bekerja di luar negeri sangatlah
penting dimana iklim, budaya, dan aturan yang berlaku berbeda jauh dari
Indonesia dan sangat asing bagi para buruh migran. Terlebih kebanyakan
buruh migran berasal dari daerah pinggiran yang mungkin masih belum
terbiasa dengan kehidupan kota.
Undang-undang No 39 tahun 2004 mengatur dengan jelas bahwa
pemerintah dan PJTKI ketika akan melakukan perekrutan, wajib memberikan
informasi melalui dinas-dinas. Pemerintah daerah wajib memberikan
informasi kepada calon-calon TKI secara langsung. Namun karena pemerintah
daerah kurang optimal dalam menyampaikan informasi, peran tersebut
kemudian diambil-alih oleh para calo. Dalam penyampaiannya, para calo lebih
berorientasi agar calon buruh migran yakin bahwa informasinya adalah benar.
Dengan demikian, calon buruh migran tersebut memastikan berangkat ke luar
negeri. Dari sinilah keuntungan diperoleh oleh calo berupa fee atau uang
komisi lainnya. Pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak untuk
memberantas calo-calo, dikarenakan Undang-undang No 39 Tahun 2004
bersifat sentralistik, sehingga kewenangan ada di pemerintah pusat yang
membatasi kewenangan pemerintah daerah.
Kedua, persoalan yang dihadapi buruh migran adalah transparansinya
cost structure (biaya penempatan). Cost Structure ini diatur oleh Dirjen Bina
Penta, isinya mengenai pengaturan biaya yang harus dikeluarkan TKI untuk
bisa bekerja di luar negeri. Padahal, jika dikaji lagi, biaya yang harus
dikeluarkan oleh para calon buruh migran tentunya berbeda-beda, antara satu
negara tujuan dengan neagra tujuan yang lainnya. Akan tetapi peraturan yang
ada memberlakukan nilai cost structure yang sama antara negara satu dengan
lainnya.24
Ketiga, penegakan hukum di dalam negeri masih lemah. Pemerintah
daerah tidak serius memberantas calo. Meskipun kebijakan mengenai TKI
bersifat sentralistik, seharusnya tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah
daerah untuk mengeluarkan Perda yang mengatur bagaimana tata cara
penempatan buruh migran di daerah asalnya. Pada Undang-undang no 39
tahun 2004, tergambar bahwa peran PJTKI lebih besar daripada peran
24 Pemerintahan SBY mengeluarkan kebijakan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk
menyokong biaya penempatan. Akan tetapi kebijakan ini justru dimanfaatkan oleh calo-calo
ataupun PJTKI. Contoh seorang TKI mendapatkan fasilitas peminjaman di bank senilai Rp 16 juta
untuk biaya keberangkatan, oleh perusahaan PJTKI diberlakukan aturan bahwa setelah
sesampainya di negara tujuan dan bekerja disana, maka akan dipotong gaji 7 bulan. Padahal gaji
satu bulan dengan penempatan Hongkong misalnya, sebesar 3,5-4 juta. Hal ini menyebabkan
buruh migran harus mengembalikan cost structure yang begitu banyak, hampir 21 juta, melebihi
cost structure yang ditetapkan pemerintah. Di dalam cost structure sendiri fee untuk PJTKI sudah
dialokasikan sebesar Rp 3-4 juta. Sisanya untuk membeli tiket, mengurus paspor, cek kesehatan
dan lain-lain.
- 19 -
pemerintah khususnya dalam penempatan buruh migran tersebut. Hanya 8
pasal yang mengatur tentang perlindungan, sisanya berkaitan dengan
penempatan. Berbicara tentang penempatan orientasinya adalah bisnis. Dalam
konteks ini, peran pemerintah itu lebih rendah dibanding PPTKIS. Padahal
seharusnya peran pemerintah itu yang utama, PPTKIS hanya sebagai mitra.
Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, PPTKIS tetap mendominasi dalam
hal penempatan dan pendidikan buruh migran.
Keempat adalah terkait dengan pendidikan dan pelatihan para buruh
migran. Selama ini pelatihan dan pendidikan buruh migran sepenuhnya
diserahkan kepada swasta yang elum ada instrumen dan mekanisme kontrol
yang jelas.25 Pemerintah menetapkan masa pendidikan selama 200 jam, akan
tetapi fakta yang terjadi di lapangan sangat berbeda. Hal ini dikarenakan
sertifikasi bisa dipalsukan. Banyak diantara calon buruh migran sebenarnya
tidak lulus, tapi justru diluluskan. Akhirnya sesampainya di Negara tujuan,
kemudian buruh-buruh tersebut bermasalah. Lepasnya tanggung jawab
pemerintah dalam hal pendidikan yang kemudian diserahkan kepada pihak
swasta banyak merugikan para buruh migran. Pendidikan yang didapatkan
oleh para buruh migran terkesan asal-asalan, sehingga bekal pengetahuan yang
mereka bawa ke negara tujuan menjadi tidak cukup dan cenderung merugikan
diri mereka sendiri. Sementara itu setiap pemerintah daerah memiliki Balai
Latihan Kerja (BLK) yang saat ini tidak terpakai. Pemerintah daerah bisa
merevitalisasi BLK tersebut sehingga bisa dioptimalkan untuk pendidikan
buruh migran. Jadi pendidikan tidak perlu harus ke daerah lain ataupun kota-
kota besar yang notabene jauh dari tempat tinggal. Selama ini banyak buruh
migran yang mengalami kekerasan karena masalah pendidikan.
Selain itu, nasib buruh migran juga tergantung kebijakan di Negara-
negara penempatan. Misalnya di Hongkong, kebijakan disana cukup bagus.
Hampir 70% TKI di Hongkong bekerja pada sektor domestic worker. Buruh
migran yang bekerja di sektor rumah tangga di Hongkong masuk dalam
kategori perlindungan undang-undang ketenagakerjaan Hongkong.
Perlindungan hukum terhadap para pekerja pun berjalan cukup bagus.
