7
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam Salah satu permasalahan yang timbul dikalangan pengkaji hukum Islam dalam masa modern ini adalah mengenai pencatatan nikah terutama mengenai dimana posisi pencatatan nikah dalam sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung kewajiban untuk mencatatkan perkawinan, yaitu ulama kontemporer, dan sebagian lainnya terutama para ulama klasik sebaliknya tidak menjadikan pencatatan nikah sebagai aturan yang harus dijalankan. Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini pemakalah akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan pencatatan pernikahan. A. Tujuan Pencatatan Pernikahan (di Indonesia) Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap sah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Selain itu disebutkan dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan adalah agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) UU tersebut dijelaskan bahwa: “ Maksud pasal ini ialah agar nikah. talak dan rujuk menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan , kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan waris-mal-waris sehingga perkaiwnan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan.[1] Selanjutnya tersebut pula dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. dan ditegaskan Perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawa Pencatat Nikah.[2]

Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pencatatan pernikahan menjadi permsalahan dikalanagn umat Islam. Akan tetapi dalam era ini pencatatan pernikahan menjadi alat bukti yang penting dalam akad nikah.

Citation preview

Page 1: Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com

Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam

Salah satu permasalahan yang timbul dikalangan pengkaji hukum Islam dalam masa

modern ini adalah mengenai pencatatan nikah terutama mengenai dimana posisi pencatatan nikah

dalam sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung kewajiban untuk mencatatkan

perkawinan, yaitu ulama kontemporer, dan sebagian lainnya terutama para ulama klasik sebaliknya

tidak menjadikan pencatatan nikah sebagai aturan yang harus dijalankan. Untuk mencoba

menyelesaikan masalah ini pemakalah akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan

pencatatan pernikahan.

A. Tujuan Pencatatan Pernikahan (di Indonesia)

Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar

seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah

melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap sah sebagai bukti

syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika

pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah

dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan,

ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat

pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.

Selain itu disebutkan dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan

adalah agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) UU

tersebut dijelaskan bahwa: “ Maksud pasal ini ialah agar nikah. talak dan rujuk menurut agama

Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang

bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan , kematian dan

sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan waris-mal-waris sehingga

perkaiwnan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan.[1] Selanjutnya tersebut pula dalam

Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di

bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. dan

ditegaskan Perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan

hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawa

Pencatat Nikah.[2]

Page 2: Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com

B. Pencatatan Nikah Di Negara Lain

Yang dimaksud dengan Negara lain disini adalah Negara dengan penduduk mayoritas Islam

atau Negara dengan Hukum Islam. Pada subbab ini hanya akan dijelaskan sekilas mengenai

Pencatatan nikah di beberapa negara lain.[3]

1. Malaysia

Dalam Hukum Perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran/pencatatan

perkawinan. Proses pencatatan dilakukan setelah selesai akad nikah. Contohnya teks UU

Pinang 1985 pasal 25; “Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiap-tiap orang yang

bermastautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkahwinan tidap-tiap orang yang tinggal di

luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulai Pinang hendaklah didaftarkan mengikuti

Enakmen ini”. Bagi orang yang tidak mencatatkan perkawinannya merupakan perbautan

pelanggaran dan dapat dihukum dengan hukuman denda atau penjara.

2. Brunei Darussalam

Sebagaimana Negara sebelumnya, Brunei juga mengharuskan adanya pendaftaran

perkawinan, meskipun dilakukan setelah akad nikah dan lewat pendaftaran inilah Pegawai

Pendaftar memerikas lengkap atau tidak syarat-syaratnya. Bagi pihak yang tidak mendaftarkan

perkawinannya termasuk pelanggaran yang dapat dihukum denda atau penjara.

3. Mesir

Aturan pertama tentang pencatatan tersebut dalam UU Mesir tentang Organisasi dan Prosedur

Beperkara di pengadilan Tahun 1897, disebutkan dalam UU ini , pemberitahuan satu

perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). kemudian menurut

peraturan tahun 1911, pmbuktian harus dengan catatan resmi pemerintah atau tulisan dan

tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal dan dalam peraturan tahun 1931 lebih

doertegas lagi dengan kata-kata harus ada bukti resmi ( Akta) dari pemerintah.

4. Lebanon

Dalam UU lLebanon mengeani Hukum Keluarga tahun 1962 disebut , seharusnya pegawai

yang berwenang hadir dan mencatatkan perkawinan. Tetapi tidak ada penjelasan tentang

Page 3: Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com

status dan akibat hukum perkawinan yang tidak sesuai prosedur.

5. Iran

Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan. Perkawinan atau

perceraian yang tidak dicatatkan adalah satu pelanggaran.

6. Pakistan dan Bangladesh

Dalam Muslim Family Law Ordinance tahun 1961, Pakistan dan Bangladesh mengharusan

pendaftaran perkawinan. Ulama Tradisioanl Pakistan juga setuju dengan kaharusan

pencatatan perkawinan, dengan syarat tidak dijadikan syarat syah perkawinan. Bagi yang

melanggar peraturan dapat dihukum denda dan atau penjara.

