Upload
vandan
View
250
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Penantian di Ujung Stasiun Kota Tua
Setiap kali gue mendengar lirik lagu ‘My Heart Will Go On” gue selalu teringat
tentang film Titanic. Dan setiap kali, gue berfikir tentang film Titanic, gue selalu teringat
kisah perjalanan dua sejoli antara Jack dan Rose Dowsen. Sepasang kekasih yang berlatar
belakang antara kelas bangsawan dengan masyarakat biasa. Semesta telah
mempertemukan mereka dengan ajaib, di tengah dinginnya gelanggang kapal yang
berlayar, melintasi hamparan samudera. Rose yang mencoba mengakhiri hidupnya untuk
menceburkan dirinya ke laut, tapi.., upaya bunuh diri itu gagal. Hingga akhirnya dibujuk
oleh seorang cowok tampan bernama Jack. Lewat bujukan manisnya, Rose akhirnya
sadar bawa bunuh diri, bukan cara terbaik lepas dari masalah.
Pada suatu malam yang dingin, di atas sebuah kapal pesiar yang megah, mereka
akhirnya sepakat untuk menghapus garis ‘aku’ dan ‘kamu’ menjadi kita. Namun sayang,
alam semesta berkehendak lain. Hal buruk menjelma menjadi bencana, kapal pesiar itu
tenggelam setelah menghantam gunung es. Pada sebuah samudera yang dingin, Jack
dan Rose mencoba bertahan hidup di tengah suhu dingin yang maha ekstrim. Namun
takdir telah digariskan. Jack akhirnya meregang nyawa, sambil memegang tangan
kekasihnya, yang mengambang di atas sepotong pintu.
Seperti itu kira-kira apa yang terjadi dua tahun yang lalu. Waktu itu tepat jam tiga
sore, menjelang senja tiba. Saat masih aktif bekerja di salah satu industri per-bank-kan
swasta terbesar di Indonesia. Pada suatu sore, baru saja gue keluar dari kantor.
Mendadak gue terhenyak hebat dari tempat duduk, dan berjalan tergopoh-gopoh,
setelah mendengar telfon dari Dine di seberang sana. Bahwa, sebagian dari keluarga
kecilnya, kakek dan neneknya tidak merestui hubungan kita yang sudah terjalin genap
dua tahun.
“Masak sama anak itu, saudaranya kan banyak Din, ada tujuh orang. Nanti
masak pas kawinan, kesini mau naik becak. Hem, malu-maluin keluarga kita aja
nanti,” katanya, sambil menirukan omongan kakeknya.
Ya Tuhan.., seketika seisi dada gue terasa sesak menerima kabar yang tentu di
luar kelaziman. Dada gue seperti tersulut api, sambil ngempet emosi gue
membalas pesan itu. “Sampaikan ini ke kakekmu, iya gak apa-apa Hun. Aku
masih kuat menjalani hubungan kayak gini,” balas gue, trenyuh.
Lalu di seberang sana, terdengar isakan kecil. Hanya membutuhkan beberapa detik,
sesekali tarikan napasnya sesunggukan. Gue pun ndak sanggup untuk mendengar
suaranya. Telfonnya segera gue matikan. Klik. Sepanjang jalan, seusai pulang kerja, air
mata gue lepas berjatuhan seperti hujan di musim kemarau. Bulir demi bulir yang
berjatuhan, merembet membasahi pelupuk mata. Ada satu hal terjadi, hati sudah
terlanjur terluka. Gue menyadari, sebagai manusia yang punya hati, pedihnya seperti
kehilangan harapan. Padahal baru sebatas mendapat penolakan terkecil dari anggota
keluarganya.
Penolakan ini seakan-akan memberi isyarat panjang, hari-hari berikutnya bisa di
ramalkan bakalan penuh dengan jalanan yang terjal. Gue tahu, hubungan ini memang
disekat oleh jarak bernama status sosial. Masing-masing dari kita pun paham banget,
hubungan ini bakalan nggak lempeng. Kita memang komitmen, apa pun batu sandungan
di depan. Kita akan tetap berdiri bersama. Beriringan dan bergandengan tangan. Hati
yang semula tampak lebih kuat, dan tegar, berubah menjadi remuk, pecah
berkeping-keping mendengar hinaan maha kejam.
Tapi kita tetap hebat. Tidak peduli, hal remeh-temeh menghampiri. Ujian boleh datang
tanpa mengentuk pintu, tapi kita tetap bergandengan tangan, menyuruhnya pergi.
Memang, Dine terlahir dari keluarga singgasana. Bapaknya seorang pejabat teras utama
abdi negara, kepala sekolah. Bisnis orang tuanya, tersebar di segala tempat. Mulai dari
bisnis yang menawarkan jasa, seperti kepemilikan Hotel, sampai bisnis transportasi lain
jasa angkut material menggunakan Truk.
Pernak-pernik simbol-simbol sosial pun, seakan melekat dalam singgasananya.
Rumahnya mirip keraton konglomerat. Di halaman depan, penuh dengan mobil mewah
dengan konsep: satu orang, satu mobil. Mewah. Bapaknya bergelar Sarjana Magister.
Sedangkan ibuknya, baru-bari ini, menempati posisi baru jabatan publik: anggota dewan
perwakilan rakyat tingkat daerah.
Sementara jika mengacu pada kasta sosial. Pekerjaan seorang pedagang di kampung
halaman seperti keluarga kami, nyaris di samakan dengan petani. Iyah, tak ubahnya
dengan masyarakat biasa. Jadi, memang masih ada pandangan: kalangan abdi negara
masih di segani di kampung halaman. Sedangkan orang tua gue, memilih hidup
sederhana, dengan hanya menjalankan usaha rumahan, jagal hewan ternak: sapi dan
kambing. Latar belakang keluarga yang sangat berbeda, sebenarnya bukan penghalang
untuk terus bersama.
Ini bukan zamannya lagi Jack dan Rose Dowsen.
Meski pun ibuk sering, mewanti-wanti ke gue dan pacar, sewaktu kita berada di
ruang tamu rumah, “Dine, ibuknya Mas Boedi kerjanya di pasar lo, beda dengan
kerjaan bapak sama ibukmu,” kata ibuk, “Gak mewah banget,’ ibu masih berkata
dengan polosnya.
Tanpa berfikir panjang, gue pun membalasnya.
“Duh, ngomong apa sih, Buk,” balas gue, sewot. “Nggak usah di pikirin deh buk.
Pokoknya ibuk yang penting doain aku aja, biar aku nanti setelah lulus punya
pekerjaan enak!,” balas gue.
“Bener Buk, apa kata Mas Boedi, lagian kita nggak perlu membeda-bedakan,
wong kita itu semua sama kok. Iya kan, Mas?” saut pacar, sambil memegang
bantal yang ada di kursi sofa.
Dalam satu tarikkan napas. Ibuk menjawab. “Iya, sih Le (nama panggilan anak
laki-laki untuk orang jawa), nggak ada yang perlu di pikirin, asal kamu punya
pekerjaan enak, laki-laki kan di lihat dari tanggung jawabnya,” kata ibuk. “Kalo
ibumu ini sih, asal kalian berdua bahagia, ya bakal ibuk dukung,”
Lalu kita manggut-manggut, setuju.
Sudah ke sekian kalinya pacar main ke rumah, sehabis kita janjian untuk pulang
bareng-bareng. Saat gue pulang, pacar juga ikutan pulang. Sewaktu pacar main ke rumah,
itu pun harus mengelabuhi orang tuanya. Menunggu kesempatan datang di waktu yang
pas. Kedua orang tuanya yang kerja kantoran dari pagi sampai sore, siangnya di manfaat
kan pacar, untuk main ke rumah. Pacar sudah sangat akrab, dengan keluarga gue,
sampai-sampai kalo main ke rumah, ibuk pun mengajaknya untuk makan bareng-bareng.
Hubungan kita sebenarnya kayak main kucing-kucingan. Ketemuan di luar rumah pun,
sangat jarang kita laku kan. Sebab, orang tuanya sangat ketat memberika izin ke luar
rumah untuk anak bungsunya. Kadang pada waktu sore, kita bertemu di sela-sela jam
kosong sehabis pacar ngecek jumlah tamu yang menginap di hotelnya. Gue bingung,
sampai saat ini pun, ketika hubungan kita berjalan lebih dari satu tahun, gue belum
pernah main ke rumahnya, plus ngobrol dengan bapak-ibuknya.
Mentok-mentok, gue nyamperin pacar cuma di depan rumahnya sewaktu gue
mengambil obat promag, saat besok harinya gue harus balik ke Surabaya.
Gue dan Dine, memang berasal dari kampung halaman yang sama. Dan kebetulan
budaya kuno tentang sudut pandang orang kaya, berstempel abdi negara (baca: PNS)
masih di anggap kelas bangsawan. Profesi abdi negara, di kampung halaman gue,
menempati pamor pekerjaan paling bergengsi. Entahlah, dari mana datangnya sudut
pandang yang belum bisa diketahui asal-usulnya ini. Yang jelas, tidak ada alasan yang
bisa membantah, dua anak manusia saling mencintai untuk terus bersama.
Memang rencana kita dulu, selepas Dine di terima kuliah di kampus UM Malang. Gue
bakalan di perkenalkan dengan ke dua orang tuanya secara langsung. Lewat saluran
telfon, dia resmi berjanji dengan gue, saat usia kuliahnya sudah masuk tiga bulan, gue,
boleh main ke rumahnya. Tapi.., ehm.., belakangan rencana itu mundur. Terus mundur ke
belakang dan akhirnya janji itu lenyap di telan waktu. Pada pertengahan tahun 2013,
ketika Dine sedang asyik liburan dalam rangka week and, janji itu bertemu dengan
faktanya. Pada suatu malam, gue mendengar kabar suram darinya. Dalam ceritanya,
baru saja dia di nasehati secara serius di ruang keluarga, oleh orang tuanya.
