Upload
vothuan
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMETAAN LAMA KETERGENANGAN ZONA INTERTIDAL DI
PANTAI TIMUR BINTAN DESA MALANG RAPAT
David Simanjuntak
Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, [email protected]
Risandi Dwirama Putra
Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, [email protected]
Arief Pratomo
Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi dan tipe pasang surut
(pasut) yang mempengaruhi zona intertidal, memetakan zona intertidal dan memetakan lama
ketergenangan zona intertidal pada daerah pesisir Desa Malang Rapat. Penelitian telah
dilaksanakan pada bulan Februari sampai maret 2016 di Pantai desa Malang Rapat
Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, dengan titik koordinat lokasi pada
140o36'7,70"BT ; 1
o7'27,84"LU sampai dengan 140
o38'24,97"BT ; 1
o4'43,82"LU. Data
primer yang digunakan yaitu data batimetri hasil pemeruman dengan menggunakan alat Fish
Finder secara singlebeam (pancaran tunggal) yang telah dikoreksi terhadap trasducer dan
pasut. Sedangkan data sekunder berupa data pasang surut DISHIDROS TNI-AL pada stasiun
pengamatan Tanjung Uban sepanjang tahun 2016 dan Peta Rupa bumi Bintan. Metode
pemodelan menggunakan perangkat lunak Surfer 10 dan ArcGIS 10.1. Hasil penelitian
menunjukkan pasut di perairan Kabupaten Bintan bertipe campuran dengan tipe ganda yang
menonjol (mixed tide predominantly semidiurnal) dengan nilai Formzahl 0.59. Tunggang
pasut zona intertidal berada pada kedalaman 0 hingga 3,4 meter, dengan luas zona intertidal
pada peta ± 5 km2. Kemiringan pantai didominasi kelas pantai dengan lereng miring
sebanyak 52%. Berdasarkan hasil filter data pasang surut sepanjang tahun 2016 dengan
interval 0,5 maka diperoleh lama ketergenangan pada zona kedalaman 0-0,5 m tergenang 8,4
hari/tahun; 0,5-1 m tergenang 51,9 hari/tahun; 1-1,5 m tergenang 133,9 hari/tahun; 1,5-2 m
tergenang 252,3 hari/tahun; 2-2,5 m tergenang 356,9 hari/tahun; 2,5-3 m mengalami
ketergenangan sepanjang tahun untuk periode tahun 2016.
Kata Kunci: Intertidal, Pasang Surut, Lama Ketergenangan, Batimetri, Surfer 10 ArcGIS
10.1
MAPPING OF OLD INUNDATE INTERTIDAL ZONE ON THE EAST
COAST BINTAN MALANG RAPAT VILLAGE
ABSTRACT
This study was conducted to determine the condition and type of tidal that affect
intertidal zones, mapping the intertidal zone and map out long inundate intertidal zone at the
Malang Rapat village coastal areas. Research has been conducted from February to March
2016 in the coastal areas of Malang Rapat village, Gunung Kijang District, Bintan regency,
with the coordinates of the location at 140o36'7,70 "BT; 1
o7'27,84" LU up to 140
o38 '24, 97
"BT; 1o4'43,82" LU. Primary data that is used is bathymetric data from Sounding activities
by using the tool singlebeam Fish Finder, which has been corrected for trasducer and tidal.
The secondary data is tidal analysis from DISHIDROS TNI-AL at observation stations
Tanjung Uban, along the 2016 and Map Form Earth Bintan. Modeling method using the
software Surfer 10 and ArcGIS 10.1. The results show the tidal waters of Bintan regency is
determined as mixed-type with a prominent double type (mixed predominantly semidiurnal
tide) with 0,59 Formzahl value. Stables tidal intertidal zone is at a depth of 0 to 3,4 m, with
an area of intertidal zone on a map ± 5 km2. The slope of the beach is dominated by the
coastal classroom angled slopes as much as 52%. Based on the results filter tide data
throughout 2016 with long intervals of 0.5, the obtained Inundate at 0-0,5 m depth zone
inundated by 8,4 days/year; 0,5-1 m inundated 51,9 days/year; 1-1,5 m inundated 133,9
days/year; 1,5-2 m inundated 252,3 days/year; 2-2,5 m inundated 356,9 days/year; 2,5-3 m
experiencing Inundate throughout the year for the period 2016
Keywords: Intertidal, Tidal, Old Inundate, Bathymetry, Surfer 10, ArcGIS 10.1
I. PENDAHULUAN
Desa Malang Rapat merupakan bagian
dari wilayah administrasi Kecamatan Gunung
Kijang, Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan
Riau. Desa ini memiliki wilayah pantai karena
berbatasan langsung dengan laut. Menurut
Wibisono (2005), daerah pinggir laut atau
wilayah darat yang berbatasan langsung
dengan bagian laut disebut sebagai pantai.
Selanjutnya dijelaskan bahwa wilayah pantai
(shore) merupakan wilayah yang basah dalam
zona pasang surut.
Dalam cabang ilmu kelautan
(oceanography) zona yang termasuk dalam
pasang surut disebut sebagai zona intertidal.
Menurut Nybakken (1992) zona intertidal pada
wilayah pantai merupakan daerah yang relatif
sempit, terletak diantara air tinggi (high water)
dan air rendah (low water). Luasan zona
intertidal pada wilayah pantai diukur dari
daerah yang masih tergenang saat pasang
tertinggi hingga daerah yang kering saat surut
terendah. Luasannya juga dipengaruhi oleh
kontur kemiringan (slope) pantai dan dasar
perairan. Semakin landai suatu pantai maka
akan semakin luas daerah intertidalnya
(Nybakken, 1992). Dinamika pasang surut
yang selalu berubah-ubah dan banyaknya
pengaruh masukan materi organik atau kimia
dari darat menjadikan zona intertidal sangat
ekstrim, namun menjadikan zona yang
memiliki keragaman organisme yang
melimpah (Katili, 2011).
