Upload
others
View
19
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBUKTIAN KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) OLEH
DEBITUR DALAM SENGKETA WANPRESTASI
(Skripsi)
Oleh
MUTIA KARTIKA PUTRI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
i
ABSTRAK
PEMBUKTIAN KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) OLEH
DEBITUR DALAM SENGKETA WANPRESTASI
Oleh:
Mutia Kartika Putri
Pada umumnya perjanjian memuat mengenai klausul force majeure. Pasal 1244
dan 1245 KUHPerdata ditempatkan sebagai suatu alasan hukum yang dapat
membebaskan debitur dari pemenuhan prestasi akibat force majeure tetapi
penggunaan dan pembuktiannya masih memiliki tanggungjawab dan beban
pembuktian yang berat oleh debitur. Dari beberapa tahun belakang terdapat
beberapa putusan oleh PN hingga MA yang menolak alasan force majeure yang
didalilkan debitur (tergugat). Terbukti dari beberapa putusan yakni putusan
nomor: 871K/Pdt/2017, putusan nomor: 544K/Pdt/2014, putusan nomor:
273K/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim, putusan nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel dan
putusan nomor: 23/Pdt.G/2014/PN.Pbl. Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana kualifikasi force majeure menurut hukum perjanjian,
bagaimana beban pembuktian debitur dalam membuktikan keadaan memaksa dan
bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan peristiwa force majeure pada
putusan pengadilan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah dalam penelitian
ini adalah yuridis normatif. Data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini
terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
yang kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dalam pembuktiannya
alasan force majeure tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan
memaksa. Pada putusan, majelis hakim menilai alasan keadaan memaksa oleh
debitur tidak dapat diterima sebagai alasan yang membebaskan dari pemenuhan
prestasi. Berdasarkan putusan tersebut menunjukkan bahwa pembuktian keadaan
memaksa masih memiliki beban dan tanggungjawab yang berat oleh debitur,
adanya suatu pembatasan atas berlakunya keadaan memaksa. Perlu ditinjau
berdasarkan unsur-unsur force majeure serta perlu adanya kepatutan atau itikad
baik debitur meskipun adanya suatu peristiwa yang menghalangi pemenuhan
prestasi.
Kata Kunci: Perjanjian, Keadaan Memaksa, Wanprestasi.
ii
PEMBUKTIAN KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) OLEH
DEBITUR DALAM SENGKETA WANPRESTASI
Oleh
MUTIA KARTIKA PUTRI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
iii
Judul Skripsi : PEMBUKTIAN KEADAAN MEMAKSA
(FORCE MAJEURE) OLEH DEBITUR
DALAM SENGKETA WANPRESTASI
Nama Mahasiswa : Mutia Kartika Putri
Nomor Pokok Mahasiswa : 1612011204
Bagian : Hukum Keperdataan
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Aprilianti, S.H., M.H. Depri Liber Sonata, S.H., M.H.
NIP. 19650401 199003 2 002 NIP. 19801016 200801 1 001
2. Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum.
NIP.19601228 198903 1 001
iv
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Aprilianti, S.H., M.H.
Sekretaris/Anggota : Depri Liber Sonata, S.H., M.H.
Penguji
Bukan Pembimbing : Nilla Nargis, S.H., M.Hum.
2. Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum.
NIP.19600310 198703 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 21 Februari 2020
v
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Mutia Kartika Putri
NPM : 1612011204
Bagian : Hukum Keperdataan
Fakultas : Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Pembuktian
Keadaan Memaksa (Force Majeure) Oleh Debitur Dalam Sengketa
Wanprestasi” benar-benar hasil karya bukan plagiat sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 27 Peraturan Akademik Universitas Lampung dengan Keputusan
Rektor Nomor 3187/H26/2010.
Bandar Lampung, 21 Februari 2020
Mutia Kartika Putri
NPM. 1612011204
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Mutia Kartika Putri, dilahirkan pada tanggal
30 Mei 1998 di Bandar Lampung. Penulis merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Beddi, S.H., M.H.
dan Ibu Dra. Agustinawaty.
Penulis telah menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 1 Natar Lampung Selatan
pada tahun 2010, SMP Negeri 22 Bandar Lampung pada tahun 2013, SMA Negeri
2 Bandar Lampung pada tahun 2016. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SBMPTN pada tahun 2016
dan telah mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode I tahun 2019
selama 40 hari di Desa Simpang Abung, Kecamatan Abung Barat, Kabupaten
Lampung Utara.
Selama menempuh pendidikan sebagai mahasiswa, penulis aktif berorganisasi
sebagai Pengurus Bidang Kajian di UKM-F Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH)
FH Unila pada periode 2019-2020. Penulis juga turut serta dalam kepanitiaan
tingkat nasional pada National Moot Court Competition Anti Human Trafficking
(NMCC AHT) Piala Prof. Hilman Hadikusuma tahun 2019 dalam Devisi
Mooting. Penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
vii
MOTO
“Barang siapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah
untuk dirinya sendiri”
(Q.S. Al Ankabut: 6)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(Q.S. Al Mujadalah: 11)
“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan”
(Q.S. Al Insyirah: 6)
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat karunia, rahmat dan hidayah yang
diberikan
Shalawat teriring salam kepada Nabi Muhammad SAW, suri tauladan Akhlaqul
Kharimah
dengan segala kerendahan hati saya persembahkan skripsi ini kepada:
Ayah tercinta Beddi dan Ibu tersayang Agustinawaty
Kedua orang tua yang selama ini telah mendidik dengan penuh kasih sayang,
melindungiku dan merawatku dengan setulus hati serta memberiku doa dan
motivasi untuk menjadi anak yang dapat mewujudkan impian dan membanggakan
orang tua di jalan yang benar menuju keberhasilan saya saat ini.