Pemerintah Hongkong menganggap bahwa buruh migran juga termasuk
kelompok yang harus dilindungi dalam undang-undang tersebut. Penegakan
hukumnya pun jelas. Bahkan jika terjadi kekerasan, dan kemudian terjadi
pelaporan pada polisi ataupun departemen-departemen yang melindungi
tenaga kerja, para majikan yang melakukan kekerasan tersebut menajdi takut.
Para buruh migran meskipun hanya sebagai pekerja rumah tangga, tapi juga
memiliki hak sebagai pekerja yang harus dilindugi hak-haknya.
Kelima, persoalan yang dihadapi buruh migran saat pulang ke
Indonesia. Para buruh migran yang pulang harus melalui terminal 4 Bandara
Soekarno Hatta. Terminal 4 ini dikhususkan sebagai jalur pemulangan buruh
25 Sebagai contoh adalah Sumiyati dan Kikim Komala yang mengalami penganiayaan oleh
majikan. Dalam pengakuannya, mereka menjalani pendidikan selama dua minggu. Sebelum
dilakukan proses evaluasi atas pendidikan yang dijalani, mereka diberangkatkan ke negara tujuan.
Pemberangkatan dilakukan bukan berdasar atas kapasitas minimal yang harus dikuasai calon buruh
migran melainkan anggilan dari agen di luar negeri.
- 20 -
migran yang kembali ke tanah air. Turun di terminal 2, mereka harus
menghadapi porter. Bagi TKI awam, mereka akan menghadapi pemerasan
oleh para porter, termasuk para penjaja jasa penukaran uang asing yang
berbaris begitu banyak dengan mengambil keuntungan yang sangat besar.
Selain itu, terkadang pelecehan juga dilakukan oleh para oknum travel yang
membawa mereka pulang sampai ke kampung halaman. Belum lagi uang
pungutan di luar biaya resmi yang harus mereka bayarkan pada pihak travel
tersebut.
Selain lima masalah dasar buruh migran secara nasional di atas, buruh
migran asal Kabupaten Cilacap memiliki masalah tambahan yang khas, yaitu
kompetisi individu dan keluarga antarburuh migran di tingkat lokal (desa).
Kompetisi terutama dalam hal kepemilikkan material (kekayaan)
antarkeluarga buruh migran melalui ekspose harta benda bai bergerak maupun
tetap. Seorang keluarga buruh migran akan dianggap sukses bermigrasi
apabila memiliki kekayaan material yang secara umum diakui sebagai
indikatornya, yaitu rumah, sawah, dan kendaraan pribadi.
Kondisi ini terjadi karena Kabupaten Cilacap merupakan daerah
industri yang interaksi sosialnya cenderng mengarah kepada hal-hal pragmatis.
Ukuran-ukuran sosialnya berkembang ke arah materialisme sebagai
karakteristik utama masyarakat industri. Perubahan ini tidak lepas dari
tingginya mobilitas manusia dari dan keluar daerah sebagai konsekuensi
daerah industri. Masyarakat lokal kemudian secara tidak langsung mengikuti
trend sosial yang muncul dalam proses mobilitas manusia yang umumnya
derasal dari luar daerah dengan tradisi bawaannya yang merepresentasikan
budaya metropolitan.
Persoalan persaingan lokal ini menjadikan komunitas buruh migran di
Cilacap tidak mngorganisasikan dirinya dalam sebuah lembaga formal yang
secara khusus mengakomodasi kepentingan-kepentingan komunitas.
Implikasinya adalah komunitas buruh migran baik secara sosial maupun
politik terposisikan sebagai komunitas yang terabaikan. Secara politik
anggaran, komunitas buruh migran dianggap buka sebagai kelompok yang
mendesak untuk dialokasikan pembiayaannya. Secara sosial, komunitas buruh
migran dianggap sebagai komunitas “tiruan” yang secara frontal
mentransformasikan dirinya dengan budaya asing dari negara tempat bekerja.
Kedua implikasi tersebut tidak menguntungkan bagi komunitas buruh migran
dan secara sistematik menghambat komunitas mengurai persoalan-persoalan
yang mengitarinya.
B. Penguatan Kapasitas Buruh Migran Perempuan Cilacap
Beberapa persoalan mendasar di atas, inisiatif-inisiatif dikembangkan
oleh kelompok civil society terutama organisasi masyarakat (ormas)
keagamaan Nahdlatul Ulama Kab. Cilacap melalui Lakpesdam NU yang
memiliki perhatian terhadap peningkatan kapasitas masyarakat. Peningkatan
kapasitas dilakukan sebagai upaya strategis mengurai persoalan buruh migran
secara partisipatif dan mandiri. Melalui pendekatan ini, komunitas buruh
- 21 -
migran diharapkan mampu memahami, memetakan, dan mengurai persoalan
sendiri yang secara sustainable akan berlangsung setiap saat.
Dar beberapa masalah diatas, secara sistematis dapat dipetakan
menjadi 3 (tiga) hal mendasar, yaitu tidak adanya pengorganisasian komunitas
sebagai akibat tingginya tingkat persaingan individu dan keluarga di tingkat
lokal, rendahnya akses pengetahuan dan informasi yang berakibat pada
rentannya buruh migran mendapatkan masalah baik di dalam maupun negara
tujuan, dan rendahnya manajemen kerja atau pengelolaan hasil usaha buruh
migran.
1. Pengorganisasian Komunitas
Persoalan yang menggurita dalam komuitas buruh migran
disebabkan yang pertama karena tidak adanya sebuah organisasi atau
lembaga yang merepresentasikan komunitas terutama di tingkat lokal.
Buruh migran merepresentasikan dirinya secara personal dalam
berinteraksi dengan institusi lain yang terkait dengan penyelenggaraan
kerja luar negeri. Insttitusi tersebut secara struktural telah terorganisasi
dengan baik yang dalam proses kerjanya merepresentasikan lembaga
tertentu. Dari sisi ini, buruh migran menempati posisi yang kurang
strategis terutama dalam hal membangun daya tawar terhadap institusi di
luarnya. Daya tawar persoanl terhadap institusi yang terorganisasi
cenderung subordiat.