Malam itu, selarik pesan itu terkirim melalui live report pesan pendek, yang gue terima
bertubi-tubi. Gue geleng-geleng kepala, seakan tidak percaya dengan kabar baru ini.
Astaga..., begitu gue baca dengan teliti sampai selesai, mata gue berembun. Lalu hati
menciut seperti kehilangan sebuah harapan. Gue kembali membaca pesan itu, seakan
masih tak percaya. Bait demi bait.
“Mas, barusan aku di ajak bapak duduk di ruang keluarga loh. Bapak tahu kalo
pacarku itu kamu mas, bapak juga ngerti orang tuamu itu siapa.’
Beberapa detik kemudian pesan berikutnya menyusul.
“Mas, sama bapak, aku di suruh, nyari pacar yang lebih tua dari aku, dan yang
lebih mapan dari mas, itu artinya secara ndak langsung bapak ndak setuju
dengan hubungan kita, mas.” pesannya ini di akhiri dengan emotikon nangis.
Gue stres. Kabar ini seperti mematikan harapan. Gue meletak kan henfon ke samping
bantal. Dalam ke adaan seperti ini, hati manusia mana yang kuat menahan siksaan maha
pedih. Mata gue sembab menatap langit-langit. Seraya meminta petunjuk dengan sang
pemberi kehidupan. Entah apa yang bisa gue laku kan sekarang. Semuanya menjadi
gelap-gulita. Sama seperti seorang pejalan kaki pada sebuah lorong, lalu kemudian
ujungnya menghilang seketika.
Henfon terus berdering dan begetar, pacar telfon berkali-kali, mengisyaratkan gue untuk
segera membalas pesan pendeknya. Tapi, gue hanya bisa terbaring lemas dan meringkuk,
bersama keputus asa’an yang datang. Lalu tiba-tiba, pesan pendek datang lagi darinya.
“Jangan sedih Mas, kamu harus berjuang. Ini demi aku. Demi hubungan kita. Mas
harus bisa jadi orang hebat. Terus jemput aku dengan seperangkat alat Sholat
dan ngebawa bapak-bapak KUA datang ke rumah.”
Semangat gue naik.
Membaca pesan pendek berbunyi “Seperangkat alat sholat” dan “Bapak-Bapak KUA”
pengen sekali gue untuk segera menafkahinya. Tapi sayang, waktu belum berada pada
situasi yang pas. Ada sebuah pameo, sejak zaman batu, pasangan yang hebat adalah
mereka yang bisa sama-sama saling menguatkan di saat badai menerjang. Dan kali ini,
gue merasakan hal itu. Di saat kaki gue lelah, Dine berusaha menopang badan gue
supaya tetap tegak berdiri. Sama seperti pesan pada bait lagunya Sheila On 7 -- saat kaki
telah lelah, kita saling menopang.
Ujian memang datang silih beganti, menghampiri tanpa ngasih kabar. Dan kita, tetap
tangguh bergandengan tangan. Tetap saling menguatkan satu sama lain. Dari pelajaran
ini, masing-masing dari kita pun akhirnya paham, akan kekurangan yang kita miliki.
Sementara gue seperti di takdirkan untuk menjadi seorang laki-laki yang rapuh. Dan Dine,
hadir melengkapi sebagai pacar yang tangguh. Yang selalu memberi dorongan semangat
ke gue.
“Aku gak sedih kok, dedek. Cuma terharu, habis baca SMS-mu, kita bakal
bersama-sama terus kok.” balas gue.
Kemudian dia mengirimkan emotikon cium jauh. (*_*).
Adem.
***
Long Distance Relationhsip kita sebenarnya masuk dalam kasta terendah dibandingkan
para pelaku long distance relationship yang lain. Gue di Surabaya, dan Dine di Malang.
Kita sebenarnya dipisahkan waktu sekitaran dua jaman. Hitung-hitungan dua jam, bisa di
tempuh menggunakan kereta api, berangkat dari Stasiun Gubeng. Sampai di stasiun kota
Malang, nggak lebih dari jam sembilan pagi. Kalo berangkat dengan naik Ojek, dengan
kecepatan yang sama seperti kereta api, gue yakin mas-mas tukang ojeknya gak bakalan
ada yang mau.
Lazimnya para pelaku long distance relationship yang lain, semua jejaring sosial media
pun kami gunakan. Faktor jarang ketemu, kadang di time-line kita sering mesra-mesraan.
Mulai dari hal sepele, semisal ngucapin selamat pagi lewat mention-an twitter, sampai
kadang kelewat batas dengan memanggil sebutan sayang di lini masa, lengkap dengan
emotikan: gambar berpelukan. Sampai yang paling parah, di bio akun twitter kami,
memasang keterangan: sayang akun @notedcupu. Dan sebaliknya. Jika gue pikir-pikir
sekarang, betapa menggelikannya apa yang kita lakukan dulu.
Kita juga sering melakukan komunikasi lewat skype. Saat jam dinding sudah di atas,
pukul tujuh malam, kami segera saling pandang di depan layar telfon genggamnya
masing-masing. Setelah berhasil melalui pergulatan yang panjang, di antara pilihan paket
anak gaul, muka gue berubah menjadi kayak boneka abstrak. Dan muka dia yang cubi
segede bakpao kukus, jadi mirip kayak guling kelebihan spon. Nggak betah dengan
jaringan yang lemot. Akhirnya pelampiasan untuk melepas rasa kangen, kita tumpahkan
lewat telfon sampai kita sama-sama tertidur pulas.
Kebiasaaan itu terus berulang, setiap hari, sepanjang malam. Sampai gue hapal banget,
suara dengkuran ngoroknya yang super halus, mendekati bunyi klakson metro mini yang
kehabisan bahan bakar. Bahkan, sifat manjanya sebagai anak bungsu, bisa gue deteksi
sewaktu dia rewel pada saat gue mematikan telfon setelah dia terlelap tidur. Klik. Tapi
kadang meski pun sudah pules, pendengarannya masih peka banget, hingga dia
terbangun. Kemudian dia balik telfon gue, lalu bilang.
“Mas, kok di matiin.., sih. Pokoknya temenin aku sampek pagi. Titik!” katanya
manja, dari balik seberang telfon.
Kalo sudah merasa terancam, biasanya gue bakalan nurut. “Kepencet tadi,
makannya telfonnya mati, Dek.” kata gue, ngeles. “Wes, tidur sana lagi.
Selimutnya di pakek ya.” lanjut gue.
“Emoh.., selimutiiiiiiiiin.” balasnya, lagi-lagi manja banget.
“Iya, sini-sini,” lalu kemudian dia tertidur pulas, sampai telinga gue kepanasan
mendengar dengkuran suaranya
Dan kami menembus cakrawala malam yang tenang.
Nggak sebatas di telfon saja, untuk ngobatin kangen. Pelaku long distance relationship
juga butuh bersentuhan secara fisik. Memang secara hakiki, meski pun raga kita berbeda
tempat, tapi pikiran kita saling bertemu. Yang paling simpel, kadang di kepala gue
muncul pertanyaan: dia disana lagi ngapain ya, sudah makan apa belum?. Lalu
kemudian, gue telfon dia seketika. Kelar. Tapi itu hanya bisa ngobatin kangen dalam
waktu yang tidak terlalu panjang. Gue tahu, obat paling ampuh, ngilangin kangen adalah
dengan cara bertemu. Selama belum keturutan, kangen akan terus mengganggu
meminta pertanggung jawaban.
Menurut gue, salah satu cara ngobatin kangen adalah dengan cara ngasih kejutan secara
tiba-tiba. Tujuan gue ngasih surprise adalah, biar pacar lebih nyaman sama gue. Karena,
setelah gue pertimbangkan, kejutan adalah satu cara, menciptakan moment biar bisa di
kenang dan di ceritakan sewaktu kita tua nanti. Karena kenangan manis, adalah peristiwa
surpises yang nggak bisa dilupain. Gue pengen banget, liat pacar bisa emosi, terus habis
itu, gue di peluk kenceng-kenceng, dengan pemandangan mimik muka: ya ampun,
sumpah kamu gila banget.
Dan untuk mendukung hal itu semua, gue harus jadi cowok yang nyebelin. Nyebelin?.
He’em nyebelin, maksudnya, bukan bikin pacar marah, tapi bikin pacar berkesan atas
perjuangan yang gue lakukan. Berangkat dari hal itu semua, gue punya modal dasar
untuk menjadi cowok yang bisa dibanggakan. Ehm. Gue peka, pada dasarnya semua
cewek bakal suka kalo cowoknya bisa romantis.
Jadi gini, hal ini pernah terjadi pada pertengahan bulan Februari 2014.
Hari itu, jatuh pada hari week and: Sabtu. Dimana suasana lobi Stasiun Gubeng sedang
penuh sesak oleh penumpang dari berbagai kota -- ke berbagai tujuan. Jam lima pagi,
gue sudah keluar dari antrian pembelian tiket. Iyap, satu tiket untuk keberangkatan jam
7 pagi, dengan kereta bernama Penataran Express, sudah gue genggam rapat-rapat. Lalu
gue chekt- in sambil, memberikan kartu identitas gue sama bapak-bapak petugas. Hanya
dalam satu kali tarikan napas, setelah duduk di ruang keberangkatan, banyak sekali
panggilan tak terjawab yang masuk, dan puluhan pesan singkat yang menumpuk. Kabar
itu semua berasal dari satu orang yang sama: Dine.
Dan salah satu isi pesannya, gue buka: “Selamat pagi, cinta. Bangun, sudah pagi
nih?,” ajaknya.