Desa Malang Rapat merupakan wilayah
pantai dengan zona intertidal yang memiliki
potensi dan kekayaan alam yang melimpah,
sehingga mendorong pemanfaatan oleh
masyarakat. Pada zona intertidal ini terdapat
ekosistem yang menjadi penyangga bagi
kehidupan berbagai organisme, yaitu
ekosistem padang lamun, ekosistem mangrove
dan ekosistem terumbu karang. Berdasarkan
SK No.36/VIII/2007 Bappeda Kabupaten
Bintan 2007 tentang KKLD (Kawasan
Konservasi Laut Daerah) Kabupaten Bintan,
padang lamun di kawasan ini menjadi salah
satu lokasi strategis untuk menjaga kelestarian
alam melalui kegiatan konservasi lamun di
pulau Bintan.
Dalam proses penelitian dan
pengembangan kawasan konservasi di zona
intertidal diperlukan identifikasi mengenai
zona intertidal, apakah dapat diketahui luas
wilayah kajian tersebut. Selanjutnya hal ini
dapat menentukan lama ketergenangan suatu
wilayah intertidal. Menurut Hafizh (2013)
untuk melihat zonasi mangrove perlu adanya
data mengenai pasang surut untuk melihat
keterganangan kawasan mangrove selama satu
tahun, sehingga dapat dilihat hubungannya
dengan struktur formasi mangrove pada zona
intertidal.
Identifikasi zona intertidal dapat
dilakukan melalui proses pemetaan. Melalui
prosedur pemetaan akan dihasilkan data
berupa peta letak dan batas zona intertidal di
Desa Malang Rapat serta lama
ketergenangannya pada masing-masing kelas
zona.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan pada
bulan Februari hingga Maret 2016 di Pantai
Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung
Kijang, Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan
Riau. Dengan penentuan lebar lokasi
berdasarkan pada wilayah yang berada pada
peta 1:25.000 yang telah ditentukan. Titik
koordinat lokasi terletak pada 140o36'7,70"BT
; 1o7'27,84"LU sampai dengan
140o38'24,97"BT ; 1
o4'43,82"LU. Data diolah
dan dianalisis di laboratorium sistem informasi
dan komputasi, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode survei yaitu melakukan
penyelidikan untuk memperoleh data dari
gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan
secara faktual pada lokasi penelitian, dan
metode kuantitatif yaitu metode yang bersifat
realistis dan dapat diklasifikasikan, konkrit
teramati, serta terukur.
Tabel 1. Alat dan Bahan
Alat dan Bahan Kegunaan
Perangkat Survei
Lapangan
1. GPS Penentuan posisi
2. Meteran 100 m Mengukur panjang
lintasan kemiringan
pantai
3. Fishfinder Mengukur
Kedalaman perairan
4. Perahu Alat media survei
5. Tongkat Ukur Mengukur tinggi
6. Kamera Dokumentasi
7. Alat Tulis Untuk mencatat hasil
pengukuran
Perangkat Analisa
Data
1. Hardware dan
Software
Komputer (MS.
Excel, , Surfer
dan ArcGIS 10.1)
Pengolahan dan
analisa data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian
terdiri atas dua jenis data, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data
kemiringan pantai (Slope) dan data batimetri
zona intertidal. Sedangkan data skunder yang
digunakan adalah data Pasang Surut pulau
Bintan Sepanjang tahun 2016 dan peta Rupa
Bumi Bintan.
A. Metode Pengumpulan Data
1. Kemiringan Pantai (slope)
Pengukuran kemiringan pantai digunakan
untuk melihat profil pantai suatu wilayah.
Dalam penelitian ini pengukuran slope pantai
menggunakan alat sederhana yaitu tongkat
ukur dan selang waterpass. Pengukuran ini
menggunakan prinsip yang sama dengan
metode pengukuran kemiringan pantai metode
Blong (Setiyono, 2008 dalam Masrukhin et al,
2014). Kemiringa pantai (slope) dihitung
dengan menggunakan persamaan trigonometri
segitiga, yang dirumuskan sebagai berikut:
x 100% (3)
Keterangan:
α : Besarnya persen (%) kemiringan pantai
(slope)
a : Selisih ketinggian yang diperoleh tongkat
ukur (m)
b : Jarak antara kedua tongkat ukur (m)
Selanjutnya hasil dari perhitungan
kemiringan pantai akan dikelompokkan
berdasarkan kelas kemiringan pantai menurut
Sunarto (1991) dalam Patty (2010).
2. Pengukuran Kedalaman Perairan
(batimetri)
Pengukuran kedalaman (batimetri)
dilakukan dengan menggunakan prosedur
pemeruman (sounding). Proses pemeruman
dilakukan dengan alat Fish Finder secara
singlebeam (pancaran tunggal) dimana yang
digunakan adalah gelombang akustik yang
dipancarkan kedasar perairan sehingga
dipantulkan kembali dan diterima oleh
receiver tranduser. Pengukuran data
kedalaman dilakukan langsung di pesisir
pantai desa Malang Rapat dengan metode
Shallow Sonding menggunakan kapal kecil
mengikuti lajur yang sejajar garis pantai.
Sebelum melakukan pemeruman terlebih
dahulu ditentukan perencanaan jalur perum
pada peta lokasi. Lajur pemeruman berupa
garis, dilakukan sebanyak 4 garis lajur sejajar
garis pantai. Dalam proses pemeruman
diperoleh data berupa data posisi (koordinat),
waktu pengambilan data dan data kedalaman
perairan yang dicatat pada log book.
Gambar 2. Titik Jalur pemeruman.
3. Data Pasang Surut
Dalam penelitian ini data pasang surut
yang digunakan berupa data sekunder. Dimana
data pasut yang digunakan merupakan prediksi
pasut oleh DISHIDROS TNI-AL sepanjang
tahun 2016 untuk daerah Bintan. Titik stasiun
pengambilan data pasut berada di Selat Kijang
yang dalam penelitian ini dapat dianggap sama
dengan lokasi penelitian. Data ini meliputi
tinggi pasang surut setiap jam sepanjang tahun
2016.
4. Peta Dasar Rupa Bumi Bintan
Peta dasar yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah peta rupa bumi Bintan
yang telah didigitasi dengan menggunakan
software ArcGIS 10.1 yang diperoleh dari
laboratorium TIK Fakultas Kelautan dan
Perikanan UMRAH.