Persoalan yang muncul dalam interaksi penyelenggaraan kerja luar
negeri adalah lemahnya daya tawar buruh migran terhadap institusi di
luarnya. Hal ini terjadi karena buruh migran belum terorganisasi secara
struktural yang secara formal merepresentasikan komunitas. Atas kondisi
ini, pemberdayaan buruh migran pada tahap pertama adalah
pengorganisasian komunitas dalam satu wadah yang secara formal
mengakomodasi kepentingan dan merepresentasikan tindakan-
tindakannya.
Di kabupaten Cilacap, penguatan kapasitas buruh migran 3 (tiga)
kecamatan dilakukan dengan mengkonsolidasikan komunitas dalam
bentuk “Forum Warga” yang secara eksklusif beranggotakan buruh migran
dan keluarganya. Pengorganisasian Forum Warga bersifat semi formal.
Artinya secara struktural, Forum Warga buruh migran tersusun formal
berdasar fungsi dan kebutuhan-kebutuhan komunitas. Namun demikian,
tradisi kerja yang dikembangkan bersifat fleksibel yang tidak mendasarkan
sepenuhnya pada struktur organisasi yang ada. Hal ini dilakukan untuk
membangun partisipasi anggota dalam agenda-agenda komunitas.
Selain itu, bentuk Forum Warga dipilih untuk membangun
integrasi dengan Forum Warga lain di Kabupaten Cilacap yang muncul
dalam komunitas-komunitas berbasis sektor dan wilayah.26 Dengan
26 Wawancara dengan Akhmad Fadli, koordinator program pemberdayaan keluarga buruh
migran di daerah asal, program kerjasama Lakpesdam NU Cilacap dengan Yayasan Tifa dan
World bank tahun 2011 tanggal 18 Juli 2012. Di kabupaten Cilacap terdapat 15 Forum Warga
berbasis wilayah kecamatan dan 8 forum warga berbasis kelompok sektoral, yaitu petani organik,
- 22 -
berintegrasi kepada Forum Warga lain, komunitas buruh migran
menambah proses mainstreaming gerakan pro poor dalam advokasi
kebijakan publik daerah.
Pengorganisasian Forum Warga buruh migran di 3 (tiga)
kecamatan berlangsung di 30 desa, masing-masing kecamatan 10 desa.
Masing-masing Forum Warga terdiri minimal 10 anggota yang secara
intensif membangun komunikasi dengan keluarga buruh migran lain.
Fokus Forum Warga komunitas buruh migran ini adalah pertama
membangun komunikasi antarkeluarga buruh migran di tingkat lokal
(desa). Melalui proses komunikasi yang intensif ini Forum Warga
kemudian menginisiasi agenda bersama dalam rangka membangun
kapasitas komunitas dengan kelompok-kelompok lain terutama pada
prpses-proses awal bermigrasi ke luar negeri.
Kedua, mengidentifikasi persoalan-persoalan lokal (desa) yang
dihadapi buruh migran. Melalui identifikasi ini, komunitas buruh migran
diarahkan untuk melalukan analisis dan pemetaan masalah yang muncul.
Melalui proses ini komunitas buruh migran mampu secara partisipatif
memunculkan alternatif-alternatif yang bisa dipilih dalam menyelesaikan
persoalan yang dihadapi.
Ketiga, merepresentasikan dan mengawal anggota komunitas buruh
migran berinteraksi dengan institusi-institusi terkait penyelenggaraan kerja
luar negeri. Forum Warga memiliki legitimasi merepresentasikan anggota
karena secara sosial menerima mandat langsung dari anggota-anggotanya.
Bahkan Forum Warga bisa menekan terhadap institusi lain untuk berhenti
atau meneruskan proses negosiasi dalam rangka kerja luar negeri.
Keberadaan Forum Warga buruh migran mampu meningkatkan
kapasitas komunitas terutama dalam hal bernegosiasi dan membangun
kesepakatan dengan PJTKI. Kondisi ini sangat berbeda sebelum Forum
Warga dideklarasikan tahun 2011, di mana PJTKI dominan dan
menentukan proses negosiasi yang berlangsung.
2. Penguasaan Teknologi Informasi
Masalah mendasar kedua yang dihadapi buruh migran dan
keluarganya adalah kepemilikkan informasi tentang kerja luar negeri.
Umumnya mereka memperoleh informasi kerja luar negeri dari para calo
yang orientasi utamanya adalah merekrut calon buruh migran. Dengan
demikian informasi yang disampaikan berpotensi besar bias dan relatif
tidak disampaikan secara proporsional yang memungkinkan calon buruh
migran melakukan pertimbbangan-pertimbangan secara rasional.
Penyampaian informasi dari para calo ini menjadi referensi utama
calon buruh migran karena mereka tidak memiliki alternatif lain. Sumber
informasi lain seperti media massa, pengumuman dari pemerintah
(Dinsosnakertrans), atau media online tidak bisa diakses sewaktu-waktu.
Persoalannya adalah calo buruh migran tidak memiliki infrastruktur yang
pedagang kecil keliling, nelayan, pedagang pasar, peternak ikan tawar, pedagang asongan kereta
api, petani karet, dan nelayan budidaya Kampung Laut.
- 23 -
mendukung dalam rangka memperoleh informasi dari sumber lain yang
lebih berkualitas. Selain itu, penguasaan pengetahuan dan teknik informasi
di kalangan buruh migran relatif rendah. Akibatnya akses informasi yang
sesungguhnya bisa dilakukan lagsung belum menjadi tradisi sebagai
referensi kerja luar negeri. Dalam konteks inilah, informasi yang datang
dari para calo sangat sentral dalam penyelenggaraan kerja luar negeri di
Cilacap.