ix
SANWACANA
Dengan mengucap Alhamdulillahhirobbil’alamin, segala puji bagi Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, Rabb semesta alam, yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Baginda
Rasulullah Muhammad sallallahu’alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan seluruh
pengikutnya yang senantiasa mengikuti jalan petunjuk-Nya. Aamiin. Hanya
dengan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “PEMBUKTIAN KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)
OLEH DEBITUR DALAM SENGKETA WANPRESTASI” ini diajukan
untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Apabila masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, saran, kritik dan
masukan membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk pengembangan
dan kesempurnaan skripsi ini. Dalam Penyelesaian skripsi ini, penulis
mendapatkan banyak bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga
kepada:
1. Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
x
2. Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
3. Rohaini, S.H., M.H., P.h.D., Sekretaris Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
4. Aprilianti, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I, terima kasih atas waktu yang
telah diluangkan, bimbingan, saran, masukan, dan bantuan yang sangat berarti
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Depri Liber Sonata, S.H., M.H., Dosen Pembimbing II, terima kasih atas
waktu yang telah diluangkan, bimbingan, saran, masukan, dan bantuan yang
sangat berarti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
6. Nilla Nargis S.H., M.Hum., Dosen Pembahas I terimakasih atas waktu, kritik,
dan saran dalam seminar I dan II guna kesempurnaan skripsi ini;
7. Dewi Septiana, S.H., M.H., Dosen Pembahas II terimakasih atas waktu,
kritik, dan saran dalam seminar I dan II guna kesempurnaan skripsi ini;
8. Seluruh dosen dan karyawan yang bertugas di Fakultas Hukum Universitas
Lampung, khususnya Dosen Bagian Hukum Keperdataan yang selama ini
telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat bagi saya;
9. Keluarga Besar UKM-F Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH) yang telah
memberikan saya pengalaman organisasi dan ilmu pengetahuan yang kelak
akan berguna untuk masa depan saya;
10. Kedua saudara kandungku, kakak ku Muhammad Khalid Yudha P dan adik
ku Muhammad Rizky Hidayatullah, yang selalu mendoakan dan mendukung
disetiap langkah yang saya lalui;
xi
11. Kakak-kakak saya, Hanifah Nuraini, Sofiatun Tasliyah dan Lenny Oktavia
yang telah membantu, membimbing dan memotivasi saya dalam menyusun
skripsi;
12. Sahabat-sahabatku dimasa SMA, Desmalinda Kurniati Daraz, Feby
Setianingrum dan Siti Luthfia Nabilla Caya terima kasih selalu memberi
dukungan dan motivasinya selama ini;
13. Sahabat-sahabatku dimasa perkuliahan, Aliffira Sekarningrum, Alma
Rahmatika, Tassya Nurandea, Febia Salwa, Abi Hasan dan Tri
Rahayuningtyas, yang selalu memberi dukungan selama perjalanan menyusun
skripsi;
14. Teman-teman seperjuangan skripsi, Galuh Putri Larasati, Krisnawati, Rifni
Irma, Devi Hermanto, Rahmad, Kalos, Nana, Adam, Chindoliza, Sheila, Ayu
Meliana, Moenaqistin, Nadya Safira, Liya, Qori, Maulani dan Malinda,
terimakasih telah saling memotivasi dan memberikan semangat selama
mengerjakan skripsi ini;
15. Teman-teman KKN Desa Simpang Abung, Anggun, Maria, Thomas, Ahya,
Anggi, Ikhsan terimakasih untuk waktu dan dukungannya hingga saat ini;
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas semua doa, motivasi,
bantuan dan dukungannya.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala jasa dan budi baik yang telah
diberikan kepada saya. Pada akhirnya, saya menyadari walaupun skripsi ini
telah disusun dengan sebaik mungkin, tidak akan menutup kemungkinan adanya
kesalahan yang mengakibatkan skripsi ini belum sempurna, namun saya sangat
xii
berharap skripsi ini akan membawa manfaat bagi siapapun yang membacanya dan
bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, 21 Februari 2020
Penulis
Mutia Kartika Putri
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................v
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. vi
MOTO .................................................................................................................. vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................... viii
SANWACANA ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi
I. PENDAHULUAN ...........................................................................................1 A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup.............................................................5
1. Permasalahan .........................................................................................5
2. Ruang Lingkup ......................................................................................5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...............................................................6
1. Tujuan Penelitian...................................................................................6
2. Kegunaan Penelitian ..............................................................................6
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................8 A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perjanjian .............................................8
1. Pengertian Hukum Perjanjian................................................................8
2. Syarat Sahnya Perjanjian .....................................................................11
3. Asas Hukum Perjanjian .......................................................................15
B. Wanprestasi ..............................................................................................17
1. Pengertian Wanprestasi .......................................................................17
2. Bentuk-Bentuk Wanprestasi ................................................................18
3. Akibat Wanprestasi .............................................................................19
4. Dasar Pembelaan Debitur yang Dituduh Wanprestasi. .......................20
C. Keadaan Memaksa (Force Majeure) .......................................................21
1. Pengertian Keadaan Memaksa (Force Majeure) ................................21
2. Klasifikasi Teori Keadaan Memaksa (Force Majeure).......................24
3. Akibat Keadaan Memaksa (Force Majeure) .......................................28
xiv
D. Konsep dan Beban Pembuktian dalam Perkara Perdata ..........................29
E. Kerangka Pikir .........................................................................................31
III. METODE PENELITIAN .............................................................................33 A. Jenis Penelitian dan Tipe Penelitian ........................................................33
1. Jenis Penelitian ....................................................................................33
2. Tipe Penelitian.....................................................................................34
B. Pendekatan Masalah.................................................................................35
C. Data dan Sumber Data .............................................................................35
D. Metode Pengumpulan Data ......................................................................36
E. Metode Pengolahan Data ........................................................................37
F. Analisis Data ............................................................................................38
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................................39 A. Kualifikasi Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Hukum
Perjanjian .................................................................................................39
B. Beban Pembuktian Debitur dalam Membuktikan Keadaan Memaksa
(Force Majeure) .......................................................................................49
C. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Peristiwa Force Majeure
Pada Putusan Pengadilan .........................................................................54
1. Perkara PT. Brightsours Pecatu Indonesia, Ananda Mikola vs Sari
Lestari Darmawan Huaturuk (Putusan Nomor:
652/Pdt.G/2015/PN.Dps jo. Putusan Nomor: 94/Pdt/2016/PT.Dps jo.
Putusan Nomor: 871 K/Pdt/2017) .......................................................55
2. Perkara Titus Tilukay vs Yohanes V. Leleury (Putusan Nomor:
40/Pdt.G/2012/PN.AB jo. Putusan Nomor: 25/Pdt.G/2013/PT.MAL
jo. Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014) ...................................................60
3. Perkara Ir. E. Rosita K. Dewiyani vs PT. Caraka Jaya Sentosa dan
Sunarto (Putusan Nomor: 273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim) .....................64
4. Perkara DR. Abdoel Djalal AR. MPH. vs Wilyarman Bustami
(Putusan No: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel) ..........................................68
5. Perkara Rudi Susanto vs Daniel Angka Wijaya dan Aditya
Angkawijaya (Putusan No: 23/Pdt.G/2014/PN.PBL) .........................72
V. PENUTUP ......................................................................................................79 A. Kesimpulan ..............................................................................................79
B. Saran ........................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1. Pertimbangan Hakim dalam Membuktikan Peristiwa Force Majeure Pada
Putusan Pengadilan .........................................................................................76
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Kerangka Pikir ................................................................................................31
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya kepentingan antar individu membuat mereka saling mengikatkan diri
dengan yang lain, untuk memenuhinya maka individu tersebut membuat suatu
perjanjian satu sama lain. Pengaturan mengenai perjanjian diatur dalam Buku III
Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan yang mana satu orang yang lain mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”.
Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka atau open system, artinya bahwa
para pihak bebas membuat perjanjian dengan siapapun, baik menentukan isi
perjanjian, bentuk perjanjian dan bagaimana pelaksanaannya asalkan tidak
bertentangan dengan kepatutan, ketertiban umum dan kesusilaan. Atas dasar
kebebasan tersebut maka para pihak dapat menentukan sendiri isi atau klausul-
klausul dari perjanjian, salah satunya mengenai hak dan kewajiban para pihak
demi memberikan tanggung jawab dan kepastian hukum dari perjanjian tersebut.
Perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut berlaku sebagai undang-
undang bagi para pihak yang membuatnya sesuai dengan asas Pacta Sunt
Servanda. Hal tersebut bersesuaian dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yang
berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
2
undang bagi mereka yang membuatnya.” Mengikat secara sah artinya perjanjian
itu menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang diakui oleh hukum
Maka perjanjian tersebut mengikat para pihak dan para pihak wajib melaksanakan
perjanjian tersebut sesuai kesepakatan.
Pada tahap pelaksanaan perjanjian para pihak harus melaksanakan apa yang
menjadi kewajibannya. Kewajiban debitur memenuhi apa yang diperjanjikan
itulah yang disebut sebagai prestasi. Ada kalanya pelaksanaan perjanjian tidak
berjalan sesuai kehendak para pihak atau sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan sebelumnya. Timbulnya kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan
suatu perjanjian dapat disebabkan oleh salah satu pihak ataupun kedua belah
pihak atau bahkan dapat disebabkan oleh suatu keadaan diluar kuasa para pihak.
Apabila para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian,
maka disebut sebagai wanprestasi. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur
dapat disebabkan karena dua alasan, yaitu1:
a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun kelalaian, dan
b. Karena keadaan memaksa (force majeure), diluar kemampuan debitur.
