pemberdayaan hukum

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    1/16

    CELAH - CELAH PEMBERDAYAAN HUKUM. .DALAM MASYARAKAT

    (Analisa Teoritis Hukum dan Masyarakat)Oleh : Eddy Sismarwoto

    ABSTRAKSIJarak antara perspektif teoritis mengenai hukum dan masyarakat

    dengan masyarakat merupakan celah-celah. yang harus dijembatani dalampemberdayaan hukum.

    Pemberdayaan hukum merupakan upaya memaksimalkan fungsi-fungsi hukum menjadi tertib hukum dalam hukum masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut "mengejawantah" didalam masyarakat melalui lembagadan pranata hukum, dimana lembaga dan pranata tersebut mempunyaikekuatan memaksa melalui kekuasaan.

    Dengan menjembatanai antara perspektif hukum dan perspektifpenguasa dan masyarakat, maka hukum akan menjadi responsif terhadapperubahan masyarakat. Dalam sifat responsif hukum tidak berartikehilangan sifat normatifnya, akan tetapi bentuk prosedural dari hukumdigunakan untuk mencari atau mendapatkan kebenaran atau keadilansubstansif yang merespon perubahan masyarakat.Kata kunci: Pemherdayaan HukumA. PENDAHULUAN

    Pendapat Montesquieu (1689-1755) dalam bukunya Spirit of Law(1886) yang menyaikan suatu konsepsi mengenai hukum, yaitu bahwahukum sebagai suatu bagian integral dari kebudayaan masyarakat,membuka wacana studi tentang hukum. Dia memandang bahwa hukummerupakan hasil dari beberapa faktor dalam masyarakat, seperti misalnya,adat istiadat, lingkungan fisik, dan perkembangan masa lampau, sehinggahukum hanya dapat dimengerti didalam kerangkakehidupan masyarakatdimana hukum itu berkembang. Wacana yang dapat kita catat disini ialah96 Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    2/16

    bahwa hukum berada dalam suatu, konteks sosial, oleh karenanya studihukum tidak terpisah dari konteksnya.

    Wacana diatas berbeda dengan pendapat Hamaken, Eugen, MaxWeber yang menganggap bahwa hukum adalah gejalaJpetunjuk/fenomenaadanya kehidupan masyarakat. Menurut pendapat mereka yang menganutaliran sosiologis, hukum bukan norma, akan tetapi kebiasaan, atauperilaku-perilaku yang mempola. Sedangkan masyarakat itu sendiriadalah variabel penyebab, atau dengan kat a lain hukum merupakan hasilpertentangan atau perimbangan sosial yang terdapat dalam suatumasyarakat setempat.

    Kedua pendapat diatas mewakili perbedaan antara studi hukumdan masyarakat dengan sosiologi hukum, bahwa studi hukum danmasyarakat merupakan studi hukum dalam konteks masyarakat,sedangkan studi sosiologi hukum mempelajari hukum sebagai perilakumasyarakat. Lebih jelas lagi bahwa studi hukum dan masyarakat akanmempelajari mengenai konsep-konsep pemikiran perspektif mengenaihukum dalam masyarakat, sementara sosiologi hukum menitikberatkanpada studi mengenai perilaku, kebiasaan-kebiasaan sebagai hukum yangada dalam masyarakat.

    Pendekatan studi hukum dan masyarakat akan digunakan dalammakalah ini untuk membahas mengenai pemberdayaan hukum dalammasyarakat, meskipun pada akhirnya untuk melihat karakteristik suatumasyarakat akan melihat teori-teori sosiologi hukum.

    Pendekatan ini akan melihat masyarakat berhadapandenganhukum sebagai lembaga dan pranata hukum. Di sini terdapatpermasalahan-permasalahan mengenai penegakan hukum dalammasyarakat. Salah satu permasalahan yang akan diangkat dalam makalahini adalah prespektif antara penguasa dan masyarakat mengenai hukumyang signifikan dengan pemberdayaan hukum dalam masyarakat.

    Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004 97

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    3/16

    B. PERMASALAHANPermasalahan yang akan dikemukakan dalam makalah ini i~tah

    bagaimana secara analisa teoritis diperlukan singkronisasi perspektif"penguasa" dan "masyarakat" terhadap hukum. Atau dengan kata lainkarena penguasa yang juga dikatakan oleh John Austin sebagai politicalsuperior perlu mengubah perspektifnya ke dalam perspektif rakyatbanyak, yang oleh John Austin disebut. sebagai political imperior.

    Perlu ditekankan disini bahwa pembahasan permasalahan diatasbukan merupakan hasil penelitian, melainkan semata-mata analisis teoritisdengan pendekatan hukum dan masyarakat.C. PEMBERDAYAAN HUKUM DALAM MASYARAKAT

    Pembicaraan mengenai pemberdayaan hukum dapat ditarik secaralogis keatas ke dalam pembicaraan mengenai lembaga dan pranata hukumdalam konteks negara hukum dan pembicaraan mengenai masyarakatberubah. Dalam pembicaraan tersebut akan dipahami harus adanyaperubahan prespektif dalam pemberdayaan hukum.1. Hukum dan Masyarakat Berubah

    Konstitusi Indonesia, UUD 1945 mengkonstruksikan fungsiprimer negara hukum Indonesia ke dalam tiga fungsi pokok, yaitu : fungsiperlindungan, fungsi keadilan, dan fungsi kesejahteraan. Tiga fungsipokok tersebut tidak akan dapat terlaksana tanpa diwujudkan kedalamlembaga pranata hukum, sebagai jembatan untuk mencapai tujuan tigafungsi primer diatas.

    Perwujudan ketiga fungsi tersebut dalam sistem hukummensyaratkan adanya dua aspek hukum agar dapat mencapai tujuannya.Dua aspek tersebut adalah aspek hukum sebagai pranata dam aspekhukum sebagai lembaga. Pranata hukum dalamsuatu sistem hukummerupakan bagian isi yang menentukan karakterlsifat hukum di dalammasyarakat dimana hukum itu berlaku. Sedangkan lembaga hukummerupakan bagian wadah dari suatu sistem hukum yang menjadikan

    98 Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    4/16

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    5/16

    Dalam kerangka pemberdayaan diatas beberapa variabel yangmenu rut Nonet dan Selznick berubah-ubah menurut konteksnya, antaralain:a. Peranan paksaan dalam hukum.b. Hubungan antara hukum dengan politik.c. Hubungan antara hukum dengan negara.d. Hubungan antara hukum dengan tatanan moral.e. Tempat aturan-aturandiskresi dan tuuan dalam keputusan-keputusan

    hukum, partisipasi warga negara, legitimasi hukum dan kondisi-kondisi kepatutan dalam hukum.Kelima variabel diatas berubah menu rut konteksnya. Dengan

    meminjam teori sosiologis dari Lawrence Rosen, dapat digambarkanadanya tiga aspek penggunaan hukum di dalam masyarakat yanngmenggambarkan adanya konteks hukum dalam masyarakat, yaitu : (1)Hukum sebagai pencerminan dari konsepsi-konsepsi yang berbeda-bedamengenai ketertiban masyarakat dan kesej ahteraan sosial yangberhubungan dengan pemyataan dan perlindungan kepentingan.~masyarakat. (2) Hukum dalam fungsinya sebagai sistem yang otonom. (3)Hukum sebagai sarana untuk mendorong perubahan-perubahan sosial danpembangunan. Tiga aspek .diatas memberi gambaran bahwa hukum hidupdalam "konteks" "konsepsi-konsepsi" mengenai ketertiban dankeseahteraan masyarakat. Konteks "konsepsi-konsepsi" ini selaluberubah-ubah tergantung sistem sosial yang berkembang, oleh karenanyamenentukan peranan paksaan dalam hukum. Apabila sistem sosial padasuatu saat mengarah pada peranan penguasa lebih besar dari perananmasyarakat, maka hukum berfungsi untuk mempertahankan status quo(sistem hukum represif). Konsepsi-konsepsi hukumnya menyesuaikan diriuntuk memberikan pembenaran pada tindakan penguasa. "Paksaan-paksaan" dalam hukum berfungsi untuk menjaga stabilitas nasional,bukan untuk kesejahteraan masyarakat.

