Upload
ngotram
View
220
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP INTENSITAS NYERI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. M DENGAN POST OPERASI
FRAKTURDI RUANG MAWAR RSUD Dr. SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO WONOGIRI
DISUSUN OLEH :
UMI OCTAVIANA
NIM.P.13055
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP INTENSITAS NYERI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. M DENGAN POST OPERASI
FRAKTUR DI RUANG MAWAR RSUD Dr. SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO WONOGIRI
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
UMI OCTAVIANA
NIM.P.13055
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap Intensitas
Nyeri pada Asuhan Keperawatan Ny. M dengan Post Operasi Fraktur di Ruang
Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Ns. Wahyu Rima Agustin M. Kep, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes
Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Alfyana Nadya R. M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yag telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Ns. Joko Kismanto S.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Ns. Anissa Cindy NA M. Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman
dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
v
6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 09 Mei 2016
Umi Octaviana
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................... 6
C. Manfaat Penulisan .................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori ........................................................................ 8
1. Fraktur ............................................................................. 8
2. Nyeri ................................................................................ 24
3. Terapi Musik ................................................................... 33
B. Kerangka teori ........................................................................ 38
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset ................................................................ 39
B. Tempat dan waktu .................................................................. 39
C. Media dan alat yang digunakan .............................................. 39
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset ......................... 39
E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset ... 40
vii
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas Klien ........................................................................ 42
B. Pengkajian .............................................................................. 43
C. Perumusan masalah keperawatan ........................................... 49
D. Perencanaan ............................................................................ 50
E. Implementasi .......................................................................... 52
F. Evaluasi .................................................................................. 57
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian .............................................................................. 61
B. Perumusan masalah keperawatan ........................................... 65
C. Perencanaan ............................................................................ 69
D. Implementasi .......................................................................... 70
E. Evaluasi .................................................................................. 76
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................. 81
B. Saran ....................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Skala Numeric Rating Scale (NRS) 31
2. Gambar 2.2 Verbal Deskriptif Scale (VDS) 32
3. Gambar2.3 Pain Asesment Behavioral Scale (PABS) 32
4. Gambar 2.4 Kerangka Teori 38
5. Gambar 3.1 Skala Numeric Rating Scale (NRS) 41
6. Gambar 4.1 Genogram 44
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Usulan Judul
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi
Lampiran 3 : Surat Pernyataan
Lampiran 4 : Jurnal Utama
Lampiran 5 : Asuhan Keperawatan
Lampiran 6 : Log Book
Lampiran 7 : Pendelegasian
Lampiran 8 : Lembar Observasi
Lampiran 9 : SOP Terapi Musik
Lampiran 10 : Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas. Fraktur merupakan suatu kondisi dimana terjadi
diintegritas tulang.Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu
kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga
bisa terjadi akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi (Depkes
RI, 2005).
Menurut Depkes RI 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di
indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki
prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%.
Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan,
19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami
fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami
fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur
fibula. Walaupun peran fibula dalam pergerakan ektremitas bawah sangat
sedikit, tetapi terjadinya fraktur pada fibula tetap saja dapat menimbulkan
adanya gangguan aktifitas fungsional tungkai dan kaki.
2
RSO Prof. DR. R. Soeharso Surakarta merupakan Rumah Sakit bedah
orthopedi di Indonesia yang mencatat sebanyak 6,8% kasus bedah fraktur
ankle pada bulan Juni 2012 dan adanya tindakan ORIF pada fraktur ankle
tersebut termasuk ke dalam urutan ke 7 dari 10 besar kasus di Instalasi Bedah
Sentral. Peneliti menemukan sebuah kasus pada pasien dengan kecacatan
fisik dan pasca koma pada tahun 1998 yang mengalami close fraktur ankle
sinistra dan akan dilakukan tindakan pembedahan ORIF di Instalasi Bedah
Sentral RSO Prof. DR. R. Soeharso Surakarta.
Penanganan fraktur yang dilakukan Rumah Sakit terutama dalam
bidang ilmu bedah dengan metode operatif yaitu suatu bentuk operasi dengan
pemasangan Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) dengan jenis internal
fiksasi yang digunakan dalam kasus ini berupa plate dan screw. ORIF
diterapkan dalam kasus fraktur pergelangan kaki karena bagian tulang
tersebut dapat direposisi tetapi sulit untuk dipertahankan (Reksoprodjo,
2010).
Metode pengobatan fraktur meliputi pembedahan dan non
pembedahan, tetapi paling banyak keunggulannya adalah pembedahan.
Pembedahan orthopedic biasanya meliputi hal-hal berikut : reduksi terbuka
dengan fiksasi internal dan eksternal; graft tulang; amputasi; artroplasty;
menisectomy; penggantian sendi; penggantian sendi total; transfer tendon;
dan fasiotomi (Smeltzer & Bare, 2008). Setiap pembedahan selalu
berhubungan dengan insisi/sayatan yang merupakan trauma atau kekerasan
bagi penderita yang menimbulkan berbagai keluhan dan gejala.Salah satu
3
keluhan yang di kemukakan adalah nyeri (Sjamsuhidajat & De Jong, 2010,
hlm.335).
Nyeri menurut Asosiasi Nyeri Internasional (1979 dalam Tamsuri,
2007,hlm.1) adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik
secara aktual maupun potensial, atau menggambarkan keadaan kerusakan
seperti tersebut di atas. Nyeri setelah pembedahan merupakan hal yang
fisiologis, tetapi hal ini merupakan salah satu keluhan yang paling ditakuti
oleh pasien setelah pembedahan.
Sensasi nyeri mulai terasa sebelum kesadaran pasien kembali penuh,
dan semakin meningkat seiring dengan berkurangnya pengaruh
anestesi.Adapun yang dialami oleh pasien pasca pembedahan adalah nyeri
akut yang terjadi adanya luka insisi bekas pembedahan (Perry & Potter, 2006,
hlm.1503).Nyeri yang dialami dalam jangka waktu cukup lama dapat
mengganggu mobilisasi pasien pada tingkatan tertentu.Pasien barangkali
dapat mengalami kesulitan dalam melakukan hygiene (Andarmoyo, 2013,
hlm.42) memenuhi kebutuhan pribadi seperti makan, dan pasien mengalami
gangguan tidur (Potter & Perry, 2009, hlm.239).Nyeri bagaimanapun
keadaannya harus ditangani dan diatasi, karena kenyamanan merupakan
kebutuhan dasar manusia (Potter & Perry, 2005, hlm.1502).
Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu
secara farmakologis dan non farmakologis. Secara farmakologis dapat dengan
pemberian obat- obatan analgesik dan penenang, sedangkan secara non
4
farmakologis dapat dilakukan dengan cara bimbingan antisipasi, terapi es dan
panas/kompres panas dan dingin, TENS (Transcutaneous Elektrical Nerve
Stimulation), distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing, hipnosis, akupuntur,
massage, serta terapi musik (Andarmoyo, 2013, hlm.85).
Terapi musik merupakan teknik yang sangat mudah dilakukan dan
terjangkau, tetapi efeknya menunjukkan bahwa musik dapat mempengaruhi
ketegangan atau kondisi rileks pada diri seseorang, karena dapat merangsang
pengeluaran endorphine dan serotonin. Endorphine dan Serotonin merupakan
sejenis morfin alami tubuh dan juga metanonin sehingga tubuh merasa lebih
rileks pada seseorang yang mengalami stress (Djohan, 2009).
Terapi musik adalah menggunakan musik atau elemen musik untuk
meningkatkan, mempertahankan, serta mengembalikan kesehatan
mental.Fisik, emosional, spiritual (Setyoadi, 2011, hlm.42). Penelitian Novita
(2012, hlm.1) tentang pengaruh terapi musik terhadap nyeri post operasi
Open Reduction And Internal Fixation (ORIF) di RSUD DR.H. Abdul
Moeloek Lampung di dapatkan kesimpulan ada pengaruh yang signifikan
terapi musik terhadap nyeri pasien post operasi ORIF.
Pertamax (2011) mengatakan bahwa terapi musik juga dapat
memberikan efek fisiologis atau biologis pada seseorang, yaitu dengan
stimulasi beberapa irama yang didengar, musik dapat menurunkan kadar
kortisol yaitu hormon stres yang dapat berkontribusi terhadap tekanan darah
tinggi, serta memperbaiki fungsi lapisan dalam pembuluh darah yang
menyebabkan pembuluh darah dapat meregang sebesar 30%. Selain itu,
5
Djohan (2006, hlm.24) juga memperkuat konsep diatas bahwa musik diyakini
juga mempengaruhi sistem saraf parasimpatis yang meregangkan tubuh dan
memperlambat denyut jantung, serta memberikan efek rileks pada organ-
organ.
Mendengarkan musik secara teratur membantu tubuh santai secara fisik
dan mental sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah nyeri. Para
ahli yakin setiap jenis musik klasik seperti mozart dan beethoven dapat
membantu mengurangi nyeri otot dan nyeri kronis (Muttaqin & Kustap, 2008,
dalam Jona, 2013, hlm.28). Terapi musik klasik dapat mengatasi nyeri
berdasarkan teori gate control, bahwa impuls nyeri dapat di atur atau di
hambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat (Farida,
2010 dalam Endarto, 2012). Teori Gate Control dari Melzack dan wall (1965
dalam Potter & Perry, 2006, hlm.1507) mengusulkan bahwa impuls nyeri
dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah
pertahanan ditutup. Salah satu cara menutup mekanisme pertahanan ini
adalah dengan merangsang sekresi endorfin yang akan menghambat
pelepasan substansi P.
Hasil wawancara di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri
bahwa manajemen nyeri di bangsal dilakukan dengan pemberian analgetik,
yang apabila reaksi obat sudah habis pasien akan mulai merasakan nyeri.
Perawat belum mengaplikasikan secara maksimal manajemen non
farmakologi untuk mengatasi nyeri pasien. Manejemen nyeri non
farmakologi yang mudah diaplikasikan untuk mengatasi nyeri pasien post
6
operasi antara lain dengan terapi musik klasik. Berdasarkan latar belakang
tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan pengelolaan Asuhan
Keperawatan yang dituangkan dalam Karya Tulis Ilmiah dengan judul
“Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Post
Operasi Fraktur.”
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengaplikasikan tindakan pemberian terapi musik klasik terhadap
penurunan nyeri pada asuhan keperawatan Ny. M dengan post operasi
fraktur di Ruang Mawar di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri.
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Ny. M dengan post
operasi fraktur
b. Penulis mampu merumuskan diagnose keperawatan pada Ny. M
dengan post operasi fraktur
c. Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada Ny. M
dengan post operasi fraktur
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Ny M dengan post
operasi fraktur
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Ny. M dengan post operasi
fraktur
7
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian terapi musik klasik
terhadap intensitas nyeri pada Ny. M dengan post operasi fraktur
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pasien
Dapat membantu menurunkan nyeri dan memberikan pilihan dalam
penanganan post operasi fraktur dengan menerapkan terapi musik klasik
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai referensi bahwa terapi musik klasik merupakan salah satu
alternatif untuk menurunkan nyeri yang dapat diimplementasikan pada
pasien post operasi fraktur.
3. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Sebagai referensi dalam pengembangan dan peningkatan pelayanan
keperawatan preservice.
4. Bagi Penulis
Sebagai referensi dalam mengaplikasikan ilmu dan meningkatkan
pengalaman dalam mengelola nyeri di bidang Keperawatan.
5. Bagi Profesi
Dapat menambah wawasan perawat tentang pentingnya mengetahui nyeri
pada pasien post operasi fraktur, serta memberikan pengetahuan dan
referensi bahwa terapi musik klasik merupakan salah satu alternatif untuk
menurunkan nyeri yang dapat diimplementasikan pada pasien post
operasi fraktur.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Fraktur
a. Pengertian
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial
(Rasjad, 2007).Fraktur atau patah tulang juga merupakan suatu
kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung (Sjamsuhidajat, 2005).Fraktur juga merupakan setiap
retak atau patah tulang yang disebabkan oleh trauma, tenaga fisik,
kekuatan, sudut, keadaan tulang dan jaringan lunak disekitar tulang
yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap
atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006).
b. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996) dalam Jitowiyono (2012) penyebab
fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
9
a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh
dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur
dan menyebabkan fraktur klavikula.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
dari otot yang kuat.
2) Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit
dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat
juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a) Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali dan progresif.
b) Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses
yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c) Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi Vitamin D yang memperoleh semua jaringan
skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi
kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
10
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang
rendah.
d) Secara spontan: disebabkan oleh stress tulang yang terus
menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang
bertugas dikemiliteran.
c. Klasifikasi
Menurut Rasjad (2007) Klasifikasi fraktur sebagai berikut:
1) Klasifikasi Etiologis:
a) Fraktur traumatik : terjadi karena trauma tiba-tiba. Trauma
bersifat langsung dan tidak langsung. Trauma bersifat
langsung yaitu trauma yang menyebabkan tekanan langsung
pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan (Fraktur
yang terjadi biasanya kominutif dan jaringan lunak ikut
mengalami kerusakan). Trauma bersifat tidak langsung
yaitu trauma yang dihantarkan ke tempat yang lebih jauh
dari daerah fraktur. Misalnya jatuh dengan tangan ekstensi
dapat menimbulkan fraktur klavikula.
b) Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang akibat
kelainan patologis didalam tulang atau tulang berpenyakit
(kista tulang, penyakit paget, metastasis tulang, tumor).
c) Fraktur stress terjadi karena adanya trauma yang terus
menerus pada suatu tempat.