Pihak yang melakukan wanprestasi dalam perjanjian dapat digugat oleh pihak
yang dirugikan atas kerugian yang timbul. Pihak kreditur yang dirugikan sebagai
akibat kegagalan pelaksanaan perjanjian oleh pihak debitur mempunyai hak gugat
dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya. Disisi lain pihak yang digugat
melakukan wanprestasi atau debitur dapat melakukan suatu pembelaan tertentu
agar terhindar dari tuntutan tersebut.
1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2000), hlm. 241.
3
Pembelaan pihak yang dituduh wanprestasi yang pada umumnya adalah debitur,
dapat mengajukan tangkisan atau pembelaan untuk membebaskan diri dari akibat
buruk wanprestasi. Tangkisan atau pembelaan tersebut dapat berupa tidak
terpenuhinya prestasi disebabkan oleh keadaan memaksa (force majeure).
Keadaan memaksa (force majeure) merupakan suatu keadaan yang tidak terduga,
tidak disengaja terjadi diluar kesalahan dari debitur tanpa adanya itikad buruk.
Keadaan memaksa atau force majeure dapat dilihat dalam Pasal 1244 dan Pasal
1245 KUHPerdata. Pasal tersebut memberikan suatu pengecualian atas
ketidakmampuan atau halangan debitur dalam pemenuhan prestasi disebabkan
oleh suatu keadaan memaksa (force majeure) yang terjadi diluar kuasanya artinya
adanya unsur impossibility. Bilamana karena force majeure atau keadaan yang
tidak terduga berhalangan untuk memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu,
debitur harus berusaha menunjukan dan membuktikan bahwa tidak terpenuhinya
perjanjian disebabkan adanya suatu kedaan memaksa atau force majeure. Force
majeure berfungsi untuk melindungi para pihak akibat ketidakmampuan
pemenuhan prestasi karena keadaan diluar kesalahan debitur.
Debitur dapat menghindarkan diri dari tuntutan ganti rugi, maka ia harus
membuktikan bahwa peristiwa yang merugikan timbul diluar kesalahannya atau
dengan perkataan lain ia menghadapi keadaan memaksa.2 Jadi, beban pembuktian
ada pada debitur, untuk membuktikan bahwa hal itu disebabkan karena adanya
halangan yang tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak ada unsur kesalahan pada
saat munculnya halangan itu, serta halangan itu tidak dapat diduga sebelumnya,
kecuali debitur memiliki itikad buruk.
2 J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: PT. Alumni, 1999), hlm. 159
4
Kasus terkait keadaan memaksa atau force majeure terdapat dalam gugatan
wanprestasi Perkara PT. Brightsours Pecatu Indonesia dan Ananda Mikola vs Sari
Lestari Darmawan Huaturuk (Putusan Nomor: 871 K/Pdt/2017), Perkara Titus
Tilukay vs Yohanes V. Leleury (Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014), Perkara Ir. E.
Rosita K. Dewiyani vs PT. Caraka Jaya Sentosa dan Sunarto (Putusan Nomor:
273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim), Perkara DR. Abdoel Djalal AR. MPH. vs
Wilyarman Bustami (Putusan Nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel) dan Perkara
Rudi Susanto vs Daniel Angka Wijaya dan Aditya Angkawijaya (Putusan Nomor:
23/Pdt.G/2014/PN.Pbl). Kelima putusan tersebut berisikan pertimbangan majelis
hakim yang menyatakan bahwa pembelaan debitur berupa terjadinya force
majeure yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi tidak dapat secara serta-
merta dikategorikan sebagai suatu keadaan memaksa, penerapan Pasal 1244 dan
1245 KUHPerdata tidak dapat dilakukan dengan mudah karena untuk
membuktikan suatu peristiwa itu tergolong dalam suatu keadaan memaksa yang
sah menurut hukum masih memiliki tanggung jawab dan beban pembuktian yang
berat oleh debitur. Perlu dibuktikan apakah peristiwa tersebut memenuhi unsur-
unsur force majeure serta perlu adanya suatu upaya yang dilakukan debitur
bilamana terjadi suatu peristiwa tak terduga.
Permasalahan hukum yang terkait dengan masalah pembuktian keadaan memaksa
(force majeure) dirasa perlu dikaji karena keadaan memaksa sendiri merupakan
salah satu alat untuk membela diri tetapi penggunaannya masih memiliki
tanggungjawab yang berat oleh debitur.
5
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, fenomena tersebut menarik
untuk dikaji bagi penulis dan untuk meneliti serta memaparkan masalah ini untuk
dituangkan dalam penulisan skripsi yang berjudul “Pembuktian Keadaan
Memaksa (Force Majeure) Oleh Debitur Dalam Sengketa Wanprestasi.”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian
ini meliputi :
a. Bagaimana kualifikasi force majeure menurut hukum perjanjian?
b. Bagaimanakah beban pembuktian debitur dalam membuktikan keadaan
memaksa (force majeure)?
c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan peristiwa force majeure
pada putusan pengadilan?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini mencakup ruang lingkup keilmuan dan ruang
lingkup objek kajian, yaitu:
a. Ruang Lingkup Keilmuan
Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal
yang berkaitan dengan ilmu hukum keperdataan, khususnya dalam bidang
hukum perjanjian.
6
b. Ruang lingkup objek kajian
Ruang lingkup kajian penelitian ini adalah pembuktian keadaan memaksa
(force majeure) oleh debitur karena dianggap wanprestasi pada suatu
perjanjian.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Memahami dan menganalisis kualifikasi force majeure menurut hukum
perjanjian
b. Memahami dan menganalisis beban pembuktian debitur dalam membuktikan
keadaan memaksa (force majeure).
c. Memahami dan menganalisis pertimbangan hakim dalam memutuskan
peristiwa force majeure pada putusan pengadilan.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis manfaat penelitian ini adalah dalam rangka pengembangan
keilmuan khususnya dalam bidang hukum perjanjian. Hasil dari penelitian ini
diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang pembuktian keadaan
memaksa (force majeure) oleh debitur dalam sengketa wanprestasi yang
penggunaannya masih memiliki beban pembuktian yang berat serta
sejauhmana suatu keadaan termasuk dalam peristiwa force majeure.
7
b. Kegunaan Praktis
Selain kegunaan teoritis, penelitian ini pun memberikan kegunaan praktis
yaitu :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas tentang force
majeure dalam sengketa wanprestasi pada Putusan Nomor: 871
K/Pdt/2017, Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014, Putusan Nomor:
273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim, Putusan Nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel,
dan Putusan Nomor: 23/Pdt.G/2014/PN.Pbl.
2. Sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
menulis bagi penulis.
3. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perjanjian
1. Pengertian Hukum Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dalam
bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau dituliskan.3 Berdasarkan
ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian
didefinisikan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata dianggap tidak
lengkap dan terlalu luas, karena yang dirumuskan hanya mengenai perjanjian
sepihak saja dan rumusan tersebut dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup
hal janji kawin yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang
menimbulkan perjanjian juga. Abdulkadir Muhammad dalam bukunya yang
berjudul “Hukum Perikatan” menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1313
KUHPerdata memiliki beberapa kelamahan, diantaranya4 :
3 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 1.
4 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992),
hlm. 77.
9
a. Hanya menyangkut sepihak saja.
Kata “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari
kedua belah pihak. Seharusnya perumusan pasal tersebut adalah saling
mengikatkan diri, jadi adanya konsensus antara para pihak tersebut.
b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus.
Pengertian perbuatan ini mencakup pula tindakan-tindakan yang yang tidak
mengandung konsensus seperti tindakan melawan hukum. Seharusnya
digunakan adalah kata “persetujuan” dalam perumusan pasal tersebut.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Dikatakan luas karena pengertian perjanjian disini mencakup pula perjanjian
lain yang diatur dalam Hukum Keluarga seperti janji kawin. Padahal
perjanjian yang dimaksud disini adalah hubungan antara debitur dengan
kreditur dalam lapangan hukum harta kekayaan saja. Perjanjian yang
dikehendaki oleh Buku III sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat
kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan.
