PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KATALIS HETEROGEN POLI …
89
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KATALIS HETEROGEN POLI-(ASAM STIRENA SULFONAT) BERBASIS LIMBAH EXPANDED POLYSTRENE FOAM UNTUK PROSES ESTERIFIKASI GLISEROL MENJADI TRIASETIN SKRIPSI Oleh HANDY INARTO 160405080 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020 Universitas Sumatera Utara
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KATALIS HETEROGEN POLI …
TRIASETIN
SKRIPSI
Oleh
TRIASETIN
SKRIPSI
Oleh
PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK
iv
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul
“Pembuatan dan
Karakterisasi Katalis Heterogen Poli-(Asam Stirena Sulfonat)
Berbasis Limbah
EPS Foam Untuk Proses Esterifikasi Gliserol Menjadi Triasetin”,
berdasarkan
hasil penelitian yang penulis lakukan di Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk
mendapatkan gelar Sarjana Teknik.
mengenai sintesis dan karakterisasi katalis heterogen Poli-(Asam
Stirena Sulfonat)
berbasis limbah EPS Foam untuk diaplikasikan pada reaksi
esterifikasi gliserol dari
produk samping pembuatan biodiesel menjadi senyawa triasetin.
Katalis yang telah
dihasilkan pada penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
pilihan alternatif untuk
pembuatan senyawa triasetin di masa mendatang
Selama melakukan penelitian hingga penulisan skripsi ini, penulis
banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua yang tiada hentinya mendo’akan, membimbing serta
memberi
semangat dan dukungan baik materil maupun spiritual.
2. Ibu Dr. Ir, Renita Manurung M.T. selaku Dosen Pembimbing yang
telah banyak
memberikan ilmu dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan
penyelesaian
penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Taslim, M.Si., IPM sebagai Dosen Penguji I yang
telah
memberikan arahan dan masukan pada saat seminar proposal dan
seminar hasil
penelitian sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik.
4. Bapak Dr. Eng Rondang Tambun S.T., M.T., sebagai Dosen Penguji
II yang
telah memberikan arahan dan masukan pada saat seminar proposal dan
seminar
hasil penelitian sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik.
5. Bapak Ir. Bambang Trisakti, M.T., selaku Koordinator Penelitian
Departemen
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
v
6. Ibu Maya Sarah, S.T., M.T., Ph.D, IPM, selaku Ketua Departemen
Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
7. Ibu Erni, S.T., M.T., Ph.D sebagai Sekretasris Departemen Teknik
Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
8. Ibu Dr. Ir. Iriany, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
memberikan
banyak masukan, saran, maupun motivasi kepada penulis selama
perkuliahan
ini.
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat
dan
bantuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
10. Pegawai administrasi Departemen Teknik Kimia, terkhusus buat
Kak Sri yang
telah banyak membantu penulis dalam administrasi, Kak Wiwik yang
telah
membantu penulis dalam hal surat-menyurat, Kak Afifah yang telah
mendukung
dan selalu memberikan informasi seputar laboratorium, dan Kak Ning
yang telah
banyak mendukung, memberi semangat, dan informasi seputar dosen
kepada
penulis.
Pada akhirnya, demi kesempurnaan skripsi ini, penulis sangat
mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak. Semoga
Skripsi ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Papa dan Mama tercinta
Dear Pa, Ma, Thanks for the sacrifice have given me, Thanks for the
prayers that
have always been with me. Without the inspiration, drive, and
support that you have
given me, I might not be the person I am today. You’ve gone through
a lot of
struggle and pain, but I promise I won’t let all that go in vain. I
will grow up to be
the best I can be. One of my Goals, to make both of you Smile
Happily.
Adikku Tersayang :
Hendri Inarto
Terimakasih sudah menjadi adik yang baik, yang selalu memberikan
dukungan,
saran, May God always blessing you in everything you do and make
everything
successful.
Nama orang tua : Suhaili Handoko
Jap Chui Chui
002/003, Jembatan Lima,
• SMA Negeri 2 Jakarta, tahun 2013 – 2016
Pengalaman Organisasi/Kerja:
1. Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Taekwondo Universitas Sumatera
Utara, 2019 –
2020.
2. Anggota Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia Universitas Sumatera
Utara, 2016-
2020
3. Kerja Praktek di PT SMART Tbk, 11 November – 16 Desember
2019.
Prestasi akademik/non akademik yang pernah dicapai:
1. Juara II CHUNCHEON KOREA OPEN International Taewondo
Championship
2019
3. Juara I Unsyiah Taekwondo CUP 2019
4. Juara III Makzom Nasional Taekwondo CUP 2018
Artikel yang akan dipublikasikan:
CEST 2020)
“The Influence Of The Amount Of Catalyst On The Degree Of
Sulfonation In The
Sulfonation Process On Waste-Based Expanded Polystyrene Foam Into
Poly-
(Styrene Sulfonic Acid)”
“Usage of Euthectic Solvents throughout the dehydration reaction of
Durian Seeds
(Durio zibethinus) in producing 5-HYDROXYMETHYLFURFURAL”
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, komposisi limbah berubah secara gradual sepanjang
waktu. Untuk
mengurangi bertambahnya limbah EPS Foam, dilakukannya proses
pemanfaatan atau
konversi terhadap limbah EPS Foam tersebut menjadi katalis asam
heterogen yaitu
poli-(asam stirena sulfonat) (PSSA) yang dapat digunakan dalam
reaksi esterifikasi
pada produksi triasetin. Pada penelitian ini dilakukan sintesa PSSA
dengan reaksi
sulfonasi dan menggunakan katalis perak sulfat (Ag2SO4) dengan
jumlah dan waktu
reaksi tertentu. Berdasarkan penelitian, reaksi sulfonasi berhasil
dilakukan, yang
ditunjukkan oleh gugus fungsi pada uji FTIR dan derajat sulfonasi
tertinggi yang
dicapai adalah 67,6% yang berasal dari variasi jumlah katalis
Ag2SO4 2% dan waktu
reaksi 25 menit. PSSA dengan derajat sulfonasi tertinggi dilakukan
karakterisasi yaitu
XRD, SEM-EDX, dan BET-BJH. PSSA berstruktur semikristal dengan
kristalinitas
73,83% dan ukuran partikel 1,75 nm. PSSA memiliki pori mesopori
dengan ukuran
jari-jari pori 16,984 Å dan memiliki kadar Sulfur 15% (%
massa).
Kata kunci: Ag2SO4, perak sulfat, PSSA, EPS Foam, sulfonasi
Universitas Sumatera Utara
ix
ABSCTRACT
In Indonesia, the composition of waste changes gradually over time.
To reduce the
increase in EPS Foam waste, the use or conversion of EPS Foam waste
is carried out
into a heterogeneous acid catalyst, namely poly-(styrene sulfonic
acid) (PSSA) which
can be used in the esterification reaction in the production of
triacetin. In this research,
PSSA synthesis was carried out by sulfonation reactions and using
silver sulfate
(Ag2SO4) catalyst with a certain amount and reaction time. Based on
the research, the
sulfonation reaction was successfully carried out, which was shown
by the functional
group in the FTIR test and the highest degree of sulfonation
achieved was 67.6% which
came from a variation of the amount of 2% Ag2SO4 catalyst and the
reaction time of
25 minutes. PSSA with the highest degree of sulfonation was
characterized, namely
XRD, SEM-EDX, and BET-BJH. PSSA has a semicrystalline structure
with a
crystallinity of 73.83% and a particle size of 1.75 nm. PSSA has a
mesoporous pore
with a pore radius of 16.984 Å and has a sulfur content of 15%
(%mass).
Kata kunci: Ag2SO4, Silver Sulfate, PSSA, EPS Foam,
Sulfonation
Universitas Sumatera Utara
2.1 KATALIS
...............................................................................................
5
2.3 POLI(-ASAM STIRENA SULFONAT)
.............................................. 11
2.4 MEKANISME PENEMPELAN GUGUS SO3H
.................................. 12
2.4.1 SULFONASI
.............................................................................
12
2.4.2 DESULFONASI
.......................................................................
14
3.2 BAHAN PENELITIAN
........................................................................
20
3.3 PERALATAN PENELITIAN
..............................................................
20
3.4 TAHAPAN PENELITIAN
...................................................................
21
3.5 RANCANGAN PENELITIAN
.............................................................
21
3.6 PROSEDUR PENELITIAN
.................................................................
22
3.8 FLOWCHART PENELITIAN
.............................................................
24
3.9 PROSEDUR ANALISIS
......................................................................
24
3.9.2 Prosedur Analisis Gugus Fungsi Katalis
................................... 25
3.9.3 Prosedur Analisis Ukuran Pori, Volume Pori, dan Luas
Permukaan Pori Katalis
.............................................................
25
3.9.5 Prosedur Analisis Fasa dan Jenis Struktur Katalis
.................... 25
BAB IV PEMBAHASAN
..........................................................................................
27
4.1.1 PENGARUH JUMLAH KATALIS DAN WAKTU
TERHADAP DERAJAT SULFONASI....................................
27
YIELD........................................................................................
29
TRANSFORM INFRARED SPECTROSCOPY (FTIR) KATALIS
PSSA
.........................................................................................
30
4.2.2 KARAKTERISASI XRD
......................................................... 32
4.2.3 KARAKTERISASI SEM-EDS
................................................. 34
4.2.4 Analisis Ukuran Pori dan Luas Permukaan EPS Foam dan
PSSA
...................................................................................................
35
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Reaksi Sulfonasi dengan Agen Sulfonasi SO3 (Kuera dan
Janá
1998)
...................................................................................................
13
Gambar 2.2 Reaksi Sulfonasi dengan Agen Sulfonasi SO3H + (Kuera dan
Janá
1998)
...................................................................................................
13
Gambar 2.3 Reaksi Desulfonasi oleh Reaksi dengan Air (Hidrolisis)
................... 14
Gambar 2.4 Jenis-Jenis Kurva Isoterm Adsorpsi
................................................... 16
Gambar 2.5 Distribusi Ukuran Pori Berdasarkan Metode BJH
............................. 17
Gambar 2.6 Pola XRD pada K-10 dan K-10 tersulfonasi
...................................... 18
Gambar 2.7 SEM pada percobaan Modernit dengan larutan HF 0,1 M
................. 18
Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan Sintesis Katalis Heterogen
poli(-asam stirena
sulfonat)
..............................................................................................
23
Gambar 3.2 Flowchart Sintesis Katalis Heterogen poli(-asam stirena
sulfonat) ... 24
Gambar 4.1 Pengaruh Waktu dan Jumlah Katalis terhadap Derajat
Sulfonasi ...... 27
Gambar 4.2 Pengaruh Berat Katalis dan Waktu Terhadap Yield
........................... 29
Gambar 4.3 Hasil Analisa FTIR (a) EPS Foam (b) PSSA
..................................... 31
Gambar 4.4 Hasil Analisa XRD (a) EPS Foam (b) PSSA
..................................... 32
Gambar 4.5 Hasil Analisa SEM Perbesaran 1.000 kali (a) EPS Foam (b)
PSSA .. 34
Gambar 4.6 Jenis-Jenis Kurva Isoterm Adsorpsi
................................................... 36
Gambar 4.7 Kurva Isoterm Adsorpsi-Desorpsi (a). EPS Foam (b). PSSA
............ 37
Gambar 4.8 Distribusi Ukuran Pori Katalis (a). EPS Foam (b). PSSA
................ 39
Gambar C.1
PSSA...................................................................................................
58
Gambar C.2 Rangkaian Peralatan Proses Sulfonasi EPS Foam menjadi
PSSA ..... 58
Gambar C.3 Proses Titrasi PSSA (a) Sebelum Titrasi (b) Sesudah
Titrasi ............ 59
Gambar D.1 Hasil Analisa Gugus Fungsi EPS Foam dengan FTIR
....................... 60
Gambar D.2 Hasil Analisa Gugus Fungsi PSSA dengan FTIR
.............................. 60
Gambar D.3 Hasil Analisa Fasa EPS Foam
............................................................
61
Gambar D.4 Hasil Analisa Fasa
PSSA....................................................................
62
Gambar D.5 Hasil Analisis Morfologi EPS Foam Menggunakan SEM-EDX
(a)
Perbesaran 500 kali (b) Perbesaran 1.000 kali (c) Perbesaran
3.000
kali (d) Perbesaran 9.000 kali (e) Perbesaran 12.000 kali (f)
Perbesaran 15.000
kali........................................................................