    Perubahan-perubahan itu juga teradi pada variabel-variabel lain.Pada variabel hubungan hukum dengan politik misalnya dapat dianalisa

    100 Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    6/16

    bahwa hukum pada suatu sistem masyarakat yang demikian sangatdipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik. Konsepsi masyarakatmengenai hukum dibentukldibangun untuk kepentingan-kepentinganpolitik. Dalam konteks yang demikian hukum menjadi alat politik.

    Konsepsi yang berbeda-beda dari masyarakat diwujudkan dalamhukum sebagai suatu penyelesaianlkesepakatan terhadap perbedaanpandangan. Dalam situasi seperti ini politik memegang peranan dalammempertahankan kepentingan-kepentingannya dari kepentingan pihaklain. Politik memegang posisi tawar untuk menentukan hukum apa yangberlaku, oleh karena itu hukum merupakan produk dari kesepakatanpolitik. Superior politik memegang peranan mengendalikan hukum untukkepentingan-kepentingannya. Oleh karena itu hubungan hukum dapatdigambarkan sebagai hubungan ketergantungan terhadap kekuasaan yangada, bukan signifikasi atau bahkan supremasi hukum.

    Hubungan diatas bisa berubah yaitu apabila konteksnya konsepsi-konsepsi masyarakat mengenai hukum berubah. Dari aspek ini yaituhukum sebagai suatu pencerminan konsepsi masyarakat, hubungan antarahukum dengan politik dapat dilihat adanya peranan politik sebagai faktorpenentu dari perubahan hukum. Apabila dimuka tadi sudah digambarkansuatu keadaan masyarakat yang konsepsi hukumnya mernihak kepadapenguasa, sekarang kita coba melihat adanya perubahan konsepsi yangbergeser kearah rakyatlmasyarakat banyak. Perubahan konsepsi hukumtidak mungkin terjadi tanpa adanya perubahan politik, karena yangmemegang kemauan perubahan adalah politik, Sedangkan perubahansistem politik tidak bisa dikatakan perubahan apabila tidak terjadiperubahan kuitur masyarakat dalam bemegara. Dengan demikianhubungan hukum dengan negara, negara dan moral, juga berada dalamkonteks perubahan, karen a kultur masyarakat bernegara meliputi moraldan hukum ketatanegaraan.

    Perubahan politik yang bergeser dari mernihak penguasa menjadimernihak rakyat atau perimbangan antara keduanya, mensyaratkanadanya perubahan kultur bernegara. Dalam perubahan kultur bernegara

    Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004 101

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    7/16

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    8/16

    Perubahan kultur bernegara diatas dapat menjelaskan limavariabel yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick sebagai konfigurasi-konfigurasi hukum yang berubah berdasarkan konteks "sistem sosial".Ketika hukum hidup dalam konteks-konteks sosial yang berubah, makahukum juga mengalami situasi sebagaimana yang dinyatakan LawrenceRosen yaitu sebagai suatu sistem yang otonom yang dapat membatasikekuasaan yang sewenang-wenang baik dari penguasa maupun darirakyat. Hukum berada pada pihak yang mandiri yang sering disebut Ruleof law.2. Rule of law-

    Pemberdayaan hukum dari tingkat yang represif menuju ataumenjadi otonom memerlukan berbagai proses sosial) terutama untukmembangun konsep-konsep masayarakat mengenai hukum. Proses sosialtersebut bukanlah proses yang sederhana sebab meliputi berbagai aspek.Karena model hukum otonom adalah model "Rule of law" dalam bentukliberal klasik yang mensyaratkan adanya konsep yang disebutkan olehDicey sebagai Supremacy of law, equality before the law, dan theconstitution based on individual rights.

    Proses sosial untuk menciptakan Rule of law didalam masyarakatmembutuhkan proses pendidikan yang panjang untuk menyamakanpersepsi antara berbagai subyek aktif (penguasa) maupun subyek pasif(rakyat) bahwa hukum menduduki tempat yang tertinggi dalamhubungan-hubungan negara dengan warganta, maupun antara warganegara. Penyamaan perspektif tersebut bertujuan agar hukum menaditertib hukum atau order yang mengatur tata kehidupan dalam masyarakat.Dalam keadaan yang demikian itu hukum beralan secara otomatis danmenjadi jiwa dari setiap hubungan. Permasalahannya adalah bagaimanamemaksimalkan implementasi hukum menadi tertib hukum.