Terkait dengan kondisi ini, Lakpesdam NU Cilacap bersama
komunitas yang terorganisasi dalam bentuk Forum Warga meningkatkan
kapasitas buruh migran melalui teknologi informasi. Melalui teknologi
informasi, akses informasi yang sebelumnya tersentral pada para calo
tergeser media yang diupayakan partisipatif dan mandiri oleh komunitas.
Penguasaan informasi ini berdampak langsung terhadap posisi tawar buruh
migran dan keluarganya terhadap pihak-pihak terkait terutama calo dan
PJTKI.
Persoalan kemudian adalah bagaimana komunitas buruh migran
menguasai teknologi informasi yang relatif masih asing dan tidak populer.
Selain itu, tingkat pendidikan yang relatif rendah memungkinkan bahwa
pengetahuan tentang teknologi informasi serta bagaimana
memfungsikannya sebagai media komunikasi menyeluruh belum dimiliki.
Dengan demikian, teknologi informasi selain menjadi alternatif sumber
informasi juga memunculkan persoalan baru, yaitu kemampuan teknis
mengoperasionalkan alat dan kemampuan mengisi content sebagai bagian
dari manajemen informasi.
Dua masalah komunitas itu kemudian diintervensi dengan dua
program yaitu pelatihan komputer dan internet serta pelatihan menulis dan
membuat pusat informasi. Pelatihan komputer dan internet diarahkan
untuk mengenalkan teknologi informasi kepada komunitas buruh migran
daerah dari sisi fungsi. Dengan melihat fungsi teknologi informasi,
komunitas buruh migran memahami tentang keberadan teknologi yang
bisa digunakan untuk membantu pemenuhan kepentingan-kepentingannya
dalam rangka penyelenggaraan kerja luar negeri.
Teknologi informasi secara mendasar diarahkan untuk mengurai
persoalan mendasar yang dihadapi buruh migran terkait informasi kerja
luar negeri. Teknologi informasi dikenalkan dengan berbagai fitur
(fasilitas) yang terkait seperti mesin pencari (search machine), web, blog,
email, social media, dll. Fasilitas-fasilitas tersebut bisa dimanfaatkan untuk
membantu buruh migran mengurai persoalan informasi.
Fasilitas-fasilitas teknologi informasi bisa dimanfaatkan apabila
seseorang meguasai perangkat keras teknologi informasi berupa komputer
dan sejenisnya. Perangkat keras ini dalam konteks buruh migran relatif
belum populer. Hal ini karena terdapat beberapa asumsi yang kurang tepat
bahwa komputer adalah alat tulis elektronik yang manfaatnya hanya bisa
dimaksimalkan oleh mereka yang bekerja pada sektor-sektor tertentu.
Buruh migran menganggap komputer tidak memiliki keterkaitan secara
langsung dengan pekerjaan utamanya.
- 24 -
Pengusaan teknologi informasi bagi komunitas buruh migran
dikenalkan pada tahap pertama melalui penyampaian informasi secara utuh
tentang fungsi dan perangkat keras. Dari pemahaman ini buruh migran
memiliki kesadaran baru tentang keberadaan teknologi informasi yang bisa
dimanfaatkan untuk mendukung pencapaian kepentingannya. Selain itu
kesan bahwa teknologi informasi hanya terkait dengan pekerjaan tulis
elektronik dan memiliki tingkat kesulitan tinggi terklarifikasi secara
proporsional. Artinya buruh migran memahami pentingnya komputer bagi
komunitasnya yang sebelumnya menganggapnya sebagai teknologi yang
eksklusif bagi kelompok tertentu. Melalui pemahaman ini komunitas
buruh migran memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar teknologi
informasi sebagai bagian dari penguatan kapasitas komunitas dalam
penyelenggaraan kerja luar negeri.
Beberapa pelatihan pengenalan teknologi informasi yang dilakukan
adalah MS Word, Exel, membuat email, blog, social media (Facebook dan
Twitter), chatting, video conference, dan information searching. Materi-
materi pelatihan ini disesuaikan kebutuhan buruh migran dalam konteks
penyelenggaraan kerja luar negeri yaitu akses informasi yang menyeluruh
dan valid.
Penguasaan teknologi informasi akan memiliki fungsi yang kurang
optimal dalam rangka peningkatan kapasitas komunitas apabila tidak
diikuti kemampuan mengisi content. Terkait dengan situasi ini,
Lakpesdam NU Cilacap bersama komunitas buruh migran
menindaklanjutinya dengan pelatihan menulis di media. Karakteristik
menulis di media, terutama media online berbeda dengan menulis pada
umumnya. Hal ini karena menulis di media di baca bukan hanya oleh
dirinya tetapi juga masyarakat umum lainnya. Oleh karena itu terdapat
beberapa teknik dan kode etik yang harus diikuti dan menjadi pedoman
penulis sebelum tulisannya terpublikasi di media.
Pelatihan menulis bagi komunitas buruh migran mengambil materi-
materi sederhana, yaitu bahasa tulis, mendokumentasi pengalaman,
manajemen isu dan informasi, menyebarluaskan gagasan, dan jurnalisme
warga (citizen journalism).
