Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penyakit Ginjal Kronis_Tri Pudy

Embed Size (px)

Citation preview

Hipertensi dan Penyakit Ginjal KronisTri Pudy Asmarawati Budi Baktijasa PENDAHULUAN Hipertensi telah mempengaruhi kurang lebih 25% populasi dewasa di seluruh dunia. Prevalensinya diperkirakan meningkat sampai 60% pada tahun 2025. Kondisi ini merupakan faktor risiko mayor terjadinya penyakit kardiovaskuler dan penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia.1 Prevalensi yang tinggi ini juga merupakan penyebab penting terjadinya endstage kidney disease (ESKD), dengan resiko yang lebih tinggi pada kulit hitam. 2 Ginjal dan tekanan darah mempunyai suatu hubungan yang unik. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan penyebab sekaligus akibat dari hipertensi, dengan melalui proses yang multifaktorial.3 Lebih dari 80% pasien PGK mengalami hipertensi, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg. Hasil uji klinis maupun studi observasional menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik merupakan prediktor kuat terjadinya ESKD oleh berbagai sebab termasuk hipertensi esensial, diabetes, dan glomerulonefritis.4 Hipertensi pada PGK seringkali bersifat menetap dan berkaitan dengan risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler yang tinggi dibandingkan dengan hipertensi tanpa disertai PGK. Hipertensi pada pasien dengan penyakit parenkim ginjal kronik baik diabetik maupun nondiabetik mempercepat berkurangnya fungsi ginjal seperti halnya proses lain seperti aterosklerosis.5,6 Data-data epidemiologis dan uji klinis menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah memperlambat perburukan PGK dan sekaligus menurunkan resiko kematian akibat penyakit kardiovaskuler. 4 Penatalaksanaan hipertensi pada PGK selain bertujuan untuk menurunkan tekanan darah juga untuk mencegah perburukan fungsi ginjal.2,3 Kebanyakan pasien dengan hipertensi dan PGK akan memerlukan antihipertensi multipel untuk mencapai target tekanan darah sesuai rekomendasi. Proteinuria adalah faktor resiko penting pada PGK sehingga penurunan proteinuria merupakan tujuan penting lainnya yang perlu dicapai pada penatalaksanaan hipertensi dan PGK.4 Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai patogenesis dan penatalaksanaan hipertensi pada pasien dengan PGK.Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

1

PATOGENESIS Komponen utama yang menentukan tekanan arterial adalah curah jantung dan tahanan perifer. Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup dan frekuensi denyut jantung, sementara volume sekuncup dipengaruhi oleh kontraktilitas miokard dan ukuran kompartemen vaskuler. Tahanan perifer ditentukan oleh perubahan anatomi dan fungsional pada arteri kecil (diameter lumen 100-400 m) dan arteriol. Mekanisme hipertensi antara lain ditentukan oleh volume intravaskuler, sistim saraf otonom, sistem renin-angiotensinaldosteron, dan mekanisme vaskuler.7 A. VOLUME INTRAVASKULER Volume intravaskuler merupakan penentu utama tekanan arterial. Natrium adalah komponen ion ekstraseluler dan berperan menentukan volume cairan ekstraseluler. Jika asupan NaCl melebihi kapasitas ginjal untuk mengekskresi natrium maka volume vaskuler akan meningkat diikuti dengan peningkatan curah jantung. Bagaimanapun juga, kebanyakan vascular beds (termasuk otak dan ginjal) mampu melakukan otoregulasi aliran darah. Jika aliran darah dipertahankan konstan pada kondisi peningkatan tekanan arterial, maka tahanan pada vaskuler tersebut harus dinaikkan. 7 Peningkatan awal tekanan darah sebagai respon terhadap peningkatan volume vaskuler disebabkan oleh peningkatan curah jantung, bagaimanapun juga, lama kelamaan tahanan perifer akan meningkat dan curah jantung kembali ke arah normal. Pada saat tekanan arterial meningkat akibat tingginya asupan NaCl, ekskresi natrium lewat urin meningkat dan keseimbangan natrium dipertahankan. Mekanisme ini disebut fenomena pressure-natriuresis yang menimbulkan peningkatan ringan glomerular filtration rate (GFR), menurunkan kapasitas absorpsi tubulus renal, dan kemungkinan juga faktor hormonal seperti atrial natriuretic factor. Pada individu dengan gangguan kapasitas ekskresi natrium, diperlukan tekanan arterial yang lebih tinggi untuk mencapai natriuresis dan keseimbangan natrium.7 ESKD merupakan contoh ekstrim hipertensi terkait volume. Pada sekitar 80% dari pasien-pasien ini, volume vaskuler dan hipertensi dapat dikontrol dengan dialisis adekuat. Sedangkan 20% lainnya mekanisme hipertensi berkaitan dengan peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin sehingga diperlukan hambatan farmakologis pada reninangiotensin untuk mengontrol tekanan darah. 7