B. Analisa Data
1. Analisis Konstanta Harmonik Pasang
Surut
Dalam analisa konstanta harmonik pasut
yang digunakan adalah data satu bulan dari
tabel pasang surut DISHIDROS TNI-AL tahun
2016. Dimana data yang akan dianalisa
merupakan bulan Maret yang merupakan
waktu pengambilan data lapangan. Pasang
surut dianalisa menggunakan metode Least
Squar. Least Square adalah metode analisa
data pasang surut untuk memperoleh besarnya
nilai komponen-komponen pasang surut.
Analisis menggunakan metode Least Square
menghasilkan besarnya nilai komponen-
komponen harmonik pasang surut air laut (Z0,
M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, M2 dan MS4),
sehingga dapat dihitung nilai Formzahl untuk
mengetahui tipe pasang surut dan chart datum
(Z0) yang akan digunakan sebagai koreksi data
kedalaman laut untuk memperoleh kedalaman
laut sebenarnya. Rumus Formzahl ialah
sebagai berikut :
F : Formzahl
K1 : Amplitudo dari anak gelombang pasang
surut Harian Tunggal rata-rata yang
dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan mata
hari
O1 : Amplitudo dari anak gelombang pasang
surut Harian Tunggal yang dipengaruhi
oleh deklinasi matahari
M2 : Amplitudo dari anak gelombang pasang
surut Harian ganda rata-rata yang
dipengaruhi oleh bulan
S2 : Amplitudo dari anak gelombang pasang
surut Harian Ganda rata-rata yang
dipengaruhi oleh matahari.
Untuk penentuan Chart datum (Z0) dalam
penelitian ini dihitung menggunakan
persamaan yang digunakan DISHIDROS
cilacap (Ongkosongo dan Suyarso, 1987),
sebagai berikut:
Z0= S0 – (1.2 x (M2 + S2 + K2))
Keterangan :
S0 : Muka air rerata (Mean Sea Level)
Z0 : Chart Datum
M2 : Pasang surut semi diurnal yang
dipengaruhi oleh bulan
S2 : Pasang surut semi diurnal yang
dipengaruhi oleh matahari
K2 : Pasang surut semi diurnal karena
pengaruh perubahan jarak akibat
lintasan bulan yang elips.
Setelah didapatkan Chart datum,
kemudian akan dicari nilai dari HAT (Hide
Astronomical Tide) atau pasang tertinggi
berdasarkan astronomi. HAT ini akan
dijadikan sebagai acuan dalam nilai koreksi
kedalaman. Hubungan antara masing-masing
nilai-nilai penting dalam analisis pasang surut
dapat dijelaskan dalam rumus berikut ini :
LAT = Z0 - (M2+S2+N2+K2+K1+O1+P1+M2+MS4)
HAT = Z0+(M2+S2+N2+K2+K1+O1+P1+M2+MS4)
Keterangan :
LAT : Lowest Astronomical Tides / nilai
muka air terendah dihitung
berdasarkan astronomi
HAT : Highest Astronomical Tides / nilai
muka air tertinggi dihitung
berdasarkan astronomi.
2. Koreksi Kedalaman
a) Koreksi terhadap kedalaman alat
(transducer)
Draft transducer yang digunakan untuk
menerima pantulan gelombang akustik yang
dipancarkan berada di bawah permukaan
perairan, sehingga dalam memperoleh nilai
kedalaman sebenarnya dari permukaan
perairan sampai dasar perairan diperlukan
koreksi terhadap draft transducer.
Gambar 3. Koreksi trasducer
d = A + B
Keterangan :
d : Kedalaman aktual hasil koreksi terhadap
transducer
B : Kedalaman air hasil sounding
A : Jarak transducer ke permukaan air (nilai
koreksi transducer)
b) Koreksi terhadap kedalaman acuan
Dalam penelitian ini kedalaman acuan
(datum) yang akan digunakan untuk
mengkoreksi adalah HAT (Hide Astronomical
Tide) Nilai HAT digunakan agar zona
intertidal kedarat diperoleh dengan akurat dan
tidak ada nilai minus (-) dalam perhitungan
kedalaman. Nilai HAT akan menjadi nilai nol
(0) meter. HAT diperoleh dari hasil analisis
konstanta harmonik pasang surut tabel
DISHIDROS TNI-AL pada satu bulan
tertentu. Dalam mencari nilai kedalaman
terkoreksi dapat digunakan rumus sebagai
berikut:
Z = d(t) + (hmax - htab(t))
Keterangan :
Z : Kedalaman terkoreksi
d(t) : Kedalaman aktual pada waktu
tertentu
hmax : Tinggi muka air laut berdasarkan
HAT (Hide Astronomical Tide)
htab(t) : Tinggi muka air laut ditabel pasut
DISHIDROS TNI-AL pada waktu
pengukuran.
3. Analisis kontur kedalaman
Analisis kedalaman perairan dilakukan
dengan memetakan kontur kedalaman
berdasarkan pada letak titik kordinat
pengambilan data kedalaman pada peta dasar.
Pengolahan peta kedalaman dengan
menggunakan software Surfer 10. Data yang
dimasukkan dalam membuat peta kontur
kedalman adalah nilai koordinat dalam sistem
proyeksi Universal Transverse Mercator
(UTM) yaitu Easting (X) dan Northing (Y)
serta nilai kedalaman perairan (Z).
Hasil dari proses interpolasi dengan
menggunakan metode Krigging dan tampilan
secara contour map pada software atau
perangkat lunak Surfer 10 akan di export
kedalam bentuk shapefile (shp) dan kemudian
akan diolah lebih lanjut dengan mendigitasi
zona berdasarkan intervalnya menggunakan
perangkat lunak ArcGIS 10.1.
4. Penentuan Zona Intertidal
Dari hasil analisis sebelumnya kemudian
dapat diketahui batasan antara titik awal HAT
yang telah dikoreksi serta MSL dan LAT.
Setelah itu data tersebut kemudian di input
kedalam peta dasar dengan menggunakan
ArcGIS 10.1. Sehingga terlihat tiap batasan
zona intertidal dalam peta dasar sepanjang
daerah Malang Rapat tersebut.