3. Pengembangan Ekonomi Produktif
Kecederungan komunitas buruh migran berperilaku konsumtif
relatif tinggi. Hal ini dapat terlihat dari prosentase yang tinggi bagi
seorang buruh migran kembali bermigrasi keluar negeri setelah migrasi
yang pertama. banyak terdapat faktor yang mempengaruhi keputusan
bermigrasi untuk kedua dan seterusnya. Salah satu yang dominan adalah
hasil-hasil bekerja sebagai buruh migran belum dikelola secara produktif.27
27 Secara umum motivasi seseorag menjadi buruh migran adalah ekonomi. Kemiskinan,
terbelit hutang, beban keluarga yang berat, atau tidak ada pekerjaan yang layak merupakan alasan
yang hampir mendominasi argumentasi menjadi buruh migran. Situasi kemiskinan yang relatif
telah dialami dalam waktu yang cukup lama membentuk karakter poor society yang serba
subordinat. Pada saat situasi subordinat terurai, karakter poor society tidak langsung
- 25 -
Konsumtifisme secara khusus menunjuk pada pengertian keinginan
seseorang untuk mengkonsumsi suatu barang atau produk secara
berlebihan atau tidak didasarkan pada kebutuhan mendasar. Dengan
perkataan lain konsumtif diartikan sebagai suatu tindakan menggunakan
produk dengan tidak tuntas. Artinya belum habis suatu produk digunakan,
seseorang membeli produk yang sama dengan merek yang berbeda, atau
membeli barang karena tertarik hadiahnya, atau membeli produk karena
banyak orang yang menggunakannya.28
Watak dasar manusia adalah ingin berkuasa. Linier dengan
konsumtifisme yang menganggap bahwa membeli dan memiliki suatu
produk berarti menguasai dan mengontrol objek tersebut.29 Melalui proses
pengontrol atas objek inilah seseorang kemudian mengembangkan potensi
kekuasaannya terhadap orang lain yang dari sisi kepemilikkan lebih
rendah. Artinya melalui penguasaan terhadap objek tertentu seseorang
bermaksud melakukan kontrol atau penguasaan yang sama terhadap orang
lain.
Pola inilah yang berlaku pada komunitas buruh migran di Kab.
Cilacap. Komunitas memiliki motivasi besar untuk segera keluar dari
persoalan-persoalan klasik tentang kemiskinan. Pada saat kesempatan
keluar dari kemiskinan muncul, maka perilaku konsumtif menjadi pilihan
sebagai lompatan dari status kemiskinan dan keterbelakangan lainnya.
Perilaku yang cenderung emosional dan sporadis ini berakibat pada
rendahnya produktivitas komunitas. Komunitas akan kembali pada situasi
awal (kemiskinan) yang apabila dilihat dari psikologis justeru memberi
beban yang lebih besar. Hal ini karena komunitas buruh migran sempat
merasakan kehidupan material dalam perilaku-perilaku konsumtif.
Alternatif terakhir atas situasi ini adalah bermigrasi kembali ke luar negeri.
Siklus ini terus berputar selama komunitas belum mengembangkan
kegiatan-kegiatan produktif atas hasil kerja sebagai buruh migran.
Situasi ini kemudian menjadi basis bagi proses pemberdayaan
buruh migran di Cilacap. Transformasi dari perilaku konsumtif ke
produktif. Dalam konteks ini, terdapat dua hal utama yaitu manajemen
hasil dan perubahan pola pikir (mind set).
bertransformasi pada bentuk baru, tetapi justeru mengalami apa yang disebut keterkejutan budaya.
Dalam kondisi ini, perilaku yang muncul umumnya mendasarkan pada imaginasi yang biasa
muncul pada poor society seperti kelimpahan material, kebahagiaan hedonistik, dll. Weisband,
Edward, (ed), Poverty Amidst Plenty, (London : Westview Press, 1989), hlm. 70-71. 28 Sumartono, Terperangkap dalam Iklan, Meneropong Imbas Iklan Televisi, (Bandung:
Alfabeta, 2002), hlm. 25. 29 Objek dimuati makna-makna yang digunakan untuk mengkomunikasikan atau menandai
kekuasaan tertentu. Konsumsi menjdi fenomena yang bukan hanya bermakna menghabiskan nilai
guna tetapi juga untuk mengkomunikasikan makna-makan tertetu misalnya status sosial atau
kekayaan. Pertanyaan apakah betul objek tersebut terkontrol oleh pemiliknya? Baudrillard
berpandangan kekuasaan dan daya kontrol bersifat semu yang disebabakan perubahan radikal pada
relasi konsumsi dalam masyarakat konsumer itu sendiri. Sebaliknya, manusia pemiliklah yang
terkontrol oleh objek-objeknya. Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 250-251.
- 26 -
Manajemen hasil diarahkan untuk memanfaatkan hasil-hasil
bermigrasi berupa kiriman uang dari luar negeri yang selama ini lebih
diperuntukkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi. Manajemen
pengelolaan hasil mengalami beberapa hambatan, yaitu pertama, keluarga
buruh migran umumnya tidak memiliki penghasilan lain yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi. Suami yang ditinggal isteri bermigrasi ke
luar negeri umumnya menggantikan perannya di sektor domestik.
Kegiatan ini praktis menghabiskan menghilangkan kesempatan untuk
bekerja di luar rumah yang bisa memberikan penghasilan lain selain dari
migrasi isterinya.
Kondisi ini umum terjadi mengingat motivasi umum migrasi keluar
negeri yang dilakukan oleh kelompok perempuan adalah persoalan
ekonomi. Pada masyarakat yang bertradisi patriarkhi, peran suami sebagai
pencari nafkah sangat besar. Isteri akan berpartisipasi pada pemenuhan
nafkah material apabila suami dianggap tidak mampu memenuhi
kebutuhan. Dengan berpartisipasinya isteri pada pemenuhan nafkah
ekonomi, maka suami berganti peran dengan isteri untuk melaksanakan
tugas-tugas domestik seperti mengurus rumah dan anak-anak.
Kedua, hambatan yang juga dihadapi komunitas buruh migran di
daerah asal adalah tidak memiliki wahana usaha yang dikelola secara
produktif. Kondisi ini terjadi karena komunitas belum terorganisasi dan
antaranggota komunitas terjadi persaingan yang terselubung. Kegiatan
produktif umumnya berasis pada lahan dengan mengelola sawah atau
ladang yang dari sisi manajemen bersifat subsisten.30
Atas situasi ini, pemberdayaan komunitas buruh migran diarahkan
untuk mengembangkan model ekonomi produktif. Infrastruktur yang
relatif minim, baik dari sisi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
dan praktik ekonomi menjadikan proses pemberdayaan ini dilakukan dari
hulu. Langkah pertama yang dilakukan adalah proses penyadaran dan
transfer pengetahuan untuk mengenal dan memahami pentingnya kegiatan
ekonoi produktif yang mandiri. Kegiatan ini dilakukan melalui diskusi-
diskusi komunitas di tingkat kampung, inetraksi dengan beberapa
stakeholdres seperti dinas koperasi Pemda Cilacap, lembaga keuangan
mikro dan BMT, dan fasilitasi Corporate Social Responsibility (CSR).