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

2

B. AKTIVITAS SISTIM SARAF OTONOM Sistim saraf otonom mempertahankan homeostasis kardiovaskuler melalui sinyal tekanan, volume, dan kemoreseptor. Refleks adrenergik mengatur tekanan darah pada jangka pendek, dan fungsi adrenergik bersamaan dengan faktor terkait volume dan hormonal berperan dalam regulasi tekanan arterial jangka panjang. Ketiga katekolamin endogen (norepinefrin, epinefrin, dan dopamin) berperan penting dalam regulasi kardiovaskuler. Neuron adrenergik membentuk norepinefrin dan dopamin (prekursor norepinefrin), dan disimpan di dalam vesikel pada neuron. Apabila neuron dirangsang, neurotransmiter ini akan dilepaskan ke celah sinaptik dan reseptor pada jaringan target. Selanjutnya, transmiter ini akan dimetabolisme atau diambil kembali oleh neuron. 7 Beberapa refleks memodulasi tekanan darah dari menit ke menit. Salah satu barorefleks arterial diperantarai oleh ujung saraf sensoris yang berada di sinus karotikus dan arkus aorta. Perangsangan pada baroreseptor ini meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan arteri yang mengakibatkan penurunan respon simpatetik sehingga tekanan arteri dan denyut jantung menurun. Bagaimanapun juga, aktivitas barorefleks ini menurun atau beradaptasi dengan tingginya tekanan arterial sehingga baru bekerja pada tekanan yang lebih tinggi. Pasien dengan neuropati otonom dan gangguan fungsi barorefleks dapat memiliki tekanan darah yang labil dengan episode peningkatan yang sulit dikontrol.7 Feokromositoma adalah contoh hipertensi akibat peningkatan sekresi katekolamin. Tekanan darah dapat diturunkan dengan tindakan eksisi tumor atau terapi farmakologis dengan antagonis reseptor 1 atau dengan inhibitor tirosin hidroksilase. Peningkatan aktivitas simpatis juga dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme ini. Obatobatan yang menghambat sistem saraf simpatis merupakan antihipertensi yang poten. 7 C. RESPON SISTEM RENIN-ANGIOTENSIN-ALDOSTERON Sistem renin-angiotensin-aldosteron berperan dalam regulasi tekanan arteri terutama melalui efek vasokonstriksi angiotensin II dan efek retensi natrium oleh aldosteron. Tiga stimulus utama yang merangsang sekresi renin yaitu: (1) menurunnya transpor NaCl di pars asenden loop of henle (mekanisme makula densa), (2) penurunan tekanan di dalam arteriol aferen ginjal (mekanisme baroreseptor), dan (3) stimulasi sistem saraf simpatis pada sel yang mensekresi renin lewat adrenoreseptor1. Sebagai kebalikan, sekresi renin dihambat oleh peningkatan transport NaCl di pars asenden loop of henle, peningkatanTinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