Karena memang niatnya gue mau bikin surpraise, gue pun, gak membalas pesan pendek
sekaligus telfon darinya. Jutek, diem, cuek: semua gue lakuin, demi kejutan yang
bermakna. Gue paham banget, mungkin dia kawatir, sudah sepagi ini, gue dibangunin,
tapi belum ada kabar. Untungnya masih pagi, mungkin gue cuma di curigai dengan
tuduhan: belum bangun. Coba kalo situasi ini sedang berlangsung malam hari: gue bisa
dituduh kelayapan mencari selingkuhan baru di Bundaran Waru. Hingga pada sampai
titik jenuh, dia akhirnya mengirim pesan pendek lagi, lalu gue baca sambil tersenyum
kecil.
“Mas, kemana sih, nyebelin banget sih jadi orang, yowes, aku pamit keluar mau
nyari sarapan,” pesannya, lewat blackberry mesengger.
Setidaknya kalo dia kebawa emosi. Gue bisa beruntung, entar pas ketemu, sebagai
pelampiasannya gue bisa di peluk kenceng-kenceng, sampek remuk. Bersamaan dengan
itu, persis menjelang jam keberangkatan, kabar mengejutkan datang dari alat pengeras
suara, yang teletak di atas: pusat kendali informasi. Gue kaget, informasi itu, membuat
rencana surprise gue buyar seketika.
Di sampaikan bahwa, kereta yang akan gue tumpangi ke stasiun Kota Malang, pagi ini,
sedang mengalami gangguan. Lokomotifnya anjlok keluar dari perlintasan rel kereta. Sial
banget. Inilah salah satu penyebab, kenapa LDR itu kadang bikin nyesek. Iyap, ketemuan
itu akhirnya gue tunda. Gue keluar dari lobi stasiun dengan muka kusut, lalu gue
mentelfon dia. Setelah cerita panjang lebar, dia balik menanggapi.
“Ha-ha-haa,” Dine malah ketawa kenceng. “Syukurin kualat, kamu Mas, salah
siapa tadi nggak ngebales SMS, yeii kapok, kan?” ucapnya, sambil ketawa
cekikikan di dalam kamar kosnya.
“Hemmmm..., “ gue bergumam kecil. “Jadi bener, ndak pengen ketemu aku?.
Awas entar kalo kangen, gak bakalan aku tanggepin. Wek!” ledek, gue.
“Kangen sih Mas, tapi kalo berangkat sekarang, sampek Malang sudah siang
banget lo,” katanya, memberi penjelasan. “Terus entar jam tiga’an kamu harus
balik lagi ke Surabaya, masak ya cuma ketemuannya sebentar. GAK MAU AKU,
GAK MAU?” terikanya manja, dari balik telfon.
“Ehmmm., “ gue menggigit bibir. “Iya, udah deh, nurut aku.”
Dan akhirnya rencana kejutan itu gagal. Gue pun enggak pernah kapok memakai moda
transportasi ini. Toh jenis angkutan umum yang satu ini, mudah di jangkau dari
kontrakan gue. Hanya butuh lima belas menit, nyetir pakek motor sambil memakai
sarung, sudah sampai ke Stasiun Gubeng. Hal yang sama juga terjadi di seberang sana.
Jarak dari kosnya pacar dengan Stasiun Kota, cukup dekat. Karena kampusnya pacar
terletak di kampus dua UM - Sawojajar. Dan pertimbangan yang nggak kalah penting,
tiketnya murah dibanding naik bus, atau pun mancal pakek motor pribadi.
Pernah juga gue, pertama kali ke Malang nekat banget naik motor. Demi apa?. Sumpah
demi nurutin kangen buat ketemu pacar. Padahal ke adaan saat itu pada awal bulan Juli
2014, gue buta peta. Gue buta arah jalan. Karena perasaan kangen lebih besar, dari pada
ketakutan nyasar di jalan, gue nekat berangkat. Gila banget. Cuma satu petunjuk yang
bisa gue jadikan patokan di sepanjang jalan.
Saat melintasi perempatan lampu merah, gue berhenti sejenak, lalu mendongak ke atas
melihat papan petunjuk jalan. Cukup dengan satu kali tarikan napas dan anggukan
kepala, setelah membaca tulisan di papan: Malang belok kanan. Gue langsung mengikuti
petunjuk tersebut.., sepanjang jalan..., motor melaju..., sampai akhirnya gue tiba disana
dengan muka mirip badut. Pipi gue penuh cemolan debu, dan beberapa bekas hitam
asap knalpot kedaraan yang nemempel di muka. Saat seperti ini, gue merasa berbeda
kasta dengan pacar. Si Buruk Rupa dan Si Pipi Bakpao.
“YA AMPUN MAS,” bukannya dia malah seneng ketemu gue, pacar malah histeris,
sewaktu gue sudah di depan kosnya. “Masak pacarku item kayak gini,” lalu pacar
berjalan masuk kamarnya, mengambil handuk. “Mas, mandi dulu sana, ke
belakang, terus abis itu kita makan yak. Nih, udah aku masakin makanan ke
sukaanmu. Sop sayur jagung tauuuuk.” katanya, centil.
Suaranya yang manja, mampu mengobati keletihan gue
“Ya, maklum kan naik motor, dek-dek.“ sergah gue pada saat itu juga. “Asyik, pas
perut ku laper banget ikih. “ lanjut gue, lalu berjalan ke kamar mandi.
Kelar mandi, gue dandan menyisir rambut dan kumis di depan cermin. Dalam ke ada’an
seperti ini, gue merasa kita sejajar dalam sebuah kasta: ”Si Tampan, dan Si Tukang Masak.
Setelah ngebuka pintu kamar mandi. Di ruang tamu kosnya, sudah terlihat berbagai
kudapan yang terhidang di atas karpet.
Sayur jagung, nasi dua porsi di piring warna putih, dan sambal ikan lele goreng yang
kematengan. Lengkap dengan segelas teh hangat. Andai Farah Kwin ada disini lalu
mencicipi makanan ini, dia pasti bakal bilang: Yumiii....., gosong’o Lezato.
“Dedek, kamu tahu gak, cewek seksi itu, yang pinter masak, lo?” puji gue.
Padahal faktanya sangat bersebrangan. Badannya dia penuh dengan gumpalan
lemak jenuh.
Dia menaik kan bahu, lalu membalas, “Orang aku gemuk gini kok di bilang seksi
toh, Mas-mas. Gombal tauk!” sergahnya sambil bibirnya, meruncing.
Gue ketawa kenceng. “Ha-ha-ha-ha”
“Tapi yang jelas,” dia berhenti sejenak, tangannya yang luwes mengambil sayur
jagung, kemudian mencomot sambal ikan lele gorengnya, lalu menaruhnya di
atas piring gue. “Kalo aku bisa masak Mas, ibukmu nggak bakal kawatir lo, Mas,
berarti anaknya jatuh di tangan cewek yang tepat. Kamu bisa menafkahi aku,
aku pun bisa menjamin kesehatan makananmu!” katanya, mantap.
Gue senyum-senyum kecil. Lalu menjawab dengan pelan. “Sejak kapan,
dek-dek, romantis kayak gini,” ucap gue, sambil mengusap-ngusap rambut
poninya.
Dia memegang tangan kanan gue, lalu menjawab. “Sejak kita jadian,” katanya,
lalu dahinya berkernyit.“Kita akan kayak gini terus kan, Mas?.”
Gue menatap matanya, dalam. Seakan ada isyarat yang datang dari udara,
sambil mengangguk, gue jawab dengan mantap. “He’em...., pasti, dek-dek.”
“Gimanaa masakanku, Mas?” katanya, minta diberi masukan sambil mengigit
buntut ikan Lele goreng.
“Cantik, kayak yang masak!’ jawab gue. Lalu gue mengambil sambal goreng
lagi. Setelah membubuhkan sambalnya di atas nasi, ternyata sambalnya malah
jatuh ke karpet. Dia pun, nyletuk.
“Uh, pasti ceroboh deh kamu, Mas,” katanya, sewot. “Sumpah, mirip sama
bapak kamu itu mas, kalo makan, pasti ada aja yang tumpah.”
“Iya, kan calon menantunya, makannya kudu kompakan biar serasi,” balas gue.
Lalu kemudian dia tertawa menggelegak, seneng.
“Hahahaha, mau banget!’ komentarnya, sambil alisnya melejit.
Dan saat bersama dengan pacar, waktu terasa sangat cepat berjalan. Gue sangat tahu
resiko ini, orang yang merasa cocok dan nyambung, akan sangat mudah membunuh
waktu. Sadar atau tidak, waktu yang panjang, bisa berubah menjadi sangat singkat,
ketika dua pasang anak manusia, saling berbincang dan berhadap-hadapan untuk
melepas kerinduan. Sesimpel itu kita bertemu, dan mengisi setiap menit yang berjalan.
Tiba-tiba senja telah datang menjemput. Buru-buru gue harus balik ke Surabaya, dengan
segenap rasa kehahagia’an yang telah terlampiaskan. Tapi disisi lain, ada kesedihan yang
mengikuti.
Sebelum berangkat, gue bersalaman dengannya, di depan gerbang tempat
kosnya. Selarik pesan pun, muncul dari ke dua bibirnya. “Mas, hati-hati di jalan
ya, pelan-pelan nyetirnya, kalo sudah sampai, kabarin aku secepatnya, yaaa?”
harapnya, dengan pemandangan bola matanya yang redup.
Sampai disini, gue seperti mendapat pencerahan baru. Mata adalah bahasa halus
perempuan, yang mengisyaratkan pesan kepada laki-laki agar lebih peka. Dan benar juga,
pacar memegang kuat-kuat tangan gue. Kepalanya menunduk. Seraya meminta gue
untuk sejenak lebih lama berada di dekatnya -- menemaninya setiap waktu. Sadar atau
tidak, saat kita long distance relationship, kita bisa merasakan kebahagia’an dan
kesedihan datang dalam waktu yang bersamaan.