11
2) Klasifikasi Klinis:
a) Fraktur terbuka (Compound Fracture) adalah fraktur yang
ada hubungannya dengan dunia luar melalui luka pada kulit
dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari
dalam) atau From Without (dari luar). Menurut Smeltzer
dan Bare (2002) Fraktur terbuka digradasi menjadi : grade I
dengan luka bersih sepanjang kurang dari 1 cm; grade II
luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif; dan grade III luka yang sangat terkontaminasi dan
mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
b) Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak ada hubungannya
dengan dunia luar.
c) Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai
dengan komplikasi misalnya: malunion, delayed union,
nonunion, infeksi tulang.
3) Klasifikasi Radiologis:
a) Lokalisasi : terbagi atas diafisial, metafisial, intra-artikuler,
fraktur dengan dislokasi
b) Konfigurasi:
(1) Fraktur Transversal adalah fraktur sepanjang garis
tengah tulang.
(2) Fraktur Oblique atau Z adalah fraktur membentuk sudut
dengan garis tengah tulang.
12
(3) Fraktur Spiral adalah fraktur memuntir seputar batang
tulang.
(4) Fraktur Segmental adalah fraktur garis patah lebih dari
satu dan saling berhubungan
(5) Fraktur Kominutif adalah fraktur tulang pecah menjadi
beberapa fragmen.
(6) Fraktur Depresi adalah fraktur fragmen patahan
terdorong ke dalam.
(7) Fraktur baji adalah fraktur biasanya pada vertebra
karena tulang mengalami kompresi.
(8) Fraktur Avulsi adalah fraktur tertariknya fragmen tulang
oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya
(9) Fraktur pecah (burst) adalah fraktur dimana terjadi
fragmen kecil yang berpisah
(10) Fraktur Epifiseal adalah fraktur melalui epifisis.
Fraktur Impaksi adalah fragmen tulang terdorong ke
fragmen tulang lainnya
c) Menurut ekstensi:
Fraktur Greenstick (salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok), Fraktur total, Fraktur tidak total,
Fraktur garis rambut, dan Fraktur Buckle atau torus.
13
d) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
: terbagi atas tidak bergeser dan bergeser.
d. Manifestasi Klinis
1) Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur
terjadi seperti:
a) Rotasi pemendekan tulang
b) Penekanan tulang
2) Bengkak
Edema muncul secra cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3) Echumosis dari perdarahan subculaneous.
4) Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
5) Tenderness/keempukan
6) Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang
dari tempatnya dan kerusakan strukur didaerah yang berdekatan.
7) Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
8) Pergerakan abnormal
9) Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
10) Krepitasi (Black,1993:199) dalam Jitowiyono (2012).
14
e. Patofisiologi
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu:
1) Fase Hematum
a) Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume
disekitar fraktur
b) Setelah 24 jam suplai darah disekitar fraktur meningkat
2) Fase granulasi jaringan
a) Terjadi 1-5 hari setelah injuri
b) Pada tahap phagositosis aktif granulasi jaringan yang berisi
pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
3) Fase formasi callus
a) Terjadi 6-10 hari setelah injuri
b) Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4) Fase ossificasi
a) Mulai pada 2-3 minggu setelah fraktur sampai dengan
sembuh
b) Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan
endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang
patah.
5) Fase consolidasi dan remadelling
Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus
terbentuk dengan oksifitas oksifitas osteoblat dan osteuctac
(Black, 1993:19) dalam Jitowiyono (2012).
15
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien fraktur
antara lain; x-ray, magnetic resonance imaging (MRI), dan scan
tulang sangat dimanfaatkan dalam orthopedi. X-Ray atau rontgen
adalah pemeriksaan diagnostik yang biasa dihunakan untuk
mengetahui masalah fraktur. Karena tulang lebih padat daripada
jaringan yang lain maka x-ray tidak dapat menembusnya, bagian
yang padat ditunjukkan dengan warna putih pada x- ray. X-ray
menyediakan informasi tentang kelainan bentuk, kepadata tulang,
dan klasifikasi jaringan lunak (Lewis, 2011).
g. Komplikasi
1) Delayed union, menurut Rasjad (2007) fraktur yang tidak
sembuh setelah selang waktu yang 3-5 bulan (3 bulan untuk
anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah).
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat
gambaran tulang baru pada ujung-ujung fraktur, ada gambaran
kista pada ujung- ujung tulang karena adanya dekalsifikasi
tulang, gambaran kalus yang kurang disekitar fraktur. Terapi
konservatif : pemasangan plester selama 23 bulan, Operatif bila
union diperkirakan tidak terjadi maka dilakukan fiksasi interna
dan dilakukan pemberian bone graft.
16
2) Non union, menurut Rasjad (2007) fraktur tidak menyembuh
antara 6-8 bulan dan tidak didapatkan konsolidasi sehingga
didapatkan pseudoarthrosis ( sendi palsu). Ada beberapa tipe
antara lain : (1) Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan
terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur
tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk
union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting, (2)
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu
(pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi
beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak
akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama. Beberapa
faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum
yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur,
waktu imobilisasi yang tidak memadahi, implant atau gips yang
tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang
(fraktur patologis).
3) Malunion, adalah fraktur menyembuh pada saatnya tetapi
terdapat deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi
(Rasjad, 2007).
h. Penatalaksanaan
Pada waktu menangani fraktur ada empat konsep dasar yang
harus dipertimbangkan yaitu rekognisi, reduksi, retensi dan
rehabilitasi.
17
1) Rekognisi meliputi diagnosis dan penilaian fraktur, dilakukan
anamnesis, pemeriksaan klinis, dan radiologis (Rasjad, 2007).
2) Reduksi fraktur apabila perlu, restorasi fragmen fraktur
dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima
(Rasjad, 2007).
3) Retensi adalah imobilisasi fraktur tujuannya adalah mencegah
pergeseran fragmen dan mencegah pergerakan yang dapat
mengancam union (Rasjad, 2007).
4) Rehabilitasi adalah mengembalikan aktivitas fungsional
semaksimal mungkin (Rasjad, 2007). Rencana rehabilitasi harus
segera dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan fraktur
(Price & Wilson, 2006).
i. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a) Identitas Klien
Meliputi : Nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku,
bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit,
diagnosa medis, no. registrasi.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri.Nyeri tersebut bisa akut / kronik tergantun dar
lamanya serangan. Unit memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan :
18
Provoking inciden : Apakah ada peristiwa yang menjadi
factor prepitasi nyeri.
Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut / menusuk.
Region Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar / menyebar dan dimana rasa sakit
terjadi.
Saverity (scale of pain) : Seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri / pasien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari / siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien fraktur/ patah tulang dapat disebabkan oleh
trauma / kecelakaan, degenerative dan patologis yang
didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekirat
yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat /
perubahan warna kulit dan kesemutan.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur) atau
pernah punya penyakit menular / menurun sebelumnya.
19
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien ada / tidak yang menderita
osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis / penyakit lain yang
sifatnya menurun atau menular.
f) Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada fraktur akan mengalami perubahan / gangguan
pada personal hygiene, misalnya mandi, ganti pakaian,
BAB dan BAK.
(2) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu
makan, meskipun menu berubah misalnya makan
dirumah gizi tetap sama sedangkan di RS disesuaikan
dengan penyakit dan diet pasien.
(3) Pola eliminasi
Kebiasaan miksi / defekasi sehari-hari, kesulitan waktu
defekasi dikarenakan imobilisasi, feses warna kuning
dan konsistensi defekasi, pada miksi pasien tidak
mengalami gangguan.
(4) Pola istirahat dan tidur
Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan
yang disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri akibat
fraktur.
20
(5) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perubahan / gangguan
akibat dari fraktur femur sehingga kebutuhan pasien
perlu dibantu oleh perawat / keluarga.
(6) Pola persepsi dan konsep diri
Pada fraktur akan mengalami gangguan diri karena
terjadi perubahan pada dirinya, pasien takut cacat
seumur hidup / tidak dapat bekerja lagi.
(7) Pola sensori kognitif
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan, sedang
pada pola kognitf atau cara berfikir pasien tidak
mengalami gangguan.
(8) Pola hubungan peran
Terjadi perubahan peran yang dapat mengganggu
hubungan interpersonal yaitu pasien merasa tidak
berguna lagi dan menarik diri.
(9) Pola penanggulangan stress
Perlu ditanyakan apakah membuat pasien menjadi stress
dan biasanya masalah dipendam sendiri / dirundingkan
dengan keluarga.
(10) Pola reproduksi seksual
Bila pasien sudah berkeluarga dan mempunyai anak,
maka akan mengalami pola seksual dan reproduksi, jika
21
pasien belum berkeluarga pasien tidak akan mengalami
gangguan.
(11) Pola nilai dan kepercayaan
Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahanan dan
pasien meminta perlindungan / mendekatkan diri
dengan Allah SWT.
2) Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b) Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan
c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal
3) Perencanaan
a) Diagnosa Keperawatan 1 : Nyeri berhubungan dengan agen
cidera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3
x 24 jam diharapkan nyeri berkurang atau dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
(1) Nyeri berkurang skala nyeri 1-3
(2) Tidak ada perilaku distraksi
(3) Klien tampak rileks
(4) TTV dalam batas normal :
TD : 110-120/80-90 mmHg
ND : 60-100 x/ menit
22
RR : 16-24 x/ menit
S : 36,5-37,50C
Rencana Tindakan :
(1) Berikan penjelasan pada pasien dam keluarga tentang
penyebab nyeri
R/ Dengan memberikan penjelasan diharapkan pasien
tidak merasa cemas dan dapat melakukan sesuatu yang
dapat mengurangi nyeri
(2) Ajarkan pada pasien tentang teknik mengurangi rasa
nyeri
R/ Diperolehnya pengetahuan tentang nyeri akan
memudahkan kerjasama dengan askep untuk
memecahkan masalah
(3) Beri posisi senyaman mungkin
R/ Memperlancar sirkulasi pada daerah luka / nyeri
(4) Observasi TTV
R/ Observasi TTV dapat diketahui keadaan umum
pasien
(5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
analgetik
R/ Obat analgesik diharapkan dapat mengurangi nyeri
b) Diagnosa Keperawatan 2 : Gangguan pola tidur
berhubungan dengan gangguan
23
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1
x 24 jam diharapkan pola tidur terpenuhi
Kriteria Hasil :
(1) Jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam per hari
Pasien istirahat dengan nyaman
(2) tubuh terasa segar sesudah tidur atau istirahat
Rencana Tindakan :
(1) Monitor tidur pasien
R/ Mengetahui kemudahan dalam tidur
(2) Ciptakan lingkungan yang nyaman
R/ Meningkatkan kenyamanan
(3) Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang teknik
tidur pasien
R/ Meningkatkan tidur
(4) Kolaborasi pemberian obat
R/ Memudahkan tidur
d) Diagnosa Keperawatan 3 : Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1
x 24 jam diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas
sebatas kemampuan
Kriteria Hasil :
(1) Pasien mengerti pentingnya melakukan aktivitas
24
(2) Pasien bisa duduk, makan dan minum tanpa dibantu
(3) Pasien dapat mempertahankan fungsi tubuh secara
maksimal
Rencana Tindakan :
(1) Lakukan pendekatan kepada pasien untuk melakukan
aktivitas sebatas kemampuan
R/ Dengan pendekatan yang baik diharapkan pasien
akan lebih kooperatif dalam melakukan aktivitas
(2) Observasi sejauh mana pasien belum melakukan
aktivitas
R/ Dengan observasi diharapkan pasien sudah bisa
melakukan aktivitas
(3) Beri motivasi pada pasien untuk melakukan aktivitas
R/ Dengan adanya motivasi diharapkan pasien bisa
lebih bersemangat dalam melatih aktivitas.
(Nasrul Effendy, 1995:2-3) dalam buku KMB 2 Andra
(2013).
2. Nyeri
a. Pengertian
Definisi menurut IASP, 1979 (Intenational Association for
Study of Pain) nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang
tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan
25
aktual dan potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan (Tamsuri, 2007).Definisi nyeri menurut Azis (2009),
bahwa nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak
menyenangkan, bersifat sangat subjektif.Perasaan nyeri pada setiap
orang berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya
orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa
nyeri yang dialaminya. Menurut Black & Hawks (2009) nyeri juga
dapat diartikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan
disebabkan oleh stimulus spesifik mekanis, kimia, elektrik pada
ujung-ujung syaraf serta tidak dapat diserahterimakan kepada orang
lain.
b. Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi dan perilaku.
Proses fisiologi terkait nyeri dapat disebut nosisepsi. Menurut Potter
& Perry (2006) menjelaskan proses tersebut sebagai berikut:
1) Resepsi
Semua kerusakan seluler yang disebabkan oleh stimulus
termal, mekanik, kimiawi atau stimulus listrik menyebabkan
pelepasan substansi yang menghasilkan nyeri.Stimulus tersebut
kemudian memicu pelepasan mediator biokimia (misalnya
prostaglandin, bradikinin, histamin, substansi P) yang
mensensitisasi nosiseptor.Nosiseptor berfungsi untuk memulai
transmisi neural yang dikaitkan dengan nyeri.
