16
I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I MADANI Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019 (P-ISSN 2085 - 143X) (E-ISSN 2620 - 8857) 288 Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan Mohammad Sirojuddin Institute Agama Islam Qomaruddin Gresik [email protected] Abstract One of the problems that continues to emerge in the Indonesian public sphere is religious intolerance, radicalization and terrorism. Religious intolerance, radicalization and terrorism are manifested in the prohibition of religious worship activities, the spread of hatred, religious based violence or the destruction of places of worship. In addition to increasingly diverse forms of intolerance, the area is also expanding. Early studies show that there is a strong geographical link between the growth of religious intolerance and the recruitment of terrorist groups and ISIS. Religious intolerance has occurred in almost all regions of Indonesia, as well as the radicalization of religion and terrorism. The purpose of this research is to provide an adequate and strong explanation related to the nature and causes of intolerance, radicalism and terrorism in Indonesia. This research specifically wants to find out more clearly and in depth about why and how some Indonesians have a tendency to turn into intolerance and radicals, or on the other hand, why and how some others can maintain the values of tolerance. Keywords: Radicalism, Terrorism, Lamongan

Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

MADANI Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan

Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019 (P-ISSN 2085 - 143X) (E-ISSN 2620 - 8857)

288

Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

Mohammad Sirojuddin Institute Agama Islam Qomaruddin Gresik

[email protected]

Abstract

One of the problems that continues to emerge in the Indonesian public sphere is

religious intolerance, radicalization and terrorism. Religious intolerance, radicalization and

terrorism are manifested in the prohibition of religious worship activities, the spread of

hatred, religious based violence or the destruction of places of worship. In addition to

increasingly diverse forms of intolerance, the area is also expanding. Early studies show that

there is a strong geographical link between the growth of religious intolerance and the

recruitment of terrorist groups and ISIS. Religious intolerance has occurred in almost all

regions of Indonesia, as well as the radicalization of religion and terrorism. The purpose of

this research is to provide an adequate and strong explanation related to the nature and

causes of intolerance, radicalism and terrorism in Indonesia. This research specifically wants

to find out more clearly and in depth about why and how some Indonesians have a tendency

to turn into intolerance and radicals, or on the other hand, why and how some others can

maintain the values of tolerance.

Keywords: Radicalism, Terrorism, Lamongan

Page 2: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

289

Pendahuluan

Indonesia dalam rentang waktu

10 tahun ini mengindikasikan adanya

gejala intoleransi, radikalisme dan

terorisme. Terorisme, penyerangan dan

pengusiran terhadap kelompok

minoritas, pelarangan kegiatan, dan

pembakaran buku adalah sebagian

bentuk intoleransi dan radikalisme itu.

Indonesia masih menyimpan potensi

intoleransi dan radikalisme, sebagian

dari itu sudah terjadi meski hanya di

beberapa daerah, sebagian besarnya

bukan tidak mungkin akan muncul ke

permukaan secara masif di waktu yang

akan datang, jika tidak ditangani secara

sungguh-sungguh.

Dibeberapa kampus perguruan

tinggi umum, kecenderungan mahasiswa

untuk mendukung tindakan radikalisme

juga sangat tinggi. Hal ini terungkap

dalam penelitian tentang Islam Kampus

yang melibatkan 2466 sampel

mahasiswa dari berbagai perguruan

tinggi ternama di Indonesia. Ketika para

mahasiswa ditanya tentang pelaksanaan

amar makruf nahi munkar dalam bentuk

sweeping tempat-tempat yang dianggap

sumber maksiyat, mereka menjawab

sebagai berikut: sekitar 65% (1594

responden) mendukung dilaksanakannya

sweeping kemaksiyatan, 18% (446

responden) mendukung sekaligus

berpartisipasi aktif dalam kegiatan

sweeping. Selanjutnya, mereka yang

mendukung sweeping beralasan bahwa

kegiatan sweeping tersebut sebagai

bagian dari perintah agama (88%),

mendukung sweeping karena

berpendapat bahwa aparat keamanan

tidak mampu menegakkan hukum (4%),

dan karena alasan dekadensi moral (8%)

(Fadjar, 2007 : 35).

Fenomena kekerasan atas nama

agama yang sering dikenal dengan

radikalisme agama semakin tampak

garang ketika muncul berbagai peristiwa

teror pemboman di tanah air. Beberapa

peristiwa teror dalam bentuk

pengeboman telah memakan banyak

korban dan berdampak luas terhadap

kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Setidaknya telah terjadi lebih dari 20 kali

peristiwa pemboman sejak tahun 2000

sampai sekarang (Wikipedia, 2017).

Jaringan terorisme terus bekerja dan

perekrutan orang baru untuk

menjalankan aksi teror masih

berlangsung, meski tokoh-tokoh utama

pelaku teror sudah ditahan. Hal ini

sejalan dengan temuan Wahid

Foundation dalam laporannya tahun

2014, ditemukan bahwa dari 230

organisasi yang telah berdiri sejak zaman

Orde Lama, 147 diidentifikasi sebagai

organisasi intoleran, 49 organisasi

Page 3: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

290

memiliki kecenderungan pada

radikalisme, dan 34 organisasi

terindikasi sebagai kelompok terror.