Sambil, mencium keningnya. Gue jawab dengan suara yang parau. “Iya, DEK,
BAIK-BAIK DI SINI YA, AKU SAYANG KAMU,” kata gue, dalem. Setelah dia
kelihatan baik-baik saja, gue mencoba membuatnya merasa nyaman.
“Secepatnya aku bakal balik ke sini lagi, Dek. Tos dulu dong.”
Dia ketawa kecil. Tangannya mengangkat ke udara. “Tos, balik, Hunyi” katanya,,
nyletuk begitu saja, memberi nama panggilan baru ke gue.
Seperti orang yang sangat berjodoh. Dengan tanggap dan konek, gue ikutan
membalas. “Huni dan Hunyi gitu, ya?” tanya gue. Sambil menarik gas, duduk di
atas motor.
Dia manggut-manggut, seakan setuju dengan usulan gue.
Gue melambaikan tangan ke udara, kemudian motor melaju menyusuri jalan: balik ke
Surabaya. Sama seperti waktu berangkat ke Malang, gue balik dengan mengandalkan
papan nama petunjuk jalan. Entah, benar atau salah, sepanjang perjalanan gue memakai
rumus ini. Saat tadi gue berangkat ke Malang sering berbelok kanan, berarti saat dari
arah yang berlawanan, gue harus belok kiri. Sepanjang, perjalanan lebih dari sejam, gue
aman-aman aja. Ketika mamasuki pertigaan, sebelum jembatan flay ofer kota Sidoarjo,
gue lurus terus....., gue ndak menghiraukan rambu-rambu lalu lintas.
Selang tiga puluh menit berikutnya. Beberapa mobil dari arah belakang ngegas dengan
sangat kenceng. Mulai dari mobil pribadi, sampai jenis angkutan umum seperti trevel,
bahkan truk pengangkut rombongan kuli bangunan. Gue mengintip dari arah spion,
kendaraan semakin padat, jelas sebagai pengendara motor yang punya sim satu dan
nyawa satu, gue keder, kemudian nepi ke sebelah kiri. Dan gue baru menyadari, sampai
sejauh ini, gue belum melihat pengendara motor. Melihat ada rambu lalu lintas di tepi
jalan dengan gambar sepedah motor di kasih tanda silang. Gue semakin yakin ada yang
janggal. Dan bener saja, kampret, gue nyasar sampek masuk toll.
Seketika gue berhenti, lalu menepi. Beberapa mobil yang melintas, ada orang yang
ngebuka jendela, lalu memandang aneh ke arah gue. Lengkap dengan mimik muka heran:
wah, ada orang gila bersepeda motor bisa masuk toll. Malu dan canggung pun datang
bersamaan. Bego dan tledor, memang kadang nggak bisa dibedakan. Dan inilah
gambaran perasaan gue sekarang. Karena mau balik melawan arus takut ketabrak, gue
pun mencoba melambai-lambaikan tangan ke depan kamera CCTV yang tak jauh dari
lokasi gue berhenti. Jika hal ini, terjadi pada malam hari, gue pasti dikira peserta uji nyali
yang abis ngelihat hantu kuntilanak ngasal jalan
Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil derek petugas Jasa Marga, datang lalu berhenti
persis disamping gue. Dua bapak-bapak petugas yang berperan sebagai sopir, dan kenek,
turun dari mobil, lalu bertanya sangat serius ke gue, tentang ke ada’an yang sebenarnya
terjadi. Setelah gue jelaskan panjang lebar ke bapak-bapak dua petugas yang memakai
seragam dinas ini, salah satu di antara mereka yang berkumis tipis, berperut buncit,
berseloroh.
“Makannya, kalo nyetir jangan ngelamun Mas, mikirin ceweknya mulu sih?”
katanya, sambil menepuk pundak gue.
Gue pun membalasnya dengan ketawa kecut. “Hehehehe,” lalu dengan jujur gue
menjawab. “Abis ketemuan si dia, kok Pak, mungkin masih kangen aja kali, ya?.”
Dengan sangat konek, bapak berkumis ini bisa merasakan apa yang ada di kepala
gue. “Bapak dulu, masih muda juga kayak kamu, LDR gitu,” katanya ramah, lalu
kumis tipisnya mengembang ke udara. “Motormu di derek saja, kamu masuk
mobil, dari pada kalo ngelawan arus bisa bahaya, bisa ketabrak.”
Gue manggut-manggut, sambil mengucapkan beribu terimakasih sama Bapak-bapak ini.
Sumpah, dan inilah pertama kali dalam sejarah hidup gue, bisa masuk toll dengan
memakai sepedah motor. Dan sekaligus gue bisa naik mobil derek. Yang belum tentu
orang lain dibelahan bumi manapun, bisa ngalamin kejadian yang sama, dan ini semua
bisa terjadi gara-gara gue LDR-an.
Setelah gue kabari si dia kalo, gue nyasar, dan berada dalam dalam mobil derek. Pacar
heboh banget, mulai dari bbm-nya yang panjang banget kayak artikel skripsi, nanyain
keada’an gue, sampai pacar telfon berkali-kali. Yang pasti, gue ndak bisa angkat telfonnya
pada saat itu juga. Gue pun menjaskan kalo gue masih baik-baik saja. Lalu pacar
mengeluarkan ultimatum keras.
“Pokoknya kalo ke Malang lagi, nggak usah bawa motor Huni. Titik. Ora oleh
ngebantah.” katanya, lewat pesan pendek.
Cinta terkadang memang bisa membuat anak manusia lebih berani menantang segala
keterbatasan. Andai saja, dia di Malang sana hanya sebatas sahabat, pasti gue ndak akan
senekat ini. Berangkat dengan keada’an buta arah. Tapi belakangan, kenekatan itu malah
dibenci olehnya, mungkit saja pacar takut kalo sewaktu-wakku terjadi apa-apa sama gue.
Jujur, mendapat perhatian dari seorang same one, dan nggak mau bikin dia was-was, gue
pun akhirnya menjadi mahkluk yang sangat penurut. Selalu mengikuti apa yang di
perintahkan. Dalam waktu yang bersamaan, dua hati anak manusia sangat saling
mempengaruhi satu sama lain. Dan itu semua, terjadi oleh sebab yang sama: karena
cinta.
Karena kebiasaan gue yang suka ngebaca berbagai buku, sering gue ajakin dia pergi
kelayapan nongkrong ke toko buku, seperti di Gramedia Matoz Mall. Atau pun toko
Gramedia di Jalan Kertajaya saat dia main ke Surabaya. Sebelum gue datang di
kehidupannya, dia sangat jarang sekali bersentuhan dengan buku. Tapi semenjak ada gue,
kebiasaan-kebiasaan yang gue lakuin, entah kenapa, menular ke dia. Gue merasa
menjadi cowok yang sangat berpengaruh, membuat kepribadian baru dalam hidupnya.
Setidaknya selama masih masa pacaran, gue bisa menjadi seorang calon pemimpin yang
bisa memberikan pengaruh baik. Ehm.
Pernah suatu waktu, pada saat gue ulang tahun yang ke-23, jauh-jauh dari Malang naik
bus, dia bawa kardus gede banget, yang dibungkus keresek warna merah. Gue jemput,
dia di terminal Purabaya pakek motor. Gue peka, kalo isinya pasti kado buat gue.
Setibanya dia sampai kontrakan, dia pun mempersilahkan gue membuka isi kardusnya.
Kardus yang satu, isinya kue tar, lengkap dengan patung lilin kita berdua. Yang satu lagi,
bentuk kadonya semacam kotak pandora, persegi empat. Setelah gue robek
bungkusannya, kemudian gue membuka tutupnya: isinya buku yang selama ini gue
cari-cari. Brand Gardener, karangan Handoko.
Gue kemudian tersenyum bahagia, persis di depannya, gue langsung peluk
kenceng-kenceng, lalu gue bilang. “Terimaksih ya Hunyi, ini kan buku yang selama
ini aku cari, tapi gak pernah dapet,”
Dia pun menggelinjang. Kakinya jungkat-jungkit. “Selamat ulang tahun, ya Huni,
buruan mapan, terus buruan jawab aku ke bapak,” balasnya, lalu gue ketawa
seneng. “Ha-ha-ha-ha,”
Inilah moment yang paling mengesankan sepanjang bab ini di ketik. Perayaan ulang
tahun yang sepanjang hidup gue, ndak pernah gue alami dalam lingkungan keluarga. Kini
di moment ini, gara-gara dia, gue bisa menikmati upacara tiup lilin bareng same one.
Kejutan kecil yang punya makna besar sepanjang sejarah. Akhirnya, gue pun ikut
terpengaruh untuk memaknai tanggal-tanggal istimewa yang berhubungan dengan
hubungan kita. Sifat dia kayak gini, juga berasal dari lingkungan keluarganya yang hidup
penuh materi, sejak kecil setiap dia ulang tahun, pasti bakal dirayain bareng orang
tuanya.
Urusan selera makanan pun, akhirnya kita dipertemukan dalam satu meja. Saat gue
ajakin dia keliling muterin kota Surabaya, gue rutin ajakin dia makan di rumah makan
sederhana: nasi padang Pak Badrun. Kalo gue ajakin pacar makan ditempat mewah, bisa
nangis dompet gue. Gue tahu, meski pun pacar anaknya orang berada, tapi saat gue
ajakin dia makan ala kaki limaan kayak tadi, dia nggak pernah nolak. Iyap, gue berhasil
ngarahin dia jadi cewek yang sangat sederhana. Saat makan pun, kadang nasi yang gue
sendok belepotan, sampai tumpah keluar dari piring.