26
2) Transmisi
Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian.Bagian
pertama nyeri merambat dari bagian serabut perifer ke medulla
spinalis.Bagian kedua adalah transmisi nyeri dari medulla
spinalis menuju batang otak dan thalamus melalui jaras
spinotalamikus.Bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke
korteks sensori somatic tempat nyeri dipersepsikan.Impuls yang
ditransmisikan tersebut mengaktifkan respon otonomi.
c. Klasifikasi
1) Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan
Menurut Tamsuri (2006) menjelaskan bahwa nyeri berdasarkan
waktu kejadian dapat dikelompokkan sebagai nyeri akut dan
kronis.
a) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu atau
durasi 1 detik sampai dengan kurang dari 6 bulan.Nyeri
akut biasanya menghilng dengan sendirinya dengan atau
tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuhkan.
b) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu
lebih dari 6 bulan.Nyeri kronis umumnya timbul tidak
27
teratur, intermitten, atau bahkan persisten.Nyeri ini
menimbulkan kelelahan mental dan fisik bagi penderitanya.
2) Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam
jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral,
nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom) (Tamsuri,
2006).
a) Nyeri superfisial adalah nyeri yang timbul akibat stimulasi
terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan
sebagainya. Nyeri jenis ini memiliki durasi yang pendek,
terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam.
b) Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang
terjadi pada otot tulang serta struktur penyokong lainnya,
umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan
adanya perenggangan dan iskemia.
c) Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan
organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan
durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya
tumpul.
d) Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibat
adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga
dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi.
28
e) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari
daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya
dirasakan oleh klien seperti berjalan/ bergerak dari daerah
asal nyeri ke sekitar atau ke sepanjang bagian tubuh
tertentu. Nyeri dapat bersifat intermiten atau konstan.
f) Nyeri baying (fantom) adalah nyeri khusus yang dirasakan
oleh klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien
dipersepsi berada pada organ yang telah diamputasi seolah-
olah organnya masih ada.
d. Respon Fisiologis Terhadap Nyeri
1) Stimulasi Simpatik : (nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokontriksi perifer, peningkatan BP
d) Penigkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
29
d) Nafas cepat dan irregular
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
e. Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat
harus mengkaji respon nyeri pada anak.Pada orang dewasa
kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi.Pada lansia cenderung memendam nyeri yang
diallami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah
yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit
berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis Kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi factor budaya
(ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh
mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya
mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah
menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika ada nyeri.
30
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.Perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun.Teknik relaksasi, guided imagerybmerupakan
tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri
bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa
lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih
mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang
mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam
mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang
mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptif
akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
31
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman-teman-teman dekat untuk
memperoleh dukungan dan perlindungan.
f. Pengukuran Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006) alat ukur nyeri sebagai berikut:
1) Numeric Rating Scale (NRS)
Lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi
kata.Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10.Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebeum dan setelah intervensi terapeutik.Apabila
digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan
patokan 10 cm.
Gambar 2.1
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik.
4-6
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan
7-9
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraks
10
berkomunikasi, memukul.
2) Verbal Deskriptif Scale
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal merupakan
sebuah garis yang t
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai
“nyeri yang tidak tertahankan”
3) Pain Assesment Behavioral Scale
Alat ukur nyeri dengan rentang skala nyeri 0 : tidak nyeri, 1
nyeri ringan, 4
: Nyeri sedang : secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan
: Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi.
: Nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Verbal Deskriptif Scale (VDS)
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai
“nyeri yang tidak tertahankan”
Gambar 2.2
Pain Assesment Behavioral Scale (PABS)
Alat ukur nyeri dengan rentang skala nyeri 0 : tidak nyeri, 1
nyeri ringan, 4-6: nyeri sedang, >7: nyeri berat.
32
: secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
: secara obyektif klien terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
: pasien sudah tidak mampu lagi
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal merupakan
erdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai
Alat ukur nyeri dengan rentang skala nyeri 0 : tidak nyeri, 1-3:
33
0 1 2 3 4 5 6 >7
Tidak Nyeri Nyeri Nyeri
nyeri ringan sedang berat
Gambar 2.3
3. Terapi Musik
a. Pengertian
Terapi musik adalah suatu proses terencana yang bersifat
preventif dalam usaha penyembuhan terhadap penderita yang
mengalami kelainan atau hambatan dalam penyembuhannya, baik
fisik motorik, sosial emosional maupun mental intelegensi. Terapi
musik juga berhubungan dengan keahlian menggunakan musik atau
elemen musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan,
mempertahankan, dan mengembalikan kesehatan mental, fisik,
emosional, dan spiritual (Suryana, 2012). Menurut Potter & Perry
(2005), terapi musik digunakan sebagai salah satu teknik untuk
penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama
tertentu.
New Zealand Society for MusicTherapy (NZSMT) (2005)
menyatakan bahwa terapi musik telah terbukti efektifitasnya untuk
diimplementasikan pada bidang kesehatan, karena musik bisa
menurunkan kecemasan, nyeri, stress, dan menimbulkan mood yang
34
positif. Selain itu musik juga melibatkan pasien dalam prosesnya,
dan terbukti meningkatkan kepuasan pasien, mengurangi lama hari
rawat di rumah sakit serta mengurangi biaya rumah sakit (NZSMT,
2005).
b. Mekanisme
Musik dihasilkan dari stimulus yang dikirim dari akson-akson
serabut sensori ascenden ke neuron-neuron Reticular Activaty
System (RAS). Stimuli ini akan ditransformasikan oleh nuclei
spesifik dari thalamus melewati area korteks serebri, system limbic,
corpus collosum, serta area sistem saraf otonom dan sistem
neuroendokrin. Musik dapat memberikan rangsangan pada saraf
simpatis dan parasimpatis untuk menghasilkan respons
relaksasi.Karakteristik respons relaksasi yang ditimbulkan berupa
penurunan frekuensi nadi, relaksasi otot, dan keadaan tidur (Tuner,
2010).
Efek musik pada sistem neuroendokrin adalah memelihara
keseimbangan tubuh melalui sekresi hormon-hormon oleh zat kimia
ke dalam darah, seperti ekskresi endorphin yang berguna dalam
menurunkan nyeri, mengurangi pengeluaran katekolamin, dan kadar
kortikosteroid adrenal (Tuner, 2010).
Endorfin memiliki efek relaksasi pada tubuh (Potter & Perry,
2006).Endorfin juga sebagai ejektor dari rasa rileks dan ketenangan
yang timbul, midbrain mengeluarkan Gama Amino Butyric Acid
35
(GABA) yang berfungsi menghambat hantaran impuls listrik dari
satu neuron ke neuron lainnya oleh neurotransmitter di dalam
sinaps.Selain itu, midbrain juga mengeluarkan enkepalin dan beta
endorfin.Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang
akhirnya mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusat
persepsi dan interpretasi sensorik somatic di otak.Sehingga efek
yang bisa muncul adalah nyeri berkurang (Guyton & Hall, 2008).
c. Efektivitasnya
Musik merupakan teknik distraksi efektif yang dapat
menurunkan intensitas nyeri, keadaan stress, dan tingkat kecemasan
dengan cara mengalihkan perhatian seseorang dari perasaan nyeri
yang dirasakan. Menurut Kemper & Denhaueur (2005), musik dapat
memberikan efek pada peningkatan kesehatan, mengurangi stress,
dan mengurangi nyeri.
Arslan, Ozer dan Ozyurt (2007) menjelaskan bahwa efek yang
ditimbulkan musik adalah menurunkan stimulus sistem syaraf
simpatis.Respon yang muncul dari penurunan aktifitas tersebut
adalah menurunnya aktifitas adrenalin, menurunkan ketegangan
neuromuskular, meningkatkan ambang kesadaran. Indikator yang
bisa diukur dengan penurunan itu adalah menurunnya heart rate,
respiratory rate, metabolicrate, konsumsi oksigen menurun,
menurunnya ketegangan otot, menurunnya level sekresi epinefrin,
36
penurunan asam lambung, meningkatnya motilitas, penurunan kerja
kelenjar keringat, penurunan tekanan.
Tse, Chan, dan Benzie (2005) melakukan studi tentang efek
terapi musik pada nyeri post operasi, denyut nadi, tekanan darah
sistolik, dan penggunaan analgesik pada pasien pembedahan nasal di
Polytehnic University Hong Kong dengan melibatkan 57 pasien.
Musik diberikan selama 24 jam periode post operasi. Skala nyeri
dinilai dengan VerbalRating Scale (VRS). Penurunan nyeri yang
signifikan terjadi pada kelompok intervensi (P-value = 0,0001).
Kelompok intervensi juga menunjukkan hasil denyut nadi dan
tekanan darah sistolik yang menurun, serta konsumsi analgesik yang
lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol.
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Teknik Relaksasi Musik pada prinsipnya
adalah sebagai berikut.
1) Persiapan Alat
Alat disiapkan sesuai yang dibutuhkan pada saat akan dilakukan
pelatihan relaksasi pada pasien, seperti tape, compact disk, MP3,
MP4, MP5, Ipod, dan portable speaker. Pilih salah satu dari alat
tersebut sesuai dengan keadaan pasien dan ruangan.
2) Persiapan pasien
Pasien disiapkan untuk memilih musik mana yang akan
digunakan dalam terapi musik tersebut.
37
3) Nyalakan MP3, jangan lupa cek baterai, jangan sampai
musiknya berhenti pada saat diperdengarkan kepada pasien
4) Dekatkan MP3 ke dekat pasien
5) Sebelum diperdengarkan kepada pasien, cek terlebih dahulu
volume musiknya jangan sampai terlalu keras sehingga akan
memekakkan telinga pasien atau terlalu pelan volumenya
6) Pasang earphone
Bantu pasien untuk memasangkan earphone pada kedua
telinganya. Atur posisi earphone pada kedua telinga pasien
tersebut, jangan sampai pasien merasa tidak nyaman dengan
terpasangnya alat tersebut
7) Atur posisi
Posisikan pasien dalam posisi senyaman mungkin. Hal ini
dilakukan agar pasien tidak merasa tegang atau kelelahan saat
terapi musik dilakukan
8) Lemaskan otot-otot
9) Otot-otot yang lemas membantu tercapainya keadaan relaksasi
10) Anjurkan pasien menarik napas melalui hidung dan
mengeluarkan napas secara perlahan melalui mulut
11) Lakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan kepada pasien
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana intervensi
Relaksasi Musik yang diberikan kepada pasien dapat
menurunkan rasa nyeri dan cemasnya.
38
- Bereskan pasien
- Bereskan peralatan.
39
B. Kerangka Teori
(Jitowiyono, 2012 ; Sjamsuhidajat & De Jong, 2010 ; Djohan, 2009)
Gambar 2.4 Kerangka Teori
� Kecelakaan
� Jatuh
� Cedera
� Tumor Tulang
� Infeksi
� Rakhitis
Fraktur
Nyeri
Terapi Musik
Klasik
Penurunan
Nyeri
39
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Tindakan dilakukan pada pasien post operasi fraktur di Ruang Rawat Inap
Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
B. Tempat dan Waktu
1. Tempat : Ruang Rawat Inap Mawar
2. Tanggal : 6 Januari 2016 - 8 Januari 2016
C. Media dan Alat yang Digunakan
1. Musik klasik
2. Handphone
3. Earphone
4. Numerical Rating Scale (NRS)
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset
Fase Orientasi :
1. Memberi salam atau menyapa klien.
2. Memperkenalkan diri.
3. Menjelaskan tujuan tindakan.
4. Menjelaskan langkah prosedur.
40
5. Menanyakan persetujuan atau kesiapan klien.
Fase Kerja :
1. Menyiapkan alat (alat ukur nyeri Numerical Rating Scale (NRS),
earphone dan handphone).
2. Mengatur posisi yang nyaman menurut pasien sesuai kondisi pasien.
3. Melakukan pengukuran nyeri pada klien.
4. Meminta klien untuk memakai earphone.
5. Mendengarkan terapi musik klasik selama 10 menit (pemberian terapi
musik klasik 6 jam setelah pemberian obat analgetik).
6. Melakukan evaluasi nyeri pada klien.
7. Merapikan alat.
Fase Terminasi :
1. Mengevaluasi tindakan.
2. Menyampaikan RTL.
3. Berpamitan.
4. Dokumentasi.
E. Alat Ukur Evaluasi dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset
Alat ukur yang digunakan dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien
post operasi fraktur adalah alat ukur nyeri skala angka yaitu Numerical
Rating Scale (NRS).
41
Gambar 3.1 Numeric Rating Scale (NRS)
(Sumber :www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html )
42
BAB IV
LAPORAN KASUS
Bab IV merupakan laporan kasus Asuhan Keperawatan pada Ny.M dengan
Fraktur Collum Femur Sinistra di ruang Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun
Sumarso Wonogiri. Pengkajian dilakukan pada tanggal 05 Januari 2016 pada
pukul 11:15 WIB data diperoleh dari alloanamnesa dan autoanamnesa, observasi
langsung, pemeriksaan fisik, menelaah catatan medis dan catatan perawat,
sedangkan pengelolaan kasus dilakukan 3 hari pada tanggal 06-08 Januari 2016.
Asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian, analisa data, perumusan diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.
A. Identitas Klien
Identitas klien bernama Ny. M tinggal di Wonogiri, umur 70 tahun,
jenis kelamin perempuan, pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga, No.
RM 5286xx, sumber informasi diperoleh dengan cara autoanamnesa dan
alloanamnesa, tanggal masuk rumah sakit 31 Desember 2015, dirawat di
ruang rawat inap mawar dengan fraktur collum femur sinistra. Identitas yang
bertanggung jawab Tn. A, umur 38 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan buruh,
alamat wonogiri, hubungan dengan klien anak.