Penelitian ini mengambil lokasi di

Lamongan karena kota ini menyumbang

banyak sekali tokoh-tokoh terorisme

yang ada di Indonesia. Mengutip laporan

IPAC (Institute for Policy Analysis of

Conflict) soal Jaringan Lamongan, kota ini

dikenal sebagai wilayah dengan sekolah-

sekolah agama penelur tokoh teror.

Analisis yang dilakukan terhadap

hubungan tokoh-tokoh di Lamongan

menunjukkan jaringan alumni pesantren

Al Islam dan sekolah lainnya pernah

berhubungan dengan organisasi Jamaah

Islamiyah. Walaupun tokoh-tokoh ini

bukan atau dalam beberapa kasus, bukan

lagi anggota JI, sekolah-sekolah ini tetap

menjadi komponen penting untuk

komunitas ekstremis setelah JI sendiri

sudah berhenti, setidaknya sementara,

melakukan kekerasan. Dari uraian di atas

dapat di tarik permasalahan sebagai

berikut: Bagaimana perilaku radikalisme

bisa mengarah pada tindakan terorisme

di Kabupaten Lamongan ? Bagaimana

mencegah atau mengurangi perilaku

radikalisme supaya tidak mengarah

kepada terorisme di Kabupaten

Lamongan ?

Toleransi Agama

Istilah radikalisme berasal dari

bahasa Latin “radix” yang artinya akar,

pangkal, bagian bawah, atau bisa juga

berarti menyeluruh, habis-habisan dan

amat keras untuk menuntut perubahan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) radikalisme berarti (1) paham

atau aliran yang radikal dalam politik;

(2) paham atau aliran yang

menginginkan perubahan atau

pembaharuan sosial dan politik dengan

cara kekerasan atau drastis; (3) sikap

ekstrem dalam aliran politik.1

Setidaknya, radikalisme bisa dibedakan

ke dalam dua level, yaitu level pemikiran

dan level aksi atau tindakan. Pada level

pemikiran, radikalisme masih berupa

wacana, konsep dan gagasan yang masih

diperbincangkan, yang intinya

mendukung penggunaan cara-cara

kekerasan untuk mencapai tujuan.

Adapun pada level aksi atau tindakan,

radikalisme bisa berada pada ranah

sosial-politik dan agama. Pada ranah

politik, faham ini tampak tercermin dari

adanya tindakan memaksakan

pendapatnya dengan cara-cara yang

inkonstitusional, bahkan bisa berupa

tindakan mobilisasi masa untuk

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

(1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed.II;

Jakarta: Balai Pustaka,hlm. 115

Page 4: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

291

kepentingan politik tertentu dan

berujung pada konflik sosial.

Dalam bidang keagamaan,

fenomena radikalisme agama tercermin

dari tindakan-tindakan destruktif-

anarkis atas nama agama dari

sekelompok orang terhadap kelompok

pemeluk agama lain (eksternal) atau

kelompok seagama (internal) yang

berbeda dan dianggap sesat. Lebih detil,

Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan

radikalisme. Pertama, menjadikan Islam

sebagai ideologi final dalam mengatur

kehidupan individual dan juga politik

ketata negaraan. Kedua, nilai-nilai Islam

yang dianut mengadopsi sumbernya di

Timur Tengah secara apa adanya tanpa

mempertimbangkan perkembangan

sosial dan politik ketika Al-Quran dan

hadits hadir di muka bumi ini, dengan

realitas lokal kekinian. Ketiga, karena

perhatian lebih terfokus pada teks Al-

Qur’an dan hadist, maka purifikasi ini

sangat berhati-hati untuk menerima

segala budaya non asal Islam (budaya

Timur Tengah) termasuk berhati-hati

menerima tradisi lokal karena khawatir

mencampuri Islam dengan bid’ah.

Keempat, menolak ideologi Non-Timur

Tengah termasuk ideologi Barat, seperti

demokrasi, sekularisme dan liberalisme.

Kelima, gerakan kelompok ini sering

berseberangan dengan masyarakat luas

termasuk pemerintah. Oleh karena itu,

terkadang terjadi gesekan ideologis

bahkan fisik dengan kelompok lain,

termasuk pemerintah.2

Menurut Simon Tormey dalam

International Enyclopedia of Social

Sciences (Vol.7, hal 48), radikalisme

merupakan sebuah konsep yang bersifat

kontekstual dan posisional, dalam hal ini

kehadirannya merupakan antitesis dari

ortodoks atau arus utama (mainstream),

baik bersifat sosial, sekuler, saintifik,

maupun keagamaan. Menurutnya,

radikalisme tidak mengandung

seperangkat gagasan dan argumen,

melainkan lebih memuat posisi dan

ideologi yang mempersoalkan atau

menggugat sesuatu (atau segala sesuatu)

yang dianggap mapan, diterima, atau

menjadi pandangan umum.3 Radikalisme

adalah paham atau aliran yang

menginginkan perubahan atau

pembaharuan sosial dan politik dengan

cara kekerasan atau drastis. Sedangkan

Kelompok Islam radikal adalah sebuah

gerakan politik ekstrim yang berusaha

membentuk negara Islam melalui

2 A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama;

Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia,

(Yogykarta: Logung Pustaka, 2010), hlm. 63 3 Azca, Muhammad Najib. Yang Muda, Yang

Radikal: Refleksi Sosiologis Terhadap Fenomena

Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia

Pasca Orde Baru. Jurnal Maarif, Vol. 8, No. 1 (Juli

2013): 14-41.