Dengan spontan, pasti dia bilang. “Huh, Huni ikih,” katanya kesal, giginya
gemertak agak jengkel. “Pasti kayak bapak ku deh, kalo makan enggak pernah
rapi, ceroboh kamu ituh!’ katanya, sambil ngelap meja yang berada di depan gue.
Gue pun langsung membalas. “Ya, malah bagus toh Hunyi, wong menantu sama
bapaknya kompakan kok. Itu artinya kita jodoh,” lalu gue melejitkan alis. “Iyaa,
kan?”
Dia mencubit pipi gue, terus bilang. “Dasar cowok jelek!”
“Jelek-jelek gini, tapi pacarmu.” Lalu dia ketawa lepas. “Ha-ha-ha-ha”
Meski pun orang tua gue bukan kalangan konglomerat, tapi gue bukan orang yang
melarat kekurangan duwit. Saat mau ketemu dia pun, jauh-jauh hari sudah gue
rencanakan dengan matang beserta nyisihin tabungan, buat liburan bareng dia. Saat gue
berkunjung ke sana, jalan-jalan kita bukan ke pusat perbelanjaan, tapi ke alam terbuka.
Semua tempat wisata pemandangan alam terbuka di kota Malang dan Batu, sepertinya
sudah kita kunjungi. Mulai dari kebun binatang yang super gede itu, sampai taman
bunga yang kayak di film-film Indosiar.
Ada beberapa ke untungan yang gue dapet, dari model pacaran kayak gini. Pertama
hemat ongkos, ke dua, ini jenis pacaran yang bikin paru-paru kita jadi sehat. Ini salah
satu cara kita, menghargai hari tua nanti: bisa tetap sehat. Di saat dia kecapekan
muter-muter keliling wahana permainan, jurus jitunya pun mampu membuat gue
menggelinjang dengan sangat hebat. Mendengar suaranya yang manja, gue merasa
terbius untuk memberikan kasih sayang yang gue punya. Sambil klesotan, dia bakal
bilang.
“Hunyi, capek,” katanya. “Kaki ku pegel, loh.” dia sambat karena abis ngelilingi
kebun bitang seluas sepuluh hektar. Kemudian dia klesotan di atas jembatan
berornamen kayu.
“Mau, nggak aku gendong?” gue mencoba menawari bantuan. Lalu duduk di
sebelahnya, memberikan bahu.
Bukannya malah main manja-manjaan. Kita malah cengengesan. “Emoh-emoh,
orang badanmu cungkring gitu Hun, mana kuat gendong aku?” katanya, sambil
bibirnya meruncing. Terus mencubit perut gue.
“Lah, tuh tauk, badanmu kan gede kayak Gorila, itu,” kata gue sambil menunjuk
gorila di kandang sebelah jembatan kayu. Lalu gue berlari meninggalkan dia
dibelakang.
Kemudian kita kejar-kejaran sambil tertawa lepas bersamaan. Pada saat seperti ini, gue
sadar banget, sesimpel itu kita membahagiakan satu sama lain. Keceriaan bisa
mengalahkan segalanya. Dan gue yakin, hidup penuh kebahagiaan patokannya bukan
statistik angka dalam wujud materi.
Makannya, gue nggak heran, kalo setiap kali gue mau balik ke Surabaya lewat Stasiun
Malang kota, dia selalu megangin tangan gue kenceng-kenceng di dalam lobi stasiun.
Sambil nunggu kereta yang datang, sudah nggak ke itung lagi, dia selalu bersandar di
pundak gue. Nangis.
Ketika terdengar bunyi klakson kereta api yang mendekat, tiba-tiba di pundak gue ada
yang basah, air matanya dia tumpah. Dia semakin kenceng megangin lengan gue.
Kepalanya menunduk, dan belum mau bicara. Mau nggak mau, gue harus jadi cowok
jentelmen untuk menghibur dia. Padahal jujur, di dalam sanubari gue, hati ini ikutan
pedih juga. Iyalah, rasanya nggak mau ninggalin dia sendirian di kota ini. Sekuat tenaga,
gue berusaha ngempet, biar ndak ikutan nangis.
Panggilan untuk calon penumpang Kereta Api Penataran Express pun tiba. Dari tempat
duduk, ruang tunggu kursi penumpang, gue ajakin dia ngantri utuk proses chek-in yang
terakhir kalinya. Setelah tiket gue mendapat ketokan stempel. Pegangan tangannya gue
lepas. Lalu gue bilang dengan meletakan telunjuk tangan kanan gue persis di depan
bibirnya.
“Ssssssst...., Hunyi, nggak boleh nangis,” gue berbisik pelan di depannya, “Aku
balik ke Surabaya dulu, ya?” lalu gue mengusap-ngusap poni rambutnya.
Kepalanya mengangguk pelan.
Gue kemudian memegang pundaknya, lalu memberi sebuah kepastian. “Hunyi
aku janji, dua minggu lagi aku bakal balik ke sini lagi.” kata gue, dalem.
Dia tersenyum, lalu ke dua pipi yang cubi mengembang. Semburat kesedihan dari
raut wajahnya pun, seperti tersapu oleh senyum dinginnya. “Huni, sudah sana
berangkat,” katanya kalem, sambil melepaskan tangan gue dari pundaknya, lalu
menciumnya. “Hati-hati ya, Huni, awas jangan mabok loh. Kita telfonan kalo huni
sudah di dalam kereta?.”
Gue pun langsung membalasnya, “Siap...., bos kecil.” kata gue, sambil
mengacungkan jempol. Lalu melewati pintu pemeriksaan tiket. Sebelum
memasuki lorong bawah tanah menuju jalur satu, gue berhenti sejenak. Berbalik
badan. Dia masih berdiri ditempat yang tadi.
Gue melihatnya sebentar, dia melambaikan tangan kanannya. Matanya
mengerjap-ngerjap pelan, lalu sedetik kemudian di susul anggukan kepala.
Mengizinkan gue untuk pergi.
Setelah beberapa tahun kami bersama. Tibalah hari yang sangat spesial untuknya:
merayakan hari kelahirannya. Lazimnya sebagaimana upacara perayaan ulang tahun, gue
pun menyiapkan kado yang sangat surpise untuknya, beserta kue tar yang gue pesen dua
hari sebelumnya. Di ulang tahun yang pertama, gue kasih dia kado, seperangkat alat
sholat, mulai dari mukena, dan sajadah. Di dalam kado itu, juga gue kasih jam tangan.
Biar, kelihatannya nyambung, misal sewaktu dia keluar bisa liat jam, kapan waktunya
untuk sholat.
Tapi hari ini, gue membelikannya kado Bonekah Doraemon. Bayangin saja, bonekah
tersebut tingginya hampir satu meter, lebarnya dua kalilipat ukuran badan gue.
Sampai-sampai, sewaktu gue perjalanan pulang dari toko, agak kerepotan banget pas
ngebawanya pulang. Sepanjang perjalanan dari toko ke rumah, tuh bonekah gue masuk
kan ke dalam kardus kulkas. Dan gue sangat yakin, orang-orang yang memandang aneh
ke gue, di kepalnya muncul firasat jelek, bahwa gue sebagai: pemulung kardus bekas.
Detik-detik keberangkatan pun akhrinya tiba. Hari ini, pacar ulang tahun genap yang
ke-20. Dengan semangat bangun pagi jam lima, gue pun langsung cabut tancap gas ke
kamar mandi. Segalanya gue siapkan dengan sangat sempurna, ketiak penuh deodoran,
badan wajib bau wangi, rambut wajib sisiran dan pakek minyak. Setelah memastikan
semuanya beres, gue tancap gas ke Stasiun Gubeng. Sambil membawa kardus kulkas di
jok belakang. Sepanjang perjalanan, reaksi orang yang ngelihat gue, pada aneh semua.
Tapi gue cuek. Gue takut saja kalo di tuduh, mau membuang korban mutilasi.
Begitu memarkirkan motor gue, kereta api yang gue tumpangi sudah berada di Jalur lima.
Sambil nentengin kardus kulkas di depan, gue berjalan sambil mendongakkan kepala ke
kanan, lalu gue teriak kenceng tiap kali mau nabrak orang: permisi-permisi,
minggir-minggir. Semua orang yang ada stasiun gubeng, pandangannya mengarah ke
gue. Tatapan mata mereka rancu, ada anak muda seusia gue bawa peralatan kulkas?. Di
benak mereka barang kali, gue abis kredit kulkas. Setelah berhasil melakukan chek-in,
bapak petugas penjaga tiket pun, memastikan kalo kardus yang gue bawa, nggak bisa
masuk ke dalam kereta. Situasi mulai panik.
“Pintu kereta kecil, mas, ini kardusnya nggak bisa masuk lo?” katanya, “Lha
isinya opo toh mas, kelihatannya ringan gitu?.” komentarnya lagi, sambil
memelintir kumis tipisnya.
Dengan napas memburu, gue jawab. “Bonekah, Pak, bonekah Doraemon
setinggi satu meter, lebarnya setengah meter.” jawab gue menjelaskan, sambil
ngos-ngosan.
Bapak petugas penjaga tiket ini alisnya naik. “OPOHHH?,” bapak ini kaget. “Duh,
nggak bisa masuk kereta itu nanti, Mas,” katanya, ikutan panik.
Gue pun bingung, “Iyah, gimana dong Pak?”. Sedetik kemudian lonceng kereta
bernama Penataran Express yang gue tumpangi, mengeluarkan sirine, bahwa
sepuluh menit lagi, kereta akan berangkat.
Sejenak kemudian, bapak petugas tiket ini, mentelfon seseorang diseberang
sana. Dalam telfonnya, sayup-sayup gue mendengar percakapan antara
seorang masinis. Setelah telfonya di tutup, bapak ini bilang lagi ke gue. “Kamu
mau bikin kejutan ke pacarmu, kan?” katanya sambil tangan kanannya masih
memegang gagang telfon.