5. Lama Ketergenangan
Pengolahan data lama ketergenangan ini
menggunakan data pasang surut dari
DISHIDROS TNI AL. Data pasang surut
diolah dengan Microsoft Excel yang kemudian
dibagi berdasarkan kelas-kelas kedalaman.
Disaat kelas kedalaman teratas
mengalami ketergenangan maka kelas
kedalaman dibawahnya akan mengalami
ketergenangan juga, sehingga semakin tinggi
kelas kedalaman akan mengalami
ketergenangan semakin lama hingga selalu
tergenang sepanjang tahun. Berdasarkan kelas
kedalamannya maka untuk memperoleh lama
ketergenangan pada tiap kelas digunakan
rumus sebagai berikut:
Tabel 2. Rumus mencari lama ketergenangan
per kelas kedalaman
Kelas
Kedalaman
(m)
Jumlah
Waktu Pada
Tabel Pasut
Rumus Lama
Ketergenangan
0-0,5 a a
0,5-1 b a+b
1-1,5 c a+b+c
1,5-2 d a+b+c+d
2-2,5 e a+b+c+d+e
2,5-3 f a+b+c+d+e+f
>3 g a+b+c+d+e+f+g
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pasang surut
Dalam penelitian ini digunakan data
pasang surut yang diperoleh dari DISHIDROS
TNI-AL sepanjang tahun 2016. Data yang
diguanakan merupakan data tabel pasang surut
stasiun Tanjung Uban. Dalam proses analisa
pasang surut untuk memperoleh komponen
pasang surut, nilai elevasi penting dan nilai
Formzahl digunakan data pasang surut selama
30 hari pada bulan Maret 2016.
Gambar 4. Data pasang surut bulan maret
2016 dari DISHIDROS TNI-AL
pada stasiun pengamatan Tanjung
Uban
Data diolah dengan menggunakan
metode Least Square. Melalui metode Least
Square diperoleh komponen harmonik pasang
surut berupa nilai Z0, M2, S2, N2, K2, K1, O1,
P1, M2 dan MS4.
Tabel 3. Nilai konstanta harmonik pasang
surut
Berdasarkan nilai konstanta dihitung nilai
Formzahl sehingga diperoleh nilai 0.59.
Bilangan Formzahl ini menunjukkan bahwa
tipe pasang surut di perairan kabupaten Bintan
adalah bertipe campuran dengan tipe ganda
yang menonjol (mixed tide predominantly
semidiurnal). Tipe pasang surut campiran
dominan keharian ganda ditandai dengan
dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan
dua kali air surut, tetapi dengan tinggi dan
periode yang berbeda (Triadmodjo, 1999).
Melalui perhitungan dari komponen
harmonik pasang surut maka akan diperoleh
juga nilai elevasi penting MSL, LAT dan
HAT. Nilai elevasi penting melalui
perhitungan komponen pasang surut
ditunjukkan pada tabel 4.
Tabel 4. Nilai-nilai elevasi penting hasil
pengolahan data pasang surut
Berdasarkan tabel 4 maka tunggang
antara pasang tertinggi dan surut terendah
berdasarkan perhitungan astronomis sebesar
3,4 m. Dalam penelitian ini datum yang
digunakan adalah HAT. Nilai HAT yang
didapat dari hasil analisis adalah 3,4 m, artinya
dalam kurun waktu tertentu pasang tertinggi
dapat mencapai ketinggian 3,4 m.
B. Pengukuran batimetri
Pengukuran kedalaman perairan
(batimetri) dilakukan disepanjang zona
intertidal perairan Desa Malang Rapat.
Terdapat 543 data hasil pengukuran yang
dilakukan pada perairan dengan menggunakan
prosedur pemeruman (sounding) dan 261 data
merupakan data prediksi titik pasang tertinggi
zona intertidal yang ditandai dengan
munculnya tanda alam seperti teritip, lumut
atau rumput laut yang terseret paling jauh
kedarat. Data yang pertama kali diperoleh dari
prosedur pemeruman (sounding) adalah berupa
waktu pemeruman, koordinat titik dan data
kedalaman yang terbaca pada layar monitor
alat atau yang disebut kedalaman terbaca.
No Konstanta A (m) g
1 M2 0,6111 224,4752°
2 S2 0,2269 347,4035°
3 N2 0,1354 20,7292°
4 K2 0,0516 299,8686°
5 K1 0,2361 313,2679°
6 O1 0,2577 65,4292°
7 P1 0,0880 172,7200°
8 M4 0,0319 298,1912°
9 MS4 0,0251 74,9161°
Symbol Elevasi (m)
HAT 3,4
MHWL 2,8
MSL 1,7
MLWL 0,6
LAT 0
Gambar 5. Peta titik fiks pemeruman
Selanjutnya dilakukan koreksi terhadap
kedalaman hasil pemeruman, yaitu koreksi
terhadap kedalaman trasducer dan nilai acuan
kedalaman (chart datum) menggunakan HAT
(Highest Astronomical Tide).
Tabel 5. Contoh tabel hasil koreksi kedalaman
Berdasarkan hasil koreksi kedalaman,
didapati bahwa nilai kedalaman setelah
dikoreksi bertambah dibandingkan dengan
kedalaman terbaca saat pemeruman.
C. Pengukuran Kemiringan Pantai
Pengukuran dimulai pada titik
1o7'27,84"N; 140
o36'7,70"E ; hingga
1o4'43,82"N; 140
o38'24,97"E. Terdapat total
261 titik pengukuran kemiringan pantai yang
dilakukan disepanjang pantai desa malang
rapat. Jarak antara tiap titik pengukuran
kemiringan pantai berkisar ± 25 – 30 m.
Terdapat 49 titik yang tidak dapat dilakukan
pengukuran dikarenakan kondisi bentang alam
seperti adanya tebing terjal dan batu miring.