63
Perbesaran 500 kali (b) Perbesaran 1.000 kali (c) Perbesaran
3.000
kali (d) Perbesaran 9.000 kali (e) Perbesaran 12.000 kali (f)
Perbesaran 15.000
kali........................................................................
64
Gambar D.7 Hasil Analisa Komposisi Unsur EPS Foam Menggunakan
SEM-EDX
............................................................................................................
65
Gambar D.8 Hasil Analisa Komposisi Unsur PSSA Menggunakan SEM-EDX
.... 66
Gambar D.9 Hasil Analisis Luas Permukaan EPS Foam Menggunakan
Metode
BET (a). Kurva Isoterm Adsorpsi-Desorpsi (b). Tabulasi Kurva
Isoterm-Adsorpsi
................................................................................
68
Gambar D.10 Hasil Analisis Ukuran Pori dan Volume Pori Tabulasi
Kurva
Distribusi Ukuran Pori
........................................................................
69
Gambar D.11 Hasil Analisis Luas Permukaan PSSA Menggunakan Metode
BET
(a). Kurva Isoterm Adsorpsi-Desorpsi (b). Tabulasi Kurva
Isoterm-
Adsorpsi
..............................................................................................
71
Gambar D.12 Hasil Analisis Ukuran Pori dan Volume Pori Tabulasi
Kurva
Distribusi Ukuran Pori
........................................................................
72
Tabel 4.1 Kritalinitas EPS Foam dan PSSA
..............................................................
33
Tabel 4.2 Komposisi Unsur Penyusun EPS Foam dan PSSA
................................... 34
Tabel 4.3 Data Sifat Fisik Pori EPS Foam dan PSSA
............................................... 40
Tabel A.1 Data Berat Penimbangan PSSA
...............................................................
48
Tabel A.2 Data Titrasi PSSA dengan NaOH 0,01M
.................................................. 49
Tabel A.3 Data Hasil Perhitungan Derajat Kristalinitas Styrorofoam
dan PSSA ...... 50
Tabel A.4 Data Hasil Perhitungan Ukuran Partikel EPS Foam dan PSSA
............... 50
Tabel A.5 Data Sifat Fisik Pori Katalis
......................................................................
50
Tabel B.1 Standarisasi Larutan NaOH 0,01 M
.......................................................... 51
Tabel B.2 Hasil Perhitungan Yield PSSA
..................................................................
53
Tabel B.3 Hasil Perhitungan Derajat Sulfonasi
......................................................... 54
Tabel B.4 Derajat Relatif Kristalinitas EPS Foam dan PSSA
................................... 56
Tabel B.5 Ukuran Partikel EPS Foam dan PSSA
...................................................... 57
Universitas Sumatera Utara
LA.1 HASIL PENIMBANGAN PSSA
....................................................... 47
LA.2 HASIL TITRASI PPSA
......................................................................
48
LA.3 HASIL PERHITUNGAN DERAJAT KRISTALINITAS KATALIS 49
LA.4 HASIL PERHITUNGAN UKURAN PARTIKEL KATALIS ........... 49
LA.5 HASIL ANALISIS LUAS PERMUKAAN, UKURAN PORI, DAN
VOLUME EPS FOAM DAN PSSA MENGGUNAKAN BET-BJH . 49
LAMPIRAN B CONTOH PERHITUNGAN
............................................................
50
LB.1 PEMBUATAN LARUTAN YANG DIGUNAKAN .........................
50
LB.1.1 Perhitungan Larutan NaOH 0,01 M 500 ml
.............................. 50
LB.1.2 Perhitungan Larutan Asam Oksalat 0,01 M 500
ml.................. 50
LB.2 STANDARISASI LARUTAN NaOH 0,01 M
.................................... 50
LB.3 PERHITUNGAN YIELD PSSA
......................................................... 51
LB.4 PERHITUNGAN DERAJAT SULFONASI
...................................... 53
LB.5 PERHITUNGAN DERAJAT KRISTALINITAS KATALIS ............
54
LB.6 PERHITUNGAN UKURAN PARTIKEL KATALIS ........................
55
LAMPIRAN C DOKUMENTASI PENELITIAN
.................................................... 57
LC.1 PSSA
...................................................................................................
57
LC.3 PENENTUAN DERAJAT SULFONASI
........................................... 58
LAMPIRAN D HASIL UJI LABORATORIUM
...................................................... 59
LD.1 HASIL ANALISIS GUGUS FUNGSI EPS FOAM DAN PSSA ....... 59
LD.2 HASIL ANALISIS FASA EPS FOAM DAN PSSA
MENGGUNAKAN XRD
...................................................................
60
MENGGUNAKAN SEM-EDX
......................................................... 62
MENGGUNAKAN SEM-EDX
......................................................... 64
BJH
.....................................................................................................
66
dengan asam asetat umumnya menggunakan katalis homogen seperti asam
sulfat
(H2SO4), asam fosfat (H3PO4), dan asam klorida (HCl). Penggunaan
katalis homogen
memiliki beberapa kekurangan seperti, menimbulkan korosi terhadap
bahan reaktor
(Veluturla et al. 2017), produksi senyawa beracun, kesulitan dalam
hal pemisahan
dari produk utama (Costa et al. 2016), masalah pembuangan limbah,
dan mahal (Zhou
et al. 2012). Dalam mengatasi permasalahan tersebut, untuk
menciptakan green
processes pada reaksi esterifikasi gliserol katalis asam cair dapat
digantikan dengan
katalis asam padat (Ferreira et al. 2011). Katalis asam padat dapat
dipisahkan melalui
proses filtrasi dengan mudah, tidak menimbulkan korosi terhadap
reaktor pada sistem
reaksi, dapat digunakan kembali, dan ramah lingkungan. Pemilihan
katalis asam padat
menjadi alternatif yang menarik untuk menggantikan katalis asam
cair dalam
penelitian dan pengaplikasiannya dalam industri (Zhang et al.
2017). Beberapa contoh
katalis asam padat secara komersial yaitu resin Amberlyst-15 dan
zeolit yang telah
dipelajari untuk menggantikan katalis asam cair (Costa et al.
2016). Penggunaan
katalis asam padat komersial kebanyakan memiliki stabilitas yang
rendah dan harga
yang mahal (Liang et al. 2011). Oleh karena itu diperlukan upaya
lebih lanjut untuk
mengembangkan katalis asam heterogen dengan performa yang tinggi
namun dengan
harga yang lebih ekonomis. Salah satu caranya adalah dengan mendaur
ulang limbah.
Komposisi limbah khususnya Expanded Polystyrene Foam atau disingkat
EPS
Foam yang biasa digunakan masyarakat sebagai wadah makanan,
pembungkus produk
elektronik, dsb. akan semakin meningkat seiring dengan kemajuan
teknologi industri
dan semakin banyaknya masyarakat dengan budaya modern praktis.
Cordova dan
Nurhati (Cordova dan Nurhati 2019) menjelaskan bahwa dari hasil
pemantauan
diperkirakan sampah yang mengalir ke Laut Indonesia dari sembilan
muara sungai
pada bulan Juni 2015 - Juli 2016 yaitu 23 ± 7.10 ton dan 59% sampah
tersebut
merupakan sampah plastik yang didominasi oleh EPS Foam. Untuk
mengurangi
bertambahnya limbah EPS Foam, dilakukannya proses pemanfaatan atau
konversi
Universitas Sumatera Utara
2
terhadap limbah EPS Foam tersebut. Salah satunya adalah
memanfaatkan limbah EPS
Foam menjadi katalis asam, yaitu poli–(asam stirena sulfonat) yang
seterusnya akan
disebut sebagai PSSA.
PSSA telah dimanfaatkan khususnya di bidang perindustrian, beberapa
di
antaranya sebagai bahan penukar ion, membran osmosis reversibel,
ultrafiltrasi, dan
pemelastis komposit konduktif (Martins et al. 2003). Dikarenakan
karakteristik dari
PSSA yang bersifat asam, diduga memiliki kesamaan sifat dengan
katalis amberlite
yang dapat digunakan dalam proses esterifikasi. Pembuatan katalis
poli-(asam stirena
sulfonat) telah dilakukan, Martins, dkk (2003) mereaksikan
Polistirena dengan zat
pensulfonasi asetil sulfat dengan pelarut CH2Cl2 pada suhu 40 dan
waktu 2 jam
menghasilkan derajat sulfonasi 18-22 %. Bozkurt (2005) mereaksikan
polistirena
dengan sikloheksana dengan katalis P2O5 pada suhu 40 dan
mendapatkan hasil
konduktivitas maksimum yaitu 5 x 10-4 S/cm pada suhu 150 dan kadar
sulfonasi
yang diperoleh ada 90-95%. Ditama (2013) mereaksikan polistirena
dengan zat
pensulfonasi asam sulfat 98% dengan pelarut etil asetat menggunakan
katalis homogen
P2O5 pada suhu 45 dan waktu 6 jam menghasilkan yield hingga 55%.
Fagundez,
dkk (2014) melakukan perobaan dengan munggunakan bahan baku limbah
EPS Foam
bekas yaitu bungkus yogurt, bungkus compact disk dan kotak dan
kotak EPS Foam
dengan dua metode yang berbeda yaitu penggunaan asam sulfat dan
asetil sulfat
sebagai agen pengsulfonasi menghasilkan produk yang memiliki
derajat sulfonasi
pada keseluruhan percobaan yaitu 84,5-93,4%.
Pada penelitian ini dilakukan sintesa PSSA dengan mengacu metode
Bozkurt
(2005) dengan memvarasikan jenis katalis yaitu Ag2SO4. Menurut
Carrol (1966)
penggunaan katalis Ag2SO4 akan meningkatkan kondisi hingga
mendapatkan yield
sebesar 100% dengan waktu reaksi 5-15 menit. Sehingga penelitian
pembuatan katalis
heterogen PSSA berbasis limbah EPS Foam dengan variasi jenis
katalis Ag2SO4 perlu
dilakukan.
Katalis PSSA diduga dapat menggantikan katalis asam padat komersial
seperti
resin Amberlyst-15 dan zeolit dalam reaksi esterifikasi. Banyak
penelitian dilakukan
tentang pembuatan katalis PSSA, namun penelitian tentang penggunaan
katalis
Universitas Sumatera Utara
3
homogen Ag2SO4 dalam sintesa PSSA masih jarang dilakukan dan perlu
dikaji
kembali. Pengkajian dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap
pengaruh
jumlah katalis Ag2SO4 dan waktu terhadap karakteristik dan yield
PSSA yang
dihasilkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh berat katalis
homogen
Ag2SO4 dan waktu terhadap karakteristik dan yield PSSA yang
dihasilkan.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1. Memberikan kontribusi dalam mengolah limbah EPS Foam menjadi
katalis
sehingga dapat mengurangi populasi limbah EPS Foam.
2. Menghasilkan produk olahan limbah EPS Foam yang memiliki
nilai
ekonomis yang tinggi.
3. Memberikan informasi mengenai produk olahan limbah EPS Foam
yaitu
katalis poli-(asam stirena sulfonate)
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN
Teknologi Oleokimia, Departemen Teknik Kimia, Fakultas
Teknik,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Bahan baku yang digunakan adalah EPS Foam box (kotak) yang
digunakan
sebagai pembunkus makanan.
kondisi reaksi:
• Rasio EPS Foam : H2SO4 = 1 : 33,33 (b/v)
• Rasio EPS Foam : etil asetat = 1 : 20 (b/v)
• Rasio Ag2SO4 : EPS Foam = 0,5% , 1%, 1,5%, 2%, dan
2,5% (b/b)
20 menit, dan 25 menit
• Suhu reaksi = 60-70oC
• Analisis morfologi katalis menggunakan SEM-EDX
• Analisis jenis struktur katalis menggunakan XRD
• Analisis derajat sulfonat
Universitas Sumatera Utara
Katalis merupakan zat yang mampu mempercepat reaksi kimia dengan
cara
membentuk ikatan dengan molekul-molekul, lalu bereaksi hingga
terbentuk suatu
produk. Setelah ikut terlibat pada reaksi tersebut dan membentuk
produk, pada akhir
reaksi, katalis terbentuk kembali seperti bentuknya semula dan
dapat digunakan
kembali untuk reaksi berikutnya. Reaksi katalitik dapat digambarkan
sebagai peristiwa
siklik di mana katalis berpartisipasi dan diperoleh kembali dalam
bentuk aslinya pada
akhir siklus.
Katalis hadir dalam berbagai bentuk, bervariasi dari atom dan
molekul hingga
struktur besar seperti zeolit atau enzim. Selain itu katalis dapat
digunakan di berbagai
keadaan, seperti dalam cairan, gas atau pada permukaan benda padat.