    Penyamaan perspektif antar subyek hukum merupakan salah satualternatif memaksimalkan hukum menjadi tertib hukum. Karena ketikahukum diimplementasikan, yang menjadi sebab timbulnya kessewenang-

    Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004 103

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    9/16

    wenangan, ketidakadilan, dan ketidakpatuhan ada1ah karena prespektifyang berbeda mengenai tujuan-tujuan hukum, keadilan dan moral ataukepatutan hukum antara penguasa dan rakyatlmasyarakat. Hukum menadirepresif ketika tertib hukum penguasa dipaksakan berlakunya padamasyarakat. Paksaan hukum itu timbul apabila prespektif penguasamengenai hukum menganggap hukum sebagai alat untukmempertahankan kekuasaan (status quo). Hukum digunakan sebagai a1atuntuk menjaga stabilitas keamanan. Ketidakpatuhan atau penyimpanganterhadap hukum dianggap sebagai kejahatan. Doktrin inkonstitusionaldigunakan sebagai alat penekan kekuatan politik, bukan lagi sebagaikoreksi moral. Prespektif penguasa yang demikian menimbu1kan reaksiuntuk merubah prespektif kekuasaan menjadi kemandirian hukum.Prespektif kemandirian hukum menimbulkan hukum yang otonom ayangmembatasi kesewenang-wenangan. Hukum melepaskan diri dari pengaruhpolitik dan pengaruh kekuatan lain diluar hukum.

    Pada tahap inilah lahir apa yang dikatakan Nonet dan Selznicksebagai Rule of law da1am bentuk liberal klasik, atau hukum yangotonom. Hukum melepaskan diri dari orde-orde kekuasaan, danmensyaratkan adanya konsep Supremacy of law, equality before the lawdan constitution based on individual rights. Dalam perkembangan hukummodern, konsep tersebut berkembang menjadi konsep yang responsifterhadap tujuan-tujuan hukum, keadilan dan moral.

    Prespektif mengenai supremacy of law yang pada mulanya adalahsernata-mata untuk kemandirian hukum atau otonomi hukum dimanahukum tidak lagi memperhatikan isu-isu politik dan orde-orde kekuasaan,berkembang menjadi terbuka terhadap perubahan-perubahan masyarakat.Kebenaran prosedural yang menjadi legitimasi hukum otonom berubahmenadi keadilan substansif. Perubahan prespektif mengenai doktrinsupremasi hukum ini merupakan perubahan prespektif masyarakatmengenai hukum, baik dari pihak penguasa rnaupun rakyat banyak.Hukum tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terpisah darimasyarakat, melainkan hidup dalam konteks masyarakat yang berubah,

    104 Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    10/16

    oleh karena itu hams mampu mengikuti perubahan itu. Untuk itu hukumharus mampu mengabdi pada keadilan bukan keadilan proseduraLSupremasi hukurn terwuud pada bagaimana hukum sebagai alat untukmencapai keadilan, bukan untuk memastikan keadilan. Kepastian hukumberubah dari kepastian hukum yang bersifat regulatif menjadi kepastiansubstansif Masyarakat dan penguasa sama-sama memahami bahwahukum bersifat responsif terhadap tujuan hukum yang berupa keadilansosial.

    Perubahan prespektif mengenai keadilan sosial ini menadikanhukum menjadi responsif terhadap rasa keadilan masyarakat. Lembagadan pranata hukum menjadi suatu sistem yang mengabdi pada tujuanhukum diatas. Penekanan pada doktrin Supremacy of law berkembangdari tingkat otonomi hukum kearah responbilitas hukum terhadap rasakeadilan. Doktrin Equality before the law yang juga merupakan syaratadanya rule of law pada mulanya juga berkembang sebatas otonomihukum. Artinya bahwa tidak bisa dipengaruhi oleh aspirasi-aspirasi yangberkembang pada masyarakat. Emansipasi kelompok-kelompok sosialyang dikesampingkan tidak tertampung oleh hukum otonom. Prespektifmengenai gender, rasialisme masih mewarnai penegakan hukum. Equalitybefore the law hanya berarti kesamaan dalam hukum bagi yang telahditetapkan oleh hukum. Aspirasi yang berkembang mengenai prespektifbam terhadap hak dan kewajiban warga negara atau kelompok warganegara tidak bisa diikuti oleh hukum. Kesempatan untuk berpartisipasidibatasi oleh tata cara yang sudah map an.