Tidak disebutkannya tujuan mengadakan perjanjian dalam pasal tersebut,
mengakibatkan ketidakjelasan para pihak mengikatkan diri itu untuk apa.
Sehingga perumusannya harus diperjelas dengan menambahkan tujuan dari
para pihak dalam mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.
Berdasarkan pada alasan-alasan yang diuraikan di atas, konsep perjanjian dapat
dirumuskan dalam arti sempit sebagai berikut: “Perjanjian adalah persetujuan
dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
10
suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan.” 5
Untuk memahami
istilah mengenai perjanjian terdapat beberapa pendapat para ahli. Adapun
pendapat para ahli adalah:
a. Subekti
Memberikan pengertian perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua
orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.6
b. R. Setiawan
Menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.7
c. Abdulkadir Muhammad
Menyatakan bahwa perjanjian adalah hubungan yang terjadi antara debitur
dengan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan dimana
keseluruhan aturan hukum yang mengatur hubungan hukum dalam bidang
harta kekayaan ini disebut hukum harta kekayaan.8
d. Syahmin AK
Menyatakan bahwa dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji – janji atau kesanggupan yang diucapkan
5 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., 2000, hlm. 290.
6 Subekti, loc.cit.
7 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 2004), hlm. 49.
8 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., 2000, hlm 9.
11
atau ditulis.9
e. Wierjono Rodjodikoro
Mengartikan perjanjian, yaitu suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji
untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan
pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.10
Adanya perbedaan pandangan mengenai definisi perjanjian timbul adanya sudut
pandang yang berbeda. Dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian merupakan
suatu persetujuan antara para pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu atau dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang lain
berkewajiban memenuhi sesuatu dinamakan debitur atau si berutang saling
mengikatkan diri dalam bidang harta kekayaan.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi unsur-unsur dan
syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dan
mengikat, diakui dan memiliki akibat hukum (legally concluded contract).
Perjanjian yang tidak memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat seperti yang
terdapat dalam ketentuan undang-undang, tidak akan diakui oleh hukum walaupun
diakui oleh para pihak yang membuatnya, tetapi tidak bersifat mengikat, artinya
tidak wajib dilaksanakan. Apabila dilaksanakan pun, sampai suatu ketika ada
pihak yang tidak mengakuinya dan menimbulkan sengketa, kemudian diajukan ke
9 Syahmin, Hukum Kontrak, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 140.
10 Wirjono Rodjodikoro, Asas – Asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mazdar
Madju, 2000), hlm. 4.
12
pengadilan, pengadilan akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.11
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus sah menurut hukum. Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan syarat sahnya suatu
perjanjian, seperti berikut ini:
a. Adanya kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak
Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek
yang mengakan perjanjinaan itu harus bersepakat atau setuju mengenai hal-hal
pokok dari perjanjian yang diadakan.12
Yang dimaksud dengan kesepakatan
adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan
pihak lainnya. Perlunya kata sepakat dalam mengadakan perjanjian, berarti
bahwa kedua belah pihak harus lah mempunyai kebebasan berkehendak, tidak
dalam tekanan pihak manapun yang menyebabkan “cacat” dalam perwujudan
kehendak tersebut.
Mengingat kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela), maka Pasal
1321 KUHPerdata menyebutkan ada 3 (tiga) sebab kesepakatan tidak
diberikan secara sukarela yaitu karena adanya paksaan, kekhilafan (dwaling)
dan penipuan (bedrog).13
b. Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang menimbulkan
akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-
11
Ibid, hlm. 299. 12
Subekti, Op.Cit., hlm. 17. 13
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 61.
13
orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.14
Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Setiap orang adalah cakap
untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tidak cakap”. Dikatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian
diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, diantaranya :
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan
pada umumnya semua orang kepada siapa siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Ukuran kedewasaan menurut Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang
telah genap berusia 21 tahun atau telah menikah, sedangkan yang dikatakan
dibawah pengampuan menurut hukum adalah mereka yang tidak dapat berbuat
bebas dengan harta kekayaannya artinya mereka berada dibawah pengawasan
atau diwakili oleh pengampunya. Menurut Pasal 108 KUHPerdata seorang
perempuan yang bersuami untuk mengadakan perjanjian memerlukan bantuan
atau izin suaminya, namun dalam hal ini tidak berlaku lagi sesuai dengan
dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus
yang menggangap pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi.
14
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2016),
hlm. 165.
14
Maka yang cakap atau yang diperbolehkan oleh hukum untuk membuat suatu
perjanjian adalah orang yang sudah dewasa dan orang yang tidak sedang di
bawah pengampuan.
c. Adanya suatu hal tertentu atau adanya objek perjanjian (onderwerp der
overeenskomst)
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu
hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua
belah pihak jika timbul perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.15
Hal tertentu dapat
dikatakan sebagai objek perjanjian atau prestasi (pokok perjanjian). Prestasi
adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan ada yang menjadi hak
kreditur. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak
berbuat sesuatu.
d. Adanya sebab yang halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam Pasal 1230 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan
perngertian orzaak (kausa yang halal). Didalam Pasal 1337 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang.16
Adakalanya
suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang. Sebab terlarang disini maksudnya adalah sebab yang dilarang
menurut undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.17
15
Subekti, Op.Cit., hlm. 19. 16
Salim HS, Op.Cit., hlm. 162. 17
I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit., hlm. 69.
15
Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang
digolongkan kedalam:
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan
perjanjian (unsur subyektif), dan
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian
(unsur objektif). 18
Apabila tidak terpenuhinya salah satu dari syarat sah perjanjian tersebut maka
dapat dikatakan sebagai cacat dalam perjanjian. Jika tidak terpenuhinya unsur
subyektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, namun apabila tidak
terpenuhinya unsur obyektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum dan
perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan dalam pelaksanaannya.
3. Asas Hukum Perjanjian
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki
oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat
bagi para pihak, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan berbagai
asas umum yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau
rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada
akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak dan dapat dipaksakan
pelaksanaan atau pemenuhannya.19
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting dalam perjanjian, asas-asas
tersebut sebagai berikut:
18
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada), hlm. 93. 19
Ibid, hlm. 14.
16
a. Asas kebebasan berkontrak.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang paling penting didalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan suatu perwujudan dari kehendak
bebas, pancaran hak asasi manusia.20
Adanya asas kebebasan berkontrak bagi
para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk
menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian dengan siapapun, baik
menentukan syaratnya, pelaksanaannya, bentuknya, serta isi dari perjanjian
tersebut seperti mengenai hak dan kewajiban para pihak demi memberikan
tanggung jawab dan kepastian hukum dari perjanjian tersebut.
b. Asas konsensualisme.
Asas konsensualisme ini pada dasarnya memperlihatkan bahwa suatu
perjanjian yang dibuat para pihak telah mengikat dan melahirkan kewajiban
dalam perjanjian tersebut setelah para pihak telah mencapai kesepakatan atau
consensus. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku
sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas,
walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang
berkewajiban untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas
atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan tertentu.21
Asas ini memiliki kaitan
yang erat dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
c. Asas kepastian hukum.
Suatu perjanjian merupakan perwujudan hukum sehingga mengandung
20
Mariam Darus Badrul Zaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman
Djamil, Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Cita Aditya Bakti, 2001),
hlm. 27. 21
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 34.
17
kepastian hukum. Hal ini tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai
undang-undang bagi para pihak.22
Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt
servanda) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya, asas pacta
sunt servanda sendiri merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya
kekuatan mengikat perjanjian.
d. Asas Keseimbangan.
Asas ini menghendaki para pihak dalam memenuhi dan melaksanakan
perjanjian tersebut secara seimbang. Para pihak baik kreditur dan debitur
mempunyai hak dan kewajiban melaksanakan perjanjian tersebut dengan
itikad baik.