Katalis biasanya
dibedakan menjadi tiga jenis berikut: homogen, heterogen dan bio
katalisis (Kakaei et
al. 2019).
2.1.1 KATALIS HOMOGEN
Dalam katalisis homogen, baik katalis dan reaktan berada dalam fase
yang sama,
yaitu semua molekul dalam fase gas, atau, lebih umum, dalam fase
cair. Salah satu
contoh paling sederhana ditemukan dalam kimia atmosfer. Ozon di
atmosfer
terdekomposisi, di antara rute-rute lain, melalui reaksi dengan
atom klor:
Cl + O3 ClO3
ClO3 ClO + O2
6
Ozon dapat terurai secara spontan, dan juga di bawah pengaruh
cahaya, tetapi
atom Cl mempercepat reaksi. Ketika ia membiarkan siklus reaksi
tidak berubah, atom
Cl adalah katalis. Karena kedua reaktan dan katalis keduanya dalam
fase yang sama,
yaitu fase gas, siklus reaksi adalah contoh dari katalis
homogen.
Industri menggunakan banyak katalis homogen dalam semua jenis
reaksi untuk
menghasilkan bahan kimia. Dalam katalisis homogen, sering ditujukan
untuk produksi
obat-obatan yang halus dan disintesis dalam prosedur yang
menggunakan kontrol
molekuler, sehingga pilihan yang terbaik untuk mengarahkan molekul
yang bereaksi
ke produk yang diinginkan (Kakaei et al. 2019).
(Khayoon dan Hameed 2011) mempelajari kinerja H3PO4, HCl, HNO3
dan
H2SO4 sebagai katalis homogen untuk esterifikasi gliserol. Di
antara seluruh
pengunaan katalis homogen tersebut pada waktu yang sama, asam
sulfat (H2SO4)
mampu mencapai konversi gliserol tertinggi. Sintesis triasetin dari
gliserol dan asam
asam asetat membutuhkan 72 jam dalam keberadaan katalis homogen
(Liu et al. 2011)
Namun, asam kuat ini tidak menguntungkan karena berbahaya, korosif
dan sulit
dihilangkan dari asetilasi gliserol (Kale et al. 2015). Selain itu,
katalis homogen juga
terdapat masalah yang melekat dalam hal pemisahan katalis, korosi
reaktor dan
perlindungan lingkungan serta (Zhu et al. 2013). Oleh karena itu,
cukup banyak
peneliti melakukan penelitian mereka dengan mengubah katalis dan
mengembangkan
sistem katalis asam padat heterogen untuk esterifikasi
gliserol.
2.1.2 KATALIS HETEROGEN
Katalis heterogen meliputi penggunaan katalis dalam fase berbeda di
mana
reaksinya melibatkan katalis padat dengan reaktan baik sebagai
cairan atau gas.
Berbagai jenis padatan digunakan dalam katalisis heterogen.
Misalnya logam, oksida
logam, logam sulfida dan bahan-bahan ini dapat digunakan dalam
bentuk murni atau
dalam bentuk campuran mereka. Selain itu, katalis dapat bersifat
asam dan alkali.
Secara umum, asetilasi gliserol menggunakan katalis asam
padat.
Untuk mengatasi masalah lingkungan dan ke-tidak ekonomisan,
sejumlah besar
katalis asam padat heterogen telah dikembangkan dalam karya
terbaru. Studi telah
dilakukan menggunakan katalis asam padat seperti Amberlyst-15,
K-10
montmorillnite, HUSY, asam niobik, dan HZSM-5 (Goncalves et al.
2008). Semua
Universitas Sumatera Utara
7
waktu reaksi dilakukan dalam 30 menit dan suhu yang digunakan
adalah 150 untuk
memantau produk awal. Hasilnya menampilkan selektivitas mono, di-
dan tri-acetin
berbeda untuk setiap katalis yang digunakan dan tingkat konversi.
Amberlyst-15 lebih
aktif dibandingkan dengan asam niobik, HUSY, HZSM-5 dan katalis
(T.A Peters et
al. 2006). Setelah waktu reaksi 30 menit, konversi gliserol
setinggi 97% dengan
selektivitas 31% menjadi monoacetin, 54% menjadi diacetin dan 13%
menjadi
triacetin. Namun, mereka mengetahui konversi dan secara selektif
dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan waktu reaksi (Goncalves et al. 2008). Zeolite
HZSM-5 dan
HUSY menunjukkan pencapaian yang buruk di antara semua katalis
karena konversi
gliserolnya masing-masing hanya 30% dan 14%, mungkin karena
masalah
penonaktifan situs asam dan masalah difusi.
Liao et al. (2009) melakukan asetilasi gliserol dengan metode dua
langkah untuk
mendapatkan selektivitas dan konversi yang lebih tinggi.
Esterifikasi gliserol dengan
asam asetat dilakukan dengan menggunakan resin dan zeolit.
Amberlyst-35 ditemukan
sebagai katalis luar biasa di antara katalis yang digunakan dalam
penelitian ini.
Parameter reaksi ditingkatkan dengan menggunakan katalis pada suhu
yang berbeda,
rasio bahan baku dan pemuatan katalis. Kondisi optimal telah
ditemukan di mana rasio
molar asam asetat terhadap gliserol adalah 9: 1 pada suhu 105 ° C
dengan 0,5 g katalis
dan waktu reaksi 4 jam. Anhidrida asetat kemudian ditambahkan di
sana untuk
meningkatkan selektivitas triasetin. Selain itu, hasilnya
menunjukkan bahwa reaksi
diperlukan untuk meningkatkan jumlah asam asetat yang digunakan
untuk mendorong
keseimbangan menuju peningkatan konversi gliserol dan
triasetin.
Zhu et al. 2013 mengusulkan katalis asam fosfotungstat (AgPW)
yang
dipertukarkan dengan perak untuk asetilasi gliserol dengan asam
asetat. Di antara
sebagian katalis, asam fosfotungstat (Ag1PW) yang dipertukarkan
dengan perak
menunjukkan aktivitas yang tinggi dan kinerja yang baik dalam
reaksi. Konversi
gliserol adalah 96,8% pada 120 dalam waktu 15 menit dari waktu
reaksi. Alasannya
adalah karena Ag1PW menunjukkan stabilitas yang luar biasa,
struktur kegging yang
unik, keasaman tinggi serta sifat toleransi air yang sangat baik.
Selektivitas produk
asetat adalah 5,2% untuk triasetin, 46,4% untuk diacetin dan 48,4%
untuk monoacetin.
Bandingkan dengan yang lain yang dieksploitasi oksida logam
campuran seperti
Universitas Sumatera Utara
karena keasaman rendah.
Rodriguez et al. (2007) meneliti asetilasi gliserol dengan
menggunakan zirkonia
sulfat dengan asam asetat. Katalis ini juga disebut sebagai AC-SA5.
Katalis ini
dihasilkan dari karbon aktif (AC) pada suhu 85 selama 4 jam dengan
bantuan asam
sulfat untuk menginisialisasi fungsi permukaan katalis. Interaksi
permukaan antara
gugus asil dan molekul gliserol dapat ditingkatkan karena adanya
belerang yang terdiri
dari gugus fungsional pada permukaan AC.
Konversi gliserol dengan menggunakan katalis ini sekitar 91%
setelah 24 jam
reaksi pada 120. Selektivitas monoacetin, diacetin dan triacetin
dalam konversi
gliserol adalah masing-masing 38%, 28% dan 24%. Namun, selektivitas
dan konversi
asetilasi gliserol masih dipengaruhi oleh waktu, suhu dan rasio
molar gliserol terhadap
asam asetat (Khayoon dan Hameed 2011).
Penggunaan katalis zirkonia sulfat menunjukkan hasil asetilasi
hingga 63% dan
konversi gliserol 91% setelah 24 jam reaksi. Katalis ini juga
menunjukkan hasil
selektivitas 38% untuk mono-acetin, 28% untuk di-acetin dan 34%
untuk tri-acetin
dengan kondisi yang dioptimalkan pada 120 dan 3 jam waktu
reaksi.
2.1.3 BIO-KATALIS
Enzim adalah katalisator alami. Untuk saat ini sudah cukup
untuk
mempertimbangkan enzim sebagai protein besar, struktur yang
menghasilkan situs
aktif yang sangat spesifik bentuk. Memiliki bentuk yang secara
optimal sesuai untuk
memandu molekul reaktan (biasanya disebut sebagai substrat) dalam
konfigurasi
optimum untuk reaksi, enzim adalah katalis yang sangat spesifik dan
efisien. Sebagai
contoh, enzim katalase mengkatalisasi dekomposisi hidrogen
peroksida menjadi air
dan oksigen.
Enzim memungkinkan reaksi biologis terjadi pada tingkat yang
diperlukan untuk
mempertahankan kehidupan, seperti penumpukan protein dan DNA, atau
pemecahan
molekul dan penyimpanan energi dalam gula. Sebuah contoh dengan,
mungkin,
beberapa daya tarik khusus bagi siswa adalah pemecahan alkohol
menjadi asetaldehida
di dalam tubuh oleh enzim alkohol dehidrogenase. Asetaldehida pada
gilirannya
diubah menjadi asetat oleh aldehida hidrogenase. Beberapa orang
tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
mentoleransi alkohol (seperti yang diungkapkan oleh wajah memerah
setelah minum
sedikit) karena mereka tidak memiliki bentuk enzim yang memecah
asetaldehida
(Kakaei et al. 2019).
Katalis adalah zat yang memberikan rute alternatif reaksi dimana
energi
aktivasi lebih rendah sehingga mempercepat laju reaksi (Joshi et
al. 2016). Katalis
terllibat dalam reaksi meskipun tidak secara permanen. Keadaan
kimia katalis dalam
interaksinya dengan reaktan tetap tidak berubah pada akhir reaksi
sehingga dihasilkan
kembali pada akhir reaksi tanpa tergabung dengan senyawa produk
(Richardson,
1989). Katalis tidak mempengaruhi kesetimbangan kimia
(termodinamika reaksi)
maupun komposisi kesetimbangan yang terkait dengan reaksi namun
dapat mengubah
laju reaksi. Secara sederhana dapat dipahami katalis mengubah rute
tanpa mengubah
tujuan (Joshi et al. 2016; Murzin dan Salmi 2016).
Berdasarkan sudut pandang green chemistry, sejumlah katalis asam
padat yang
ramah lingkungan telah diterapkan untuk mengatalisis gliserol pada
reaksi esterifikasi
(Sun et al. 2017). Secara tradisional, asam mineral seperti H2SO4,
HCl, atau H3PO4
sering digunakan sebagai katalis homogen untuk reaksi esterifikasi
gliserol. Namun,
proses esterifikasi gliserol dengan menggunakan asam mineral
memiliki kelemahan
seperti beracun, sulit dihilangkan, pemisahan katalis, kemurnian
produk, perlunya
netralisasi, dan korosi pada reaktor (Kim et al. 2014; Rane et al.
2016). Oleh karena
itu, perlunya alternatif lain yang dapat digunakan sebagai katalis
seperti menggunakan
katalis heterogen asam padat.
esterifikasi gliserol untuk menghindari permasalahan yang terkait
bila menggunakan
katalis homogen. Alternatif dalam pengembangan katalis untuk reaksi
esterifikasi
yang memiliki aktivitas tinggi, produktivitas tinggi, dan pemulihan
yang mudah tanpa
adanya polusi terhadap lingkungan adalah topik yang muncul sebagai
aspek green
chemical processes (Wibowo et al. 2010).
Belakangan ini, telah dilaporkan beberapa studi yang melibatkan
katalis
heterogen pada reaksi esterifikasi gliserol dengan asam laurat dan
asam oleat dengan
menggunakan resin kationik padat, molekul zeolit yang diayak,
oksida besi sulfat, dan
Universitas Sumatera Utara
10
bahan mesopori fungsional sebagai katalis (Wibowo et al. 2010).
Selain itu,
penggunaan katalis asam padat yang berbeda termasuk mendukung
heteropolyacid, b-
MoO3/SBA-15, WOX/TiO2 – ZrO2, Zirkonia Sulfat, Karbon aktif sulfat,
dan silika
mesopori yang difungsikan dengan gugus asam sulfonat telah
digunakan untuk reaksi
esterifikasi gliserol ini. Hal ini menemukan bahwa keasaman katalis
(terutama Asam
Bronsted) yang memiliki peran kunci menuju pembentukan secara
selektif dari produk
DAG dan TAG. Meskipun demikian, katalis ini telah dilaporkan telah
menunjukkan
aktivitas tinggi untuk asetilasi gliserol, stabilitas termal yang
rendah, dan selektivitas
yang kurang memuaskan untuk TAG masih menjadi tantangan besar untuk
desain
yang tepat dari katalis asam padat untuk reaksi ini. Faktanya,
formasi air yang tidak
terelakkan dalam reaksi ini dapat menyebabkan melemahnya situs asam
dan dengan
demikian, sifat toleran air dari katalis asam padat adalah
kebutuhan untuk melakukan
asetilasi gliserol dengan baik (Khayoon et al. 2014).