43
B. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan keluhan utama nyeri pada pinggul sebelah
kiri, pada riwayat penyakit sekarang klien dan keluarga mengatakan klien
jatuh terpeleset di kamar mandi sudah sejak 1,5 bulan yang lalu. Pada minggu
pertama habis jatuh klien masih bisa berjalan, 2 minggu kemudian klien tidak
bisa berjalan.Keluarga membawa ke rumah sakit UPT.Rawat Inap Baturetno
dan dilakukan foto rontgen dengan hasil fraktur collum femur
sinistra.Kemudian klien dirujuk ke RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso
Wonogiri pada tanggal 31 Desember 2015.Saat periksa di Poli, klien
disarankan untuk opname dan rencana operasi lalu dirawat di bangsal mawar
dan dijadwalkan untuk operasi pada tanggal 6 Januari 2016. Pada saat
pengkajian didapatkan hasil klien mengeluh nyeri pada pinggul
(selangkangan) sebelah kiri karena pasca operasi, kemudian dilakukan
pengukuran TTV dengan hasil tekanan darah 190/100 mmHg, nadi 86
x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu 36,7 0C, ekstremitas atas kanan terpasang
infus RL 20 tetes per menit.
Riwayat penyakit dahulu klien mengatakan sebelumnya tidak pernah
dirawat di rumah sakit, klien belum pernah mengalami kecelakaan atau
operasi sebelumnya, alergi tidak ada alergi, imunisasi lengkap, dan klien tidak
ada kebiasaan buruk sebelumnya.
Riwayat kesehatan keluarga, dalam keluarga klien tidak memiliki
riwayat penyakit keturunan seperti diabetes mellitus, hipertensi.Pada riwayat
44
kesehatan lingkungan, lingkungan sekitar rumah klien bersih dan terdapat
ventilasi rumah cukup.
Genogram:
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Sudah meninggal
: Pasien
: Tinggal 1 rumah
: Hubungan
: Keturunan
Ny. M berumur 70 tahun tinggal 1 rumah dengan 1 anak laki-laki dan
suaminya.
Pengkajian pola fungsional Gordon, pola persepsi dan pemeliharaan
kesehatan, keluarga klien mengatakan bahwa kesehatan adalah suatu keadaan
dimana seseorang dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari, tidak dalam
keadaan sakit sehat jasmani dan rohani.Apabila ada keluarga yang sakit,
45
keluarga klien sering membeli obat-obatan dari warung dan kadang di bawa
ke puskesmas dan rumah sakit terdekat.
Pola nutrisi dan metabolisme, sebelum sakit klien mengatakan makan 3
kali sehari dengan nasi putih, sayur dan lauk dan minum 6 gelas air
putih.Selama sakit klien mengatakan tidak ada masalah, klien mengatakan
makan 3 kali sehari dengan porsi dari rumah sakit dan minum 3 gelas air
putih.
Pola eliminasi, sebelum sakit BAK frekuensi 5 kali sehari, tekanan
kuat, warna kuning pucat, bau amoniak, keluhan tidak ada, jumlah urine 1000
cc per hari. BAB sebelum sakit, frekuensi 1-2 kali sehari konsistensi lunak
berbentuk, warna keruh kecoklatan dan tidak ada keluhan.Pola eliminasi
selama sakit klien terpasang selang karteter, warna kuning, bau amoniak,
tidak ada keluhan, jumlah urine 1100 cc per hari.BAB selama sakit frekuensi
1 hari sekali, konsistensi lunak, warna keruh kecoklatan dan tidak ada
keluhan.
Pola aktivitas latihan, sebelum sakit klien mengatakan dapat melakukan
aktivitas secara mandiri. Selama sakit klien mengatakan makan atau minum,
berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM dibantu
keluarga dan toileting dibantu keluarga dan alat, klien terlihat total dibantu
oleh keluarga.
Pola istirahat tidur, sebelum sakit klien mengatakan tidur malam ±7-8
jam dan tidur siang ±3 jam. Selama sakit klien mengatakan susah tidur karena
46
merasakan nyeri, tidur malam ±3 jam dan tidak tidur siang. Ditandai dengan
layu, mata merah, cowong dan terdapat garis hitam.
Pola kognitif perseptual, klien mengatakan tidak ada gangguan pada
indra penciuman, pengelihatan dan pendengaran. Pengkajian nyeri P
(Provoking) = klien mengatakan nyeri saat digerakkan karena habis operasi
patah tulang, Q (Quality) = klien merasakan nyeri cenut-cenut, R (Region) =
nyeri pada pinggul sebelah kiri, S (Scale) = skala nyeri 6, T (Time) = nyeri
hilang timbul selama 5 menit. Wajah klien terlihat merintih menahan nyeri.
Pola persepsi konsep diri, klien mengatakan bahwa dirinya merasa
berharga karena ditengok oleh tetangganya di rumah sakit, klien mengatakan
menyukai semua anggota tubuhnya, klien mengatakan dengan mengalami
kejadian ini semoga dapat beraktivitas lagi seperti biasanya, klien sebagai ibu
rumah tangga dan ibu dari ke tujuh anak-anaknya, klien mengatakan bahwa
saya seorang perempuan dari 4 bersaudara, apapun yang terjadi pada diri saya
merupakan jalan yang telah digariskan oleh Tuhan.
Pola hubungan peran, sebelum sakit klien mengatakan hubungan pasien
dengan keluarga harmonis dan hubungan klien dengan masyarakat cukup
baik.Selama sakit klien mengatakan hubungan klien dengan keluarga
harmonis dan dengan masyarakat dilingkungan cukup baik ditandai dengan
dijenguk oleh saudara dan tetangganya.
Pola seksualitas produktivitas, klien mengatakan seorang perempuan
berusia 70 tahun mempunyai suami dan 7 orang anak.
47
Pola mekanisme koping, klien mengatakan bahwa saat ini klien tidak
mempunyai masalah jika ada masalah klien selalu bercerita kepada anggota
keluarga lainnya.
Pola nilai dan keyakinan, Ny.M beragama islam dan selalu menjalankan
sholat 5 waktu, dan selalu berdoa diberi kesehatan.
Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan data bahwa keadaan umum
baik, kesadaran composmentis, pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan
hasil pengukuran tekanan darah 190/100 mmHg, nadi 86 x/menit, respirasi 20
x/menit, suhu 36,7 0C, bentuk kepala mesocephal, rambut berwarna putih,
kulit kepala bersih, mata simetris kanan-kiri, konjungtiva tidak anemis, sclera
tidak ikterik, pupil isokor, diameter kanan/kiri 2 cm/2 cm, hidung bersih,
tidak ada secret, tidak ada nafas cuping hidung, bibir simetris, mukosa bibir
kering, telinga bersih, tidak ada serumen, tidak ada gangguan pendengaran,
simetris kanan dan kiri, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
pembesaran limfe.
Pemeriksaan jantung, inspeksi bentuk dada simetris, palpasi ictus cordis
teraba paling kuat di ICS 4, perkusi suara pekak, ICS 2 kiri batas atas jantung,
ICS kiri batas bawah jantung, ICS 4 kiri dekat sternum batas kanan jantung,
ICS 4 kiri dekat lengan batas kiri jantung, auskultasi bunyi jantung lupdup/
BJ I dan BJ II regular. Paru-paru, inspeksi bentuk dada simetris, tidak ada
lesi, palpasi vocal fremitus kanan kiri sama, perkusi suara sonor di seluruh
lapang paru, auskultasi suara nafas bronkovesikuler. Abdomen, inspeksi tidak
48
ada lesi, auskultasi bising usus 10 x/menit, palpasi teraba lunak, perkusi
pekak pada kuadran I, tympani pada kuadran II, III, IV.
Pada genetalia bersih, terpasang karteter (jumlah urine 1100 cc).pada
rektum bersih, tidak ada luka. Ekstremitas kanan atas terpasang infus RL 20
tetes per menit, kekuatan otot kanan atas dengan nilai 5, kekuatan otot kiri
atas dengan nilai 5, kekuatan otot kanan bawah dengan nilai 5, kekuatan otot
kiri bawah dengan nilai 2. Adapun penilaiannya yaitu derajat 0 tidak dapat
pergerak, 1 ada kontraksi cuma bergerak, 2 mampu bergerak, 3 dapat
bergerak melawan gravitasi, 4 dapat bergerak dengan beban ringan, 5 dapat
bergerak bebas.
Hasil pemeriksaan penunjang, pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan pada tanggal 31 desember 2015 yaitu hemoglobin 10.9 g/dl (nilai
normal 12.0-18.0), hematokrit 36.0 % (nilai normal 37.0-51.0), eritrosit 4.50
m/ul (nilai normal 4.20-6.30), leukosit 7.5 k/ul (nilai normal 4.1-10.9),
trombosit 279 k/ul (nilai normal 140-440). Pada pemeriksaan foto rontgen
didapatkan kesimpulan bahwa adanya fraktur collum femur sinistra dan
pemeriksaan EKG didapatkan hasil right ventrikel hipertrofi.
Terapi cairan intravena RL 20 tetes per menit untuk resusitasi cairan,
asam tranexamat 50miligram/12jam untuk indikasi fibrinolisis dan epitaksis
local, caftazidime 1gram/12 jam untuk indikasi berbagai infeksi bakteri
tulang dan sendi, paracetamol 100 mili/8 jam untuk indikasi meredakan rasa
sakit dan demam, cefotaxime 1 gram/12 jam untuk indikasi infeksi serius
49
mengancam jiwa, mecobalamin 500 miligram/12 jam indikasi untuk
neuropati perifer dan anemia megaloblastik.
C. Daftar Perumusan Masalah
Setelah dilakukan analisa terhadap data hasil pengkajian diperoleh
diagnosa keperawatan utama adalah nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik (fraktur collum femur sinistra), ditandai dengan data subyektif
klien mengatakan nyeri saat digerakkan karena habis operasi patah tulang,
klien merasakan nyeri cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala
nyeri 6, nyeri hilang timbul selama 5 menit, data obyektif ajah klien terlihat
merintih menahan nyeri, pasien terlihat memegangi bagian pinggul sebelah
kiri, tekanan darah 190/100 mmHg, nadi 86 x/menit, suhu 36,70C, respirasi
20 x/menit.
Diagnosa keperawatan kedua adalah gangguan pola tidur berhubungan
dengan gangguan (nyeri pasca operasi), ditandai dengan data subyektif klien
mengatakan tidak tidur siang, tidur malam ± 3 jam dan sering terbangun
merasakan nyeri, data obyektif pasien terlihat pucat atau layu, terlihat lemas,
mata merah, cowong dan terdapat garis hitam dibawah mata, tekanan darah
190/100 mmHg, nadi 86 x/menit, suhu 36,70C, respirasi 20 x/menit.
Diagnosa keperawatan ketiga adalah hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan musculoskeletal, ditandai dengan data subyektif klien
50
mengatakan makan atau minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,
berpindah, ambulasi atau ROM dibantu keluarga dan toileting dibantu
keluarga dan alat, data obyektif klien terlihat lemas, kesulitan bergerak dan
tangan kanan terpasang infus, ekstremitas bawah bagian kiri tidak leluasa,
terlihat pinggul sebelah kiri dibalut.
D. Perencanaan
Rencana keperawatan yang dilakukan pada Ny. M untuk diagnosa
keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (fraktur collum
femur sinistra) dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3 x 24 jam diharapkan nyeri dapat berkurang dengan kriteria hasil: klien
melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan managemen nyeri
dari skala 5 menjadi 0, ekspresi wajah klien tidak tampak menahan nyeri,
klien mampu mengontrol nyeri (mampu menggunakan teknik non
farmakologi), tanda-tanda vital dalam batas normal dengan tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 60-100 kali per menit, respirasi 16-24 kali per menit,
suhu 36,5-37,5oC. Intervensi atau rencana yang akan dilakukan yaitu kaji
status nyeri klien meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran nyeri, dengan
rasional mengetahui keadaan nyeri pasien, berikan posisi yang nyaman,
dengan rasional untuk mengurangi nyeri, ajarkan teknik mengontrol nyeri non
farmakologi dengan terapi musik klasik, dengan rasional untuk mengontrol
nyeri, kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik, dengan rasional
mengurangi nyeri.
51
Rencana keperawatan yang dilakukan pada Ny. M untuk diagnosa
gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (nyeri pasca operasi),
dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan
pola tidur terpenuhi dengan kriteria hasil: jumlah jam tidur dalam batas
normal 6-8 jam per hari, tubuh terasa segar sesudah tidur atau istirahat,
mampu mengidentifikasi hal-hal yang meningkatkan tidur. Intervensi atau
rencana yang akan dilakukan yaitu monitor tidur pasien, dengan rasional
mengetahui kemudahan dalam tidur, ciptakan lingkungan yang nyaman,
dengan rasional meningkatkan kenyamanan, diskusikan dengan pasien dan
keluarga tentang teknik tidur pasien, dengan rasional meningkatkan tidur,
kolaborasi pemberian obat, dengan rasional memudahkan tidur.