B. Wanprestasi
1. Pengertian Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang berarti “prestasi buruk”.
Selain itu perkataan wanprestasi sering juga dipadankan pada kata lalai atau alpa,
ingkar janji, atau melanggar perjanjian bila debitur melakukan atau berbuat
sesuatu yang tidak boleh dilakukan.23
Dalam KUHPerdata, wanprestasi diatur
didalam Pasal 1238 yang menyatakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
22
I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit., hlm. 48. 23
Ibid, hlm. 19.
18
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian antara pihak kreditur dan pihak
debitur. Wanprestasi mempunyai kaitan yang erat dengan somasi. Seseorang
debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi (teguran)
oleh kreditur atau juru sita.24
Somasi adalah teguran keras secara tertulis dari
kreditur atau juru sita kepada debitur, agar debitur berprestasi.
Apabila seorang debitur sudah diperingatkan dengan tegas dan ditagih janjinya,
maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau
alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-sanksi seperti ganti rugi,
pembatalan perjanjian dan peralihan resiko.25
Wanprestasi atau tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua
kemungkinan alasan, yaitu:
a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban
maupun karena kelalaian.
b. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi di luar
kemampuan debitur.26
2. Bentuk-Bentuk Wanprestasi
Wanprestasi yang dilakukan oleh seorang debitur dapat berupa tiga macam,
diantaranya:
a. Memenuhi prestasi tapi tidak tepat pada waktunya.
Dengan kata lain, keterlambatan melakukan prestasi artinya meskipun
prestasi dilaksanakan atau diberikan tetapi tidak sesuai dengan waktu
24
Salim H.S, Op.Cit., hlm. 180. 25
Subekti, Op.Cit., hlm. 47. 26
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 203.
19
penyerahan dalam perjanjian. Prestasi yang demikian disebut juga kelalaian.
b. Tidak memenuhi prestasi.
Artinya prestasi itu tidak hanya terlambat, tetapi tidak bisa lagi dijalankan.
Hal ini disebabkan karena pemenuhan prestasi yang tidak mungkin
dilaksanakan karena barangnya telah musnah.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sempurna.
Artinya prestasi diberikan tetapi tidak sebagaimana mestinya.27
3. Akibat Wanprestasi
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana mestinya dan tidak terpenuhinya kewajiban itu karena
ada unsur padanya maka adanya akibat hukum yang akan menimpa dirinya.28
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman
atau sanksi hukum berikut ini:
a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
(Pasal 1243 KUH Perdata).
b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau
pembatalan perikatan melalui hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).
c. Apabila perikatan itu untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitur
sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata).
d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata).
27
I Ketut Oka Setiawan, loc. cit. 28
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 144.
20
e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkenankan di muka
Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.29
4. Dasar Pembelaan Debitur yang Dituduh Wanprestasi.
Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan
hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa
macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman itu.30
Pembelaan pihak yang dituduh wanprestasi pada umumnya adalah debitur, dengan
mengajukan tangkisan atau pembelaan untuk membebaskan diri dari akibat buruk
wanprestasi tersebut. Pembelaan tersebut ada tiga macam, diantaranya :
a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force
majeure);
Dengan mengajukan pembelaan ini debitur berusaha menunjukkan bahwa
tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang
sama sekali tidak dapat diduga, dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa
terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi, dengan kata
lain tidak terlaksannya suatu perjanjian atau keterlambatan dalam pelaksanaan
itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah
atau alpa dan tidak dapat dijatuhkan sanksi atas kelalaian. Keadaan memaksa
ini diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.
b. Mengajukan bahwa si yang berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai
exceptio non adimpleti contractus);
29
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit.. 2000, hlm. 203-205. 30
Subekti, Op.Cit., hlm. 55.
21
Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar
ganti rugi itu mengajukan didepan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak
menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal-balik, dianggap ada suatu
asas kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya masing-masing.
c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti
rugi (pelepasan hak atau rechtsverwerking).
Alasan ketiga yang dapat membebaskan si debitur yang dituduh lalai dari
kewajiban mengganti kerugian dan memberikan alasan untuk menolak
pembatalan perjanjian adalah yang dinamakan pelepasan hak atau
rechtsverwerking pada pihak kreditur, dengan ini dimaksudkan suatu sikap
pihak kreditur dari mana pihak debitur boleh menyimpulkan bahwa kreditur
itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi, misalnya si pembeli meskipun
barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung cacat
tersembunyi tidak menegur si penjual atau mengembalikan barangnya, tetapi
barang itu dipakainya, atau dipesan kembali, dari sikap tersebut dapat
disimpulkan bahwa barang tersebut sudah memuaskan si pembeli. Jika
kemudian ia menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, maka tuntutan itu
sudah selayaknya tidak diterima oleh hakim.31
C. Keadaan Memaksa (Force Majeure)
1. Pengertian Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Seorang debitur yang dituduh lalai dalam melaksanakan suatu perjanjian dan
dimintakan untuk diberikan hukuman atas kelalaiannya dapat melakukan suatu
pembelaan bahwa dirinya dalam keadaan memaksa atau force majeure. Pengertian
31
Ibid, hlm. 58.
22
secara jelas mengenai keadaan memaksa (force majeure) tidak dituangkan secara
gamblang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata namun ketentuan
mengenai keadaan memaksa (force majeure) dapat kita lihat dalam Pasal 1244
dan Pasal 1245 KUHPerdata.
Pasal 1244 KUHPerdata menyatakan Debitur harus dihukum mengganti biaya,
kerugian dan bunga bila tidak dapat membuktikan bahwa untuk dilaksanakannya
perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu
disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.
Selanjutnya Pasal 1245 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Tidak ada penggantian
biaya, kerugian, dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang
terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang olehnya.”
Dari rumusan pasal-pasal tersebut, setidaknya terdapat tiga unsur yang harus
dipenuhi untuk force majeure ini, yaitu :
a. Tidak memenuhi prestasi;
b. Ada sebab yang terletak diluar kesalahan yang bersangkutan; dan
c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada yang bersangkutan.32
Dari perumusan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, dapat dikatakan bahwa kedua
pasal tersebut mengatur suatu hal yang sama, yaitu dibebaskannya debitur dari
32
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 206-207.
23
kewajiban mengganti kerugian, karena sutau kejadian yang dinamakan keadaan
memaksa. Hanya saja Pasal 1245 KUHPerdata menyebutkan kejadian yang
dimaksud tersebut dengan nama keadaan memaksa, namun bila ditilik dari
perumusannya (redaksinya), dapat dikatakan bahwa Pasal 1244 KUHPerdata lebih
baik, karena lebih tepat menunjukkan keadaan memaksa itu sebagai suatu
pembelaan bagi seorang debitur yang dituduh lalai, yang mengandung pula suatu
beban pembuktian kepada debitur, yaitu beban untuk membuktikan adanya
peristiwa yang dinamakan dengan keadaan memaksa itu. Debitur diwajibkan
untuk membuktikan tentang terjadinya hal yang tak dapat terduga dan tak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, yang menyebabkan perjanjian tidak dapat
dilaksanakan, dari pasal-pasal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan
memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa
tidak dapat menepati janjinya.33
Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukan bahwa tidak
terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali
tidak dapat diduga dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan
atau suatu peristiwa yang timbul diluar keadaan tadi.34
Ketentuan ini memberikan
keringanan bagi debitur untuk untuk tidak melakukan pengantian biaya, kerugian
dan bunga kepada kreditor, atas suatu keadaan yang terjadi diluar kesalahannya
secara kebetulan dan tidak dapat diduga sebelumnya.
33
Subekti, Op. Cit., hlm. 56. 34
Ibid, hlm. 55.