Berdasarkan penelitian yang telah dilaporkan oleh Ramalingam, et al
(2016),
bahwa proses asetilasi gliserol dengan asam asetat menggunakan
bimetal Ag-Cu yang
terkandung pada silika abu sekam padi yang merupakan katalis yang
ramah
lingkungan. Bioaditif seperti mono, di, dan triasetil gliserol
disintesis melalui gliserol
mentah yang merupakan produk samping dari produksi biodiesel. Hasil
dari proses
asetilasi gliserol menghasilkan suatu senyawa yang dapat digunakan
sebagai fuel
additive untuk meningkatkan sifat fisik dari minyak petroleum
terhadap
perkembangan aplikasi dari biofuel additive. Ramalingam, et al
(2016) melaporkan
bahwa keuntungan dari penggunaan bimetal sebagai katalis untuk
proses asetilasi
gliserol memungkinkan dampak yang sinergis antara metal dan dapat
meningkatkan
catalytic conversion dan selektivitas dibandingkan dengan single
metal catalyst
(Ramalingam, dkk., 2016).
Berdasarkan penelitian yang telah dilaporkan Gao, et al (2015),
mereka
menggunakan Graphene Oxide (GO) sebagai katalis asam padat yang
sangat aktif dan
dapat digunakan kembali untuk proses esterifikasi gliserol dengan
asam asetat dalam
sintesis bioaditif diasilgliserol (DAG) dan triasilgliserol (TAG).
Gao, et al (2015),
meneliti pengaruh dari suhu reaksi, rasio molar asam asetat
terhadap gliserol, jumlah
katalis, dan waktu reaksi. Pada penelitiannya, dilaporkan
selektivitas gabungan antara
DAG dan TAG mencapai 90,2% dan konversi gliserol lengkap dicapai
pada suhu
Universitas Sumatera Utara
11
120oC selama 6 jam. Hasil karakterisasi katalis asam padat, bahwa
situs aktif dari GO
adalah kelompok SO3H yang tersisa (Gao et al. 2015).
Selain itu, katalis asam yang signifikan telah digunakan oleh
beberapa peneliti
untuk proses esterifikasi gliserol, termasuk superacid berbasis
sulfat, katalis berbasis
heteropolyacid, amberlyst-15, timah klorida, zeolit, dan ZrO2
berbasis asam padat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilaporkan, bahwa kebanyakan dari
berbagai katalis
ini memiliki kekurangan deaktivasi cepat, prosedur persiapan
katalis yang rumit,
reaktivitas rendah, dan membutuhkan biaya yang mahal (Gao et al.
2015).
Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mengatasi hal ini yang
dimana nantinya
dapat menggunakan katalis asam padat yang murah dan berkelanjutan
untuk
esterifikasi gliserol. Salah satu ide penelitian ini adalah dengan
menggunakan katalis
heterogen poli(asam stirena sulfonat) yang diperoleh dari EPS Foam
sebagai katalis
untuk reaksi esterifikasi gliserol dan asam asetat.
2.3 POLI(-ASAM STIRENA SULFONAT)
dalam kimia poli-elektrolit dan dapat dibuat dari sampel polistiren
yang tersedia secara
komersial dan tersedia dengan baik. PSSA banyak digunakan dalam
aditif beton, resin
penukar ion, membran, obat-obatan dan produk perawatan pribadi
Banyak penelitian
PSSA telah digunakan untuk penukar ion, tetapi penggunaan PSSA
sebagai membran
konduktor dalam berbagai alat elektrokimia juga menarik karena
biaya produk yang
rendah. PSSA juga biasanya ditemukan dalam pengolahan air industri
karena
konsumsi koagulan yang lebih rendah, waktu flokulasi yang singkat
dan sifat
sendimentasi yang ditingkatkan dari suspensi (Bozkurt 2005;
Sulkowski et al. 2009;
Coughlin et al. 2013).
Poli(-asam stirena sulfonat) juga berguna sebagai katalis ntuk
hidrasi dan eterin
olefin, dehidrasi alkohol, alkilasi fenol, ester hidrolisis, dan
reaksi katalis asam
lainnya. Mereka adalah katalis yang menarik karena, dibandingkan
dengan
kebanyakan asam padat lainnya, mereka menunjukkan konsentrasi
tinggi situs asam
dan sifat situs asam cenderung sangat seragam. Kerugiannya adalah
stabilitas termal
yang buruk yang membatasi penggunaannya hingga 150, dan kekuatan
asamnya
yang relatif rendah (Siril et al. 2008).
Universitas Sumatera Utara
Foam. (Fagúndeza et al. 2010) melakukan penelitian dengan
menggunakan bahan
baku EPS Foam dari berbagai jenis limbah yaitu pembungkus yogurt,
pembungkus
CD (compact disc) dan menghasilkan PSSA dengan derajat sulfonasi
antara 87,4 –
93,4 %.
Proses dalam sintesis PSSA adalah subtitusi penempelan gugus ~SO3H
pada
molekul senyawa organik melalui ikatan kimia dengan atom karbon
maupun nitrogen
pada senyawa organik.
Mekanisme penempelan gugus -SO3H biasanya menggunakan
senyawa-
senyawa seperti H2SO4, SO3H dan senyawa kompleks misalnya alkil
sulfat, asam
klorosulfonat. Penempelan gugus SO3H akan berlangsung lebih mudah
untuk senyawa
aromatic dibandingkan senyawa alifatik. Fenomena ini diasumsikan
disebabkan oleh
mekanisme reaksi dua langkah di mana laju SO, penyisipan ke
hidrokarbon saja tidak
dapat mengendalikan laju reaksi. Satu, dua, atau tiga gugus -OH
dapat dilekatkan pada
satu atom karbon dari rantai alifatik, sedangkan hanya satu gugus
-OH yang dapat
dilekatkan pada atom karbon dari cincin aromatik (Kuera dan Janá
1998).
2.4.1 SULFONASI
Reaksi sulfonasi adalah substitusi elektrofilik khas ketika atom
oksigen yang
lebih elektronegatif menarik kerapatan elektron dari atom belerang,
yang kemudian
menjadi pusat elektrofilik. Pusat elektrofilik ini dapat bereaksi
dengan sistem v-
elektron terdelokalisasi dari cincin aromatik pada posisi dengan
kerapatan elektron
tertinggi, yang dikendalikan oleh posisi dan jenis kelompok lain
yang terletak di
sekitar cincin aromatik. Reaksi sulfonasi berlangsung dengan mudah
dengan adanya
gugus-gugus seperti C1-, NH, -, OH-, SH-, dll., yang dikenal untuk
meningkatkan
kerapatan elektron pada cincin aromatik. Lihat skema reaksi untuk
sulfonasi aromatik
yang menggunakan agen sulfonasi SO3 (Gambar 2.1) dan SO3H + (Gambar
2.2).
Universitas Sumatera Utara
13
Gambar 2.1 Reaksi Sulfonasi dengan Agen Sulfonasi SO3 (Kuera dan
Janá 1998)
Gambar 2.2 Reaksi Sulfonasi dengan Agen Sulfonasi SO3H + (Kuera dan
Janá
1998)
Pilihan kondisi reaksi untuk sulfonasi biasanya dibuat dengan
mempertimbangkan tiga faktor: (i) tingkat sulfonasi (jumlah -SO3H
yang masuk ke
dalam cincin aromatik), (ii) jenis isomer yang terbentuk, dan (iii)
hasil asam sulfonat
(reduksi desulfonasi).
Reaksi sulfonasi yang dijelaskan dalam literatur dilakukan pada
berbagai suhu,
biasanya dari -20 ° C hingga 300 ° C. Sulfonasi memberikan hasil
yang lebih baik pada
suhu tinggi, terutama dalam kasus sulfonasi ke level yang lebih
tinggi. Namun,
pembentukan sulfon juga meningkat dengan meningkatnya suhu reaksi.
Selain itu,
konsentrasi asam sulfat atau oleum yang digunakan sebagai zat
sulfonasi
mempengaruhi jalannya sulfonasi. Sulfonasi lebih memilih
konsentrasi tinggi zat
sulfonasi, sementara air yang terbentuk sebagai produk samping
dalam reaksi sulfonasi
mengurangi laju sulfonasi (Kuera dan Janá 1998).
B. AGEN SULFONASI
Zat sulfonasi dibedakan berdasarkan jenis reaksi yang mereka
masukkan ke
dalam tiga kelompok. Asam sulfat, oleum, asam klorosulfonat, asam
fluorosulfonat,
asam amidosulfonat, trioksida belerang bebas dan kompleknya,
turunan halogen asam
sulfat, dll. Membentuk kelompok zat sulfonasi pertama yang berasal
dari sulfur
trioksida. Mereka ditunjuk sebagai agen reaksi elektrofilik.
Kelompok kedua
mengandung zat nukleofilik seperti sulfit dan hidrogen sulfit, dan
sulfur dioksida, yang
bereaksi dengan turunan halogen dan senyawa tak jenuh yang
mengandung banyak
Universitas Sumatera Utara
14
ikatan. Kelompok ketiga terdiri dari zat yang bereaksi secara
radikal, yaitu
sulfurylchloride (SOCl2), campuran gas: sulfur dioksida dan klor
(SO2 + Cl2,
sulfoklorasi), sulfur dioksida dan oksigen (SO2 + O2,
sulfooksidasi), dll. Pereaksi dari
kelompok pertama paling sering digunakan untuk senyawa aromatik
tersulfonat.
Mereka menunjukkan kemampuan sulfonasi paling efektif dari semua
agen yang
dijelaskan di atas dan banyak digunakan untuk memproduksi asam
sulfonat.
Tampaknya masuk akal untuk menggambarkan sifat dan reaktivitas
beberapa agen ini
(Kuera dan Janá 1998).
dan kompleks SO3 dengan akilfosfat dan dioksan, umumnya digunakan
untuk
sulfonasi dari polimer, yaitu polystyrene (PS) (Kuera dan Janá
1998).
2.4.2 DESULFONASI
Sulfonasi senyawa aromatik bisa sangat kompleks karena sifatnya
yang dapat
dibalik. Kemudian, istilah desulfonasi (atau hidrolisis kelompok
-S03H) umumnya
digunakan untuk menggambarkan proses sebaliknya. Kondisi reaksi
diatur sedemikian
sehingga kesetimbangan antara reaksi sulfonasi dan desulfonasi
biasanya bergeser ke
arah sulfonasi yang berlaku. Gugus -S03H dapat dihilangkan dari
senyawa tersulfonasi
dengan larutan asam encer atau dengan air (Gambar 2.3).
R-SO3H + H2O RH + H2SO4
Gambar 2.3 Reaksi Desulfonasi oleh Reaksi dengan Air
(Hidrolisis)
Hidrolisis diwakili oleh pelepasan elektrofilik gugus -SO3H dengan
partisipasi
proton dalam reaksi ini. Dengan adanya asam sulfat atau klor,
hidrolisis dapat berjalan
secara bersamaan dengan sulfonasi karena konsentrasi ion H yang
tinggi.
Kondisi reaksi menentukan arah reaksi yang berlaku. Sulfonasi itu
sendiri lebih
memilih konsentrasi asam sulfat yang tinggi; Namun, desulfonasi
parsial diamati pada
Universitas Sumatera Utara
asam sulfat yang paling pekat(Kuera dan Janá 1996). Desulfonasi
mungkin
memiliki beberapa penyebab:
2. muatan kuat positif sebagian pada atom sulfur meningkatkan
kerapatan
elektron pada posisi meta cincin benzena dan pada atom karbon dari
ikatan
C – S.
3. Setelah pelepasan proton, muatan negatif yang terletak pada
gugus -SOH
dapat membuat hidrolisis gugus -S03H lebih memungkinkan.
Substituen
yang mendukung sulfonasi juga dapat meningkatkan hidrolisis gugus
-SO,
H, karena peningkatan kerapatan elektron pada atom karbon ikatan
C-S.
Ketika pembentukan asam sulfonat mudah, hidrolisis juga berjalan
dengan
mudah.