Rencana keperawatan yang dilakukan pada Ny. M untuk diagnosa
hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan musculoskeletal, dengan
tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
tingkat mobilitas optimal dengan kriteria hasil: klien meningkat dalam
aktivitas fisik, memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan
dan kemampuan berpindah. Intervensi atau rencana yang akan dilakukan
yaitu monitoring vital sign, dengan rasional mengetahui keadaan umum
pasien, kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, dengan rasional mengetahui
tingkat pasien dalam melakukan aktivitas, damping dan bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL, dengan rasional memelihara
fleksibilitas sendi sesuai kemampuan, ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dengan rasional gerakan aktif
52
memberikan kekuatan otot, konsultasikan dengan fisioterapi tentang rencana
ambulasi sesuai dengan kebutuhan, dengan rasional peningkatan kemampuan
imobilisasi dari latihan ahli fisioterapi.
E. Implementasi
Tindakan yang dilakukan tanggal 6 Januari 2016 pada jam 15.00 WIB
mengkaji status nyeri klien meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran
nyeri, respon subyektif klien mengatakan nyeri saat digerakkan karena bekas
operasi, nyeri cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 6,
nyeri hilang timbul selama 5 menit, respon obyektif klien terlihat meringis
kesakitan dan memegangi bagian pinggul sebalah kiri. Jam 15.10 memonitor
tanda-tanda vital pasien, respon subyektif klien mengatakan bersedia
dilakukan pemeriksaan, respon obyektif klien terlihat tenang, tekanan darah
180/100 mmHg, nadi 88 kali per menit, suhu 36,7oC, pernafasan 20 kali per
menit. Jam 15.15 memberikan posisi yang nyaman, respon subyektif klien
mengatakan nyaman dengan posisi tidurnya sekarang, respon obyektif klien
terlihat tenang. Jam 15.30 mengajarkan teknik mengontrol nyeri non
farmakologi dengan terapi musik klasik, respon subyektif klien mengatakan
bersedia diberikan terapi musik klasik, respon obyektif klien terlihat rileks
mau mendengarkan musik klasik dengan tenang. Jam 15.40 mengkaji status
nyeri klien meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran nyeri, respon
subyektif klien mengatakan nyeri saat digerakkan karena bekas operasi, nyeri
53
cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 5, nyeri hilang
timbul selama 5 menit, respon obyektif klien terlihat meringis kesakitan dan
memegangi bagian pinggul sebalah kiri. Jam 17.00 berkolaborasi dengan tim
medis atau dokter dalam pemberian analgetik (asam tranexsamat 50 mg/ 12
jam, ceftazidine 1 gram/ 12 jam, paracetamol infus 100 mili/ 8 jam,
cefotaxime 1 gram/ 12 jam), respon subyektif klien bersedia diberikan injeksi,
respon obyektif klien obat sudah masuk melalui intravena, klien terlihat tidak
megalami alergi. Jam 20.00 memonitor tidur pasien, respon subyektif klien
mengatakan tidak tidur siang, tidur malam ± 3 jam, sering terbangun karena
merasakan nyeri, respon obyektif klien terlihat pucat, lemas, mata tampak
merah, cowong dan terdapat garis hitam. Jam 20.10 menciptakan lingkungan
yang nyaman, respon obyektif klien mengatakan lingkungan rumah sakit
ramai, respon obyektif klien terlihat tidak tenang. Jam 20.15 mengkaji
kemampuan pasien dalam mobilisasi, respon subyektif klien mengatakan
tubuh terasa lemas, hanya mampu terbaring di tempat tidur dan aktivitas
dibantu keluarga, respon obyektif klien terlihat lemah, aktivitas klien terlihat
dibantu keluarga. Jam 20.20 mendampingi dan membantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL, respon subyektif klien
mengatakan makan atau minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,
berpindah, ambulasi atau ROM dibantu keluarga dan toileting dibantu
keluarga dan alat, respon obyektif klien terlihat lemas, hanya bisa berbaring
di tempat tidur, didapatkan hasil pasien dibantu keluarga.
54
Tindakan yang dilakukan tanggal 7 Januari 2016 pada jam 15.00 WIB
mengkaji status nyeri klien meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran
nyeri, respon subyektif klien mengatakan nyeri saat digerakkan karena bekas
operasi, nyeri cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 5,
nyeri hilang timbul selama 5 menit, respon obyektif klien terlihat meringis
kesakitan dan memegangi bagian pinggul sebalah kiri. Jam 15.15 memonitor
tanda-tanda vital pasien, respon subyektif klien mengatakan bersedia
dilakukan pemeriksaan, respon obyektif klien terlihat tenang, tekanan darah
170/100 mmHg, nadi 86 kali per menit, suhu 36,5oC, pernafasan 20 kali per
menit. Jam 15.20 mengajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi
dengan terapi musik klasik, repon subyektif klien mengatakan bersedia
diberikan terapi musik klasik, respon obyektif klien terlihat rileks mau
mendengarkan musik klasik dengan tenang. Jam 15.30 mengkaji status nyeri
klien meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran nyeri, respon subyektif
klien mengatakan nyeri saat digerakkan karena bekas operasi, nyeri cenut-
cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 3, nyeri hilang timbul
selama 5 menit, respon obyektif klien tampak memegangi bagian pinggul
sebalah kiri dan klien terlihat sedikit rileks. Jam 17.00 berkolaborasi dengan
tim medis dalam pemberian analgetik (ceftazidine 1 gram/ 12 jam, cefotaxime
1 gram/ 12 jam, paracetamol infus 100 mili/ 8 jam, mecobalamin 500 mg/ 12
jam), respon subyektif klien mengatakan bersedia diberikan injeksi, respon
obyektif, obat sudah masuk melalui intravena, klien terlihat tidak megalami
alergi.
55
Jam 20.00 memonitor tidur klien, respon subyektif klien mengatakan
tidak tidur siang, tidur malam 5 jam sering terbangun karena merasakan nyeri,
respon obyektif klien terlihat pucat, mata pasien terlihat merah, cowong dan
terdapat garis hitam. Jam 20.05 menciptakan lingkungan yang nyaman,
respon subyektif klien mengatakan merasa nyaman, respon obyektif klien
terlihat tenang.
Jam 20.10 mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, respon
subyektif klien mengatakan tubuh terasa lemas, hanya mampu terbaring di
tempat tidur dan aktivitas dibantu keluarga, respon obyektif klien terlihat
lemah, aktivitas klien terlihat dibantu keluarga. Jam 20.15 mendampingi dan
membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL, respon
subyektif klien mengatakan makan atau minum, berpakaian, mobilitas di
tempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM dibantu keluarga dan toileting
dibantu keluarga dan alat, respon obyektif klien terlihat lemas, hanya bisa
berbaring di tempat tidur, didapatkan hasil pasien dibantu keluarga.
Tindakan yang dilakukan tanggal 8 Januari 2016 pada jam 15.00
mengkaji status nyeri klien meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran
nyeri, respon subyektif klien mengatakan nyeri saat digerakkan karena bekas
operasi, nyeri cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 3,
nyeri hilang timbul selama 5 menit, respon obyektif klien terlihat memegangi
bagian pinggul sebalah kiri dan sedikit rileks. Jam 15.05 memonitor tanda-
tanda vital klien, respon subyektif klien mengatakan bersedia dilakukan
56
pemeriksaan, respon obyektif pasien terlihat tenang, tekanan darah 150/70
mmHg, nadi 88 kali per menit, suhu 36,5oC, pernafasan 20 kali per menit.
Jam 15.10 mengajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi
dengan terapi musik klasik, respon subyektif klien mengatakan bersedia
diberikan terapi musik klasik, respon obyektif klien terlihat mendengarkan
musik klasik dengan tenang, klien terlihat rileks. Jam 15.20 mengkaji status
nyeri klien meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran nyeri, respon
subyektif klien mengatakan nyeri saat digerakkan karena bekas operasi, nyeri
cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 1, nyeri hilang
timbul selama 1 menit, respon obyektif klien terlihat tersenyum dan tenang.
Jam 17.00 berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik
(cefotaxime 1 gram/ 12 jam, ceftazidime 1 gram/ 12 jam), respon subyektif
klien bersedia diberikan injeksi, respon obyektif klien terlihat tenang, obat
sudah masuk melalui intra vena, klien terlihat tidak megalami alergi.
Jam 20.00 memonitor tidur pasien, respon subyektif klien mengatakan
tidur siang ± 3 jam dan tidur malam ± 7 jam, respon obyektif klien terlihat
tidak pucat, mata pasien terlihat tidak cowong dan tidak terdapat garis hitam.
Jam 20.10 mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, respon subyektif
klien mengatakan tubuh terasa lemas, hanya mampu terbaring di tempat
tidurdan aktivitas dibantu keluarga, respon obyektif klien terlihat lemah,
aktivitas klien terlihat dibantu keluarga. Jam 20.15 mendampingi dan
membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL, respon
subyektif klien mengatakan makan atau minum, berpakaian, mobilitas di
57
tempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM dibantu keluarga dan toileting
dibantu keluarga dan alat, respon obyektif klien terlihat lemas, hanya bisa
berbaring di tempat tidur, didapatkan hasil pasien dibantu keluarga.
F. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, hasil evaluasi dilakukan pada
hari Rabu, 6 Januari 2016, jam 20.30 dengan menggunakan metode SOAP
(Subyektif, Obyektif, Assessment, Planning), untuk diagnosa nyeri akut data
subyektif klien mengatakan nyeri timbul saat bergerak, nyeri cenut-cenut,
nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 5, nyeri hilang timbul selama 5
menit, data obyektif klien terlihat meringis kesakitan, memegangi bagian
pinggul sebelah kiri, tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 88 kali per menit,
suhu 36,7oC, respirasi 20 kali per menit, masalah nyeri akut belum teratasi,
intervensi dilanjutkan, observasi status nyeri klien (PQRST), observasi tanda-
tanda vital, ajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan terapi
musik klasik, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik.
Evaluasi dilakukan pada hari Rabu, 6 Januari 2016, jam 20.45 untuk
diagnosa gangguan pola tidur, data subyektif klien mengatakan tidak tidur
siang, tidur malam ± 3 jam, sering terbangun karena merasakan nyeri, data
obyektif klien terlihat pucat, lemas, mata klien terlihat merah, cowong dan
58
terdapat garis hitam, tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 88 kali per menit,
suhu 36,7oC, respirasi 20 kali per menit, masalah pola tidur belum teratasi,
intervensi dilanjutkan, monitor tidur pasien, ciptakan lingkungan yang
nyaman, diskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klie,
kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik.
Evalusi dilakukan pada hari Rabu, 6 Januari 2016, jam 20.50 untuk
diagnosa hambatan mobilitas fisik, data subyektif klien mengatakan makan
atau minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi atau
ROM dibantu keluarga, toileting dibantu keluarga dan alat, data obyektif
klien terlihat lemas, kesulitan bergerak, pinggul sebelah kiri dibalut dan
tangan kanan dipasang infus, data diatas didapakan hasil pasien total dibantu
keluarga, masalah mobilitas belum teratasi, intervensi dilanjutkan, kaji
kemampuan klien dalam mobilisasi, observasi tanda-tanda vital, latih klien
dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan, bantu
klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL, konsultasikan dengan
fisioterapi.
Hasil evaluasi dilakukan pada hari Kamis, 7 Januari 2016, jam 20.30
untuk diagnosa nyeri akut data subyektif klien mengatakan nyeri timbul saat
bergerak, nyeri cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 3,
nyeri hilang timbul selama 5 menit, data obyektif klien terlihat memegangi
bagian pinggul sebelah kiri dan sedikit rileks, tekanan darah 170/100 mmHg,
nadi 86 kali per menit, suhu 36,5oC, respirasi 20 kali per menit, masalah nyeri
teratasi sebagian, intervensi dilanjutkan, observasi status nyeri klien
59
(PQRST), observasi tanda-tanda vital, ajarkan teknik mengontrol nyeri non
farmakologi dengan terapi musik klasik, kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian obat analgesik.
Evaluasi dilakukan pada hari Kamis, 7 Januari 2016, jam 20.45 untuk
diagnosa gangguan pola tidur, data subyektif klien mengatakan tidak tidur
siang, tidur malam ± 5 jam, sering terbangun karena merasakan nyeri, data
obyektif klien terlihat pucat, lemas, mata klien tampak merah, cowong dan
terdapat garis hitam, tekanan darah 170/100 mmHg, nadi 86 kali per menit,
suhu 36,5oC, respirasi 20 kali per menit, masalah pola tidur teratasi sebagian,
intervensi dilanjutkan, monitor tidur pasien, ciptakan lingkungan yang
nyaman, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik.
Evalusi dilakukan pada hari Rabu, 7 Januari 2016, jam 20.50 untuk
diagnose hambatan mobilitas fisik, data subyektif klien mengatakan makan
atau minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi atau
ROM dibantu keluarga, toileting dibantu keluarga dan alat, data obyektif
klien terlihat lemas, kesulitan bergerak, pinggul sebelah kiri dibalut dan
tangan kanan dipasang infus, data diatas didapakan hasil pasien total dibantu
keluarga, masalah mobilitas belum teratasi, intervensi dilanjutkan, kaji
kemampuan klien dalam mobilisasi, observasi tanda-tanda vital, latih klien
dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan, bantu
klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL, konsultasikan dengan
fisioterapi.
60
Hasil evaluasi dilakukan pada hari Jum’at, 8 Januari 2016, jam 20.30
untuk diagnosa nyeri akut data subyektif klien mengatakan nyeri timbul saat
bergerak, nyeri cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 1,
nyeri hilang timbul selama 1 menit, data obyektif klien terlihat tersenyum,
rileks dan tenang, tekanan darah 150/70 mmHg, nadi 88 kali per menit, suhu
36,5oC, respirasi 20 kali per menit, masalah nyeri teratasi, intervensi
dihentikan.