Tahap kedua pemberdayaan ekonomi adalah penguatan kapasitas
keterampilan berwirausaha. Kegiatan ini lebih pada penguatan karakter
dan mental wirausaha yang umumnya komunitas belum memiliki
kepercayaan untuk berusaha secara mandiri. Kekhawatiran tidak sukses,
bangkrut, atau tidak berkembang merupakan hal yang menjadi alasan
30 Ekonomi subsisten lebih berproyeksi peenuhan kebutuhan konsumsi harian. pengelolaan
ekonomi subsisten tidak mengembangkan dalam bentuk ekonomi jangka panjang melalui investasi
atau tabungan. Hasil yang diperoleh dalam satu haru kemudian dikonsumsi habis dalam satu hari
pula. Masalah subsistensi ekonomi ini sesunggunya tidak terletak pada manajemen usaha, tetapi
lebih pada rendahnya penghasilan. Artinya ketiadaan konsek ekonomi jangka panjang pada pelaku
ekonomi subsisten lebih disebabkan karena penghasilan kerja hanya cukup atau bahkan kurang
dari kategori layak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian. Heru Nugroho, Negara, Pasar,
dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 50-53.
- 27 -
utama komunitas tidak mengambil sikap berwiraswasta. Kegiatan
penguatan skill berwirausaha ditekankan pada 3 (tiga) hal utama, yaitu
menemukan peluang usaha, manajemen keuangan, dan pengembangan
usaha.
Menemukan peluang menjadi hal utama pada saat seseorang akan
memulai usaha. Oleh karena itu, kegiatan penguatan keterampila usaha
dimulai dengan pencarian peluang yang secara metodologis dilakukan
dengan Focus Group Discussion (FGD). Metode FGD diperkenalkan
kepada komunitas sebagai cara menemukan sekaligus melakukan
assesment terhadap peluang-peluang yang ditemukan di lingkungan lokal.
Maajemen keuangan ditekankan untuk merubah tradisi kegiatan
usaha di masyarakat umum. Biasanya, keuangan pada praktik ekonomi
masyarakat tidak dilakukan secara terpisah dengan keuangan keluarga.
Akibatnya kegiatan usaha yang dilakukan sulit dievaluasi dari sisi
perkembangannya. Manajemen keuangan disampaikan dalam prinsip-
prinsip modern seperti pencatatan dalam buku terpisah, total investasi, dan
transaksi harian.
Penguatan skill yang ketiga adalah pengembangan usaha.
Pemahaman saat ini umumnya bertumpu pada modal. Semakin banyak
modal yang diinvestasikan maka usaha dapat dikembangkan dengan cepat.
Pemahaman itu yang kemudian diperkaya bahwa modal bukan satu-
satunya alat mengembangkan usaha. Faktor lain yang penting adalah
jaringan kerja. Dari sinilah kemudian masuk pemberdayaan lain dalam
bentuk teknologi informasi, pengorganisasian komunitas buruh migran,
dan pusat informasi komunitas.
C. Peran Agama dalam Pemberdayaan Buruh Migran
Dalam kajian sosiologi, agama lahir karena situasi-situasi khas yang
dialami manusia. Pada dasarnya semua masyarakat yang dikenal di dunia ini
bersifat religius. Sifat religius ini tidak tiba-tiba muncul tetapi menjadi pilihan
setelah manusia mengalami peristiwa di mana pengetahuan dan sistem
teknologi yang dimiliki tidak mampu menjelaskannya.31 Agama merupakan
ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan di luar diri manusia, yaitu
kekuatan yang dapat dikatakan sebagai kekuatan spiritual atau kekuatan
moral. Ekspresi ketergatungan kemudian termanifestasikan dalam bentuk
peribadatan.
Situasi-situasi khas tersebut adalah ketidakpastian, ketidakberdayaan,
dan kelangkaan.32Atas situasi yang khas ini, manusia kehilangan pegangan
31 Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 33-34. 32 Semua manusia memiliki orientasi kebahagiaan. Namun untuk mencapainya, manusia
memiliki tiga persoalan fundamental. Atas situasi yang terus-menerus berubah, manusia merasa
serba tidak pasti. Manusia tidak mampu memastikan situasi yang berubah. Atas situasi ini,
manusia tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan hal-hal yang diinginkan walaupun sudah
direncanakan secara matang dan penuh perhitungan. Rasa frstrasi karena tidak pasti dan tidak
berdaya ditambah dengan penderitaan baru yaitu kelangkaan, kemiskinan, dan penderitaan.
Masalah ini hingga kini belum terpecahkan oleh manusia dan bangsa manapun, baik manusia-
- 28 -
dan referensi yang selama ini diperankan oleh pengetahuan (rasio) dan
teknologi. Manusia kemudian mengambil hipotesis bahwa peristiwa-peristiwa
yang tidak terpecahkan oleh pengetahuan dan teknologi bisa diurai dengan
kekuatan yang melampaui batas-batas realitas. Kekuatan ini yang kemudian
disebut dengan kekuatan transendental.33 Peristiwa-peristiwa keduniawian
kemudian ditransendensikan (beyond reality) agar tidak berdampak buruk bagi
kehidupan manusia.
Dengan posisi ini, agama menjadi kekuatan sentral bagi manusia
terutama pada saat menghadapi persoalan berat yang belum terurai secara
manusiawi. Bahkan dalam beberapa masyarakat, agama menjadi orientasi
utama baik dalam hal yang bersifat keduniawian maupun keakhiratan
(eskatologis).
Dalam sejarahnya, agama pernah menjadi ideologi yang moralnya
melegitimasi setiap gerakan sosial dan politik. Hubungan gereja dengan
negara merepresentasikan upaya mengideologisasikan agama bagi kehidupan
sehari-hari. Pada saat agama menjelma menjadi ideologi, ia menjadi anti kritik
dan tidak produktif.