Gambar 6. Peta titik pengukuran kemiringan
pantai
Hasil pengukuran berupa persen (%)
kemiringan sehingga sesuai dengan klasifikasi
profil pantai menurut Sunarto (1991) dalam
Patty (2010) yang telah mengklasifikasikan
kemiringan pantai menjadi 7 kelas pantai
sebagai berikut :
0 - 2,9 % : Lereng Datar
3,0 - 7,9 % : Lereng Landai
8,0 - 13,9 % : Lereng Miring
14,0 - 20,9 % : Lereng Sangat Miring
21,0 - 55,9 % : Lereng Curam
56,0 - 140,9 % : Lereng Sangat Curam
Slope >140,9 % : Lereng Terjal
Tabel 6. Contoh data pengukuran Kemiringan
Pantai
Berdasarkan kelas kemiringan pantainya
Desa Malang Rapat memiliki variasi kelas
kemiringan pantai yang beragam. Setelah
dipersentasekan menurut banyak data
berdasarkan kelasnya (gambar 6)
Gambar 7. Grafik persen kelas kemiringan
pantai
Terdapat 52% pantai di Desa Malang
Rapat masuk dalam kelas pantai dengan
lereng miring. Dimana kelas lereng miring
sangat mendominasi. Terdapat 19% pantai
yang masuk dalam kelas lereng sangat miring,
19% pantai merupakan pantai yang telah
terkena abrasi (telah dibatu miring), 9% pantai
masuk dengan kelas landai dan 1% pantai
masuk dalam kelas lereng curam. Data hasil
pengukuran persen kemiringan pantai ini
menunjukkan bahwa perairan intertidal di
Desa Malang Rapat memiliki variasi kelas
yang beragam, sehingga ini juga berpengaruh
pada luasan zona intertidal. Menurut
Nybakken (1992) semakin landai suatu pantai
maka akan semakin luas daerah intertidalnya.
D. Pemetaan Kontur Kedalaman Perairan
Kontur kedalaman perairan didapat dari
penggolahan menggunakan software Surfer
10. Dengan metode interpolasi Krigging
(gambar 8).
Gambar 8. Hasil awal interpolator krigging
pada surfer 10 profil kontur
kedalaman perairan Desa Malang
Rapat
Hasil dari proses interpolasi titik fiks dari
pemeruman dengan menggunakan metode
Krigging pada software Surfer 10 akan di
export kedalam bentuk shapefile (shp) dan
kemudian akan diolah lebih lanjut
menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.1.
Untuk pembuatan peta kontur kedalaman,
wilayah analisis yang dihasilkan dari
interpolasi dengan metode Krigging kemudian
dibatasi dalam wilayah cakupan saat
pengambilan data batimetri dilapangan.
Sebelumnya, wilayah dari lajur pemeruman di
digitasi terlebih dahulu dan di jadikan file
shapefile (shp) dalam bentuk polygon. File
wilayah tersebut kemudian dijadikan sebagai
batasan analisis interpolar Krigging dengan
bantuan tool geoprocessing Intersect di
ArcGIS 10.1. Sehingga wilayah yang
terinterpolasi hanya sebatas wilayah saat lajur
pemeruman (gambar 16). Sedangkan untuk
menghasilkan model tiga dimensi kedalaman
perairan (batimetri) hasil interpolasi diolah
pada software surfer 10 menggunakan tools
3D Surface (gambar 17).
Gambar 9. Peta kontur kedalaman perairan
Desa Malang Rapat
9%
52%
19%
1%
19%
PERSEN KELAS KEMIRINGAN PANTAI
Lereng Landai
Lereng Miring
Lereng SangatMiringLereng Curam
Abrasi/ Batu Miring
Gambar 10. Peta Profil 3D Kedalaman
Berdasarkan pemetaan kontur kedalaman
menunjukkan adanya kontur berbentuk kontur
kurva tertutup pada kedalaman 1,5 – 2 meter.
Hal ini menunjukkan pada kedalaman tersebut
terdapat adanya gundukan berupa karang,
bebatuan atau gundukan berupa lidah pasir
atau spit. Kecenderungan pola garis kontur
pada peta batimetri sejajar dengan garis pantai
membentuk pola tidak bercabang dan tidak
terpotong terdapat pada kedalaman 0 m hingga
1,5 m dan 2,5 meter ke atas.
Berdasarkan profil 3D (gambar 17) bahwa
permukaan dasar laut cenderung landai dari
kedalaman 0 hingga 1,5 m. Pada kedalaman 2
m cenderung datar namun terdapat gundukan
berupa karang atau lidah pasir. Selanjutnya
mulai kedalaman 2,5 m permukaan dasar laut
relatif terjal. Namun pada wilayah depan
pelabuhan nelayan, dimulai dari kedalaman
1,5m permukaan dasar laut sangat terjal
hingga kedalaman 6 m.
E. Pemetaan Zona Intertidal
Nyabakken (1992) mengemukakan bahwa
Zona intertidal adalah daerah pantai yang
terletak antara pasang tinggi dan surut
terendah, daerah ini mewakili peralihan dari
kondisi lautan ke kondisi daratan. Berdasarkan
perhitungan pasang surut, pasang tertinggi
berdasarkan astronomis (HAT) bernilai 3,4
meter sedangkan surut terendah berdasarkan
astronomis (LAT) bernilai 0,0 meter. Dapat
disimpulkan wilayah yang dipengaruhi oleh
pasut berada pada kedalaman 0-3,4 meter,
sehingga dihasilkan peta sebagai berikut :
Gambar 11. Peta Zona Intertidal Perairan
Desa Malang Rapat
F. Lama Ketergenangan
Dalam mencari lama ketergenangan
digunakan data pasang surut DISHIDROS
TNI-AL sepanjang tahun 2016 pada stasiun
pengamatan Tanjung Uban. Data pasang surut
sepanjang tahun 2016 di filtel berdasarkan
kedalaman pada interval 0,5 meter
menggunakan software Microsoft Excel.