24
Sebagai sarana bagi debitur melepaskan diri dari gugatan kreditor, maka dalil
adanya keadaan memaksa atau force majeure harus memenuhi syarat bahwa :
a. Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah;
b. Terhalangnya pemenuhan prestasi tersebut diluar kesalahan debitur; dan
c. Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan merupakan
resiko debitur.35
Selain itu, dalam suatu force majeure harus dapat dibuktikan oleh pihak yang
bersangkutan, mengenai:
a. Bahwa ia tidak bersalah;
b. Bahwa ia tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan jalan lain sekalipun;
c. Ia tidak menanggung resiko.36
Maka dari ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa keadaan memaksa
(force majeure) merupakan suatu keadaan yang tidak terduga, tidak disengaja
terjadi diluar kesalahan dari debitur tanpa adanya itikad buruk dan dalam
membuktikan dirinya dalam keadaan memaksa merupakan kewajiban dari debitur
tersebut.
2. Klasifikasi Teori Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Klausa force majeure dalam suatu kontrak ditujukan untuk mencegah terjadinya
kerugian salah satu pihak dalam suatu perjanjian karena act of God, seperti
kebakaran, banjir gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya),
pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang
35
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 272. 36
Hasanuddin Rahman, Op.Cit., hlm. 207.
25
saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi,
blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok dan sanksi terhadap suatu
pemerintahan.37
Masalah mengenai peristiwa-peristiwa atau keadaan yang bagaimana yang dapat
menimbulkan keadaan memaksa, telah menimbulkan beberapa ajaran tentang
force majeure. Ajaran mengenai keadaan memaksa (force majeure) sudah dikenal
dalam Hukum Romawi yang berkembang dari janji pada perikatan untuk
memberikan suatu benda tersebut. Dalam hal benda tesebut musnah karena
adanya keadaan memaksa maka tidak hanya kewajibannya untuk menyerahkan
tetapi seluruh perikatannya menjadi hapus. Tetapi prestasinya harus benar-benar
tidak mungkin lagi. Dulu hanya dikenal pikiran tentang keadaan memaksa yang
objektif, namun berkembang yang dalam garis besarnya dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu :
a. Teori Force Majeure yang Objektif.
Menurut ajaran ini debitur baru bisa mengemukakan adanya keadaan
memaksa atau force majeure, kalau setiap orang dalam kedudukan debitur
tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya).38
Ajaran ini
menekankan pada ketidakmungkinan atau adanya unsur impossible dalam
pemenuhan prestasi oleh setiap orang.
Dalam ajaran ini pikiran para sarjana tertuju pada bencana alam atau
kecelakaan yang hebat, sehingga dalam keadaan demikian siapapun tidak
37
Thomas S. Bishoff and Jeffrey R. Miller, Force Majeure and Commercial
Impractiability: Issues to Consider Before the Next Hurricane or Matural Disaster Hits, The
Michigan Business Law Journal, Volume 1, Issue 1, Spring 2009, pg. 17. 38
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 254.
26
dapat memenuhi prestasi. Juga jika barang musnah atau hilang diluar
perdagangan dianggap sebagai keadaan memaksa. Dalam Pasal 1444
KUHPerdata, disebutkan jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan
musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama
sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah
perikataannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berutang
dan sebelum ia lalai menyerahkannya.39
b. Teori Force Majeure yang Subyektif
Berbeda dari keadaan terpaksa obyektif atau mutlak, keadaan terpaksa yang
yang bersifat subyektif atau relatif, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk
memenuhi prestasi dalam perjanjian tersebut tetapi karena suatu keadaan
menyebabkan penyerahan tersebut terhambat, misalnya barang yang
seharusnya diangkut melalui angkutan darat, tetapi jalan satu-satunya yang
dapat dilalui untuk mengantar barang tersebut tertutup longsor sehingga
prestasi itu sebenarnya masih bisa dipenuhi jika jalan tersebut sudah tidak
tertutup tanah longsor lagi.40
Menurut ajaran keadaan memaksa subyektif (relatif) keadaan memaksa itu
ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi praktis
dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar (ada unsur diffikultas),
sehingga dalam keadaan yang demikian itu kreditur tidak dapat menuntut
39
Mariam Darus Badrul Zaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman
Djamil, Taryana Soenandar, loc.cit. 40
Ahmad Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta : Rajawali Pres, 2011),
hlm. 77.
27
pelaksanaan prestasi.41
Selain itu, kedaan memaksa yang bersifat relatif dapat
juga terjadi jika pemenuhan prestasi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
kerugian yang cukup besar bagi debitur jika prestasi tersebut terpenuhi.42
Kriteria lain dalam hukum perjanjian, adanya suatu teori terhadap terjadinya force
majeure terhadap perjanjian, diantaranya:
1. Teori Ketidakmungkinan (impossibility).
Ketidakmungkinan pelaksanaan kontrak adalah suatu keadaan dimana
seseorang tidak mungkin lagi melaksanakan kontraknya karena kejadian
diluar tanggung jawabnya. Misalnya kontrak untuk menjual sebuah rumah,
tetapi rumah tersebut hangus terbakar api sebelum diserahkan kepada pihak
pembeli.
2. Teori Kesulitan (difficulty).
Maksudnya adalah terjadinya peristiwa juga tanpa kesalahan dari para pihak,
peristiwa tersebut sedemikian rupa, dimana dengan peristiwa tersebut para
pihak sebenarnya secara teoritis masih mungkin melakukan prestasinya, tetapi
secara praktis terjadi sedemikian rupa, sehingga kalaupun dilaksanakan
prestasi dalam kontrak tersebut, akan memerlukan pengorbanan yang besar
dari segi biaya, waktu atau pengorbanan lainnya. Dengan demikian, berbeda
dengan ketidakmungkinan melaksanakan kontrak, dimana kontrak sama
sekali tidak mungkin dilanjutkan, pada kesulitan pelaksanaan kontrak ini,
kontrak masih mungkin dilaksanakan, tetapi sudah menjadi tidak praktis jika
41
Mariam Darus Badrul Zaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman
Djamil, Taryana Soenandar, loc.cit. 42
Ahmad Miru, loc.cit.
28
terus dipaksakan.43
3. Akibat Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Terjadinya keadaan memaksa (force majeure) oleh debitur mengakibatkan tidak
dapat terlaksananya suatu prestasi yang telah diperjanjikan sebelumnya oleh para
pihak. Adanya akibat yang timbul dari keadaan memaksa bagi perjanjian dan para
pihak, diantaranya:
a. Debitur tidak perlu membayar ganti kerugian (Pasal 1244 KUHPerdata);
b. Beban resiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara atau
relatif;
c. Kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum
bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk
yang disebut dalam Pasal 1460 KUHPerdata. 44
Agus Yudha Hernoko dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” menyatakan bahwa adanya peristiwa
yang dikategorikan sebagai force majeure membawa konsekuensi atau akibat
hukum, sebagai berikut:
a. Kreditor tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi;
b. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai;
c. Debitur tidak wajib membayar ganti rugi;
d. Resiko tidak beralih kepada debitur;
e. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal-balik;
43
Daryl John Rasuh, Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal
1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Lex Privatum, Vol. IV/No.
2/Feb/2016. 44
Salim HS, Op.Cit., hlm. 184-185.
29
f. Perikatan dianggap gugur. 45
D. Konsep dan Beban Pembuktian dalam Perkara Perdata
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para
pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan
untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok
sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan
keputusan.46
Pengaturan mengenai sistem pembuktian hukum perdata di
Indonesia, masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur didalam
KUHPerdata dari Pasal 1865 - Pasal 1945. Pasal 1865 KUHPerdata menyebutkan
“Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah
pembagian beban pembuktian. Sebab dalam pembagian beban pembukitan ini
dapat diketahui siapakah yang dapat menanggung beban pembuktian. Pembagian
beban itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, berarti a priori
menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang
kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal
hukum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka
Pengadilan Kasasi yaitu Mahkamah Agung melakukan pembagian beban
pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau
45
Agus Yudha Hernoko, loc. cit. 46
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari, Surat Gugat dan Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Perdata (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 50.