3

tekanan di dalam arteriol aferen ginjal, dan blokade reseptor 1. Selain itu, sekresi renin juga dipengaruhi oleh berbagai faktor humoral, termasuk angiotensin II. Angiotensin II secara langsung menghambat sekresi renin oleh reseptor angiotensin II tipe 1 pada sel juxtaglomerulus, dan sekresi renin meningkat sebagai respon terhadap blokade farmakologis pada reseptor angiotensin-converting enzyme (ACE) atau angiotensin II.7 Pada saat dilepaskan ke sirkulasi darah, renin aktif akan membelah angiotensinogen untuk membentuk angiotensin I. Angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat terutama di sirkulasi pulmonal. Angiotensin II merupakan presor poten dan faktor utama untuk sekresi aldosteron. Angiotensin II bekerja terutama pada reseptor angiotensin II tipe 1 (AT 1) yang terdapat pada membran sel. Reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2) tersebar di dalam ginjal dan mempunyai efek fungsional yang berlawanan dengan reseptor AT1. Reseptor AT2 menginduksi vasodilatasi, ekskresi natrium, dan menghambat pertumbuhan sel serta pembentukan matriks. Bukti-bukti eksperimental menunjukkan bahwa reseptor AT2 memperbaiki remodelling vaskuler dengan merangsang apoptosis sel otot polos dan berperan dalam regulasi laju filtrasi glomerulus. Blokade reseptor AT1 menginduksi peningkatan aktivitas reseptor AT2.7 Tumor yang mensekresi renin adalah contoh hipertensi terkait renin. Pada kondisi ini, selain dengan eksisi atau ablasi tumor, terapi farmakologis yang menghambat produksi angiotensin II juga diperlukan untuk mengontrol hipertensi. Hipertensi renovaskuler merupakan contoh lain hipertensi terkait renin. Obstruksi pada arteri renalis menyebabkan penurunan perfusi ginjal sehingga merangsang sekresi renin. Seiring dengan perjalanan penyakit maka akan terjadi kerusakan ginjal sekunder.7 Angiotensin II merupakan faktor primer yang mengatur sintesis dan sekresi aldosteron oleh korteks adrenal zona glomerulosa. Sintesis aldosteron juga tergantung pada kalium dan sekresinya menurun pada individu dengan kalium rendah. Aldosteron adalah mineralokortikoid poten yang meningkatkan reabsorpsi natrium. Keseimbangan elektrik dipertahankan melalui pertukaran natrium dengan kalium dan ion hidrogen. Maka dari itu, peningkatan sekresi aldosteron akan menyebabkan hipokalemia dan alkalosis. 7 EFEK HIPERTENSI TERHADAP GINJAL Otoregulasi ginjal normal bekerja untuk mempertahankan renal blood flow (RBF) dan GFR konstan selama tekanan arteri rata-rata 80-160 mmHg. Proses ini terjadi melalui 2 mekanisme intrinsik pada ginjal, yaitu refleks miogenik di arteriol aferen dan umpan balikTinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

4

tubuloglomerulus. Refleks miogenik yang terbatas pada arteriol aferen menyebabkan pembuluh darah mengalami konstriksi atau dilatasi sebagai respon terhadap perubahan tekanan intraluminal. Peningkatan tekanan arteri menyebabkan respon vasokonstriksi, sedangkan penurunan tekanan arteri menyebabkan vasodilatasi. Umpan balik

tubuloglomerulus merespon perubahan tonus aferen ini dengan mengatur konsentrasi NaCL di tubulus distal. Konstriksi yang disebabkan oleh angiotensin II pada arteriol eferen memberikan perlindungan tambahan untuk mempertahankan GFR pada saat tekanan perfusi ginjal turun.2,8 Pada kondisi normal, vasodilatasi otoregulasi maksimal terjadi pada tekanan arteri rata-rata 80 mmHg, sehingga apabila terjadi penurunan tekanan darah lebih lanjut, GFR dan RBF akan mulai turun. Sementara saat tekanan arteri rata-rata mendekati batas atas kurva otoregulasi, konstriksi pembuluh darah preglomeruler tidak lagi mampu mengatasi tingginya tekanan darah sehingga terjadi transmisi langsung tekanan darah tinggi ke dalam sirkulasi glomerulus. Resultante tekanan intraglomeruler tinggi menyebabkan jejas glomerulus dan kerusakan ginjal dengan cepat.8 Pada hipertensi kronik, arteri-arteri kecil pada ginjal, termasuk arteriol aferen, mengalami beberapa perubahan potologis yang merubah otoregulasi ginjal. Seperti halnya pembuluh darah di manapun, arteriol aferen pada awalnya mengalami disfungsi endotel yang mengakibatkan gangguan vasodilatasi. Lama kelamaan, gangguan ini diperparah dengan perubahan histologis yaitu arteriosklerosis dan hiperplasia miointima. Perubahan fungsi dan struktur pembuluh darah ini digambarkan dengan pergeseran ke kanan kurva otoregulasi (Gambar 1).8 Lesi vaskuler aterosklerotik terkait hipertensi pada ginjal awalnya mengenai arteriol preglomeruler yang menyebabkan perubahan iskemik di glomerulus dan struktur postglomeruler. Jejas glomerulus dapat juga merupakan konsekuensi kerusakan langsung pada kapiler karena hiperperfusi glomerulus. Patologi glomerulus berkembang menjadi glomerulosklerosis dan kemudian tubulus renal mengalami iskemik dan bertahap menjadi atrofi. Lesi pada ginjal terkait hipertensi maligna terdiri dari nekrosis fibrinoid pada arteriol eferen, terkadang meluas pada glomerulus dan menyebabkan nekrosis fokal. Secara klinis, makroalbuminuria (rasio albumin urin/kreatinin urin acak >300 mg/g) atau mikroalbuminuria (rasio albumin urin/kreatinin urin acak 30-300 mg/g) merupakan petunjuk awal untuk kerusakan ginjal.7Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

5

Gambar 1. Otoregulasi ginjal untuk mempertahankan tekanan intreglomeruler relatif konstan dengan variasi MAP. Pada hipertensi kronik, kurva bergeser ke kanan. Dengan terjadinya gagal ginjal kronis, otoregulasi ginjal berubah sedemikian rupa sehingga tekanan intraglomeruler lebih bervariasi tergantung MAP. Jika perubahan ini berkelanjutan maka kurva akan semakin linier. Akibatnya, peningkatan MAP memperparah peningkatan tekanan intraglomeruler, dan sebaliknya.