Evaluasi dilakukan pada hari Jum’at, 8 Januari 2016, jam 20.45 untuk
diagnosa gangguan pola tidur, data subyektif klien mengatakan tidur siang ±
3 jam dan tidur malam ± 7 jam, data obyektif klien tampak tidak pucat, mata
klien tidak merah, tidak cowong dan tidak terdapat garis hitam, tekanan darah
150/70 mmHg, nadi 88 kali per menit, suhu 36,5oC, respirasi 20 kali per
menit, masalah pola tidur teratasi, intervensi dihentikan.
Evalusi dilakukan pada hari Jum’at, 8 Januari 2016, jam 20.50 untuk
diagnosa hambatan mobilitas fisik, data subyektif klien mengatakan makan
atau minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur, berpindah, ambulasi atau
ROM dibantu keluarga, toileting dibantu keluarga dan alat, data obyektif
klien terlihat lemas, kesulitan bergerak, pinggul sebelah kiri dibalut dan
tangan kanan dipasang infuse, data diatas didapakan hasil pasien total dibantu
keluarga, masalah mobilitas belum teratasi, intervensi dilanjutkan, kaji
kemampuan klien dalam mobilisasi, observasi tanda-tanda vital, latih klien
dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan, bantu
61
klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL, konsultasikan dengan
fisioterapi.
61
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas tentang pemberian terapi musik klasik terhadap
penurunan nyeri pada asuhan keperawatan Ny. M dengan post op fraktur di ruang
rawat inap Mawar di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Disamping
itu penulis akan membahas tentang faktor pendukung dan kesenjangan-
kesenjangan yang terjadi antar teori dengan kenyataan yang meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Lyer et al.,
1996 dalam Setiadi 2012).
Pengkajian dilakukan pada tanggal 05 Januari 2016 pada Ny.M
didapatkan keluhan utama nyeri pada pinggul sebelah kiri berkaitan dengan
fraktur.Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial (Rasjad,
2007).Nyeri setelah pembedahan merupakan hal yang fisiologis, tetapi hal ini
merupakan salah satu keluhan yang paling ditakuti oleh pasien setelah
pembedahan.Nyeri menurut Asosiasi Nyeri Internasional (1979 dalam
Tamsuri, 2007) adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
62
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik
secara aktual maupun potensial, atau menggambarkan keadaan kerusakan
seperti tersebut di atas.
Pemenuhan aktivitas dan latihan (ADL) Ny. M mengatakan dalam
melakukan aktivitas seperti makan, minum, berpakaian, mobilitas dan
berpindah dibantu oleh keluarga dan toileting dibantu keluarga dan alat.
Menurut Widya (2010) dalam Rustianawati (2013), pasien pasca operasi
sering kali dihadapkan pada permasalahan adanya proses peradangan akut
dan nyeri yang mengakibatkan keterbatasan gerak.
Pengkajian pada pola istirahat tidur, klien mengatakan tidak tidur siang
dan tidur malam ±3 jam, sering terbangun karena merasakan nyeri setelah
operasi, klien terlihat layu, mata merah, cowong dan terdapat garis hitam.
Klien yang mengalami nyeri akan berpengaruh pada perubahan pola istirahat
tidur (Potter dan Perry, 2005).
Pada pola kognitif perseptual klien mengatakan nyeri pada pinggul
sebelah kiri, nyeri timbul saat bergerak, nyeri cenut-cenut, skala nyeri 6, dan
nyeri hilang timbul selama 5 menit. Menurut klasifikasinya nyeri pada Ny. M
tergolong nyeri akut dimana nyeri akut diartikan sebagai nyeri yang terjadi
dalam waktu atau durasi 1 detik sampai dengan kurang dari 6 bulan.Nyeri
akut biasanya menghilng dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan
setelah kerusakan jaringan menyembuhkan (Tamsuri, 2006).
Nyeri yang dirasakan Ny. M tergolong nyeri sedang karena skala nyeri
yang dirasakan skala 6 (agak mengganggu). Nyeri dapat diukur dengan
63
numeric rating scale (NRS) yaitu, skala 0 adalah tidak nyeri, skala 1-3 adalah
nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, skala 4-
6 adalah nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik, skala 7-9 adalah nyeri berat, secara obyektif klien
terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, skala 10
nyeri sangat berat , pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul
(Potter & Perry, 2006).
Hasil pemeriksaan fisik tanda-tanda vital Ny. M, yaitu tekanan darah
190/100 mmHg, nadi 86 kali per menit, frekuensi pernafasan 20 kali per
menit, suhu 36,7oC. Hal ini terjadi peningkatan tekanan darah dari normal
yaitu untuk tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi pernafasan 14-20 kali per
menit, nadi 60-100 kali per menit, suhu 36,5-37,5 oC untuk suhu dewasa
(Bickley, 2008).
Hasil pengkajian kekuatan otot pada Ny. M yang terjadi pada
ekstremitas bawah kaki kiri mengalami penurunan kekuatan otot yaitu
kekuatan otot 2 sedangkan ekstremitas yang lain tidak mengalami masalah
dengan kekuatan otot 5. Penurunan otot disebabkkan karena nyeri yang
dialami klien post operasi fraktur collum femur sinistra, selain itu adanya
pengaruh ansietas dan pengaruh dari anastesi (Brunner dan Suddart, 2002)
64
Hasil pemeriksaan ekstremitas kebanyakan klien merasa takut untuk
bergerak setelah pasca operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka bekas
operasi dan luka bekas trauma (Brunner dan Suddarth, 2002).Pemeriksaan
tentang gerak sendi (ROM/ range of joint motion), dan pengkajian kekuatan
otot sangat penting dilakukan apabila klien mengeluh rasa nyeri pada
ekstremitas atau kehilangan fungsi sendi atau otot.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan karena dapat membantu
menentukan adanya perdarahan abnormal, sehingga dapat menentukan
tindakan keperawatan (Sjamsuhidajat, 2004).Hasil pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan pada klien yaitu pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil
nomal.
Klien mendapatkan cairan intravena NaCl 0,9% 500 ml dengan dosis 20
tetes per menit untuk indikasi mengembalikan keseimbangan elektrolit, asam
tranexamat 50miligram/12jam untuk indikasi fibrinolisis dan epitaksis local,
caftazidime 1gram/12 jam untuk indikasi berbagai infeksi bakteri tulang dan
sendi, paracetamol 100 mili/8 jam untuk indikasi meredakan rasa sakit dan
demam, cefotaxime 1 gram/12 jam untuk indikasi infeksi serius mengancam
jiwa, mecobalamin 500 miligram/12 jam indikasi untuk neuropati perifer dan
anemia megaloblastik (ISO, 2012).
Pada pemeriksaan foto rontgen didapatkan kesimpulan bahwa adanya
fraktur collum femur sinistra.Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas
batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki
65
dewasa.Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup
banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok.(FKUI, 1995:543) dalam
Jitowiyono (2012).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang diambil oleh penulis pada tanggal 06
Januari 2016 adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (fraktur
collum femur sinistra), yang telah disesuaikan dengan diagnosa keperawatan
NANDA. Pada kasus Ny. M terjadi nyeri akut yaitu pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian
rupa (International Association for the Study of Pain) awitan tiba-tiba atau
lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung kurang dari 6 bulan
(Herdman, 2012).
Nyeri yang dialami Ny. M berkaitan dengan nyeri akut yang terjadi
adanya luka insisi bekas pembedahan (Perry & Potter, 2006). Batasan
karakteristik menurut teori yang ada yaitu perubahan tekanan darah,
perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan,
mengekspresikan perilaku (gelisah, merengek, menangis, waspada iritabilitas
mendesal), perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap melindungi area
nyeri (Herdman, 2012). Pada Ny. M batasan karakteristik yang ditemukan
meliputi data subyektif klien mengatakan nyeri timbul saat bergerak, klien
66
merasakan nyeri cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kiri, skala nyeri 6
(agak mengganggu), nyeri hilang timbul selama 5 menit, dan data obyektif
wajah klien terlihat meringis kesakitan, klien terlihat memegangi bagian
pinggul sebelah kiri, tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 88 kali per menit,
respirasi 20 kali per menit, suhu 36,7oC.
Analisa data yang kedua data subyektif: klien mengatakan tidak tidur
siang dan tidur malam ±3 jam karena nyeri setelah operasi. Data obyektif
diperoleh klien terlihat layu, mata merah, cowong dan terdapat garis hitam.
Gangguan pola tidur dapat di definisikan sebagai gangguan jumlah dan
kualitas tidur (penghentian kesadaran alami, periodik) yang dibatasi waktu
dalam jumlah dan kualitas (Wilkinson, 2007).
Analisa data yang ketiga data subyektif: respon klien mengatakan
selama sakit dalam melakukan aktivitas dan latihan seperti makan, minum,
berpakaian, mobilitas maupun berpindah dibantu oleh keluarga dan toileting
dibantu oleh keluarga dan alat. Data obyektif yang diperoleh, klien terlihat
dibantu keluarga dalam aktivitas maupun latihan seperti makan, mobilitas,
berpakaian maupun toileting, klien terlihat kesulitan bergerak dan lemas,
kekuatan otot tangan kanan dan tangan kiri 5, sedangkan kekuatan otot kaki
kanan 5 dan kaki kiri 2. Berdasarkan hasil analisa data yang didapat, maka
penulis menegakkan diagnosa keperawatan yaitu hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan musculoskeletal.
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik
tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Batasan
67
karakteristiknya antara lain: penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak
balikan posisi, melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
(missal: meningkatkan perhatian pada aktivitas orang lain, mengendalikan
perilaku, fokus pada ketunadayaan/ aktivitas sebelum sakit), dispnea setelah
beraktivitas, perubahan cara berjalan, keterbatasan kemampuan melakukan
keterampilan motorik halus, keterbatasan tentang gerak sendi, tremor akibat
pergerakan, pergerakan lambat dan pergerakan tidak berkoordinasi (Nanda,
2013: 612).
Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik (post operasi fraktur collum femur sinistra) sebagai diagnosa
pertama. Alasan penulis memprioritaskan masalah nyeri akut sebagai prioritas
pertama, karena berdasarkan pada keaktualan masalah yang sesuai dengan
tipe-tipe diagnosa keperawatan. Menurut Carpenito (2002) dalam Setiadi
(2012: 40), bahwa terdapat 5 tipe diagnosa yaitu aktual, risiko, kemungkinan,
kesejahteraan, dan sindrom. Diagnosa aktual adalah menyajikan keadaan
yang secara klinis telah di validasi melalui batasan karakteristik mayor yang
dapat diidentifikasi, karena nyeri dapat mengganggu kebutuhan rasa aman
dan nyaman serta merupakan masalah yang paling utama maka harus
didahulukan daripada kebutuhan yang lain.
Apabila diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
(post operasi fraktur collum femur sinistra) tidak ditegakkan padahal terdapat
data-data yang mendukung untuk ditegakkannya diagnosa tersebut maka
individu akan merespon secara biologis dan perilaku yang menimbulkan
68
respon fisik dan psikis. Respon psikis meliputi perubahan keadaan umum,
ekspresi wajah, nadi, pernafasan, suhu, sikap badan dan apabila nyeri berada
pada derajat berat dapat menyebabkan kolaps kadiovaskuler dan syok.
Respon psikis akibat nyeri dapat merangsang respon stress yang dapat
menekan sistem imun dan peradangan, serta menghambat penyembuhan.
Respon yang lebih parah akan mengarah pada ancaman merusak diri
(Rustinawati, 2013).
Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur karena telah sesuai
dengan batasan karakteristik (Wilkinson, 2007) yang menyebutkan bahwa
karakteristik gangguan pola tidur yaitu bangun lebih awal atau lebih lambat
dari yang diinginkan, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang kesulitan
untuk tidur, keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan
baik. Batasan karakteristik lain yang mungkin muncul yaitu lingkaran gelap
dibawah mata, penurunan rentang perhatian, aek datar, sering menguap, tidur
terganggu, tidak bergairah, dan perubahan mood. Berdasarkan batasan
karakteristik maka etiologi yang dapat diambil oleh penulis yaitu gangguan
(nyeri pasca operasi).
Penulis memprioritaskan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
musculoskeletal sebagai prioritas diagnosa keperawatan ketiga. Karena dalam
hambatan mobilitas faktor penyebab adalah nyeri akut sehingga penulis
menjadikan hambatan mobilitas fisik sebagai prioritas diagnosa keperawatan
yang ketiga.
69
C. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah bagian dari fase pengorganisasian
dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan
keperawatan dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan masalah
atau untuk memenuhi kebutuhan klien. Perencanaan yang tertulis dengan baik
akan memberi petunjuk dan arti pada asuhan keperawatan, karena
perencanaan adalah sumber informasi bagi semua yang terlibat dalam asuhan
keperawatan klien. Rencana ini merupakan sarana komunikasi yang utama,
dan memelihara continuitas asuhan keperawatan klien bagi seluruh anggota
tim (Setiadi, 2012).