Page 5: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

292

perjuangan bersenjata. Dimana terdapat

doktrin-doktrin pada kelompok untuk

membenarkan tindakan kekerasan untuk

menghilangkan rezim di dunia yang

dianggap kafir saat ini. Dan karena

tindakan kekerasan inilah, maka gerakan

Islam radikal seringkali di cap sebagai

teroris oleh negara-negara barat

khususnya Amerika.4

Radikalisasi adalah proses

perubahan di mana kelompok mengalami

transformasi ideologi atau perilaku yang

mengarah pada penolakan prinsip-

prinsip demokrasi dengan cara menuntut

untuk dilakukannya revolusi di bidang

sosial politik, sosial ekonomi, dan

perubahan budaya dengan jalan

kekerasan atau peningkatan tingkat

kekerasan, untuk mencapai tujuan

politik. Pada dasarnya radikalisasi

muncul akibat adanya kesenjangan dan

marjinalisasi politik. Adapun tujuan dari

kelompok-kelompok radikal di indonesia

adalah menciptakan negara islam. Dalam

mencapai tujuan, kelompok ini

melakukan proses rekruitmen anggota

mulai dari tingkat sekolah hingga

universitas. Dan biasanya proses

4 Cavatorta, Francesco, (2005). The ‗War on

Terrorism‘—Perspectives from Radical Islamic

Groups. Journal of Irish Studies in International

Affairs, Vol. 16 (2005). Diakses dari

http://doras.dcu.ie/488/1/isia_16_April_2017.pd

f

indoktrinasi ini dilakukan melalui

kegiatan ekstrakurikuler agama yang ada

di sekolah maupun perguruan tinggi. Ada

3 cara yang dapat ditempuh untuk

menganalisis munculnya gerakan islam

radikal di indonesia yakni: 1. Konteks

historis; munculnya islam radikal di

indonesia. 2. Konteks global; kebangkitan

gerakan jihad, 3. Implementasi syariah

sebagai ideologi negara.5

Radikalisme memiliki istilah yang

beragam, ada yang menyebut

radikalisme dengan istilah

fundamentalisme, ada pula yang

menyebutnya sebagai ekstrimisme

bahkan ada pula yang mengaitkannya

dengan terorisme. Penamaan ini

disebabkan karena makna yang

terkandung dalam istilah-istilah tersebut

hampir sama. Jika radikalisme disebut

sebagai paham yang cenderung

menggunakan jalan kekerasan, maka

istilah fundamentalisme dimaknai

sebagai paham yang cenderung untuk

memperjuangkan sesuatu secara radikal,

selanjutnya ekstrimisme dimaknai

sebagai paham yang cenderung ekstrim

(keras). Selanjutnya istilah terorisme

sering pula dikaitkan dengan radikalisme

karena terorisme mengandung makna

5 Hasan, Noorhaidi. Islam di Ruang Publik; Politik

Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia.

Jakarta; Center for Study of Religion and Culture-

KAS, 2010.

Page 6: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

293

penggunaan kekerasan untuk

menimbulkan rasa takut dalam usaha

mencapai suatu tujuan.6

Tindakan Terorisme

Terorisme bukan persoalan siapa

pelaku, kelompok dan jaringannya.

Namun, lebih dari itu terorisme

merupakan tindakan yang memiliki akar

keyakinan, doktrin dan ideologi yang

dapat menyerang kesadaran masyarakat.

Tumbuh suburnya terorisme tergantung

di lahan mana ia tumbuh dan

berkembang. Jika ia hidup di tanah

gersang, maka terorisme sulit

menemukan tempat, sebaliknya jika ia

hidup di lahan yang subur maka ia akan

cepat berkembang. Ladang subur

tersebut menurut Hendropriyono adalah

masyakarat yang dicemari oleh paham

fundamentalisme ekstrim atau

radikalisme keagamaan.7

Radikalisme merupakan suatu

sikap yang mendambakan perubahan

secara total dan bersifat revolusioner

dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai

yang ada secara drastis lewat kekeraan

(violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.

Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari

6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

(1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed.II;

Jakarta: Balai Pustaka, Hlm. 281, 255, 1048 7 A.M. Hendroprioyono, Terorisme: Fundamentalis

Kristen, Yahudi dan Islam (Jakarta: Buku Kompas,

2009), hlm. 13.

sikap dan paham radikal. 1. Intoleran

(tidak mau menghargai pendapat &

keyakinan orang lain), 2. Fanatik (selalu

merasa benar sendiri; menganggap orang

lain salah), 3. Eksklusif (membedakan

diri dari umat Islam umumnya) dan 4.

Revolusioner (cenderung menggunakan

cara-cara kekerasan untuk mencapai

tujuan).

Memiliki sikap dan pemahaman

radikal saja tidak mesti menjadikan

seseorang terjerumus dalam paham dan

aksi terorisme. Ada faktor lain yang

memotivasi seseorang bergabung dalam

jaringan terorisme. Motivasi tersebut

disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi

dalam negeri yang semisal kemiskinan,

ketidakadilan atau merasa Kecewa

dengan pemerintah. Kedua, faktor

internasional, yakni pengaruh

lingkungan luar negeri yang memberikan

daya dorong tumbuhnya sentiment

keagamaan seperti ketidakadilan global,

politik luar negeri yg arogan, dan

imperialisme modern negara adidaya.