30
undang-undang merupakan alasan Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan
hakim atau pengadian rendahan yang bersangkutan.47
Didalam pembagian beban pembuktian dikenal asas, yaitu siapa yang mendalilkan
sesuatu dia harus membuktikannya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1865
KUHPerdata. Hal ini secara sepintas mudah untuk diterapkan. Namun,
sesungguhnya dalam praktik merupakan hal yang sukar untuk menentukan secara
tepat siapa yang harus dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu.48
Lahirnya kewajiban dalam membuktikan suatu dalil tersebut, terletak pada siapa
yang mendalilkan seperti dalam gugatan, dalam hal ini adalah penggugat, tetapi
bilamana tergugat mengajukan dalil bantahannya, maka tergugat pun dibebani
untuk membuktikan dalil bantahannya, dalam hal ini kesempatan untuk
membuktikan dalilnya adalah penggugat yang kemudian diikuti oleh tergugat.
Meningat pembuktian dalam suatu perkara perdata dipersidangan merupakan
suatu hal yang sangat penting, karena bila pihak penggugat tidak dapat
membuktikan dalil atau peristiwa yang dikemukaannya, maka ia harus dikalahkan,
namun jika tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya, maka tergugatlah
yang harus dikalahkan.
47
Maisara Sunge, Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Jurnal Inovasi Volume 9,
No.2, Juni 2012, hlm. 5 48
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 55.
31
E. Kerangka Pikir
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
Perjanjian yang dibuat para pihak yakni kreditur dan debitur berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Atas suatu kebebasan berkontrak,
para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan isi atau klausul-klausul dalam
perjanjian. Pada umumnya para pihak mencantumkan klausul keadaan memaksa
atau penghapusan tanggungjawab salah satu pihak apabila terjadi suatu keadaan
Sengketa Wanprestasi
(Studi Putusan Nomor: 871 K/Pdt/2017,
Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014
Putusan Nomor: 273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim
Putusan Nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel
Putusan Nomor: 23/Pdt.G/2014/PN.Pbl)
Beban pembuktian
debitur dalam
membuktikan keadaan
memaksa (force
majeure)
Kualifikasi force
majeure menurut
hukum perjanjian
Pertimbangan hakim
dalam memutuskan
peristiwa force
majeure pada putusan
pengadilan
Pembuktian Force Majeure
Penggugat
(Kreditur)
Tergugat
(Debitur) Perjanjian
32
memaksa (force majeure) dalam perjanjian. Ada kalanya pelaksanaan perjanjian
tidak berjalan sesuai kesepakatan, pihak kreditur yang menganggap debitur telah
melakukan suatu wanprestasi dan mengajukan gugatan wanprestasi namun disisi
lain pihak debitur yang digugat dapat terbebas dari akibat dari gugatan berupa
ganti kerugian. Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata memberikan pengecualian atas
beban ganti kerugian apabila pihak debitur dapat membuktikan tidak
terlaksananya suatu prestasi tersebut disebabkan oleh suatu keadaan memaksa
(force majeure). Hal ini terbukti putusan pengadilan sengketa wanprestasi yaitu
Putusan Nomor: 871 K/Pdt/2017, Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014, Putusan
Nomor: 273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim, Putusan Nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel,
dan Putusan Nomor: 23/Pdt.G/2014/PN.Pbl.
Dalam putusan tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan sejumlah aspek yang
berkaitan dengan objek perkara. Meskipun telah diaturnya klausul tentang
keadaan memaksa dalam perjanjian para pihak tetapi pada kenyataannya
penerapan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata tidak dapat dilakukan dengan mudah
karena untuk membuktian suatu peristiwa itu tergolong dalam suatu keadaan
memaksa yang sah menurut hukum masih memiliki tanggung jawab dan beban
pembuktian yang berat oleh debitur.
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ialah cara atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang
menggunakan cara penalaran dan berfikir yang logis-analitis (logika), berdasarkan
dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu atau beberapa cabang ilmu
tertentu untuk menguji kebenaran suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala
atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.49
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga
diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam
gejala yang bersangkutan.50
Berikut ini adalah pemaparan penulis mengenai jenis
dan tipe penulisan yang akan digunakan penulis:
A. Jenis Penelitian dan Tipe Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian yang menitikberatkan pada norma atau kaidah hukum yang terdapat
49
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1994), hlm.
104. 50
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,
2010), hlm. 43.
34
dalam Putusan Nomor: 871 K/Pdt/2017, Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014, Putusan
Nomor: 273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim, Putusan Nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel,
dan Putusan Nomor: 23/Pdt.G/2014/PN.Pbl tentang wanprestasi.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik,
karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum. Penelitian hukum
normatif memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin
preskriptif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya
saja yang tentunya bersifat preskriptif.51
Dengan kata lain dikatakan penelitian
hukum normatif meneliti dan mengkaji pemberlakuan atau implementasi
ketentuan hukum normatif berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) terhadap pertimbangan hakim dalam memutus suatu sengketa
wanprestasi tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji Putusan
Nomor: 871 K/Pdt/2017, Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014, Putusan Nomor:
273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim, Putusan Nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel, dan
Putusan Nomor: 23/Pdt.G/2014/PN.Pbl, bahan-bahan pustaka, dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian dan argument para pihak
serta argumentasi hukum majelis hakim dalam memutus perkara wanprestasi
terhadap adanya peristiwa keadaan memaksa (force majeure).
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian hukum deskriptif
bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memproleh gambaran (deskriptif) lengkap
tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu
51
Depri Liber Sonata, 2014, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris:
Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum, Universitas Lampung, Lampung.
35
yang terjadi dalam masyarakat.52
Bertujuan menggambarkan secara jelas,
sistematis, dan rinci mengenai kualifikasi keadaan keadaan memaksa dalam
perjanjian, beban pembuktian dari tergugat atau debitur serta pertimbangan hakim
dalam memutus sengketa tersebut dan sah tidaknya alasan keadaan memaksa atau
force majeure.
B. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian.53
Pendekatan masalah yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat pendekatan
yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum
utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum,
penelitian ini dilakuakan dengan pendekatan studi kasus hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
C. Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis penelitian dan pendekatan masalah yang digunakan, maka data
yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan
pustaka dengan cara mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti. Data sekunder yang dimaksud terdiri
dari:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
secara umum atau bagi para pihak berkepentingan berupa Putusan Majelis
52
Abdulkadir Muhammad, 2004, hlm. 50. 53
Ibid, hlm. 112.
36
Hakim dan Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan
penelitian ini, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
2. Putusan Nomor: 871 K/Pdt/2017 tentang wanprestasi;
3. Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014 tentang wanprestasi;
4. Putusan Nomor: 273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim tentang wanprestasi;
5. Putusan Nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel tentang wanprestasi;
6. Putusan Nomor: 23/Pdt.G/2014/PN.Pbl tentang wanprestasi.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan berupa peraturan yang
menjelaskan lebih lanjut bahan hukum primer berupa literatur, buku-buku
yang berkaitan dengan pokok bahasan.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi Kamus
Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ensiklopedia dan artikel pada
majalah, surat kabar atau internet.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data berupa suatu pernyataan tentang sifat, keadaan,
kegiatan tertentu dan sejenisnya. Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan
suatu informasi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan penelitian. Dalam
metode pengumpulan data pada umumnya dikenal dua jenis alat atau cara yaitu
studi dokumen atau studi pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara.54
Metode pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi
54
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
hlm. 35.