2.5 KARAKTERISASI KATALIS
Katalis yang telah dibuat perlu diuji apakah struktur katalis
tersebut sudah
sesuai dengan struktur yang diinginkan atau tidak. Struktur katalis
ini secara saintifik
didesain berdasarkan kinerja yang diharapkan pada saat penggunaan
katalis. Jika
sudah sesuai, maka proses pembuatan katalis adalah berhasil. Namun
sebaliknya, jika
tidak sesuai maka katalis tersebut perlu penanganan lebih lanjut
atau mengubah teknik
proses pembuatannya. Pengujian katalis ini biasa disebut
karakterisasi
(characterization). Tentunya pemilihan metode karakterisasi secara
ilmiah dan teknis,
biaya karakterisasi, dan kemudahan akses peralatan (Siregar,
2018).
Pada umumnya, terdapat beberapa karakterisasi katalis yang
dilakukan
(Khayoon et al. 2014), diantaranya:
1. Penentuan luas permukaan katalis, volume pori, dan ukuran pori
yang
dianalisis dengan menggunakan BET-BJH. Pada umumnya, tekstur
pada
struktur pori partikel meliputi luas permukaan, distribusi ukuran
pori, dan
bentuk pori (Richardson, 1989). Pada sintesis katalis heterogen,
luas
permukaan (m2/g) merupakan kriteria krusial untuk katalis padat.
Hal ini
dikarenakan luas permukaan sangat menentukan jumlah situs aktif
di
dalam katalis dengan aktivitas katalis. Selain luas permukaan,
volume pori
dan distribusi ukuran pori selanjutnya menjadi parameter penting
karena
Universitas Sumatera Utara
dengan selektivitas di dalam reaksi katalitik (Leofanti et al.
1997).
Distribusi luas permukaan dan ukuran pori ditentukan dengan
adsorpsi-
desorpsi nitrogen (Afzal et al. 2018).
Gambar 2.4 Jenis-Jenis Kurva Isoterm Adsorpsi (Storck et al.
1998)
Metode penentuan distribusi ukuran mesopori dari isoterm adsorpsi
yang biasa
digunakan adalah berdasarkan model BJH (Barrett, Joyner, and
Halenda) seperti
contoh di Gambar 2.4 unk MCM-41 dan SiO2 (Storck et al., 1998;
Carati et al.,
2003).
17
Gambar 2.5 Distribusi Ukuran Pori Berdasarkan Metode BJH (Storck et
al.
1998)
2. Pengujian dan mengetahui struktur kristal dan jarak antar
molekul
dilakukan dengan menggunakan pola difraksi sinar X (XRD) yang
dilakukan untuk memahami sistem kristal dari katalis asam padat.
Popova,
dkk (2017) telah melaporkan untuk karakterisasi katalis modernit
yang
ditreatment dengan campuran HF dan NH4F menghasilkan
pembentukan
pori yang lebih besar dari modernit awal. Pola XRD dari sampel
modernit
alami dengan sampel modernit yang ditreatment selama 20 menit
dengan
larutan HF 0,1 M dan NH4F menunjukkan tingkat kristalinitas yang
sangat
tinggi. Treatment yang dilakukan tidak menyebabkan distorsi
pada
struktur modernit (Popova 2014). Selain itu, Nandiwale, dkk (2017)
telah
menyintesis katalis montmorillonit K10 dengan asam sulfat.
Mereka
melaporkan bahwa katalis mengalami peningkatan kristalinitas
selama
proses sulfonasi (Son et al. 2018).
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.6 Pola XRD pada K-10 dan K-10 tersulfonasi (Nandiwale et
al. 2018)
3. Pengujian morfologi katalis dilakukan dengan menggunakan
Scanning
Electron Microscopy (SEM). Berdasarkan penelitian yang telah
dilaporkan oleh Chen, dkk (2015) bahwa proses kalsinasi pada
katalis akan
membuka pori bahan yang diketahui melalui uji SEM akibat
komponen
organik dan gas yang bersifat volatil dibebaskan (Chen, dkk.,
2015).
Popova, dkk (2017) juga telah melaporkan bahwa untuk
treatment
modernit dengan larutan HF 0,1 M menghasilkan pori-pori yang
lebih
besar (Popova, dkk., 2017).
Gambar 2.7 SEM pada percobaan Modernit dengan larutan HF 0,1 M
(Popova
et al. 2017)
Universitas Sumatera Utara
Saputro (2016) melakukan proses aktivasi dan modifikasi sebagai
bahan pengemban
logam aktif atau yang biasa disebut dengan impregnasi. Modifikasi
zeolit dengan
impregnasi menggunakan logam Zinc didasarkan pada upaya memperbaiki
kinerja
katalis logam murni, karena memiliki stabilitas termal rendah,
mudah mengalami
penurunan luas permukaan dan terjadi sintering (penggumpalan) serta
tingginya harga
dan biaya pemakaian. Perlakuan pengemban logam pada padatan zeolit
melalui
impregnasi akan menjadikan logam dalam zeolit sebagai katalis
bersifat bifungsional.
Dengan melihat komposisi unsur dari katalis yang diuji menggunakan
SEM-EDX,
dapat dilihat bahwa jumlah Zn yang menempel pada permukaan zeolit
tidak sesuai
dengan jumlah Zn yang diimpregnasi. Hal ini bisa terjadi karena
luasan penyangga
yang kecil sehingga penempelan logam Zn tidak bisa maksimal.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Oleokimia dan
Energi
Terbarukan, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Sumatera Utara,
Medan. Pengujian FTIR sampel dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa
Sawit, Medan,
Sumatera Utara; Pengujian XRD, SEM-EDX, dan BET-BJH dilakukan di
Pusat
Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Serpong,
Banten. Penelitian
ini dilakukan selama lebih kurang 6 bulan.
3.2 BAHAN PENELITIAN
3. Perak Sulfat (Ag2SO4)
1. Tahap Sintesis Katalis Heterogen poli(-asam stirena
sulfonat)
Reaksi yang digunakan dalam sintesis katalis heterogen poli(-asam
stirena
sulfonat) adalah sulfonasi. Dimana sejumlah EPS Foam dilarukan pada
suatu
pelarut inert, kemudian diteteskan perlahan pada larutan campuran
asam sulfat
dan katalis Ag2SO4 dan direaksikan sampai waktu tertentu sehingga
terbentuk
padatan poli(-asam stirena sulfonat), kemudian padatan dicuci
hingga pH
netral.
Katalis heterogen poli(-asam stirena sulfonat) yang telah disintesa
dilakukan
uji derajat sulfonasi, TEM, FTIR, BET-BJH, SEM-EDX, XRD.
3. Tahap pengolahan data
perlakuan.
Tahap Sintesis Katalis Heterogen poli(-asam stirena Sulfonat)
a) Preparasi EPS Foam
EPS Foam yang akan digunakan dipotong dengan ukuran 2x2 cm2
dan
ditimbang hingga berat tertentu. EPS Foam yang telah dipotong
dan
ditimbang dilarukan dengan pelarut inert yaitu etil asetat sebanyak
1:20
(b/v)
Agen pen-sulfonasi yaitu asam sulfat 98% dimasukan kedalam labu
leher
tiga dengan perbandingan 1:33,33 (b/v) terhadap EPS Foam.
Kemudian,
katalis Ag2SO4 dimasukan secara perlahan kedalam labu sebanyak
berat
tertentu terhadap EPS Foam dan diaduk dengan magnetic stirrer
hingga
homogen.
Larutan EPS Foam diteteskan perlahan kedalam larutan asam
yang
sebelumnya telah dibuat. Reaksi dilakukan pada suhu konstan
berkisar 60-
Universitas Sumatera Utara
dicuci hingga mencapai pH normal air.
Variabel berubah pada sintesa katalis heterogen poli(-asam
stirena
sulfonat) dapat dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Rancangan percobaan Penelitian poli(-asam stirena
sulfonat)
Run Waktu Reaksi
dimodifikasi dari penelitian Ngawidiyana, dkk (2018); Nitanan, dkk
(2014) dan
Sulkowski, dkk (2010) sebagai berikut :
1. EPS Foam diperkecil sehingga berukuran ± 2 x 2 cm.
Universitas Sumatera Utara
2. Asam sulfat (H2SO4) dimasukan kedalam labu leher tiga,
kemudian
ditambahkan katalis perak sulfat Ag2SO4 dan dipanaskan hingga suhu
60-
70.
3. EPS Foam dan etil asetat dicampur dalam beaker glass dan diaduk
hingga
homogen.
4. Larutan EPS Foam dimasukan kedalam labu leher tiga secara
perlahan.
Reaksi dibiarkan pada suhu konstan dengan waktu yang telah di
tentukan.
5. Reaksi dihentikan dengan penambahan air dingin, kemudian
dipisahkan
antara PSSA dan cair.
6. PSSA dicuci dengan aquadest hingga pH netral dan dikeringkan
dalam
oven selama 24 jam pada suhu 70.
3.7 RANGKAIAN ALAT PENELITIAN
dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut:
Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan Sintesis Katalis Heterogen
poli(-asam stirena
sulfonat)
Keterangan:
2. Magnetic stirrer 7. Ember
3. Termometer 8. Selang air masuk
4. Labu leher tiga 9. Selang air keluar
5. Hot plate
dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut :
Gambar 3.2 Flowchart Sintesis Katalis Heterogen poli(-asam stirena
sulfonat)
3.9 PROSEDUR ANALISIS
Perhitungan derajat sulfonasi dilakukan setelah PSSA terbentuk
dengan
prosedur yang diadopsi dari penelitian (Ngadiwiyana et al. 2018)
berikut :
1. PSSA sebanyak 0,1 gram direndam dalam 10 ml larutan NaCl 0,1
M
selama 2 hari.
2. Campuran disaring dan filtrat yang diperoleh dititrasi dengan
0,02 M
NaOH menggunakan indikator PP.
ditambahkan katalis perak sulfat Ag2SO4 dan dipanaskan hingga suhu
60-70
EPS Foam dan etil asetat dicampur dalam beaker
glass dan diaduk hingga homogen
Larutan EPS Foam dimasukan kedalam labu leher
tiga secara perlahan. Reaksi dibiarkan pada suhu
konstan dengan waktu yang telah di tentukan
Reaksi dihentikan dengan penambahan air dingin,
kemudian dipisahkan antara PSSA dan fasa cair
PSSA dicuci dengan aquadest hingga pH netral dan
dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 70.
Selesai
× 100%
M NaOH = Konsentrasi dari NaOH (M)
3.9.2 Prosedur Analisis Gugus Fungsi Katalis
Analisis gugus fungsi EPS Foam dan katalis PSSA dilakukan
dengan
menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR) di Laboratorium
Mineral dan
Material Maju Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri
Malang, Malang, Jawa Timur.
3.9.3 Prosedur Analisis Ukuran Pori, Volume Pori, dan Luas
Permukaan Pori
Katalis
Analisis ukuran pori dan luas permukaan katalis PSSA dilakukan
dengan uji
BET BJH di Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Serpong,
Banten.
Analisis morfologi dan komposisi katalis PSSA dilakukan
menggunakan
SEM-EDX di Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Serpong,
Banten.
Analisis fasa dan jenis struktur katalis PSSA dilakukan menggunakan
X-Ray
Diffraction (XRD) di Pusat Penelitian Fisika, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia,
Serpong, Banten.
sebagai berikut:
I002 = Intensitas maksimum pola difraksi
IAM = Intensitas dari difraksi dalam unit yang standar
Universitas Sumatera Utara
ukuran partikel dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan
Debye-Scherrer
(Richardson, 1989) sebagai berikut:
K = Konstanta (0,9)
β = Integrasi luas puncak refleksi (FWHM, radian)
θ = Sudut peristiwa sinar-X
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan sintesa PSSA berbasis limbah EPS Foam
dengan
asam sulfat H2SO4 sebagai zat pensulfonasi dan penggunaan perak
sulfat Ag2SO4
sebagai katalis dalam reaksi tersebut. PSSA yang dihasilkan akan
dikarakterisasi
berupa Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), X-Ray
Diffraction (XRD),
Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-ray (SEM-EDX), dan
BET-BJH,
serta ingin diketahui pengaruh waktu dan berat katalis terhadap
derajat sulfonasi dan
yield PSSA.
PSSA yang dihasilkan. Pembahasan pengaruh jumlah katalis dan waktu
terhadap
derajat sulfonasi dan yield PSSA dibahas pada 4.1.1 dan 4.1.2
berikut.