Kondisi ini yang kemudia memunculkan kritik dari beberapa tokoh.
Dari kalangan teoretikus klasik, Karl Mark mengkritik agama sebagai candu
yang menjadikan masyarakat tidak produktif. Karena beragama, manusia
bertindak atas dasar dan perintah kekuatan di luar dirinya. Manusia menjadi
tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kekuatan luar
tersebut.34 Tokoh posmodern muncul Friedrich Nietzsche yang mengeluarkan
pernyataan provokatif bahwa Tuhan telah mati.35 Pernyataan ini lebih sebagai
upaya Nietzsche menyadarkan masyarakatnya yang telah terbelenggu oleh
keyakinan-keyakinan ideologis dalam agama.
Keduanya melakukan kritik agama sebagai titik masuk kritik terhadap
masyarakat. Agama dijadikan titik masuk karena posisi sentralnya dalam
kehidupan manusia. Merubah pandangan masyarakat terhadap agama sama
halnya merubah konstruksi dan mind set masyarakat atas kehidupan dunia.
Semangat ideologis agama dirubah menjadi spiritualitas untuk kehidupan
dunia yang lebih produktif.
Dalam koteks kritik agama inilah konsepsi pemberdayaan masyarakat
berbasis agama diformulakan. Agama memiliki nilia-nilai spiritualitas yang
tidak mengenal batas. Artinya agama memiliki semangat progresif untuk
melakukan perubahan dan perbaikan atas kualitas hidup manusia yang tidak
berujung. Konsepsi ini paralel dengan sejarah kemunculan agama yang secara
sosiologis hadir membantu manusia saat mengalami keterputusan rasio dan
bangsa modern maupun yang terbelakang. D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Cet. 20,
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 30-31. 33 The assertion of “what must be the case” on the presupposition that we do have
knowledge the world. Thus Kant claimed to have established the concept and principles that
organize all our experience and are logically prior to this experience. David Jary and Julia Jary,
Collins Dictionary of Sociology, (Glasgow: harper Collins Publisher, 1991), hlm. 667. 34 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerjemah MZ Lawang,
(Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 140-141. 35 St. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 22-23.
- 29 -
teknoogi atas situasi-situasi kemanusiaan. Agama secara kreatif menawarkan
solusi atas kemandegan itu melalui transendensi.
Dengan demikian, transendensi dimaknai bukan mengeluarkan atau
menjauhkan manusia dari kehidupan realitas, tetapi merupakan cara berpikir
kreatif yang tidak mau dibatasi oleh sekat-sekat ideologi dan metode tertentu.
Transendensi mengatasi sekat-sekat tersebut melalui cara jalan lain (other
way), sebuah cara berpikir kreatif dan alternatif pada saat logika dan perangkat
berpikir rasional terhambat.
Dalam konteks pemberdayaan buruh migran, secara umum mereka
merupakan masyarakat religius dalam arti pelaku ibadah yang taat. Namun
secara substansi, pemahaman keagamaan yang dimiliki relatif bersifat
dogmatis. Agama dipahami sebagai instrumen ilahiyah yang akan membantu
manusia dalam kehidupan eskatologis. Karena pemahaman ini, sikap dan
perilakunya seringkali bersifat naif dan tidak kreatif. Walaupun demikian,
internalisasi agama sebagai kekuatan sentral merupakan modal yang kuat
untuk diarahkan menjadi kekuatan-keuatan positif yang menggerakkan
perubahan pada diri komunitas.
Dalam Islam, secara teologis memiliki ajaran terkait dengan
kemiskinan. Terdapat lebih dari 70 ayat Al-Qur’an yang membicarakan orang
miskin dan kaya. Dari sekian ayat yang ada, tidak satupun yang menganjurkan
orang Islam menjadi miskin. Demikian juga tidak ada satupun ayat yang
memuji muslim miskin lebih baik dari pada muslim kaya.
Prinsip-prinsip progresif Islam inilah yang menjadi basis bagi
pemberdayaan buruh migran perempuan di Kabupaten Cilacap. Cara berpikir
fatalis dalam bidang ekonomi dirubah dengan pendekatan pengetahuan Islam
progresif. Fatalisme komunitas buruh migran merupakan akibat langsung dari
model pemahaman agama yang dogmatis. Pada model ini, terdapat dikotomi
yang jelas antara kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan dunia dianggap
sesaat dan penuh dengan tipu daya. Sementara kehidupan sejati adalah akhirat
yang baru ditempuh manusia setelah mati atau meninggalkan dunia. Bekal
kehidupan akhirat adalah hal-hal yang bersifat non material, bertolak belakang
dengan kehidupan dunia yang serba materi.
Melalui proses penyadaran ini, buruh migran yang umumnya bercorak
religius memiliki konstruksi baru tentang agama yang secara tidak langsung
mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kehidupan dunia. Implikasi
yang lebih nyata adalah komunitas buruh migran tidak berpikir naif atas
kondisi sosial yang dihadapinya. Persoalan yang muncul dalam
penyelenggaraan kerja luar negeri yang seringkali menempatkan mereka pada
posisi yang tidak menguntungkan mulai dianalisis secara proporsional.
Dengan perkembangan ini, posisi buruh migran terhadap pihak-pihak
terkait bergeser dari posisi subordinat menjadi relatif seimbang. Buru migran
tidak lagi menerima situasi yang terjadi sebagai bagian dari nasib atau takdir
hidup, tetapi sudah mulai berpikir kritis bahwa ketidakadilan atau
ketimpangan terjadi karena sikap dan kebijakan yang tidak berpihak. Cara
berpikir ini semakin massif dengan transformasi nilai-nilai agama sebagai
kekuatan kreatif yang dinamis dan terus-menerus mencari alternatif atas
- 31 -
BAB IV
KESIMPULAN
Kebutuhan ekonomi yang umumnya menjadi motif utama seseorang
bermigrasi ke luar negeri beberapa hal menjadi titik lemah calon buruh
migran. Mereka relatif tidak memiliki daya tawar yang cukup terhadap pihak-
pihak lain. Hal ini ditambah dengan kapasitas dan pengalaman kerja yang juga
minim. Implikasinya seringkali dalam proses-proses pengurusan migrasi
komunitas buruh migran menjadi pihak yang dirugikan. Pembiayaan proses
dan pemberangkatan menjadi ruang negosiasi yang tidak berimbang antara
buruh migran dengan pihak-pihak tertentu terutama PJTKI dan agen.