37
pustaka, studi dokumen. Untuk mencapai tujuan penelitian, maka metode
pengumpulan data yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi pustaka
Studi pustaka yaitu dengan cara mempelajari buku-buku atau literatur yang
berkaitan pokok bahasan yang akan dibahas dengan cara membaca untuk
mencari dan memahami data yang diperlukan kemudian dilakukan pencatatan
atau pengutipan terhadap data tersebut.
b. Studi dokumen
Studi dokumen yaitu mengkaji informasi tertulis mengenai hukum yang tidak
dipublikasikan secara umum tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu. Studi
dokumen dilakukan dengan cara mengkaji dokumen berupa Putusan Nomor:
871 K/Pdt/2017, Putusan Nomor: 544K/Pdt/2014, Putusan Nomor:
273/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Tim, Putusan Nomor: 499/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel, dan
Putusan Nomor: 23/Pdt.G/2014/PN.Pbl tentang wanprestasi. Teknik yang
digunakan adalah membaca putusan tersebut kemudian dilakukan
penganalisaan terhadap isi putusan tersebut.
E. Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data merupakan suatu perubahan atau bentuk pengolahan data
ke bentuk yang lebih informatif atau berupa informasi hasil dari kegiatan
pengolahan suatu data dalam bentuk tertentu yang lebih berarti dari suatu kegiatan
atau suatu peristiwa. Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya
dilakukan pengolahan data, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang akan diteliti dalam melakukan pengolahan data
dilalui tahap-tahap sebagai berikut :
38
1. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi data yang terkumpul sesuai
dengan pokok bahasan secara lengkap dan relevan, apabila ada kekurangan
atau kekeliruan maka akan dilengkapi dengan diperbaiki.
2. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur,
beraturan, logis, sehingga mudah dipahami.
3. Sistematisasi data (systematizing), yaitu melakukan penyusunan dan
penempatan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan
masalah sehingga memudahkan pembahasan.
F. Analisis Data
Analisis data adalah cara untuk mengolah suatu data menjadi informasi sehingga
karakteristik data tersebut dapat dipahami dan bermanfaat untuk solusi
permasalahan, tertutama masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis
data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan menguraikan data secara bermutu
dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif,
sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini
adalah:
1. Kualifikasi force majeure dalam hukum perjanjian memang tidak diatur secara
jelas dalam KUHPerdata. Force majeure berangkat dari adanya suatu
peristiwa yang tidak dapat diprediksi oleh manusia, seiring berjalannya waktu
dapat atau tidaknya peristiwa yang tidak dapat diprediksi manusia itu
berkembang menjadi beberapa penafsiran dan tidak hanya berkaitan dengan
adanya peristiwa alam. Adanya suatu batasan tertentu atas keberlakukan force
majeure. Sebab, force majeure bukan hanya berbicara mengenai ada atau
tidaknya suatu evenement atau peristiwa yang terjadi diluar prediksi para
pihak, tetapi doktrin berkembang dalam praktiknya force majeure harus
didukung dengan itikad baik maupun kepatutan atau upaya yang dilakukan
oleh debitur dalam pemenuhan prestasi meskipun pemenuhan prestasi tersebut
terhalang.
2. Pembuktian mengenai keadaan memaksa merupakan salah satu alat untuk
membela diri tetapi penggunaannya masih memiliki beban dan tanggungjawab
yang berat oleh debitur. Pasal 1244 KUHPerdata memberikan beban
pembuktian kepada debitur bilamana terjadi force majeure dalam pemenuhan
80
prestasi. Debitur wajib membuktikan bilamana kegagalan prestasi tersebut
bukan disebabkan oleh kesalahan atau kelalaiannya, melainkan disebabkan
oleh keadaan memaksa yang sah menurut hukum berdasarkan syarat
terjadinya force majeure. Perjanjian memuat kesepakatan khususnya
mengenai klausul keadaan memaksa atau force majeure. Tetapi dalam
kenyataannya klausul atau hal-hal yang telah diperjanjikan masih saja
diperdebatkan dalam pembuktiannya. Untuk membuktikan bahwa salah satu
pihak atau debitur telah terjadi force majeure, hanya debitur yang dapat
mengemukakan terjadinya suatu keadaan memaksa.
3. Penggunaan alasan keadaan memaksa oleh debitur akibat tidak terlaksananya
prestasi terbukti dari beberapa putusan pengadilan. Dari beberapa putusan
pengadilan yang diteliti tidak ditemukan adanya alasan force majeure yang
diterima dan dapat dibuktikan oleh tergugat (debitur) sebagai dasar untuk
tidak melaksanakan prestasi. Dalil force majeure yang dikemukakan oleh
tergugat terkesan hanya untuk menunda pelaksanaan prestasi atau untuk
menjadi alasan tidak dinyatakan wanprestasi. Ditolaknya alasan force majeure
oleh majelis hakim karena adanya unsur kelalaian atau kesalahan debitur
dalam pemenuhan prestasi, serta debitur dianggap telah menduga atau
memprediksi peristiwa yang mengalanginya dalam pemenuhan prestasi.
Karena, apabila peristiwa yang menghalangi tersebut dapat diprediksi oleh
debitur maka bukan termasuk sebagai force majeure.
81
B. Saran
Klausul force majeure merupakan unsur penting dalam merancang perjanjian.
Oleh karena itu ketentuan mengenai keadaan memaksa hendaknya dituangkan
oleh para pihak dalam suatu klausul perjanjian untuk menghindarkan dari
perbedaan penafsiran, perlunya pengaturan yang jelas mengenai peristiwa atau
keadaan yang seperti apa yang termasuk sebagai force majeure agar unsur kehati-
hatian tetap dapat diterapkan. Selain itu, pemerintah hendaknya membuat
peraturan yang khusus mengenai force majeure demi menjamin kepastian hukum
bagi para pihak yang melaksanakan suatu perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Badrulzaman, Mariam Darus, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo,
Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan,
Bandung: Cita Aditya Bakti.
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dan A.Chodari. 1999. Surat Gugat dan Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hartono, Sunaryati. 1994. Penelitian Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.
Hernako, Agus Yudha. 2011. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Indonesia. Jakarta: Kencana.
H.S, Salim. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar
Grafika.
_________. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak.
Jakarta: Sinar Grafika.
Miru, Ahmadi. 2011. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta:
Rajawali Pres.
___________. 2008. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
____________________. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
____________________. 1992. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2006. Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Rahman, Hasanuddin. 2003. Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang
Kontrak. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. 1995. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
Rodjodikoro, Wirjono. 2000. Asas – Asas Hukum Perjanjian. Bandung : Mazdar
Madju.
Satrio, J. 1999. Hukum Perikatan Pada Umumnya. Bandung : PT. Alumni.
Setiawan, I Ketut Eka. 2017. Hukum Perikatan. Jakarta : Sinar Grafika.
Setiawan, R. 2004. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung : Bina Cipta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitan Hukum. Jakarta : Universitas
Indonesia.
Soemadipradja, Rahmat S. S. 2010. Penjelasan Hukum Tentang Keadaan
Memaksa (Syarat- Syarat Pembatalan Perjanjian yang Disebabkan Keadaan
Memaksa/Force Majeure). Jakarta: National Legal Reform Program.
Subekti. 2005. Hukum Perjanjian. Jakarta : Intermasa.
Syahmin. 2006. Hukum Kontrak. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
B. Jurnal
Daryl John Rasuh, 2016, Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016.
Depri Liber Sonata, 2014, Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris:
Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Lampung, Lampung.
Maisara Sunge, 2012, Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Jurnal Volume
9, No.2, Juni 2012.
Thomas S. Bishoff and Jeffrey R. Miller, 2009, Force Majeure and Commercial
Impractiability: Issues to Consider Before the Next Hurricane or Matural
Disaster Hits, The Michigan Business Law Journal, Volume 1, Issue 1,
Spring 2009.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.