4.1.1 PENGARUH JUMLAH KATALIS DAN WAKTU TERHADAP
DERAJAT SULFONASI
Pengaruh waktu dan jumlah katalis terhadap derajat sulfonasi dapat
dilihat
pada Gambar 4.1 sebagai berikut :
Gambar 4.1 Pengaruh Waktu dan Jumlah Katalis terhadap Derajat
Sulfonasi
30
35
40
45
50
55
60
65
70
D er
aj at
Derajat sulfonasi menunjukan tingkat keberhasilan dari reaksi
sulfonasi (Wang
et al. 2016). Derajat sulfonasi menunjukan jumlah atom hidrogen (H)
yang telah
diganti dengan gugus sulfonat (-SO3H) (Safronova et al. 2016).
Sulfonasi EPS Foam
menjadi PSSA dengan asam sulfat (H2SO4) adalah reaksi heterogen;
EPS Foam pada
awalnya tidak larut dalam H2SO4 tetapi seiring dengan
berlangsungnya reaksi, PSSA
yang direaksikan masuk ke dalam larutan untuk menghasilkan larutan
yang sangat
kental dan jernih. Martins, dkk (2003) mereaksikan Polistirena
dengan zat
pensulfonasi asetil sulfat dengan pelarut CH2Cl2 tanpa katalis pada
suhu 40 dan
waktu 2 jam menghasilkan derajat sulfonasi 18-22 %. Jika tidak ada
katalis yang
digunakan, reaksi berlangsung agak lambat untuk menghasilkan gel
elastis yang tidak
homogen. Dengan adanya Ag2SO4, reaksinya jauh lebih cepat dan pada
dasarnya
dibatasi oleh ukuran partikel EPS Foam (Carroll dan Eisenberg
1966). Reaksi
sulfonasi pada penelitian ini menggunakan katalis yaitu perak
sulfat (Ag2SO4). Dosis
katalis divariasikan dari 0,5%; 1%; 1,5%; 2%; dan 2,5% terhadap
berat EPS Foam
yang digunakan. Pada Gambar 4.2 menunjukan perbandingan antara
derajat sulfonasi,
dosis katalis dan waktu. Pada penggunaan 0,5-1% dapat dilihat bahwa
terjadi
peningkatan signifikan derajat sulfonasi seiring dengan waktu
reaksi. Hal ini
menunjukan bahwa jumlah katalis sebanding dengan besarnya kecepatan
reaksi. Bila
presentase katalis diperbesar, maka kecepatan reaksi akan
meningkat. Jumlah molekul
yang bertumbukan akan bertambah, apabila mempercepat terjadinya
reaksi (Groggins,
1958). Keadaan ini yang menyebabkan meningkatnya derajat sulfonasi
seiring dengan
pertambahan dosis katalis. Pada penggunaan katalis 1,5-2,5%,
terlihat bahwa kenaikan
derajat sulfonasi tidak cukup signifikan dan mulai konstan. Hal ini
disebabkan karena
jumlah situs aktif yang tersedia pada katalis hampir mendekati
jumlah maksimum yang
dibutuhkan.
Nilai dari derajat sulfonasi dipengaruh oleh beberapa variabel,
salah satunya
adalah waktu (Wang et al. 2016). Grafik menunjukan nilai derajat
sulfonasi untuk
beberapa periode waktu dengan penggunaan katalis Ag2SO4. Dapat
dilihat bahwa
derajat sulfonasi mengalami peningkatan seiring dengan waktu,
kemudian sampai
periode waktu tertentu mengalami penurunan. Pada penggunaan katalis
1%; 1,5%, 2%,
dan 2,5% menit ke-25 merupakan puncak dengan nilai derajat
sulfonasi masing-
Universitas Sumatera Utara
29
masing 67,3%; 67,3%; 67,6%; dan 67,3%, terjadi penurunan pada menit
ke-30 yaitu
masing-masing menjadi 66,6%; 66,9%; 67,3%; dan 66,9%. Derajat
Sulfonasi
merepresentasikan konversi reaksi sulfonasi dimana pada menit ke-20
diseluruh
penggunaan katalis cenderung konstan dan mulai terjadi penurunan.
Pada keadaan ini
dapat diasumsi bahwa reaksi dapat dikatakan telah setimbang.
Penurunan diduga
karena reaksi sulfonasi adalah reaksi bolak-balik (reversible), dan
pada menit ke-25
terjadi reaksi desulfonasi. Desulfonasi (hidrolisis gugus -SO3H)
adalah istilah yang
menggambarkan proses kebalikan dari sulfonasi. Desulfonasi sendiri
memiliki
beberapa penyebab, seperti : i) gugus -SO3H yang tidak terkonjugasi
pada cincin
benzene; ii) muatan kuat, sebagian positif pada atom sulfur
meningkatkan kerapatan
elektron pada posisi meta cincin benzena dan pada atom karbon dari
ikatan C - S; iii)
setelah pelepasan proton, muatan negatif yang terletak pada
kelompok -SO3H dapat
membuat hidrolisis kelompok -SO3H lebih mungkin terjadi. Substituen
yang
mendukung sulfonasi juga dapat meningkatkan hidrolisis gugus -SO3H,
karena
peningkatan kerapatan elektron pada atom karbon ikatan C-S. Ketika
pembentukan
asam sulfonat mudah, hidrolisis juga berjalan dengan mudah (Kuera
dan Janá
1998).
4.1.2 PENGARUH BERAT KATALIS DAN WAKTU TERHADAP YIELD
Pengaruh berat katalis dan waktu terhadap yield dapat dilihat pada
Gambar
4.2 berikut :
Y ie
Katalis 0,5% Katalis 1,0% Katalis 1,5% Katalis 2,0% Katalis
2,5%
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.2 Pengaruh Berat Katalis dan Waktu Terhadap Yield
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa berat katalis memiliki peran dalam
pembentukan yield
PSSA walaupun tidak terlalu signifikan. Pada menit ke 5, katalis
0,5-1,5%
menghasilkan yield sebesar 87,5%, dan pada katalis 2-2,5%
mengasilkan yield 88,6%.
Pada menit ke 10 dan ke 15, terjadi peningkatan yield seiring
dengan persen katalis
yang digunakan. Pada waktu ke 20-30 menit, yield yang dihasilkan
masing-masing
berat katalis mulai konstan dan cenderung menurun. Pada sub bab
4.1.1 telah
disebutkan bahwa pada menit ke-20 patut diduga reaksi telah
mencapai kesetimbangan
yang ditunjukkan dengan nilai derajat sulfonasi yang relatif
konstan. Hal ini tentu saja
berdampak kepada nilai yield yang diperoleh. Ketika waktu reaksi
bertambah
sedangkan reaksi sudah setimbang (konversi kesetimbangan sudah
tercapai) maka
penambahan waktu tidak akan meningkatkan jumlah yield, bahkan
terjadi penurunan
yield mengingat reaksi sulfonasi ini adalah reaksi bolak balik atau
reaksi setimbang.
Penurunan yield ini diduga disebabkan oleh terjadinya reaksi balik
yaitu desulfonasi
yang mengurai kembali PSSA menjadi PS akibat terlepasnya gugus
-SO3H dari cincin
benzene (Kuera dan Janá 1998). Reaksi sulfonasi merupakan reaksi
bolak-balik
harus dijaga sedemikan rupa terutama terbentuknya air yang
menyebabkan terjadinya
desulfonasi. Yield tertinggi didapat dengan nilai 93,2% dimana
diperoleh dari variasi
katalis 1% pada waktu 25 menit; katalis 1,5 % pada waktu 20 menit;
katalis 2% pada
waktu 20 menit; dan pada katalis 2,5% pada waktu 20, 25, dan 30
menit.
4.2 KARAKTERISASI PSSA
fungsi menggunakan FTIR, analisis jenis struktur PSSA menggunakan
XRD, analisis
morfologi katalis menggunakan SEM-EDX, dan analisis ukuran pori
katalis
menggunakan BET-BJH.
INFRARED SPECTROSCOPY (FTIR) KATALIS PSSA
PSSA dianalisis menggunakan FTIR dengan bilangan gelombang 4000 –
450
cm-1. Gambar berikut menunjukan analisis gugus fungsi EPS Foam dan
katalis PSSA
Universitas Sumatera Utara
31
yang dihasilkan dari sulfonasi antara EPS Foam dan H2SO4 dengan
variasi waktu dan
katalis Ag2SO4.
Gambar 4.3 Hasil Analisa FTIR (a) EPS Foam (b) PSSA
Pada Gambar 4.3 (a) dapat dilihat spektrum dari EPS Foam, terdapat
serapan
585,74 cm-1 yang menunjukan cincin fenil, serapan 696,29 cm-1 yang
menunjukan
ikatan C-H pada cincin fenil, serapan 906 cm-1 yang menunjukan
peregangan ikatan
C-H aromatic, 2919,26 dan 2849 cm-1 yang menunjukan peregangan CH2
asimetris
dan simetris, kemudian serapan 1599,71, 1491,71 dan 1449,64 cm-1
menunjukan
getaran dari ikatan C-C (Cheikh et al. 2002). Seluruh serapan
tersebut menujukan
struktur dari polistirena.
Pada gambar 4.3 (b) dapat dilihat spektrum dari PSSA yang
menunjukan
bahwa polistirena yang digunakan telah tersulfonasi dengan baik.
Serapan inframerah
pada 1034,95 cm-1 merupakan getaran akibat adanya ikatan C-H pada
cincin benzene
yand dipengaruhi oleh getaran simetris gugus sulfonat (peregangan
S=O=S). Serapan
pada 1644,87 cm-1 merupakan getaran peragangan dari gugus ikatan
ganda S=O, dan
Universitas Sumatera Utara
32
serapan akibat ikatan C-S ditunjukan pada 1165,92 cm-1, yang
merupakan puncak
karakteristik yang signifikan untuk menghubungkan benzena dan
sulfonat (Zhang et
al. 2014; Wang et al. 2018). Kemudian, puncak serapan pada 3365,80
cm-1
menunjukan ikatan hidroksil (-OH) (Wang et al. 2018; Zaghaghi et
al. 2019).
Keadaan-keadaan tersebut menunjukan kehadiran gugus sulfonat -SO3H
pada struktur
polistirena.
4.2.2 KARAKTERISASI XRD
Hasil Analisa XRD untuk EPS Foam dan PSSA dapat dilihat pada Gambar
4.4
sebagai berikut :
Gambar 4.4 Hasil Analisa XRD (a) EPS Foam (b) PSSA
Karakterisasi sifat kristal dengan menggunakan instrumen X-Ray
Diffraction
(XRD) dimaksudkan untuk mengidentifikasi fase bulk suatu katalis
serta menentukan
sifat kristal atau kristalinitas dari suatu katalis. Semakin banyak
dan tinggi puncak
suatu katalis setelah dianalisa dengan menggunakan XRD, maka
senyawa itu semakin
kristalin (Huang et al. 2010).
(a)
(b)
Pengaruh sulfonasi EPS Foam terhadap struktur kristal dengan perak
sulfat
(Ag2SO4) sebagai katalis ditunjukan pada Gambar 4.4. Dapat dilihat
bahwa hasil
Analisa XRD untuk EPS Foam terletak pada 2θ = 19,32° dengan puncak
tertinggi,
dengan bentuk puncak yang tidak tajam. Dalam penelitiannya,
(Martins et al. 2003;
M. N. Milla et al. 2018) melaporkan bahwa struktur EPS Foam dari
hasil XRD berupa
amorf. Sedangkan hasil Analisa XRD untuk PSSA diperoleh 2θ = 19,8
dengan bentuk
puncak yang lebih tajam. Pola difraktogram menunjukan, bahwa PSSA
mempunyai
fase kristal yang tercampur dengan fase amorf. Tingkat
kristalinitas yang terlihat pada
pola PSSA ini disebabkan oleh difraksi yang timbul dari hubungan
rantai polistiren
tersulfonasi (Al-Sabagh et al. 2018).
Analisis X-Ray Diffraction (XRD) secara kualitatif juga dapat
dilakukan dengan
cara menghitung kristalinitas dan ukuran kristal PSSA dengan
menggunakan
persamaan Debye Scherrer. Berdasarkan contoh perhitungan lampiran B
halaman 56,
hubungan kristalinitas dan ukuran EPS Foam sebelum dan sesudah
sulfonasi dapat
dilihat pada Tabel berikut:
Kode Sampel Intensitas
PSSA 646 9,94 73,83 1,75
Kristalinitas merupakan suatu faktor penting yang memiliki peranan
besar
ketika mempertimbangkan properti dari suatu bahan (Afzal et al.