Ketiga, faktor kultural yang sangat

terkait dengan pemahaman keagamaan

yang dangkal dan penafsiran kitab suci

yang sempit dan leksikal (harfiyah).

Sikap dan pemahaman yang radikal dan

dimotivasi oleh berbagai faktor di atas

seringkali menjadikan seseorang

Page 7: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

294

memilih untuk bergabung dalam aksi dan

jaringan terorisme.

Lalu apa itu terorisme ? Banyak

ragam pengertian dalam mendefinisikan

terorisme. Dari beragam definisi baik

oleh para pakar dan ilmuwan maupun

yang dijadikan dasar oleh suatu negara,

setidaknya memuat tiga hal: pertama,

metode, yakni menggunakan kekerasan;

kedua, target, yakni korban warga sipil

secara acak, dan ketiga tujuan, yakni

untuk menebar rasa takut dan untuk

kepentingan perubahan sosial politik.8

Karena itulah, definisi yang dijadikan

dasar oleh negara Indonesia dalam

melihat terorisme pun tidak dilepaskan

dari tiga komponen tersebut Dalam UU

No.15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme disebutkan : Setiap orang

yang dengan sengaja menggunakan

kekerasan atau ancaman kekerasan

menimbulkan situasi teror atau rasa

takut terhadap orang secara meluas atau

menimbulkan korban yang bersifat

massal, dengan cara merampas harta

benda orang lain, atau mengakibatkan

kerusakan atau kehancuran terhadap

obyek-oyek vital strategis atau

8 Harvey W. Kushner, Encyclopedia of Terrorism,

London : Sage Publication, 2003. Hlm. Xxiii.

lingkungan hidup atau fasilitas publik

atau fasilitas internasional.9

Radikalisme dan Terorisme di Jawa

Timur Pasca-Reformasi

Hingga saat ini, tidak sedikit

orang yang masih gamang melihat masa

depan Indonesia. Tidak jarang terdengan

suara sumbang yang mempertanyakan

apakah Indonesia sedang berjalan ke

arah sebuah negara demokratis ataukah

sebaliknya. Pesimisme ini tidak bisa

diabaikan begitu saja, jika kita melihat

berbagai peristiwa yang mengikuti

Reformasi politik ‘98. Kekerasan dengan

motif agama dan etnis merupakan

fenomena mencolok yang menandai

kehidupan sosial-politik keagamaan di

Indonesia pasca-Soeharto (Suaedy, 2007

: 343). Jika satu wajah Reformasi

ditunjukkan melalui tuntutan yang

sangat kuat terhadap keterbukaan dan

demokrasi, maka proses demokratisasi

ini sejak dini telah mendapati dirinya

berhadapan dengan ancaman yang

serius, berupa konflik etnis dan agama

(Sukma, 2005 : 1). Bisa dikatakan, pada

saat yang masih sangat dini pasca-

Reformasi, kekuatan demokratik telah

menemukan dirinya bukanlah kekuatan

dominan dalam peta politik Indonesia

baru (Hefner, 2005).

9 Lihat UU No.15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Page 8: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

295

Situasi politik Indonesia pasca-

Reformasi tidak hanya dipenuhi dengan

persaingan antara kelompok pro-

demokrasi dengan sisa-sisa kekuatan

politik rejim Orde Baru, tapi juga antara

kelompok pro-demokrasi dengan

kekuatan-kekuatan keagamaan dan etnis

yang ingin mengambil untung dari situasi

yang ada. Tidak ada yang menduga,

bahwa chaos politik yang diakibatkan

Reformasi melahirkan banyak kekerasan

dengan jargon agama. Jika kekerasan

komunal yang dipantik oleh sentimen

agama dan etnis ini tidak bisa

dipecahkan, tidak menutup

kemungkinan, bahwa transisi demokrasi

akan mengarah kepada otoritarianisme

baru. Tuntutan implementasi syariat

Islam oleh kelangan Islamis, misalnya,

adalah suara lantang yang ingin

menguasai ruang publik, dengan

memanfaatkan nalar dan instrumen

demokrasi yang baru seumur jagung ini,

yang potensial untuk membalik arah

demokrasi yang sedang dibangun.

Misalnya, pada Agustus 2000, ribuan

umat Islam datang ke Yogyakarta

menghadiri Kongres Mujahidin untuk

membentuk MMI (Majelis Mujahidin

Indonesia). Dalam pidato sambutannya,

Abu Bakar Ba’asyir, tokoh sentral

gerakan ini, mengatakan bahwa hanya

ada dua pilihan bagi umat Islam dalam

rangka menegakkan syariat Islam di

Indonesia: terlaksananya syariat Islam

atau “kami akan mati sebagai sebagai

seorang mujahid (Ba’asyir, 2001 : 139).”

Demokrasi juga dianggap sebagai

halangan bagi pelaksanaan syariat Islam.