    Oleh karena itu hakekatnya hukum hidup dalam suatu kontekssosial, maka perspektif otonomi hukum mengenai equality before the lawberubah mengikuti perubahan konteksnya dad liberal klasik menjadihukum modern. Hukum membuka diri dari aspirasi kelompok-kelompokyang dikesampingkan. Persamaan kedudukan dalam hukum tidak lagidilandasi oleh tata cara ayang sudah mapan, melainkan merespon aspirasidari prespektif yang berkembang dalam masyarakat mengenai statushukum.

    Jurnal Hukum, Vol. 14, No. }, Januari 2004 105

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    11/16

    Status hukum yang pada awalnya ditetapkan oleh hukum,berkembang karena adanya perubahan prespektif dalam masyarakatmengenai kelompok-kelompok yang dikesampingkan. Contohnyamasyarakat tidak lagi memandang buruk sebagai warga negara kelas dua.Juga pandangan terhadap wanita dan anak-anak. Kelompok-kelompok inidalam prespektif modem dipandang mempunyai status yang sarna denganwarga negara yang lainnya. Keterbukaan terhadap tujuan kebijakan-kebijakan hukum, yaitu keadilan dan prespektif equality before the lawmenjadikan hukum responsifterhadap hal tersebut.

    Pengembangan hukum Indonesia melalui prespektif equalitybefore the law secara konstitutif telah dimulai sejak awal kemerdekaanIndonesia pasal 27 UUD'45. Hanya saja prespektif tersebut belummenjadi prespektif masyarakat dan penguasa, dan hukum di Indonesiabelum bisa mencapai tingkat otonomi hukum yang menjadi landasanhukum responsif.

    Prespektif equality before the law ini merupakan masalah yang"terpenting dari masalah citizenship, masalah kewarganegaraan.Citizenship atau kewarganegaraan mengandung kesarnaan manusia yangberasal dari keanggotaannya dalarn komunitas politik nasional dandiwujudkan dalam hak-hak yang sarna yang dirniliki oleh semua warganegara. Warga negara berperan dalam .masukan (partisipasi) dan keluaran(distribusi) fungsi-fungsi pernerintah. Pengutarnaan dari yanguniversalistik terhadap yang partikularistik dalam hubungan pemerintahdengan warga negara sangat penting bagi perwujudan hak-hak warganegara tersebut.

    Pembentukan masyarakat Madani (civil society) paling tidakmensyaratkan adanya unsur diatas, dimana masing-masing warga negararnemahami atau mempunyai prespektif equality before the law. Sementarahukum sebagai suatu sistem pranata dan sistem kelembagaan (wadah)juga berada dalarn tingkat yang sarna (responsif terhadap perubahanmasyarakat). Artinya bahwa penguasa sebagai salah satu lembaga hukurnmempunyai prespektif yang sarna dengan prespektif rakyat benyak,

    106 Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    12/16

    disisi lain hukum tidak lagi menga!lggap "persamaan" itu sebagai bentukproseduran yang telah' ditetapkan hukum, melainkan menjadikan konsepequality before the law sebagai substansi yang menjiwai sernua peraturanhukurn.

    Hukum responsif sebagaimana dikatakan oleh Nonet danSelznick, membutuhkan partisipasi (masukan) warga negara untukmenjadi responsif Partisipasi yang dimaksud hanya bisa ada apabilakonsep equality before the law telah rnenjadi prespektif penguasa(pernerintah) dan prespektif warga masyarakat, dalam suatu prespektifyang sarna. Kekuatan dari konsep inilah juga yang melahirkan Dueprocces model oleh Herbert Peeker.