Adapun hasilnya dapat dilihat pada grafik
dibawah ini.
a. Lama ketergenangan dalam saruan
jam/tahun
b. Lama ketergenangan dalam saruan
hari/tahun
202 1245
3213
6054
8565 8784
0
5000
10000
0-0,5 0,5-1 1-1,5 1,5-2 2-2,5 2,5-3
WA
KTU
(JA
M)
KELAS KEDALAMAN Lama Ketergenangan
8,4 51,9
133,9
252,3
356,9 366
0,0
100,0
200,0
300,0
400,0
0-0,5 0,5-1 1-1,5 1,5-2 2-2,5 2,5-3
WA
KTU
(H
AR
I)
KELAS KEDALAMAN
Lama Ketergenangan
c. Lama ketergenangan dalam saruan
jam/tahun
Gambar 12. Grafik lama ketergenangan
menurut kelas kedalaman
berdasarkan satuan jam (a), hari
(b) dan bulan (c)
Berdasarkan hasil dari perhitungan lama
ketergenangan dimasukkan kedalam peta zona
intertidal yang memiliki interval 0,5. Sehingga
diperoleh peta lama ketergenagan zona
intertidal sebagai berikut :
Gambar 13. Peta lama ketergenangan zona
intertidal 2016 pantai Timur
Bintan Desa malang Rapat
G. Keterkaitan Lama Ketergenangan
Terhadap Ekosistem Peraira di Zona
Intertidal
Peta lama ketergenangan sangat berguna
dalam melihat pola penyebaran (zonasi)
organisme yang menempati zona intertidal,
seperti sebaran zonasi mangrove, lamun atau
hewan-hewan bentos yang menempati zona
intertidal. Menurut Ongkosongo (1989)
perubahan muka pasang surut akan
mempengaruhi pola dan siklus hidup serta
sebaran dan rantai makanan yang diperlukan
bagi kehidupan terutama bagi hewan pada
zona intertidal. Pasang surut akan
mempengaruhi kondisi parameter perairan
terutama salinitas dan substrat yang terbawa
oleh arus pasang surut. Data sebaran zonasi
mangrove tentunya sangat berguna bagi
kegiatan rehabilitasi lahan pada zona intertidal.
Data sebaran zonasi akan menjadi salah satu
parameter penting bagi proses penentuan
lokasi rehabilitasi dan jenis dari flora maupun
fauna yang akan direhabilitasi.
1. Keterkaitan Lama Ketergenangan
Perairan Terhadap Mangrove
Hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut (terutama di pantai yang
terlindung, laguna, muara sungai) yang
tergenang pasang dan bebas dari genangan
pada saat surut yang komunitas tumbuhannya
bertoleransi terhadap garam atau salinitas
(Santoso, 2004 dalam Nur Iman, 2014). Hutan
mangrove meliputi pohon dan semak yang
tergolong ke dalam 8 famili yang terdiri atas
12 genera tumbuhan berbunga yaitu:
Avicennia, Sonneratia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera,
Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda
dan Conocarpus (Bengen, 2000 dalam Nur
Iman, 2014). Namun masing-masing jenis
tumbuhan mangrove memiki toleransi
tersendiri terhadap salinitas, dimana salinitas
akan sangat dipengaruhi oleh lama
ketergenangan oleh air laut.
Tjandra dan Siagian (2011) menuliskan
berdasarkan salinitasnya dan kondisi
ketergenangan dalam air laut hutan mangrove
dibagi menjadi 6 zona, yaitu :
a) Zona 1, memiliki kisaran salinitas 10 – 30
ppm, digenangi air pasut 1 – 2 kali sehari
0,3 1,7
4,5
8,4
11,9 12
0,0
5,0
10,0
15,0
0-0,5 0,5-1 1-1,5 1,5-2 2-2,5 2,5-3
WA
KTU
(B
ULA
N)
KELAS KEDALAMAN
Lama Ketergenangan
selama sekurang kurangnya 20 hari dalam
sebulan. Jenis tumbuhan yang tumbuh
dalam zona ini misalnya Avicenia,
Sonneratia, dan Rhizophora;
b) Zona 2, memiliki kisaran salinitas 10 – 30
ppm, digenangi air pasut antara 10 sampai
dengan 19 hari dalam sebulan. Pada zona
ini tumbuh jenis Bruguiera gymnorrhiza.
c) Zona 3, memiliki kisaran salinitas 10 – 30
ppm, digenangi air pasut 9 hari atau
kurang dalam sebulan. Pada zona ini
tumbuh jenis Xylocarpus dan Heritiera.;
d) Zona 4, memiliki kisaran salinitas 10 – 30
ppm, digenangi air pasut selama beberapa
hari saja dalam setahun. Dalam zona ini
tumbuh jenis Bruguiera, Scyphiphora dan
Nypa fructicans.;
e) Zona 5, memiliki salinitas 0 ppm, pasang
surut hanya sedikit sekali mempengaruhi
daerah ini.
f) Zona 6, memiliki salinitas 0 ppm.
digenangi air hanya pada musim hujan.
Jika diestimasikan pembagian zona
mangrove menurut Tjandra dan Siagian (2011)
dengan lama ketergenangan perairan zona
intertidal Desa Malang Rapat, maka mangrove
jenis Avicenia, Sonneratia, dan Rhizophora
yang digenangi pasut selama 20 hari dalam
sebulan dapat ditemui pada kedalaman ±1,5-2
meter, dengan lama ketergenagan menurut
data pasang surut sekitar ± 252,3 hari. Untuk
jenis Bruguiera gymnorrhiza yang digenangi
pasut selama 10-19 hari dalam satu bulan akan
ditemui pada kedalaman ±1-1,5 meter, dengan
lama ketergengan menurut data pasang surut
sekitar ± 133,9 hari. Untuk jenis Xylocarpus
dan Heritiera dengan lama ketergenangan
kurang dari 9 hari dalam sebulan akan ditemui
pada kedalman 0,5-1 meter, dengan lama
ketergengan menurut data pasang surut sekitar
±51,9 hari. Sedangkan untuk jenis jenis
Bruguiera, Scyphiphora dan Nypa fructicans
dan jenis mangrove ikutan lainnya yang
tergenang hanya beberapa hari saja dalam
setahun dan yang hanya tergenang pada musim
hujan dapat dijumpai pada kedalman 0-0,5
meter hingga kewilayah vegetasi datar yang
tidak mendapat pengaruh dari pasang surut,
dengan lama ketergengan menurut data pasang
surut sekitar ±8,4 hari.