Sebagaimana tercatat dalam

rekomendasi Kongres Mujahidin,

”Menolak demokrasi, republik, sistem

dan bentuk pemerintahan yang

merupakan produk doktrin kaum kafir,

dan menyerukan kaum Muslim untuk

menghidupkan kembali sistem

pemerintahan syura dan bentuk negara

khilafah (Awwas, 2001 : 158).” Lebih dari

itu, jika selama ini Indonesia bangga

sebagai pemeluk Islam terbesar di dunia

dan menjadi kiblat dari kehidupan

keislaman yang moderat, maka pasca-

reformasi, radikalisme menjadi salah

satu wajah Islam Indonesia. Bahkan,

Indonesia telah menjadi bagian dari

jaringan terorisme internasional. Sejak

tahun 2000, berbagai bom meledak di

beberapa wilayah Indonesia. Bom Bali

2002 yang membunuh ratusan orang,

dan bom Mariot Jakarta 2003 yang

membunuh belasan orang, semakin

meyakinkan kesan, bahwa Indonesia

telah masuk ke dalam front peperangan

jaringan teroris internasional. Dari tahun

2008 sampai 2013, setidaknya ada lima

kali kejadian bom bunuh diri yang

Page 9: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

296

dilakukan oleh orang-orang dari

kelompok Muslim radikal (Hefner, 2005 :

274). Ketika pada pertengahan tahun

2014 dunia dibuat shock dengan

berdirinya ISIS (Islamic State on Iraq and

Siria), Indonesia yang telah menjadi

bagian dari jaringan terorisme global

juga mau tidak mau mendapat imbas dari

fenomena ini.

Banyak Muslim Indonesia yang

terang-terangan mendukung ISIS,

bahkan terlibat dalam peperangan ISIS di

Siria. Sebuah studi yang hendak

mengukur efektifitas (dan kemungkinan

kegagalan) gerakan demokrasi di

Indonesia pasca-reformasi menyebutkan

bahwa di negara plural seperti Indonesia,

di mana sebagian besar persaingan

politik didasari oleh sentiment etnis dan

agama, maka luas partisipasi

yangdibangun oleh satu kekuatan politik

sangat potensial mengarah pada

penciptaan pemerintahan

terdesentralisasi yang nondemokratis.

Ini bisa menjadi sisi gelap Reformasi

politik Indonesia, di mana proses transisi

tidak mengarah kepada terlembaganya

demokrasi secara kokoh. Akan tetapi,

tetap harus dipertimbangan keberadaan

aktor-aktor prodemokrasi yang memiliki

komitmen untuk tetap mencari alternatif,

bahkan ketika jalan politik tampak

buntu. Bahkan ketika konsosiasionalisme

dipraktikkan, para aktor demokrasi tetap

memiliki keinginan untuk melampaui

golongan etnis dan agama dengan cara

menahan gelombang dan

mempromosikan bentuk-bentuk lain

organisasi sosial politik (Prasetyo,

Priyono & Torrnquist, 2003 : xii-xiii).

Lamongan dan Terorisme

Indonesia sebagai salah satu

negara yang dihuni oleh penduduk

dengan mayoritas beragama Islam,

menjadi sasaran sempurna dalam

diskursus tindakan terorisme ini.

Wacana tentang banyaknya jaringan dan

gerakan Islam fundamental yang tumbuh

dan berkembang di Indonesia menjadi

salah satu indikator tersendiri dari

tuduhan-tuduhan tersebut. Sikap dan

tuduhan yang ditujukan kepada para

penganut agama Islam ini sendiri bukan

tanpa preseden.

Aksi terorisme berdalih agama

adalah yang paling banyak terjadi di

Indonesia dalam kurun satu setengah

dekade terakhir. Tercatat kejadian mulai

dari pengeboman yang terjadi di

kedutaan besar Filipina di Jakarta pada 1

Agustus tahun 2000, Bom Bali I yang

meledak di Paddy‟s club pada 12

Oktober 2002 yang menyebabkan 202

jiwa melayang yang mayoritas

berkewarganegaraan Australia. Aksi

teror ini juga diikuti dengan teror-teror

Page 10: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

297

lainnya di tahun-tahun berikutnya, baik

di Ibukota Jakarta seperti di Kedutaan

besar Australia pada 9 September 2004,

Hotel JW Marriot dan Ritz Charlton 17

Juli 2009, ataupun di daerah lainnya

seperti Gereja Immanuel di Palu,

Sulawesi Tengah pada 12 Desember

2004 dan Nyoman Kafe di Jimbaran Bali

pada 1 Oktober 2005. Semua jejak rekam

kasus pengeboman yang pernah terjadi

di Indonesia tersebut menjadikan

terorisme ini menjadi satu diskursus

yang hangat di Indonesia, sekaligus

menjadi stereotype bahwa Indonesia

sebagai salah satu negara yang menjadi

sarang perkembangan dan aksi

terorisme (Akaha AZ 2002:43-49).

John Horgan menyatakan bahwa

terjadi perubahan seorang atau

sekelompok teroris dari orientasi

kekerasan menuju non kekerasan karena

transisi politik. Pada tahap berbeda

mereka bisa kembali menjadi lebih

radikal pada saat munculnya pulling

factor solidaritas global atas adanya

diskriminasi atau sebaliknya kekuatan

kelompok transnasional dunia yang

menguatkan ide, gagasan dan gerakan

teroris di wilayah lain (Horgan, 2008).

Radikalisme dan ektrimisme terjadi pada

semua agama dan kelompok nasionalis.

Gerakan teroris berkembang melalui

peran aktor-aktor intelektual yang

memberi landasan pemikiran strategis

dan taktis dalam pergerakan teroris.