    Kemudian pokok yang ketiga dari pengembangan rule of lawadalah adanya konstitusi yang dilandasi dengan hak-hak individual(constitution based on individual rights). Apa yang dinyatakan Diceyadalah prespektif hak asasi dalam alam liberal. Permasalahannya tidakhams mutlak seperti itu, karena itu adalah konteks, dan konteks selaluberubah tergantung pada masyarakatnya. Oleh karena itu konteks hakasasi di alam masyarakat Indonesia berbeda prespektifnya denganindividual rights di alam liberal. Pada intinya Dicey menandaskan adanyalandasan penghargaan terhadap hak asasi manusia (human rights) dalampembuatan konstitusi, yang berarti bahwa seluruh sistem hukumnya harusdilandasifdijiwai dengan human rights.

    Prespektif terhadap hak asasi manusia melahirkann perlindungan-perlindungan terhadap manusia serta lingkungan hidupnya. Hukummengatur perlindungan tersebut pada awalnya (hukum otonom) bersifatprosedural belaka, sehingga terdapat celah-celah atau lop hole dalampenegakan hukum yang menimbulkan ketidak-adilan. Celah-celah hukumini dipergunakan oleh orang-orang tertentu untuk mengambil keuntungandari suatu perlindungan hukum dalam mengeksploitasi sumber daya. Padasistem hukum otonom hal seperti itu dimungkinkan, karena hukum tidakmelihat pada masyarakat tetapi melihat semata-mata pada peraturan.

    Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004 107

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    13/16

    Perkembangan prespektif masayarakat mengenai indivisual rightsataupun hak asasi manusia pada umumnya, mengarah (terutama S".piIndonesia) pada pemahaman keseimbangan dan keserasian hak individualdan hak sosial, yang masing-masing hak menimbulkan kewajiban untuksaling menjaga. Perkembangan tersebut mau tidak mau memaksa hukumuntuk bisa rrielihat pada konteksnya, yaitu masyarakat, yang berartibahwa hukum mulai responsif terhadap perkembangan masyarakat.

    Keterbukaan hukum untuk menerima pandangan-pandanganmasyarakat, terutama dalam masalah hak asasi manusia, bisa menjadikanperlindungan yang adil bagi masyarakat, menurut masyarakat.3. Pemberdayaan Hukum

    Dimuka telah dikemukakan bahwa upaya pemberdayaan hukumadalah upaya memaksimalkan fungsi hukum sebagai tertib hukum dalammasyarakat. Secara konstitutif hukum di Indonesia mempunyai tiga fungsiprimer mewujudkan adanya negara hukum, yaitu fungsi perlindungan,fungsi keadilan dan fungsi kesejahteraan. Fungsi tersebut dapat "me-ngejawantah" dalam masyarakat melalui lembaga dan pranata hukumdimana lembaga dan pranata hukum tersebut mempunyai kekuatanmemaksa melalui kekuasaan. Sedangkan kekuasaan diterima olehmasyarakat melalui dua cara, yaitu dengan sukarela atau dipaksakan.'!ang sukarela ini melahirkan suatu tertib hukum yang membudaya didalam masyarakat, sedangkan penerimaan dengan terpaksa melahirkanotoritas penguasa terhadap rakyat banyak. Oleh karena itu pemberdayaanhukum merupakan "upaya" memaksimalkan penerimaan secara sukareladi dalam masyarakat dengan melalui berbagai media pendidikan ataupembudayaan hukum dalam masyarakat.

    Prespektif hukum merupakan wacana hukum yang seaharusnyamembumi, dimengerti dan dipahami oleh rakyat banyak, bukan hanyasekedar teori di menara gading. Dimuka telah dikemukakan banyakprespektif yang seharusnya menajdi milik penguasa dan rakyat banyaksecara bersama-sama, sehingga dapat melahirkan suatu singkronisasi

    108 Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    14/16

    terhadap penegakan hukum. Teori-~eori tersebut tidak akan berarti apa-apa apabila belum bisa mencapai lubuk hati dan pemikiran masyarakat.Karena hukum hidup dalam konteks masyarakat, sehingga perubahandalam penerapan dan penegakan hukum adalah dengan merubahkonteksnya, bukan hanya hukumnya.

    jarak antara prespektif teoritis mengenai hukum dan masyarakatdengan masyarakat inilah yang merupakan celah-celah daripemberdayaan hukum. Celah-celah ini bisa dijembatani untuk mencapaipemberdayaan hukum yang maksimal, dengan menggunakan upayamultidimensional, yaitu dimensi hukum, sosial dan budaya. Pendidikanformal maupun informal memegang peranan penting untuk menyamakanprespektif penguasa dan rakyat banyak.