2018). Pada Tabel
4.1 terlihat bahwa terjadi peningkatan kristalinitas antara EPS
Foam dan PSSA yang
ditunjukan dengan peningkatan kristalinitas dari 48,85% menjadi
73,83%, dan diiringi
dengan penurunan ukuran partikel dari 2,06 nm menjadi 1,75 nm.
Nandiwale, dkk
(2018) telah menyintesis katalis montmorillonit K10 dengan asam
sulfat. Mereka
melaporkan bahwa katalis mengalami peningkatan kristalinitas selama
proses
sulfonasi (Nandiwale et al. 2018). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
proses sulfonasi
terhadap EPS Foam dengan katalis perak sulfat (Ag2SO4) dapat
menghasilkan PSSA
dengan struktur semi-kristalin.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini, SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi EPS
Foam
dan PSSA. Adapun hasil karakterisasi SEM untuk EPS Foam dan PSSA
ditunjukan
pada Gambar Berikut :
(a) (b)
Gambar 4.5 Hasil Analisa SEM Perbesaran 1.000 kali (a) EPS Foam (b)
PSSA
Pada Gambar 4.5 terlihat perbedaan EPS Foam dengan PSSA. Pada
Gambar
4.5 (a), EPS Foam memiliki bentuk seperti pita besar yang umum pada
morfologi
polimer (M. N. Milla et al. 2018). Pada Gambar 4.5 (b), PSSA
menunjukan bentuk
pita menjadi lebih kecil dan lebih berpori. Perubahan morfologi
yang terjadi
disebabkan reaksi sulfonasi EPS Foam dengan asam pekat (H2SO4) (M.
N. Milla et al.
2018).
Pada penelitian ini uji EDX (Energy-Dispersive X-Ray) juga
dilakukan guna
mengetahui komposisi penyusun dari EPS Foam dan PSSA. Komposisi
Unsur
penyusun EPS Foam dan PSSA dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai
berikut :
Tabel 4.2 Komposisi Unsur Penyusun EPS Foam dan PSSA
No. Komponen Persentase (%b)
35
Berdasarkan Tabel 4.2 diatas dapat dilihat komponen unsur pada EPS
Foam dan
PSSA. Pada awalnya EPS Foam mengandung unsur C sebesar 94,86% dan
unsur O
sebesar 5,14%. Setelah dilakukannya sulfonasi menjadi PSSA, dapat
dilihat terjadi
peningkatan signifikan dari unsur O menjadi 11,69%. Pada PSSA juga
mulai muncul
unsur sulfur (S) yaitu sebesar 15,88%. Peningkatan unsur-unsur
sesuai dengan
harapan, bahwa reaksi sulfonasi menyebabkan penempelan gugus SO3H
(Kuera dan
Janá 1998) pada EPS Foam. Terdapat unsur-unsur lain seperti
aluminiunm (Al), besi
(Fe), Nikel (Ni) dan tembaga (Cu), kemunculan unsur-unsur ini dalam
jumlah yang
sangat kecil, hal ini diduga unsur-unsur tersebut merupakan
kontaminasi saat
dilakukannya percobaan.
4.2.4 Analisis Ukuran Pori dan Luas Permukaan EPS Foam dan
PSSA
Pada umumnya, tekstur pada struktur pori partikel meliputi luas
permukaan,
distribusi ukuran pori, dan bentuk pori (Richardson 1989). Pada
sintesis katalis
heterogen, luas permukaan (m2/g) merupakan kriteria krusial untuk
katalis padat. Hal
ini dikarenakan luas permukaan sangat menentukan jumlah situs aktif
di dalam katalis
dengan aktivitas katalis. Selain luas permukaan, volume pori dan
distribusi ukuran pori
selanjutnya menjadi parameter penting karena dapat mengendalikan
fenomena
perpindahan dan berhubungan sekali dengan selektivitas di dalam
reaksi katalitik
(Leofanti et al. 1997). Distribusi luas permukaan dan ukuran pori
ditentukan dengan
adsorpsi-desorpsi nitrogen (Afzal et al. 2018).
a. Analisis BET EPS Foam dan PSSA
Haber, dkk (1995) melaporkan bahwa total luas permukaan dan
struktur pori
suatu padatan dapat dianalisis dengan BET yang dimana metode BET
merupakan
metode dengan menggunakan prinsip adsorpsi-desorpsi nitrogen pada
suatu padatan.
Persamaan BET hanya dapat digunakan untuk menentukan adsorpsi
isoterm yang
mempunyai nilai P/Po berkisar antara 0,05 sampai 0,3 (Adamson
1990). Kurva isoterm
yang diperoleh dari penjerapan fisik dapat menjelasakan jenis
porositas di dalam
sampel yang akan dianalisis. Adapun jenis-jenis kurva isoterm
menurut Brunauer, dkk
(1940) dapat ditunjukkan pada Gambar 4.6 berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.6 Jenis-Jenis Kurva Isoterm Adsorpsi (Brunauer et al.
1940)
Preparasi sampel yang akan diukur luas permukaannya,
mula-mula
mengeluarkan semua kotoran dan air yang menghalangi pori-pori harus
dikeluarkan
dari permukaan. Hal ini bertujuan untuk membersihkan sampel dari
kontaminan yang
teradsorpsi melalui suatu proses degassing dengan menggunakan vakum
atau aliran
gas inert yang biasanya dilakukan pada suhu tinggi (biasanya pada
rentang suhu 250
– 400oC). Prosedur singkat dari proses degassing ini yaitu sejumlah
sampel yang telah
diketahui massanya ditempatkan dalam sel kaca yang cocok dan sel
kaca tersebut
diletakkan ke mantel pemanas dan terhubung ke port outgas dari
mesin selama proses
degassing. Suhu yang digunakan harus cukup tinggi untuk menghapus
secara efisien
spesies kontaminan permukaan tanpa merubah morfologi permukaan
(Yurdakal et al.
2019).
Pada penelitian ini, jenis kurva isoterm adsorpsi pada EPS Foam dan
PSSA
adalah mendekati jenis kurva tipe II. Kurva isoterm
adsorpsi-desorpsi ini cocok untuk
padatan nonpori atau padatan berpori. Ketebalan adsorbat terus
meningkat hingga
dicapainya tekanan kondensasi (Yurdakal et al. 2019). Hal ini dapat
disajikan pada
Gambar 4.7 berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.7 Kurva Isoterm Adsorpsi-Desorpsi (a). EPS Foam (b).
PSSA
Pada Gambar 4.7 menunjukkan hasil analisis BET adsorpsi-desorpsi
gas
nitrogen dari EPS Foam dan PSSA yang digambarkan dengan kurva
adsorpsi-desorpsi
isotermal. Jenis kurva isoterm adsorpsi-desorpsi pada EPS Foam dan
PSSA
menunjukkan jenis kurva tipe II. Dimana kurva tipe II digambarkan
oleh kurva yang
berbentuk sigmoid dan pada umumnya ditemui pada material yang
porinya lebih besar
dari mikropori. Jenis kurva tipe II termasuk jenis material dengan
ukuran makropori
atau nonpori (Storck et al. 1998; Hindryawati et al. 2014; Roschat
et al. 2016).
0
20
40
60
80
100
120
140
V o lu
V o lu
38
Adsorpsi gas inert adalah langkah umum yang dilakukan oleh banyak
peneliti
sebagai langkah utama sebelum melakukan identifikasi struktur pori
adsorben (Yan et
al. 2008; Bandosz dan Petit 2009; Li et al. 2011). Pada Gambar 4.7
dapat dilihat pada
P/Po yang berkisar 0-1 volume gas N2 yang teradsoprsi untuk EPS
Foam adalah 1,879-
116,28 cc/g dan untuk PSSA 2,4276-61,288 cc/g. Fenomena ini
menunjukkan bahwa
adsorpsi gas N2 lebih dahulu terjadi pada wilayah mesopori. Faktor
yang menjadi
penyebabnya karena mesopori memiliki jarak antar permukaan yang
cenderung dekat
dan terjadi ketidakseimbangan gaya pada permukaan sehingga gaya
adsorpsi yang
terjadi pun semakin kuat, akibatnya pun gas N2 akan lebih tertarik
pada mesopori. Hal
ini dapat didukung oleh kurva yang meningkat dengan jarak tiap
titik yang cenderung
dekat (terlihat pada Gambar 4.7) dimana keadaan ini menunjukkan
bahwa EPS Foam
dan PSSA memiliki jenis pori berupa mesopori.
b. Analisis BJH EPS Foam dan Katalis PSSA
Sifat-sifat pori seperti volume pori dan distribusi ukuran pori
selanjutnya
menjadi parameter penting terutama untuk katalis yang bersifat
selektif terhadap
bentuk dan ukuran pori. Metode penjerapan gas biasanya digunakan
untuk
mengarakterisasi material berpori yang berukuran mikropori
(diameter < 2 nm),
mesopori (diameter 2 – 50 nm), dan makropori (> 50 nm) (Storck
et al. 1998). Metode
penentuan distribusi ukuran mikropori dari isoterm adsorpsi yang
biasa digunakan
adalah berdasarkan model BJH (Barret, Joyner, dan Halenda).
Pembuktian terhadap
adanya pori meso pada permukaan padatan dapat dilihat dari data
distribusi ukuran
pori yang disajikan pada Gambar 4.8 berikut:
Universitas Sumatera Utara
(b) PSSA
Gambar 4.8 Distribusi Ukuran Pori Katalis (a). EPS Foam (b).
PSSA
Pada Gambar 4.8 menunjukkan kurva diferensial distribusi ukuran
pori yaitu
hubungan bagaimana ukuran pori terhadap volume pori dikarenakan
jumlah pori yang
banyak. Kurva distribusi ukuran pori katalis pada Gambar 4.8 untuk
EPS Foam dan
PSSA memperlihatkan kurva yang serupa dimana terjadi penurunan
secara tajam yang
disebabkan oleh adanya pori yang berukuran meso. Hal ini
ditunjukkan oleh kurva
distribusi ukuran pori yang terus menunjukkan kenaikan pada
jari-jari pori rata-rata
lebih dari 17,004 (1,7004 nm) untuk EPS Foam dan 16,984 (1,6984 nm)
untuk
0,0E+00
d V
d V
40
PSSA. Jika dikonversikan ke diameter, maka diperoleh diameter EPS
Foam adalah
3,4008 nm, dan PSSA adalah 3,3698 nm. Maka dapat disimpulkan bahwa
EPS Foam
dan PSSA memiliki pori berukuran meso (2 – 50 nm).
Adapun hasil analisis permukaan dan struktur pori dengan metode
adsorpsi-
desorpsi nitrogen disajikan pada Tabel 4.3 berikut:
Tabel 4.3 Data Sifat Fisik Pori EPS Foam dan PSSA
Tipe Katalis Luas Permukaan
PSSA 91,600 0,090 16,984
Berdasarkan Tabel 4.3 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sampel
EPS
Foam untuk seluruh parameter yang meliputi luas permukaan, volume
pori, dan jari-
jari pori yang cenderung semakin mengecil setelah reaksi sulfonasi
dalam
menghasilkan PSSA. Maka dapat disimpulkan bahwa sulfonasi memiliki
pengaruh
terhadap luas dan morfologi terhadap produk PSSA.
Universitas Sumatera Utara
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Penggunaan 0,5-1% katalis Ag2SO4 dapat meningkatkan derajat
sulfonasi
secara signifikan seiring dengan waktu reaksi, tetapi pada
penggunaan katalis
1,5-2,5%, terlihat bahwa kenaikan derajat sulfonasi tidak cukup
signifikan dan
mulai konstan.
2. Derajat sulfonasi tertinggi yaitu 67,6% diperoleh dengan kondisi
reaksi 2%
katalis dengan waktu reaksi 25 menit.
3. Yield tertinggi didapat dengan nilai 93,2% dimana diperoleh dari
variasi katalis
1% pada waktu 25 menit.
4. Proses sulfonasi terhadap EPS Foam dengan katalis perak sulfat
(Ag2SO4)
dapat menghasilkan PSSA dengan struktur semi-kristalin dengan
kristalinitas
73,83% dan ukuran partikel 1,75 nm.
5. Berdasarkan uji BET-BJH, terjadi perubahan luas permukaan EPS
Foam dan
PSSA dari 567,668 m2/g menjadi 91,6 m2/g, volume pori dari 0,191
cm3/g
menjadi 0,90 cm3/g, dan jari-jari pori rata-rata dari 17,004Å
menjadi 16,984Å.