Beberapa peristiwa pengeboman dan

serangan terorisme di Indonesia

dilakukan atas stimulasi dan pengaruh

guidance dari para komandan teroris

baik dilakukan secara tertutup melalui

pengajian maupun terbuka melalui

penerbitan, publikasi dan tulisan pendek

di media online, blogging dan sosial

media.

Penyerangan Thamrin Jakarta

pada Januari 2016 adalah diantara aksi

yang mendapat pengaruh kuat dari

posting tulisan dari para komandan para

pelaku. Adalah Bahrun Naim dan Aman

Abdurrahman, dua tokoh ISIS Indonesia

yang memengaruhi para pelaku dalam

menjalankan aksi terorismenya. Para

pelaku terpengaruh pada pemikiran

Jihad, dan menjalankan instruksi yang

dipublikasikan melalui media online dan

media sosial. Pemikiran elit jihadis dan

teroris berpengaruh kuat atas

perkembangan dan pergerakan teroris.

Kontra narasi dilakukan oleh pemerintah

dan masyarakat sipil untuk

membendung derasnya arus informasi

radikal yang secara progresif dilakukan

oleh ISIS. Pada tahap lebih kuat dan

mengakar Jama’ah Islamiyah (JI) dan

kelompok yang berafiliasi dengan Al-

Qaidah telah melakukan pengaruh

Page 11: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

298

intelektual dan pemikiran ideologi

jihadis melalui lembaga pendidikan,

publikasi dan media yang lebih lama

mereka kembangkan.

Sekitar tiga puluh sekolah yang

berafiliasi dengan JI yang tersebar di

Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,

Jabodetabek, dan Indonesia Timur

menjadi breeding grown efektif yang

melahirkan generasi penerus jihadis

(Magouirk dan Atran, 2008). Diantara

mereka kemudian berafiliasi dengan ISIS,

bahkan telah menjadi pelaku bom bunuh

diri di Suriah. Wildan Mukhollad (lahir 6

Januari 1995) adalah salah satu mantan

siswa di Pesantren Al-Islam Lamongan

yang mendaftarkan sebagai sukarelawan

bom bunuh diri ISIS di Suriah dan Irak.

Wildan dipaksa orang tuanya untuk

pindah dari Al-Islam Lamongan ke Al

Azhar Mesir sekitar 2011 dengan tujuan

untuk mengurangi ideologi jihadis yang

dipelajari oleh Wildan di Pesantren Al-

Islam, tetapi Wildan menunjukkan

respon lebih keras (Asad, 2014). Ketika

ke Mesir, Wildan memiliki pemikiran dan

peran lebih radikal dengan meninggalkan

bangku sekolah dan bergabung dalam

medan perang di Suriah melawan rejim

Bashar Al-Asad. Pada pertengahan 2012

Wildan berangkat ke Aleppo bergabung

dengan kelompok jihadis. Ketika Al-

Baghdadi mendeklarasikan diri menjadi

Khalifah, Wildan termasuk diantara yang

bergabung. Pada awal Februari 2014

menyeberang ke Irak untuk menjadi

pelaku bom bunuh diri ISIS. Di Irak,

Wildan dikenal dengan nama Abu Bakar

Al-Muhajir Al-Wildan Mukhollad bin

Lasmin (Damanik, 2014).

Dari Intoleran dan Radikalisme

hingga menjadi Terorisme

Nilai Budaya dan Praktik Sosial

Di lapisan dasar, nilai budaya dan

praktik sosial berperan dalam

menghasilkan kecenderungan

toleran/intoleran dan radikal. Praktik

toleransi/intoleransi dan radikalisme

terkait dengan nilai dan praktik sosial

yang ada di masyarakat. Apa yang

diyakini oleh individu-individu di

masyarakat dapat dipahami sebagai

representasi sosial, sebagai ide dan

keyakinan yang ada di masyarakat, yang

diinternalisasi oleh individu.

Representasi sosial adalah sekumpulan

nilai, ide, metafora, keyakinan, dan

praktik yang dibagi bersama di antara

anggota kelompok dan komunitas

(Moscovici, 1973).

Representasi sosial itu

memungkinkan orang-orang dalam satu

kelompok atau komunitas berbicara satu

sama lain dan bertindak bersama serta

saling berinteraksi. Itu menjadi

seperangkat pengertian bersama dan

Page 12: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

299

memandu praktik sosial. Sistem nilai, ide

dan praktik itu memiliki dua fungsi.

Pertama, menegakkan keteraturan yang

akan memampukan individu

mengorientasikan dirinya dalam dunia

material dan sosial, serta

memampukannya melakukan

penyesuaian diri dan penanganan

lingkungan. Kedua, memungkinkan

komunikasi mengenai beragam aspek

dunia, individu dan kelompok

berlangsung di antara anggota komunitas

dengan menyediakan bagi peserta

komunikasi kode untuk pertukaran

sosial, penamaan dan klasifikasi secara

jelas. Makna dikreasi melalui sistem

negosiasi sosial ketimbang hal yang

sudah ajek dan terdefinisikan.

Penafsirannya mensyaratkan pengertian

atas aspek tambahan dari lingkungan

sosial.