Proses perencanaan keperawatan meliputi penetapan tujuan perawatan,
penetapan kriteria hasil, pemilihan intervensi yang tepat, dan rasionalisasi
dari intervensi dan mendokumentasikan rencana perawatan (Setiadi, 2012).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang pertama penulis menyusun
perencanaan antara lain: yang pertama kaji nyeri secara komprehensif
(meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran nyeri). Pengukuran intensitas
nyeri sangat subjektif dan individual. Kemungkinan nyeri dalam intensitas
yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri,
2007). Perencanaan kedua yaitu observasi tanda-tanda vital, tekanan darah
yang tinggi dan nafas yang cepat terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau
ansietas. Perencanaan ketiga yaitu berikan posisi yang nyaman (posisi untuk
menghindari nyeri dan sikap melindungi area nyeri). Pasien ditempatkan pada
posisi yang senyaman mungkin yang dapat mengurangi pergerakan yang
70
dapat menimbulkan nyeri (Tamsuri, 2007). Perencanaan keempat yaitu
ajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan terapi musik klasik.
Musik klasik memiliki tempo lambat dan menenangkan bisa menjadi terapi
yang dapat diartikan sebagai pengobatan. Musik klasik tersebut memiliki
aspek terapeutik, sehingga musik klasik banyak digunakan untuk
penyembuhan (Musbikin, 2009). Perencaan kelima yaitu kolaborasi
pemberian analgetik (NIC dalam Huda amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 660).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang kedua penulis menyusun
perencanaan antara lain: yang petama monitor tidur klien (jumlah jam tidur
dalam batas normal 6-8 jam per hari). Untuk dapat berfungsi secara normal
maka setiap orang memerlukan istirahat dan tidur yang cukup. Pada kondisi
istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan
stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal (Potter dan Perry,
2006). Perencanaan kedua yaitu ciptakan lingkungan yang nyaman. Suara
bising dilingkungan dapat mengambat tidur, ketdaknyamanan akibat suhu
lingkungan dan kurang ventilasi dapat mempengaruhi tidur. Kadar cahaya
dapat menjadi factor lain yang berpengaruh (Asmadi, 2008). Perencanaan
ketiga yaitu diskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien,
dan perencanaan keempat kolaborasi pemberian obat (NIC dalam Huda amin
dan Kusuma Hardhi, 2013: 603).
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang ketiga penulis menyusun
perencanaan antara lain: observasi tanda-tanda vital, kaji kemampuan klien
dalam mobilisasi, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi
71
kebutuhan ADL, ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan (posisi miring dan bergeser), konsultasikan dengan
fisioterapi tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan (NIC dalam
Huda amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 612).
D. Tindakan Keperawatan
Berdasarkan masalah kepeawatan tersebut perawat melakukan
implementasi dan evaluasi selama 3 hari sesuai tujuan, kriteria hasil, dan
intervensi yang telah dibuat berdasarkan NIC dan NOC.
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Ny. M sama dengan yang
ada di intervensi pada diagnosa pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan
agen cidera fisik (fraktur collum femur sinistra) dengan mengobservasi
karakteristik nyeri (PQRST), memberikan posisi yang nyaman, mengajarkan
teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan terapi musik klasik, dan
berkolaborasi dengan dokter pemberian analgesik.
Penulis melakukan implementasi untuk diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik (fraktur collum femur sinistra) selama
3 hari. Tindakan yang pertama yaitu mengobservasi karakteristik nyeri
(PQRST), didapatkan respon subyektif klien mengatakan nyeri timbul saat
bergerak, nyeri cenut-cenut, nyeri pada pinggul sebelah kanan, skala nyeri 6,
dan nyeri hilang timbul selama 5 menit, respon obyektif wajah klien terlihat
meringis kesakitan, klien terlihat memegangi bagian pinggul sebelah kiri,
tanda-tanda vital klien tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 88 kali per menit,
72
respirasi 20 kali per menit, suhu 36,7oC. Dalam teori, observasi karakteristik
nyeri dilakukan untuk mengetahui pemicu nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri,
intensitas nyeri dan waktu serangan nyeri (Saputra, 2013).
Setelah melakukan observasi nyeri, untuk mengatasi nyeri klien, penulis
memberikan posisi yang nyaman terhadap klien, didapat respon subyektif
klien mengatakan nyaman dengan posisi tidurnya sekarang, respon obyektif
klien terlihat tenang.
Penulis mengajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan
pemberian terapi musik klasik, didapatkan respon subyektif klien mengatakan
bersedia diberikan terapi musik klasik, respon obyektif klien terlihat rileks
mau mendengarkan musik klasik dengan tenang. Berdasarkan teori terapi
musik klasik dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori Gate Control bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di
sepanjang sistem saraf pusat.
Musik dihasilkan dari stimulus yang dikirim dari akson-akson serabut
sensori ascenden ke neuron-neuron Reticular Activaty System (RAS). Stimuli
ini akan ditransformasikan oleh nuclei spesifik dari thalamus melewati area
korteks serebri, system limbic, corpus collosum, serta area sistem saraf
otonom dan sistem neuroendokrin. Musik dapat memberikan rangsangan pada
saraf simpatis dan parasimpatis untuk menghasilkan respons relaksasi.
Karakteristik respons relaksasi yang ditimbulkan berupa penurunan frekuensi
nadi, relaksasi otot, dan keadaan tidur (Tuner, 2010).
73
Efek musik pada sistem neuroendokrin adalah memelihara
keseimbangan tubuh melalui sekresi hormon-hormon oleh zat kimia ke dalam
darah, seperti ekskresi endorphin yang berguna dalam menurunkan nyeri,
mengurangi pengeluaran katekolamin, dan kadar kortikosteroid adrenal
(Tuner, 2010).
Endorfin memiliki efek relaksasi pada tubuh (Potter & Perry, 2006).
Endorfin juga sebagai ejektor dari rasa rileks dan ketenangan yang timbul,
midbrain mengeluarkan Gama Amino Butyric Acid (GABA) yang berfungsi
menghambat hantaran impuls listrik dari satu neuron ke neuron lainnya oleh
neurotransmitter di dalam sinaps. Selain itu, midbrain juga mengeluarkan
enkepalin dan beta endorfin. Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia
yang akhirnya mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusat persepsi
dan interpretasi sensorik somatic di otak. Sehingga efek yang bisa muncul
adalah nyeri berkurang (Guyton & Hall, 2008).
Musik merupakan teknik distraksi efektif yang dapat menurunkan
intensitas nyeri, keadaan stress, dan tingkat kecemasan dengan cara
mengalihkan perhatian seseorang dari perasaan nyeri yang dirasakan.
Menurut Kemper & Denhaueur (2005), musik dapat memberikan efek pada
peningkatan kesehatan, mengurangi stress, dan mengurangi nyeri.
Arslan, Ozer dan Ozyurt (2007) menjelaskan bahwa efek yang
ditimbulkan musik adalah menurunkan stimulus sistem syaraf simpatis.
Respon yang muncul dari penurunan aktifitas tersebut adalah menurunnya
aktifitas adrenalin, menurunkan ketegangan neuromuskular, meningkatkan
74
ambang kesadaran. Indikator yang bisa diukur dengan penurunan itu adalah
menurunnya heart rate, respiratory rate, metabolicrate, konsumsi oksigen
menurun, menurunnya ketegangan otot, menurunnya level sekresi epinefrin,
penurunan asam lambung, meningkatnya motilitas, penurunan kerja kelenjar
keringat, penurunan tekanan.
Terapi musik memiliki tiga bagian penting yaitu beat, ritme dan
harmoni. Beat mempengaruhi tubuh, ritme mempengaruhi jiwa sedangkan
harmoni mempengaruhi roh. Musik klasik ini memiliki irama dan nada-nada
yang teratur, bukan nada-nada miring (Surilena, 2008). Mendengarkan musik
akan mengalihkan perhatian terhadap nyeri (distraksi) dan memberikan rasa
nyaman dan rilek (relaksasi). Sesuai dengan teori menurut Campbell (2001)
musik dapat digunakan sebagai terapi musik untuk meningkatkan
kemampuan manusia terhadap berbagai jenis penyakit dan dapat
dimanfaatkan sebagai aktivitas didtraksi. Teknik distraksi dengan terapi
musik akan membantu melepaskan endorfhin yang ada dalam tubuh. Seperti
diketahui bahwa endorphin memiliki efek relaksasi dalam tubuh (Potter &
Perry, 2006). Endorphin tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang
mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusa persepsi dan interpretasi
sensori dalam otak. Sehingga efek yang bisa muncul adalah nyeri berkurang
(Guyton & Hall, 2008).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan terapi non farmakologi yaitu
menggunakan terapi musik klasik pada kelompok eksperimen yang terbukti
dapat menurunkan skala nyeri yang lebih signifikan dibandingkan dengan
75
kelompok kontrol tanpa mendapatkan terapi musik klasik. Pada kelompok
eksperimen diminta untuk medengarkan musik klasik yang dibawakan Kenny
G yang berjudul “My Heart Will Go On” agar pasien lebih bisa menikmati
dan menghayati musik klasik instrumental tersebut untuk mengalihkan
perhatian pasien dari rasa nyeri agar mendapatkan hasil yang lebih efektif.
Diberikan selama 10 menit.
Pemberian terapi musik pada Ny. M diberikan dengan earphone, musik
dengan judul lagu instrument my heart will go on, diberikan selama 10 menit,
dengan volume sesuai keinginan klien. Dengan menggunakan headphone dan
earphone dapat membantu fokus klien dalam mendengarkan terapi musik
klasik. Sehingga penurunan nyeri yang dialami Ny. M dapat teratasi dengan
maksimal.
Setelah pemberian terapi musik dilakukan observasi nyeri, dengan hasil
respon subyektif klien mengatakan nyeri timbul saat bergerak, nyeri cenut-
cenut, nyeri pada pinggul sebelah kanan, skala nyeri 5, dan nyeri hilang
timbul selama 5 menit, respon obyektif wajah klien terlihat meringis
kesakitan, klien terlihat memegangi bagian pinggul sebelah kiri.
Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian terapi musik efektif
menurunkan skala nyeri klien. Hal ini sesuai dengan jurnal, dimana dalam
jurnal disebutkan bahwa tingkat nyeri klien post op fraktur akan menurun
setelah diberikan terapi musik. Menurut Guzzata pada tahun 1989 dalam
potter dan Perry pada tahun 2006 musik dapat menurunkan nyeri, fisiologis,
stress, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri.
76
Diagnosa keperawatan kedua implementasi yang dilakukan monitor
tidur klien, ciptakan lingkungan yang nyaman, diskusikan dengan klien dan
keluarga tentang teknik tidur klien, kolaborasi pemberian obat (NIC dalam
Huda amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 603).
Diagnosa keperawatan ketiga implementasi yang dilakukan mengkaji
kemampuan klien dalam mobilisasi dengan respon klien mengatakan tubuh
terasa lemas, hanya mampu terbaring di tempat tidur dan aktivitas dibantu
keluarga, klien terlihat lemah dan aktivitas klien terlihat dibantu keluarga.
Mendampingi dan membantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADL dengan respon subyektif klien mengatakan makan/ minum,
berpakaian, mobilisasi di tempat tidur, berpindah, ambulasi dibantu keluarga
dan toileting dibantu keluarga dan alat, klien terlihat lemas, hanya bisa
berbaring di tempat tidur. Kompresi perban dan gerakan kaki yang terganggu
dapat mempengaruhi gerakan dan meningkatkan resiko jatuh (Carpenito,
1999: 477).
E. Evaluasi Tindakan
Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga
kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien
dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan (Setiadi, 2012).
77
Evaluasi dari tindakan yang dilakukan dengan metode SOAP
(Subyektif, Obyektif, Asessment, Planning). Evaluasi pada hari pertama
diagnosa pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
(fraktur collum femur sinistra), Rabu 06 Januari 2016 pukul 20.30 WIB
dengan hasil Subyektif (S) pasien mengatakan nyeri karena bekas operasi,
Provoking (P): nyeri saat bergerak, Quality (Q): nyeri cenut-cenut, Region
(R): nyeri pada pinggul sebelah kiri, Saverity (S): skala nyeri 5, Time (T):
nyeri hilang timbul selama 5 menit. Obyektif (O) pasien terlihat meringis
kesakitan dan memegangi bagian pinggul sebelah kiri, tekanan darah 180/100
mmHg, nadi 88 kali per menit, suhu 36,7oC, respirasi 20 kali per menit.
Asessment (A) masalah belum teratasi dengan kriteria hasil skala nyeri 1-3,
tanda-tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 60-
100 kali per menit, respirasi 16-24 kali per menit, pasien mengatakan nyeri
atau ketidaknyamanan hilang atau terkontrol, pasien mampu menggunakan
teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri dan Planning (P) lanjutkan
intervensi dengan observasi status nyeri, observasi tanda-tanda vital, ajarkan
teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan terapi musik klasik,
kolaborasi dalam pemberian analgesik.
Evaluasi diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur berhubungan
dengan gangguan (nyeri pasca operasi), Rabu 06 Januari 2016 pukul 20.45
WIB Subyektif (S) klien mengatakan tidak tidur siang, tidur malam ±3 jam,
sering terbangun karena merasakan nyeri. Obyektif (O) klien terlihat pucat,
tidak fresh, lemas, mata terlihat merah, cowong dan terdapat garis hitam.
78
Asessment (A) masalah belum teratasi dengan kriteria hasil jumlah jam tidur
dalam batas normal 6-8 jam/hari, pola tidur dan kualitas dalam batas normal,
tubuh segar sesudah tidur dan istirahat, mampu mengidentifikasi hal-hal yang
meningkatkan tidur dan Planning (P) lanjutkan intervensi monitor tidur
pasien, ciptakan lingkungan yang nyaman, diskusikan dengan klien dan
keluarga tentang teknik tidur klien dan kolaborasi pemberian obat tidur.