Dengan sangat canggung, gue menganggukan kepala, lalu gue jawab” Iya, Pak,
he-he-he.”
Bersamaan dengan waktu yang sangat mepet, solusi pun muncul. “Sudah
kamu buruan masuk ya, disana sudah di tunggu Pak Masinis, sama petugas
yang lain, keretanya mau berangkat, nanti sebelum masuk kardusnya harus di
lepas dulu, biar bisa masuk itu Doraemonnya,” katanya, lalu tertawa terbahak.
Dalam satu tarikan napas, urat sarap gue mulai longgar. Lega banget. Sebelum
gue mengucapkan terimakasih, bapak ini bilang lagi. “Mentalmu berani juga ya,
harusnya dia bangga punya kamu,” pujinya, sambil mengacungkan jempol
kanannya.
Gue pun membalasnya, sambil berlari. “YEAH, TERIMAKASIH PAK!’
Seperti apa yang sudah disampaikan di awal tadi, setibanya gue di depan pintu masuk
kereta, Pak Masinis dan satu orang petugas ke amanan, sudah menunggu gue. Lewat
satu kalimat perintah dari Bapak Masinis ini, dengan sangat cekatan, petugas kemanan
ini menyobek solasi yang melingkari kardus kulkas. Hanya butuh, satu kedipan mata,
Bonekah Doraemon sudah berada di depan mata gue, menyisakan bungkus dari tokonya:
pelastik warna hitam.
Gue pun dilayani dengan hangat sekali. Pak Masinis sama Pak Petugas Keamanan,
membawa Bonekah Doraemon gue masuk ke dalam kereta. Bapak berdua ini, dengan
kompak memiringkan bonekah tersebut dengan posisi, membentuk garis lurus. Pak
Masinis yang berada di depan, menghilang dari balik pintu kereta. Sambil berjalan
dibelakangnya, sayup-sayup gue mendengar obrolan dari Pak Masinis, “Kepalanya sudah
masuk, belok kanan, belok kanan, lurus-lurus.” Setelah gue pikir-pikir, aba-aba ini, jadi
mirip proses persalinan, ibu-ibu melahirkan.
Begitu gue sampai ditempat duduk yang sesuai dengan nomer yang tertera
dalam tiket, Pak Masinis itu, masih menunggu gue. Dengan sangat ramah,
bapak ini menyampaikan sesuatu, “Mas, Bonekahnya saya taruh disini, ya?”
“Maaf ya, Pak, ngerepotin bapak jadinya,” balas gue, sambil menjulurkan
tangan untuk berjabat tangan.
“Senang rasanya bisa bantu, pelanggan Mas,” katanya, menjabat tangan gue
balik dengan hangat. “Saya, ke ruang kemudi dulu ya, keretanya mau
berangkat.”
Sekitar lima menit, gue menyadarkan bahu ke tempat duduk, lalu terdengar bunyi sirine
kereta api yang mengisyaratkan, akan segera berangkat. Desingan bunyi bantalan rell
yang bergesekan dengan roda besi pun, menjadi nada yang sangat bahagia. Detik-detik
menjelang pertemuan, seperti merasakan kebahagiaan tanpa batas, rasanya seumur
hidup pun mau gue terjebak dalam situasi semacam ini.
Inilah beberapa alasan kenapa gue suka banget naik kereta: sepanjang jalan, sinar
matahari pagi bisa masuk menembus hidung. Dari balik jendela, gue bisa menikmati
hamparan sawah yang menghijau. Kebun mangga yang mulai ranum memasuki masa
panen. Dan lembah perbukitan di kaki gunung yang masih berselimut kabut.
Rasa-rasanya long distance relationship gue semacam wisata Dharma Wanita. Dan
wanitanya, adalah si pacar. Lima belas menit sebelum sampai di Stasiun Kota Malang.
Gue kabari pacar lewat pesan pendek.
“Jemput aku di tempat biasa, ya Huni”
Yeah, pertemuan yang dinanti pun datang. Tanpa kerepotan, Bonekah Doraemon gue
gendong dibelakang. Tangan gue melipat, seperti tangan sedang diborgol memegang
pantat hewan musang itu. Saat melewati pintu kereta, terpaksa badan gue harus
merunduk seperti orang Jepang yang sedang menyambut tamu dan bilang: ari gatok.
Gue jadi mikir, kayak gini ya, rasanya bikin pacar ketawa, plus bangga atas perjuangan
yang gue lakuin. Begitu melewati lorong bawah tanah, gue menaiki anak tangga kecil
satu demi satu, kaki mengayun pelan hingga gue sampai di pintu keluar.
Di pintu keluar, beberapa orang yang berprofesi sebagai Tukang Ojek, Pak Sopir Taxi, dan
Pak Tukang Becak, menawari gue tumpangan, yang langsung gue balas dengan senyum,
hingga gue berlalu begitu saja meninggalkannya. Mata ini terpejam hebat, saat gue
melihat pacar berdiri disampiang motor sekuter metiknya. Poni rambutnya yang seolah
malas dirapikan, membuat dia kelihatan natural. Senyum dinginnya menyambut gue.
Pada titik ini, kita saling pandang dan melempar senyum. Seolah-olah ini semua, seperti
jalan cerita yang sudah di tulis di skenario film-film FTV.
Begitu gue sudah, berada di depannya. Dia menjabat tangan gue, sambil
loncat-loncat kecil, penuh bahagia, dia bilang. “Ye-ye-ee, ketemu Huni, itu yang di
belakang, kadonya buat aku, kan?” katanya sambil matanya mengedeip-ngedip,
penuh manja.
Gue mundur satu langkah ke belakang. Gue manggut-manggut, terus gue balik
tanya. “He’em, Hunyik, mau tau nggak isinya, apa?”
Dia mendekat ke gue. Raut wajahnya berbinar, bahagia.“Boleh aku intip?”
“Boleh, siapa takut!,” jawab gue.
Si Bonekah Musang gue geser ke depan. Letaknya persis tengah-tengah kita
berdiri. Tangannya membuka bundelan plastik wara hitam. Setelah bungkusnya
terbuka, dia bilang. “Aku sayang kamu, Huni, termakasih ya kadonya.” katanya,
menggelinjang, lalu tawanya berhamburan ke udara, kemudian dia loncat-loncat
kecil seperti yang tadi.
Sepersekian detik kemudian, dia memeluk gue kenceng banget. “Aku bangga
punya kamu, Huni.” katanya, dalem.
Yang langsung gue balas. “Aku juga bangga punya kamu, panjang umur ya, Hunyi.
Semoga kita sampai kakek-nenek,” kata gue, dalem, sambil ngusap-ngusap poni
rambutnnya. Lalu mencium keningnya.
Sensasi macam apa ini, hingga membuat kita hilang ingatan sementara. Dan lupa waktu
kalo ini adalah area parkiran yang langsung mendapat respon dari bapak petugas parkir.
“Mbak-Mas, kalian ini kok mirip ya, mungkin sudah jodoh!” katanya nyeletuk
dengan sangat spontan, dan kalimat seperti ini sudah sangat sering gue dengar --
yang langsung membuat tertawa orang-orang yang berada di sekitar kita.
Kita hanya merespon manggut-manggut, senyum bahagia. Lokasi parkiran depan stasiun
kota Malang, menjadi saksi sejarah perjalanan cinta anak kampung yang dipertemukan
oleh Gerbong Lokomotif. Berkali-kali tempat ini, menawarkan dua peranaan sudut
pandang yang berbeda, sepanjang perjalanan hubungan kita: pertemuan dan perpisahan.
Kebahagiaan karena bertemu, dan kesedihan saat harus berpisah. Dengan penuh
keceriaan, selepas tiup lilin di ruang tamu tempat dia ngekos, gue bilang dengan mimik
muka serius.
“Hunyi, “ kata, gue sambil memegang ke dua tanggannya. “Kamu tau kan, aku nggak
selalu ada di sampinghmu saat kamu bilang kangen,” gue berhenti sejenak, lalu
melanjutkan. “Gini, anggap saja Bonekah Doraemon ini aku. Jadi kalo kamu kangen,
peluk kenceng-kenceng Bonekah ini, ya” lanjut gue, trenyuh.
Badannya mendekat ke arah gue. Lalu mencium pipi kanan gue penuh perasaan,
dan berkata. “I love you.” Entah ada angin apa, dia bilang dengan sangat mantap ke
gue. “Huni, apa pun yang terjadi ke depan, aku maunya sama kamu, aku maunya
kita serius.” dia berhenti sejenak, mengambil satu tarikan napas, “Aku maunya kita
sampai menikah,” katanya, sangat yakin.
Gue mengangguk dengan setuju. Seraya tersenyum bahagia mendengar kalimat maha
sakti darinya“Aku Maunya Kita Sampai Menikah’’ yang langsung meneduhkan hati gue.
Hingga batin gue mampu mengeluarkan sebuah keyakinan: kamu adalah jodohku.
Seperti biasa, gue di Malang di traktir makan sama pacar di rumah makan nasi padang:
Bu Badrun. Lanjut, berbubu kuliner seperti menikmati Es Dempo, lalu jalan-jalan
mengelilingi komplek rumah tua di jalan Ijen Nirwana. Setelah kaki merasa pegal, kita
selonjoran di toko buku, hanya sekedar baca-baca, tanpa perlu membeli.
Satu bulan berlalu, sepertinya perjalanan long distance relatiohsip kita sangat
aman-aman sekali, semua berjalan lancar. Mungkin karena frekuwensi kita yang sering
ketemu. Faktor jarak juga, sangat menentukan: Surabaya - Malang, dua jam sampai.