2. Keterkaitan Lama Ketergenangan
Perairan Terhadap Lamun
Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah
tubir secara umum berkesinambungan, namun
bisa terdapat perbedaan pada komposisi jenis
maupun luas penutupannya. Ekosistem lamun
dapat berupa vegetasi tunggal dan vegetasi
campuran. Vegetasi tunggal tersusun atas 1
jenis lamun dengan membentuk padang lebat.
Vegetasi campuran terdiri dua atau lebih jenis
lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu
substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh
dengan vegetasi tunggal adalah Thalassia
hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla
ovalis, Holodule uninervis, Cymodocea
serrulata, dan Thalassodendron ciliatum
(Dahuri, 2001).
Kiswara (1997) dalam Nainggolan
(2011) membagi pola penyebaran lamun
berdasarkan genangan air dan kedalaman,
sebaran lamun secara vertikal dapat
dikelompokan menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal
dan selalu terbuka saat air surut yang
mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat
surut terendah. Contoh: Holodule pinifola,
Holodule uninervis, Halophila minor,
Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii,
Cymodoceae rodunata, Cymodoceae
serrulata, Syringodinium isotifolium dan
Enhalus acoroides;
b. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dengan
kedalaman sedang atau daerah pasang surut
dengan kedalaman perairan berkisar 1-5 m.
Contoh: Holodule uninervis, Halophilla
ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae
rodunata, Cymodoceae serrulata,
Syringodinium isotifolium, Enhalus
acoroides dan Thalassodendron ciliatum;
c. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan
dalam dengan kedalaman mulai dari 5-35
m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila
decipiens, Halophila 9 spinulosa, Thalassia
hemprichii, Syringodinium isotifolium dan
Thalassodendron ciliatum.
3. Keterkaitan Lama Ketergenangan
Perairan Terhadap Karang
Karang merupakan ekosistem terluar dari
zona intertidal. Ekosistem karang dalam
pembagian zona intertidal menurut Yulianda
(2007) umumnya terdapat pada zona pasang
tengah dan pasang bawah. Jika data lama
ketergenangan diestimasikan dengan letak
ekosistem karang yang ada pada zona pasang
tengah dimana zona pasang tengah dianggap
sebagai MSL atau muka rata-rata perairan.
Maka keberadaan ekosistem karanga berkisar
pada ± 1.7 m sampai ke laut dalam dengan
lama genangannya selama 8.4 bulan dalam
setahun.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan pengolahan data pasang
surut menggunakan metode Least Aquare
diperoleh perairan Bintan memiliki nilai
tunggang pasut terbesar 3,4 m. Dengan
nilai bilangan Formzahl 0.59 maka tipe
pasang surut di perairan Kabupaten
Bintan adalah bertipe campuran dengan
tipe ganda yang menonjol (mixed tide
predominantly semidiurnal).
2. Berdasarkan tunggang pasut maka zona
intertidal di perairan Desa Malang Rapat
berada pada kedalaman 0 hingga 3,4
meter. Dengan luas zona intertidal ± 5
km2 yang dapat dilihat pada peta.
3. Dalam penelitian ini kelas ketergenangan
dibagi berdasarkan kedalamannya, yaitu:
a. Kedalaman 0-0,5 meter mengalami
ketergenangan selama 202 jam/tahun
b. Kedalaman 0,5-1 meter mengalami
ketergenangan selama 1.245
jam/tahun
c. Kedalaman 1-1,5 meter mengalami
ketergenangan selama 3213
jam/tahun
d. Kedalaman 1,5-2 meter mengalami
ketergenangan selama 6054
jam/tahun
e. Kedalaman 2-2,5 meter mengalami
ketergenangan selama 8565
jam/tahun
f. Kedalaman 2,5-3 meter mengalami
ketergenangan selama 8784
jam/tahun
g. Kedalaman > 3 meter mengalami
ketergenangan sepanjang tahun
B. Saran
1. Untuk memperoleh data ketergenangan
yang lebih akurat disarankan untuk
melakukan analisa pasan surut dengan
menggunakan data pengukuran secara
langsung pada wilayah pemetaan
2. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan
dapat mencoba menggunakan metode
Interpolasi yang lain sehingga dapat
dilihat metode interpolasi mana yang
akurat dapat digunakan dalam pemetaan
zona intertidal
3. Dalam penelitian selanjutnya dapat
dilakukan konfirmasi data sebaran lamun,
mangrove, dan biota intertidal lainnya
berdasarkan data lama ketergenagannya.
4. Peta zona intertidal ini bisa dijadikan
referensi dalam melihat sebaran zonasi
dan rahabilitasi flora dan fauna pada zona
intertidal di daerah perairan Desa Malang
Rapat.
DAFTAR PUSTAKA
Arifa, D. 2014. Biomassa Padang Lamun di
Perairan Desa Teluk Bakau
Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau. FIKP UMRAH :
Tanjungpinang.
Awaludin, N. 2010. Geographical
Information Systems With ArcGIS 9.x
Principles, Techniques, Applications,
and Management. ANDI :
Yogyakarta.
BIG, ____. Presentasi Pendahuluan :
Pekerjaan Survey Hidrografi dan
Pembuatan Peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) Skala 1 : 25000
(Paket 2). Slide Peresentasi.
Brown, B. 2006. 5 Tahap Rehabilitasi
Mangrove. Mangrove Action Project
dan
Yayasan Akar Rumput Laut
Indonesia : Yogyakarta.
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita :
Jakarta.
Dewi, Lusi Swastika., Ismanto, Aris., dan
Indrayanti, Elis,.2015. Pemetaan
Batimetri Menggunakan Singlebeam
Echosounder di Perairan Lembar,
Lombok Barat, Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Oseanografi. Volume
4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman
10 – 17
Fatoni, K.I,.2011. Pemetaan Pasang Surut dan
Pola Perambatannya di Perairan
Indonesia. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor.
Hafizh, Ibnu.2013. Studi Zonasi Mangrove di
Kampung Gisi Desa Tembeling
Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten
Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Maritim Raja
Ali Haji.