Evaluasi diagnosa ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan musculoskeletal , Rabu 06 Januari 2016 pukul 20.50 WIB Subyektif
(S) klien mengatakan makan/minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,
berpindah, ambulasi dibantu keluarga dan toileting dibantu keluarga dan alat,
Obyektif (O) klien terlihat lemas, kesulitan bergerak, pinggul sebelah kiri
dibalut, Asessment (A) masalah belum teratasi dengan kriteria hasil klien
meningkat dalam aktivitas fisik, memverbalisasikan perasaan dalam
meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah dan Planning (P)
lanjutkan intervensi kaji kemampuan klien dalam mobilisasi, observasi tanda-
tanda vital, latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri
sesuai kemampuan, bantu klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan
ADL, konsultasikan dengan fisioterapi.
Evaluasi hari kedua nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
(fraktur collum femur sinistra), Kamis 07 Januari 2016 pukul 20.30 WIB
dengan hasil Subyektif (S) pasien mengatakan nyeri karena bekas operasi,
Provoking (P): nyeri saat bergerak, Quality (Q): nyeri cenut-cenut, Region
(R): nyeri pada pinggul sebelah kiri, Saverity (S): skala nyeri 3, Time (T):
79
nyeri hilang timbul selama 5 menit. Obyektif (O) pasien terlihat meringis
kesakitan dan memegangi bagian pinggul sebelah kiri, tekanan darah 170/100
mmHg, nadi 86 kali per menit, suhu 36,5oC, respirasi 20 kali per menit.
Asessment (A) masalah teratasi sebagian dan Planning (P) lanjutkan
intervensi dengan observasi status nyeri, observasi tanda-tanda vital, ajarkan
teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan terapi musik klasik,
kolaborasi dalam pemberian analgesik.
Evaluasi diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur berhubungan
dengan gangguan (nyeri pasca operasi), Kamis 07 Januari 2016 pukul 20.45
WIB Subyektif (S) klien mengatakan tidak tidur siang, tidur malam ±5 jam,
sering terbangun karena merasakan nyeri. Obyektif (O) klien terlihat pucat,
tidak fresh, lemas, mata terlihat merah, cowong dan terdapat garis hitam.
Asessment (A) masalah teratasi sebagian dan Planning (P) lanjutkan
intervensi monitor tidur pasien, ciptakan lingkungan yang nyaman,
diskusikan dengan klien dan keluarga tentang teknik tidur klien dan
kolaborasi pemberian obat tidur.
Evaluasi diagnosa ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan musculoskeletal , Kamis 07 Januari 2016 pukul 20.50 WIB Subyektif
(S) klien mengatakan makan/minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,
berpindah, ambulasi dibantu keluarga dan toileting dibantu keluarga dan alat,
Obyektif (O) klien terlihat lemas, kesulitan bergerak, pinggul sebelah kiri
dibalut, Asessment (A) masalah belum teratasi dan Planning (P) lanjutkan
intervensi kaji kemampuan klien dalam mobilisasi, observasi tanda-tanda
80
vital, latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai
kemampuan, bantu klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL,
konsultasikan dengan fisioterapi.
Evaluasi hari ketiga nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
(fraktur collum femur sinistra), Jumat 08 Januari 2016 pukul 20.30 WIB
dengan hasil Subyektif (S) pasien mengatakan nyeri karena bekas operasi,
Provoking (P): nyeri saat bergerak, Quality (Q): nyeri cenut-cenut, Region
(R): nyeri pada pinggul sebelah kiri, Saverity (S): skala nyeri 1, Time (T):
nyeri hilang timbul selama 1 menit. Obyektif (O) pasien terlihat meringis
kesakitan dan memegangi bagian pinggul sebelah kiri, tekanan darah 150/70
mmHg, nadi 88 kali per menit, suhu 36,5oC, respirasi 20 kali per menit.
Asessment (A) masalah teratasi dan Planning (P) hentikan intervensi.
Evaluasi diagnosa kedua yaitu gangguan pola tidur berhubungan
dengan gangguan (nyeri pasca operasi), Jumat 08 Januari 2016 pukul 20.45
WIB Subyektif (S) klien mengatakan tidur siang ±3 jam dan tidur malam ±8
jam. Obyektif (O) klien terlihat segar, mata terlihat tidak merah, tidak cowong
dan tidak terdapat garis hitam. Asessment (A) masalah teratasi dan Planning
(P) hentikan intervensi.
Evaluasi diagnosa ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan musculoskeletal , Jumat 08 Januari 2016 pukul 20.50 WIB Subyektif
(S) klien mengatakan makan/minum, berpakaian, mobilitas di tempat tidur,
berpindah, ambulasi dibantu keluarga dan toileting dibantu keluarga dan alat,
Obyektif (O) klien terlihat lemas, kesulitan bergerak, pinggul sebelah kiri
81
dibalut, Asessment (A) masalah belum teratasi dan Planning (P) lanjutkan
intervensi kaji kemampuan klien dalam mobilisasi, observasi tanda-tanda
vital, latih klien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai
kemampuan, bantu klien saat mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL,
konsultasikan dengan fisioterapi.
82
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnosa,
implementasi dan evaluasi tentang Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap
Intensitas Nyeri pada Ny. M dengan Post Operasi Fraktur di Ruang Mawar RSUD
Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.Secara metode studi kasus, maka dapat
ditarik kesimpulan.
A. Kesimpulan
1. Pengkajian terhadap masalah nyeri akut pada Ny. M telah dilakukan
secara komprehensif dan diperoleh hasil yaitu terdapat keluhan utama
nyeri, nyeri karena luka bekas operasi, nyeri cenut-cenut, nyeri pada
pinggul sebelah kiri, nyeri dengan skala 6, nyeri hilang timbul selama 5
menit. Tekanan darah 190/100 mmHg, nadi 86 x/menit, pernafasan 20
x/menit, suhu 36,7oC. Pengkajian fisik terdapat balutan luka post operasi
fraktur collum femur sinistra.
2. Diagnosa yang muncul pada Ny. M yang pertama adalah nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik (fraktur collum sinistra). Diagnosa
kedua adalah gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (nyeri
pasca operasi). Diagnosa ketiga adalah hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan gangguan musculoskeletal.
83
3. Rencana keperawatan yang disusun untuk diagnosa nyeri akut yaitu kaji
skala nyeri (PQRST), berikan posisi yang nyaman, ajarkan teknik
mengontrol nyeri non farmakologi dengan terapi musik klasik, kolaborasi
dengan dokter pemberian analgetik. Pada diagnosa gangguan pola tidur
intervensinya yaitu monitor tidur pasien, ciptakan lingkungan yang
nyaman, diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang teknik tidur
pasien, kolaborasi pemberian obat. Pada diagnosa hambatan mobilitas
fisik intervensinya yaitu monitoring vital sign, kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi, damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADL, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan.
4. Tindakan keperawatan yang dilakukan merupakan implementasi dari
rencana keperawatan yang telah disusun.
5. Evaluasi keperawatan yang dilakukan selama dua hari sudah dilakukan
secara komprehensif dengan acuan Rencana Asuhan Keperawatan
(Brunner dan Suddarth, 2002) serta telah berkolaborasi dengan tim
kesehatan lainnya didapatkan hasil evaluasi keadaan klien dengan kriteria
hasil sudah teratasi, maka nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
fisik (fraktur collum femur sinistra) pada Ny. M teratasi dan intervensi
dihentikan. Pada diagnosa pola tidur berhubungan dengan gangguan
(nyeri pasca operasi) pada Ny. M teratasi dan intervensi dihentikan. Pada
diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskeletal hasil evaluasi keadaan klien dengan kriteria hasil belum
84
tercapai, maka hambatan mobilitas fisik pada Ny. M teratasi sebagian
dan intervensi dilanjutkan dengan observasi ulang keadaan umum,
anjurkan klien melakukan aktivitas secara mandiri, bantu klien saat
mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan ADL, kolaborasi dengan
fisioterapi.
6. Pemberian teknik relaksasi nafas dalam pada Ny. M yang dilakukan
selama tiga hari mampu menurunkan skala nyeri 6 menjadi 1.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan nyeri
akut, penulis akan memberikan usulan dan masukan yang positif khususnya
dibidang kesehatan antara lain :
1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit)
Hal ini diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan
kesehatan dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim
kesehatan maupun klien. Sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan klien post operasi
fraktur khususnya dan diharapkan rumah sakit mampu menyediakan
fasilitas serta sarana dan prasarana yang dapat mendukung kesembuhan
klien.
2. Bagi Tenaga Kesehatan Khususnya Perawat
Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien agar lebih maksimal,
85
khususnya pada klien dengan post operasi fraktur. Perawat diharapkan
dapat memberikan pelayanan profesional dan komprehensif.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih
berkualitas dan profesional sehingga dapat tercipta perawat profesional,
terampil, inovatif dan bermutu yang mampu memberikan asuhan
keperawatan secara menyeluruh berdasarkan kode etik keperawatan.
86
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, S. 2013. Konsep & proses keperwatan nyeri. Ar-ruzz. Yogyakarta
Arslan, S., Ozer, N.,& Ozyurt, F. (2007). Effect of music on preoperative anxiety in meduring
undergoing urogenital surgery. Australian Journal of Advanced Nursing,26 (2), 46-
54.
Aziz, A. 2009. Kebutuhan Dasar Manusia. Salemba Medika. Jakarta
Black, J.M. & Hawks, J.H. 2009. Medical-Surgical Nursing Clinical Management forPositive
Outcomes. (8th ed.). St. Louis: Elsevier.
Deden, Dermawan. 2012. Proses Keperawatan. Buku Kedokteran. EGC : Jakarta.
Djohan. 2006. Terapi Musik, Teori dan Aplikasi. Galangpres. Yogyakarta
Guyton, A. & Hall, J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta
Herdman, T. Heather. 2012. Nanda International Diagnosa Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014. Ahli Bahasa : Sumarwati Made, Subekti Nike. EGC. Jakarta.
ISO. 2010. Informasi Spesialite Obat. Jakarta : PT. ISFI
Jitowiyono S. & Kristiyanasari W.2012. Asuhan keperawatan post operasi edisi 2. Nuha
Medika. Yogyakarta
Kemper, K., J., & Danhauer, S., C. (2005). Music as therapy. Southern Medical Journal,98
(3), 282-288.
Lewis, et al. 2011. Medical Surgical Nursing Assesment and Management of Clinical
Problems Volume 2. Mosby: ELSEVIER
Muttaqin, M dan Kustap, (2008). Seni musik klasik untuk sekolah menegah kejuruan. Jakarta
: Departemen Pendidikan Nasional
Nanda International. 2013. Diagnosis Keperawatan Definisidan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
New Zealand Society for Music Therapy (NZSMT). (2005). Evidence Based Review: Music
Therapy. Accident Compensation Corporation, 4, 1-54.
Novita, D. (2012). pengaruh terapi musik terhadp nyeri post operasi Open Reduction And
Internal Fixation (ORIF) di RSUD DR.H. Abdul Moeloek Propinsi Lampung.
www.digital_20328120_T30673_pengaruh terapi_5. Pdf. Diperoleh 22 November
2015.
Pertamax. (2011). Tertawa dan Mendengarkan Musik Favorit dapat Menurunkan Hipertensi.
http://forum.viva.co.id/kesehatan/110 860-tertawa-dan-mendengarkan- music-favorit-
dapat-menurunkan- hipertensi.html diperoleh tanggal 22 November 2015.
87
Potter, P. A,. & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktek Volume 1, Edisi 4. EGC. Jakarta
Potter, P. A,. & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses
dan Praktek Volume2, Edisi 4. EGC. Jakarta
Price, S.A., & Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. (Ed.6).
EGC. Jakarta
Rasjad Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi ketiga. PT.Yarsif
Watampone. Jakarta
Reksoprodjo, S. 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara. Tangerang
Runiari, Nengah. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Hiperemesis Gravidarum.
Salemba Medika. Jakarta
Saputra, Lyndon. 2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Binarupa Aksara Publisher.
Tangerang Selatan.
Setiadi. 2012. Konsep dan Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan Praktik.
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Setyoadi, K. (2011). Terapi Modalitas keperawatan pada pasien Psikogeriatrik. Jakarta:
Salemba Medika.
Sjamsuhidajat, R & Jong, W.D. 2005. Buku ajar ilmu bedah. EGC. Jakarta
Sjamsuhidajat, R & Jong, W.D. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC. Jakarta
Smeltzer,S.,C., dan Bare, G. 2008. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing. Philadelpia : Lippincott.
Suryana, D. 2012. Terapi Musik. Ebook: www.books.google.co.id. Diakses tanggal 22
November 2015
Tamsuri, A. 2006. Konsep & Penatalaksanaan Nyeri. EGC. Jakarta
Tamsuri, A. 2007. Konsep & Penatalaksanaan Nyeri. EGC. Jakarta
Tse, M., Chan, M., F., & Benzie, I.F. (2005). The effect of music therapy on postoperative
pain, heart rate, systolic blood pressure and analgesic using followingnasal surgery.
Journal Pain Palliative Care Pharmacother, 19, 21-28.
Wijaya, A., Saferi dan Putri, M., Yesse. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. 1nd
ed. Nuha Medika. Yogyakarta
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : Salemba Medik