    Teori Nonet dan Selznick mengenai hukum responsif merupakaninspirasi untuk memberdayakan hukum secara yuridis. Keterbukaanhukum terhadap perubahan-perubahan masyarakat tidak berarti hilangsifat normatif dari hukum - hanya saja memang dihindari konsep keadilanprosedural - akan tetapi norma-norma hukum yang ada secara substantifmemberikan ruang gerak terhadap substansi yang bisa meresponperubahan-perubahan masyarakat. Kepastian hukum regulatif (normatif)tetap ada, akan tetapi makna dari tujuan hukum tidak lagi hanya untukmemenuhi prosedur hukum, melainkan lebih dari itu - prosedur-proseduryang ada digunakan semaksimal mungkin untuk mencapai keadilanmasyarakat - dengan j alan merespon terhadap perubahan-perubahan yangterjadi dalam masyarakat. Hal ini berarti setiap kebijakan dari penguasasupaya bisa dipertanggungjawabkan terhadap masyarakat - hamsmemperhatikan dan merespon aspirasi yang berkembang dalammasyarakat. Dengan demikian, berarti.juga bahwa partisipasi masyarakatmerupakan unsur penting dalam mengambil keputusan atau membuatkebijakan.

    Dimensi sosial memberikan pemahaman pada hukum mengenaiperubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, mengenai keadilansosial, emansipasi dan perlindungan terhadap lingkungan. Berbagai

    J u r n a l l f u k u n 2 , V o L l ~ ] V a ; l , J a n u a r i 2 0 0 4 109

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    15/16

    ketirnpangan-ketimpangan yang selama ini dilakukan oleh hukum otonomdapat diperbaharui dengan merespori perubahan yang terjadi dalammasyarakat. Perubahan tersebut dapat dipahami dengan membukacakrawala terhadap dimensi sosial yang sangat kompleks.

    Teori sosiologis dari Lawrence Rosen dapat memberikangambaran kepada kita betapa kompleksnya kehidupan hukum padadimensi sosial. Contohnya ketika hukum merupakan peneerminan darikonsep-konsep yang berbeda-beda menganai ketertiban dan kesejahteraansosiaL Dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia, dapatdibayangkan banyaknya konsep-konsep masyarakat yang tercermin/harustereermin dalam hukum. Maka apabila kemajemukan ini dipahamisebagai suatu bahan untuk membuat hukum, akan berbeda hasilnya bilakemajemukan ini dianggap sebagai konlflik.

    Pemberdayaan hukum dari dimensi sosial mempersoalkanbagaimana konsep-konsep yang ada didalam masyarakat bisa berubahkearah konsep yang menjadi prasyarat terciptanya rule of law dalambentuk yang modem. Persoalan ini dapat dijembatani melalui prosesdalam dimensi budaya pada lapisan budaya inti dan budaya etos. Dalamhal ini pendidikan merupakan sarana terpenting dad proses budaya.D. PENUTUP

    Analisis teoritis yang telah dikemukan dimuka hanya sebagiankeeil dari benang merah yang menghubungkan antara konfigurasi-konfigurasi unsur-unsur hukum yang berada dalam konteks masyarakat,dalam kerangka pemberdayaan hukum. Masih ada bagian terbesar lainnyayang menyangkut mengenai berbagai aspek teoritis maupun praktis.

    DAFTAR PUSTAKA

    Hanitijo Soemitro, Ronny, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni,Bandung, 1985

    110 Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004

  • 8/6/2019 pemberdayaan hukum

    16/16

    Nonet, Philippe dan Selznick Philip, Law and Society in Transition :Toward Responsive Law, Harper and Raw, New York,Hagerstown, San Fransisco, London, 1978.

    Rahardjo, Satjipto, Hukum DanMasyarakat, Angkasa, Bandung, 1980.Soekanto, Soerjono, Prespektif Teoritis Studi Hukum dan Masyarakat,Rajawali, Jakarta, 1984.

    Jurnal Hukum, Vol. 14, No.1, Januari 2004 I I I