7. Yordania

Dalam UU Yodania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan adanya pencatatan perkawinan dan

yang melanggar dapat dihukum baik mempelai maupun pegawai dengan hukuman pidana.

Selain Negara-negara tersebut Negara lainya sperti Syria, Maroko, Tunisia, Libya , Yaman

diberlakukan peraturan pencatatan nikah.

C. Dampak Negatif tidak Dicatatkannya Perkawinan

Beberapa akibat negatif disebabkan tidak dicatatkannya suatu akad pernikahan adalah:

1. Sebagaiman penjelasan sebelumnya, bahwa tujuan pencatatan nikah adalah untuk kepastian

hukum. Sehingga jika terjadi sengketa dalam perkawinan maka akan kesulitan dalam pemecahan

permasalahan di pengadilan.

2. Terkait nikah siri (nikah yang tidak tercatat Negara), akibat tidak memiliki Akta Nikah, dalam

banyak kasus yang banyak dirugikan adalah pihak Istri. Siti Lestari dari Lembaga Bantuan Hukum

Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan atau LBH APIK yang dalam kegiatannya memberikan

pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya perempuan, mengatakan bahwa pernikahan siri

ternyata banyak memberikan kerugian terhadap perempuan. Menurutnya, apa-apa yang berdampak

dari perkawinan siri secara hukum tidak diakui. Maka apabila pasangan siri tersebut menginginkan

perceraian, maka cerainya pun hanya dengan kesepakatan, tetapi pihak perempuan tidak dapat

menuntut, misalnya atas hak nafkahnya, hak perwalian anak, dan sebagainya apabila sang suami

tidak mau memberi.[4]

Page 4: Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com

3. Kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak. Padahal dewasa ini akta kelahiran

menjadi alat yang sangat penting terutama sebagai syarat masuk sekolah. Sehingga masa depan

anak ikut terkena dampak buruknya.

D. Dampak Negatif Adanya Pencatatan Nikah

“Hal negatif” yang mungkin saja bisa timbul akibat pencatatan nikah (Akta nikah).

1. Surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan

tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah

bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih

memegang surat nikah. [5]

E. Pentingnya Pencatatan Nikah

Beberapa hal mengenai pentingnya suatu akad nikah dicatatkan:

1. Sebagaimana tersebut dalam tujuan Pencatatan nikah, dengan adanya akta nikah maka

seseorang memiliki bukti yang sah menurut Negara sehingga jika terjadi suatu masalah, Negara

dengan kekuasaannya dapat mengadili.

2. Dalam Syari’ah Islam ketetapan seorang anak Syah hanya dapat dilakukan dengan ikrar atau

pembuktian dengan adanya dua orang saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat menjanjikan lagi

maka penacatatan nikah menjadi hal yang representative untuk mencapai tujuan maslahah.[6]

3. Begitu pentingnya alat bukti dalam satu perkawinan sehingga Rasulullah pernah menyatakan

bahwa nikah tanpa saksi identik dengan perbuatan zina. Bahkan Nabi SAW mensunahkan untuk

mengadaan walimah. [7]

F. Pencatatan Nikah Dalam Hukum Islam

Pembahasan mengenai pencatatan nikah dalam kitab-kitab fikih konvensional tidak ditemukan

hanya ada pembahasan tentang fungsi saksi dalam perkawinan. [8] Di dalam kitab-kitab Fikih

Klasik biasanya diterangkan bahwa secara filosofis keberadaan saksi bertujuan untuk memelihara

Page 5: Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com

kehormatan wanita dengan adanya kehati-hatian dalam masalah farji serta menjaga pernikahan dari

tindakan yang tidak bertanggung jawab sebab adanya tindakan curang yang dilakukan oleh salah

satu pihak serta menjaga status nasab.[9]Kebanyakan Ulama menyatakan bahwa pernikahan tidak

syah tanpa adanya bayinah (bukti) yaitu dengan kehadiran dua orang saksi ketika akad.[10]

Yang Perlu menjadi perhatian adalah bahwa dulu persaksian adalah alat yang paling utama

untuk menentukan hak seseorang, Karena persaksian adalah alat bukti yang paling terpercaya pada

masa itu. Karena masih banyak orang yang adil dan kredibel yang bisa dipertanggung jawabkan.

[11]

Mengenai saksi ini, beberapa pendapat Ulama Klasik sebagai berikut:[12]

a. Imam malik.

Imam Malik menekankan fungsi saksi, yakni pengumuman. Imam Malik

membedakan antara pernikahan sirri dengan pernikahan tanpa bukti. Niah sirri

adalah nikah yang secara sengaja dirahasiakan oleh para pihak yang terlibat dalam

pernikahan, hukum pernikahan seperti ini adalah tiadak sah. Sebaliknya hukum

pernikahan yang tidak ada bukti tetapi diumumkan kepada khalayak ramai

(masyarakat) adalah sah.

b. Imam Syafi’ie

Imam Syafi’ie mengharuskan saksi dalam pernikahan. saksi harus dua orang pria

yang adil.