5.2 SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Peneliti menyarankan untuk mengkaji pengaruh rasio asam sulfat
(H2SO4) dan
etil asetat terhadap derajat sulfonasi dan yield yang
dihasilkan.
2. Peneliti menyarakan untuk menggunakan agen pensulfonasi selain
asam sulfat
yang lebih ramah lingkungan seperti surfaktan metil ester
sulfonat.
3. Peneliti menyarakan untuk melakukan uji SEM-EDS pada setiap
variasi berat
katalis Ag2SO4 yang digunakan pada waktu tertentu.
4. Peneliti menyarankan untuk melakukan Analisis Stabilitas Termal
untuk
mengetahui stabilitas katalis pada suhu tinggi,
5. Peneliti menyarakan untuk meneliti lebih lanjut variasi suhu
awal asam sulfat
H2SO4.
DAFTAR PUSTAKA
Adamson AW. 1990. Physical Chemistry of Surfaces. New York: John
Wiley & Sons,
Inc.
Afzal MS, Zanin F, Ghori MU, Granollers M. 2018. The effect of
mesoporous silica
impregnation on tribo-electrification characteristics of
flurbiprofen.
544(March):55–61.doi:10.1016/j.ijpharm.2018.03.059.
Al-Sabagh AM, Moustafa YM, Hamdy A, Killa HM, Ghanem RTM, Morsi RE.
2018.
Preparation and characterization of sulfonated
polystyrene/magnetite
nanocomposites for organic dye adsorption. Egypt. J. Pet.
27(3):403–
413.doi:10.1016/j.ejpe.2017.07.004.
Bandosz TJ, Petit C. 2009. On the reactive adsorption of ammonia on
activated carbons
modified by impregnation with inorganic compounds. J. Colloid
Interface Sci.
338(2):329–345.doi:10.1016/j.jcis.2009.06.039.
Turkish J. Chem. 29(2):117–123.
Brunauer S, Deming LS, Deming WE, Teller E. 1940. On a Theory of
the van der
Waals Adsorption of Gases. J. Am. Chem. Soc. 62(7):1723–
1732.doi:10.1021/ja01864a025.
610.doi:10.1002/pol.1966.160040405.
Cheikh R Ben, Askeland PA, Schalek RL, Drzal LT. 2002. Improving
the adhesion
properties of polypropylene using a liquid-phase sulfonation
treatment. J. Adhes.
Sci. Technol. 16(12):1651–1668.doi:10.1163/15685610260255260.
Cordova MR, Nurhati IS. 2019. Major sources and monthly variations
in the release
of land-derived marine debris from the Greater Jakarta area,
Indonesia. Sci. Rep.
9(1):1–8.doi:10.1038/s41598-019-55065-2.
Costa BOD, Decolatti HP, Legnoverde MS, Querini CA. 2016. Influence
of acidic
properties of different solid acid catalysts for glycerol
acetylation. Catal. Today.
5:1–9.doi:10.1016/j.cattod.2016.09.015.
Coughlin JE, Reisch A, Markarian MZ, Schlenoff JB. 2013.
Sulfonation of
polystyrene: Toward the “ideal” polyelectrolyte. J. Polym. Sci.
Part A Polym.
Chem. 51(11):2416–2424.doi:10.1002/pola.26627.
Fagúndeza NA-F, Laserna V, Alba RAC, Mengibar M, Heras A, Granados
ML,
Mariscal R. 2010. Poly-(styrene sulphonic acid): An acid catalyst
from
polystyrene waste for reactions of interest in biomass
valorization. GEF Bull.
Biosci. 1(1):1–6.doi:10.1016/j.rgmx.2019.08.007.
Universitas Sumatera Utara
43
Ferreira P, Fonseca IM, Ramos AM, Vital J, Castanheiro JE. 2011.
Acetylation of
glycerol over heteropolyacids supported on activated carbon.
CATCOM.
12(7):573–576.doi:10.1016/j.catcom.2010.11.022.
Gao X, Zhu S, Li Y. 2015. Graphene oxide as a facile solid acid
catalyst for the
production of bioadditives from glycerol esteri fi cation. CATCOM.
62:48–
51.doi:10.1016/j.catcom.2015.01.007.
Goncalves VLC, Mota CJA, Pinto BP, Silva JC. 2008. Acetylation of
glycerol
catalyzed by different solid acids. 135(2008):673–
677.doi:10.1016/j.cattod.2007.12.037.
Hindryawati N, Maniam GP, Karim MR, Chong KF. 2014.
Transesterification of used
cooking oil over alkali metal (Li, Na, K) supported rice husk
silica as potential
solid base catalyst. Eng. Sci. Technol. an Int. J. 17(2):95–
103.doi:10.1016/j.jestch.2014.04.002.
Huang Y, Wang K, Dong D, Li D, Hill MR, Hill AJ, Wang H. 2010.
Synthesis of
hierarchical porous zeolite NaY particles with controllable
particle sizes.
Microporous Mesoporous Mater. 127(3):167–
175.doi:10.1016/j.micromeso.2009.07.026.
Joshi G, Rawat DS, Sharma AK, Pandey JK. 2016. Microwave enhanced
alcoholysis
of non-edible (algal, jatropha and pongamia) oils using chemically
activated egg
shell derived CaO as heterogeneous catalyst. Bioresour. Technol.
219:487–
492.doi:10.1016/j.biortech.2016.08.011.
Kakaei K, Esrafili MD, Ehsani A. 2019. Introduction to Catalysis.
Interface Sci.
Technol. 27:1–21.doi:10.1016/B978-0-12-814523-4.00001-0.
Kale S, Umbarkar SB, Dongare MK, Eckelt R, Armbruster U, Martin A.
2015.
Selective formation of triacetin by glycerol acetylation using
acidic ion-
exchange resins as catalyst and toluene as an entrainer. Appl.
Catal. A Gen.
490:10–16.doi:10.1016/j.apcata.2014.10.059.
Khayoon MS, Hameed BH. 2011. Acetylation of glycerol to biofuel
additives over
sulfated activated carbon catalyst. Bioresour. Technol.
102(19):9229–
9235.doi:10.1016/j.biortech.2011.07.035.
Khayoon MS, Triwahyono S, Hameed BH, Jalil AA. 2014. Improved
production of
fuel oxygenates via glycerol acetylation with acetic acid. Chem.
Eng. J.
243:473–484.doi:10.1016/j.cej.2014.01.027.
Kim I, Kim J, Lee D. 2014. Applied Catalysis B: Environmental A
comparative study
on catalytic properties of solid acid catalysts for glycerol
acetylation at low
temperatures. "Applied Catal. B, Environ. 148–149:295–
303.doi:10.1016/j.apcatb.2013.11.008.
Kuera F, Janá J. 1996. Preliminary study of sulfonation of
polystyrene by
homogeneous and heterogeneous reaction. Chem. Pap.
50(4):224–227.
Universitas Sumatera Utara
44
Kuera F, Janá J. 1998. Homogeneous and heterogeneous sulfonation of
polymers:
A review. Polym. Eng. Sci.
38(5):783–792.doi:10.1002/pen.10244.
Leofanti G, Tozzola G, Padovan M, Petrini G, Bordiga S, Zecchina A.
1997. Catalyst
characterization: Characterization techniques. Catal. Today.
34(3–4):307–
327.doi:10.1016/S0920-5861(96)00056-9.
Li P, Song Y, Guo Q, Shi J, Liu L. 2011. Tuning the pore size and
structure of
mesoporous carbons synthesized using an evaporation-induced
self-assembly
method. Mater. Lett.
65(14):2130–2132.doi:10.1016/j.matlet.2011.04.081.
Liao X, Zhu Y, Wang S, Li Y. 2009. Producing triacetylglycerol with
glycerol by two
steps: Esteri fi cation and acetylation. Fuel Process. Technol.
90(7–8):988–
993.doi:10.1016/j.fuproc.2009.03.015.
Liu X, Ma H, Wu Y, Wang C, Yang M, Yan P, Welz-Biermann U. 2011.
Esterification
of glycerol with acetic acid using double SO 3H-functionalized
ionic liquids as
recoverable catalysts. Green Chem.
13(3):697–701.doi:10.1039/c0gc00732c.
M. N. Milla I, A. Syahri M, T. Wahyuni E, Roto R, Siswanta D. 2018.
Modification
of Styrofoam Waste as a Low-Cost Adsorbent for Removal of Cadmium
Ion in
Aqueous Solution. Orient. J. Phys. Sci. 3(2):127–
142.doi:10.13005/ojps03.02.08.
Martins CR, Ruggeri G, De Paoli MA. 2003. Synthesis in Pilot Plant
Scale and
Physical Properties of Sulfonated Polystyrene. J. Braz. Chem. Soc.
14(5):797–
802.doi:10.1590/S0103-50532003000500015.
Murzin DY, Salmi T. 2016. Catalytic Kinetics: Chemistry and
Engineering 2nd
Edition. Ed ke-2. Elsevier Science.
Nandiwale KY, Niphadkar PS, Bokade V V. 2018. Synthesis of
Oxygenated Fuel
Additives via Acetylation of Bio-Glycerol over H2SO4 Modified
Montmorillonite K10 Catalyst. Prog. Petrochemical Sci.
1(1):1–
5.doi:10.31031/pps.2018.01.000501.
Ngadiwiyana, Ismiyarto, Gunawan, Purbowatiningrum RS, Prasetya NBA,
Kusworo
TD, Susanto H. 2018. Sulfonated polystyrene and its
characterization as a
material of electrolyte polymer. J. Phys. Conf. Ser.
1025(1).doi:10.1088/1742-
6596/1025/1/012133.
catalysts †. :3993–4000.doi:10.1039/C4CY00548A.
Rane SA, Pudi SM, Biswas P. 2016. Esterification of Glycerol with
Acetic Acid over
Highly Active and Stable Alumina-based Catalysts: A Reaction
Kinetics Study.
30(1):33–45.doi:10.15255/CABEQ.2014.2093.
Richardson JT. 1989. Principles of Catalyst Development. Ed ke-2.
New York:
Plenum Press.
Roschat W, Siritanon T, Yoosuk B, Promarak V. 2016. Rice
husk-derived sodium
Universitas Sumatera Utara
45
silicate as a highly efficient and low-cost basic heterogeneous
catalyst for
biodiesel production. Energy Convers. Manag. 119:453–
462.doi:10.1016/j.enconman.2016.04.071.
Safronova EY, Golubenko D V., Shevlyakova N V., D’yakova MG,
Tverskoi VA,
Dammak L, Grande D, Yaroslavtsev AB. 2016. New
cation-exchange
membranes based on cross-linked sulfonated polystyrene and
polyethylene for
power generation systems. J. Memb. Sci. 515:196–
203.doi:10.1016/j.memsci.2016.05.006.
Siril PF, Cross HE, Brown DR. 2008. New polystyrene sulfonic acid
resin catalysts
with enhanced acidic and catalytic properties. 279:63–
68.doi:10.1016/j.molcata.2007.10.001.
Son CRIM, Nandiwale KY, Niphadkar PS, Bokade V V. 2018. Synthesis
of
Oxygenated Fuel Additives via Acetylation of Bio-Glycerol over H 2
SO 4
Modified Montmorillonite K10 Catalyst. :1–
5.doi:10.31031/PPS.2018.01.000501.
Storck S, Bretinger H, Maier WF. 1998. Characterization of micro-
and mesoporous
solids by physisorption methods and pore-size analysis. Appl.
Catal. A Gen.
174(1–2):137–146.doi:10.1016/S0926-860X(98)00164-1.
Sulkowski WW, Nowak K, Sulkowska A, Woliska A, Bajdur WM, Pentak D,
Mikula
B. 2009. Study of the sulfonation of expanded polystyrene waste and
of
properties of the products obtained. Pure Appl. Chem.
81(12):2417–
2424.doi:10.1351/PAC-CON-08-11-20.
Sun Y, Hu J, An S, Zhang Q, Guo Y, Song D, Shang Q. 2017. Selective
esterification
of glycerol with acetic acid or lauric acid over rod-like
carbon-based sulfonic
acid functionalized ionic liquids. Fuel. 207:136–
145.doi:10.1016/j.fuel.2017.06.073.
Veluturla S, Narula A, D SR, Shetty SP. 2017. Kinetic study of
synthesis of bio-fuel
additives from glycerol using a hetropolyacid. Resour.
Technol..doi:10.1016/j.reffit.2017.02.005.
Wang Q, Lu Y, Li N. 2016. Preparation, characterization and
performance of
sulfonated poly(styrene-ethylene/butylene-styrene) block
copolymer
46.doi:10.1016/j.desal.2016.04.005.