Kondisi Perekonomian

Di lapisan berikutnya, kondisi

perekonomian berperan dalam

menghasilkan kecenderungan

toleran/intoleran dan radikal. Kondisi

perekonomian yang meleluasakan warga

mengambil peranan dan memperoleh

sumber daya memadai atau relatif

merata, disertai ketimpangan ekonomi

relatif rendah, mencegah timbulnya

kecenderungan intoleransi dan

radikalisme.

Keragaman Sumber Norma

Di lapisan berikutnya ditemukan

faktor keragaman sumber norma ikut

berperan dalam kecenderungan

tolerasnsi/intoleransi dan radikalisme.

Masyarakat yang hanya berpegang pada

satu atau sedikit sumber norma

menampilkan kecenderungan intoleran

yang lebih tinggi, dari pada masyarakat

yang mengandalkan banyak sumber

norma. Namun perlu ditegaskan pula,

beragam sumber norma itu harus

memiliki hubungan positif atau

kesesuaian antara satu dan lainnya, jika

tidak maka bisa terjadi kebingungan

pada warganya, untuk mengikuti norma

yang mana dalam kehidupannya sehari-

hari.

Pengaruh Tokoh Signifikan

Di lapisan berikutnya, faktor

pengaruh tokoh yang signifikan dan

dianggap penting oleh warga turut

berperan terhadap kecenderungan

toleran/intoleran dan radikalisme.

Kehadiran dan Keberfungsian Negara

Di lapisan paling atas, kehadiran

dan keberfungsian negara berperan

sebagai faktor penting dalam

kecenderungan toleran/intoleran dan

radikalisme. Di Kabupaten Lamongan

yang diteliti ditemukan peran kehadiran

dan keberfungsian negara dalam gejala

toleran/intoleansi dan radikalisme.

Page 13: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

300

Peran negara yang diwakili pemerintah

daerah dapat meningkatkan atau

menurunkan gejala intoleransi dan

radikalisme. Jika negara hadir dan

menjalankan fungsi-fungsi yang efektif

dan menjaga toleransi, maka

kcederungan toleran pada warga akan

lebih besar. Peran negara yang dimaksud

di sini adalah berikap netral dan tegas,

bekerja sesuai payung hokum yang tidak

diskriminatif, antisipatif dengan

menyiapkan semacam sistem peringatan

dini (Early Warning System) kepada

warga, untuk menghindar dari

kecenderungan intoleran dan radikal,

serta mampu memediasi dan koordinasi.

Gejala toleransi/intoleransi dan

radikalisme disebabkan oleh lebih dari

satu faktor yang secara bersama-sama

bekerja. Dalam pencermatan terhadap

empat kota yang diteliti, semua faktor itu

bekerja bersama-sama dalam porsi

tertentu dalam menghasilkan

kecenderungan tolerans/intoleransi dan

radikalisme. Skema berikut ini

meringkas faktor-faktor yang sudah

dipaparkan di atas.

Intoleran didefinisikan sebagai

ketidaksediaan atau ketidakmauan untuk

memberikan hak pada orang atau

kelompok yang berbeda, baik berbeda

dalam keyakinan, ideologi, status sosial,

maupun etnik. Sedangkan radikalisme

adalah keyakinan seseorang yang begitu

tinggi terhadap satu faham atau nilai,

yang membuat ia menutup kemungkinan

benar faham-faham lain, disertai dengan

pandangan bahwa yang lain salah,

sehingga layak diabaikan, dihilangkan

atau dihukum. Radikalisme juga

dipahami sebagai intoleransi dalam

bentuk ekstrem, disertai dengan

kecenderungan untuk menggunakan

kekerasan, yang ditujukan kepada orang

atau kelompok yang berbeda faham.

Berdasarkan pengertian-pengertian ini,

dan hasil studi di Kabupaten Lamongan

yang diteliti, dibangun satu model

penjelasan mengenai

toleransi/intoleransi, radikalisme hingga

terorisme.

Model ini menjelaskan hubungan

antara perbedaan keyakinan dan

toleransi/ intoleransi yang dimediasi

oleh kepentingan ekonomi. Perbedaan

keyakinan mempengaruhi

toleransi/intoleransi bermuatan

kepentingan ekonomi (termasuk juga

kepentingan politik yang bertujuan

memperoleh sumber daya ekonomi).

Perbedaan keyakinan atau etnik saja

tidak signifikan pengaruhnya terhadap

toleransi/ intoleransi. Dalam berbagai

kasus intoleransi selalu ada peran faktor

ekonomi di dalamnya, yang

menghubungkan perbedaan keyakinan

Page 14: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

301

atau etnik dengan intoleransi. Hubungan

ini dimoderasi oleh kehadiran negara.

Tingkat kehadiran negara yang tinggi

memperkuat hubungan antara

perbedaan dan toleransi, serta

memperkuat hubungan antara

perbedaan dan kepentingan ekonomi.

Nilai budaya dan praktik sosial berperan

sebagai moderator dalam hubungan

antara kepenting ekonomi dan

toleransi/intoleransi, serta hubungan

antara perbedaan dan

toleransi/intoleransi. Seberapa kuat

perbedaan menghasilkan kecenderungan

toleransi/intoleransi ikut dipengaruhi

oleh nilai budaya dan praktik sosial.

Begitu juga seberapa kuat ketimpangan

ekonomi mempengaruhi

toleransi/intoleransi dipengaruhi oleh

oleh nilai budaya dan praktik sosial.