Sebulan kadang bisa ketemu dua kali, atau, kalo sama-sama sibuk, sebulan sekali baru
bisa ketemuan. Kadang beranteman juga gara-gara miskomunikasi. Di saat dia ngambek
gara-gara gue telat mengangkat telfonnya, sepertinya perang dunia ke tiga bakalan
meletus. Ujung-ujungnya gue yang minta maap duluan. Atau kadang, dia yang minta
maap, lebih dulu.
Awal bulan September 2014, kita ketemuan lagi, gue ajakin pacar jalan-jalan ke Taman
Bunga Selekta yang berada di kota Batu - Malang. Di taman bunga ini, kita mirip
sepasang kekasih yang kerasukan setan Hollywood. Main kejar-kejaraan di antara bunga
yang bermekaran di musim dingin. Lalu kita mengambil posisi terbaik untuk sesi foto
bersama. Kadang gue yang ngambil gambar, dengan posisi kepalanya dia nyandar di dada
gue. Romantis. Kadang dia yang fotoin, tapi gue yang dibelakang, seperti orang yang
sedang mengintip. Setelah kita lihat hasilnya, gue bilang ke dia.
“Hunyi, coba deh liat, kita, memang mirip ya,” kata gue, sambil menggeser
beberapa foto. “Mata, idung, alis, kok bisa sama gini ya bentuknya, jangan-jangan
kita emang jodoh.” ucap gue, dengan muka serius.
Pacar mencubit pipi gue, dengan ke dua tanggannya. Lalu menjawab.
“Bener-bener, itu tanda-tandanya kita jodoh, Huni.” sambutnya, matanya
memandang gue, fokus.
“Uhmmm,” gue manggut-manggut setuju.
Lalu secara diam-diam, gue turun ke lokasi kolam renang dibawah sana, yang kemudian
di susul teriakan manjanya, “HUNI JAHAT, AKU DI TINGGAL”. Pada jarak lima belas meter,
gue pun menunggunya untuk turun. Kemudian kita berjalan beriringan, melihat-lihat
desain bangunan area kolam renang, sampai-sampai, dibuat takjub oleh perenang yang
melakukan jumping dari ketinggian sepuluh meter. Setelah selesai kita rundingan kecil,
pacar menawari gue untuk berenang, yang langsung gue sambut tawarannya, dengan
menyewa kolor ditempat persewaaan.
Tapi, setelah lima belas menit nyebur ke kolam, fisik gue cemen banget. Hawa dingin
mulai menyergap, gigi saling gemertak berderit-derit. Sambil menahan dingin, gue
jongkok dipinggir kolam, menghangatkan badan dari sinar senja matahari sore. Entah
kenapa, begitu melihat gue, pacar malah ketawa lepas dari tempat duduknya. Barang kali,
gue di anggap seperti, hewan Pinguin yang lagi jongkok menahan sembelit. Awalnya, gue
memang mikir dua kali, saat mau renang, soalnya air kolamnya di ambil langsung dari
sumber mata air pegunungan, yang kadar suhu dinginnya emang kabangetan.
“Kedinginan ya, Hun?” tanya, Dine. Saat gue duduk di sebelahnya.
Gue cuman mengangguk kan kepala.
“Sudah, cepet sana salin, bajunya di pakek, ya,” katanya, sambil menyodorkan
baju dan celana ke arah gue.
“Iya Hunyi, kamu tunggu disini ya, jangan kemana-mana lo,” balas gue, berlalu.
Sekitar lima belas menit, akhirnya gue keluar dari kamar mandi. Rambut gue acak-acakan.
Muka sayu setengah pucat. Dan, beberapa menit kemudian, setelah jalan, gue
muntah-muntah mengeluarkan cairan air mineral yang gue minum tadi. Mendapati
gue sedang sakit mendadak, dia sangat ibu’an ngerawat gue. Di bawah kursi beratapkan
payung plastik, kita berteduh untuk istirahat. Dalam beberapa moment, pacar sedikit
menumpahkan minyak kayu putih di tangan kanannya, kemudian mengoleskan ke perut
gue. Lalu berpindah, mengusap-ngusap lengan gue. Anget.
“Maafin aku, ya Huni,” katanya, memohon di depan gue. “Tadi aku maksain Huni
mandi, padahal airnya dingin banget, jadi masuk angin gini kan, gara-gara aku?’’
sambungnya, lalu memegang kenceng ke dua tangan gue.
“Ehm...,” gue menggigit bibir, “Apa pun yang Hunyi suruh, aku bakal nurut kok,
asal Hunyi bisa seneng,” saut gue, mantap.
Sambil mencubit pipi gue, dia jawab. “Hal-hal kayak gini yang, bikin aku makin
sayang sama kamu, Huni.”
Gue senyum tipis, kepala mengangguk pelan. “Uhh...., sama.”
Satu bulan berlalu setelah jalan-jalan di Taman Bunga Selekta kota Batu, gue dan pacar
menjalani long distance relatiohship lagi. Kita kembali dipisahkan oleh jarak, namun yang
pasti, hubungan kita berjalan seperti biasanya. Sangat harmonis dan tidak ada yang
janggal. Semua berjalan dengan normal. Gue tetap setia dengan dia, begitu juga pacar
juga menjaga hatinya, khusus buat gue.
Kita masih sama seperti waktu awal-awal jadian dulu.
Kita masih sama seperti cinta yang di ikat oleh komitmen.
Keadaa’an mulai berbeda, saat tabungan gue mulai menipis, selepas gue belum dapat
kerja lagi, sehabis mundur dari pekerjaan yang lama, karena harus ngerawat Ayah masuk
ruang opname di salah satu Rumah Sakit besar di Surabaya, karena mengalami penyakit
stroke. Gue kembali menghadapi titik nol. Dimana gue harus mencari pekerjaaan baru,
yang bisa memberi keyakinan pada orang tuanya, kalo gue, adalah laki-laki yang bisa
bertanggung jawab. Dan mapan untuk anak sulungnya. Ini demi masa depan hubungan
kami. Kita pun akhirnya sama-sama menyibukkan diri.
Frekuwensi telfonan kita pun, sangat jarang kita lakukan. Dari yang biasanya telfonan
semalaman sampek pagi, kadang cuma sejam doang, itu pun kalo sempat. Jejaring media
sosial kita pun, juga ikutan sepi. Kita jarang bertegur sapa lewat mention di twiter, atau
sekedar chating online lewat facebook. Gue memaklumi, posisinya dia sebagai seorang
mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar -- yang akhir-akhir ini, diberatkan oleh
berbagai tugas oleh Dosennya. Dan sekarang, kami pun kehilangan sesi-sesi untuk
ngobrol sepanjang malam.
Pada suatu malam, sehabis gue pulang kuliah, gue telfon dia, setelah tiga kali
nada sambung, dia mengangkat, “Aku ngantuk, ini baru selesai ngerjain tugas,
dan besok aku harus ke kampus jam tujuh pagi,” katanya, setengah ngambek.
Dan gue sangat paham, kalo dia lagi ngambek, biasanya males banget nyebut nama gue.
Dalam satu tarikan napas, gue jawab.
“Kita seharian, saling nggak kasih kabar. Kamu kemana aja, sih ?” tanya gue ke
dia.
“Udah, Mas, urusin pekerjaanmu dulu, jangan mikirin telfonan terus,” jawabnya,
kesal. “Udah, aku mau tidur lagi, jangan berisik” lanjutnya.
Ada hening sebentar, lalu gue jawab. “Iya, udah terserah!”
Klik. Kemudian gue menutup telfonnya.
Sebulan belakangan, gue merasa ada sesutau yang janggal pada hubungan ini. Kita
bagaikan dipisahkan oleh benua yang berbeda, yang berjarak di antara perbatasan waktu
siang dan malam. Sangat jauh. Bayangin aja, saat pacar sibuk kuliah, gue sibuk mencari
pekerjaaan baru. Saat pacar pulang kuliah, gue malah berangkat kuliah -- demi
menempuh pendidikan sarjana. Saat gue pulang kuliah, pacar sudah tertidur pulas.
Situasi tidak sehat semacam ini, sudah berlangsung selama sebulan lebih, hingga
puncaknya gue kangen banget buat nemuin dia di kota Malang sana.
Di waktu yang berbeda, pada suatu malam yang sama, gue telfon dia lagi, untuk
merencakan ketemuan besok paginya, karena sudah sebulan lebih kita belum ketemu.
Perasaan kangen pun, sudah memuncak sampai di ubun-ubun. Seperti seseorang yang
telah berubah, dia bilang gini ke gue.
“Ketemuan terus, yang kamu pikirin, Mas” katanya. “Urusin sana pekerjaanmu?”
lagi-lagi dia menolak dengan nada yang meninggi.
Gue menghela napas, lalu gue jawab, “Udah Hunnnyi, tadi siang aku sudah
wara-wiri ke berbagai perusahaan, kirim surat lamaran kerja. Terus, nyelesaain
naskah buku, yang bakal aku kirim ke penerbit.”
“Pokoknya sekarang, nggak usah mikirin jadi penulis dulu, urusin sana cari
pekerjaan baru.” kata dia. Memang pada saat itu, gue sedang mengejar naskah
buku yang pertama -- yang akan gue kirim ke penerbit.
Jujur, sambil kesal gue mengeluarkan umpatan khas bahasa Surabaya, lalu gue
balas, “Kamu kenapa, sih, sensitif banget, pasti lagi ada tamu, kan?” tanya gue,
mencairkan suasan.
“Nggak usah sok ngelucu, ini serius, Mas.” katanya, menimpali. “Kamu kasar
banget, sama aku Mas. Aku perempuan, nggak perlu ngumpat kayak gitu.” dia
nangis sesunggukan, di seberang sana, lalu gue bingung harus berbuat apa lagi.