Hasibuan, G.P,. 2009. Analisa Astronomis
Terendah di Perairan Sabang,
Sibolga, Padang, dan Benoa
Menggunakan Superposisi
Komponen Harmonik Pasang Surut.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Ismail, Neira Purwaty. 2012. Skripsi :
Dinamika Perubahan Garis Pantai
Pekalongan dan Batang, Jawa
Tengah. FPIK IPB : Bogor
Katili, Abubakar Sidik. 2011. Struktur
Komunitas Echinodermata pada
Zona Intertidal di Gorontalo. Jurnal
Penelitian dan Pendidikan, Vol.8,
No.1,pp 51-61, Maret 2011.
Kiswara, Wawan., dan Hutomo
Malikusworo.1985.Habitat Sebaran
Geografi Lamun.Oseana ISSN 0216-
1877. Volum X Nomor 1: 21-30
Laporan Pengkajian (LP),2014, Pembuangan
Limbah Cair Pltu Molotabu 2 X 12
Mw Ke Laut Oleh PT. Tenaga
Listrik Gorontalo. PT. Tenaga
Listrik Gorontalo : Sulawesi.
Masrukhin, M. Ali Agus. et al. 2014. Studi
Batimetri dan Morfologi Dasar LauT
Dalam Penentuan Jalur Peletakan
Pipa Bawah Laut (Perairan
Larangan-Maribaya, Kabupaten
Tegal). Vol 3 : 1. (Internet). (diunduh
8 Desember 2015)
Mustary. La Ode Ahmad. 2013. Skripsi :
Pemetaan Batimetri Perairan Laut
Dangkal di Gugusan Pulau Tiga,
Kabupaten Natuna Dengan
Menggunakan Citra Alos Avnir-2.
FPIK IPB : Bogor (Tidak
diterbitkan).
Nainggolan, P. 2011. Skripsi : Distribusi
Spasial dan Pengelolaan Lamun
(Seagrass) Di Teluk Bakau,
Kepulauan Riau. FPIK IPB : Bogor
(Tidak diterbitkan).
Nugraha, A. R., Siddhi S., dan Purwanto.
2013. Pemetaan Batimetri dan
Analisis Pasang Surut untuk
Menentukan Elevasi Lantai dan
Panjang Dermaga 136 di Muara
Sungai Mahakam, Sanga-Sanga,
Kalimantan Timur. Jurnal Ilmiah
Semesta Teknika, Vol. 16, No. 1,
Hlm. 21-30.
Nur Iman, Akhzan. 2014. Kesesuaian Lahan
Untuk Perencanaan Rehabilitasi
Mangrove Dengan Pendekatan
Analisis Elevasi di Kuri Caddi,
Kabupaten Maros. Skripsi. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Nybakken, J. W. 1992, Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologis. Penerjemah:
H.Muhammad Eidman. PT Gramedia
Pustaka, Jakarta.
Ongkosongo, Otto S. R. 1989. Penerapan
Pengetahuan dan Data Pasang-
Surut. Katalog Dalam Terbitan
(KDT) LIPI, Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Oseanologi.Penyunting: OSR
Ongkosongo dan Suyarso. Jakarta.
Hal 241-255.
Pariwono, J.I,. 1989. Gaya Penggerak Pasang-
Surut. Katalog Dalam Terbitan
(KDT) LIPI, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi.
Penyunting: OSR Ongkosongo dan
Suyarso. Jakarta. Hal 13-23
Patty, Wilhelmina.2010. Karakteristik Tipe
Dasar dan Pemanfaatan Perairan di
Sekitar Pulau Gangga, Kabupaten
Minut. UNSRAT. Vol. VI-2,
Agustus 2010
Poerbondono, Djunarsjah. 2005. Survei
Hidrogravi. PT. Rfika Aditama :
Bandung.
Rampengan, R. M. 2013. Amplitudo Konstanta
Pasang Surut M2, S2, K1, dan O1 di
Perairan Sekitar Kota Bitung Sulawesi
Utara. Jurnal Ilmiah Platax, Vol. 1.
No. 3. Hlm. 118-124.
Seri, D. S. 2014. Skripsi : Analisis Harmonik
Gelombang Pasang Surut dan
Gelombang Permukaan di Teluk
Pelabuhan Ratu. FPIK IPB : Bogor
(Tidak diterbitkan).
Subagio. 2003. Pengetahuan Peta. Penerbit
ITB : Bandung.
Surfer ®. 2011. Quick Start Guide :
Contouring and 3D Surface Mapping
for Scientists and Engineers. Golden
Software, Inc : Colorado.
Surfer 10.1 manual
Suryana. 2010. Metodologi Penelitian. Buku
Ajar Perkuliahan. Universitas
Pendidikan Indonesia : Bandung
Tjandra, Ellen., dan Siagian, Yosua
Ronaldo.2011. Mengenal Hutan
Mangrove. Cita Insan Madani
(CIM): Bogor
Triatmodjo, Bambang. (1999). Teknik Pantai.
Unit Antar Universitas Ilmu Teknik,
Universitas Gaja Mada, Beta Offset,
Yogyakarta. Hal 114-125
Wibisono M.S.2011.Pengantar Ilmu Kelautan
Edisi 2.UI-Press : Jakarta. Hal 111-
119.
Yenni.1987. Karakteristik Komunitas Fauna
Benthos di Daerah Intertidal Pantai
Kamal Kecamatan Penjaringan
Jakarta Utara. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor.
Yulianda, F. 1999. Aspek Biologi Reproduksi
Siput Gastropoda Laut. FPIK IPB :
Bogor.
Yulianda, F. 2007. Komunitas Intertidal
Bersubstrat Pasir, Karang dan
Berbatu Pada Musim Hujan dan
Musim Kemarau di Sumbawa Barat.
Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 8,
No. 1, Hlm. 1-7.
Yulianda, F., Yusuf M.S., dan Prayogo W,.
2013. Zonasi Dan Kepadatan
Komunitas Intertidal di Daerah
Pasang Surut, Pesisir Batuhijau,
Sumbawa. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2, Hlm.
409-416.