Radikalisme merupakan hasil pengaruh

dari intoleransi. Semakin intoleran

seseorang, semakin besar

kemungkinannya untuk menjadi radikal.

Tidak semua orang yang intoleran adalah

orang yang radikal, tetapi semua orang

yang radikal, dalam pengertian

menggunakan kekerasan untuk

menghadapi orang atau kelompok yang

berbeda, adalah orang yang intoleran.

Kesimpulan

Hasil kajian di Kabupaten

Lamongan ini memberikan pemahaman

mengenai faktor apa saja yang secara

signifikan mempengaruhi perspektif dan

perilaku warga terkait perilaku

intoleransi, radikalisme dan terorisme.

Faktor yang berperan itu mencakup

demografi, latar belakang budaya dan

politik, affiliasi dan asosiasi, kebijakan,

Nilai, Ideologi, makna agama, akses

terhadap media sosial. Hubungan antara

faktor-faktor toleransi/intoleransi dan

radikalisme dapat dilihat berdasarkan

letak faktor-faktor itu dalam lapisan

sosial, mulai dari nilai yang tercakup

dalam budaya hingga faktor struktural,

yang mencakup kebijakan dan

keberfungsian negara.

Di lapisan dasar, nilai budaya dan

praktik sosial berperan dalam

menghasilkan kecenderungan

toleran/intoleran dan radikal. Di lapisan

berikutnya, kondisi perekonomian

berperan dalam menghasilkan

kecenderungan toleran/intoleran dan

radikal. Lalu, faktor keragaman sumber

norma ikut berperan dalam

kecenderungan toleransi/intoleransi dan

radikalisme ada di lapisan berikutnya. Di

lapisan berikutnya lagi, faktor pengaruh

tokoh yang signifikan dan dianggap

penting oleh warga turut berperan

terhadap kecenderungan

tolern/intoleran dan radikalisme. Di

lapisan paling atas, kehadiran dan

Page 15: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

302

keberfungsian Negara berperan sebagai

faktor penting dalam kecenderungan

toleran/intoleran dan radikalisme.

Perbedaan keyakinan

mempengaruhi toleransi/intoleransi

bermuatan kepentingan ekonomi

(termasuk juga kepentingan politik, yang

bertujuan memperoleh sumber daya

ekonomi). Perbedaan keyakinan atau

etnik saja tidak signifikan pengaruhnya

terhadap toleransi/intoleransi. Nilai

budaya dan praktik sosial berperan

sebagai moderator dalam hubungan

antara kepenting ekonomi dan

toleransi/intoleransi, serta hubungan

antara perbedaan dan

toleransi/intoleransi. Radikalisme

merupakan hasil pengaruh dari

intoleransi. Semakin intoleran seseorang,

semakin besar kemungkinannya untuk

menjadi radikal. Gejala

toleransi/intoleransi dan radikalisme

memiliki lebih dari satu sebab

(multicausal). Seperti gejala sosial pada

umumnya, tidak ada penyebab tunggal

dari toleransi/intoleransi. Meskipun

demikian, berdasarkan model yang

dihasilkan studi ini, ada faktor yang

dapat dikenali sebagai faktor yang

mendahului yang lain.

Daftar Pustaka

Azca, Muhammad Najib. 2013. Yang

Muda, Yang Radikal: Refleksi

Sosiologis Terhadap Fenomena

Radikalisme Kaum Muda Muslim di

Indonesia Pasca Orde Baru‖ Jurnal

Maarif, Vol. 8, No. 1 (Juli 2013):

14-41.

Cavatorta, Francesco. 2005. The ‗War on

Terrorism‘—Perspectives from

Radical Islamic Groups. Journal of

Irish Studies in International

Affairs, Vol. 16 (2005). Diakses

dari

http://doras.dcu.ie/488/1/isia_1

6_April_2017.pdf

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1995. Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Ed.II; Jakarta:

Balai Pustaka.

Fadjar, Abdullah dkk, 2007. Laporan

Penelitian Islam Kampus.

Jakarta:Ditjen Dikti Depdiknas.

Kushner, Harvey W. 2003. Encyclopedia

of Terrorism, London : Sage

Publication.

Marsh, David dan Gerry Stoker. 2002.

Theory and Methods in Politial

Science. Hampshire: Palgrave

Macmilla.

Moleong, Lexy J. 2004 . Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Page 16: Pemicu Tindakan Terorisme di Kabupaten Lamongan

I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I I

Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan Vol 11 No 3 (2019) : Desember 2019

303

Peninjauan kembali Pendidikan Agama

Islam. Dalam www.swatt-

online.com/2017/04/lakip-

pemerintah-harus-tinjaukembali-

pendidikan-agama-islam / di

akses 10/04/2017 20:30 WIB

Rubaidi, A. 2010. Radikalisme Islam,

Nahdlatul Ulama; Masa Depan

Moderatisme Islam di Indonesia.

Yogykarta: Logung Pustaka.

Terorisme di Indonesia, 2017.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ter

orisme_di_Indonesia, diakses

20/04/2017, 20:39 WIB

U.S. Department of Justice, Hate Crime:

The Violence of Intolerance,

http://www. usdoj.

gov/crs/pubs/htecrm.htm,

diakses pada 1 Mei 2017, 22:04

WIB