Untuk meluluhkan hatinya, gue pun mencoba ngomong lebih halus lagi. “Iya, aku
butuh kamu, di saat seperti ini Hun?. Maafin aku, kalo tadi sempat marah. Aku
butuh semangatmu. Inget komitmen kita: kita sampai nikah kan?.’’ tanpa
membalas pertanyaan gue. Dia malah balik, bertanya.
“Iya, tapi lebih baik kita sampai sini aja, deh, Mas.” katanya, memberi keputusan
sepihak
.
Gue menghela napas, sedetik kemudian gue tanya, “Maksudnya?”
“Kita putus,” jawab dia.
“Aku gak, mau, terus gimana?”
“Aku ngga bisa menerima keadaan kamu yang sekarang, Mas.”
“Segampang ini kita putus, kita sudah lebih dari tiga tahun bersama, ini hati Dek,
bukan mainan?,” tanya gue, mencoba tetap bertahan.
“Pokoknya kita berteman aja, ya!.” jawabnya sepeti yang tadi, tanpa memberi
alasan yang jelas.
Hari itu, seperti mimpi buruk di siang bolong.
Selanjutnya ingatan gue samar-samar, tidak jelas. Gue masih ingat, habis itu gue, nangis
kejer di dalam kamar. Meratapi, sekaligus ngebayangin kalo dikemudian hari, dia bakalan
menjadi orang lain, menjauh, hingga gue tidak bisa mengenalinya lagi. Lalu
keberadaannya lenyap dari kehidupan ini, meskipun raganya masih bernyawa. Gue
terbaring tiduran di kamar, sambil mendengar kata ‘Putus’ yang terus mengambang di
ingatan. Pacar tetap bersikukuh, kalo hubungan ini terpaksa harus berakhir dengan
keputusan satu pihak. Dia ngomong dengan berbagai macam hal, “Meski pun kita
temenan, kamu boleh kok lain waktu main ke sini.” Malam itu, telfon gue matikan,
setelah dia bilang, “Kita tetap sahabatan kan?”
***
Patah hati ini adalah runtuhnya sebuah harapan, tapi kali ini beda, gue merasa separuh
nyawa gue ada yang hilang. Dan ini adalah patah hati terhebat yang pernah gue alami.
Seminggu setelah kita putus, pikiran gue masih murung, mau ngapain aja, bawaannya
males. Gue berubah menjadi anak yang suka mengurung diri di kamar. Menguncinya
rapat-rapat dari dalam. Gue bingung, kenapa dia pergi dengan mengambil keputusan
sepihak, sewaktu perasaan rindu gue mencapai titik puncak. Gue bingung, dia pun juga
sama sekali tidak menghubungi gue.
Dunia sekaan menjadi sepi, gue merasa terhempas ke dalam terowongan waktu yang
gelap. Seolah-olah gue menjadi manusia paling kesepian di dunia ini. Hati gue berubah
menjadi sangat sensitif, saat mendengar musik melankolis yang keluar dari TV. Yang
pernah kita dengarkan sewaktu pacaran dulu. Lirik lagu, dia hanya dia dimatakunya ‘Sami
Simolangkir’, kini menjadi nada yang menyedihkan. Lalu gue menangis meratapi cinta
yang pergi begitu saja, sambil memeluk erat kemeja dari pembeliannya. Badan gue pun
semakin kurus, karena berhari-hari nafsu makan pun ikutan pergi.
Rutinitas gue berjalan sangat landai. Bangun pagi, kemudian mandi, lalu balik
mengurung diri di kamar. Begitu terus, monoton. Gue keluar rumah cuma pas mau,
berangkat kuliah. Air mata gue meleleh, sewaktu gue harus melewati Stasiun Gubeng.
Lalu melewati rumah makan nasi padang Pak Badrun, yang sering kita kunjungi sewaktu
makan bersama.
Seolah-olah bayangan dia masih ada, di tempat-tempat sewaktu kita pacaran dulu.
Kenangan-kenangan indah dulu, berubah menjadi ingatan kejam yang menikam setiap
waktu. Di kampus pun, gue kehilangan konsentrasi. Mengikuti sesi kuliah hanya ala
kadarnya, asal masuk, dan lebih banyak berdiam di dalam kelas.
Lalu pada suatu malam, sewaktu gue sedang duduk sendirian di halte taman
kampus, dia tiba-tiba telfon. “Mas, kamu makan ya, sudah beberapa hari ini, aku
denger dari bapak-ibukmu, kamu ndak mau makan?” katanya, dari seberang
sana.
Gue pun tidak menjawab perhatian sesaatnya. Gue menghela napas, setelah satu
tarikan napas, gue balas. “Aku gak mau kita putus, Hunyi.” jawab gue, dengan
suara yang parau.
“Ehm..,’ jawabnya, lalu ada hening sejenak. “Kamu harus berubah, ya?”
balasnya.
“Berubah gimana Huni,” gue balik bertanya. “Aku kan, tetep cowok yang kamu
kenal sama seperti sewaktu kita jadian di bulan Februari 2013,”
Dia tersenyum sebentar. Lalu menjawab. “Iya, pokoknya Huni, berubah ya, jangan
kurus gitu, aku nggak mau punya cowok jelek.” katanya memberi sebuah harapan
baru.
Kabar bahagia ini pun, mampu mengangkat diri gue dari keterpurukan. Gue juga tidak
sempat bertanya kenapa dia berubah pikiran, kalo kita akan tetap bersama lagi. Suatu
hari berselang, setelah dia ngasih perhatian, kita sangat inten berkomunikasi lewat
blackberry masangger. Kita kembali seperti sedia kala, memanggil satu sama lain dengan
sebutan “Huni dan Hunyi,’ tapi pikiran gue masih penuh tanda tanya. Apa yang
sebenarnya sedang terjadi disana. Saat gue, meminta alasanya, dia selalu ngasih jawaban
yang sama.”Kamu, jangan fokusin jadi penulis Mas, nyari kerjaan mapan aja dulu, ya!”
Pada akhir bulan Oktober 2014, pada suatu malam, entah ada angin apa, belum genap
seminggu kita saling komunikasi. Ada yang terasa sangat beda dari dia. Sewaktu
pagi-pagi gue tanyakan, kabar dia disana, lewat blackberry masangger, tapi baru malam
hari, dia sempatkan membalas pesan gue. Komunikasi dari waktu ke waktu, semakin
memburuk lagi. Setiap kali gue menanyakan keadaannya, untuk sekedar memastikan
hari itu dia sudah makan, dia merasa terganggu dengan pehatian gue. Puncaknya malam
berikutnya, sehabis gue selesai mengikuti kuliah, mendadak dia telfon.
Dengan suara yang sangat pelan, dia ngasih kabar mengejutkan. “Mas, aku sudah
bersama dengan orang lain. Anaknya satu kelas sama aku di kampus,’ kata dia,
kalem.
Gue belum menjawab. Kabar ini seperti sebuah mimpi di siang bolong. Pahit sekaligus
pedih. Pahit karena, gue merasakan kecewa yang terlalu dalam, pedih karena komitmen
yang pernah kita bangun kini lenyap. Mata gue sembab. Pelan-pelan bulir air mata gue
tumpah di halte taman kampus.
Dengan penuh rasa kecewa yang sangat dalam, terpaksa gue jawab. “Kamu
hati-hati disana.” Klik. Lalu telfon gue tutup seketika. Dan mungkin ini terakhir
kalinya gue mendengar suaranya. Setelah sekian lama gue merindukannya tapi
tak sempat tersampaikan untuk bertemu.
Di parkiran kampus, gue menyalakan motor. Tiba-tiba saja gue mendapat pikiran untuk
pergi ke Stasiun Gubeng. Motor gue melaju ke jalan protokol bertuliskan: JL. Raya
Gubeng. Sampai disini gue belum paham, kenapa gue tiba-tiba sudah berada di Stasiun --
tempat dimana kita bertemu dan berpisah. Mungkin karena perasaan cinta gue, kelewat
lebih dalam, dari sekedar patah hati. Mungkin tempat ini, memang pas untuk melepas
beban rasa kangen.
Di Stasiun Gubeng, gue duduk di pinggiran pintu masuk. Mata gue tertuju pada semua
orang yang lalu-lalang keluar masuk, pintu keberangkatan. Sebagian dari mereka, saling
bersalaman, dan berpelukan. Kenangan manis gue dengan dia sewaktu pacaran, datang
bertubi-tubi. Mulai dari sewaktu gue jemput dia, lalu kemudian dia nyium tangan gue.
Mulai dari makan bareng di rumah makan nasi padang, sampai ingatan kita sewaktu
telfonan sampai pagi. Semua menumpuk dalam kepala.
Semua kenangan lama itu, mengetuk ingatan tanpa kata permisi. Bayangan-bayangan
masa lalu sewaktu pacaran dengan dia, berterbangan di kepala gue, meminta untuk di
ingat. Entah kenapa, kenangan ini terasa begitu getir dan pahit. Kebahagiaan yang
sempat gue rasakan bertahun-tahun dengannya, kini berubah menjadi hujan air mata.
Gue seakan menelan pil pahit, sewaktu gue ingat, janji-janji, yang pernah kita ucapkan
dulu: kita sampai menikah. Gue belum bisa bersahabat dengan keadaan seperti ini,
ketika dia sudah dengan orang lain.
Gue berjalan masuk, ke dalam ruang tunggu stasiun. Lalu tiba-tiba, terdengar satu sirine
kereta api yang datang, kemudian suara desingan lokomotifnya membuyarkan lamunan
gue. Seakan-akan menghancurkan kepingan kenangan lama yang mencoba kembali
datang. Sepertinya ada yang memang harus selesai di antara patah hati terhebat ini.
Sama seperti kereta api yang datang setelah perjalanan panjang, cinta punya batas
waktu, kapan harus berhenti karena sebuah penghianatan.