HIPERTENSI PADA PGK DAN DIALISIS Pada individu normal, perubahan volume ekstraseluler jangka pendek menyebabkan hanya sedikit perubahan tekanan darah karena adanya efek buffer dari sistem renin angiotensin (RAS). Hal ini dibuktikan dari pengamatan bahwa peningkatan asupan garam pada diet mengakibatkan peningkatan berat badan kurang lebih 1,5-2 kg, akan tetapi tidak ada perubahan tekanan darah bermakna oleh karena RAS ditekan. Percobaan dengan antagonis angiotensin II pada individu dengan hipertensi esensial dan ACE-inhibitor pada subjek normal dan hipertensi menunjukkan bahwa supresi RAS berperan dalam sedikitnya peningkatan tekanan darah pada kondisi perubahan volume ekstraseluler (ECV) yang besar.9,10 Individu dengan ESKD sebagai akibat glomerulonefritis atau arteriosklerosis glomerulus, yang ditunjukkan dengan adanya hipertensi maligna, terjadi kerusakan arsitekstur glomerulus yang nyata. Hal ini menyebabkan iskemia juxtaglomerular apparatus (JGA) sehingga timbul gangguan sekresi renin. Penderita ESKD dengan peningkatan plasma renin activity (PRA) lebih sering disebabkan oleh glomerulonefritis atau arteriosklerosis daripada penyakit tubulointerstitial. Glomerulosklerosis menyebabkan penurunan progresif filtrasi glomerulus yang kemudian menurunkan paparan NaCl pada makula densa. Kondisi tersebut juga menyebabkan turunnya stimulasi baroreseptor pada region nefron yang kemudian meningkatkan sekresi renin oleh JGA. Sebaliknya, kekurangan air dan garam yang

Tinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011

6

sering menyertai penyakit tubulus ginjal menyebabkan tingginya paparan natrium pada sel makula densa di tubulus distal yang kemudian menekan sekresi renin. 9,10 Patofisiologi utama hipertensi pada pasien dialisis adalah ekspansi volume ekstraseluler.11 Pasien PGK yang telah menjalani hemodialisis (HD), fungsi ekskresi ginjal sebagian besar digantikan oleh dialisis. Individu tersebut mampu mengabsorpsi air dan garam seperti halnya individu dengan fungsi ginjal normal, tetapi mereka tidak dapat mengekskresinya sehingga harus dibuang setiap kali menjalani dialisis. Secara umum, pasien HD, yang menjalani dialisis tiga kali seminggu, mengalami peningkatan ECV 1-3 liter di antara tiap dialisis. Fluktuasi konstan ECV ini yang menyebabkan kerusakan sistem kardiovaskuler, selain itu juga berperan dalam peningkatan tekanan darah. 9-11 Mayoritas individu yang telah menjalani HD, di samping hilangnya hampir seluruh fungsi ekskresi, masih memiliki kemampuan untuk sekresi renin maupun respon terhadap perubahan volume, dan PRA dapat semakin meningkat. Kondisi ini tampaknya mengganggu mekanisme umpan balik volume renin-garam pada pasien HD hipertensif dan individu ini biasanya mensekresi renin dalam jumlah besar untuk status volume mereka dibandingkan dengan individu normal atau pasien HD normotensif. Kenyataan bahwa pasien HD mengalami overload cairan kronis dan terjadi kelainan aktivitas RAS inilah yang menyebabkan sebagian besar menderita hipertensi. 9 PENATALAKSANAAN Tujuan utama terapi antihipertensi pada PGK adalah untuk menurunkan baik tekanan sistemik maupun tekanan intraglomeruler. Penurunan tekanan darah sistemik dapat, tetapi tidak selalu, menurunkan tekanan intraglomeruler. Tujuan terapi lainnya adalah menurunkan ekskresi protein urin, mengurangi perburukan fungsi ginjal, dan mendapatkan efek kardioprotektif.3,12 Kebanyakan pasien PGK dan hipertensi memerlukan tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah 130/80 mmHg pada Diabetes atau PGK dengan proteinuria derajat apapun

(jika TD sistolik 100 mmHg. Sementara, apabilaTinjauan Kepustakaan Departemen/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2011 10

MAP dipertahankan