Mekanisme potong gaji yang ditentukan dominatif oleh PJTKI menjadikan
detile-detile pembiayaan tidak jelas.
Beberapa alternatif yang dirancang sebagai bentuk pemberdayaan
buruh migran adalah pengorganisasian komunitas, pendidikan berbasis
teknologi informasi, dan advokasi kebijakan publik. Proses pemberdayaan
dengan tiga pendekatan ini tidak mudah mengingat maindset buruh migran
yang relatif masih naif dan beberapa kelompok cenderung fatalis. Sikap-sikap
sosial ini tidak lepas dari model keberagamaan tradisional yang diperoleh
melalui pengajaran dogmatis.
Oleh karena itu, strategi awal melakukan pemberdayaan buruh migran
adalah merubah maindset naif-fatalis pada bentuk-bentuk berpikir yang kritis
dan emansipatoris. Dua titik ektrem ini memiliki kesamaan, yaitu pada basis
spiritual atau semangat keagamaan. Pada titik tradisional-konvensional, spirit
keagamaannya adalah totalitas atau kepasrahan yang bulat terhadap pencipta.
Segala sesuatu yang terjadi dan menjadi kenyataan adalah kehendak Tuhan.
Manusia menjalaninya secara ikhlas dan sabar dengan berharap memperoleh
kebaikan pada kehidupan yang sesungguhnya (akhirat).
Pada titik kritis-emansipatoris, spirit keagamaannya berada pada
progresivitas melakukan perubahan menuju perbaikan kehidupan. Prinsip-
prinsip teologis menunjuk pada kualitas hidup dan keseimbangan antara dunia
dan akhirat. Partisipasi dan anti eksploitasi merupakan indikator spirit
keagamaan kritis-emansipatoris. Agama atau lebih tepatnya ritual dari
posisinya sebagai orientasi umum bertransformasi menjadi instrumen atau alat
bagi seseorang mencapai kebahagiaan sejati.
Formulasi pemberdayaan buruh migran berbasis prinsip-prinsip
keagamaan dibangun dengan eksplorasi dan tafsir ulang atas teks-teks
keagamaan. Proses ini menyediakan perangkat pegetahuan kepada komunitas
tentang substansi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan manusia. Dengan
menempatkan agama sebagai pengetahuan, pembaca yang dalam hal ini
komunitas buruh migran mengetahui bahwa orientasi pengetahuan apapun
termasuk agama adalah menciptakan kemaslahatan. Penindasan atau dominasi
merupakan bentuk-bentuk patologis dari orientasi pengetahuan, terlebih
pengetahuan agama.
- 32 -
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin. Birokrasi, Cet. 3. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004.
Anderson, James dalam Subarsono, AG. Analisis Kebijakan Publik, Konsep,
Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Dye, Thomas R. Undestanding Public Policy. New Jesrey: Prentice-Hall. 1981.
Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:
Insist. 2003.
Friedmann, J. Empowerment: The Politics of Alternative Development.
Cambridge: Balckwell. 1992.
Hamilton, Malcolm. Sociology of Religion,Teoretical dan Comparative
Perspectives. Second Edition. London and New York: Routledge. 2001.
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Cet ke. 20. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
Jary, David and Jari, Julia. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: harper
Collins Publisher. 1991.
Johnson, Doyle Paul. Teori sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.
1988.
Kartasasmita, Ginandjar. Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan
dan Pemerataan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. 1996.
Kompas, 14 Juli 2011.
Laporan penelitian Local Budget Index (LBI) Lakpesdam dan Fitra Indonesia
tahun 2009 dan 2010.
Meleong, Lexy J. Metode Penelitia Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. 1989.
Miler, MB dan Huberman, AM. Qualitative Data Analysis; A Sourcebook of New
Methods. Beverly Hills: Sage. 1992.
Modul Advokasi Anggaran Pro Rakyat Miskin Berbasis Ormas Islam, Jakarta:
Seknas Fitra, 2007.
Mubyarto. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1998.
Nugroho, Heru. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2001.
Pikiran Rakyat, 18 Desember 2011.
Piliang, Yasraf Amir. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan. 1998.
Pranarka, A. M. W dan Moeljarto, Vidhandika. “ Pemberdayaan
(Empowerment)”, dalam Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka.
Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta: CSIS,
1996.
Rancangan Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Cilacap Tahun 2013.
Ruppert, Max. Marxism and Critical Theory. New York: Oxford university. 2007.
Scharf, Betty R. Sosiologi Agama. Jakarta: Kencana. 2004.
Siahaan, Hotman. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga. 1986.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo. 2002.
Suharto, Edi, Human Development Strategy: The Quest for Paradigmatic and
Pragmatic Intervention for the Urban Informal Sector in Bandung, The
- 33 -
Poverty Issue, New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2 (December,
2002)
Sumartono. Terperangkap dalam Iklan, Meneropong Imbas Iklan Televisi.
Bandung: Alfabeta. 2002.
Sumodiningrat, Gunawan. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman
Sosial. Jakarta: Gramedia. 1999.
Sunardi, St. Nietszche. Yogyakarta: LkiS. 2001.
Taylor, SJ dan Bogdan, R. Introduction to Qualitative Research Methods, The
Search Meanings. Second Edition. Toronto: John Miley and Sons. 1984.
Turner, Jonathan H. dan Maryanski, Alexandra. Fungsionalisme. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010.
Weisband, Edward. (ed). Poverty Amidst Plenty. London : Westview Press. 1989.