Khorudin nasution menulis dalam bukunya bahwa pada prinsipnya semua ulama tersebut

mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah.

Sehingga dari penjelasan tersebut, bukanlah suatu kesimpulan yang radikal dan ekstrim jika

dikatakan Pencatatan Nikah berkedudukan penting sebagaimana halnya kedudukan dan fungsi

saksi dalam akad pernikahan,yaitu sebagai bukti telah dilangsungkannya akad pernikahan dengan

sah.

G. Kaitanya Dengan Nikah Sirri dan Istinbath Hukum

Adapun yang dimaksud dengan nikah sirri disini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan ke

Badan Pencatat Pernikahan.

Page 6: Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com

Dalam kaidah ulhsul al-Fiqhiyah, terdapat methode atau teknik yang dapat digunakan untuk

beristimbath al–Hukm. Dalam permasalahan Nikah Sirri, kita tidak dapat menemukan aturan di

dalam nash (al-Quran dan as-Sunnah as-Shohihahaw al-Maqbulah). Artinya dapat digunakan cara

lain, yang disebut dengan Ijtihad. Ijtihad dapat dilakukan dalam beberapa hal, antara lain:

1. Nash (al-Quran dan as-Sunnah) yang dzoni

2. Terhadap masalah-masalah yang secara explisit tidak disebutkan di dalam nash

Melihat dari dampak-dampak negatif yang banyak menimbulkan ke-mudhorot-an atau

mafsadat bagi banyak kalangan wanita dan anaknya. Bisa digunakan salah satu qaidah dalam

qowaid al-Fiqhiyah yaitu Sadd-u al-Dzaro'i.

Saddu adzaro'i meupakan kata majemuk yang terdiri dari kata sadd-u( سد )dan adzaro'i.

Sadd berarti menutup dan adzara'i merupakanbentuk jama' dari al-Dzari'ah berasal dari kata dzir'un

yang berarti memanjang dan bergerak ke depan. Secara literal al-Dzari'ah mempunyai beberapa

makna, diantaranya sebab perantara kepada sesuatu. Sehingga secara literal, makna sadd-u adzaria'i

adalah menutup jalan-jalan dan perantara-perantara sehingga tidak menyampaikan kepada tujuan

yang dimaksud.

Menurut al-Syathibi, dzari'ah ialah perantara yang mendekatkan perkara mashlahat kepada

perkara mafsadat. Sedangkan Ibnu Taimiyah mengartikan al-dzari'ah dengan perbuatan yang

dhohir-nya mubah, tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang diharamkan.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian al-dzara'i adalah memotong

perantara- perantara kerusakan dengan melarang perbuatan yang dibolehkan karena akan

menyampaikan kepada yang dilarang.

Firman Allah dalan an-Nur ayat 31:

Artinya: "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan" (al-Nur: 31)

Dalam ayat ini, Allah melarang orang mukminat menghentakan kaki mereka, karena dapat

menjadikan sebab para lelaki mendengar bunyi gemerincing yang dapat menimbulkan syahwat

tehadap wanita itu. Menghentakan kaki sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Ini

merupakan larangan melakukan perbuatan yang diperbolehkan karena mempertimbangkan akibat

yang timbul yang kadang-kadang menimbulkan mafsadat.

Selanjutnya, pembahasan nikah sirri dilanjutkan dengan menggunakan qiyas, yaitu

berdasarkan pada persamaan illat. Maksudnya pada ayat di atas sebenarnya Allah tidak melarang

Page 7: Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com

menghentakan kaki mereka, akan tetapi dapat menimbulkan kemafsadatan (misal: menimbulkan

syahwat bagi lelaki) sehingga perbuatan itu dilarang. Begitu juga dalam permasalahan nikah sirri

sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang, karena nikah sirri hanya bisa kita dapatkan

di Indonesia dan tidak ada larangan langsung dari nash (la-Quran dan as-Sunnah). Akan tetapi

dengan melihat kepada mafsadat-nya yang ditimbulkan banyak sekali berdampak negatif terutama

bagi kaum wanita dan anaknya. Sehingga menurut hemat penulis[13] perbuatan nikah sirri itu

dilarang dengan melihat pada kemafsadatan yang ditimbulkan.

[1] .Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 336.

[2] Ibid, hlm. 338.

[3] Ibid, hlm. 338-352

[4] Mariana Amiruddin: Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan dan Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan. Diambil dari Radio Jurnal Perempuan edisi 341 yang diliput oleh Kamilia Manaf, jurnalis Radio Jurnal Perempuan[5] HTI Press.

[6] Skripsi: Abdul Basyir, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia, hlm 77.

[7] ibid.

[8] Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm.323.

[9] Skripsi: Abdul Basyir, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia, hlm 77, Syari'ah UIN SUKA, Tidak Diterbitkan.

[10] Ibid, [11] Ibid,[12] Nasution, Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 327-332

[13] Penjelasan mengenai Istimbath Hukum ini adalah saduran dari ulisan Cak Kur yang ditulis di blognya dengan judul : Nikah Siri dan Vagina yang Terkoyak (1)